Sejarah Kebudayaan Islam
Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Kelas : 11 (Sebelas)
Abstrak
Peralihan kekuasaan dari
Daulah Umayyah ke Daulah Abbasiyah merupakan salah satu perubahan politik
terbesar dalam sejarah Islam. Artikel ini membahas faktor-faktor penyebab
kejatuhan Umayyah, strategi perebutan kekuasaan oleh Abbasiyah, serta dampak
awal pemerintahan Abbasiyah dengan pendekatan berbasis sumber klasik dan kajian
ilmiah modern. Kajian ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap Mawali,
konflik internal, dan ketidakstabilan politik menjadi faktor utama melemahnya
Daulah Umayyah. Sementara itu, keberhasilan Abbasiyah tidak hanya bergantung
pada kekuatan militer, tetapi juga pada strategi politik yang matang,
propaganda ideologi Ahlul Bait, dan dukungan luas dari kelompok yang merasa
tertindas oleh kebijakan Umayyah. Setelah merebut kekuasaan, Abbasiyah membawa
perubahan signifikan dalam administrasi pemerintahan Islam, termasuk pergeseran
pusat kekuasaan ke Baghdad dan penguatan sistem birokrasi berbasis model
Persia. Namun, mereka juga menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas
politik serta merespons tuntutan kelompok-kelompok yang sebelumnya mendukung
mereka. Kesimpulan dari kajian ini menyoroti bahwa transisi kepemimpinan dalam
sejarah Islam tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh
faktor sosial, ekonomi, dan legitimasi ideologi. Artikel ini merekomendasikan
pentingnya studi sejarah Islam berbasis literatur klasik dan penelitian
akademik untuk memahami dinamika politik Islam dalam konteks historis dan
kontemporer.
Kata Kunci: Daulah
Abbasiyah, Daulah Umayyah, Revolusi Abbasiyah, Sejarah Islam, Perebutan
Kekuasaan, Mawali, Ahlul Bait, Politik Islam.
PEMBAHASAN
Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 1 - Proses
Lahirnya Daulah Abbasiyah
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa transisi
kekuasaan dari Daulah Umayyah ke Daulah
Abbasiyah merupakan salah satu peristiwa politik terbesar dalam
peradaban Islam. Pergantian dinasti ini bukan sekadar peralihan kepemimpinan,
tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang
dalam masyarakat Islam pada abad ke-8 M. Revolusi Abbasiyah terjadi sebagai
respons terhadap ketidakpuasan masyarakat, khususnya kelompok Mawali
(non-Arab Muslim), serta kekecewaan terhadap pemerintahan
Umayyah yang dinilai lebih berpihak kepada elite Quraisy dan cenderung
eksklusif terhadap bangsa Arab.¹
Selain itu, keberhasilan Bani
Abbas dalam merebut kekuasaan tidak terlepas dari peran strategis Abu
Muslim al-Khurasani, seorang pemimpin militer di Khurasan, yang
menggalang dukungan dari berbagai kelompok yang merasa dirugikan oleh kebijakan
Umayyah.² Revolusi ini juga mendapat legitimasi ideologis dari klaim bahwa Bani
Abbas memiliki hubungan darah dengan Rasulullah Saw melalui paman beliau, al-Abbas
bin Abdul Muththalib. Klaim ini memperkuat propaganda politik
mereka dan menarik dukungan luas dari umat Islam, terutama kelompok Syiah
Abbasiyah yang menuntut kepemimpinan dari Ahlul Bait.³
Kajian ini akan mengevaluasi
proses lahirnya Daulah Abbasiyah melalui tinjauan kritis terhadap kitab-kitab
sejarah klasik seperti "Tarikh al-Rusul wa al-Muluk"
karya al-Tabari, "Al-Kamil fi al-Tarikh"
karya Ibnu Athir, serta "Muqaddimah"
karya Ibn Khaldun. Selain itu, analisis akan diperkuat dengan referensi dari
jurnal ilmiah Islami kontemporer guna memberikan perspektif akademik yang lebih
luas.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan mendasar sebagai
berikut:
1)
Apa faktor utama yang
menyebabkan keruntuhan Daulah Umayyah?
2)
Bagaimana strategi politik
dan militer yang digunakan oleh Bani Abbas dalam merebut kekuasaan?
3)
Siapa saja tokoh kunci
dalam proses lahirnya Daulah Abbasiyah dan apa peran mereka?
4)
Bagaimana perubahan politik
dan administrasi setelah berdirinya Daulah Abbasiyah?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan
artikel ini adalah:
1)
Menjelaskan
faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya Daulah Umayyah, baik
dari sisi internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup kelemahan
kepemimpinan dan konflik dinasti, sedangkan faktor eksternal mencakup
perlawanan dari kelompok Mawali, Syiah, dan gerakan Abbasiyah yang
terorganisir.⁴
2)
Menganalisis
strategi politik dan militer yang digunakan oleh Bani Abbas
dalam merebut kekuasaan, termasuk propaganda ideologi Ahlul Bait dan peran
jaringan dakwah rahasia di wilayah Khurasan.⁵
3)
Mengevaluasi
dampak perubahan sistem pemerintahan setelah berdirinya Daulah
Abbasiyah, termasuk pergeseran kekuasaan dari Damaskus ke Baghdad serta
perubahan kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan.⁶
Kajian ini tidak hanya bertujuan
untuk memahami sejarah secara akademik, tetapi juga untuk mengambil pelajaran
dari dinamika politik masa lalu guna memahami pola kepemimpinan dalam peradaban
Islam.
Catatan Kaki
[1]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic
Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London:
Routledge, 2015), 123-125.
[2]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 7
(Beirut: Dar al-Turath, 1987), 142-145.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 213.
[4]
Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 4
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 321-324.
[5]
Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens
(London: Macmillan, 1899), 209-211.
[6]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the
Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
315-318.
2.
Latar Belakang Sejarah
2.1.
Kondisi Sosial-Politik Daulah Umayyah Menjelang
Runtuhnya
Daulah Umayyah (661–750 M)
merupakan kekhalifahan Islam pertama yang menerapkan sistem monarki herediter
dalam pemerintahan Islam. Dinasti ini mencapai puncak kejayaannya di bawah
kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685–705 M) dan putranya, Al-Walid
bin Abdul Malik (705–715 M). Namun, memasuki abad ke-8, pemerintahan Umayyah
mulai mengalami kemunduran yang dipicu oleh berbagai faktor internal dan
eksternal.
Secara internal, Daulah
Umayyah mengalami konflik dinasti dan persaingan antar-elit
Quraisy, yang semakin melemahkan stabilitas politik. Selain
itu, kecenderungan khalifah-khalifah terakhir untuk menjalani gaya hidup mewah
dan mengabaikan kepentingan rakyat menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di
kalangan umat Islam.¹ Salah satu faktor utama yang mempercepat kejatuhan
Umayyah adalah politik diskriminatif terhadap non-Arab
(Mawali). Sistem ini membuat orang-orang non-Arab Muslim,
khususnya dari Persia dan wilayah lain di luar jazirah Arab, diperlakukan
sebagai warga kelas dua meskipun mereka telah masuk Islam. Kebijakan ini
menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok
Abbasiyah dalam propagandanya.²
Dari sisi eksternal,
perlawanan dari kelompok Syiah, Khawarij,
dan berbagai faksi oposisi lainnya semakin memperlemah kekuasaan Umayyah.
Kelompok Syiah mendukung klaim kepemimpinan oleh Ahlul Bait, sementara Khawarij
menolak konsep monarki dalam Islam dan menentang kepemimpinan yang tidak
berdasarkan pemilihan meritokratis.³ Selain itu, munculnya gerakan oposisi di
Khurasan—yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani—menjadi faktor penentu yang
mempercepat keruntuhan Umayyah.⁴
2.2.
Gerakan Oposisi terhadap Daulah Umayyah
Gerakan oposisi terhadap
Daulah Umayyah dipimpin oleh keluarga Abbasiyah, yang
merupakan keturunan dari al-Abbas bin Abdul Muththalib,
paman Rasulullah Saw. Mereka menggunakan klaim keturunan ini untuk mendapatkan
dukungan dari umat Islam, terutama dari kelompok Syiah Abbasiyah dan penduduk
non-Arab yang merasa tertindas.
Gerakan ini berpusat di
wilayah Khurasan, yang menjadi
basis utama bagi oposisi terhadap kekuasaan Umayyah. Abu Muslim al-Khurasani,
seorang pemimpin militer yang karismatik, memainkan peran penting dalam
mengorganisir pemberontakan melawan Umayyah. Ia memanfaatkan ketidakpuasan
masyarakat lokal dan menyebarkan propaganda bahwa kekhalifahan seharusnya
dikembalikan kepada keturunan Nabi Muhammad Saw.⁵
Strategi propaganda Abbasiyah
sangat efektif karena mereka menekankan bahwa pemerintahan Umayyah tidak sah
dan menindas kaum Muslimin, khususnya non-Arab. Mereka juga berhasil membangun
jaringan da’i dan perwakilan di berbagai wilayah Islam untuk menggalang
dukungan terhadap perjuangan Abbasiyah.⁶
Pada tahun 747 M, gerakan
revolusi Abbasiyah mencapai puncaknya ketika Abu Muslim al-Khurasani memimpin
pemberontakan besar di Khurasan dan berhasil mengalahkan pasukan Umayyah.⁷
Puncaknya terjadi dalam Pertempuran Zab Besar
pada tahun 750 M, di mana pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu al-Abbas
as-Saffah berhasil mengalahkan Khalifah Marwan II, yang kemudian melarikan diri
ke Mesir dan akhirnya dibunuh.⁸ Kekalahan ini menandai runtuhnya Daulah Umayyah
dan berdirinya kekuasaan Abbasiyah dengan Abu al-Abbas as-Saffah sebagai
khalifah pertama.
Catatan Kaki
[1]
Hugh Kennedy, The Court of the Caliphs: The Rise and Fall of
Islam’s Greatest Dynasty (London: Weidenfeld & Nicolson, 2004),
203-205.
[2]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8
(Beirut: Dar al-Turath, 1987), 117-119.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 245-248.
[4]
Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran
(Albany: SUNY Press, 1988), 65-68.
[5]
Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic
Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 121-123.
[6]
Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 356-360.
[7]
Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens
(London: Macmillan, 1899), 234-237.
[8]
Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The
Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century, 145-147.
3.
Proses Perebutan Kekuasaan oleh Bani Abbas
3.1.
Peran Abu Muslim al-Khurasani dan Revolusi
Khurasan
Gerakan revolusi Abbasiyah
mencapai momentum puncaknya ketika Abu Muslim al-Khurasani
muncul sebagai pemimpin yang mampu menggalang kekuatan di wilayah Khurasan,
sebuah kawasan yang menjadi basis utama perlawanan terhadap Daulah Umayyah.
Wilayah ini dihuni oleh banyak Mawali (Muslim
non-Arab) yang merasa didiskriminasi oleh kebijakan Umayyah
yang berbasis supremasi Arab.ⁱ¹ Abu Muslim memanfaatkan ketidakpuasan ini
dengan menyebarkan propaganda bahwa pemerintahan seharusnya berada di tangan
Ahlul Bait, sebuah klaim yang mendapat dukungan dari berbagai kelompok oposisi,
termasuk kaum Syiah Abbasiyah.ⁱ²
Pada tahun 747
M (129 H), Abu Muslim melancarkan pemberontakan terbuka
terhadap Daulah Umayyah, dengan mengibarkan bendera hitam
sebagai simbol perjuangan Abbasiyah. Ia berhasil merebut kota Merv,
yang kemudian dijadikan pusat operasi militer untuk mengonsolidasikan kekuatan
pasukan Abbasiyah.ⁱ³ Setelah menguasai Khurasan, pasukan Abu Muslim mulai
bergerak ke barat, merebut kota-kota strategis di Persia dan Irak.
Salah satu faktor kunci
keberhasilan Abu Muslim adalah strategi militernya
yang fleksibel dan berbasis gerilya. Berbeda dengan pasukan
Umayyah yang terorganisir dalam formasi besar, pasukan Abbasiyah menggunakan
taktik serangan kilat yang cepat dan efisien.ⁱ⁴ Keberhasilan ini membuat Daulah
Umayyah semakin kehilangan kendali atas wilayah-wilayah timur, yang pada
akhirnya mempercepat kejatuhan mereka.
3.2.
Pertempuran Zab dan Akhir Daulah Umayyah
Puncak dari revolusi
Abbasiyah terjadi dalam Pertempuran Zab Besar
pada bulan Januari 750 M (132 H), ketika
pasukan Abbasiyah yang dipimpin oleh Abu al-Abbas as-Saffah
dan Abdullah bin Ali bertemu dengan pasukan Umayyah yang
dipimpin oleh Khalifah Marwan II di
tepi Sungai Zab, dekat Mosul.ⁱ⁵
Pasukan Abbasiyah menggunakan
taktik pengepungan dan serangan dari berbagai sisi,
yang membuat pasukan Umayyah kesulitan bertahan. Kelemahan utama pasukan
Umayyah adalah kurangnya koordinasi dan moral tempur yang rendah akibat
perselisihan internal di kalangan elite mereka. Setelah pertempuran sengit,
pasukan Marwan II mengalami kekalahan besar, dan ia sendiri terpaksa melarikan
diri ke Mesir. Namun, pengejaran Abbasiyah tidak berhenti di situ; pada bulan
Agustus 750 M, Marwan II akhirnya ditemukan dan dibunuh di wilayah Fustat,
Mesir, yang secara resmi mengakhiri pemerintahan Daulah Umayyah.ⁱ⁶
Untuk mencegah kemungkinan
bangkitnya kembali dinasti Umayyah, Bani Abbas melakukan pembantaian
besar-besaran terhadap keluarga Umayyah. Mereka yang masih
hidup dikejar dan dibunuh, kecuali satu orang, yaitu Abdurrahman
bin Mu'awiyah, yang berhasil melarikan diri ke Andalusia dan
mendirikan Daulah Umayyah di Cordoba
pada tahun 756 M.ⁱ⁷
3.3.
Pengangkatan Abu al-Abbas as-Saffah sebagai
Khalifah Pertama Abbasiyah
Setelah kemenangan dalam
Pertempuran Zab, Bani Abbas segera mengambil langkah untuk mengonsolidasikan
kekuasaan mereka. Pada bulan November 750 M,
Abu al-Abbas as-Saffah dideklarasikan sebagai khalifah pertama Daulah
Abbasiyah dalam sebuah upacara resmi di Kufah,
yang kemudian dijadikan ibu kota sementara pemerintahan Abbasiyah.ⁱ⁸
Gelar "As-Saffah"
(yang banyak menumpahkan darah) yang disematkan kepada Abu
al-Abbas mencerminkan kebijakan kerasnya dalam mengeliminasi sisa-sisa kekuatan
Umayyah. Sebagai bagian dari upaya memperkuat legitimasinya, ia menekankan
bahwa kekhalifahan Abbasiyah adalah pemulihan hak Ahlul
Bait, berbeda dari pemerintahan Umayyah yang dianggap menindas
keturunan Nabi Muhammad Saw.ⁱ⁹
3.4.
Konsolidasi Kekuasaan dan Awal Pemerintahan
Abbasiyah
Setelah berhasil merebut
kekuasaan, langkah berikutnya bagi Bani Abbas adalah memperkuat
struktur pemerintahan dan menstabilkan wilayah-wilayah yang
baru dikuasai. Beberapa kebijakan awal yang diterapkan oleh Abu al-Abbas antara
lain:
·
Pemindahan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Irak:
Ini menandai perubahan besar dalam
kebijakan Abbasiyah yang lebih berorientasi ke dunia Persia dan Timur, berbeda
dengan Umayyah yang lebih berpusat di dunia Arab.
·
Reformasi
administrasi:
Sistem birokrasi diperkuat dengan
mengadopsi model administrasi Persia, yang lebih efisien dibandingkan sistem
kesukuan yang diterapkan oleh Umayyah.
·
Aliansi
dengan kelompok Mawali dan Syiah Abbasiyah:
Ini dilakukan untuk menjaga dukungan
dari kelompok yang berperan besar dalam kemenangan Abbasiyah.
Meskipun berhasil menguasai
pemerintahan, kepemimpinan Abu al-Abbas hanya berlangsung selama empat
tahun (750–754 M) sebelum ia wafat dan digantikan oleh saudaranya,
Abu Ja’far al-Mansur, yang kemudian menjadi
arsitek utama stabilisasi dan perluasan kekuasaan Abbasiyah.²⁰
Catatan Kaki
[1]
Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political
History (London: Croom Helm, 1981), 73-75.
[2]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8
(Beirut: Dar al-Turath, 1987), 189-191.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 260-263.
[4]
Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran
(Albany: SUNY Press, 1988), 78-80.
[5]
Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic
Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 134-137.
[6]
Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 380-383.
[7]
Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The
Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century, 165-167.
[8]
Syed Ameer Ali, A Short History of the Saracens
(London: Macmillan, 1899), 242-245.
[9]
Kennedy, The Early Abbasid Caliphate, 93-95.
[10] Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 195-198.
4.
Evaluasi Proses Lahirnya Daulah Abbasiyah
4.1.
Keunggulan Strategi Abbasiyah dalam Perebutan
Kekuasaan
Keberhasilan Bani
Abbasiyah dalam menggulingkan Daulah Umayyah
tidak hanya disebabkan oleh kelemahan internal Umayyah, tetapi juga karena
strategi politik dan militer Abbasiyah yang sangat efektif. Terdapat beberapa
faktor utama yang menjadikan mereka berhasil merebut kekuasaan:
4.1.1.
Basis
Gerakan di Khurasan
Khurasan menjadi pusat
utama pergerakan Abbasiyah, jauh dari pusat kekuasaan Umayyah
di Damaskus. Wilayah ini dihuni oleh banyak Mawali (Muslim
non-Arab) yang merasa dirugikan oleh kebijakan diskriminatif
Umayyah. Dengan menempatkan Abu Muslim al-Khurasani
sebagai pemimpin militer di wilayah ini, Abbasiyah mampu mengorganisir revolusi
dengan baik.¹
4.1.2. Jaringan Dakwah Rahasia dan
Propaganda Ideologi Ahlul Bait
Bani Abbasiyah menggunakan
propaganda bahwa kepemimpinan Islam seharusnya berada di tangan Ahlul
Bait, yakni keturunan dari Nabi Muhammad Saw melalui paman
beliau, al-Abbas bin Abdul Muththalib.
Propaganda ini menarik dukungan luas, terutama dari kelompok Syiah
Abbasiyah dan penduduk Persia yang memiliki kecenderungan kuat
terhadap konsep wilayah Ahlul Bait.²
4.1.3. Kekuatan Militer yang Fleksibel
dan Terorganisir
Pasukan Abbasiyah yang
dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani
menerapkan taktik perang gerilya dan mobilisasi cepat, berbeda dengan pasukan
Umayyah yang lebih mengandalkan formasi besar dan terbuka. Fleksibilitas
strategi militer ini membuat pasukan Abbasiyah mampu mengalahkan Umayyah dalam Pertempuran
Zab (750 M).³
4.2.
Dampak Awal Berdirinya Daulah Abbasiyah
Setelah berhasil
menggulingkan Daulah Umayyah, Bani Abbasiyah segera melakukan konsolidasi kekuasaan
dengan sejumlah kebijakan yang berdampak signifikan terhadap perkembangan
politik dan sosial di dunia Islam.
4.2.1. Perubahan Pusat Kekuasaan dari
Damaskus ke Baghdad
Salah satu langkah penting
yang dilakukan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M)
adalah memindahkan ibu kota dari Kufah ke Baghdad
pada tahun 762 M. Kota ini didesain sebagai pusat pemerintahan,
ekonomi, dan keilmuan, yang kemudian berkembang menjadi kota
metropolitan terbesar di dunia Islam.⁴
4.2.2. Sistem Pemerintahan yang Lebih
Terpusat dan Profesional
Abbasiyah mengadopsi sistem
administrasi model Persia Sasaniyah,
yang lebih terstruktur dibandingkan sistem pemerintahan Umayyah yang berbasis
kesukuan. Mereka memperkenalkan sistem diwan (departemen
administrasi), serta posisi wazir (perdana menteri)
untuk membantu tugas khalifah.⁵
4.2.3. Hubungan dengan Kelompok Syiah
dan Mawali
Meskipun awalnya mendapat
dukungan dari kelompok Syiah Abbasiyah, setelah
berkuasa, pemerintahan Abbasiyah justru menjauh dari kelompok ini dan menekan
berbagai gerakan Syiah revolusioner,
seperti pemberontakan Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah (762 M).
Hal ini menunjukkan bahwa Abbasiyah lebih mengutamakan stabilitas
politik dibandingkan kesetiaan ideologis kepada Syiah.⁶
4.3.
Perbandingan dengan Transisi Kekuasaan Sebelumnya
Perebutan kekuasaan oleh
Abbasiyah memiliki beberapa perbedaan mendasar dibandingkan dengan transisi
kekhalifahan sebelumnya, seperti peralihan dari Khulafaur Rasyidin ke
Umayyah.
·
Transisi Khulafaur
Rasyidin ke Umayyah
Penyebab utama: Perselisihan
mengenai kepemimpinan Islam setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib
Metode perebutan
kekuasaan: Peralihan berbasis kekuatan politik dan militer
melalui perang saudara (Perang Siffin dan Perang Jamal)
Legitimasi: Klaim
bahwa kepemimpinan harus berdasarkan konsensus elite Quraisy
Sistem pemerintahan: Kekhalifahan
dengan sistem monarki hereditas yang berbasis Arab-sentris
·
Transisi Umayyah ke
Abbasiyah
Penyebab utama: Ketidakpuasan
terhadap diskriminasi Umayyah dan propaganda Abbasiyah
Metode perebutan
kekuasaan: Revolusi rahasia dan gerakan militer terbuka
(Revolusi Abbasiyah)
Legitimasi: Klaim
bahwa kepemimpinan harus berada di tangan Ahlul Bait
Sistem pemerintahan: Kekhalifahan
dengan sistem birokrasi yang lebih kosmopolitan dan multi-etnis
Dari tabel tersebut, dapat
disimpulkan bahwa transisi kekuasaan Abbasiyah lebih sistematis dibandingkan
peralihan sebelumnya, dengan propaganda dan strategi politik yang
lebih matang.
Catatan Kaki
[1]
Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political
History (London: Croom Helm, 1981), 115-118.
[2]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8
(Beirut: Dar al-Turath, 1987), 225-228.
[3]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 290-293.
[4]
Chase F. Robinson, The New Cambridge History of Islam, Volume 1:
The Formation of the Islamic World, Sixth to Eleventh Centuries
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 320-323.
[5]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the
Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
345-348.
[6]
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 95-98.
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian terhadap
proses lahirnya Daulah Abbasiyah, dapat
disimpulkan bahwa kejatuhan Daulah Umayyah dan kebangkitan
Abbasiyah merupakan hasil dari kombinasi faktor internal dan
eksternal.
5.1.1. Faktor Utama Runtuhnya Daulah
Umayyah
Beberapa faktor utama yang
menyebabkan kejatuhan Daulah Umayyah meliputi:
·
Diskriminasi
terhadap Mawali (Muslim Non-Arab):
Kebijakan Umayyah yang lebih
mengutamakan bangsa Arab menimbulkan ketidakpuasan luas, terutama di wilayah
Khurasan, Persia, dan Irak.¹
·
Konflik
Internal dan Ketidakstabilan Dinasti:
Terjadi persaingan dalam suksesi
kepemimpinan, terutama setelah wafatnya Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (743
M). Perselisihan internal ini memperlemah stabilitas politik Daulah Umayyah.²
·
Gerakan
Propaganda Abbasiyah:
Bani Abbasiyah berhasil membangun
propaganda berbasis klaim bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad Saw
melalui al-Abbas bin Abdul Muththalib, sehingga lebih layak menjadi pemimpin
umat Islam.³
·
Keunggulan
Strategi Militer dan Politik Abbasiyah:
Dengan peran sentral Abu Muslim
al-Khurasani, pasukan Abbasiyah berhasil mengalahkan Umayyah dalam Pertempuran
Zab (750 M) dan memastikan transisi kekuasaan.⁴
5.1.2. Transformasi Politik dan Sosial
di Era Abbasiyah
Setelah merebut kekuasaan,
Daulah Abbasiyah membawa berbagai perubahan dalam sistem pemerintahan Islam:
·
Perubahan
pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad, yang menjadikan
dunia Islam lebih terhubung dengan peradaban Persia dan mempercepat
perkembangan ilmu pengetahuan.⁵
·
Sistem
birokrasi yang lebih terstruktur, mengadopsi model administrasi
Persia dan memperkenalkan konsep wazir (perdana menteri) sebagai
penasihat utama khalifah.⁶
·
Penguatan
sistem pendidikan dan keilmuan, yang mencapai puncaknya pada
masa Khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Khalifah al-Ma'mun (813–833 M),
dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat
intelektual Islam.⁷
5.1.3. Pembelajaran dari Peralihan
Kekuasaan
Sejarah transisi dari Umayyah
ke Abbasiyah menunjukkan bahwa perubahan kepemimpinan
dalam Islam tidak hanya dipengaruhi oleh faktor militer, tetapi
juga oleh dukungan sosial dan legitimasi ideologi.
Abbasiyah mampu merebut kekuasaan karena berhasil membangun koalisi
luas antara berbagai kelompok yang merasa tertindas oleh Umayyah.
Namun, setelah berkuasa, Abbasiyah menghadapi tantangan baru dalam menjaga
kestabilan politik dan menangani kelompok-kelompok yang sebelumnya mendukung
mereka.⁸
5.2.
Rekomendasi
5.2.1. Pentingnya Studi Sejarah Islam
dalam Pendidikan
Studi mengenai transisi dari
Umayyah ke Abbasiyah memberikan pelajaran penting tentang dampak
kebijakan pemerintahan terhadap stabilitas politik. Oleh karena
itu, penting bagi dunia pendidikan Islam untuk lebih mendalami sejarah Islam
dengan pendekatan akademik berbasis sumber primer seperti kitab al-Tabari,
Ibn Athir, dan Ibn Khaldun.⁹
5.2.2. Relevansi bagi Pemimpin Muslim
Kontemporer
Beberapa pelajaran yang bisa
diambil dari peristiwa ini untuk para pemimpin Muslim saat ini:
·
Kepemimpinan
yang adil dan inklusif lebih kuat dibandingkan dengan
kepemimpinan yang bersifat diskriminatif. Seperti yang ditunjukkan oleh
Abbasiyah, keterlibatan berbagai kelompok dalam pemerintahan membawa stabilitas
yang lebih besar dibandingkan dengan model pemerintahan eksklusif seperti yang
diterapkan oleh Umayyah.¹⁰
·
Propaganda
politik dapat menjadi alat yang efektif, tetapi harus diikuti
dengan kebijakan yang sesuai agar tidak menimbulkan ketidakstabilan setelah
merebut kekuasaan. Abbasiyah pada akhirnya menghadapi perlawanan dari kelompok
Syiah yang sebelumnya mendukung mereka, karena kebijakan mereka berubah setelah
berkuasa.¹¹
5.2.3. Penguatan Kajian SKI Berbasis
Literatur Klasik dan Jurnal Islami
Untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI),
perlu adanya integrasi antara kitab-kitab klasik dan
penelitian ilmiah modern. Kajian berbasis jurnal
ilmiah Islam dapat membantu mengkontekstualisasikan peristiwa
sejarah dengan dinamika politik Islam saat ini. Oleh karena itu, disarankan
agar:
·
Madrasah
Aliyah dan perguruan tinggi Islam mengembangkan kurikulum yang
memperkuat pemahaman sejarah dengan pendekatan multidisipliner.
·
Kajian
sejarah Islam lebih banyak menggunakan sumber primer, seperti "Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk" karya al-Tabari, dan "Al-Kamil
fi al-Tarikh" karya Ibn Athir, yang dapat dikombinasikan
dengan jurnal ilmiah untuk pemahaman yang lebih komprehensif.¹²
Catatan Kaki
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 8
(Beirut: Dar al-Turath, 1987), 230-233.
[2]
Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 410-412.
[3]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The
Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London:
Routledge, 2015), 178-181.
[4]
Wilferd Madelung, Religious Trends in Early Islamic Iran
(Albany: SUNY Press, 1988), 90-93.
[5]
Chase F. Robinson, Empires and Elites After the Muslim Conquest:
The Transformation of Northern Mesopotamia (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 154-157.
[6]
Patricia Crone, Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic
Polity (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 141-144.
[7]
Bernard Lewis, The Abbasid Revolution (Cambridge:
Cambridge University Press, 1970), 85-88.
[8]
Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates,
183-185.
[9]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 305-308.
[10]
Crone, Medieval Islamic Political Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 102-105.
[11]
Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the
Early Caliphate, 350-352.
[12]
Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political
History (London: Croom Helm, 1981), 130-133.
Daftar Pustaka
Crone, P. (1980). Slaves on horses: The
evolution of the Islamic polity. Cambridge University Press.
Crone, P. (2004). Medieval Islamic political
thought. Edinburgh University Press.
Donner, F. M. (1981). The early Islamic
conquests. Princeton University Press.
Ibn Athir. (1998). Al-Kamil fi al-Tarikh
(Vol. 5). Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah (F.
Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.
Kennedy, H. (1981). The early Abbasid caliphate:
A political history. Croom Helm.
Kennedy, H. (2004). The court of the caliphs:
The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Weidenfeld & Nicolson.
Kennedy, H. (2015). The prophet and the age of
the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century
(2nd ed.). Routledge.
Kennedy, H. (2005). When Baghdad ruled the
Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Da Capo Press.
Lewis, B. (1970). The Abbasid revolution.
Cambridge University Press.
Madelung, W. (1988). Religious trends in early
Islamic Iran. SUNY Press.
Madelung, W. (1997). The succession to Muhammad:
A study of the early caliphate. Cambridge University Press.
Robinson, C. F. (2000). Empires and elites after
the Muslim conquest: The transformation of northern Mesopotamia. Cambridge
University Press.
Robinson, C. F. (2010). The new Cambridge
history of Islam, Volume 1: The formation of the Islamic world, sixth to
eleventh centuries. Cambridge University Press.
Tabari, M. I. J. (1987). Tarikh al-Rusul wa
al-Muluk (Vol. 8). Dar al-Turath.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar