Selasa, 25 Februari 2025

Bahan Ajar SKI Kelas 11 Bab 1: Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah

Sejarah Kebudayaan Islam

Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah ke Daulah Abbasiyah merupakan salah satu perubahan politik terbesar dalam sejarah Islam. Artikel ini membahas faktor-faktor penyebab kejatuhan Umayyah, strategi perebutan kekuasaan oleh Abbasiyah, serta dampak awal pemerintahan Abbasiyah dengan pendekatan berbasis sumber klasik dan kajian ilmiah modern. Kajian ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap Mawali, konflik internal, dan ketidakstabilan politik menjadi faktor utama melemahnya Daulah Umayyah. Sementara itu, keberhasilan Abbasiyah tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada strategi politik yang matang, propaganda ideologi Ahlul Bait, dan dukungan luas dari kelompok yang merasa tertindas oleh kebijakan Umayyah. Setelah merebut kekuasaan, Abbasiyah membawa perubahan signifikan dalam administrasi pemerintahan Islam, termasuk pergeseran pusat kekuasaan ke Baghdad dan penguatan sistem birokrasi berbasis model Persia. Namun, mereka juga menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas politik serta merespons tuntutan kelompok-kelompok yang sebelumnya mendukung mereka. Kesimpulan dari kajian ini menyoroti bahwa transisi kepemimpinan dalam sejarah Islam tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh faktor sosial, ekonomi, dan legitimasi ideologi. Artikel ini merekomendasikan pentingnya studi sejarah Islam berbasis literatur klasik dan penelitian akademik untuk memahami dinamika politik Islam dalam konteks historis dan kontemporer.

Kata Kunci: Daulah Abbasiyah, Daulah Umayyah, Revolusi Abbasiyah, Sejarah Islam, Perebutan Kekuasaan, Mawali, Ahlul Bait, Politik Islam.


PEMBAHASAN

Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 1 - Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Sejarah Islam mencatat bahwa transisi kekuasaan dari Daulah Umayyah ke Daulah Abbasiyah merupakan salah satu peristiwa politik terbesar dalam peradaban Islam. Pergantian dinasti ini bukan sekadar peralihan kepemimpinan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat Islam pada abad ke-8 M. Revolusi Abbasiyah terjadi sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat, khususnya kelompok Mawali (non-Arab Muslim), serta kekecewaan terhadap pemerintahan Umayyah yang dinilai lebih berpihak kepada elite Quraisy dan cenderung eksklusif terhadap bangsa Arab.¹

Selain itu, keberhasilan Bani Abbas dalam merebut kekuasaan tidak terlepas dari peran strategis Abu Muslim al-Khurasani, seorang pemimpin militer di Khurasan, yang menggalang dukungan dari berbagai kelompok yang merasa dirugikan oleh kebijakan Umayyah.² Revolusi ini juga mendapat legitimasi ideologis dari klaim bahwa Bani Abbas memiliki hubungan darah dengan Rasulullah Saw melalui paman beliau, al-Abbas bin Abdul Muththalib. Klaim ini memperkuat propaganda politik mereka dan menarik dukungan luas dari umat Islam, terutama kelompok Syiah Abbasiyah yang menuntut kepemimpinan dari Ahlul Bait.³

Kajian ini akan mengevaluasi proses lahirnya Daulah Abbasiyah melalui tinjauan kritis terhadap kitab-kitab sejarah klasik seperti "Tarikh al-Rusul wa al-Muluk" karya al-Tabari, "Al-Kamil fi al-Tarikh" karya Ibnu Athir, serta "Muqaddimah" karya Ibn Khaldun. Selain itu, analisis akan diperkuat dengan referensi dari jurnal ilmiah Islami kontemporer guna memberikan perspektif akademik yang lebih luas.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut:

1)                  Apa faktor utama yang menyebabkan keruntuhan Daulah Umayyah?

2)                  Bagaimana strategi politik dan militer yang digunakan oleh Bani Abbas dalam merebut kekuasaan?

3)                  Siapa saja tokoh kunci dalam proses lahirnya Daulah Abbasiyah dan apa peran mereka?

4)                  Bagaimana perubahan politik dan administrasi setelah berdirinya Daulah Abbasiyah?

1.3.       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah:

1)                  Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya Daulah Umayyah, baik dari sisi internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup kelemahan kepemimpinan dan konflik dinasti, sedangkan faktor eksternal mencakup perlawanan dari kelompok Mawali, Syiah, dan gerakan Abbasiyah yang terorganisir.⁴

2)                  Menganalisis strategi politik dan militer yang digunakan oleh Bani Abbas dalam merebut kekuasaan, termasuk propaganda ideologi Ahlul Bait dan peran jaringan dakwah rahasia di wilayah Khurasan.⁵

3)                  Mengevaluasi dampak perubahan sistem pemerintahan setelah berdirinya Daulah Abbasiyah, termasuk pergeseran kekuasaan dari Damaskus ke Baghdad serta perubahan kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan.⁶

Kajian ini tidak hanya bertujuan untuk memahami sejarah secara akademik, tetapi juga untuk mengambil pelajaran dari dinamika politik masa lalu guna memahami pola kepemimpinan dalam peradaban Islam.


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London: Routledge, 2015), 123-125.

[2]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 7 (Beirut: Dar al-Turath, 1987), 142-145.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 213.

[4]                Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 321-324.

[5]                Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens (London: Macmillan, 1899), 209-211.

[6]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 315-318.


2.           Latar Belakang Sejarah

2.1.       Kondisi Sosial-Politik Daulah Umayyah Menjelang Runtuhnya

Daulah Umayyah (661–750 M) merupakan kekhalifahan Islam pertama yang menerapkan sistem monarki herediter dalam pemerintahan Islam. Dinasti ini mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685–705 M) dan putranya, Al-Walid bin Abdul Malik (705–715 M). Namun, memasuki abad ke-8, pemerintahan Umayyah mulai mengalami kemunduran yang dipicu oleh berbagai faktor internal dan eksternal.

Secara internal, Daulah Umayyah mengalami konflik dinasti dan persaingan antar-elit Quraisy, yang semakin melemahkan stabilitas politik. Selain itu, kecenderungan khalifah-khalifah terakhir untuk menjalani gaya hidup mewah dan mengabaikan kepentingan rakyat menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan umat Islam.¹ Salah satu faktor utama yang mempercepat kejatuhan Umayyah adalah politik diskriminatif terhadap non-Arab (Mawali). Sistem ini membuat orang-orang non-Arab Muslim, khususnya dari Persia dan wilayah lain di luar jazirah Arab, diperlakukan sebagai warga kelas dua meskipun mereka telah masuk Islam. Kebijakan ini menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok Abbasiyah dalam propagandanya.²

Dari sisi eksternal, perlawanan dari kelompok Syiah, Khawarij, dan berbagai faksi oposisi lainnya semakin memperlemah kekuasaan Umayyah. Kelompok Syiah mendukung klaim kepemimpinan oleh Ahlul Bait, sementara Khawarij menolak konsep monarki dalam Islam dan menentang kepemimpinan yang tidak berdasarkan pemilihan meritokratis.³ Selain itu, munculnya gerakan oposisi di Khurasan—yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani—menjadi faktor penentu yang mempercepat keruntuhan Umayyah.⁴

2.2.       Gerakan Oposisi terhadap Daulah Umayyah

Gerakan oposisi terhadap Daulah Umayyah dipimpin oleh keluarga Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari al-Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah Saw. Mereka menggunakan klaim keturunan ini untuk mendapatkan dukungan dari umat Islam, terutama dari kelompok Syiah Abbasiyah dan penduduk non-Arab yang merasa tertindas.

Gerakan ini berpusat di wilayah Khurasan, yang menjadi basis utama bagi oposisi terhadap kekuasaan Umayyah. Abu Muslim al-Khurasani, seorang pemimpin militer yang karismatik, memainkan peran penting dalam mengorganisir pemberontakan melawan Umayyah. Ia memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat lokal dan menyebarkan propaganda bahwa kekhalifahan seharusnya dikembalikan kepada keturunan Nabi Muhammad Saw.⁵

Strategi propaganda Abbasiyah sangat efektif karena mereka menekankan bahwa pemerintahan Umayyah tidak sah dan menindas kaum Muslimin, khususnya non-Arab. Mereka juga berhasil membangun jaringan da’i dan perwakilan di berbagai wilayah Islam untuk menggalang dukungan terhadap perjuangan Abbasiyah.⁶

Pada tahun 747 M, gerakan revolusi Abbasiyah mencapai puncaknya ketika Abu Muslim al-Khurasani memimpin pemberontakan besar di Khurasan dan berhasil mengalahkan pasukan Umayyah.⁷ Puncaknya terjadi dalam Pertempuran Zab Besar pada tahun 750 M, di mana pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu al-Abbas as-Saffah berhasil mengalahkan Khalifah Marwan II, yang kemudian melarikan diri ke Mesir dan akhirnya dibunuh.⁸ Kekalahan ini menandai runtuhnya Daulah Umayyah dan berdirinya kekuasaan Abbasiyah dengan Abu al-Abbas as-Saffah sebagai khalifah pertama.


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, The Court of the Caliphs: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (London: Weidenfeld & Nicolson, 2004), 203-205.

[2]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8 (Beirut: Dar al-Turath, 1987), 117-119.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 245-248.

[4]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 65-68.

[5]                Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 121-123.

[6]                Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 356-360.

[7]                Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens (London: Macmillan, 1899), 234-237.

[8]                Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century, 145-147.


3.           Proses Perebutan Kekuasaan oleh Bani Abbas

3.1.       Peran Abu Muslim al-Khurasani dan Revolusi Khurasan

Gerakan revolusi Abbasiyah mencapai momentum puncaknya ketika Abu Muslim al-Khurasani muncul sebagai pemimpin yang mampu menggalang kekuatan di wilayah Khurasan, sebuah kawasan yang menjadi basis utama perlawanan terhadap Daulah Umayyah. Wilayah ini dihuni oleh banyak Mawali (Muslim non-Arab) yang merasa didiskriminasi oleh kebijakan Umayyah yang berbasis supremasi Arab.ⁱ¹ Abu Muslim memanfaatkan ketidakpuasan ini dengan menyebarkan propaganda bahwa pemerintahan seharusnya berada di tangan Ahlul Bait, sebuah klaim yang mendapat dukungan dari berbagai kelompok oposisi, termasuk kaum Syiah Abbasiyah.ⁱ²

Pada tahun 747 M (129 H), Abu Muslim melancarkan pemberontakan terbuka terhadap Daulah Umayyah, dengan mengibarkan bendera hitam sebagai simbol perjuangan Abbasiyah. Ia berhasil merebut kota Merv, yang kemudian dijadikan pusat operasi militer untuk mengonsolidasikan kekuatan pasukan Abbasiyah.ⁱ³ Setelah menguasai Khurasan, pasukan Abu Muslim mulai bergerak ke barat, merebut kota-kota strategis di Persia dan Irak.

Salah satu faktor kunci keberhasilan Abu Muslim adalah strategi militernya yang fleksibel dan berbasis gerilya. Berbeda dengan pasukan Umayyah yang terorganisir dalam formasi besar, pasukan Abbasiyah menggunakan taktik serangan kilat yang cepat dan efisien.ⁱ⁴ Keberhasilan ini membuat Daulah Umayyah semakin kehilangan kendali atas wilayah-wilayah timur, yang pada akhirnya mempercepat kejatuhan mereka.

3.2.       Pertempuran Zab dan Akhir Daulah Umayyah

Puncak dari revolusi Abbasiyah terjadi dalam Pertempuran Zab Besar pada bulan Januari 750 M (132 H), ketika pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan Abdullah bin Ali bertemu dengan pasukan Umayyah yang dipimpin oleh Khalifah Marwan II di tepi Sungai Zab, dekat Mosul.ⁱ⁵

Pasukan Abbasiyah menggunakan taktik pengepungan dan serangan dari berbagai sisi, yang membuat pasukan Umayyah kesulitan bertahan. Kelemahan utama pasukan Umayyah adalah kurangnya koordinasi dan moral tempur yang rendah akibat perselisihan internal di kalangan elite mereka. Setelah pertempuran sengit, pasukan Marwan II mengalami kekalahan besar, dan ia sendiri terpaksa melarikan diri ke Mesir. Namun, pengejaran Abbasiyah tidak berhenti di situ; pada bulan Agustus 750 M, Marwan II akhirnya ditemukan dan dibunuh di wilayah Fustat, Mesir, yang secara resmi mengakhiri pemerintahan Daulah Umayyah.ⁱ⁶

Untuk mencegah kemungkinan bangkitnya kembali dinasti Umayyah, Bani Abbas melakukan pembantaian besar-besaran terhadap keluarga Umayyah. Mereka yang masih hidup dikejar dan dibunuh, kecuali satu orang, yaitu Abdurrahman bin Mu'awiyah, yang berhasil melarikan diri ke Andalusia dan mendirikan Daulah Umayyah di Cordoba pada tahun 756 M.ⁱ⁷

3.3.       Pengangkatan Abu al-Abbas as-Saffah sebagai Khalifah Pertama Abbasiyah

Setelah kemenangan dalam Pertempuran Zab, Bani Abbas segera mengambil langkah untuk mengonsolidasikan kekuasaan mereka. Pada bulan November 750 M, Abu al-Abbas as-Saffah dideklarasikan sebagai khalifah pertama Daulah Abbasiyah dalam sebuah upacara resmi di Kufah, yang kemudian dijadikan ibu kota sementara pemerintahan Abbasiyah.ⁱ⁸

Gelar "As-Saffah" (yang banyak menumpahkan darah) yang disematkan kepada Abu al-Abbas mencerminkan kebijakan kerasnya dalam mengeliminasi sisa-sisa kekuatan Umayyah. Sebagai bagian dari upaya memperkuat legitimasinya, ia menekankan bahwa kekhalifahan Abbasiyah adalah pemulihan hak Ahlul Bait, berbeda dari pemerintahan Umayyah yang dianggap menindas keturunan Nabi Muhammad Saw.ⁱ⁹

3.4.       Konsolidasi Kekuasaan dan Awal Pemerintahan Abbasiyah

Setelah berhasil merebut kekuasaan, langkah berikutnya bagi Bani Abbas adalah memperkuat struktur pemerintahan dan menstabilkan wilayah-wilayah yang baru dikuasai. Beberapa kebijakan awal yang diterapkan oleh Abu al-Abbas antara lain:

·                     Pemindahan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Irak:

Ini menandai perubahan besar dalam kebijakan Abbasiyah yang lebih berorientasi ke dunia Persia dan Timur, berbeda dengan Umayyah yang lebih berpusat di dunia Arab.

·                     Reformasi administrasi:

Sistem birokrasi diperkuat dengan mengadopsi model administrasi Persia, yang lebih efisien dibandingkan sistem kesukuan yang diterapkan oleh Umayyah.

·                     Aliansi dengan kelompok Mawali dan Syiah Abbasiyah:

Ini dilakukan untuk menjaga dukungan dari kelompok yang berperan besar dalam kemenangan Abbasiyah.

Meskipun berhasil menguasai pemerintahan, kepemimpinan Abu al-Abbas hanya berlangsung selama empat tahun (750–754 M) sebelum ia wafat dan digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far al-Mansur, yang kemudian menjadi arsitek utama stabilisasi dan perluasan kekuasaan Abbasiyah.²⁰


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History (London: Croom Helm, 1981), 73-75.

[2]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8 (Beirut: Dar al-Turath, 1987), 189-191.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 260-263.

[4]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 78-80.

[5]                Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 134-137.

[6]                Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 380-383.

[7]                Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century, 165-167.

[8]                Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens (London: Macmillan, 1899), 242-245.

[9]                Kennedy, The Early Abbasid Caliphate, 93-95.

[10]             Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 195-198.


4.           Evaluasi Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah

4.1.       Keunggulan Strategi Abbasiyah dalam Perebutan Kekuasaan

Keberhasilan Bani Abbasiyah dalam menggulingkan Daulah Umayyah tidak hanya disebabkan oleh kelemahan internal Umayyah, tetapi juga karena strategi politik dan militer Abbasiyah yang sangat efektif. Terdapat beberapa faktor utama yang menjadikan mereka berhasil merebut kekuasaan:

4.1.1.    Basis Gerakan di Khurasan

Khurasan menjadi pusat utama pergerakan Abbasiyah, jauh dari pusat kekuasaan Umayyah di Damaskus. Wilayah ini dihuni oleh banyak Mawali (Muslim non-Arab) yang merasa dirugikan oleh kebijakan diskriminatif Umayyah. Dengan menempatkan Abu Muslim al-Khurasani sebagai pemimpin militer di wilayah ini, Abbasiyah mampu mengorganisir revolusi dengan baik.¹

4.1.2.      Jaringan Dakwah Rahasia dan Propaganda Ideologi Ahlul Bait

Bani Abbasiyah menggunakan propaganda bahwa kepemimpinan Islam seharusnya berada di tangan Ahlul Bait, yakni keturunan dari Nabi Muhammad Saw melalui paman beliau, al-Abbas bin Abdul Muththalib. Propaganda ini menarik dukungan luas, terutama dari kelompok Syiah Abbasiyah dan penduduk Persia yang memiliki kecenderungan kuat terhadap konsep wilayah Ahlul Bait

4.1.3.      Kekuatan Militer yang Fleksibel dan Terorganisir

Pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani menerapkan taktik perang gerilya dan mobilisasi cepat, berbeda dengan pasukan Umayyah yang lebih mengandalkan formasi besar dan terbuka. Fleksibilitas strategi militer ini membuat pasukan Abbasiyah mampu mengalahkan Umayyah dalam Pertempuran Zab (750 M)

4.2.       Dampak Awal Berdirinya Daulah Abbasiyah

Setelah berhasil menggulingkan Daulah Umayyah, Bani Abbasiyah segera melakukan konsolidasi kekuasaan dengan sejumlah kebijakan yang berdampak signifikan terhadap perkembangan politik dan sosial di dunia Islam.

4.2.1.      Perubahan Pusat Kekuasaan dari Damaskus ke Baghdad

Salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M) adalah memindahkan ibu kota dari Kufah ke Baghdad pada tahun 762 M. Kota ini didesain sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan keilmuan, yang kemudian berkembang menjadi kota metropolitan terbesar di dunia Islam.⁴

4.2.2.      Sistem Pemerintahan yang Lebih Terpusat dan Profesional

Abbasiyah mengadopsi sistem administrasi model Persia Sasaniyah, yang lebih terstruktur dibandingkan sistem pemerintahan Umayyah yang berbasis kesukuan. Mereka memperkenalkan sistem diwan (departemen administrasi), serta posisi wazir (perdana menteri) untuk membantu tugas khalifah.⁵

4.2.3.      Hubungan dengan Kelompok Syiah dan Mawali

Meskipun awalnya mendapat dukungan dari kelompok Syiah Abbasiyah, setelah berkuasa, pemerintahan Abbasiyah justru menjauh dari kelompok ini dan menekan berbagai gerakan Syiah revolusioner, seperti pemberontakan Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah (762 M). Hal ini menunjukkan bahwa Abbasiyah lebih mengutamakan stabilitas politik dibandingkan kesetiaan ideologis kepada Syiah.⁶

4.3.       Perbandingan dengan Transisi Kekuasaan Sebelumnya

Perebutan kekuasaan oleh Abbasiyah memiliki beberapa perbedaan mendasar dibandingkan dengan transisi kekhalifahan sebelumnya, seperti peralihan dari Khulafaur Rasyidin ke Umayyah.

·                     Transisi Khulafaur Rasyidin ke Umayyah

Penyebab utama: Perselisihan mengenai kepemimpinan Islam setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib

Metode perebutan kekuasaan: Peralihan berbasis kekuatan politik dan militer melalui perang saudara (Perang Siffin dan Perang Jamal)

Legitimasi: Klaim bahwa kepemimpinan harus berdasarkan konsensus elite Quraisy

Sistem pemerintahan: Kekhalifahan dengan sistem monarki hereditas yang berbasis Arab-sentris

·                     Transisi Umayyah ke Abbasiyah

Penyebab utama: Ketidakpuasan terhadap diskriminasi Umayyah dan propaganda Abbasiyah

Metode perebutan kekuasaan: Revolusi rahasia dan gerakan militer terbuka (Revolusi Abbasiyah)

Legitimasi: Klaim bahwa kepemimpinan harus berada di tangan Ahlul Bait

Sistem pemerintahan: Kekhalifahan dengan sistem birokrasi yang lebih kosmopolitan dan multi-etnis

Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa transisi kekuasaan Abbasiyah lebih sistematis dibandingkan peralihan sebelumnya, dengan propaganda dan strategi politik yang lebih matang.


Catatan Kaki

[1]                Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History (London: Croom Helm, 1981), 115-118.

[2]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8 (Beirut: Dar al-Turath, 1987), 225-228.

[3]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 290-293.

[4]                Chase F. Robinson, The New Cambridge History of Islam, Volume 1: The Formation of the Islamic World, Sixth to Eleventh Centuries (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 320-323.

[5]                Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 345-348.

[6]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 95-98.


5.           Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1.       Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap proses lahirnya Daulah Abbasiyah, dapat disimpulkan bahwa kejatuhan Daulah Umayyah dan kebangkitan Abbasiyah merupakan hasil dari kombinasi faktor internal dan eksternal.

5.1.1.      Faktor Utama Runtuhnya Daulah Umayyah

Beberapa faktor utama yang menyebabkan kejatuhan Daulah Umayyah meliputi:

·                     Diskriminasi terhadap Mawali (Muslim Non-Arab):

Kebijakan Umayyah yang lebih mengutamakan bangsa Arab menimbulkan ketidakpuasan luas, terutama di wilayah Khurasan, Persia, dan Irak.¹

·                     Konflik Internal dan Ketidakstabilan Dinasti:

Terjadi persaingan dalam suksesi kepemimpinan, terutama setelah wafatnya Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (743 M). Perselisihan internal ini memperlemah stabilitas politik Daulah Umayyah.²

·                     Gerakan Propaganda Abbasiyah:

Bani Abbasiyah berhasil membangun propaganda berbasis klaim bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad Saw melalui al-Abbas bin Abdul Muththalib, sehingga lebih layak menjadi pemimpin umat Islam.³

·                     Keunggulan Strategi Militer dan Politik Abbasiyah:

Dengan peran sentral Abu Muslim al-Khurasani, pasukan Abbasiyah berhasil mengalahkan Umayyah dalam Pertempuran Zab (750 M) dan memastikan transisi kekuasaan.⁴

5.1.2.      Transformasi Politik dan Sosial di Era Abbasiyah

Setelah merebut kekuasaan, Daulah Abbasiyah membawa berbagai perubahan dalam sistem pemerintahan Islam:

·                     Perubahan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad, yang menjadikan dunia Islam lebih terhubung dengan peradaban Persia dan mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.⁵

·                     Sistem birokrasi yang lebih terstruktur, mengadopsi model administrasi Persia dan memperkenalkan konsep wazir (perdana menteri) sebagai penasihat utama khalifah.⁶

·                     Penguatan sistem pendidikan dan keilmuan, yang mencapai puncaknya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Khalifah al-Ma'mun (813–833 M), dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat intelektual Islam.⁷

5.1.3.      Pembelajaran dari Peralihan Kekuasaan

Sejarah transisi dari Umayyah ke Abbasiyah menunjukkan bahwa perubahan kepemimpinan dalam Islam tidak hanya dipengaruhi oleh faktor militer, tetapi juga oleh dukungan sosial dan legitimasi ideologi. Abbasiyah mampu merebut kekuasaan karena berhasil membangun koalisi luas antara berbagai kelompok yang merasa tertindas oleh Umayyah. Namun, setelah berkuasa, Abbasiyah menghadapi tantangan baru dalam menjaga kestabilan politik dan menangani kelompok-kelompok yang sebelumnya mendukung mereka.⁸

5.2.       Rekomendasi

5.2.1.      Pentingnya Studi Sejarah Islam dalam Pendidikan

Studi mengenai transisi dari Umayyah ke Abbasiyah memberikan pelajaran penting tentang dampak kebijakan pemerintahan terhadap stabilitas politik. Oleh karena itu, penting bagi dunia pendidikan Islam untuk lebih mendalami sejarah Islam dengan pendekatan akademik berbasis sumber primer seperti kitab al-Tabari, Ibn Athir, dan Ibn Khaldun.⁹

5.2.2.      Relevansi bagi Pemimpin Muslim Kontemporer

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini untuk para pemimpin Muslim saat ini:

·                     Kepemimpinan yang adil dan inklusif lebih kuat dibandingkan dengan kepemimpinan yang bersifat diskriminatif. Seperti yang ditunjukkan oleh Abbasiyah, keterlibatan berbagai kelompok dalam pemerintahan membawa stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan model pemerintahan eksklusif seperti yang diterapkan oleh Umayyah.¹⁰

·                     Propaganda politik dapat menjadi alat yang efektif, tetapi harus diikuti dengan kebijakan yang sesuai agar tidak menimbulkan ketidakstabilan setelah merebut kekuasaan. Abbasiyah pada akhirnya menghadapi perlawanan dari kelompok Syiah yang sebelumnya mendukung mereka, karena kebijakan mereka berubah setelah berkuasa.¹¹

5.2.3.      Penguatan Kajian SKI Berbasis Literatur Klasik dan Jurnal Islami

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), perlu adanya integrasi antara kitab-kitab klasik dan penelitian ilmiah modern. Kajian berbasis jurnal ilmiah Islam dapat membantu mengkontekstualisasikan peristiwa sejarah dengan dinamika politik Islam saat ini. Oleh karena itu, disarankan agar:

·                     Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi Islam mengembangkan kurikulum yang memperkuat pemahaman sejarah dengan pendekatan multidisipliner.

·                     Kajian sejarah Islam lebih banyak menggunakan sumber primer, seperti "Tarikh al-Rusul wa al-Muluk" karya al-Tabari, dan "Al-Kamil fi al-Tarikh" karya Ibn Athir, yang dapat dikombinasikan dengan jurnal ilmiah untuk pemahaman yang lebih komprehensif.¹²


Catatan Kaki

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8 (Beirut: Dar al-Turath, 1987), 230-233.

[2]                Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 410-412.

[3]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London: Routledge, 2015), 178-181.

[4]                Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran (Albany: SUNY Press, 1988), 90-93.

[5]                Chase F. Robinson, Empires and Elites After the Muslim Conquest: The Transformation of Northern Mesopotamia (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 154-157.

[6]                Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 141-144.

[7]                Bernard Lewis, The Abbasid Revolution (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 85-88.

[8]                Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 183-185.

[9]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 305-308.

[10]             Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 102-105.

[11]             Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate, 350-352.

[12]             Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History (London: Croom Helm, 1981), 130-133.


Daftar Pustaka

Crone, P. (1980). Slaves on horses: The evolution of the Islamic polity. Cambridge University Press.

Crone, P. (2004). Medieval Islamic political thought. Edinburgh University Press.

Donner, F. M. (1981). The early Islamic conquests. Princeton University Press.

Ibn Athir. (1998). Al-Kamil fi al-Tarikh (Vol. 5). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.

Kennedy, H. (1981). The early Abbasid caliphate: A political history. Croom Helm.

Kennedy, H. (2004). The court of the caliphs: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Weidenfeld & Nicolson.

Kennedy, H. (2015). The prophet and the age of the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century (2nd ed.). Routledge.

Kennedy, H. (2005). When Baghdad ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Da Capo Press.

Lewis, B. (1970). The Abbasid revolution. Cambridge University Press.

Madelung, W. (1988). Religious trends in early Islamic Iran. SUNY Press.

Madelung, W. (1997). The succession to Muhammad: A study of the early caliphate. Cambridge University Press.

Robinson, C. F. (2000). Empires and elites after the Muslim conquest: The transformation of northern Mesopotamia. Cambridge University Press.

Robinson, C. F. (2010). The new Cambridge history of Islam, Volume 1: The formation of the Islamic world, sixth to eleventh centuries. Cambridge University Press.

Tabari, M. I. J. (1987). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Vol. 8). Dar al-Turath.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar