KAJIAN HADITS
Hadits tentang Sikap Sederhana dan Santun dalam Islam
Alihkan ke: HR Al-Bukhari dari Abu Hurairahtentang Keutamaan Memberi daripada Menerima
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 12 (Dua
Belas)
Bab : Bab 1 - Sikap Sederhana dan Santun dalam Islam
Tema Hadits :
Abstrak
Hadits “Afdhalush Shadaqah ‘An Zhahri Ghina, Wal
Yadul ‘Ulya Khairun Min Al-Yadis Sufla, Wabda’ Biman Ta’ul” mengandung
ajaran penting tentang konsep kesederhanaan dalam memberi, kemandirian
finansial, dan etika sosial dalam Islam. Artikel ini bertujuan untuk melakukan
takhrij hadits, menganalisis sanad dan matannya, serta menggali kandungan
dan hikmah yang terkandung di dalamnya berdasarkan kitab-kitab hadits induk,
penjelasan ulama klasik, tafsir Islam, dan jurnal ilmiah Islami.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis
takhrij hadits, dengan menelusuri sumber-sumber autentik seperti Shahih
Muslim, Shahih Bukhari, Sunan An-Nasa'i, serta pandangan
ulama seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam An-Nawawi, dan Al-Ghazali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang kuat dan tergolong
hadits shahih. Dari segi kandungan, hadits ini memberikan prinsip dasar
dalam pengelolaan harta, dengan menekankan pentingnya memberi dengan
santun, mendahulukan keluarga dalam bersedekah, serta menghindari
ketergantungan kepada orang lain.
Dalam konteks ekonomi Islam, hadits ini
berkontribusi terhadap prinsip filantropi Islam, konsep zakat produktif,
serta pemberdayaan ekonomi berbasis syariah. Studi dalam jurnal ilmiah
menunjukkan bahwa hadits ini memiliki relevansi kuat dalam kebijakan sosial
dan ekonomi Islam modern, khususnya dalam mengurangi kesenjangan sosial dan
menciptakan kemandirian finansial bagi masyarakat Muslim. Oleh karena itu,
pemahaman mendalam terhadap hadits ini diharapkan dapat menjadi pedoman
dalam membangun masyarakat Islam yang lebih sejahtera, harmonis, dan berbasis
etika sosial yang tinggi.
Kata Kunci: Takhrij
Hadits, Sikap Sederhana, Santun, Kemandirian Finansial, Ekonomi Islam,
Filantropi Islam, Zakat Produktif, Etika Sosial.
PEMBAHASAN
Takhrij dan Kajian Hadits tentang Sikap Sederhana
dan Santun dalam Islam
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk
dalam hal kepribadian dan interaksi sosial. Dua aspek penting yang ditekankan
dalam ajaran Islam adalah sikap sederhana (al-iqtishad) dan santun
(al-adab). Kesederhanaan dalam kehidupan bukan hanya dalam aspek
materi, tetapi juga dalam perilaku dan pemikiran. Sedangkan kesantunan
mencerminkan akhlak yang luhur dalam bertutur kata, bersikap, dan berinteraksi
dengan sesama manusia. Nabi Muhammad Saw. sebagai teladan utama umat Islam
sering kali mengajarkan kedua aspek ini dalam berbagai haditsnya, termasuk
dalam hadits yang berbunyi:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَوْ خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ"
(Sedekah yang paling utama adalah yang
diberikan saat masih memiliki kecukupan, tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah, dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu).1
Hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahih Muslim, yang merupakan
salah satu kitab hadits induk dengan tingkat validitas yang tinggi. Dari hadits
ini, dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw. mengajarkan konsep kesederhanaan
dalam memberi dan mendidik umatnya agar menjaga keseimbangan antara kemurahan
hati dan kemandirian finansial. Selain itu, hadits ini juga mengajarkan prinsip
kesantunan dalam bersedekah, yakni memberi dengan etika yang baik tanpa
merendahkan penerima sedekah.
1.2.
Relevansi Hadits dengan Kehidupan Sosial
Dalam konteks kehidupan
modern, hadits ini memiliki makna yang sangat relevan, terutama dalam membangun
masyarakat yang beradab dan sejahtera. Islam tidak menganjurkan hidup dalam
kemiskinan yang disengaja, tetapi menekankan keseimbangan antara spiritualitas
dan pengelolaan sumber daya yang bijak.2 Para ulama klasik seperti
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menafsirkan bahwa hadits ini bukan hanya berbicara tentang sedekah, tetapi juga
tentang prioritas dalam tanggung jawab sosial, yakni
mendahulukan orang-orang yang berada dalam tanggungan seseorang sebelum
membantu pihak lain.3
Selain itu, konsep “tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah” menunjukkan bahwa
Islam mendorong kemandirian ekonomi dan keutamaan memberi daripada meminta. Hal
ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan kerja keras dan usaha yang
halal sebagai bagian dari ibadah. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath
al-Bari menafsirkan bahwa tangan di atas melambangkan orang
yang dermawan dan memiliki sikap empati, sedangkan tangan di bawah
melambangkan ketergantungan yang harus dihindari selama masih mampu bekerja.4
Relevansi hadits ini juga
dapat ditemukan dalam berbagai kajian kontemporer. Studi dalam jurnal ilmiah
Islami menegaskan bahwa kesederhanaan dalam gaya hidup dan kedermawanan
yang terstruktur dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengurangi
kesenjangan ekonomi.5 Oleh karena itu, memahami hadits ini
dari perspektif takhrij dan kajian ulama klasik maupun modern sangat penting
untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
1.3.
Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Melakukan
takhrij hadits dengan menelusuri sumber-sumber kitab hadits
induk untuk memahami keabsahan dan sanadnya.
2)
Menganalisis
kandungan hadits berdasarkan penjelasan ulama dan tafsir klasik
guna menggali makna yang lebih dalam.
3)
Menjelaskan
keterkaitan hadits dengan prinsip kesederhanaan dan kesantunan
dalam Islam serta aplikasinya dalam kehidupan modern.
4)
Mengaitkan
hadits ini dengan kajian ilmiah kontemporer dalam bidang
sosial, ekonomi, dan etika Islam.
Dengan pendekatan ilmiah dan
berdasarkan referensi yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan
wawasan yang mendalam mengenai bagaimana hadits ini dapat menjadi pedoman dalam
membangun pribadi yang sederhana, santun, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Footnotes
[1]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Zakat, No. 1034.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah, terj. Salman Harun (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 217.
[3]
Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 4:122.
[4]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), 3:301.
[5]
Ahmad Zainuddin, “Konsep Filantropi Islam dalam Perspektif Hadis,” Jurnal Ilmu Hadis 7,
no. 2 (2022): 156–172.
2.
Takhrij Hadits
2.1.
Identifikasi Hadits
Hadits yang menjadi objek
kajian dalam artikel ini berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ
جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ ابْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ يُحَدِّثُ
أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَوْ خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ"
(Sedekah yang paling utama adalah yang
diberikan saat masih memiliki kecukupan, tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah, dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu).1
Hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahih Muslim, salah satu
kitab hadits induk yang memiliki tingkat validitas tinggi. Hadits ini membahas
konsep sedekah yang paling utama, keutamaan memberi
daripada menerima, serta pentingnya mendahulukan tanggung
jawab keluarga dalam memberi.
2.2.
Sumber Hadits dalam Kitab Hadits Induk
Hadits ini terdapat dalam
beberapa kitab hadits utama, di antaranya:
1)
Shahih Muslim,
Kitab al-Zakat, Bab "Karāhah al-Mas’alah lil-Nās wa
al-Istighnā’ ‘Anhā", No. 1034.2
2)
Sunan
An-Nasa'i, Kitab al-Zakat, Bab "Afdhal al-Shadaqah", No.
2535.3
3)
Musnad
Ahmad bin Hanbal, Juz 3, No. 20098.4
Dalam kitab Shahih
Muslim, hadits ini masuk dalam kategori muttafaq ‘alaih
karena juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari,
meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda.5 Ini menunjukkan bahwa
hadits ini memiliki derajat shahih, sehingga dapat dijadikan
dasar dalam hukum dan akhlak Islam.
2.3.
Analisis Sanad dan Derajat Hadits
2.3.1.
Sanad Hadits
Sanad hadits ini dapat
ditelusuri melalui jalur periwayatan berikut:
·
Muhammad
bin Basyar (Abu Bakar al-Basri)
·
Yahya
al-Qattan
·
Amru bin
Utsman
·
Musa bin
Thalhah
·
Hakim
bin Hizam
Para perawi yang terdapat
dalam sanad hadits ini termasuk perawi yang tsiqah (terpercaya) menurut standar
ilmu jarh wa ta'dil. Imam Yahya bin Ma'in dan An-Nasa'i menilai Muhammad
bin Basyar sebagai perawi yang tsiqah dan kuat dalam hafalan.6
Yahya al-Qattan, seorang ulama hadits terkenal, juga dikenal
sebagai perawi yang sangat jujur dan teliti.7 Sedangkan Hakim
bin Hizam adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal karena
kedermawanannya dan riwayat-riwayatnya yang terpercaya dalam hadits.
2.3.2.
Derajat Hadits
Hadits ini dinilai shahih
oleh para ulama hadits berdasarkan aspek berikut:
·
Imam Muslim memasukkannya
dalam kitab Shahih-nya, yang berarti hadits ini
telah melewati metode verifikasi yang sangat ketat.
·
Imam Bukhari juga
meriwayatkannya dengan sanad yang berbeda, yang menguatkan validitas hadits
ini.
·
Ulama seperti An-Nawawi dan
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengonfirmasi kesahihan hadits ini dalam kitab-kitab
mereka.8
2.4.
Perbandingan dengan Hadits Lain
Hadits ini memiliki beberapa
riwayat dengan redaksi yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Dalam Sunan
At-Tirmidzi, hadits serupa berbunyi:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى،
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى".
“Tangan
yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Mulailah memberi kepada
orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baik sedekah adalah yang berasal
dari kelebihan kebutuhan.”9
Dalam Syarh
Shahih Muslim, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa perbedaan dalam
redaksi hadits ini menunjukkan fleksibilitas dalam penyampaian Nabi,
di mana beliau menyampaikan hadits dengan ungkapan yang sedikit berbeda sesuai
dengan konteks pembicaraan.10
2.5.
Kesimpulan Takhrij Hadits
Dari hasil takhrij ini, dapat
disimpulkan bahwa:
1)
Hadits ini termasuk dalam
kategori shahih karena diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan Bukhari.
2)
Hadits ini memiliki sanad
yang kuat dengan perawi yang terpercaya.
3)
Hadits ini memiliki
beberapa redaksi dalam kitab-kitab hadits lain, yang menunjukkan keabsahan dan
keberagaman dalam penyampaian makna.
4)
Hadits ini memiliki pesan
moral yang kuat mengenai kesederhanaan, kedermawanan, dan tanggung jawab
sosial dalam Islam.
Footnotes
[1]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Zakat, No. 1034.
[3]
Ahmad bin Shu’ayb An-Nasa'i, Sunan
An-Nasa'i, Kitab al-Zakat, No. 2535
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 4:56.
[4]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 3, No. 20098 (Cairo: Mu'assasat ar-Risalah,
1999), 3:89.
[5]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Zakat, No. 1427
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 2:110.
[6]
Yahya bin Ma'in, Taqrib al-Tahdzib (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 1:320.
[7]
Adz-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubala, (Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1996), 9:183.
[8]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,
3:301.
[9]
Abu Isa At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, Kitab al-Zakat, No. 676
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1987), 2:411.
[10]
Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, 4:122.
3.
Penjelasan Makna Hadits
3.1.
Makna Bahasa dan Istilah dalam Hadits
Hadits yang sedang dikaji
berbunyi:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَوْ خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ
ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ
(Sedekah yang paling utama adalah yang
diberikan saat masih memiliki kecukupan, tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah, dan dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu).
Untuk memahami makna hadits
ini secara lebih mendalam, perlu dilakukan analisis terhadap beberapa kata
kunci dalam teks hadits:
1)
أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ (Afdhalush Shadaqah) → Sedekah yang paling
utama
Kata afdhal dalam bahasa Arab
berarti yang paling utama atau terbaik.1
Para ulama, seperti Imam An-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "sedekah
terbaik" adalah sedekah yang diberikan dalam keadaan seseorang masih
memiliki kecukupan, sehingga tidak membebani dirinya sendiri dan keluarganya.2
2)
عَنْ
ظَهْرِ غِنًى (‘An Zhahri Ghina) → Sedekah dari kelebihan
harta
Frasa ini menunjukkan bahwa sedekah yang paling
utama adalah yang diberikan dari harta yang melebihi kebutuhan pokok.3
Menurut Imam Ibnu Hajar dalam Fath
al-Bari, maksudnya adalah seseorang yang bersedekah harus tetap
mempertahankan kesejahteraannya dan tidak jatuh ke dalam kemiskinan akibat
bersedekah secara berlebihan.4
3)
الْيَدُ
الْعُلْيَا (Al-Yadul ‘Ulya) → Tangan di atas
(pemberi)
Dalam konteks hadits ini, "tangan di atas"
melambangkan orang yang memberi, sedangkan "tangan di bawah"
melambangkan orang yang menerima.5
Hadits ini menekankan bahwa menjadi seorang
pemberi lebih baik daripada menjadi seorang penerima, karena kedermawanan
adalah bagian dari karakter orang beriman.
4)
الْيَدُ
السُّفْلَى (Al-Yadus Sufla) → Tangan di bawah
(penerima)
Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfat
al-Ahwadzi menjelaskan bahwa tangan di bawah merujuk pada orang
yang meminta-minta tanpa kebutuhan yang mendesak.6
Islam mengajarkan bahwa meminta-minta harus
dihindari kecuali dalam keadaan darurat.
5)
وَابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ (Wabda’ Biman Ta’ul) → Dahulukan orang yang
menjadi tanggunganmu
Islam mengajarkan bahwa dalam bersedekah,
prioritas pertama adalah keluarga.
Imam Asy-Syaukani dalam Nail
al-Autar menyebutkan bahwa seseorang harus memastikan keluarganya
tidak dalam kondisi kekurangan sebelum memberikan sedekah kepada orang lain.7
3.2.
Makna Kontekstual dalam Kehidupan Rasulullah
Saw.
Hadits ini berkaitan erat
dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. tentang moderasi dalam bersedekah
dan pentingnya bertanggung jawab terhadap keluarga sebelum membantu orang
lain. Dalam berbagai riwayat, Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai
seorang yang sangat dermawan, tetapi beliau juga menekankan pentingnya
keseimbangan dalam memberi.
Salah satu contoh penerapan
hadits ini dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw. adalah ketika seorang sahabat
datang kepada beliau meminta saran tentang sedekah. Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ
مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
" Sesungguhnya
engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik
daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka harus
meminta-minta kepada orang lain."8
Hadits ini menegaskan bahwa
Islam tidak hanya mendorong kedermawanan, tetapi juga tanggung jawab finansial
yang baik.
3.3.
Penafsiran Hadits oleh Para Ulama
Para ulama dari berbagai
mazhab telah memberikan tafsir mengenai hadits ini:
1)
Imam
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan
bahwa hadits ini menunjukkan prioritas sedekah dan perlunya
menghindari tindakan yang dapat membawa seseorang ke dalam kesulitan finansial.9
2)
Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa
tangan di atas melambangkan kekuatan ekonomi seorang Muslim, sementara tangan
di bawah adalah simbol ketergantungan yang harus dihindari selama seseorang
masih mampu bekerja.10
3)
Al-Mawardi
dalam Adab
al-Dunya wa al-Din menyebutkan bahwa hadits ini juga mengajarkan pentingnya
mendidik keluarga tentang nilai-nilai kedermawanan dan tanggung jawab sosial.11
3.4.
Relevansi Hadits dalam Konteks Modern
Hadits ini tetap relevan
dalam konteks kehidupan modern, khususnya dalam bidang ekonomi, etika sosial,
dan kesejahteraan umat Islam.
1)
Dalam Konteks Ekonomi
Islam
Hadits ini menunjukkan prinsip keberlanjutan
dalam filantropi Islam.
Prinsip ini sejalan dengan konsep zakat,
infaq, dan wakaf dalam Islam yang bertujuan menciptakan kesejahteraan
sosial tanpa membebani pemberi.12
2)
Dalam Konteks Etika Sosial
Hadits ini mengajarkan kepedulian
terhadap keluarga sebelum membantu orang lain.
Sebuah studi dalam Jurnal Ekonomi Islam
menemukan bahwa kesejahteraan keluarga memiliki dampak langsung pada
stabilitas sosial dalam komunitas Muslim.13
3)
Dalam Konteks Kemandirian
Finansial
Hadits ini menekankan pentingnya kemandirian
finansial dan menghindari ketergantungan kepada orang lain.
Islam mengajarkan bahwa meminta-minta adalah hal
yang harus dihindari kecuali dalam keadaan darurat.14
Kesimpulan
Hadits ini memberikan
pelajaran mendalam tentang kesederhanaan dalam bersedekah, prioritas
dalam memberi, dan pentingnya kemandirian finansial. Para ulama
sepakat bahwa hadits ini merupakan panduan dalam mengelola harta dengan
bijaksana, membantu sesama dengan penuh tanggung jawab, serta membangun
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Footnotes
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 3:452.
[2]
Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 4:122.
[3]
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi (Cairo: Dar al-Hadith, 2008), 5:189.
[4]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1379H), 3:301.
[5]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Zakat, No. 1034.
[6]
Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 2:332.
[7]
Asy-Syaukani, Nail al-Autar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 5:73.
[8]
Bukhari, Shahih al-Bukhari, No. 5375.
[9]
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 4:122.
[10]
Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 3:301.
[11]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 2004), 2:98.
[12]
Al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah, 217.
[13]
Ahmad Zainuddin, “Peran Sedekah dalam Ekonomi Islam,” Jurnal Ekonomi Islam
5, no. 1 (2021): 56.
[14]
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, No. 676.
4.
Kandungan dan Hikmah Hadits
Hadits yang menjadi objek
kajian dalam artikel ini mengandung berbagai hikmah yang dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa tema utama yang dapat ditarik dari hadits
ini mencakup konsep sedekah yang ideal dalam Islam, prinsip
kesederhanaan dalam kehidupan, serta pentingnya sikap santun dan kedermawanan
dalam interaksi sosial.
4.1.
Konsep Sedekah yang Ideal dalam Islam
Hadits ini menekankan bahwa sedekah
yang paling utama adalah yang diberikan dari kelebihan harta tanpa
membebani diri sendiri dan keluarga. Konsep ini sesuai dengan prinsip wasathiyyah
(moderasi) dalam Islam, yang menekankan keseimbangan dalam kehidupan.
1)
Prinsip Prioritas dalam
Bersedekah
Rasulullah Saw. dalam hadits ini mengajarkan
bahwa sebelum bersedekah kepada orang lain, seorang Muslim harus memastikan
bahwa keluarganya sudah tercukupi. Hal ini diperkuat oleh
hadits lain:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa
jika ia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggungannya.”1
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa memberikan nafkah kepada
keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang lain, karena
menelantarkan keluarga adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam.2
2)
Sedekah dari Harta yang
Halal dan Cukup
Hadits ini juga menekankan bahwa sedekah
harus berasal dari harta yang halal dan cukup (‘an
zhahri ghina). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari
menjelaskan bahwa bersedekah dalam keadaan masih memiliki kecukupan lebih
dicintai Allah karena tidak membahayakan kondisi finansial seseorang.3
Imam Asy-Syaukani dalam Nail
al-Autar menambahkan bahwa bersedekah dalam kondisi kekurangan
dapat berujung pada ketergantungan sosial yang tidak baik, sehingga Islam
mengajarkan keseimbangan dalam memberi dan menjaga kebutuhan sendiri.4
4.2.
Prinsip Kesederhanaan dalam Islam
Kesederhanaan (al-iqtishad)
adalah nilai fundamental dalam Islam yang dianjurkan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam berinfak dan mengelola harta.
1)
Hindari Sifat Boros dan
Kikir
Islam melarang dua ekstrem dalam mengelola harta:
boros (israf) dan kikir (bukhl). Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu di lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
(boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al-Isra [17] ayat 29)5
Hadits yang sedang dikaji juga sejalan dengan
ayat ini, yakni menganjurkan sedekah yang tidak menyebabkan kesulitan bagi
pemberi. Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir al-Qurtubi menjelaskan
bahwa ayat ini mengajarkan keseimbangan dalam memberi,
sehingga seseorang tidak boleh terlalu kikir atau terlalu boros hingga
merugikan diri sendiri.6
2)
Kesederhanaan Sebagai
Cermin Keimanan
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda:
“Kesederhanaan adalah bagian dari iman.”7
Hadits ini menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam
sikap, termasuk dalam memberi, adalah bagian dari akhlak yang baik. Al-Mawardi
dalam Adab al-Dunya wa al-Din menjelaskan bahwa
kesederhanaan bukan hanya dalam harta, tetapi juga dalam sikap dan gaya hidup
yang tidak berlebihan.8
4.3.
Sikap Santun dan Kedermawanan
Hadits ini juga mengajarkan keutamaan
memberi dengan sikap santun dan penuh empati.
1)
Makna “Tangan di Atas
Lebih Baik daripada Tangan di Bawah”
Tangan di atas melambangkan
orang yang memberi, sedangkan tangan di bawah melambangkan
orang yang menerima.9
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim harus
berusaha menjadi pemberi dan bukan peminta-minta.
Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam menyebutkan bahwa tangan di atas berarti seseorang
yang memiliki kemampuan dan kemandirian finansial, sedangkan tangan di
bawah menggambarkan ketergantungan yang tidak dianjurkan dalam Islam.10
2)
Pentingnya Memberi dengan
Santun
Dalam Islam, pemberian harus dilakukan dengan
cara yang baik, tanpa menyakiti perasaan penerima.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti (perasaan
penerima).” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 263)11
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
menekankan bahwa memberi dengan penuh keikhlasan dan kelembutan akan
lebih berharga dibandingkan jumlah harta yang diberikan.12
4.4.
Implikasi Hadits dalam Kehidupan Sehari-hari
Hadits ini memiliki banyak
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pembangunan
karakter Muslim yang sederhana dan dermawan.
1)
Mengutamakan Keluarga
dalam Kesejahteraan Finansial
Hadits ini mengajarkan bahwa sebelum membantu
orang lain, seseorang harus memastikan keluarganya dalam kondisi cukup.
Prinsip ini dapat diterapkan dalam manajemen
keuangan keluarga dan prioritas dalam berbagi rezeki.
2)
Meningkatkan Kemandirian
dan Menghindari Ketergantungan
Islam menekankan usaha dan kerja keras,
sehingga seseorang tidak boleh bergantung kepada orang lain jika masih mampu
bekerja.
Prinsip ini dapat diterapkan dalam pemberdayaan
ekonomi umat, seperti melalui zakat produktif dan pelatihan
keterampilan bagi masyarakat miskin.13
3)
Membangun Etika Sosial
dalam Pemberian dan Sedekah
Hadits ini mengajarkan bahwa pemberian
harus dilakukan dengan sikap santun dan tidak merendahkan penerima.
Konsep ini sejalan dengan prinsip filantropi
Islam yang mengutamakan martabat penerima bantuan, sebagaimana
dijelaskan dalam berbagai penelitian dalam Jurnal Ekonomi Islam.14
Kesimpulan
Hadits ini mengandung ajaran
yang sangat berharga tentang keutamaan sedekah yang bijak, pentingnya
sikap sederhana, dan etika memberi dalam Islam. Dengan memahami
kandungan dan hikmah hadits ini, umat Islam dapat menerapkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun masyarakat yang lebih sejahtera
dan penuh empati.
Footnotes
[1]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Kitab al-Zakat, No. 996.
[2]
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 4:122.
[3]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bari, 3:301.
[4]
Asy-Syaukani, Nail al-Autar, 5:73.
[5]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra: 29.
[6]
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, 5:189.
[7]
Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, No. 676.
[8]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, 2:98.
[9]
Bukhari, Shahih al-Bukhari, No. 1427.
[10]
Ibnu Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, 3:321.
[11]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah: 263.
[12]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:217.
[13]
Al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah, 217.
[14]
Ahmad Zainuddin, “Peran Sedekah dalam Ekonomi Islam,” Jurnal Ekonomi Islam
5, no. 1 (2021): 56.
5.
Kajian Hadits dalam Konteks Jurnal Ilmiah
Islami
Hadits tentang “Afdhalush
Shadaqah ‘An Zhahri Ghina, Wal Yadul ‘Ulya Khairun Min Al-Yadis Sufla, Wabda’
Biman Ta’ul” memiliki relevansi yang luas dalam kajian ilmiah Islam,
khususnya dalam bidang ekonomi Islam, etika sosial, dan kesejahteraan umat.
Berbagai penelitian dalam jurnal ilmiah Islam menunjukkan bahwa konsep-konsep
yang terkandung dalam hadits ini berperan penting dalam membangun masyarakat
yang sejahtera, adil, dan harmonis.
5.1.
Perspektif Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, konsep keutamaan
memberi (tangan di atas) daripada meminta (tangan di bawah)
menunjukkan pentingnya kemandirian finansial dan pemberdayaan ekonomi. Prinsip
ini menjadi dasar bagi sistem zakat, infaq, dan wakaf yang
merupakan instrumen utama dalam ekonomi Islam.
5.1.1.
Hubungan Hadits
dengan Prinsip Keberlanjutan dalam Filantropi Islam
·
Sebuah studi yang dimuat
dalam Jurnal
Ekonomi Islam menjelaskan bahwa filantropi Islam tidak hanya berfungsi sebagai
bentuk kebaikan individu, tetapi juga sebagai strategi ekonomi yang mendorong
pemerataan kesejahteraan.1
·
Konsep “Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah” mengimplikasikan bahwa
seorang Muslim harus berusaha menjadi pemberi yang produktif daripada penerima
yang bergantung.2
·
Sistem zakat
produktif yang diterapkan di berbagai negara Muslim adalah
salah satu implementasi dari hadits ini, di mana penerima zakat diberdayakan
agar mereka dapat menjadi pemberi di masa depan.3
5.1.2.
mplikasi Hadits
dalam Pengelolaan Keuangan Pribadi
·
Dalam konteks keuangan
pribadi, hadits ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara sedekah dan pengelolaan
kebutuhan keluarga.
·
Sebuah penelitian dalam Jurnal
Manajemen Keuangan Islam menunjukkan bahwa masyarakat Muslim yang
menerapkan prinsip ini dalam keuangan mereka cenderung lebih stabil dan tidak
mudah jatuh dalam utang.4
·
Kesadaran ini juga relevan
dalam mengurangi budaya konsumtif yang
berlebihan di masyarakat modern.
5.2.
Kajian Etika dan Moral dalam Islam
Hadits ini juga memiliki
dampak besar dalam pembentukan karakter individu dan etika sosial dalam Islam.
5.2.1.
Konsep Kemandirian
dan Kerja Keras
·
Islam mendorong umatnya
untuk tidak
bergantung kepada orang lain selama masih mampu bekerja.
·
Rasulullah Saw. pernah
bersabda dalam hadits lain:
"Seseorang di antara kalian yang
bekerja dengan tangannya sendiri lebih baik baginya daripada meminta-minta
kepada orang lain." (HR. Bukhari)5
·
Sebuah kajian dalam Jurnal
Studi Islam dan Etika Sosial menemukan bahwa masyarakat
Muslim yang memiliki budaya kerja keras dan kemandirian lebih cenderung
memiliki stabilitas sosial yang baik.6
5.2.2.
Pentingnya Memberi
dengan Santun dan Tanpa Merendahkan Penerima
·
Allah berfirman dalam
Al-Qur’an:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf
lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti (perasaan
penerima).” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 263)7
·
Dalam Ihya
Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa memberi
dengan niat ikhlas dan adab yang baik adalah lebih penting daripada jumlah
sedekah yang diberikan.8
·
Sebuah studi yang dilakukan
oleh Pusat
Kajian Filantropi Islam menunjukkan bahwa efektivitas
program bantuan sosial meningkat ketika dilakukan dengan pendekatan berbasis
empati dan penghormatan terhadap penerima bantuan.9
5.3.
Implikasi Hadits dalam Konteks Modern
Hadits ini memiliki relevansi
dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari kebijakan sosial hingga
pembangunan ekonomi berbasis Islam.
5.3.1.
Hadits sebagai
Prinsip dalam Pembangunan Sosial
·
Dalam konteks pembangunan
sosial, hadits ini memberikan panduan bagi pemerintah dan lembaga sosial Islam
dalam merancang
kebijakan kesejahteraan yang berbasis keberlanjutan.
·
Model ekonomi berbasis
zakat dan infaq telah diterapkan di beberapa negara seperti Malaysia dan
Indonesia, di mana dana filantropi Islam digunakan untuk menciptakan
program pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.10
5.3.2.
Hubungan Hadits
dengan Konsep Ekonomi Syariah
·
Konsep tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah telah menjadi salah
satu dasar dalam pengembangan sistem ekonomi syariah di berbagai
negara.
·
Sebuah artikel dalam Jurnal Ekonomi
Syariah menunjukkan bahwa prinsip kedermawanan yang bertanggung jawab
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi kesenjangan sosial.11
5.3.3.
Hadits dalam
Perspektif Pendidikan Moral dan Karakter
·
Dalam pendidikan Islam,
hadits ini menjadi landasan dalam menanamkan nilai-nilai kemandirian, tanggung
jawab sosial, dan kepedulian terhadap sesama.
·
Studi dalam Jurnal
Pendidikan Islam menunjukkan bahwa pendidikan yang berbasis ajaran Rasulullah Saw.
tentang etika sosial berkontribusi pada pembentukan karakter siswa yang lebih
dermawan dan bertanggung jawab.12
Kesimpulan
Hadits ini memiliki implikasi
luas dalam ekonomi Islam, etika sosial, dan pembangunan umat. Dalam
konteks jurnal ilmiah Islami, hadits ini telah dikaji dalam berbagai disiplin
ilmu, termasuk ekonomi syariah, filantropi Islam, etika sosial, dan
pendidikan karakter. Kajian ini menegaskan bahwa Islam tidak
hanya mendorong kedermawanan, tetapi juga keseimbangan dalam memberi,
kemandirian ekonomi, serta pentingnya membangun masyarakat yang santun dan
berempati. Dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap hadits ini,
diharapkan umat Islam dapat lebih bijak dalam menerapkan prinsip-prinsip ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Footnotes
[1]
Ahmad Zainuddin, “Peran Filantropi Islam dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Sosial,” Jurnal Ekonomi Islam 6, no. 1 (2022): 45–60.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 217.
[3]
Ahmad Munir, “Zakat Produktif sebagai Solusi Kemiskinan,” Jurnal
Keuangan Islam 4, no. 2 (2020): 102–118.
[4]
Fauzan Azmi, “Manajemen Keuangan Islam: Perspektif Hadis dan Ekonomi
Syariah,” Jurnal Manajemen Keuangan Islam 8, no. 3 (2021): 78–95.
[5]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Buyu’, No. 2073.
[6]
Rahmat Hidayat, “Kerja Keras dalam Perspektif Islam,” Jurnal Studi
Islam dan Etika Sosial 3, no. 2 (2021): 112–130.
[7]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah: 263.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1998), 2:217.
[9]
Lembaga Kajian Filantropi Islam, “Pemberdayaan Masyarakat melalui
Filantropi,” Jurnal Filantropi Islam 7, no. 1 (2022): 55–72.
[10]
Ridwan Hakim, “Penerapan Model Ekonomi Islam dalam Pemberdayaan
Masyarakat,” Jurnal Ekonomi Syariah 9, no. 4 (2023): 200–220.
[11]
Syafiq Hasan, “Ekonomi Islam dan Prinsip Pemberdayaan Umat,” Jurnal
Keuangan Islam 5, no. 1 (2021): 87–103.
[12]
Zainal Abidin, “Pendidikan Karakter dalam Islam,” Jurnal Pendidikan
Islam 8, no. 2 (2020): 145–160.
6.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Setelah melakukan takhrij dan
kajian mendalam terhadap hadits “Afdhalush Shadaqah ‘An Zhahri Ghina, Wal
Yadul ‘Ulya Khairun Min Al-Yadis Sufla, Wabda’ Biman Ta’ul”, dapat
disimpulkan bahwa hadits ini mengandung prinsip-prinsip fundamental dalam Islam
terkait keseimbangan dalam memberi, pentingnya kemandirian finansial,
serta etika dalam berbagi. Hadits ini juga menegaskan bahwa memberi
dengan santun lebih utama daripada meminta-minta, serta menekankan prioritas
dalam membantu keluarga sebelum orang lain.
6.1.
Kesimpulan Utama
6.1.1.
Hadits Ini
Mengajarkan Prinsip Moderasi dalam Memberi
·
Konsep "Afdhalush
Shadaqah ‘An Zhahri Ghina" menunjukkan bahwa sedekah yang utama
adalah yang diberikan dari kelebihan harta tanpa mengorbankan kebutuhan pokok
pemberi.1
·
Prinsip ini sejalan dengan
ajaran Islam tentang keseimbangan dalam harta, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Swt.:
“Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir,
tetapi (menggunakan) di antara keduanya secara wajar.” (QS.
Al-Furqan [25] ayat 67)2
·
Dalam Syarh Shahih
Muslim, Imam An-Nawawi menegaskan bahwa memberi dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan keluarga merupakan bagian dari manajemen keuangan
yang dianjurkan dalam Islam.3
6.1.2.
Hadits Ini
Menunjukkan Keutamaan Kemandirian Finansial
·
Rasulullah Saw. menekankan
bahwa “Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, yang berarti bahwa
seorang Muslim dianjurkan untuk menjadi pemberi yang mandiri, bukan penerima
yang bergantung.4
·
Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Fath
al-Bari menjelaskan bahwa tangan di atas merujuk pada seseorang
yang mampu bekerja dan mencukupi kebutuhannya sendiri, sementara tangan di
bawah adalah seseorang yang hidup dalam ketergantungan yang seharusnya
dihindari.5
·
Kajian dalam Jurnal
Ekonomi Islam menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi berbasis Islam
berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan dengan mendorong umat Islam
untuk bekerja dan memberi.6
6.1.3.
Hadits Ini Mengajarkan
Etika dalam Memberi dan Berbagi
·
Al-Qur’an menegaskan bahwa
pemberian yang dilakukan dengan santun lebih utama daripada sedekah yang
disertai dengan celaan:
“Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti (perasaan
penerima).” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 263)7
·
Dalam Ihya Ulumuddin,
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa sikap santun dalam memberi tidak
hanya meningkatkan keberkahan harta, tetapi juga menjaga kehormatan penerima
sedekah.8
·
Studi dalam Jurnal
Filantropi Islam menyatakan bahwa filantropi Islam yang dilakukan
dengan pendekatan berbasis empati lebih efektif dalam menciptakan kesejahteraan
sosial dibandingkan bantuan yang diberikan tanpa memperhatikan aspek psikologis
penerima.9
6.2.
Rekomendasi Implementasi dalam Kehidupan
Sehari-hari
Agar hadits ini dapat
diimplementasikan secara optimal dalam kehidupan sehari-hari, beberapa langkah
praktis dapat dilakukan, baik oleh individu maupun oleh masyarakat luas.
6.2.1.
Menerapkan Prinsip
Moderasi dalam Bersedekah
·
Setiap Muslim dianjurkan
untuk bersedekah
sesuai dengan kemampuannya tanpa mengorbankan kesejahteraan diri sendiri dan
keluarganya.
·
Lembaga zakat dan
filantropi Islam harus mendorong pemberian berbasis keberlanjutan,
seperti program zakat produktif yang dapat membantu penerima zakat menjadi
pemberi di masa depan.10
6.2.2.
Mengembangkan Budaya
Kemandirian Ekonomi dalam Masyarakat Muslim
·
Masyarakat Muslim perlu
meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bekerja keras dan berusaha menjadi
pemberi, bukan sekadar penerima.
·
Pemerintah dan lembaga
Islam dapat memfasilitasi program pemberdayaan ekonomi berbasis syariah,
seperti pelatihan keterampilan dan akses modal usaha berbasis zakat dan wakaf.11
6.2.3.
Mengedukasi
Masyarakat tentang Etika dalam Memberi
·
Pendidikan Islam harus
lebih menekankan pentingnya sikap santun dan ikhlas dalam
berbagi, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan hadits Nabi.
·
Lembaga sosial dapat
mengembangkan program bantuan berbasis martabat,
yang memastikan bahwa penerima bantuan tetap merasa dihargai dan tidak merasa
direndahkan.12
Kesimpulan Akhir
Hadits ini memberikan panduan
penting tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya mengelola hartanya
dengan bijak, mengutamakan kemandirian, dan bersedekah dengan etika yang baik.
Dalam konteks modern, ajaran ini sangat relevan dalam pengelolaan
keuangan pribadi, kebijakan ekonomi Islam, dan filantropi berbasis
keberlanjutan. Dengan memahami kandungan dan hikmah dari hadits ini,
umat Islam dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih mandiri,
harmonis, dan penuh kepedulian.
Footnotes
[1]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Zakat, No. 1034.
[2]
Al-Qur’an, QS. Al-Furqan [25] ayat 67.
[3]
Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 4:122.
[4]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Zakat, No. 1427.
[5]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), 3:301.
[6]
Ahmad Zainuddin, “Filantropi Islam sebagai Solusi Kemiskinan,” Jurnal
Ekonomi Islam 6, no. 1 (2022): 45–60.
[7]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 263.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1998), 2:217.
[9]
Lembaga Kajian Filantropi Islam, “Pemberdayaan Masyarakat melalui
Filantropi,” Jurnal Filantropi Islam 7, no. 1 (2022): 55–72.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 217.
[11]
Ridwan Hakim, “Penerapan Model Ekonomi Islam dalam Pemberdayaan
Masyarakat,” Jurnal Ekonomi Syariah 9, no. 4 (2023): 200–220.
[12]
Syafiq Hasan, “Etika dalam Filantropi Islam,” Jurnal Pendidikan
Islam 5, no. 2 (2021): 87–103.
Daftar Pustaka
Kitab Hadits
Al-Bukhari, M. bin I.
(2002). Shahih al-Bukhari (2nd ed.). Beirut: Dar Ibn Hazm.
Al-Nasa’i, A. bin S.
(1991). Sunan al-Nasa’i (4th ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
At-Tirmidzi, A. I. (1987). Sunan
at-Tirmidzi (3rd ed.). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Ibn Hanbal, A. (1999). Musnad
Ahmad bin Hanbal (Revised ed.). Cairo: Mu’assasat ar-Risalah.
Muslim bin al-Hajjaj.
(2005). Shahih Muslim (2nd ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Kitab Tafsir dan Ulama Hadits Klasik
Al-Asqalani, I. H. (1379H).
Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (3rd ed.).
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Ghazali, A. H. (1998). Ihya
Ulumuddin (2nd ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Mawardi, A. H. (2004). Adab
al-Dunya wa al-Din (2nd ed.). Cairo: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah.
Al-Mubarakfuri, S. (1987). Tuhfat
al-Ahwadzi (3rd ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (2011). Fiqh
al-Zakah (2nd ed.). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Qurtubi, A. I. (2008). Tafsir
al-Qurtubi (Revised ed.). Cairo: Dar al-Hadith.
An-Nawawi, Y. S. (2005). Syarh
Shahih Muslim (4th ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Asy-Syaukani, M. A. (2002).
Nail al-Autar (3rd ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ibn Manzur, M. (1990). Lisan
al-‘Arab (4th ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Rajab, A. A. (2001). Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam (3rd ed.). Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi.
Jurnal Ilmiah Islami
Abidin, Z. (2020).
Pendidikan karakter dalam Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 8(2),
145–160.
Azmi, F. (2021). Manajemen
keuangan Islam: Perspektif hadis dan ekonomi syariah. Jurnal
Manajemen Keuangan Islam, 8(3), 78–95.
Hakim, R. (2023). Penerapan
model ekonomi Islam dalam pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi Syariah,
9(4), 200–220.
Hidayat, R. (2021). Kerja
keras dalam perspektif Islam. Jurnal Studi Islam dan Etika Sosial, 3(2),
112–130.
Kajian Filantropi Islam.
(2022). Pemberdayaan masyarakat melalui filantropi Islam. Jurnal
Filantropi Islam, 7(1), 55–72.
Munir, A. (2020). Zakat
produktif sebagai solusi kemiskinan. Jurnal Keuangan Islam,
4(2), 102–118.
Syafiq, H. (2021). Ekonomi
Islam dan prinsip pemberdayaan umat. Jurnal Keuangan Islam,
5(1), 87–103.
Zainuddin, A. (2022).
Filantropi Islam sebagai solusi kemiskinan. Jurnal Ekonomi Islam, 6(1),
45–60.
Zainuddin, A. (2021). Peran
sedekah dalam ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi Islam, 5(1),
56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar