Unsur-Unsur Hadits
Kajian Komprehensif Berdasarkan Kitab Ulumul Hadits,
Penjelasan Ulama, dan Kitab-Kitab Hadits Induk
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10 (Sepuluh)
Abstrak
Kajian hadits merupakan salah
satu disiplin ilmu penting dalam Islam yang berfungsi untuk memastikan
keautentikan dan validitas periwayatan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Qur'an. Artikel ini membahas unsur-unsur hadis secara komprehensif
berdasarkan kitab-kitab Ulumul Hadits, penjelasan
ulama klasik dan kontemporer, serta penerapannya dalam kitab-kitab hadis induk.
Unsur utama dalam hadits—sanad, matan, dan perawi—menjadi
dasar dalam menilai kualitas suatu hadis, yang kemudian diklasifikasikan
menjadi shahih, hasan, dan dha’if.
Melalui pendekatan analitis
terhadap kitab-kitab hadis induk seperti Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
dan Jami‘ At-Tirmidzi, artikel ini menunjukkan bagaimana
ulama menerapkan metodologi kritis dalam seleksi hadis. Imam Al-Bukhari
menetapkan standar tinggi dengan keharusan pertemuan langsung (liqa’)
antar perawi, sementara Imam Muslim menekankan konsep mutaba‘ah
dalam sanad. Ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh
Muhammad Mustafa Al-A‘zami juga memberikan kontribusi dalam mempertahankan
validitas hadis, khususnya dalam menghadapi kritik dari orientalis.
Di era modern, tantangan
dalam studi hadits semakin kompleks, terutama dalam menghadapi kritik dari studi
akademik Barat dan penyebaran hadis palsu di media sosial. Oleh karena itu,
diperlukan penguatan metodologi kajian hadis dengan memanfaatkan teknologi
digital dan pendekatan multidisipliner. Dengan demikian, studi hadis tetap
relevan dalam memastikan bahwa ajaran Islam yang diamalkan bersumber dari hadis
yang autentik dan terpercaya.
Kata Kunci: Hadis, sanad,
matan, perawi, shahih, hasan, dha’if, kritik hadis, kitab hadis induk, ulumul
hadits, metodologi hadis.
PEMBAHASAN
Unsur-Unsur Hadits
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Hadits dan
Relevansinya
Hadis secara bahasa berasal
dari akar kata ḥaddaṡa yang berarti
"berbicara, menyampaikan, atau memberitakan sesuatu yang baru."1
Secara terminologis, hadis didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, atau sifat-sifatnya.2 Dalam Islam, hadis
berfungsi sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dan menjadi pedoman bagi
umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Kajian hadis, terutama pada
unsur-unsurnya seperti sanad, matan, dan perawi, memainkan peran penting dalam
menjaga keautentikan ajaran Islam. Imam Al-Bukhari misalnya, pernah menyatakan
bahwa sanad adalah "senjata" bagi seorang muslim, dan
tanpanya, seseorang bisa saja mengklaim sesuatu yang tidak benar sebagai ajaran
agama.3 Oleh karena itu, memahami unsur-unsur hadis tidak
hanya penting bagi para ulama, tetapi juga bagi setiap Muslim yang ingin
memahami agamanya dengan benar.
1.2.
Metode Kajian Artikel
Artikel ini menggunakan
pendekatan analitis-deskriptif,
yaitu menganalisis secara mendalam unsur-unsur hadis berdasarkan rujukan utama
seperti kitab-kitab ulumul hadits (Musthalah al-Hadits) karya ulama
klasik, kitab-kitab induk hadis, serta pendapat ulama kontemporer. Kajian ini
akan mengintegrasikan penjelasan teoretis dan penerapan praktis melalui
analisis sanad dan matan hadis dari kitab-kitab induk, seperti Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Metode ini penting untuk memastikan keabsahan
kajian dan memanfaatkan referensi yang kredibel sesuai standar ilmiah.
Pendekatan ini juga
mempertimbangkan penjelasan ulama klasik seperti Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah
Ibnu Shalah dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi ‘Ilm
al-Riwayah, serta ulama modern seperti Syekh Muhammad Mustafa Al-A’zami
yang memberikan wawasan kontekstual terhadap dinamika studi hadis di era
kontemporer.4 Dengan demikian, artikel
ini diharapkan memberikan pandangan yang komprehensif dan objektif tentang
unsur-unsur hadis.
Footnotes
[1]
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairie
du Liban, 1968), 1:513.
[2]
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and
Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 12.
[3]
Al-Khatib Al-Baghdadi, al-Kifayah fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988), 24.
[4]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi ‘Ulum al-Hadith
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 8-12.
2.
Unsur-Unsur Hadits dalam Perspektif Ulumul
Hadits
Hadis merupakan salah satu
sumber utama dalam Islam setelah Al-Qur'an. Oleh karena itu, menjaga keabsahan
hadis menjadi aspek yang sangat krusial dalam kajian keislaman. Untuk menilai
validitas sebuah hadis, para ulama hadis telah mengembangkan disiplin ilmu yang
dikenal sebagai Ulumul Hadits, yang membahas
unsur-unsur hadis, yakni sanad, matan,
dan perawi (rawi). Ketiga unsur ini menjadi tolok
ukur dalam menentukan kualitas sebuah hadis, baik dari aspek autentisitas
maupun keterpercayaannya.
2.1.
Sanad
2.1.1. Definisi Sanad dan Fungsinya
dalam Validasi Hadis
Sanad secara bahasa berasal
dari kata سَنَدٌ (sanad),
yang berarti “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan pegangan.1
Dalam terminologi hadis, sanad didefinisikan sebagai rangkaian para perawi yang
menyampaikan suatu hadis hingga sampai kepada Rasulullah Saw.2
Sanad berperan sebagai rantai
transmisi yang menjadi dasar utama dalam menentukan keabsahan
sebuah hadis. Imam Muslim dalam Shahih-nya menyatakan bahwa
sanad adalah bagian integral dari hadis dan tanpa sanad, siapa pun bisa
berbicara sesuka hatinya tentang agama.3
2.1.2.
Prinsip-Prinsip Sanad yang Diterima
Para ulama hadis menetapkan
beberapa prinsip dasar dalam validasi sanad, di antaranya:
·
Muttaṣil
(bersambung):
Rangkaian perawi harus tersambung tanpa
adanya perawi yang terputus di tengah jalur sanad.4
·
‘Adālah
(keadilan perawi):
Para perawi harus memiliki integritas
moral dan keislaman yang kuat.5
·
Ḍabt
(ketelitian perawi):
Perawi harus memiliki daya ingat yang
kuat atau memiliki catatan tertulis yang akurat.6
Sebagai contoh, dalam
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, salah satu persyaratan
ketatnya adalah perawi dalam rantai sanad harus pernah bertemu langsung dengan
guru yang meriwayatkan hadis tersebut.7
2.2. Matan
2.2.1.
Definisi Matan dan Karakteristiknya
Matan adalah teks atau isi
hadis yang dikutip dari Rasulullah Saw setelah melalui jalur sanad.8
Keabsahan matan juga sangat bergantung pada kriteria-kriteria tertentu yang
memastikan bahwa teks hadis tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam lainnya.
2.2.2.
Kriteria Matan yang Shahih
Para ulama hadis menetapkan
beberapa kriteria dalam menilai keabsahan matan hadis, di antaranya:
·
Tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an:
Sebuah hadis yang bertentangan dengan
nash Al-Qur’an yang qath’i dianggap bermasalah.9
·
Tidak
bertentangan dengan hadis yang lebih kuat:
Jika ada dua hadis yang bertentangan,
maka hadis dengan sanad lebih kuat yang diterima.10
·
Tidak
mengandung makna yang bertentangan dengan akal sehat:
Hadis yang mengandung unsur yang
mustahil secara logika sering kali dikategorikan sebagai hadis palsu atau
lemah.11
Sebagai contoh, dalam kitab Tadrib
al-Rawi, Imam As-Suyuthi menekankan bahwa suatu hadis harus
memiliki kesesuaian makna dengan
prinsip-prinsip umum Islam, agar tidak mudah disusupi oleh hadis-hadis palsu.12
2.3.
Perawi (Rawi)
2.3.1.
Syarat-Syarat Perawi yang Diterima
Perawi hadis harus memenuhi
dua syarat utama, yaitu ‘adālah (kejujuran dan
ketakwaan) serta ḍabt (ketelitian dalam
meriwayatkan hadis). Imam Yahya bin Ma'in dalam kitabnya Tarikh
Ibn Ma'in menyatakan bahwa seorang perawi yang memiliki sedikit
saja kelemahan dalam ingatan dapat memengaruhi kredibilitas hadis yang
diriwayatkannya.13
2.3.2.
Metode Kritik Perawi Menurut Ulama
Para ulama hadis
mengembangkan metode jarḥ wa ta‘dīl dalam
mengevaluasi perawi:14
·
Jarḥ
(kritik negatif):
Jika seorang perawi memiliki kelemahan
dalam kejujuran atau daya ingatnya, hadis yang diriwayatkannya menjadi lemah.
·
Ta‘dīl (penilaian
positif):
Jika seorang perawi memiliki reputasi
baik dalam kejujuran dan ketelitian, hadisnya dapat diterima.
Salah satu contoh penerapan
metode ini dapat dilihat dalam kitab Tahdzib al-Kamal
karya Al-Mizzi, yang mencantumkan status perawi berdasarkan riwayat ulama
sebelumnya.15
Kesimpulan
Kajian mengenai unsur-unsur
hadis merupakan fondasi utama dalam disiplin ilmu hadis. Sanad
menjamin kesinambungan transmisi riwayat, matan
memastikan kesesuaian isi dengan ajaran Islam, dan perawi
menjadi kunci dalam validasi hadis. Melalui metode yang telah disusun oleh
ulama, kajian hadis tetap terjaga hingga saat ini sebagai sumber ajaran Islam
yang autentik.
Footnotes
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad bin Mukrim (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 3:221.
[2]
Mustafa Azami, Studies in Hadith
Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 5.
[3]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih
Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:9.
[4]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat
al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 35.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum
al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1986), 51.
[6]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh
Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:210.
[7]
Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi
Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah
al-Madani, 1995), 1:42.
[8]
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum
al-Hadith: Usuluhu wa Muqaddimatuhu
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 98.
[9]
Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah
fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 45.
[10]
Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi
Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith (Cairo:
Dar al-Hadith, 2004), 92.
[11]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 12:105.
[12]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 2:204.
[13]
Yahya ibn Ma‘in, Tarikh Ibn Ma‘in (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1996), 2:47.
[14]
Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan
al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith,
2002), 1:74.
[15]
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi
Asma’ al-Rijal (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1992), 8:122.
3.
Klasifikasi Unsur-Unsur Hadits Berdasarkan
Kitab-Kitab Ulumul Hadits
Kajian hadis tidak hanya
berhenti pada aspek sanad, matan, dan perawi, tetapi juga pada klasifikasi
hadis berdasarkan unsur-unsur tersebut. Ulama hadis telah mengembangkan
berbagai metode untuk mengelompokkan hadis guna memudahkan kajian, baik dari
sisi kualitas, kuantitas perawi, maupun aspek penerimaan dan penolakan. Dalam
bab ini, akan dibahas klasifikasi hadis berdasarkan kualitas,
kaitan antara unsur hadis dan jenis hadis, serta
contoh penerapannya dalam kitab-kitab hadis induk.
3.1.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitasnya
Klasifikasi hadis berdasarkan
kualitasnya bertujuan untuk menentukan apakah suatu hadis dapat diterima (maqbūl)
atau ditolak (mardūd). Pembagian ini
didasarkan pada sanad, matan, dan karakter perawi.
Ulama membagi hadis ke dalam tiga kategori utama: shahih,
hasan, dan dha’if.
3.1.1.
Hadits Shahih
Hadis shahih adalah hadis
yang memenuhi lima kriteria utama, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi
dalam Taqrib al-Nawawi:
1)
Sanadnya
bersambung (muttashil) tanpa adanya perawi yang terputus.1
2)
Para
perawinya bersifat adil (ʿadl), yaitu berakhlak baik dan tidak
dikenal sebagai pelaku bid’ah.2
3)
Para
perawinya memiliki ketelitian (ḍabt), baik dari aspek hafalan
maupun pencatatan.3
4)
Matan
hadis tidak mengandung syādh (kejanggalan yang bertentangan
dengan hadis yang lebih kuat).4
5)
Hadis
tidak mengandung illat (cacat tersembunyi yang merusak
keautentikan hadis).5
Contoh hadis shahih adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya,
seperti hadis tentang niat:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya amal itu tergantung
pada niatnya..."6
3.1.2.
Hadits Hasan
Hadis hasan memiliki
kemiripan dengan hadis shahih tetapi memiliki sedikit kelemahan pada aspek ḍabt
(ketelitian perawi). Imam At-Tirmidzi sering menggunakan istilah hadis hasan
dalam kitabnya, dan Imam Ibn Hajar dalam Nuzhat al-Nazhar
menyatakan bahwa hadis hasan tetap dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam.7
3.1.3.
Hadits Dha’if
Hadis dha’if adalah hadis
yang tidak memenuhi kriteria hadis shahih atau hasan karena kelemahan dalam
sanad, matan, atau perawi. Penyebab kelemahan ini bisa berupa sanad yang
terputus, perawi yang tidak adil, atau matan yang bertentangan dengan prinsip
dasar Islam.8
3.2.
Kaitan Antara Unsur Hadits dan Jenis Hadits
Pengklasifikasian hadis tidak
bisa dilepaskan dari unsur-unsurnya, karena sanad, matan, dan rawi menjadi
kunci dalam menentukan status hadis.
3.2.1.
Hubungan Kualitas Sanad dan Matan terhadap
Jenis Hadis
Para ulama menggunakan ilmu
jarḥ wa taʿdīl untuk mengevaluasi sanad dan perawi guna menilai
kualitas hadis. Berikut beberapa contoh bagaimana unsur hadis mempengaruhi
jenis hadis:
·
Hadis
Mursal:
Hadis yang perawinya tidak menyebutkan
sahabat sebagai sumber langsung dari Nabi Muhammad Saw.9
·
Hadis
Muʿallaq:
Hadis yang sanadnya terputus pada awal
jalur periwayatan.10
·
Hadis
Maqbul (Diterima) dan Mardud (Ditolak):
Hadis dengan sanad kuat dan perawi
terpercaya dianggap maqbul, sedangkan hadis yang memiliki kelemahan signifikan
dianggap mardud atau tertolak.11
3.2.2.
Studi Kasus dari Kitab Hadis Induk
Dalam kitab Sunan
Abu Dawud, ditemukan beberapa hadis yang diklasifikasikan sebagai
hasan karena memiliki perawi yang kurang kuat dalam ḍabt tetapi
tetap memiliki sanad bersambung.12 Contoh lainnya dalam Jamiʿ
At-Tirmidzi, di mana Imam Tirmidzi sering kali menjelaskan status
hadis, apakah shahih, hasan, atau dha’if, untuk memudahkan pemahaman pembaca.13
3.3.
Contoh Penerapan dalam Kitab Hadits Induk
Untuk memahami bagaimana
unsur-unsur hadis diterapkan dalam kitab-kitab hadis induk, berikut beberapa
contoh kasus:
·
Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim:
Menggunakan standar ketat dalam
pemilihan sanad, dengan hanya menerima hadis yang sanadnya tersambung dan
perawinya memiliki reputasi tinggi dalam ʿadl dan ḍabt.14
·
Sunan
Abu Dawud dan Jamiʿ At-Tirmidzi:
Memuat hadis-hadis dengan kualitas yang
beragam, dari shahih hingga dha’if, dengan catatan yang diberikan oleh penulis
untuk memperjelas status hadis.15
Kesimpulan
Klasifikasi hadis berdasarkan
unsur-unsurnya merupakan metode penting dalam Ulumul Hadits
untuk memastikan keabsahan dan kelayakan hadis sebagai sumber hukum Islam.
Hadis shahih, hasan, dan dha’if ditentukan melalui kajian mendalam terhadap
sanad, matan, dan perawi. Kitab-kitab hadis induk seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, dan Jamiʿ At-Tirmidzi menjadi
sumber utama dalam kajian ini, memberikan gambaran konkret tentang bagaimana
unsur-unsur hadis diaplikasikan dalam kodifikasi hadis.
Footnotes
[1]
Al-Nawawi, Taqrib al-Nawawi (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 13.
[2]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum
al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1986), 24.
[3]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh
Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:221.
[4]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat
al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 36.
[5]
Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah
fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.
[6]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam,
1999), no. 1.
[7]
Ibn Hajar, Nuzhat al-Nazhar, 41.
[8]
Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi
Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 95.
[9]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 15:30.
[10]
Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi
Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah
al-Madani, 1995), 2:90.
[11]
Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 2:74.
[12]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), no. 4567.
[13]
At-Tirmidzi, Jamiʿ At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 2:311.
[14]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih
Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:12.
[15]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 3:98.
4.
Penjelasan Ulama Tentang Unsur-Unsur Hadits
Para ulama hadis dari
berbagai generasi telah memberikan kontribusi besar dalam memahami dan
mengembangkan ilmu hadis. Pembahasan mengenai unsur-unsur hadis—terutama
sanad, matan, dan perawi—tidak hanya menjadi fokus dalam kajian hadis klasik,
tetapi juga terus dikaji oleh ulama kontemporer untuk menjaga keautentikan
hadis di tengah tantangan zaman. Bab ini akan menguraikan pendapat
ulama klasik dan ulama kontemporer dalam menjelaskan
unsur-unsur hadis dan metodologi mereka dalam menilai keabsahan riwayat.
4.1.
Pendapat Ulama Klasik Tentang Unsur-Unsur Hadits
4.1.1.
Imam Al-Bukhari dan Standar Kualitas Hadits
Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu ulama hadis paling berpengaruh dalam
sejarah Islam. Dalam karyanya Shahih al-Bukhari, ia menetapkan standar
yang sangat ketat dalam menilai sanad dan perawi. Salah satu prinsip utama yang
diterapkannya adalah keharusan adanya pertemuan langsung (liqa')
antara guru dan murid dalam jalur periwayatan hadis.1
Ia menolak hadis yang perawinya hanya mengandalkan kemungkinan (mu'an'anah)
tanpa adanya bukti nyata bahwa mereka pernah bertemu.2 Hal ini
membedakan metodologinya dengan Imam Muslim, yang lebih longgar dalam syarat
liqa' tetapi tetap menuntut kesambungan sanad yang kuat.3
4.1.2.
Imam Muslim dan Prinsip Mutaba'ah dalam Sanad
Imam Muslim bin al-Hajjaj (w.
261 H), dalam mukadimah Shahih Muslim, menekankan pentingnya konsep mutaba'ah—yaitu
adanya penguat dari jalur sanad lain yang mendukung keabsahan suatu riwayat.4
Menurutnya, jika ada lebih dari satu sanad yang mendukung suatu hadis dengan
perawi yang tsiqah (terpercaya), maka hadis tersebut dapat diterima meskipun
satu jalur sanad memiliki kelemahan kecil.5
4.1.3.
Al-Khatib Al-Baghdadi dan Ilmu Kritik Perawi
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463
H) dalam kitabnya al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah menguraikan secara
detail kaidah dalam menilai kredibilitas perawi.
Ia menyatakan bahwa untuk menentukan apakah seorang perawi diterima atau
ditolak, ada lima kriteria utama yang harus diperhatikan:6
1)
Keislaman
dan ketakwaan perawi harus jelas.
2)
Tidak
pernah berbuat bid’ah yang dapat mempengaruhi objektivitasnya
dalam meriwayatkan hadis.
3)
Memiliki
ketelitian dan daya ingat yang kuat (ḍabt).
4)
Tidak memiliki
catatan kebohongan dalam riwayat sebelumnya.
5)
Memiliki
sanad yang bersambung dan tidak bertentangan dengan riwayat
yang lebih kuat.
4.2.
Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Unsur-Unsur
Hadits
4.2.1.
Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Evaluasi Hadits
Dha’if
Syekh Ahmad Muhammad Syakir
(w. 1958 M), salah satu ahli hadis abad ke-20, dalam kitabnya al-Ba‘ith
al-Hathith menekankan pentingnya kajian ulang terhadap hadis-hadis dha’if.
Ia berpendapat bahwa tidak semua hadis dha’if otomatis tertolak; beberapa hadis
yang dha’if dapat diterima jika didukung oleh jalur periwayatan lain yang
memperkuatnya.7 Pendekatan ini mirip dengan konsep hasan
li ghayrihi, yaitu hadis yang menjadi kuat karena ada penguat
dari jalur lain.8
4.2.2.
Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami dan Kritik
Terhadap Orientalis
Syekh Muhammad Mustafa
Al-A‘zami (w. 2017 M) dalam karyanya Studies in Early Hadith Literature
mengkritik metode penelitian orientalis yang cenderung menolak otentisitas
hadis tanpa mempertimbangkan metodologi ulama klasik. Ia menekankan bahwa tradisi
sanad dalam Islam adalah sistem transmisi sejarah yang paling akurat
dibandingkan dengan sistem historiografi Barat.9 Dalam analisanya
terhadap manuskrip kuno, ia membuktikan bahwa sistem isnad telah ada
sejak abad pertama Hijriyah, yang membantah klaim beberapa orientalis yang
menyatakan bahwa sistem sanad baru berkembang pada abad kedua atau ketiga
Hijriyah.10
4.3.
Perbandingan Pendekatan Klasik dan Kontemporer
Pendekatan klasik dalam
menilai unsur-unsur hadis lebih berfokus pada kriteria teknis sanad
dan perawi, seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Bukhari,
Muslim, dan Al-Khatib Al-Baghdadi. Sementara itu, ulama kontemporer seperti
Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Mustafa Al-A‘zami tidak hanya
mempertahankan metode klasik, tetapi juga memberikan analisis lebih luas
terkait validitas hadis dalam konteks modern, termasuk menghadapi kritik dari
orientalis dan menyusun ulang kajian hadis dengan pendekatan akademik yang
lebih luas.
Kesimpulan
Para ulama hadis dari
berbagai generasi telah memberikan metodologi yang mendalam dalam mengkaji
unsur-unsur hadis. Ulama klasik seperti Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim
menetapkan standar ketat dalam sanad dan matan, sementara ulama kontemporer
seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Mustafa Al-A‘zami mengembangkan
pendekatan yang lebih fleksibel dan analitis dalam menilai keabsahan hadis.
Kajian hadis tetap relevan sepanjang zaman, dan metode yang dikembangkan oleh
para ulama terus menjadi standar dalam memastikan validitas hadis sebagai
sumber utama ajaran Islam.
Footnotes
[1]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.
[2]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1994), 28.
[3]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul
Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:13.
[4]
Muslim, Sahih Muslim, 1:15.
[5]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1986), 44.
[6]
Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.
[7]
Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba‘ith al-Hathith (Cairo: Maktabah
al-Sunnah, 2002), 78.
[8]
Ibn Hajar, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2000), 40.
[9]
Muhammad Mustafa Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 112.
[10]
Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature, 130.
5.
Aplikasi Kajian Unsur-Unsur Hadis pada Kitab
Hadits Induk
Kajian hadis tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi juga memiliki aplikasi praktis yang diterapkan dalam
kitab-kitab hadits induk. Para ulama hadis seperti Imam Al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi telah menggunakan metodologi
kritis dalam menyeleksi hadis-hadis yang mereka kumpulkan. Bab ini akan
membahas bagaimana unsur-unsur hadis (sanad, matan, dan perawi) diaplikasikan
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,
serta bagaimana kajian sanad dan matan diterapkan dalam
Sunan Abu Dawud dan Jami' At-Tirmidzi.
5.1.
Contoh Penerapan dalam Kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim
5.1.1.
Metodologi Imam Bukhari dalam Menyeleksi Hadits
Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari (w. 256 H) dikenal memiliki metodologi yang sangat ketat dalam
memilih hadis yang dimasukkan ke dalam kitab Shahih al-Bukhari. Salah
satu syarat utama yang diterapkan oleh Imam Bukhari adalah adanya
pertemuan langsung (liqa') antara perawi yang meriwayatkan hadis.1
Hal ini bertujuan untuk memastikan kesinambungan sanad dan menghindari
kemungkinan hadis mursal atau mu‘an‘an.
Selain itu, Imam Bukhari juga
sangat memperhatikan integritas perawi. Ia
menolak riwayat dari perawi yang pernah dikenal melakukan kebohongan atau
memiliki kelemahan dalam hafalan. Misalnya, ia tidak mencantumkan hadis dari
perawi seperti Muhammad bin Ishaq dalam Shahih-nya karena perawi ini
dinilai lemah dalam dhabt (ketelitian periwayatan).2
Sebagai contoh, hadis
terkenal mengenai niat:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada
niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan."
Hadis ini diriwayatkan oleh
Imam Bukhari melalui sanad yang sangat kuat:
رَوَى الْإِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ
وَالْإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Diriwayatkan oleh Yahya bin
Sa‘id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari Umar bin
Khattab.3
Sanad ini memenuhi seluruh
kriteria hadis shahih: bersambung, perawi yang tsiqah, dan tidak
bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat.
5.1.2.
Metodologi Imam Muslim dalam Kriteria Sanad
Imam Muslim bin al-Hajjaj (w.
261 H), dalam Shahih Muslim, menerapkan metodologi yang sedikit lebih
longgar dibandingkan dengan Imam Bukhari, khususnya dalam hal keharusan
pertemuan langsung antar perawi. Imam Muslim menganggap sanad
yang bersambung sebagai cukup selama tidak ada indikasi kuat bahwa perawi tidak
pernah bertemu.4
Misalnya, dalam hadis tentang
larangan shalat setelah Subuh dan Ashar:
لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ
"Tidak ada shalat setelah Subuh hingga
matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari
terbenam."
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah melalui jalur sanad:
رَوَى الْإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
عَنْ مَالِكٍ
عَنْ نَافِعٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
Malik dari Nafi' dari
Abdullah bin Umar.5
Imam Muslim juga menggunakan
konsep mutaba‘ah (penguat sanad),
yaitu dengan mencari jalur periwayatan lain yang menguatkan hadis tertentu.
Jika suatu hadis memiliki sanad yang lemah tetapi dikuatkan oleh sanad lain
yang lebih kuat, hadis tersebut tetap bisa diterima.
5.2.
Kajian dari Sunan Abu Dawud dan Jami'
At-Tirmidzi
5.2.1.
Sunan Abu Dawud dan Kriteria Penerimaan Hadis
Imam Abu Dawud (w. 275 H)
dalam Sunan Abu Dawud mengumpulkan hadis-hadis hukum dengan standar yang
lebih luas dibandingkan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ia
tidak hanya mencantumkan hadis shahih tetapi juga hadis hasan dan dha‘if yang
masih bisa diamalkan dalam fiqh.
Misalnya, dalam hadis tentang
mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat fardhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمْ يَرْفَعْ يَدَيْهِ حِينَ دَعَا بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
"Nabi tidak mengangkat tangannya ketika
berdoa setelah shalat fardhu."
Hadis ini diriwayatkan oleh
Abdullah bin Zubair dengan jalur sanad:
رَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ
عَنْ أَبِيهِ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ
Dari Sa‘id bin Abi Sa‘id dari
ayahnya dari Abdullah bin Zubair.6
Hadis ini dinilai hasan
karena perawi dalam sanadnya memiliki hafalan yang baik tetapi tidak mencapai
tingkat dhabt yang sempurna.
5.2.2.
Jami' At-Tirmidzi dan Sistem Penilaian Hadis
Imam At-Tirmidzi (w. 279 H) dalam
Jami‘ At-Tirmidzi memberikan klasifikasi hadis
secara eksplisit, termasuk hadis shahih, hasan, dan dha‘if. Ia
juga memberikan penjelasan mengenai kualitas hadis yang dikutipnya, sesuatu
yang jarang dilakukan dalam kitab hadis lainnya.7
Misalnya, dalam hadis tentang
membaca doa qunut dalam shalat witir:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يَقْنُتُ فِي الْوِتْرِ
قَبْلَ الرُّكُوعِ
"Rasulullah membaca doa qunut dalam
shalat witirnya sebelum ruku'."
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah melalui jalur sanad:
رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ
عَنْ عَلْقَمَةَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
Diriwayatkan oleh Abu Ishaq
dari Alqamah dari Abdullah bin Mas‘ud.8
Imam At-Tirmidzi memberikan
komentar bahwa hadis ini hasan, tetapi ada jalur
periwayatan lain yang lebih kuat.
5.3.
Studi Kasus dalam Kritik Hadis
Sebagai contoh penerapan
metode kritik hadis dalam kitab-kitab hadis induk, berikut adalah analisis
salah satu hadis mengenai keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat:
Hadis:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ،
أَضَاءَ لَهُ نُورٌ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَةِ
"Barang siapa membaca surat Al-Kahfi
pada hari Jumat, maka ia akan diberi cahaya antara dirinya dan Ka‘bah."
Sanad:
رَوَى الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
Diriwayatkan oleh Al-Hakim
dalam al-Mustadrak, dari Abu Sa‘id al-Khudri.9
Hadis ini dinilai
hasan oleh sebagian ulama, tetapi dikritik oleh Ibnu Hajar
dalam Fath al-Bari, karena adanya kelemahan dalam sanadnya akibat
perawi yang kurang kuat dalam hafalan.10
Kesimpulan
Kajian unsur-unsur hadis
dalam kitab-kitab hadis induk menunjukkan bahwa ulama telah mengembangkan
metodologi yang sangat ketat dalam menjaga keabsahan hadis. Imam Bukhari dan
Muslim menggunakan standar ketat dalam pemilihan sanad dan perawi, sementara
Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi lebih fleksibel dengan mencantumkan hadis-hadis
yang dapat diamalkan dalam fiqh. Dengan memahami metodologi ini, kita dapat
lebih memahami bagaimana unsur-unsur hadis diaplikasikan dalam dunia
periwayatan hadis.
Footnotes
[1]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:10.
[2]
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 3:235.
[3]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1.
[4]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul
Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:15.
[5]
Muslim, Sahih Muslim, no. 831.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1989), no. 1485.
[7]
At-Tirmidzi, Jami' At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998),
2:214.
[8]
At-Tirmidzi, Jami' At-Tirmidzi, no. 402.
[9]
Al-Hakim, al-Mustadrak (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), 2:368.
[10]
Ibn Hajar, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1985),
7:302.
6.
Kesimpulan dan Penutup
6.1.
Ringkasan Pentingnya Memahami Unsur Hadits
Kajian mengenai unsur-unsur
hadis merupakan fondasi utama dalam disiplin ilmu hadis. Unsur-unsur utama
seperti sanad, matan, dan perawi
memiliki peran penting dalam menjaga keautentikan dan validitas hadis sebagai
sumber ajaran Islam. Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1)
Sanad
menjadi alat utama dalam menentukan keabsahan suatu hadis. Para ulama hadis,
seperti Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, menerapkan metode ketat dalam menilai
kesinambungan sanad dan integritas perawi untuk menjamin validitas riwayat.1
2)
Matan
harus memenuhi kriteria tertentu agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an,
hadis yang lebih kuat, atau akal sehat. Imam As-Suyuthi dalam Tadrib
al-Rawi menekankan bahwa suatu matan harus diperiksa dengan saksama
untuk memastikan tidak ada kejanggalan dalam isi hadis.2
3)
Perawi
merupakan faktor penting dalam validitas hadis. Sistem jarḥ wa
ta‘dīl yang dikembangkan oleh ulama klasik, seperti Al-Khatib
Al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah,
menjadi standar dalam menilai kredibilitas perawi.3
Melalui unsur-unsur ini,
hadis dapat diklasifikasikan ke dalam kategori shahih, hasan, dan
dha’if, serta dapat ditentukan apakah suatu hadis dapat
dijadikan hujjah dalam hukum Islam atau tidak.
6.2.
Relevansi Studi Unsur Hadits dalam Konteks
Kontemporer
Kajian hadis bukan hanya
relevan dalam studi klasik, tetapi juga dalam menghadapi tantangan zaman
modern. Seiring dengan meningkatnya kritik terhadap hadis dari kalangan
orientalis dan skeptisisme terhadap otentisitas hadis, para ulama kontemporer
seperti Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami dalam Studies in Early Hadith
Literature telah membuktikan bahwa metode sanad dalam Islam adalah sistem
transmisi sejarah yang sangat ketat dan akurat.4
Banyak hadis yang dahulu
dianggap dha’if oleh ulama klasik kini dikaji ulang dengan metodologi yang
lebih modern, menggunakan pendekatan yang lebih sistematis dalam analisis sanad
dan matan. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu hadis tetap dinamis dan berkembang
seiring dengan kemajuan penelitian akademik.
6.3.
Tantangan dan Rekomendasi untuk Studi Hadits
Masa Depan
Beberapa tantangan utama
dalam studi hadis saat ini meliputi:
1)
Kritik dari Orientalis
dan Kaum Modernis
Para orientalis sering kali mempertanyakan
validitas hadis dengan menggunakan pendekatan historis yang berbeda dengan
metodologi ulama Islam. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak penelitian
akademik untuk membela otentisitas hadis dengan metode yang dapat diterima
dalam kajian akademik global.5
2)
Munculnya Hadis Palsu
di Media Sosial
Di era digital, penyebaran hadis tanpa verifikasi
semakin meningkat. Banyak hadis palsu yang beredar tanpa dasar ilmiah. Oleh
karena itu, penting untuk mengembangkan metode verifikasi hadis berbasis
teknologi, seperti digitalisasi manuskrip hadis dan penggunaan kecerdasan
buatan dalam analisis sanad dan matan.6
3)
Kurangnya Pemahaman
Ilmu Hadis di Kalangan Muslim Awam
Banyak Muslim yang masih kurang memahami
pentingnya validasi hadis sebelum mengamalkannya. Oleh karena itu, perlu adanya
pendidikan yang lebih luas tentang ilmu hadis di lembaga pendidikan Islam dan
platform digital agar masyarakat dapat memahami bagaimana hadis dinilai dan
diklasifikasikan.
Sebagai rekomendasi, para
akademisi dan ulama perlu memperluas kajian hadis dengan:
·
Mendorong penelitian lebih
lanjut tentang validitas hadis dengan pendekatan multidisipliner.
·
Mengembangkan kurikulum
ilmu hadis yang lebih aplikatif bagi masyarakat umum.
·
Menggunakan teknologi
modern untuk mendigitalkan dan menganalisis data hadis dengan lebih cepat dan
akurat.
Penutup
Hadis sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah Al-Qur’an harus dikaji dengan metode ilmiah yang ketat agar
tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Unsur-unsur hadis, seperti sanad, matan, dan perawi,
telah menjadi standar utama dalam menentukan validitas suatu hadis.
Melalui penelitian ulama
klasik seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Al-Khatib Al-Baghdadi, serta
ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Muhammad
Mustafa Al-A‘zami, metodologi ilmu hadis terus berkembang dan semakin matang.
Dengan terus mempelajari dan
mengembangkan ilmu hadis, umat Islam dapat memastikan bahwa ajaran yang
diamalkan benar-benar berasal dari sumber yang autentik dan terpercaya. Studi
hadis bukan hanya bagian dari sejarah Islam, tetapi juga menjadi pilar utama
dalam menjaga kemurnian ajaran Islam hingga akhir zaman.
Footnotes
[1]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.
[2]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:210.
[3]
Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.
[4]
Muhammad Mustafa Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 112.
[5]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 98.
[6]
Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur'an and
Hadith (UK: Al-Hidaayah Publishing, 2003), 145.
Daftar Pustaka
Al-A‘zami, M. M. (1977). Studies
in Early Hadith Literature. American Trust Publications.
Al-Bukhari, M. I. (1999). Sahih
al-Bukhari (M. Z. al-Nasr, Ed.). Dar al-Salam.
Al-Dhahabi, M. (1995). Mizan
al-I’tidal fi Naqd al-Rijal. Maktabah al-Madani.
Al-Hakim, A. (1990). Al-Mustadrak.
Dar al-Ma‘rifah.
Al-Khatib al-Baghdadi, A.
(1988). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Al-Mizzi, Y. (1992). Tahdzib
al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Muassasah al-Risalah.
Al-Nawawi, Y. (1999). Taqrib
al-Nawawi. Dar al-Hadith.
Al-Nawawi, Y. (2001). Sharh
Sahih Muslim. Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.
Al-Suyuthi, J. (1983). Tadrib
al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
At-Tirmidzi, M. I. (1998). Jami‘
At-Tirmidzi. Dar al-Hadith.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith:
Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Oneworld Publications.
Ibn al-Salah, A. (1986). Muqaddimah
fi Ulum al-Hadith. Dar al-Ma‘rifah.
Ibn Hajar al-Asqalani, A.
(2000). Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar.
Maktabah al-Khanji.
Ibn Hajar al-Asqalani, A.
(2002). Lisan al-Mizan. Dar al-Hadith.
Ibn Kathir, I. (2004). Al-Ba‘ith
al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith. Dar al-Hadith.
Ibn Ma‘in, Y. (1996). Tarikh
Ibn Ma‘in. Maktabah al-Rushd.
Muslim bin al-Hajjaj, A.
(2006). Sahih Muslim (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi.
Qadhi, Y. (2003). An
Introduction to the Sciences of the Qur'an and Hadith. Al-Hidaayah
Publishing.
Syakir, A. M. (2002). Al-Ba‘ith
al-Hathith. Maktabah al-Sunnah.
Yasir, Q. (2003). An
Introduction to the Sciences of the Qur’an and Hadith. Al-Hidaayah
Publishing.
Lampiran: Glosarium Istilah Teknis dalam Ilmu
Hadits
Berikut adalah daftar istilah
teknis yang digunakan dalam artikel ini beserta penjelasannya berdasarkan
sumber-sumber kredibel dalam ilmu hadis.
A
Ahad
(حديث الآحاد): Hadis yang tidak mencapai
derajat mutawatir, karena diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi, tetapi
tidak dalam jumlah yang cukup untuk mencapai mutawatir. Hadis ahad terbagi
menjadi masyhur, aziz, dan gharib.1
Al-Jarḥ
wa at-Ta‘dīl (الجرح والتعديل):
Metode dalam ilmu hadis yang digunakan untuk menilai kredibilitas perawi,
dengan cara memberikan kritik negatif (jarḥ)
jika terdapat kelemahan dalam perawi, atau penilaian positif
(ta‘dīl) jika perawi tersebut terpercaya.2
D
Dha‘if
(ضعيف): Hadis yang tidak
memenuhi syarat hadis shahih atau hasan karena terdapat kelemahan dalam sanad,
matan, atau perawi.3
Dhabt
(الضبط): Ketelitian dan
keakuratan perawi dalam meriwayatkan hadis, baik secara hafalan (dhābit
al-ṣadr) maupun dalam bentuk tulisan (dhābit al-kitābah).4
H
Hasan
(حسن): Hadis yang sanadnya
bersambung, tetapi salah satu perawinya memiliki tingkat dhabt yang
lebih rendah dari hadis shahih. Hadis ini tetap dapat diterima dalam hukum
Islam.5
I
Isnad
(الإسناد): Rangkaian perawi yang
menyampaikan hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai
kepada Rasulullah Saw.6
Illa
(علّة): Cacat tersembunyi dalam
hadis yang dapat mempengaruhi keabsahan riwayat, meskipun sekilas sanadnya
tampak kuat.7
M
Maqbul
(مقبول): Hadis yang diterima
sebagai hujjah dalam hukum Islam karena memenuhi kriteria sanad dan matan yang
sahih atau hasan.8
Matan
(المتن): Isi atau teks hadis yang
disampaikan setelah sanad.9
Mursal
(مرسل): Hadis yang sanadnya
terputus pada tingkat tabi‘in, di mana seorang tabi‘in meriwayatkan langsung
dari Nabi Saw tanpa menyebut sahabat yang menjadi perantaranya.10
Mutaba‘ah
(متابعة): Hadis yang memiliki
jalur periwayatan lain yang menguatkannya, baik dengan sanad yang sama (mutaba‘ah
tamm) atau dengan sanad berbeda tetapi memiliki kesamaan dalam matan (mutaba‘ah
qāṣirah).11
Mutawatir
(متواتر): Hadis yang diriwayatkan
oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanadnya, sehingga mustahil terjadi
kebohongan dalam periwayatannya.12
Mu‘allaq
(معلق): Hadis yang sanadnya
terputus pada awal jalur periwayatan, biasanya hadis ini langsung disebutkan
oleh muhadis tanpa menyebutkan semua perawi di awal sanad.13
Mu‘an‘an
(معنعن): Hadis yang dalam
sanadnya menggunakan kata 'an (عن)
tanpa memastikan apakah perawi tersebut benar-benar bertemu langsung dengan
gurunya.14
S
Sanad
(السند): Rangkaian perawi yang
menyampaikan hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai
kepada Rasulullah Saw. Keabsahan sanad menentukan kualitas hadis.15
Shahih
(صحيح): Hadis yang memenuhi lima
syarat utama: (1) sanadnya bersambung, (2) perawinya adil, (3) perawinya
memiliki dhabt, (4) matan tidak mengandung syādh, dan (5)
tidak terdapat ‘illat tersembunyi.16
Syādh
(شاذّ): Hadis yang bertentangan
dengan riwayat lain yang lebih kuat, baik dari segi sanad maupun matan.17
Footnotes
[1]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1986), 39.
[2]
Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.
[3]
Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 98.
[4]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath
al-‘Arabi, 2001), 15:30.
[5]
Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 2:204.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar
(Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 35.
[7]
Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah
al-Madani, 1995), 1:42.
[8]
Ibn Ma‘in, Tarikh Ibn Ma‘in (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1996),
2:47.
[9]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr
(Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.
[10]
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul
Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:15.
[11]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1989), no. 4567.
[12]
At-Tirmidzi, Jami‘ At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998),
2:311.
[13]
Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 2:74.
[14]
Al-Hakim, al-Mustadrak (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1990), 2:368.
[15]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Cairo: Maktabah
al-Khanji, 1994), 28.
[16]
Al-Nawawi, Taqrib al-Nawawi (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 13.
[17]
Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar