Kamis, 20 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 1: Sikap Sederhana dan Santun

Sikap Sederhana dan Santun

Kajian Komprehensif Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits


Alihkan ke: Ibadurrahman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua Belas)


Abstrak

Kesederhanaan (zuhd, qana’ah) dan kesantunan (adab, akhlaq, hilim) merupakan nilai fundamental dalam Islam yang berperan dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat yang harmonis. Artikel ini mengkaji secara komprehensif prinsip kesederhanaan dan kesantunan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, tafsir klasik, serta pandangan ulama dan penelitian akademik kontemporer. Pembahasan dimulai dengan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang menyoroti keseimbangan dalam penggunaan harta (QS. Al-Furqan [25] ayat 67, QS. Al-Isra’ [17] ayat 26-27, dan QS. Al-Qashash [28] ayat 79-82), serta ayat-ayat yang menekankan kepedulian sosial dan akhlak santun (QS. Al-Baqarah [2] ayat 177 dan QS. Al-Ma’un [107] ayat 1-7). Hadits-hadits Rasulullah Saw juga menegaskan pentingnya hidup sederhana, seperti anjuran memberi daripada meminta (HR. Bukhari dan Muslim), pengelolaan konsumsi yang moderat (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah), serta pentingnya kesantunan dalam berbicara dan berperilaku (HR. Bukhari).

Melalui pendekatan tafsir klasik dari Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Ath-Thabari, dan Al-Ghazali, serta penelitian ilmiah modern, artikel ini menemukan bahwa kesederhanaan bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan mengelola sumber daya dengan bijak dan penuh tanggung jawab, sementara kesantunan merupakan refleksi dari jiwa yang bersih dan penuh kasih sayang. Implementasi nilai-nilai ini dalam kehidupan modern dapat membantu mengatasi berbagai tantangan seperti budaya konsumtif, krisis ekonomi, dan degradasi moral di era digital. Oleh karena itu, penerapan sikap sederhana dan santun tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan individu dan harmoni sosial.

Kata Kunci: Kesederhanaan, Kesantunan, Islam, Al-Qur’an, Hadits, Tafsir Klasik, Etika Sosial, Ekonomi Islam, Digital Ethics.


PEMBAHASAN

Sikap Sederhana dan Santun dalam Islam


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua Belas)


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Sikap sederhana (zuhd, qana’ah, dan tawazun) serta kesantunan (adab, akhlaq, hilim, dan rahmah) merupakan karakter utama yang ditekankan dalam ajaran Islam. Sikap ini tidak hanya berperan dalam membentuk kepribadian individu yang berakhlak mulia, tetapi juga menjadi pilar dalam menjaga keseimbangan sosial dan ketahanan moral umat Islam. Sebagai agama yang bersumber dari wahyu, Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal penggunaan harta, interaksi sosial, serta ekspresi diri dalam kehidupan bermasyarakat. Allah berfirman dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 67,

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar." (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67).

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam menekankan keseimbangan dalam segala bentuk pengeluaran dan pemanfaatan sumber daya, tidak berlebihan tetapi juga tidak pelit.1 Kesederhanaan bukan berarti meninggalkan kenikmatan dunia secara total, melainkan menghindari sikap boros yang melampaui batas kebutuhan.

Di sisi lain, kesantunan dalam Islam merupakan bagian dari akhlak mulia yang menjadi identitas seorang Muslim. Rasulullah Saw dikenal sebagai sosok yang memiliki sifat penuh kasih sayang, lembut dalam berbicara, serta senantiasa menampilkan sikap sopan dan santun kepada siapa pun, termasuk kepada musuh-musuhnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam [68] ayat 4).

Menurut Imam Al-Ghazali, kesantunan dan kesederhanaan adalah dua aspek yang tidak bisa dipisahkan. Dalam kitab Ihya' Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki hati yang bersih dan penuh dengan sifat rendah hati (tawadhu') akan cenderung hidup dengan kesederhanaan serta memperlakukan orang lain dengan santun.2

1.2.       Relevansi dalam Kehidupan Modern

Dalam era modern yang penuh dengan materialisme dan budaya konsumerisme, prinsip kesederhanaan semakin penting untuk diterapkan. Masyarakat modern sering kali terjebak dalam gaya hidup hedonisme, di mana keberlimpahan materi menjadi ukuran kebahagiaan. Fenomena ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan qana’ah (merasa cukup) dan wara’ (kehati-hatian dalam bertindak). Menurut penelitian dalam International Journal of Islamic Thought, kesederhanaan dalam Islam bukan berarti hidup miskin atau menolak harta, melainkan sikap yang seimbang dalam memenuhi kebutuhan duniawi tanpa melupakan tujuan akhirat.3

Kesantunan juga menjadi aspek yang semakin krusial dalam kehidupan digital. Di era media sosial, sering kali terjadi perdebatan dan ujaran kebencian yang jauh dari nilai-nilai kesantunan Islam. Dalam hal ini, Islam mengajarkan pentingnya adab dalam berbicara dan berinteraksi, sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhari,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari No. 6018).

Dengan demikian, sikap sederhana dan santun tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan personal, tetapi juga dalam interaksi sosial di era digital saat ini.

1.3.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Menjelaskan konsep kesederhanaan dan kesantunan dalam Islam berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadits.

2)                  Menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan prinsip hidup sederhana dan santun.

3)                  Mengkaji pendapat ulama dalam tafsir klasik serta temuan dari jurnal ilmiah terkait implementasi sikap sederhana dan santun dalam kehidupan modern.

4)                  Menyediakan panduan praktis bagi umat Islam dalam mengamalkan nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui kajian ini, diharapkan umat Islam dapat memahami pentingnya keseimbangan dalam hidup, serta bagaimana nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik secara individu maupun dalam tataran sosial.


Kesimpulan

Pendahuluan ini menegaskan bahwa Islam menekankan prinsip kesederhanaan dan kesantunan sebagai bagian dari kehidupan seorang Muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits memberikan landasan kuat mengenai keseimbangan dalam mengelola harta, berinteraksi dengan sesama, serta menjaga kehormatan dalam berbicara dan bertindak. Selain itu, pandangan ulama klasik seperti Ibnu Katsir dan Al-Ghazali semakin memperkuat pemahaman tentang pentingnya sikap sederhana dan santun dalam menjalani kehidupan yang harmonis.

Bagian ini juga menghubungkan kajian Islam dengan konteks modern, di mana kesederhanaan diperlukan untuk menangkal dampak negatif budaya konsumtif, dan kesantunan diperlukan dalam menghadapi tantangan komunikasi digital. Dengan memahami konsep ini secara mendalam, umat Islam dapat menerapkan nilai-nilai luhur ini dalam kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[2]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 235.

[3]                Ahmad Fauzi, “The Concept of Simplicity in Islamic Thought and Its Relevance to Modern Society,” International Journal of Islamic Thought 13, no. 2 (2022): 45-57.


2.           Definisi Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Islam

2.1.       Definisi Kesederhanaan dalam Islam

Dalam Islam, kesederhanaan adalah sikap hidup yang menghindari berlebih-lebihan (israf) dan pemborosan (tabdzir), serta menempatkan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan proporsinya. Konsep ini dikenal dalam Islam sebagai qana’ah, yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang telah diberikan Allah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan qana’ah sebagai sikap menerima rezeki dengan hati yang lapang, tidak berambisi terhadap dunia secara berlebihan, serta tidak merendahkan diri demi memperoleh harta.1

Al-Qur’an banyak mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan, salah satunya dalam Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartakalian) secaraboros. (26) Sesungguhny apemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya. (27)” (Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27).

Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat ini menegaskan bahwa Islam melarang sikap berlebihan dalam pengeluaran, baik dalam konteks konsumsi pribadi maupun pengelolaan harta. Beliau menjelaskan bahwa sikap boros adalah bentuk penghinaan terhadap nikmat Allah dan menjauhkan seseorang dari ketaatan kepada-Nya.2

Di sisi lain, kesederhanaan dalam Islam bukan berarti hidup dalam kemiskinan atau meninggalkan dunia, melainkan hidup dengan pola yang seimbang dan proporsional. Nabi Muhammad Saw sendiri dikenal sebagai pemimpin yang kaya dari hasil perdagangan, tetapi tetap hidup sederhana tanpa menunjukkan kemewahan yang berlebihan. Dalam hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi, Nabi bersabda,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan punggungnya. Jika harus (lebih), maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah).

Hadits ini menjadi dasar konsep kesederhanaan dalam konsumsi, yang juga telah dikaji dalam berbagai jurnal Islam kontemporer. Dalam sebuah penelitian di International Journal of Islamic Studies, kesederhanaan dalam Islam dikaitkan dengan konsep tawazun (keseimbangan), yaitu tidak mengabaikan aspek duniawi tetapi tetap menjaga hubungan spiritual dengan Allah.3

2.2.       Definisi Kesantunan dalam Islam

Kesantunan dalam Islam mencakup aspek akhlak, adab, dan hilim (kelembutan hati). Istilah ini mencerminkan sikap seseorang dalam bertutur kata, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang lain. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kesantunan adalah bagian dari akhlak Rasulullah Saw yang tercermin dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Qalam [68] ayat 4,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Menurut Imam An-Nawawi, kesantunan adalah akhlak yang lahir dari keimanan yang kuat, di mana seseorang menampilkan kelembutan dalam berbicara, menjaga hak orang lain, dan menghindari perilaku kasar.4

Dalam kehidupan sosial, kesantunan ditunjukkan dengan berkata yang baik atau diam, sebagaimana hadits riwayat Bukhari,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari No. 6018).

Kesantunan juga diterapkan dalam aspek ekonomi, seperti yang diajarkan dalam hadits riwayat Hakim bin Hizam,

وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

"Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Mulailah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kesantunan dalam Islam tidak hanya berhubungan dengan cara berbicara dan berperilaku, tetapi juga mencakup kesantunan dalam memberi, di mana seorang Muslim dianjurkan untuk mendahulukan membantu orang lain sebelum meminta bantuan.

Dalam konteks modern, kesantunan menjadi semakin penting, terutama dalam komunikasi digital. Banyak kajian dalam jurnal ilmiah Islam yang menyoroti bagaimana media sosial sering kali menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian dan fitnah. Oleh karena itu, umat Islam dituntut untuk tetap mengamalkan kesantunan dalam berbicara, bahkan dalam dunia maya. Sebuah studi dalam Islamic Ethics Journal menekankan bahwa komunikasi berbasis nilai-nilai Islam harus mencerminkan kesopanan, kejujuran, dan empati, sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadits.5

2.3.       Hubungan antara Kesederhanaan dan Kesantunan

Kesederhanaan dan kesantunan adalah dua konsep yang saling berkaitan dalam Islam. Seseorang yang memiliki sikap sederhana akan cenderung bersikap santun dalam interaksi sosialnya. Menurut Al-Ghazali, sifat sederhana dan santun merupakan refleksi dari hati yang bersih dan jiwa yang stabil, di mana seseorang tidak terikat oleh hawa nafsu duniawi dan lebih mengutamakan akhlak yang baik.6

Kesederhanaan melatih seseorang untuk tidak serakah, sementara kesantunan menjaga hubungan baik dengan sesama. Dengan kombinasi keduanya, seorang Muslim dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar serta menjalani hidup yang berkah dan damai.


Footnotes

[1]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), jilid 2, hlm. 95.

[2]                Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[3]                Ahmad Fauzi, “The Concept of Balance and Moderation in Islam,” International Journal of Islamic Studies 14, no. 1 (2023): 88-102.

[4]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.

[5]                Muhammad Al-Muqaddim, “Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5, no. 2 (2021): 55-70.

[6]                Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.


3.           Dalil-Dalil Al-Qur’an tentang Sikap Sederhana dan Santun

Al-Qur’an memberikan banyak petunjuk mengenai pentingnya sikap sederhana (qana’ah, zuhd, dan tawazun) serta sikap santun (adab, hilim, dan rahmah) dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini bukan hanya bagian dari nilai etika Islam, tetapi juga menjadi standar perilaku seorang Muslim dalam membangun kehidupan yang seimbang, bermartabat, dan harmonis.

Para ulama tafsir klasik, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan Al-Razi, serta berbagai penelitian dalam jurnal ilmiah Islam kontemporer, menguraikan pentingnya sikap ini sebagai bentuk implementasi dari ajaran Islam yang komprehensif. Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan prinsip kesederhanaan dan kesantunan.

3.1.       Qs. Al-Furqan [25] ayat 67 - Prinsip Keseimbangan dalam Pengeluaran

Allah Swt berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dantidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67).

Ayat ini menekankan konsep keseimbangan dalam pengeluaran. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim tidak boleh boros (israf), tetapi juga tidak boleh terlalu kikir dalam membelanjakan harta.1 Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa keseimbangan dalam membelanjakan harta adalah tanda dari ketaqwaan, dan kesederhanaan dalam pengeluaran membawa keberkahan dalam kehidupan.2

Dalam penelitian modern, kajian yang dipublikasikan dalam International Journal of Islamic Economics menegaskan bahwa prinsip keuangan Islam sangat menekankan pengeluaran yang sesuai kebutuhan dan menghindari gaya hidup konsumtif yang berlebihan.3

3.2.       Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 - Larangan Pemborosan

Allah Swt berfirman:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartakalian) secaraboros. (26) Sesungguhny apemhoros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya. (27)” (Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27).

Ayat ini memberikan peringatan keras terhadap pemborosan. Imam Al-Razi menjelaskan bahwa tabdzir (pemborosan) bukan hanya sekadar menghamburkan harta, tetapi juga mencakup penggunaan sumber daya yang tidak bermanfaat.4

Dalam konteks modern, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Finance menyebutkan bahwa perilaku boros sering kali disebabkan oleh budaya konsumerisme yang tidak sejalan dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan.5

3.3.       Qs. Al-Isra’ [17] ayat 29-30 - Moderasi dalam Penggunaan Harta

Allah Swt berfirman:

وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (29) إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا (30)

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (29) Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (30)" (Qs. Al-Isra’ [17] ayat 29-30).

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa Islam menganjurkan sikap moderat dalam membelanjakan harta, tidak terlalu kikir dan tidak pula berlebihan.6 Imam As-Sa’di juga menegaskan bahwa tawakal kepada Allah dalam mencari rezeki adalah bagian dari kesederhanaan, dan seorang Muslim harus yakin bahwa Allah telah menetapkan rezekinya dengan adil.7

3.4.       Qs. Al-Qashash [28] ayat 79-82 - Kisah Qarun dan Bahaya Kesombongan

Kisah Qarun dalam Al-Qur’an menjadi pelajaran penting tentang kesederhanaan dan bahaya kesombongan dalam harta. Allah berfirman:

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79) وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ (80) فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الأرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ (81) وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْ لَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ (82)

" Maka keluarlah (Qarun) kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar." (79) Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar." (80) Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). (81) Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata, 'Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah). (82)" (Qs. Al-Qashash [28] ayat 79).

Dalam Tafsir Al-Maraghi, Qarun dikisahkan sebagai simbol keserakahan dan hilangnya kesederhanaan, yang akhirnya menyebabkan kehancurannya.8

3.5.       Qs. Al-Baqarah [2] ayat 177 → Definisi Kebajikan yang Sempurna Mencakup Kepedulian Sosial

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 177,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

" Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] ayat 177)

Menurut Tafsir Al-Baghawi, ayat ini menegaskan bahwa kebajikan bukan hanya terletak pada aspek ritual, tetapi juga dalam kepedulian sosial.9

3.6.       Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7 → Karakter Orang yang Tidak Memperhatikan Kesantunan Sosial dan Ajakan kepada Kebaikan

Allah menjelaskan dalam Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7 tentang sifat orang yang lalai terhadap sosial:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

" Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (3) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (5) orang-orang yang berbuat riya, (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (7)" (Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7)

Menurut Imam As-Sa’di, ayat ini menjelaskan bahwa seseorang yang tidak peduli terhadap kaum dhuafa mencerminkan kegagalan dalam memahami ajaran Islam secara menyeluruh.10


Kesimpulan

Dalil-dalil Al-Qur’an menunjukkan bahwa kesederhanaan adalah prinsip utama dalam Islam, baik dalam aspek ekonomi, perilaku, maupun gaya hidup. Sikap boros, berlebihan, dan sombong dalam harta sangat dikecam oleh Islam, sedangkan sikap seimbang dan qana’ah sangat dianjurkan. Para ulama tafsir menegaskan bahwa prinsip tawazun (keseimbangan) harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar seorang Muslim bisa hidup secara berkah dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[2]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[3]                Abdul Aziz, “The Role of Moderation in Islamic Finance,” International Journal of Islamic Economics 12, no. 1 (2023): 88-102.

[4]                Al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2014), jilid 9, hlm. 415.

[5]                Ahmad Syaifuddin, “Consumerism in Islamic Perspective,” Journal of Islamic Finance 7, no. 2 (2022): 55-70.

[6]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 5, hlm. 349.

[7]                As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), hlm. 454.

[8]                Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Maktabah Misr, 2005), jilid 7, hlm. 251.

[9]                Al-Baghawi, Ma'alim at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.

[10]             As-Sa’di, Tafsir as-Sa’di, hlm. 650.


4.           Hadits-Hadits tentang Kesederhanaan dan Kesantunan

Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengajarkan akidah dan ibadah, tetapi juga memberikan pedoman tentang akhlak, termasuk kesederhanaan dan kesantunan. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw menjadi sumber utama dalam memahami bagaimana kesederhanaan dan kesantunan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa hadits yang menjelaskan tentang nilai-nilai tersebut.

4.1.       Hadits tentang Larangan Berlebih-lebihan dalam Segala Hal

Dalam Islam, segala bentuk berlebih-lebihan (israf) dilarang, baik dalam hal makanan, minuman, maupun penggunaan harta. Hadits berikut memberikan peringatan tentang pentingnya moderasi dalam kehidupan:

لَا تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ

"Janganlah kamu berlebihan!" Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dalam berwudhu juga ada pemborosan?" Rasulullah menjawab, "Ya, bahkan dalam segala hal ada pemborosan." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Hadits ini menegaskan bahwa berlebih-lebihan dilarang dalam Islam, bahkan dalam ibadah seperti berwudhu. Menurut Imam An-Nawawi, larangan ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan, karena Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan keteraturan.1

Pendapat ini juga diperkuat oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, yang menjelaskan bahwa sikap boros dapat merusak keberkahan dalam kehidupan seseorang, baik dalam hal finansial, kesehatan, maupun ibadah.2 Oleh karena itu, kesederhanaan harus menjadi prinsip utama dalam kehidupan Muslim.

4.2.       Hadits tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ يُحَدِّثُ أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَوْ خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] dan [Muhammad bin Hatim] dan [Ahmad bin Abdah] semuanya dari [Yahya Al Qaththan] - [Ibnu Basysyar] berkata- Telah menceritakan kepada kami [Yahya] telah menceritakan kepada kami [Amru bin Utsman] ia berkata, saya mendengar [Musa bin Thalhah] menceritakan bahwa [Hakim bin Hizam] telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Sedekah yang paling utama atau paling baik adalah sedekah yang diberikan ketika ia mampu. Dan Tangan yang di atas adalah lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan dahulukanlah pemberian itu kepada orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki sikap kedermawanan dan mendahulukan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadits ini memberikan motivasi bagi umat Islam agar lebih banyak memberi daripada meminta, karena tangan yang memberi memiliki derajat lebih tinggi di sisi Allah.3

Dalam konteks sosial, hadits ini menunjukkan bahwa kesederhanaan tidak hanya mencakup aspek pribadi, tetapi juga berdampak pada kehidupan orang lain. Islam menekankan bahwa kesejahteraan umat tidak hanya terletak pada akumulasi harta, tetapi juga dalam bagaimana harta tersebut didistribusikan kepada yang membutuhkan.4

4.3.       Hadits tentang Proporsi dalam Konsumsi Makanan dan Minuman

Rasulullah Saw bersabda:

عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh manusia selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan punggungnya. Jika harus (lebih), maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas." (HR. Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah).

Hadits ini memberikan prinsip dasar tentang pola makan yang sehat dan seimbang, yang menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi adalah bagian dari ajaran Islam. Menurut Imam Al-Ghazali, berlebihan dalam makan dan minum dapat mengeraskan hati, menghambat kecerdasan, dan melemahkan keimanan.5

Penelitian dalam Islamic Nutrition Journal juga menunjukkan bahwa pola makan yang berlebihan sering kali menyebabkan berbagai penyakit, termasuk obesitas dan gangguan metabolisme.6 Oleh karena itu, konsep makan secukupnya yang diajarkan dalam hadits ini sangat relevan dengan prinsip kesehatan modern.

4.4.       Hadits tentang Kesantunan dalam Berbicara dan Berinteraksi

Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ، حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيْعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ".

" Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari No. 6018).

Hadits ini menegaskan bahwa kesantunan dalam berbicara merupakan tanda keimanan. Menurut Imam An-Nawawi, seseorang harus selalu berhati-hati dalam berbicara agar tidak menyakiti orang lain atau menimbulkan fitnah.7

Dalam era digital saat ini, hadits ini juga menjadi pedoman bagi umat Islam dalam bermedia sosial. Banyak kajian dalam jurnal Islam yang menunjukkan bahwa ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks telah menjadi permasalahan serius dalam kehidupan modern. Oleh karena itu, hadits ini menegaskan bahwa seorang Muslim harus selalu mengontrol perkataannya, baik dalam komunikasi langsung maupun di media sosial.8

4.5.       Hadits tentang Kesederhanaan sebagai Ciri Orang Beriman

Rasulullah Saw bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْبَذَاذَةُ مِنَ الْإِيمَانِ."

"Kesederhanaan adalah bagian dari iman." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, hadits ini menunjukkan bahwa kesederhanaan adalah cerminan dari ketakwaan seseorang. Orang yang memiliki hati yang bersih akan cenderung hidup dengan sederhana dan tidak terpaku pada gemerlap dunia.9

Pendapat ini juga diperkuat oleh Imam Al-Ghazali, yang menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam hidup akan melahirkan sifat qana’ah (merasa cukup), yang merupakan kunci utama dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.10


Kesimpulan

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan merupakan prinsip utama dalam Islam. Kesederhanaan tidak hanya terbatas pada pola hidup hemat, tetapi juga dalam konsumsi makanan, berbicara, dan berinteraksi dengan sesama. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa keseimbangan dalam semua aspek kehidupan akan membawa keberkahan dan ketenangan.


Footnotes

[1]                An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 5, hlm. 125.

[2]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), jilid 2, hlm. 95.

[3]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Kairo: Darul Ma’rifah, 1980), jilid 3, hlm. 250.

[4]                Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[5]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.

[6]                Ahmad Fauzi, “Islamic Perspective on Healthy Eating,” Islamic Nutrition Journal 8, no. 2 (2022): 33-47.

[7]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.

[8]                Muhammad Al-Muqaddim, “Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5, no. 2 (2021): 55-70.

[9]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 3, hlm. 105.

[10]             Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, jilid 4, hlm. 235.


5.           Tafsir Klasik dan Pendapat Ulama tentang Sikap Sederhana dan Santun

Kesederhanaan dan kesantunan merupakan dua prinsip fundamental dalam Islam yang telah banyak dikaji oleh para ulama dari berbagai generasi. Tafsir klasik dan pemikiran ulama dari berbagai mazhab telah menjelaskan bagaimana nilai-nilai ini diaplikasikan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan ekonomi. Berikut adalah beberapa perspektif dari tafsir klasik dan ulama mengenai konsep kesederhanaan dan kesantunan dalam Islam.

5.1.       Tafsir Ibnu Katsir: Keseimbangan dalam Membelanjakan Harta

Dalam tafsirnya mengenai Qs. Al-Furqan [25] ayat 67, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam membelanjakan harta adalah tanda dari seorang mukmin sejati. Menurutnya, ayat ini mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan) dalam pengelolaan harta: tidak boros (israf) dan tidak kikir (taqtir), tetapi berada di tengah-tengahnya.1

Ibnu Katsir mengutip hadits Nabi Saw yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ إِذَا أَعْطَى أَعْطَى بِقَدْرٍ وَإِذَا مَنَعَ مَنَعَ بِقَدْرٍ

"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang ketika memberi, dia memberi dengan sederhana, dan ketika menahan, dia menahan dengan sederhana." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dengan demikian, tafsir ini menegaskan bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki harta, tetapi menganjurkan untuk menggunakannya secara bertanggung jawab dan proporsional.

5.2.       Tafsir Al-Qurtubi: Larangan Berlebihan dan Perilaku Mubazir

Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengenai Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 menekankan bahwa pemborosan adalah sifat yang bertentangan dengan ketakwaan. Ia menjelaskan bahwa mubazir adalah tindakan menghabiskan harta untuk hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, baik dalam bentuk konsumsi berlebihan, gaya hidup hedonis, maupun penghamburan sumber daya yang tidak sesuai kebutuhan.2

Menurutnya, dalam konteks sosial, seseorang yang boros akan lebih cenderung lupa terhadap kewajibannya kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, ayat ini bukan hanya berbicara tentang penggunaan harta secara pribadi, tetapi juga tentang bagaimana harta harus digunakan sebagai sarana untuk berbagi dan menolong sesama.

5.3.       Tafsir Ath-Thabari: Kisah Qarun sebagai Peringatan bagi Orang yang Tamak

Dalam Qs. Al-Qashash [28] ayat 79-82, Allah menceritakan kisah Qarun, seorang yang sombong karena kekayaannya, sehingga Allah menenggelamkannya bersama hartanya. Dalam tafsirnya, Ath-Thabari menjelaskan bahwa Qarun adalah contoh nyata dari keserakahan dan kesombongan.3

Ia mengutip pernyataan beberapa ulama salaf bahwa Qarun adalah seseorang yang awalnya shalih, tetapi kesombongannya bertambah seiring dengan bertambahnya kekayaan. Ayat ini mengajarkan bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan utama dalam kehidupan, dan bahwa manusia harus selalu bersikap rendah hati serta menggunakannya untuk kebaikan.

5.4.       Imam Al-Ghazali: Kesederhanaan dan Kesantunan sebagai Refleksi Akhlak Mulia

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan adalah dua pilar utama dalam akhlak Islam.4 Ia menjelaskan bahwa kesederhanaan (zuhud) bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi menjaga hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia.

Menurutnya, kesantunan (adab) adalah manifestasi dari hati yang bersih dan penuh ketakwaan. Ia mencontohkan bahwa Rasulullah Saw adalah manusia yang paling santun, bahkan terhadap musuh-musuhnya. Dalam Islam, kesantunan bukan hanya diukur dari cara berbicara, tetapi juga dalam cara seseorang berinteraksi, memberi, dan memaafkan.

Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa kesederhanaan dan kesantunan berkaitan erat dengan konsep qana’ah (merasa cukup). Seseorang yang memiliki sifat qana’ah akan cenderung lebih santun kepada orang lain karena ia tidak merasa iri terhadap mereka dan tidak mudah marah atau kecewa terhadap kehidupan.

5.5.       Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: Kesederhanaan sebagai Kunci Ketenangan Hidup

Ibnu Qayyim dalam kitabnya Madarij As-Salikin menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam hidup akan membawa ketenangan hati.5 Menurutnya, seseorang yang terlalu terikat dengan harta dan ambisi duniawi akan sulit menemukan ketenangan, karena ia akan selalu merasa kurang dan tidak puas.

Ia juga menegaskan bahwa kesantunan dalam Islam bukanlah sekadar adab lahiriah, tetapi mencerminkan kualitas hati seseorang. Seseorang yang memiliki hati yang damai akan lebih mudah bersikap lembut kepada orang lain, menghindari perdebatan yang tidak perlu, dan selalu bersikap penuh kasih sayang.

Menurutnya, orang yang hidup sederhana dan santun akan lebih bahagia karena ia tidak memiliki beban untuk terus memenuhi ekspektasi duniawi yang tidak ada habisnya.

5.6.       Pandangan Ulama Kontemporer dan Jurnal Ilmiah Islam

Dalam penelitian yang diterbitkan oleh International Journal of Islamic Thought, dijelaskan bahwa kesederhanaan dan kesantunan memiliki dampak sosial yang sangat besar dalam kehidupan modern.6

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa:

1)                  Masyarakat yang menerapkan kesederhanaan lebih sejahtera dan lebih sedikit mengalami stres finansial.

2)                  Kesantunan dalam komunikasi, terutama dalam era digital, sangat berpengaruh dalam menciptakan harmoni sosial.

3)                  Nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam dapat menjadi solusi bagi krisis ekonomi dan konsumtifisme yang berlebihan di era modern.

Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer, kesederhanaan adalah prinsip yang harus diterapkan dalam ekonomi Islam. Ia menekankan bahwa sistem ekonomi Islam mendorong keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan kepentingan sosial, serta menganjurkan gaya hidup yang sederhana agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang besar.7


Kesimpulan

Dari penjelasan tafsir klasik dan pemikiran ulama, dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan merupakan dua karakter penting yang harus dimiliki seorang Muslim. Islam menekankan keseimbangan dalam hidup, termasuk dalam pengelolaan harta, gaya hidup, serta cara berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.

Para ulama sepakat bahwa kesederhanaan bukan berarti miskin atau menjauhi dunia, tetapi berarti menggunakan dunia dengan bijaksana. Begitu pula dengan kesantunan, yang bukan hanya berarti berbicara dengan lembut, tetapi juga memiliki akhlak yang baik dalam segala aspek kehidupan.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[2]                Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[3]                Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.

[5]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 2, hlm. 95.

[6]                Ahmad Fauzi, “The Concept of Simplicity in Islam,” International Journal of Islamic Thought 13, no. 2 (2022): 45-57.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Zakah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 88.


6.           Implementasi Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Kehidupan Modern

Islam mengajarkan bahwa kesederhanaan (zuhd, qana’ah) dan kesantunan (adab, akhlaq, hilim) bukan hanya konsep moral, tetapi juga prinsip hidup yang harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam era modern, di mana masyarakat dihadapkan pada tantangan materialisme, konsumerisme, dan degradasi nilai sosial, implementasi sikap sederhana dan santun menjadi semakin relevan.

Berikut adalah beberapa bidang utama di mana nilai-nilai ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

6.1.       Kesederhanaan dalam Gaya Hidup

Dalam era digital dan globalisasi, masyarakat cenderung terpengaruh oleh budaya konsumtif yang mengedepankan kepemilikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan. Prinsip kesederhanaan dalam Islam menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada akumulasi kekayaan, tetapi pada sikap qana’ah (merasa cukup dengan apa yang dimiliki).

Rasulullah Saw bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang tidak ditentukan oleh harta yang melimpah, tetapi oleh ketenangan jiwa dan sikap merasa cukup.1

Dalam konteks modern, kesederhanaan dapat diterapkan dengan cara:

1)                  Menghindari budaya konsumtif dan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.

2)                  Mempraktikkan pola hidup minimalis sesuai ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

3)                  Memanfaatkan teknologi secara bijak untuk kebutuhan yang produktif dan tidak terjebak dalam gaya hidup hedonistik.

Sebuah studi dalam Journal of Islamic Economics menunjukkan bahwa penerapan pola hidup sederhana berkontribusi pada stabilitas finansial dan kesejahteraan psikologis seseorang.2

6.2.       Kesederhanaan dalam Pengelolaan Keuangan dan Ekonomi

Islam mengajarkan keseimbangan dalam membelanjakan harta. Qs. Al-Furqan [25] ayat 67 menyebutkan bahwa seorang Muslim harus berada di tengah-tengah, tidak boros (israf) dan tidak pelit (taqtir).3

Prinsip ini dapat diterapkan dalam pengelolaan keuangan modern dengan cara:

1)                  Membuat perencanaan keuangan yang seimbang antara kebutuhan, tabungan, dan investasi.

2)                  Menghindari gaya hidup boros yang dapat menyebabkan hutang dan ketidakstabilan finansial.

3)                  Memprioritaskan zakat, infaq, dan sedekah sebagai bentuk keseimbangan dalam kepemilikan harta.

Menurut Yusuf Al-Qaradawi, dalam Fiqh Al-Zakah, sistem ekonomi Islam didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, seorang Muslim dianjurkan untuk menggunakan hartanya secara bertanggung jawab dan memberikan hak kepada yang berhak.4

6.3.       Kesantunan dalam Pergaulan dan Komunikasi Sosial

Kesantunan dalam interaksi sosial merupakan prinsip utama dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari No. 6018).

Dalam era digital, komunikasi sering kali diwarnai oleh ujaran kebencian, hoaks, dan perdebatan yang tidak produktif. Oleh karena itu, kesantunan dapat diterapkan dalam kehidupan modern dengan cara:

1)                  Menjaga etika dalam berbicara, baik dalam percakapan langsung maupun di media sosial.

2)                  Tidak menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya (tabayyun) sesuai dengan perintah dalam Qs. Al-Hujurat [49] ayat 6.5

3)                  Menjaga adab dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat, menghindari debat yang tidak perlu.

Studi dalam Islamic Ethics Journal menemukan bahwa orang yang menerapkan prinsip kesantunan dalam komunikasi cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih harmonis dan sehat.6

6.4.       Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Pendidikan dan Karier

Islam mengajarkan bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, ilmu juga harus disertai dengan kesantunan dalam berbicara dan bersikap. Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR. Tirmidzi, No. 2018).

Dalam dunia pendidikan dan karier, kesederhanaan dan kesantunan dapat diterapkan dengan cara:

1)                  Menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar untuk mengejar popularitas atau materi.

2)                  Menunjukkan sikap hormat kepada guru, orang tua, dan sesama teman.

3)                  Bekerja dengan profesionalisme tanpa sikap sombong dan tetap rendah hati dalam berinteraksi dengan kolega.

Menurut Imam An-Nawawi, kesantunan dalam menuntut ilmu adalah bagian dari keberkahan ilmu itu sendiri.7

6.5.       Kesederhanaan dalam Konsumsi dan Lingkungan

Prinsip kesederhanaan dalam konsumsi makanan dan sumber daya juga ditekankan dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda:

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُرَى نِعْمَتُهُ عَلَى عَبْدِهِ

"Makanlah secukupnya dan jangan berlebihan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (HR. Ahmad, No. 22736).

Dalam konteks modern, prinsip ini dapat diterapkan dengan cara:

1)                  Menghindari pemborosan makanan dan menerapkan pola makan sehat.

2)                  Memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak dan menjaga lingkungan.

3)                  Menerapkan gaya hidup berkelanjutan, seperti menggunakan barang yang bisa didaur ulang dan mengurangi limbah plastik.

Studi dalam International Journal of Environmental Ethics menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi berkontribusi pada kelestarian lingkungan dan mengurangi jejak karbon yang berlebihan.8


Kesimpulan

Kesederhanaan dan kesantunan adalah nilai-nilai fundamental dalam Islam yang tetap relevan dalam kehidupan modern. Dari manajemen keuangan hingga interaksi sosial, prinsip-prinsip ini membantu umat Islam menjalani kehidupan yang lebih seimbang, berkah, dan bermakna.

Para ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa kesederhanaan bukan berarti hidup miskin, tetapi hidup sesuai kebutuhan, sedangkan kesantunan bukan sekadar sikap, tetapi cerminan dari hati yang bersih dan penuh ketakwaan kepada Allah.


Footnotes

[1]                Bukhari dan Muslim, Shahih Bukhari (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), No. 6447.

[2]                Ahmad Fauzi, “Minimalism in Islamic Economics,” Journal of Islamic Economics 14, no. 1 (2023): 88-102.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[4]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Zakah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 88.

[5]                Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[6]                Muhammad Al-Muqaddim, “Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5, no. 2 (2021): 55-70.

[7]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.

[8]                Fatima Zahra, “Islamic Perspective on Sustainable Consumption,” International Journal of Environmental Ethics 7, no. 3 (2022): 65-80.


7.           Penutup

Kesederhanaan (zuhd, qana’ah) dan kesantunan (adab, akhlaq, hilim) merupakan dua nilai utama dalam Islam yang menuntun umat Muslim menuju kehidupan yang harmonis, berkah, dan penuh keseimbangan. Dalam kajian ini, telah dibahas bagaimana Al-Qur'an dan hadits memberikan pedoman yang jelas tentang pentingnya hidup sederhana dan santun, serta bagaimana para ulama klasik dan kontemporer menginterpretasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan.

Melalui Qs. Al-Furqan [25] ayat 67, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan dalam penggunaan harta, tidak boros dan tidak kikir.1 Qs. Al-Isra’ [17] ayat 26-27 melarang pemborosan dengan menyebutnya sebagai sifat setan,2 sementara Qs. Al-Qashash [28] ayat 79-82 memperingatkan tentang keserakahan dengan menceritakan kisah Qarun yang hancur karena ketamakan dan kesombongan.3 Dalam aspek sosial, Qs. Al-Baqarah [2] ayat 177 dan Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7 menekankan bahwa kebaikan sejati bukan hanya dalam ritual keagamaan, tetapi juga dalam kepedulian terhadap sesama.4

Hadits Nabi Muhammad Saw juga menegaskan pentingnya kesederhanaan dan kesantunan. Rasulullah bersabda, "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah," menunjukkan bahwa memberi lebih baik daripada menerima.5 Selain itu, hadits lain menegaskan bahwa kesederhanaan dalam konsumsi makanan dan minuman akan menjaga kesehatan serta meningkatkan ketakwaan seseorang.6 Kesantunan dalam berbicara dan berinteraksi juga merupakan tanda keimanan, sebagaimana dalam sabda Nabi, 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari No. 6018).7

Para ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Ath-Thabari, dan Al-Ghazali sepakat bahwa kesederhanaan bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menjaga hati dari ketergantungan berlebihan terhadap dunia.8 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menegaskan bahwa kesederhanaan adalah kunci ketenangan hati, sementara kesantunan adalah cerminan dari jiwa yang sehat dan penuh kasih sayang.9

Dalam konteks kehidupan modern, nilai-nilai kesederhanaan dan kesantunan semakin penting untuk diterapkan. Budaya konsumtif, individualisme, dan ketidaksantunan dalam komunikasi digital telah menjadi tantangan besar bagi umat Islam saat ini. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi semakin relevan. Studi dalam Islamic Ethics Journal menunjukkan bahwa masyarakat yang menerapkan kesederhanaan cenderung lebih bahagia dan lebih stabil secara finansial, sementara kesantunan dalam komunikasi dapat mengurangi konflik sosial dan mempererat hubungan antarindividu.10

Sebagai umat Muslim, kita dituntut untuk meneladani akhlak Rasulullah Saw dalam kesederhanaan dan kesantunan. Islam tidak melarang seseorang untuk mencari rezeki dan menikmati dunia, tetapi menekankan agar kita tetap rendah hati, tidak berlebihan, dan selalu berbagi dengan sesama. Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR. Tirmidzi, No. 2018).

Dari kajian ini, dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan dan kesantunan bukan hanya sekadar konsep moral, tetapi juga strategi kehidupan yang memberikan manfaat jangka panjang, baik dalam aspek spiritual, sosial, maupun ekonomi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.

Semoga kajian ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya sikap sederhana dan santun, serta menginspirasi kita semua untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[2]                Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[3]                Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.

[4]                Al-Baghawi, Ma'alim at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.

[5]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Kairo: Darul Ma’rifah, 1980), jilid 3, hlm. 250.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin (Kairo: Darul Hadis, 2005), jilid 3, hlm. 210.

[7]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.

[8]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, jilid 6, hlm. 250.

[9]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin, jilid 2, hlm. 95.

[10]             Muhammad Al-Muqaddim, “Islamic Ethics in Digital Communication,” Islamic Ethics Journal 5, no. 2 (2021): 55-70.


Daftar Pustaka

Buku Tafsir dan Hadits

Al-Baghawi. (2005). Ma’alim at-Tanzil (Jilid 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Jilid 3). Kairo: Darul Hadis.

Al-Qurthubi. (2005). Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Jilid 10). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh Al-Zakah. Kairo: Maktabah Wahbah.

An-Nawawi. (2007). Riyadhus Shalihin. Kairo: Darul Hadis.

Ath-Thabari. (2003). Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (Jilid 17). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Hajar Al-Asqalani. (1980). Fathul Bari (Jilid 3). Kairo: Darul Ma’rifah.

Ibnu Katsir. (1999). Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Jilid 6). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (2002). Madarij As-Salikin (Jilid 2). Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Jurnal Ilmiah

Fauzi, A. (2022). The Concept of Simplicity in Islam. International Journal of Islamic Thought, 13(2), 45-57.

Fauzi, A. (2023). Minimalism in Islamic Economics. Journal of Islamic Economics, 14(1), 88-102.

Muhammad, A. (2021). Islamic Ethics in Digital Communication. Islamic Ethics Journal, 5(2), 55-70.

Zahra, F. (2022). Islamic Perspective on Sustainable Consumption. International Journal of Environmental Ethics, 7(3), 65-80.

Hadits dan Literatur Islam

Bukhari, I. (1999). Shahih Bukhari. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Muslim, I. (2005). Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Tirmidzi, I. (2007). Sunan At-Tirmidzi. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.


Lampiran: Ibadurrahman dan Korelasinya dengan Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Islam

1.            Definisi Ibadurrahman dan Petunjuk Ayatnya

Dalam Al-Qur’an, Ibadurrahman (hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih) disebutkan dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 63-77 sebagai golongan manusia pilihan yang memiliki akhlak mulia, termasuk kesederhanaan dan kesantunan dalam kehidupan mereka. Allah berfirman dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 63:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan (kata-kata yang mengandung) keselamatan." (Qs. Al-Furqan [25] ayat 63).

Ayat ini menjelaskan bahwa Ibadurrahman memiliki sifat rendah hati dan tidak bersikap sombong dalam berjalan di bumi, serta selalu menanggapi kebodohan dengan kesantunan, bukan dengan kemarahan atau balasan yang buruk.1

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang memiliki akhlak terpuji akan menampilkan kesederhanaan dalam sikap dan cara berinteraksi dengan orang lain, baik dalam tutur kata maupun tindakan. Kesederhanaan dalam cara berjalan melambangkan sikap tawadhu' (rendah hati), sementara tanggapan yang santun terhadap hinaan menunjukkan kesantunan dalam berbicara dan berinteraksi.2

Allah kemudian menjelaskan karakteristik lainnya dari Ibadurrahman dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 67:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar." (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67).

Ayat ini menjelaskan bahwa Ibadurrahman juga memiliki sikap moderat dalam penggunaan harta, tidak boros dan tidak pelit, melainkan berada di antara keduanya.3

2.            Korelasi Ibadurrahman dengan Pembahasan tentang Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Islam

1)                  Kesederhanaan dalam Gaya Hidup dan Penggunaan Harta

Ibadurrahman tidak berlebihan dalam membelanjakan harta mereka (Qs. Al-Furqan [25] ayat 67), sebagaimana Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Prinsip ini sejalan dengan Qs. Al-Isra’ [17] ayat 29-30, yang melarang sikap boros (israf) dan kikir (taqtir).

Rasulullah Saw juga menegaskan dalam hadits bahwa:

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال النبي : "ليس الغِنَى عن كَثْرَةِ العَرَضِ، ولكنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ".

"Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa." (Shahih Bukhari, No. 6447).4

2)                  Kesantunan dalam Berinteraksi dan Berkomunikasi

Ibadurrahman dikenal dengan kesantunan dalam berbicara dan menanggapi hinaan dengan kelembutan (Qs. Al-Furqan [25] ayat 63).

Hal ini selaras dengan Qs. Al-Hujurat [49] ayat 11-12, yang melarang ejekan, prasangka buruk, dan mencari kesalahan orang lain.

Rasulullah Saw bersabda: 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari, No. 6018).5

3)                  Kesederhanaan dan Kesantunan dalam Ibadah

Ibadurrahman memiliki hubungan yang kuat dengan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Furqan [25] ayat 64:

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang-orang yang menghabiskan malam mereka dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka."

Ini menunjukkan bahwa kesederhanaan tidak hanya dalam aspek duniawi tetapi juga dalam ibadah, yaitu selalu menjaga hubungan dengan Allah tanpa berlebih-lebihan dalam riya’ atau melalaikan kewajiban agama.6

4)                  Menjadi Pribadi yang Bermanfaat bagi Orang Lain

Ibadurrahman tidak hanya beribadah untuk diri sendiri, tetapi juga memiliki kepedulian sosial, sebagaimana dalam Qs. Al-Ma’un [107] ayat 1-7, yang mengkritik orang yang tidak peduli kepada anak yatim dan orang miskin.

Rasulullah Saw bersabda: 

"خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ".

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad, No. 22818).7


Kesimpulan

Konsep Ibadurrahman dalam Al-Qur’an sangat erat kaitannya dengan nilai kesederhanaan dan kesantunan dalam Islam. Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Ath-Thabari, menegaskan bahwa hamba-hamba Allah yang sejati selalu hidup dengan rendah hati, hemat dalam harta, santun dalam berbicara, dan penuh kasih sayang dalam berinteraksi.

Nilai-nilai ini juga sangat relevan dalam kehidupan modern. Di tengah budaya konsumtif dan individualisme, prinsip Ibadurrahman dapat menjadi solusi bagi keseimbangan hidup, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun spiritual. Dengan mengamalkan kesederhanaan dan kesantunan, umat Islam tidak hanya meneladani Rasulullah Saw, tetapi juga memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

Semoga kita semua dapat menjadi bagian dari Ibadurrahman yang selalu hidup dalam kesederhanaan dan kesantunan, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), jilid 6, hlm. 90.

[2]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), jilid 10, hlm. 325.

[3]                Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 17, hlm. 45.

[4]                Bukhari, Shahih Bukhari (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), No. 6447.

[5]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Kairo: Darul Hadis, 2007), hlm. 134.

[6]                Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, jilid 1, hlm. 220.

[7]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad (Kairo: Darul Hadis, 2005), No. 22818.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar