Ahlus Sunnah Wal Jamaah
“Pilar Moderasi Islam
dalam Sejarah, Konsep, dan Tantangan Modern”
Alihkan ke-Ilmu Kalam Sunni
Sunni, atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah
kelompok mayoritas dalam Islam yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran
Rasulullah Muhammad Saw sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur'an dan Hadis,
serta memahami ajaran tersebut sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi'in,
dan ulama salafus shalih. Mereka menekankan pentingnya mengikuti sunnah
(tradisi Nabi) dan menolak segala bentuk bid‘ah (inovasi dalam agama). Sunni
juga dikenal karena menerima keabsahan khilafah yang dimulai dari Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib,
yang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin.¹
Kelompok ini disebut Sunni karena mereka
berpegang teguh pada sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad Saw dan para
sahabat beliau. Istilah sunnah dalam konteks ini merujuk pada ajaran,
tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw yang menjadi panduan utama dalam
menjalankan agama Islam. Penambahan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah
(Golongan Sunnah dan Jamaah) mencerminkan komitmen mereka untuk menjaga tradisi
Rasulullah Saw dan persatuan umat Islam, sebagaimana dipahami oleh generasi
pertama Islam, yaitu sahabat dan tabi'in.²
Secara historis, istilah ini mulai dikenal secara
luas untuk membedakan kelompok mayoritas umat Islam dari kelompok-kelompok lain
yang muncul kemudian, seperti Syiah dan Khawarij. Nama ini menekankan keutamaan
mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam aspek teologi, ibadah, dan kehidupan
sehari-hari, serta menjunjung tinggi konsensus (ijma') para ulama dalam
memahami ajaran Islam.³
Dalam aspek teologi, Sunni
biasanya merujuk pada salah satu dari tiga mazhab teologi: Asy'ariyah, Maturidiyah,
atau Salafiyah. Mereka memegang prinsip moderasi (tawasuth),
keseimbangan (i'tidal), dan toleransi (tasamuh) dalam berbagai
dimensi keislaman.⁴ Sunni juga disebut Ahlus
Sunnah wal Jamaah untuk menegaskan bahwa mereka menghindari perpecahan dan
menjaga kesatuan (jamaah), sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah
Saw:
"Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan;
semua akan masuk neraka kecuali satu golongan." Para sahabat bertanya,
'Siapa mereka, wahai Rasulullah?' Rasulullah menjawab, 'Mereka adalah golongan
yang mengikuti aku dan para sahabatku.' (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).⁵
Catatan Kaki
[1]
Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1977), 1–5.
[2]
Al-Sayyid al-Sharif al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 58.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton:
Princeton University Press, 1989), 98–100.
[4]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 9:233–234.
[5]
Muhammad ibn Isa al-Tirmidhi, Sunan at-Tirmidhi, Hadis no. 2641.
PEMBAHASAN
“Ahlus Sunnah Wal Jamaah”
1.
Pendahuluan
Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) merupakan terminologi yang sering digunakan untuk
merujuk pada golongan mayoritas umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah
Muhammad Saw. dan para sahabatnya secara konsisten. Kata “Ahlus Sunnah”
berarti “pengikut sunnah,” sedangkan “Wal Jamaah” mengacu
pada kesatuan atau komunitas umat yang berpijak pada kebenaran.1
Dalam tradisi Islam, istilah ini tidak hanya mencakup keyakinan teologis,
tetapi juga pendekatan moderat yang diterapkan dalam aspek fikih, akidah, dan
akhlak.
Pemahaman terhadap ASWAJA menjadi penting, terutama
dalam menghadapi dinamika keberagamaan yang semakin kompleks. ASWAJA berperan
sebagai poros moderasi (wasathiyyah) yang menjembatani berbagai perbedaan
pendapat dalam Islam. Konsep ini mendorong harmoni di tengah-tengah keberagaman
umat dan menjaga keseimbangan antara teks-teks keagamaan (naql) dengan
rasionalitas (aql).2 Dengan demikian, memahami ASWAJA secara
mendalam dapat membantu umat Islam menghadapi tantangan ideologis, baik dari
internal maupun eksternal, seperti ekstremisme dan sekularisme.
Secara historis, istilah ASWAJA muncul untuk
membedakan diri dari aliran-aliran teologis yang dianggap menyimpang dari
ajaran Islam yang murni. Munculnya perbedaan ini dipengaruhi oleh dinamika
politik dan teologis sejak masa Khulafaurasyidin hingga era Abbasiyah, di mana
aliran seperti Khawarij dan Mu’tazilah mulai berkembang.3 Para ulama
terdahulu, seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi,
berperan penting dalam merumuskan fondasi teologis ASWAJA yang menjadi acuan
utama umat Islam hingga saat ini.4
Dalam konteks modern, ASWAJA tetap relevan sebagai
panduan bagi umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi.
Pandangan moderat ASWAJA menjadi solusi atas berbagai tantangan global,
termasuk pluralisme agama, konflik sektarian, dan gelombang pemikiran liberal
yang kerap menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Oleh karena itu, artikel
ini bertujuan memberikan penjelasan komprehensif tentang konsep, sejarah, dan
relevansi ASWAJA dalam perspektif Islam kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.
[2]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam,
2010), 1:83.
[3]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1998), 32.
[4]
Al-Asy'ari, Abu Hasan, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Riyadh:
Maktabah al-Rushd, 2005), 10.
2.
Definisi
dan Konsep Dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaah
2.1. Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Secara linguistik, istilah "Ahlus Sunnah
Wal Jamaah" berasal dari tiga kata: Ahl (kelompok atau
komunitas), Sunnah (jalan hidup, tradisi, atau praktik yang diajarkan
Rasulullah Muhammad Saw.), dan Wal Jamaah (kesatuan atau konsensus umat
Islam). Dalam konteks syariah, istilah ini mengacu pada golongan umat Islam
yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw. dan memahami agama berdasarkan
metode para sahabat, tabi’in, dan ulama yang mengikuti jejak mereka.1
Imam Al-Baghdadi mendefinisikan Ahlus Sunnah Wal
Jamaah sebagai kelompok yang senantiasa berpegang pada kebenaran dan menjauhi
penyimpangan, baik dalam akidah, fikih, maupun akhlak. Menurutnya, ASWAJA adalah
“kelompok yang menempuh jalan Rasulullah dan para sahabatnya dalam segala
aspek keagamaan.”2 Pandangan ini diperkuat oleh Imam Al-Asy’ari
yang menyebutkan bahwa ASWAJA mengikuti prinsip moderasi dan keseimbangan dalam
mengamalkan agama.3
2.2. Konsep Dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Konsep dasar ASWAJA mencakup tiga dimensi utama: akidah,
fikih, dan akhlak. Ketiganya menjadi pilar penting yang membentuk
identitas ASWAJA.
1)
Akidah
Akidah
ASWAJA didasarkan pada prinsip-prinsip yang diajarkan Rasulullah Saw. dan dipahami
oleh generasi sahabat. Akidah ini menekankan keyakinan kepada Allah dengan
sifat-sifat-Nya yang sempurna tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tanzih).
Sebagai contoh, konsep istawa (bersemayam) dalam Al-Qur’an dipahami
tanpa menanyakan “bagaimana”-nya (bila kayf), sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Malik.4
Selain itu,
ASWAJA mengakui adanya qada dan qadar (takdir) sebagai bagian dari keimanan.
Pemahaman ini menjaga keseimbangan antara usaha manusia (kasb) dan
kehendak Allah.5
2)
Fikih
Dalam
dimensi fikih, ASWAJA mengakui empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali. Keempat mazhab ini mengedepankan pendekatan tekstual dan rasional
dalam memahami hukum Islam. Prinsip ini memungkinkan ASWAJA untuk bersikap
fleksibel dalam menghadapi berbagai konteks sosial tanpa meninggalkan
nilai-nilai agama.6
3)
Akhlak
ASWAJA
menekankan pentingnya akhlak yang mulia sebagai refleksi keimanan. Ajaran
akhlak ini mencakup kesantunan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Konsep ini terlihat dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan
dengan hikmah dan nasihat yang baik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS
An-Nahl [16] ayat 125).7
2.3. Perbedaan dengan Aliran Lain
ASWAJA berbeda dengan aliran-aliran teologis
lainnya, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah. Sebagai contoh, Khawarij
cenderung ekstrem dalam memahami agama, sedangkan Mu’tazilah mengutamakan
rasionalitas hingga mengesampingkan teks-teks wahyu.8 Di sisi lain,
ASWAJA menyeimbangkan antara teks dan rasionalitas dengan mengutamakan kesatuan
umat Islam.
Konsep ASWAJA tidak hanya relevan dalam menjaga
kemurnian ajaran Islam, tetapi juga dalam menghadapi tantangan modern.
Pendekatan moderat dan inklusif ASWAJA membantu menciptakan harmoni di tengah
keberagaman, baik dalam internal umat Islam maupun dalam interaksi dengan
masyarakat global.
Catatan Kaki
[1]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1998), 23.
[2]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 15.
[3]
Al-Asy'ari, Abu Hasan, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 2007), 33.
[4]
Malik bin Anas, Al-Muwatta' (Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:23.
[5]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam,
2010), 2:83.
[6]
Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(Kairo: Maktabah al-Irsyad, 1995), 1:10.
[7]
Al-Qur’an, QS An-Nahl: 125.
[8]
Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad (Riyadh: Maktabah al-Rushd,
1999), 85.
3.
Sejarah
Perkembangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
3.1. Masa Rasulullah Saw. dan Khulafaurasyidin
Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) berakar pada
ajaran dan praktik yang diteladankan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dan
diteruskan oleh para sahabat beliau. Pada masa awal Islam, ajaran agama
bersifat integral, tanpa perpecahan dalam akidah, fikih, atau etika. Rasulullah
Saw. menegaskan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnahnya sebagai
pedoman hidup yang lurus.1 Masa Khulafaurasyidin juga menjadi
tonggak penting dalam sejarah ASWAJA karena mereka menerapkan prinsip-prinsip
syura (musyawarah) dan keadilan sebagai fondasi pemerintahan yang selaras
dengan nilai-nilai Islam.2
3.2. Kemunculan Perpecahan Teologis
Setelah era Khulafaurasyidin, dinamika politik dan
teologis mulai memunculkan perpecahan di kalangan umat Islam. Perpecahan ini
dipicu oleh peristiwa besar seperti pembunuhan Utsman bin Affan dan Perang
Shiffin yang melibatkan Ali bin Abi Thalib.3 Dari konflik ini,
muncul kelompok Khawarij yang ekstrem dalam pandangan mereka, serta Syiah yang
memiliki doktrin khusus tentang imamah (kepemimpinan).4 Selain itu,
pemikiran Mu'tazilah berkembang sebagai respons terhadap berbagai pertanyaan
teologis yang kompleks. Mu’tazilah menekankan rasionalitas dan menolak
aspek-aspek tertentu dari akidah Islam, seperti sifat Allah dan penciptaan
Al-Qur'an, yang menjadi polemik besar dalam sejarah teologi Islam.5
3.3. Perumusan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah secara eksplisit
mulai digunakan sebagai identitas teologis pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada
masa ini, muncul kebutuhan untuk membedakan ajaran Islam yang murni dari
aliran-aliran teologis yang dianggap menyimpang. Imam Abu Hasan Al-Asy'ari
(873–936 M) dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M) berperan besar dalam
merumuskan fondasi teologi ASWAJA. Al-Asy'ari memulai gerakan ini setelah keluar
dari Mu'tazilah dan menegaskan pentingnya harmoni antara teks wahyu (naql) dan
akal (aql).6 Di sisi lain, Al-Maturidi mengembangkan pendekatan yang
sejalan dengan Al-Asy'ari tetapi dengan penekanan berbeda pada peran akal dalam
memahami agama.7
3.4. Penerapan Fikih dalam ASWAJA
Pada era yang sama, empat mazhab fikih Sunni mulai
terbentuk: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mazhab-mazhab ini menawarkan
kerangka hukum yang memungkinkan umat Islam untuk menjalankan agama dengan
fleksibilitas sesuai dengan konteks sosial dan budaya mereka. Keempat mazhab
ini diakui sebagai representasi fikih dalam ASWAJA karena pendekatan mereka
yang berbasis pada Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas.8
3.5. Peran ASWAJA dalam Dinamika Politik dan Sosial
ASWAJA juga memainkan peran penting dalam menjaga
stabilitas umat Islam selama pergolakan politik dan sektarian, terutama pada
masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Ketika kelompok ekstrem seperti Khawarij
dan aliran rasionalis seperti Mu'tazilah mengancam persatuan umat, ulama-ulama
ASWAJA berdiri di tengah untuk menawarkan pandangan moderat yang mengutamakan
persatuan umat Islam. Prinsip moderasi (wasathiyyah) yang dipegang oleh
ASWAJA menjadi landasan dalam meredam konflik dan membangun dialog antar
kelompok.9
3.6. Perkembangan ASWAJA di Era Modern
Pada era modern, ASWAJA terus beradaptasi dengan
tantangan zaman. Nilai-nilai moderasi, toleransi, dan inklusivitas yang menjadi
ciri khas ASWAJA tetap relevan dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti
globalisasi, pluralisme agama, dan gerakan ekstremisme. Di Indonesia, misalnya,
konsep ASWAJA diterapkan oleh organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU),
yang mengajarkan pentingnya menjaga tradisi keagamaan sekaligus terbuka
terhadap perkembangan zaman.10
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Al-Baqarah: 2 dan QS Al-Ahzab: 21.
[2]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.
[3]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1998), 32.
[4]
Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad (Riyadh: Maktabah al-Rushd,
1999), 90.
[5]
Watt, Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 201.
[6]
Al-Asy’ari, Abu Hasan, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Riyadh:
Maktabah al-Rushd, 2005), 15.
[7]
Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2007), 45.
[8]
Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(Kairo: Maktabah al-Irsyad, 1995), 1:20.
[9]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Faysal al-Tafriqah (Kairo: Dar al-Salam,
2003), 22.
[10]
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 14.
4.
Prinsip-Prinsip
Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah (ASWAJA) memiliki prinsip-prinsip akidah yang berfungsi sebagai pedoman untuk memahami dan mengamalkan
ajaran Islam. Prinsip ini menekankan keseimbangan antara teks wahyu (naql)
dan rasionalitas (aql),
serta berpegang pada metode pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan
para sahabat. Berikut adalah prinsip-prinsip utama akidah ASWAJA:
4.1. Keyakinan kepada Allah dan Sifat-Sifat-Nya
ASWAJA meyakini
bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna, tanpa ada keserupaan dengan
makhluk-Nya. Dalam memahami sifat-sifat Allah, ASWAJA mengambil pendekatan
moderat:
·
Mengimani sifat-sifat Allah
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah tanpa menyerupakan (tasybih)
atau menafikan (ta’thil).1
·
Prinsip ini dirangkum dalam
ungkapan Imam Malik bin Anas mengenai ayat Al-Qur'an yang berbunyi ar-Rahman
‘ala al-‘Arsy istawa (QS Thaha [20] ayat 5): "Istawa diketahui,
bagaimana caranya tidak diketahui (bila kayf), dan mengimaninya
adalah kewajiban."2
ASWAJA juga menolak
pendekatan ekstrem yang dilakukan oleh aliran-aliran lain, seperti Mu’tazilah yang menolak sifat Allah demi
menjaga keesaan-Nya, atau Mujassimah
yang menyamakan Allah dengan makhluk.3
4.2. Keimanan kepada Nabi dan Rasul
ASWAJA meyakini
bahwa para nabi dan rasul adalah manusia pilihan yang memiliki sifat maksum
(terjaga dari dosa besar) dan menyampaikan wahyu dengan jujur. Rasulullah Saw.
adalah nabi terakhir, dan tidak ada nabi
setelahnya (khatam an-nabiyyin).4
ASWAJA juga menegaskan pentingnya berpegang pada sunnah Rasulullah sebagai
pedoman hidup.
4.3. Keimanan kepada Kitab-Kitab Allah
ASWAJA meyakini
bahwa kitab-kitab Allah adalah wahyu yang diturunkan sebagai petunjuk bagi
manusia. Al-Qur'an diyakini sebagai kitab terakhir yang tidak mengalami
perubahan dan menjadi mukjizat terbesar Rasulullah Saw.5 Dalam hal ini, ASWAJA menolak pandangan
Mu'tazilah yang menganggap Al-Qur'an adalah makhluk, karena bertentangan dengan
teks dan tradisi Islam.6
4.4. Keyakinan kepada Hari Akhir dan Qada Qadar
ASWAJA menegaskan
keyakinan kepada kehidupan setelah mati, termasuk adanya surga, neraka, dan
kebangkitan. Hari Akhir adalah bagian penting dari akidah
yang mendorong manusia untuk berbuat baik di dunia sebagai bekal di akhirat.7
- Dalam
hal qada dan qadar, ASWAJA mengambil posisi moderat antara Jabariyah (yang
menafikan kehendak manusia) dan Qadariyah (yang menafikan kehendak Allah).
ASWAJA menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, tetapi
manusia tetap memiliki usaha (kasb) dalam menentukan
perbuatannya.8
4.5. Sikap terhadap Sahabat Nabi
ASWAJA menempatkan sahabat Nabi Saw. dalam kedudukan yang mulia
dan menghormati mereka sebagai
generasi terbaik yang menjadi perantara penyampaian wahyu. Prinsip ini
didasarkan pada firman Allah dalam QS At-Taubah [09] ayat 100, yang menyebutkan
keutamaan Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.9
- ASWAJA
menolak pandangan ekstrem Khawarij yang mengkafirkan sebagian sahabat dan
pandangan Syiah yang mencela sahabat tertentu seperti Abu Bakar, Umar, dan
Utsman.10
4.6. Moderasi dalam Pemahaman Akidah
Salah satu ciri khas
ASWAJA adalah moderasi (wasathiyyah) dalam memahami akidah
Islam. Moderasi ini berarti menghindari ekstremisme dalam teologi, seperti berlebihan dalam menggunakan akal (seperti
Mu'tazilah) atau terlalu
kaku dalam memahami teks (seperti Dhahiriyyah). Pendekatan moderat ini
memungkinkan ASWAJA untuk menjadi landasan persatuan umat Islam di tengah
berbagai perbedaan pendapat dan pemikiran.11
4.7. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
ASWAJA mengajarkan pentingnya menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan cara yang bijaksana. Prinsip ini
mengacu pada firman Allah dalam QS Ali Imran [03] ayat 104, “Dan hendaklah
di antara kamu ada segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah
dari yang mungkar.”12
Dengan
prinsip-prinsip ini, ASWAJA membentuk kerangka akidah yang seimbang dan
moderat, memungkinkan umat Islam
untuk menghadapi berbagai tantangan tanpa mengorbankan keimanan mereka.
Prinsip-prinsip ini juga menjadikan ASWAJA relevan dalam konteks modern,
terutama dalam menjaga kesatuan umat Islam dan menghindari konflik sektarian.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtisad
fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 46.
[2]
Malik bin Anas, Al-Muwatta'
(Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:20.
[3]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu
Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.
[4]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal
wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 35.
[5]
Al-Qur’an, QS Al-Baqarah:
2.
[6]
Al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqalat
al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2007), 10.
[7]
Al-Nawawi, Yahya bin
Sharaf, Syarh
Shahih Muslim (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 1:8.
[8]
Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab
al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), 78.
[9]
Al-Qur’an, QS At-Taubah:
100.
[10]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Faysal
al-Tafriqah (Kairo: Dar al-Salam, 2003), 22.
[11]
Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad
(Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1999), 92.
[12]
Al-Qur’an, QS Ali Imran
[03] ayat 104.
5.
Dimensi
Fikih dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Dimensi fikih dalam
Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) berfokus pada pengaturan aspek kehidupan umat
Islam melalui hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Nabi
Muhammad Saw. Pemahaman fikih dalam ASWAJA bersifat moderat dan fleksibel,
mempertimbangkan konteks sosial serta kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat. Dimensi ini
diwujudkan melalui empat mazhab fikih utama yang menjadi pijakan umat Islam
Sunni.
5.1. Pengakuan terhadap Empat Mazhab Fikih
ASWAJA mengakui
keberadaan empat mazhab fikih Sunni, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali, sebagai rujukan utama dalam masalah fikih. Keempat mazhab ini memiliki pendekatan metodologis
yang berbeda, tetapi semuanya berpegang pada prinsip-prinsip yang sama:
·
Mazhab
Hanafi:
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (699–767
M), mazhab ini dikenal dengan pendekatan rasional dan penggunaan qiyas secara
luas.1
·
Mazhab
Maliki:
Didirikan oleh Imam Malik bin Anas
(711–795 M), mazhab ini menekankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber
hukum.2
·
Mazhab
Syafi’i:
Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i (767–820 M), mazhab ini memperkenalkan metode sistematis dalam
ushul fikih dengan mengutamakan Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas.3
·
Mazhab
Hanbali:
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
(780–855 M), mazhab ini menekankan pada pemahaman literal terhadap teks-teks
Al-Qur'an dan sunnah.4
Keempat mazhab ini
merupakan representasi dari fleksibilitas ASWAJA dalam menghadapi berbagai konteks sosial dan budaya tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip syariat.
5.2. Metodologi Ijtihad dalam Fikih ASWAJA
ASWAJA mendorong
penerapan ijtihad
(usaha intelektual) untuk memahami dan menerapkan
hukum Islam dalam situasi baru yang tidak secara eksplisit diatur dalam
Al-Qur'an dan sunnah. Ijtihad dilakukan dengan
mempertimbangkan:
·
Al-Qur'an
sebagai sumber utama hukum.
·
Sunnah
Nabi sebagai penjelas Al-Qur'an.
·
Ijma'
(kesepakatan ulama) sebagai bukti otoritas kolektif umat Islam.
·
Qiyas
(analogi) sebagai metode logis untuk mengatasi permasalahan baru.5
Prinsip ini
memungkinkan ASWAJA untuk tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman, seperti isu-isu kontemporer
terkait keuangan syariah,
teknologi medis, dan hak asasi manusia.
5.3. Moderasi dalam Fikih: Keseimbangan antara Tekstual
dan Kontekstual
ASWAJA dikenal dengan pendekatan moderasi (wasathiyyah)
dalam fikih, yang menjaga keseimbangan antara pemahaman literal teks-teks agama
dan penyesuaian terhadap realitas sosial. Pendekatan ini terlihat dalam:
·
Penggunaan
Maslahah (Kemaslahatan Umum):
ASWAJA memprioritaskan kemaslahatan umat
dalam penerapan hukum syariat, seperti diterapkan oleh Imam Syafi’i dalam
konteks perubahan fatwa sesuai kondisi masyarakat.6
·
Penolakan
Ekstremisme:
ASWAJA menolak pendekatan ekstrem dalam
penerapan hukum Islam, seperti sikap berlebihan dalam menghukumi halal dan
haram.7
5.4. Hubungan antara Fikih dan Akhlak
Dimensi fikih dalam
ASWAJA tidak hanya berfokus pada hukum-hukum formal, tetapi juga menekankan
pentingnya akhlak
dalam menjalankan syariat. Contohnya, dalam fikih muamalah, meskipun hukum
perdagangan halal, akhlak seperti kejujuran dan keadilan tetap menjadi elemen
penting dalam praktiknya.8 Pendekatan ini menjadikan fikih ASWAJA
sebagai landasan yang membangun masyarakat yang harmonis dan beretika.
5.5. Peran Mazhab dalam Mempersatukan Umat Islam
Keberagaman
pendekatan fikih dalam ASWAJA mencerminkan kekayaan intelektual Islam dan
menjadi sarana persatuan umat. Tidak adanya pemaksaan untuk mengikuti satu mazhab tertentu menunjukkan
fleksibilitas ASWAJA dalam menghargai
perbedaan pendapat yang didasarkan pada dalil-dalil yang sahih. Prinsip ini
menjadi salah satu alasan utama mengapa ASWAJA mampu menjaga stabilitas umat
Islam selama berabad-abad, bahkan di tengah perbedaan pendapat yang tajam.9
Dengan dimensi fikih
yang moderat, fleksibel, dan berbasis pada nilai-nilai akhlak, ASWAJA mampu
menjawab berbagai tantangan kehidupan umat Islam. Pendekatan fikih
ini tidak hanya menjaga relevansi syariat Islam, tetapi juga menciptakan
kerangka hukum yang adaptif dan harmonis dalam berbagai konteks sosial dan
budaya.
Catatan Kaki
[1]
Abu Hanifah, Kitab
al-Fiqh al-Akbar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 10.
[2]
Malik bin Anas, Al-Muwatta'
(Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:30.
[3]
Al-Syafi’i, Muhammad bin
Idris, Al-Risalah
(Kairo: Dar al-Hadith, 2011), 20.
[4]
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad
Ahmad (Beirut: Al-Risalah al-Alamiyyah, 2001), 1:23.
[5]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 120.
[6]
Al-Syafi’i, Muhammad bin
Idris, Al-Umm
(Kairo: Dar al-Ma’arif, 2005), 1:40.
[7]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu
Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 18.
[8]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin
(Kairo: Dar al-Salam, 2010), 2:120.
[9]
Ibn Khaldun, Muqaddimah
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 212.
6.
Dimensi
Tasawuf dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Tasawuf, sebagai
salah satu dimensi dalam Islam, memiliki kedudukan penting dalam Ahlus Sunnah
Wal Jamaah (ASWAJA). Tasawuf dalam kerangka ASWAJA tidak hanya menekankan aspek
spiritual dan akhlak individu,
tetapi juga menjaga keterpaduan dengan syariat. Pendekatan ini memastikan bahwa
pengalaman spiritual yang dalam tetap berada dalam koridor ajaran Islam yang
murni, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dan diteruskan oleh generasi sahabat dan
tabi’in.
6.1. Definisi Tasawuf dalam ASWAJA
Tasawuf dalam ASWAJA
diartikan sebagai upaya untuk mencapai kebersihan hati (tazkiyatun
nafs) dan kedekatan kepada Allah (taqarrub ilallah) melalui pengamalan syariat yang benar dan konsisten.1
Konsep ini dirumuskan dengan pendekatan
yang moderat, menghindari ekstremisme dalam aspek mistis atau penyimpangan yang
tidak sejalan dengan Al-Qur'an dan sunnah.
Imam Al-Ghazali
mendefinisikan tasawuf sebagai perjalanan menuju Allah melalui penyucian hati
dari segala penyakit rohani, seperti riya, ujub, dan hasad, serta menggantinya
dengan sifat-sifat terpuji, seperti keikhlasan, tawakal, dan cinta kepada
Allah.2 Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara ibadah lahiriah
(fikih) dan ibadah batiniah (tasawuf).
6.2. Prinsip-Prinsip Tasawuf dalam ASWAJA
Tasawuf dalam ASWAJA
berlandaskan pada
prinsip-prinsip berikut:
1)
Keterpaduan dengan
Syariat:
Tasawuf ASWAJA tidak pernah memisahkan dimensi
spiritual dari syariat. Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh besar tasawuf
Sunni, menegaskan bahwa “Setiap jalan menuju Allah harus melalui syariat.”3
2)
Pembersihan Hati dan
Akhlak Mulia:
Tujuan utama tasawuf adalah membersihkan hati
dari penyakit rohani. Praktik seperti dzikir, muhasabah (introspeksi diri), dan
muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah) menjadi metode utama dalam mencapai
kesucian hati.4
3)
Konsep Ma’rifah:
Tasawuf dalam ASWAJA menekankan pentingnya ma’rifah
(pengenalan terhadap Allah) yang diperoleh melalui penghayatan mendalam
terhadap ibadah dan interaksi dengan masyarakat. Namun, ma’rifah ini
tidak pernah bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.5
6.3. Peran Tokoh-Tokoh Sufi dalam ASWAJA
ASWAJA diwarnai oleh
kontribusi tokoh-tokoh besar dalam tasawuf, yang mengembangkan ajaran tasawuf berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah.
Beberapa di antaranya adalah:
·
Imam
Al-Ghazali (1058–1111 M):
Dalam karyanya, Ihya Ulumuddin,
Al-Ghazali menjelaskan hubungan erat antara syariat dan tasawuf, dengan
menekankan pentingnya akhlak dalam menjalankan ibadah lahiriah.6
·
Imam
Junaid Al-Baghdadi (830–910 M):
Beliau dikenal sebagai bapak tasawuf Sunni, yang
menegaskan bahwa pengalaman mistis harus tetap dalam bingkai syariat. Junaid
juga mengajarkan fana' (meleburkan diri dalam kehendak Allah) dan baqa'
(kekal dalam ketaatan kepada Allah).7
·
Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilani (1077–1166 M):
Sebagai pendiri tarekat Qadiriyah, beliau dikenal
dengan pengajarannya yang menyeimbangkan dimensi spiritual dengan pengamalan
syariat secara ketat.8
6.4. Moderasi dalam Tasawuf
Tasawuf dalam ASWAJA
menghindari dua ekstrem
yang sering muncul dalam praktik
spiritual:
·
Ekstremisme
Mistis:
Seperti ajaran hulul (inkarnasi Tuhan
dalam diri manusia) yang dianut oleh aliran tertentu, yang ditolak oleh ASWAJA
karena bertentangan dengan akidah tauhid.9
·
Penolakan
Total terhadap Tasawuf:
Sikap sebagian kelompok yang menolak
tasawuf sama sekali juga tidak sejalan dengan ASWAJA, karena tasawuf merupakan
bagian integral dari pengamalan Islam yang utuh.10
6.5. Kontribusi Tasawuf terhadap Masyarakat
Tasawuf dalam ASWAJA
tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki kontribusi sosial yang besar:
·
Membangun
Akhlak Masyarakat: Tasawuf mengajarkan pentingnya sifat-sifat
mulia, seperti kasih sayang, kejujuran, dan keadilan, yang menjadi dasar
terciptanya masyarakat yang harmonis.
·
Melakukan
Dakwah yang Bijaksana: Banyak tokoh sufi yang memainkan peran
besar dalam penyebaran Islam, seperti Wali Songo di Nusantara, yang menggunakan
pendekatan tasawuf untuk menarik simpati masyarakat setempat.11
Dengan
prinsip-prinsip moderat dan keterpaduan antara syariat dan spiritualitas,
tasawuf dalam ASWAJA menjadi jalan untuk menciptakan individu yang saleh
sekaligus masyarakat yang harmonis. Tasawuf ini relevan dalam kehidupan modern, di mana umat Islam membutuhkan pendekatan spiritual yang dapat menjawab
tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai inti Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya
Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 1:15.
[2]
Ibid., 2:120.
[3]
Junaid Al-Baghdadi, Risalah
Junaidiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 22.
[4]
Al-Kalabadzi, Abu Bakr, At-Ta'aruf
li Madzhab Ahl at-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2007), 30.
[5]
Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, 3:45.
[6]
Ibid., 1:10.
[7]
Junaid Al-Baghdadi, Risalah
Junaidiyah, 25.
[8]
Abdul Qadir Al-Jilani, Futuh
al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), 12.
[9]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal
wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 45.
[10]
Ibn Taymiyyah, Majmu’
Fatawa (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2001), 11:18.
[11]
Ricklefs, M.C., A
History of Modern Indonesia Since c.1200 (London: Macmillan, 2008),
15.
7.
Tantangan
dan Relevansi Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah (ASWAJA) sebagai paradigma mayoritas umat Islam menghadapi berbagai
tantangan yang semakin kompleks di era modern. Tantangan ini muncul dari
dinamika internal umat Islam, seperti perpecahan sektarian, hingga tekanan eksternal, seperti
globalisasi dan perubahan
sosial budaya. Meskipun demikian, pendekatan moderat dan inklusif ASWAJA
menjadikannya tetap relevan sebagai panduan bagi umat Islam dalam menghadapi
tantangan zaman.
7.1. Tantangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern
1)
Meningkatnya
Ekstremisme dan Radikalisme
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi
ASWAJA adalah munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam.
Gerakan ini seringkali menyimpang dari prinsip moderasi (wasathiyyah)
ASWAJA dan mengutamakan kekerasan dalam mencapai tujuan mereka.1
Ekstremisme ini bukan hanya mengancam persatuan umat Islam, tetapi juga merusak
citra Islam di mata dunia.
2)
Sekularisme dan
Liberalisme Agama
Di sisi lain, sekularisme dan liberalisme agama
juga menjadi tantangan serius bagi ASWAJA. Pandangan yang menafikan peran agama
dalam kehidupan publik sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip ASWAJA
yang menekankan pentingnya syariat dalam mengatur kehidupan individu dan
masyarakat.2
3)
Globalisasi dan
Pengaruh Budaya Barat
Era globalisasi membawa pengaruh budaya Barat
yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. ASWAJA menghadapi
tantangan untuk mempertahankan identitas keislaman umat tanpa menolak
perkembangan teknologi dan budaya modern yang bermanfaat.3
4)
Perpecahan Sektarian di
Kalangan Umat Islam
Konflik sektarian antara Sunni dan Syiah, serta
antara kelompok Sunni sendiri, seperti Salafi dan tradisionalis, seringkali
melemahkan persatuan umat Islam. ASWAJA berusaha untuk menjadi jalan tengah
yang mempromosikan dialog dan toleransi antarmazhab.4
5)
Isu-Isu Kontemporer
Tantangan lainnya meliputi isu-isu kontemporer
seperti feminisme, hak asasi manusia, ekologi, dan bioetika. Umat Islam
membutuhkan pendekatan yang tetap berlandaskan syariat tetapi mampu menjawab
tantangan zaman dengan relevansi tinggi.5
7.2. Relevansi Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern
1)
Pendekatan Moderat dan
Inklusif
Prinsip moderasi (wasathiyyah) ASWAJA
menjadi landasan utama dalam menghadapi ekstremisme maupun liberalisme.
Moderasi ini tercermin dalam kemampuan ASWAJA untuk mengintegrasikan teks-teks
agama dengan realitas kontemporer tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.6
2)
Keseimbangan antara
Tradisi dan Modernitas
ASWAJA mempromosikan pendekatan yang seimbang
antara mempertahankan tradisi keagamaan dan menerima inovasi yang tidak
bertentangan dengan syariat. Misalnya, dalam bidang pendidikan, lembaga-lembaga
ASWAJA seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia menggabungkan kurikulum klasik
dengan ilmu modern untuk mencetak generasi yang kompeten.7
3)
Menjaga Persatuan Umat
Dengan sifatnya yang moderat, ASWAJA mampu
menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam dari berbagai latar belakang
mazhab. Sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan fikih dan teologi
menjadikan ASWAJA sebagai model ideal dalam merawat persatuan umat Islam.8
4)
Penerapan Nilai-Nilai Universal
Islam
ASWAJA menekankan nilai-nilai universal Islam,
seperti keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,
yang relevan dengan kebutuhan global saat ini. Misalnya, ASWAJA mendukung upaya
melindungi lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab manusia sebagai khalifah di
bumi.9
5)
Dakwah yang Bijaksana
dan Adaptif
ASWAJA mengedepankan dakwah yang penuh hikmah (bil-hikmah)
dan dialog (mau’izhah hasanah), sebagaimana diperintahkan dalam QS
An-Nahl: 125. Pendekatan ini memungkinkan ASWAJA untuk menghadapi tantangan
dakwah di masyarakat modern yang pluralistik.10
7.3. Strategi Menghadapi Tantangan
Untuk menjaga
relevansi dan eksistensi, ASWAJA perlu menerapkan strategi-strategi berikut:
·
Memperkuat
Pendidikan Islam Moderat:
Mengembangkan kurikulum pendidikan yang
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, sehingga generasi muda mampu
menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan identitas keislaman mereka.11
·
Meningkatkan
Dialog Antarmazhab:
Mengadakan dialog yang intensif antara
kelompok-kelompok Islam untuk mengurangi konflik sektarian.
·
Memanfaatkan
Teknologi Digital:
ASWAJA perlu memanfaatkan teknologi
digital untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi dan menghadapi narasi
ekstremisme secara global.12
Dengan pendekatan
moderat dan nilai-nilai yang relevan, ASWAJA mampu menjadi solusi atas berbagai
tantangan di era modern. Keberlanjutan ajaran ASWAJA tidak hanya bergantung
pada konsistensi pengamalan syariat, tetapi juga pada kemampuan umat Islam
untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan
identitas keislamannya.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu
Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 20.
[2]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 115.
[3]
Esposito, John L., Islam
and the Modern World (Oxford: Oxford University Press, 2004), 45.
[4]
Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal
wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 38.
[5]
Kamali, Mohammad Hashim, Shari’ah
Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 110.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh
Al-Wasathiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2002), 30.
[7]
Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 40.
[8]
Ibn Khaldun, Muqaddimah
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 200.
[9]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya
Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 3:150.
[10]
Al-Qur’an, QS An-Nahl: 125.
[11]
Ricklefs, M.C., A
History of Modern Indonesia Since c.1200 (London: Macmillan, 2008),
90.
[12]
Esposito, John L., Islam:
The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2001), 75.
8.
Kesimpulan
Ahlus Sunnah Wal
Jamaah (ASWAJA) merupakan landasan utama bagi mayoritas umat Islam dalam
memahami dan mengamalkan ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Muhammad Saw.
Sebagai representasi Islam yang moderat dan inklusif, ASWAJA telah berperan penting dalam membentuk peradaban
Islam yang harmonis, toleran, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
8.1. Rangkuman Konsep dan Prinsip ASWAJA
ASWAJA menekankan
tiga pilar utama dalam Islam: akidah, fikih, dan tasawuf. Akidah ASWAJA
berfokus pada pemahaman yang lurus terhadap tauhid dengan menolak ekstremisme
teologis, seperti tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta’thil
(menafikan sifat-sifat Allah).1 Dalam fikih, ASWAJA mengintegrasikan
fleksibilitas ijtihad dengan kepatuhan
terhadap syariat melalui empat mazhab fikih utama yang diakui secara luas.2
Sementara itu, dalam tasawuf, ASWAJA menekankan penyucian hati yang selaras
dengan syariat, sehingga mampu menciptakan keseimbangan antara ibadah lahiriah
dan batiniah.3
Ketiga dimensi ini
menjadikan ASWAJA sebagai pedoman yang utuh, menghindari reduksi ajaran Islam
hanya pada aspek formal atau spiritual saja.
8.2. Relevansi ASWAJA di Era Modern
ASWAJA tetap relevan
dalam menghadapi tantangan kontemporer, seperti ekstremisme, sekularisme, dan globalisasi. Pendekatan
moderat (wasathiyyah)
yang menjadi ciri khas ASWAJA menawarkan solusi untuk menjaga persatuan umat
Islam di tengah perbedaan pandangan.4
Prinsip moderasi ini juga memberikan ruang untuk menjawab isu-isu kontemporer,
seperti feminisme, hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan, dengan tetap berlandaskan pada
nilai-nilai syariat yang universal.5
Dalam konteks
global, ASWAJA berperan sebagai jembatan untuk membangun dialog lintas agama
dan budaya, memperjuangkan keadilan, dan mempromosikan perdamaian. Hal ini menjadikan ASWAJA bukan hanya
relevan bagi umat Islam, tetapi juga sebagai model kontribusi Islam terhadap masyarakat dunia.
8.3. Pentingnya Pemahaman Mendalam terhadap ASWAJA
Untuk menjaga eksistensinya,
umat Islam perlu memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ASWAJA dengan benar.
Pendidikan Islam berbasis ASWAJA, seperti yang dikembangkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan tradisional maupun modern, menjadi kunci dalam
membangun generasi yang mampu
menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan identitas keislamannya.6
Selain itu, dialog
antarmazhab dan antaragama perlu terus dikembangkan untuk mengurangi potensi konflik sektarian dan memperkuat ukhuwah
Islamiyah. ASWAJA juga harus memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan
dakwah moderat yang relevan dengan konteks
global.
8.4. Harapan untuk Umat Islam
Sebagai panduan
hidup yang holistik, ASWAJA diharapkan dapat terus menjadi sumber inspirasi
bagi umat Islam untuk menjaga akidah yang lurus, menjalankan syariat dengan
bijaksana, dan mengembangkan spiritualitas yang mendalam. Dengan tetap
berpegang pada nilai-nilai moderasi dan inklusivitas, ASWAJA mampu menjawab
berbagai tantangan zaman sekaligus
menjaga harmoni di tengah keberagaman umat manusia.
Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw., “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Karena itu,
ikutilah jamaah.”7 Prinsip inilah yang menjadi landasan ASWAJA untuk menjaga persatuan umat
Islam dan memperkokoh peran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtisad
fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 46.
[2]
Al-Syafi’i, Muhammad bin
Idris, Al-Risalah
(Kairo: Dar al-Hadith, 2011), 25.
[3]
Junaid Al-Baghdadi, Risalah
Junaidiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 18.
[4]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh
Al-Wasathiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2002), 30.
[5]
Kamali, Mohammad Hashim, Shari’ah
Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 112.
[6]
Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 35.
[7]
Al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi, Kitab Al-Fitan, No. 2167.
Daftar Pustaka (APA Style)
Abu Hanifah. (1997). Kitab al-Fiqh al-Akbar.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Abdul Qadir Al-Jilani. (2010). Futuh al-Ghaib.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Asy’ari, A. H. (2007). Maqalat al-Islamiyyin.
Beirut: Dar al-Ma'arif.
Al-Asy’ari, A. H. (2005). Al-Ibanah ‘an Ushul
ad-Diyanah. Riyadh: Maktabah al-Rushd.
Al-Baghdadi, A. Q. (2001). Al-Farqu Bainal Firaq.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Ghazali, A. H. (1995). Al-Iqtisad fi
al-I’tiqad. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Ghazali, A. H. (1997). Al-Mustashfa.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Ghazali, A. H. (2010). Ihya Ulumuddin.
Kairo: Dar al-Salam.
Al-Juwayni, A. M. (1999). Al-Irshad. Riyadh:
Maktabah al-Rushd.
Al-Kalabadzi, A. B. (2007). At-Ta'aruf li
Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Maturidi, A. M. (2007). Kitab al-Tauhid.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Nawawi, Y. S. (1995). Syarh Shahih Muslim.
Kairo: Dar al-Hadith.
Al-Nawawi, Y. S. (1995). Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab. Kairo: Maktabah al-Irsyad.
Al-Qaradawi, Y. (2002). Fiqh Al-Wasathiyyah.
Kairo: Dar al-Shuruq.
Al-Syafi’i, M. I. (2005). Al-Umm. Kairo: Dar
al-Ma’arif.
Al-Syafi’i, M. I. (2011). Al-Risalah. Kairo:
Dar al-Hadith.
Al-Shahrastani, M. (1998). Al-Milal wan-Nihal.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Esposito, J. L. (2001). Islam: The Straight Path.
Oxford: Oxford University Press.
Esposito, J. L. (2004). Islam and the Modern
World. Oxford: Oxford University Press.
Ibn Hanbal, A. (2001). Musnad Ahmad. Beirut:
Al-Risalah al-Alamiyyah.
Ibn Khaldun. (2005). Muqaddimah. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah.
Junaid Al-Baghdadi. (1998). Risalah Junaidiyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An
Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
Malik bin Anas. (2010). Al-Muwatta'. Kairo:
Dar al-Hadith.
Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern
Indonesia Since c.1200. London: Macmillan.
Sahal Mahfudh. (2004). Nuansa Fiqh Sosial.
Surabaya: Khalista.
Watt, W. M. (1973). The Formative Period of
Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Daftar Kitab Rujukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
1)
Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah
o
Penulis: Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari (873–936 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
merupakan karya utama Imam Al-Asy’ari yang menjelaskan prinsip-prinsip akidah
Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Al-Ibanah menyanggah pandangan kelompok Mu’tazilah dan
menegaskan keyakinan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah.
2)
Al-Farqu Bainal Firaq
o
Penulis: Imam Abdul
Qahir Al-Baghdadi (980–1037 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
menguraikan berbagai aliran dalam Islam, membandingkan keyakinan Ahlus Sunnah
Wal Jamaah dengan kelompok-kelompok lain, dan menegaskan keunggulan akidah
Sunni.
3)
Kitab al-Tauhid
o
Penulis: Imam Abu
Mansur Al-Maturidi (853–944 M)
o
Deskripsi: Karya ini
menjelaskan prinsip-prinsip tauhid dan menjawab pandangan-pandangan yang
menyimpang dari akidah Islam. Al-Maturidi menekankan peran akal dalam memahami
agama tanpa mengabaikan wahyu.
4)
Ihya Ulumuddin
o
Penulis: Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Deskripsi: Sebuah
ensiklopedia yang mengintegrasikan aspek syariat dan tasawuf. Ihya membahas
pembersihan hati, akhlak, dan pendekatan spiritual sesuai dengan Ahlus Sunnah
Wal Jamaah.
5)
Al-Milal wan-Nihal
o
Penulis: Imam
Muhammad Al-Shahrastani (1086–1153 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
menyajikan analisis komprehensif tentang berbagai keyakinan dan aliran dalam
Islam serta agama-agama lain. Al-Shahrastani memberikan pembelaan terhadap
prinsip ASWAJA di tengah berbagai pandangan teologis.
6)
Al-Risalah
o
Penulis: Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767–820 M)
o
Deskripsi: Karya ini
adalah fondasi ilmu ushul al-fiqh dalam Islam. Imam Syafi’i menetapkan metode
pengambilan hukum yang sistematis berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan
qiyas.
7)
Al-Muwatta’
o
Penulis: Imam Malik
bin Anas (711–795 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
berisi kumpulan hadis-hadis dan fatwa Imam Malik yang menggambarkan praktik
syariat di Madinah. Al-Muwatta’ menjadi salah satu rujukan utama dalam fikih
Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
8)
Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul
o
Penulis: Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Deskripsi: Sebuah
karya monumental dalam ilmu ushul al-fiqh yang mengintegrasikan logika
Aristotelian dengan prinsip-prinsip Islam, menjadi referensi utama dalam
pengambilan hukum bagi ulama Sunni.
9)
Al-Luma’ fi al-Tasawwuf
o
Penulis: Imam Abu
Nasr Al-Sarraj (?-988 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
menguraikan prinsip-prinsip tasawuf yang sesuai dengan syariat, menekankan
pentingnya akhlak mulia dan pembersihan hati dalam pendekatan spiritual Ahlus
Sunnah Wal Jamaah.
10)
Futuh al-Ghaib
o
Penulis: Imam Abdul
Qadir Al-Jilani (1077–1166 M)
o
Deskripsi: Karya ini
berisi nasehat spiritual dan pedoman bagi para salik (pencari jalan Allah)
untuk mendekatkan diri kepada Allah sambil tetap mematuhi hukum syariat.
11)
Faysal al-Tafriqah
o
Penulis: Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Deskripsi: Kitab ini
membahas perbedaan antara ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, serta menguatkan
posisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam memahami agama secara holistik.
12)
Al-Mughni
o
Penulis: Imam Ibn
Qudamah Al-Maqdisi (1147–1223 M)
o
Deskripsi: Kitab fikih
Hanbali yang mendalam dan sistematis. Al-Mughni adalah referensi penting dalam
mazhab Hanbali dan sering digunakan oleh ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
13)
Kasyf al-Mahjub
o
Penulis: Imam Ali
bin Utsman Al-Hujwiri (?-1077 M)
o
Deskripsi: Sebuah
karya klasik tasawuf yang menjelaskan teori-teori spiritualitas dalam Islam dan
menekankan pentingnya keselarasan antara syariat dan hakikat.
14)
Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i
o
Penulis: Imam
Alauddin Al-Kasani (?-1191 M)
o
Deskripsi: Kitab fikih
Mazhab Hanafi yang menjadi rujukan utama dalam memahami hukum Islam dalam
mazhab tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar