Pengertian Al-Qur’an dan Wahyu
Pengertian Al-Qur’an dan Wahyu dari Para Ulama’
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10 (Sepuluh)
Abstrak
Al-Qur’an merupakan kitab
suci umat Islam yang diyakini sebagai kalam Allah Swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Sebagai sumber utama ajaran Islam,
pemahaman tentang pengertian Al-Qur’an dan wahyu menjadi aspek fundamental
dalam studi Islam. Artikel ini mengkaji secara komprehensif pengertian
Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis, serta membandingkan definisi yang
diberikan oleh para ulama seperti Syeikh Muhammad Khudari
Beik, Subkhi As-Saleh, dan Muhammad Abduh. Selain itu, artikel
ini membahas konsep wahyu dalam Islam, termasuk perbedaannya dengan ilham
dan ta’lim, serta bagaimana wahyu berperan sebagai
bentuk komunikasi Ilahi kepada para nabi.
Artikel ini juga menguraikan nama-nama
Al-Qur’an, seperti Al-Qur’an, Al-Kitab,
Adz-Dzikr, Al-Furqan, dan At-Tanzil,
beserta dalil dan penjelasan tafsirnya. Selanjutnya, kajian mengenai sifat-sifat
Al-Qur’an, seperti hudan
(petunjuk), rahmat (kasih sayang), nur
(cahaya), mubarak (diberkahi), dan aziz
(mulia), memperkuat pemahaman mengenai karakteristik kitab suci ini.
Hasil penelitian ini
menegaskan bahwa Al-Qur’an memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, tidak
hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai sumber hukum, pedoman hidup, dan
mukjizat terbesar yang tetap terjaga keasliannya. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hakikat Al-Qur’an dan wahyu,
serta mendorong pengkajian lebih lanjut terhadap Ulumul
Qur’an dan tafsir klasik guna memperkaya wawasan keislaman.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Wahyu, Ilham, Ta’lim,
Nama-nama Al-Qur’an, Sifat-sifat Al-Qur’an, Tafsir Klasik, Ulumul Qur’an.
PEMBAHASAN
Pengertian Al-Qur’an dan Wahyu
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Bab : Bab 1 - Pengertian
Al-Qur'an dan Wahyu dari para Ulama'
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab
suci umat Islam yang diyakini sebagai firman Allah Swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat Jibril. Keberadaan Al-Qur’an
sebagai sumber utama ajaran Islam menjadikannya pusat dari segala aspek
kehidupan seorang Muslim, baik dalam aspek ibadah, hukum, sosial, maupun moral.
Oleh karena itu, memahami pengertian Al-Qur’an dan wahyu secara mendalam
menjadi suatu keharusan dalam kajian keislaman.
Dalam khazanah keilmuan
Islam, para ulama telah mengkaji dan mendefinisikan Al-Qur’an dari berbagai
perspektif, baik secara etimologis maupun terminologis. Misalnya, Syeikh
Muhammad Khudari Beik dalam Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī menjelaskan
bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
secara mutawatir dan menjadi mukjizat dalam lafaz dan maknanya.1
Demikian pula, Subkhi As-Saleh dan Muhammad Abduh memiliki definisi tersendiri
yang menggambarkan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an. Kajian perbandingan
antara definisi-definisi ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas dan
sistematis bagi para pelajar dan peneliti Islam.
Selain itu, wahyu sebagai
bentuk komunikasi Ilahi dengan para nabi memiliki cakupan konsep yang lebih
luas dibandingkan dengan Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri, istilah wahyu
digunakan dalam berbagai konteks, baik yang berhubungan dengan penyampaian
pesan Allah kepada para nabi maupun bentuk komunikasi kepada makhluk lain,
seperti lebah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 68.2 Oleh karena itu,
memahami wahyu tidak hanya sebatas pada konsep turunnya Al-Qur’an tetapi juga
dalam kaitannya dengan ilham dan ta’lim dalam Islam.
Kajian tentang Al-Qur’an dan wahyu
juga telah dibahas secara luas dalam tafsir klasik, seperti Tafsir
al-Ṭabarī, Tafsir al-Qurṭubī, dan Tafsir Ibnu Kathīr,
serta dalam berbagai jurnal ilmiah modern yang membahas studi kritis mengenai
konsep wahyu dan Al-Qur’an dalam berbagai disiplin ilmu Islam.3 Oleh
sebab itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam pengertian
Al-Qur’an dan wahyu berdasarkan pandangan para ulama serta didukung oleh
sumber-sumber otoritatif dari tafsir klasik dan referensi akademik.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab dalam artikel ini adalah:
1)
Bagaimana pengertian
Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis menurut para ulama?
2)
Bagaimana perbandingan
definisi Al-Qur’an menurut Syeikh Muhammad Khudari Beik, Subkhi As-Saleh, dan
Muhammad Abduh?
3)
Bagaimana konsep wahyu
dalam Islam, dan bagaimana perbandingannya dengan ilham serta ta’lim?
4)
Apa saja nama-nama dan
sifat-sifat Al-Qur’an berdasarkan dalil-dalilnya?
Rumusan masalah ini
diharapkan dapat memberikan kerangka sistematis dalam menganalisis pengertian
Al-Qur’an dan wahyu secara akademis dan komprehensif.
1.3.
Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan
untuk:
1)
Menganalisis pengertian
Al-Qur’an secara etimologis dan terminologis menurut para ulama klasik dan
kontemporer.
2)
Mengkaji perbandingan
definisi Al-Qur’an dari beberapa ulama serta membangun sintesis dari berbagai
perspektif.
3)
Menjelaskan konsep wahyu,
ilham, dan ta’lim dalam Islam berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits.
4)
Menguraikan nama-nama dan
sifat-sifat Al-Qur’an berdasarkan kajian tafsir dan referensi akademik.
Melalui kajian ini,
diharapkan pemahaman yang lebih dalam tentang konsep Al-Qur’an dan wahyu dapat
diperoleh, sehingga dapat menjadi rujukan bagi para akademisi, pengajar, serta
pelajar Islam dalam memperkaya wawasan mereka tentang keilmuan Islam.
Footnotes
[1]
Muhammad Khudari Beik, Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī (Beirut:
Dar al-Fikr, 1999), 12.
[2]
Al-Qur’an, QS. An-Nahl (16) ayat 68.
[3]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (Cairo: Dar
al-Ma’arif, 1954); Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006); Ibnu Kathīr, Tafsir al-Qur’an al-‘Aẓīm
(Riyadh: Dar Tayyibah, 2000).
2.
Pengertian Al-Qur’an
2.1.
Pengertian Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis, kata Al-Qur’an
berasal dari bahasa Arab القرآن yang berakar dari kata kerja qara’a (قرأ), yang berarti "membaca"
atau "mengumpulkan."1 Dalam Lisān al-‘Arab,
Ibnu Manzur menjelaskan bahwa Al-Qur’an disebut demikian karena ia
adalah bacaan yang terus-menerus dibaca oleh umat Islam dalam berbagai aspek
kehidupan mereka.2
Sementara itu, secara
terminologis, para ulama mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui wahyu, yang lafaz dan maknanya
bersifat mukjizat, tertulis dalam mushaf, serta dibaca sebagai ibadah.3
Imam Al-Jurjani dalam At-Ta‘rifat mendefinisikan Al-Qur’an sebagai
"kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa
Arab, disampaikan secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, dan dipandang sebagai
ibadah ketika dibaca."4 Definisi ini menegaskan bahwa
Al-Qur’an memiliki ciri khusus yang membedakannya dari wahyu lainnya, seperti
hadits Qudsi.
2.2.
Definisi Al-Qur’an Menurut Para Ulama
2.2.1. Definisi Al-Qur’an Menurut
Syeikh Muhammad Khudari Beik
Syeikh Muhammad Khudari Beik
dalam Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī mendefinisikan Al-Qur’an sebagai
berikut:
كَلَامُ اللَّهِ الَّذِي
أُنْزِلَ إِلَىٰ رَسُولِهِ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنَجَّمًا بِوَاسِطَةِ
جِبْرِيلَ، وَحُفِظَ فِي ٱلْمَصَاحِفِ، وَمَصُونٌ مِنَ التَّغْيِيرِ وَالتَّبْدِيلِ،
وَمُعْجِزٌ لِجَمِيعِ ٱلنَّاسِ.
"Kalam Allah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, Nabi Muhammad Saw, secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril,
yang diabadikan dalam mushaf, dipelihara dari perubahan, dan menjadi mukjizat
bagi seluruh manusia."5
Dari definisi ini, Khudari
Beik menekankan aspek pewahyuan yang bersifat berangsur-angsur, serta kepastian
bahwa Al-Qur’an akan tetap terjaga dari perubahan, sebagaimana Allah menjamin
dalam QS. Al-Hijr [15] ayat 9.6
2.2.2.
Definisi Al-Qur’an Menurut Subkhi As-Saleh
Subkhi As-Saleh dalam Mabahith
fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan Al-Qur’an sebagai:
"كَلَامُ اللَّهِ ٱلَّذِي
أُوحِيَ إِلَىٰ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللُّغَةِ
ٱلْعَرَبِيَّةِ، بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ ٱلْمُعْجِزِ، وَأُنزِلَ بِطَرِيقِ
ٱلتَّوَاتُرِ لِيَكُونَ هُدًى لِلنَّاسِ."
"Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw dalam bahasa Arab, disampaikan dengan lafaz dan makna yang
bersifat mukjizat, serta diturunkan secara mutawatir untuk menjadi pedoman bagi
umat manusia."7
Definisi ini menekankan bahwa
Al-Qur’an adalah wahyu dalam bahasa Arab yang memiliki sifat mukjizat, baik
dari aspek bahasa maupun kandungannya. Selain itu, penyampaian Al-Qur’an secara
mutawatir memastikan keaslian dan kemurniannya.
2.2.3.
Definisi Al-Qur’an Menurut Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, dalam
tafsirnya yang dikembangkan bersama Rasyid Rida, mendefinisikan Al-Qur’an
sebagai:
القرآنُ الكريمُ هو
كتابٌ مقدّسٌ يَحْمِلُ الهُدَى لِلنَّاسِ، وَيَشْتَمِلُ على تَعَالِيمِ
التَّوْحِيدِ، وَأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ، وَالقِيَمِ الأَخْلَاقِيَّةِ، وَيَهْدِفُ
إِلَى تَوْجِيهِ البَشَرِيَّةِ نَحْوَ حَيَاةٍ أَفْضَلَ.
"Kitab suci yang mengandung petunjuk
bagi manusia, berisi ajaran tauhid, hukum-hukum syariah, serta nilai-nilai
moral yang bertujuan untuk membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih
baik."8
Dari perspektif ini, Muhammad
Abduh lebih menitikberatkan pada aspek fungsional Al-Qur’an sebagai sumber
pedoman hidup dan reformasi sosial.
2.3.
Perbandingan Definisi
Berdasarkan ketiga definisi
di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
·
Semua ulama sepakat bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.
·
Syeikh Muhammad Khudari
Beik lebih menekankan aspek pewahyuan dan jaminan pemeliharaan Al-Qur’an dari
perubahan.
·
Subkhi As-Saleh menyoroti
aspek kemukjizatan dan penyampaian Al-Qur’an secara mutawatir.
·
Muhammad Abduh lebih
menekankan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk moral dan sosial bagi umat
manusia.
2.4.
Sintesis Definisi
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab, melalui
malaikat Jibril, secara mutawatir, bersifat mukjizat dalam lafaz dan maknanya,
tertulis dalam mushaf, serta dibaca sebagai ibadah. Definisi
ini mengakomodasi berbagai aspek yang telah dijelaskan oleh para ulama,
mencakup aspek pewahyuan, kemukjizatan, serta fungsi Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup bagi manusia.
Footnotes
[1]
Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 408.
[2]
Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
4:292.
[3]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Cairo: Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), 1:278.
[4]
Al-Jurjani, At-Ta‘rifat (Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, 2003),
126.
[5]
Muhammad Khudari Beik, Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī (Beirut:
Dar al-Fikr, 1999), 12.
[6]
Al-Qur’an, QS. Al-Hijr (15) ayat 9.
[7]
Subkhi As-Saleh, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar
al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), 24.
[8]
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, ed. Rasyid Rida (Cairo:
Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1961), 1:18.
3.
Pengertian Wahyu
3.1.
Pengertian Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis, kata wahyu
(وَحْيٌ) berasal dari akar
kata waha (وحى) yang berarti "isyarat
cepat", "ilham", atau "bisikan yang
tersembunyi".1 Dalam Lisān al-‘Arab, Ibnu Manzur
menjelaskan bahwa wahyu adalah bentuk komunikasi yang cepat dan
tersembunyi antara penyampai dan penerima pesan.2
Secara terminologis, wahyu
memiliki makna yang lebih spesifik dalam konteks keislaman. Imam Al-Jurjani
dalam At-Ta‘rifat mendefinisikan wahyu sebagai "kalam Allah
yang disampaikan kepada para nabi-Nya secara tersembunyi melalui perantaraan
malaikat atau secara langsung, tanpa perantaraan manusia lain."3
Definisi ini menunjukkan bahwa wahyu adalah cara komunikasi Ilahi dengan para
nabi, baik secara langsung maupun melalui malaikat.
Dalam Al-Qur’an, kata wahyu
digunakan dalam berbagai konteks. Misalnya, Allah Swt menggunakan istilah wahyu
tidak hanya untuk komunikasi dengan para nabi, tetapi juga kepada makhluk lain,
seperti lebah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 68:
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ
إِلَى النَّحْلِ
("Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah…")4
Hal ini menunjukkan bahwa
konsep wahyu dalam Islam tidak terbatas pada penyampaian kitab suci, tetapi
mencakup berbagai bentuk petunjuk Ilahi.
3.2.
Ilham dan Ta’lim dalam Islam
Dalam kajian keislaman, wahyu
sering dibandingkan dengan konsep ilham dan ta’lim, yang juga
berkaitan dengan cara Allah menyampaikan pengetahuan kepada makhluk-Nya.
3.2.1. Pengertian Ilham
Secara etimologis, ilham
(إِلْهَامٌ) berasal dari akar kata lahama (لهم), yang berarti "memberikan
pemahaman secara langsung ke dalam hati seseorang tanpa melalui panca indera."5
Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menjelaskan bahwa ilham adalah
"pengetahuan yang Allah tanamkan ke dalam hati seseorang tanpa proses
belajar atau berpikir panjang."6
Dalam Al-Qur’an, konsep ilham
disebutkan dalam QS. Asy-Syams [91] ayat 8:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
("Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu jalan kefasikan dan ketakwaannya.")7
Ilham berbeda dengan wahyu
karena tidak bersifat universal dan tidak memiliki otoritas hukum sebagaimana
wahyu yang diterima oleh para nabi.
3.2.2.
Pengertian Ta’lim
Secara etimologis, ta’lim
(تَعْلِيمٌ) berasal dari kata ‘allama
(علّم), yang berarti "mengajarkan atau
memberikan ilmu".8 Dalam Islam, ta’lim sering dikaitkan
dengan cara Allah mengajarkan manusia melalui perantaraan para nabi dan kitab
suci.
Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat
31, Allah Swt berfirman:
وَعَلَّمَ آدَمَ
الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
("Dan Dia mengajarkan Adam nama-nama
semuanya…")9
Konsep ta’lim lebih berkaitan
dengan pembelajaran secara bertahap, baik melalui wahyu maupun melalui upaya
manusia dalam memahami ajaran agama.
3.3.
Perbandingan antara Wahyu, Ilham, dan Ta’lim
Untuk memahami perbedaan
mendasar antara ketiga konsep ini, dapat dibuat perbandingan sebagai berikut:
·
Wahyu
Sumber: Langsung dari Allah kepada para
nabi
Media Penyampaian: Malaikat Jibril, suara
langsung, atau mimpi yang benar
Otoritas: Mutlak dan wajib diikuti
Contoh dalam Al-Qur’an: QS. Asy-Syu’ara [26]
ayat 192-195 (wahyu kepada Nabi Muhammad)
·
Ilham
Sumber: Langsung dari Allah ke dalam hati
seseorang
Media Penyampaian: Bisikan hati atau
intuisi
Otoritas: Bersifat pribadi dan tidak
mengikat
QS. Asy-Syams [91] ayat 8 (ilham kepada manusia)
·
Ta’lim
Sumber: Proses pembelajaran melalui
perantaraan guru atau kitab
Media Penyampaian: Pengajaran lisan atau
tulisan
Otoritas: Bergantung pada sumber dan
metode pengajaran
Contoh dalam Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah [02]
ayat 31 (ta’lim kepada Adam)
Dari tabel ini, terlihat
bahwa wahyu memiliki otoritas tertinggi karena berasal langsung dari Allah dan
ditujukan kepada para nabi untuk disampaikan kepada umat manusia. Ilham lebih
bersifat personal dan tidak memiliki nilai hukum, sementara ta’lim adalah proses
pendidikan yang melibatkan perantara manusia.
Footnotes
[1]
Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 532.
[2]
Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
15:432.
[3]
Al-Jurjani, At-Ta‘rifat (Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, 2003),
136.
[4]
Al-Qur’an, QS. An-Nahl (16) ayat 68.
[5]
Al-Zabidi, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs (Kuwait: Wizarat
al-I’lam, 1983), 5:218.
[6]
Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1992), 3:28.
[7]
Al-Qur’an, QS. Asy-Syams (91) ayat 8.
[8]
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muhit (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),
4:129.
[9]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2) ayat 31.
4.
Nama-Nama Al-Qur’an dan Dalilnya
Al-Qur’an memiliki berbagai
nama yang disebutkan dalam kitab suci itu sendiri maupun dalam literatur
keislaman klasik. Para ulama menafsirkan bahwa banyaknya nama bagi Al-Qur’an
menunjukkan kemuliaan dan keberkahan kitab suci ini, sebagaimana banyaknya nama
bagi Allah Swt yang mencerminkan sifat-sifat-Nya.1
Nama-nama tersebut tidak hanya berfungsi sebagai identitas, tetapi juga
menggambarkan sifat dan peran Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam.
Berikut adalah lima nama
utama Al-Qur’an yang disebutkan dalam sumber-sumber Islam beserta dalilnya.
4.1.
Al-Qur’an (القرآن) – Bacaan/Yang Mengumpulkan
Nama Al-Qur’an
adalah nama yang paling umum digunakan untuk kitab suci ini. Kata Al-Qur’an
berasal dari akar kata qara’a (قرأ),
yang berarti "membaca" atau "mengumpulkan."2
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul penamaan ini. Imam Al-Suyuthi
dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an
dinamakan demikian karena ia merupakan kumpulan firman Allah yang tertulis dan
dibaca oleh umat Islam secara terus-menerus.3
Dalil yang menunjukkan bahwa
nama kitab suci ini adalah Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Isra’ [17]
ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ
يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
("Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada jalan yang lebih lurus...")4
Imam Al-Tabari dalam Tafsir
al-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan fungsi utama Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia, yang membedakannya dari kitab-kitab suci
sebelumnya.5
4.2.
Al-Kitab (الكتاب) – Buku
Nama Al-Kitab
berarti "buku" atau "kitab yang tertulis."
Dalam literatur Islam, istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw telah dibukukan dalam bentuk
mushaf.6 Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
menyebutkan bahwa penyebutan Al-Qur’an sebagai Al-Kitab menegaskan
sifatnya sebagai wahyu yang tertulis, yang membedakannya dari wahyu-wahyu
sebelumnya yang tidak dikodifikasi dengan sempurna.7
Dalil yang menunjukkan nama
ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
("Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.")8
Menurut Al-Qurtubi, dalam Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang
lengkap dan sempurna sebagai pedoman bagi umat Islam.9
4.3.
Adz-Dzikr (الذكر) – Pemberi Peringatan
Nama Adz-Dzikr
bermakna "peringatan" atau "pengingat."
Al-Qur’an disebut sebagai Adz-Dzikr karena ia mengingatkan manusia
akan kebenaran, tugas mereka sebagai hamba Allah, serta kehidupan setelah mati.10
Imam Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa Al-Qur’an
dinamakan Adz-Dzikr karena ia berfungsi sebagai pengingat bagi
orang-orang beriman dan sebagai hujjah bagi mereka yang menolaknya.11
Dalil mengenai nama ini
terdapat dalam QS. Al-Hijr [15] ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
("Sesungguhnya Kami yang menurunkan
Adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami pula yang menjaganya.")12
Imam Al-Tabari menjelaskan
bahwa ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt sendiri yang menjaga Al-Qur’an dari
perubahan atau penyimpangan sepanjang zaman.13
4.4.
Al-Furqan (الفرقان) – Pembeda
Nama Al-Furqan
berasal dari akar kata faraqo (فرق),
yang berarti "memisahkan" atau "membedakan."14
Al-Qur’an disebut Al-Furqan karena ia membedakan antara kebenaran dan
kebatilan, serta antara petunjuk dan kesesatan.15
Dalil mengenai nama ini
terdapat dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 1:
تَبَارَكَ الَّذِي
نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
("Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.")16
Imam Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menyebutkan bahwa penyebutan Al-Qur’an sebagai Al-Furqan
menekankan sifatnya sebagai kitab yang membedakan antara yang hak dan yang
batil dengan jelas.17
4.5.
At-Tanzil (التنزيل) – Yang Diturunkan
Nama At-Tanzil
menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dari Allah Swt kepada
Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.18 Dalam Tafsir
Al-Baghawi, dijelaskan bahwa nama ini menekankan aspek pewahyuan Al-Qur’an
secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw selama 23 tahun.19
Dalil mengenai nama ini
terdapat dalam QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 192-195:
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ
رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَىٰ قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
("Dan sesungguhnya Al Quran ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, (192) dia dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), (193) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, (194) dengan
bahasa Arab yang jelas. (195)")20
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
tentang nama-nama Al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap nama yang
disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki makna dan fungsi yang khas, menggambarkan
esensi serta keagungan kitab suci ini.
1)
Al-Qur’an
(القرآن) menegaskan bahwa
kitab ini adalah bacaan yang terus-menerus dibaca dan mengumpulkan seluruh
petunjuk ilahi yang diperlukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 9, Al-Qur’an adalah
petunjuk yang paling lurus bagi umat manusia.
2)
Al-Kitab
(الكتاب) menunjukkan bahwa
wahyu ini telah dikodifikasi dan dibukukan dalam bentuk mushaf, sehingga
menjadi pegangan yang tetap bagi umat Islam. Penyebutan nama ini dalam QS.
Al-Baqarah [02] ayat 2 menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang tidak
mengandung keraguan dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
3)
Adz-Dzikr
(الذكر) menggambarkan peran
Al-Qur’an sebagai pengingat bagi manusia, baik dalam aspek ketauhidan, syariat,
maupun kehidupan setelah mati. QS. Al-Hijr [15] ayat 9 menegaskan bahwa Allah Swt
sendiri yang menjaga kemurnian kitab ini dari perubahan sepanjang zaman.
4)
Al-Furqan
(الفرقان) menegaskan bahwa
Al-Qur’an adalah pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Dalam QS. Al-Furqan [25]
ayat 1, Al-Qur’an disebut sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw
untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi seluruh umat manusia.
5)
At-Tanzil
(التنزيل) menekankan bahwa
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara langsung dari Allah Swt kepada
Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Dalam QS. Asy-Syu’ara [26] ayat
192-195, nama ini menggambarkan proses pewahyuan yang ilahiah dan transenden.
Keseluruhan nama-nama
tersebut menunjukkan betapa luas dan mendalamnya peran Al-Qur’an dalam
kehidupan umat Islam. Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, tetapi juga bacaan
yang mengandung petunjuk, pengingat, pembeda antara kebenaran dan kebatilan, serta
wahyu yang diturunkan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Keberagaman
nama ini juga menegaskan bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi yang sangat kompleks
dan sempurna sebagai pedoman bagi umat manusia.
Oleh karena itu, memahami
berbagai nama Al-Qur’an bukan sekadar aspek linguistik atau akademik, tetapi
juga bagian dari upaya untuk menghayati dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Footnotes
[1]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999), 1:13.
[2]
Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 408.
[3]
Al-Suyuthi, Al-Itqan, 1:14.
[4]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 9.
[5]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (Cairo: Dar
al-Ma’arif, 1954), 15:112.
[6]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh: Dar Tayyibah,
2000), 1:20.
[8]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2) ayat 2.
[9]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2006), 1:26.
[10]
Al-Suyuthi, Al-Itqan, 1:22.
[11]
Al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 10:129.
[12]
Al-Qur’an, QS. Al-Hijr (15) ayat 9.
[13]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān, 14:202.
[14]
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muhit (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),
3:456.
[15]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2:78.
[16]
Al-Qur’an, QS. Al-Furqan (25) ayat 1.
[18]
Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 2003), 5:231.
[20]
Al-Qur’an, QS. Asy-Syu’ara (26) ayat 192-195.
5.
Sifat-Sifat Al-Qur’an dan Dalilnya
Al-Qur’an memiliki berbagai
sifat yang menunjukkan keagungan, kesempurnaan, dan fungsinya sebagai petunjuk
bagi umat manusia. Para ulama dan mufassir menjelaskan bahwa sifat-sifat
Al-Qur’an yang disebutkan dalam ayat-ayatnya menggambarkan karakteristik utama
kitab suci ini dan bagaimana ia membimbing manusia menuju kebenaran.
Dalam pembahasan ini, kita
akan menguraikan beberapa sifat utama Al-Qur’an berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur’an, serta penjelasan dari para ulama tafsir.
5.1.
Hudan (Petunjuk)
Salah satu sifat utama Al-Qur’an
adalah sebagai hudan atau petunjuk bagi
manusia. Kata hudan berasal dari akar kata hada-yahdi,
yang berarti membimbing ke arah yang benar.1 Al-Qur’an disebut
sebagai petunjuk karena ia memberikan arahan yang jelas mengenai keyakinan,
hukum, dan akhlak dalam kehidupan manusia.
Dalil yang menunjukkan sifat
ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
("Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.")2
Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa sifat hudan
pada ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi mereka yang
ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan berpegang teguh kepada
ajarannya.3
5.2.
Rahmat (Kasih Sayang)
Al-Qur’an juga memiliki sifat
sebagai rahmat, yang berarti
kasih sayang bagi seluruh manusia, khususnya bagi orang-orang yang beriman dan
mengamalkan isinya.
Dalilnya terdapat dalam QS.
Yunus [10] ayat 57:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
("Wahai manusia! Sungguh, telah datang
kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit
yang ada dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.")4
Ibnu Katsir dalam Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim menjelaskan bahwa sifat rahmat
dalam ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengandung keberkahan bagi
orang-orang yang mengikuti ajarannya dengan benar.5
5.3.
Nur (Cahaya)
Al-Qur’an disebut sebagai nur
(cahaya) karena ia menerangi jalan hidup manusia dari kegelapan menuju
kebenaran.
Dalilnya terdapat dalam QS.
An-Nisa [04] ayat 174:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا
مُبِينًا
("Wahai manusia! Sungguh, telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya
yang terang benderang.")6
Imam Al-Tabari dalam Tafsir
al-Tabari menafsirkan bahwa cahaya yang dimaksud dalam ayat ini
adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman bagi umat manusia dalam kehidupan dunia
dan akhirat.7
5.4.
Mubarak (Diberkahi)
Al-Qur’an juga disebut
sebagai mubarak, yang berarti
penuh berkah dan kebaikan.
Dalilnya terdapat dalam QS.
Shad [38] ayat 29:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
("Kitab yang Kami turunkan kepadamu ini
penuh berkah, agar mereka mentadaburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran.")8
Al-Razi dalam Mafatih
al-Ghaib menjelaskan bahwa keberkahan Al-Qur’an dapat dirasakan
oleh siapa saja yang mempelajarinya dan mengamalkan ajarannya.9
5.5.
Aziz (Mulia)
Al-Qur’an juga disebut
sebagai aziz, yang berarti mulia
dan tidak dapat dikalahkan atau diubah oleh siapa pun.
Dalilnya terdapat dalam QS.
Fussilat [41] ayat 41-42:
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
(41) لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ
حَمِيدٍ (42)
("Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu
pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia. (41)
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(142)")10
Imam Al-Sa’di dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa sifat aziz pada ayat ini
menunjukkan bahwa Al-Qur’an akan selalu terjaga dari perubahan dan pemalsuan.11
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an memiliki berbagai sifat yang menggambarkan
kesempurnaan dan keagungannya sebagai kitab suci umat Islam:
1)
Hudan
(Petunjuk), yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan arahan bagi kehidupan
manusia.
2)
Rahmat
(Kasih Sayang), yang berarti bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebaikan dan
kesejahteraan bagi orang-orang yang beriman.
3)
Nur
(Cahaya), yang menggambarkan bahwa Al-Qur’an menerangi jalan hidup manusia agar
terhindar dari kesesatan.
4)
Mubarak
(Diberkahi), yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an membawa keberkahan bagi mereka
yang membacanya dan mengamalkannya.
5)
Aziz
(Mulia), yang menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak dapat diubah dan akan selalu
terjaga keasliannya.
Sifat-sifat ini menegaskan
bahwa Al-Qur’an bukan hanya sekadar kitab suci, tetapi juga merupakan petunjuk
hidup yang sempurna, yang membawa rahmat, cahaya, keberkahan, dan kemuliaan
bagi seluruh umat manusia yang mengikuti ajarannya.
Catatan Kaki
[1]
Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 532.
[2]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2) ayat 2.
[3]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 1:26.
[4]
Al-Qur’an, QS. Yunus (10) ayat 57.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 2000), 2:210.
[6]
Al-Qur’an, QS. An-Nisa (4) ayat 174.
[7]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1954), 9:346.
[8]
Al-Qur’an, QS. Shad (38) ayat 29.
[9]
Al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), 17:162.
[10]
Al-Qur’an, QS. Fussilat (41) ayat 41-42.
[11]
Al-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam
al-Mannan (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 2002), 1:857.
6.
Kesimpulan dan Penutup
6.1.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
mengenai pengertian Al-Qur’an dan wahyu menurut
para ulama, dapat disimpulkan bahwa:
1)
Al-Qur’an adalah wahyu
Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat Jibril dalam bahasa Arab,
yang bersifat mukjizat dalam lafaz dan maknanya, serta tertulis dalam mushaf
dan dibaca sebagai ibadah.1 Definisi ini diperoleh dari kajian
etimologis dan terminologis, serta perbandingan pendapat para ulama, seperti Syeikh
Muhammad Khudari Beik, Subkhi As-Saleh, dan Muhammad Abduh.2
2)
Wahyu adalah komunikasi
Ilahi yang diberikan kepada para nabi, baik secara langsung
maupun melalui perantaraan malaikat.3 Wahyu berbeda dari ilham
dan ta’lim, meskipun ketiganya sama-sama merupakan bentuk
pemberian ilmu dari Allah Swt. Ilham diberikan kepada manusia secara langsung
di dalam hati, sedangkan ta’lim adalah proses pengajaran yang memerlukan
perantara.4
3)
Al-Qur’an memiliki
banyak nama, masing-masing mencerminkan sifat dan fungsinya
dalam kehidupan manusia. Nama-nama tersebut mencakup Al-Qur’an
(bacaan), Al-Kitab (buku), Adz-Dzikr (pemberi peringatan), Al-Furqan (pembeda),
dan At-Tanzil (yang diturunkan).5 Para ulama tafsir
klasik, seperti Al-Tabari, Ibnu Katsir, dan Al-Qurtubi,
menjelaskan bahwa nama-nama tersebut menunjukkan keagungan serta fungsi
Al-Qur’an dalam membimbing umat manusia ke jalan yang benar.6
4)
Al-Qur’an memiliki
berbagai sifat, di antaranya:
(*) Hudan
(petunjuk), karena memberikan arah bagi manusia dalam beragama
dan menjalani kehidupan.7
(*) Rahmat
(kasih sayang), karena membawa manfaat dan keberkahan bagi orang
yang beriman.8
(*) Nur
(cahaya), karena menerangi hati dan pikiran manusia agar
terbebas dari kesesatan.9
(*) Mubarak
(diberkahi), karena mengandung keberkahan yang membawa manfaat
bagi kehidupan dunia dan akhirat.10
(*) Aziz
(mulia), karena Al-Qur’an adalah kitab yang tidak bisa
dikalahkan atau diubah oleh manusia.11
Dengan memahami definisi,
nama-nama, serta sifat-sifat Al-Qur’an, seorang Muslim dapat
lebih menghargai dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.
6.2.
Penutup
Kajian mengenai pengertian
Al-Qur’an dan wahyu adalah bagian fundamental dalam studi Islam
yang perlu dipahami secara mendalam. Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, tetapi
merupakan pedoman hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari
akidah, ibadah, hingga hukum sosial. Sebagai kalam Allah yang dijaga dari
segala perubahan, Al-Qur’an tetap relevan bagi seluruh umat manusia sepanjang
zaman.
Melalui pembahasan ini,
diharapkan para pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih luas tentang konsep
Al-Qur’an dan wahyu, serta memahami perbedaan antara wahyu, ilham, dan ta’lim.
Selain itu, kajian tentang nama-nama dan sifat-sifat Al-Qur’an
membantu kita memahami bahwa kitab suci ini memiliki keagungan yang tidak
tertandingi, serta peran sentral dalam kehidupan spiritual dan intelektual
seorang Muslim.
Penelitian dan kajian lebih
lanjut mengenai Ulumul Qur’an dan tafsir masih sangat diperlukan untuk
memperkaya pemahaman terhadap kitab suci ini. Oleh karena itu, penting bagi
umat Islam untuk terus mempelajari, menghafal, dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an
agar dapat memperoleh petunjuk serta rahmat dari Allah Swt dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam
QS. Al-Isra’ [17] ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ
يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
("Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada
orang-orang yang beriman yang mengerjakan kebajikan bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar.")12
Semoga pembahasan ini menjadi
bagian dari upaya kita dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara lebih
baik.
Catatan Kaki
[1]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an
(Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), 1:278.
[2]
Muhammad Khudari Beik, Tārīkh al-Tashrī‘ al-Islāmī
(Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 12; Subkhi As-Saleh, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988), 24; Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, ed. Rasyid Rida (Cairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1961),
1:18.
[3]
Al-Jurjani, At-Ta‘rifat (Cairo: Maktabah
al-Mutanabbi, 2003), 136.
[4]
Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 3:28.
[5]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 1:13.
[6]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1954), 15:112; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Riyadh:
Dar Tayyibah, 2000), 1:20; Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 1:26.
[7]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2) ayat 2.
[8]
Al-Qur’an, QS. Yunus (10) ayat 57.
[9]
Al-Qur’an, QS. An-Nisa (4) ayat 174.
[10]
Al-Qur’an, QS. Shad (38) ayat 29.
[11]
Al-Qur’an, QS. Fussilat (41) ayat 41-42.
[12]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 9.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (1992). Iḥyā’
‘Ulūm ad-Dīn (Vol. 3). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Jurjani. (2003). At-Ta‘rifat.
Cairo: Maktabah al-Mutanabbi.
Al-Qurtubi. (2006). Al-Jami‘
li Ahkam al-Qur’an (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Razi. (1981). Mafatih
al-Ghaib (Vol. 17). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Sa’di. (2002). Taisir
al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan (Vol. 1). Riyadh: Dar
Ibn al-Jauzi.
Al-Suyuthi. (1999). Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Tabari. (1954). Jāmi‘
al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (Vol. 15). Cairo: Dar al-Ma’arif.
Al-Zarkashi. (1957). Al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an (Vol. 1). Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah.
Al-Zabidi. (1983). Tāj
al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs (Vol. 5). Kuwait: Wizarat al-I’lam.
Ibnu Katsir. (2000). Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim (Vol. 1 & 2). Riyadh: Dar Tayyibah.
Ibnu Manzur. (1993). Lisān
al-‘Arab (Vol. 4 & 15). Beirut: Dar al-Fikr.
Khudari Beik, M. (1999). Tārīkh
al-Tashrī‘ al-Islāmī (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Raghib al-Isfahani. (2009).
Mufradat Alfaz al-Qur’an (Vol. 1). Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Subkhi As-Saleh. (1988). Mabahith
fi ‘Ulum al-Qur’an (Vol. 1). Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Muhammad Abduh & Rasyid
Rida. (1961). Tafsir al-Manar (Vol. 1).
Cairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah.
Al-Qur’an al-Karim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar