Senin, 17 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 10 Bab 9: Unsur-Unsur Hadis

Unsur-Unsur Hadits

Kajian Komprehensif Berdasarkan Kitab Ulumul Hadits, Penjelasan Ulama, dan Kitab-Kitab Hadits Induk


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)


Abstrak

Kajian hadits merupakan salah satu disiplin ilmu penting dalam Islam yang berfungsi untuk memastikan keautentikan dan validitas periwayatan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Artikel ini membahas unsur-unsur hadis secara komprehensif berdasarkan kitab-kitab Ulumul Hadits, penjelasan ulama klasik dan kontemporer, serta penerapannya dalam kitab-kitab hadis induk. Unsur utama dalam hadits—sanad, matan, dan perawi—menjadi dasar dalam menilai kualitas suatu hadis, yang kemudian diklasifikasikan menjadi shahih, hasan, dan dha’if.

Melalui pendekatan analitis terhadap kitab-kitab hadis induk seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Jami‘ At-Tirmidzi, artikel ini menunjukkan bagaimana ulama menerapkan metodologi kritis dalam seleksi hadis. Imam Al-Bukhari menetapkan standar tinggi dengan keharusan pertemuan langsung (liqa’) antar perawi, sementara Imam Muslim menekankan konsep mutaba‘ah dalam sanad. Ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami juga memberikan kontribusi dalam mempertahankan validitas hadis, khususnya dalam menghadapi kritik dari orientalis.

Di era modern, tantangan dalam studi hadits semakin kompleks, terutama dalam menghadapi kritik dari studi akademik Barat dan penyebaran hadis palsu di media sosial. Oleh karena itu, diperlukan penguatan metodologi kajian hadis dengan memanfaatkan teknologi digital dan pendekatan multidisipliner. Dengan demikian, studi hadis tetap relevan dalam memastikan bahwa ajaran Islam yang diamalkan bersumber dari hadis yang autentik dan terpercaya.

Kata Kunci: Hadis, sanad, matan, perawi, shahih, hasan, dha’if, kritik hadis, kitab hadis induk, ulumul hadits, metodologi hadis.


PEMBAHASAN

Unsur-Unsur Hadits


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Hadits dan Relevansinya

Hadis secara bahasa berasal dari akar kata ḥaddaṡa yang berarti "berbicara, menyampaikan, atau memberitakan sesuatu yang baru."1 Secara terminologis, hadis didefinisikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat-sifatnya.2 Dalam Islam, hadis berfungsi sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dan menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Kajian hadis, terutama pada unsur-unsurnya seperti sanad, matan, dan perawi, memainkan peran penting dalam menjaga keautentikan ajaran Islam. Imam Al-Bukhari misalnya, pernah menyatakan bahwa sanad adalah "senjata" bagi seorang muslim, dan tanpanya, seseorang bisa saja mengklaim sesuatu yang tidak benar sebagai ajaran agama.3 Oleh karena itu, memahami unsur-unsur hadis tidak hanya penting bagi para ulama, tetapi juga bagi setiap Muslim yang ingin memahami agamanya dengan benar.

1.2.       Metode Kajian Artikel

Artikel ini menggunakan pendekatan analitis-deskriptif, yaitu menganalisis secara mendalam unsur-unsur hadis berdasarkan rujukan utama seperti kitab-kitab ulumul hadits (Musthalah al-Hadits) karya ulama klasik, kitab-kitab induk hadis, serta pendapat ulama kontemporer. Kajian ini akan mengintegrasikan penjelasan teoretis dan penerapan praktis melalui analisis sanad dan matan hadis dari kitab-kitab induk, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Metode ini penting untuk memastikan keabsahan kajian dan memanfaatkan referensi yang kredibel sesuai standar ilmiah.

Pendekatan ini juga mempertimbangkan penjelasan ulama klasik seperti Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah Ibnu Shalah dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, serta ulama modern seperti Syekh Muhammad Mustafa Al-A’zami yang memberikan wawasan kontekstual terhadap dinamika studi hadis di era kontemporer.4 Dengan demikian, artikel ini diharapkan memberikan pandangan yang komprehensif dan objektif tentang unsur-unsur hadis.


Footnotes

[1]                Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairie du Liban, 1968), 1:513.

[2]                Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 12.

[3]                Al-Khatib Al-Baghdadi, al-Kifayah fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988), 24.

[4]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 8-12.


2.           Unsur-Unsur Hadits dalam Perspektif Ulumul Hadits

Hadis merupakan salah satu sumber utama dalam Islam setelah Al-Qur'an. Oleh karena itu, menjaga keabsahan hadis menjadi aspek yang sangat krusial dalam kajian keislaman. Untuk menilai validitas sebuah hadis, para ulama hadis telah mengembangkan disiplin ilmu yang dikenal sebagai Ulumul Hadits, yang membahas unsur-unsur hadis, yakni sanad, matan, dan perawi (rawi). Ketiga unsur ini menjadi tolok ukur dalam menentukan kualitas sebuah hadis, baik dari aspek autentisitas maupun keterpercayaannya.

2.1.       Sanad

2.1.1.    Definisi Sanad dan Fungsinya dalam Validasi Hadis

Sanad secara bahasa berasal dari kata سَنَدٌ  (sanad), yang berarti “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan pegangan.1 Dalam terminologi hadis, sanad didefinisikan sebagai rangkaian para perawi yang menyampaikan suatu hadis hingga sampai kepada Rasulullah Saw.2

Sanad berperan sebagai rantai transmisi yang menjadi dasar utama dalam menentukan keabsahan sebuah hadis. Imam Muslim dalam Shahih-nya menyatakan bahwa sanad adalah bagian integral dari hadis dan tanpa sanad, siapa pun bisa berbicara sesuka hatinya tentang agama.3

2.1.2.    Prinsip-Prinsip Sanad yang Diterima

Para ulama hadis menetapkan beberapa prinsip dasar dalam validasi sanad, di antaranya:

·                     Muttaṣil (bersambung):

Rangkaian perawi harus tersambung tanpa adanya perawi yang terputus di tengah jalur sanad.4

·                     ‘Adālah (keadilan perawi):

Para perawi harus memiliki integritas moral dan keislaman yang kuat.5

·                     Ḍabt (ketelitian perawi):

Perawi harus memiliki daya ingat yang kuat atau memiliki catatan tertulis yang akurat.6

Sebagai contoh, dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, salah satu persyaratan ketatnya adalah perawi dalam rantai sanad harus pernah bertemu langsung dengan guru yang meriwayatkan hadis tersebut.7

2.2.       Matan

2.2.1.    Definisi Matan dan Karakteristiknya

Matan adalah teks atau isi hadis yang dikutip dari Rasulullah Saw setelah melalui jalur sanad.8 Keabsahan matan juga sangat bergantung pada kriteria-kriteria tertentu yang memastikan bahwa teks hadis tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam lainnya.

2.2.2.    Kriteria Matan yang Shahih

Para ulama hadis menetapkan beberapa kriteria dalam menilai keabsahan matan hadis, di antaranya:

·                     Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an:

Sebuah hadis yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang qath’i dianggap bermasalah.9

·                     Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat:

Jika ada dua hadis yang bertentangan, maka hadis dengan sanad lebih kuat yang diterima.10

·                     Tidak mengandung makna yang bertentangan dengan akal sehat:

Hadis yang mengandung unsur yang mustahil secara logika sering kali dikategorikan sebagai hadis palsu atau lemah.11

Sebagai contoh, dalam kitab Tadrib al-Rawi, Imam As-Suyuthi menekankan bahwa suatu hadis harus memiliki kesesuaian makna dengan prinsip-prinsip umum Islam, agar tidak mudah disusupi oleh hadis-hadis palsu.12

2.3.       Perawi (Rawi)

2.3.1.    Syarat-Syarat Perawi yang Diterima

Perawi hadis harus memenuhi dua syarat utama, yaitu ‘adālah (kejujuran dan ketakwaan) serta ḍabt (ketelitian dalam meriwayatkan hadis). Imam Yahya bin Ma'in dalam kitabnya Tarikh Ibn Ma'in menyatakan bahwa seorang perawi yang memiliki sedikit saja kelemahan dalam ingatan dapat memengaruhi kredibilitas hadis yang diriwayatkannya.13

2.3.2.    Metode Kritik Perawi Menurut Ulama

Para ulama hadis mengembangkan metode jarḥ wa ta‘dīl dalam mengevaluasi perawi:14

·                     Jarḥ (kritik negatif):

Jika seorang perawi memiliki kelemahan dalam kejujuran atau daya ingatnya, hadis yang diriwayatkannya menjadi lemah.

·                     Ta‘dīl (penilaian positif):

Jika seorang perawi memiliki reputasi baik dalam kejujuran dan ketelitian, hadisnya dapat diterima.

Salah satu contoh penerapan metode ini dapat dilihat dalam kitab Tahdzib al-Kamal karya Al-Mizzi, yang mencantumkan status perawi berdasarkan riwayat ulama sebelumnya.15


Kesimpulan

Kajian mengenai unsur-unsur hadis merupakan fondasi utama dalam disiplin ilmu hadis. Sanad menjamin kesinambungan transmisi riwayat, matan memastikan kesesuaian isi dengan ajaran Islam, dan perawi menjadi kunci dalam validasi hadis. Melalui metode yang telah disusun oleh ulama, kajian hadis tetap terjaga hingga saat ini sebagai sumber ajaran Islam yang autentik.


Footnotes

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad bin Mukrim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 3:221.

[2]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 5.

[3]                Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:9.

[4]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 35.

[5]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 51.

[6]                Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:210.

[7]                Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah al-Madani, 1995), 1:42.

[8]                Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadith: Usuluhu wa Muqaddimatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 98.

[9]                Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 45.

[10]             Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 92.

[11]             Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 12:105.

[12]             Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 2:204.

[13]             Yahya ibn Ma‘in, Tarikh Ibn Ma‘in (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1996), 2:47.

[14]             Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 1:74.

[15]             Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), 8:122.


3.           Klasifikasi Unsur-Unsur Hadits Berdasarkan Kitab-Kitab Ulumul Hadits

Kajian hadis tidak hanya berhenti pada aspek sanad, matan, dan perawi, tetapi juga pada klasifikasi hadis berdasarkan unsur-unsur tersebut. Ulama hadis telah mengembangkan berbagai metode untuk mengelompokkan hadis guna memudahkan kajian, baik dari sisi kualitas, kuantitas perawi, maupun aspek penerimaan dan penolakan. Dalam bab ini, akan dibahas klasifikasi hadis berdasarkan kualitas, kaitan antara unsur hadis dan jenis hadis, serta contoh penerapannya dalam kitab-kitab hadis induk.

3.1.       Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitasnya

Klasifikasi hadis berdasarkan kualitasnya bertujuan untuk menentukan apakah suatu hadis dapat diterima (maqbūl) atau ditolak (mardūd). Pembagian ini didasarkan pada sanad, matan, dan karakter perawi. Ulama membagi hadis ke dalam tiga kategori utama: shahih, hasan, dan dha’if.

3.1.1.    Hadits Shahih

Hadis shahih adalah hadis yang memenuhi lima kriteria utama, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi dalam Taqrib al-Nawawi:

1)                  Sanadnya bersambung (muttashil) tanpa adanya perawi yang terputus.1

2)                  Para perawinya bersifat adil (ʿadl), yaitu berakhlak baik dan tidak dikenal sebagai pelaku bid’ah.2

3)                  Para perawinya memiliki ketelitian (ḍabt), baik dari aspek hafalan maupun pencatatan.3

4)                  Matan hadis tidak mengandung syādh (kejanggalan yang bertentangan dengan hadis yang lebih kuat).4

5)                  Hadis tidak mengandung illat (cacat tersembunyi yang merusak keautentikan hadis).5

Contoh hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya, seperti hadis tentang niat:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya..."6

3.1.2.    Hadits Hasan

Hadis hasan memiliki kemiripan dengan hadis shahih tetapi memiliki sedikit kelemahan pada aspek ḍabt (ketelitian perawi). Imam At-Tirmidzi sering menggunakan istilah hadis hasan dalam kitabnya, dan Imam Ibn Hajar dalam Nuzhat al-Nazhar menyatakan bahwa hadis hasan tetap dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam.7

3.1.3.    Hadits Dha’if

Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis shahih atau hasan karena kelemahan dalam sanad, matan, atau perawi. Penyebab kelemahan ini bisa berupa sanad yang terputus, perawi yang tidak adil, atau matan yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.8

3.2.       Kaitan Antara Unsur Hadits dan Jenis Hadits

Pengklasifikasian hadis tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsurnya, karena sanad, matan, dan rawi menjadi kunci dalam menentukan status hadis.

3.2.1.    Hubungan Kualitas Sanad dan Matan terhadap Jenis Hadis

Para ulama menggunakan ilmu jarḥ wa taʿdīl untuk mengevaluasi sanad dan perawi guna menilai kualitas hadis. Berikut beberapa contoh bagaimana unsur hadis mempengaruhi jenis hadis:

·                     Hadis Mursal:

Hadis yang perawinya tidak menyebutkan sahabat sebagai sumber langsung dari Nabi Muhammad Saw.9

·                     Hadis Muʿallaq:

Hadis yang sanadnya terputus pada awal jalur periwayatan.10

·                     Hadis Maqbul (Diterima) dan Mardud (Ditolak):

Hadis dengan sanad kuat dan perawi terpercaya dianggap maqbul, sedangkan hadis yang memiliki kelemahan signifikan dianggap mardud atau tertolak.11

3.2.2.    Studi Kasus dari Kitab Hadis Induk

Dalam kitab Sunan Abu Dawud, ditemukan beberapa hadis yang diklasifikasikan sebagai hasan karena memiliki perawi yang kurang kuat dalam ḍabt tetapi tetap memiliki sanad bersambung.12 Contoh lainnya dalam Jamiʿ At-Tirmidzi, di mana Imam Tirmidzi sering kali menjelaskan status hadis, apakah shahih, hasan, atau dha’if, untuk memudahkan pemahaman pembaca.13

3.3.       Contoh Penerapan dalam Kitab Hadits Induk

Untuk memahami bagaimana unsur-unsur hadis diterapkan dalam kitab-kitab hadis induk, berikut beberapa contoh kasus:

·                     Shahih Bukhari dan Shahih Muslim:

Menggunakan standar ketat dalam pemilihan sanad, dengan hanya menerima hadis yang sanadnya tersambung dan perawinya memiliki reputasi tinggi dalam ʿadl dan ḍabt.14

·                     Sunan Abu Dawud dan Jamiʿ At-Tirmidzi:

Memuat hadis-hadis dengan kualitas yang beragam, dari shahih hingga dha’if, dengan catatan yang diberikan oleh penulis untuk memperjelas status hadis.15


Kesimpulan

Klasifikasi hadis berdasarkan unsur-unsurnya merupakan metode penting dalam Ulumul Hadits untuk memastikan keabsahan dan kelayakan hadis sebagai sumber hukum Islam. Hadis shahih, hasan, dan dha’if ditentukan melalui kajian mendalam terhadap sanad, matan, dan perawi. Kitab-kitab hadis induk seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Jamiʿ At-Tirmidzi menjadi sumber utama dalam kajian ini, memberikan gambaran konkret tentang bagaimana unsur-unsur hadis diaplikasikan dalam kodifikasi hadis.


Footnotes

[1]                Al-Nawawi, Taqrib al-Nawawi (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 13.

[2]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 24.

[3]                Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:221.

[4]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 36.

[5]                Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi 'Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.

[6]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), no. 1.

[7]                Ibn Hajar, Nuzhat al-Nazhar, 41.

[8]                Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 95.

[9]                Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 15:30.

[10]             Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah al-Madani, 1995), 2:90.

[11]             Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 2:74.

[12]             Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), no. 4567.

[13]             At-Tirmidzi, Jamiʿ At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 2:311.

[14]             Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:12.

[15]             Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 3:98.


4.           Penjelasan Ulama Tentang Unsur-Unsur Hadits

Para ulama hadis dari berbagai generasi telah memberikan kontribusi besar dalam memahami dan mengembangkan ilmu hadis. Pembahasan mengenai unsur-unsur hadis—terutama sanad, matan, dan perawi—tidak hanya menjadi fokus dalam kajian hadis klasik, tetapi juga terus dikaji oleh ulama kontemporer untuk menjaga keautentikan hadis di tengah tantangan zaman. Bab ini akan menguraikan pendapat ulama klasik dan ulama kontemporer dalam menjelaskan unsur-unsur hadis dan metodologi mereka dalam menilai keabsahan riwayat.

4.1.       Pendapat Ulama Klasik Tentang Unsur-Unsur Hadits

4.1.1.    Imam Al-Bukhari dan Standar Kualitas Hadits

Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu ulama hadis paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Dalam karyanya Shahih al-Bukhari, ia menetapkan standar yang sangat ketat dalam menilai sanad dan perawi. Salah satu prinsip utama yang diterapkannya adalah keharusan adanya pertemuan langsung (liqa') antara guru dan murid dalam jalur periwayatan hadis.1 Ia menolak hadis yang perawinya hanya mengandalkan kemungkinan (mu'an'anah) tanpa adanya bukti nyata bahwa mereka pernah bertemu.2 Hal ini membedakan metodologinya dengan Imam Muslim, yang lebih longgar dalam syarat liqa' tetapi tetap menuntut kesambungan sanad yang kuat.3

4.1.2.    Imam Muslim dan Prinsip Mutaba'ah dalam Sanad

Imam Muslim bin al-Hajjaj (w. 261 H), dalam mukadimah Shahih Muslim, menekankan pentingnya konsep mutaba'ah—yaitu adanya penguat dari jalur sanad lain yang mendukung keabsahan suatu riwayat.4 Menurutnya, jika ada lebih dari satu sanad yang mendukung suatu hadis dengan perawi yang tsiqah (terpercaya), maka hadis tersebut dapat diterima meskipun satu jalur sanad memiliki kelemahan kecil.5

4.1.3.    Al-Khatib Al-Baghdadi dan Ilmu Kritik Perawi

Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah menguraikan secara detail kaidah dalam menilai kredibilitas perawi. Ia menyatakan bahwa untuk menentukan apakah seorang perawi diterima atau ditolak, ada lima kriteria utama yang harus diperhatikan:6

1)                  Keislaman dan ketakwaan perawi harus jelas.

2)                  Tidak pernah berbuat bid’ah yang dapat mempengaruhi objektivitasnya dalam meriwayatkan hadis.

3)                  Memiliki ketelitian dan daya ingat yang kuat (ḍabt).

4)                  Tidak memiliki catatan kebohongan dalam riwayat sebelumnya.

5)                  Memiliki sanad yang bersambung dan tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.

4.2.       Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Unsur-Unsur Hadits

4.2.1.    Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Evaluasi Hadits Dha’if

Syekh Ahmad Muhammad Syakir (w. 1958 M), salah satu ahli hadis abad ke-20, dalam kitabnya al-Ba‘ith al-Hathith menekankan pentingnya kajian ulang terhadap hadis-hadis dha’if. Ia berpendapat bahwa tidak semua hadis dha’if otomatis tertolak; beberapa hadis yang dha’if dapat diterima jika didukung oleh jalur periwayatan lain yang memperkuatnya.7 Pendekatan ini mirip dengan konsep hasan li ghayrihi, yaitu hadis yang menjadi kuat karena ada penguat dari jalur lain.8

4.2.2.    Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami dan Kritik Terhadap Orientalis

Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami (w. 2017 M) dalam karyanya Studies in Early Hadith Literature mengkritik metode penelitian orientalis yang cenderung menolak otentisitas hadis tanpa mempertimbangkan metodologi ulama klasik. Ia menekankan bahwa tradisi sanad dalam Islam adalah sistem transmisi sejarah yang paling akurat dibandingkan dengan sistem historiografi Barat.9 Dalam analisanya terhadap manuskrip kuno, ia membuktikan bahwa sistem isnad telah ada sejak abad pertama Hijriyah, yang membantah klaim beberapa orientalis yang menyatakan bahwa sistem sanad baru berkembang pada abad kedua atau ketiga Hijriyah.10

4.3.       Perbandingan Pendekatan Klasik dan Kontemporer

Pendekatan klasik dalam menilai unsur-unsur hadis lebih berfokus pada kriteria teknis sanad dan perawi, seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim, dan Al-Khatib Al-Baghdadi. Sementara itu, ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Mustafa Al-A‘zami tidak hanya mempertahankan metode klasik, tetapi juga memberikan analisis lebih luas terkait validitas hadis dalam konteks modern, termasuk menghadapi kritik dari orientalis dan menyusun ulang kajian hadis dengan pendekatan akademik yang lebih luas.


Kesimpulan

Para ulama hadis dari berbagai generasi telah memberikan metodologi yang mendalam dalam mengkaji unsur-unsur hadis. Ulama klasik seperti Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan standar ketat dalam sanad dan matan, sementara ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Mustafa Al-A‘zami mengembangkan pendekatan yang lebih fleksibel dan analitis dalam menilai keabsahan hadis. Kajian hadis tetap relevan sepanjang zaman, dan metode yang dikembangkan oleh para ulama terus menjadi standar dalam memastikan validitas hadis sebagai sumber utama ajaran Islam.


Footnotes

[1]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.

[2]                Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1994), 28.

[3]                Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:13.

[4]                Muslim, Sahih Muslim, 1:15.

[5]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 44.

[6]                Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.

[7]                Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba‘ith al-Hathith (Cairo: Maktabah al-Sunnah, 2002), 78.

[8]                Ibn Hajar, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 40.

[9]                Muhammad Mustafa Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 112.

[10]             Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature, 130.


5.           Aplikasi Kajian Unsur-Unsur Hadis pada Kitab Hadits Induk

Kajian hadis tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki aplikasi praktis yang diterapkan dalam kitab-kitab hadits induk. Para ulama hadis seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi telah menggunakan metodologi kritis dalam menyeleksi hadis-hadis yang mereka kumpulkan. Bab ini akan membahas bagaimana unsur-unsur hadis (sanad, matan, dan perawi) diaplikasikan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, serta bagaimana kajian sanad dan matan diterapkan dalam Sunan Abu Dawud dan Jami' At-Tirmidzi.

5.1.       Contoh Penerapan dalam Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

5.1.1.    Metodologi Imam Bukhari dalam Menyeleksi Hadits

Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (w. 256 H) dikenal memiliki metodologi yang sangat ketat dalam memilih hadis yang dimasukkan ke dalam kitab Shahih al-Bukhari. Salah satu syarat utama yang diterapkan oleh Imam Bukhari adalah adanya pertemuan langsung (liqa') antara perawi yang meriwayatkan hadis.1 Hal ini bertujuan untuk memastikan kesinambungan sanad dan menghindari kemungkinan hadis mursal atau mu‘an‘an.

Selain itu, Imam Bukhari juga sangat memperhatikan integritas perawi. Ia menolak riwayat dari perawi yang pernah dikenal melakukan kebohongan atau memiliki kelemahan dalam hafalan. Misalnya, ia tidak mencantumkan hadis dari perawi seperti Muhammad bin Ishaq dalam Shahih-nya karena perawi ini dinilai lemah dalam dhabt (ketelitian periwayatan).2

Sebagai contoh, hadis terkenal mengenai niat:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan."

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sanad yang sangat kuat:

رَوَى الْإِمَامُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ وَالْإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ

عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ

Diriwayatkan oleh Yahya bin Sa‘id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari Umar bin Khattab.3

Sanad ini memenuhi seluruh kriteria hadis shahih: bersambung, perawi yang tsiqah, dan tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat.

5.1.2.    Metodologi Imam Muslim dalam Kriteria Sanad

Imam Muslim bin al-Hajjaj (w. 261 H), dalam Shahih Muslim, menerapkan metodologi yang sedikit lebih longgar dibandingkan dengan Imam Bukhari, khususnya dalam hal keharusan pertemuan langsung antar perawi. Imam Muslim menganggap sanad yang bersambung sebagai cukup selama tidak ada indikasi kuat bahwa perawi tidak pernah bertemu.4

Misalnya, dalam hadis tentang larangan shalat setelah Subuh dan Ashar:

لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ

"Tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam."

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah melalui jalur sanad:

رَوَى الْإِمَامُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
عَنْ مَالِكٍ
عَنْ نَافِعٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ

Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar.5

Imam Muslim juga menggunakan konsep mutaba‘ah (penguat sanad), yaitu dengan mencari jalur periwayatan lain yang menguatkan hadis tertentu. Jika suatu hadis memiliki sanad yang lemah tetapi dikuatkan oleh sanad lain yang lebih kuat, hadis tersebut tetap bisa diterima.

5.2.       Kajian dari Sunan Abu Dawud dan Jami' At-Tirmidzi

5.2.1.    Sunan Abu Dawud dan Kriteria Penerimaan Hadis

Imam Abu Dawud (w. 275 H) dalam Sunan Abu Dawud mengumpulkan hadis-hadis hukum dengan standar yang lebih luas dibandingkan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ia tidak hanya mencantumkan hadis shahih tetapi juga hadis hasan dan dha‘if yang masih bisa diamalkan dalam fiqh.

Misalnya, dalam hadis tentang mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat fardhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرْفَعْ يَدَيْهِ حِينَ دَعَا بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ

"Nabi tidak mengangkat tangannya ketika berdoa setelah shalat fardhu."

Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair dengan jalur sanad:

رَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ
عَنْ أَبِيهِ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ

Dari Sa‘id bin Abi Sa‘id dari ayahnya dari Abdullah bin Zubair.6

Hadis ini dinilai hasan karena perawi dalam sanadnya memiliki hafalan yang baik tetapi tidak mencapai tingkat dhabt yang sempurna.

5.2.2.    Jami' At-Tirmidzi dan Sistem Penilaian Hadis

Imam At-Tirmidzi (w. 279 H) dalam Jami‘ At-Tirmidzi memberikan klasifikasi hadis secara eksplisit, termasuk hadis shahih, hasan, dan dha‘if. Ia juga memberikan penjelasan mengenai kualitas hadis yang dikutipnya, sesuatu yang jarang dilakukan dalam kitab hadis lainnya.7

Misalnya, dalam hadis tentang membaca doa qunut dalam shalat witir:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يَقْنُتُ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوعِ

"Rasulullah membaca doa qunut dalam shalat witirnya sebelum ruku'."

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah melalui jalur sanad:

رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ
عَنْ عَلْقَمَةَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ

Diriwayatkan oleh Abu Ishaq dari Alqamah dari Abdullah bin Mas‘ud.8

Imam At-Tirmidzi memberikan komentar bahwa hadis ini hasan, tetapi ada jalur periwayatan lain yang lebih kuat.

5.3.       Studi Kasus dalam Kritik Hadis

Sebagai contoh penerapan metode kritik hadis dalam kitab-kitab hadis induk, berikut adalah analisis salah satu hadis mengenai keutamaan membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat:

Hadis:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ نُورٌ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَةِ

"Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka ia akan diberi cahaya antara dirinya dan Ka‘bah."

Sanad:

رَوَى الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Abu Sa‘id al-Khudri.9

Hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama, tetapi dikritik oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, karena adanya kelemahan dalam sanadnya akibat perawi yang kurang kuat dalam hafalan.10


Kesimpulan

Kajian unsur-unsur hadis dalam kitab-kitab hadis induk menunjukkan bahwa ulama telah mengembangkan metodologi yang sangat ketat dalam menjaga keabsahan hadis. Imam Bukhari dan Muslim menggunakan standar ketat dalam pemilihan sanad dan perawi, sementara Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi lebih fleksibel dengan mencantumkan hadis-hadis yang dapat diamalkan dalam fiqh. Dengan memahami metodologi ini, kita dapat lebih memahami bagaimana unsur-unsur hadis diaplikasikan dalam dunia periwayatan hadis.


Footnotes

[1]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:10.

[2]                Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 3:235.

[3]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1.

[4]                Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:15.

[5]                Muslim, Sahih Muslim, no. 831.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), no. 1485.

[7]                At-Tirmidzi, Jami' At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 2:214.

[8]                At-Tirmidzi, Jami' At-Tirmidzi, no. 402.

[9]                Al-Hakim, al-Mustadrak (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), 2:368.

[10]             Ibn Hajar, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1985), 7:302.


6.           Kesimpulan dan Penutup

6.1.       Ringkasan Pentingnya Memahami Unsur Hadits

Kajian mengenai unsur-unsur hadis merupakan fondasi utama dalam disiplin ilmu hadis. Unsur-unsur utama seperti sanad, matan, dan perawi memiliki peran penting dalam menjaga keautentikan dan validitas hadis sebagai sumber ajaran Islam. Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

1)                  Sanad menjadi alat utama dalam menentukan keabsahan suatu hadis. Para ulama hadis, seperti Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, menerapkan metode ketat dalam menilai kesinambungan sanad dan integritas perawi untuk menjamin validitas riwayat.1

2)                  Matan harus memenuhi kriteria tertentu agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis yang lebih kuat, atau akal sehat. Imam As-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi menekankan bahwa suatu matan harus diperiksa dengan saksama untuk memastikan tidak ada kejanggalan dalam isi hadis.2

3)                  Perawi merupakan faktor penting dalam validitas hadis. Sistem jarḥ wa ta‘dīl yang dikembangkan oleh ulama klasik, seperti Al-Khatib Al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, menjadi standar dalam menilai kredibilitas perawi.3

Melalui unsur-unsur ini, hadis dapat diklasifikasikan ke dalam kategori shahih, hasan, dan dha’if, serta dapat ditentukan apakah suatu hadis dapat dijadikan hujjah dalam hukum Islam atau tidak.

6.2.       Relevansi Studi Unsur Hadits dalam Konteks Kontemporer

Kajian hadis bukan hanya relevan dalam studi klasik, tetapi juga dalam menghadapi tantangan zaman modern. Seiring dengan meningkatnya kritik terhadap hadis dari kalangan orientalis dan skeptisisme terhadap otentisitas hadis, para ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami dalam Studies in Early Hadith Literature telah membuktikan bahwa metode sanad dalam Islam adalah sistem transmisi sejarah yang sangat ketat dan akurat.4

Banyak hadis yang dahulu dianggap dha’if oleh ulama klasik kini dikaji ulang dengan metodologi yang lebih modern, menggunakan pendekatan yang lebih sistematis dalam analisis sanad dan matan. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu hadis tetap dinamis dan berkembang seiring dengan kemajuan penelitian akademik.

6.3.       Tantangan dan Rekomendasi untuk Studi Hadits Masa Depan

Beberapa tantangan utama dalam studi hadis saat ini meliputi:

1)                  Kritik dari Orientalis dan Kaum Modernis

Para orientalis sering kali mempertanyakan validitas hadis dengan menggunakan pendekatan historis yang berbeda dengan metodologi ulama Islam. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak penelitian akademik untuk membela otentisitas hadis dengan metode yang dapat diterima dalam kajian akademik global.5

2)                  Munculnya Hadis Palsu di Media Sosial

Di era digital, penyebaran hadis tanpa verifikasi semakin meningkat. Banyak hadis palsu yang beredar tanpa dasar ilmiah. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan metode verifikasi hadis berbasis teknologi, seperti digitalisasi manuskrip hadis dan penggunaan kecerdasan buatan dalam analisis sanad dan matan.6

3)                  Kurangnya Pemahaman Ilmu Hadis di Kalangan Muslim Awam

Banyak Muslim yang masih kurang memahami pentingnya validasi hadis sebelum mengamalkannya. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan yang lebih luas tentang ilmu hadis di lembaga pendidikan Islam dan platform digital agar masyarakat dapat memahami bagaimana hadis dinilai dan diklasifikasikan.

Sebagai rekomendasi, para akademisi dan ulama perlu memperluas kajian hadis dengan:

·                     Mendorong penelitian lebih lanjut tentang validitas hadis dengan pendekatan multidisipliner.

·                     Mengembangkan kurikulum ilmu hadis yang lebih aplikatif bagi masyarakat umum.

·                     Menggunakan teknologi modern untuk mendigitalkan dan menganalisis data hadis dengan lebih cepat dan akurat.


Penutup

Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an harus dikaji dengan metode ilmiah yang ketat agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Unsur-unsur hadis, seperti sanad, matan, dan perawi, telah menjadi standar utama dalam menentukan validitas suatu hadis.

Melalui penelitian ulama klasik seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Al-Khatib Al-Baghdadi, serta ulama kontemporer seperti Syekh Ahmad Muhammad Syakir dan Syekh Muhammad Mustafa Al-A‘zami, metodologi ilmu hadis terus berkembang dan semakin matang.

Dengan terus mempelajari dan mengembangkan ilmu hadis, umat Islam dapat memastikan bahwa ajaran yang diamalkan benar-benar berasal dari sumber yang autentik dan terpercaya. Studi hadis bukan hanya bagian dari sejarah Islam, tetapi juga menjadi pilar utama dalam menjaga kemurnian ajaran Islam hingga akhir zaman.


Footnotes

[1]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.

[2]                Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 1:210.

[3]                Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.

[4]                Muhammad Mustafa Al-A‘zami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 112.

[5]                Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 98.

[6]                Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur'an and Hadith (UK: Al-Hidaayah Publishing, 2003), 145.


Daftar Pustaka

Al-A‘zami, M. M. (1977). Studies in Early Hadith Literature. American Trust Publications.

Al-Bukhari, M. I. (1999). Sahih al-Bukhari (M. Z. al-Nasr, Ed.). Dar al-Salam.

Al-Dhahabi, M. (1995). Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal. Maktabah al-Madani.

Al-Hakim, A. (1990). Al-Mustadrak. Dar al-Ma‘rifah.

Al-Khatib al-Baghdadi, A. (1988). Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Mizzi, Y. (1992). Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Muassasah al-Risalah.

Al-Nawawi, Y. (1999). Taqrib al-Nawawi. Dar al-Hadith.

Al-Nawawi, Y. (2001). Sharh Sahih Muslim. Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.

Al-Suyuthi, J. (1983). Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

At-Tirmidzi, M. I. (1998). Jami‘ At-Tirmidzi. Dar al-Hadith.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Oneworld Publications.

Ibn al-Salah, A. (1986). Muqaddimah fi Ulum al-Hadith. Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Hajar al-Asqalani, A. (2000). Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar. Maktabah al-Khanji.

Ibn Hajar al-Asqalani, A. (2002). Lisan al-Mizan. Dar al-Hadith.

Ibn Kathir, I. (2004). Al-Ba‘ith al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith. Dar al-Hadith.

Ibn Ma‘in, Y. (1996). Tarikh Ibn Ma‘in. Maktabah al-Rushd.

Muslim bin al-Hajjaj, A. (2006). Sahih Muslim (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.

Qadhi, Y. (2003). An Introduction to the Sciences of the Qur'an and Hadith. Al-Hidaayah Publishing.

Syakir, A. M. (2002). Al-Ba‘ith al-Hathith. Maktabah al-Sunnah.

Yasir, Q. (2003). An Introduction to the Sciences of the Qur’an and Hadith. Al-Hidaayah Publishing.


Lampiran: Glosarium Istilah Teknis dalam Ilmu Hadits

Berikut adalah daftar istilah teknis yang digunakan dalam artikel ini beserta penjelasannya berdasarkan sumber-sumber kredibel dalam ilmu hadis.


A

Ahad (حديث الآحاد): Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir, karena diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi, tetapi tidak dalam jumlah yang cukup untuk mencapai mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi masyhur, aziz, dan gharib.1

Al-Jarḥ wa at-Ta‘dīl (الجرح والتعديل): Metode dalam ilmu hadis yang digunakan untuk menilai kredibilitas perawi, dengan cara memberikan kritik negatif (jarḥ) jika terdapat kelemahan dalam perawi, atau penilaian positif (ta‘dīl) jika perawi tersebut terpercaya.2


D

Dha‘if (ضعيف): Hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih atau hasan karena terdapat kelemahan dalam sanad, matan, atau perawi.3

Dhabt (الضبط): Ketelitian dan keakuratan perawi dalam meriwayatkan hadis, baik secara hafalan (dhābit al-ṣadr) maupun dalam bentuk tulisan (dhābit al-kitābah).4


H

Hasan (حسن): Hadis yang sanadnya bersambung, tetapi salah satu perawinya memiliki tingkat dhabt yang lebih rendah dari hadis shahih. Hadis ini tetap dapat diterima dalam hukum Islam.5


I

Isnad (الإسناد): Rangkaian perawi yang menyampaikan hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai kepada Rasulullah Saw.6

Illa (علّة): Cacat tersembunyi dalam hadis yang dapat mempengaruhi keabsahan riwayat, meskipun sekilas sanadnya tampak kuat.7


M

Maqbul (مقبول): Hadis yang diterima sebagai hujjah dalam hukum Islam karena memenuhi kriteria sanad dan matan yang sahih atau hasan.8

Matan (المتن): Isi atau teks hadis yang disampaikan setelah sanad.9

Mursal (مرسل): Hadis yang sanadnya terputus pada tingkat tabi‘in, di mana seorang tabi‘in meriwayatkan langsung dari Nabi Saw tanpa menyebut sahabat yang menjadi perantaranya.10

Mutaba‘ah (متابعة): Hadis yang memiliki jalur periwayatan lain yang menguatkannya, baik dengan sanad yang sama (mutaba‘ah tamm) atau dengan sanad berbeda tetapi memiliki kesamaan dalam matan (mutaba‘ah qāṣirah).11

Mutawatir (متواتر): Hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap tingkatan sanadnya, sehingga mustahil terjadi kebohongan dalam periwayatannya.12

Mu‘allaq (معلق): Hadis yang sanadnya terputus pada awal jalur periwayatan, biasanya hadis ini langsung disebutkan oleh muhadis tanpa menyebutkan semua perawi di awal sanad.13

Mu‘an‘an (معنعن): Hadis yang dalam sanadnya menggunakan kata 'an (عن) tanpa memastikan apakah perawi tersebut benar-benar bertemu langsung dengan gurunya.14


S

Sanad (السند): Rangkaian perawi yang menyampaikan hadis dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Keabsahan sanad menentukan kualitas hadis.15

Shahih (صحيح): Hadis yang memenuhi lima syarat utama: (1) sanadnya bersambung, (2) perawinya adil, (3) perawinya memiliki dhabt, (4) matan tidak mengandung syādh, dan (5) tidak terdapat ‘illat tersembunyi.16

Syādh (شاذّ): Hadis yang bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat, baik dari segi sanad maupun matan.17


Footnotes

[1]                Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 39.

[2]                Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 52.

[3]                Ibn Kathir, Al-Ba‘ith al-Hathith fi Sharh Ikhtisar Ulum al-Hadith (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 98.

[4]                Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2001), 15:30.

[5]                Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 2:204.

[6]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (Cairo: Maktabah al-Khanji, 2000), 35.

[7]                Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal (Cairo: Maktabah al-Madani, 1995), 1:42.

[8]                Ibn Ma‘in, Tarikh Ibn Ma‘in (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1996), 2:47.

[9]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Zuhayr al-Nasr (Riyadh: Dar al-Salam, 1999), 1:12.

[10]             Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), 1:15.

[11]             Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), no. 4567.

[12]             At-Tirmidzi, Jami‘ At-Tirmidzi (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 2:311.

[13]             Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 2:74.

[14]             Al-Hakim, al-Mustadrak (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1990), 2:368.

[15]             Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Cairo: Maktabah al-Khanji, 1994), 28.

[16]             Al-Nawawi, Taqrib al-Nawawi (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 13.

[17]             Jonathan A. C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 98.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar