Senin, 03 Februari 2025

Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam

Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam

Dinamika Pemikiran Teologis dalam Islam


Alihkan ke: Ilmu Kalam, Aliran-Aliran Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Sunni, Relasi Antara Aliran Ilmu Kalam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sejarah perkembangan Ilmu Kalam dan dinamika pemikiran teologis dalam Islam. Pendekatan yang digunakan bersifat kronologis, dimulai dari masa awal perdebatan teologis di kalangan Sahabat dan Tabi’in, yang kemudian berkembang melalui munculnya aliran-aliran awal seperti Qadariyah dan Jabariyah. Selanjutnya, artikel membahas masa klasik yang ditandai dengan konsolidasi pemikiran melalui aliran-aliran utama —Mu’tazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah— serta peran penting para ulama dalam mengintegrasikan metode rasional dan wahyu. Masa pertengahan ditandai dengan sintesis antara filsafat Yunani dan Kalam, yang menghasilkan kontribusi signifikan dari tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, meskipun kemudian menuai kritik dari kalangan tradisionalis dan tasawuf. Di era modern, artikel ini menyoroti upaya reformasi pemikiran Islam oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamal al-Afghani, serta dinamika diskursus kontemporer yang menghadapi tantangan sekularisme, pluralisme, dan globalisasi. Melalui tinjauan kritis terhadap perkembangan historis dan metodologis, artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun Ilmu Kalam telah mengalami berbagai transformasi dan kritik, ia tetap menjadi fondasi penting dalam pembentukan kerangka teologis Islam yang adaptif terhadap dinamika zaman.

Kata Kunci: Ilmu Kalam, Pemikiran Teologis, Sejarah Islam, Mu’tazilah, Asy‘ariyah, Filsafat Islam, Modernitas, Reformasi Islam.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Ilmu Kalam

Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas persoalan-persoalan teologi Islam dengan pendekatan rasional dan argumentatif. Secara etimologis, istilah kalam berasal dari kata Arab كلام  yang berarti "perkataan" atau "pembicaraan," karena salah satu topik utama dalam ilmu ini adalah perdebatan seputar firman Allah (kalamullah) dan sifat-sifat-Nya. Dalam konteks terminologis, Ilmu Kalam didefinisikan sebagai ilmu yang membahas akidah Islam dengan metode logis dan argumentatif untuk meneguhkan keyakinan serta membantah pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam ortodoks.¹

Salah satu definisi klasik tentang Ilmu Kalam dikemukakan oleh al-Jurjani dalam at-Ta‘rifat, di mana ia menyatakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas akidah dengan dalil-dalil rasional untuk menguatkan keimanan.² Sementara itu, al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I‘tiqad menjelaskan bahwa Ilmu Kalam bertujuan untuk membela akidah Islam dari penyimpangan serta menyanggah berbagai pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.³

1.2.       Pentingnya Ilmu Kalam dalam Tradisi Keilmuan Islam

Ilmu Kalam memiliki posisi yang penting dalam sejarah intelektual Islam karena berperan dalam membangun fondasi teologis yang kuat bagi umat Islam. Perkembangan Ilmu Kalam tidak dapat dilepaskan dari upaya para ulama dalam merespons berbagai tantangan intelektual yang muncul, baik dari dalam Islam maupun dari luar, seperti filsafat Yunani, pemikiran Persia, dan teologi Kristen.⁴

Dalam perkembangannya, Ilmu Kalam menjadi alat bagi para ulama untuk menjelaskan konsep-konsep dasar Islam seperti tauhid, sifat-sifat Allah, qadha dan qadar, serta hubungan antara iman dan amal. Di sisi lain, ilmu ini juga menjadi sarana bagi umat Islam untuk menghadapi kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman teologi yang berbeda, seperti Mu‘tazilah, Jabariyah, dan Murji’ah.⁵

Di dunia Islam klasik, Ilmu Kalam berkembang dalam berbagai mazhab dan aliran pemikiran, seperti Asy‘ariyah, Maturidiyah, dan Mu‘tazilah. Setiap aliran memiliki pendekatan dan metode yang berbeda dalam memahami teologi Islam.⁶ Dalam perkembangannya, Ilmu Kalam juga memberikan kontribusi terhadap bidang-bidang ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum Islam (fiqh), dan tasawuf.

1.3.       Tujuan Penulisan dan Ruang Lingkup Pembahasan

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan sejarah perkembangan Ilmu Kalam secara komprehensif, mulai dari asal-usulnya, perdebatan-perdebatan teologis awal, hingga evolusi pemikirannya dalam berbagai periode sejarah Islam. Dengan memahami perkembangan Ilmu Kalam, diharapkan pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih luas tentang dinamika pemikiran teologis dalam Islam serta relevansinya dalam menghadapi tantangan intelektual di era modern.

Ruang lingkup pembahasan dalam artikel ini mencakup:

1)                  Latar belakang munculnya Ilmu Kalam dalam sejarah Islam.

2)                  Periode-periode utama dalam perkembangan Ilmu Kalam, mulai dari era klasik hingga zaman modern.

3)                  Aliran-aliran utama dalam Ilmu Kalam dan perbedaan teologis di antara mereka.

4)                  Peran filsafat dalam perkembangan Ilmu Kalam serta kritik yang muncul terhadapnya.

5)                  Relevansi Ilmu Kalam dalam menghadapi tantangan pemikiran kontemporer.

Melalui pembahasan ini, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana Ilmu Kalam berperan dalam membentuk kerangka pemikiran Islam serta bagaimana disiplin ini tetap relevan dalam menjawab persoalan keagamaan dan intelektual di era modern.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam (Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia Press, 1975), 23.

[2]                Ali ibn Muhammad al-Jurjani, At-Ta‘rifat (Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, 1991), 54.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I‘tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 12.

[4]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 95.

[5]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 37.

[6]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1990), 79.


2.           Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam

2.1.       Konteks Sosial-Politik Pasca Wafatnya Rasulullah SAW

Munculnya Ilmu Kalam tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial-politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw pada tahun 632 M. Pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, umat Islam mulai menghadapi tantangan internal berupa perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan politik, yang kemudian berkembang menjadi perbedaan teologis. Salah satu peristiwa yang paling signifikan adalah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dan pecahnya Perang Jamal (656 M) serta Perang Shiffin (657 M) pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kedua peristiwa ini menandai awal dari pertentangan politik yang memicu diskusi teologis, terutama mengenai konsep iman, kekafiran, dan legitimasi kekuasaan.¹

Konteks politik ini memperlihatkan bagaimana persoalan teologi tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga terkait erat dengan persoalan kekuasaan. Kelompok Khawarij, misalnya, muncul sebagai respon terhadap arbitrase dalam Perang Shiffin. Mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan layak diperangi. Sebaliknya, kelompok Murji’ah berpendapat bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, dan penilaian atas keimanan seseorang hanya menjadi hak prerogatif Allah.² Perdebatan inilah yang mendorong lahirnya diskursus-diskursus teologis di kalangan umat Islam.

2.2.       Pertentangan Internal Umat Islam (Fitnah Kubra dan Dampaknya terhadap Teologi)

Peristiwa Fitnah Kubra (perpecahan besar dalam Islam) memainkan peran sentral dalam perkembangan Ilmu Kalam. Konflik-konflik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, memperlihatkan bagaimana isu-isu teologis mulai memasuki ranah publik. Fitnah ini tidak hanya mengakibatkan perpecahan politik, tetapi juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai takdir (qadar), keadilan Tuhan (‘adl), dan status pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah).³

Perdebatan tentang takdir, misalnya, muncul dari konflik pemahaman antara mereka yang meyakini bahwa manusia sepenuhnya memiliki kehendak bebas (seperti Qadariyah) dan mereka yang percaya bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah (seperti Jabariyah). Masalah ini kemudian menjadi salah satu topik utama dalam Ilmu Kalam, karena menyentuh aspek fundamental tentang hubungan antara kehendak manusia dan kekuasaan Tuhan.⁴

2.3.       Peran Al-Qur'an dan Hadis dalam Munculnya Diskusi Teologis

Meskipun Ilmu Kalam berkembang sebagai respon terhadap situasi sosial-politik, sumber utama diskusi teologis tetap merujuk pada Al-Qur'an dan Hadis. Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang membahas sifat-sifat Allah, takdir, serta keadilan-Nya, yang kemudian menjadi landasan bagi para teolog untuk merumuskan pemikiran mereka. Misalnya, ayat tentang takdir seperti dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 49, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir)", menjadi dasar perdebatan antara Qadariyah dan Jabariyah.⁵

Selain itu, hadis-hadis Nabi juga menjadi rujukan penting dalam pembahasan teologis. Hadis tentang iman dan amal sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendukung pandangan mereka. Misalnya, hadis Nabi yang menyatakan bahwa "iman terdiri dari enam rukun dan Islam terdiri dari lima rukun", dijadikan dasar oleh kelompok Murji’ah untuk memisahkan antara iman dan amal.⁶

Dengan demikian, meskipun Ilmu Kalam berkembang sebagai respon terhadap tantangan eksternal dan konflik internal, landasan utamanya tetap berasal dari wahyu. Para ulama berusaha menjelaskan, mempertegas, dan membela ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadis dengan menggunakan pendekatan rasional, terutama ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan prinsip dasar Islam.⁷


Catatan Kaki

[1]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 188-190.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 33.

[3]                W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 41.

[4]                Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 166.

[5]                The Qur'an, trans. M.A.S. Abdel Haleem (Oxford: Oxford University Press, 2004), 54:49.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 4695 (Riyadh: Darussalam, 2008).

[7]                Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 57.


3.           Periode Awal Perkembangan Ilmu Kalam

3.1.       Masa Sahabat dan Tabi’in

Periode awal perkembangan Ilmu Kalam dimulai sejak masa sahabat dan tabi’in, di mana diskusi-diskusi teologis muncul sebagai respon terhadap persoalan keimanan, takdir, dan pelaku dosa besar. Meskipun pada masa ini belum terbentuk sistematika ilmu seperti yang dikenal dalam Ilmu Kalam klasik, diskusi tentang konsep-konsep teologis mulai terlihat dalam bentuk debat dan dialog.¹

Sahabat Nabi seperti Abdullah bin Abbas dikenal sebagai rujukan utama dalam tafsir dan penjelasan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan takdir. Bin Abbas, misalnya, pernah menjelaskan tentang takdir dengan menekankan keseimbangan antara kehendak bebas manusia dan ketentuan Allah, sebuah pendekatan yang kelak memengaruhi pemikiran teologis generasi berikutnya.²

Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga memiliki kontribusi penting dalam perkembangan awal teologi Islam. Dalam beberapa riwayat, Ali dikenal sering berdiskusi tentang konsep iman dan amal, terutama dalam konteks perpecahan politik yang terjadi selama masa kepemimpinannya. Pandangannya yang moderat dalam menyikapi pelaku dosa besar, yang tidak langsung mengkafirkan mereka, menjadi landasan bagi pemikiran teologis kelompok-kelompok yang kemudian muncul seperti Asy‘ariyah

3.2.       Kemunculan Qadariyah dan Jabariyah

Salah satu perkembangan penting dalam periode awal Ilmu Kalam adalah munculnya dua aliran teologi yang bertentangan: Qadariyah dan Jabariyah. Kedua aliran ini menjadi pionir dalam membentuk diskursus teologis yang lebih sistematis di kemudian hari.

·                     Qadariyah

Qadariyah adalah aliran yang menekankan kebebasan kehendak manusia (free will). Aliran ini muncul sebagai respon terhadap persoalan takdir yang berkembang dalam masyarakat Islam awal. Tokoh-tokoh utama Qadariyah adalah Ma‘bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi, yang hidup pada akhir abad pertama Hijriyah. Ma‘bad al-Juhani dikenal sebagai orang pertama yang secara terbuka menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam menentukan perbuatannya, dan bahwa Allah tidak campur tangan dalam kehendak manusia.⁴

Gagasan ini dianggap kontroversial karena bertentangan dengan pemahaman umum umat Islam saat itu, yang lebih menekankan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu. Akibat pandangannya, Ma‘bad al-Juhani dihukum mati oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan.⁵ Meski demikian, pemikiran Qadariyah tetap berkembang dan menjadi dasar bagi aliran Mu‘tazilah yang muncul kemudian.

·                     Jabariyah

Di sisi lain, Jabariyah muncul sebagai aliran yang menekankan determinisme atau keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas, dan semua perbuatan manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Tokoh yang sering dikaitkan dengan aliran ini adalah Jahm bin Safwan, yang hidup pada abad kedua Hijriyah. Jabariyah mengajarkan bahwa manusia seperti wayang yang digerakkan oleh kekuasaan Allah, dan karenanya tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.⁶

Pandangan ini mendapat kritik tajam dari banyak ulama, karena dianggap menghilangkan tanggung jawab moral manusia dalam menjalankan syariat. Kendati demikian, gagasan deterministik ini tetap bertahan dalam beberapa bentuk, terutama dalam kelompok-kelompok ekstrem seperti Jahmiyah.⁷

3.3.       Respons Ulama dan Pemerintah terhadap Aliran-Aliran Awal

Kemunculan Qadariyah dan Jabariyah mendapat respons yang beragam dari ulama dan penguasa. Para sahabat Nabi seperti Abdullah bin Umar dan Anas bin Malik dengan tegas menolak pandangan Qadariyah, menganggapnya sebagai penyimpangan dari ajaran Islam yang benar. Dalam beberapa riwayat, Abdullah bin Umar menyebut Qadariyah sebagai kelompok sesat karena menolak konsep takdir yang telah ditetapkan Allah.⁸

Di sisi lain, pemerintah Dinasti Umayyah lebih cenderung menggunakan konsep Jabariyah untuk membenarkan legitimasi kekuasaan mereka. Dengan mengklaim bahwa kekuasaan mereka adalah takdir Allah yang tidak bisa ditolak, mereka mencoba meredam pemberontakan dan kritik dari kelompok-kelompok oposisi.⁹ Namun, ulama seperti Hasan al-Bashri menentang keras manipulasi teologi untuk kepentingan politik, dan mengajarkan bahwa meskipun takdir adalah bagian dari iman, manusia tetap memiliki tanggung jawab atas tindakannya.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 73.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 24.

[3]                Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 201.

[4]                Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 63.

[5]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 276.

[6]                Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 167.

[7]                Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1990), 86.

[8]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 4695 (Riyadh: Darussalam, 2008).

[9]                Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 95.

[10]             Nasution, Teologi Islam, 37.


4.           Masa Klasik: Konsolidasi dan Perkembangan Aliran-Aliran Utama

4.1.       Munculnya Aliran Mu’tazilah dan Rasionalisme Teologis

Pada masa klasik, Ilmu Kalam mengalami konsolidasi melalui munculnya aliran-aliran utama yang memperkaya diskursus teologis Islam. Salah satu aliran paling berpengaruh dalam periode ini adalah Mu’tazilah, yang dikenal dengan pendekatan rasional dalam memahami ajaran agama. Aliran ini didirikan oleh Wasil bin ‘Atha’ (700–748 M), seorang murid dari Hasan al-Bashri, yang memisahkan diri dari gurunya karena perbedaan pandangan tentang status pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah).¹

Mu’tazilah menekankan penggunaan akal untuk menafsirkan teks-teks agama dan mempertahankan lima prinsip utama mereka, yang dikenal sebagai al-usul al-khamsah:

1)                  Tauhid (keesaan Allah),

2)                  Al-‘Adl (keadilan Allah),

3)                  Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Allah),

4)                  Al-Manzilah bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi untuk pelaku dosa besar), dan

5)                  Amr bil Ma’ruf wa Nahy ‘an al-Munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).²

Mu’tazilah memiliki pengaruh yang signifikan terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), yang mendukung pemikiran rasional mereka. Al-Ma’mun bahkan menjadikan doktrin Mu’tazilah sebagai ideologi resmi negara dan memaksakan penerimaannya melalui mihnah (inquisisi), sebuah ujian teologis untuk memastikan bahwa ulama dan pejabat negara menerima doktrin khalq al-Qur’an (keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan qadim).³

4.2.       Perlawanan terhadap Mu’tazilah: Lahirnya Aliran Asy‘ariyah

Dominasi Mu’tazilah memicu reaksi dari kalangan yang menolak pendekatan rasional yang berlebihan, terutama dari para ulama tradisionalis yang dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Reaksi ini memunculkan Asy‘ariyah, sebuah aliran teologi yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari (874–936 M). Al-Asy‘ari sendiri adalah mantan pengikut Mu’tazilah yang kemudian menolak beberapa prinsip rasionalis mereka dan berusaha menggabungkan antara rasionalisme dan tradisionalisme.⁴

Asy‘ariyah tetap menggunakan pendekatan rasional dalam beberapa aspek, tetapi menekankan pentingnya kesetiaan kepada teks-teks wahyu. Mereka menolak doktrin khalq al-Qur’an dan menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, tidak diciptakan. Asy‘ariyah juga memperkenalkan konsep kasb (usaha), yang merupakan upaya untuk menjelaskan hubungan antara kehendak bebas manusia dan kekuasaan Allah. Menurut konsep ini, manusia memiliki kehendak untuk memilih, tetapi hasil akhirnya tetap berada dalam kekuasaan Allah.⁵

Asy‘ariyah dengan cepat menjadi aliran teologi dominan dalam dunia Islam Sunni, terutama setelah mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-11. Ulama-ulama besar seperti Al-Ghazali (1058–1111 M) memperkuat posisi Asy‘ariyah dengan menggabungkan teologi dengan tasawuf dan filsafat, menghasilkan sintesis pemikiran yang mendalam dan berpengaruh luas.⁶

4.3.       Al-Maturidiyah: Variasi dalam Teologi Sunni

Selain Asy‘ariyah, aliran teologi Sunni lainnya yang berkembang pada masa klasik adalah Maturidiyah, yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M) di Samarqand, wilayah Transoxiana. Maturidiyah memiliki banyak kesamaan dengan Asy‘ariyah, tetapi mereka lebih menekankan rasionalitas dalam beberapa aspek teologi. Misalnya, Maturidiyah lebih tegas dalam menyatakan bahwa akal manusia mampu mengenali kebaikan dan keburukan tanpa memerlukan wahyu, sementara Asy‘ariyah lebih menekankan ketergantungan pada wahyu dalam memahami moralitas.⁷

Dalam hal takdir, Maturidiyah cenderung memberikan ruang lebih besar bagi kehendak bebas manusia dibandingkan dengan Asy‘ariyah. Mereka berpendapat bahwa meskipun Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tetap memiliki tanggung jawab penuh atas tindakannya. Pendekatan ini menjadikan Maturidiyah lebih diterima di wilayah Asia Tengah dan Turki, di mana pengaruh mereka bertahan hingga saat ini.⁸

4.4.       Kelompok-Kelompok Lain: Syiah, Khawarij, dan Murji’ah

Selain aliran-aliran besar di atas, masa klasik juga menyaksikan konsolidasi teologi di kalangan Syiah, Khawarij, dan Murji’ah.

·                     Syiah, khususnya Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah), mengembangkan teologi yang menekankan konsep imamah sebagai prinsip utama. Bagi mereka, imam adalah pemimpin spiritual dan politik yang maksum (terpelihara dari dosa). Konsep ini berbeda dengan teologi Sunni, yang tidak memberikan status maksum kepada pemimpin setelah Rasulullah SAW.⁹

·                     Khawarij, yang muncul sebagai oposisi radikal terhadap Ali bin Abi Thalib, mempertahankan pandangan ekstrem bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan layak diperangi. Pandangan ini membuat mereka sering terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.¹⁰

·                     Murji’ah, sebaliknya, menekankan bahwa iman adalah persoalan hati, dan amal perbuatan tidak mempengaruhi status keimanan seseorang. Mereka mengadvokasi penundaan penghakiman terhadap pelaku dosa besar hingga hari kiamat, sebuah posisi yang lebih moderat dibanding Khawarij.¹¹


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 81.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45.

[3]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 325.

[4]                Daniel W. Brown, A New Introduction to Islam, 2nd ed. (Chichester: Wiley-Blackwell, 2009), 171.

[5]                Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 89.

[6]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 52.

[7]                C. E. Bosworth, The New Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Manual (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1996), 134.

[8]                Watt, The Formative Period of Islamic Thought, 93.

[9]                Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 137.

[10]             Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1990), 114.

[11]             Nasution, Teologi Islam, 67.


5.           Masa Pertengahan: Sintesis Filsafat dan Kalam

5.1.       Latar Belakang Perkembangan Filsafat dalam Islam

Pada masa pertengahan (abad ke-10 hingga ke-13 M), Ilmu Kalam memasuki fase baru dengan munculnya upaya untuk mensintesis antara teologi Islam dan filsafat Yunani. Proses ini terjadi seiring dengan berkembangnya tradisi penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah. Pusat penerjemahan ini, seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, berperan penting dalam memperkenalkan pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus kepada dunia Islam.¹

Penerjemahan ini mempertemukan para teolog Muslim dengan ide-ide baru tentang metafisika, logika, dan etika. Akibatnya, para teolog mulai menggunakan metode filsafat untuk memperkuat argumen-argumen teologis mereka. Beberapa ulama, terutama dari kalangan Mu’tazilah, dengan antusias mengadopsi metode rasional dan logika Yunani untuk mendukung ajaran mereka tentang keadilan dan keesaan Allah.²

5.2.       Tokoh-Tokoh Kunci dalam Sintesis Filsafat dan Kalam

·                     Al-Kindi (801–873 M): Filsuf Muslim Pertama

Al-Kindi adalah salah satu tokoh awal yang mengintegrasikan filsafat dengan pemikiran Islam. Ia dikenal sebagai "Filsuf Arab" dan berusaha menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara wahyu dan rasionalitas. Dalam karya-karyanya, seperti Risalah fi al-Falsafah al-Ula (Risalah tentang Filsafat Utama), Al-Kindi membahas konsep keesaan Allah menggunakan pendekatan metafisika Aristotelian.³

Meskipun Al-Kindi lebih fokus pada filsafat murni, pengaruhnya terhadap teologi Islam sangat besar karena ia membuka jalan bagi pemikiran rasional dalam diskursus keagamaan.

·                     Al-Farabi (872–950 M): Teologi sebagai Filsafat Praktis

Al-Farabi, yang dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, memperkenalkan teori al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) di mana ia menggabungkan filsafat politik dengan teologi Islam. Al-Farabi memandang agama sebagai bentuk simbolik dari kebenaran filosofis yang lebih tinggi. Menurutnya, Nabi adalah filsuf yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran metafisik dalam bentuk yang dapat dipahami oleh masyarakat umum.⁴

Dalam konteks Ilmu Kalam, Al-Farabi berkontribusi dalam memperluas cakupan diskusi teologis dengan memasukkan konsep-konsep filsafat politik dan etika ke dalam diskursus agama.

·                     Ibnu Sina (980–1037 M): Integrasi Filsafat dan Teologi

Ibnu Sina (Avicenna) adalah tokoh utama dalam sintesis filsafat dan Kalam. Dalam Al-Shifa' dan Al-Najat, Ibnu Sina mengembangkan argumen-argumen filosofis tentang keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, dan hubungan antara akal dan wahyu. Salah satu kontribusi utamanya adalah konsep wajib al-wujud (yang wajib ada), di mana ia berpendapat bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang eksistensinya niscaya, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah mungkin ada (mumkin al-wujud).⁵

Meskipun pemikiran Ibnu Sina sangat rasional dan filosofis, ia tetap mengintegrasikan prinsip-prinsip dasar teologi Islam dalam karyanya, menunjukkan bahwa akal dan wahyu dapat berjalan seiring. Namun, beberapa pandangannya, terutama tentang keabadian alam dan emanasi (faydh), kemudian dikritik oleh ulama-ulama ortodoks.⁶

5.3.       Reaksi Terhadap Filsafat: Kritik dan Penguatan Kalam

·                     Al-Ghazali (1058–1111 M): Pengkritik Filsafat

Salah satu tokoh terpenting dalam masa pertengahan adalah Al-Ghazali, yang menulis Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof). Dalam karya ini, Al-Ghazali mengkritik keras para filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggapnya terlalu mengandalkan akal dan menyimpang dari ajaran wahyu. Al-Ghazali menuduh para filsuf melakukan kekufuran dalam tiga poin utama:

1)                  Keyakinan bahwa alam semesta kekal,

2)                  Penolakan atas kebangkitan jasmani di akhirat, dan

3)                  Doktrin bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal universal, bukan partikular.⁷

Namun, meskipun Al-Ghazali mengkritik filsafat, ia tetap menggunakan metode logika Aristotelian dalam karyanya, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya menolak akal. Sebaliknya, ia berusaha mengembalikan filsafat ke dalam kerangka teologi Islam ortodoks (Asy‘ariyah), dengan menekankan bahwa akal harus tunduk pada wahyu.⁸

·                     Ibnu Rusyd (1126–1198 M): Pembela Filsafat

Sebagai respon terhadap kritik Al-Ghazali, Ibnu Rusyd (Averroes) menulis Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan), di mana ia membela posisi para filsuf dan berargumen bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan. Menurut Ibnu Rusyd, wahyu dan akal adalah dua jalan yang berbeda tetapi menuju pada kebenaran yang sama. Ia menegaskan bahwa hanya para ahli yang terlatih dalam filsafat yang mampu memahami aspek-aspek terdalam dari ajaran agama.⁹

Ibnu Rusyd berusaha menunjukkan bahwa pemikiran rasional tidak hanya kompatibel dengan Islam, tetapi juga diperlukan untuk memahami dan mempertahankan keimanan dalam konteks intelektual yang berkembang. Pemikirannya memiliki pengaruh besar di dunia Barat, tetapi kurang diterima di dunia Islam saat itu.¹⁰

5.4.       Dampak Sintesis Filsafat dan Kalam

Sintesis antara filsafat dan Kalam pada masa pertengahan memperkaya khazanah pemikiran Islam. Para teolog menggunakan metode logika dan argumentasi rasional untuk memperkuat ajaran agama, menciptakan pendekatan intelektual yang mendalam terhadap masalah-masalah teologis. Meskipun terjadi ketegangan antara kalangan filsuf dan teolog ortodoks, periode ini menghasilkan karya-karya monumental yang tetap relevan hingga hari ini.¹¹

Selain itu, perkembangan ini juga mendorong munculnya tradisi falsafah dan tasawuf falsafi, di mana aspek rasional dan spiritual dikombinasikan untuk mencapai pemahaman yang lebih holistik tentang Tuhan dan eksistensi.¹²


Catatan Kaki

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 46.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 52.

[3]                Peter Adamson, Al-Kindi (Oxford: Oxford University Press, 2007), 31.

[4]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 54.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 83.

[6]                F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 101.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 23.

[8]                Richard Frank, Al-Ghazali and the Ash‘arite School (Durham: Duke University Press, 1994), 75.

[9]                Averroes (Ibn Rushd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 41.

[10]             Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 112.

[11]             Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 127.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 209.


6.           Perkembangan Ilmu Kalam pada Masa Modern

Pada era modern, Ilmu Kalam mengalami transformasi signifikan seiring dengan perubahan kondisi sosial, politik, dan kultural di dunia Islam. Abad ke-19 dan ke-20 menyaksikan bangkitnya gerakan reformis yang berupaya menyelaraskan ajaran klasik dengan tantangan modernitas. Pemikir-pemikir modern berusaha menginterpretasikan ulang prinsip-prinsip teologis Islam dengan tetap mempertahankan nilai-nilai inti agama, sambil mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika globalisasi.

6.1.       Reformasi Pemikiran Islam dan Kalam Modern

Tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad Abduh dan Jamal al-Afghani menjadi pelopor gerakan pembaruan dalam dunia pemikiran Islam. Muhammad Abduh, misalnya, menekankan pentingnya rasionalitas dalam menafsirkan teks-teks suci. Dalam karyanya, ia berpendapat bahwa wahyu harus dipahami dalam konteks zaman yang terus berubah, sehingga akal manusia berperan aktif dalam menginterpretasikan ajaran agama guna menjawab persoalan sosial dan politik kontemporer.1

Jamal al-Afghani turut mengadvokasi perlunya pembaruan pemikiran dengan menolak penafsiran dogmatis yang dianggapnya tidak lagi relevan dengan realitas modern. Ia menyerukan persatuan umat Islam dan penyesuaian terhadap tantangan modern, seperti imperialisme dan sekularisme, melalui pendekatan kritis dan dialogis yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.2

6.2.       Isu-isu Kontemporer dalam Ilmu Kalam

Seiring dengan berkembangnya modernitas, Ilmu Kalam modern merambah berbagai isu kontemporer seperti sekularisme, pluralisme, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Para pemikir modern berupaya menginterpretasikan konsep-konsep klasik —seperti tauhid, qadar, dan keadilan ilahi— dalam kerangka yang relevan dengan perkembangan sosial-politik dan budaya saat ini. Mereka menekankan perlunya pemahaman yang dinamis atas ajaran Islam agar dapat menyikapi perubahan nilai-nilai universal, seperti kebebasan individu dan hak asasi manusia, tanpa meninggalkan esensi keimanan.3

Kemunculan kemajuan teknologi dan metode ilmiah juga mendorong terjadinya dialog antara teologi dan sains. Pemikir seperti Fazlur Rahman mengemukakan bahwa pemahaman Islam harus bersifat kontekstual dan terbuka terhadap inovasi, sehingga memungkinkan terjadinya sintesis antara akal dan wahyu dalam menjawab persoalan modern.4

6.3.       Peran Ilmu Kalam dalam Dialog Antaragama dan Pluralisme

Dalam konteks globalisasi dan meningkatnya interaksi antarbudaya, Ilmu Kalam modern memegang peranan penting dalam mendorong dialog antaragama. Pemikir kontemporer berusaha menemukan titik temu antara nilai-nilai keislaman dan prinsip-prinsip universal yang juga dipegang oleh tradisi keagamaan lain. Pendekatan ini tidak hanya berfungsi untuk mempererat hubungan antarumat beragama, tetapi juga sebagai upaya untuk mengatasi konflik ideologis dan membangun masyarakat plural yang harmonis.5

Melalui forum-forum akademik dan dialog antaragama, pendekatan teologis modern menekankan bahwa meskipun wahyu merupakan sumber utama, akal dan pengalaman kontemporer juga layak untuk dijadikan rujukan dalam menafsirkan pesan-pesan suci. Pendekatan ini telah membantu mengurangi ketegangan antara kelompok konservatif dan progresif dalam komunitas Muslim, sekaligus membuka ruang bagi pertukaran ide secara lintas agama.6

6.4.       Kritik dan Tantangan dalam Ilmu Kalam Modern

Meskipun terdapat upaya pembaruan, Ilmu Kalam modern tidak lepas dari kritik. Sebagian ulama konservatif menganggap bahwa reinterpretasi ajaran klasik dapat mengaburkan esensi keimanan dan melemahkan identitas tradisional Islam. Mereka berpendapat bahwa penekanan berlebihan pada rasionalitas dan modernitas berisiko mengikis nilai-nilai yang telah teruji oleh sejarah.7

Di sisi lain, para pendukung pemikiran modern menegaskan bahwa adaptasi terhadap zaman adalah keharusan untuk menjaga relevansi Islam di era global. Menurut pandangan ini, integrasi antara akal dan wahyu bukan berarti kompromi terhadap prinsip keimanan, melainkan upaya untuk merevitalisasi pemikiran Islam agar lebih responsif terhadap tantangan kontemporer. Pemikiran ini, yang sering dijumpai dalam karya-karya pemikir seperti Tariq Ramadan, menekankan bahwa pembaruan harus tetap berakar pada ajaran agama sambil mengakomodasi dinamika sosial modern.8

Dengan demikian, perkembangan Ilmu Kalam pada masa modern mencerminkan upaya dinamis antara mempertahankan tradisi keilmuan klasik dan merespons kebutuhan zaman. Sintesis antara pendekatan tradisional dan modern ini tidak hanya memperkaya khazanah teologis Islam, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan kerangka pemikiran yang mampu menjembatani perbedaan nilai di tengah masyarakat global yang semakin plural dan kompleks.9


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Abduh, Risalah al-Tawhid (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1905), 45.

[2]                Jamal al-Afghani, The Jamal al-Afghani Reader: Selected Writings of a Radical Islamic Reformer (New York: Grove Press, 1996), 23.

[3]                John L. Esposito, The Oxford History of Islam (Oxford: Oxford University Press, 1999), 212.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 104.

[5]                John L. Esposito, The Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2010), 78.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Foundations (London: Routledge, 2006), 97.

[7]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 56.

[8]                Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004), 145.

[9]                John L. Esposito, Islam: The Straight Path (New York: Oxford University Press, 1998), 182.


7.           Kritik Terhadap Ilmu Kalam

Meskipun Ilmu Kalam telah memainkan peran penting dalam pengembangan pemikiran teologis Islam, disiplin ini tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai kalangan. Kritik tersebut mencerminkan perdebatan panjang mengenai keseimbangan antara wahyu dan akal, antara tradisi dan inovasi, serta relevansi metodologi Kalam dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan kultural masa kini.

7.1.       Kritik dari Ulama Fikih dan Tasawuf

Beberapa ulama fikih dan tokoh tasawuf menilai bahwa pendekatan rasionalistik dalam Ilmu Kalam sering kali menempatkan nalar di atas otoritas wahyu. Mereka berargumen bahwa penekanan yang berlebihan pada logika dan argumentasi sistematis berisiko mengaburkan esensi spiritual dan pengalaman langsung terhadap Ilahi.

Sebagai contoh, Ibn Taymiyyah memberikan kritik tajam terhadap spekulasi rasional dalam Kalam, dengan menolak kecenderungan para teolog yang mencoba menyelaraskan wahyu dengan filsafat Aristotelian. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa penafsiran wahyu harus berakar pada teks dan praktik keagamaan tradisional, bukan pada abstraksi logika yang dapat berubah-ubah sesuai konteks zaman.1

Selain itu, para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi menekankan bahwa realitas mistik dan hubungan langsung dengan Tuhan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan melalui argumentasi rasional. Mereka menganggap pengalaman spiritual sebagai jalan untuk memahami hakikat Ilahi yang melampaui batas-batas logika manusia, sehingga pendekatan Kalam dianggap cenderung mengurung makna keagamaan dalam kerangka intelektual yang kaku.2

7.2.       Kritik Kontemporer

Dalam konteks modern, kritik terhadap Ilmu Kalam muncul seiring dengan perubahan paradigma pemikiran di kalangan intelektual Muslim. Beberapa akademisi menganggap bahwa metode Kalam yang dikembangkan pada masa klasik kurang fleksibel untuk menangani persoalan kontemporer seperti pluralisme, sekularisme, dan globalisasi.

Olivier Roy, misalnya, mengkritik bahwa struktur argumentatif Kalam sering kali tidak mampu mengakomodasi dinamika sosial dan politik modern, sehingga menghasilkan interpretasi yang cenderung statis dan tidak responsif terhadap perubahan zaman.3 Demikian pula, John L. Esposito menyatakan bahwa meskipun pendekatan rasional dalam Kalam memberikan kerangka berpikir yang sistematis, ia sering kali gagal menjembatani kesenjangan antara tradisi keagamaan dan tuntutan modernitas, terutama dalam hal isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi.4

Kritik kontemporer ini menuntut adanya reformulasi kembali metode teologis agar lebih inklusif dan adaptif terhadap realitas zaman, tanpa mengorbankan inti keimanan dan nilai-nilai spiritual.

7.3.       Kritik Metodologis dan Historis

Kritik lain terhadap Ilmu Kalam berkaitan dengan asal-usul dan konteks historisnya. Pendekatan metodologis yang lahir pada abad pertengahan, yang sangat bergantung pada logika Aristotelian dan tradisi penerjemahan karya filsafat Yunani, dianggap oleh sebagian kritikus sebagai produk dari kondisi intelektual masa itu.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, metode Kalam yang menitikberatkan pada argumentasi rasional telah terbentuk dalam konteks dunia Islam klasik yang sangat berbeda dengan tantangan dan nilai-nilai masyarakat modern. Pendekatan tersebut, meskipun memiliki kontribusi besar pada sistematisasi teologi, dinilai tidak lagi sepenuhnya relevan untuk memahami fenomena-fenomena baru yang muncul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.5

Kritik metodologis ini membuka ruang bagi perdebatan tentang bagaimana tradisi teologis Islam dapat direvitalisasi agar mampu memberikan jawaban yang lebih kontekstual dan holistik terhadap persoalan keimanan di era modern.

7.4.       Refleksi terhadap Kritik dan Relevansi Ilmu Kalam

Meskipun kritik terhadap Ilmu Kalam sangat beragam, para pendukungnya menegaskan bahwa diskursus rasional yang diusung oleh Kalam tetap memiliki nilai penting dalam menjaga keseimbangan antara tradisi wahyu dan penerapan nalar. Para teolog modern berargumen bahwa pembaruan dalam metodologi Kalam bukan berarti pengabaian terhadap prinsip-prinsip klasik, melainkan upaya untuk menyesuaikan kerangka teologis dengan realitas kontemporer tanpa kehilangan esensi keimanan.

Pendekatan yang mengintegrasikan tradisi dengan inovasi ini dianggap mampu membuka dialog antarbudaya dan antaragama yang lebih konstruktif, sekaligus memberikan landasan untuk menjawab tantangan globalisasi dan pluralisme yang semakin kompleks. Dengan demikian, kritik terhadap Ilmu Kalam, baik yang bersifat tradisional maupun kontemporer, merupakan bagian integral dari dinamika pemikiran Islam yang terus berevolusi untuk mencari pemahaman keimanan yang lebih mendalam dan relevan.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Taymiyyah, Majmuʿ al-Fatawa, ed. Muhammad 'Abd al-Rahim, trans. [trans. name if available] (Istanbul: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), 112.

[2]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 102.

[3]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 72.

[4]                John L. Esposito, Islam: The Straight Path (New York: Oxford University Press, 1998), 150.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Foundations (London: Routledge, 2006), 115.


8.           Kesimpulan

Dalam artikel ini telah diuraikan secara komprehensif perjalanan dan dinamika pemikiran teologis dalam Islam melalui perkembangan Ilmu Kalam, mulai dari masa awal perdebatan di kalangan Sahabat dan Tabi‘in hingga transformasi pemikiran pada era modern. Secara historis, Ilmu Kalam muncul sebagai respons terhadap tantangan-tantangan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam, yang mengharuskan para ulama untuk menyeimbangkan antara wahyu dan akal.⁽¹⁾

Pada masa awal, diskursus teologis yang muncul dari perdebatan mengenai takdir, kehendak bebas, dan kriteria keimanan menjadi fondasi yang kemudian diolah lebih sistematis oleh aliran-aliran awal seperti Qadariyah dan Jabariyah. Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa klasik, muncul konsolidasi pemikiran melalui aliran Mu’tazilah, Asy‘ariyah, dan Maturidiyah, yang masing-masing menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami esensi keesaan Allah, keadilan ilahi, serta hubungan antara akal dan wahyu.⁽²⁾

Masa pertengahan menyaksikan sintesis mendalam antara filsafat dan Kalam, di mana para pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan seterusnya, berusaha mengintegrasikan warisan filsafat Yunani ke dalam kerangka teologi Islam. Upaya ini menghasilkan diskursus yang tidak hanya memperkaya aspek rasionalitas dalam teologi, tetapi juga mengundang kritik dari kalangan ulama tradisional dan tasawuf, yang menekankan pentingnya pengalaman mistik dan kepatuhan pada teks wahyu.⁽³⁾

Di era modern, dinamika Ilmu Kalam kembali mengalami transformasi seiring dengan munculnya tantangan kontemporer seperti sekularisme, pluralisme, dan globalisasi. Pemikir reformis seperti Muhammad Abduh dan Jamal al-Afghani mengusung pendekatan baru yang mencoba merevitalisasi tradisi teologis Islam agar lebih relevan dengan kondisi zaman. Meskipun pendekatan ini menghadapi kritik, terutama dari pihak konservatif yang khawatir akan kehilangan esensi keimanan, dialog antara tradisi dan inovasi telah membuka ruang bagi pemikiran keislaman yang lebih inklusif dan adaptif.⁽⁴⁾

Secara keseluruhan, sejarah perkembangan Ilmu Kalam menegaskan bahwa dinamika pemikiran teologis Islam merupakan proses yang terus berlangsung, di mana upaya mengharmoniskan antara wahyu dan akal telah menghasilkan landasan intelektual yang kuat. Diskursus ini tidak hanya menjadi cermin kekayaan warisan keilmuan Islam, tetapi juga menyediakan kerangka untuk merespons tantangan keagamaan dan filosofis di era modern. Dengan demikian, meskipun menghadapi berbagai kritik dan transformasi, Ilmu Kalam tetap relevan sebagai disiplin yang mampu menjembatani perbedaan antara tradisi dan modernitas serta memberikan kontribusi signifikan dalam memperdalam pemahaman tentang keimanan Islam.⁽⁵⁾


Catatan Kaki

[1]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 73–78.

[2]                Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 45–50.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Foundations (London: Routledge, 2006), 112–115.

[4]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 132–135.

[5]                John L. Esposito, Islam: The Straight Path (New York: Oxford University Press, 1998), 180–185.


Daftar Pustaka

Abduh, M. (1905). Risalah al-Tawhid. Dar al-Ma’arif.

Adamson, P. (2007). Al-Kindi. Oxford University Press.

Afghani, J. al. (1996). The Jamal al-Afghani Reader: Selected writings of a radical Islamic reformer. Grove Press.

al-Ghazali. (2000a). Tahafut al-Falasifah [The Incoherence of the Philosophers] (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

al-Ghazali. (2000b). al-Iqtishad fi al-I‘tiqad. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Jurjani, A. ibn M. (1991). At-Ta‘rifat. Maktabah al-Mutanabbi.

Al-Shahrastani. (1990). Al-Milal wa al-Nihal. Dar al-Ma‘arif.

Averroes (Ibn Rushd). (1954). Tahafut al-Tahafut [The Incoherence of the Incoherence] (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.

Abu Dawud. (2008). Sunan Abi Dawud (Hadith No. 4695). Darussalam.

Bosworth, C. E. (1996). The new Islamic dynasties: A chronological and genealogical manual. Edinburgh University Press.

Brown, D. W. (2009). A new introduction to Islam (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

Esposito, J. L. (1998). Islam: The straight path. Oxford University Press.

Esposito, J. L. (1999). The Oxford history of Islam. Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2010). The future of Islam. Oxford University Press.

Frank, R. (1994). Al-Ghazali and the Ash‘arite School. Duke University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society. Routledge.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vol. 1). University of Chicago Press.

Ibn Taymiyyah. (1985). Majmuʿ al-Fatawa (M. 'Abd al-Rahim, Ed.). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Clarendon Press.

Madelung, W. (1997). The succession to Muhammad: A study of the early Caliphate. Cambridge University Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Momen, M. (1985). An introduction to Shi'i Islam: The history and doctrines of Twelver Shi'ism. Yale University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic spirituality: Foundations. Routledge.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan. UI Press.

Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The Aristotelian tradition in Islam. New York University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford University Press.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The search for a new Ummah. Columbia University Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

van Ess, J. (2006). The flowering of Muslim theology. Harvard University Press.

Watt, M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.

Watt, W. M. (1973). The formative period of Islamic thought. Edinburgh University Press.

The Qur’an. (2004). In M. A. S. Abdel Haleem (Trans.), The Qur’an. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar