Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam
Dinamika Pemikiran Teologis dalam Islam
Alihkan ke: Ilmu
Kalam, Aliran-Aliran
Ilmu Kalam, Ilmu
Kalam Sunni, Relasi
Antara Aliran Ilmu Kalam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
komprehensif sejarah perkembangan Ilmu Kalam dan dinamika pemikiran teologis dalam Islam. Pendekatan yang digunakan bersifat kronologis, dimulai dari masa
awal perdebatan teologis di kalangan Sahabat dan Tabi’in, yang kemudian
berkembang melalui munculnya aliran-aliran awal seperti Qadariyah dan
Jabariyah. Selanjutnya, artikel membahas masa klasik yang ditandai dengan
konsolidasi pemikiran melalui aliran-aliran utama —Mu’tazilah, Asy‘ariyah, dan
Maturidiyah— serta peran penting para ulama dalam mengintegrasikan metode
rasional dan wahyu. Masa pertengahan ditandai dengan sintesis antara filsafat
Yunani dan Kalam, yang menghasilkan kontribusi signifikan dari tokoh-tokoh
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, meskipun kemudian
menuai kritik dari kalangan tradisionalis dan tasawuf. Di era modern, artikel
ini menyoroti upaya reformasi pemikiran Islam oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad
Abduh dan Jamal al-Afghani, serta dinamika diskursus kontemporer yang
menghadapi tantangan sekularisme, pluralisme, dan globalisasi. Melalui tinjauan
kritis terhadap perkembangan historis dan metodologis, artikel ini menyimpulkan
bahwa meskipun Ilmu Kalam telah mengalami berbagai transformasi dan kritik, ia
tetap menjadi fondasi penting dalam pembentukan kerangka teologis Islam yang
adaptif terhadap dinamika zaman.
Kata Kunci:
Ilmu Kalam, Pemikiran Teologis, Sejarah Islam, Mu’tazilah, Asy‘ariyah, Filsafat
Islam, Modernitas, Reformasi Islam.
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas
persoalan-persoalan teologi Islam dengan pendekatan rasional dan argumentatif.
Secara etimologis, istilah kalam berasal dari kata Arab كلام yang berarti
"perkataan" atau "pembicaraan," karena salah
satu topik utama dalam ilmu ini adalah perdebatan seputar firman Allah
(kalamullah) dan sifat-sifat-Nya. Dalam konteks terminologis, Ilmu Kalam
didefinisikan sebagai ilmu yang membahas akidah Islam dengan metode logis dan
argumentatif untuk meneguhkan keyakinan serta membantah pandangan yang
menyimpang dari ajaran Islam ortodoks.¹
Salah satu definisi klasik tentang Ilmu Kalam
dikemukakan oleh al-Jurjani dalam at-Ta‘rifat, di mana ia menyatakan
bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas akidah dengan dalil-dalil rasional
untuk menguatkan keimanan.² Sementara itu, al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi
al-I‘tiqad menjelaskan bahwa Ilmu Kalam bertujuan untuk membela akidah
Islam dari penyimpangan serta menyanggah berbagai pemikiran yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam.³
1.2. Pentingnya Ilmu Kalam dalam Tradisi Keilmuan Islam
Ilmu Kalam memiliki posisi yang penting dalam
sejarah intelektual Islam karena berperan dalam membangun fondasi teologis yang
kuat bagi umat Islam. Perkembangan Ilmu Kalam tidak dapat dilepaskan dari upaya
para ulama dalam merespons berbagai tantangan intelektual yang muncul, baik
dari dalam Islam maupun dari luar, seperti filsafat Yunani, pemikiran Persia, dan
teologi Kristen.⁴
Dalam perkembangannya, Ilmu Kalam menjadi alat bagi
para ulama untuk menjelaskan konsep-konsep dasar Islam seperti tauhid,
sifat-sifat Allah, qadha dan qadar, serta hubungan antara iman dan amal. Di
sisi lain, ilmu ini juga menjadi sarana bagi umat Islam untuk menghadapi
kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman teologi yang berbeda, seperti
Mu‘tazilah, Jabariyah, dan Murji’ah.⁵
Di dunia Islam klasik, Ilmu Kalam berkembang dalam
berbagai mazhab dan aliran pemikiran, seperti Asy‘ariyah, Maturidiyah, dan
Mu‘tazilah. Setiap aliran memiliki pendekatan dan metode yang berbeda dalam
memahami teologi Islam.⁶ Dalam perkembangannya, Ilmu Kalam juga memberikan
kontribusi terhadap bidang-bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum Islam
(fiqh), dan tasawuf.
1.3. Tujuan Penulisan dan Ruang Lingkup Pembahasan
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan sejarah
perkembangan Ilmu Kalam secara komprehensif, mulai dari asal-usulnya,
perdebatan-perdebatan teologis awal, hingga evolusi pemikirannya dalam berbagai
periode sejarah Islam. Dengan memahami perkembangan Ilmu Kalam, diharapkan
pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih luas tentang dinamika pemikiran
teologis dalam Islam serta relevansinya dalam menghadapi tantangan intelektual
di era modern.
Ruang lingkup pembahasan dalam artikel ini
mencakup:
1)
Latar belakang munculnya Ilmu Kalam dalam sejarah Islam.
2)
Periode-periode utama dalam perkembangan Ilmu Kalam, mulai dari era
klasik hingga zaman modern.
3)
Aliran-aliran utama dalam Ilmu Kalam dan perbedaan teologis di antara
mereka.
4)
Peran filsafat dalam perkembangan Ilmu Kalam serta kritik yang muncul
terhadapnya.
5)
Relevansi Ilmu Kalam dalam menghadapi tantangan pemikiran kontemporer.
Melalui pembahasan ini, diharapkan pembaca dapat
memahami bagaimana Ilmu Kalam berperan dalam membentuk kerangka pemikiran Islam
serta bagaimana disiplin ini tetap relevan dalam menjawab persoalan keagamaan
dan intelektual di era modern.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali:
A Composite Ethics in Islam (Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia
Press, 1975), 23.
[2]
Ali ibn Muhammad al-Jurjani, At-Ta‘rifat
(Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, 1991), 54.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I‘tiqad
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 12.
[4]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 95.
[5]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 37.
[6]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo:
Dar al-Ma‘arif, 1990), 79.
2.
Latar
Belakang Munculnya Ilmu Kalam
2.1. Konteks Sosial-Politik Pasca Wafatnya Rasulullah
SAW
Munculnya Ilmu Kalam tidak dapat dipisahkan dari
dinamika sosial-politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw pada tahun
632 M. Pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, umat Islam mulai menghadapi
tantangan internal berupa perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan politik,
yang kemudian berkembang menjadi perbedaan teologis. Salah satu peristiwa yang
paling signifikan adalah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dan pecahnya
Perang Jamal (656 M) serta Perang Shiffin (657 M) pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib. Kedua peristiwa ini menandai awal dari pertentangan politik yang
memicu diskusi teologis, terutama mengenai konsep iman, kekafiran,
dan legitimasi kekuasaan.¹
Konteks politik ini memperlihatkan bagaimana
persoalan teologi tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga terkait erat dengan
persoalan kekuasaan. Kelompok Khawarij, misalnya, muncul sebagai respon
terhadap arbitrase dalam Perang Shiffin. Mereka menganggap bahwa pelaku dosa
besar adalah kafir dan layak diperangi. Sebaliknya, kelompok Murji’ah
berpendapat bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, dan
penilaian atas keimanan seseorang hanya menjadi hak prerogatif Allah.²
Perdebatan inilah yang mendorong lahirnya diskursus-diskursus teologis di
kalangan umat Islam.
2.2. Pertentangan Internal Umat Islam (Fitnah Kubra dan
Dampaknya terhadap Teologi)
Peristiwa Fitnah Kubra (perpecahan besar
dalam Islam) memainkan peran sentral dalam perkembangan Ilmu Kalam.
Konflik-konflik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw, terutama pada
masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, memperlihatkan bagaimana isu-isu
teologis mulai memasuki ranah publik. Fitnah ini tidak hanya mengakibatkan
perpecahan politik, tetapi juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar
mengenai takdir (qadar), keadilan Tuhan (‘adl), dan status pelaku
dosa besar (murtakib al-kabirah).³
Perdebatan tentang takdir, misalnya, muncul dari
konflik pemahaman antara mereka yang meyakini bahwa manusia sepenuhnya memiliki
kehendak bebas (seperti Qadariyah) dan mereka yang percaya bahwa segala sesuatu
telah ditentukan oleh Allah (seperti Jabariyah). Masalah ini kemudian menjadi
salah satu topik utama dalam Ilmu Kalam, karena menyentuh aspek fundamental
tentang hubungan antara kehendak manusia dan kekuasaan Tuhan.⁴
2.3. Peran Al-Qur'an dan Hadis dalam Munculnya Diskusi
Teologis
Meskipun Ilmu Kalam berkembang sebagai respon
terhadap situasi sosial-politik, sumber utama diskusi teologis tetap merujuk
pada Al-Qur'an dan Hadis. Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang membahas sifat-sifat
Allah, takdir, serta keadilan-Nya, yang kemudian menjadi landasan bagi para
teolog untuk merumuskan pemikiran mereka. Misalnya, ayat tentang takdir seperti
dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 49, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran (takdir)", menjadi dasar perdebatan antara
Qadariyah dan Jabariyah.⁵
Selain itu, hadis-hadis Nabi juga menjadi rujukan
penting dalam pembahasan teologis. Hadis tentang iman dan amal
sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendukung pandangan
mereka. Misalnya, hadis Nabi yang menyatakan bahwa "iman terdiri dari
enam rukun dan Islam terdiri dari lima rukun", dijadikan dasar oleh kelompok
Murji’ah untuk memisahkan antara iman dan amal.⁶
Dengan demikian, meskipun Ilmu Kalam berkembang
sebagai respon terhadap tantangan eksternal dan konflik internal, landasan
utamanya tetap berasal dari wahyu. Para ulama berusaha menjelaskan, mempertegas,
dan membela ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadis dengan menggunakan pendekatan
rasional, terutama ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap
menyimpang atau bertentangan dengan prinsip dasar Islam.⁷
Catatan Kaki
[1]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 188-190.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 33.
[3]
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 41.
[4]
Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 166.
[5]
The Qur'an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 54:49.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 4695
(Riyadh: Darussalam, 2008).
[7]
Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology
(Cambridge: Harvard University Press, 2006), 57.
3.
Periode
Awal Perkembangan Ilmu Kalam
3.1. Masa Sahabat dan Tabi’in
Periode awal perkembangan Ilmu Kalam dimulai sejak
masa sahabat dan tabi’in, di mana diskusi-diskusi teologis muncul sebagai
respon terhadap persoalan keimanan, takdir, dan pelaku dosa besar. Meskipun
pada masa ini belum terbentuk sistematika ilmu seperti yang dikenal dalam Ilmu
Kalam klasik, diskusi tentang konsep-konsep teologis mulai terlihat dalam
bentuk debat dan dialog.¹
Sahabat Nabi seperti Abdullah bin Abbas
dikenal sebagai rujukan utama dalam tafsir dan penjelasan tentang ayat-ayat
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan takdir. Bin Abbas, misalnya, pernah
menjelaskan tentang takdir dengan menekankan keseimbangan antara kehendak bebas
manusia dan ketentuan Allah, sebuah pendekatan yang kelak memengaruhi pemikiran
teologis generasi berikutnya.²
Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga memiliki
kontribusi penting dalam perkembangan awal teologi Islam. Dalam beberapa
riwayat, Ali dikenal sering berdiskusi tentang konsep iman dan amal,
terutama dalam konteks perpecahan politik yang terjadi selama masa
kepemimpinannya. Pandangannya yang moderat dalam menyikapi pelaku dosa besar,
yang tidak langsung mengkafirkan mereka, menjadi landasan bagi pemikiran
teologis kelompok-kelompok yang kemudian muncul seperti Asy‘ariyah.³
3.2. Kemunculan Qadariyah dan Jabariyah
Salah satu perkembangan penting dalam periode awal
Ilmu Kalam adalah munculnya dua aliran teologi yang bertentangan: Qadariyah
dan Jabariyah. Kedua aliran ini menjadi pionir dalam membentuk diskursus
teologis yang lebih sistematis di kemudian hari.
Qadariyah
adalah aliran yang menekankan kebebasan kehendak manusia (free will).
Aliran ini muncul sebagai respon terhadap persoalan takdir yang berkembang
dalam masyarakat Islam awal. Tokoh-tokoh utama Qadariyah adalah Ma‘bad al-Juhani
dan Ghailan ad-Dimasyqi, yang hidup pada akhir abad pertama Hijriyah.
Ma‘bad al-Juhani dikenal sebagai orang pertama yang secara terbuka menyatakan
bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam menentukan perbuatannya, dan bahwa
Allah tidak campur tangan dalam kehendak manusia.⁴
Gagasan ini dianggap kontroversial karena
bertentangan dengan pemahaman umum umat Islam saat itu, yang lebih menekankan
kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu. Akibat pandangannya, Ma‘bad
al-Juhani dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.⁵ Meski demikian,
pemikiran Qadariyah tetap berkembang dan menjadi dasar bagi aliran Mu‘tazilah
yang muncul kemudian.
Di sisi
lain, Jabariyah muncul sebagai aliran yang menekankan determinisme
atau keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas, dan semua perbuatan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Tokoh yang sering dikaitkan dengan
aliran ini adalah Jahm bin Safwan, yang hidup pada abad kedua Hijriyah.
Jabariyah mengajarkan bahwa manusia seperti wayang yang digerakkan oleh
kekuasaan Allah, dan karenanya tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.⁶
Pandangan ini mendapat kritik tajam dari banyak
ulama, karena dianggap menghilangkan tanggung jawab moral manusia dalam
menjalankan syariat. Kendati demikian, gagasan deterministik ini tetap bertahan
dalam beberapa bentuk, terutama dalam kelompok-kelompok ekstrem seperti
Jahmiyah.⁷
3.3. Respons Ulama dan Pemerintah terhadap Aliran-Aliran
Awal
Kemunculan Qadariyah dan Jabariyah mendapat respons
yang beragam dari ulama dan penguasa. Para sahabat Nabi seperti Abdullah bin
Umar dan Anas bin Malik dengan tegas menolak pandangan Qadariyah,
menganggapnya sebagai penyimpangan dari ajaran Islam yang benar. Dalam beberapa
riwayat, Abdullah bin Umar menyebut Qadariyah sebagai kelompok sesat karena
menolak konsep takdir yang telah ditetapkan Allah.⁸
Di sisi lain, pemerintah Dinasti Umayyah lebih
cenderung menggunakan konsep Jabariyah untuk membenarkan legitimasi kekuasaan
mereka. Dengan mengklaim bahwa kekuasaan mereka adalah takdir Allah yang tidak
bisa ditolak, mereka mencoba meredam pemberontakan dan kritik dari
kelompok-kelompok oposisi.⁹ Namun, ulama seperti Hasan al-Bashri
menentang keras manipulasi teologi untuk kepentingan politik, dan mengajarkan
bahwa meskipun takdir adalah bagian dari iman, manusia tetap memiliki tanggung
jawab atas tindakannya.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 73.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 24.
[3]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam:
Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), 201.
[4]
Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology
(Cambridge: Harvard University Press, 2006), 63.
[5]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A
Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
276.
[6]
Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 167.
[7]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo:
Dar al-Ma‘arif, 1990), 86.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 4695
(Riyadh: Darussalam, 2008).
[9]
Watt, The Formative Period of Islamic Thought,
95.
[10]
Nasution, Teologi Islam, 37.
4.
Masa
Klasik: Konsolidasi dan Perkembangan Aliran-Aliran Utama
4.1. Munculnya Aliran Mu’tazilah dan Rasionalisme
Teologis
Pada masa klasik, Ilmu Kalam mengalami konsolidasi
melalui munculnya aliran-aliran utama yang memperkaya diskursus teologis Islam.
Salah satu aliran paling berpengaruh dalam periode ini adalah Mu’tazilah,
yang dikenal dengan pendekatan rasional dalam memahami ajaran agama. Aliran ini
didirikan oleh Wasil bin ‘Atha’ (700–748 M), seorang murid dari Hasan
al-Bashri, yang memisahkan diri dari gurunya karena perbedaan pandangan
tentang status pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah).¹
Mu’tazilah menekankan penggunaan akal untuk
menafsirkan teks-teks agama dan mempertahankan lima prinsip utama mereka, yang
dikenal sebagai al-usul al-khamsah:
1)
Tauhid (keesaan
Allah),
2)
Al-‘Adl (keadilan
Allah),
3)
Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan
ancaman Allah),
4)
Al-Manzilah bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi untuk pelaku dosa besar), dan
5)
Amr bil Ma’ruf wa Nahy ‘an al-Munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).²
Mu’tazilah memiliki pengaruh yang signifikan
terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah Khalifah
Al-Ma’mun (813–833 M), yang mendukung pemikiran rasional mereka. Al-Ma’mun
bahkan menjadikan doktrin Mu’tazilah sebagai ideologi resmi negara dan
memaksakan penerimaannya melalui mihnah (inquisisi), sebuah ujian
teologis untuk memastikan bahwa ulama dan pejabat negara menerima doktrin khalq
al-Qur’an (keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan qadim).³
4.2. Perlawanan terhadap Mu’tazilah: Lahirnya Aliran
Asy‘ariyah
Dominasi Mu’tazilah memicu reaksi dari kalangan
yang menolak pendekatan rasional yang berlebihan, terutama dari para ulama
tradisionalis yang dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Reaksi
ini memunculkan Asy‘ariyah, sebuah aliran teologi yang didirikan oleh Abu
al-Hasan al-Asy‘ari (874–936 M). Al-Asy‘ari sendiri adalah mantan pengikut
Mu’tazilah yang kemudian menolak beberapa prinsip rasionalis mereka dan
berusaha menggabungkan antara rasionalisme dan tradisionalisme.⁴
Asy‘ariyah tetap menggunakan pendekatan rasional
dalam beberapa aspek, tetapi menekankan pentingnya kesetiaan kepada teks-teks
wahyu. Mereka menolak doktrin khalq al-Qur’an dan menegaskan bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, tidak diciptakan. Asy‘ariyah juga
memperkenalkan konsep kasb (usaha), yang merupakan upaya untuk
menjelaskan hubungan antara kehendak bebas manusia dan kekuasaan Allah. Menurut
konsep ini, manusia memiliki kehendak untuk memilih, tetapi hasil akhirnya
tetap berada dalam kekuasaan Allah.⁵
Asy‘ariyah dengan cepat menjadi aliran teologi
dominan dalam dunia Islam Sunni, terutama setelah mendapatkan dukungan dari
lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Nizamiyah yang didirikan
oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11. Ulama-ulama besar seperti Al-Ghazali
(1058–1111 M) memperkuat posisi Asy‘ariyah dengan menggabungkan teologi dengan
tasawuf dan filsafat, menghasilkan sintesis pemikiran yang mendalam dan
berpengaruh luas.⁶
4.3. Al-Maturidiyah: Variasi dalam Teologi Sunni
Selain Asy‘ariyah, aliran teologi Sunni lainnya
yang berkembang pada masa klasik adalah Maturidiyah, yang didirikan oleh
Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M) di Samarqand, wilayah
Transoxiana. Maturidiyah memiliki banyak kesamaan dengan Asy‘ariyah, tetapi
mereka lebih menekankan rasionalitas dalam beberapa aspek teologi. Misalnya,
Maturidiyah lebih tegas dalam menyatakan bahwa akal manusia mampu mengenali
kebaikan dan keburukan tanpa memerlukan wahyu, sementara Asy‘ariyah lebih
menekankan ketergantungan pada wahyu dalam memahami moralitas.⁷
Dalam hal takdir, Maturidiyah cenderung memberikan
ruang lebih besar bagi kehendak bebas manusia dibandingkan dengan Asy‘ariyah.
Mereka berpendapat bahwa meskipun Allah mengetahui segala sesuatu, manusia
tetap memiliki tanggung jawab penuh atas tindakannya. Pendekatan ini menjadikan
Maturidiyah lebih diterima di wilayah Asia Tengah dan Turki, di mana pengaruh
mereka bertahan hingga saat ini.⁸
4.4. Kelompok-Kelompok Lain: Syiah, Khawarij, dan
Murji’ah
Selain aliran-aliran besar di atas, masa klasik
juga menyaksikan konsolidasi teologi di kalangan Syiah, Khawarij,
dan Murji’ah.
·
Syiah, khususnya Syiah
Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah), mengembangkan teologi yang menekankan konsep imamah
sebagai prinsip utama. Bagi mereka, imam adalah pemimpin spiritual dan politik
yang maksum (terpelihara dari dosa). Konsep ini berbeda dengan teologi Sunni,
yang tidak memberikan status maksum kepada pemimpin setelah Rasulullah SAW.⁹
·
Khawarij, yang
muncul sebagai oposisi radikal terhadap Ali bin Abi Thalib, mempertahankan
pandangan ekstrem bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan layak diperangi.
Pandangan ini membuat mereka sering terlibat dalam pemberontakan terhadap
pemerintahan yang sah.¹⁰
·
Murji’ah,
sebaliknya, menekankan bahwa iman adalah persoalan hati, dan amal
perbuatan tidak mempengaruhi status keimanan seseorang. Mereka mengadvokasi
penundaan penghakiman terhadap pelaku dosa besar hingga hari kiamat, sebuah
posisi yang lebih moderat dibanding Khawarij.¹¹
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 81.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45.
[3]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A
Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
325.
[4]
Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam,
2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 171.
[5]
Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology
(Cambridge: Harvard University Press, 2006), 89.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (The
Incoherence of the Philosophers), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham
Young University Press, 2000), 52.
[7]
C. E. Bosworth, The New Islamic Dynasties: A
Chronological and Genealogical Manual (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1996), 134.
[8]
Watt, The Formative Period of Islamic Thought,
93.
[9]
Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam:
The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University
Press, 1985), 137.
[10]
Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo:
Dar al-Ma‘arif, 1990), 114.
[11]
Nasution, Teologi Islam, 67.
5.
Masa
Pertengahan: Sintesis Filsafat dan Kalam
5.1. Latar Belakang Perkembangan Filsafat dalam Islam
Pada masa pertengahan (abad ke-10 hingga ke-13 M),
Ilmu Kalam memasuki fase baru dengan munculnya upaya untuk mensintesis antara
teologi Islam dan filsafat Yunani. Proses ini terjadi seiring dengan
berkembangnya tradisi penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab pada masa Dinasti Abbasiyah. Pusat penerjemahan ini, seperti Bayt
al-Hikmah di Baghdad, berperan penting dalam memperkenalkan pemikiran para
filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus kepada dunia Islam.¹
Penerjemahan ini mempertemukan para teolog Muslim
dengan ide-ide baru tentang metafisika, logika, dan etika. Akibatnya, para
teolog mulai menggunakan metode filsafat untuk memperkuat argumen-argumen
teologis mereka. Beberapa ulama, terutama dari kalangan Mu’tazilah, dengan
antusias mengadopsi metode rasional dan logika Yunani untuk mendukung ajaran
mereka tentang keadilan dan keesaan Allah.²
5.2. Tokoh-Tokoh Kunci dalam Sintesis Filsafat dan Kalam
·
Al-Kindi (801–873 M): Filsuf Muslim Pertama
Al-Kindi adalah
salah satu tokoh awal yang mengintegrasikan filsafat dengan pemikiran Islam. Ia
dikenal sebagai "Filsuf Arab" dan berusaha menunjukkan bahwa tidak
ada kontradiksi antara wahyu dan rasionalitas. Dalam karya-karyanya, seperti Risalah
fi al-Falsafah al-Ula (Risalah tentang Filsafat Utama), Al-Kindi
membahas konsep keesaan Allah menggunakan pendekatan metafisika Aristotelian.³
Meskipun Al-Kindi lebih fokus pada filsafat murni,
pengaruhnya terhadap teologi Islam sangat besar karena ia membuka jalan bagi
pemikiran rasional dalam diskursus keagamaan.
·
Al-Farabi (872–950 M): Teologi sebagai Filsafat Praktis
Al-Farabi, yang
dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, memperkenalkan
teori al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) di mana ia
menggabungkan filsafat politik dengan teologi Islam. Al-Farabi memandang agama
sebagai bentuk simbolik dari kebenaran filosofis yang lebih tinggi. Menurutnya,
Nabi adalah filsuf yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran
metafisik dalam bentuk yang dapat dipahami oleh masyarakat umum.⁴
Dalam konteks Ilmu Kalam, Al-Farabi berkontribusi
dalam memperluas cakupan diskusi teologis dengan memasukkan konsep-konsep
filsafat politik dan etika ke dalam diskursus agama.
·
Ibnu Sina (980–1037 M): Integrasi Filsafat dan Teologi
Ibnu Sina (Avicenna)
adalah tokoh utama dalam sintesis filsafat dan Kalam. Dalam Al-Shifa'
dan Al-Najat, Ibnu Sina mengembangkan argumen-argumen filosofis tentang
keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, dan hubungan antara akal dan wahyu. Salah
satu kontribusi utamanya adalah konsep wajib al-wujud (yang wajib ada),
di mana ia berpendapat bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang
eksistensinya niscaya, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah mungkin ada (mumkin al-wujud).⁵
Meskipun pemikiran Ibnu Sina sangat rasional dan
filosofis, ia tetap mengintegrasikan prinsip-prinsip dasar teologi Islam dalam
karyanya, menunjukkan bahwa akal dan wahyu dapat berjalan seiring. Namun,
beberapa pandangannya, terutama tentang keabadian alam dan emanasi (faydh),
kemudian dikritik oleh ulama-ulama ortodoks.⁶
5.3. Reaksi Terhadap Filsafat: Kritik dan Penguatan
Kalam
·
Al-Ghazali (1058–1111 M): Pengkritik Filsafat
Salah satu
tokoh terpenting dalam masa pertengahan adalah Al-Ghazali, yang menulis Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof). Dalam karya ini, Al-Ghazali
mengkritik keras para filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggapnya
terlalu mengandalkan akal dan menyimpang dari ajaran wahyu. Al-Ghazali menuduh
para filsuf melakukan kekufuran dalam tiga poin utama:
1)
Keyakinan bahwa alam semesta kekal,
2)
Penolakan atas kebangkitan jasmani di akhirat, dan
3)
Doktrin bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal universal, bukan
partikular.⁷
Namun, meskipun Al-Ghazali mengkritik filsafat, ia
tetap menggunakan metode logika Aristotelian dalam karyanya, menunjukkan bahwa
ia tidak sepenuhnya menolak akal. Sebaliknya, ia berusaha mengembalikan
filsafat ke dalam kerangka teologi Islam ortodoks (Asy‘ariyah), dengan
menekankan bahwa akal harus tunduk pada wahyu.⁸
·
Ibnu Rusyd (1126–1198 M): Pembela Filsafat
Sebagai
respon terhadap kritik Al-Ghazali, Ibnu Rusyd (Averroes) menulis Tahafut
al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), di mana ia membela posisi
para filsuf dan berargumen bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan. Menurut
Ibnu Rusyd, wahyu dan akal adalah dua jalan yang berbeda tetapi menuju pada
kebenaran yang sama. Ia menegaskan bahwa hanya para ahli yang terlatih dalam
filsafat yang mampu memahami aspek-aspek terdalam dari ajaran agama.⁹
Ibnu Rusyd berusaha menunjukkan bahwa pemikiran
rasional tidak hanya kompatibel dengan Islam, tetapi juga diperlukan untuk
memahami dan mempertahankan keimanan dalam konteks intelektual yang berkembang.
Pemikirannya memiliki pengaruh besar di dunia Barat, tetapi kurang diterima di
dunia Islam saat itu.¹⁰
5.4. Dampak Sintesis Filsafat dan Kalam
Sintesis antara filsafat dan Kalam pada masa
pertengahan memperkaya khazanah pemikiran Islam. Para teolog menggunakan metode
logika dan argumentasi rasional untuk memperkuat ajaran agama, menciptakan
pendekatan intelektual yang mendalam terhadap masalah-masalah teologis.
Meskipun terjadi ketegangan antara kalangan filsuf dan teolog ortodoks, periode
ini menghasilkan karya-karya monumental yang tetap relevan hingga hari ini.¹¹
Selain itu, perkembangan ini juga mendorong
munculnya tradisi falsafah dan tasawuf falsafi, di mana aspek
rasional dan spiritual dikombinasikan untuk mencapai pemahaman yang lebih
holistik tentang Tuhan dan eksistensi.¹²
Catatan Kaki
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 46.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 52.
[3]
Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 31.
[4]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
54.
[5]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London:
Routledge, 2006), 83.
[6]
F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The
Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press,
1968), 101.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.
[8]
Richard Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite
School (Durham: Duke University Press, 1994), 75.
[9]
Averroes (Ibn Rushd), Tahafut al-Tahafut (The
Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac,
1954), 41.
[10]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1988), 112.
[11]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 127.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 209.
6.
Perkembangan
Ilmu Kalam pada Masa Modern
Pada era modern, Ilmu Kalam mengalami transformasi
signifikan seiring dengan perubahan kondisi sosial, politik, dan kultural di
dunia Islam. Abad ke-19 dan ke-20 menyaksikan bangkitnya gerakan reformis yang
berupaya menyelaraskan ajaran klasik dengan tantangan modernitas.
Pemikir-pemikir modern berusaha menginterpretasikan ulang prinsip-prinsip
teologis Islam dengan tetap mempertahankan nilai-nilai inti agama, sambil
mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika globalisasi.
6.1. Reformasi Pemikiran Islam dan Kalam Modern
Tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad Abduh
dan Jamal al-Afghani menjadi pelopor gerakan pembaruan dalam dunia
pemikiran Islam. Muhammad Abduh, misalnya, menekankan pentingnya rasionalitas
dalam menafsirkan teks-teks suci. Dalam karyanya, ia berpendapat bahwa wahyu
harus dipahami dalam konteks zaman yang terus berubah, sehingga akal manusia
berperan aktif dalam menginterpretasikan ajaran agama guna menjawab persoalan
sosial dan politik kontemporer.1
Jamal al-Afghani turut mengadvokasi perlunya
pembaruan pemikiran dengan menolak penafsiran dogmatis yang dianggapnya tidak
lagi relevan dengan realitas modern. Ia menyerukan persatuan umat Islam dan
penyesuaian terhadap tantangan modern, seperti imperialisme dan sekularisme,
melalui pendekatan kritis dan dialogis yang mengedepankan nilai-nilai keadilan
dan kemanusiaan.2
6.2. Isu-isu Kontemporer dalam Ilmu Kalam
Seiring dengan berkembangnya modernitas, Ilmu Kalam
modern merambah berbagai isu kontemporer seperti sekularisme, pluralisme, dan
kemajuan ilmu pengetahuan. Para pemikir modern berupaya menginterpretasikan
konsep-konsep klasik —seperti tauhid, qadar, dan keadilan ilahi— dalam kerangka
yang relevan dengan perkembangan sosial-politik dan budaya saat ini. Mereka
menekankan perlunya pemahaman yang dinamis atas ajaran Islam agar dapat
menyikapi perubahan nilai-nilai universal, seperti kebebasan individu dan hak
asasi manusia, tanpa meninggalkan esensi keimanan.3
Kemunculan kemajuan teknologi dan metode ilmiah
juga mendorong terjadinya dialog antara teologi dan sains. Pemikir seperti Fazlur
Rahman mengemukakan bahwa pemahaman Islam harus bersifat kontekstual dan
terbuka terhadap inovasi, sehingga memungkinkan terjadinya sintesis antara akal
dan wahyu dalam menjawab persoalan modern.4
6.3. Peran Ilmu Kalam dalam Dialog Antaragama dan
Pluralisme
Dalam konteks globalisasi dan meningkatnya
interaksi antarbudaya, Ilmu Kalam modern memegang peranan penting dalam
mendorong dialog antaragama. Pemikir kontemporer berusaha menemukan titik temu
antara nilai-nilai keislaman dan prinsip-prinsip universal yang juga dipegang
oleh tradisi keagamaan lain. Pendekatan ini tidak hanya berfungsi untuk mempererat
hubungan antarumat beragama, tetapi juga sebagai upaya untuk mengatasi konflik
ideologis dan membangun masyarakat plural yang harmonis.5
Melalui forum-forum akademik dan dialog antaragama,
pendekatan teologis modern menekankan bahwa meskipun wahyu merupakan sumber
utama, akal dan pengalaman kontemporer juga layak untuk dijadikan rujukan dalam
menafsirkan pesan-pesan suci. Pendekatan ini telah membantu mengurangi
ketegangan antara kelompok konservatif dan progresif dalam komunitas Muslim,
sekaligus membuka ruang bagi pertukaran ide secara lintas agama.6
6.4. Kritik dan Tantangan dalam Ilmu Kalam Modern
Meskipun terdapat upaya pembaruan, Ilmu Kalam
modern tidak lepas dari kritik. Sebagian ulama konservatif menganggap bahwa
reinterpretasi ajaran klasik dapat mengaburkan esensi keimanan dan melemahkan
identitas tradisional Islam. Mereka berpendapat bahwa penekanan berlebihan pada
rasionalitas dan modernitas berisiko mengikis nilai-nilai yang telah teruji
oleh sejarah.7
Di sisi lain, para pendukung pemikiran modern
menegaskan bahwa adaptasi terhadap zaman adalah keharusan untuk menjaga
relevansi Islam di era global. Menurut pandangan ini, integrasi antara akal dan
wahyu bukan berarti kompromi terhadap prinsip keimanan, melainkan upaya untuk
merevitalisasi pemikiran Islam agar lebih responsif terhadap tantangan
kontemporer. Pemikiran ini, yang sering dijumpai dalam karya-karya pemikir
seperti Tariq Ramadan, menekankan bahwa pembaruan harus tetap berakar
pada ajaran agama sambil mengakomodasi dinamika sosial modern.8
Dengan demikian, perkembangan Ilmu Kalam pada masa
modern mencerminkan upaya dinamis antara mempertahankan tradisi keilmuan klasik
dan merespons kebutuhan zaman. Sintesis antara pendekatan tradisional dan
modern ini tidak hanya memperkaya khazanah teologis Islam, tetapi juga berperan
penting dalam menciptakan kerangka pemikiran yang mampu menjembatani perbedaan
nilai di tengah masyarakat global yang semakin plural dan kompleks.9
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Abduh, Risalah al-Tawhid (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1905), 45.
[2]
Jamal al-Afghani, The Jamal al-Afghani Reader:
Selected Writings of a Radical Islamic Reformer (New York: Grove Press,
1996), 23.
[3]
John L. Esposito, The Oxford History of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 212.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 104.
[5]
John L. Esposito, The Future of Islam (New
York: Oxford University Press, 2010), 78.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality:
Foundations (London: Routledge, 2006), 97.
[7]
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a
New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 56.
[8]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of
Islam (New York: Oxford University Press, 2004), 145.
[9]
John L. Esposito, Islam: The Straight Path
(New York: Oxford University Press, 1998), 182.
7.
Kritik
Terhadap Ilmu Kalam
Meskipun Ilmu Kalam telah memainkan peran penting
dalam pengembangan pemikiran teologis Islam, disiplin ini tidak luput dari
kritik yang datang dari berbagai kalangan. Kritik tersebut mencerminkan
perdebatan panjang mengenai keseimbangan antara wahyu dan akal, antara tradisi
dan inovasi, serta relevansi metodologi Kalam dalam menghadapi dinamika sosial,
politik, dan kultural masa kini.
7.1. Kritik dari Ulama Fikih dan Tasawuf
Beberapa ulama fikih dan tokoh tasawuf menilai
bahwa pendekatan rasionalistik dalam Ilmu Kalam sering kali menempatkan nalar
di atas otoritas wahyu. Mereka berargumen bahwa penekanan yang berlebihan pada
logika dan argumentasi sistematis berisiko mengaburkan esensi spiritual dan
pengalaman langsung terhadap Ilahi.
Sebagai contoh, Ibn Taymiyyah memberikan
kritik tajam terhadap spekulasi rasional dalam Kalam, dengan menolak
kecenderungan para teolog yang mencoba menyelaraskan wahyu dengan filsafat
Aristotelian. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa penafsiran wahyu harus berakar
pada teks dan praktik keagamaan tradisional, bukan pada abstraksi logika yang
dapat berubah-ubah sesuai konteks zaman.1
Selain itu, para sufi seperti Jalaluddin Rumi
dan Ibn Arabi menekankan bahwa realitas mistik dan hubungan langsung
dengan Tuhan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan melalui argumentasi rasional.
Mereka menganggap pengalaman spiritual sebagai jalan untuk memahami hakikat
Ilahi yang melampaui batas-batas logika manusia, sehingga pendekatan Kalam
dianggap cenderung mengurung makna keagamaan dalam kerangka intelektual yang
kaku.2
7.2. Kritik Kontemporer
Dalam konteks modern, kritik terhadap Ilmu Kalam
muncul seiring dengan perubahan paradigma pemikiran di kalangan intelektual
Muslim. Beberapa akademisi menganggap bahwa metode Kalam yang dikembangkan pada
masa klasik kurang fleksibel untuk menangani persoalan kontemporer seperti
pluralisme, sekularisme, dan globalisasi.
Olivier Roy, misalnya, mengkritik bahwa struktur argumentatif Kalam sering kali
tidak mampu mengakomodasi dinamika sosial dan politik modern, sehingga
menghasilkan interpretasi yang cenderung statis dan tidak responsif terhadap
perubahan zaman.3 Demikian pula, John L. Esposito menyatakan
bahwa meskipun pendekatan rasional dalam Kalam memberikan kerangka berpikir
yang sistematis, ia sering kali gagal menjembatani kesenjangan antara tradisi
keagamaan dan tuntutan modernitas, terutama dalam hal isu-isu hak asasi manusia
dan demokrasi.4
Kritik kontemporer ini menuntut adanya reformulasi
kembali metode teologis agar lebih inklusif dan adaptif terhadap realitas
zaman, tanpa mengorbankan inti keimanan dan nilai-nilai spiritual.
7.3. Kritik Metodologis dan Historis
Kritik lain terhadap Ilmu Kalam berkaitan dengan
asal-usul dan konteks historisnya. Pendekatan metodologis yang lahir pada abad
pertengahan, yang sangat bergantung pada logika Aristotelian dan tradisi
penerjemahan karya filsafat Yunani, dianggap oleh sebagian kritikus sebagai
produk dari kondisi intelektual masa itu.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, metode Kalam
yang menitikberatkan pada argumentasi rasional telah terbentuk dalam konteks
dunia Islam klasik yang sangat berbeda dengan tantangan dan nilai-nilai
masyarakat modern. Pendekatan tersebut, meskipun memiliki kontribusi besar pada
sistematisasi teologi, dinilai tidak lagi sepenuhnya relevan untuk memahami
fenomena-fenomena baru yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.5
Kritik metodologis ini membuka ruang bagi
perdebatan tentang bagaimana tradisi teologis Islam dapat direvitalisasi agar
mampu memberikan jawaban yang lebih kontekstual dan holistik terhadap persoalan
keimanan di era modern.
7.4. Refleksi terhadap Kritik dan Relevansi Ilmu Kalam
Meskipun kritik terhadap Ilmu Kalam sangat beragam,
para pendukungnya menegaskan bahwa diskursus rasional yang diusung oleh Kalam
tetap memiliki nilai penting dalam menjaga keseimbangan antara tradisi wahyu
dan penerapan nalar. Para teolog modern berargumen bahwa pembaruan dalam
metodologi Kalam bukan berarti pengabaian terhadap prinsip-prinsip klasik,
melainkan upaya untuk menyesuaikan kerangka teologis dengan realitas
kontemporer tanpa kehilangan esensi keimanan.
Pendekatan yang mengintegrasikan tradisi dengan
inovasi ini dianggap mampu membuka dialog antarbudaya dan antaragama yang lebih
konstruktif, sekaligus memberikan landasan untuk menjawab tantangan globalisasi
dan pluralisme yang semakin kompleks. Dengan demikian, kritik terhadap Ilmu Kalam, baik yang bersifat tradisional maupun kontemporer, merupakan bagian
integral dari dinamika pemikiran Islam yang terus berevolusi untuk mencari
pemahaman keimanan yang lebih mendalam dan relevan.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmuʿ al-Fatawa, ed.
Muhammad 'Abd al-Rahim, trans. [trans. name if available] (Istanbul: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), 112.
[2]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 102.
[3]
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a
New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 72.
[4]
John L. Esposito, Islam: The Straight Path
(New York: Oxford University Press, 1998), 150.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality:
Foundations (London: Routledge, 2006), 115.
8.
Kesimpulan
Dalam artikel ini telah diuraikan secara
komprehensif perjalanan dan dinamika pemikiran teologis dalam Islam melalui
perkembangan Ilmu Kalam, mulai dari masa awal perdebatan di kalangan Sahabat
dan Tabi‘in hingga transformasi pemikiran pada era modern. Secara historis, Ilmu Kalam muncul sebagai respons terhadap tantangan-tantangan internal dan
eksternal yang dihadapi umat Islam, yang mengharuskan para ulama untuk
menyeimbangkan antara wahyu dan akal.⁽¹⁾
Pada masa awal, diskursus teologis yang muncul dari
perdebatan mengenai takdir, kehendak bebas, dan kriteria keimanan menjadi
fondasi yang kemudian diolah lebih sistematis oleh aliran-aliran awal seperti
Qadariyah dan Jabariyah. Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa klasik,
muncul konsolidasi pemikiran melalui aliran Mu’tazilah, Asy‘ariyah, dan
Maturidiyah, yang masing-masing menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami
esensi keesaan Allah, keadilan ilahi, serta hubungan antara akal dan wahyu.⁽²⁾
Masa pertengahan menyaksikan sintesis mendalam
antara filsafat dan Kalam, di mana para pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan seterusnya, berusaha mengintegrasikan warisan filsafat Yunani ke
dalam kerangka teologi Islam. Upaya ini menghasilkan diskursus yang tidak hanya
memperkaya aspek rasionalitas dalam teologi, tetapi juga mengundang kritik dari
kalangan ulama tradisional dan tasawuf, yang menekankan pentingnya pengalaman
mistik dan kepatuhan pada teks wahyu.⁽³⁾
Di era modern, dinamika Ilmu Kalam kembali
mengalami transformasi seiring dengan munculnya tantangan kontemporer seperti
sekularisme, pluralisme, dan globalisasi. Pemikir reformis seperti Muhammad
Abduh dan Jamal al-Afghani mengusung pendekatan baru yang mencoba
merevitalisasi tradisi teologis Islam agar lebih relevan dengan kondisi zaman.
Meskipun pendekatan ini menghadapi kritik, terutama dari pihak konservatif yang
khawatir akan kehilangan esensi keimanan, dialog antara tradisi dan inovasi
telah membuka ruang bagi pemikiran keislaman yang lebih inklusif dan
adaptif.⁽⁴⁾
Secara keseluruhan, sejarah perkembangan Ilmu Kalam
menegaskan bahwa dinamika pemikiran teologis Islam merupakan proses yang terus
berlangsung, di mana upaya mengharmoniskan antara wahyu dan akal telah
menghasilkan landasan intelektual yang kuat. Diskursus ini tidak hanya menjadi
cermin kekayaan warisan keilmuan Islam, tetapi juga menyediakan kerangka untuk
merespons tantangan keagamaan dan filosofis di era modern. Dengan demikian,
meskipun menghadapi berbagai kritik dan transformasi, Ilmu Kalam tetap relevan
sebagai disiplin yang mampu menjembatani perbedaan antara tradisi dan
modernitas serta memberikan kontribusi signifikan dalam memperdalam pemahaman
tentang keimanan Islam.⁽⁵⁾
Catatan Kaki
[1]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of
Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 73–78.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45–50.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality:
Foundations (London: Routledge, 2006), 112–115.
[4]
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a
New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 132–135.
[5]
John L. Esposito, Islam: The Straight Path
(New York: Oxford University Press, 1998), 180–185.
Daftar Pustaka
Abduh, M. (1905). Risalah al-Tawhid. Dar
al-Ma’arif.
Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford
University Press.
Afghani, J. al. (1996). The Jamal al-Afghani
Reader: Selected writings of a radical Islamic reformer. Grove Press.
al-Ghazali. (2000a). Tahafut al-Falasifah
[The Incoherence of the Philosophers] (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
al-Ghazali. (2000b). al-Iqtishad fi al-I‘tiqad.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Jurjani, A. ibn M. (1991). At-Ta‘rifat.
Maktabah al-Mutanabbi.
Al-Shahrastani. (1990). Al-Milal wa al-Nihal.
Dar al-Ma‘arif.
Averroes (Ibn Rushd). (1954). Tahafut al-Tahafut
[The Incoherence of the Incoherence] (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.
Abu Dawud. (2008). Sunan Abi Dawud (Hadith
No. 4695). Darussalam.
Bosworth, C. E. (1996). The new Islamic
dynasties: A chronological and genealogical manual. Edinburgh University
Press.
Brown, D. W. (2009). A new introduction to Islam
(2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Esposito, J. L. (1998). Islam: The straight path.
Oxford University Press.
Esposito, J. L. (1999). The Oxford history of
Islam. Oxford University Press.
Esposito, J. L. (2010). The future of Islam.
Oxford University Press.
Frank, R. (1994). Al-Ghazali and the Ash‘arite
School. Duke University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society.
Routledge.
Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam:
Conscience and history in a world civilization (Vol. 1). University of
Chicago Press.
Ibn Taymiyyah. (1985). Majmuʿ al-Fatawa (M.
'Abd al-Rahim, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy.
Clarendon Press.
Madelung, W. (1997). The succession to Muhammad:
A study of the early Caliphate. Cambridge University Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of
Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Momen, M. (1985). An introduction to Shi'i
Islam: The history and doctrines of Twelver Shi'ism. Yale University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic spirituality:
Foundations. Routledge.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam:
Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan. UI Press.
Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The
Aristotelian tradition in Islam. New York University Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the
future of Islam. Oxford University Press.
Roy, O. (2004). Globalized Islam: The search for
a new Ummah. Columbia University Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of
Islam. University of North Carolina Press.
van Ess, J. (2006). The flowering of Muslim
theology. Harvard University Press.
Watt, M. (1985). Islamic philosophy and theology.
Edinburgh University Press.
Watt, W. M. (1973). The formative period of
Islamic thought. Edinburgh University Press.
The Qur’an. (2004). In M. A. S. Abdel Haleem
(Trans.), The Qur’an. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar