Ekofeminisme
Perspektif Teoretis, Historis, dan Praktik dalam Konteks Sosial-Kultural
Abstrak
Ekofeminisme merupakan pendekatan multidisipliner
yang menghubungkan feminisme dengan ekologi, dengan menyoroti bagaimana sistem
patriarki dan kapitalisme berkontribusi terhadap eksploitasi perempuan dan alam
secara bersamaan. Artikel ini membahas ekofeminisme dari perspektif teoretis,
historis, dan praktik dalam konteks sosial-kultural, serta peranannya dalam
kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Melalui analisis berbagai
mazhab ekofeminisme, seperti ekofeminisme kultural, sosial, dan materialis,
artikel ini mengeksplorasi bagaimana pemikiran ekofeminisme berkembang dari
gerakan sosial menuju kajian akademik yang berpengaruh dalam kebijakan global.
Studi kasus seperti Chipko Movement di India, Green Belt Movement
di Kenya, dan protes Standing Rock Sioux di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa perempuan telah menjadi pemimpin dalam perjuangan lingkungan di berbagai
belahan dunia.
Meskipun ekofeminisme menawarkan paradigma yang
penting dalam kajian ekologi dan keadilan sosial, pendekatan ini juga menghadapi
berbagai kritik, termasuk tuduhan esensialisme gender, perbedaan perspektif
dengan aliran feminisme lain, serta tantangan dalam implementasi kebijakan
ekonomi dan lingkungan yang konkret. Untuk mengatasi tantangan ini, artikel ini
merekomendasikan pendekatan yang lebih inklusif dan interseksional dalam kajian
ekofeminisme, serta penguatan representasi perempuan dalam pengambilan
keputusan terkait lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, model
ekonomi berbasis ekofeminisme yang lebih konkret perlu dikembangkan untuk
memastikan keberlanjutan sumber daya alam sekaligus menciptakan keadilan
sosial. Dengan mengakui kritik dan memperkuat solusi yang lebih aplikatif,
ekofeminisme dapat terus berkembang sebagai kerangka berpikir yang relevan dalam
upaya mewujudkan keberlanjutan ekologi dan kesetaraan gender di tingkat global.
Kata Kunci: Ekofeminisme, feminisme dan ekologi, keadilan
lingkungan, kebijakan lingkungan, pembangunan berkelanjutan,
interseksionalitas, esensialisme gender, kapitalisme patriarkal, gerakan sosial
perempuan.
PEMBAHASAN
Ekofeminisme dalam Perspektif Teoretis dan Praktis
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam beberapa
dekade terakhir, krisis lingkungan global semakin menjadi perhatian utama,
terutama dengan meningkatnya deforestasi, polusi, dan perubahan iklim yang
berdampak luas terhadap kehidupan manusia dan ekosistem bumi. Sementara itu,
perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh degradasi
lingkungan, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berangkat dari realitas
ini, ekofeminisme
hadir sebagai sebuah pendekatan yang mengaitkan isu-isu ekologi dengan
feminisme, mengkritik eksploitasi alam yang sering kali berjalan paralel dengan
penindasan terhadap perempuan. Ekofeminisme memandang bahwa paradigma patriarki dan kapitalisme telah menyebabkan
dominasi terhadap alam dan perempuan secara bersamaan, sehingga penyelesaian
permasalahan lingkungan harus melibatkan pendekatan keadilan gender dan sosial
yang lebih luas.¹
Konsep ekofeminisme
pertama kali muncul pada tahun 1974 dalam karya Françoise d’Eaubonne yang
berjudul Le
Féminisme ou la Mort.² D’Eaubonne menegaskan bahwa sistem patriarki
dan kapitalisme bertanggung jawab atas
eksploitasi lingkungan dan perempuan, sehingga diperlukan gerakan yang secara
simultan memperjuangkan keadilan lingkungan dan gender. Sejak itu, ekofeminisme
berkembang menjadi kajian multidisipliner yang mencakup filsafat, teologi,
ekologi, sosiologi, dan ilmu politik.³
Di berbagai belahan
dunia, gerakan ekofeminisme telah menunjukkan dampak nyata. Misalnya, gerakan Chipko
di India yang dipimpin oleh perempuan berhasil menekan deforestasi dan memperjuangkan
hak-hak lingkungan mereka.⁴ Selain itu, Green Belt Movement di Kenya yang
dipelopori oleh Wangari Maathai berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon,
sekaligus memberdayakan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.⁵ Kajian
akademik tentang ekofeminisme juga berkembang pesat, dengan para pemikir
seperti Vandana Shiva, Maria Mies,
Carolyn Merchant, dan Greta Gaard yang memperkaya pemahaman terhadap
interseksionalitas antara lingkungan dan feminisme.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, artikel ini akan
mengkaji beberapa pertanyaan utama berikut:
1)
Bagaimana ekofeminisme
menjelaskan hubungan antara perempuan dan lingkungan dalam berbagai perspektif
teoretis?
2)
Bagaimana sejarah dan
perkembangan ekofeminisme dari awal munculnya hingga saat ini?
3)
Bagaimana ekofeminisme
diterapkan dalam konteks sosial-kultural dan kebijakan lingkungan?
4)
Apa saja kritik terhadap
ekofeminisme, dan bagaimana relevansinya dalam gerakan sosial kontemporer?
Pertanyaan-pertanyaan
ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana ekofeminisme tidak hanya
menjadi teori akademik, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam kebijakan lingkungan dan pemberdayaan
perempuan.
1.3.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk:
1)
Memahami
dasar konseptual ekofeminisme melalui analisis teoretis dari
berbagai pemikir dan mazhab yang berkembang dalam diskursus ini.
2)
Menelusuri
sejarah perkembangan ekofeminisme serta bagaimana gerakan ini
berperan dalam membangun kesadaran lingkungan berbasis gender.
3)
Menganalisis
peran ekofeminisme dalam konteks sosial dan budaya, termasuk
bagaimana perempuan dalam berbagai komunitas berkontribusi terhadap pelestarian
lingkungan.
4)
Mengkritisi
berbagai perspektif tentang ekofeminisme, baik dari sudut
pandang feminisme lain maupun kritik dari gerakan sosial yang lebih luas.
Kajian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang ekofeminisme
sebagai pendekatan yang relevan dalam mengatasi krisis lingkungan serta memperjuangkan keadilan gender secara
bersamaan. Dengan memahami konsep ini secara mendalam, pembaca diharapkan dapat
menelaah bagaimana peran perempuan dalam pelestarian lingkungan bukan sekadar
sebagai korban dari sistem yang eksploitatif, tetapi juga sebagai agen
perubahan dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 2.
[2]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris:
Pierre Horay, 1974), 20.
[3]
Greta Gaard and Lori Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice
and Planetary Health," Society & Nature 10, no. 2
(1993): 1-20.
[4]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 45.
[5]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf,
2006), 125.
2.
Landasan Teori Ekofeminisme
2.1.
Definisi Ekofeminisme
Ekofeminisme
merupakan sebuah pendekatan teoritis dan gerakan sosial yang menghubungkan
feminisme dengan ekologi, mengkritik sistem patriarki yang mengeksploitasi
perempuan dan alam secara bersamaan.¹ Konsep ini pertama kali diperkenalkan
oleh Françoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Féminisme ou la Mort (1974),
yang menegaskan bahwa kapitalisme
patriarkal telah menyebabkan krisis lingkungan dan ketidakadilan gender secara
simultan.² Ekofeminisme berkembang menjadi kerangka berpikir yang menyoroti
bagaimana sistem dominasi terhadap alam sejajar dengan dominasi terhadap
perempuan, terutama dalam masyarakat yang mengutamakan hierarki dan eksploitasi
sumber daya.³
Menurut Vandana
Shiva, ekofeminisme mengkritik modernisasi yang berbasis eksploitasi alam dan
tenaga kerja perempuan sebagai bentuk penjajahan baru yang merusak keseimbangan
ekosistem serta memperburuk ketidakadilan gender.⁴ Carolyn Merchant menambahkan
bahwa revolusi ilmiah telah memperkenalkan paradigma mekanistik yang mengubah
cara manusia memandang alam dari entitas yang hidup dan memiliki nilai
intrinsik menjadi objek yang dapat dieksploitasi.⁵ Akibatnya, sistem ekonomi
modern cenderung memperlakukan perempuan dan alam sebagai sumber daya yang
dapat diperas demi kepentingan kapitalisme.
2.2.
Hubungan antara Ekologi dan Feminisme
Ekofeminisme muncul
sebagai respons terhadap dua isu besar: eksploitasi alam yang disebabkan oleh
sistem ekonomi global dan ketimpangan gender yang terus berlanjut dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam perspektif ekofeminisme, terdapat hubungan yang
erat antara bagaimana perempuan
diposisikan dalam masyarakat dan bagaimana alam diperlakukan dalam sistem
ekonomi dan politik global.⁶
Greta Gaard dan Lori
Gruen mengemukakan bahwa ekofeminisme dapat dipahami melalui empat prinsip utama:
1)
Kritik
terhadap Dualisme Hierarkis:
Struktur sosial patriarki membangun
dikotomi seperti manusia vs. alam, laki-laki vs. perempuan, budaya vs. alam,
rasional vs. emosional—dengan menempatkan yang pertama dalam setiap pasangan
sebagai superior.⁷
2)
Interseksionalitas:
Ekofeminisme mengakui bahwa penindasan
tidak hanya terjadi berdasarkan gender, tetapi juga mencakup ras, kelas, dan
spesies, sehingga membangun pemahaman yang lebih luas tentang keadilan sosial
dan lingkungan.⁸
3)
Anti-Kapitalisme:
Ekofeminisme melihat kapitalisme sebagai
sistem yang memperkuat eksploitasi alam dan perempuan, sehingga solusi terhadap
krisis lingkungan harus mempertimbangkan perubahan sistem ekonomi yang lebih
adil.⁹
4)
Spiritualitas
dan Kesadaran Ekologis:
Sebagian aliran ekofeminisme
menghubungkan spiritualitas dengan penghormatan terhadap alam, seperti yang
terlihat dalam kepercayaan masyarakat adat dan agama-agama ekologi.¹⁰
2.3.
Tokoh-Tokoh Ekofeminisme
Beberapa pemikir dan
aktivis yang berkontribusi besar dalam pengembangan ekofeminisme antara lain:
·
Françoise
d’Eaubonne:
Tokoh pertama yang memperkenalkan
istilah ekofeminisme dan menyoroti hubungan antara feminisme dan ekologi dalam
konteks kritik terhadap kapitalisme patriarkal.¹¹
·
Vandana
Shiva:
Mengembangkan konsep ekofeminisme dalam
konteks gerakan sosial di India, terutama dalam kritik terhadap globalisasi dan
dampaknya terhadap perempuan di pedesaan.¹²
·
Maria
Mies:
Mengkritik dampak ekonomi global
terhadap perempuan dan alam, serta menekankan perlunya gerakan berbasis
komunitas untuk melawan eksploitasi.¹³
·
Carolyn
Merchant:
Menganalisis bagaimana revolusi ilmiah
mengubah cara pandang manusia terhadap alam, dari sesuatu yang hidup menjadi
objek eksploitasi.¹⁴
·
Greta
Gaard:
Mengembangkan ekofeminisme dalam konteks
interseksionalitas, dengan menyoroti bagaimana ketidakadilan lingkungan
berkaitan dengan ketidakadilan gender dan spesies.¹⁵
2.4.
Mazhab dalam Ekofeminisme
Ekofeminisme
berkembang menjadi beberapa mazhab
yang berbeda berdasarkan fokus teoritis dan aplikasinya dalam gerakan sosial:
1)
Ekofeminisme Kultural
Mazhab ini menekankan hubungan spiritual
perempuan dengan alam, dengan keyakinan bahwa perempuan memiliki ikatan khusus
dengan bumi sebagai pencipta kehidupan.¹⁶ Teori ini sering dikaitkan dengan
tradisi masyarakat adat dan praktik spiritual yang menghormati alam. Namun,
beberapa feminis menilai pendekatan ini esensialis, karena mengasumsikan bahwa
semua perempuan secara alami memiliki keterkaitan dengan alam.¹⁷
2)
Ekofeminisme Sosial
Berfokus pada struktur sosial dan ekonomi yang
menyebabkan ketidakadilan gender dan ekologis. Mazhab ini melihat kapitalisme
patriarkal sebagai penyebab utama eksploitasi perempuan dan alam, sehingga
solusi yang ditawarkan lebih bersifat politis dan ekonomi.¹⁸
3)
Ekofeminisme Materialis
Menekankan hubungan antara produksi ekonomi dan
eksploitasi alam serta tenaga kerja perempuan. Mazhab ini berakar dalam teori
Marxis dan melihat keterkaitan antara kapitalisme global dan perusakan
lingkungan.¹⁹
Kesimpulan
Landasan teori
ekofeminisme menunjukkan bahwa gerakan ini tidak hanya bersifat akademis,
tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kebijakan lingkungan dan sosial.
Dengan mengkritik sistem patriarki dan kapitalisme yang merugikan perempuan dan alam, ekofeminisme menawarkan paradigma
baru dalam memahami hubungan manusia dengan lingkungan.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 3.
[2]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris: Pierre
Horay, 1974), 23.
[3]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 12.
[4]
Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 25.
[5]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 17.
[6]
Greta Gaard and Lori Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice
and Planetary Health," Society & Nature 10, no. 2
(1993): 1-20.
[7]
Merchant, Radical Ecology, 21.
[8]
Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 55.
[9]
Gaard and Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice," 3.
[10]
Shiva, Staying Alive, 39.
[11]
D’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort, 26.
[12]
Shiva, Ecofeminism, 47.
[13]
Mies and Shiva, Ecofeminism, 74.
[14]
Merchant, The Death of Nature, 5.
[15]
Gaard and Gruen, "Ecofeminism: Toward Global Justice," 9.
[16]
Merchant, Radical Ecology, 34.
[17]
Shiva, Staying Alive, 50.
[18]
Mies and Shiva, Ecofeminism, 112.
[19]
Merchant, Radical Ecology, 41.
3.
Sejarah dan Perkembangan Ekofeminisme
Ekofeminisme
berkembang sebagai respons terhadap
ketimpangan gender dan eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh sistem
patriarki dan kapitalisme.¹ Sejarahnya dapat ditelusuri melalui berbagai
periode perkembangan yang mencerminkan evolusi pemikiran dan gerakan sosial
yang berfokus pada keadilan ekologi dan gender.
3.1.
Era Awal (1970-an – 1980-an): Munculnya Konsep
Ekofeminisme
Konsep ekofeminisme
pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam
bukunya Le Féminisme
ou la Mort (1974).² Dalam karya tersebut, d’Eaubonne menyoroti
bagaimana sistem patriarki dan kapitalisme telah menciptakan eksploitasi terhadap alam dan perempuan secara
bersamaan, sehingga ia menyerukan perlunya transformasi sosial yang lebih adil
dan berkelanjutan.³
Pada periode ini,
muncul berbagai gerakan lingkungan yang didominasi oleh perempuan, yang semakin
memperkuat hubungan antara feminisme dan ekologi. Salah satu contoh penting adalah Gerakan
Chipko di India (1973), di mana perempuan desa di Himalaya
melakukan protes dengan memeluk pohon untuk mencegah penebangan liar oleh
perusahaan besar.⁴ Gerakan ini dipimpin oleh perempuan karena mereka merasakan
dampak langsung dari deforestasi, seperti hilangnya sumber air dan tanah yang
subur.⁵
Pada dekade 1980-an,
konsep ekofeminisme mulai diangkat dalam berbagai forum akademik dan aktivisme
feminis. Carolyn Merchant, dalam bukunya
The
Death of Nature (1980), mengkritik bagaimana ilmu pengetahuan
modern telah mendekonstruksi pandangan tradisional tentang alam sebagai entitas
yang hidup dan menggantikannya dengan paradigma mekanistik yang memungkinkan
eksploitasi alam secara sistematis.⁶ Vandana Shiva juga mulai
mengembangkan konsep ekofeminisme dengan menyoroti dampak revolusi hijau
terhadap perempuan di pedesaan India. Dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (1988), Shiva menegaskan bahwa modernisasi pertanian yang
berbasis kapitalisme telah menggantikan sistem pertanian tradisional yang lebih
ramah lingkungan dan memberdayakan perempuan.⁷
3.2.
Ekofeminisme dalam Gerakan Lingkungan Global
(1990-an – 2000-an)
Pada tahun 1990-an,
ekofeminisme semakin berkembang sebagai gerakan global yang menyoroti
keterkaitan antara ekologi dan keadilan sosial. Salah satu tonggak penting
dalam periode ini adalah Green Belt Movement di Kenya,
yang didirikan oleh Wangari
Maathai pada tahun 1977 tetapi mencapai puncak keberhasilannya
pada dekade 1990-an.⁸ Gerakan ini berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon, sekaligus
memberdayakan perempuan dengan memberikan mereka kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan dan ekonomi berbasis komunitas.⁹
Pada level akademik,
Greta
Gaard dan Lori Gruen memperkenalkan konsep interseksionalitas
dalam ekofeminisme, dengan menyoroti bagaimana isu lingkungan tidak bisa
dipisahkan dari ketidakadilan gender, ras, dan kelas.¹⁰ Mereka menegaskan bahwa
perempuan dari komunitas miskin dan masyarakat adat sering kali menjadi yang
paling terdampak oleh eksploitasi lingkungan, sehingga solusi ekologi harus
mempertimbangkan keadilan sosial secara lebih luas.¹¹
Pada saat yang sama,
kritik terhadap ekofeminisme juga mulai berkembang. Beberapa feminis menilai
bahwa pendekatan ekofeminisme kultural terlalu menekankan hubungan esensialis
antara perempuan dan
alam, yang dapat memperkuat stereotip tradisional tentang perempuan sebagai
"penjaga alam."¹²
Sebagai tanggapan, ekofeminis materialis seperti Maria
Mies dan Ariel Salleh mulai
mengembangkan perspektif yang lebih berbasis pada analisis ekonomi dan sosial,
dengan menyoroti bagaimana sistem kapitalisme global berkontribusi terhadap
eksploitasi perempuan dan lingkungan.¹³
3.3.
Perkembangan Kontemporer (2000-an – Sekarang):
Ekofeminisme dalam Kebijakan dan Aktivisme
Memasuki abad ke-21,
ekofeminisme semakin mendapatkan perhatian dalam berbagai forum internasional. Konferensi
Perubahan Iklim PBB (COP) telah mulai memasukkan perspektif
gender dalam kebijakan lingkungan, dengan menyoroti bagaimana perempuan
memainkan peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.¹⁴
Misalnya, laporan United Nations Environment Programme (UNEP)
menunjukkan bahwa perempuan di negara-negara berkembang sering kali memiliki
pengetahuan lokal yang esensial dalam mengelola sumber daya alam secara
berkelanjutan.¹⁵
Selain itu, gerakan
sosial berbasis ekofeminisme terus berkembang di berbagai belahan dunia. Salah
satu contohnya adalah Standing Rock Sioux Protest (2016-2017)
di Amerika Serikat, di mana perempuan adat berperan penting dalam menentang
pembangunan proyek pipa minyak yang mengancam sumber air dan tanah leluhur
mereka.¹⁶ Gerakan ini menunjukkan bagaimana perempuan dari komunitas adat telah
lama menjadi pemimpin dalam perjuangan lingkungan.
Di tingkat akademik,
ekofeminisme telah berkembang menjadi kajian multidisipliner yang melibatkan
filsafat, ekonomi, ekologi politik, dan kajian budaya. Beberapa akademisi,
seperti Ariel Salleh, telah
mengembangkan pendekatan yang lebih berbasis materialisme ekologis, dengan
menekankan bagaimana sistem ekonomi global harus diubah untuk mencapai keadilan
lingkungan dan sosial.¹⁷
Kesimpulan
Sejarah dan
perkembangan ekofeminisme menunjukkan bahwa konsep ini telah mengalami
transformasi dari gerakan akar rumput menuju teori akademik yang berpengaruh
dalam kebijakan lingkungan global. Dari perjuangan perempuan desa di Himalaya
hingga kebijakan PBB tentang perubahan iklim, ekofeminisme telah membuktikan
bahwa keadilan gender dan lingkungan adalah dua isu yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan semakin berkembangnya kesadaran tentang pentingnya keadilan
ekologis, ekofeminisme akan terus menjadi kerangka berpikir yang relevan dalam
menghadapi tantangan lingkungan masa depan.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 3.
[2]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris:
Pierre Horay, 1974), 23.
[3]
Greta Gaard, Ecofeminism: Women, Animals, Nature
(Philadelphia: Temple University Press, 1993), 12.
[4]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 45.
[5]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 6.
[6]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf,
2006), 125.
[7]
Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 55.
[8]
Lori Gruen, Ethics and Animals: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 84.
[9]
Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia
12, no. 1 (1997): 114.
[10]
United Nations Environment Programme, Gender and the Environment (New
York: UNEP, 2019), 31.
[11]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global Justice: Women Write
Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 97.
[12]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
45.
[13]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a
World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed
Books, 1986), 86.
[14]
United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC), Gender and Climate Change: Women as Agents of Change
(Bonn: UNFCCC Secretariat, 2019), 12.
[15]
United Nations Environment Programme (UNEP), Gender
and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 47.
[16]
Nick Estes, Our History Is the Future: Standing
Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous
Resistance (London: Verso, 2019), 128.
[17]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 102.
4.
Ekofeminisme dalam Konteks Sosial dan Budaya
Ekofeminisme tidak
hanya hadir sebagai teori akademik, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang
memiliki dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hubungan antara
eksploitasi lingkungan dan penindasan perempuan dapat ditemukan dalam berbagai
sistem sosial dan budaya di seluruh dunia.¹ Dalam konteks ini, ekofeminisme
berperan dalam mengkritik kapitalisme, mengangkat kearifan masyarakat adat,
serta menganalisis bagaimana agama dan nilai-nilai spiritual turut membentuk
pandangan terhadap alam dan perempuan.
4.1.
Ekofeminisme dan Kapitalisme
Salah satu kritik
utama dalam ekofeminisme adalah bagaimana sistem kapitalisme menciptakan
eksploitasi ganda terhadap perempuan dan alam.² Maria Mies dalam bukunya Patriarchy
and Accumulation on a World Scale menegaskan bahwa kapitalisme
global telah mengkomodifikasi tenaga kerja perempuan dan sumber daya alam
sebagai objek produksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.³
Kapitalisme
mempromosikan logika pertumbuhan ekonomi tanpa batas, yang sering kali mengorbankan
lingkungan. Ariel Salleh menyoroti bahwa
perempuan, terutama di negara berkembang, sering kali menjadi kelompok yang
paling terdampak oleh eksploitasi lingkungan, seperti hilangnya lahan pertanian
akibat ekspansi industri dan krisis air akibat privatisasi sumber daya alam.⁴
Dalam banyak kasus, perempuan menjadi tenaga kerja murah dalam sistem industri
yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam, tanpa diberikan hak atas
pengelolaan lingkungan mereka sendiri.
Dalam hal ini,
ekofeminisme materialis berpendapat bahwa solusi terhadap perusakan lingkungan
tidak bisa hanya bersifat ekologis, tetapi juga harus mencakup transformasi
ekonomi yang lebih adil dan berbasis pada keberlanjutan.⁵ Beberapa program
berbasis ekofeminisme telah berhasil mengintegrasikan ekonomi berkelanjutan
dengan pemberdayaan perempuan, seperti Green Belt Movement di Kenya yang
dipimpin oleh Wangari Maathai, yang tidak
hanya berfokus pada penanaman pohon, tetapi juga pada kemandirian ekonomi
perempuan melalui agroforestri.⁶
4.2.
Ekofeminisme dan Masyarakat Adat
Banyak komunitas
adat memiliki pandangan dunia yang sejalan dengan prinsip ekofeminisme,
terutama dalam hal penghormatan terhadap alam sebagai entitas yang hidup dan
memiliki hak intrinsik.⁷ Dalam banyak budaya adat, perempuan memiliki peran
penting sebagai penjaga sumber daya alam, baik dalam sistem pertanian, ritual,
maupun pengelolaan air dan hutan.
Di Amerika Latin,
perempuan adat dari suku Mapuche di Chili dan Argentina
telah lama memperjuangkan hak tanah mereka melawan ekspansi industri
ekstraktif.⁸ Noël Sturgeon dalam Ecofeminist
Natures menjelaskan bahwa komunitas adat sering kali mengalami
marginalisasi ganda, baik sebagai masyarakat adat yang tanahnya dirampas oleh
negara atau perusahaan, maupun sebagai perempuan dalam sistem patriarki lokal.⁹
Di Amerika Utara, Gerakan
Standing Rock yang dipimpin oleh perempuan adat Sioux menentang
proyek Dakota Access Pipeline yang berpotensi mencemari sumber air utama
mereka.¹⁰ Perempuan dalam gerakan ini melihat perlindungan lingkungan sebagai
bagian integral dari identitas budaya dan spiritual mereka.
Di India, konsep "jal,
jangal, jameen" (air, hutan, tanah) yang digunakan oleh
banyak komunitas adat mencerminkan pandangan bahwa perempuan memiliki hubungan
erat dengan ekosistem yang menopang kehidupan mereka.¹¹ Dalam konteks ini,
ekofeminisme berfungsi sebagai alat analisis yang membantu menjelaskan
bagaimana masyarakat adat mempertahankan hubungan holistik antara manusia dan
alam, serta mengapa mereka sering menjadi garda terdepan dalam perjuangan
lingkungan.
4.3.
Ekofeminisme dan Agama
Agama dan
spiritualitas sering kali memiliki peran dalam membentuk cara pandang
masyarakat terhadap perempuan dan lingkungan.¹² Dalam beberapa tradisi,
perempuan dikaitkan dengan kesuburan bumi dan siklus alam, yang dalam konteks
ekofeminisme dapat diinterpretasikan sebagai pemahaman bahwa perempuan memiliki
peran khusus dalam pelestarian lingkungan.
Dalam tradisi Hindu,
konsep Shakti,
yang mewakili energi ilahi feminin, sering dikaitkan dengan kekuatan alam yang
menciptakan dan menopang kehidupan.¹³ Dalam Islam, konsep khalifah
fil ardh (kepemimpinan manusia di bumi) menekankan tanggung
jawab manusia, termasuk perempuan, dalam menjaga keseimbangan ekologi.¹⁴
Sementara itu, dalam ekoteologi Kristen, teolog feminis seperti Rosemary
Radford Ruether menegaskan bahwa teologi harus mengakui
bagaimana sistem patriarki telah berkontribusi terhadap eksploitasi alam dan
perempuan, serta mendorong perubahan menuju spiritualitas yang lebih
ekologis.¹⁵
Namun, ekofeminisme
juga mengkritik bagaimana agama sering kali digunakan untuk memperkuat sistem
patriarki yang mengeksploitasi perempuan dan lingkungan. Beberapa budaya
menggunakan ajaran agama untuk membatasi akses perempuan terhadap tanah atau
sumber daya alam, dengan dalih bahwa mereka tidak memiliki kapasitas untuk
mengelola lingkungan secara mandiri.¹⁶ Oleh karena itu, pendekatan ekofeminisme
dalam agama sering kali bersifat kritis sekaligus reformis, dengan tujuan untuk
membangun teologi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
4.4.
Ekofeminisme dan Isu Sosial
Ekofeminisme juga
terkait erat dengan berbagai isu sosial lainnya, seperti hak reproduksi,
keadilan lingkungan, dan hak asasi manusia. Greta Gaard dalam artikelnya Toward a
Queer Ecofeminism menyoroti bagaimana ekofeminisme dapat
diintegrasikan dengan gerakan LGBTQ+, dengan melihat bagaimana
kelompok-kelompok yang terpinggirkan sering kali memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan isu-isu lingkungan.¹⁷
Di wilayah-wilayah
miskin, perempuan sering kali menghadapi dampak langsung dari perubahan iklim,
seperti meningkatnya bencana alam dan berkurangnya akses terhadap air bersih.¹⁸
Dalam konteks ini, ekofeminisme berusaha memperjuangkan kebijakan yang lebih
inklusif, seperti program adaptasi iklim yang mempertimbangkan perspektif
gender dan mengakui peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim.
Kesimpulan
Ekofeminisme dalam
konteks sosial dan budaya menunjukkan bagaimana eksploitasi perempuan dan
lingkungan tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi, budaya, dan spiritual
yang lebih luas. Dalam masyarakat kapitalis, perempuan sering kali menjadi
korban eksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam. Dalam komunitas adat,
perempuan berperan sebagai penjaga lingkungan tetapi juga menghadapi ancaman
dari kebijakan pembangunan yang destruktif. Dalam agama, perempuan sering
dikaitkan dengan alam, tetapi juga mengalami marginalisasi akibat interpretasi
patriarkal.
Dengan memahami
bagaimana ekofeminisme beroperasi dalam berbagai konteks sosial dan budaya,
kita dapat mengembangkan strategi yang lebih inklusif dan efektif dalam
menghadapi tantangan lingkungan global.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 7.
[2]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 24.
[3]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale:
Women in the International Division of Labour (London: Zed Books,
1986), 102.
[4]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.
[5]
Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 125.
[6]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf,
2006), 143.
[7]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures (New York:
Routledge, 1997), 57.
[8]
Nick Estes, Our History Is the Future (London:
Verso, 2019), 88.
[9]
Sturgeon, Ecofeminist Natures, 112.
[10]
Estes, Our History Is the Future, 102.
[11]
Shiva, Staying Alive, 46.
[12]
Rosemary Radford Ruether, Gaia & God: An Ecofeminist Theology of
Earth Healing (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 79.
[13]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 140.
[14]
Zainal Abidin Bagir, Islam and Ecology: Theology
and Ethics of Earth Care (Jakarta: Mizan, 2017), 92.
[15]
Rosemary Radford Ruether, Gaia & God: An
Ecofeminist Theology of Earth Healing (San Francisco: HarperSanFrancisco,
1992), 128.
[16]
Anne Primavesi, Sacred Gaia: Holistic Theology
and Earth System Science (New York: Routledge, 2000), 74.
[17]
Greta Gaard, "Toward a Queer
Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 120.
[18]
United Nations Environment Programme (UNEP), Gender
and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 59.
5.
Ekofeminisme dalam Kebijakan Lingkungan dan
Pembangunan Berkelanjutan
Ekofeminisme telah
berkembang dari sebuah teori kritis menjadi perspektif yang berkontribusi dalam
kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.¹ Dengan menyoroti
keterkaitan antara ketimpangan gender dan eksploitasi sumber daya alam,
ekofeminisme menawarkan pendekatan yang lebih holistik dalam mengatasi krisis
lingkungan global.² Perempuan sering kali memiliki peran utama dalam menjaga
ekosistem lokal dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.³ Oleh
karena itu, kebijakan lingkungan yang tidak mempertimbangkan perspektif gender
berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan merugikan kelompok yang paling
terdampak oleh perubahan lingkungan.
5.1.
Ekofeminisme dalam Kebijakan Publik
Dalam beberapa
dekade terakhir, banyak negara mulai mengintegrasikan perspektif gender dalam
kebijakan lingkungan. United Nations Environment Programme (UNEP)
menekankan bahwa perempuan, terutama di negara berkembang, memiliki pengetahuan
tradisional yang penting dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi sering kali
dikecualikan dari proses pengambilan keputusan.⁴ Dalam beberapa kasus,
kebijakan lingkungan yang tidak memperhitungkan perspektif perempuan telah
memperburuk situasi, seperti program konservasi yang membatasi akses perempuan
terhadap tanah atau air yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.⁵
Salah satu contoh
kebijakan yang mengadopsi pendekatan ekofeminisme adalah National
Adaptation Programmes of Action (NAPA) yang dikeluarkan oleh United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).⁶
Program ini mendorong negara-negara berkembang untuk merancang strategi
adaptasi perubahan iklim yang mempertimbangkan peran perempuan dalam mitigasi
dan adaptasi.⁷
Di beberapa negara,
kebijakan berbasis ekofeminisme telah berhasil meningkatkan kesejahteraan lingkungan
dan sosial. Di Nepal, misalnya, kebijakan
kehutanan berbasis komunitas memberikan perempuan hak untuk mengelola hutan
lokal, yang tidak hanya meningkatkan konservasi lingkungan tetapi juga
memperkuat kemandirian ekonomi perempuan.⁸
5.2.
Peran Lembaga Internasional dalam Ekofeminisme
dan Pembangunan Berkelanjutan
Beberapa lembaga
internasional telah mengadopsi perspektif ekofeminisme dalam program-program
mereka:
·
United
Nations Women (UN Women) telah meluncurkan berbagai inisiatif
untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam kebijakan lingkungan, termasuk
dalam Gender
Action Plan (GAP) yang diadopsi dalam Konferensi
Perubahan Iklim PBB (COP23).⁹
·
United
Nations Development Programme (UNDP) mengintegrasikan analisis gender
dalam program pembangunan berkelanjutan, dengan fokus pada pemberdayaan
perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.¹⁰
·
Food and
Agriculture Organization (FAO) mendorong kebijakan yang
mengakui peran perempuan dalam sistem pangan berkelanjutan, mengingat bahwa
perempuan di banyak negara berkembang bertanggung jawab atas lebih dari 50%
produksi pangan lokal.¹¹
Gerakan ekofeminisme
juga berperan dalam membentuk Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati
(CBD), yang menyoroti bagaimana perempuan memainkan peran kunci
dalam melestarikan keanekaragaman hayati.¹²
5.3.
Studi Kasus: Ekofeminisme dalam Aksi
Beberapa studi kasus
menunjukkan bagaimana pendekatan ekofeminisme telah berhasil diterapkan dalam
kebijakan dan program lingkungan:
1)
Green Belt Movement
(Kenya)
Didirikan oleh Wangari Maathai,
gerakan ini berhasil menanam lebih dari 51 juta pohon di Kenya dan
negara-negara Afrika lainnya, dengan melibatkan perempuan dalam usaha
konservasi dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan ini menunjukkan bagaimana
ekofeminisme dapat mengintegrasikan konservasi lingkungan dengan keadilan
sosial.¹³
2)
Chipko Movement (India)
Sebuah gerakan berbasis ekofeminisme yang
dipimpin oleh perempuan di Himalaya, India, yang menentang deforestasi melalui
aksi "tree-hugging" (memeluk pohon untuk mencegah penebangan).
Gerakan ini menjadi inspirasi bagi kebijakan lingkungan berbasis komunitas di
India.¹⁴
3)
Standing Rock Sioux
Protest (AS)
Perempuan adat dari Suku Sioux memimpin aksi
protes terhadap pembangunan Dakota Access Pipeline yang mengancam sumber air
dan tanah leluhur mereka.¹⁵ Gerakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap
eksploitasi lingkungan berbasis komunitas adat dan perempuan.
5.4.
Tantangan dan Kritik terhadap Implementasi
Ekofeminisme dalam Kebijakan Lingkungan
Meskipun
ekofeminisme telah memberikan kontribusi dalam kebijakan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi:
·
Kurangnya Representasi
Perempuan dalam Kebijakan Lingkungan
Meskipun banyak kebijakan mengakui pentingnya
perspektif gender, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan masih
terbatas di banyak negara.¹⁶
·
Kritik terhadap
Esensialisme Gender
Beberapa feminis mengkritik bahwa ekofeminisme
terkadang terlalu menekankan peran perempuan sebagai "penjaga alam,"
yang dapat memperkuat stereotip tradisional.¹⁷
·
Kesenjangan Akses
terhadap Sumber Daya
Di banyak negara berkembang, perempuan masih
menghadapi hambatan dalam mendapatkan akses terhadap tanah, teknologi, dan
modal untuk menjalankan proyek-proyek lingkungan.¹⁸
Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada
partisipasi aktif perempuan dalam semua aspek pengelolaan lingkungan.¹⁹
Kesimpulan
Ekofeminisme telah
memberikan kontribusi penting dalam pembentukan kebijakan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan dengan menekankan hubungan antara keadilan gender dan
ekologi. Melalui berbagai program dan gerakan sosial, ekofeminisme telah
membantu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas.
Namun, tantangan masih ada, terutama dalam hal representasi perempuan dalam
kebijakan lingkungan dan akses terhadap sumber daya. Oleh karena itu, pendekatan
berbasis ekofeminisme perlu terus dikembangkan untuk menciptakan masa depan
yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 12.
[2]
Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 37.
[3]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 87.
[4]
United Nations Environment Programme (UNEP), Gender
and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 42.
[5]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.
[6]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), National
Adaptation Programmes of Action (NAPA) (Bonn: UNFCCC Secretariat,
2020), 16.
[7]
UNFCCC, NAPA, 20.
[8]
Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 55.
[9]
UN Women, Gender Action Plan (GAP) Report 2020
(New York: UN Women, 2020), 11.
[10]
United Nations Development Programme (UNDP), Sustainable
Development and Gender (New York: UNDP, 2018), 30.
[11]
Food and Agriculture Organization (FAO), The Role of Women in Sustainable Agriculture
(Rome: FAO, 2019), 75.
[12]
Convention on Biological Diversity (CBD), Women, Biodiversity, and Sustainable
Development (Montreal: CBD Secretariat, 2019), 54.
[13]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New
York: Knopf, 2006), 167.
[14]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Survival in India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 102.
[15]
Nick Estes, Our History Is the Future: Standing
Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous
Resistance (London: Verso, 2019), 190.
[16]
United Nations Development Programme (UNDP), Gender
Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021), 22.
[17]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
119.
[18]
United Nations Environment Programme (UNEP), The
Gender and Environment Nexus (Nairobi: UNEP, 2021), 63.
[19]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global
Justice: Women Write Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 145.
6.
Kritik terhadap Ekofeminisme
Meskipun
ekofeminisme telah memberikan kontribusi penting dalam memahami hubungan antara
perempuan dan lingkungan, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik dari akademisi
dan aktivis feminis maupun lingkungan. Kritik terhadap ekofeminisme terutama
berpusat pada aspek esensialisme gender, keberagaman
perspektif feminisme, implikasi politik dan ekonomi,
serta tantangan
dalam gerakan sosial.¹
6.1.
Kritik terhadap Esensialisme Gender
Salah satu kritik
utama terhadap ekofeminisme adalah kecenderungannya untuk mengasumsikan bahwa
perempuan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan alam dibandingkan
laki-laki.² Pendekatan ini disebut sebagai esensialisme gender, yaitu
pandangan bahwa sifat tertentu melekat secara alami pada perempuan, misalnya
sebagai "penjaga alam" atau "ibu bumi".³
Beberapa pemikir
feminis menilai bahwa ekofeminisme kultural, yang menghubungkan spiritualitas
perempuan dengan ekologi, justru memperkuat stereotip tradisional yang telah
lama digunakan untuk membatasi peran perempuan dalam masyarakat.⁴ Noël
Sturgeon, dalam Ecofeminist Natures, mengkritik
pendekatan ini karena dapat digunakan oleh sistem patriarki untuk menegaskan
bahwa perempuan hanya cocok dalam peran-peran domestik yang berkaitan dengan
alam, sementara laki-laki tetap dominan dalam sains dan teknologi.⁵
Di sisi lain,
ekofeminis materialis seperti Maria Mies dan Ariel
Salleh berargumen bahwa hubungan perempuan dengan alam bukanlah
sesuatu yang bersifat biologis atau esensial, melainkan merupakan hasil dari
struktur sosial dan ekonomi yang menempatkan perempuan dalam peran tertentu.⁶
Dengan kata lain, perempuan memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam pengelolaan
sumber daya alam bukan karena faktor biologis, tetapi karena sistem sosial yang
membebankan peran tersebut kepada mereka.⁷
6.2.
Kritik dari Berbagai Perspektif Feminisme
Selain kritik
terhadap esensialisme gender, ekofeminisme juga menghadapi tantangan dari
berbagai aliran feminisme lainnya:
1)
Feminisme Liberal
Feminisme liberal berfokus pada
kesetaraan hak perempuan dalam struktur hukum dan sosial. Para pendukungnya
mengkritik ekofeminisme karena dianggap terlalu menekankan pada keterkaitan
perempuan dengan alam, sehingga mengalihkan perhatian dari perjuangan untuk
mendapatkan hak politik, ekonomi, dan pendidikan yang sama dengan laki-laki.⁸
2)
Feminisme Marxis
Feminisme Marxis menyoroti bagaimana
kapitalisme dan sistem kelas bertanggung jawab atas eksploitasi perempuan dan
alam.⁹ Silvia
Federici dalam bukunya Caliban and the Witch menegaskan
bahwa hubungan perempuan dengan alam harus dipahami dalam konteks sistem
produksi kapitalis yang menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja gratis dalam
reproduksi sosial.¹⁰
3)
Feminisme Interseksional
Feminisme interseksional menekankan
bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dipisahkan dari faktor lain seperti ras,
kelas, dan etnis.¹¹ Kritikus ekofeminisme berpendapat bahwa sebagian besar
teori ekofeminisme awal terlalu berfokus pada pengalaman perempuan kulit putih
di negara-negara Barat, tanpa cukup mempertimbangkan pengalaman perempuan dari
komunitas adat atau negara berkembang.¹²
6.3.
Kritik terhadap Implikasi Politik dan Ekonomi
Ekofeminisme
Ekofeminisme sering
kali dikritik karena kurang memberikan solusi konkret dalam hal kebijakan
ekonomi dan lingkungan.¹³ Para ekonom ekologi berpendapat bahwa meskipun
ekofeminisme memberikan kritik yang kuat terhadap kapitalisme dan patriarki,
gerakan ini tidak selalu menawarkan alternatif sistem ekonomi yang realistis.¹⁴
Sebagai contoh, Carolyn
Merchant, dalam Radical Ecology, menyoroti bahwa
ekofeminisme perlu lebih aktif dalam mengusulkan kebijakan ekonomi berbasis
keberlanjutan, bukan hanya sekadar mengkritik sistem kapitalisme patriarkal.¹⁵
Selain itu, kritik lain terhadap ekofeminisme adalah kurangnya keterlibatan
dalam gerakan ekonomi berbasis redistribusi sumber daya secara konkret.¹⁶
Beberapa feminis
sosialis berpendapat bahwa tanpa perubahan struktural dalam sistem ekonomi
global, pendekatan berbasis komunitas yang sering didukung oleh ekofeminisme
tidak akan mampu memberikan dampak jangka panjang dalam mengatasi krisis
lingkungan.¹⁷
6.4.
Tantangan dalam Gerakan Sosial
Ekofeminisme juga
menghadapi tantangan dalam gerakan sosial, terutama terkait dengan fragmentasi
dalam gerakan ekologi dan feminisme itu sendiri. Beberapa kritik dalam hal ini
meliputi:
·
Kurangnya Kesatuan
dalam Gerakan Ekofeminisme
Ekofeminisme memiliki banyak cabang
pemikiran, mulai dari ekofeminisme kultural hingga materialis, yang kadang
memiliki perbedaan pendekatan yang cukup tajam.¹⁸
·
Persoalan
Representasi dalam Aktivisme Lingkungan
Beberapa aktivis feminis dari komunitas
adat dan negara berkembang merasa bahwa gerakan ekofeminisme internasional
terlalu didominasi oleh perspektif feminis Barat.¹⁹
·
Perlawanan dari
Kelompok Konservatif
Beberapa kelompok konservatif menentang
ekofeminisme karena dianggap menantang nilai-nilai tradisional tentang peran
perempuan dan hubungan manusia dengan alam.²⁰
Kesimpulan
Meskipun
ekofeminisme telah memberikan kontribusi penting dalam memahami hubungan antara
perempuan dan lingkungan, gerakan ini juga menghadapi berbagai kritik yang
perlu diperhatikan untuk pengembangannya di masa depan. Tantangan utama
ekofeminisme meliputi kritik terhadap esensialisme gender, perbedaan perspektif
dengan aliran feminisme lainnya, serta kesulitan dalam mengusulkan kebijakan
ekonomi dan lingkungan yang konkret.
Namun, dengan
mengakui dan menanggapi kritik-kritik ini, ekofeminisme dapat terus berkembang
sebagai pendekatan yang lebih inklusif dan efektif dalam perjuangan keadilan
lingkungan dan gender.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 13.
[2]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 29.
[3]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist
Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 45.
[4]
Vandana Shiva and Maria Mies, Ecofeminism (London: Zed Books,
1993), 55.
[5]
Sturgeon, Ecofeminist Natures, 67.
[6]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale
(London: Zed Books, 1986), 102.
[7]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 98.
[8]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 145.
[9]
Merchant, Radical Ecology, 78.
[10]
Federici, Caliban and the Witch, 160.
[11]
Greta Gaard, "Toward a Queer Ecofeminism," Hypatia
12, no. 1 (1997): 120.
[12]
United Nations Development Programme (UNDP), Gender
Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021),
22.
[13]
Merchant, Radical Ecology, 95.
[14]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 122.
[15]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures, 139.
[16]
Mies and Shiva, Ecofeminism, 88.
[17]
Federici, Caliban and the Witch, 180.
[18]
Salleh, Ecofeminism as Politics, 145.
[19]
UNDP, Gender Equality in Environmental Decision Making,
34.
[20]
Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India, 190.
7.
Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1.
Kesimpulan
Ekofeminisme telah
berkembang menjadi pendekatan multidisipliner yang menghubungkan feminisme
dengan ekologi, memberikan kritik terhadap sistem patriarki dan kapitalisme
yang menyebabkan eksploitasi perempuan dan lingkungan secara simultan.¹ Sejak
pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne dalam Le
Féminisme ou la Mort (1974), konsep ini telah mengalami
perkembangan signifikan, dari gerakan sosial hingga kajian akademik yang
mendalam.²
Sejarah ekofeminisme
menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia telah memainkan peran
kunci dalam gerakan lingkungan. Gerakan Chipko di India, Green
Belt Movement di Kenya, dan Standing Rock Sioux Protest di Amerika Serikat
adalah contoh konkret bagaimana perempuan memimpin perjuangan melawan
eksploitasi sumber daya alam.³ Peran perempuan dalam mengelola lingkungan telah
diakui dalam berbagai kebijakan global, seperti dalam United
Nations Environment Programme (UNEP) dan Konvensi
PBB tentang Keanekaragaman Hayati (CBD).⁴
Namun, ekofeminisme
juga menghadapi berbagai kritik, terutama dalam hal esensialisme
gender, perbedaan perspektif dengan aliran feminisme
lain, serta tantangan dalam implementasi kebijakan
lingkungan yang konkret.⁵ Kritik ini perlu diperhatikan untuk
memastikan bahwa ekofeminisme tetap relevan dalam perjuangan keadilan
lingkungan dan sosial.
Dari berbagai
pembahasan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa ekofeminisme menawarkan
kontribusi yang signifikan dalam memahami hubungan antara perempuan dan alam,
tetapi juga memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan pragmatis dalam
kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.⁶
7.2.
Rekomendasi
Agar ekofeminisme
dapat terus berkembang dan memberikan dampak yang lebih luas dalam kebijakan
lingkungan dan pembangunan sosial, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
7.2.1.
Integrasi
Ekofeminisme dalam Kebijakan Publik
Pemerintah dan
lembaga internasional perlu memastikan bahwa perspektif ekofeminisme
terintegrasi dalam kebijakan lingkungan dan pembangunan. Program seperti National
Adaptation Programmes of Action (NAPA) dari United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) perlu
diperluas dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam pengambilan
keputusan.⁷
Selain itu,
pendekatan ekofeminisme dalam kebijakan kehutanan berbasis komunitas, seperti
yang diterapkan di Nepal, dapat diadopsi oleh
negara lain untuk memberdayakan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.⁸
7.2.2.
Meningkatkan
Representasi Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Meskipun kebijakan
lingkungan telah mulai memasukkan perspektif gender, keterwakilan perempuan
dalam posisi kepemimpinan masih terbatas. Studi dari United
Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa
perempuan hanya menempati 15% dari posisi pengambilan keputusan dalam
kebijakan lingkungan global.⁹ Oleh karena itu, perlu ada
kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang
lingkungan dan energi terbarukan.
Selain itu,
inisiatif berbasis komunitas seperti Green Belt Movement perlu
didukung dengan program yang memberikan akses perempuan terhadap pendidikan,
teknologi, dan modal untuk mengelola proyek lingkungan secara mandiri.¹⁰
7.2.3.
Menyelaraskan
Ekofeminisme dengan Gerakan Sosial Lain
Agar lebih efektif,
ekofeminisme perlu berkolaborasi dengan gerakan lain seperti keadilan
sosial, gerakan hak-hak masyarakat adat,
dan ekonomi
berkelanjutan.¹¹ Pendekatan ekofeminisme interseksional,
yang menyoroti bagaimana isu lingkungan berkaitan dengan ras, kelas, dan
etnisitas, harus lebih diperkuat dalam diskursus akademik dan kebijakan.
Misalnya, gerakan Standing
Rock Sioux Protest menunjukkan bagaimana perjuangan masyarakat
adat dalam mempertahankan tanah mereka juga berkaitan erat dengan
prinsip-prinsip ekofeminisme.¹² Oleh karena itu, membangun solidaritas antara
gerakan ekofeminisme dan komunitas adat dapat menjadi strategi yang efektif
dalam mencegah eksploitasi lingkungan yang lebih luas.
7.2.4.
Mengembangkan Model
Ekonomi Berbasis Ekofeminisme
Ekofeminisme perlu
mengusulkan alternatif ekonomi yang lebih konkret untuk menggantikan sistem
kapitalisme yang eksploitatif. Beberapa model ekonomi yang dapat dikembangkan
meliputi:
·
Ekonomi
Berbasis Keberlanjutan:
Model ekonomi yang menekankan
keseimbangan antara ekologi dan kebutuhan sosial, seperti yang dipromosikan
oleh Kate
Raworth dalam teori Doughnut Economics.¹³
·
Ekonomi
Sosial dan Solidaritas:
Sistem ekonomi berbasis komunitas yang
memungkinkan perempuan mengelola sumber daya mereka sendiri secara adil dan
berkelanjutan.¹⁴
Ekofeminisme
materialis telah lama menekankan bahwa sistem ekonomi yang eksploitatif harus
digantikan dengan sistem yang lebih adil dan berbasis pada kebutuhan
komunitas.¹⁵ Oleh karena itu, pengembangan ekonomi berbasis ekofeminisme dapat
menjadi solusi konkret dalam menciptakan keadilan lingkungan dan sosial.
7.2.5.
Mengatasi
Kritik terhadap Ekofeminisme
Untuk tetap relevan,
ekofeminisme perlu mengatasi berbagai kritik yang diarahkan kepadanya:
·
Menolak
Esensialisme Gender:
Ekofeminisme harus terus menegaskan bahwa
hubungan perempuan dengan alam bukan sesuatu yang bersifat biologis, tetapi
merupakan hasil dari struktur sosial dan ekonomi.¹⁶
·
Memperluas
Perspektif Interseksional:
Kajian ekofeminisme harus lebih banyak
melibatkan pengalaman perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk
perempuan dari komunitas adat dan negara berkembang.¹⁷
·
Meningkatkan
Fokus pada Kebijakan dan Aksi Konkret:
Selain mengkritik sistem patriarki dan
kapitalisme, ekofeminisme harus lebih aktif dalam menawarkan kebijakan yang
realistis dan dapat diterapkan dalam skala nasional maupun global.¹⁸
Kesimpulan Akhir
Ekofeminisme tetap
menjadi salah satu pendekatan paling penting dalam kajian lingkungan dan
feminisme. Dengan mengatasi kritik yang ada dan memperkuat integrasi
ekofeminisme dalam kebijakan publik, gerakan ini dapat berkontribusi dalam
membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua.
Catatan Kaki
[1]
Carolyn Merchant, Radical Ecology: The Search for a Livable World
(New York: Routledge, 1992), 13.
[2]
Françoise d’Eaubonne, Le Féminisme ou la Mort (Paris:
Pierre Horay, 1974), 23.
[3]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in
India (New Delhi: Kali for Women, 1988), 89.
[4]
United Nations Environment Programme (UNEP), Gender
and Environment Outlook 2019 (Nairobi: UNEP, 2019), 35.
[5]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist
Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997), 67.
[6]
Ariel Salleh, Eco-Sufficiency and Global Justice: Women Write
Political Ecology (London: Pluto Press, 2009), 98.
[7]
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), National
Adaptation Programmes of Action (NAPA) (Bonn: UNFCCC Secretariat,
2020), 16.
[8]
Shiva, Staying Alive, 95.
[9]
United Nations Development Programme (UNDP), Gender
Equality in Environmental Decision Making (New York: UNDP, 2021),
22.
[10]
Wangari Maathai, Unbowed: A Memoir (New York: Knopf,
2006), 189.
[11]
Sturgeon, Ecofeminist Natures, 105.
[12]
Nick Estes, Our History Is the Future: Standing
Rock Versus the Dakota Access Pipeline, and the Long Tradition of Indigenous
Resistance (London: Verso, 2019), 132.
[13]
Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to
Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House Business, 2017),
64.
[14]
Silvia Federici, Re-Enchanting the World:
Feminism and the Politics of the Commons (Oakland: PM Press, 2018), 99.
[15]
Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism
(London: Zed Books, 1993), 115.
[16]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature,
Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 138.
[17]
Greta Gaard, "Toward a Queer
Ecofeminism," Hypatia 12, no. 1 (1997): 122.
[18]
Noël Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race,
Gender, Feminist Theory, and Political Action (New York: Routledge, 1997),
157.
Daftar Pustaka
D’Eaubonne, F. (1974). Le Féminisme ou la Mort. Paris: Pierre
Horay.
Estes, N. (2019). Our history is the future: Standing Rock versus the
Dakota Access Pipeline, and the long tradition of Indigenous resistance.
London: Verso.
Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and
primitive accumulation. New York: Autonomedia.
Federici, S. (2018). Re-enchanting the world: Feminism and the
politics of the commons. Oakland: PM Press.
Food and Agriculture Organization (FAO). (2019). The role of women in
sustainable agriculture. Rome: FAO.
Gaard, G. (1997). Toward a queer ecofeminism. Hypatia, 12(1),
114-137.
Maathai, W. (2006). Unbowed: A memoir. New York: Knopf.
Merchant, C. (1980). The death of nature: Women, ecology, and the
scientific revolution. San Francisco: Harper & Row.
Merchant, C. (1992). Radical ecology: The search for a livable world.
New York: Routledge.
Mies, M. (1986). Patriarchy and accumulation on a world scale: Women
in the international division of labour. London: Zed Books.
Mies, M., & Shiva, V. (1993). Ecofeminism. London: Zed Books.
Primavesi, A. (2000). Sacred Gaia: Holistic theology and earth system
science. New York: Routledge.
Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a
21st-century economist. London: Random House Business.
Ruether, R. R. (1992). Gaia & God: An ecofeminist theology of
earth healing. San Francisco: HarperSanFrancisco.
Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the
postmodern. London: Zed Books.
Salleh, A. (2009). Eco-sufficiency and global justice: Women write
political ecology. London: Pluto Press.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and survival in
India. New Delhi: Kali for Women.
Shiva, V., & Mies, M. (1993). Ecofeminism. London: Zed Books.
Sturgeon, N. (1997). Ecofeminist natures: Race, gender, feminist
theory, and political action. New York: Routledge.
United Nations Development Programme (UNDP). (2018). Sustainable
development and gender. New York: UNDP.
United Nations Development Programme (UNDP). (2021). Gender equality
in environmental decision making. New York: UNDP.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2019). Gender and
environment outlook 2019. Nairobi: UNEP.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). The gender and
environment nexus. Nairobi: UNEP.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2020). National
adaptation programmes of action (NAPA). Bonn: UNFCCC Secretariat.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2019). Gender
and climate change: Women as agents of change. Bonn: UNFCCC Secretariat.
UN Women. (2020). Gender action plan (GAP) report 2020. New York:
UN Women.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar