Fiqih Persatuan Islam (Persis)
Landasan, Metodologi, dan Implementasi dalam Kehidupan Umat
Alihkan ke: Fiqih, Ushul Fiqh, Masa'il Al-Fiqhiyah, Fiqih NU, Fiqih Muhammadiyah.
Abstrak
Fiqih khas Persatuan Islam (Persis) merupakan
bentuk pemikiran Islam yang menekankan pemurnian ajaran agama dengan
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, serta menolak taqlid
buta terhadap mazhab. Artikel ini membahas secara mendalam tentang sejarah,
metodologi ijtihad, karakteristik fiqih, serta implementasi fiqih Persis dalam
konteks kontemporer. Persis memiliki metodologi fiqih yang khas, yaitu
mengutamakan ijtihad berbasis dalil, mengkritisi praktik keagamaan yang
tidak memiliki landasan kuat, serta memilih hukum berdasarkan pendekatan yang
paling mendekati dalil Al-Qur’an dan Hadits shahih.
Dalam berbagai aspek kehidupan, Persis mengadopsi
pendekatan fiqih yang ketat dan rasional, termasuk dalam ibadah,
muamalah, politik, dan sosial. Mereka menolak praktik keagamaan yang
dianggap bid’ah, seperti tahlilan dan maulid nabi, serta mendukung
penerapan ekonomi Islam yang berbasis syariah. Dalam konteks politik,
Persis menolak demokrasi sekuler tetapi tetap mengakui pentingnya musyawarah
dalam kepemimpinan Islam.
Namun, implementasi fiqih Persis menghadapi
tantangan dalam menghadapi pluralitas pemikiran Islam di Indonesia,
globalisasi, serta pengaruh ideologi sekuler dan liberalisme. Untuk
mempertahankan prinsip fiqihnya, Persis aktif dalam pendidikan, penerbitan
literatur keislaman, serta pemanfaatan teknologi digital dalam dakwah.
Dengan pendekatan ini, Persis tetap relevan dalam membimbing umat Islam di
Indonesia dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam berdasarkan dalil yang
kuat.
Kata Kunci: Fiqih Persis, Metodologi Ijtihad, Reformasi Islam,
Taqlid, Tajdid, Al-Qur’an dan Sunnah, Implementasi Fiqih, Ormas Islam,
Pemurnian Islam.
PEMBAHASAN
Landasan, Metodologi, dan Implementasi Fiqih Persis
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Munculnya
Ormas Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam
(Persis) adalah salah satu organisasi Islam yang berperan penting dalam
dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Bandung pada
12 September 1923 oleh para tokoh pembaharu Islam seperti Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus, dengan tujuan untuk memperbaiki pemahaman keislaman masyarakat
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits yang shahih serta menolak praktik-praktik
keagamaan yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam kedua sumber utama tersebut.¹ Persis menekankan pentingnya
tajdid (pembaruan) dalam pemikiran Islam, sebagaimana dipelopori oleh
gerakan-gerakan reformis di dunia Islam, seperti pemikiran Muhammad Abduh dan
Rashid Rida di Mesir.²
Sebagai organisasi
Islam yang lahir dalam konteks kolonialisme Belanda, Persis mengadopsi
pendekatan yang lebih intelektual dan berbasis pada argumentasi dalil dalam dakwah dan perjuangannya. Berbeda dengan
organisasi Islam lain yang cenderung mengikuti mazhab tertentu, Persis menolak
taqlid buta terhadap mazhab fiqih dan mengutamakan pendekatan ijtihad berbasis
Al-Qur'an dan Sunnah.³ Sikap ini menyebabkan
Persis sering kali berbeda pandangan dengan organisasi Islam lainnya dalam
beberapa aspek hukum Islam, terutama dalam masalah ibadah dan muamalah.
1.2.
Karakteristik Fiqih Khas Persis dalam
Konstelasi Pemikiran Islam di Indonesia
Fiqih khas Persis
memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari fiqih yang dianut oleh mayoritas umat
Islam di Indonesia. Karakteristik ini antara lain:
1)
Berpegang Teguh pada
Al-Qur’an dan Sunnah
Persis menegaskan bahwa dalam memahami hukum
Islam, sumber utama yang harus dipegang adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang
shahih. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek hukum Islam, Persis sering kali
berbeda pandangan dengan mayoritas Muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab
Syafi’i secara turun-temurun.⁴
2)
Menolak Taqlid Buta dan
Mengutamakan Ijtihad
Persis menekankan pentingnya ijtihad dalam
menggali hukum Islam dan menolak praktik taqlid buta terhadap pendapat ulama
terdahulu. Hal ini membuat Persis sering bersikap kritis terhadap berbagai
amalan tradisional yang berkembang di masyarakat, seperti tahlilan, maulid
nabi, dan doa bersama yang dianggap tidak memiliki dasar kuat dalam Sunnah.⁵
3)
Mengedepankan Rasionalitas
dalam Beragama
Dalam berbagai fatwa dan kajian keagamaannya,
Persis menekankan rasionalitas dan kritik ilmiah terhadap berbagai pemikiran
keislaman. Hal ini sejalan dengan tradisi pemikiran Islam modernis yang
berkembang di Timur Tengah, seperti yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan
Rashid Rida.⁶
4)
Pendekatan Kritis terhadap
Mazhab Fiqih
Berbeda dengan NU yang secara tradisional
mengikuti mazhab Syafi’i atau Muhammadiyah yang cenderung mengikuti mazhab Hanbali
dalam pendekatan fiqihnya, Persis tidak mengikatkan diri pada satu mazhab
tertentu. Sebaliknya, organisasi ini lebih memilih untuk mengadopsi
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab yang dianggap paling kuat berdasarkan
dalil.⁷
1.3.
Tujuan Penulisan Artikel
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konsep fiqih khas yang dikembangkan
oleh Persis, mulai dari landasan pemikirannya, metodologi ijtihad yang
digunakan, hingga implementasi dalam kehidupan
umat Islam di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan akademis yang berbasis
pada sumber-sumber referensi yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat
memberikan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana Persis membangun konsep
fiqihnya dan bagaimana pendekatan ini diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan
umat.
Selain itu, artikel
ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang dinamika
pemikiran Islam di Indonesia, khususnya mengenai bagaimana organisasi seperti Persis berusaha mempertahankan
kemurnian ajaran Islam di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Dengan
demikian, artikel ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam kajian akademik
terkait perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dan relevansi konsep fiqih
Persis dalam konteks kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 17.
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 215.
[3]
Ahmad Hasan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
(Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 45.
[4]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam
(Bandung: Persis Press, 1995), 58.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1995), 129.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 89.
[7]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought,
1992), 67.
2.
Sejarah dan Karakteristik Persis dalam
Pemikiran Fiqih
2.1.
Sejarah Singkat Persis
2.1.1.
Latar
Belakang Berdirinya Persis
Persatuan Islam
(Persis) didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus. Organisasi ini lahir sebagai respons terhadap kondisi umat
Islam Indonesia yang dinilai masih banyak terjebak dalam praktik keagamaan yang
tidak berbasis pada Al-Qur’an dan Hadits.¹ Persis hadir sebagai gerakan
reformasi Islam yang menekankan pentingnya tajdid (pembaruan) dalam pemahaman
agama serta menolak praktik-praktik yang dianggap bid’ah.
Kemunculan Persis
dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam yang berkembang di Timur Tengah,
khususnya pemikiran Muhammad Abduh dan Rashid Rida.² Persis juga dipengaruhi oleh pemikiran Salafi yang menekankan
purifikasi ajaran Islam. Dalam konteks Indonesia, Persis memiliki kesamaan visi
dengan Muhammadiyah dalam aspek pemurnian ajaran Islam, namun dengan pendekatan yang lebih ketat dan
argumentatif dalam persoalan fiqih.³
2.1.2.
Peran Tokoh-Tokoh
Persis dalam Pengembangan Fiqih
Salah satu tokoh
paling berpengaruh dalam pengembangan fiqih khas Persis adalah A. Hassan
(1887–1958).⁴ A. Hassan dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman
mendalam terhadap ilmu fiqih dan tafsir serta dikenal sebagai polemis yang
tajam dalam diskusi keagamaan.⁵ Karya-karya A. Hassan, seperti Soal Jawab dan Tafsir
Al-Furqan, menjadi rujukan utama dalam pemikiran keislaman di
Persis.
Selain A. Hassan,
ada beberapa tokoh penting lainnya dalam Persis, seperti Ahmad Djunaedi, Isa
Anshary, dan Mohammad Natsir.⁶ Mereka memainkan peran signifikan dalam menyebarkan pemikiran fiqih Persis, baik melalui
pendidikan, literatur, maupun debat keagamaan dengan kelompok lain di
Indonesia.
2.2.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Fiqih Persis
Persis memiliki
prinsip dasar dalam memahami fiqih yang membedakannya dari organisasi Islam lainnya di Indonesia. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain:
2.2.1.
Pemurnian Akidah dan
Ibadah Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Persis menekankan
bahwa akidah dan ibadah harus berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits yang
shahih. Mereka menolak amalan yang tidak memiliki dasar dalam dua sumber utama tersebut.⁷ Oleh karena itu,
dalam praktik ibadah, Persis sering kali berbeda dengan mayoritas Muslim di
Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i. Beberapa perbedaan yang mencolok
antara lain:
·
Shalat
Tarawih:
Persis lebih cenderung mengamalkan
shalat tarawih 8 rakaat berdasarkan Hadits Aisyah dalam Shahih
Bukhari, berbeda dengan kebiasaan masyarakat yang mengamalkan 20
rakaat.⁸
·
Tahlilan
dan Maulid Nabi:
Persis menganggap bahwa praktik ini
tidak memiliki dasar kuat dalam Sunnah dan menolaknya sebagai bagian dari
ajaran Islam.⁹
2.2.2.
Menolak Taqlid Buta
dan Mengutamakan Ijtihad
Salah satu ciri khas
fiqih Persis adalah penolakannya terhadap taqlid buta terhadap mazhab tertentu. Menurut Persis, umat Islam
harus berusaha memahami dalil secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits.¹⁰ Oleh
karena itu, Persis tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu, melainkan
memilih pendapat yang dianggap lebih kuat berdasarkan dalil.
Pendekatan ini
mengacu pada pemikiran ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang juga mengutamakan pemahaman
langsung terhadap teks-teks suci.¹¹
2.2.3.
Sikap Kritis
terhadap Mazhab Fiqih Klasik
Berbeda dengan
Nahdlatul Ulama (NU) yang secara tradisional mengikuti mazhab Syafi’i, Persis
memilih untuk tidak mengikatkan diri pada satu mazhab fiqih tertentu.¹² Mereka
lebih menekankan kajian langsung terhadap
dalil dan memilih pendapat yang dianggap paling kuat.
Misalnya, dalam
persoalan wudhu, Persis cenderung mengikuti pendapat yang mewajibkan mengusap
seluruh kepala berdasarkan Hadits yang lebih kuat, meskipun pendapat ini tidak
sejalan dengan mazhab Syafi’i.¹³
2.2.4.
Rasionalitas dalam
Beragama
Persis juga
menekankan pentingnya rasionalitas dalam beragama. Mereka tidak hanya sekadar
menerima pendapat ulama terdahulu, tetapi juga mempertimbangkan logika dan argumentasi dalam memahami hukum
Islam.¹⁴
Pendekatan ini
membuat Persis sering kali terlibat dalam polemik keagamaan dengan kelompok lain yang lebih tradisional. Namun,
mereka berargumen bahwa pendekatan ini adalah bentuk komitmen terhadap prinsip
tajdid dalam Islam.¹⁵
Kesimpulan
Sejarah dan
karakteristik fiqih Persis menunjukkan bahwa organisasi ini berusaha untuk
mengembalikan pemahaman Islam kepada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah. Dengan menolak taqlid buta dan mengutamakan
ijtihad, Persis memiliki pendekatan fiqih yang berbeda dari mayoritas umat Islam
di Indonesia.
Meskipun sering kali
mendapatkan tantangan dari kelompok Islam lain, pemikiran fiqih Persis tetap
berkembang dan memiliki pengaruh signifikan dalam wacana keislaman di Indonesia. Tokoh-tokoh seperti A. Hassan dan
Isa Anshary memainkan peran penting dalam menyebarkan ide-ide fiqih Persis,
baik melalui dakwah maupun literatur.
Dalam bab
selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai metodologi ijtihad dalam fiqih Persis dan bagaimana pendekatan ini
diterapkan dalam berbagai aspek hukum Islam.
Catatan Kaki
[1]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 17.
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 215.
[3]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam
(Bandung: Persis Press, 1995), 32.
[4]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
(Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 12.
[5]
M. Syafi’i Antonio, Mengenal A. Hassan dan Pemikiran Fiqihnya
(Jakarta: Gema Insani, 2001), 45.
[6]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1995), 98.
[7]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam,
56.
[8]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama,
89.
[9]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought,
1992), 134.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 110.
[11]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Wafa, 1995), 3:400.
[12]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, 250.
[13]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia, 92.
[14]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,
140.
[15]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, 145.
3.
Metodologi Ijtihad dalam Fiqih Persis
3.1.
Pendekatan dalam Menentukan Hukum
3.1.1.
Al-Qur’an sebagai
Sumber Utama Hukum
Persatuan Islam
(Persis) memegang prinsip bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama dalam menetapkan
hukum Islam. Pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan
tafsir yang berbasis dalil-dalil yang kuat dan rasional.¹ Persis menolak
interpretasi yang dianggap tidak sesuai dengan konteks Al-Qur’an atau tidak
memiliki dasar yang jelas dalam teks. Oleh karena itu, dalam berbagai persoalan
fiqih, Persis selalu merujuk langsung pada Al-Qur’an sebelum mempertimbangkan
sumber-sumber lainnya.
Misalnya, dalam
persoalan warisan, Persis berpegang teguh pada ayat-ayat dalam Surah
An-Nisa’ yang menjelaskan hukum waris secara rinci. Mereka menolak
praktik-praktik adat yang bertentangan dengan aturan tersebut, seperti
kecenderungan dalam beberapa komunitas yang masih mengutamakan laki-laki dalam
pembagian warisan.²
3.1.2.
Sunnah Shahihah
sebagai Tafsir Praktis terhadap Al-Qur’an
Selain Al-Qur’an,
Persis menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum kedua, dengan syarat bahwa hadits
yang digunakan harus shahih.³ Persis menggunakan metode kritik hadits yang
ketat dalam menentukan validitasnya, serupa
dengan pendekatan yang dilakukan oleh ulama hadits klasik seperti Imam Bukhari
dan Muslim. Hadits-hadits yang dinilai dhaif atau tidak memiliki sanad yang
kuat ditolak sebagai dasar hukum.
Sebagai contoh,
dalam persoalan qunut dalam shalat Subuh, Persis berpendapat bahwa tidak ada
hadits shahih yang mewajibkan qunut secara terus-menerus dalam shalat Subuh.⁴ Oleh karena itu, mereka
tidak mengamalkan doa qunut sebagai bagian dari ibadah wajib, berbeda dengan
praktik mayoritas Muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i.
3.1.3.
Penggunaan Ijtihad
dan Qiyas secara Ketat dan Selektif
Persis mengakui
peran ijtihad dalam menggali hukum Islam, tetapi menekankan bahwa ijtihad harus
dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas keilmuan tinggi dalam ilmu
syariat.⁵ Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan, dan hanya ulama yang
memenuhi syarat tertentu yang berhak berijtihad.
Selain itu, Persis
juga menggunakan qiyas sebagai metode dalam menyelesaikan persoalan fiqih yang
tidak memiliki ketetapan langsung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, qiyas yang digunakan harus memiliki
analogi yang kuat dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip utama Islam.
Sebagai contoh, dalam hukum terkait rokok, Persis menggunakan qiyas dengan ayat
yang melarang konsumsi zat yang merusak tubuh (Surah Al-Baqarah: 195), sehingga
mereka cenderung mengharamkan rokok.⁶
3.2.
Sikap terhadap Mazhab Fiqih Klasik
3.2.1.
Tidak Terikat pada
Satu Mazhab Tertentu
Persis menolak untuk
terikat pada satu mazhab fiqih tertentu. Mereka berpendapat bahwa Islam tidak
membatasi umatnya untuk hanya mengikuti satu mazhab tertentu, tetapi harus
mencari pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil.⁷ Oleh karena itu, dalam beberapa persoalan fiqih, Persis
tidak ragu untuk mengambil pendapat dari mazhab yang berbeda, selama pendapat
tersebut memiliki dasar yang lebih kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Misalnya, dalam tata
cara shalat, Persis tidak secara eksklusif mengikuti mazhab Syafi’i seperti
mayoritas Muslim Indonesia, tetapi juga mengambil pendapat dari mazhab lain, termasuk mazhab Hanbali
dalam beberapa aspek yang mereka anggap lebih sesuai dengan dalil shahih.⁸
3.2.2.
Koreksi terhadap
Pendapat Mazhab yang Dianggap Bertentangan dengan Dalil
Persis bersikap
kritis terhadap pendapat mazhab fiqih yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka tidak segan untuk mengkritik pendapat-pendapat yang menurut mereka hanya
berdasarkan tradisi atau taqlid buta.⁹
Salah satu contoh
kritik Persis terhadap mazhab Syafi’i adalah dalam persoalan niat dalam shalat.
Menurut mazhab Syafi’i, niat harus diucapkan secara lisan, sementara Persis
berpendapat bahwa niat adalah perbuatan hati dan tidak perlu diucapkan karena
tidak ada dalil shahih yang mewajibkan pengucapan niat secara lisan sebelum
shalat.¹⁰
3.3.
Peran Ulama Persis dalam Pembentukan Hukum
Islam
3.3.1.
Peran A. Hassan
dalam Pengembangan Metodologi Ijtihad
A. Hassan adalah
salah satu tokoh kunci dalam pengembangan metodologi ijtihad di Persis. Ia
dikenal sebagai seorang yang memiliki keahlian dalam ilmu fiqih, hadits, dan tafsir.¹¹ Metode yang ia
gunakan dalam menetapkan hukum Islam sangat ketat dan berbasis pada penelitian
dalil yang mendalam.
Dalam berbagai
karyanya, seperti Soal Jawab dan Tafsir
Al-Furqan, A. Hassan menekankan pentingnya ijtihad dalam memahami ajaran Islam dan menolak sikap
pasif dalam mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa kritik.¹²
3.3.2.
Karya-Karya Fiqih
Khas Persis dan Pengaruhnya
Beberapa karya yang
menjadi rujukan dalam fiqih Persis
antara lain:
·
Soal Jawab karya A. Hassan
·
Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan
·
Pedoman Shalat karya ulama Persis
lainnya
Karya-karya ini
memberikan panduan dalam memahami hukum Islam secara lebih mendalam dan menjadi
acuan bagi anggota Persis dalam mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Metodologi ijtihad
dalam fiqih Persis didasarkan pada prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
shahihah, menolak taqlid buta terhadap mazhab, serta mengedepankan analisis
dalil yang ketat dalam menentukan hukum. Persis juga bersikap kritis terhadap
pendapat-pendapat fiqih klasik yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat.
Dengan pendekatan
ini, Persis tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai organisasi Islam yang
berkomitmen terhadap
purifikasi ajaran Islam dan menolak praktik-praktik yang dianggap menyimpang
dari ajaran asli Islam.
Catatan Kaki
[1]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 24.
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 230.
[3]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
(Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 53.
[4]
Ibid., 67.
[5]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam
(Bandung: Persis Press, 1995), 78.
[6]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1995), 130.
[7]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought,
1992), 98.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 112.
[9]
Ibid., 120.
[10]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Wafa, 1995), 3:400.
[11]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia, 102.
[12]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama,
135.
4.
Karakteristik Fiqih Persis dalam Beberapa
Masalah Pokok
4.1.
Fiqih Ibadah
4.1.1.
Penegakan Shalat
Sesuai Dalil Shahih
Persis memiliki
pendekatan fiqih yang
sangat ketat dalam hal shalat, dengan menitikberatkan praktik yang sesuai
dengan dalil shahih dari Al-Qur'an dan Sunnah. Salah satu perbedaannya dengan
mayoritas Muslim Indonesia yang mengikuti
mazhab Syafi'i adalah dalam persoalan qunut Subuh.
Persis berpendapat
bahwa tidak ada hadits shahih yang secara eksplisit mewajibkan qunut dalam
shalat Subuh secara terus-menerus. Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan
qunut kecuali dalam kondisi tertentu, seperti musibah besar (nazilah).¹ Sikap ini didasarkan pada
hadits dari Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw hanya membaca qunut dalam keadaan darurat, bukan sebagai praktik yang
tetap dalam shalat Subuh.²
4.1.2.
Sikap terhadap
Shalat Tarawih dan Bacaan Shalat
Dalam masalah shalat
tarawih, Persis berpegang pada hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat malam
lebih dari 11 rakaat, termasuk witir.
Oleh karena itu, mereka lebih cenderung melaksanakan shalat tarawih sebanyak 8
rakaat, berbeda dengan mayoritas Muslim Indonesia yang menjalankan 20 rakaat
sebagaimana dianjurkan dalam mazhab Syafi’i.³
Selain itu, dalam
bacaan shalat, Persis menekankan pentingnya kembali kepada dalil shahih,
sehingga mereka tidak menggunakan bacaan shalat yang tidak memiliki dasar kuat
dalam hadits. Contohnya, mereka tidak membaca usalli (lafadz
niat shalat secara lisan), karena berpendapat bahwa niat adalah
perbuatan hati yang tidak perlu diucapkan.⁴
4.2.
Fiqih Muamalah
4.2.1.
Prinsip Ekonomi
Islam dalam Pandangan Persis
Dalam aspek ekonomi
Islam, Persis berpegang pada prinsip bahwa semua transaksi harus bebas dari
riba, gharar (ketidakjelasan), dan unsur spekulatif. Mereka menolak segala
bentuk transaksi yang mengandung unsur eksploitasi dan ketidakadilan.⁵
Salah satu contoh
nyata dari prinsip ini adalah sikap Persis terhadap sistem perbankan
konvensional. Persis menilai bahwa bunga bank adalah riba yang
diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah: 275-279. Oleh
karena itu, mereka mengarahkan umat Islam untuk menggunakan lembaga keuangan
syariah yang berbasis bagi hasil (mudharabah) atau sistem lainnya yang bebas
dari riba.⁶
4.2.2.
Sikap terhadap
Asuransi
Dalam hal asuransi,
Persis menolak asuransi konvensional karena mengandung unsur gharar
(ketidakjelasan) dan maysir (spekulasi). Mereka lebih mendukung sistem asuransi
syariah yang berbasis tabarru’ (sumbangan) dan bukan transaksi bisnis yang
mencari keuntungan.⁷
4.3.
Fiqih Politik dan Kenegaraan
4.3.1.
Konsep Kepemimpinan
Islam Menurut Persis
Dalam konsep politik
Islam, Persis berpendapat bahwa kepemimpinan harus berlandaskan pada prinsip
keadilan dan syariat Islam. Persis menolak sistem politik yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, termasuk sistem yang memberikan kebebasan tanpa batas
yang bertentangan dengan hukum syariat.⁸
Misalnya, dalam
pandangannya terhadap demokrasi, Persis tidak menolak konsep musyawarah, tetapi
mereka mengkritik demokrasi dalam bentuknya yang sekuler. Bagi Persis,
kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam agama
dan mampu menegakkan hukum Islam.⁹
4.3.2.
Sikap terhadap
Sistem Hukum di Indonesia
Persis mendorong
penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam aspek yang menyangkut
kehidupan umat Islam, seperti hukum pernikahan, perbankan syariah, dan
peradilan agama. Namun, mereka tidak secara frontal menolak hukum nasional,
tetapi berusaha untuk mengislamisasikannya melalui jalur pendidikan dan
advokasi.¹⁰
4.4.
Fiqih Sosial dan Kemasyarakatan
4.4.1.
Peran Perempuan
dalam Islam Menurut Persis
Persis memiliki
pandangan yang cukup moderat dalam hal peran perempuan dalam Islam. Mereka
tidak menolak perempuan untuk berperan dalam kehidupan publik, termasuk dalam
bidang pendidikan dan ekonomi, selama tetap dalam koridor syariat.¹¹
Namun, Persis
menolak konsep feminisme yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama dalam
hal yang menyangkut kesetaraan gender yang mengabaikan kodrat laki-laki dan
perempuan.¹² Mereka juga menekankan pentingnya hijab bagi perempuan Muslim dan
mengkritik budaya berpakaian yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.
4.4.2.
Pandangan tentang
Budaya dan Adat yang Tidak Sesuai Syariat
Persis sangat kritis
terhadap praktik budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka
menolak ritual-ritual adat yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, seperti selamatan kematian (tahlilan) dan upacara adat yang bercampur
dengan kepercayaan animisme.¹³
Pendekatan ini
membuat Persis sering berseberangan dengan kelompok Islam tradisional yang
lebih menerima unsur budaya dalam praktik keagamaan. Namun, Persis tetap
konsisten dalam menegakkan pemahaman Islam yang mereka yakini berdasarkan dalil
yang kuat.¹⁴
Kesimpulan
Fiqih Persis
memiliki karakteristik yang khas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
ibadah, muamalah, politik, dan sosial. Mereka menekankan kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, menolak praktik yang tidak memiliki dasar
kuat, serta berupaya menerapkan Islam dalam kehidupan modern dengan pendekatan
yang rasional dan berbasis ijtihad.
Pendekatan ini
membuat Persis menjadi salah satu ormas Islam yang berkontribusi dalam
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Meskipun sering mengalami perbedaan
pandangan dengan kelompok lain, Persis tetap berpegang pada prinsip tajdid yang
menjadi ciri khasnya sejak awal berdiri.
Catatan Kaki
[1]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
(Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 67.
[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1959), 3:265.
[3]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 87.
[4]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam
(Bandung: Persis Press, 1995), 92.
[5]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought,
1992), 115.
[6]
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani, 2001), 32.
[7]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1995), 141.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 165.
[9]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama,
78.
[10]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia, 112.
[11]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 278.
[12]
Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in
Islam (New York: St. Martin’s Press, 1992), 54.
[13]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 145.
[14]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih
Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 128.
5.
Implementasi Fiqih Persis dalam Konteks
Kontemporer
5.1.
Tantangan dalam Mengamalkan Fiqih Persis
5.1.1.
Polemik Internal dan
Eksternal terhadap Pemikiran Fiqih Persis
Persatuan Islam
(Persis) menghadapi berbagai tantangan dalam mengamalkan fiqihnya, baik dari
dalam organisasi sendiri maupun dari kelompok Islam lain di Indonesia. Sikapnya
yang cenderung ketat dalam menyeleksi dalil
dan menolak taqlid buta sering kali berbenturan dengan komunitas Muslim yang
masih berpegang teguh pada mazhab Syafi’i.¹
Secara internal,
tantangan utama Persis adalah mempertahankan komitmen terhadap metodologi
ijtihad yang berbasis dalil yang kuat di tengah munculnya berbagai pemikiran
baru dalam dunia Islam. Beberapa kalangan di dalam Persis sendiri mulai terbuka
terhadap pendekatan fiqih yang lebih moderat, terutama dalam menghadapi
persoalan kontemporer yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab klasik.²
Secara eksternal,
Persis sering berhadapan dengan kritik dari kelompok Islam tradisionalis yang
menilai pendekatan mereka terlalu kaku dan kurang mempertimbangkan aspek
kemasyarakatan dalam berfatwa.³ Perbedaan tajam dalam hal ibadah
(qunut, tahlilan, maulid, dll.), serta sikap
kritis terhadap tarekat dan sufisme, sering kali menjadi sumber
ketegangan dengan kelompok lain seperti Nahdlatul Ulama (NU).⁴
5.1.2.
Tantangan
Globalisasi dan Sekularisme
Dalam era
globalisasi, Persis juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas
fiqihnya di tengah masuknya nilai-nilai sekuler yang semakin
mendominasi kehidupan sosial dan politik. Globalisasi membawa berbagai
pemikiran yang bertentangan dengan konsep Islam yang diusung oleh Persis,
seperti liberalisme agama, feminisme radikal, dan
konsep HAM Barat yang tidak selalu sesuai dengan hukum Islam.⁵
Persis tetap
bersikap kritis terhadap ide-ide Barat,
terutama dalam hal pernikahan, gender, ekonomi, dan sistem politik,
yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.⁶ Namun, dalam beberapa aspek,
mereka mulai beradaptasi dengan teknologi dan perkembangan
ilmu pengetahuan modern untuk mendukung dakwah dan pendidikan.
5.2.
Upaya Persis dalam Mempertahankan
Prinsip-Prinsip Fiqihnya
5.2.1.
Pendidikan dan
Kaderisasi Ulama
Salah satu strategi
utama Persis dalam mempertahankan prinsip fiqihnya adalah melalui pendidikan
dan kaderisasi ulama. Persis memiliki jaringan pendidikan yang
luas, mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi Islam, yang menjadi pusat
pengajaran fiqih khas mereka.⁷
Di antara lembaga
pendidikan yang memainkan peran penting adalah Universitas Persatuan Islam dan
Pesantren
Persis yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Lembaga-lembaga ini bertujuan mencetak kader-kader ulama yang memiliki
pemahaman yang kuat terhadap metodologi ijtihad yang dianut oleh Persis.⁸
5.2.2.
Penerbitan Buku dan
Literasi Keislaman
Persis juga aktif
dalam menerbitkan berbagai buku dan jurnal keislaman yang memperkuat
argumentasi fiqih mereka. Sejak zaman A. Hassan, Persis sudah dikenal sebagai
organisasi yang kuat dalam argumentasi tertulis melalui
penerbitan buku, majalah, dan buletin. Salah satu penerbit utama yang masih
aktif adalah Pustaka Persis, yang
menerbitkan karya-karya tentang fiqih, tafsir, dan pemikiran Islam.⁹
Beberapa karya monumental
yang sering menjadi referensi dalam Persis antara lain:
·
Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
– Ahmad Hassan
·
Tafsir Al-Furqan – Ahmad Hassan
·
Pedoman Shalat – Karya ulama Persis
lainnya
Melalui penerbitan
ini, Persis tidak hanya mempertahankan metodologi fiqihnya tetapi juga
menyebarkannya kepada generasi muda Muslim di Indonesia.
5.2.3.
Pemanfaatan
Teknologi dalam Dakwah dan Penyebaran Pemikiran Fiqih
Dalam menghadapi
tantangan era digital, Persis mulai menggunakan media sosial, website, dan platform digital
lainnya untuk menyebarkan pemikiran mereka. Situs web resmi,
kanal YouTube, dan berbagai forum online digunakan untuk menyampaikan kajian
keislaman berdasarkan metodologi Persis.¹⁰
Pemanfaatan
teknologi ini bertujuan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang
sering kali muncul di tengah umat Islam, seperti:
·
Hukum cryptocurrency dalam
Islam
·
Fatwa tentang fintech dan
perbankan syariah
·
Sikap terhadap fenomena
hijrah di media sosial
Dengan adanya digitalisasi
dakwah, Persis mampu menjangkau generasi muda yang lebih akrab
dengan teknologi, sekaligus menjawab berbagai tantangan
baru yang tidak ada pada zaman pendiriannya.
Kesimpulan
Implementasi fiqih
khas Persis dalam konteks kontemporer menghadapi berbagai tantangan, baik dari
sisi internal maupun eksternal. Tantangan utama datang dari perbedaan pandangan
dengan kelompok Islam tradisionalis, serta masuknya pemikiran sekuler dan
liberal yang semakin menguat di era globalisasi.
Namun, Persis tetap
konsisten dalam mempertahankan prinsip-prinsip fiqihnya melalui pendidikan,
penerbitan buku, dan pemanfaatan teknologi dalam dakwah. Dengan pendekatan ini,
Persis tidak hanya mempertahankan warisan metodologi ijtihadnya, tetapi juga
beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk tetap relevan dalam kehidupan umat
Islam saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 108.
[2]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 250.
[3]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam
(Bandung: Persis Press, 1995), 134.
[4]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1995), 158.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 172.
[6]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought,
1992), 120.
[7]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia, 134.
[8]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
(Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 187.
[9]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam,
140.
[10]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, 268.
6.
Kesimpulan
Fiqih khas Persatuan Islam (Persis) merupakan salah
satu bentuk pemikiran Islam yang bercirikan kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih, menolak taqlid buta terhadap mazhab, serta mengutamakan
ijtihad dalam menetapkan hukum Islam. Sikap ini menjadikan Persis memiliki
corak fiqih yang berbeda dibandingkan dengan mayoritas umat Islam di Indonesia
yang lebih banyak mengikuti mazhab Syafi’i secara turun-temurun.
Dari pembahasan dalam artikel ini, dapat
disimpulkan beberapa poin utama mengenai fiqih khas Persis, yaitu:
6.1.
Karakteristik Utama Fiqih Persis
Persis memiliki prinsip pemurnian ajaran Islam,
yang menekankan bahwa ibadah dan muamalah
harus berlandaskan dalil yang shahih.ⁱ Sikap ini terlihat dalam beberapa
praktik ibadah yang mereka lakukan, seperti menolak qunut dalam shalat
Subuh, membatasi shalat tarawih pada 8 rakaat, serta menolak praktik tahlilan
dan maulid nabi yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam Sunnah.²
Selain itu, dalam bidang muamalah, Persis
menekankan larangan riba dan unsur spekulatif dalam transaksi ekonomi.
Mereka mendukung penerapan ekonomi Islam berbasis akad syariah, serta
menolak sistem perbankan konvensional yang dianggap bertentangan dengan
prinsip ekonomi Islam.³
Dalam konteks politik, Persis menegaskan bahwa sistem
kepemimpinan harus berlandaskan syariat Islam. Mereka tidak menolak
demokrasi secara keseluruhan, tetapi menolak
konsep demokrasi yang bertentangan dengan hukum Islam.⁴
6.2.
Metodologi Ijtihad dalam Fiqih Persis
Persis menekankan pentingnya ijtihad dalam
memahami dan menetapkan hukum Islam. Metodologi ijtihad yang digunakan oleh Persis berfokus pada:
·
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam
·
Sunnah yang shahih sebagai tafsir praktis terhadap Al-Qur’an
·
Penggunaan qiyas yang selektif dan hati-hati dalam masalah-masalah baru
·
Menolak taqlid buta terhadap mazhab fiqih tertentu
Pendekatan ini menjadikan Persis sebagai salah satu
organisasi Islam reformis di Indonesia yang lebih fleksibel dalam menafsirkan hukum Islam berdasarkan konteks
zaman, selama tetap berpegang teguh pada dalil.⁵
6.3.
Implementasi Fiqih Persis dalam Konteks
Kontemporer
Di era modern, Persis menghadapi tantangan besar dalam mengamalkan fiqihnya.
Tantangan tersebut datang dari perbedaan pandangan dengan kelompok Islam
tradisionalis, serta dari pengaruh sekularisme dan liberalisme dalam
kehidupan sosial dan politik.⁶
Untuk mempertahankan prinsip fiqihnya, Persis melakukan berbagai upaya,
seperti:
·
Membangun sistem pendidikan Islam berbasis metodologi ijtihad melalui pesantren dan universitas Persis
·
Menerbitkan buku dan literatur keislaman yang memperkuat argumentasi fiqih mereka
·
Memanfaatkan teknologi digital dalam dakwah dan kajian keislaman agar dapat menjangkau generasi muda
Muslim⁷
Pendekatan ini memungkinkan Persis tetap bertahan sebagai salah satu
organisasi Islam berpengaruh di Indonesia, meskipun menghadapi berbagai tantangan
modern.
6.4.
Relevansi Fiqih Persis dalam Kehidupan Umat
Islam di Indonesia
Fiqih khas Persis tetap memiliki relevansi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia,
terutama bagi mereka yang menginginkan pendekatan Islam yang lebih rasional,
kritis, dan berbasis dalil yang kuat. Sikap mereka yang menolak budaya
Islam yang dianggap bid’ah sering kali menjadi perdebatan, tetapi di sisi
lain juga memberikan alternatif dalam memahami Islam secara lebih tekstual
dan sistematis.⁸
Ke depan, fiqih Persis akan tetap mengalami
tantangan dan perkembangan. Dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih, serta mampu beradaptasi dengan realitas sosial yang
berkembang, Persis dapat terus berkontribusi dalam membentuk pemikiran
Islam di Indonesia.
Dengan demikian, artikel ini telah membahas secara
komprehensif tentang sejarah, metodologi, dan implementasi fiqih khas Persis,
serta relevansinya dalam kehidupan umat Islam. Kajian lebih lanjut dapat
dilakukan dengan melihat bagaimana perspektif
fiqih Persis dalam menghadapi isu-isu kontemporer, seperti hukum digital,
ekonomi berbasis kripto, dan pengaruh globalisasi terhadap syariat Islam.
Catatan Kaki
[1]
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic
Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
1970), 78.
[2]
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 95.
[3]
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 40.
[4]
Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications
for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic
Thought, 1992), 110.
[5]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 280.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 175.
[7]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 162.
[8]
Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih
Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 140.
Daftar Pustaka
Azra, A. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.
Engineer, A. A. (1992). The rights of women in
Islam. New York: St. Martin’s Press.
Faruqi, I. A. (1992). Al-Tawhid: Its
implications for thought and life. Herndon, VA: International Institute of
Islamic Thought.
Federspiel, H. M. (1970). Persatuan Islam:
Islamic reform in twentieth-century Indonesia. Ithaca: Cornell University
Press.
Hassan, A. (1983). Soal jawab tentang berbagai
masalah agama. Bandung: Pustaka Tarbiyah.
Hajar al-Asqalani, I. (1959). Fathul Bari.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Madjid, N. (1995). Islam, kemodernan, dan
keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Syafi’i Antonio, M. (2001). Bank syariah dari
teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani.
Taimiyyah, I. (1995). Majmu’ al-Fatawa.
Riyadh: Dar al-Wafa.
Ahmad, D. (1995). Metode pemikiran fiqih
Persatuan Islam. Bandung: Persis Press.
Lampiran: Daftar Kitab Rujukan Pemikiran Khas Persatuan Islam (Persis)
Berikut adalah daftar kitab yang menjadi rujukan
utama dalam pemikiran fiqih khas Persatuan Islam (Persis), beserta penulis, masa
hidup, dan pokok pembahasannya:
1)
Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama
Penulis: Ahmad
Hassan (1887–1958)
Pokok Pembahasan: Buku ini
berisi tanya-jawab tentang berbagai masalah fiqih, aqidah, dan muamalah yang
dijawab berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Buku ini menjadi pedoman
utama dalam pemahaman keislaman khas Persis, yang menekankan rasionalitas dan
penolakan terhadap praktik yang dianggap bid’ah.
2)
Tafsir Al-Furqan
Penulis: Ahmad
Hassan (1887–1958)
Pokok Pembahasan: Tafsir
Al-Qur’an yang disusun berdasarkan pendekatan tekstual dengan penekanan pada
pemurnian ajaran Islam. Tafsir ini menyoroti berbagai ayat yang berkaitan
dengan hukum Islam, ibadah, serta bantahan terhadap praktik-praktik yang
dianggap menyimpang dari Sunnah.
3)
Pedoman Shalat
Penulis: Ulama
Persis
Pokok Pembahasan: Buku ini
memberikan panduan tentang cara melaksanakan shalat berdasarkan dalil dari
hadits-hadits shahih. Dalam buku ini, Persis menegaskan bahwa niat tidak
perlu diucapkan secara lisan, qunut tidak wajib dalam shalat Subuh, dan shalat
tarawih sebaiknya dikerjakan delapan rakaat sesuai dengan sunnah Rasulullah
SAW.
4)
Al-Islam
Penulis: A. Hassan
(1887–1958)
Pokok Pembahasan: Buku ini
membahas prinsip dasar Islam yang terdiri dari akidah, ibadah, dan muamalah
dengan pendekatan tajdid (pembaruan). Di dalamnya juga terdapat penolakan
terhadap ajaran yang dianggap bertentangan dengan dalil shahih, seperti tarekat
dan sufisme yang bercampur dengan unsur bid’ah.
5)
Al-Mizan fi Tamyiz al-Haqq wa al-Batil
Penulis: Ahmad
Hassan (1887–1958)
Pokok Pembahasan: Buku ini
merupakan karya polemik yang membandingkan dalil-dalil fiqih yang digunakan
oleh berbagai mazhab Islam. Dalam buku ini, Ahmad Hassan memberikan argumentasi
mengapa Persis lebih memilih untuk tidak terikat pada mazhab tertentu dan lebih
mengutamakan dalil yang paling kuat.
6)
Tajdid Islam
Penulis: Isa Anshary
(1916–1969)
Pokok Pembahasan: Buku ini
membahas tentang konsep pembaruan Islam (tajdid) yang menjadi dasar
gerakan Persis. Di dalamnya dijelaskan bagaimana umat Islam harus kembali
kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dengan menghindari takhayul, khurafat, dan
bid’ah yang berkembang dalam masyarakat.
7)
Risalah Tauhid
Penulis: Isa Anshary
(1916–1969)
Pokok Pembahasan: Buku ini
membahas konsep tauhid yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Penulis
menolak konsep-konsep tauhid yang bercampur dengan unsur mistik dan filsafat
yang dianggap tidak memiliki dasar dalam Islam.
8)
Islam dan Demokrasi
Penulis: Isa Anshary
(1916–1969)
Pokok Pembahasan: Buku ini
membahas pandangan Persis terhadap sistem politik modern, khususnya demokrasi.
Isa Anshary menjelaskan bahwa Islam tidak menolak demokrasi, tetapi menolak
demokrasi sekuler yang bertentangan dengan prinsip syariat. Buku ini juga
menekankan pentingnya kepemimpinan Islam yang berbasis pada hukum Allah.
9)
Al-Hidayah fi Usul al-Fiqh
Penulis: Ulama
Persis
Pokok Pembahasan: Kitab ini
membahas tentang prinsip-prinsip usul fiqih yang menjadi dasar dalam
pengambilan hukum Islam dalam Persis. Buku ini menegaskan pentingnya ijtihad
yang berbasis pada dalil, serta menolak taqlid buta terhadap mazhab fiqih
tertentu.
10)
Risalah Haji dan Umrah
Penulis: Ulama
Persis
Pokok Pembahasan: Buku ini
menjelaskan tata cara pelaksanaan haji dan umrah sesuai dengan dalil shahih.
Persis menekankan pentingnya mengikuti tata cara ibadah haji yang sesuai dengan
sunnah Rasulullah SAW dan menolak ritual tambahan yang tidak memiliki dasar
yang jelas dalam Islam.
11)
Islam dan Sosialisme
Penulis: Isa Anshary
(1916–1969)
Pokok Pembahasan: Buku ini
membahas kritik terhadap ideologi sosialisme dari perspektif Islam. Isa Anshary
berpendapat bahwa Islam memiliki sistem ekonomi dan keadilan sosial sendiri
yang lebih baik dibandingkan sosialisme maupun kapitalisme.
12)
Fiqih Sunnah
Penulis: Muhammad
Asad (1900–1992)
Pokok Pembahasan: Buku ini
sering dijadikan referensi oleh ulama Persis dalam memahami fiqih berbasis
dalil shahih. Buku ini membahas berbagai aspek hukum Islam dengan pendekatan
langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat pada satu mazhab tertentu.
13)
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
Penulis: Ibn Hazm
(994–1064 M)
Pokok Pembahasan: Kitab ini
membahas usul fiqih dengan pendekatan zahiriyah, yang menekankan pada makna
literal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pemikiran dalam kitab ini sering dikutip
dalam pembahasan fiqih oleh ulama Persis, terutama dalam hal ijtihad dan
kritik terhadap taqlid mazhab.
14)
Kitab Tauhid
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahhab (1703–1792 M)
Pokok Pembahasan: Kitab ini
membahas konsep tauhid yang murni dan pentingnya menjauhi segala bentuk
kesyirikan dan bid’ah. Kitab ini memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran
akidah dan fiqih Persis, yang menolak berbagai bentuk kultus individu dan
praktik ibadah yang tidak memiliki dasar dalam Sunnah.
15)
Mukhtashar Sahih al-Bukhari
Penulis: Imam
Al-Bukhari (810–870 M)
Pokok Pembahasan: Kitab
hadits shahih yang menjadi rujukan utama dalam memahami sunnah Nabi SAW. Persis
menggunakan kitab ini dalam menyeleksi dalil-dalil yang mereka gunakan dalam
berfatwa dan menentukan hukum Islam.
Kesimpulan
Kitab-kitab di atas menjadi dasar dalam membentuk pemikiran
fiqih khas Persis, yang menekankan pemurnian Islam, tajdid, dan
penolakan terhadap taqlid buta. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan Sunnah shahih, serta memanfaatkan warisan pemikiran dari para ulama
reformis, Persis terus mempertahankan metodologi fiqihnya di tengah tantangan
zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar