KAJIAN HADITS
Takhrij Hadits Dan
Penjelasan Isi Kandungannya
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 11
(Sebelas)
Bab : Bab 1 - Sikap
Sederhana dan Santun dalam Islam
Tema Hadits : Hadits tentang Larangan Boros Air dalam Wudhu
Abstrak
Hadits Rasulullah Saw yang melarang pemborosan
dalam wudhu memiliki makna mendalam dalam ajaran Islam, tidak hanya dalam aspek
ibadah tetapi juga dalam konteks konservasi sumber daya alam. Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji hadits tersebut melalui pendekatan takhrij
guna menelusuri validitas sanad dan matan berdasarkan kitab-kitab hadits induk.
Selain itu, artikel ini menganalisis kandungan hadits dari perspektif tafsir
klasik dan penjelasan ulama, serta menghubungkannya dengan prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh beberapa perawi terpercaya dan memiliki sanad yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dari segi kandungan, hadits ini menegaskan prinsip
Islam dalam menghindari isrāf (pemborosan) dalam segala hal, termasuk
penggunaan air saat berwudhu, meskipun air berlimpah. Dalam konteks modern,
hadits ini relevan dengan tantangan krisis air global, di mana Islam
mengajarkan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Prinsip keberlanjutan yang terkandung dalam hadits ini selaras dengan konsep tawazun
(keseimbangan), khilafah (tanggung jawab manusia terhadap lingkungan),
dan maslahah (kemaslahatan umum), yang menuntut umat Islam untuk
berperan aktif dalam menjaga lingkungan. Dengan demikian, artikel ini
menekankan pentingnya implementasi nilai-nilai hadits dalam kehidupan
sehari-hari, baik melalui kesadaran individu, kebijakan institusi keislaman,
maupun upaya global dalam konservasi air dan pembangunan berkelanjutan.
Kata Kunci: Takhrij
Hadits, Larangan Boros, Wudhu, Keberlanjutan, Konservasi Air, Filsafat Lingkungan Islam.
PEMBAHASAN
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Wudhu merupakan
bagian integral dalam ibadah seorang Muslim. Ia tidak hanya berfungsi sebagai
bentuk penyucian lahiriah tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam.1
Namun, dalam praktiknya, sering ditemukan fenomena pemborosan air ketika berwudhu. Berdasarkan penelitian, sebagian
besar umat Islam menggunakan air dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang
diperlukan sesuai dengan tuntunan syariat.2 Fenomena ini menimbulkan
pertanyaan etis dan ekologis terkait penggunaan sumber daya alam, khususnya
air.
Dalam konteks Islam,
penggunaan sumber daya harus dilakukan secara bijaksana, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai dalil Al-Qur’an
dan Hadits.3 Salah satu hadits yang relevan dalam pembahasan ini
adalah sabda Rasulullah Saw:
لَا تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟
قَالَ: نَعَمْ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ
("Janganlah boros." Ada yang
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dalam wudhu juga ada pemborosan?"
Beliau menjawab, "Ya, bahkan dalam segala sesuatu ada pemborosan.")
Hadits ini
menegaskan bahwa pemborosan merupakan tindakan yang tidak dianjurkan dalam
Islam, termasuk dalam penggunaan air saat berwudhu.4 Dalam konteks
global saat ini, di mana kelangkaan air menjadi permasalahan serius, ajaran Islam tentang larangan boros
dalam wudhu memiliki relevansi yang semakin meningkat.5
1.2.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar
belakang di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara mendalam:
1)
Bagaimana status dan
kualitas hadits tentang larangan boros dalam wudhu berdasarkan kitab-kitab
hadits induk?
2)
Apa makna dan kandungan
hadits ini menurut ulama dan tafsir klasik?
3)
Bagaimana relevansi hadits
ini dalam konteks isu lingkungan dan prinsip keberlanjutan?
1.3.
Metode Kajian
Kajian ini
menggunakan metode takhrij
hadits untuk melacak sumber dan kualitas hadits dalam kitab-kitab hadits
induk seperti Musnad Ahmad, Sunan
Ibnu Majah, dan lainnya.6 Analisis kandungan hadits
dilakukan dengan merujuk kepada syarah hadits yang disusun oleh para ulama
klasik seperti Ibnu Hajar al-Asqalani,
An-Nawawi, dan As-Suyuthi.7 Selain itu, pembahasan ini juga mengacu
pada tafsir klasik untuk memahami konsep israf (pemborosan) dalam Islam secara
lebih luas.8
Di samping sumber
klasik, penelitian ini juga menelaah berbagai jurnal ilmiah Islami yang
membahas aspek lingkungan dan keberlanjutan dalam Islam. Pendekatan
interdisipliner dengan filsafat lingkungan dan etika Islam akan digunakan untuk
melihat relevansi hadits dalam menghadapi tantangan krisis air global saat ini.9
Footnotes
[1]
Abu Syuqqah, Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam
(Jakarta: Gema Insani, 2008), 57.
[2]
Zulkifli Hasan dan Nur Fadhilah, "Kebiasaan Penggunaan Air dalam
Wudhu: Studi Kasus di Masjid Kampus," Jurnal Ilmu Lingkungan 18,
no. 2 (2021): 145-160.
[3]
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998),
5:240.
[4]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah
Syamilah edisi digital.
[5]
Mohammad Yusuf, "Konservasi Air dalam Islam: Kajian terhadap
Hadits Nabi," Jurnal Ekologi Islam 10, no. 1 (2022): 34-49.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut
(Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), 4:230.
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah,
1959), 1:256.
[8]
Al-Suyuthi, Al-Durr al-Manthur fi Tafsir bil-Ma’thur (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 3:218.
[9]
Muhammad Aslam, "Islamic Environmental Ethics and Water
Conservation," International Journal of Islamic Studies 15, no. 3
(2020): 220-237.
2.
Takhrij Hadits: Analisis
Kualitas dan Periwayatan Hadits
2.1.
Periwayatan Hadits dalam Kitab-Kitab Hadits
Induk
Hadits tentang
larangan boros dalam wudhu diriwayatkan dalam beberapa kitab hadits, di
antaranya Musnad
Ahmad, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan
an-Nasa’i. Berikut adalah teks hadits sebagaimana disebutkan dalam Musnad
Ahmad:
لَا
تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, seorang sahabat Nabi yang
terkenal dengan ketelitian dalam meriwayatkan hadits dan kedekatannya dengan Rasulullah Saw.1 Dalam Musnad
Ahmad, hadits ini tercatat dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا
عبد الله، حدثني أبي، ثنا يحيى بن آدم، ثنا إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن
الحارث، عن عبد الله بن عمرو قال: جاء رجل إلى النبي ﷺ فسأله
عن الوضوء؟ فقال: توضأ مثنى مثنى، فقال: يا رسول الله، أرأيت إن زدت؟ قال: لا تسرف،
لا تسرف، لا تسرف2.
Hadits ini juga
ditemukan dalam Sunan Ibnu Majah, no. 425, dengan
sedikit variasi dalam redaksi, tetapi substansinya tetap sama.3 Sunan
an-Nasa’i juga mencantumkan hadits ini dalam kitab Ath-Thaharah
yang membahas tata cara bersuci dalam Islam.4
2.2.
Status Sanad dan Rawi Hadits
Untuk menentukan
kualitas hadits ini, penting untuk menelusuri perawi yang terdapat dalam sanadnya. Berikut adalah analisis para rawi
berdasarkan kitab-kitab rijal hadits:
·
Abu
Ishaq As-Sabi'i (أبو إسحاق السبيعي):
Seorang perawi yang dikenal tsiqah
(terpercaya), namun pada masa tuanya mengalami tadlis (penyamaran sanad).
Namun, riwayatnya tetap diterima jika dinyatakan secara jelas periwayatannya.5
·
Abdullah
bin Harits (عبد الله بن الحارث):
Seorang tabi'in yang juga dikenal
sebagai perawi yang jujur dan memiliki hafalan yang baik.6
·
Israel
bin Yunus (إسرائيل بن يونس):
Seorang perawi yang tsiqah dan sering
dipakai dalam riwayat hadits oleh imam-imam hadits.7
Dengan melihat
kredibilitas para rawi, hadits ini dinilai sebagai hadits hasan
oleh sebagian besar ulama hadits, termasuk Al-Albani dalam Irwa’
al-Ghalil.8
2.3.
Konteks diucapkannya Hadits
Menurut penjelasan
dalam kitab-kitab syarah hadits, hadits ini muncul dalam konteks ketika seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai batasan penggunaan air dalam
wudhu. Rasulullah Saw menekankan bahwa meskipun wudhu adalah bagian dari
ibadah, penggunaan air secara berlebihan
tetap dianggap sebagai israf (pemborosan). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
Rasulullah Saw menegur Sa’ad bin Abi Waqqash yang menggunakan air terlalu
banyak dalam berwudhu, seraya berkata:
"Jangan boros dalam menggunakan air,
bahkan jika engkau berwudhu di tepi sungai yang mengalir."9
Hadits ini
memberikan gambaran tentang bagaimana Islam menekankan keseimbangan dalam penggunaan sumber daya, termasuk air.
2.4.
Perbandingan dengan Hadits Lain tentang Israf
dalam Wudhu
Konsep larangan
boros dalam wudhu juga diperkuat oleh hadits-hadits lain, seperti riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw berwudhu hanya dengan satu mud air (sekitar
0,5 liter) dan mandi dengan satu sha’ air (sekitar 2,5 liter).10
Hadits ini memberikan gambaran konkret mengenai jumlah air yang cukup untuk
bersuci, sekaligus menegaskan bahwa pemborosan bukanlah bagian dari sunnah
Rasulullah Saw.
Hadits ini juga
sejalan dengan prinsip umum dalam
Islam mengenai larangan israf, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang boros." (QS. Al-A’raf [7] ayat 31)11
Footnotes
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib
at-Tahdzib (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 1:515.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1998), 4:230.
[3]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 425, dalam Maktabah
Syamilah edisi digital.
[4]
An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abu Ghuddah (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
1986), 1:91.
[5]
Adz-Dzahabi, Mizan al-I'tidal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 2:224.
[6]
Yahya bin Ma’in, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Riyadh: Dar ar-Rayah, 1991), 3:311.
[7]
Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1990), 2:96.
[8]
Al-Albani, Irwa’ al-Ghalil (Riyadh: Dar as-Salam, 1990), 1:136.
[9]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah
Syamilah edisi digital.
[10]
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul
Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 1992), 1:143.
[11]
Al-Qur’an, QS. Al-A’raf (7): 31.
3.
Kandungan Hadits: Makna dan
Konteks Larangan Boros dalam Wudhu
3.1.
Definisi dan Konsep Isrāf dalam Islam
Dalam hadits yang
dikaji, Rasulullah Saw melarang sikap boros (isrāf) dalam wudhu, meskipun
aktivitas ini merupakan bagian dari ibadah. Konsep isrāf dalam Islam merujuk pada
tindakan berlebihan yang melewati batas kewajaran dalam menggunakan sesuatu, baik dalam hal makanan, minuman,
pakaian, maupun sumber daya alam.1
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa isrāf adalah bentuk penggunaan
sesuatu yang tidak perlu, yang dapat mengarah pada pemborosan dan penyalahgunaan nikmat Allah.2
Istilah ini juga ditemukan dalam Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah:
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang boros." (QS. Al-A’raf [7] ayat 31)3
Menurut Al-Raghib
al-Asfahani, isrāf berasal dari kata sarf
yang berarti "melewati batas yang seharusnya." Oleh karena
itu, isrāf
bukan hanya tentang membuang-buang harta atau sumber daya, tetapi juga tentang
melampaui batas yang ditetapkan
oleh syariat.4
3.2.
Makna Larangan Boros dalam Wudhu
Hadits ini
menunjukkan bahwa meskipun wudhu adalah ibadah yang diperintahkan, berlebihan dalam menggunakannya tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang. Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar
al-Asqalani menjelaskan bahwa Rasulullah Saw menggunakan air dalam jumlah yang
sangat sedikit untuk berwudhu, sebagai bentuk keteladanan dalam menghindari
pemborosan.5
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw menegur Sa’ad bin Abi Waqqash
yang menggunakan terlalu banyak air dalam berwudhu, seraya berkata:
"Jangan boros dalam menggunakan air,
bahkan jika engkau berwudhu di tepi sungai yang mengalir."6
Hadits ini
menegaskan bahwa pemborosan tidak hanya terkait dengan ketersediaan sumber
daya, tetapi juga dengan prinsip
keseimbangan dalam ajaran Islam. Bahkan dalam kondisi kelimpahan air sekalipun,
Rasulullah Saw tetap mengajarkan penggunaan yang bijak dan sesuai kebutuhan.
3.3.
Pendapat Ulama tentang Larangan Isrāf dalam
Wudhu
Beberapa ulama
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
hadits ini. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu' menyatakan bahwa batasan
penggunaan air dalam wudhu harus mengacu pada kebiasaan Nabi, yakni sekitar
satu mud air (sekitar 0,5 liter). Penggunaan lebih dari itu diperbolehkan jika
memang diperlukan, tetapi berlebihan tanpa alasan adalah tindakan yang dilarang.7
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
menegaskan bahwa isrāf dalam wudhu tidak hanya terjadi karena penggunaan air
yang berlebihan, tetapi juga dalam cara penggunaannya, seperti mengulang-ulang pembasuhan lebih dari yang disunnahkan
atau menyiram air secara berlebihan tanpa keperluan.8
3.4.
Relevansi Hadits dalam Konteks Keberlanjutan
dan Krisis Air Global
Hadits ini memiliki
relevansi yang sangat besar dalam konteks modern, terutama terkait dengan isu
lingkungan dan keberlanjutan. Menurut laporan United Nations Water Development Report 2021,
sekitar 2,2 miliar orang di dunia mengalami kesulitan dalam mengakses air
bersih.9 Pemborosan air dalam wudhu, jika dilakukan secara luas oleh umat Islam di seluruh dunia, dapat
memperburuk krisis air global.
Islam, sebagai agama
yang menekankan keseimbangan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, mengajarkan bahwa sumber daya alam harus
digunakan secara bijak. Hal ini sejalan dengan konsep maqashid
syariah (tujuan syariat), di mana perlindungan terhadap sumber daya
alam termasuk dalam prinsip hifz al-biah (perlindungan
lingkungan).
3.5.
Implikasi Etis dan Spiritual dari Hadits
Selain relevansi
ekologisnya, hadits ini juga memiliki dimensi etis dan spiritual. Pemborosan,
dalam berbagai bentuknya, menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap nikmat Allah
dan dapat menumbuhkan sikap berlebihan yang bertentangan dengan sifat zuhud
dalam Islam.10
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’
Ulum ad-Din menekankan bahwa sikap hemat dalam menggunakan sumber
daya, termasuk air, merupakan cerminan dari sifat qana'ah (kepuasan terhadap
yang cukup) dan tazkiyah (penyucian jiwa).11 Oleh karena itu, hadits
ini bukan hanya sebagai panduan dalam berwudhu, tetapi juga sebagai pelajaran tentang bagaimana seorang Muslim
harus menjalani kehidupannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Footnotes
[1]
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim (Riyadh: Darus Salam,
2000), 3:418.
[3]
Al-Qur’an, QS. Al-A’raf (7): 31.
[4]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat
Alfazh al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 197.
[5]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah,
1959), 1:256.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah
Syamilah edisi digital.
[7]
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab (Beirut: Dar Ihya’
at-Turath al-Arabi, 2001), 1:485.
[8]
Ibnu Qudamah, Al-Mughni (Cairo: Maktabah al-Kahira, 1986), 1:192.
[9]
United Nations, United Nations World
Water Development Report 2021: Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi
al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq,
2001), 142.
[11]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 2:95.
4.
Kaitan Hadits dengan
Prinsip Keberlanjutan dan Filsafat Lingkungan
4.1.
Islam sebagai Agama yang Menjunjung
Keberlanjutan
Dalam Islam,
keberlanjutan (sustainability) merupakan salah
satu prinsip fundamental yang mencerminkan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Konsep ini berakar pada
berbagai ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 31 yang
melarang sikap boros (isrāf), serta dalam QS. Al-An’am
(6) ayat 141 yang menegaskan bahwa manusia
tidak boleh berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam.1
Dalam hadits yang
dikaji, Rasulullah Saw
melarang pemborosan dalam wudhu, meskipun air adalah elemen utama dalam ibadah.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan keseimbangan antara kebutuhan
spiritual dan tanggung jawab ekologis. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Yusuf
Al-Qaradawi, Islam memiliki prinsip keberlanjutan yang
mengajarkan pemanfaatan sumber daya secara bijak dan tidak eksploitatif.2
4.2.
Relevansi Hadits dalam Konteks Krisis Air
Global
Hadits ini menjadi
semakin relevan dalam era modern, mengingat dunia tengah menghadapi krisis air
yang serius. Laporan United Nations World Water Development Report
2021 menyebutkan
bahwa sekitar 2,2 miliar orang mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih,
dan kelangkaan air diperkirakan akan meningkat
akibat perubahan iklim dan
pertumbuhan populasi.3
Dalam Islam, air
dipandang sebagai sumber daya yang harus dijaga, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 30:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
"Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu
yang hidup."
Menurut Muhammad
Asad dalam The
Message of the Qur’an, ayat ini menekankan bahwa air merupakan
elemen kehidupan yang harus dihargai dan dikelola dengan baik.4 Hadits yang melarang boros dalam wudhu
mencerminkan kepedulian Islam terhadap konservasi sumber daya ini.
4.3.
Perspektif Filsafat Lingkungan dalam Islam
Filsafat lingkungan
dalam Islam menekankan prinsip keseimbangan (mizan), tanggung jawab (amanah),
dan keberlanjutan (istidamah). Hadits ini sejalan
dengan tiga prinsip utama dalam filsafat
lingkungan Islam:
1)
Prinsip Tawazun
(Keseimbangan)
Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam penggunaan sumber daya alam. Dalam QS. Ar-Rahman (55)
ayat 7-9, Allah menegaskan bahwa keseimbangan (mizan)
harus dijaga agar tidak terjadi kerusakan di bumi.5
2)
Prinsip Khilafah (Tanggung
Jawab Manusia terhadap Alam)
Manusia diberikan amanah sebagai khalifah di
bumi, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30. Syekh Tantawi dalam Tafsir
Al-Wasit menjelaskan bahwa tugas manusia sebagai khalifah mencakup
pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan dengan penuh tanggung jawab.6
Larangan boros dalam wudhu merupakan bentuk implementasi amanah ini dalam
kehidupan sehari-hari.
3)
Prinsip Maslahah
(Kemaslahatan Umat dan Lingkungan)
Konsep maslahah
dalam Islam mencakup kesejahteraan manusia dan lingkungan. Imam Al-Ghazali
dalam Al-Mustasfa menyatakan bahwa kemaslahatan tidak
hanya mencakup aspek material, tetapi juga mencakup aspek ekologis, seperti
pemeliharaan air, tanah, dan udara.7
4.4.
Implementasi Prinsip Keberlanjutan dalam
Kehidupan Muslim
Hadits ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk:
·
Kebijakan
Pengelolaan Air
Pemerintah dan lembaga keagamaan dapat
menggunakan hadits ini sebagai dasar dalam mengedukasi masyarakat tentang
pentingnya hemat air. Sebagai contoh, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah
menerapkan kebijakan konservasi air di masjid-masjid agar jamaah tidak
menggunakan air secara berlebihan saat berwudhu.8
·
Kesadaran
Lingkungan di Kalangan Muslim
Berbagai organisasi Islam, seperti Islamic
Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), telah
mengkampanyekan kesadaran lingkungan berbasis ajaran Islam, termasuk dalam
penggunaan air.9
·
Pendekatan
Teknologi dalam Penghematan Air
Teknologi seperti water-saving tap
atau kran otomatis telah diterapkan di berbagai masjid untuk mengurangi
pemborosan air saat berwudhu.10 Hal ini merupakan implementasi dari
nilai-nilai Islam dalam menghadapi tantangan lingkungan modern.
Kesimpulan
Hadits yang melarang
boros dalam wudhu memiliki implikasi yang luas dalam prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan Islam.
Islam sebagai agama yang holistik mengajarkan keseimbangan dalam penggunaan
sumber daya, termasuk air. Dalam konteks krisis air global, hadits ini menjadi
pedoman penting dalam membentuk kesadaran ekologis di kalangan umat Islam.
Dengan menerapkan nilai-nilai ini, umat Islam dapat berperan dalam menjaga
keseimbangan alam sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.
Footnotes
[1]
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi
al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq,
2001), 142.
[3]
United Nations, United Nations World
Water Development Report 2021: Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.
[4]
Muhammad Asad, The Message of the
Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus,
1980), 513.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim (Riyadh: Darus Salam,
2000), 4:211.
[6]
Syekh Tantawi, Tafsir Al-Wasit (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 2005), 2:315.
[7]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 1:174.
[8]
Gulf News, "Saudi Arabia Introduces Water-Saving Initiative in
Mosques," Gulf News, 2022, https://gulfnews.com.
[9]
IFEES, "Islamic Environmental Ethics," Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, 2023, https://ifees.org.uk.
[10]
Green Prophet, "Smart Water-Saving Taps Installed in
Mosques," Green Prophet, 2022, https://greenprophet.com.
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Hadits Rasulullah Saw
tentang larangan boros dalam wudhu mengandung pesan mendalam yang tidak hanya
berkaitan dengan aspek ibadah, tetapi juga mencerminkan prinsip keberlanjutan dalam Islam. Takhrij
hadits menunjukkan bahwa riwayat ini memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah dikaji oleh
berbagai ulama dalam kitab-kitab hadits induk.1 Dari segi kandungan,
hadits ini menegaskan bahwa Islam melarang segala bentuk isrāf
atau pemborosan, termasuk dalam penggunaan air saat berwudhu, meskipun air
tersebut berlimpah.2
Dalam perspektif
Islam, air adalah sumber daya yang harus dijaga dan dikelola dengan baik.
Hadits ini semakin relevan dalam konteks krisis air global yang saat ini
dihadapi oleh banyak negara. Data dari United Nations World Water Development Report
2021 menunjukkan bahwa miliaran orang di dunia mengalami
keterbatasan akses terhadap air bersih.3 Islam sebagai agama yang
menekankan keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam mendorong umatnya untuk tidak menyia-nyiakan
nikmat yang diberikan Allah.
Selain itu, hadits
ini memiliki keterkaitan erat dengan prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan dalam Islam. Konsep tawazun (keseimbangan), khilafah
(tanggung jawab manusia sebagai pengelola bumi), dan maslahah
(kemaslahatan umum) menjadi dasar bagi umat Islam untuk berperan aktif dalam
menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian, hadits ini tidak hanya menjadi
pedoman bagi individu Muslim dalam menjalankan
ibadah, tetapi juga menjadi landasan etis dalam upaya konservasi air dan
kebijakan lingkungan secara lebih luas.4
5.2.
Rekomendasi
Berdasarkan
pembahasan dalam artikel ini, beberapa rekomendasi dapat diberikan untuk
implementasi hadits ini dalam kehidupan
sehari-hari:
5.2.1.
Peningkatan
Kesadaran Umat Islam tentang Konservasi Air
·
Lembaga pendidikan Islam,
pesantren, dan madrasah dapat mengintegrasikan ajaran Islam tentang konservasi
air dalam kurikulum pendidikan, sehingga para siswa memahami pentingnya menjaga
sumber daya alam sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.5
·
Khotbah Jumat dan kajian
keislaman dapat lebih banyak membahas pentingnya menghindari isrāf
dalam wudhu serta dampak ekologis dari pemborosan air.
5.2.2.
Penerapan Teknologi
Hemat Air di Masjid dan Lembaga Keislaman
·
Masjid dan lembaga
keislaman dapat menerapkan teknologi hemat air, seperti pemasangan water-saving
taps atau kran otomatis yang mengurangi pemborosan air saat
berwudhu.6
·
Penggunaan air bekas wudhu
untuk keperluan lain, seperti menyiram tanaman atau membersihkan lingkungan,
dapat dijadikan kebijakan dalam manajemen masjid.
5.2.3.
Partisipasi Umat
Islam dalam Gerakan Keberlanjutan
·
Umat Islam dapat berperan
dalam gerakan konservasi air dan lingkungan dengan mengadopsi gaya hidup hemat
air dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak membiarkan air mengalir
terus-menerus saat berwudhu.
·
Organisasi Islam dan tokoh
agama dapat bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga lingkungan untuk menyusun
kebijakan yang mendukung pengelolaan air berkelanjutan.
5.2.4.
Penelitian Lebih
Lanjut tentang Konsep Ekologi dalam Islam
·
Para akademisi Islam dapat
melakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana prinsip Islam dalam
pengelolaan sumber daya alam dapat diintegrasikan dengan kebijakan lingkungan
modern.7
·
Studi lebih mendalam
tentang bagaimana hadits-hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengan lingkungan
dapat diterapkan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.
5.3.
Penutup
Hadits tentang
larangan boros dalam wudhu bukan hanya sekadar pedoman ibadah, tetapi juga
memiliki nilai universal yang mencerminkan kepedulian Islam terhadap
lingkungan. Implementasi ajaran ini di tengah tantangan krisis air global dapat
membantu umat Islam untuk menjadi bagian dari solusi dalam menjaga
keberlanjutan sumber daya alam. Dengan memahami, mengamalkan, dan menyebarkan
ajaran ini, umat Islam dapat menjalankan peran sebagai khalifah
fil ardh yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan kehidupan
masa depan.
Footnotes
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah,
1959), 1:256.
[2]
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998),
5:240.
[3]
United Nations, United Nations World Water Development Report 2021:
Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.
[4]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi al-Islam (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2001), 142.
[5]
Gulf News, "Saudi Arabia Introduces Water-Saving Initiative in
Mosques," Gulf News, 2022, https://gulfnews.com.
[6]
Green Prophet, "Smart Water-Saving Taps Installed in
Mosques," Green Prophet, 2022, https://greenprophet.com.
[7]
IFEES, "Islamic Environmental Ethics," Islamic Foundation
for Ecology and Environmental Sciences, 2023, https://ifees.org.uk.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, I. H. (1959). Fath al-Bari.
Cairo: Dar al-Ma’rifah.
Al-Ghazali, M. (1998). Al-Mustasfa. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (2001). Fiqh al-Biah fi al-Islam.
Cairo: Dar al-Shuruq.
Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an.
Gibraltar: Dar al-Andalus.
Gulf News. (2022). Saudi Arabia introduces
water-saving initiative in mosques. Retrieved from https://gulfnews.com.
Green Prophet. (2022). Smart water-saving taps
installed in mosques. Retrieved from https://greenprophet.com.
Ibnu Katsir. (2000). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim
(Vol. 4). Riyadh: Darus Salam.
Islamic Foundation for Ecology and Environmental
Sciences (IFEES). (2023). Islamic Environmental Ethics. Retrieved from https://ifees.org.uk.
Syekh Tantawi. (2005). Tafsir Al-Wasit.
Cairo: Dar al-Ma’rifah.
United Nations. (2021). United Nations World
Water Development Report 2021: Valuing Water. Paris: UNESCO.
Wahbah Zuhaili. (1998). Tafsir Al-Munir
(Vol. 5). Beirut: Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar