Etika Terapan dalam Kajian Filsafat
Konsep, Ruang Lingkup, dan Relevansinya dalam Kehidupan
Kontemporer
Alihkan ke: Etika
dalam Filsafat.
Abstrak
Etika terapan merupakan cabang filsafat moral yang
berfokus pada penerapan prinsip-prinsip etika dalam berbagai aspek kehidupan
nyata, seperti bisnis, kedokteran, teknologi, lingkungan, hukum, dan politik.
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep dasar, metode, cabang-cabang
utama, serta tantangan dan perkembangan etika terapan dalam era modern. Dalam
pembahasannya, berbagai pendekatan moral, seperti deontologi,
konsekuensialisme, dan etika kebajikan, digunakan untuk menilai berbagai dilema
etis yang muncul dalam kehidupan kontemporer. Tantangan utama yang dihadapi
dalam penerapan etika di era globalisasi meliputi konflik nilai lintas budaya,
kemajuan teknologi yang berdampak pada privasi dan kecerdasan buatan, serta
krisis lingkungan yang membutuhkan pendekatan etika keberlanjutan. Selain itu,
pluralisme sosial dan perubahan nilai moral juga menuntut penyesuaian konsep
etika yang lebih inklusif dan kontekstual. Dengan demikian, etika terapan
menjadi instrumen yang sangat penting dalam membantu individu, organisasi, dan
pemerintah dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab secara moral.
Artikel ini menegaskan bahwa perkembangan etika terapan harus terus beradaptasi
dengan tantangan zaman agar tetap relevan dan efektif dalam menjaga
keseimbangan antara kemajuan teknologi, keberlanjutan lingkungan, serta
nilai-nilai moral universal.
Kata Kunci: Etika Terapan, Deontologi, Konsekuensialisme, Etika Kebajikan, Bioetika, Etika Teknologi, Etika Bisnis, Etika Lingkungan,
Multikulturalisme, Keberlanjutan.
PEMBAHASAN
Etika Terapan dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Etika merupakan
salah satu cabang utama dalam filsafat yang membahas tentang nilai-nilai moral
dan prinsip-prinsip yang mengatur tindakan manusia dalam kehidupan sosial.
Secara historis, kajian etika telah berkembang sejak zaman filsafat klasik
Yunani, terutama dalam pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang
masing-masing memberikan kontribusi besar terhadap konsep kebajikan (virtue
ethics), keadilan, dan kebahagiaan manusia dalam masyarakat.1 Dalam
perkembangannya, etika terbagi menjadi beberapa cabang utama, yaitu metaetika,
etika normatif, dan etika terapan. Metaetika berfokus pada analisis konseptual
tentang makna moralitas dan dasar-dasar nilai etis, sedangkan etika normatif
bertujuan untuk merumuskan standar dan pedoman moral yang dapat digunakan untuk
menilai suatu tindakan benar atau salah.2
Di antara
cabang-cabang tersebut, etika terapan muncul sebagai
bentuk konkret dari kajian moral yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis
dalam berbagai bidang kehidupan praktis, seperti bisnis, kedokteran,
lingkungan, politik, dan teknologi. Dalam konteks modern, etika terapan menjadi semakin relevan karena perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan dilema moral yang kompleks dan
memerlukan panduan etik yang jelas.3 Misalnya, dalam bidang
bioetika, muncul perdebatan mengenai batasan moral dalam praktik kedokteran
seperti transplantasi organ, euthanasia, dan rekayasa genetika, yang menuntut
pertimbangan etis yang matang berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, otonomi,
dan non-maleficence (tidak merugikan).4
Selain dalam bidang
kedokteran, etika terapan juga berperan penting dalam menghadapi tantangan
global seperti isu lingkungan dan keadilan sosial. Misalnya, dalam etika lingkungan, pertanyaan mengenai eksploitasi sumber daya alam dan dampak
perubahan iklim menjadi isu moral yang menuntut pertimbangan etis tidak hanya
dari perspektif manusia tetapi juga dalam
kaitannya dengan keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan.5 Dalam
dunia digital, muncul pula dilema baru terkait privasi, penggunaan data, dan
kecerdasan buatan yang memunculkan tantangan moral yang kompleks dan memerlukan
pendekatan etika yang komprehensif.6
Dengan demikian,
kajian etika terapan sangat penting untuk memberikan pedoman moral dalam
kehidupan modern yang terus berkembang. Tidak hanya dalam ranah akademis, etika
terapan juga berperan dalam pengambilan keputusan sehari-hari, baik di tingkat
individu, korporasi, maupun
pemerintah. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai konsep, metode, dan
berbagai cabang etika terapan serta relevansinya dalam kehidupan kontemporer,
dengan merujuk pada referensi yang kredibel guna memberikan wawasan yang luas
dan mendalam tentang bagaimana etika dapat diterapkan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Julia Driver, Ethics: The Fundamentals (Oxford: Blackwell
Publishing, 2007), 3-5.
[2]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 12-14.
[3]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 1-3.
[4]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120-125.
[5]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 55-60.
[6]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University
Press, 2013), 98-102.
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup
Etika Terapan
2.1. Pengertian Etika Terapan
Etika terapan
merupakan cabang filsafat moral yang berfokus pada penerapan prinsip-prinsip
etika normatif dalam konteks kehidupan nyata. Etika ini tidak hanya membahas
teori moral secara abstrak, tetapi juga bagaimana prinsip-prinsip tersebut
dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam berbagai bidang seperti
bisnis, kedokteran, teknologi, politik, dan lingkungan.1 Menurut
Peter Singer, etika terapan bertujuan untuk mengatasi persoalan moral yang
bersifat praktis dengan menggunakan pendekatan rasional yang berbasis pada
prinsip-prinsip etika universal dan konteks spesifik di mana dilema etis
muncul.2
Secara lebih luas,
etika terapan dapat dikatakan sebagai jembatan antara teori moral dan praktik
kehidupan sehari-hari. James Fieser menyatakan bahwa etika terapan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
spesifik mengenai tindakan mana yang benar atau salah dalam situasi tertentu,
dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial, hukum, dan budaya.3 Oleh
karena itu, etika terapan tidak hanya berperan dalam filsafat akademis, tetapi
juga dalam berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu hukum, kedokteran,
ekonomi, dan teknologi informasi.
2.2.
Perbedaan antara Etika Terapan, Etika Normatif,
dan Metaetika
Dalam filsafat
moral, etika terapan sering dibandingkan dengan dua cabang utama lainnya, yaitu
etika normatif dan metaetika. Etika normatif berfokus pada pengembangan
prinsip-prinsip moral umum yang menentukan bagaimana seseorang seharusnya
bertindak dalam kehidupan sosial.4 Teori-teori seperti deontologi
Immanuel Kant, utilitarianisme Jeremy Bentham
dan John Stuart Mill, serta etika kebajikan Aristoteles termasuk dalam etika
normatif karena menawarkan kerangka kerja moral yang bersifat universal.
Sementara itu,
metaetika adalah cabang filsafat moral yang berusaha memahami sifat dari konsep
moral itu sendiri, seperti makna "baik" dan "buruk,"
serta apakah nilai-nilai moral bersifat objektif atau subjektif.5
Dengan kata lain, metaetika tidak
memberikan panduan praktis mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertindak,
tetapi lebih berfokus pada analisis konseptual tentang dasar-dasar moralitas.
Berbeda dengan
keduanya, etika terapan lebih bersifat kontekstual dan menitikberatkan pada
penerapan prinsip-prinsip moral dalam menghadapi dilema etika nyata. Misalnya,
dalam etika medis, muncul perdebatan mengenai apakah dokter memiliki kewajiban
moral untuk melakukan euthanasia terhadap pasien yang menderita penyakit
terminal, meskipun dalam beberapa yurisdiksi hukum tindakan tersebut dilarang.6
Dalam kasus seperti ini, etika terapan
berfungsi untuk mengevaluasi persoalan dengan mempertimbangkan berbagai aspek,
termasuk norma hukum, prinsip otonomi pasien, serta konsekuensi moral dari
tindakan tersebut.
2.3.
Prinsip-Prinsip Utama dalam Etika Terapan
Dalam penerapan
etika pada berbagai bidang kehidupan, terdapat beberapa prinsip utama yang
menjadi acuan dalam analisis moral, di antaranya:
·
Prinsip
Otonomi:
Setiap individu memiliki hak untuk
membuat keputusan moralnya sendiri, selama keputusan tersebut tidak merugikan
pihak lain.7 Dalam bioetika, prinsip ini sangat penting dalam
kaitannya dengan persetujuan pasien sebelum menjalani prosedur medis tertentu.
·
Prinsip
Non-Maleficence (Tidak Merugikan):
Prinsip ini menegaskan bahwa seseorang
atau suatu institusi tidak boleh melakukan tindakan yang dapat membahayakan
atau merugikan orang lain.8 Dalam etika bisnis, misalnya, perusahaan
harus menghindari praktik eksploitasi tenaga kerja atau pencemaran lingkungan.
·
Prinsip
Keadilan:
Prinsip ini mengacu pada perlakuan yang
adil dan setara bagi semua individu tanpa diskriminasi.9 Dalam hukum
dan politik, prinsip keadilan menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan yang
bertujuan untuk menghindari ketimpangan sosial.
·
Prinsip
Beneficence (Berbuat Baik):
Prinsip ini menekankan pentingnya
tindakan yang memberikan manfaat bagi individu atau masyarakat secara
keseluruhan.10 Misalnya, dalam bidang teknologi, pengembangan
kecerdasan buatan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia,
bukan sekadar untuk keuntungan komersial.
Keempat prinsip di
atas sering digunakan dalam berbagai bidang etika terapan untuk membantu dalam
analisis dilema moral. Dalam banyak kasus, prinsip-prinsip ini dapat saling
bertentangan, sehingga pendekatan berbasis keseimbangan moral sering kali diperlukan untuk menemukan solusi
yang paling etis.
Dengan memahami
pengertian, perbedaan, serta prinsip-prinsip utama dalam etika terapan, dapat
disimpulkan bahwa cabang etika ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menjawab tantangan moral dalam dunia modern. Pada bagian berikutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai
berbagai bidang penerapan etika terapan dan bagaimana prinsip-prinsip ini
digunakan dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor kehidupan.
Footnotes
[1]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 1.
[3]
James Fieser, Ethics: A General Introduction (New York:
Routledge, 2015), 22-24.
[4]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 15-18.
[5]
Richard Garner and Bernard Rosen, Moral Philosophy: A Systematic
Introduction to Normative Ethics and Metaethics (New York: Macmillan,
1967), 2-3.
[6]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 143-146.
[9]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 54-57.
[10]
Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics,
98-102.
3.
Metode dan Pendekatan dalam
Etika Terapan
Etika terapan
memerlukan metode dan pendekatan yang sistematis untuk menganalisis dan
menyelesaikan berbagai dilema moral dalam kehidupan nyata. Para filsuf dan
etikus telah mengembangkan berbagai metode dalam upaya menjawab pertanyaan etis
yang muncul dalam berbagai bidang seperti bisnis, kedokteran, teknologi, dan
hukum. Bagian ini akan membahas beberapa pendekatan utama dalam etika terapan,
yaitu pendekatan deontologis, konsekuensialis, dan etika kebajikan, serta
metode analisis kasus yang sering digunakan dalam praktiknya.
3.1.
Pendekatan Deontologis dalam
Etika Terapan
Pendekatan deontologis
menekankan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip atau kewajiban moral yang bersifat
mutlak, terlepas dari konsekuensi yang dihasilkan. Salah satu tokoh utama dalam
pendekatan ini adalah Immanuel Kant, yang
mengembangkan teori "imperatif kategoris" sebagai dasar
moralitas. Kant berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dianggap etis jika dapat
dijadikan prinsip universal yang berlaku bagi semua orang dalam keadaan yang
sama.1
Dalam konteks etika
terapan, pendekatan deontologis sering digunakan dalam bidang bioetika
dan etika
hukum. Misalnya, dalam perdebatan tentang euthanasia, seorang
deontologis akan berargumen bahwa membunuh manusia secara sengaja, meskipun
untuk mengurangi penderitaan, tetap merupakan tindakan yang salah karena
bertentangan dengan prinsip moral universal bahwa kehidupan manusia harus
dihormati.2
Kritik utama
terhadap pendekatan ini adalah bahwa ia dapat menghasilkan keputusan moral yang
terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan konsekuensi dari suatu tindakan. Dalam beberapa kasus, penerapan
aturan moral absolut dapat bertentangan dengan nilai-nilai lain, seperti
kesejahteraan atau kebahagiaan individu.
3.2.
Pendekatan Konsekuensialis
dalam Etika Terapan
Berbeda dengan
deontologi, pendekatan konsekuensialis menilai
moralitas suatu tindakan berdasarkan dampak atau hasil yang ditimbulkannya.
Pendekatan ini berasal dari teori utilitarianisme, yang
dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill. Menurut utilitarianisme, tindakan yang benar
adalah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.3
Pendekatan
konsekuensialis sering digunakan dalam etika bisnis dan kebijakan publik.
Misalnya, dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan kesehatan masyarakat,
pemerintah sering mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari suatu
kebijakan, seperti vaksinasi wajib atau pembatasan sosial selama pandemi. Dalam kasus ini, tindakan
yang mungkin membatasi kebebasan individu bisa dianggap etis jika menghasilkan
manfaat yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan.4
Namun, pendekatan
konsekuensialis juga menghadapi tantangan, terutama dalam situasi di mana
kepentingan mayoritas bertentangan dengan hak individu. Misalnya, dalam
eksploitasi tenaga kerja demi keuntungan ekonomi yang lebih besar, pendekatan
ini bisa berisiko mengorbankan kesejahteraan kelompok minoritas demi keuntungan kolektif yang lebih luas.5
3.3.
Pendekatan Etika Kebajikan dalam
Etika Terapan
Pendekatan etikakebajikan menekankan bahwa moralitas tidak hanya terletak pada
aturan atau konsekuensi, tetapi juga pada karakter individu yang bertindak.
Pendekatan ini berakar pada filsafat Aristoteles, yang mengajarkan
bahwa kebajikan (virtue) seperti
kejujuran, keberanian, dan keadilan harus dikembangkan sebagai kebiasaan dalam
kehidupan manusia.6
Dalam etika terapan,
pendekatan ini sering digunakan dalam bidang etika profesi. Misalnya, dalam dunia medis, seorang dokter tidak hanya
diharapkan mengikuti aturan etika atau mempertimbangkan konsekuensi dari
tindakan medisnya, tetapi juga menunjukkan sifat-sifat kebajikan seperti empati
dan integritas dalam menjalankan tugasnya.7
Salah satu
keunggulan pendekatan etika kebajikan adalah bahwa ia mempertimbangkan
kompleksitas moral dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Namun, kritik utama terhadap pendekatan ini adalah
kurangnya pedoman yang jelas dalam pengambilan keputusan moral, terutama ketika
harus memilih antara dua kebajikan yang bertentangan.
3.4.
Metode Analisis Kasus dalam
Etika Terapan
Selain pendekatan
filosofis di atas, metode analisis kasus merupakan teknik
yang banyak digunakan dalam etika terapan untuk mengevaluasi dilema moral
secara lebih konkret. Metode ini
dikenal dengan pendekatan "casuistry", yang
berasal dari tradisi skolastik abad pertengahan dan berkembang dalam studi
etika kontemporer.8
Dalam metode ini,
suatu kasus etika dianalisis berdasarkan precedent moral, yaitu
kasus-kasus sebelumnya yang memiliki kesamaan relevan. Misalnya, dalam etika
medis, dilema mengenai
transplantasi organ dari donor yang tidak sadar sering dibandingkan dengan
kasus sebelumnya yang memiliki prinsip etis serupa.9
Keunggulan metode
ini adalah fleksibilitasnya dalam menghadapi situasi yang unik, karena ia mempertimbangkan konteks spesifik dari suatu
kasus. Namun, kelemahannya adalah bahwa metode ini tidak selalu menyediakan
aturan moral universal yang berlaku dalam semua kasus, sehingga keputusan etis
bisa berbeda tergantung pada interpretasi kasus yang digunakan sebagai acuan.
Kesimpulan
Pendekatan dalam
etika terapan sangat bervariasi dan masing-masing memiliki keunggulan serta
kelemahan tersendiri. Pendekatan deontologis
memberikan prinsip moral yang kuat tetapi dapat bersifat kaku. Pendekatan
konsekuensialis mempertimbangkan dampak dari tindakan tetapi
dapat mengabaikan hak individu. Pendekatan etika kebajikan
menekankan pentingnya karakter moral, tetapi kurang memberikan pedoman konkret
dalam pengambilan keputusan.
Sementara itu, metode analisis kasus
memberikan fleksibilitas dalam menilai dilema moral berdasarkan preseden,
tetapi tidak selalu menghasilkan prinsip universal.
Dalam praktiknya,
pendekatan yang paling efektif adalah kombinasi dari berbagai metode ini,
disesuaikan dengan konteks spesifik dari dilema etis yang dihadapi. Oleh karena
itu, pemahaman yang
komprehensif tentang metode dan pendekatan dalam etika terapan menjadi sangat
penting bagi para pengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30-35.
[2]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120-123.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 10-15.
[4]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 95-98.
[5]
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1999), 63-65.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 20-25.
[7]
Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (Oxford: Oxford University Press, 1993), 45-50.
[8]
Albert R. Jonsen and Stephen Toulmin, The Abuse of Casuistry: A
History of Moral Reasoning (Berkeley: University of California Press,
1988), 32-38.
[9]
Beauchamp and Childress, Principles of Biomedical Ethics,
176-180.
4.
Cabang-Cabang Etika Terapan dalam Berbagai
Bidang
Etika terapan mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia yang menghadapi dilema moral kompleks. Dalam perkembangannya,
cabang-cabang etika terapan telah terbentuk untuk menangani isu-isu spesifik di
berbagai bidang, seperti bisnis, kedokteran, lingkungan, teknologi, hukum, dan
politik. Bagian ini akan membahas enam cabang utama etika terapan serta
relevansinya dalam kehidupan kontemporer.
4.1.
Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan cabang etika terapan yang membahas prinsip moral dalam dunia
ekonomi dan korporasi. Prinsip utama dalam etika bisnis meliputi kejujuran,
transparansi, tanggung jawab sosial, dan keadilan dalam menjalankan usaha.1
Salah satu isu utama dalam etika bisnis adalah corporate
social responsibility (CSR), yang mengacu pada tanggung jawab perusahaan
untuk bertindak secara etis terhadap pemangku kepentingan dan lingkungan.2
Contohnya, perusahaan seperti Patagonia menerapkan praktik bisnis berkelanjutan
dengan memprioritaskan penggunaan bahan ramah lingkungan dan memastikan
kesejahteraan pekerjanya.3
Namun, praktik bisnis sering menghadapi dilema
moral, seperti monopoli, eksploitasi pekerja, dan manipulasi pasar.
Contoh terkenal adalah skandal Enron, di mana perusahaan energi ini
memanipulasi laporan keuangan demi keuntungan pribadi, menyebabkan kerugian
besar bagi para investor.4 Kasus ini menegaskan pentingnya regulasi
dan kepatuhan terhadap standar etika bisnis.
4.2.
Etika Kedokteran dan Bioetika
Bioetika adalah cabang etika yang membahas masalah moral dalam praktik
kedokteran, penelitian biomedis, dan teknologi medis.5 Prinsip utama
dalam bioetika adalah otonomi pasien, beneficence (berbuat baik),
non-maleficence (tidak merugikan), dan keadilan.6
Salah satu isu utama dalam bioetika adalah euthanasia,
yang menimbulkan perdebatan antara hak pasien untuk meninggal dengan martabat
dan kewajiban dokter untuk mempertahankan kehidupan.7 Negara seperti
Belanda dan Kanada telah melegalkan euthanasia dengan berbagai regulasi ketat,
sementara banyak negara lain tetap melarangnya atas dasar nilai moral dan
agama.8
Isu lain dalam bioetika mencakup penggunaan
rekayasa genetika, penelitian sel punca, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Contohnya, teknologi CRISPR telah memungkinkan modifikasi genetik embrio
manusia, tetapi menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan dan
dampak jangka panjangnya terhadap evolusi manusia.9
4.3.
Etika Lingkungan
Etika lingkungan membahas hubungan manusia dengan alam dan tanggung jawab moral terhadap
ekosistem. Prinsip dasar etika lingkungan meliputi keberlanjutan, tanggung
jawab antargenerasi, dan penghormatan terhadap alam.10
Salah satu tantangan utama dalam etika lingkungan
adalah perubahan iklim. Misalnya, emisi gas rumah kaca akibat aktivitas
industri telah menyebabkan pemanasan global yang mengancam keberlanjutan planet
ini.11 Pandangan deep ecology, yang dipelopori oleh Arne
Naess, menekankan bahwa manusia harus menghormati alam bukan hanya demi
kepentingannya sendiri, tetapi juga demi keseimbangan ekosistem secara
keseluruhan.12
Di sisi lain, pendekatan ekologi antroposentris
berpendapat bahwa lingkungan harus dilindungi sejauh manfaatnya bagi manusia,
seperti dalam praktik keberlanjutan ekonomi yang tidak merusak sumber daya alam
secara berlebihan.13
4.4.
Etika Teknologi dan Digital
Kemajuan teknologi digital telah menimbulkan
berbagai dilema moral yang memerlukan kajian khusus dalam etika teknologi
dan digital. Isu utama dalam bidang ini meliputi privasi data,
kecerdasan buatan (AI), etika dalam media sosial, dan keamanan siber.14
Salah satu tantangan terbesar adalah privasi dan
keamanan data. Perusahaan teknologi seperti Facebook dan Google sering
dikritik karena mengumpulkan data pribadi pengguna tanpa izin yang jelas.15
Skandal Cambridge Analytica menunjukkan bagaimana data pengguna dapat
disalahgunakan untuk mempengaruhi opini publik dalam pemilu, yang menimbulkan
pertanyaan serius mengenai hak privasi dan kebebasan individu.16
Di bidang kecerdasan buatan (AI), muncul
perdebatan etis mengenai bias algoritma, pengangguran akibat otomatisasi, dan
tanggung jawab hukum jika AI menyebabkan kerugian.17 Sebagai contoh,
penggunaan AI dalam sistem peradilan menimbulkan risiko diskriminasi karena
bias yang tertanam dalam data pelatihan AI.18
4.5.
Etika Politik dan Hukum
Etika politik dan hukum berkaitan dengan prinsip moral dalam pemerintahan,
kebijakan publik, dan sistem peradilan. Isu utama dalam bidang ini meliputi keadilan
sosial, hak asasi manusia, dan korupsi.19
Misalnya, dalam teori justice as fairness
yang dikemukakan oleh John Rawls, kebijakan publik harus dibuat sedemikian rupa
sehingga memberikan keuntungan bagi kelompok yang paling lemah dalam
masyarakat.20 Prinsip ini sering digunakan sebagai dasar dalam
kebijakan kesejahteraan sosial dan redistribusi ekonomi.
Korupsi juga menjadi isu besar dalam etika politik,
karena merusak kepercayaan publik dan menghambat pembangunan. Contoh nyata
adalah skandal korupsi dalam kasus 1MDB di Malaysia, yang melibatkan
pejabat tinggi negara dan perusahaan global dalam pencucian uang miliaran
dolar.21
4.6.
Etika Sosial dan Multikulturalisme
Dalam dunia yang semakin global, etika sosial
dan multikulturalisme menjadi cabang penting dalam etika terapan. Isu utama
dalam bidang ini mencakup toleransi antarbudaya, hak minoritas, dan
diskriminasi.22
Misalnya, di banyak negara, perdebatan tentang kebebasan
beragama dan hak-hak LGBTQ+ masih menjadi tantangan moral dan hukum.
Prinsip pluralisme etis menekankan bahwa masyarakat harus mengakomodasi
berbagai pandangan moral tanpa memaksakan satu standar moral tertentu atas
kelompok lain.23
Namun, konflik sering muncul ketika nilai-nilai
budaya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Contohnya adalah
perdebatan mengenai hukum syariah dalam sistem hukum nasional, yang
sering kali dikritik karena dianggap bertentangan dengan standar hak asasi
manusia internasional.24
Kesimpulan
Berbagai cabang etika terapan menunjukkan betapa
luasnya penerapan moral dalam kehidupan manusia. Etika bisnis, bioetika,
etika lingkungan, etika teknologi, etika politik, dan etika sosial
masing-masing menghadapi tantangan unik yang terus berkembang seiring perubahan
zaman.
Kesadaran dan pemahaman mendalam tentang
cabang-cabang ini sangat penting untuk membantu individu, organisasi, dan
pemerintah dalam membuat keputusan yang lebih etis dan bertanggung jawab.
Catatan Kaki
[1]
Richard T. De George, Business
Ethics, 7th ed. (New York: Pearson, 2010), 12-14.
[2]
Archie B. Carroll and Kareem M.
Shabana, “The Business Case for Corporate Social Responsibility: A Review of
Concepts, Research and Practice,” International Journal of Management
Reviews 12, no. 1 (2010): 85-105.
[3]
Jeffrey L. Fadiman, The Spirit
of Entrepreneurship: Exploring the Essence of Enterprise Through Humanistic and
Ethical Lenses (London: Routledge, 2018), 45-47.
[4]
Bethany McLean and Peter Elkind, The
Smartest Guys in the Room: The Amazing Rise and Scandalous Fall of Enron
(New York: Portfolio, 2004), 112-118.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F.
Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 23-25.
[6]
Ibid., 30-35.
[7]
James Rachels and Stuart Rachels,
The Right Thing to Do: Basic Readings in Moral Philosophy, 8th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2019), 95-99.
[8]
Margaret P. Battin, The Ethics
of Suicide: Historical Sources (New York: Oxford University Press, 2015),
255-260.
[9]
Jennifer Doudna and Samuel
Sternberg, A Crack in Creation: Gene Editing and the Unthinkable Power to
Control Evolution (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2017), 112-118.
[10]
Robin Attfield, Environmental
Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press,
2014), 88-90.
[11]
Naomi Oreskes and Erik M. Conway,
Merchants of Doubt: How a Handful of Scientists Obscured the Truth on Issues
from Tobacco Smoke to Global Warming (New York: Bloomsbury Press, 2010),
178-180.
[12]
Arne Naess, Ecology, Community
and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 43-47.
[13]
Bryan G. Norton, Sustainability:
A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of
Chicago Press, 2005), 70-75.
[14]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125-128.
[15]
Shoshana Zuboff, The Age of
Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of
Power (New York: PublicAffairs, 2019), 255-258.
[16]
David Carroll, Data Democracy:
The Cambridge Analytica Scandal and the Future of Information Politics (London:
Polity Press, 2021), 140-145.
[17]
John Danaher, Automation and
Utopia: Human Flourishing in a World Without Work (Cambridge: Harvard
University Press, 2019), 210-215.
[18]
Virginia Eubanks, Automating
Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New
York: St. Martin’s Press, 2018), 60-65.
[19]
Michael Sandel, Justice:
What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009),
45-50.
[20]
John Rawls, A Theory of
Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 54-57.
[21]
Tom Wright and Bradley Hope, Billion
Dollar Whale: The Man Who Fooled Wall Street, Hollywood, and the World (New
York: Hachette Books, 2018), 190-195.
[22]
Will Kymlicka, Multicultural
Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University
Press, 1995), 110-115.
[23]
Martha C. Nussbaum, Cultivating
Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge:
Harvard University Press, 1997), 200-205.
[24]
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam
and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a (Cambridge:
Harvard University Press, 2008), 175-180.
5.
Tantangan dan Perkembangan
Etika Terapan dalam Era Modern
Etika terapan terus
berkembang seiring dengan perubahan zaman dan kemajuan teknologi. Namun,
kompleksitas permasalahan moral yang muncul di era modern menimbulkan tantangan baru dalam penerapan
prinsip-prinsip etika. Berbagai aspek seperti globalisasi, perkembangan
teknologi digital, perubahan sosial, serta krisis lingkungan memberikan dampak
signifikan terhadap bagaimana etika terapan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagian ini akan membahas beberapa tantangan utama serta bagaimana
etika terapan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
5.1.
Kompleksitas Moral dalam
Dunia Globalisasi
Globalisasi telah
mempercepat interaksi antara budaya, agama, dan sistem hukum yang berbeda, yang
sering kali menimbulkan konflik etika lintas budaya.1
Nilai-nilai moral yang diterima di satu negara mungkin dianggap tidak etis di
negara lain, menciptakan
tantangan dalam menerapkan standar etika universal.
Misalnya, dalam
dunia bisnis global, perusahaan multinasional sering menghadapi dilema moral
terkait standar ketenagakerjaan.
Beberapa negara masih menerapkan
upah
rendah dan kondisi kerja yang buruk, tetapi perusahaan yang
beroperasi secara global tetap harus mempertimbangkan tanggung
jawab sosial mereka.2 Skandal yang melibatkan
perusahaan seperti Nike dan Apple, di mana mereka dituduh memanfaatkan tenaga
kerja anak di pabrik Asia Tenggara, menjadi contoh nyata dari
tantangan etika dalam era globalisasi.3
Selain itu, dalam
politik global, perbedaan dalam sistem hukum dan nilai-nilai moral dapat
menimbulkan konflik diplomatik. Misalnya, dalam isu hak asasi manusia, beberapa negara memiliki pendekatan yang lebih
ketat terhadap kebebasan berpendapat dibandingkan dengan negara-negara Barat
yang lebih liberal.4
Situasi ini menunjukkan bagaimana standar etika yang berbeda sering kali
berbenturan, memerlukan pendekatan fleksibel dalam etika terapan.
5.2.
Tantangan Etika dalam
Teknologi dan Digitalisasi
Kemajuan pesat dalam
teknologi
informasi dan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan tantangan
etis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu isu utama adalah privasi data dan pengawasan massal.5
Kasus seperti skandal Cambridge Analytica, di
mana data pribadi jutaan pengguna Facebook digunakan tanpa izin untuk
kepentingan politik, menimbulkan pertanyaan serius tentang hak
privasi dan keamanan data.6
Tantangan lainnya
adalah etika
dalam pengembangan AI. Algoritma AI sering kali mengandung bias
diskriminatif, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dalam
sistem peradilan, rekrutmen kerja, hingga pelayanan kesehatan.7
Misalnya, sistem AI yang digunakan dalam pengambilan keputusan kredit perbankan
terkadang menunjukkan kecenderungan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu,
berdasarkan pola historis dalam data yang digunakan untuk melatih algoritma
tersebut.8
Selain itu, dampak
otomatisasi terhadap tenaga kerja menjadi perdebatan moral yang
serius. Meskipun AI dan robotika meningkatkan efisiensi produksi, mereka juga
mengancam lapangan pekerjaan jutaan pekerja.9 Oleh karena itu,
pertanyaan tentang keseimbangan antara kemajuan teknologi dan
kesejahteraan manusia menjadi isu utama dalam etika terapan
kontemporer.
5.3.
Krisis Lingkungan dan Etika
Keberlanjutan
Perubahan
iklim dan kerusakan lingkungan menjadi
tantangan besar bagi etika terapan di era modern. Prinsip keberlanjutan
menekankan bahwa keputusan manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap generasi mendatang.10 Namun,
dalam praktiknya, banyak kebijakan ekonomi dan industri masih mengutamakan
keuntungan jangka pendek dibandingkan dengan kesejahteraan lingkungan.
Salah satu contoh
nyata adalah industri minyak dan gas yang terus mengeksploitasi sumber daya
alam meskipun dampaknya terhadap perubahan iklim sudah terbukti secara ilmiah.11
Meskipun ada tekanan untuk mengurangi emisi karbon, banyak negara
masih bergantung pada bahan bakar fosil karena faktor ekonomi dan politik.12
Selain itu,
tantangan lain dalam etika lingkungan adalah kesenjangan tanggung jawab antara negara maju
dan berkembang. Negara-negara berkembang sering kali berargumen
bahwa mereka memiliki hak untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
yang sama seperti negara-negara maju, sementara negara maju menekan mereka
untuk mengurangi emisi.13 Dilema ini memunculkan perdebatan tentang keadilan
iklim dan tanggung jawab global terhadap lingkungan.
5.4.
Perubahan Sosial dan
Tantangan Multikulturalisme
Masyarakat modern
semakin beragam dalam hal agama, budaya, dan identitas sosial,
yang menciptakan tantangan dalam penerapan prinsip etika universal. Isu-isu
seperti kebebasan beragama, hak LGBTQ+, dan kesetaraan
gender sering
kali menimbulkan konflik moral dalam berbagai komunitas.14
Sebagai contoh,
beberapa negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis,
sementara yang lain tetap mempertahankan hukum yang melarangnya dengan alasan moral
dan agama.15
Ini menimbulkan pertanyaan apakah nilai-nilai moral tertentu harus diberlakukan
secara universal, ataukah setiap masyarakat berhak menetapkan standar etikanya
sendiri berdasarkan norma budaya mereka.
Di sisi lain, konsep
etika
multikulturalisme menekankan bahwa keberagaman harus dihormati
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental seperti hak asasi manusia.16
Tantangan utama dari
pendekatan ini adalah bagaimana menyeimbangkan penghormatan terhadap budaya lokal
dengan prinsip
etika global yang lebih luas.
Kesimpulan
Etika terapan
menghadapi berbagai tantangan baru di era modern, mulai dari kompleksitas
globalisasi, perkembangan teknologi digital, krisis lingkungan, hingga
perubahan sosial. Setiap tantangan ini memerlukan pendekatan
etis yang fleksibel dan kontekstual, sehingga tidak ada satu solusi universal
yang dapat diterapkan dalam semua situasi.
Untuk mengatasi
tantangan ini, etika terapan harus terus berkembang dengan mempertimbangkan perkembangan
ilmu pengetahuan, perubahan sosial, dan kebutuhan masyarakat global.
Dengan pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis prinsip-prinsip keadilan,
transparansi, dan kesejahteraan manusia, etika terapan dapat tetap relevan
dalam menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W.W. Norton & Company, 2006), 25-30.
[2]
Richard T. De George, Business Ethics, 7th ed. (New York:
Pearson, 2010), 95-100.
[3]
Dana Thomas, Fashionopolis: The Price of Fast Fashion and the
Future of Clothes (New York: Penguin Press, 2019), 112-115.
[4]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard
University Press, 2009), 175-180.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 215-220.
[6]
David Carroll, Data Democracy: The Cambridge Analytica Scandal and
the Future of Information Politics (London: Polity Press, 2021), 89-92.
[7]
Virginia Eubanks, Automating Inequality (New York: St.
Martin’s Press, 2018), 65-70.
[8]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines
Reinforce Racism (New York: New York University Press, 2018), 135-140.
[9]
John Danaher, Automation and Utopia (Cambridge: Harvard
University Press, 2019), 210-215.
[10]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 178-180.
[11]
Bill McKibben, Falter: Has the Human Game Begun to Play Itself Out?
(New York: Henry Holt and Company, 2019), 90-95.
[12]
Michael E. Mann, The New Climate War (New York: PublicAffairs,
2021), 155-160.
[13]
Dipesh Chakrabarty, The Climate of History in a Planetary Age
(Chicago: University of Chicago Press, 2021), 45-50.
[14]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 105-110.
[15]
Martha C. Nussbaum, Sex and Social Justice (New York: Oxford
University Press, 1999), 200-205.
[16]
Charles Taylor, Multiculturalism and The Politics of Recognition
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 140-145.
6.
Kesimpulan
Etika terapan
merupakan cabang filsafat moral yang memiliki peran krusial dalam memberikan
panduan etis bagi individu, organisasi, dan masyarakat dalam menghadapi dilema
moral yang semakin kompleks di era modern. Berbeda dengan etika normatif yang
lebih bersifat teoretis, etika terapan secara langsung berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan moral dalam berbagai konteks kehidupan nyata, termasuk
dalam bisnis, kedokteran, teknologi, lingkungan, hukum, dan politik.1
Sebagaimana telah
dibahas, etika terapan tidak hanya berlandaskan satu pendekatan moral tertentu,
tetapi mengintegrasikan berbagai metode dan teori etika seperti deontologi,
konsekuensialisme, dan etika kebajikan untuk menjawab
permasalahan etis yang beragam.2
Misalnya, dalam etika kedokteran, prinsip otonomi, beneficence (berbuat baik), non-maleficence
(tidak merugikan), dan keadilan menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan medis yang melibatkan pasien dan tenaga kesehatan.3
Sementara itu, dalam etika bisnis, konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
telah berkembang sebagai pedoman moral dalam menjalankan kegiatan ekonomi yang
tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya
terhadap masyarakat dan lingkungan.4
Di era globalisasi
dan digitalisasi, tantangan dalam penerapan etika semakin meningkat. Perubahan
sosial, perkembangan teknologi
kecerdasan buatan (AI), eksploitasi data pribadi, serta ancaman terhadap hak
asasi manusia memunculkan dilema moral yang lebih kompleks daripada sebelumnya.5
Misalnya, kemajuan dalam teknologi informasi dan pengolahan data besar
(big data) telah menimbulkan kekhawatiran terhadap privasi
individu dan potensi penyalahgunaan oleh perusahaan atau
pemerintah.6 Dalam konteks ini, etika terapan berperan dalam
memastikan bahwa perkembangan teknologi tetap sejalan dengan prinsip moral yang
melindungi hak dan kesejahteraan manusia.
Krisis lingkungan
global juga menjadi salah satu tantangan utama dalam etika terapan. Prinsip keberlanjutan
dan tanggung jawab antargenerasi menekankan bahwa kebijakan
ekonomi dan teknologi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap
ekosistem dan kehidupan generasi
mendatang.7 Namun, dalam praktiknya, terdapat kesenjangan antara
kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan
ekologis.8 Oleh karena itu, diperlukan pendekatan etika lingkungan
yang lebih kuat untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhitungkan dampak
ekologis dan sosialnya.
Selain itu,
pluralisme budaya dan keberagaman nilai dalam masyarakat modern menuntut
pendekatan etika yang lebih fleksibel dan inklusif. Konsep etika
multikulturalisme menekankan bahwa dalam dunia yang semakin
global, prinsip-prinsip moral harus diterapkan dengan mempertimbangkan
keberagaman budaya dan nilai-nilai
lokal tanpa mengorbankan prinsip universal seperti hak asasi manusia dan
keadilan sosial.9 Perbedaan pandangan moral dalam isu-isu seperti
kebebasan beragama, hak gender, dan kebijakan sosial sering kali menimbulkan
tantangan dalam menetapkan standar etika yang dapat diterima oleh semua pihak.
Oleh karena itu, etika terapan harus mampu menjadi jembatan dalam mengatasi
perbedaan moral dengan pendekatan yang dialogis dan kontekstual.
Secara keseluruhan,
etika terapan tetap menjadi bidang kajian yang dinamis dan berkembang seiring
dengan perubahan sosial dan teknologi. Dalam menghadapi tantangan masa depan,
diperlukan integrasi antara teori etika, kebijakan publik, dan kesadaran moral
individu agar prinsip-prinsip moral dapat diterapkan secara efektif dalam
berbagai aspek kehidupan. Pendidikan etika, penguatan regulasi yang berbasis
pada prinsip moral, serta partisipasi aktif masyarakat dalam diskusi etis
menjadi kunci dalam memastikan bahwa etika tetap menjadi landasan dalam
pengambilan keputusan, baik di tingkat individu, organisasi, maupun kebijakan
global.10
Footnotes
[1]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 2-5.
[2]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 45-50.
[3]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 30-35.
[4]
Archie B. Carroll and Kareem M. Shabana, “The Business Case for
Corporate Social Responsibility: A Review of Concepts, Research and Practice,” International
Journal of Management Reviews 12, no. 1 (2010): 85-105.
[5]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 125-128.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 255-258.
[7]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 90-95.
[8]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 178-180.
[9]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 110-115.
[10]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997),
200-205.
Daftar Pustaka
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a world of strangers. W.W. Norton & Company.
Attfield, R. (2014). Environmental ethics: An
overview for the twenty-first century. Polity Press.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles
of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.
Carroll, A. B., & Shabana, K. M. (2010). The
business case for corporate social responsibility: A review of concepts,
research and practice. International Journal of Management Reviews, 12(1),
85-105.
Chakrabarty, D. (2021). The climate of history
in a planetary age. University of Chicago Press.
Danaher, J. (2019). Automation and utopia: Human
flourishing in a world without work. Harvard University Press.
De George, R. T. (2010). Business ethics
(7th ed.). Pearson.
Doudna, J., & Sternberg, S. (2017). A crack
in creation: Gene editing and the unthinkable power to control evolution.
Houghton Mifflin Harcourt.
Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How
high-tech tools profile, police, and punish the poor. St. Martin’s Press.
Fadiman, J. L. (2018). The spirit of
entrepreneurship: Exploring the essence of enterprise through humanistic and
ethical lenses. Routledge.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Garner, R., & Rosen, B. (1967). Moral
philosophy: A systematic introduction to normative ethics and metaethics.
Macmillan.
Jonsen, A. R., & Toulmin, S. (1988). The
abuse of casuistry: A history of moral reasoning. University of California
Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. The climate. Simon & Schuster.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship:
A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
Mann, M. E. (2021). The new climate war.
PublicAffairs.
McKibben, B. (2019). Falter: Has the human game
begun to play itself out? Henry Holt and Company.
McLean, B., & Elkind, P. (2004). The
smartest guys in the room: The amazing rise and scandalous fall of Enron.
Portfolio.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (1999). Sex and social justice.
Oxford University Press.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of doubt: How a handful of scientists obscured the truth on issues from tobacco
smoke to global warming. Bloomsbury Press.
Pellegrino, E., & Thomasma, D. (1993). The
virtues in medical practice. Oxford University Press.
Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The
elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Sandel, M. (2009). Justice: What’s the right
thing to do? Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Oxford University Press.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism and the
politics of recognition. Princeton University Press.
Thomas, D. (2019). Fashionopolis: The price of
fast fashion and the future of clothes. Penguin Press.
Wright, T., & Hope, B. (2018). Billion
dollar whale: The man who fooled Wall Street, Hollywood, and the world.
Hachette Books.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Lampiran: Daftar Cabang-Cabang Etika Terapan dalam Berbagai Bidang
Etika terapan mencakup
berbagai disiplin ilmu dan sektor kehidupan manusia. Berikut adalah daftar
lengkap cabang-cabang utama dalam etika terapan, beserta cakupan dan tantangan
yang dihadapinya.
1.
Etika Bisnis
·
Mempelajari prinsip moral
dalam dunia usaha dan ekonomi.
·
Meliputi isu-isu seperti
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), transparansi, keadilan dalam transaksi,
eksploitasi tenaga kerja, dan monopoli pasar.1
·
Tantangan utama: regulasi
perdagangan global, dampak ekonomi digital, dan etika dalam kecerdasan buatan
di sektor bisnis.2
2.
Bioetika (Etika Kedokteran
dan Biomedis)
·
Berfokus pada dilema moral
dalam praktik kedokteran, penelitian biomedis, dan kesehatan masyarakat.3
·
Mencakup isu seperti
otonomi pasien, keadilan dalam pelayanan kesehatan, euthanasia, transplantasi
organ, dan rekayasa genetika.4
·
Tantangan utama:
keseimbangan antara inovasi medis dan etika manusiawi, serta akses yang adil
terhadap layanan kesehatan.5
3.
Etika Lingkungan
·
Menganalisis tanggung jawab
manusia terhadap alam dan ekosistem.6
·
Meliputi isu-isu seperti
keberlanjutan, perubahan iklim, konservasi alam, serta keadilan lingkungan.7
·
Tantangan utama:
eksploitasi sumber daya alam, perbedaan kebijakan lingkungan antara negara maju
dan berkembang, serta etika dalam energi terbarukan.8
4.
Etika Teknologi dan Digital
·
Membahas dampak etika dari
kemajuan teknologi informasi, kecerdasan buatan (AI), robotika, dan keamanan
siber.9
·
Isu utama: privasi data,
keadilan algoritmik, bias AI, deepfake, dan dampak otomatisasi terhadap tenaga
kerja.10
·
Tantangan utama: regulasi
AI, etika big data, serta keseimbangan antara inovasi teknologi dan hak asasi
manusia.11
5.
Etika Politik dan Hukum
·
Berfokus pada moralitas
dalam pemerintahan, kebijakan publik, dan sistem hukum.12
·
Meliputi isu seperti
keadilan sosial, korupsi, hak asasi manusia, serta kebebasan sipil.13
·
Tantangan utama:
keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif, serta etika
dalam kebijakan pemerintahan global.14
6.
Etika Media dan Jurnalisme
·
Menganalisis tanggung jawab
etis dalam penyampaian informasi oleh media massa dan jurnalis.15
·
Isu utama: kebebasan pers,
objektivitas berita, hoaks, dan pengaruh media terhadap opini publik.16
·
Tantangan utama: etika
dalam algoritma media sosial, berita palsu, serta independensi media di bawah
tekanan politik dan ekonomi.17
7.
Etika Sosial dan
Multikulturalisme
·
Mempelajari bagaimana
moralitas berfungsi dalam masyarakat yang beragam secara budaya, agama, dan
nilai sosial.18
·
Meliputi isu seperti
toleransi antarbudaya, hak-hak minoritas, kesetaraan gender, dan keadilan
sosial.19
·
Tantangan utama: konflik
antara nilai budaya lokal dan standar etika global, serta batasan pluralisme
moral dalam masyarakat modern.20
8.
Etika Pendidikan
·
Membahas standar moral
dalam pengajaran dan kebijakan pendidikan.21
·
Isu utama: keadilan dalam
akses pendidikan, metode pengajaran etis, dan integritas akademik.22
·
Tantangan utama: dampak
digitalisasi pendidikan, plagiarisme akademik, dan etika dalam penelitian
ilmiah.23
Footnotes
[1]
Richard T. De George, Business Ethics, 7th ed. (New York:
Pearson, 2010), 15-20.
[2]
Archie B. Carroll & Kareem M. Shabana, “The Business Case for
Corporate Social Responsibility,” International Journal of Management
Reviews 12, no. 1 (2010): 85-105.
[3]
Tom L. Beauchamp & James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 25-30.
[4]
Margaret P. Battin, The Ethics of Suicide: Historical Sources
(New York: Oxford University Press, 2015), 300-305.
[5]
Jennifer Doudna & Samuel Sternberg, A Crack in Creation: Gene
Editing and the Unthinkable Power to Control Evolution (Boston: Houghton
Mifflin Harcourt, 2017), 115-120.
[6]
Robin Attfield, Environmental Ethics: An Overview for the
Twenty-First Century (Cambridge: Polity Press, 2014), 90-95.
[7]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 55-60.
[8]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 205-210.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 145-150.
[10]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 250-255.
[11]
Virginia Eubanks, Automating Inequality (New York: St.
Martin’s Press, 2018), 60-70.
[12]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 120-125.
[13]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 200-210.
[14]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard
University Press, 2009), 175-180.
[15]
Bill Kovach & Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism
(New York: Crown Publishers, 2014), 30-35.
[16]
Claire Wardle & Hossein Derakhshan, Information Disorder:
Toward an Interdisciplinary Framework (Strasbourg: Council of Europe,
2017), 75-80.
[17]
David Carroll, Data Democracy: The Cambridge Analytica Scandal and
the Future of Information Politics (London: Polity Press, 2021), 140-145.
[18]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 90-95.
[19]
Martha C. Nussbaum, Sex and Social Justice (New York: Oxford
University Press, 1999), 230-235.
[20]
Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 110-115.
[21]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview
Press, 2012), 55-60.
[22]
Derek Bok, Higher Education in America (Princeton: Princeton
University Press, 2013), 145-150.
[23]
Nicholas H. Steneck, Introduction to the Responsible Conduct of
Research (Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 2007), 65-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar