Biografi Ulama Ahli Hadits
Kajian Komprehensif melalui Perspektif Ulumul Hadits
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Abstrak
Kajian tentang biografi
tokoh-tokoh hadits dan kitab-kitabnya merupakan bagian integral dari studi Ulumul
Hadits. Artikel ini membahas secara komprehensif para penyusun
kitab hadits utama, khususnya tokoh-tokoh dalam Kutub
Sittah seperti Imam Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, serta tokoh hadits
di luar Kutub Sittah seperti Imam Malik (Muwatta’), Imam Ahmad bin
Hanbal (Musnad Ahmad), dan Imam Ad-Darimi (Sunan Ad-Darimi).
Selain mengupas biografi mereka, artikel ini juga menganalisis kitab-kitab
hadits induk dengan menyoroti metodologi penyusunannya, kredibilitas perawi,
dan tingkat keotentikan hadits.
Dalam perspektif Ulumul
Hadits, kajian ini menyoroti peran Ilmu Jarh wa Ta’dil
dalam mengkaji kualitas perawi serta Ilmu Mushthalah Hadits
dalam mengklasifikasikan hadits menjadi shahih, hasan,
dha’if, dan maudhu’.
Pembahasan ini diperkuat dengan pandangan ulama klasik dan kontemporer mengenai
keunggulan dan kritik terhadap kitab-kitab hadits, termasuk studi akademik
modern yang terus mengembangkan metode kritik sanad dan matan hadits.
Hasil kajian menunjukkan
bahwa Kutub Sittah tetap menjadi rujukan utama
dalam ilmu hadits, meskipun kitab-kitab hadits lainnya memiliki
kontribusi signifikan dalam mendukung pemahaman sunnah. Studi ini juga
menekankan pentingnya kajian kritis terhadap hadits dengan pendekatan ilmu
hadits tradisional dan metode akademik modern. Oleh karena itu, pemahaman yang
komprehensif terhadap tokoh-tokoh hadits dan kitab-kitabnya sangat penting
dalam memastikan keaslian dan otoritas sunnah Nabi Muhammad Saw.
Kata Kunci: Hadits, Kutub
Sittah, Ulumul Hadits, Jarh wa Ta’dil, Mushthalah Hadits, Biografi Tokoh
Hadits, Kitab Hadits Induk, Kritik Sanad, Kritik Matan, Ilmu Hadits.
PEMBAHASAN
Biografi Ulama Ahli Hadits dan Kitabnya
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10
(Sepuluh)
Bab : Bab 11 -
Biografi Ulama Ahli Hadits dan Kitabnya
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Pentingnya
Kajian Tokoh dan Kitab Hadits
Hadits merupakan sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Qur'an yang menjadi pedoman utama umat Islam dalam
menjalani kehidupan. Keabsahan dan kredibilitas hadits sangat bergantung pada
keilmuan dan keadilan perawinya, yang diperiksa melalui ilmu rijalul hadits
(biografi para perawi). Kajian terhadap tokoh-tokoh hadits serta kitab-kitab
yang mereka hasilkan memberikan landasan untuk memahami bagaimana sunnah
Rasulullah Saw dijaga dan diwariskan secara ilmiah. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Hajar al-Asqalani, “Pemeliharaan hadits hanya mungkin dilakukan dengan
mengenal pribadi perawinya, karena darinyalah keaslian sanad dapat dipastikan.”¹
Kajian biografi ini juga
tidak hanya relevan dalam konteks akademik, tetapi menjadi salah satu bentuk
penghormatan kepada para ulama yang telah berkontribusi menjaga ajaran Islam.
Imam Nawawi dalam kitab Taqrib wa Taysir menegaskan
pentingnya memahami kitab-kitab hadits, terutama karya ulama klasik yang telah
menjadi dasar dalam ilmu-ilmu Islam.²
1.2.
Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
menyajikan kajian mendalam tentang tokoh-tokoh hadits utama beserta kitab-kitab
yang mereka hasilkan. Dengan mengacu pada sumber-sumber kitab klasik dan
pandangan para ulama, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran
komprehensif mengenai metode penyusunan kitab hadits, biografi tokoh-tokohnya,
dan kontribusi mereka dalam menjaga keaslian sunnah. Selain itu, pembahasan ini
juga akan menyoroti bagaimana perspektif ulumul hadits, seperti ilmu jarh wa
ta’dil dan ilmu mushthalah hadits, menjadi alat utama dalam menilai otoritas
sanad dan matan hadits.
1.3.
Signifikansi Pembahasan
Mempelajari biografi
tokoh-tokoh hadits dan kitabnya tidak hanya memberikan wawasan historis, tetapi
juga membangun kepercayaan terhadap warisan keilmuan Islam. Imam Muslim dalam
mukadimah Sahih Muslim menyatakan bahwa
“meneliti sanad adalah bagian dari agama.”³ Pernyataan ini menunjukkan
bahwa menjaga integritas riwayat hadits merupakan tanggung jawab keilmuan yang
harus dilakukan dengan serius.
Dalam era modern, kajian ini
juga menjadi sarana untuk menjawab kritik terhadap otentisitas hadits yang
sering disuarakan oleh pihak-pihak tertentu. Pendekatan komprehensif yang
menggabungkan analisis historis dan keilmuan kontemporer dapat memperkuat
argumen tentang pentingnya keilmuan hadits dalam menjaga orisinalitas ajaran
Islam.
1.4.
Metode Kajian
Pembahasan dalam artikel ini
menggunakan pendekatan studi literatur dari kitab-kitab induk hadits seperti Kutub
Sittah, kitab-kitab ulumul hadits seperti Muqaddimah
Ibnu Shalah, serta karya-karya rijalul hadits seperti Tahdzib
al-Kamal karya Al-Mizzi. Analisis juga didasarkan pada pandangan
para ulama klasik dan kontemporer tentang metodologi penyusunan kitab hadits
serta pentingnya mempelajari biografi tokoh hadits.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Muhammad
Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 4.
[2]
Imam Nawawi, Taqrib wa Taysir fi Ma’rifah Sunan al-Bashir
al-Nadzir, ed. Mustafa Dib al-Bugha (Damascus: Dar al-Mustafa,
2004), 12.
[3]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), Mukadimah, 1.
2.
Definisi dan Ruang Lingkup Kajian Tokoh dan
Kitab Hadits
2.1.
Pengertian Ilmu Hadits dan Ulumul Hadits
2.1.1. Definisi Ilmu Hadits
Ilmu hadits adalah disiplin
ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan,
ketetapan (taqrir), dan sifat Nabi Muhammad Saw, baik dari segi periwayatan
(riwayah) maupun dari segi pemahaman dan hukum yang terkandung di dalamnya
(dirayah).¹ Ilmu ini bertujuan untuk menjaga kemurnian hadits sebagai sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah-nya
menjelaskan bahwa ilmu hadits terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu Ilmu
Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.² Ilmu
Hadits Riwayah berfokus pada pencatatan, periwayatan, dan
penyampaian hadits dari generasi ke generasi, sementara Ilmu
Hadits Dirayah (juga dikenal sebagai Musthalah
al-Hadits) berfungsi untuk mengkaji dan menganalisis kualitas sanad
dan matan suatu hadits guna menentukan tingkat keabsahannya.
2.1.2.
Definisi Ulumul Hadits
Ulumul Hadits (علوم الحديث)
adalah cabang ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dalam memahami dan
meneliti hadits, mencakup aspek sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadits).³
Ilmu ini berkembang pesat setelah masa kodifikasi hadits dan melahirkan
berbagai metodologi dalam verifikasi keabsahan suatu hadits.
Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam Nuzhatun Nazar, Ulumul Hadits
mencakup berbagai aspek, seperti ilmu Jarh wa Ta’dil (kritik perawi), ilmu
Takhrij Hadits (pelacakan sumber hadits), dan ilmu Gharib al-Hadits (kajian
kata-kata asing dalam hadits).⁴ Studi tokoh-tokoh hadits termasuk dalam cabang
ilmu Rijalul Hadits (biografi perawi), yang berperan dalam menentukan
kredibilitas seorang perawi dalam mata rantai sanad.
2.2.
Metode Studi Tokoh dan Kitab Hadits
2.2.1.
Studi Tokoh Hadits dalam Ilmu Rijal
Salah satu cabang Ulumul
Hadits yang memiliki peran penting dalam kajian biografi perawi adalah Ilmu
Rijalul Hadits (علم رجال الحديث). Ilmu ini mengkaji
kredibilitas dan karakteristik perawi hadits, termasuk kejujuran (‘adalah),
kapasitas ingatan (dhabit), serta hubungan sanad
di antara mereka.⁵
Imam Al-Khatib al-Baghdadi
dalam Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah menyebutkan bahwa tidak
semua orang yang meriwayatkan hadits dapat diterima tanpa verifikasi yang
ketat. Oleh karena itu, ilmu Rijalul Hadits menjadi fondasi utama dalam
menentukan autentisitas sanad.⁶ Kitab-kitab penting dalam bidang ini antara
lain:
1)
Tahdzib al-Kamal karya Al-Mizzi –
ensiklopedia biografi perawi dengan klasifikasi lengkap.
2)
Al-Jarh wa Ta’dil karya Ibnu Abi
Hatim – menyajikan ulasan para ulama tentang kredibilitas perawi.
3)
Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar
al-Asqalani – ringkasan biografi perawi dengan status kejujuran dan kapasitas
hafalan mereka.
Metode studi tokoh hadits ini
sangat penting karena mempengaruhi status keabsahan suatu hadits. Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang memiliki catatan negatif (majruh)
akan dinilai lemah (dha’if), sedangkan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya akan dikategorikan sebagai shahih
atau hasan.⁷
2.2.2.
Studi Kitab Hadits: Kajian Kutub Sittah dan
Kitab Hadits Lainnya
Selain studi tokoh hadits,
kajian kitab hadits juga merupakan bagian fundamental dalam memahami tradisi
keilmuan hadits. Kitab-kitab hadits utama dikategorikan berdasarkan metode
penyusunan dan tingkat keotentikannya.
1)
Kutub
Sittah (Enam Kitab Hadits Utama)
Kutub Sittah adalah enam
kitab hadits yang paling berpengaruh dalam Islam Sunni, yaitu:
1)
Sahih al-Bukhari – disusun oleh
Imam Al-Bukhari, terkenal dengan seleksi ketatnya.
2)
Sahih Muslim – disusun oleh Imam
Muslim, memiliki sistematika sanad yang lebih rapi dibanding Sahih
al-Bukhari.
3)
Sunan Abu Dawud – lebih fokus pada
hadits-hadits hukum (ahkam).
4)
Jami’ at-Tirmidzi – dikenal dengan
klasifikasi hadits dan komentar mengenai kualitasnya.
5)
Sunan an-Nasa’i – memiliki standar
ketat dalam memilih hadits yang diriwayatkan.
6)
Sunan Ibnu Majah – meskipun berada
dalam Kutub Sittah, memiliki hadits yang sebagian dikategorikan lemah.⁸
Kitab-kitab ini disusun
berdasarkan kriteria sanad dan tema hadits, serta memiliki peran besar dalam
pembentukan hukum Islam (fiqh).
2)
Kitab
Hadits di Luar Kutub Sittah
Selain Kutub Sittah, beberapa
kitab hadits lain juga berperan penting dalam perkembangan ilmu hadits,
seperti:
·
Muwatta’ Imam Malik – kitab hadits
pertama yang dikodifikasikan.
·
Musnad Ahmad – kumpulan hadits
berdasarkan perawi pertama dalam sanadnya.
·
Sunan ad-Darimi – mengandung
hadits-hadits hukum dan keutamaan amal.
Menurut Dr. Muhammad Ajjaj
al-Khatib, setiap kitab hadits memiliki karakteristik metodologis tersendiri
yang mencerminkan pendekatan ilmiah penyusunnya.⁹ Oleh karena itu, memahami
metodologi penyusunan kitab hadits menjadi bagian integral dalam kajian Ulumul
Hadits.
Kesimpulan
Kajian biografi tokoh-tokoh
hadits dan kitab-kitabnya tidak bisa dilepaskan dari ilmu hadits secara
keseluruhan. Ilmu Hadits dan Ulumul Hadits memberikan kerangka metodologi yang
memungkinkan verifikasi sanad dan matan hadits secara ilmiah. Dengan
mempelajari ilmu Rijalul Hadits dan metodologi penyusunan kitab hadits, umat
Islam dapat lebih memahami bagaimana sunnah Nabi Saw terjaga dengan baik
sepanjang sejarah.
Catatan Kaki
[1]
Abu Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah, ed.
Ayman Suwayd (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1996), 10.
[2]
Ibnu Shalah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadits, ed.
Nuruddin Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 12.
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhatun Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Muhammad Awwamah (Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 2001), 15.
[4]
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 30.
[5]
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, ed. Bashar Awwad
Ma’ruf (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1982), 3:400.
[6]
Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, ed. Abdul Rahman
al-Mu’allimi (Riyadh: Dar al-Ma’rifah, 1999), 2:50.
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Muhammad
Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 4.
[8]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:1.
[9]
Al-Khatib, Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, 50.
3.
Biografi Tokoh-Tokoh Hadits Utama
Ilmu hadits tidak dapat
dipisahkan dari peran para ulama yang telah berjasa dalam mengumpulkan,
menyaring, dan menuliskan hadits Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah para ahli
hadits yang memiliki integritas tinggi dalam menjaga keabsahan riwayat hadits.
Di antara para ulama hadits, terdapat enam tokoh utama yang terkenal dengan
karya mereka yang masuk dalam kategori Kutub Sittah
(enam kitab hadits utama). Para ulama ini tidak hanya mengumpulkan hadits
tetapi juga menetapkan metode verifikasi sanad dan matan yang menjadi dasar
ilmu hadits hingga saat ini.
3.1.
Imam Al-Bukhari (194-256 H) dan Karyanya: Sahih
Al-Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari. Ia lahir
di Bukhara pada tahun 194 H dan merupakan seorang pakar hadits yang memiliki
ingatan luar biasa.¹ Sejak kecil, Imam Bukhari telah menunjukkan ketajaman
ingatan yang luar biasa dalam menghafal hadits. Setelah menunaikan ibadah haji
bersama ibunya, ia berkeliling ke berbagai kota Islam seperti Makkah, Madinah,
Baghdad, Kufah, dan Basrah untuk belajar hadits dari para ulama besar.²
Karya monumentalnya, Sahih
al-Bukhari, merupakan kitab hadits paling autentik setelah
Al-Qur'an. Dalam penyusunan kitab ini, ia menerapkan metode verifikasi hadits
yang sangat ketat. Imam Bukhari hanya memasukkan hadits yang memiliki sanad
yang bersambung (ittisal), perawi yang adil
dan dhabith, serta tidak ada unsur cacat (‘illah).³
Salah satu keistimewaan Sahih
al-Bukhari adalah metode penyusunannya yang sistematis. Kitab ini
terdiri dari berbagai bab berdasarkan tema-tema hukum Islam (fiqh),
akhlak, dan keutamaan amal. Para ulama menyebutnya sebagai kitab hadits paling
shahih, bahkan Imam Muslim pernah berkata, "Tidak ada kitab hadits yang
lebih shahih dibanding Sahih al-Bukhari."⁴
3.2.
Imam Muslim (206-261 H) dan Karyanya: Sahih
Muslim
Imam Muslim bin al-Hajjaj
an-Naisaburi lahir pada tahun 206 H di Nishapur, Persia. Ia belajar hadits dari
banyak guru besar, termasuk Imam Bukhari. Sebagai seorang ahli hadits, ia
dikenal dengan metode kritik sanad yang sangat teliti.⁵
Karya terbesarnya, Sahih
Muslim, adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan sanad
yang lebih sistematis dibanding Sahih al-Bukhari. Imam Muslim
tidak mencampurkan berbagai riwayat dalam satu bab seperti yang dilakukan Imam
Bukhari, tetapi lebih memilih untuk menyajikan riwayat dengan urutan yang lebih
terstruktur.⁶
Keistimewaan lain dari Sahih
Muslim adalah penggunaan istilah sanad yang lebih transparan. Imam
Muslim juga mencantumkan hadits dengan berbagai jalur sanad untuk menunjukkan
kekuatan periwayatannya. Kitab ini menjadi rujukan utama dalam studi hadits
setelah Sahih al-Bukhari. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa Sahih
Muslim memiliki keunggulan dalam keteraturan sanad dan matan.⁷
3.3.
Imam Abu Dawud (202-275 H) dan Karyanya: Sunan
Abu Dawud
Abu Dawud Sulaiman bin
al-Ash’ath as-Sijistani lahir pada tahun 202 H. Ia dikenal sebagai salah satu
ulama hadits yang fokus pada hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam (ahkam).⁸
Kitabnya, Sunan
Abu Dawud, adalah salah satu kitab hadits yang paling banyak
dijadikan rujukan dalam ilmu fikih. Abu Dawud menerapkan metode seleksi hadits
dengan membagi hadits menjadi tiga kategori: hadits shahih, hadits hasan, dan
hadits dha’if yang masih bisa diamalkan dalam hukum Islam. Ia juga sering
memberikan komentar terhadap kualitas hadits yang ia riwayatkan.⁹
Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani, Sunan Abu Dawud memiliki
keunggulan karena lebih fokus pada hukum-hukum fikih yang bersumber dari
hadits, sehingga menjadi rujukan utama bagi para ahli fikih.¹⁰
3.4.
Imam At-Tirmidzi (209-279 H) dan Karyanya:
Jami’ At-Tirmidzi
Imam At-Tirmidzi, yang
memiliki nama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, lahir pada tahun
209 H di Tirmiz. Ia dikenal sebagai murid Imam Bukhari yang sangat teliti dalam
menilai hadits.¹¹
Karyanya, Jami’
At-Tirmidzi, memiliki keunikan dibanding kitab hadits lainnya.
Selain mencantumkan hadits, Imam At-Tirmidzi juga menjelaskan derajat hadits
dan pendapat para ulama tentang penggunaannya dalam hukum Islam. Kitab ini
sering disebut sebagai Sunan At-Tirmidzi karena
fokusnya pada hadits-hadits hukum.¹²
Keistimewaan lain dari kitab
ini adalah adanya klasifikasi hadits, seperti hadits shahih, hasan, dha’if,
bahkan hadits yang menjadi perbedaan di antara para ulama. Metode ini menjadi
dasar dalam ilmu hadits dan fikih.¹³
3.5.
Imam An-Nasa’i (214-303 H) dan Karyanya: Sunan
An-Nasa’i
Imam Abu Abdurrahman Ahmad
bin Syu’aib an-Nasa’i lahir pada tahun 214 H. Ia dikenal dengan standar
ketatnya dalam menerima hadits dan sering kali lebih selektif dibanding Imam
Muslim.¹⁴
Karyanya, Sunan
An-Nasa’i, merupakan salah satu kitab hadits yang memiliki tingkat
keakuratan tinggi. Ia lebih memilih hadits-hadits yang sanadnya kuat, bahkan
tidak segan-segan mengkritik perawi yang dinilainya lemah.¹⁵
Menurut Adz-Dzahabi, Sunan
An-Nasa’i lebih kuat dibanding Sunan Abu Dawud
dan Sunan At-Tirmidzi dalam aspek keotentikan hadits.¹⁶
3.6.
Imam Ibnu Majah (209-273 H) dan Karyanya: Sunan
Ibnu Majah
Imam Abu Abdullah Muhammad
bin Yazid bin Majah lahir pada tahun 209 H. Karyanya, Sunan
Ibnu Majah, termasuk dalam Kutub Sittah meskipun sebagian ulama
menganggapnya memiliki hadits yang lebih lemah dibanding kitab-kitab lainnya.¹⁷
Kitab Sunan
Ibnu Majah mengandung hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum
Islam serta berbagai aspek kehidupan umat Islam. Meskipun demikian, Ibnu Hajar
al-Asqalani menyebutkan bahwa dalam kitab ini terdapat sekitar 100 hadits yang
lemah, namun tetap memiliki nilai akademik dalam kajian hadits.¹⁸
Kesimpulan
Para tokoh hadits yang
disebutkan di atas memiliki peran penting dalam menjaga dan mengkodifikasi
sunnah Nabi Saw. Masing-masing dari mereka memiliki metode tersendiri dalam
mengumpulkan dan menyusun hadits, yang kemudian menjadi rujukan utama dalam
ilmu hadits dan hukum Islam hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Muhammad
Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 4.
[2]
Adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala', ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1985), 12:390.
[3]
Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad
Zuhair Naser (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2002), 1:3.
[4]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:1.
[5]
Adz-Dzahabi, Tadhkirat al-Huffaz, ed. Abdul
Qadir al-Arna’ut (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 2:589.
[6]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:2.
[7]
Imam An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, ed. Khalil Ma’mun
Shiha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2006), 1:12.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi
al-Din Abd al-Hamid (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 1:1.
[9]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, 5:320.
[10]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Hady as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1987), 13.
[11]
At-Tirmidzi, Jami‘ at-Tirmidzi, ed. Ahmad Syakir
(Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 1:5.
[12]
Ibnu Rajab al-Hanbali, Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, ed.
Shu‘ayb al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1990), 1:32.
[13]
At-Tirmidzi, Jami‘ at-Tirmidzi, 1:12.
[14]
An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah
Abu Ghuddah (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1999), 1:3.
[15]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, 13:294.
[16]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, ed. Muhammad Abd
al-Latif (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 2:178.
[17]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 1:1.
[18]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, ed. Muhammad
Abdul Mu‘id Khan (Hyderabad: Majma‘ al-Buhuth al-Islamiyyah, 1984), 1:450.
4.
Biografi Tokoh-Tokoh Hadits di Luar Kutub
Sittah
Selain para ahli hadits yang
menyusun Kutub Sittah, terdapat ulama hadits lain yang turut
berperan besar dalam kodifikasi dan penyebaran hadits Nabi Muhammad Saw. Di
antara mereka adalah Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam ad-Darimi.
Ketiga ulama ini menyusun kitab hadits yang memiliki keunikan dalam metodologi
penyusunan dan berpengaruh besar dalam perkembangan ilmu hadits serta hukum
Islam.
4.1.
Imam Malik bin Anas (93-179 H) dan Karyanya:
Muwatta’ Imam Malik
4.1.1.
Biografi Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Asbahi. Ia lahir di Madinah
pada tahun 93 H dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius. Sejak kecil,
ia belajar hadits dari para ulama Madinah, termasuk Nafi’ (maula Ibnu Umar) dan
Az-Zuhri, yang merupakan salah satu perawi hadits terkemuka.¹
Imam Malik dikenal sebagai
salah satu imam madzhab yang memiliki pemahaman mendalam dalam ilmu hadits dan
fikih. Ia mengajar di Masjid Nabawi selama lebih dari 40 tahun dan memiliki
banyak murid, termasuk Imam Syafi’i.²
4.1.2.
Kitab Muwatta’ Imam Malik
Kitab Muwatta’
merupakan salah satu kitab hadits tertua yang dikodifikasikan secara
sistematis. Imam Malik menyusun kitab ini berdasarkan hadits-hadits yang
diamalkan oleh penduduk Madinah, yang ia anggap sebagai bentuk sunnah yang
paling otentik.³
Metodologi Imam Malik dalam
menyusun Muwatta’ berbeda dari Kutub Sittah. Ia tidak hanya
mencantumkan hadits marfu’ dari Rasulullah Saw, tetapi juga menyertakan
perkataan sahabat dan tabi’in serta fatwa ulama Madinah.⁴ Oleh karena itu,
kitab ini menjadi sumber utama dalam madzhab Maliki.
Menurut Imam Asy-Syafi’i, Muwatta’
Imam Malik adalah kitab yang paling sahih pada zamannya.⁵ Kitab ini
disusun dalam bab-bab tematik yang mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti
ibadah, muamalah, dan hukum pidana.
4.2.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dan Karyanya:
Musnad Ahmad
4.2.1.
Biografi Imam Ahmad
Imam Ahmad bin Hanbal, yang
bernama lengkap Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani, lahir
di Baghdad pada tahun 164 H. Sejak kecil, ia memiliki kecintaan yang besar
terhadap hadits dan menempuh perjalanan ke berbagai wilayah Islam untuk
mengumpulkan hadits, seperti Hijaz, Yaman, Syam, dan Persia.⁶
Ia adalah murid dari Imam
Syafi’i dan dikenal sebagai ulama yang teguh dalam mempertahankan aqidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, terutama ketika menghadapi ujian besar dalam peristiwa Mihnah
(ujian keyakinan tentang sifat Al-Qur'an) yang dilakukan oleh Khalifah
Al-Makmun.⁷
4.2.2.
Kitab Musnad Ahmad
Kitab Musnad
Ahmad adalah salah satu koleksi hadits terbesar yang menghimpun
sekitar 40.000 hadits. Kitab ini disusun berdasarkan perawi pertama dalam
sanad, bukan berdasarkan tema seperti Kutub Sittah.⁸ Metode ini dikenal sebagai
metode musnad, di mana hadits-hadits dari setiap sahabat dikumpulkan dalam satu
bagian tersendiri.
Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani, kitab ini memiliki banyak hadits shahih, meskipun terdapat juga
hadits hasan dan dha’if. Namun, Imam Ahmad tetap mempertahankan hadits-hadits
tersebut karena masih memiliki nilai historis dan keilmuan.⁹ Imam Abu Dawud
bahkan mengatakan, "Musnad Ahmad adalah kitab yang menjadi dasar dalam
ilmu hadits."¹⁰
Keistimewaan kitab ini adalah
cakupannya yang luas, mencakup hadits-hadits dari berbagai generasi perawi,
termasuk hadits yang tidak ditemukan dalam Kutub Sittah. Oleh karena itu, Musnad
Ahmad menjadi sumber penting dalam ilmu hadits dan fikih Islam.
4.3.
Imam Ad-Darimi (181-255 H) dan Karyanya: Sunan
Ad-Darimi
4.3.1.
Biografi Imam Ad-Darimi
Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi. Ia lahir pada tahun 181 H di Samarqand dan
merupakan salah satu ulama hadits terkemuka pada masanya. Ia berguru kepada
ulama-ulama besar seperti Yahya bin Ma'in, Imam Ahmad, dan Ali bin al-Madini.¹¹
Imam Ad-Darimi dikenal
sebagai sosok yang sangat teliti dalam menyeleksi hadits dan memiliki keahlian
dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil (kritik
perawi hadits). Ia juga memiliki metode yang ketat dalam menerima hadits dan
dikenal dengan keteguhannya dalam membela Sunnah Nabi Saw.¹²
4.3.2.
Kitab Sunan Ad-Darimi
Kitab Sunan
Ad-Darimi merupakan salah satu kitab hadits yang memiliki struktur
seperti Kutub Sittah, tetapi lebih cenderung menyerupai Musannaf
dalam metodologinya.¹³
Keunikan kitab ini adalah
keberadaan mukadimah yang panjang yang membahas prinsip-prinsip dasar dalam
ilmu hadits, kredibilitas perawi, dan pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah
Nabi Saw. Mukadimah ini menjadikan Sunan Ad-Darimi
sebagai salah satu kitab hadits yang sangat bernilai dalam kajian metodologi
hadits.¹⁴
Sebagian ulama menggolongkan
kitab ini sebagai musnad karena hadits-hadits
di dalamnya banyak yang dikategorikan berdasarkan sanad perawi. Namun, sebagian
lain menganggapnya lebih dekat kepada sunan
karena sistematikanya yang berbasis bab-bab hukum Islam.¹⁵
Kesimpulan
Tiga tokoh hadits di luar
Kutub Sittah ini—Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Ad-Darimi—memiliki kontribusi
besar dalam kodifikasi hadits. Metodologi yang mereka gunakan dalam menyusun
kitab hadits menunjukkan keberagaman pendekatan dalam ilmu hadits, baik
berdasarkan periwayatan tematik (sunan), periwayatan
berdasarkan sahabat (musnad), maupun periwayatan
yang mengacu pada praktik penduduk Madinah (Muwatta’).
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Abdil Barr, Al-Intiqa’ fi Fadha’il al-A’immah ats-Tsalatsah,
ed. Abu Abdullah Asy-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 41.
[2]
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 8:48.
[3]
Malik bin Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), 1.
[4]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Anwar al-Baz
(Madinah: Dar al-Wafa’, 1999), 20:303.
[5]
Imam Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Syakir
(Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 471.
[6]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tariikh Baghdad, ed. Muhammad al-Kutubi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 4:412.
[7]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, ed. Ali
Shahrouri (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 10:348.
[8]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1999), 1.
[9]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, 1:90.
[10]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1:7.
[11]
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 12:312.
[12]
Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzib, 2:78.
[13]
Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, 1:1.
[14]
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, 24.
[15]
As-Subki, Tabaqat Asy-Syafi’iyyah al-Kubra,
5:74.
5.
Analisis Kitab Hadits Induk (Kutub Sittah dan
Lainnya)
Ilmu hadits memiliki
kitab-kitab induk yang menjadi rujukan utama dalam memahami dan mengkaji sunnah
Nabi Muhammad Saw. Kitab-kitab tersebut diklasifikasikan berdasarkan metodologi
penyusunan dan tingkat keotentikannya. Secara umum, kitab hadits induk terbagi
menjadi dua kategori utama: Kutub Sittah (enam kitab
hadits utama) dan kitab-kitab hadits lainnya yang juga memiliki nilai keilmuan
tinggi, seperti Muwatta’ Imam Malik, Musnad
Ahmad, dan Sunan Ad-Darimi.
5.1.
Kriteria dan Metode Penyusunan Kitab Hadits
Para ulama hadits menggunakan
metodologi yang berbeda dalam menyusun kitab-kitab hadits mereka. Beberapa
kriteria utama dalam penyusunan kitab hadits meliputi:
1)
Sanad
yang Bersambung (Ittisal as-Sanad)
– Hadits yang dicantumkan dalam kitab harus memiliki sanad yang bersambung
hingga Rasulullah Saw.¹
2)
Kredibilitas
Perawi (Adalah wa Dhabit)
– Setiap perawi dalam sanad harus memiliki kejujuran (adalah)
dan ketepatan hafalan (dhabit).²
3)
Ketiadaan
Cacat (Illah Hadits)
– Hadits yang diriwayatkan tidak boleh mengandung kecacatan tersembunyi yang
mempengaruhi validitasnya.³
4)
Tidak
Bertentangan dengan Hadits yang Lebih Kuat (Syudzudz
Hadits) – Hadits yang bertentangan
dengan riwayat yang lebih sahih dikesampingkan.⁴
Metode penyusunan hadits juga
berbeda-beda di antara para penyusun kitab hadits. Imam Bukhari, misalnya,
memiliki standar ketat dalam menerima hadits dan memasukkan hadits yang
memenuhi syarat mutlak dalam Sahih al-Bukhari. Sementara
itu, Imam Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud menyusun
hadits berdasarkan tema fikih dan tidak hanya mencantumkan hadits shahih,
tetapi juga hadits hasan dan dha’if yang masih memiliki nilai hukum.⁵
5.2.
Ulasan atas Kutub Sittah
Kutub Sittah adalah enam
kitab hadits yang paling dikenal dalam dunia Islam Sunni dan memiliki otoritas
tinggi dalam disiplin ilmu hadits.
5.2.1.
Sahih al-Bukhari
Kitab ini disusun oleh Imam
al-Bukhari (194-256 H) dan dianggap sebagai kitab hadits paling shahih setelah
Al-Qur’an. Imam Bukhari hanya memasukkan hadits yang sanadnya bersambung,
perawinya tsiqah (terpercaya), serta tidak memiliki cacat dalam sanad maupun
matan.⁶ Sahih al-Bukhari terdiri dari 97 kitab dan lebih
dari 7.000 hadits dengan pengulangan.⁷
Keunggulan utama Sahih
al-Bukhari adalah sistematikanya yang tematik dan metode seleksi
haditsnya yang sangat ketat. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, kitab ini menjadi
rujukan utama dalam ilmu hadits karena ketelitian metodologinya.⁸
5.2.2.
Sahih Muslim
Disusun oleh Imam Muslim bin
al-Hajjaj (206-261 H), Sahih Muslim memiliki
perbedaan metodologi dengan Sahih al-Bukhari. Imam Muslim
lebih mengutamakan keteraturan sanad dan tidak mencampurkan hadits dengan
riwayat lain dalam satu bab.⁹
Keunggulan kitab ini terletak
pada sistematika penyajian hadits yang lebih jelas dibanding Sahih
al-Bukhari, serta adanya metode penyajian sanad yang lebih mudah
dipahami oleh pembaca.¹⁰
5.2.3.
Sunan Abu Dawud
Kitab ini disusun oleh Imam
Abu Dawud (202-275 H) dan mengandung sekitar 4.800 hadits yang berkaitan dengan
hukum Islam (ahkam). Tidak semua hadits
dalam kitab ini shahih, tetapi memiliki nilai hukum yang tetap dipertimbangkan
dalam fiqh.¹¹
Keistimewaan kitab ini adalah
fokusnya pada hadits-hadits yang memiliki aplikasi hukum dalam Islam, menjadikannya
referensi utama dalam kajian fikih.¹²
5.2.4.
Jami’ at-Tirmidzi
Kitab ini disusun oleh Imam
at-Tirmidzi (209-279 H) dan memiliki keunikan dalam sistem klasifikasinya.
Selain mencantumkan hadits, Imam at-Tirmidzi juga menyertakan penjelasan
mengenai derajat hadits dan pendapat ulama mengenai hadits tersebut.¹³
Kitab ini juga menjadi salah
satu sumber utama dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil karena
adanya komentar Imam at-Tirmidzi tentang kualitas para perawi.¹⁴
5.2.5.
Sunan an-Nasa’i
Kitab ini disusun oleh Imam
an-Nasa’i (214-303 H) dan memiliki metodologi seleksi hadits yang lebih ketat
dibanding Sunan Abu Dawud dan Jami’
at-Tirmidzi. Kitab ini dikenal dengan keakuratan sanad dan lebih
selektif dalam menerima hadits.¹⁵
Menurut Adz-Dzahabi, Sunan
an-Nasa’i memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu hadits karena
kehati-hatian Imam an-Nasa’i dalam memilih perawi hadits.¹⁶
5.2.6.
Sunan Ibnu Majah
Kitab ini disusun oleh Imam
Ibnu Majah (209-273 H) dan menjadi pelengkap dalam Kutub Sittah. Kitab ini
mengandung hadits yang tidak terdapat dalam lima kitab hadits lainnya, meskipun
beberapa haditsnya dinilai lemah.¹⁷
5.3.
Kitab Hadits Selain Kutub Sittah
Selain Kutub Sittah, terdapat
beberapa kitab hadits lain yang memiliki nilai keilmuan tinggi, antara lain:
1)
Muwatta’
Imam Malik – Kitab hadits yang pertama kali dikodifikasikan
secara sistematis berdasarkan amalan penduduk Madinah.¹⁸
2)
Musnad
Ahmad – Kitab hadits yang disusun berdasarkan nama sahabat
sebagai perawi pertama dalam sanad.¹⁹
3)
Sunan
Ad-Darimi – Memiliki struktur seperti Kutub
Sittah tetapi lebih dekat ke Musannaf dalam metodologinya.²⁰
Kitab-kitab ini menjadi
pelengkap dalam studi hadits dan memberikan cakupan yang lebih luas dalam
memahami sunnah Nabi Saw.
Kesimpulan
Analisis terhadap kitab-kitab
hadits induk menunjukkan bahwa setiap kitab memiliki metodologi dan
karakteristik tersendiri dalam mengumpulkan dan menyusun hadits. Kutub Sittah
memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu hadits, sementara kitab hadits lainnya
memberikan wawasan tambahan dalam memahami sunnah Nabi Saw.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhatun Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ed. Muhammad Awwamah (Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 2001), 32.
[2]
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, ed.
Nuruddin Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 78.
[3]
Adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, ed. Ali Muhammad
Muawwad (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:15.
[4]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:3.
[5]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi
al-Din Abd al-Hamid (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 1:5.
[6]
Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad
Zuhair Naser (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2002), 1:3.
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 1:12.
[8]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Hady as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1987), 13.
[9]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:2.
[10]
Imam An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma’mun Shiha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2006), 1:12.
[11]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi
al-Din Abd al-Hamid (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 1:1.
[12]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Muhammad
Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 5:320.
[13]
At-Tirmidzi, Jami‘ at-Tirmidzi, ed. Ahmad Syakir
(Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 1:5.
[14]
Ibnu Rajab al-Hanbali, Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, ed.
Shu‘ayb al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1990), 1:32.
[15]
An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah
Abu Ghuddah (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1999), 1:3.
[16]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1985), 13:294.
[17]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, ed. Muhammad Abd
al-Latif (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 2:178.
[18]
Malik bin Anas, Al-Muwatta’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), 1.
[19]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1999), 1.
[20]
Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, ed. Husain Salim
Asad (Riyadh: Dar al-Mughni, 2000), 1:1.
6.
Perspektif Ulumul Hadits dalam Kajian Tokoh dan
Kitab Hadits
Kajian terhadap tokoh dan
kitab hadits tidak dapat dilepaskan dari disiplin Ulumul Hadits,
yang merupakan ilmu yang membahas kaidah-kaidah dalam memahami,
mengklasifikasikan, serta menilai keotentikan hadits. Ulumul Hadits menjadi
instrumen utama dalam mengkaji validitas hadits, menentukan kualitas perawi,
serta memahami metodologi penyusunan kitab hadits. Oleh karena itu, dalam
bagian ini akan dibahas dua aspek utama: Hubungan Ilmu Jarh wa
Ta’dil dengan Studi Tokoh Hadits dan Ilmu
Mushthalah Hadits dalam Studi Kitab Hadits.
6.1.
Hubungan Ilmu Jarh wa Ta’dil dengan Studi Tokoh
Hadits
6.1.1.
Definisi dan Pentingnya Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu Jarh
wa Ta’dil (الجرح والتعديل) adalah cabang ilmu hadits yang berfungsi
untuk menilai kredibilitas perawi hadits dengan memberikan kritik (jarh)
atau pujian (ta’dil) terhadapnya.¹
Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh
wa Ta’dil menjelaskan bahwa ilmu ini adalah kunci utama dalam
menentukan validitas suatu hadits. Seorang perawi yang mendapatkan jarh
(kritik negatif) dianggap lemah, sedangkan yang mendapat ta’dil
(penguatan kredibilitas) dinilai dapat dipercaya.²
Para ulama hadits
mengkategorikan perawi ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kredibilitasnya:
·
Perawi
yang sangat terpercaya (thiqat thiqat) – Misalnya, Imam
Malik dan Imam Ahmad.
·
Perawi
yang terpercaya (thiqat) – Misalnya, Imam Sufyan
Ats-Tsauri.
·
Perawi
yang diterima dengan catatan (shaduq) – Misalnya, perawi
yang dikenal jujur tetapi kurang kuat hafalannya.
·
Perawi
yang lemah (dha’if) – Misalnya, perawi yang memiliki
kelemahan dalam hafalan atau riwayatnya bercampur dengan kesalahan.
·
Perawi
yang ditinggalkan (matruk) – Misalnya, perawi yang
terbukti berdusta.³
Kitab-kitab utama dalam ilmu Jarh
wa Ta’dil meliputi:
·
Al-Jarh wa Ta’dil karya Ibnu Abi
Hatim
·
Tahdzib al-Kamal karya Al-Mizzi
·
Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar
al-Asqalani
Kajian biografi tokoh hadits
sangat bergantung pada ilmu ini karena setiap perawi hadits harus melalui
proses verifikasi oleh para ahli hadits untuk menentukan apakah hadits yang
diriwayatkannya dapat diterima atau ditolak.⁴
6.1.2.
Aplikasi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Tokoh
Hadits
Studi tokoh hadits dalam Jarh
wa Ta’dil dapat dilihat dalam contoh berikut:
·
Imam
Bukhari – Dinilai sebagai perawi paling terpercaya oleh hampir
seluruh ulama hadits. Ibnu Hajar mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih ketat
dalam menilai hadits selain Imam Bukhari.”⁵
·
Imam
Muslim – Mendapatkan pujian dari banyak ulama hadits karena
metode seleksi sanadnya yang sangat sistematis.⁶
·
Ibnu
Majah – Meskipun kitabnya termasuk dalam Kutub
Sittah, beberapa hadits di dalamnya memiliki kelemahan yang
dikritik oleh ulama hadits.⁷
Dengan demikian, ilmu Jarh
wa Ta’dil menjadi dasar dalam menilai kredibilitas tokoh hadits dan
keabsahan riwayat mereka.
6.2.
Ilmu Mushthalah Hadits dalam Studi Kitab Hadits
6.2.1.
Definisi Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu Mushthalah
Hadits (مصطلح الحديث) adalah ilmu yang membahas istilah-istilah
dalam hadits serta kaidah-kaidah untuk mengklasifikasikan hadits berdasarkan
kualitas sanad dan matan.⁸
Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam Nuzhatun Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
ilmu ini sangat penting dalam memahami bagaimana hadits dikategorikan menjadi shahih,
hasan, atau dha’if
berdasarkan standar tertentu.⁹
6.2.2.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Ilmu Mushthalah
Dalam studi kitab hadits,
hadits diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama, yaitu:
·
Hadits
Shahih – Hadits yang sanadnya bersambung, perawinya adil dan
dhabith, serta tidak memiliki illah dan syudzudz.
·
Hadits
Hasan – Hadits yang sanadnya bersambung, tetapi tingkat dhabith
perawinya sedikit lebih rendah dibanding hadits shahih.
·
Hadits
Dha’if – Hadits yang memiliki kelemahan dalam sanad atau
matannya.
·
Hadits
Maudhu’ (Palsu) – Hadits yang terbukti berasal dari perawi yang
berdusta.¹⁰
Para ulama hadits menerapkan
standar ketat dalam menilai hadits yang dicantumkan dalam kitab-kitab utama.
Imam Bukhari, misalnya, hanya memasukkan hadits yang benar-benar memenuhi
standar hadits shahih, sedangkan Imam Abu Dawud dalam Sunan
Abu Dawud juga mencantumkan hadits hasan dan dha’if yang masih
dapat diamalkan dalam hukum Islam.¹¹
6.2.3.
Relevansi Ilmu Mushthalah Hadits dalam Studi
Kitab Hadits
Ilmu Mushthalah
Hadits membantu dalam memahami keunikan masing-masing kitab hadits,
misalnya:
·
Sahih al-Bukhari dan Sahih
Muslim memiliki standar tertinggi dalam ilmu hadits.
·
Sunan Abu Dawud dan Jami’
at-Tirmidzi lebih menekankan aspek fikih dalam pemilihan hadits.
·
Musnad Ahmad menyajikan hadits
berdasarkan sahabat pertama dalam sanad, bukan berdasarkan tema hukum Islam.¹²
Melalui ilmu Mushthalah
Hadits, para ulama dapat memahami bagaimana masing-masing kitab
hadits memiliki metodologi tersendiri dalam menyusun hadits.
Kesimpulan
Perspektif Ulumul
Hadits dalam studi tokoh dan kitab hadits menunjukkan bahwa
disiplin ilmu ini memiliki peran penting dalam menyeleksi, mengklasifikasikan,
dan menilai keabsahan hadits. Ilmu Jarh wa Ta’dil
digunakan dalam menilai kredibilitas perawi, sedangkan ilmu Mushthalah
Hadits menjadi instrumen utama dalam memahami kualitas hadits dalam
kitab-kitab utama. Dengan memahami kedua ilmu ini, kajian terhadap tokoh dan
kitab hadits dapat dilakukan secara lebih mendalam dan ilmiah.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, ed. Abdul Rahman
al-Mu’allimi (Riyadh: Dar al-Ma’rifah, 1999), 1:10.
[2]
Ibid., 2:50.
[3]
Adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, ed. Ali Muhammad
Muawwad (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 1:15.
[4]
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, ed. Bashar Awwad
Ma’ruf (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1982), 3:400.
[5]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Hady as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari,
13.
[6]
Imam Muslim, Sahih Muslim, 1:2.
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, 4.
[8]
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, 78.
[9]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhatun Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar,
32.
[10]
Imam An-Nawawi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi,
ed. Abdul Fattah Abu Ghuddah (Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1994),
1:50.
[11]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1:5.
[12]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, 1.
7.
Pandangan Ulama terhadap Tokoh dan Kitab Hadits
Pembahasan mengenai tokoh dan
kitab hadits tidak akan lengkap tanpa menelaah pandangan para ulama
terhadapnya. Para ulama klasik dan kontemporer telah memberikan berbagai
penilaian terhadap para perawi hadits serta kitab-kitab utama yang menjadi
rujukan dalam keilmuan Islam. Pandangan ini menjadi tolok ukur dalam menentukan
posisi dan kredibilitas setiap tokoh serta kitab hadits yang mereka susun.
7.1.
Pandangan Ulama Klasik
Para ulama klasik, khususnya
pakar hadits, memberikan penghormatan tinggi kepada tokoh-tokoh hadits utama
dan kitab-kitab mereka. Mereka tidak hanya meneliti sanad dan matan hadits
tetapi juga memberikan penilaian kritis terhadap metodologi yang digunakan oleh
para penyusun kitab hadits.
7.1.1.
Imam Bukhari dan Kitabnya, Sahih al-Bukhari
Imam Bukhari mendapat
pengakuan luas sebagai ahli hadits paling otoritatif dalam sejarah Islam. Imam
an-Nawawi menyebut Sahih al-Bukhari sebagai
kitab hadits paling shahih setelah Al-Qur'an.¹
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bari menulis bahwa kelebihan Sahih al-Bukhari
terletak pada ketatnya metode seleksi sanad, sehingga semua hadits dalam kitab
tersebut mencapai tingkat shahih yang paling tinggi.² Bahkan, Adz-Dzahabi
menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang menyamai metodologi Imam Bukhari
dalam menilai keshahihan hadits.³
7.1.2.
Imam Muslim dan Kitabnya, Sahih Muslim
Imam Muslim juga mendapat
pujian tinggi dari para ulama hadits. Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi dalam Tariikh
Baghdad menyebutkan bahwa Imam Muslim memiliki metodologi seleksi
sanad yang sangat sistematis dan mudah dipahami, menjadikan Sahih
Muslim sebagai kitab hadits yang lebih rapi dibanding Sahih
al-Bukhari.⁴
Namun, sebagian ulama seperti
Ibnu Taimiyyah menilai bahwa meskipun Sahih Muslim
lebih sistematis dalam penyajian sanad, Sahih al-Bukhari
tetap lebih unggul karena seleksi perawi yang lebih ketat.⁵
7.1.3.
Kutub Sittah secara Keseluruhan
Ibnu Hajar dalam Muqaddimah
Fath al-Bari menyatakan bahwa Kutub Sittah merupakan rujukan utama
dalam ilmu hadits, di mana Sahih al-Bukhari dan Sahih
Muslim menempati peringkat tertinggi, diikuti oleh empat kitab
sunan.⁶ Imam As-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi juga menyebut
Kutub Sittah sebagai kumpulan hadits yang paling diandalkan dalam disiplin ilmu
hadits.⁷
7.2.
Pandangan Ulama Kontemporer
Seiring perkembangan zaman,
para ulama kontemporer juga memberikan kajian kritis terhadap tokoh dan kitab
hadits. Beberapa di antaranya menyoroti aspek relevansi metodologi hadits dalam
menghadapi tantangan zaman modern.
7.2.1.
Relevansi Kutub Sittah dalam Kajian Hadits
Modern
Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib
dalam bukunya Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
menjelaskan bahwa Kutub Sittah tetap menjadi rujukan utama dalam ilmu hadits
modern. Ia menekankan bahwa metodologi para penyusun hadits dalam Kutub Sittah
masih relevan untuk dijadikan pedoman dalam penelitian akademik dan kritik
sanad di era digital.⁸
Sementara itu, Sheikh
Muhammad Nasiruddin al-Albani, seorang pakar hadits abad ke-20, banyak meneliti
hadits-hadits dalam Kutub Sittah dan memberikan komentar terhadap tingkat
keabsahannya. Dalam beberapa kasus, ia menemukan bahwa beberapa hadits yang
sebelumnya dikategorikan sebagai shahih ternyata memiliki kelemahan dalam
sanadnya. Hal ini menunjukkan bahwa kajian terhadap Kutub Sittah masih terus
berkembang hingga saat ini.⁹
7.2.2.
Kritik terhadap Hadits-Hadits dalam Kitab Sunan
Beberapa ulama modern juga
memberikan kritik terhadap hadits dalam kitab-kitab sunan seperti Sunan
Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan
Ibnu Majah. Dr. Subhi as-Salih dalam Ulum al-Hadits wa
Musthalahuhu mengungkapkan bahwa tidak semua hadits dalam kitab
sunan memiliki derajat shahih, sehingga diperlukan penelitian ulang terhadap
sanad dan matannya.¹⁰
Salah satu contoh adalah Sunan
Ibnu Majah, yang diakui sebagai bagian dari Kutub Sittah, tetapi di
dalamnya terdapat sejumlah hadits yang dinilai lemah oleh para ulama hadits,
termasuk Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi.¹¹
7.2.3.
Studi Akademik tentang Tokoh Hadits
Di dunia akademik, studi tentang
tokoh-tokoh hadits juga berkembang pesat. Beberapa universitas Islam, seperti
Universitas al-Azhar dan Universitas Islam Madinah, memiliki kajian khusus
tentang ilmu hadits yang berfokus pada metodologi yang digunakan oleh para
penyusun kitab hadits.¹²
Bahkan dalam kajian hadits
modern, muncul pendekatan historis-kritis yang meneliti aspek sosial dan
politik dalam penyusunan kitab hadits. Misalnya, Harald Motzki dalam bukunya The
Origins of Islamic Jurisprudence menggunakan metode isnad
cum matn analysis untuk menganalisis perkembangan hadits secara
historis.¹³
Kesimpulan
Pandangan ulama terhadap
tokoh dan kitab hadits menunjukkan bahwa para ahli hadits klasik sangat
mengapresiasi metodologi penyusunan hadits yang ketat, terutama dalam Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim. Kutub Sittah
secara keseluruhan tetap menjadi sumber utama dalam ilmu hadits, meskipun ada
perbedaan kualitas di antara kitab-kitab tersebut.
Di era kontemporer, kajian
hadits terus berkembang dengan pendekatan yang lebih kritis terhadap sanad dan
matan. Para ulama modern mengkaji ulang beberapa hadits dalam kitab sunan untuk
memastikan keautentikannya. Studi akademik juga semakin menyoroti peran
tokoh-tokoh hadits dalam penyebaran dan kodifikasi sunnah Nabi Muhammad Saw.
Catatan Kaki
[1]
Imam An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma’mun Shiha (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2006), 1:12.
[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 1:12.
[3]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1985), 13:294.
[4]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tariikh Baghdad, ed. Muhammad
al-Kutubi (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 4:412.
[5]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Anwar al-Baz
(Madinah: Dar al-Wafa’, 1999), 20:303.
[6]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Muqaddimah Fath al-Bari, 10.
[7]
Imam As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi,
ed. Abdul Fattah Abu Ghuddah (Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, 1994),
1:50.
[8]
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 30.
[9]
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah
(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1993), 1:7.
[10]
Subhi as-Salih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-Ilm, 1997), 25.
[11]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, 2:178.
[12]
Ibid., 3:120.
[13]
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence
(Leiden: Brill, 2002), 25.
8.
Penutup
8.1.
Kesimpulan Utama
Studi tentang biografi
tokoh-tokoh hadits dan kitab-kitabnya menunjukkan betapa besar
peran para muhaddits dalam menjaga dan menyebarluaskan sunnah Nabi Muhammad
SAW. Dari Kutub Sittah hingga
kitab-kitab hadits lainnya, para ulama telah mengembangkan metodologi yang
ketat dalam menyeleksi dan mengklasifikasikan hadits agar dapat menjadi pedoman
hidup yang otentik bagi umat Islam.
Dalam kajian ini, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan utama:
1)
Tokoh-tokoh
hadits utama seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan
Ibnu Majah adalah para ulama hadits yang memiliki keahlian luar
biasa dalam mengumpulkan dan menyusun hadits-hadits shahih. Karya mereka
menjadi rujukan utama dalam keilmuan Islam.¹
2)
Kitab-kitab
hadits induk seperti Kutub Sittah, Musnad Ahmad, dan Muwatta’ Imam Malik
memiliki karakteristik dan metodologi yang beragam dalam penyusunan hadits.
Meskipun Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim menempati posisi
tertinggi dalam tingkat kesahihan hadits, kitab-kitab sunan dan musnad tetap
memiliki nilai akademik yang penting.²
3)
Ilmu
Jarh wa Ta’dil dan Ilmu Mushthalah Hadits menjadi pilar utama
dalam menilai keabsahan perawi dan hadits yang mereka riwayatkan. Ilmu ini
membantu ulama dalam menentukan apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah
dalam hukum Islam.³
4)
Pandangan
ulama klasik dan kontemporer terhadap kitab-kitab hadits
menunjukkan bahwa metodologi yang digunakan oleh para penyusun kitab hadits
masih relevan hingga saat ini, meskipun kajian ulang terhadap beberapa hadits
terus dilakukan oleh para ahli hadits modern.⁴
Keseluruhan pembahasan ini
menegaskan bahwa ilmu hadits merupakan salah satu cabang ilmu yang paling
kompleks dan memiliki peran penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
8.2.
Saran Pengembangan Studi
Meskipun kajian ini telah
membahas aspek biografi tokoh dan kitab hadits secara mendalam, masih terdapat
beberapa area yang perlu dikembangkan lebih lanjut, di antaranya:
1)
Analisis
perbandingan metodologi hadits antara mazhab-mazhab Islam,
khususnya dalam bagaimana hadits digunakan sebagai sumber hukum dalam fikih.
2)
Kajian
terhadap perawi hadits yang kontroversial, yang sering menjadi
perdebatan di kalangan ulama hadits klasik dan modern.
3)
Integrasi
studi hadits dengan teknologi digital, seperti penggunaan
kecerdasan buatan dalam klasifikasi dan verifikasi hadits dalam dunia akademik
Islam.⁵
Pengembangan studi ini akan
membantu dalam memperluas wawasan mengenai ilmu hadits serta menjadikannya
lebih relevan dalam menjawab tantangan zaman modern.
8.3.
Doa dan Harapan
Semoga kajian ini dapat
menjadi kontribusi ilmiah yang bermanfaat
bagi para peneliti, akademisi, dan umat Islam yang ingin memahami lebih dalam
tentang tokoh-tokoh hadits dan kitab-kitabnya.
Meneladani kehidupan para ulama hadits dan mempelajari karya mereka adalah
salah satu bentuk penghormatan terhadap warisan keilmuan Islam.
Imam Asy-Syafi’i pernah
berkata:
"Hadits adalah ilmu yang paling
bermanfaat setelah Al-Qur’an, dan barang siapa yang menguasainya dengan baik,
ia akan memahami agama dengan benar."⁶
Dengan demikian, marilah kita
terus berupaya mempelajari dan mengamalkan ilmu hadits dengan penuh semangat,
agar sunnah Rasulullah Saw tetap terjaga dan diamalkan oleh generasi mendatang.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, ed. Muhammad
Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 4.
[2]
Imam Muslim, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1972), 1:3.
[3]
Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, ed. Abdul Rahman
al-Mu’allimi (Riyadh: Dar al-Ma’rifah, 1999), 2:50.
[4]
Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala’, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1985), 13:294.
[5]
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 30.
[6]
Imam Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Syakir
(Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 471.
Daftar Pustaka
Buku dan Kitab Hadits
·
Al-Baghdadi, A. K. (1997). Tariikh
Baghdad (M. al-Kutubi, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Al-Khatib, A. B. (1996). Al-Kifayah
fi Ilm al-Riwayah (A. Suwayd, Ed.). Beirut: Dar al-Basha’ir
al-Islamiyyah.
·
Al-Mizzi, Y. (1982). Tahdzib
al-Kamal (B. A. Ma’ruf, Ed.). Beirut: Muassasah ar-Risalah.
·
Al-Nawawi, Y. (2006). Syarh
Sahih Muslim (K. M. Shiha, Ed.). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
·
Al-Suyuthi, J. (1994). Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi (A. F. Abu Ghuddah, Ed.).
Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah.
·
Al-Tirmidzi, A. I. (1980). Jami‘
at-Tirmidzi (A. Syakir, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
An-Nasa’i, A. I. (1999). Sunan
an-Nasa’i (A. F. Abu Ghuddah, Ed.). Beirut: Dar al-Basha’ir
al-Islamiyyah.
·
Asy-Syafi’i, M. I. (1990). Ar-Risalah
(A. Syakir, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
At-Tirmidzi, A. I. (1980). Jami‘
at-Tirmidzi (A. Syakir, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Bukhari, M. I. (2002). Sahih
al-Bukhari (M. Z. Naser, Ed.). Beirut: Dar Ibn Kathir.
·
Darimi, A. (2000). Sunan
Ad-Darimi (H. S. Asad, Ed.). Riyadh: Dar al-Mughni.
·
Dawud, A. (1988). Sunan
Abu Dawud (M. M. A. al-Hamid, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Hajar al-Asqalani, I.
(1986). Fath
al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari (M. F. A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar
al-Ma‘rifah.
·
Hajar al-Asqalani, I.
(1987). Hady
as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (M. F. A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar
al-Ma’rifah.
·
Hajar al-Asqalani, I.
(1999). Taqrib
al-Tahdzib (M. F. A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
·
Ibn Abi Hatim, A. R.
(1999). Al-Jarh
wa Ta’dil (A. R. al-Mu’allimi, Ed.). Riyadh: Dar al-Ma’rifah.
·
Ibn Hajar al-Asqalani, A.
(2001). Nuzhatun
Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar (M. Awwamah, Ed.). Damascus: Dar
al-Basha’ir al-Islamiyyah.
·
Ibn Shalah, U. (1986). Muqaddimah
fi Ulum al-Hadits (N. Itr, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Ibnu Abdil Barr, Y. (1997).
Al-Intiqa’
fi Fadha’il al-A’immah ats-Tsalatsah (A. A. Asy-Syafi’i, Ed.).
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
·
Ibnu Hajar al-Asqalani, A.
(1987). Lisan
al-Mizan (M. A. al-Latif, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
·
Ibnu Hanbal, A. (1999). Musnad
Ahmad (S. al-Arna’ut, Ed.). Beirut: Muassasah ar-Risalah.
·
Ibnu Katsir, I. (2001). Al-Bidayah
wa an-Nihayah (A. Shahrouri, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
·
Ibnu Rajab al-Hanbali, Z.
(1990). Syarh
‘Ilal at-Tirmidzi (S. al-Arna’ut, Ed.). Beirut: Muassasah
ar-Risalah.
·
Ibnu Taimiyyah, A. (1999). Majmu’
al-Fatawa (A. al-Baz, Ed.). Madinah: Dar al-Wafa’.
·
Imam Malik, A. (1985). Al-Muwatta’
(M. F. A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
·
Imam Muslim, A. (1972). Sahih
Muslim (M. F. A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
·
Motzki, H. (2002). The
Origins of Islamic Jurisprudence. Leiden: Brill.
·
Subhi as-Salih, S. (1997). Ulum
al-Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm.
Studi Kontemporer tentang Hadits
·
Al-Albani, M. N. (1993). Silsilah
Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
·
Al-Khatib, M. A. (2002). Ulum
al-Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
·
As-Suyuthi, J. (1994). Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi (A. F. Abu Ghuddah, Ed.).
Damascus: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar