Kamis, 26 Desember 2024

Ahlus Sunnah Wal Jamaah: Pilar Moderasi Islam dalam Sejarah, Konsep, dan Tantangan Modern

 Ahlus Sunnah Wal Jamaah

“Pilar Moderasi Islam dalam Sejarah, Konsep, dan Tantangan Modern”

Alihkan ke-Ilmu Kalam Sunni


Sunni, atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah kelompok mayoritas dalam Islam yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Rasulullah Muhammad Saw sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta memahami ajaran tersebut sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan ulama salafus shalih. Mereka menekankan pentingnya mengikuti sunnah (tradisi Nabi) dan menolak segala bentuk bid‘ah (inovasi dalam agama). Sunni juga dikenal karena menerima keabsahan khilafah yang dimulai dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin.¹

Kelompok ini disebut Sunni karena mereka berpegang teguh pada sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabat beliau. Istilah sunnah dalam konteks ini merujuk pada ajaran, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw yang menjadi panduan utama dalam menjalankan agama Islam. Penambahan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Golongan Sunnah dan Jamaah) mencerminkan komitmen mereka untuk menjaga tradisi Rasulullah Saw dan persatuan umat Islam, sebagaimana dipahami oleh generasi pertama Islam, yaitu sahabat dan tabi'in.²

Secara historis, istilah ini mulai dikenal secara luas untuk membedakan kelompok mayoritas umat Islam dari kelompok-kelompok lain yang muncul kemudian, seperti Syiah dan Khawarij. Nama ini menekankan keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam aspek teologi, ibadah, dan kehidupan sehari-hari, serta menjunjung tinggi konsensus (ijma') para ulama dalam memahami ajaran Islam.³

Dalam aspek teologi, Sunni biasanya merujuk pada salah satu dari tiga mazhab teologi: Asy'ariyah, Maturidiyah, atau Salafiyah. Mereka memegang prinsip moderasi (tawasuth), keseimbangan (i'tidal), dan toleransi (tasamuh) dalam berbagai dimensi keislaman.⁴ Sunni juga disebut Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk menegaskan bahwa mereka menghindari perpecahan dan menjaga kesatuan (jamaah), sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Saw:

"Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; semua akan masuk neraka kecuali satu golongan." Para sahabat bertanya, 'Siapa mereka, wahai Rasulullah?' Rasulullah menjawab, 'Mereka adalah golongan yang mengikuti aku dan para sahabatku.' (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).⁵

Catatan Kaki

[1]              Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1977), 1–5.

[2]              Al-Sayyid al-Sharif al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 58.

[3]              Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1989), 98–100.

[4]              Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 9:233–234.

[5]              Muhammad ibn Isa al-Tirmidhi, Sunan at-Tirmidhi, Hadis no. 2641.


PEMBAHASAN

“Ahlus Sunnah Wal Jamaah”


1.           Pendahuluan

Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) merupakan terminologi yang sering digunakan untuk merujuk pada golongan mayoritas umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya secara konsisten. Kata “Ahlus Sunnah” berarti “pengikut sunnah,” sedangkan “Wal Jamaah” mengacu pada kesatuan atau komunitas umat yang berpijak pada kebenaran.1 Dalam tradisi Islam, istilah ini tidak hanya mencakup keyakinan teologis, tetapi juga pendekatan moderat yang diterapkan dalam aspek fikih, akidah, dan akhlak.

Pemahaman terhadap ASWAJA menjadi penting, terutama dalam menghadapi dinamika keberagamaan yang semakin kompleks. ASWAJA berperan sebagai poros moderasi (wasathiyyah) yang menjembatani berbagai perbedaan pendapat dalam Islam. Konsep ini mendorong harmoni di tengah-tengah keberagaman umat dan menjaga keseimbangan antara teks-teks keagamaan (naql) dengan rasionalitas (aql).2 Dengan demikian, memahami ASWAJA secara mendalam dapat membantu umat Islam menghadapi tantangan ideologis, baik dari internal maupun eksternal, seperti ekstremisme dan sekularisme.

Secara historis, istilah ASWAJA muncul untuk membedakan diri dari aliran-aliran teologis yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Munculnya perbedaan ini dipengaruhi oleh dinamika politik dan teologis sejak masa Khulafaurasyidin hingga era Abbasiyah, di mana aliran seperti Khawarij dan Mu’tazilah mulai berkembang.3 Para ulama terdahulu, seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, berperan penting dalam merumuskan fondasi teologis ASWAJA yang menjadi acuan utama umat Islam hingga saat ini.4

Dalam konteks modern, ASWAJA tetap relevan sebagai panduan bagi umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Pandangan moderat ASWAJA menjadi solusi atas berbagai tantangan global, termasuk pluralisme agama, konflik sektarian, dan gelombang pemikiran liberal yang kerap menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan memberikan penjelasan komprehensif tentang konsep, sejarah, dan relevansi ASWAJA dalam perspektif Islam kontemporer.


Catatan Kaki

[1]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.

[2]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 1:83.

[3]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 32.

[4]              Al-Asy'ari, Abu Hasan, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 10.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaah

2.1.       Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Secara linguistik, istilah "Ahlus Sunnah Wal Jamaah" berasal dari tiga kata: Ahl (kelompok atau komunitas), Sunnah (jalan hidup, tradisi, atau praktik yang diajarkan Rasulullah Muhammad Saw.), dan Wal Jamaah (kesatuan atau konsensus umat Islam). Dalam konteks syariah, istilah ini mengacu pada golongan umat Islam yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw. dan memahami agama berdasarkan metode para sahabat, tabi’in, dan ulama yang mengikuti jejak mereka.1

Imam Al-Baghdadi mendefinisikan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagai kelompok yang senantiasa berpegang pada kebenaran dan menjauhi penyimpangan, baik dalam akidah, fikih, maupun akhlak. Menurutnya, ASWAJA adalah “kelompok yang menempuh jalan Rasulullah dan para sahabatnya dalam segala aspek keagamaan.”2 Pandangan ini diperkuat oleh Imam Al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa ASWAJA mengikuti prinsip moderasi dan keseimbangan dalam mengamalkan agama.3

2.2.       Konsep Dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Konsep dasar ASWAJA mencakup tiga dimensi utama: akidah, fikih, dan akhlak. Ketiganya menjadi pilar penting yang membentuk identitas ASWAJA.

1)                  Akidah

Akidah ASWAJA didasarkan pada prinsip-prinsip yang diajarkan Rasulullah Saw. dan dipahami oleh generasi sahabat. Akidah ini menekankan keyakinan kepada Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tanzih). Sebagai contoh, konsep istawa (bersemayam) dalam Al-Qur’an dipahami tanpa menanyakan “bagaimana”-nya (bila kayf), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik.4

Selain itu, ASWAJA mengakui adanya qada dan qadar (takdir) sebagai bagian dari keimanan. Pemahaman ini menjaga keseimbangan antara usaha manusia (kasb) dan kehendak Allah.5

2)                  Fikih

Dalam dimensi fikih, ASWAJA mengakui empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Keempat mazhab ini mengedepankan pendekatan tekstual dan rasional dalam memahami hukum Islam. Prinsip ini memungkinkan ASWAJA untuk bersikap fleksibel dalam menghadapi berbagai konteks sosial tanpa meninggalkan nilai-nilai agama.6

3)                  Akhlak

ASWAJA menekankan pentingnya akhlak yang mulia sebagai refleksi keimanan. Ajaran akhlak ini mencakup kesantunan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan. Konsep ini terlihat dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan dengan hikmah dan nasihat yang baik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS An-Nahl [16] ayat 125).7

2.3.       Perbedaan dengan Aliran Lain

ASWAJA berbeda dengan aliran-aliran teologis lainnya, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah. Sebagai contoh, Khawarij cenderung ekstrem dalam memahami agama, sedangkan Mu’tazilah mengutamakan rasionalitas hingga mengesampingkan teks-teks wahyu.8 Di sisi lain, ASWAJA menyeimbangkan antara teks dan rasionalitas dengan mengutamakan kesatuan umat Islam.

Konsep ASWAJA tidak hanya relevan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga dalam menghadapi tantangan modern. Pendekatan moderat dan inklusif ASWAJA membantu menciptakan harmoni di tengah keberagaman, baik dalam internal umat Islam maupun dalam interaksi dengan masyarakat global.


Catatan Kaki

[1]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 23.

[2]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 15.

[3]              Al-Asy'ari, Abu Hasan, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2007), 33.

[4]              Malik bin Anas, Al-Muwatta' (Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:23.

[5]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 2:83.

[6]              Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Kairo: Maktabah al-Irsyad, 1995), 1:10.

[7]              Al-Qur’an, QS An-Nahl: 125.

[8]              Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1999), 85.


3.           Sejarah Perkembangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah

3.1.       Masa Rasulullah Saw. dan Khulafaurasyidin

Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) berakar pada ajaran dan praktik yang diteladankan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dan diteruskan oleh para sahabat beliau. Pada masa awal Islam, ajaran agama bersifat integral, tanpa perpecahan dalam akidah, fikih, atau etika. Rasulullah Saw. menegaskan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnahnya sebagai pedoman hidup yang lurus.1 Masa Khulafaurasyidin juga menjadi tonggak penting dalam sejarah ASWAJA karena mereka menerapkan prinsip-prinsip syura (musyawarah) dan keadilan sebagai fondasi pemerintahan yang selaras dengan nilai-nilai Islam.2

3.2.       Kemunculan Perpecahan Teologis

Setelah era Khulafaurasyidin, dinamika politik dan teologis mulai memunculkan perpecahan di kalangan umat Islam. Perpecahan ini dipicu oleh peristiwa besar seperti pembunuhan Utsman bin Affan dan Perang Shiffin yang melibatkan Ali bin Abi Thalib.3 Dari konflik ini, muncul kelompok Khawarij yang ekstrem dalam pandangan mereka, serta Syiah yang memiliki doktrin khusus tentang imamah (kepemimpinan).4 Selain itu, pemikiran Mu'tazilah berkembang sebagai respons terhadap berbagai pertanyaan teologis yang kompleks. Mu’tazilah menekankan rasionalitas dan menolak aspek-aspek tertentu dari akidah Islam, seperti sifat Allah dan penciptaan Al-Qur'an, yang menjadi polemik besar dalam sejarah teologi Islam.5

3.3.       Perumusan Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah secara eksplisit mulai digunakan sebagai identitas teologis pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini, muncul kebutuhan untuk membedakan ajaran Islam yang murni dari aliran-aliran teologis yang dianggap menyimpang. Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (873–936 M) dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M) berperan besar dalam merumuskan fondasi teologi ASWAJA. Al-Asy'ari memulai gerakan ini setelah keluar dari Mu'tazilah dan menegaskan pentingnya harmoni antara teks wahyu (naql) dan akal (aql).6 Di sisi lain, Al-Maturidi mengembangkan pendekatan yang sejalan dengan Al-Asy'ari tetapi dengan penekanan berbeda pada peran akal dalam memahami agama.7

3.4.       Penerapan Fikih dalam ASWAJA

Pada era yang sama, empat mazhab fikih Sunni mulai terbentuk: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mazhab-mazhab ini menawarkan kerangka hukum yang memungkinkan umat Islam untuk menjalankan agama dengan fleksibilitas sesuai dengan konteks sosial dan budaya mereka. Keempat mazhab ini diakui sebagai representasi fikih dalam ASWAJA karena pendekatan mereka yang berbasis pada Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas.8

3.5.       Peran ASWAJA dalam Dinamika Politik dan Sosial

ASWAJA juga memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas umat Islam selama pergolakan politik dan sektarian, terutama pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Ketika kelompok ekstrem seperti Khawarij dan aliran rasionalis seperti Mu'tazilah mengancam persatuan umat, ulama-ulama ASWAJA berdiri di tengah untuk menawarkan pandangan moderat yang mengutamakan persatuan umat Islam. Prinsip moderasi (wasathiyyah) yang dipegang oleh ASWAJA menjadi landasan dalam meredam konflik dan membangun dialog antar kelompok.9

3.6.       Perkembangan ASWAJA di Era Modern

Pada era modern, ASWAJA terus beradaptasi dengan tantangan zaman. Nilai-nilai moderasi, toleransi, dan inklusivitas yang menjadi ciri khas ASWAJA tetap relevan dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti globalisasi, pluralisme agama, dan gerakan ekstremisme. Di Indonesia, misalnya, konsep ASWAJA diterapkan oleh organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang mengajarkan pentingnya menjaga tradisi keagamaan sekaligus terbuka terhadap perkembangan zaman.10


Catatan Kaki

[1]              Al-Qur’an, QS Al-Baqarah: 2 dan QS Al-Ahzab: 21.

[2]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.

[3]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 32.

[4]              Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1999), 90.

[5]              Watt, Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 201.

[6]              Al-Asy’ari, Abu Hasan, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 15.

[7]              Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), 45.

[8]              Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Kairo: Maktabah al-Irsyad, 1995), 1:20.

[9]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Faysal al-Tafriqah (Kairo: Dar al-Salam, 2003), 22.

[10]          Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 14.


4.           Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) memiliki prinsip-prinsip akidah yang berfungsi sebagai pedoman untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Prinsip ini menekankan keseimbangan antara teks wahyu (naql) dan rasionalitas (aql), serta berpegang pada metode pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat. Berikut adalah prinsip-prinsip utama akidah ASWAJA:

4.1.       Keyakinan kepada Allah dan Sifat-Sifat-Nya

ASWAJA meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna, tanpa ada keserupaan dengan makhluk-Nya. Dalam memahami sifat-sifat Allah, ASWAJA mengambil pendekatan moderat:

·                     Mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah tanpa menyerupakan (tasybih) atau menafikan (ta’thil).1

·                     Prinsip ini dirangkum dalam ungkapan Imam Malik bin Anas mengenai ayat Al-Qur'an yang berbunyi ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS Thaha [20] ayat 5): "Istawa diketahui, bagaimana caranya tidak diketahui (bila kayf), dan mengimaninya adalah kewajiban."2

ASWAJA juga menolak pendekatan ekstrem yang dilakukan oleh aliran-aliran lain, seperti Mu’tazilah yang menolak sifat Allah demi menjaga keesaan-Nya, atau Mujassimah yang menyamakan Allah dengan makhluk.3

4.2.       Keimanan kepada Nabi dan Rasul

ASWAJA meyakini bahwa para nabi dan rasul adalah manusia pilihan yang memiliki sifat maksum (terjaga dari dosa besar) dan menyampaikan wahyu dengan jujur. Rasulullah Saw. adalah nabi terakhir, dan tidak ada nabi setelahnya (khatam an-nabiyyin).4 ASWAJA juga menegaskan pentingnya berpegang pada sunnah Rasulullah sebagai pedoman hidup.

4.3.       Keimanan kepada Kitab-Kitab Allah

ASWAJA meyakini bahwa kitab-kitab Allah adalah wahyu yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Qur'an diyakini sebagai kitab terakhir yang tidak mengalami perubahan dan menjadi mukjizat terbesar Rasulullah Saw.5 Dalam hal ini, ASWAJA menolak pandangan Mu'tazilah yang menganggap Al-Qur'an adalah makhluk, karena bertentangan dengan teks dan tradisi Islam.6

4.4.       Keyakinan kepada Hari Akhir dan Qada Qadar

ASWAJA menegaskan keyakinan kepada kehidupan setelah mati, termasuk adanya surga, neraka, dan kebangkitan. Hari Akhir adalah bagian penting dari akidah yang mendorong manusia untuk berbuat baik di dunia sebagai bekal di akhirat.7

  • Dalam hal qada dan qadar, ASWAJA mengambil posisi moderat antara Jabariyah (yang menafikan kehendak manusia) dan Qadariyah (yang menafikan kehendak Allah). ASWAJA menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, tetapi manusia tetap memiliki usaha (kasb) dalam menentukan perbuatannya.8

4.5.       Sikap terhadap Sahabat Nabi

ASWAJA menempatkan sahabat Nabi Saw. dalam kedudukan yang mulia dan menghormati mereka sebagai generasi terbaik yang menjadi perantara penyampaian wahyu. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah dalam QS At-Taubah [09] ayat 100, yang menyebutkan keutamaan Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.9

  • ASWAJA menolak pandangan ekstrem Khawarij yang mengkafirkan sebagian sahabat dan pandangan Syiah yang mencela sahabat tertentu seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman.10

4.6.       Moderasi dalam Pemahaman Akidah

Salah satu ciri khas ASWAJA adalah moderasi (wasathiyyah) dalam memahami akidah Islam. Moderasi ini berarti menghindari ekstremisme dalam teologi, seperti berlebihan dalam menggunakan akal (seperti Mu'tazilah) atau terlalu kaku dalam memahami teks (seperti Dhahiriyyah). Pendekatan moderat ini memungkinkan ASWAJA untuk menjadi landasan persatuan umat Islam di tengah berbagai perbedaan pendapat dan pemikiran.11

4.7.       Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar

ASWAJA mengajarkan pentingnya menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan cara yang bijaksana. Prinsip ini mengacu pada firman Allah dalam QS Ali Imran [03] ayat 104, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.”12


Dengan prinsip-prinsip ini, ASWAJA membentuk kerangka akidah yang seimbang dan moderat, memungkinkan umat Islam untuk menghadapi berbagai tantangan tanpa mengorbankan keimanan mereka. Prinsip-prinsip ini juga menjadikan ASWAJA relevan dalam konteks modern, terutama dalam menjaga kesatuan umat Islam dan menghindari konflik sektarian.


Catatan Kaki

[1]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 46.

[2]              Malik bin Anas, Al-Muwatta' (Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:20.

[3]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 16.

[4]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 35.

[5]              Al-Qur’an, QS Al-Baqarah: 2.

[6]              Al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqalat al-Islamiyyin (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2007), 10.

[7]              Al-Nawawi, Yahya bin Sharaf, Syarh Shahih Muslim (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 1:8.

[8]              Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), 78.

[9]              Al-Qur’an, QS At-Taubah: 100.

[10]          Al-Ghazali, Abu Hamid, Faysal al-Tafriqah (Kairo: Dar al-Salam, 2003), 22.

[11]          Al-Juwayni, Abdul Malik, Al-Irshad (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1999), 92.

[12]          Al-Qur’an, QS Ali Imran [03] ayat 104.


5.           Dimensi Fikih dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Dimensi fikih dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) berfokus pada pengaturan aspek kehidupan umat Islam melalui hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Pemahaman fikih dalam ASWAJA bersifat moderat dan fleksibel, mempertimbangkan konteks sosial serta kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat. Dimensi ini diwujudkan melalui empat mazhab fikih utama yang menjadi pijakan umat Islam Sunni.

5.1.       Pengakuan terhadap Empat Mazhab Fikih

ASWAJA mengakui keberadaan empat mazhab fikih Sunni, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, sebagai rujukan utama dalam masalah fikih. Keempat mazhab ini memiliki pendekatan metodologis yang berbeda, tetapi semuanya berpegang pada prinsip-prinsip yang sama:

·                     Mazhab Hanafi:

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (699–767 M), mazhab ini dikenal dengan pendekatan rasional dan penggunaan qiyas secara luas.1

·                     Mazhab Maliki:

Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (711–795 M), mazhab ini menekankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.2

·                     Mazhab Syafi’i:

Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767–820 M), mazhab ini memperkenalkan metode sistematis dalam ushul fikih dengan mengutamakan Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas.3

·                     Mazhab Hanbali:

Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M), mazhab ini menekankan pada pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur'an dan sunnah.4

Keempat mazhab ini merupakan representasi dari fleksibilitas ASWAJA dalam menghadapi berbagai konteks sosial dan budaya tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat.

5.2.       Metodologi Ijtihad dalam Fikih ASWAJA

ASWAJA mendorong penerapan ijtihad (usaha intelektual) untuk memahami dan menerapkan hukum Islam dalam situasi baru yang tidak secara eksplisit diatur dalam Al-Qur'an dan sunnah. Ijtihad dilakukan dengan mempertimbangkan:

·                     Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum.

·                     Sunnah Nabi sebagai penjelas Al-Qur'an.

·                     Ijma' (kesepakatan ulama) sebagai bukti otoritas kolektif umat Islam.

·                     Qiyas (analogi) sebagai metode logis untuk mengatasi permasalahan baru.5

Prinsip ini memungkinkan ASWAJA untuk tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman, seperti isu-isu kontemporer terkait keuangan syariah, teknologi medis, dan hak asasi manusia.

5.3.       Moderasi dalam Fikih: Keseimbangan antara Tekstual dan Kontekstual

ASWAJA dikenal dengan pendekatan moderasi (wasathiyyah) dalam fikih, yang menjaga keseimbangan antara pemahaman literal teks-teks agama dan penyesuaian terhadap realitas sosial. Pendekatan ini terlihat dalam:

·                     Penggunaan Maslahah (Kemaslahatan Umum):

ASWAJA memprioritaskan kemaslahatan umat dalam penerapan hukum syariat, seperti diterapkan oleh Imam Syafi’i dalam konteks perubahan fatwa sesuai kondisi masyarakat.6

·                     Penolakan Ekstremisme:

ASWAJA menolak pendekatan ekstrem dalam penerapan hukum Islam, seperti sikap berlebihan dalam menghukumi halal dan haram.7

5.4.       Hubungan antara Fikih dan Akhlak

Dimensi fikih dalam ASWAJA tidak hanya berfokus pada hukum-hukum formal, tetapi juga menekankan pentingnya akhlak dalam menjalankan syariat. Contohnya, dalam fikih muamalah, meskipun hukum perdagangan halal, akhlak seperti kejujuran dan keadilan tetap menjadi elemen penting dalam praktiknya.8 Pendekatan ini menjadikan fikih ASWAJA sebagai landasan yang membangun masyarakat yang harmonis dan beretika.

5.5.       Peran Mazhab dalam Mempersatukan Umat Islam

Keberagaman pendekatan fikih dalam ASWAJA mencerminkan kekayaan intelektual Islam dan menjadi sarana persatuan umat. Tidak adanya pemaksaan untuk mengikuti satu mazhab tertentu menunjukkan fleksibilitas ASWAJA dalam menghargai perbedaan pendapat yang didasarkan pada dalil-dalil yang sahih. Prinsip ini menjadi salah satu alasan utama mengapa ASWAJA mampu menjaga stabilitas umat Islam selama berabad-abad, bahkan di tengah perbedaan pendapat yang tajam.9


Dengan dimensi fikih yang moderat, fleksibel, dan berbasis pada nilai-nilai akhlak, ASWAJA mampu menjawab berbagai tantangan kehidupan umat Islam. Pendekatan fikih ini tidak hanya menjaga relevansi syariat Islam, tetapi juga menciptakan kerangka hukum yang adaptif dan harmonis dalam berbagai konteks sosial dan budaya.


Catatan Kaki

[1]              Abu Hanifah, Kitab al-Fiqh al-Akbar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 10.

[2]              Malik bin Anas, Al-Muwatta' (Kairo: Dar al-Hadith, 2010), 1:30.

[3]              Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al-Risalah (Kairo: Dar al-Hadith, 2011), 20.

[4]              Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad (Beirut: Al-Risalah al-Alamiyyah, 2001), 1:23.

[5]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 120.

[6]              Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al-Umm (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2005), 1:40.

[7]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 18.

[8]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 2:120.

[9]              Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 212.


6.           Dimensi Tasawuf dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Tasawuf, sebagai salah satu dimensi dalam Islam, memiliki kedudukan penting dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA). Tasawuf dalam kerangka ASWAJA tidak hanya menekankan aspek spiritual dan akhlak individu, tetapi juga menjaga keterpaduan dengan syariat. Pendekatan ini memastikan bahwa pengalaman spiritual yang dalam tetap berada dalam koridor ajaran Islam yang murni, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dan diteruskan oleh generasi sahabat dan tabi’in.

6.1.       Definisi Tasawuf dalam ASWAJA

Tasawuf dalam ASWAJA diartikan sebagai upaya untuk mencapai kebersihan hati (tazkiyatun nafs) dan kedekatan kepada Allah (taqarrub ilallah) melalui pengamalan syariat yang benar dan konsisten.1 Konsep ini dirumuskan dengan pendekatan yang moderat, menghindari ekstremisme dalam aspek mistis atau penyimpangan yang tidak sejalan dengan Al-Qur'an dan sunnah.

Imam Al-Ghazali mendefinisikan tasawuf sebagai perjalanan menuju Allah melalui penyucian hati dari segala penyakit rohani, seperti riya, ujub, dan hasad, serta menggantinya dengan sifat-sifat terpuji, seperti keikhlasan, tawakal, dan cinta kepada Allah.2 Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara ibadah lahiriah (fikih) dan ibadah batiniah (tasawuf).

6.2.       Prinsip-Prinsip Tasawuf dalam ASWAJA

Tasawuf dalam ASWAJA berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut:

1)                  Keterpaduan dengan Syariat:

Tasawuf ASWAJA tidak pernah memisahkan dimensi spiritual dari syariat. Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh besar tasawuf Sunni, menegaskan bahwa “Setiap jalan menuju Allah harus melalui syariat.”3

2)                  Pembersihan Hati dan Akhlak Mulia:

Tujuan utama tasawuf adalah membersihkan hati dari penyakit rohani. Praktik seperti dzikir, muhasabah (introspeksi diri), dan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah) menjadi metode utama dalam mencapai kesucian hati.4

3)                  Konsep Ma’rifah:

Tasawuf dalam ASWAJA menekankan pentingnya ma’rifah (pengenalan terhadap Allah) yang diperoleh melalui penghayatan mendalam terhadap ibadah dan interaksi dengan masyarakat. Namun, ma’rifah ini tidak pernah bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.5

6.3.       Peran Tokoh-Tokoh Sufi dalam ASWAJA

ASWAJA diwarnai oleh kontribusi tokoh-tokoh besar dalam tasawuf, yang mengembangkan ajaran tasawuf berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah. Beberapa di antaranya adalah:

·                     Imam Al-Ghazali (1058–1111 M):

Dalam karyanya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan hubungan erat antara syariat dan tasawuf, dengan menekankan pentingnya akhlak dalam menjalankan ibadah lahiriah.6

·                     Imam Junaid Al-Baghdadi (830–910 M):

Beliau dikenal sebagai bapak tasawuf Sunni, yang menegaskan bahwa pengalaman mistis harus tetap dalam bingkai syariat. Junaid juga mengajarkan fana' (meleburkan diri dalam kehendak Allah) dan baqa' (kekal dalam ketaatan kepada Allah).7

·                     Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077–1166 M):

Sebagai pendiri tarekat Qadiriyah, beliau dikenal dengan pengajarannya yang menyeimbangkan dimensi spiritual dengan pengamalan syariat secara ketat.8

6.4.       Moderasi dalam Tasawuf

Tasawuf dalam ASWAJA menghindari dua ekstrem yang sering muncul dalam praktik spiritual:

·                     Ekstremisme Mistis:

Seperti ajaran hulul (inkarnasi Tuhan dalam diri manusia) yang dianut oleh aliran tertentu, yang ditolak oleh ASWAJA karena bertentangan dengan akidah tauhid.9

·                     Penolakan Total terhadap Tasawuf:

Sikap sebagian kelompok yang menolak tasawuf sama sekali juga tidak sejalan dengan ASWAJA, karena tasawuf merupakan bagian integral dari pengamalan Islam yang utuh.10

6.5.       Kontribusi Tasawuf terhadap Masyarakat

Tasawuf dalam ASWAJA tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki kontribusi sosial yang besar:

·                     Membangun Akhlak Masyarakat: Tasawuf mengajarkan pentingnya sifat-sifat mulia, seperti kasih sayang, kejujuran, dan keadilan, yang menjadi dasar terciptanya masyarakat yang harmonis.

·                     Melakukan Dakwah yang Bijaksana: Banyak tokoh sufi yang memainkan peran besar dalam penyebaran Islam, seperti Wali Songo di Nusantara, yang menggunakan pendekatan tasawuf untuk menarik simpati masyarakat setempat.11


Dengan prinsip-prinsip moderat dan keterpaduan antara syariat dan spiritualitas, tasawuf dalam ASWAJA menjadi jalan untuk menciptakan individu yang saleh sekaligus masyarakat yang harmonis. Tasawuf ini relevan dalam kehidupan modern, di mana umat Islam membutuhkan pendekatan spiritual yang dapat menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai inti Islam.


Catatan Kaki

[1]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 1:15.

[2]              Ibid., 2:120.

[3]              Junaid Al-Baghdadi, Risalah Junaidiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 22.

[4]              Al-Kalabadzi, Abu Bakr, At-Ta'aruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007), 30.

[5]              Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 3:45.

[6]              Ibid., 1:10.

[7]              Junaid Al-Baghdadi, Risalah Junaidiyah, 25.

[8]              Abdul Qadir Al-Jilani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), 12.

[9]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 45.

[10]          Ibn Taymiyyah, Majmu’ Fatawa (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2001), 11:18.

[11]          Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1200 (London: Macmillan, 2008), 15.


7.           Tantangan dan Relevansi Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern

Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) sebagai paradigma mayoritas umat Islam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks di era modern. Tantangan ini muncul dari dinamika internal umat Islam, seperti perpecahan sektarian, hingga tekanan eksternal, seperti globalisasi dan perubahan sosial budaya. Meskipun demikian, pendekatan moderat dan inklusif ASWAJA menjadikannya tetap relevan sebagai panduan bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

7.1.       Tantangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern

1)                  Meningkatnya Ekstremisme dan Radikalisme

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi ASWAJA adalah munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Gerakan ini seringkali menyimpang dari prinsip moderasi (wasathiyyah) ASWAJA dan mengutamakan kekerasan dalam mencapai tujuan mereka.1 Ekstremisme ini bukan hanya mengancam persatuan umat Islam, tetapi juga merusak citra Islam di mata dunia.

2)                  Sekularisme dan Liberalisme Agama

Di sisi lain, sekularisme dan liberalisme agama juga menjadi tantangan serius bagi ASWAJA. Pandangan yang menafikan peran agama dalam kehidupan publik sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip ASWAJA yang menekankan pentingnya syariat dalam mengatur kehidupan individu dan masyarakat.2

3)                  Globalisasi dan Pengaruh Budaya Barat

Era globalisasi membawa pengaruh budaya Barat yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. ASWAJA menghadapi tantangan untuk mempertahankan identitas keislaman umat tanpa menolak perkembangan teknologi dan budaya modern yang bermanfaat.3

4)                  Perpecahan Sektarian di Kalangan Umat Islam

Konflik sektarian antara Sunni dan Syiah, serta antara kelompok Sunni sendiri, seperti Salafi dan tradisionalis, seringkali melemahkan persatuan umat Islam. ASWAJA berusaha untuk menjadi jalan tengah yang mempromosikan dialog dan toleransi antarmazhab.4

5)                  Isu-Isu Kontemporer

Tantangan lainnya meliputi isu-isu kontemporer seperti feminisme, hak asasi manusia, ekologi, dan bioetika. Umat Islam membutuhkan pendekatan yang tetap berlandaskan syariat tetapi mampu menjawab tantangan zaman dengan relevansi tinggi.5

7.2.       Relevansi Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Modern

1)                  Pendekatan Moderat dan Inklusif

Prinsip moderasi (wasathiyyah) ASWAJA menjadi landasan utama dalam menghadapi ekstremisme maupun liberalisme. Moderasi ini tercermin dalam kemampuan ASWAJA untuk mengintegrasikan teks-teks agama dengan realitas kontemporer tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.6

2)                  Keseimbangan antara Tradisi dan Modernitas

ASWAJA mempromosikan pendekatan yang seimbang antara mempertahankan tradisi keagamaan dan menerima inovasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Misalnya, dalam bidang pendidikan, lembaga-lembaga ASWAJA seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia menggabungkan kurikulum klasik dengan ilmu modern untuk mencetak generasi yang kompeten.7

3)                  Menjaga Persatuan Umat

Dengan sifatnya yang moderat, ASWAJA mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam dari berbagai latar belakang mazhab. Sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan fikih dan teologi menjadikan ASWAJA sebagai model ideal dalam merawat persatuan umat Islam.8

4)                  Penerapan Nilai-Nilai Universal Islam

ASWAJA menekankan nilai-nilai universal Islam, seperti keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang relevan dengan kebutuhan global saat ini. Misalnya, ASWAJA mendukung upaya melindungi lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.9

5)                  Dakwah yang Bijaksana dan Adaptif

ASWAJA mengedepankan dakwah yang penuh hikmah (bil-hikmah) dan dialog (mau’izhah hasanah), sebagaimana diperintahkan dalam QS An-Nahl: 125. Pendekatan ini memungkinkan ASWAJA untuk menghadapi tantangan dakwah di masyarakat modern yang pluralistik.10

7.3.       Strategi Menghadapi Tantangan

Untuk menjaga relevansi dan eksistensi, ASWAJA perlu menerapkan strategi-strategi berikut:

·                     Memperkuat Pendidikan Islam Moderat:

Mengembangkan kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, sehingga generasi muda mampu menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan identitas keislaman mereka.11

·                     Meningkatkan Dialog Antarmazhab:

Mengadakan dialog yang intensif antara kelompok-kelompok Islam untuk mengurangi konflik sektarian.

·                     Memanfaatkan Teknologi Digital:

ASWAJA perlu memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi dan menghadapi narasi ekstremisme secara global.12


Dengan pendekatan moderat dan nilai-nilai yang relevan, ASWAJA mampu menjadi solusi atas berbagai tantangan di era modern. Keberlanjutan ajaran ASWAJA tidak hanya bergantung pada konsistensi pengamalan syariat, tetapi juga pada kemampuan umat Islam untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitas keislamannya.


Catatan Kaki

[1]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir, Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 20.

[2]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 115.

[3]              Esposito, John L., Islam and the Modern World (Oxford: Oxford University Press, 2004), 45.

[4]              Al-Shahrastani, Muhammad, Al-Milal wan-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), 38.

[5]              Kamali, Mohammad Hashim, Shari’ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 110.

[6]              Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Wasathiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2002), 30.

[7]              Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 40.

[8]              Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 200.

[9]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 3:150.

[10]          Al-Qur’an, QS An-Nahl: 125.

[11]          Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1200 (London: Macmillan, 2008), 90.

[12]          Esposito, John L., Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2001), 75.


8.           Kesimpulan

Ahlus Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) merupakan landasan utama bagi mayoritas umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai representasi Islam yang moderat dan inklusif, ASWAJA telah berperan penting dalam membentuk peradaban Islam yang harmonis, toleran, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

8.1.       Rangkuman Konsep dan Prinsip ASWAJA

ASWAJA menekankan tiga pilar utama dalam Islam: akidah, fikih, dan tasawuf. Akidah ASWAJA berfokus pada pemahaman yang lurus terhadap tauhid dengan menolak ekstremisme teologis, seperti tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta’thil (menafikan sifat-sifat Allah).1 Dalam fikih, ASWAJA mengintegrasikan fleksibilitas ijtihad dengan kepatuhan terhadap syariat melalui empat mazhab fikih utama yang diakui secara luas.2 Sementara itu, dalam tasawuf, ASWAJA menekankan penyucian hati yang selaras dengan syariat, sehingga mampu menciptakan keseimbangan antara ibadah lahiriah dan batiniah.3

Ketiga dimensi ini menjadikan ASWAJA sebagai pedoman yang utuh, menghindari reduksi ajaran Islam hanya pada aspek formal atau spiritual saja.

8.2.       Relevansi ASWAJA di Era Modern

ASWAJA tetap relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer, seperti ekstremisme, sekularisme, dan globalisasi. Pendekatan moderat (wasathiyyah) yang menjadi ciri khas ASWAJA menawarkan solusi untuk menjaga persatuan umat Islam di tengah perbedaan pandangan.4 Prinsip moderasi ini juga memberikan ruang untuk menjawab isu-isu kontemporer, seperti feminisme, hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan, dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai syariat yang universal.5

Dalam konteks global, ASWAJA berperan sebagai jembatan untuk membangun dialog lintas agama dan budaya, memperjuangkan keadilan, dan mempromosikan perdamaian. Hal ini menjadikan ASWAJA bukan hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga sebagai model kontribusi Islam terhadap masyarakat dunia.

8.3.       Pentingnya Pemahaman Mendalam terhadap ASWAJA

Untuk menjaga eksistensinya, umat Islam perlu memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip ASWAJA dengan benar. Pendidikan Islam berbasis ASWAJA, seperti yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional maupun modern, menjadi kunci dalam membangun generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan identitas keislamannya.6

Selain itu, dialog antarmazhab dan antaragama perlu terus dikembangkan untuk mengurangi potensi konflik sektarian dan memperkuat ukhuwah Islamiyah. ASWAJA juga harus memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan dakwah moderat yang relevan dengan konteks global.

8.4.       Harapan untuk Umat Islam

Sebagai panduan hidup yang holistik, ASWAJA diharapkan dapat terus menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam untuk menjaga akidah yang lurus, menjalankan syariat dengan bijaksana, dan mengembangkan spiritualitas yang mendalam. Dengan tetap berpegang pada nilai-nilai moderasi dan inklusivitas, ASWAJA mampu menjawab berbagai tantangan zaman sekaligus menjaga harmoni di tengah keberagaman umat manusia.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Karena itu, ikutilah jamaah.”7 Prinsip inilah yang menjadi landasan ASWAJA untuk menjaga persatuan umat Islam dan memperkokoh peran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.


Catatan Kaki

[1]              Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 46.

[2]              Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al-Risalah (Kairo: Dar al-Hadith, 2011), 25.

[3]              Junaid Al-Baghdadi, Risalah Junaidiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 18.

[4]              Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Wasathiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2002), 30.

[5]              Kamali, Mohammad Hashim, Shari’ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld Publications, 2008), 112.

[6]              Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Surabaya: Khalista, 2004), 35.

[7]              Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab Al-Fitan, No. 2167.


Daftar Pustaka (APA Style)

Abu Hanifah. (1997). Kitab al-Fiqh al-Akbar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Abdul Qadir Al-Jilani. (2010). Futuh al-Ghaib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Asy’ari, A. H. (2007). Maqalat al-Islamiyyin. Beirut: Dar al-Ma'arif.

Al-Asy’ari, A. H. (2005). Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. Riyadh: Maktabah al-Rushd.

Al-Baghdadi, A. Q. (2001). Al-Farqu Bainal Firaq. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (1995). Al-Iqtisad fi al-I’tiqad. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Ghazali, A. H. (1997). Al-Mustashfa. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (2010). Ihya Ulumuddin. Kairo: Dar al-Salam.

Al-Juwayni, A. M. (1999). Al-Irshad. Riyadh: Maktabah al-Rushd.

Al-Kalabadzi, A. B. (2007). At-Ta'aruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Maturidi, A. M. (2007). Kitab al-Tauhid. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Y. S. (1995). Syarh Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Hadith.

Al-Nawawi, Y. S. (1995). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Kairo: Maktabah al-Irsyad.

Al-Qaradawi, Y. (2002). Fiqh Al-Wasathiyyah. Kairo: Dar al-Shuruq.

Al-Syafi’i, M. I. (2005). Al-Umm. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Syafi’i, M. I. (2011). Al-Risalah. Kairo: Dar al-Hadith.

Al-Shahrastani, M. (1998). Al-Milal wan-Nihal. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Esposito, J. L. (2001). Islam: The Straight Path. Oxford: Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2004). Islam and the Modern World. Oxford: Oxford University Press.

Ibn Hanbal, A. (2001). Musnad Ahmad. Beirut: Al-Risalah al-Alamiyyah.

Ibn Khaldun. (2005). Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Junaid Al-Baghdadi. (1998). Risalah Junaidiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Malik bin Anas. (2010). Al-Muwatta'. Kairo: Dar al-Hadith.

Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. London: Macmillan.

Sahal Mahfudh. (2004). Nuansa Fiqh Sosial. Surabaya: Khalista.

Watt, W. M. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.


Daftar Kitab Rujukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah

1)                 Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah

o     Penulis: Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (873–936 M)

o     Deskripsi: Kitab ini merupakan karya utama Imam Al-Asy’ari yang menjelaskan prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Al-Ibanah menyanggah pandangan kelompok Mu’tazilah dan menegaskan keyakinan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah.

2)                 Al-Farqu Bainal Firaq

o     Penulis: Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (980–1037 M)

o     Deskripsi: Kitab ini menguraikan berbagai aliran dalam Islam, membandingkan keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan kelompok-kelompok lain, dan menegaskan keunggulan akidah Sunni.

3)                 Kitab al-Tauhid

o     Penulis: Imam Abu Mansur Al-Maturidi (853–944 M)

o     Deskripsi: Karya ini menjelaskan prinsip-prinsip tauhid dan menjawab pandangan-pandangan yang menyimpang dari akidah Islam. Al-Maturidi menekankan peran akal dalam memahami agama tanpa mengabaikan wahyu.

4)                 Ihya Ulumuddin

o     Penulis: Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)

o     Deskripsi: Sebuah ensiklopedia yang mengintegrasikan aspek syariat dan tasawuf. Ihya membahas pembersihan hati, akhlak, dan pendekatan spiritual sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

5)                 Al-Milal wan-Nihal

o     Penulis: Imam Muhammad Al-Shahrastani (1086–1153 M)

o     Deskripsi: Kitab ini menyajikan analisis komprehensif tentang berbagai keyakinan dan aliran dalam Islam serta agama-agama lain. Al-Shahrastani memberikan pembelaan terhadap prinsip ASWAJA di tengah berbagai pandangan teologis.

6)                 Al-Risalah

o     Penulis: Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767–820 M)

o     Deskripsi: Karya ini adalah fondasi ilmu ushul al-fiqh dalam Islam. Imam Syafi’i menetapkan metode pengambilan hukum yang sistematis berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.

7)                 Al-Muwatta’

o     Penulis: Imam Malik bin Anas (711–795 M)

o     Deskripsi: Kitab ini berisi kumpulan hadis-hadis dan fatwa Imam Malik yang menggambarkan praktik syariat di Madinah. Al-Muwatta’ menjadi salah satu rujukan utama dalam fikih Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

8)                 Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul

o     Penulis: Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)

o     Deskripsi: Sebuah karya monumental dalam ilmu ushul al-fiqh yang mengintegrasikan logika Aristotelian dengan prinsip-prinsip Islam, menjadi referensi utama dalam pengambilan hukum bagi ulama Sunni.

9)                 Al-Luma’ fi al-Tasawwuf

o     Penulis: Imam Abu Nasr Al-Sarraj (?-988 M)

o     Deskripsi: Kitab ini menguraikan prinsip-prinsip tasawuf yang sesuai dengan syariat, menekankan pentingnya akhlak mulia dan pembersihan hati dalam pendekatan spiritual Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

10)             Futuh al-Ghaib

o     Penulis: Imam Abdul Qadir Al-Jilani (1077–1166 M)

o     Deskripsi: Karya ini berisi nasehat spiritual dan pedoman bagi para salik (pencari jalan Allah) untuk mendekatkan diri kepada Allah sambil tetap mematuhi hukum syariat.

11)             Faysal al-Tafriqah

o     Penulis: Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M)

o     Deskripsi: Kitab ini membahas perbedaan antara ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, serta menguatkan posisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam memahami agama secara holistik.

12)             Al-Mughni

o     Penulis: Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi (1147–1223 M)

o     Deskripsi: Kitab fikih Hanbali yang mendalam dan sistematis. Al-Mughni adalah referensi penting dalam mazhab Hanbali dan sering digunakan oleh ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

13)             Kasyf al-Mahjub

o     Penulis: Imam Ali bin Utsman Al-Hujwiri (?-1077 M)

o     Deskripsi: Sebuah karya klasik tasawuf yang menjelaskan teori-teori spiritualitas dalam Islam dan menekankan pentingnya keselarasan antara syariat dan hakikat.

14)             Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i

o     Penulis: Imam Alauddin Al-Kasani (?-1191 M)

o     Deskripsi: Kitab fikih Mazhab Hanafi yang menjadi rujukan utama dalam memahami hukum Islam dalam mazhab tersebut.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar