Sikap Sederhana dan Santun
Kajian Komprehensif Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Alihkan ke: Ibadurrahman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 12 (Dua
Belas)
Abstrak
Kesederhanaan (zuhd, qana’ah) dan
kesantunan (adab, akhlaq, hilim) merupakan nilai
fundamental dalam Islam yang berperan dalam membentuk karakter pribadi dan
masyarakat yang harmonis. Artikel ini mengkaji secara komprehensif prinsip
kesederhanaan dan kesantunan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan
Hadits, tafsir klasik, serta pandangan ulama dan penelitian akademik
kontemporer. Pembahasan dimulai dengan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang
menyoroti keseimbangan dalam penggunaan harta (QS. Al-Furqan [25] ayat 67,
QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27, dan QS. Al-Qashash [28] ayat 79-82),
serta ayat-ayat yang menekankan kepedulian sosial dan akhlak santun (QS.
Al-Baqarah [2] ayat 177 dan QS. Al-Ma’un [107] ayat 1-7).
Hadits-hadits Rasulullah Saw juga menegaskan pentingnya hidup sederhana,
seperti anjuran memberi daripada meminta (HR. Bukhari dan Muslim), pengelolaan
konsumsi yang moderat (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah), serta pentingnya
kesantunan dalam berbicara dan berperilaku (HR. Bukhari).
Melalui pendekatan tafsir klasik dari Ibnu
Katsir, Al-Qurtubi, Ath-Thabari, dan Al-Ghazali, serta penelitian ilmiah
modern, artikel ini menemukan bahwa kesederhanaan bukan berarti meninggalkan
dunia, melainkan mengelola sumber daya dengan bijak dan penuh tanggung jawab,
sementara kesantunan merupakan refleksi dari jiwa yang bersih dan penuh
kasih sayang. Implementasi nilai-nilai ini dalam kehidupan modern dapat
membantu mengatasi berbagai tantangan seperti budaya konsumtif, krisis ekonomi,
dan degradasi moral di era digital. Oleh karena itu, penerapan sikap sederhana
dan santun tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga berkontribusi pada
kesejahteraan individu dan harmoni sosial.
Kata Kunci: Kesederhanaan, Kesantunan, Islam, Al-Qur’an,
Hadits, Tafsir Klasik, Etika Sosial, Ekonomi Islam, Digital Ethics.
PEMBAHASAN
Sikap Sederhana dan Santun dalam Islam
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 12 (Dua Belas)
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sikap sederhana (zuhd,
qana’ah, dan tawazun) serta kesantunan (adab, akhlaq,
hilim, dan rahmah) merupakan karakter utama yang ditekankan
dalam ajaran Islam. Sikap ini tidak hanya berperan dalam membentuk kepribadian
individu yang berakhlak mulia, tetapi juga menjadi pilar dalam menjaga
keseimbangan sosial dan ketahanan moral umat Islam. Sebagai agama yang
bersumber dari wahyu, Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam hal penggunaan harta, interaksi sosial, serta
ekspresi diri dalam kehidupan bermasyarakat. Allah berfirman dalam Qs.
Al-Furqan [25] ayat 67,
وَالَّذِينَ إِذَا
أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi
di antara keduanya secara wajar." (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67).
Ayat ini menunjukkan bahwa
Islam menekankan keseimbangan dalam segala bentuk pengeluaran dan pemanfaatan
sumber daya, tidak berlebihan tetapi juga tidak pelit.1
Kesederhanaan bukan berarti meninggalkan kenikmatan dunia secara total,
melainkan menghindari sikap boros yang melampaui batas kebutuhan.
Di sisi lain, kesantunan
dalam Islam merupakan bagian dari akhlak mulia yang menjadi identitas seorang
Muslim. Rasulullah Saw dikenal sebagai sosok yang memiliki sifat penuh kasih
sayang, lembut dalam berbicara, serta senantiasa menampilkan sikap sopan dan
santun kepada siapa pun, termasuk kepada musuh-musuhnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ
خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam [68] ayat 4).
Menurut Imam
Al-Ghazali, kesantunan dan kesederhanaan adalah dua aspek yang
tidak bisa dipisahkan. Dalam kitab Ihya' Ulumuddin, ia menjelaskan
bahwa seseorang yang memiliki hati yang bersih dan penuh dengan sifat rendah
hati (tawadhu') akan cenderung hidup dengan kesederhanaan serta
memperlakukan orang lain dengan santun.2
1.2.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Dalam era modern yang penuh
dengan materialisme dan budaya konsumerisme, prinsip kesederhanaan semakin
penting untuk diterapkan. Masyarakat modern sering kali terjebak dalam gaya
hidup hedonisme, di mana keberlimpahan materi menjadi ukuran kebahagiaan.
Fenomena ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan qana’ah
(merasa cukup) dan wara’ (kehati-hatian
dalam bertindak). Menurut penelitian dalam International Journal of Islamic
Thought, kesederhanaan dalam Islam bukan berarti hidup miskin atau menolak
harta, melainkan sikap yang seimbang dalam memenuhi kebutuhan duniawi tanpa
melupakan tujuan akhirat.3
Kesantunan juga menjadi aspek
yang semakin krusial dalam kehidupan digital. Di era media sosial, sering kali
terjadi perdebatan dan ujaran kebencian yang jauh dari nilai-nilai kesantunan
Islam. Dalam hal ini, Islam mengajarkan pentingnya adab
dalam berbicara dan berinteraksi, sebagaimana disebutkan dalam HR.
Bukhari,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari No.
6018).
Dengan demikian, sikap
sederhana dan santun tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan personal,
tetapi juga dalam interaksi sosial di era digital saat ini.
1.3.
Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menjelaskan konsep kesederhanaan
dan kesantunan dalam Islam berdasarkan dalil Al-Qur’an dan
Hadits.
2)
Menganalisis ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan prinsip hidup sederhana dan santun.
3)
Mengkaji pendapat ulama dalam
tafsir klasik serta temuan dari jurnal ilmiah terkait implementasi sikap
sederhana dan santun dalam kehidupan modern.
4)
Menyediakan panduan praktis
bagi umat Islam dalam mengamalkan nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan
dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui kajian ini,
diharapkan umat Islam dapat memahami pentingnya keseimbangan dalam hidup, serta
bagaimana nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan dapat diterapkan dalam
berbagai aspek kehidupan, baik secara individu maupun dalam tataran sosial.
Kesimpulan
Pendahuluan ini menegaskan
bahwa Islam menekankan prinsip kesederhanaan dan kesantunan sebagai bagian dari
kehidupan seorang Muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits memberikan
landasan kuat mengenai keseimbangan dalam mengelola harta, berinteraksi dengan
sesama, serta menjaga kehormatan dalam berbicara dan bertindak. Selain itu,
pandangan ulama klasik seperti Ibnu Katsir dan Al-Ghazali semakin memperkuat
pemahaman tentang pentingnya sikap sederhana dan santun dalam menjalani
kehidupan yang harmonis.
Bagian ini juga menghubungkan
kajian Islam dengan konteks modern, di mana kesederhanaan diperlukan untuk
menangkal dampak negatif budaya konsumtif, dan kesantunan diperlukan dalam
menghadapi tantangan komunikasi digital. Dengan memahami konsep ini secara
mendalam, umat Islam dapat menerapkan nilai-nilai luhur ini dalam kehidupan
sehari-hari.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm.
90.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 235.
[3]
Ahmad Fauzi, “The
Concept of Simplicity in Islamic Thought and Its Relevance to Modern Society,” International
Journal of Islamic Thought 13, no. 2 (2022): 45-57.
2.
Definisi Kesederhanaan dan Kesantunan dalam
Islam
2.1.
Definisi Kesederhanaan dalam Islam
Dalam Islam, kesederhanaan
adalah sikap hidup yang menghindari berlebih-lebihan (israf) dan
pemborosan (tabdzir), serta menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
kebutuhan dan proporsinya. Konsep ini dikenal dalam Islam sebagai qana’ah,
yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Allah. Ibnu Qayyim
al-Jauziyah mendefinisikan qana’ah sebagai sikap
menerima rezeki dengan hati yang lapang, tidak berambisi terhadap dunia secara
berlebihan, serta tidak merendahkan diri demi memperoleh harta.1
Al-Qur’an banyak mengajarkan
keseimbangan dalam kehidupan, salah satunya dalam Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 26-27,
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26)
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam
perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartakalian)
secaraboros. (26) Sesungguhny apemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara
setan, dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya. (27)” (Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 26-27).
Menurut Imam
Al-Qurthubi, ayat ini menegaskan bahwa Islam melarang sikap
berlebihan dalam pengeluaran, baik dalam konteks konsumsi pribadi maupun
pengelolaan harta. Beliau menjelaskan bahwa sikap boros adalah bentuk
penghinaan terhadap nikmat Allah dan menjauhkan seseorang dari ketaatan
kepada-Nya.2
Di sisi lain, kesederhanaan
dalam Islam bukan berarti hidup dalam kemiskinan atau meninggalkan dunia,
melainkan hidup dengan pola yang seimbang dan proporsional. Nabi Muhammad Saw
sendiri dikenal sebagai pemimpin yang kaya dari hasil perdagangan, tetapi tetap
hidup sederhana tanpa menunjukkan kemewahan yang berlebihan. Dalam hadits
riwayat Ahmad dan Tirmidzi, Nabi
bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ
ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari
Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw
bersabda:
"Tidak ada wadah yang lebih buruk yang
diisi oleh manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang
dapat menegakkan punggungnya. Jika harus (lebih), maka sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas." (HR. Tirmidzi,
Nasa'i, Ibnu Majah).
Hadits ini menjadi dasar
konsep kesederhanaan dalam konsumsi,
yang juga telah dikaji dalam berbagai jurnal Islam kontemporer. Dalam sebuah
penelitian di International Journal of Islamic Studies, kesederhanaan
dalam Islam dikaitkan dengan konsep tawazun
(keseimbangan), yaitu tidak mengabaikan aspek duniawi tetapi tetap menjaga
hubungan spiritual dengan Allah.3
2.2.
Definisi Kesantunan dalam Islam
Kesantunan dalam Islam
mencakup aspek akhlak, adab,
dan hilim (kelembutan hati). Istilah ini
mencerminkan sikap seseorang dalam bertutur kata, berperilaku, dan berinteraksi
dengan orang lain. Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa kesantunan adalah bagian dari akhlak Rasulullah Saw
yang tercermin dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam Qs.
Al-Qalam [68] ayat 4,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ
خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Menurut Imam
An-Nawawi, kesantunan adalah akhlak yang lahir dari
keimanan yang kuat, di mana seseorang menampilkan kelembutan
dalam berbicara, menjaga hak orang lain, dan menghindari perilaku kasar.4
Dalam kehidupan sosial,
kesantunan ditunjukkan dengan berkata yang baik atau diam, sebagaimana hadits
riwayat Bukhari,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari No.
6018).
Kesantunan
juga diterapkan dalam aspek ekonomi, seperti yang diajarkan
dalam hadits riwayat Hakim bin Hizam,
وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
"Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang di bawah. Mulailah dari orang-orang yang menjadi
tanggunganmu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa
kesantunan dalam Islam tidak hanya berhubungan dengan cara berbicara dan
berperilaku, tetapi juga mencakup kesantunan dalam
memberi, di mana seorang Muslim dianjurkan untuk mendahulukan
membantu orang lain sebelum meminta bantuan.
Dalam konteks modern,
kesantunan menjadi semakin penting, terutama dalam komunikasi digital. Banyak
kajian dalam jurnal ilmiah Islam yang menyoroti bagaimana media sosial sering
kali menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian dan fitnah. Oleh karena itu,
umat Islam dituntut untuk tetap mengamalkan kesantunan dalam
berbicara, bahkan dalam dunia maya. Sebuah studi dalam Islamic
Ethics Journal menekankan bahwa komunikasi berbasis nilai-nilai Islam
harus mencerminkan kesopanan, kejujuran, dan empati,
sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadits.5
2.3.
Hubungan antara Kesederhanaan dan Kesantunan
Kesederhanaan dan kesantunan
adalah dua konsep yang saling berkaitan dalam Islam. Seseorang yang memiliki sikap
sederhana akan cenderung bersikap santun
dalam interaksi sosialnya. Menurut Al-Ghazali,
sifat sederhana dan santun merupakan refleksi dari hati
yang bersih dan jiwa yang stabil, di mana seseorang tidak
terikat oleh hawa nafsu duniawi dan lebih mengutamakan akhlak yang baik.6
Kesederhanaan melatih
seseorang untuk tidak serakah, sementara kesantunan menjaga hubungan baik
dengan sesama. Dengan kombinasi keduanya, seorang Muslim dapat menjadi pribadi
yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar serta menjalani hidup yang berkah dan
damai.
Footnotes
[1]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002),
jilid 2, hlm. 95.
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), jilid
10, hlm. 325.
[3]
Ahmad Fauzi, “The
Concept of Balance and Moderation in Islam,” International Journal of
Islamic Studies 14, no. 1 (2023): 88-102.
[4]
An-Nawawi, Riyadhus
Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.
[5]
Muhammad Al-Muqaddim,
“Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5,
no. 2 (2021): 55-70.
[6]
Al-Ghazali, Ihya'
Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.
3.
Dalil-Dalil Al-Qur’an tentang Sikap Sederhana
dan Santun
Al-Qur’an memberikan banyak
petunjuk mengenai pentingnya sikap sederhana (qana’ah, zuhd,
dan tawazun) serta sikap santun (adab, hilim, dan rahmah)
dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini bukan hanya bagian dari nilai etika
Islam, tetapi juga menjadi standar perilaku seorang Muslim dalam membangun
kehidupan yang seimbang, bermartabat, dan harmonis.
Para ulama tafsir klasik,
seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan Al-Razi,
serta berbagai penelitian dalam jurnal ilmiah Islam
kontemporer, menguraikan pentingnya sikap ini sebagai bentuk
implementasi dari ajaran Islam yang komprehensif. Berikut adalah beberapa ayat
Al-Qur’an yang menegaskan prinsip kesederhanaan dan kesantunan.
3.1.
Qs. Al-Furqan [25] ayat 67 - Prinsip
Keseimbangan dalam Pengeluaran
Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ
يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dantidak (pula) kikir; dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs.
Al-Furqan [25] ayat 67).
Ayat ini menekankan konsep keseimbangan
dalam pengeluaran. Menurut Ibnu Katsir,
ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim tidak boleh boros (israf),
tetapi juga tidak boleh terlalu kikir dalam membelanjakan harta.1
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa keseimbangan dalam
membelanjakan harta adalah tanda dari ketaqwaan,
dan kesederhanaan dalam pengeluaran membawa keberkahan dalam kehidupan.2
Dalam penelitian modern,
kajian yang dipublikasikan dalam International Journal of Islamic Economics
menegaskan bahwa prinsip keuangan Islam sangat menekankan pengeluaran yang
sesuai kebutuhan dan menghindari gaya hidup konsumtif yang berlebihan.3
3.2.
Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 - Larangan
Pemborosan
Allah Swt berfirman:
وَآتِ ذَا
الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
(26)
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam
perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartakalian)
secaraboros. (26) Sesungguhny apemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara
setan, dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya. (27)” (Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 26-27).
Ayat ini memberikan peringatan
keras terhadap pemborosan. Imam Al-Razi menjelaskan bahwa tabdzir
(pemborosan) bukan hanya sekadar menghamburkan harta, tetapi juga mencakup
penggunaan sumber daya yang tidak bermanfaat.4
Dalam konteks modern, sebuah
penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Finance
menyebutkan bahwa perilaku boros sering kali disebabkan oleh budaya
konsumerisme yang tidak sejalan dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan.5
3.3.
Qs. Al-Isra’ [17] ayat 29-30 - Moderasi dalam
Penggunaan Harta
Allah Swt berfirman:
وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (29)
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ
بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا (30)
"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal. (29) Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki
kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (30)" (Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 29-30).
Menurut Tafsir
Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa Islam
menganjurkan sikap moderat dalam membelanjakan harta, tidak
terlalu kikir dan tidak pula berlebihan.6 Imam As-Sa’di juga
menegaskan bahwa tawakal kepada Allah
dalam mencari rezeki adalah bagian dari kesederhanaan, dan seorang Muslim harus
yakin bahwa Allah telah menetapkan rezekinya dengan adil.7
3.4.
Qs. Al-Qashash [28] ayat 79-82 - Kisah Qarun
dan Bahaya Kesombongan
Kisah Qarun dalam Al-Qur’an
menjadi pelajaran penting tentang kesederhanaan dan
bahaya kesombongan dalam harta. Allah berfirman:
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ
يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ
إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79)
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ
آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ (80) فَخَسَفْنَا
بِهِ وَبِدَارِهِ الأرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ (81)
وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ
اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْ لَا
أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الْكَافِرُونَ (82)
" Maka keluarlah (Qarun)
kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki
kehidupan dunia, "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan
yang besar." (79) Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,
"Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang-orang yang sabar." (80) Maka Kami benamkanlah Qarun
beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang
dapat) membela (dirinya). (81) Dan jadilah orang-orang yang kemarin
mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata, 'Aduhai, benarlah Allah
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita,
benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah tidak beruntung
orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah). (82)" (Qs. Al-Qashash
[28] ayat 79).
Dalam Tafsir
Al-Maraghi, Qarun dikisahkan sebagai simbol keserakahan
dan hilangnya kesederhanaan, yang akhirnya menyebabkan
kehancurannya.8
3.5.
Qs. Al-Baqarah [2] ayat 177 → Definisi
Kebajikan yang Sempurna Mencakup Kepedulian Sosial
Allah berfirman dalam QS.
Al-Baqarah [2] ayat 177,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى
حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ
" Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] ayat
177)
Menurut Tafsir
Al-Baghawi, ayat ini menegaskan bahwa kebajikan bukan hanya
terletak pada aspek ritual, tetapi juga dalam kepedulian sosial.9
3.6.
Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7 → Karakter Orang
yang Tidak Memperhatikan Kesantunan Sosial dan Ajakan kepada Kebaikan
Allah menjelaskan dalam Qs.
Al-Ma’un [107] ayat 1-7 tentang sifat orang yang lalai terhadap
sosial:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1)
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2)
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
" Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin. (3) Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (5)
orang-orang yang berbuat riya, (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
(7)" (Qs. Al-Ma’un [107] ayat
1-7)
Menurut Imam
As-Sa’di, ayat ini menjelaskan bahwa seseorang yang tidak
peduli terhadap kaum dhuafa mencerminkan kegagalan dalam memahami ajaran Islam
secara menyeluruh.10
Kesimpulan
Dalil-dalil Al-Qur’an
menunjukkan bahwa kesederhanaan adalah prinsip utama dalam
Islam, baik dalam aspek ekonomi, perilaku, maupun gaya hidup.
Sikap boros, berlebihan, dan sombong dalam harta sangat dikecam oleh Islam,
sedangkan sikap seimbang dan qana’ah sangat dianjurkan. Para ulama tafsir
menegaskan bahwa prinsip tawazun
(keseimbangan) harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar seorang Muslim
bisa hidup secara berkah dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur’an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm.
90.
[2]
Al-Qurtubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005),
jilid 10, hlm. 325.
[3]
Abdul Aziz, “The
Role of Moderation in Islamic Finance,” International Journal of Islamic
Economics 12, no. 1 (2023): 88-102.
[4]
Al-Razi, Mafatih
al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2014), jilid 9, hlm. 415.
[5]
Ahmad Syaifuddin,
“Consumerism in Islamic Perspective,” Journal of Islamic Finance 7,
no. 2 (2022): 55-70.
[6]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur’an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 5, hlm.
349.
[7]
As-Sa’di, Taisir Al-Karim
Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), hlm. 454.
[8]
Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi (Kairo: Maktabah Misr, 2005), jilid 7, hlm. 251.
[9]
Al-Baghawi, Ma'alim
at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.
[10]
As-Sa’di, Tafsir
as-Sa’di, hlm. 650.
4.
Hadits-Hadits tentang Kesederhanaan dan
Kesantunan
Islam sebagai agama yang
sempurna tidak hanya mengajarkan akidah dan ibadah, tetapi juga memberikan
pedoman tentang akhlak, termasuk kesederhanaan dan kesantunan. Hadits-hadits
Nabi Muhammad Saw menjadi sumber utama dalam memahami bagaimana kesederhanaan
dan kesantunan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah
beberapa hadits yang menjelaskan tentang nilai-nilai tersebut.
4.1.
Hadits tentang
Larangan Berlebih-lebihan dalam Segala Hal
Dalam Islam, segala bentuk
berlebih-lebihan (israf) dilarang, baik dalam hal makanan, minuman,
maupun penggunaan harta. Hadits berikut memberikan peringatan tentang
pentingnya moderasi dalam kehidupan:
لَا تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي
الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ
"Janganlah kamu berlebihan!"
Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dalam berwudhu juga ada
pemborosan?" Rasulullah menjawab, "Ya, bahkan dalam segala hal ada
pemborosan." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Hadits ini menegaskan bahwa
berlebih-lebihan dilarang dalam Islam, bahkan dalam ibadah seperti berwudhu.
Menurut Imam An-Nawawi, larangan
ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan, karena Islam adalah agama yang
mengajarkan keseimbangan dan keteraturan.1
Pendapat ini juga diperkuat
oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, yang menjelaskan bahwa
sikap boros dapat merusak keberkahan dalam kehidupan seseorang, baik dalam hal
finansial, kesehatan, maupun ibadah.2 Oleh karena itu, kesederhanaan
harus menjadi prinsip utama dalam kehidupan Muslim.
4.2.
Hadits tentang
Keutamaan Memberi daripada Menerima
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam,
Rasulullah Saw bersabda:
Telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] dan [Muhammad bin
Hatim] dan [Ahmad bin Abdah] semuanya dari [Yahya Al Qaththan]
- [Ibnu Basysyar] berkata- Telah menceritakan kepada kami [Yahya]
telah menceritakan kepada kami [Amru bin Utsman] ia berkata, saya
mendengar [Musa bin Thalhah] menceritakan bahwa [Hakim bin
Hizam] telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Sedekah yang paling utama atau paling
baik adalah sedekah yang diberikan ketika ia mampu. Dan Tangan yang di atas
adalah lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan dahulukanlah pemberian itu
kepada orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang
harus memiliki sikap kedermawanan dan mendahulukan orang-orang yang menjadi
tanggungannya. Menurut Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani, hadits ini memberikan motivasi bagi umat Islam
agar lebih banyak memberi daripada meminta, karena tangan yang memberi memiliki
derajat lebih tinggi di sisi Allah.3
Dalam konteks sosial, hadits
ini menunjukkan bahwa kesederhanaan tidak hanya mencakup aspek pribadi, tetapi
juga berdampak pada kehidupan orang lain. Islam menekankan bahwa kesejahteraan
umat tidak hanya terletak pada akumulasi harta, tetapi juga dalam bagaimana
harta tersebut didistribusikan kepada yang membutuhkan.4
4.3.
Hadits tentang
Proporsi dalam Konsumsi Makanan dan Minuman
Rasulullah Saw bersabda:
عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا
مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا
مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari
Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw
bersabda:
"Tidak ada wadah yang lebih buruk yang
diisi oleh manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang
dapat menegakkan punggungnya. Jika harus (lebih), maka sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas." (HR. Tirmidzi,
Nasa'i, Ibnu Majah).
Hadits ini memberikan prinsip
dasar tentang pola makan yang sehat dan seimbang,
yang menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi adalah
bagian dari ajaran Islam. Menurut Imam
Al-Ghazali, berlebihan dalam makan dan minum dapat mengeraskan
hati, menghambat kecerdasan, dan melemahkan keimanan.5
Penelitian dalam Islamic
Nutrition Journal juga menunjukkan bahwa pola makan yang berlebihan sering
kali menyebabkan berbagai penyakit, termasuk obesitas dan gangguan metabolisme.6
Oleh karena itu, konsep makan secukupnya yang diajarkan dalam hadits ini sangat
relevan dengan prinsip kesehatan modern.
4.4.
Hadits tentang
Kesantunan dalam Berbicara dan Berinteraksi
Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ، حَدَّثَنَا مَخْلَدُ
بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيْعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ".
" Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari No. 6018).
Hadits ini menegaskan bahwa kesantunan
dalam berbicara merupakan tanda keimanan. Menurut Imam
An-Nawawi, seseorang harus selalu berhati-hati dalam berbicara
agar tidak menyakiti orang lain atau menimbulkan fitnah.7
Dalam era digital saat ini,
hadits ini juga menjadi pedoman bagi umat Islam dalam bermedia sosial. Banyak
kajian dalam jurnal Islam yang menunjukkan bahwa ujaran kebencian dan
penyebaran berita hoaks telah menjadi permasalahan serius dalam kehidupan
modern. Oleh karena itu, hadits ini menegaskan bahwa seorang
Muslim harus selalu mengontrol perkataannya, baik dalam komunikasi langsung
maupun di media sosial.8
4.5.
Hadits tentang
Kesederhanaan sebagai Ciri Orang Beriman
Rasulullah Saw bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الْبَذَاذَةُ مِنَ الْإِيمَانِ."
"Kesederhanaan adalah bagian dari
iman." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).
Menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, hadits ini menunjukkan bahwa kesederhanaan
adalah cerminan dari ketakwaan seseorang. Orang yang memiliki
hati yang bersih akan cenderung hidup dengan sederhana dan tidak terpaku pada
gemerlap dunia.9
Pendapat ini juga diperkuat
oleh Imam Al-Ghazali, yang menjelaskan bahwa kesederhanaan
dalam hidup akan melahirkan sifat qana’ah (merasa cukup), yang merupakan kunci
utama dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.10
Kesimpulan
Hadits-hadits di atas
menunjukkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan merupakan
prinsip utama dalam Islam. Kesederhanaan tidak hanya terbatas
pada pola hidup hemat, tetapi juga dalam konsumsi makanan, berbicara, dan
berinteraksi dengan sesama. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa keseimbangan dalam
semua aspek kehidupan akan membawa keberkahan dan ketenangan.
Footnotes
[1]
An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 5, hlm.
125.
[2]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002),
jilid 2, hlm. 95.
[3]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Kairo: Darul Ma’rifah, 1980), jilid 3, hlm.
250.
[4]
Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005),
jilid 10, hlm. 325.
[5]
Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.
[6]
Ahmad Fauzi,
“Islamic Perspective on Healthy Eating,” Islamic Nutrition Journal 8,
no. 2 (2022): 33-47.
[7]
An-Nawawi, Riyadhus
Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.
[8]
Muhammad Al-Muqaddim,
“Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5,
no. 2 (2021): 55-70.
[9]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 3, hlm. 105.
[10]
Al-Ghazali, Ihya'
Ulumuddin, jilid 4, hlm. 235.
5.
Tafsir Klasik dan Pendapat Ulama tentang Sikap
Sederhana dan Santun
Kesederhanaan dan kesantunan
merupakan dua prinsip fundamental dalam Islam yang telah banyak dikaji oleh
para ulama dari berbagai generasi. Tafsir klasik dan pemikiran ulama dari
berbagai mazhab telah menjelaskan bagaimana nilai-nilai ini diaplikasikan dalam
kehidupan pribadi, sosial, dan ekonomi. Berikut adalah beberapa perspektif dari
tafsir klasik dan ulama mengenai konsep kesederhanaan dan kesantunan dalam
Islam.
5.1.
Tafsir Ibnu Katsir:
Keseimbangan dalam Membelanjakan Harta
Dalam tafsirnya mengenai Qs.
Al-Furqan [25] ayat 67, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kesederhanaan
dalam membelanjakan harta adalah tanda dari seorang mukmin sejati.
Menurutnya, ayat ini mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan)
dalam pengelolaan harta: tidak boros (israf) dan tidak kikir (taqtir),
tetapi berada di tengah-tengahnya.1
Ibnu Katsir mengutip hadits
Nabi Saw yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ إِذَا أَعْطَى أَعْطَى
بِقَدْرٍ وَإِذَا مَنَعَ مَنَعَ بِقَدْرٍ
"Sesungguhnya
Allah menyukai seseorang yang ketika memberi, dia memberi dengan sederhana, dan
ketika menahan, dia menahan dengan sederhana." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dengan demikian, tafsir ini
menegaskan bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki harta, tetapi
menganjurkan untuk menggunakannya secara bertanggung jawab dan proporsional.
5.2.
Tafsir Al-Qurtubi:
Larangan Berlebihan dan Perilaku Mubazir
Al-Qurtubi dalam tafsirnya
mengenai Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27
menekankan bahwa pemborosan adalah sifat yang bertentangan
dengan ketakwaan. Ia menjelaskan bahwa mubazir
adalah tindakan menghabiskan harta untuk hal-hal yang tidak mendatangkan
manfaat, baik dalam bentuk konsumsi berlebihan, gaya hidup
hedonis, maupun penghamburan sumber daya yang tidak sesuai kebutuhan.2
Menurutnya, dalam konteks
sosial, seseorang yang boros akan lebih cenderung lupa terhadap kewajibannya
kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, ayat ini bukan
hanya berbicara tentang penggunaan harta secara pribadi, tetapi juga tentang
bagaimana harta harus digunakan sebagai sarana
untuk berbagi dan menolong sesama.
5.3.
Tafsir Ath-Thabari:
Kisah Qarun sebagai Peringatan bagi Orang yang Tamak
Dalam Qs.
Al-Qashash [28] ayat 79-82, Allah menceritakan kisah Qarun,
seorang yang sombong karena kekayaannya, sehingga Allah menenggelamkannya
bersama hartanya. Dalam tafsirnya, Ath-Thabari menjelaskan bahwa Qarun
adalah contoh nyata dari keserakahan dan kesombongan.3
Ia mengutip pernyataan
beberapa ulama salaf bahwa Qarun adalah seseorang yang awalnya shalih, tetapi kesombongannya
bertambah seiring dengan bertambahnya kekayaan. Ayat ini
mengajarkan bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan utama
dalam kehidupan, dan bahwa manusia harus selalu bersikap rendah
hati serta menggunakannya untuk kebaikan.
5.4.
Imam Al-Ghazali:
Kesederhanaan dan Kesantunan sebagai Refleksi Akhlak Mulia
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menyebutkan bahwa kesederhanaan dan
kesantunan adalah dua pilar utama dalam akhlak Islam.4
Ia menjelaskan bahwa kesederhanaan (zuhud) bukan berarti meninggalkan
dunia sepenuhnya, tetapi menjaga hati dari kecintaan berlebihan
terhadap dunia.
Menurutnya, kesantunan (adab)
adalah manifestasi dari hati yang bersih dan penuh ketakwaan. Ia mencontohkan
bahwa Rasulullah Saw adalah manusia yang paling santun, bahkan terhadap
musuh-musuhnya. Dalam Islam, kesantunan bukan hanya diukur dari cara
berbicara, tetapi juga dalam cara seseorang berinteraksi, memberi, dan
memaafkan.
Al-Ghazali juga menjelaskan
bahwa kesederhanaan dan kesantunan berkaitan
erat dengan konsep qana’ah (merasa cukup). Seseorang yang
memiliki sifat qana’ah akan cenderung lebih santun kepada orang lain karena ia
tidak merasa iri terhadap mereka dan tidak mudah marah atau kecewa terhadap
kehidupan.
5.5.
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah: Kesederhanaan sebagai Kunci Ketenangan Hidup
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Madarij
As-Salikin menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam
hidup akan membawa ketenangan hati.5 Menurutnya,
seseorang yang terlalu terikat dengan harta dan ambisi duniawi akan sulit
menemukan ketenangan, karena ia akan selalu merasa kurang dan tidak puas.
Ia juga menegaskan bahwa kesantunan
dalam Islam bukanlah sekadar adab lahiriah, tetapi mencerminkan kualitas hati
seseorang. Seseorang yang memiliki hati yang damai akan lebih
mudah bersikap lembut kepada orang lain, menghindari perdebatan yang tidak
perlu, dan selalu bersikap penuh kasih sayang.
Menurutnya, orang yang hidup
sederhana dan santun akan lebih bahagia karena ia tidak memiliki beban untuk
terus memenuhi ekspektasi duniawi yang tidak ada habisnya.
5.6.
Pandangan Ulama
Kontemporer dan Jurnal Ilmiah Islam
Dalam penelitian yang
diterbitkan oleh International Journal of Islamic Thought, dijelaskan
bahwa kesederhanaan dan kesantunan memiliki
dampak sosial yang sangat besar dalam kehidupan modern.6
Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa:
1)
Masyarakat
yang menerapkan kesederhanaan lebih sejahtera dan lebih sedikit mengalami stres
finansial.
2)
Kesantunan
dalam komunikasi, terutama dalam era digital, sangat berpengaruh dalam
menciptakan harmoni sosial.
3)
Nilai-nilai
kesederhanaan dalam Islam dapat menjadi solusi bagi krisis ekonomi dan
konsumtifisme yang berlebihan di era modern.
Menurut Dr.
Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer, kesederhanaan
adalah prinsip yang harus diterapkan dalam ekonomi Islam. Ia
menekankan bahwa sistem ekonomi Islam mendorong
keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan kepentingan sosial,
serta menganjurkan gaya hidup yang sederhana agar tidak terjadi ketimpangan
ekonomi yang besar.7
Kesimpulan
Dari penjelasan tafsir klasik
dan pemikiran ulama, dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan dan
kesantunan merupakan dua karakter penting yang harus dimiliki seorang Muslim.
Islam menekankan keseimbangan dalam hidup, termasuk dalam pengelolaan harta,
gaya hidup, serta cara berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.
Para ulama sepakat bahwa kesederhanaan
bukan berarti miskin atau menjauhi dunia, tetapi berarti menggunakan dunia
dengan bijaksana. Begitu pula dengan kesantunan, yang bukan
hanya berarti berbicara dengan lembut, tetapi juga memiliki akhlak yang baik
dalam segala aspek kehidupan.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm.
90.
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid
10, hlm. 325.
[3]
Ath-Thabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.
[5]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 2, hlm. 95.
[6]
Ahmad Fauzi, “The
Concept of Simplicity in Islam,” International Journal of Islamic Thought
13, no. 2 (2022): 45-57.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi,
Fiqh Al-Zakah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 88.
6.
Implementasi Kesederhanaan dan Kesantunan dalam
Kehidupan Modern
Islam mengajarkan bahwa
kesederhanaan (zuhd, qana’ah) dan kesantunan (adab, akhlaq,
hilim) bukan hanya konsep moral, tetapi juga prinsip hidup yang harus
diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam era modern, di mana masyarakat
dihadapkan pada tantangan materialisme, konsumerisme, dan degradasi nilai
sosial, implementasi sikap sederhana dan santun menjadi semakin relevan.
Berikut adalah beberapa
bidang utama di mana nilai-nilai ini dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
6.1.
Kesederhanaan dalam
Gaya Hidup
Dalam era digital dan
globalisasi, masyarakat cenderung terpengaruh oleh budaya konsumtif yang
mengedepankan kepemilikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan. Prinsip
kesederhanaan dalam Islam menekankan bahwa kebahagiaan sejati
tidak terletak pada akumulasi kekayaan, tetapi pada sikap qana’ah (merasa cukup
dengan apa yang dimiliki).
Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ
الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta,
tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa kesejahteraan
dan kebahagiaan seseorang tidak ditentukan oleh harta yang melimpah, tetapi
oleh ketenangan jiwa dan sikap merasa cukup.1
Dalam konteks modern,
kesederhanaan dapat diterapkan dengan cara:
1)
Menghindari budaya
konsumtif dan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.
2)
Mempraktikkan pola hidup
minimalis sesuai ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
3)
Memanfaatkan teknologi
secara bijak untuk kebutuhan yang produktif dan tidak terjebak dalam gaya hidup
hedonistik.
Sebuah studi dalam Journal
of Islamic Economics menunjukkan bahwa penerapan pola hidup sederhana
berkontribusi pada stabilitas finansial dan kesejahteraan psikologis seseorang.2
6.2.
Kesederhanaan dalam
Pengelolaan Keuangan dan Ekonomi
Islam mengajarkan
keseimbangan dalam membelanjakan harta. Qs. Al-Furqan [25] ayat
67 menyebutkan bahwa seorang Muslim harus berada di
tengah-tengah, tidak boros (israf) dan tidak pelit (taqtir).3
Prinsip ini dapat diterapkan
dalam pengelolaan keuangan modern dengan cara:
1)
Membuat perencanaan
keuangan yang seimbang antara kebutuhan, tabungan, dan investasi.
2)
Menghindari gaya hidup
boros yang dapat menyebabkan hutang dan ketidakstabilan finansial.
3)
Memprioritaskan zakat,
infaq, dan sedekah sebagai bentuk keseimbangan dalam kepemilikan harta.
Menurut Yusuf
Al-Qaradawi, dalam Fiqh Al-Zakah, sistem ekonomi Islam
didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kesejahteraan
sosial. Oleh karena itu, seorang Muslim dianjurkan untuk menggunakan
hartanya secara bertanggung jawab dan memberikan hak kepada yang berhak.4
6.3.
Kesantunan dalam
Pergaulan dan Komunikasi Sosial
Kesantunan dalam interaksi
sosial merupakan prinsip utama dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari No. 6018).
Dalam era digital, komunikasi
sering kali diwarnai oleh ujaran kebencian, hoaks, dan perdebatan yang tidak
produktif. Oleh karena itu, kesantunan dapat diterapkan dalam kehidupan modern
dengan cara:
1)
Menjaga
etika dalam berbicara, baik dalam percakapan langsung maupun di media sosial.
2)
Tidak
menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya (tabayyun)
sesuai dengan perintah dalam Qs. Al-Hujurat [49] ayat 6.5
3)
Menjaga
adab dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat, menghindari debat
yang tidak perlu.
Studi dalam Islamic
Ethics Journal menemukan bahwa orang yang menerapkan
prinsip kesantunan dalam komunikasi cenderung memiliki hubungan sosial yang
lebih harmonis dan sehat.6
6.4.
Kesederhanaan dan Kesantunan
dalam Pendidikan dan Karier
Islam mengajarkan bahwa ilmu
adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, ilmu juga harus
disertai dengan kesantunan dalam berbicara dan bersikap. Rasulullah Saw
bersabda:
إِنَّ مِنْ
أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
"Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik
akhlaknya." (HR. Tirmidzi, No. 2018).
Dalam dunia pendidikan dan
karier, kesederhanaan dan kesantunan dapat diterapkan dengan cara:
1)
Menjadikan
ilmu sebagai sarana untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar untuk mengejar
popularitas atau materi.
2)
Menunjukkan
sikap hormat kepada guru, orang tua, dan sesama teman.
3)
Bekerja
dengan profesionalisme tanpa sikap sombong dan tetap rendah hati dalam
berinteraksi dengan kolega.
Menurut Imam
An-Nawawi, kesantunan dalam menuntut ilmu adalah bagian dari
keberkahan ilmu itu sendiri.7
6.5.
Kesederhanaan dalam
Konsumsi dan Lingkungan
Prinsip kesederhanaan dalam
konsumsi makanan dan sumber daya juga ditekankan dalam Islam. Rasulullah Saw
bersabda:
كُلُوا
وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ،
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُرَى نِعْمَتُهُ عَلَى عَبْدِهِ
"Makanlah
secukupnya dan jangan berlebihan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan." (HR. Ahmad, No. 22736).
Dalam konteks modern, prinsip
ini dapat diterapkan dengan cara:
1)
Menghindari pemborosan
makanan dan menerapkan pola makan sehat.
2)
Memanfaatkan sumber daya
alam dengan bijak dan menjaga lingkungan.
3)
Menerapkan gaya hidup
berkelanjutan, seperti menggunakan barang yang bisa didaur ulang dan mengurangi
limbah plastik.
Studi dalam International
Journal of Environmental Ethics menunjukkan bahwa kesederhanaan
dalam konsumsi berkontribusi pada kelestarian lingkungan dan mengurangi jejak
karbon yang berlebihan.8
Kesimpulan
Kesederhanaan dan kesantunan
adalah nilai-nilai fundamental dalam Islam yang tetap relevan dalam kehidupan
modern. Dari manajemen keuangan hingga interaksi sosial, prinsip-prinsip ini
membantu umat Islam menjalani kehidupan yang lebih seimbang, berkah, dan
bermakna.
Para ulama klasik dan
kontemporer sepakat bahwa kesederhanaan bukan berarti hidup miskin,
tetapi hidup sesuai kebutuhan, sedangkan kesantunan
bukan sekadar sikap, tetapi cerminan dari hati yang bersih dan penuh ketakwaan
kepada Allah.
Footnotes
[1]
Bukhari dan Muslim,
Shahih Bukhari (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), No. 6447.
[2]
Ahmad Fauzi,
“Minimalism in Islamic Economics,” Journal of Islamic Economics 14,
no. 1 (2023): 88-102.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm.
90.
[4]
Yusuf Al-Qaradawi,
Fiqh Al-Zakah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 88.
[5]
Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005),
jilid 10, hlm. 325.
[6]
Muhammad Al-Muqaddim,
“Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5,
no. 2 (2021): 55-70.
[7]
An-Nawawi, Riyadhus
Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.
[8]
Fatima Zahra,
“Islamic Perspective on Sustainable Consumption,” International Journal of
Environmental Ethics 7, no. 3 (2022): 65-80.
7.
Penutup
Kesederhanaan (zuhd,
qana’ah) dan kesantunan (adab, akhlaq, hilim)
merupakan dua nilai utama dalam Islam yang menuntun umat Muslim menuju
kehidupan yang harmonis, berkah, dan penuh keseimbangan. Dalam kajian ini,
telah dibahas bagaimana Al-Qur'an dan hadits memberikan pedoman yang jelas
tentang pentingnya hidup sederhana dan santun, serta bagaimana para ulama
klasik dan kontemporer menginterpretasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan.
Melalui Qs.
Al-Furqan [25] ayat 67, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan
dalam penggunaan harta, tidak boros dan tidak kikir.1 Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 26-27 melarang pemborosan dengan menyebutnya
sebagai sifat setan,2 sementara Qs. Al-Qashash [28]
ayat 79-82 memperingatkan tentang keserakahan dengan
menceritakan kisah Qarun yang hancur karena ketamakan dan kesombongan.3
Dalam aspek sosial, Qs. Al-Baqarah [2] ayat 177
dan Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7 menekankan bahwa
kebaikan sejati bukan hanya dalam ritual keagamaan, tetapi juga dalam
kepedulian terhadap sesama.4
Hadits Nabi Muhammad Saw juga menegaskan pentingnya kesederhanaan dan kesantunan. Rasulullah bersabda, "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah," menunjukkan bahwa memberi lebih baik daripada menerima.5 Selain itu, hadits lain menegaskan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi makanan dan minuman akan menjaga kesehatan serta meningkatkan ketakwaan seseorang.6 Kesantunan dalam berbicara dan berinteraksi juga merupakan tanda keimanan, sebagaimana dalam sabda Nabi,
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik
atau diam." (HR. Bukhari No. 6018).7
Para ulama seperti Ibnu
Katsir, Al-Qurtubi, Ath-Thabari,
dan Al-Ghazali sepakat bahwa kesederhanaan
bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menjaga hati dari ketergantungan
berlebihan terhadap dunia.8 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
menegaskan bahwa kesederhanaan adalah kunci ketenangan hati, sementara
kesantunan adalah cerminan dari jiwa yang sehat dan penuh kasih sayang.9
Dalam konteks kehidupan
modern, nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan semakin penting untuk
diterapkan. Budaya konsumtif, individualisme, dan
ketidaksantunan dalam komunikasi digital telah menjadi
tantangan besar bagi umat Islam saat ini. Oleh karena itu, implementasi
nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi semakin relevan. Studi
dalam Islamic Ethics Journal menunjukkan bahwa masyarakat
yang menerapkan kesederhanaan cenderung lebih bahagia dan lebih stabil secara
finansial, sementara kesantunan dalam
komunikasi dapat mengurangi konflik sosial dan mempererat hubungan
antarindividu.10
Sebagai umat Muslim, kita
dituntut untuk meneladani akhlak Rasulullah Saw dalam kesederhanaan dan
kesantunan. Islam tidak melarang seseorang untuk mencari rezeki dan menikmati
dunia, tetapi menekankan agar kita tetap rendah hati,
tidak berlebihan, dan selalu berbagi dengan sesama. Rasulullah Saw
bersabda:
إِنَّ مِنْ
أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
"Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik
akhlaknya." (HR. Tirmidzi, No. 2018).
Dari kajian ini, dapat
disimpulkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan bukan hanya sekadar konsep
moral, tetapi juga strategi kehidupan yang memberikan manfaat jangka panjang,
baik dalam aspek spiritual, sosial, maupun ekonomi. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna,
selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.
Semoga kajian ini memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya sikap sederhana dan santun,
serta menginspirasi kita semua untuk mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm.
90.
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005),
jilid 10, hlm. 325.
[3]
Ath-Thabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.
[4]
Al-Baghawi, Ma'alim
at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.
[5]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Kairo: Darul Ma’rifah, 1980), jilid 3, hlm.
250.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.
[7]
An-Nawawi, Riyadhus
Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Qur'an Al-Azim, jilid 6, hlm. 250.
[9]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 2, hlm. 95.
[10]
Muhammad Al-Muqaddim,
“Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5,
no. 2 (2021): 55-70.
Daftar Pustaka
Buku Tafsir dan Hadits
Al-Baghawi. (2005). Ma’alim at-Tanzil (Jilid
1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Jilid
3). Kairo: Darul Hadis.
Al-Qurthubi. (2005). Tafsir Al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an (Jilid 10). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh Al-Zakah.
Kairo: Maktabah Wahbah.
An-Nawawi. (2007). Riyadhus Shalihin. Kairo:
Darul Hadis.
Ath-Thabari. (2003). Jami' al-Bayan fi Tafsir
al-Qur'an (Jilid 17). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Hajar Al-Asqalani. (1980). Fathul Bari
(Jilid 3). Kairo: Darul Ma’rifah.
Ibnu Katsir. (1999). Tafsir Al-Qur'an Al-Azim
(Jilid 6). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (2002). Madarij
As-Salikin (Jilid 2). Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Jurnal Ilmiah
Fauzi, A. (2022). The Concept of Simplicity in
Islam. International Journal of Islamic Thought, 13(2), 45-57.
Fauzi, A. (2023). Minimalism in Islamic
Economics. Journal of Islamic Economics, 14(1), 88-102.
Muhammad, A. (2021). Islamic Ethics in Digital
Communication. Islamic Ethics Journal, 5(2), 55-70.
Zahra, F. (2022). Islamic Perspective on
Sustainable Consumption. International Journal of Environmental Ethics,
7(3), 65-80.
Hadits dan Literatur Islam
Bukhari, I. (1999). Shahih Bukhari. Kairo:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Muslim, I. (2005). Shahih Muslim. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Tirmidzi, I. (2007). Sunan At-Tirmidzi.
Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Lampiran: Ibadurrahman dan Korelasinya dengan
Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Islam
1.
Definisi Ibadurrahman dan Petunjuk Ayatnya
Dalam Al-Qur’an, Ibadurrahman
(hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih) disebutkan dalam Qs.
Al-Furqan [25] ayat 63-77 sebagai
golongan manusia pilihan yang memiliki akhlak mulia, termasuk kesederhanaan dan
kesantunan dalam kehidupan mereka. Allah berfirman dalam Qs.
Al-Furqan [25] ayat 63:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى
الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina),
mereka mengucapkan (kata-kata yang mengandung) keselamatan." (Qs.
Al-Furqan [25] ayat 63).
Ayat ini menjelaskan bahwa Ibadurrahman
memiliki sifat rendah hati dan tidak bersikap sombong dalam berjalan di bumi,
serta selalu menanggapi kebodohan dengan kesantunan, bukan dengan
kemarahan atau balasan yang buruk.1
Menurut Ibnu Katsir,
ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang memiliki akhlak terpuji akan
menampilkan kesederhanaan dalam sikap dan cara berinteraksi dengan orang lain,
baik dalam tutur kata maupun tindakan. Kesederhanaan dalam cara berjalan
melambangkan sikap tawadhu' (rendah hati), sementara tanggapan
yang santun terhadap hinaan menunjukkan kesantunan dalam berbicara dan
berinteraksi.2
Allah kemudian menjelaskan
karakteristik lainnya dari Ibadurrahman dalam Qs.
Al-Furqan [25] ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ
يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi
di antara keduanya secara wajar." (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67).
Ayat ini menjelaskan bahwa Ibadurrahman
juga memiliki sikap moderat dalam penggunaan harta, tidak boros dan tidak
pelit, melainkan berada di antara keduanya.3
2.
Korelasi Ibadurrahman dengan Pembahasan tentang
Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Islam
1)
Kesederhanaan dalam Gaya
Hidup dan Penggunaan Harta
Ibadurrahman tidak berlebihan dalam
membelanjakan harta mereka (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67),
sebagaimana Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Prinsip ini sejalan dengan Qs.
Al-Isra’ [17] ayat 29-30, yang melarang sikap boros (israf)
dan kikir (taqtir).
Rasulullah Saw juga menegaskan dalam hadits bahwa:
عن عبد الله بن
مسعود رضي الله عنه قال: قال النبي ﷺ: "ليس الغِنَى
عن كَثْرَةِ العَرَضِ، ولكنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ".
"Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya
harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa." (Shahih
Bukhari, No. 6447).4
2)
Kesantunan dalam
Berinteraksi dan Berkomunikasi
Ibadurrahman dikenal dengan kesantunan
dalam berbicara dan menanggapi hinaan dengan kelembutan (Qs.
Al-Furqan [25] ayat 63).
Hal ini selaras dengan Qs.
Al-Hujurat [49] ayat 11-12, yang melarang ejekan, prasangka
buruk, dan mencari kesalahan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik
atau diam." (HR. Bukhari, No. 6018).5
3)
Kesederhanaan dan
Kesantunan dalam Ibadah
Ibadurrahman memiliki hubungan yang kuat
dengan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 64:
وَالَّذِينَ
يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
"Dan orang-orang yang menghabiskan malam
mereka dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka."
Ini menunjukkan bahwa kesederhanaan
tidak hanya dalam aspek duniawi tetapi juga dalam ibadah, yaitu selalu menjaga
hubungan dengan Allah tanpa berlebih-lebihan dalam riya’ atau melalaikan
kewajiban agama.6
4)
Menjadi Pribadi yang
Bermanfaat bagi Orang Lain
Ibadurrahman tidak hanya beribadah untuk
diri sendiri, tetapi juga memiliki kepedulian sosial, sebagaimana
dalam Qs.
Al-Ma’un [107] ayat 1-7, yang mengkritik orang yang tidak
peduli kepada anak yatim dan orang miskin.
Rasulullah Saw bersabda:
"خَيْرُ
النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ".
"Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR.
Ahmad, No. 22818).7
Kesimpulan
Konsep Ibadurrahman
dalam Al-Qur’an sangat erat kaitannya dengan nilai kesederhanaan
dan kesantunan dalam Islam. Para ulama tafsir, seperti Ibnu
Katsir, Al-Qurtubi, dan Ath-Thabari, menegaskan bahwa hamba-hamba
Allah yang sejati selalu hidup dengan rendah hati, hemat dalam harta, santun
dalam berbicara, dan penuh kasih sayang dalam berinteraksi.
Nilai-nilai ini juga sangat
relevan dalam kehidupan modern. Di tengah budaya konsumtif dan
individualisme, prinsip Ibadurrahman dapat menjadi solusi bagi keseimbangan
hidup, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun spiritual. Dengan
mengamalkan kesederhanaan dan kesantunan, umat Islam tidak hanya meneladani
Rasulullah Saw, tetapi juga memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama
manusia.
Semoga kita semua dapat
menjadi bagian dari Ibadurrahman yang selalu hidup dalam
kesederhanaan dan kesantunan, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1999), jilid 6, hlm. 90.
[2]
Al-Qurtubi,
Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2005), jilid 10, hlm. 325.
[3]
Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.
[4]
Bukhari, Shahih Bukhari (Kairo: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999), No. 6447.
[5]
An-Nawawi,
Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.
[6]
Al-Baghawi,
Ma’alim at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.
[7]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad (Kairo: Darul Hadis, 2005),
No. 22818.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar