Jumat, 14 Februari 2025

Etika Normatif dalam Filsafat: Konsep, Teori, dan Implikasinya dalam Kehidupan

Etika Normatif dalam Filsafat

Konsep, Teori, dan Implikasinya dalam Kehidupan


Abstrak

Etika normatif merupakan cabang filsafat moral yang berusaha menetapkan standar moral dalam menentukan tindakan yang benar dan salah. Artikel ini membahas konsep dasar etika normatif, tiga aliran utama dalam etika normatif (deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan), serta penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, politik, teknologi, dan agama. Meskipun etika normatif memiliki kontribusi penting dalam membentuk kebijakan moral yang rasional dan adil, terdapat berbagai kritik terhadap pendekatan ini, seperti relativisme moral, tantangan dalam masyarakat pluralistik, dan dilema moral yang muncul akibat perkembangan teknologi. Selain itu, perdebatan antara teori-teori utama dalam etika normatif menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat sepenuhnya menjawab kompleksitas moral dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pendekatan integratif yang menggabungkan berbagai teori etika normatif menjadi semakin relevan dalam menjawab tantangan etis di era modern. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang etika normatif serta implikasinya dalam pengambilan keputusan moral di berbagai bidang.

Kata Kunci: Etika normatif, deontologi, utilitarianisme, etika kebajikan, filsafat moral, relativisme moral, keadilan, kebijakan etis, teknologi dan etika, moralitas dalam masyarakat pluralistik.


PEMBAHASAN

Etika Normatif dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat moral merupakan salah satu cabang utama filsafat yang membahas konsep-konsep etika, baik dalam bentuk teori maupun penerapannya dalam kehidupan manusia. Dalam kajian filsafat moral, etika normatif memiliki posisi yang penting karena berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menentukan tindakan yang benar dan salah. Etika normatif tidak hanya berfungsi sebagai teori abstrak, tetapi juga menjadi dasar dalam pembentukan sistem hukum, kebijakan publik, dan nilai-nilai sosial yang dianut oleh suatu masyarakat.

Secara umum, etika dapat dibagi menjadi tiga cabang utama, yaitu metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Metaetika membahas sifat dasar moralitas, termasuk analisis terhadap konsep-konsep moral, seperti kebaikan, kewajiban, dan keadilan, serta mempertanyakan apakah nilai moral bersifat objektif atau subjektif. Sementara itu, etika normatif berfokus pada bagaimana manusia seharusnya bertindak, dengan menyusun teori-teori yang memberikan standar moral dalam pengambilan keputusan. Sedangkan etika terapan berkaitan dengan implementasi teori etika dalam situasi konkret, seperti dalam bidang bioetika, etika bisnis, dan etika lingkungan

Sebagai cabang utama filsafat moral, etika normatif memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Para filsuf telah mengembangkan berbagai teori dalam etika normatif, yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam mendefinisikan tindakan moral yang benar. Beberapa teori utama dalam etika normatif meliputi deontologi, konsekuensialisme, dan etika kebajikan. Deontologi, yang dipelopori oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan moral ditentukan berdasarkan kewajiban dan aturan universal, tanpa memandang konsekuensinya.² Sementara itu, konsekuensialisme, khususnya dalam bentuk utilitarianisme, berpendapat bahwa suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak, sebagaimana dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart MillEtika kebajikan, yang berakar pada pemikiran Aristoteles, menekankan bahwa moralitas tidak hanya ditentukan oleh tindakan tertentu, tetapi juga oleh karakter dan kebiasaan individu dalam mencapai kebajikan.⁴

Relevansi etika normatif dalam kehidupan modern sangatlah besar, terutama dalam menghadapi dilema moral yang semakin kompleks akibat kemajuan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial. Misalnya, dalam perkembangan kecerdasan buatan (AI), para etikus normatif berupaya menetapkan prinsip-prinsip moral yang dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan teknologi yang etis dan bertanggung jawab.⁵ Selain itu, dalam konteks kebijakan publik, konsep etika normatif menjadi dasar bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berkeadilan dan tidak diskriminatif terhadap kelompok tertentu.⁶

Dengan demikian, kajian etika normatif tidak hanya berperan dalam ranah akademik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam membentuk tatanan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, memahami prinsip-prinsip dasar etika normatif serta implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan menjadi suatu kebutuhan yang mendesak di era modern ini.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 3-5.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30-35.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 9-11.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 23-25.

[5]                Nick Bostrom dan Eliezer Yudkowsky, "The Ethics of Artificial Intelligence," dalam Cambridge Handbook of Artificial Intelligence, ed. Keith Frankish dan William Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 316-319.

[6]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 98-101.


2.           Pengertian dan Karakteristik Etika Normatif

2.1.       Pengertian Etika Normatif

Etika normatif merupakan cabang utama dalam filsafat moral yang bertujuan untuk menetapkan prinsip-prinsip moral sebagai pedoman dalam menentukan tindakan yang benar dan salah. Berbeda dengan metaetika yang berfokus pada analisis konsep-konsep moral secara filosofis, etika normatif lebih berorientasi pada perumusan standar moral yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.¹ Dalam hal ini, etika normatif mencoba menjawab pertanyaan “Bagaimana seharusnya seseorang bertindak?” dengan menawarkan prinsip-prinsip moral yang universal dan sistematis.

Menurut James Rachels, etika normatif berusaha menyusun teori-teori moral yang dapat dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan etis.² Para filsuf telah mengembangkan berbagai pendekatan dalam etika normatif untuk menilai suatu tindakan sebagai benar atau salah. Misalnya, teori deontologi menekankan bahwa tindakan moral didasarkan pada kewajiban dan aturan yang harus ditaati, sedangkan utilitarianisme berpendapat bahwa tindakan benar adalah yang memberikan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.³ Selain itu, pendekatan etika kebajikan yang berakar pada pemikiran Aristoteles menilai moralitas berdasarkan karakter dan kebiasaan individu dalam menjalani kehidupan yang baik.⁴

Sebagai bagian dari filsafat moral, etika normatif juga memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, kebijakan publik, dan kebiasaan sosial. Dalam perkembangannya, teori-teori dalam etika normatif terus mengalami perubahan dan penyesuaian sesuai dengan tantangan moral yang muncul di masyarakat.

2.2.       Karakteristik Etika Normatif

Etika normatif memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari cabang etika lainnya. Karakteristik ini mencerminkan pendekatan yang diambil dalam merumuskan prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan.

2.2.1.    Bersifat Preskriptif

Salah satu karakteristik utama etika normatif adalah sifatnya yang preskriptif, yaitu memberikan pedoman tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak.⁵ Dalam hal ini, etika normatif tidak hanya menganalisis moralitas secara deskriptif, tetapi juga menetapkan standar yang harus diikuti. Sebagai contoh, dalam etika Kantian, imperatif kategoris mengajarkan bahwa seseorang harus bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dijadikan hukum universal.⁶

2.2.2.    Berbasis pada Prinsip Universal

Etika normatif berusaha menetapkan prinsip-prinsip moral yang bersifat universal, yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan tidak bergantung pada preferensi individu atau norma sosial tertentu.⁷ John Stuart Mill, dalam pemikiran utilitarianismenya, menyatakan bahwa prinsip utilitas adalah dasar bagi penilaian moral yang berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali.⁸

2.2.3.    Memandang Moralitas sebagai Panduan Tindakan

Dalam etika normatif, moralitas dianggap sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan perilaku manusia.⁹ Sebagai contoh, dalam etika kebajikan, Aristoteles menekankan pentingnya kebiasaan dan karakter moral yang baik dalam membentuk individu yang beretika.¹⁰

2.2.4.    Berorientasi pada Kewajiban atau Konsekuensi

Sebagian besar teori dalam etika normatif berorientasi pada kewajiban (deontology) atau konsekuensi (consequentialism) dalam menilai moralitas suatu tindakan.¹¹ Deontologi Kantian, misalnya, berfokus pada kewajiban moral yang absolut, terlepas dari konsekuensi yang dihasilkan.¹² Sebaliknya, utilitarianisme berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan konsekuensi terbaik bagi banyak orang.¹³

2.2.5.    Berhubungan dengan Nilai-Nilai Sosial dan Hukum

Etika normatif tidak hanya berfungsi sebagai teori abstrak, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap pembentukan norma sosial dan hukum.¹⁴ Dalam sistem hukum modern, misalnya, prinsip-prinsip etika normatif sering kali digunakan untuk menentukan keadilan dan hak asasi manusia.¹⁵


Kesimpulan

Etika normatif merupakan cabang filsafat moral yang berusaha menetapkan standar moral sebagai pedoman dalam bertindak. Dengan karakteristiknya yang preskriptif, berbasis pada prinsip universal, serta berorientasi pada kewajiban dan konsekuensi, etika normatif memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, kebijakan publik, dan etika profesional. Berbagai teori dalam etika normatif, seperti deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan, memberikan perspektif yang berbeda dalam menentukan tindakan yang benar dan salah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap etika normatif sangatlah penting dalam menghadapi dilema moral di era modern ini.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 5-7.

[2]                Ibid., 10.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 8-11.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 15-18.

[5]                William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 28-30.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31-33.

[7]                Henry Sidgwick, The Methods of Ethics (London: Macmillan, 1907), 38-42.

[8]                Mill, Utilitarianism, 12-15.

[9]                Rachels dan Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 20-22.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 19-22.

[11]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 50-53.

[12]             Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 35-38.

[13]             Mill, Utilitarianism, 17-20.

[14]             Thomas M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 102-105.

[15]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 97-99.


3.           Aliran-Aliran Utama dalam Etika Normatif

Etika normatif merupakan cabang filsafat moral yang berupaya merumuskan prinsip-prinsip moral untuk menilai tindakan manusia sebagai benar atau salah. Dalam perkembangannya, filsuf moral telah mengembangkan beberapa pendekatan utama dalam etika normatif, yang mencerminkan perbedaan dalam cara menilai suatu tindakan. Tiga aliran utama dalam etika normatif adalah deontologi, utilitarianisme (konsekuensialisme), dan etika kebajikan.¹ Setiap aliran memiliki prinsip, kelebihan, dan kritik yang beragam, sehingga memberikan perspektif yang kaya dalam memahami moralitas manusia.

3.1.       Deontologi (Etika Kewajiban)

Deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti "kewajiban" atau "tugas". Pendekatan ini menekankan bahwa suatu tindakan dianggap benar atau salah berdasarkan kewajiban moral yang melekat pada tindakan tersebut, bukan berdasarkan konsekuensinya.²

3.1.1.    Immanuel Kant dan Imperatif Kategoris

Salah satu tokoh utama dalam teori deontologi adalah Immanuel Kant (1724–1804). Dalam bukunya Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan konsep imperatif kategoris, yaitu prinsip moral yang harus dipatuhi secara universal tanpa mempertimbangkan akibatnya.³ Imperatif kategoris menyatakan bahwa seseorang harus bertindak berdasarkan prinsip yang dapat dijadikan hukum universal, artinya aturan moral harus berlaku untuk semua orang dalam situasi yang sama.

Kant juga berpendapat bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana bagi kepentingan lain.⁴ Dengan demikian, deontologi menekankan pentingnya niat moral di balik suatu tindakan dan bukan hanya dampaknya terhadap orang lain.

3.1.2.    Kritik terhadap Deontologi

Meskipun teori deontologi memiliki dasar rasional yang kuat, kritik terhadap pendekatan ini mencakup:

·                     Ketidakfleksibelan:

Deontologi dianggap terlalu kaku karena tidak memperhitungkan konsekuensi dalam situasi moral yang kompleks.⁵

·                     Dilema Moral:

Dalam beberapa kasus, dua kewajiban moral dapat bertentangan satu sama lain, misalnya antara kewajiban untuk jujur dan kewajiban untuk melindungi orang lain dari bahaya.⁶

3.2.       Utilitarianisme (Etika Konsekuensialisme)

Utilitarianisme merupakan bentuk utama dari konsekuensialisme, yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya. Prinsip utama dalam utilitarianisme adalah "kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak", yang berarti suatu tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat maksimal bagi sebanyak mungkin orang.⁷

3.2.1.    Jeremy Bentham dan Kalkulus Hedonis

Jeremy Bentham (1748–1832), sebagai pelopor utilitarianisme klasik, mengembangkan konsep kalkulus hedonis, yaitu metode untuk menghitung tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.⁸ Bentham berpendapat bahwa moralitas dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan manusia.

3.2.2.    John Stuart Mill dan Utilitarianisme Kualitatif

John Stuart Mill (1806–1873) kemudian menyempurnakan teori Bentham dengan membedakan antara kualitas dan kuantitas kebahagiaan.⁹ Menurut Mill, kebahagiaan yang lebih tinggi, seperti kepuasan intelektual dan moral, lebih bernilai dibandingkan kesenangan fisik yang bersifat sementara.¹⁰

3.2.3.    Kritik terhadap Utilitarianisme

Beberapa kritik utama terhadap utilitarianisme mencakup:

·                     Mengabaikan hak individu:

Dalam beberapa kasus, utilitarianisme dapat membenarkan tindakan yang melanggar hak individu jika tindakan tersebut menghasilkan manfaat lebih besar bagi masyarakat.¹¹

·                     Kesulitan dalam mengukur kebahagiaan:

Tidak semua bentuk kebahagiaan dapat diukur secara objektif atau dibandingkan satu sama lain.¹²

3.3.       Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Berbeda dari deontologi dan utilitarianisme yang berfokus pada tindakan, etika kebajikan lebih menekankan pada karakter moral individu dan kebiasaan yang membentuk keutamaan (virtue).¹³ Pendekatan ini berakar pada filsafat Aristoteles, yang berpendapat bahwa tujuan tertinggi manusia adalah mencapai eudaimonia, atau kehidupan yang baik dan bermakna.¹⁴

3.3.1.    Konsep Dasar Etika Kebajikan

Menurut Aristoteles, kebajikan adalah sifat moral yang diperoleh melalui latihan dan pembiasaan, seperti kejujuran, keberanian, dan kebijaksanaan.¹⁵ Aristoteles juga memperkenalkan konsep jalan tengah (Golden Mean), yaitu keseimbangan antara dua ekstrem dalam perilaku manusia. Misalnya, keberanian berada di antara pengecut dan gegabah.¹⁶

3.3.2.    Kritik terhadap Etika Kebajikan

·                     Kurangnya panduan tindakan yang konkret:

Etika kebajikan sering kali tidak memberikan pedoman yang jelas tentang tindakan yang harus diambil dalam situasi tertentu.¹⁷

·                     Relativisme budaya:

Konsep kebajikan dapat berbeda di setiap budaya, sehingga tidak selalu ada standar universal.¹⁸


Kesimpulan

Ketiga aliran utama dalam etika normatif—deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan—memberikan perspektif yang berbeda dalam menilai moralitas suatu tindakan. Deontologi menekankan kewajiban moral dan aturan universal, utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya, sementara etika kebajikan berfokus pada pembentukan karakter moral individu. Meskipun masing-masing teori memiliki kelebihan dan kelemahan, kombinasi dari ketiga pendekatan ini sering digunakan dalam penerapan etika di berbagai bidang kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 7-9.

[2]                William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 25-27.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31-34.

[4]                Ibid., 36.

[5]                Thomas M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 65.

[6]                Rachels dan Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 88-90.

[7]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 5-7.

[8]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 14-16.

[9]                Mill, Utilitarianism, 9-12.

[10]             Ibid., 15.

[11]             Singer, Practical Ethics, 50-53.

[12]             Rachels dan Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 102-105.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 20-23.

[14]             Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 27-30.

[15]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 28-32.

[16]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 40-42.

[17]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 50-53.

[18]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 137-140.


4.           Penerapan Etika Normatif dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Etika normatif tidak hanya sebatas kajian akademik dalam filsafat moral, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Prinsip-prinsip dalam deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk hukum, politik, teknologi, dan agama.¹ Dalam bab ini, akan dibahas bagaimana konsep etika normatif berperan dalam kehidupan sosial dan profesional.

4.1.       Etika Normatif dalam Hukum dan Keadilan

Etika normatif berperan penting dalam pembentukan sistem hukum yang adil. Teori deontologi, misalnya, menjadi dasar bagi konsep hak dan kewajiban hukum dalam sistem keadilan modern.² Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum harus didasarkan pada prinsip moral universal, bukan pada pertimbangan utilitarian semata.³

Di sisi lain, teori utilitarianisme mempengaruhi konsep hukuman berbasis manfaat, yaitu bahwa sistem hukum harus dirancang untuk menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat.⁴ John Stuart Mill menekankan bahwa hukum harus melindungi kebebasan individu, tetapi tetap memastikan kesejahteraan sosial secara keseluruhan.⁵

4.1.1.    Penerapan dalam Hak Asasi Manusia

Dalam hukum internasional, pendekatan deontologi sangat dominan dalam penegakan hak asasi manusia (HAM). Prinsip bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak boleh dilanggar, seperti hak atas kebebasan dan perlindungan hukum, berakar dari pemikiran Kantian tentang martabat manusia.⁶

Sebaliknya, dalam beberapa kebijakan pidana dan sistem peradilan, pendekatan utilitarianisme lebih sering digunakan. Misalnya, hukuman dijatuhkan dengan mempertimbangkan dampak sosial dan efek jera bagi masyarakat.⁷

4.2.       Etika Normatif dalam Politik dan Pemerintahan

Dalam dunia politik, etika normatif membantu dalam pembentukan kebijakan yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan publik.

4.2.1.    Prinsip Keadilan dalam Demokrasi

Prinsip keadilan dalam demokrasi sering kali mengacu pada teori John Rawls, yang berpendapat bahwa kebijakan politik harus didasarkan pada keadilan distributif.⁸ Rawls mengembangkan konsep "veil of ignorance", di mana kebijakan yang dibuat harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak tanpa memihak kelompok tertentu.⁹

Pendekatan utilitarianisme juga sering digunakan dalam pengambilan kebijakan, terutama dalam analisis manfaat sosial. Misalnya, pemerintah sering menggunakan prinsip "cost-benefit analysis" untuk menentukan kebijakan yang paling menguntungkan bagi masyarakat.¹⁰

4.3.       Etika Normatif dalam Teknologi dan Sains

Kemajuan teknologi menghadirkan dilema moral yang semakin kompleks. Etika normatif berperan dalam membimbing penggunaan teknologi yang bertanggung jawab, terutama dalam bidang seperti kecerdasan buatan (AI), bioetika, dan rekayasa genetika.

4.3.1.    Kecerdasan Buatan dan Etika Normatif

Dalam pengembangan AI, pendekatan deontologi menuntut agar teknologi ini tidak digunakan untuk merugikan manusia, sementara utilitarianisme mempertimbangkan manfaat teknologi bagi kesejahteraan sosial.¹¹ Nick Bostrom mengemukakan bahwa AI harus dikembangkan dengan mempertimbangkan dampak etisnya terhadap masyarakat dan tidak hanya berfokus pada kemajuan teknis.¹²

4.3.2.    Bioetika dan Isu Moral dalam Sains

Dalam bidang kedokteran, etika kebajikan sering digunakan untuk menilai praktik medis dan penelitian genetika.¹³ Contohnya, dalam kasus kloning manusia, para etikus mempertanyakan apakah tindakan tersebut mencerminkan kebajikan dan martabat manusia.¹⁴

4.4.       Etika Normatif dalam Agama dan Spiritualitas

Etika normatif juga memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai moral dalam agama. Banyak ajaran agama yang memiliki prinsip etika yang sejalan dengan teori-teori dalam etika normatif.

4.4.1.    Etika Kewajiban dalam Hukum Syariah dan Etika Kristen

Dalam hukum Islam (syariah), konsep kewajiban moral sangat ditekankan, sebagaimana dalam deontologi Kantian. Prinsip "amar ma’ruf nahi munkar" dalam Islam, yang berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, memiliki kesamaan dengan imperatif kategoris Kant yang menekankan bahwa tindakan harus didasarkan pada prinsip yang universal.¹⁵

Dalam Kristen, ajaran Yesus tentang Kasih dan Keadilan sering dikaitkan dengan etika kebajikan Aristotelian, yang menekankan pembentukan karakter moral yang baik.¹⁶

4.4.2.    Utilitarianisme dalam Etika Sosial

Beberapa nilai dalam agama juga sejalan dengan utilitarianisme, terutama dalam aspek kesejahteraan sosial. Misalnya, dalam Islam terdapat konsep "maslahah", yaitu pertimbangan kemaslahatan umum dalam menentukan hukum.¹⁷ Konsep ini memiliki kesamaan dengan prinsip kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak dalam utilitarianisme.¹⁸


Kesimpulan

Etika normatif memiliki peran yang luas dalam kehidupan manusia, terutama dalam bidang hukum, politik, teknologi, dan agama. Deontologi sering digunakan dalam penegakan hak asasi manusia dan hukum syariah, sementara utilitarianisme banyak digunakan dalam kebijakan publik dan analisis manfaat sosial. Sementara itu, etika kebajikan lebih sering diterapkan dalam bidang bioetika dan pembentukan karakter moral dalam ajaran agama. Dengan memahami penerapan etika normatif dalam berbagai aspek kehidupan, kita dapat membuat keputusan moral yang lebih bertanggung jawab dan rasional.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 11-13.

[2]                William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 32-34.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38-41.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 14-17.

[5]                Ibid., 22-24.

[6]                Thomas M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 105-108.

[7]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 80-82.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118-121.

[9]                Ibid., 130-132.

[10]             Mill, Utilitarianism, 35-37.

[11]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 90-94.

[12]             Ibid., 102-104.

[13]             Hursthouse, On Virtue Ethics, 45-48.

[14]             Julian Savulescu, Enhancing Human Capacities (Oxford: Oxford University Press, 2011), 210-213.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (New York: World Wisdom, 2007), 88-91.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 150-153.

[17]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Maslahah (Cairo: Dar al-Salam, 2001), 72-75.

[18]             Mill, Utilitarianism, 50-52.


5.           Kritik dan Tantangan terhadap Etika Normatif

Meskipun etika normatif memiliki peran penting dalam membimbing manusia dalam pengambilan keputusan moral, terdapat sejumlah kritik dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Kritik terhadap etika normatif berasal dari berbagai perspektif, termasuk relativisme moral, kompleksitas penerapan dalam masyarakat pluralistik, dan perdebatan antara teori-teori utama dalam etika normatif.¹ Selain itu, perubahan sosial, teknologi, dan globalisasi turut menghadirkan tantangan baru bagi penerapan prinsip-prinsip moral yang bersifat universal.

5.1.       Kritik dari Perspektif Relativisme Moral

Salah satu kritik terbesar terhadap etika normatif datang dari relativisme moral, yang menolak gagasan bahwa terdapat standar moral universal yang dapat diterapkan dalam semua konteks.² Para relativis moral berpendapat bahwa nilai-nilai etika bersifat subjektif dan ditentukan oleh budaya, kebiasaan sosial, atau preferensi individu.³

Menurut Gilbert Harman, standar moral tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya, sehingga etika normatif yang mencoba menetapkan aturan universal sering kali bertentangan dengan praktik moral yang beragam di berbagai masyarakat.⁴ Misalnya, suatu tindakan yang dianggap bermoral dalam satu budaya bisa jadi dianggap tidak etis dalam budaya lain.

Kritik utama dari kaum relativis terhadap etika normatif adalah:

·                     Universalitas yang dipertanyakan:

Tidak semua prinsip moral dapat diterapkan dalam semua budaya dan situasi.⁵

·                     Norma yang berubah-ubah:

Prinsip etika normatif cenderung tidak mampu mengikuti perubahan sosial dan budaya yang dinamis.⁶

·                     Potensi imperialisme moral:

Penerapan prinsip moral universal dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan budaya tertentu terhadap budaya lain.⁷

Meskipun demikian, pendukung etika normatif berargumen bahwa beberapa prinsip moral bersifat universal, seperti larangan terhadap pembunuhan atau pencurian, yang ditemukan dalam hampir semua sistem etika di dunia.⁸

5.2.       Tantangan dalam Masyarakat Pluralistik

Dalam masyarakat yang pluralistik, di mana berbagai kelompok dengan nilai dan keyakinan yang berbeda hidup berdampingan, penerapan etika normatif sering kali menghadapi tantangan besar.

5.2.1.    Konflik antara Prinsip Moral yang Berbeda

Perbedaan dalam interpretasi nilai moral sering kali menyebabkan konflik etis. Sebagai contoh, prinsip kebebasan individu dalam utilitarianisme dapat bertentangan dengan prinsip kewajiban moral dalam deontologi.⁹

John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice mengusulkan konsep “overlapping consensus”, yaitu bahwa dalam masyarakat pluralistik, individu dapat mencapai kesepakatan moral meskipun memiliki latar belakang filosofis dan agama yang berbeda.¹⁰

5.2.2.    Kesulitan dalam Menentukan Keadilan Sosial

Prinsip-prinsip keadilan dalam etika normatif, seperti teori keadilan Rawls dan utilitarianisme Mill, sering kali menghadapi tantangan dalam penerapannya.¹¹ Misalnya, bagaimana cara memastikan distribusi keadilan yang merata dalam sistem ekonomi global yang kompleks?

5.3.       Kritik terhadap Teori-Teori Utama dalam Etika Normatif

Masing-masing teori utama dalam etika normatif memiliki kelemahan yang dikritik oleh para filsuf moral.

5.3.1.    Kritik terhadap Deontologi

·                     Terlalu kaku:

Deontologi menuntut kepatuhan terhadap aturan moral tanpa mempertimbangkan konsekuensi, yang bisa menyebabkan dilema moral yang sulit diselesaikan.¹²

·                     Tidak memperhitungkan hasil:

Kritik utama dari kaum utilitarian adalah bahwa deontologi gagal mempertimbangkan akibat dari suatu tindakan, sehingga dalam beberapa kasus dapat menghasilkan keputusan yang merugikan.¹³

5.3.2.    Kritik terhadap Utilitarianisme

·                     Mengabaikan hak individu:

Utilitarianisme dapat membenarkan tindakan yang melanggar hak individu jika tindakan tersebut membawa manfaat bagi banyak orang.¹⁴

·                     Kesulitan dalam mengukur kebahagiaan:

Tidak semua kebahagiaan atau manfaat sosial dapat diukur secara kuantitatif.¹⁵

5.3.3.    Kritik terhadap Etika Kebajikan

·                     Kurangnya pedoman tindakan yang konkret:

Etika kebajikan tidak memberikan aturan yang jelas mengenai bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi tertentu.¹⁶

·                     Relativisme kebajikan:

Kebajikan yang dianggap ideal dalam satu masyarakat bisa jadi berbeda dengan masyarakat lain.¹⁷

5.4.       Tantangan Etika Normatif dalam Era Teknologi dan Globalisasi

Perkembangan teknologi dan globalisasi menghadirkan tantangan baru bagi etika normatif.

5.4.1.    Etika dalam Kecerdasan Buatan (AI) dan Bioteknologi

Kemajuan dalam kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi memunculkan dilema etika baru yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh teori etika normatif tradisional.¹⁸ Misalnya, apakah pengembangan robot dengan kesadaran moral dapat dikategorikan dalam prinsip etika manusia?

5.4.2.    Tantangan dalam Keputusan Global

Dalam skala global, etika normatif menghadapi tantangan dalam menangani krisis iklim, ketidaksetaraan ekonomi, dan keadilan global.¹⁹ Prinsip-prinsip utilitarianisme sering digunakan dalam kebijakan perubahan iklim, tetapi tantangan dalam implementasinya tetap besar.²⁰


Kesimpulan

Meskipun etika normatif memberikan pedoman moral yang sangat berharga, terdapat berbagai kritik dan tantangan dalam penerapannya. Relativisme moral, kompleksitas dalam masyarakat pluralistik, kelemahan dalam teori-teori utama, serta tantangan dari teknologi dan globalisasi menunjukkan bahwa etika normatif harus terus berkembang agar tetap relevan dalam menghadapi persoalan moral yang semakin kompleks.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 15-17.

[2]                William K. Frankena, Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1973), 40-42.

[3]                Richard B. Brandt, A Theory of the Good and the Right (Oxford: Clarendon Press, 1979), 25-28.

[4]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 37-40.

[5]                Ibid., 45.

[6]                Rachels dan Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 80-83.

[7]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 98-101.

[8]                Scanlon, What We Owe to Each Other, 115-118.

[9]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 140-143.

[10]             Ibid., 150.

[11]             Mill, Utilitarianism, 50-52.

[12]             Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 38-41.

[13]             Scanlon, What We Owe to Each Other, 125-128.

[14]             Mill, Utilitarianism, 35-37.

[15]             Bostrom, Superintelligence, 102-104.

[16]             Hursthouse, On Virtue Ethics, 55-58.

[17]             MacIntyre, After Virtue, 160-163.

[18]             Bostrom, Superintelligence, 210-213.

[19]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 180-183.

[20]             Singer, Practical Ethics, 75-78.


6.           Kesimpulan

Etika normatif merupakan cabang filsafat moral yang berupaya memberikan panduan normatif bagi manusia dalam menentukan tindakan yang benar dan salah. Dengan membangun teori moral yang sistematis, etika normatif berperan dalam membentuk standar moral universal, yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan, termasuk hukum, politik, teknologi, dan agama.¹ Meskipun terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan deontologi, utilitarianisme, dan etika kebajikan, ketiga teori ini tetap memberikan kontribusi penting dalam membantu manusia mengambil keputusan moral yang rasional dan bertanggung jawab.

Dalam kajian deontologi, moralitas didasarkan pada prinsip kewajiban dan aturan moral yang bersifat universal, tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang dihasilkan.² Sebaliknya, utilitarianisme menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya, dengan prinsip "kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak" sebagai tolok ukur utama.³ Sementara itu, etika kebajikan lebih menekankan pada pembentukan karakter moral individu, dengan menilai kebiasaan dan kebajikan yang dikembangkan sepanjang kehidupan.⁴

Ketiga pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, yang menyebabkan munculnya perdebatan dalam filsafat moral. Deontologi sering dikritik karena terlalu kaku, sehingga sulit diterapkan dalam situasi kompleks yang menuntut fleksibilitas dalam pengambilan keputusan moral.⁵ Utilitarianisme, di sisi lain, dikritik karena cenderung mengabaikan hak individu, sebab keputusan moral didasarkan pada kesejahteraan kolektif.⁶ Sedangkan etika kebajikan sering dianggap tidak memberikan panduan moral yang konkret, karena lebih berfokus pada pengembangan karakter individu daripada menentukan aturan moral yang jelas.⁷

Dalam kehidupan nyata, penerapan etika normatif menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam masyarakat pluralistik yang memiliki perbedaan nilai dan budaya.⁸ Prinsip moral yang dianggap benar dalam satu budaya belum tentu diterima oleh budaya lain, sehingga muncul perdebatan mengenai universalitas standar moral.⁹ Selain itu, dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, etika normatif dihadapkan pada dilema moral baru, seperti dalam bidang kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan etika lingkungan.¹⁰

Untuk menjawab tantangan ini, para filsuf moral mengusulkan pendekatan yang lebih integratif dan fleksibel, dengan mengombinasikan berbagai teori dalam etika normatif guna mencapai kesimpulan moral yang lebih komprehensif.¹¹ John Rawls, misalnya, mengembangkan teori keadilan yang mengakomodasi prinsip deontologi dan utilitarianisme dalam sistem sosial yang adil.¹² Martha Nussbaum, di sisi lain, mengembangkan pendekatan berbasis kapabilitas, yang menyoroti pentingnya memperhitungkan kesejahteraan manusia dalam menentukan standar moral yang lebih inklusif.¹³

Dengan demikian, meskipun etika normatif menghadapi kritik dan tantangan, ia tetap menjadi landasan utama dalam filsafat moral dan memberikan kontribusi besar dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan etis. Studi lebih lanjut dalam bidang ini diperlukan untuk menyesuaikan prinsip-prinsip moral dengan perkembangan zaman, sehingga etika normatif tetap relevan dalam menjawab dilema moral di era modern.¹⁴


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 20-23.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 35-37.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 12-15.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 23-25.

[5]                Thomas M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 105-108.

[6]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 50-53.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45-48.

[8]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 85-88.

[9]                Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity (Oxford: Blackwell, 1996), 40-42.

[10]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 95-98.

[11]             Rachels dan Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 60-63.

[12]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 150-152.

[13]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 180-183.

[14]             Scanlon, What We Owe to Each Other, 115-118.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Bentham, J. (1789). An introduction to the principles of morals and legislation. T. Payne.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Brandt, R. B. (1979). A theory of the good and the right. Clarendon Press.

Frankena, W. K. (1973). Ethics. Prentice Hall.

Harman, G. (1996). Moral relativism and moral objectivity. Blackwell.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Longmans, Green, and Co.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Qaradawi, Y. (2001). Fiqh al-maslahah. Dar al-Salam.

Rachels, J., & Rachels, S. (2018). The elements of moral philosophy (8th ed.). McGraw-Hill.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Savulescu, J. (2011). Enhancing human capacities. Oxford University Press.

Scanlon, T. M. (1998). What we owe to each other. Harvard University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Sidgwick, H. (1907). The methods of ethics (7th ed.). Macmillan.


Lampiran: Daftar Lengkap Aliran-Aliran dalam Etika Normatif

Etika normatif terdiri dari berbagai aliran yang menawarkan perspektif berbeda dalam menentukan standar moral yang dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan etis. Berikut adalah daftar lengkap aliran-aliran dalam etika normatif beserta penjelasannya.

1.            Deontologi (Ethics of Duty)

Deontologi adalah teori etika yang menekankan bahwa suatu tindakan dikatakan benar atau salah berdasarkan kewajiban moral yang melekat pada tindakan tersebut, bukan pada konsekuensinya.¹

1.1.        Deontologi Kantian (Kantian Ethics)

·                     Dikembangkan oleh Immanuel Kant, yang mengajarkan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada prinsip yang dapat dijadikan hukum universal

·                     Imperatif Kategoris: Prinsip bahwa seseorang harus bertindak sesuai aturan yang dapat berlaku bagi semua orang dalam situasi yang sama.³

·                     Menekankan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai sarana.⁴

1.2.        Deontologi Intuisionis (Intuitionist Deontology)

·                     Didasarkan pada keyakinan bahwa manusia memiliki intuisi moral bawaan untuk membedakan yang benar dan yang salah tanpa perlu perhitungan konsekuensi.⁵

·                     Salah satu tokohnya adalah W.D. Ross, yang mengembangkan konsep prima facie duties, yaitu kewajiban moral yang bersifat mendasar, seperti kejujuran dan keadilan.⁶

2.            Konsekuensialisme (Consequentialism)

Konsekuensialisme menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensi yang dihasilkan.⁷

1.3.        Utilitarianisme (Utilitarianism)

·                     Diajukan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan oleh John Stuart Mill.

·                     Prinsip utama: "Kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak."⁸

·                     Dibagi menjadi:

Utilitarianisme Hedonistik (Bentham): Menilai kebahagiaan berdasarkan jumlah kesenangan yang dihasilkan.⁹

Utilitarianisme Kualitatif (Mill): Menekankan bahwa kebahagiaan memiliki tingkatan, dengan kebahagiaan intelektual lebih bernilai daripada kesenangan fisik.¹⁰

1.4.        Konsekuensialisme Negatif (Negative Consequentialism)

·                     Menekankan pengurangan penderitaan sebagai prioritas moral dibandingkan peningkatan kebahagiaan.¹¹

1.5.        Konsekuensialisme Preferensi (Preference Consequentialism)

·                     Diajukan oleh Peter Singer, yang berpendapat bahwa tindakan moral adalah yang paling memenuhi preferensi dan kepentingan semua makhluk yang terkena dampaknya.¹²

3.            Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Etika kebajikan menekankan pembentukan karakter moral individu sebagai dasar dari tindakan etis.¹³

1.6.        Etika Aristotelian (Aristotelian Virtue Ethics)

·                     Diajukan oleh Aristoteles, yang berpendapat bahwa kehidupan yang baik (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui pembentukan kebajikan moral.¹⁴

·                     Konsep Golden Mean: Kebajikan ditemukan dalam keseimbangan antara dua ekstrem, misalnya keberanian terletak di antara pengecut dan gegabah.¹⁵

1.7.        Etika Kebajikan Modern

·                     Diperbarui oleh filsuf seperti Alasdair MacIntyre, Rosalind Hursthouse, dan Martha Nussbaum.

·                     Mengakomodasi nilai sosial dan konteks budaya dalam pembentukan kebajikan moral.¹⁶

4.            Etika Kontrak Sosial (Contractarianism/ Contractualism)

·                     Berbasis pada gagasan bahwa norma moral muncul dari kesepakatan sosial di antara individu rasional.¹⁷

·                     John Rawls mengembangkan konsep "veil of ignorance", yang berargumen bahwa aturan moral harus dibuat tanpa mempertimbangkan posisi sosial seseorang.¹⁸

5.            Etika Feminisme (Feminist Ethics)

·                     Dikembangkan sebagai kritik terhadap teori etika tradisional yang dianggap terlalu maskulin dan tidak memperhatikan pengalaman perempuan.¹⁹

·                     Berfokus pada nilai-nilai seperti kepedulian, empati, dan hubungan interpersonal.²⁰

·                     Carol Gilligan dalam In a Different Voice mengembangkan ethics of care, yang menekankan pentingnya hubungan emosional dalam pengambilan keputusan moral.²¹

6.            Etika Lingkungan (Environmental Ethics)

·                     Menilai tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya.²²

·                     Beberapa teori utama dalam etika lingkungan:

Antroposentrisme: Menempatkan manusia sebagai pusat moralitas.²³

Biocentrisme: Mengakui bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai moral.²⁴

Ekosentrisme: Menganggap bahwa keseluruhan ekosistem memiliki nilai moral yang harus dijaga.²⁵


Kesimpulan

Aliran-aliran dalam etika normatif menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami moralitas. Beberapa teori menekankan aturan moral yang tetap, sementara yang lain lebih menekankan konsekuensi tindakan atau pembentukan karakter individu. Meskipun terdapat berbagai perbedaan dalam pendekatan ini, pemahaman yang lebih luas terhadap setiap teori dapat membantu kita dalam mengambil keputusan moral yang lebih bijaksana dalam kehidupan sehari-hari.


Catatan Kaki

[1]                James Rachels dan Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy (New York: McGraw-Hill, 2018), 25-27.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30-33.

[3]                Ibid., 38-40.

[4]                Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 45-48.

[5]                W.D. Ross, The Right and the Good (Oxford: Clarendon Press, 1930), 17-20.

[6]                Ibid., 25-28.

[7]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Longmans, Green, and Co., 1863), 10-12.

[8]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 14-16.

[9]                Mill, Utilitarianism, 15-18.

[10]             Ibid., 22-24.

[11]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (London: Routledge, 1945), 143-145.

[12]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 80-85.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 35-38.

[14]             Ibid., 50-53.

[15]             Ibid., 60-62.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 140-142.

[17]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118-121.

[18]             Ibid., 130-132.

[19]             Carol Gilligan, In a Different Voice (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 95-98.

[20]             Ibid., 102-105.

[21]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 210-215.

[22]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 75-78.

[23]             Ibid., 80.

[24]             Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 115-118.

[25]             Ibid., 120-123.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar