Minggu, 09 Februari 2025

Ekofeminisme: Perspektif Teoretis, Historis, dan Praktik dalam Konteks Sosial-Kultural

Ekofeminisme

Perspektif Teoretis, Historis, dan Praktik dalam Konteks Sosial-Kultural


Abstrak

Ekofeminisme merupakan pendekatan multidisipliner yang menghubungkan feminisme dengan ekologi, dengan menyoroti bagaimana sistem patriarki dan kapitalisme berkontribusi terhadap eksploitasi perempuan dan alam secara bersamaan. Artikel ini membahas ekofeminisme dari perspektif teoretis, historis, dan praktik dalam konteks sosial-kultural, serta peranannya dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Melalui analisis berbagai mazhab ekofeminisme, seperti ekofeminisme kultural, sosial, dan materialis, artikel ini mengeksplorasi bagaimana pemikiran ekofeminisme berkembang dari gerakan sosial menuju kajian akademik yang berpengaruh dalam kebijakan global. Studi kasus seperti Chipko Movement di India, Green Belt Movement di Kenya, dan protes Standing Rock Sioux di Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan telah menjadi pemimpin dalam perjuangan lingkungan di berbagai belahan dunia.

Meskipun ekofeminisme menawarkan paradigma yang penting dalam kajian ekologi dan keadilan sosial, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik, termasuk tuduhan esensialisme gender, perbedaan perspektif dengan aliran feminisme lain, serta tantangan dalam implementasi kebijakan ekonomi dan lingkungan yang konkret. Untuk mengatasi tantangan ini, artikel ini merekomendasikan pendekatan yang lebih inklusif dan interseksional dalam kajian ekofeminisme, serta penguatan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, model ekonomi berbasis ekofeminisme yang lebih konkret perlu dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya alam sekaligus menciptakan keadilan sosial. Dengan mengakui kritik dan memperkuat solusi yang lebih aplikatif, ekofeminisme dapat terus berkembang sebagai kerangka berpikir yang relevan dalam upaya mewujudkan keberlanjutan ekologi dan kesetaraan gender di tingkat global.

Kata Kunci: Ekofeminisme, feminisme dan ekologi, keadilan lingkungan, kebijakan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, interseksionalitas, esensialisme gender, kapitalisme patriarkal, gerakan sosial perempuan.


PEMBAHASAN

Ekofeminisme dalam Perspektif Teoretis dan Praktis


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global semakin menjadi perhatian utama, terutama dengan meningkatnya deforestasi, polusi, dan perubahan iklim yang berdampak luas terhadap kehidupan manusia dan ekosistem bumi. Sementara itu, perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berangkat dari realitas ini, ekofeminisme hadir sebagai sebuah pendekatan yang mengaitkan isu-isu ekologi dengan feminisme, mengkritik eksploitasi alam yang sering kali berjalan paralel dengan penindasan terhadap perempuan. Ekofeminisme memandang bahwa paradigma patriarki dan kapitalisme telah menyebabkan dominasi terhadap alam dan perempuan secara bersamaan, sehingga penyelesaian permasalahan lingkungan harus melibatkan pendekatan keadilan gender dan sosial yang lebih luas.¹

Konsep ekofeminisme pertama kali muncul pada tahun 1974 dalam karya Françoise d’Eaubonne yang berjudul Le Féminisme ou la Mort.² D’Eaubonne menegaskan bahwa sistem patriarki dan kapitalisme bertanggung jawab atas eksploitasi lingkungan dan perempuan, sehingga diperlukan gerakan yang secara simultan memperjuangkan keadilan lingkungan dan gender. Sejak itu, ekofeminisme berkembang menjadi kajian multidisipliner yang mencakup filsafat, teologi, ekologi, sosiologi, dan ilmu politik.³

Di berbagai belahan dunia, gerakan ekofeminisme telah menunjukkan dampak nyata. Misalnya, gerakan Chipko di India yang dipimpin oleh perempuan berhasil menekan deforestasi dan memperjuangkan hak-hak lingkungan mereka.⁴ Selain itu, Green Belt Movement di Kenya yang dipelopori oleh Wangari Maathai berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon, sekaligus memberdayakan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.⁵ Kajian akademik tentang ekofeminisme juga berkembang pesat, dengan para pemikir seperti Vandana Shiva, Maria Mies, Carolyn Merchant, dan Greta Gaard yang memperkaya pemahaman terhadap interseksionalitas antara lingkungan dan feminisme.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan mengkaji beberapa pertanyaan utama berikut:

1)                  Bagaimana ekofeminisme menjelaskan hubungan antara perempuan dan lingkungan dalam berbagai perspektif teoretis?

2)                  Bagaimana sejarah dan perkembangan ekofeminisme dari awal munculnya hingga saat ini?

3)                  Bagaimana ekofeminisme diterapkan dalam konteks sosial-kultural dan kebijakan lingkungan?

4)                  Apa saja kritik terhadap ekofeminisme, dan bagaimana relevansinya dalam gerakan sosial kontemporer?

Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana ekofeminisme tidak hanya menjadi teori akademik, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam kebijakan lingkungan dan pemberdayaan perempuan.

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Memahami dasar konseptual ekofeminisme melalui analisis teoretis dari berbagai pemikir dan mazhab yang berkembang dalam diskursus ini.

2)                  Menelusuri sejarah perkembangan ekofeminisme serta bagaimana gerakan ini berperan dalam membangun kesadaran lingkungan berbasis gender.

3)                  Menganalisis peran ekofeminisme dalam konteks sosial dan budaya, termasuk bagaimana perempuan dalam berbagai komunitas berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan.

4)                  Mengkritisi berbagai perspektif tentang ekofeminisme, baik dari sudut pandang feminisme lain maupun kritik dari gerakan sosial yang lebih luas.

Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang ekofeminisme sebagai pendekatan yang relevan dalam mengatasi krisis lingkungan serta memperjuangkan keadilan gender secara bersamaan. Dengan memahami konsep ini secara mendalam, pembaca diharapkan dapat menelaah bagaimana peran perempuan dalam pelestarian lingkungan bukan sekadar sebagai korban dari sistem yang eksploitatif, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 2.

[2]                Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris: Pierre Horay, 1974), 20.

[3]                Greta Gaard and Lori Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice and Planetary Health," Society & Nature 10, no. 2 (1993): 1-20.

[4]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 45.

[5]                Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf, 2006), 125.


2.           Landasan Teori Ekofeminisme

2.1.       Definisi Ekofeminisme

Ekofeminisme merupakan sebuah pendekatan teoritis dan gerakan sosial yang menghubungkan feminisme dengan ekologi, mengkritik sistem patriarki yang mengeksploitasi perempuan dan alam secara bersamaan.¹ Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Féminisme ou la Mort (1974), yang menegaskan bahwa kapitalisme patriarkal telah menyebabkan krisis lingkungan dan ketidakadilan gender secara simultan.² Ekofeminisme berkembang menjadi kerangka berpikir yang menyoroti bagaimana sistem dominasi terhadap alam sejajar dengan dominasi terhadap perempuan, terutama dalam masyarakat yang mengutamakan hierarki dan eksploitasi sumber daya.³

Menurut Vandana Shiva, ekofeminisme mengkritik modernisasi yang berbasis eksploitasi alam dan tenaga kerja perempuan sebagai bentuk penjajahan baru yang merusak keseimbangan ekosistem serta memperburuk ketidakadilan gender.⁴ Carolyn Merchant menambahkan bahwa revolusi ilmiah telah memperkenalkan paradigma mekanistik yang mengubah cara manusia memandang alam dari entitas yang hidup dan memiliki nilai intrinsik menjadi objek yang dapat dieksploitasi.⁵ Akibatnya, sistem ekonomi modern cenderung memperlakukan perempuan dan alam sebagai sumber daya yang dapat diperas demi kepentingan kapitalisme.

2.2.       Hubungan antara Ekologi dan Feminisme

Ekofeminisme muncul sebagai respons terhadap dua isu besar: eksploitasi alam yang disebabkan oleh sistem ekonomi global dan ketimpangan gender yang terus berlanjut dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam perspektif ekofeminisme, terdapat hubungan yang erat antara bagaimana perempuan diposisikan dalam masyarakat dan bagaimana alam diperlakukan dalam sistem ekonomi dan politik global.⁶

Greta Gaard dan Lori Gruen mengemukakan bahwa ekofeminisme dapat dipahami melalui empat prinsip utama:

1)                  Kritik terhadap Dualisme Hierarkis:

Struktur sosial patriarki membangun dikotomi seperti manusia vs. alam, laki-laki vs. perempuan, budaya vs. alam, rasional vs. emosional—dengan menempatkan yang pertama dalam setiap pasangan sebagai superior.⁷

2)                  Interseksionalitas:

Ekofeminisme mengakui bahwa penindasan tidak hanya terjadi berdasarkan gender, tetapi juga mencakup ras, kelas, dan spesies, sehingga membangun pemahaman yang lebih luas tentang keadilan sosial dan lingkungan.⁸

3)                  Anti-Kapitalisme:

Ekofeminisme melihat kapitalisme sebagai sistem yang memperkuat eksploitasi alam dan perempuan, sehingga solusi terhadap krisis lingkungan harus mempertimbangkan perubahan sistem ekonomi yang lebih adil.⁹

4)                  Spiritualitas dan Kesadaran Ekologis:

Sebagian aliran ekofeminisme menghubungkan spiritualitas dengan penghormatan terhadap alam, seperti yang terlihat dalam kepercayaan masyarakat adat dan agama-agama ekologi.¹⁰

2.3.       Tokoh-Tokoh Ekofeminisme

Beberapa pemikir dan aktivis yang berkontribusi besar dalam pengembangan ekofeminisme antara lain:

·                     Françoise d’Eaubonne:

Tokoh pertama yang memperkenalkan istilah ekofeminisme dan menyoroti hubungan antara feminisme dan ekologi dalam konteks kritik terhadap kapitalisme patriarkal.¹¹

·                     Vandana Shiva:

Mengembangkan konsep ekofeminisme dalam konteks gerakan sosial di India, terutama dalam kritik terhadap globalisasi dan dampaknya terhadap perempuan di pedesaan.¹²

·                     Maria Mies:

Mengkritik dampak ekonomi global terhadap perempuan dan alam, serta menekankan perlunya gerakan berbasis komunitas untuk melawan eksploitasi.¹³

·                     Carolyn Merchant:

Menganalisis bagaimana revolusi ilmiah mengubah cara pandang manusia terhadap alam, dari sesuatu yang hidup menjadi objek eksploitasi.¹⁴

·                     Greta Gaard:

Mengembangkan ekofeminisme dalam konteks interseksionalitas, dengan menyoroti bagaimana ketidakadilan lingkungan berkaitan dengan ketidakadilan gender dan spesies.¹⁵

2.4.       Mazhab dalam Ekofeminisme

Ekofeminisme berkembang menjadi beberapa mazhab yang berbeda berdasarkan fokus teoritis dan aplikasinya dalam gerakan sosial:

1)                  Ekofeminisme Kultural

Mazhab ini menekankan hubungan spiritual perempuan dengan alam, dengan keyakinan bahwa perempuan memiliki ikatan khusus dengan bumi sebagai pencipta kehidupan.¹⁶ Teori ini sering dikaitkan dengan tradisi masyarakat adat dan praktik spiritual yang menghormati alam. Namun, beberapa feminis menilai pendekatan ini esensialis, karena mengasumsikan bahwa semua perempuan secara alami memiliki keterkaitan dengan alam.¹⁷

2)                  Ekofeminisme Sosial

Berfokus pada struktur sosial dan ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan gender dan ekologis. Mazhab ini melihat kapitalisme patriarkal sebagai penyebab utama eksploitasi perempuan dan alam, sehingga solusi yang ditawarkan lebih bersifat politis dan ekonomi.¹⁸

3)                  Ekofeminisme Materialis

Menekankan hubungan antara produksi ekonomi dan eksploitasi alam serta tenaga kerja perempuan. Mazhab ini berakar dalam teori Marxis dan melihat keterkaitan antara kapitalisme global dan perusakan lingkungan.¹⁹


Kesimpulan

Landasan teori ekofeminisme menunjukkan bahwa gerakan ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kebijakan lingkungan dan sosial. Dengan mengkritik sistem patriarki dan kapitalisme yang merugikan perempuan dan alam, ekofeminisme menawarkan paradigma baru dalam memahami hubungan manusia dengan lingkungan.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 3.

[2]                Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris: Pierre Horay, 1974), 23.

[3]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 12.

[4]                Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 25.

[5]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 17.

[6]                Greta Gaard and Lori Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice and Planetary Health," Society & Nature 10, no. 2 (1993): 1-20.

[7]                Merchant, Radical Ecology, 21.

[8]                Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 55.

[9]                Gaard and Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice," 3.

[10]             Shiva, Staying Alive, 39.

[11]             D’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort, 26.

[12]             Shiva, Ecofeminism, 47.

[13]             Mies and Shiva, Ecofeminism, 74.

[14]             Merchant, The Death of Nature, 5.

[15]             Gaard and Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice," 9.

[16]             Merchant, Radical Ecology, 34.

[17]             Shiva, Staying Alive, 50.

[18]             Mies and Shiva, Ecofeminism, 112.

[19]             Merchant, Radical Ecology, 41.


3.           Sejarah dan Perkembangan Ekofeminisme

Ekofeminisme berkembang sebagai respons terhadap ketimpangan gender dan eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh sistem patriarki dan kapitalisme.¹ Sejarahnya dapat ditelusuri melalui berbagai periode perkembangan yang mencerminkan evolusi pemikiran dan gerakan sosial yang berfokus pada keadilan ekologi dan gender.

3.1.       Era Awal (1970-an – 1980-an): Munculnya Konsep Ekofeminisme

Konsep ekofeminisme pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Féminisme ou la Mort (1974).² Dalam karya tersebut, d’Eaubonne menyoroti bagaimana sistem patriarki dan kapitalisme telah menciptakan eksploitasi terhadap alam dan perempuan secara bersamaan, sehingga ia menyerukan perlunya transformasi sosial yang lebih adil dan berkelanjutan.³

Pada periode ini, muncul berbagai gerakan lingkungan yang didominasi oleh perempuan, yang semakin memperkuat hubungan antara feminisme dan ekologi. Salah satu contoh penting adalah Gerakan Chipko di India (1973), di mana perempuan desa di Himalaya melakukan protes dengan memeluk pohon untuk mencegah penebangan liar oleh perusahaan besar.⁴ Gerakan ini dipimpin oleh perempuan karena mereka merasakan dampak langsung dari deforestasi, seperti hilangnya sumber air dan tanah yang subur.⁵

Pada dekade 1980-an, konsep ekofeminisme mulai diangkat dalam berbagai forum akademik dan aktivisme feminis. Carolyn Merchant, dalam bukunya The Death of Nature (1980), mengkritik bagaimana ilmu pengetahuan modern telah mendekonstruksi pandangan tradisional tentang alam sebagai entitas yang hidup dan menggantikannya dengan paradigma mekanistik yang memungkinkan eksploitasi alam secara sistematis.⁶ Vandana Shiva juga mulai mengembangkan konsep ekofeminisme dengan menyoroti dampak revolusi hijau terhadap perempuan di pedesaan India. Dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (1988), Shiva menegaskan bahwa modernisasi pertanian yang berbasis kapitalisme telah menggantikan sistem pertanian tradisional yang lebih ramah lingkungan dan memberdayakan perempuan.⁷

3.2.       Ekofeminisme dalam Gerakan Lingkungan Global (1990-an – 2000-an)

Pada tahun 1990-an, ekofeminisme semakin berkembang sebagai gerakan global yang menyoroti keterkaitan antara ekologi dan keadilan sosial. Salah satu tonggak penting dalam periode ini adalah Green Belt Movement di Kenya, yang didirikan oleh Wangari Maathai pada tahun 1977 tetapi mencapai puncak keberhasilannya pada dekade 1990-an.⁸ Gerakan ini berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon, sekaligus memberdayakan perempuan dengan memberikan mereka kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan dan ekonomi berbasis komunitas.⁹

Pada level akademik, Greta Gaard dan Lori Gruen memperkenalkan konsep interseksionalitas dalam ekofeminisme, dengan menyoroti bagaimana isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dari ketidakadilan gender, ras, dan kelas.¹⁰ Mereka menegaskan bahwa perempuan dari komunitas miskin dan masyarakat adat sering kali menjadi yang paling terdampak oleh eksploitasi lingkungan, sehingga solusi ekologi harus mempertimbangkan keadilan sosial secara lebih luas.¹¹

Pada saat yang sama, kritik terhadap ekofeminisme juga mulai berkembang. Beberapa feminis menilai bahwa pendekatan ekofeminisme kultural terlalu menekankan hubungan esensialis antara perempuan dan alam, yang dapat memperkuat stereotip tradisional tentang perempuan sebagai "penjaga alam."¹² Sebagai tanggapan, ekofeminis materialis seperti Maria Mies dan Ariel Salleh mulai mengembangkan perspektif yang lebih berbasis pada analisis ekonomi dan sosial, dengan menyoroti bagaimana sistem kapitalisme global berkontribusi terhadap eksploitasi perempuan dan lingkungan.¹³

3.3.       Perkembangan Kontemporer (2000-an – Sekarang): Ekofeminisme dalam Kebijakan dan Aktivisme

Memasuki abad ke-21, ekofeminisme semakin mendapatkan perhatian dalam berbagai forum internasional. Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) telah mulai memasukkan perspektif gender dalam kebijakan lingkungan, dengan menyoroti bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.¹⁴ Misalnya, laporan United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa perempuan di negara-negara berkembang sering kali memiliki pengetahuan lokal yang esensial dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.¹⁵

Selain itu, gerakan sosial berbasis ekofeminisme terus berkembang di berbagai belahan dunia. Salah satu contohnya adalah Standing Rock Sioux Protest (2016-2017) di Amerika Serikat, di mana perempuan adat berperan penting dalam menentang pembangunan proyek pipa minyak yang mengancam sumber air dan tanah leluhur mereka.¹⁶ Gerakan ini menunjukkan bagaimana perempuan dari komunitas adat telah lama menjadi pemimpin dalam perjuangan lingkungan.

Di tingkat akademik, ekofeminisme telah berkembang menjadi kajian multidisipliner yang melibatkan filsafat, ekonomi, ekologi politik, dan kajian budaya. Beberapa akademisi, seperti Ariel Salleh, telah mengembangkan pendekatan yang lebih berbasis materialisme ekologis, dengan menekankan bagaimana sistem ekonomi global harus diubah untuk mencapai keadilan lingkungan dan sosial.¹⁷


Kesimpulan

Sejarah dan perkembangan ekofeminisme menunjukkan bahwa konsep ini telah mengalami transformasi dari gerakan akar rumput menuju teori akademik yang berpengaruh dalam kebijakan lingkungan global. Dari perjuangan perempuan desa di Himalaya hingga kebijakan PBB tentang perubahan iklim, ekofeminisme telah membuktikan bahwa keadilan gender dan lingkungan adalah dua isu yang tidak dapat dipisahkan. Dengan semakin berkembangnya kesadaran tentang pentingnya keadilan ekologis, ekofeminisme akan terus menjadi kerangka berpikir yang relevan dalam menghadapi tantangan lingkungan masa depan.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 3.

[2]                Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris: Pierre Horay, 1974), 23.

[3]                Greta Gaard, Ecofeminism: Women, Animals, Nature (Philadelphia: Temple University Press, 1993), 12.

[4]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 45.

[5]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 6.

[6]                Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf, 2006), 125.

[7]                Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 55.

[8]                Lori Gruen, Ethics and Animals: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 84.

[9]                Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 114.

[10]             United Nations Environment Programme, Gender and the Environment (New York: UNEP, 2019), 31.

[11]             Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 97.

[12]             Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 45.

[13]             Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed Books, 1986), 86.

[14]             United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Gender and Climate Change: Women as Agents of Change (Bonn: UNFCCC Secretariat, 2019), 12.

[15]             United Nations Environment Programme (UNEP), Gender and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 47.

[16]             Nick Estes, Our History Is the Future: Standing Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous Resistance (London: Verso, 2019), 128.

[17]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 102.


4.           Ekofeminisme dalam Konteks Sosial dan Budaya

Ekofeminisme tidak hanya hadir sebagai teori akademik, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang memiliki dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hubungan antara eksploitasi lingkungan dan penindasan perempuan dapat ditemukan dalam berbagai sistem sosial dan budaya di seluruh dunia.¹ Dalam konteks ini, ekofeminisme berperan dalam mengkritik kapitalisme, mengangkat kearifan masyarakat adat, serta menganalisis bagaimana agama dan nilai-nilai spiritual turut membentuk pandangan terhadap alam dan perempuan.

4.1.       Ekofeminisme dan Kapitalisme

Salah satu kritik utama dalam ekofeminisme adalah bagaimana sistem kapitalisme menciptakan eksploitasi ganda terhadap perempuan dan alam.² Maria Mies dalam bukunya Patriarchy and Accumulation on a World Scale menegaskan bahwa kapitalisme global telah mengkomodifikasi tenaga kerja perempuan dan sumber daya alam sebagai objek produksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.³

Kapitalisme mempromosikan logika pertumbuhan ekonomi tanpa batas, yang sering kali mengorbankan lingkungan. Ariel Salleh menyoroti bahwa perempuan, terutama di negara berkembang, sering kali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh eksploitasi lingkungan, seperti hilangnya lahan pertanian akibat ekspansi industri dan krisis air akibat privatisasi sumber daya alam.⁴ Dalam banyak kasus, perempuan menjadi tenaga kerja murah dalam sistem industri yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam, tanpa diberikan hak atas pengelolaan lingkungan mereka sendiri.

Dalam hal ini, ekofeminisme materialis berpendapat bahwa solusi terhadap perusakan lingkungan tidak bisa hanya bersifat ekologis, tetapi juga harus mencakup transformasi ekonomi yang lebih adil dan berbasis pada keberlanjutan.⁵ Beberapa program berbasis ekofeminisme telah berhasil mengintegrasikan ekonomi berkelanjutan dengan pemberdayaan perempuan, seperti Green Belt Movement di Kenya yang dipimpin oleh Wangari Maathai, yang tidak hanya berfokus pada penanaman pohon, tetapi juga pada kemandirian ekonomi perempuan melalui agroforestri.⁶

4.2.       Ekofeminisme dan Masyarakat Adat

Banyak komunitas adat memiliki pandangan dunia yang sejalan dengan prinsip ekofeminisme, terutama dalam hal penghormatan terhadap alam sebagai entitas yang hidup dan memiliki hak intrinsik.⁷ Dalam banyak budaya adat, perempuan memiliki peran penting sebagai penjaga sumber daya alam, baik dalam sistem pertanian, ritual, maupun pengelolaan air dan hutan.

Di Amerika Latin, perempuan adat dari suku Mapuche di Chili dan Argentina telah lama memperjuangkan hak tanah mereka melawan ekspansi industri ekstraktif.⁸ Noël Sturgeon dalam Ecofeminist Natures menjelaskan bahwa komunitas adat sering kali mengalami marginalisasi ganda, baik sebagai masyarakat adat yang tanahnya dirampas oleh negara atau perusahaan, maupun sebagai perempuan dalam sistem patriarki lokal.⁹

Di Amerika Utara, Gerakan Standing Rock yang dipimpin oleh perempuan adat Sioux menentang proyek Dakota Access Pipeline yang berpotensi mencemari sumber air utama mereka.¹⁰ Perempuan dalam gerakan ini melihat perlindungan lingkungan sebagai bagian integral dari identitas budaya dan spiritual mereka.

Di India, konsep "jal, jangal, jameen" (air, hutan, tanah) yang digunakan oleh banyak komunitas adat mencerminkan pandangan bahwa perempuan memiliki hubungan erat dengan ekosistem yang menopang kehidupan mereka.¹¹ Dalam konteks ini, ekofeminisme berfungsi sebagai alat analisis yang membantu menjelaskan bagaimana masyarakat adat mempertahankan hubungan holistik antara manusia dan alam, serta mengapa mereka sering menjadi garda terdepan dalam perjuangan lingkungan.

4.3.       Ekofeminisme dan Agama

Agama dan spiritualitas sering kali memiliki peran dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan lingkungan.¹² Dalam beberapa tradisi, perempuan dikaitkan dengan kesuburan bumi dan siklus alam, yang dalam konteks ekofeminisme dapat diinterpretasikan sebagai pemahaman bahwa perempuan memiliki peran khusus dalam pelestarian lingkungan.

Dalam tradisi Hindu, konsep Shakti, yang mewakili energi ilahi feminin, sering dikaitkan dengan kekuatan alam yang menciptakan dan menopang kehidupan.¹³ Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh (kepemimpinan manusia di bumi) menekankan tanggung jawab manusia, termasuk perempuan, dalam menjaga keseimbangan ekologi.¹⁴ Sementara itu, dalam ekoteologi Kristen, teolog feminis seperti Rosemary Radford Ruether menegaskan bahwa teologi harus mengakui bagaimana sistem patriarki telah berkontribusi terhadap eksploitasi alam dan perempuan, serta mendorong perubahan menuju spiritualitas yang lebih ekologis.¹⁵

Namun, ekofeminisme juga mengkritik bagaimana agama sering kali digunakan untuk memperkuat sistem patriarki yang mengeksploitasi perempuan dan lingkungan. Beberapa budaya menggunakan ajaran agama untuk membatasi akses perempuan terhadap tanah atau sumber daya alam, dengan dalih bahwa mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengelola lingkungan secara mandiri.¹⁶ Oleh karena itu, pendekatan ekofeminisme dalam agama sering kali bersifat kritis sekaligus reformis, dengan tujuan untuk membangun teologi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

4.4.       Ekofeminisme dan Isu Sosial

Ekofeminisme juga terkait erat dengan berbagai isu sosial lainnya, seperti hak reproduksi, keadilan lingkungan, dan hak asasi manusia. Greta Gaard dalam artikelnya Toward a Queer Ecofeminism menyoroti bagaimana ekofeminisme dapat diintegrasikan dengan gerakan LGBTQ+, dengan melihat bagaimana kelompok-kelompok yang terpinggirkan sering kali memiliki hubungan yang lebih dekat dengan isu-isu lingkungan.¹⁷

Di wilayah-wilayah miskin, perempuan sering kali menghadapi dampak langsung dari perubahan iklim, seperti meningkatnya bencana alam dan berkurangnya akses terhadap air bersih.¹⁸ Dalam konteks ini, ekofeminisme berusaha memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif, seperti program adaptasi iklim yang mempertimbangkan perspektif gender dan mengakui peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim.


Kesimpulan

Ekofeminisme dalam konteks sosial dan budaya menunjukkan bagaimana eksploitasi perempuan dan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi, budaya, dan spiritual yang lebih luas. Dalam masyarakat kapitalis, perempuan sering kali menjadi korban eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam. Dalam komunitas adat, perempuan berperan sebagai penjaga lingkungan tetapi juga menghadapi ancaman dari kebijakan pembangunan yang destruktif. Dalam agama, perempuan sering dikaitkan dengan alam, tetapi juga mengalami marginalisasi akibat interpretasi patriarkal.

Dengan memahami bagaimana ekofeminisme beroperasi dalam berbagai konteks sosial dan budaya, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih inklusif dan efektif dalam menghadapi tantangan lingkungan global.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 7.

[2]                Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 24.

[3]                Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed Books, 1986), 102.

[4]                Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.

[5]                Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 125.

[6]                Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf, 2006), 143.

[7]                Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures (New York: Routledge, 1997), 57.

[8]                Nick Estes, Our History Is the Future (London: Verso, 2019), 88.

[9]                Sturgeon, Ecofeminist Natures, 112.

[10]             Estes, Our History Is the Future, 102.

[11]             Shiva, Staying Alive, 46.

[12]             Rosemary Radford Ruether, Gaia & God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 79.

[13]             Salleh, Ecofeminism as Politics, 140.

[14]             Zainal Abidin Bagir, Islam and Ecology: Theology and Ethics of Earth Care (Jakarta: Mizan, 2017), 92.

[15]             Rosemary Radford Ruether, Gaia & God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 128.

[16]             Anne Primavesi, Sacred Gaia: Holistic Theology and Earth System Science (New York: Routledge, 2000), 74.

[17]             Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 120.

[18]             United Nations Environment Programme (UNEP), Gender and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 59.


5.           Ekofeminisme dalam Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Ekofeminisme telah berkembang dari sebuah teori kritis menjadi perspektif yang berkontribusi dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.¹ Dengan menyoroti keterkaitan antara ketimpangan gender dan eksploitasi sumber daya alam, ekofeminisme menawarkan pendekatan yang lebih holistik dalam mengatasi krisis lingkungan global.² Perempuan sering kali memiliki peran utama dalam menjaga ekosistem lokal dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.³ Oleh karena itu, kebijakan lingkungan yang tidak mempertimbangkan perspektif gender berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan merugikan kelompok yang paling terdampak oleh perubahan lingkungan.

5.1.       Ekofeminisme dalam Kebijakan Publik

Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara mulai mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan lingkungan. United Nations Environment Programme (UNEP) menekankan bahwa perempuan, terutama di negara berkembang, memiliki pengetahuan tradisional yang penting dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi sering kali dikecualikan dari proses pengambilan keputusan.⁴ Dalam beberapa kasus, kebijakan lingkungan yang tidak memperhitungkan perspektif perempuan telah memperburuk situasi, seperti program konservasi yang membatasi akses perempuan terhadap tanah atau air yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.⁵

Salah satu contoh kebijakan yang mengadopsi pendekatan ekofeminisme adalah National Adaptation Programmes of Action (NAPA) yang dikeluarkan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).⁶ Program ini mendorong negara-negara berkembang untuk merancang strategi adaptasi perubahan iklim yang mempertimbangkan peran perempuan dalam mitigasi dan adaptasi.⁷

Di beberapa negara, kebijakan berbasis ekofeminisme telah berhasil meningkatkan kesejahteraan lingkungan dan sosial. Di Nepal, misalnya, kebijakan kehutanan berbasis komunitas memberikan perempuan hak untuk mengelola hutan lokal, yang tidak hanya meningkatkan konservasi lingkungan tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi perempuan.⁸

5.2.       Peran Lembaga Internasional dalam Ekofeminisme dan Pembangunan Berkelanjutan

Beberapa lembaga internasional telah mengadopsi perspektif ekofeminisme dalam program-program mereka:

·                     United Nations Women (UN Women) telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam kebijakan lingkungan, termasuk dalam Gender Action Plan (GAP) yang diadopsi dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP23).⁹

·                     United Nations Development Programme (UNDP) mengintegrasikan analisis gender dalam program pembangunan berkelanjutan, dengan fokus pada pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.¹⁰

·                     Food and Agriculture Organization (FAO) mendorong kebijakan yang mengakui peran perempuan dalam sistem pangan berkelanjutan, mengingat bahwa perempuan di banyak negara berkembang bertanggung jawab atas lebih dari 50% produksi pangan lokal.¹¹

Gerakan ekofeminisme juga berperan dalam membentuk Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (CBD), yang menyoroti bagaimana perempuan memainkan peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati.¹²

5.3.       Studi Kasus: Ekofeminisme dalam Aksi

Beberapa studi kasus menunjukkan bagaimana pendekatan ekofeminisme telah berhasil diterapkan dalam kebijakan dan program lingkungan:

1)                  Green Belt Movement (Kenya)

Didirikan oleh Wangari Maathai, gerakan ini berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon di Kenya dan negara-negara Afrika lainnya, dengan melibatkan perempuan dalam usaha konservasi dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan ini menunjukkan bagaimana ekofeminisme dapat mengintegrasikan konservasi lingkungan dengan keadilan sosial.¹³

2)                  Chipko Movement (India)

Sebuah gerakan berbasis ekofeminisme yang dipimpin oleh perempuan di Himalaya, India, yang menentang deforestasi melalui aksi "tree-hugging" (memeluk pohon untuk mencegah penebangan). Gerakan ini menjadi inspirasi bagi kebijakan lingkungan berbasis komunitas di India.¹⁴

3)                  Standing Rock Sioux Protest (AS)

Perempuan adat dari Suku Sioux memimpin aksi protes terhadap pembangunan Dakota Access Pipeline yang mengancam sumber air dan tanah leluhur mereka.¹⁵ Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap eksploitasi lingkungan berbasis komunitas adat dan perempuan.

5.4.       Tantangan dan Kritik terhadap Implementasi Ekofeminisme dalam Kebijakan Lingkungan

Meskipun ekofeminisme telah memberikan kontribusi dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi:

·                     Kurangnya Representasi Perempuan dalam Kebijakan Lingkungan

Meskipun banyak kebijakan mengakui pentingnya perspektif gender, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan masih terbatas di banyak negara.¹⁶

·                     Kritik terhadap Esensialisme Gender

Beberapa feminis mengkritik bahwa ekofeminisme terkadang terlalu menekankan peran perempuan sebagai "penjaga alam," yang dapat memperkuat stereotip tradisional.¹⁷

·                     Kesenjangan Akses terhadap Sumber Daya

Di banyak negara berkembang, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mendapatkan akses terhadap tanah, teknologi, dan modal untuk menjalankan proyek-proyek lingkungan.¹⁸

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada partisipasi aktif perempuan dalam semua aspek pengelolaan lingkungan.¹⁹


Kesimpulan

Ekofeminisme telah memberikan kontribusi penting dalam pembentukan kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dengan menekankan hubungan antara keadilan gender dan ekologi. Melalui berbagai program dan gerakan sosial, ekofeminisme telah membantu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Namun, tantangan masih ada, terutama dalam hal representasi perempuan dalam kebijakan lingkungan dan akses terhadap sumber daya. Oleh karena itu, pendekatan berbasis ekofeminisme perlu terus dikembangkan untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 12.

[2]                Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 37.

[3]                Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 87.

[4]                United Nations Environment Programme (UNEP), Gender and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 42.

[5]                Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.

[6]                United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), National Adaptation Programmes of Action (NAPA) (Bonn: UNFCCC Secretariat, 2020), 16.

[7]                UNFCCC, NAPA, 20.

[8]                Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 55.

[9]                UN Women, Gender Action Plan (GAP) Report 2020 (New York: UN Women, 2020), 11.

[10]             United Nations Development Programme (UNDP), Sustainable Development and Gender (New York: UNDP, 2018), 30.

[11]             Food and Agriculture Organization (FAO), The Role of Women in Sustainable Agriculture (Rome: FAO, 2019), 75.

[12]             Convention on Biological Diversity (CBD), Women, Biodiversity, and Sustainable Development (Montreal: CBD Secretariat, 2019), 54.

[13]             Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf, 2006), 167.

[14]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 102.

[15]             Nick Estes, Our History Is the Future: Standing Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous Resistance (London: Verso, 2019), 190.

[16]             United Nations Development Programme (UNDP), Gender Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021), 22.

[17]             Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 119.

[18]             United Nations Environment Programme (UNEP), The Gender and Environment Nexus (Nairobi: UNEP, 2021), 63.

[19]             Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 145.


6.           Kritik terhadap Ekofeminisme

Meskipun ekofeminisme telah memberikan kontribusi penting dalam memahami hubungan antara perempuan dan lingkungan, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik dari akademisi dan aktivis feminis maupun lingkungan. Kritik terhadap ekofeminisme terutama berpusat pada aspek esensialisme gender, keberagaman perspektif feminisme, implikasi politik dan ekonomi, serta tantangan dalam gerakan sosial

6.1.       Kritik terhadap Esensialisme Gender

Salah satu kritik utama terhadap ekofeminisme adalah kecenderungannya untuk mengasumsikan bahwa perempuan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan alam dibandingkan laki-laki.² Pendekatan ini disebut sebagai esensialisme gender, yaitu pandangan bahwa sifat tertentu melekat secara alami pada perempuan, misalnya sebagai "penjaga alam" atau "ibu bumi".³

Beberapa pemikir feminis menilai bahwa ekofeminisme kultural, yang menghubungkan spiritualitas perempuan dengan ekologi, justru memperkuat stereotip tradisional yang telah lama digunakan untuk membatasi peran perempuan dalam masyarakat.⁴ Noël Sturgeon, dalam Ecofeminist Natures, mengkritik pendekatan ini karena dapat digunakan oleh sistem patriarki untuk menegaskan bahwa perempuan hanya cocok dalam peran-peran domestik yang berkaitan dengan alam, sementara laki-laki tetap dominan dalam sains dan teknologi.⁵

Di sisi lain, ekofeminis materialis seperti Maria Mies dan Ariel Salleh berargumen bahwa hubungan perempuan dengan alam bukanlah sesuatu yang bersifat biologis atau esensial, melainkan merupakan hasil dari struktur sosial dan ekonomi yang menempatkan perempuan dalam peran tertentu.⁶ Dengan kata lain, perempuan memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam bukan karena faktor biologis, tetapi karena sistem sosial yang membebankan peran tersebut kepada mereka.⁷

6.2.       Kritik dari Berbagai Perspektif Feminisme

Selain kritik terhadap esensialisme gender, ekofeminisme juga menghadapi tantangan dari berbagai aliran feminisme lainnya:

1)                  Feminisme Liberal

Feminisme liberal berfokus pada kesetaraan hak perempuan dalam struktur hukum dan sosial. Para pendukungnya mengkritik ekofeminisme karena dianggap terlalu menekankan pada keterkaitan perempuan dengan alam, sehingga mengalihkan perhatian dari perjuangan untuk mendapatkan hak politik, ekonomi, dan pendidikan yang sama dengan laki-laki.⁸

2)                  Feminisme Marxis

Feminisme Marxis menyoroti bagaimana kapitalisme dan sistem kelas bertanggung jawab atas eksploitasi perempuan dan alam.⁹ Silvia Federici dalam bukunya Caliban and the Witch menegaskan bahwa hubungan perempuan dengan alam harus dipahami dalam konteks sistem produksi kapitalis yang menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja gratis dalam reproduksi sosial.¹⁰

3)                  Feminisme Interseksional

Feminisme interseksional menekankan bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dipisahkan dari faktor lain seperti ras, kelas, dan etnis.¹¹ Kritikus ekofeminisme berpendapat bahwa sebagian besar teori ekofeminisme awal terlalu berfokus pada pengalaman perempuan kulit putih di negara-negara Barat, tanpa cukup mempertimbangkan pengalaman perempuan dari komunitas adat atau negara berkembang.¹²

6.3.       Kritik terhadap Implikasi Politik dan Ekonomi Ekofeminisme

Ekofeminisme sering kali dikritik karena kurang memberikan solusi konkret dalam hal kebijakan ekonomi dan lingkungan.¹³ Para ekonom ekologi berpendapat bahwa meskipun ekofeminisme memberikan kritik yang kuat terhadap kapitalisme dan patriarki, gerakan ini tidak selalu menawarkan alternatif sistem ekonomi yang realistis.¹⁴

Sebagai contoh, Carolyn Merchant, dalam Radical Ecology, menyoroti bahwa ekofeminisme perlu lebih aktif dalam mengusulkan kebijakan ekonomi berbasis keberlanjutan, bukan hanya sekadar mengkritik sistem kapitalisme patriarkal.¹⁵ Selain itu, kritik lain terhadap ekofeminisme adalah kurangnya keterlibatan dalam gerakan ekonomi berbasis redistribusi sumber daya secara konkret.¹⁶

Beberapa feminis sosialis berpendapat bahwa tanpa perubahan struktural dalam sistem ekonomi global, pendekatan berbasis komunitas yang sering didukung oleh ekofeminisme tidak akan mampu memberikan dampak jangka panjang dalam mengatasi krisis lingkungan.¹⁷

6.4.       Tantangan dalam Gerakan Sosial

Ekofeminisme juga menghadapi tantangan dalam gerakan sosial, terutama terkait dengan fragmentasi dalam gerakan ekologi dan feminisme itu sendiri. Beberapa kritik dalam hal ini meliputi:

·                     Kurangnya Kesatuan dalam Gerakan Ekofeminisme

Ekofeminisme memiliki banyak cabang pemikiran, mulai dari ekofeminisme kultural hingga materialis, yang kadang memiliki perbedaan pendekatan yang cukup tajam.¹⁸

·                     Persoalan Representasi dalam Aktivisme Lingkungan

Beberapa aktivis feminis dari komunitas adat dan negara berkembang merasa bahwa gerakan ekofeminisme internasional terlalu didominasi oleh perspektif feminis Barat.¹⁹

·                     Perlawanan dari Kelompok Konservatif

Beberapa kelompok konservatif menentang ekofeminisme karena dianggap menantang nilai-nilai tradisional tentang peran perempuan dan hubungan manusia dengan alam.²⁰


Kesimpulan

Meskipun ekofeminisme telah memberikan kontribusi penting dalam memahami hubungan antara perempuan dan lingkungan, gerakan ini juga menghadapi berbagai kritik yang perlu diperhatikan untuk pengembangannya di masa depan. Tantangan utama ekofeminisme meliputi kritik terhadap esensialisme gender, perbedaan perspektif dengan aliran feminisme lainnya, serta kesulitan dalam mengusulkan kebijakan ekonomi dan lingkungan yang konkret.

Namun, dengan mengakui dan menanggapi kritik-kritik ini, ekofeminisme dapat terus berkembang sebagai pendekatan yang lebih inklusif dan efektif dalam perjuangan keadilan lingkungan dan gender.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 13.

[2]                Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 29.

[3]                Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 45.

[4]                Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 55.

[5]                Sturgeon, Ecofeminist Natures, 67.

[6]                Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale (London: Zed Books, 1986), 102.

[7]                Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.

[8]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 145.

[9]                Merchant, Radical Ecology, 78.

[10]             Federici, Caliban and the Witch, 160.

[11]             Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 120.

[12]             United Nations Development Programme (UNDP), Gender Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021), 22.

[13]             Merchant, Radical Ecology, 95.

[14]             Salleh, Ecofeminism as Politics, 122.

[15]             Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures, 139.

[16]             Mies and Shiva, Ecofeminism, 88.

[17]             Federici, Caliban and the Witch, 180.

[18]             Salleh, Ecofeminism as Politics, 145.

[19]             UNDP, Gender Equality in Environmental Decision Making, 34.

[20]             Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India, 190.


7.           Kesimpulan dan Rekomendasi

7.1.       Kesimpulan

Ekofeminisme telah berkembang menjadi pendekatan multidisipliner yang menghubungkan feminisme dengan ekologi, memberikan kritik terhadap sistem patriarki dan kapitalisme yang menyebabkan eksploitasi perempuan dan lingkungan secara simultan.¹ Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam Le Féminisme ou la Mort (1974), konsep ini telah mengalami perkembangan signifikan, dari gerakan sosial hingga kajian akademik yang mendalam.²

Sejarah ekofeminisme menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia telah memainkan peran kunci dalam gerakan lingkungan. Gerakan Chipko di India, Green Belt Movement di Kenya, dan Standing Rock Sioux Protest di Amerika Serikat adalah contoh konkret bagaimana perempuan memimpin perjuangan melawan eksploitasi sumber daya alam.³ Peran perempuan dalam mengelola lingkungan telah diakui dalam berbagai kebijakan global, seperti dalam United Nations Environment Programme (UNEP) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (CBD).⁴

Namun, ekofeminisme juga menghadapi berbagai kritik, terutama dalam hal esensialisme gender, perbedaan perspektif dengan aliran feminisme lain, serta tantangan dalam implementasi kebijakan lingkungan yang konkret.⁵ Kritik ini perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa ekofeminisme tetap relevan dalam perjuangan keadilan lingkungan dan sosial.

Dari berbagai pembahasan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa ekofeminisme menawarkan kontribusi yang signifikan dalam memahami hubungan antara perempuan dan alam, tetapi juga memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan pragmatis dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.⁶

7.2.       Rekomendasi

Agar ekofeminisme dapat terus berkembang dan memberikan dampak yang lebih luas dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan sosial, beberapa rekomendasi dapat diajukan:

7.2.1.    Integrasi Ekofeminisme dalam Kebijakan Publik

Pemerintah dan lembaga internasional perlu memastikan bahwa perspektif ekofeminisme terintegrasi dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan. Program seperti National Adaptation Programmes of Action (NAPA) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) perlu diperluas dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam pengambilan keputusan.⁷

Selain itu, pendekatan ekofeminisme dalam kebijakan kehutanan berbasis komunitas, seperti yang diterapkan di Nepal, dapat diadopsi oleh negara lain untuk memberdayakan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.⁸

7.2.2.    Meningkatkan Representasi Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Meskipun kebijakan lingkungan telah mulai memasukkan perspektif gender, keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan masih terbatas. Studi dari United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa perempuan hanya menempati 15% dari posisi pengambilan keputusan dalam kebijakan lingkungan global.⁹ Oleh karena itu, perlu ada kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang lingkungan dan energi terbarukan.

Selain itu, inisiatif berbasis komunitas seperti Green Belt Movement perlu didukung dengan program yang memberikan akses perempuan terhadap pendidikan, teknologi, dan modal untuk mengelola proyek lingkungan secara mandiri.¹⁰

7.2.3.    Menyelaraskan Ekofeminisme dengan Gerakan Sosial Lain

Agar lebih efektif, ekofeminisme perlu berkolaborasi dengan gerakan lain seperti keadilan sosial, gerakan hak-hak masyarakat adat, dan ekonomi berkelanjutan.¹¹ Pendekatan ekofeminisme interseksional, yang menyoroti bagaimana isu lingkungan berkaitan dengan ras, kelas, dan etnisitas, harus lebih diperkuat dalam diskursus akademik dan kebijakan.

Misalnya, gerakan Standing Rock Sioux Protest menunjukkan bagaimana perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanah mereka juga berkaitan erat dengan prinsip-prinsip ekofeminisme.¹² Oleh karena itu, membangun solidaritas antara gerakan ekofeminisme dan komunitas adat dapat menjadi strategi yang efektif dalam mencegah eksploitasi lingkungan yang lebih luas.

7.2.4.    Mengembangkan Model Ekonomi Berbasis Ekofeminisme

Ekofeminisme perlu mengusulkan alternatif ekonomi yang lebih konkret untuk menggantikan sistem kapitalisme yang eksploitatif. Beberapa model ekonomi yang dapat dikembangkan meliputi:

·                     Ekonomi Berbasis Keberlanjutan:

Model ekonomi yang menekankan keseimbangan antara ekologi dan kebutuhan sosial, seperti yang dipromosikan oleh Kate Raworth dalam teori Doughnut Economics.¹³

·                     Ekonomi Sosial dan Solidaritas:

Sistem ekonomi berbasis komunitas yang memungkinkan perempuan mengelola sumber daya mereka sendiri secara adil dan berkelanjutan.¹⁴

Ekofeminisme materialis telah lama menekankan bahwa sistem ekonomi yang eksploitatif harus digantikan dengan sistem yang lebih adil dan berbasis pada kebutuhan komunitas.¹⁵ Oleh karena itu, pengembangan ekonomi berbasis ekofeminisme dapat menjadi solusi konkret dalam menciptakan keadilan lingkungan dan sosial.

7.2.5.    Mengatasi Kritik terhadap Ekofeminisme

Untuk tetap relevan, ekofeminisme perlu mengatasi berbagai kritik yang diarahkan kepadanya:

·                     Menolak Esensialisme Gender:

Ekofeminisme harus terus menegaskan bahwa hubungan perempuan dengan alam bukan sesuatu yang bersifat biologis, tetapi merupakan hasil dari struktur sosial dan ekonomi.¹⁶

·                     Memperluas Perspektif Interseksional:

Kajian ekofeminisme harus lebih banyak melibatkan pengalaman perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk perempuan dari komunitas adat dan negara berkembang.¹⁷

·                     Meningkatkan Fokus pada Kebijakan dan Aksi Konkret:

Selain mengkritik sistem patriarki dan kapitalisme, ekofeminisme harus lebih aktif dalam menawarkan kebijakan yang realistis dan dapat diterapkan dalam skala nasional maupun global.¹⁸


Kesimpulan Akhir

Ekofeminisme tetap menjadi salah satu pendekatan paling penting dalam kajian lingkungan dan feminisme. Dengan mengatasi kritik yang ada dan memperkuat integrasi ekofeminisme dalam kebijakan publik, gerakan ini dapat berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua.


Catatan Kaki

[1]                Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World (New York: Routledge, 1992), 13.

[2]                Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris: Pierre Horay, 1974), 23.

[3]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 89.

[4]                United Nations Environment Programme (UNEP), Gender and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 35.

[5]                Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 67.

[6]                Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 98.

[7]                United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), National Adaptation Programmes of Action (NAPA) (Bonn: UNFCCC Secretariat, 2020), 16.

[8]                Shiva, Staying Alive, 95.

[9]                United Nations Development Programme (UNDP), Gender Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021), 22.

[10]             Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf, 2006), 189.

[11]             Sturgeon, Ecofeminist Natures, 105.

[12]             Nick Estes, Our History Is the Future: Standing Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous Resistance (London: Verso, 2019), 132.

[13]             Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House Business, 2017), 64.

[14]             Silvia Federici, Re-Enchanting the World: Feminism and the Politics of the Commons (Oakland: PM Press, 2018), 99.

[15]             Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books, 1993), 115.

[16]             Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 138.

[17]             Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 122.

[18]             Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 157.


Daftar Pustaka

D’Eaubonne, F. (1974). Le Féminisme ou la Mort. Paris: Pierre Horay.

Estes, N. (2019). Our history is the future: Standing Rock versus the Dakota Access Pipeline, and the long tradition of Indigenous resistance. London: Verso.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. New York: Autonomedia.

Federici, S. (2018). Re-enchanting the world: Feminism and the politics of the commons. Oakland: PM Press.

Food and Agriculture Organization (FAO). (2019). The role of women in sustainable agriculture. Rome: FAO.

Gaard, G. (1997). Toward a queer ecofeminism. Hypatia, 12(1), 114-137.

Maathai, W. (2006). Unbowed: A memoir. New York: Knopf.

Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.

Merchant, C. (1992). Radical ecology: The search for a livable world. New York: Routledge.

Mies, M. (1986). Patriarchy and accumulation on a world scale: Women in the international division of labour. London: Zed Books.

Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism. London: Zed Books.

Primavesi, A. (2000). Sacred Gaia: Holistic theology and earth system science. New York: Routledge.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. London: Random House Business.

Ruether, R. R. (1992). Gaia & God: An ecofeminist theology of earth healing. San Francisco: HarperSanFrancisco.

Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern. London: Zed Books.

Salleh, A. (2009). Eco-sufficiency and global justice: Women write political ecology. London: Pluto Press.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and survival in India. New Delhi: Kali for Women.

Shiva, V., & Mies, M. (1993). Ecofeminism. London: Zed Books.

Sturgeon, N. (1997). Ecofeminist natures: Race, gender, feminist theory, and political action. New York: Routledge.

United Nations Development Programme (UNDP). (2018). Sustainable development and gender. New York: UNDP.

United Nations Development Programme (UNDP). (2021). Gender equality in environmental decision making. New York: UNDP.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2019). Gender and environment outlook 2019. Nairobi: UNEP.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). The gender and environment nexus. Nairobi: UNEP.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2020). National adaptation programmes of action (NAPA). Bonn: UNFCCC Secretariat.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2019). Gender and climate change: Women as agents of change. Bonn: UNFCCC Secretariat.

UN Women. (2020). Gender action plan (GAP) report 2020. New York: UN Women.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar