Sabtu, 01 Februari 2025

Kajian Hadits: Hadits tentang Larangan Boros Air dalam Wudhu

KAJIAN HADITS

Takhrij Hadits Dan Penjelasan Isi Kandungannya


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 1 - Sikap Sederhana dan Santun dalam Islam

Tema Hadits   : Hadits tentang Larangan Boros Air dalam Wudhu


Abstrak

Hadits Rasulullah Saw yang melarang pemborosan dalam wudhu memiliki makna mendalam dalam ajaran Islam, tidak hanya dalam aspek ibadah tetapi juga dalam konteks konservasi sumber daya alam. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji hadits tersebut melalui pendekatan takhrij guna menelusuri validitas sanad dan matan berdasarkan kitab-kitab hadits induk. Selain itu, artikel ini menganalisis kandungan hadits dari perspektif tafsir klasik dan penjelasan ulama, serta menghubungkannya dengan prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh beberapa perawi terpercaya dan memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari segi kandungan, hadits ini menegaskan prinsip Islam dalam menghindari isrāf (pemborosan) dalam segala hal, termasuk penggunaan air saat berwudhu, meskipun air berlimpah. Dalam konteks modern, hadits ini relevan dengan tantangan krisis air global, di mana Islam mengajarkan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Prinsip keberlanjutan yang terkandung dalam hadits ini selaras dengan konsep tawazun (keseimbangan), khilafah (tanggung jawab manusia terhadap lingkungan), dan maslahah (kemaslahatan umum), yang menuntut umat Islam untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan. Dengan demikian, artikel ini menekankan pentingnya implementasi nilai-nilai hadits dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui kesadaran individu, kebijakan institusi keislaman, maupun upaya global dalam konservasi air dan pembangunan berkelanjutan.

Kata Kunci: Takhrij Hadits, Larangan Boros, Wudhu, Keberlanjutan, Konservasi Air, Filsafat Lingkungan Islam.


PEMBAHASAN


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Wudhu merupakan bagian integral dalam ibadah seorang Muslim. Ia tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penyucian lahiriah tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam.1 Namun, dalam praktiknya, sering ditemukan fenomena pemborosan air ketika berwudhu. Berdasarkan penelitian, sebagian besar umat Islam menggunakan air dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan sesuai dengan tuntunan syariat.2 Fenomena ini menimbulkan pertanyaan etis dan ekologis terkait penggunaan sumber daya alam, khususnya air.

Dalam konteks Islam, penggunaan sumber daya harus dilakukan secara bijaksana, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai dalil Al-Qur’an dan Hadits.3 Salah satu hadits yang relevan dalam pembahasan ini adalah sabda Rasulullah Saw:

لَا تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ

("Janganlah boros." Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dalam wudhu juga ada pemborosan?" Beliau menjawab, "Ya, bahkan dalam segala sesuatu ada pemborosan.")

Hadits ini menegaskan bahwa pemborosan merupakan tindakan yang tidak dianjurkan dalam Islam, termasuk dalam penggunaan air saat berwudhu.4 Dalam konteks global saat ini, di mana kelangkaan air menjadi permasalahan serius, ajaran Islam tentang larangan boros dalam wudhu memiliki relevansi yang semakin meningkat.5

1.2.       Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara mendalam:

1)                  Bagaimana status dan kualitas hadits tentang larangan boros dalam wudhu berdasarkan kitab-kitab hadits induk?

2)                  Apa makna dan kandungan hadits ini menurut ulama dan tafsir klasik?

3)                  Bagaimana relevansi hadits ini dalam konteks isu lingkungan dan prinsip keberlanjutan?

1.3.       Metode Kajian

Kajian ini menggunakan metode takhrij hadits untuk melacak sumber dan kualitas hadits dalam kitab-kitab hadits induk seperti Musnad Ahmad, Sunan Ibnu Majah, dan lainnya.6 Analisis kandungan hadits dilakukan dengan merujuk kepada syarah hadits yang disusun oleh para ulama klasik seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, An-Nawawi, dan As-Suyuthi.7 Selain itu, pembahasan ini juga mengacu pada tafsir klasik untuk memahami konsep israf (pemborosan) dalam Islam secara lebih luas.8

Di samping sumber klasik, penelitian ini juga menelaah berbagai jurnal ilmiah Islami yang membahas aspek lingkungan dan keberlanjutan dalam Islam. Pendekatan interdisipliner dengan filsafat lingkungan dan etika Islam akan digunakan untuk melihat relevansi hadits dalam menghadapi tantangan krisis air global saat ini.9


Footnotes

[1]                Abu Syuqqah, Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam (Jakarta: Gema Insani, 2008), 57.

[2]                Zulkifli Hasan dan Nur Fadhilah, "Kebiasaan Penggunaan Air dalam Wudhu: Studi Kasus di Masjid Kampus," Jurnal Ilmu Lingkungan 18, no. 2 (2021): 145-160.

[3]                Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.

[4]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah Syamilah edisi digital.

[5]                Mohammad Yusuf, "Konservasi Air dalam Islam: Kajian terhadap Hadits Nabi," Jurnal Ekologi Islam 10, no. 1 (2022): 34-49.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), 4:230.

[7]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 1:256.

[8]                Al-Suyuthi, Al-Durr al-Manthur fi Tafsir bil-Ma’thur (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 3:218.

[9]                Muhammad Aslam, "Islamic Environmental Ethics and Water Conservation," International Journal of Islamic Studies 15, no. 3 (2020): 220-237.


2.           Takhrij Hadits: Analisis Kualitas dan Periwayatan Hadits

2.1.       Periwayatan Hadits dalam Kitab-Kitab Hadits Induk

Hadits tentang larangan boros dalam wudhu diriwayatkan dalam beberapa kitab hadits, di antaranya Musnad Ahmad, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan an-Nasa’i. Berikut adalah teks hadits sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad:

لَا تُسْرِفْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ إِسْرَافٌ

Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan ketelitian dalam meriwayatkan hadits dan kedekatannya dengan Rasulullah Saw.1 Dalam Musnad Ahmad, hadits ini tercatat dengan sanad sebagai berikut:

حدثنا عبد الله، حدثني أبي، ثنا يحيى بن آدم، ثنا إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن الحارث، عن عبد الله بن عمرو قال: جاء رجل إلى النبي فسأله عن الوضوء؟ فقال: توضأ مثنى مثنى، فقال: يا رسول الله، أرأيت إن زدت؟ قال: لا تسرف، لا تسرف، لا تسرف2.

Hadits ini juga ditemukan dalam Sunan Ibnu Majah, no. 425, dengan sedikit variasi dalam redaksi, tetapi substansinya tetap sama.3 Sunan an-Nasa’i juga mencantumkan hadits ini dalam kitab Ath-Thaharah yang membahas tata cara bersuci dalam Islam.4

2.2.       Status Sanad dan Rawi Hadits

Untuk menentukan kualitas hadits ini, penting untuk menelusuri perawi yang terdapat dalam sanadnya. Berikut adalah analisis para rawi berdasarkan kitab-kitab rijal hadits:

·                     Abu Ishaq As-Sabi'i (أبو إسحاق السبيعي):

Seorang perawi yang dikenal tsiqah (terpercaya), namun pada masa tuanya mengalami tadlis (penyamaran sanad). Namun, riwayatnya tetap diterima jika dinyatakan secara jelas periwayatannya.5

·                     Abdullah bin Harits (عبد الله بن الحارث):

Seorang tabi'in yang juga dikenal sebagai perawi yang jujur dan memiliki hafalan yang baik.6

·                     Israel bin Yunus (إسرائيل بن يونس):

Seorang perawi yang tsiqah dan sering dipakai dalam riwayat hadits oleh imam-imam hadits.7

Dengan melihat kredibilitas para rawi, hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh sebagian besar ulama hadits, termasuk Al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil.8

2.3.       Konteks diucapkannya Hadits

Menurut penjelasan dalam kitab-kitab syarah hadits, hadits ini muncul dalam konteks ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai batasan penggunaan air dalam wudhu. Rasulullah Saw menekankan bahwa meskipun wudhu adalah bagian dari ibadah, penggunaan air secara berlebihan tetap dianggap sebagai israf (pemborosan). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw menegur Sa’ad bin Abi Waqqash yang menggunakan air terlalu banyak dalam berwudhu, seraya berkata:

"Jangan boros dalam menggunakan air, bahkan jika engkau berwudhu di tepi sungai yang mengalir."9

Hadits ini memberikan gambaran tentang bagaimana Islam menekankan keseimbangan dalam penggunaan sumber daya, termasuk air.

2.4.       Perbandingan dengan Hadits Lain tentang Israf dalam Wudhu

Konsep larangan boros dalam wudhu juga diperkuat oleh hadits-hadits lain, seperti riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw berwudhu hanya dengan satu mud air (sekitar 0,5 liter) dan mandi dengan satu sha’ air (sekitar 2,5 liter).10 Hadits ini memberikan gambaran konkret mengenai jumlah air yang cukup untuk bersuci, sekaligus menegaskan bahwa pemborosan bukanlah bagian dari sunnah Rasulullah Saw.

Hadits ini juga sejalan dengan prinsip umum dalam Islam mengenai larangan israf, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros." (QS. Al-A’raf [7] ayat 31)11


Footnotes

[1]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Taqrib at-Tahdzib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1:515.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), 4:230.

[3]                Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 425, dalam Maktabah Syamilah edisi digital.

[4]                An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abu Ghuddah (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986), 1:91.

[5]                Adz-Dzahabi, Mizan al-I'tidal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), 2:224.

[6]                Yahya bin Ma’in, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Riyadh: Dar ar-Rayah, 1991), 3:311.

[7]                Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1990), 2:96.

[8]                Al-Albani, Irwa’ al-Ghalil (Riyadh: Dar as-Salam, 1990), 1:136.

[9]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah Syamilah edisi digital.

[10]             Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Cairo: Dar al-Hadith, 1992), 1:143.

[11]             Al-Qur’an, QS. Al-A’raf (7): 31.


3.           Kandungan Hadits: Makna dan Konteks Larangan Boros dalam Wudhu

3.1.       Definisi dan Konsep Isrāf dalam Islam

Dalam hadits yang dikaji, Rasulullah Saw melarang sikap boros (isrāf) dalam wudhu, meskipun aktivitas ini merupakan bagian dari ibadah. Konsep isrāf dalam Islam merujuk pada tindakan berlebihan yang melewati batas kewajaran dalam menggunakan sesuatu, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, maupun sumber daya alam.1

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa isrāf adalah bentuk penggunaan sesuatu yang tidak perlu, yang dapat mengarah pada pemborosan dan penyalahgunaan nikmat Allah.2 Istilah ini juga ditemukan dalam Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros." (QS. Al-A’raf [7] ayat 31)3

Menurut Al-Raghib al-Asfahani, isrāf berasal dari kata sarf yang berarti "melewati batas yang seharusnya." Oleh karena itu, isrāf bukan hanya tentang membuang-buang harta atau sumber daya, tetapi juga tentang melampaui batas yang ditetapkan oleh syariat.4

3.2.       Makna Larangan Boros dalam Wudhu

Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun wudhu adalah ibadah yang diperintahkan, berlebihan dalam menggunakannya tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa Rasulullah Saw menggunakan air dalam jumlah yang sangat sedikit untuk berwudhu, sebagai bentuk keteladanan dalam menghindari pemborosan.5

Dalam hadits lain, Rasulullah Saw menegur Sa’ad bin Abi Waqqash yang menggunakan terlalu banyak air dalam berwudhu, seraya berkata:

"Jangan boros dalam menggunakan air, bahkan jika engkau berwudhu di tepi sungai yang mengalir."6

Hadits ini menegaskan bahwa pemborosan tidak hanya terkait dengan ketersediaan sumber daya, tetapi juga dengan prinsip keseimbangan dalam ajaran Islam. Bahkan dalam kondisi kelimpahan air sekalipun, Rasulullah Saw tetap mengajarkan penggunaan yang bijak dan sesuai kebutuhan.

3.3.       Pendapat Ulama tentang Larangan Isrāf dalam Wudhu

Beberapa ulama memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hadits ini. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu' menyatakan bahwa batasan penggunaan air dalam wudhu harus mengacu pada kebiasaan Nabi, yakni sekitar satu mud air (sekitar 0,5 liter). Penggunaan lebih dari itu diperbolehkan jika memang diperlukan, tetapi berlebihan tanpa alasan adalah tindakan yang dilarang.7

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menegaskan bahwa isrāf dalam wudhu tidak hanya terjadi karena penggunaan air yang berlebihan, tetapi juga dalam cara penggunaannya, seperti mengulang-ulang pembasuhan lebih dari yang disunnahkan atau menyiram air secara berlebihan tanpa keperluan.8

3.4.       Relevansi Hadits dalam Konteks Keberlanjutan dan Krisis Air Global

Hadits ini memiliki relevansi yang sangat besar dalam konteks modern, terutama terkait dengan isu lingkungan dan keberlanjutan. Menurut laporan United Nations Water Development Report 2021, sekitar 2,2 miliar orang di dunia mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih.9 Pemborosan air dalam wudhu, jika dilakukan secara luas oleh umat Islam di seluruh dunia, dapat memperburuk krisis air global.

Islam, sebagai agama yang menekankan keseimbangan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, mengajarkan bahwa sumber daya alam harus digunakan secara bijak. Hal ini sejalan dengan konsep maqashid syariah (tujuan syariat), di mana perlindungan terhadap sumber daya alam termasuk dalam prinsip hifz al-biah (perlindungan lingkungan).

3.5.       Implikasi Etis dan Spiritual dari Hadits

Selain relevansi ekologisnya, hadits ini juga memiliki dimensi etis dan spiritual. Pemborosan, dalam berbagai bentuknya, menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap nikmat Allah dan dapat menumbuhkan sikap berlebihan yang bertentangan dengan sifat zuhud dalam Islam.10

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din menekankan bahwa sikap hemat dalam menggunakan sumber daya, termasuk air, merupakan cerminan dari sifat qana'ah (kepuasan terhadap yang cukup) dan tazkiyah (penyucian jiwa).11 Oleh karena itu, hadits ini bukan hanya sebagai panduan dalam berwudhu, tetapi juga sebagai pelajaran tentang bagaimana seorang Muslim harus menjalani kehidupannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.


Footnotes

[1]                Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Riyadh: Darus Salam, 2000), 3:418.

[3]                Al-Qur’an, QS. Al-A’raf (7): 31.

[4]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfazh al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 197.

[5]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 1:256.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 96, dalam Maktabah Syamilah edisi digital.

[7]                An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar Ihya’ at-Turath al-Arabi, 2001), 1:485.

[8]                Ibnu Qudamah, Al-Mughni (Cairo: Maktabah al-Kahira, 1986), 1:192.

[9]                United Nations, United Nations World Water Development Report 2021: Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq, 2001), 142.

[11]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 2:95.


4.           Kaitan Hadits dengan Prinsip Keberlanjutan dan Filsafat Lingkungan

4.1.       Islam sebagai Agama yang Menjunjung Keberlanjutan

Dalam Islam, keberlanjutan (sustainability) merupakan salah satu prinsip fundamental yang mencerminkan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Konsep ini berakar pada berbagai ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 31 yang melarang sikap boros (isrāf), serta dalam QS. Al-An’am (6) ayat 141 yang menegaskan bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam.1

Dalam hadits yang dikaji, Rasulullah Saw melarang pemborosan dalam wudhu, meskipun air adalah elemen utama dalam ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan tanggung jawab ekologis. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Yusuf Al-Qaradawi, Islam memiliki prinsip keberlanjutan yang mengajarkan pemanfaatan sumber daya secara bijak dan tidak eksploitatif.2

4.2.       Relevansi Hadits dalam Konteks Krisis Air Global

Hadits ini menjadi semakin relevan dalam era modern, mengingat dunia tengah menghadapi krisis air yang serius. Laporan United Nations World Water Development Report 2021 menyebutkan bahwa sekitar 2,2 miliar orang mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih, dan kelangkaan air diperkirakan akan meningkat akibat perubahan iklim dan pertumbuhan populasi.3

Dalam Islam, air dipandang sebagai sumber daya yang harus dijaga, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 30:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ

"Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup."

Menurut Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an, ayat ini menekankan bahwa air merupakan elemen kehidupan yang harus dihargai dan dikelola dengan baik.4 Hadits yang melarang boros dalam wudhu mencerminkan kepedulian Islam terhadap konservasi sumber daya ini.

4.3.       Perspektif Filsafat Lingkungan dalam Islam

Filsafat lingkungan dalam Islam menekankan prinsip keseimbangan (mizan), tanggung jawab (amanah), dan keberlanjutan (istidamah). Hadits ini sejalan dengan tiga prinsip utama dalam filsafat lingkungan Islam:

1)                  Prinsip Tawazun (Keseimbangan)

Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan sumber daya alam. Dalam QS. Ar-Rahman (55) ayat 7-9, Allah menegaskan bahwa keseimbangan (mizan) harus dijaga agar tidak terjadi kerusakan di bumi.5

2)                  Prinsip Khilafah (Tanggung Jawab Manusia terhadap Alam)

Manusia diberikan amanah sebagai khalifah di bumi, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30. Syekh Tantawi dalam Tafsir Al-Wasit menjelaskan bahwa tugas manusia sebagai khalifah mencakup pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan dengan penuh tanggung jawab.6 Larangan boros dalam wudhu merupakan bentuk implementasi amanah ini dalam kehidupan sehari-hari.

3)                  Prinsip Maslahah (Kemaslahatan Umat dan Lingkungan)

Konsep maslahah dalam Islam mencakup kesejahteraan manusia dan lingkungan. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasfa menyatakan bahwa kemaslahatan tidak hanya mencakup aspek material, tetapi juga mencakup aspek ekologis, seperti pemeliharaan air, tanah, dan udara.7

4.4.       Implementasi Prinsip Keberlanjutan dalam Kehidupan Muslim

Hadits ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk:

·                     Kebijakan Pengelolaan Air

Pemerintah dan lembaga keagamaan dapat menggunakan hadits ini sebagai dasar dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hemat air. Sebagai contoh, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah menerapkan kebijakan konservasi air di masjid-masjid agar jamaah tidak menggunakan air secara berlebihan saat berwudhu.8

·                     Kesadaran Lingkungan di Kalangan Muslim

Berbagai organisasi Islam, seperti Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), telah mengkampanyekan kesadaran lingkungan berbasis ajaran Islam, termasuk dalam penggunaan air.9

·                     Pendekatan Teknologi dalam Penghematan Air

Teknologi seperti water-saving tap atau kran otomatis telah diterapkan di berbagai masjid untuk mengurangi pemborosan air saat berwudhu.10 Hal ini merupakan implementasi dari nilai-nilai Islam dalam menghadapi tantangan lingkungan modern.


Kesimpulan

Hadits yang melarang boros dalam wudhu memiliki implikasi yang luas dalam prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan Islam. Islam sebagai agama yang holistik mengajarkan keseimbangan dalam penggunaan sumber daya, termasuk air. Dalam konteks krisis air global, hadits ini menjadi pedoman penting dalam membentuk kesadaran ekologis di kalangan umat Islam. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, umat Islam dapat berperan dalam menjaga keseimbangan alam sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.


Footnotes

[1]                Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq, 2001), 142.

[3]                United Nations, United Nations World Water Development Report 2021: Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.

[4]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 513.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Riyadh: Darus Salam, 2000), 4:211.

[6]                Syekh Tantawi, Tafsir Al-Wasit (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 2005), 2:315.

[7]                Al-Ghazali, Al-Mustasfa (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 1:174.

[8]                Gulf News, "Saudi Arabia Introduces Water-Saving Initiative in Mosques," Gulf News, 2022, https://gulfnews.com.

[9]                IFEES, "Islamic Environmental Ethics," Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, 2023, https://ifees.org.uk.

[10]             Green Prophet, "Smart Water-Saving Taps Installed in Mosques," Green Prophet, 2022, https://greenprophet.com.


5.           Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1.       Kesimpulan

Hadits Rasulullah Saw tentang larangan boros dalam wudhu mengandung pesan mendalam yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ibadah, tetapi juga mencerminkan prinsip keberlanjutan dalam Islam. Takhrij hadits menunjukkan bahwa riwayat ini memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah dikaji oleh berbagai ulama dalam kitab-kitab hadits induk.1 Dari segi kandungan, hadits ini menegaskan bahwa Islam melarang segala bentuk isrāf atau pemborosan, termasuk dalam penggunaan air saat berwudhu, meskipun air tersebut berlimpah.2

Dalam perspektif Islam, air adalah sumber daya yang harus dijaga dan dikelola dengan baik. Hadits ini semakin relevan dalam konteks krisis air global yang saat ini dihadapi oleh banyak negara. Data dari United Nations World Water Development Report 2021 menunjukkan bahwa miliaran orang di dunia mengalami keterbatasan akses terhadap air bersih.3 Islam sebagai agama yang menekankan keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam mendorong umatnya untuk tidak menyia-nyiakan nikmat yang diberikan Allah.

Selain itu, hadits ini memiliki keterkaitan erat dengan prinsip keberlanjutan dan filsafat lingkungan dalam Islam. Konsep tawazun (keseimbangan), khilafah (tanggung jawab manusia sebagai pengelola bumi), dan maslahah (kemaslahatan umum) menjadi dasar bagi umat Islam untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian, hadits ini tidak hanya menjadi pedoman bagi individu Muslim dalam menjalankan ibadah, tetapi juga menjadi landasan etis dalam upaya konservasi air dan kebijakan lingkungan secara lebih luas.4

5.2.       Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan dalam artikel ini, beberapa rekomendasi dapat diberikan untuk implementasi hadits ini dalam kehidupan sehari-hari:

5.2.1.    Peningkatan Kesadaran Umat Islam tentang Konservasi Air

·                     Lembaga pendidikan Islam, pesantren, dan madrasah dapat mengintegrasikan ajaran Islam tentang konservasi air dalam kurikulum pendidikan, sehingga para siswa memahami pentingnya menjaga sumber daya alam sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.5

·                     Khotbah Jumat dan kajian keislaman dapat lebih banyak membahas pentingnya menghindari isrāf dalam wudhu serta dampak ekologis dari pemborosan air.

5.2.2.    Penerapan Teknologi Hemat Air di Masjid dan Lembaga Keislaman

·                     Masjid dan lembaga keislaman dapat menerapkan teknologi hemat air, seperti pemasangan water-saving taps atau kran otomatis yang mengurangi pemborosan air saat berwudhu.6

·                     Penggunaan air bekas wudhu untuk keperluan lain, seperti menyiram tanaman atau membersihkan lingkungan, dapat dijadikan kebijakan dalam manajemen masjid.

5.2.3.    Partisipasi Umat Islam dalam Gerakan Keberlanjutan

·                     Umat Islam dapat berperan dalam gerakan konservasi air dan lingkungan dengan mengadopsi gaya hidup hemat air dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak membiarkan air mengalir terus-menerus saat berwudhu.

·                     Organisasi Islam dan tokoh agama dapat bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga lingkungan untuk menyusun kebijakan yang mendukung pengelolaan air berkelanjutan.

5.2.4.    Penelitian Lebih Lanjut tentang Konsep Ekologi dalam Islam

·                     Para akademisi Islam dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana prinsip Islam dalam pengelolaan sumber daya alam dapat diintegrasikan dengan kebijakan lingkungan modern.7

·                     Studi lebih mendalam tentang bagaimana hadits-hadits Rasulullah Saw yang berkaitan dengan lingkungan dapat diterapkan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.

5.3.       Penutup

Hadits tentang larangan boros dalam wudhu bukan hanya sekadar pedoman ibadah, tetapi juga memiliki nilai universal yang mencerminkan kepedulian Islam terhadap lingkungan. Implementasi ajaran ini di tengah tantangan krisis air global dapat membantu umat Islam untuk menjadi bagian dari solusi dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Dengan memahami, mengamalkan, dan menyebarkan ajaran ini, umat Islam dapat menjalankan peran sebagai khalifah fil ardh yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan kehidupan masa depan.


Footnotes

[1]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 1:256.

[2]                Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 5:240.

[3]                United Nations, United Nations World Water Development Report 2021: Valuing Water (Paris: UNESCO, 2021), 45.

[4]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Biah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Shuruq, 2001), 142.

[5]                Gulf News, "Saudi Arabia Introduces Water-Saving Initiative in Mosques," Gulf News, 2022, https://gulfnews.com.

[6]                Green Prophet, "Smart Water-Saving Taps Installed in Mosques," Green Prophet, 2022, https://greenprophet.com.

[7]                IFEES, "Islamic Environmental Ethics," Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, 2023, https://ifees.org.uk.


Daftar Pustaka

Al-Asqalani, I. H. (1959). Fath al-Bari. Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Al-Ghazali, M. (1998). Al-Mustasfa. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (2001). Fiqh al-Biah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Shuruq.

Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.

Gulf News. (2022). Saudi Arabia introduces water-saving initiative in mosques. Retrieved from https://gulfnews.com.

Green Prophet. (2022). Smart water-saving taps installed in mosques. Retrieved from https://greenprophet.com.

Ibnu Katsir. (2000). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Vol. 4). Riyadh: Darus Salam.

Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES). (2023). Islamic Environmental Ethics. Retrieved from https://ifees.org.uk.

Syekh Tantawi. (2005). Tafsir Al-Wasit. Cairo: Dar al-Ma’rifah.

United Nations. (2021). United Nations World Water Development Report 2021: Valuing Water. Paris: UNESCO.

Wahbah Zuhaili. (1998). Tafsir Al-Munir (Vol. 5). Beirut: Dar al-Fikr.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar