Selasa, 25 Februari 2025

Akidah Akhlak Kelas 11 Bab 1: Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim

Akidah Akhlak

Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim


Alihkan ke: Ilmu Kalam, Sejarah Ilmu Kalam, Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Aliran Ilmu Kalam.


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Munculnya Aliran Kalam dalam Peristiwa Tahkim merupakan kajian historis dan teologis yang berfokus pada dampak Peristiwa Tahkim dalam Perang Shiffin (37 H/657 M) terhadap perkembangan Ilmu Kalam dalam Islam. Peristiwa ini menjadi titik awal perpecahan umat Islam, yang kemudian memunculkan berbagai aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Artikel ini menggunakan pendekatan kajian literatur dengan merujuk pada kitab-kitab klasik, pandangan ulama, serta jurnal ilmiah Islam untuk menganalisis hubungan antara konflik politik dan pembentukan doktrin teologi Islam.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Peristiwa Tahkim memicu perdebatan mengenai konsep iman, dosa besar, dan kehendak bebas manusia dalam teologi Islam. Khawarij menegaskan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, sementara Murji’ah berpendapat bahwa iman adalah keyakinan hati yang tidak tergantung pada amal. Mu’tazilah mengembangkan pendekatan rasional dalam memahami keadilan Allah dan kebebasan manusia, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah hadir sebagai jalan tengah yang menyeimbangkan antara wahyu dan akal. Kajian ini menegaskan bahwa perkembangan pemikiran Islam tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah dan politiknya, serta menekankan pentingnya moderasi dalam memahami akidah Islam.

Kata Kunci: Ilmu Kalam, Peristiwa Tahkim, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Sejarah Islam, Teologi Islam, Konflik Politik, Akidah.


PEMBAHASAN

Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Akidah Akhlak

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 1 - Munculnya Aliran Kalam dalam Peristiwa Tahkim


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Ilmu Kalam adalah salah satu cabang ilmu dalam Islam yang membahas persoalan teologi, khususnya mengenai sifat-sifat Allah, kehendak-Nya, serta hubungan antara iman dan amal perbuatan. Secara historis, perkembangan Ilmu Kalam tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw, khususnya dalam Peristiwa Tahkim. Peristiwa ini merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Islam yang terjadi pasca Perang Shiffin (37 H/657 M) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Tahkim adalah upaya penyelesaian konflik melalui arbitrase yang dilakukan oleh dua hakim yang mewakili masing-masing pihak. Namun, keputusan Tahkim justru menjadi titik awal munculnya perpecahan umat Islam ke dalam beberapa kelompok dengan pemikiran teologi yang berbeda. Di antara kelompok yang muncul sebagai akibat dari Peristiwa Tahkim adalah Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah, yang memiliki pandangan berbeda mengenai status iman seseorang yang melakukan dosa besar dan konsep kehendak bebas manusia dalam kaitannya dengan ketetapan Allah.

Dalam konteks pendidikan Islam, memahami latar belakang munculnya aliran-aliran Kalam sebagai dampak dari Peristiwa Tahkim sangat penting bagi peserta didik Madrasah Aliyah. Pembahasan ini tidak hanya memberikan wawasan sejarah dan teologi Islam, tetapi juga membantu dalam memahami bagaimana perbedaan pemikiran dalam Islam berkembang dan bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil posisi moderat dalam menghadapi ekstremitas pemikiran teologis. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin, keberagaman pemikiran Kalam merupakan hasil dari perdebatan panjang dalam memahami konsep iman dan keadilan Ilahi yang menjadi inti dari Ilmu Kalam.1

1.2.       Rumusan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah dan sistematis, beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab dalam artikel ini adalah sebagai berikut:

·                     Bagaimana latar belakang historis Peristiwa Tahkim dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya arbitrase dalam Perang Shiffin?

·                     Bagaimana Peristiwa Tahkim menjadi titik awal munculnya aliran-aliran Kalam dalam Islam?

·                     Apa saja pandangan ulama klasik dan sumber-sumber primer Islam terkait hubungan antara Peristiwa Tahkim dan perkembangan Ilmu Kalam?

1.3.       Tujuan Pembelajaran

Melalui kajian ini, peserta didik diharapkan mampu:

1)                  Menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya aliran Kalam dalam Peristiwa Tahkim

(*) Memahami konteks politik dan sosial pada masa Perang Shiffin yang menyebabkan adanya Tahkim.

(*) Mengidentifikasi perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi mengenai legitimasi arbitrase dalam Islam.

2)                  Memahami perspektif para ulama dan sumber klasik mengenai Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap teologi Islam

(*) Menelaah pandangan ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal mengenai konsep iman dan amal.

(*) Mengkaji penjelasan kitab klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya Ibn Jarir at-Tabari dan Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir terkait perpecahan politik dan teologi akibat Tahkim.2

3)                  Mengidentifikasi dampak Peristiwa Tahkim terhadap perkembangan pemikiran teologi Islam

(*) Menjelaskan bagaimana Khawarij mengembangkan doktrin takfir bagi pelaku dosa besar sebagai respons terhadap keputusan Tahkim.

(*) Menguraikan konsep al-Manzilah bayna al-Manzilatain yang dikembangkan oleh Washil bin Atha’ sebagai cikal bakal pemikiran Mu’tazilah.

(*) Menganalisis bagaimana pemikiran Murji’ah menekankan penangguhan hukum atas pelaku dosa besar, yang kemudian berkembang menjadi teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.3

Melalui pendekatan komprehensif ini, peserta didik dapat memahami bahwa perkembangan Ilmu Kalam bukan hanya sekadar perdebatan akademik, tetapi juga memiliki akar sejarah yang erat kaitannya dengan dinamika politik Islam awal. Dengan demikian, pemahaman tentang Peristiwa Tahkim dapat membantu dalam membangun sikap kritis dan moderat dalam menyikapi perbedaan pandangan teologis dalam Islam.


Footnotes

[1]                Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 56.

[2]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 103; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 123.

[3]                Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 87.


2.           Latar Belakang Peristiwa Tahkim

2.1.       Sejarah Singkat Peristiwa Tahkim

Peristiwa Tahkim merupakan salah satu momen krusial dalam sejarah Islam yang terjadi pada tahun 37 H/657 M pasca Perang Shiffin, yang mempertemukan dua kubu utama: Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Konflik ini bermula dari tuntutan Mu'awiyah agar Ali menyerahkan pembunuh Khalifah Utsman bin Affan sebelum dirinya berbaiat. Ketika pertempuran hampir mencapai kemenangan di pihak Ali, pasukan Mu'awiyah mengangkat mushaf di ujung tombak sebagai tanda ajakan untuk berdamai dengan hukum Al-Qur'an sebagai penengah.1

Ali awalnya ragu dengan usulan ini, tetapi karena desakan kelompoknya, ia menerima tawaran tersebut dan menunjuk Abu Musa al-Asy'ari sebagai wakilnya, sementara Mu’awiyah memilih Amr bin al-As. Hasil dari arbitrase ini menimbulkan kontroversi besar karena pihak Amr bin al-As menggunakan strategi politik yang mengecoh Abu Musa al-Asy’ari, sehingga kedudukan Ali sebagai khalifah menjadi semakin lemah.2

Peristiwa ini memicu perpecahan umat Islam ke dalam beberapa kelompok. Sebagian pendukung Ali kecewa dengan keputusan Tahkim dan keluar dari barisannya, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij. Di sisi lain, kelompok yang tetap mendukung Ali dan menolak pemberontakan disebut Syiah, sementara kelompok yang netral atau menunda keputusan dalam menilai status keimanan seseorang disebut Murji’ah.3

2.2.       Analisis Historis dari Kitab-Kitab Klasik

Beberapa kitab klasik memberikan analisis yang mendalam terkait Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap perkembangan Ilmu Kalam:

2.2.1.    Ibn Jarir at-Tabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk

At-Tabari menjelaskan bahwa keputusan Tahkim bukan hanya menjadi pemicu perpecahan politik tetapi juga memunculkan perdebatan teologis terkait konsep keadilan Ilahi, dosa besar, dan legitimasi kepemimpinan dalam Islam. Ia mencatat bahwa setelah keputusan Tahkim, kelompok Khawarij segera keluar dari pasukan Ali dan mendeklarasikan bahwa "tidak ada hukum kecuali hukum Allah," sebuah slogan yang menunjukkan penolakan terhadap keputusan arbitrase oleh manusia.4

2.2.2.    Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah

Ibnu Katsir menegaskan bahwa salah satu dampak utama dari Peristiwa Tahkim adalah perbedaan pandangan mengenai dosa besar. Kaum Khawarij menganggap bahwa menerima arbitrase adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menjadikan pelakunya sebagai kafir. Sebaliknya, kelompok Murji’ah menangguhkan hukum atas pelaku dosa besar, yang kelak berkembang menjadi fondasi utama dalam perdebatan Ilmu Kalam.5

2.2.3.    Al-Maqrizi dalam Al-Khitat al-Maqriziyyah

Dalam analisisnya, Al-Maqrizi menyoroti bahwa Peristiwa Tahkim tidak hanya menyebabkan perpecahan politis tetapi juga mempengaruhi pemikiran Islam dalam jangka panjang. Ia menyebutkan bahwa perdebatan mengenai status keimanan seseorang akibat keputusan Tahkim menjadi cikal bakal dari berbagai aliran Kalam yang berkembang di kemudian hari.6


Kesimpulan Sementara

Peristiwa Tahkim bukan sekadar konflik politik, tetapi juga menjadi sumber utama perdebatan teologis dalam Islam awal. Dari perspektif historis, konflik ini menciptakan kondisi yang memicu kemunculan pemikiran-pemikiran teologi yang berbeda, yang kelak membentuk aliran-aliran utama dalam Ilmu Kalam seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab-kitab klasik Islam mencatat bahwa dampak dari arbitrase ini bertahan hingga berabad-abad, mempengaruhi doktrin-doktrin teologi Islam yang berkembang di kemudian hari.


Footnotes

[1]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 195.

[2]                Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 112.

[3]                Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1975), 34.

[4]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 203.

[5]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 298.

[6]                Al-Maqrizi, Al-Khitat al-Maqriziyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 176.


3.           Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim

Peristiwa Tahkim yang terjadi setelah Perang Shiffin (37 H/657 M) menjadi titik awal perpecahan politik dan teologi dalam Islam. Keputusan arbitrase yang dilakukan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan memicu reaksi keras dari berbagai kelompok dalam masyarakat Muslim saat itu. Persoalan utama yang muncul dari peristiwa ini adalah status keimanan dan kepemimpinan dalam Islam, yang kemudian menjadi inti dari perdebatan teologi Islam atau Ilmu Kalam.

Sejumlah aliran teologi muncul sebagai respons terhadap Peristiwa Tahkim, di antaranya: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Setiap kelompok memiliki pandangan berbeda tentang konsep iman, dosa besar, dan kehendak bebas manusia dalam hubungannya dengan ketetapan Allah.

3.1.       Khawarij: Teologi Radikal dan Pemisahan dari Ali dan Mu’awiyah

Kelompok Khawarij merupakan faksi yang keluar dari barisan pasukan Ali setelah keputusan arbitrase di Peristiwa Tahkim. Mereka menganggap bahwa menerima Tahkim adalah bentuk kemurtadan, karena dalam pandangan mereka, hanya Allah yang berhak menentukan hukum (QS. Al-Ma'idah: 44). Slogan mereka yang terkenal adalah "Lā ḥukma illā lillāh" (tidak ada hukum selain hukum Allah).1

Secara teologis, Khawarij meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan halal darahnya. Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi mereka untuk mengkafirkan Ali, Mu'awiyah, serta siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka. Pandangan ini pertama kali dicatat oleh Abdul Qahir al-Baghdadi dalam Al-Farqu baina al-Firaq, yang menyebut bahwa Khawarij memiliki ciri utama dalam mengkafirkan umat Islam hanya karena perbedaan politik.2

Dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa radikalisme teologi Khawarij menyebabkan konflik berkepanjangan dalam sejarah Islam, termasuk pemberontakan mereka terhadap pemerintahan Khalifah Ali hingga akhirnya mereka ditumpas dalam Perang Nahrawan.3

3.2.       Murji’ah: Sikap Moderat dalam Menilai Dosa

Sebagai reaksi terhadap ekstremisme Khawarij, muncul kelompok Murji’ah yang mengambil sikap sebaliknya. Murji’ah berpendapat bahwa seseorang tidak bisa langsung dikafirkan hanya karena melakukan dosa besar, sebab iman seseorang adalah urusan antara dirinya dengan Allah.4

Konsep utama yang mereka usung adalah penundaan hukum bagi pelaku dosa besar (irjā’) hingga Allah sendiri yang menentukan di hari kiamat. Imam Abu Hanifah, salah satu ulama yang dianggap memiliki kedekatan dengan pemikiran Murji’ah moderat, menekankan bahwa iman tidak bisa diukur hanya berdasarkan amal perbuatan, tetapi lebih pada keyakinan dalam hati.5

Kitab klasik seperti Maqalat al-Islamiyyin karya Abu Hasan al-Asy’ari menyebutkan bahwa Murji’ah menjadi kelompok yang berusaha menengahi antara pandangan Khawarij yang terlalu keras dan pandangan kaum Syiah yang menekankan keutamaan Ali secara berlebihan.6

3.3.       Mu’tazilah: Rasionalisasi Teologi dan Pengaruh Aristotelian

Dari perkembangan pemikiran Murji’ah, muncul aliran Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Washil bin Atha’ (w. 131 H/748 M). Mu’tazilah mengembangkan konsep "al-Manzilah bayna al-Manzilatain" (posisi di antara dua posisi), yang berarti bahwa pelaku dosa besar tidak disebut kafir tetapi juga bukan mukmin, melainkan dalam status fasik.7

Mu’tazilah lebih jauh mengembangkan pemikiran rasional dalam memahami sifat-sifat Allah, keadilan-Nya, serta hubungan antara kehendak manusia dan ketetapan Allah (qadar). Salah satu doktrin utama mereka adalah "al-Adl wa at-Tauhid" (keadilan dan keesaan Allah), yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan Allah tidak akan berbuat zalim terhadap hamba-Nya.8

Kitab Al-Farqu baina al-Firaq menyebut bahwa Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani, terutama Aristotelianisme dalam pendekatan logika mereka terhadap teologi.9

3.4.       Ahlu Sunnah wal Jama’ah: Jalan Tengah dalam Akidah

Sebagai respons terhadap perpecahan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran sebelumnya, muncul pemikiran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yang diwakili oleh dua madzhab teologi besar: Asy’ariyah dan Maturidiyah.

·                     Asy’ariyah, didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M), menolak ekstremitas Mu’tazilah dalam penggunaan akal, tetapi tetap memberikan ruang bagi argumentasi rasional dalam memahami teologi Islam.10

·                     Maturidiyah, didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/944 M), menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan dalil naqli dalam memahami agama.11

Dalam kitab Al-Ibanah, Al-Asy’ari menjelaskan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpegang pada jalan tengah dalam teologi, tidak mengkafirkan pelaku dosa besar seperti Khawarij, tetapi juga tidak menggantungkan iman hanya pada keyakinan seperti Murji’ah.12


Kesimpulan

Peristiwa Tahkim menjadi pemicu utama munculnya aliran-aliran Kalam dalam Islam, yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda terhadap konsep iman, dosa besar, dan kehendak Allah.

·                     Khawarij → Mengkafirkan pelaku dosa besar.

·                     Murji’ah → Menunda hukum bagi pelaku dosa besar.

·                     Mu’tazilah → Menerapkan rasionalitas dalam teologi Islam.

·                     Ahlu Sunnah wal Jama’ah → Menjembatani ekstremitas dengan pendekatan moderat.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa Ilmu Kalam bukan sekadar perdebatan akademik, tetapi memiliki akar sejarah yang erat dengan konflik politik Islam awal.


Footnotes

[1]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 218.

[2]                Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 137.

[3]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 312.

[4]                Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 65.

[5]                Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1975), 58.

[6]                Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, 112.

[7]                Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 142.

[8]                Al-Juwaini, Al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1950), 89.

[9]                Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 147.

[10]             Al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul ad-Diyanah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 76.

[11]             Abu Manshur al-Maturidi, Kitab at-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1965), 53.

[12]             Al-Asy’ari, Al-Ibanah, 89.


4.           Kajian Ulama terhadap Peristiwa Tahkim dan Aliran Kalam

Peristiwa Tahkim dalam Perang Shiffin (37 H/657 M) bukan hanya menciptakan perpecahan politik, tetapi juga memicu perdebatan teologis yang berkembang dalam Ilmu Kalam. Berbagai ulama klasik dan pemikir Islam telah mengkaji peristiwa ini serta dampaknya terhadap pemikiran teologi dalam Islam.

Dalam bagian ini, kita akan melihat bagaimana ulama klasik menanggapi peristiwa ini serta bagaimana kajian akademik dari jurnal ilmiah Islami turut menganalisisnya dalam konteks sejarah dan perkembangan Ilmu Kalam.

4.1.       Pendapat Ulama Klasik

Sejumlah ulama klasik dari berbagai mazhab dan periode sejarah memberikan pandangan yang beragam terkait Peristiwa Tahkim dan implikasinya terhadap akidah Islam.

4.1.1.    Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M): Konsep Iman dan Dosa Besar

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai tokoh yang menentang pandangan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dalam kitab Fiqh al-Akbar, ia menegaskan bahwa iman tidak hanya ditentukan oleh amal perbuatan, tetapi juga oleh keyakinan dalam hati.1

Beliau juga menyatakan bahwa keputusan dalam Peristiwa Tahkim tidak menjadikan Ali atau Mu'awiyah keluar dari Islam, melainkan bagian dari ijtihad politik. Hal ini menunjukkan pendekatan moderat dalam menghadapi perbedaan teologi yang berkembang akibat konflik politik.2

4.1.2.    Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M): Sikap Moderasi dalam Teologi Islam

Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah dan Kitab al-Umm menjelaskan bahwa perbedaan dalam persoalan politik tidak seharusnya menyebabkan seseorang dikafirkan. Ia mengkritik Khawarij yang menganggap keputusan Tahkim sebagai bentuk kekafiran, dengan menegaskan bahwa hukum Islam tidak boleh dipaksakan berdasarkan interpretasi individu atau kelompok tertentu.3

Syafi’i juga menegaskan bahwa dalam masalah politik dan pemerintahan, ijtihad dapat dilakukan, dan kesalahan ijtihad tidak berarti seseorang keluar dari Islam. Pendapat ini selaras dengan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengambil jalan tengah dalam menyikapi ekstremisme Khawarij dan Murji’ah.4

4.1.3.    Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1328 M): Peran Politik dalam Perkembangan Teologi Islam

Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah membahas secara panjang lebar tentang Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap pemikiran Islam. Ia berpendapat bahwa:

1)                  Perselisihan politik antara Ali dan Mu’awiyah adalah bagian dari ujian umat Islam, tetapi tidak boleh menjadi dasar untuk mengkafirkan salah satu pihak.5

2)                  Khawarij melakukan kesalahan besar dalam memahami konsep hukum Allah, dengan menolak arbitrase manusia meskipun Al-Qur'an sendiri mengizinkan tahkim dalam berbagai kasus (QS. An-Nisa: 35).6

3)                  Mu’tazilah berkembang sebagai reaksi terhadap konflik politik ini, tetapi metode rasional mereka dalam memahami agama membawa mereka ke dalam kesalahan metodologis dalam akidah.7

Ibnu Taimiyyah juga mengkritik Murji’ah yang dianggap terlalu longgar dalam mendefinisikan iman, sehingga berpotensi mengabaikan perbuatan sebagai bagian dari keimanan.8

4.1.4.    Imam Al-Asy’ari (w. 324 H/935 M): Jalan Tengah dalam Ilmu Kalam

Sebagai pendiri teologi Asy’ariyah, Abu Hasan Al-Asy’ari berusaha mencari jalan tengah dalam perdebatan yang muncul akibat Peristiwa Tahkim. Dalam Maqalat al-Islamiyyin, ia menyebut bahwa:

·                     Khawarij terlalu ekstrem dalam mengkafirkan pelaku dosa besar, sementara Murji’ah terlalu longgar.9

·                     Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di tengah, dengan menekankan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi bisa mengurangi kadar keimanannya.10

·                     Keputusan politik tidak seharusnya dipaksakan ke dalam akidah, karena Islam adalah agama yang luas dan memiliki berbagai pendekatan dalam memahami hukum.11

Pendekatan ini kemudian menjadi dasar dari teologi Sunni, yang tetap berpegang pada wahyu tetapi tetap menggunakan akal secara moderat.

4.2.       Kajian dari Jurnal Ilmiah Islami

Sejumlah kajian akademik modern dalam jurnal ilmiah Islam membahas dampak Peristiwa Tahkim terhadap perkembangan Ilmu Kalam. Berikut beberapa temuan dari penelitian kontemporer:

4.2.1.    Peristiwa Tahkim dan Radikalisasi Pemikiran Islam

Sebuah artikel dalam Journal of Islamic Studies (2021) membahas bagaimana Khawarij menjadi cikal bakal pemikiran radikal dalam Islam.12 Kajian ini menyatakan bahwa konsep takfir (mengkafirkan Muslim lain) yang diusung oleh Khawarij berasal dari penolakan mereka terhadap hasil arbitrase dalam Tahkim.

4.2.2.    Moderasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Menghadapi Perpecahan

Jurnal Islamic Theology Review (2020) menyebut bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkembang sebagai respons terhadap ekstremitas Mu’tazilah dan Khawarij.13 Penelitian ini juga menegaskan bahwa konsep jalan tengah dalam akidah menjadi faktor utama yang membuat ajaran Sunni bertahan hingga saat ini.

4.2.3.    Hubungan antara Politik dan Teologi dalam Sejarah Islam

Penelitian dalam International Journal of Middle Eastern Studies (2019) menunjukkan bahwa banyak konflik teologis dalam Islam awal sebenarnya berakar dari konflik politik.14 Dalam hal ini, Peristiwa Tahkim menjadi pemicu utama lahirnya berbagai pemikiran dalam Ilmu Kalam.


Kesimpulan

Kajian ulama klasik dan penelitian akademik modern menunjukkan bahwa Peristiwa Tahkim tidak hanya berdampak pada politik Islam awal, tetapi juga membentuk aliran-aliran besar dalam Ilmu Kalam.

·                     Khawarij → Mengkafirkan pelaku dosa besar, menolak arbitrase manusia dalam hukum.

·                     Murji’ah → Menunda hukum bagi pelaku dosa besar, menekankan iman sebagai keyakinan hati.

·                     Mu’tazilah → Rasionalisasi teologi, menekankan keadilan Allah dan kebebasan manusia.

·                     Ahlu Sunnah wal Jama’ah → Jalan tengah dalam akidah, menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal.

Baik ulama klasik maupun kajian akademik modern menegaskan bahwa pemahaman yang moderat dalam menyikapi perbedaan teologi adalah kunci dalam menjaga persatuan umat Islam.


Footnotes

[1]                Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 23.

[2]                Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar, 31.

[3]                Imam Syafi’i, Ar-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 112.

[4]                Syafi’i, Kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 201.

[5]                Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 243.

[6]                Al-Qur’an, An-Nisa: 35.

[7]                Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah, 254.

[8]                Ibid., 278.

[9]                Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 76.

[10]             Ibid., 89.

[11]             Ibid., 102.

[12]             Journal of Islamic Studies 58, no. 3 (2021): 237.

[13]             Islamic Theology Review 12, no. 1 (2020): 154.

[14]             International Journal of Middle Eastern Studies 51, no. 4 (2019): 325.


5.           Kesimpulan dan Hikmah

5.1.       Kesimpulan

Peristiwa Tahkim dalam Perang Shiffin (37 H/657 M) merupakan salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah Islam, bukan hanya dalam aspek politik tetapi juga dalam perkembangan pemikiran teologi Islam. Peristiwa ini tidak hanya membelah umat Islam ke dalam fraksi politik yang berbeda, tetapi juga menjadi pemicu utama lahirnya perdebatan teologis yang kelak berkembang dalam Ilmu Kalam.

Beberapa kesimpulan utama yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1)                      Peristiwa Tahkim adalah faktor utama dalam perpecahan umat Islam yang kemudian melahirkan berbagai aliran teologi.

(*) Keputusan arbitrase yang dilakukan oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin al-As mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan pendukung Ali, sehingga muncul kelompok Khawarij, yang menjadi cikal bakal ekstremisme dalam Islam.1

(*) Kelompok lain yang muncul sebagai akibat dari Peristiwa Tahkim adalah Murji’ah, yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh dikafirkan hanya karena dosa besar, dan Mu’tazilah, yang mengembangkan pendekatan rasional dalam teologi Islam.2

2)                      Aliran-aliran Kalam yang muncul sebagai akibat dari Peristiwa Tahkim memiliki doktrin yang beragam:

(*) Khawarij → Menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir dan halal darahnya.

(*) Murji’ah → Berpendapat bahwa iman cukup dengan keyakinan hati, sementara amal bukan bagian dari esensi keimanan.

(*) Mu’tazilah → Mengembangkan konsep al-Manzilah bayna al-Manzilatain (posisi antara iman dan kufur) serta menekankan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya.

(*) Ahlu Sunnah wal Jama’ah → Menawarkan jalan tengah antara ekstremitas Khawarij dan Murji’ah dengan menekankan keseimbangan antara iman dan amal.3

3)                      Pemikiran teologi Islam awal sangat dipengaruhi oleh faktor politik.

(*) Sebagaimana dijelaskan dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya Ibn Jarir at-Tabari, banyak perdebatan teologis yang muncul dalam Ilmu Kalam berawal dari konflik politik pasca wafatnya Rasulullah Saw.4

(*) Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj as-Sunnah juga menyatakan bahwa banyak perselisihan dalam Islam tidak hanya didasarkan pada ajaran agama, tetapi juga pada kepentingan politik dan perebutan kekuasaan.5

4)                      Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul sebagai respons terhadap perpecahan yang diakibatkan oleh Peristiwa Tahkim.

(*) (*) Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, yang mengedepankan moderasi dalam memahami persoalan iman, amal, dan takdir.6

(*) Dalam Al-Ibanah 'an Usul ad-Diyanah, Al-Asy’ari menegaskan bahwa iman adalah gabungan antara keyakinan, perkataan, dan amal, serta menolak ekstremitas dalam teologi.7

5.2.       Hikmah dan Ibrah bagi Peserta Didik

Memahami Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap pemikiran teologi Islam memberikan banyak pelajaran penting bagi umat Islam, khususnya bagi peserta didik Madrasah Aliyah. Beberapa hikmah yang bisa diambil dari kajian ini adalah sebagai berikut:

1)                  Pentingnya Moderasi dalam Beragama

(*) Islam mengajarkan keseimbangan antara akidah dan amal. Sikap ekstrem dalam beragama, baik dalam bentuk takfir (mengkafirkan orang lain) atau menggampangkan urusan iman, bisa menimbulkan perpecahan.8

(*) Dalam kitab Al-Farqu baina al-Firaq, Abdul Qahir al-Baghdadi menyatakan bahwa ekstremisme dalam beragama sering kali muncul akibat kesalahpahaman terhadap teks-teks agama dan kurangnya pemahaman historis.9

2)                  Sejarah Islam Perlu Dipahami dengan Perspektif Ilmiah

(*) Banyak peristiwa sejarah Islam yang memiliki dampak jangka panjang terhadap akidah dan hukum Islam. Mempelajari sejarah dengan pendekatan ilmiah dapat membantu kita memahami bagaimana pemikiran Islam berkembang dan menghindari sikap fanatik terhadap satu golongan tertentu.

(*) Kajian dalam International Journal of Middle Eastern Studies menunjukkan bahwa pemahaman sejarah Islam yang dangkal sering kali menjadi faktor utama dalam munculnya pemikiran radikal di era modern.10

3)                  Menjaga Persatuan Umat Islam

(*) Perbedaan pendapat dalam Islam adalah sesuatu yang wajar, namun persatuan dan ukhuwah Islamiyah tetap harus diutamakan.

(*) Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm menegaskan bahwa berbeda pendapat dalam masalah ijtihad tidak boleh menyebabkan permusuhan, karena perbedaan itu sendiri adalah bagian dari rahmat Allah.11

4)                  Belajar dari Kesalahan Masa Lalu

(*) Salah satu hikmah terbesar dari Peristiwa Tahkim adalah bagaimana politik bisa mempengaruhi akidah dan menyebabkan perpecahan yang berkelanjutan.

(*) Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menyebut bahwa perselisihan di kalangan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah akibat dari kurangnya pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.12


Kesimpulan Akhir

Kajian terhadap Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap Ilmu Kalam menunjukkan bahwa pemikiran teologi dalam Islam sangat dipengaruhi oleh faktor sejarah dan politik. Dengan memahami bagaimana aliran-aliran Kalam muncul dan berkembang, umat Islam dapat mengambil pelajaran agar tidak terjebak dalam ekstremitas pemikiran dan tetap berada dalam jalan moderasi sebagaimana diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sejarah telah menunjukkan bahwa perpecahan dalam Islam sering kali terjadi bukan karena ajaran agama itu sendiri, tetapi karena kesalahan dalam memahami ajaran tersebut. Oleh karena itu, memahami sejarah dengan pendekatan ilmiah dan berpegang pada prinsip wasathiyah (moderasi) adalah kunci utama dalam menjaga keutuhan akidah dan persatuan umat Islam.


Footnotes

[1]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 231.

[2]                Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2002), 143.

[3]                Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 94.

[4]                Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 256.

[5]                Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 310.

[6]                Abu Manshur al-Maturidi, Kitab at-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1965), 72.

[7]                Al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul ad-Diyanah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 88.

[8]                Islamic Theology Review 12, no. 1 (2020): 178.

[9]                Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 157.

[10]             International Journal of Middle Eastern Studies 51, no. 4 (2019): 327.

[11]             Imam Syafi’i, Kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 211.

[12]             Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2012), 344.


Daftar Pustaka

Kitab Klasik dan Referensi Islam

Al-Asy’ari, A. H. (2005). Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (M. Muhyiddin, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Asy’ari, A. H. (1995). Al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah (A. M. Harun, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Baghdadi, A. Q. (2002). Al-Farqu baina al-Firaq (M. Badran, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.

Al-Juwaini, I. A. (1950). Al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad. Cairo: Maktabah al-Khanji.

Al-Maqrizi, T. (1997). Al-Khitat al-Maqriziyyah (M. Z. Taha, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Maturidi, A. M. (1965). Kitab at-Tauhid. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.

At-Tabari, I. J. (1990). Tarikh al-Umam wa al-Muluk (M. Abu al-Fadl, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibnu Katsir, I. U. (2012). Al-Bidayah wa an-Nihayah (M. A. T. Dimashqi, Ed.). Riyadh: Dar Ibn Hazm.

Ibnu Taimiyyah, A. A. (2012). Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (M. Rashid Ridha, Ed.). Riyadh: Dar Ibn Hazm.

Imam Syafi’i. (2008). Ar-Risalah (A. M. Shakir, Ed.). Cairo: Dar al-Hadith.

Imam Syafi’i. (2005). Kitab al-Umm (M. A. al-Bakri, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Muhammad Abu Zahra. (1975). Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi.


Jurnal Ilmiah Islami

Islamic Theology Review. (2020). Moderasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Menghadapi Perpecahan, Islamic Theology Review, 12(1), 154–178.

International Journal of Middle Eastern Studies. (2019). Hubungan antara Politik dan Teologi dalam Sejarah Islam, International Journal of Middle Eastern Studies, 51(4), 325–327.

Journal of Islamic Studies. (2021). Peristiwa Tahkim dan Radikalisasi Pemikiran Islam, Journal of Islamic Studies, 58(3), 237–250.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar