Akidah Akhlak
Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim
Alihkan ke: Ilmu
Kalam, Sejarah
Ilmu Kalam, Aliran-Aliran
Ilmu Kalam, Ilmu
Kalam Sunni, Relasi
Antara Aliran Ilmu Kalam.
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Munculnya Aliran Kalam dalam Peristiwa Tahkim merupakan kajian historis dan teologis yang
berfokus pada dampak Peristiwa Tahkim dalam Perang Shiffin (37 H/657 M)
terhadap perkembangan Ilmu Kalam dalam Islam. Peristiwa ini menjadi titik awal
perpecahan umat Islam, yang kemudian memunculkan berbagai aliran teologi
seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Artikel ini menggunakan pendekatan kajian literatur dengan merujuk pada
kitab-kitab klasik, pandangan ulama, serta jurnal ilmiah Islam untuk
menganalisis hubungan antara konflik politik dan pembentukan doktrin teologi
Islam.
Hasil kajian menunjukkan bahwa Peristiwa Tahkim
memicu perdebatan mengenai konsep iman, dosa besar, dan kehendak bebas manusia
dalam teologi Islam. Khawarij menegaskan bahwa pelaku dosa besar
adalah kafir, sementara Murji’ah berpendapat bahwa iman adalah keyakinan
hati yang tidak tergantung pada amal. Mu’tazilah mengembangkan
pendekatan rasional dalam memahami keadilan Allah dan kebebasan manusia,
sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah hadir sebagai jalan tengah yang
menyeimbangkan antara wahyu dan akal. Kajian ini menegaskan bahwa perkembangan
pemikiran Islam tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah dan politiknya,
serta menekankan pentingnya moderasi dalam memahami akidah Islam.
Kata Kunci: Ilmu Kalam, Peristiwa Tahkim, Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Sejarah Islam, Teologi Islam, Konflik
Politik, Akidah.
PEMBAHASAN
Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 1 - Munculnya
Aliran Kalam dalam Peristiwa Tahkim
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ilmu Kalam adalah salah satu
cabang ilmu dalam Islam yang membahas persoalan teologi, khususnya mengenai
sifat-sifat Allah, kehendak-Nya, serta hubungan antara iman dan amal perbuatan.
Secara historis, perkembangan Ilmu Kalam tidak dapat dipisahkan dari dinamika
politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw, khususnya dalam
Peristiwa Tahkim. Peristiwa ini merupakan salah satu episode penting dalam
sejarah Islam yang terjadi pasca Perang Shiffin (37 H/657 M) antara Khalifah
Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Tahkim adalah upaya
penyelesaian konflik melalui arbitrase yang dilakukan oleh dua hakim yang
mewakili masing-masing pihak. Namun, keputusan Tahkim justru menjadi titik awal
munculnya perpecahan umat Islam ke dalam beberapa kelompok dengan pemikiran
teologi yang berbeda. Di antara kelompok yang muncul sebagai akibat dari
Peristiwa Tahkim adalah Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah, yang memiliki
pandangan berbeda mengenai status iman seseorang yang melakukan dosa besar dan
konsep kehendak bebas manusia dalam kaitannya dengan ketetapan Allah.
Dalam konteks pendidikan
Islam, memahami latar belakang munculnya aliran-aliran Kalam sebagai dampak
dari Peristiwa Tahkim sangat penting bagi peserta didik Madrasah Aliyah. Pembahasan
ini tidak hanya memberikan wawasan sejarah dan teologi Islam, tetapi juga
membantu dalam memahami bagaimana perbedaan pemikiran dalam Islam berkembang
dan bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mengambil posisi moderat dalam menghadapi
ekstremitas pemikiran teologis. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Abu Hasan
al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin, keberagaman pemikiran Kalam
merupakan hasil dari perdebatan panjang dalam memahami konsep iman dan keadilan
Ilahi yang menjadi inti dari Ilmu Kalam.1
1.2.
Rumusan Masalah
Agar pembahasan ini lebih
terarah dan sistematis, beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab dalam
artikel ini adalah sebagai berikut:
·
Bagaimana latar belakang
historis Peristiwa Tahkim dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya arbitrase
dalam Perang Shiffin?
·
Bagaimana Peristiwa Tahkim
menjadi titik awal munculnya aliran-aliran Kalam dalam Islam?
·
Apa saja pandangan ulama
klasik dan sumber-sumber primer Islam terkait hubungan antara Peristiwa Tahkim
dan perkembangan Ilmu Kalam?
1.3.
Tujuan Pembelajaran
Melalui kajian ini, peserta
didik diharapkan mampu:
1)
Menganalisis
faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya aliran Kalam dalam Peristiwa
Tahkim
(*) Memahami konteks politik dan
sosial pada masa Perang Shiffin yang menyebabkan adanya Tahkim.
(*) Mengidentifikasi perbedaan
pendapat di kalangan sahabat Nabi mengenai legitimasi arbitrase dalam Islam.
2)
Memahami perspektif
para ulama dan sumber klasik mengenai Peristiwa Tahkim dan dampaknya terhadap
teologi Islam
(*) Menelaah pandangan ulama seperti
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal mengenai
konsep iman dan amal.
(*) Mengkaji penjelasan kitab klasik
seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya Ibn Jarir at-Tabari dan Al-Bidayah
wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir terkait perpecahan politik dan teologi
akibat Tahkim.2
3)
Mengidentifikasi dampak
Peristiwa Tahkim terhadap perkembangan pemikiran teologi Islam
(*) Menjelaskan bagaimana Khawarij
mengembangkan doktrin takfir bagi pelaku dosa besar sebagai respons terhadap
keputusan Tahkim.
(*) Menguraikan konsep al-Manzilah
bayna al-Manzilatain yang dikembangkan oleh Washil bin Atha’ sebagai cikal
bakal pemikiran Mu’tazilah.
(*) Menganalisis bagaimana pemikiran
Murji’ah menekankan penangguhan hukum atas pelaku dosa besar, yang kemudian
berkembang menjadi teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.3
Melalui pendekatan
komprehensif ini, peserta didik dapat memahami bahwa perkembangan Ilmu Kalam
bukan hanya sekadar perdebatan akademik, tetapi juga memiliki akar sejarah yang
erat kaitannya dengan dinamika politik Islam awal. Dengan demikian, pemahaman
tentang Peristiwa Tahkim dapat membantu dalam membangun sikap kritis dan
moderat dalam menyikapi perbedaan pandangan teologis dalam Islam.
Footnotes
[1]
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 56.
[2]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 103; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh:
Dar Ibn Hazm, 2012), 123.
[3]
Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2002), 87.
2.
Latar Belakang Peristiwa Tahkim
2.1.
Sejarah Singkat Peristiwa Tahkim
Peristiwa Tahkim
merupakan salah satu momen krusial dalam sejarah Islam yang terjadi pada tahun
37 H/657 M pasca Perang Shiffin, yang
mempertemukan dua kubu utama: Khalifah Ali bin Abi
Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Konflik ini bermula dari tuntutan Mu'awiyah agar Ali menyerahkan pembunuh
Khalifah Utsman bin Affan sebelum dirinya berbaiat. Ketika pertempuran hampir
mencapai kemenangan di pihak Ali, pasukan Mu'awiyah mengangkat mushaf di ujung
tombak sebagai tanda ajakan untuk berdamai dengan hukum Al-Qur'an sebagai penengah.1
Ali awalnya ragu dengan
usulan ini, tetapi karena desakan kelompoknya, ia menerima tawaran tersebut dan
menunjuk Abu Musa al-Asy'ari
sebagai wakilnya, sementara Mu’awiyah memilih Amr bin al-As.
Hasil dari arbitrase ini menimbulkan kontroversi besar karena pihak Amr bin
al-As menggunakan strategi politik yang mengecoh Abu Musa al-Asy’ari, sehingga
kedudukan Ali sebagai khalifah menjadi semakin lemah.2
Peristiwa ini memicu perpecahan
umat Islam ke dalam beberapa kelompok. Sebagian pendukung Ali
kecewa dengan keputusan Tahkim dan keluar dari barisannya, yang kemudian
dikenal sebagai Khawarij. Di sisi lain,
kelompok yang tetap mendukung Ali dan menolak pemberontakan disebut Syiah,
sementara kelompok yang netral atau menunda keputusan dalam menilai status
keimanan seseorang disebut Murji’ah.3
2.2.
Analisis Historis dari Kitab-Kitab Klasik
Beberapa kitab klasik
memberikan analisis yang mendalam terkait Peristiwa Tahkim dan dampaknya
terhadap perkembangan Ilmu Kalam:
2.2.1.
Ibn
Jarir at-Tabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk
At-Tabari menjelaskan bahwa
keputusan Tahkim bukan hanya menjadi pemicu perpecahan politik tetapi juga
memunculkan perdebatan teologis terkait konsep keadilan Ilahi, dosa
besar, dan legitimasi kepemimpinan dalam Islam. Ia mencatat
bahwa setelah keputusan Tahkim, kelompok Khawarij segera keluar dari pasukan
Ali dan mendeklarasikan bahwa "tidak ada hukum kecuali hukum Allah,"
sebuah slogan yang menunjukkan penolakan terhadap keputusan arbitrase oleh
manusia.4
2.2.2.
Ibnu Katsir dalam
Al-Bidayah
wa an-Nihayah
Ibnu Katsir menegaskan bahwa salah
satu dampak utama dari Peristiwa Tahkim adalah perbedaan pandangan mengenai
dosa besar. Kaum Khawarij menganggap bahwa menerima arbitrase
adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menjadikan pelakunya
sebagai kafir. Sebaliknya,
kelompok Murji’ah menangguhkan hukum atas pelaku dosa besar, yang kelak
berkembang menjadi fondasi utama dalam perdebatan Ilmu Kalam.5
2.2.3.
Al-Maqrizi dalam Al-Khitat
al-Maqriziyyah
Dalam analisisnya, Al-Maqrizi
menyoroti bahwa Peristiwa Tahkim tidak hanya menyebabkan perpecahan
politis tetapi juga mempengaruhi pemikiran Islam dalam jangka panjang.
Ia menyebutkan bahwa perdebatan mengenai status keimanan seseorang akibat
keputusan Tahkim menjadi cikal bakal dari berbagai aliran Kalam yang berkembang
di kemudian hari.6
Kesimpulan Sementara
Peristiwa Tahkim bukan
sekadar konflik politik, tetapi juga menjadi sumber utama perdebatan
teologis dalam Islam awal. Dari perspektif historis, konflik
ini menciptakan kondisi yang memicu kemunculan pemikiran-pemikiran teologi yang
berbeda, yang kelak membentuk aliran-aliran utama dalam Ilmu Kalam seperti Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab-kitab
klasik Islam mencatat bahwa dampak dari arbitrase ini bertahan hingga
berabad-abad, mempengaruhi doktrin-doktrin teologi Islam yang berkembang di
kemudian hari.
Footnotes
[1]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 195.
[2]
Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2002), 112.
[3]
Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Cairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1975), 34.
[4]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 203.
[5]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm,
2012), 298.
[6]
Al-Maqrizi, Al-Khitat al-Maqriziyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), 176.
3.
Munculnya Aliran Kalam Akibat Peristiwa Tahkim
Peristiwa Tahkim
yang terjadi setelah Perang Shiffin (37 H/657 M)
menjadi titik awal perpecahan politik dan teologi dalam Islam. Keputusan
arbitrase yang dilakukan antara Ali bin Abi Thalib
dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan memicu reaksi keras
dari berbagai kelompok dalam masyarakat Muslim saat itu. Persoalan utama yang
muncul dari peristiwa ini adalah status keimanan dan
kepemimpinan dalam Islam, yang kemudian menjadi inti dari
perdebatan teologi Islam atau Ilmu Kalam.
Sejumlah aliran teologi
muncul sebagai respons terhadap Peristiwa Tahkim, di antaranya: Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah, dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Setiap
kelompok memiliki pandangan berbeda tentang konsep iman, dosa besar, dan
kehendak bebas manusia dalam hubungannya dengan ketetapan Allah.
3.1.
Khawarij: Teologi Radikal dan Pemisahan dari
Ali dan Mu’awiyah
Kelompok Khawarij
merupakan faksi yang keluar dari barisan pasukan Ali setelah keputusan
arbitrase di Peristiwa Tahkim. Mereka menganggap bahwa menerima
Tahkim adalah bentuk kemurtadan, karena dalam pandangan mereka,
hanya Allah yang berhak menentukan hukum (QS.
Al-Ma'idah: 44). Slogan mereka yang terkenal adalah "Lā
ḥukma illā lillāh" (tidak ada hukum selain hukum Allah).1
Secara teologis, Khawarij
meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan halal
darahnya. Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi mereka untuk
mengkafirkan Ali, Mu'awiyah, serta siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka.
Pandangan ini pertama kali dicatat oleh Abdul Qahir al-Baghdadi
dalam Al-Farqu baina al-Firaq, yang menyebut bahwa
Khawarij memiliki ciri utama dalam mengkafirkan umat Islam hanya karena
perbedaan politik.2
Dalam kitab Al-Bidayah wa
an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa radikalisme teologi
Khawarij menyebabkan konflik berkepanjangan dalam sejarah Islam,
termasuk pemberontakan mereka terhadap pemerintahan Khalifah Ali hingga
akhirnya mereka ditumpas dalam Perang Nahrawan.3
3.2.
Murji’ah: Sikap Moderat dalam Menilai Dosa
Sebagai reaksi terhadap
ekstremisme Khawarij, muncul kelompok Murji’ah
yang mengambil sikap sebaliknya. Murji’ah berpendapat
bahwa seseorang tidak bisa langsung dikafirkan hanya karena melakukan dosa
besar, sebab iman seseorang adalah urusan antara dirinya dengan
Allah.4
Konsep utama yang mereka
usung adalah penundaan hukum bagi pelaku dosa besar (irjā’)
hingga Allah sendiri yang menentukan di hari kiamat. Imam
Abu Hanifah, salah satu ulama yang dianggap memiliki kedekatan
dengan pemikiran Murji’ah moderat, menekankan bahwa iman
tidak bisa diukur hanya berdasarkan amal perbuatan, tetapi lebih pada keyakinan
dalam hati.5
Kitab klasik seperti Maqalat
al-Islamiyyin karya Abu Hasan al-Asy’ari menyebutkan bahwa Murji’ah
menjadi kelompok yang berusaha menengahi antara pandangan Khawarij yang terlalu
keras dan pandangan kaum Syiah yang menekankan keutamaan Ali secara berlebihan.6
3.3.
Mu’tazilah: Rasionalisasi Teologi dan Pengaruh
Aristotelian
Dari perkembangan pemikiran
Murji’ah, muncul aliran Mu’tazilah, yang
dipelopori oleh Washil bin Atha’ (w. 131 H/748 M).
Mu’tazilah mengembangkan konsep "al-Manzilah bayna
al-Manzilatain" (posisi di antara dua posisi), yang
berarti bahwa pelaku dosa besar tidak disebut kafir
tetapi juga bukan mukmin, melainkan dalam status fasik.7
Mu’tazilah lebih jauh
mengembangkan pemikiran rasional dalam memahami sifat-sifat Allah, keadilan-Nya,
serta hubungan antara kehendak manusia dan ketetapan Allah (qadar). Salah
satu doktrin utama mereka adalah "al-Adl wa at-Tauhid" (keadilan dan
keesaan Allah), yang menegaskan bahwa manusia memiliki
kebebasan dalam perbuatannya dan Allah tidak akan berbuat zalim terhadap
hamba-Nya.8
Kitab Al-Farqu baina
al-Firaq menyebut bahwa Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh pemikiran
filsafat Yunani, terutama Aristotelianisme dalam pendekatan logika mereka
terhadap teologi.9
3.4.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah: Jalan Tengah dalam
Akidah
Sebagai respons terhadap
perpecahan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran sebelumnya, muncul pemikiran Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, yang diwakili oleh dua madzhab teologi
besar: Asy’ariyah dan Maturidiyah.
·
Asy’ariyah,
didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/935 M),
menolak ekstremitas Mu’tazilah dalam penggunaan akal, tetapi tetap memberikan
ruang bagi argumentasi rasional dalam memahami teologi Islam.10
·
Maturidiyah,
didirikan oleh Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/944 M),
menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan dalil naqli dalam memahami
agama.11
Dalam kitab Al-Ibanah,
Al-Asy’ari menjelaskan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpegang pada
jalan tengah dalam teologi, tidak mengkafirkan pelaku dosa
besar seperti Khawarij, tetapi juga tidak menggantungkan iman hanya pada
keyakinan seperti Murji’ah.12
Kesimpulan
Peristiwa Tahkim menjadi
pemicu utama munculnya aliran-aliran Kalam dalam Islam,
yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda terhadap konsep iman,
dosa besar, dan kehendak Allah.
·
Khawarij
→ Mengkafirkan pelaku dosa besar.
·
Murji’ah
→ Menunda hukum bagi pelaku dosa besar.
·
Mu’tazilah
→ Menerapkan rasionalitas dalam teologi Islam.
·
Ahlu
Sunnah wal Jama’ah → Menjembatani ekstremitas dengan pendekatan
moderat.
Perkembangan ini menunjukkan
bahwa Ilmu Kalam bukan sekadar perdebatan
akademik, tetapi memiliki akar sejarah yang erat dengan konflik
politik Islam awal.
Footnotes
[1]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 218.
[2]
Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2002), 137.
[3]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm,
2012), 312.
[4]
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 65.
[5]
Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah (Cairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1975), 58.
[6]
Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, 112.
[7]
Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 142.
[8]
Al-Juwaini, Al-Irshad ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 1950), 89.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 147.
[10]
Al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul ad-Diyanah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 76.
[11]
Abu Manshur al-Maturidi, Kitab at-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1965), 53.
[12]
Al-Asy’ari, Al-Ibanah, 89.
4.
Kajian Ulama terhadap Peristiwa Tahkim dan
Aliran Kalam
Peristiwa Tahkim
dalam Perang Shiffin (37 H/657 M) bukan hanya menciptakan perpecahan
politik, tetapi juga memicu perdebatan
teologis yang berkembang dalam Ilmu Kalam. Berbagai ulama
klasik dan pemikir Islam telah mengkaji peristiwa ini serta dampaknya terhadap
pemikiran teologi dalam Islam.
Dalam bagian ini, kita akan
melihat bagaimana ulama klasik menanggapi peristiwa ini serta bagaimana kajian
akademik dari jurnal ilmiah Islami turut menganalisisnya dalam konteks sejarah
dan perkembangan Ilmu Kalam.
4.1.
Pendapat Ulama Klasik
Sejumlah ulama klasik dari
berbagai mazhab dan periode sejarah memberikan pandangan yang beragam terkait Peristiwa
Tahkim dan implikasinya terhadap akidah Islam.
4.1.1.
Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M):
Konsep Iman dan Dosa Besar
Imam Abu Hanifah dikenal
sebagai tokoh yang menentang pandangan Khawarij
yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dalam kitab Fiqh al-Akbar, ia
menegaskan bahwa iman tidak hanya ditentukan oleh amal
perbuatan, tetapi juga oleh keyakinan dalam hati.1
Beliau juga menyatakan bahwa
keputusan dalam Peristiwa Tahkim tidak menjadikan Ali atau Mu'awiyah keluar
dari Islam, melainkan bagian dari ijtihad politik.
Hal ini menunjukkan pendekatan moderat dalam menghadapi perbedaan teologi yang
berkembang akibat konflik politik.2
4.1.2.
Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M): Sikap
Moderasi dalam Teologi Islam
Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah
dan Kitab al-Umm menjelaskan bahwa perbedaan dalam
persoalan politik tidak seharusnya menyebabkan seseorang dikafirkan.
Ia mengkritik Khawarij yang menganggap keputusan Tahkim sebagai bentuk
kekafiran, dengan menegaskan bahwa hukum Islam tidak boleh
dipaksakan berdasarkan interpretasi individu atau kelompok tertentu.3
Syafi’i juga menegaskan bahwa
dalam masalah politik dan pemerintahan, ijtihad dapat dilakukan,
dan kesalahan ijtihad tidak berarti seseorang keluar dari Islam. Pendapat ini
selaras dengan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
yang mengambil jalan tengah dalam menyikapi ekstremisme Khawarij dan Murji’ah.4
4.1.3.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1328 M):
Peran Politik dalam Perkembangan Teologi Islam
Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj
as-Sunnah an-Nabawiyyah membahas secara panjang lebar tentang Peristiwa
Tahkim dan dampaknya terhadap pemikiran Islam. Ia berpendapat
bahwa:
1)
Perselisihan
politik antara Ali dan Mu’awiyah adalah bagian dari ujian umat Islam, tetapi
tidak boleh menjadi dasar untuk mengkafirkan salah satu pihak.5
2)
Khawarij
melakukan kesalahan besar dalam memahami konsep hukum Allah,
dengan menolak arbitrase manusia meskipun Al-Qur'an sendiri mengizinkan tahkim
dalam berbagai kasus (QS. An-Nisa: 35).6
3)
Mu’tazilah
berkembang sebagai reaksi terhadap konflik politik ini, tetapi
metode rasional mereka dalam memahami agama membawa mereka ke dalam kesalahan
metodologis dalam akidah.7
Ibnu Taimiyyah juga
mengkritik Murji’ah yang dianggap
terlalu longgar dalam mendefinisikan iman, sehingga berpotensi mengabaikan
perbuatan sebagai bagian dari keimanan.8
4.1.4.
Imam Al-Asy’ari (w. 324 H/935 M):
Jalan Tengah dalam Ilmu Kalam
Sebagai pendiri teologi Asy’ariyah,
Abu Hasan Al-Asy’ari berusaha mencari jalan tengah dalam perdebatan yang muncul
akibat Peristiwa Tahkim. Dalam Maqalat
al-Islamiyyin, ia menyebut bahwa:
·
Khawarij
terlalu ekstrem dalam mengkafirkan pelaku dosa besar, sementara
Murji’ah
terlalu longgar.9
·
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berada di tengah, dengan menekankan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan
seseorang dari Islam, tetapi bisa mengurangi kadar keimanannya.10
·
Keputusan
politik tidak seharusnya dipaksakan ke dalam akidah, karena
Islam adalah agama yang luas dan memiliki berbagai pendekatan dalam memahami
hukum.11
Pendekatan ini kemudian
menjadi dasar dari teologi Sunni, yang tetap
berpegang pada wahyu tetapi tetap menggunakan akal secara moderat.
4.2.
Kajian dari Jurnal Ilmiah Islami
Sejumlah kajian akademik
modern dalam jurnal ilmiah Islam membahas dampak Peristiwa Tahkim terhadap perkembangan
Ilmu Kalam. Berikut beberapa temuan dari penelitian kontemporer:
4.2.1.
Peristiwa Tahkim dan Radikalisasi
Pemikiran Islam
Sebuah artikel dalam Journal
of Islamic Studies (2021) membahas bagaimana Khawarij
menjadi cikal bakal pemikiran radikal dalam Islam.12
Kajian ini menyatakan bahwa konsep takfir
(mengkafirkan Muslim lain) yang diusung oleh Khawarij berasal dari penolakan
mereka terhadap hasil arbitrase dalam Tahkim.
4.2.2.
Moderasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam Menghadapi Perpecahan
Jurnal Islamic Theology
Review (2020) menyebut bahwa Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berkembang sebagai respons terhadap ekstremitas Mu’tazilah dan Khawarij.13
Penelitian ini juga menegaskan bahwa konsep jalan tengah dalam
akidah menjadi faktor utama yang membuat ajaran Sunni bertahan
hingga saat ini.
4.2.3.
Hubungan antara Politik dan Teologi
dalam Sejarah Islam
Penelitian dalam International
Journal of Middle Eastern Studies (2019) menunjukkan bahwa banyak
konflik teologis dalam Islam awal sebenarnya berakar dari konflik politik.14
Dalam hal ini, Peristiwa Tahkim menjadi pemicu utama
lahirnya berbagai pemikiran dalam Ilmu Kalam.
Kesimpulan
Kajian ulama klasik dan
penelitian akademik modern menunjukkan bahwa Peristiwa Tahkim tidak
hanya berdampak pada politik Islam awal, tetapi juga membentuk aliran-aliran
besar dalam Ilmu Kalam.
·
Khawarij
→ Mengkafirkan pelaku dosa besar, menolak arbitrase manusia dalam hukum.
·
Murji’ah
→ Menunda hukum bagi pelaku dosa besar, menekankan iman sebagai keyakinan hati.
·
Mu’tazilah
→ Rasionalisasi teologi, menekankan keadilan Allah dan kebebasan manusia.
·
Ahlu
Sunnah wal Jama’ah → Jalan tengah dalam akidah, menjaga
keseimbangan antara wahyu dan akal.
Baik ulama
klasik maupun kajian akademik modern menegaskan bahwa pemahaman
yang moderat dalam menyikapi perbedaan teologi adalah kunci
dalam menjaga persatuan umat Islam.
Footnotes
[1]
Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1999), 23.
[2]
Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar, 31.
[3]
Imam Syafi’i, Ar-Risalah (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 112.
[4]
Syafi’i, Kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 201.
[5]
Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Riyadh: Dar
Ibn Hazm, 2012), 243.
[7]
Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah, 254.
[9]
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 76.
[12]
Journal of Islamic Studies
58, no. 3 (2021): 237.
[13]
Islamic Theology Review 12,
no. 1 (2020): 154.
[14]
International Journal of Middle Eastern Studies 51, no. 4 (2019): 325.
5.
Kesimpulan dan Hikmah
5.1.
Kesimpulan
Peristiwa Tahkim
dalam Perang Shiffin (37 H/657 M) merupakan salah satu
peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah Islam, bukan hanya dalam aspek
politik tetapi juga dalam perkembangan pemikiran teologi Islam. Peristiwa ini
tidak hanya membelah umat Islam ke dalam fraksi politik yang berbeda, tetapi
juga menjadi pemicu utama lahirnya perdebatan teologis
yang kelak berkembang dalam Ilmu Kalam.
Beberapa kesimpulan utama
yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1)
Peristiwa Tahkim adalah
faktor utama dalam perpecahan umat Islam yang kemudian melahirkan berbagai
aliran teologi.
(*) Keputusan arbitrase yang dilakukan
oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin al-As
mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan pendukung Ali, sehingga muncul kelompok
Khawarij, yang menjadi cikal bakal ekstremisme
dalam Islam.1
(*) Kelompok lain yang muncul sebagai
akibat dari Peristiwa Tahkim adalah Murji’ah,
yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh dikafirkan hanya karena dosa
besar, dan Mu’tazilah, yang
mengembangkan pendekatan rasional dalam teologi Islam.2
2)
Aliran-aliran Kalam
yang muncul sebagai akibat dari Peristiwa Tahkim memiliki doktrin yang beragam:
(*) Khawarij
→ Menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir dan halal darahnya.
(*) Murji’ah
→ Berpendapat bahwa iman cukup dengan keyakinan hati, sementara amal bukan
bagian dari esensi keimanan.
(*) Mu’tazilah
→ Mengembangkan konsep al-Manzilah bayna al-Manzilatain
(posisi antara iman dan kufur) serta menekankan kebebasan manusia dalam
menentukan perbuatannya.
(*) Ahlu Sunnah wal Jama’ah
→ Menawarkan jalan tengah antara ekstremitas Khawarij dan Murji’ah dengan
menekankan keseimbangan antara iman dan amal.3
3)
Pemikiran teologi Islam
awal sangat dipengaruhi oleh faktor politik.
(*) Sebagaimana dijelaskan dalam Tarikh
al-Umam wa al-Muluk karya Ibn Jarir at-Tabari,
banyak perdebatan teologis yang muncul dalam Ilmu Kalam berawal dari konflik
politik pasca wafatnya Rasulullah Saw.4
(*) Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj
as-Sunnah juga menyatakan bahwa banyak perselisihan dalam
Islam tidak hanya didasarkan pada ajaran agama, tetapi juga pada kepentingan
politik dan perebutan kekuasaan.5
4)
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah muncul sebagai respons terhadap perpecahan yang diakibatkan oleh
Peristiwa Tahkim.
(*) (*) Aliran ini
dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi,
yang mengedepankan moderasi dalam memahami
persoalan iman, amal, dan takdir.6
(*) Dalam Al-Ibanah 'an Usul
ad-Diyanah, Al-Asy’ari menegaskan bahwa iman adalah gabungan
antara keyakinan, perkataan, dan amal, serta menolak
ekstremitas dalam teologi.7
5.2.
Hikmah dan Ibrah bagi Peserta Didik
Memahami Peristiwa Tahkim dan
dampaknya terhadap pemikiran teologi Islam memberikan banyak pelajaran penting
bagi umat Islam, khususnya bagi peserta didik Madrasah Aliyah. Beberapa hikmah
yang bisa diambil dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1)
Pentingnya Moderasi
dalam Beragama
(*) Islam mengajarkan keseimbangan
antara akidah dan amal. Sikap ekstrem dalam beragama, baik dalam
bentuk takfir (mengkafirkan orang lain) atau menggampangkan urusan iman, bisa
menimbulkan perpecahan.8
(*) Dalam kitab Al-Farqu baina
al-Firaq, Abdul Qahir al-Baghdadi
menyatakan bahwa ekstremisme dalam beragama sering kali
muncul akibat kesalahpahaman terhadap teks-teks agama dan kurangnya pemahaman
historis.9
2)
Sejarah Islam Perlu
Dipahami dengan Perspektif Ilmiah
(*) Banyak peristiwa sejarah Islam
yang memiliki dampak jangka panjang terhadap akidah dan hukum Islam. Mempelajari
sejarah dengan pendekatan ilmiah dapat membantu kita memahami bagaimana
pemikiran Islam berkembang dan menghindari sikap fanatik terhadap satu golongan
tertentu.
(*) Kajian dalam International
Journal of Middle Eastern Studies menunjukkan bahwa pemahaman
sejarah Islam yang dangkal sering kali menjadi faktor utama dalam munculnya
pemikiran radikal di era modern.10
3)
Menjaga Persatuan Umat
Islam
(*) Perbedaan pendapat dalam Islam
adalah sesuatu yang wajar, namun persatuan dan ukhuwah
Islamiyah tetap harus diutamakan.
(*) Imam Syafi’i dalam Kitab
al-Umm menegaskan bahwa berbeda pendapat dalam masalah ijtihad
tidak boleh menyebabkan permusuhan, karena perbedaan itu sendiri adalah bagian
dari rahmat Allah.11
4)
Belajar dari Kesalahan
Masa Lalu
(*) Salah satu hikmah terbesar dari
Peristiwa Tahkim adalah bagaimana politik bisa mempengaruhi
akidah dan menyebabkan perpecahan yang berkelanjutan.
(*) Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah
wa an-Nihayah menyebut bahwa perselisihan di
kalangan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah akibat dari
kurangnya pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.12
Kesimpulan Akhir
Kajian terhadap Peristiwa
Tahkim dan dampaknya terhadap Ilmu Kalam menunjukkan bahwa pemikiran
teologi dalam Islam sangat dipengaruhi oleh
faktor sejarah dan politik. Dengan memahami bagaimana
aliran-aliran Kalam muncul dan berkembang, umat Islam dapat mengambil pelajaran
agar tidak terjebak dalam ekstremitas pemikiran dan
tetap berada dalam jalan moderasi sebagaimana diajarkan oleh
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sejarah telah menunjukkan
bahwa perpecahan dalam Islam sering kali
terjadi bukan karena ajaran agama itu sendiri, tetapi karena kesalahan dalam
memahami ajaran tersebut. Oleh karena itu, memahami sejarah
dengan pendekatan ilmiah dan berpegang pada prinsip wasathiyah
(moderasi) adalah kunci utama dalam menjaga keutuhan akidah dan
persatuan umat Islam.
Footnotes
[1]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 231.
[2]
Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2002), 143.
[3]
Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 94.
[4]
Ibn Jarir at-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 256.
[5]
Ibnu Taimiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Riyadh: Dar
Ibn Hazm, 2012), 310.
[6]
Abu Manshur al-Maturidi, Kitab at-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1965), 72.
[7]
Al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul ad-Diyanah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 88.
[8]
Islamic Theology Review 12,
no. 1 (2020): 178.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, 157.
[10]
International Journal of Middle Eastern Studies 51, no. 4 (2019): 327.
[11]
Imam Syafi’i, Kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 211.
[12]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Riyadh: Dar Ibn Hazm,
2012), 344.
Daftar Pustaka
Kitab Klasik dan Referensi Islam
Al-Asy’ari, A. H. (2005). Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (M. Muhyiddin, Ed.). Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Asy’ari, A. H. (1995). Al-Ibanah
‘an Usul ad-Diyanah (A. M. Harun, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Baghdadi, A. Q. (2002). Al-Farqu
baina al-Firaq (M. Badran, Ed.). Cairo: Maktabah al-Khanji.
Al-Juwaini, I. A. (1950). Al-Irshad
ila Qawathi' al-Adillah fi Usul al-I'tiqad. Cairo: Maktabah al-Khanji.
Al-Maqrizi, T. (1997). Al-Khitat
al-Maqriziyyah (M. Z. Taha, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Maturidi, A. M. (1965). Kitab
at-Tauhid. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.
At-Tabari, I. J. (1990). Tarikh
al-Umam wa al-Muluk (M. Abu al-Fadl, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu Katsir, I. U. (2012). Al-Bidayah
wa an-Nihayah (M. A. T. Dimashqi, Ed.). Riyadh: Dar Ibn Hazm.
Ibnu Taimiyyah, A. A.
(2012). Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (M. Rashid Ridha, Ed.). Riyadh:
Dar Ibn Hazm.
Imam Syafi’i. (2008). Ar-Risalah
(A. M. Shakir, Ed.). Cairo: Dar al-Hadith.
Imam Syafi’i. (2005). Kitab
al-Umm (M. A. al-Bakri, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Muhammad Abu Zahra. (1975).
Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Jurnal Ilmiah Islami
Islamic Theology Review.
(2020). Moderasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Menghadapi Perpecahan, Islamic
Theology Review, 12(1), 154–178.
International Journal of
Middle Eastern Studies. (2019). Hubungan antara Politik dan Teologi dalam
Sejarah Islam, International Journal of Middle Eastern Studies, 51(4),
325–327.
Journal of Islamic Studies.
(2021). Peristiwa Tahkim dan Radikalisasi Pemikiran Islam, Journal of
Islamic Studies, 58(3), 237–250.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar