Kamis, 13 Februari 2025

Fiqih IV: Fiqih Persatuan Islam (Persis)

Fiqih Persatuan Islam (Persis)

Landasan, Metodologi, dan Implementasi dalam Kehidupan Umat


Alihkan ke: Fiqih, Ushul Fiqh, Masa'il Al-FiqhiyahFiqih NU, Fiqih Muhammadiyah.


Abstrak

Fiqih khas Persatuan Islam (Persis) merupakan bentuk pemikiran Islam yang menekankan pemurnian ajaran agama dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, serta menolak taqlid buta terhadap mazhab. Artikel ini membahas secara mendalam tentang sejarah, metodologi ijtihad, karakteristik fiqih, serta implementasi fiqih Persis dalam konteks kontemporer. Persis memiliki metodologi fiqih yang khas, yaitu mengutamakan ijtihad berbasis dalil, mengkritisi praktik keagamaan yang tidak memiliki landasan kuat, serta memilih hukum berdasarkan pendekatan yang paling mendekati dalil Al-Qur’an dan Hadits shahih.

Dalam berbagai aspek kehidupan, Persis mengadopsi pendekatan fiqih yang ketat dan rasional, termasuk dalam ibadah, muamalah, politik, dan sosial. Mereka menolak praktik keagamaan yang dianggap bid’ah, seperti tahlilan dan maulid nabi, serta mendukung penerapan ekonomi Islam yang berbasis syariah. Dalam konteks politik, Persis menolak demokrasi sekuler tetapi tetap mengakui pentingnya musyawarah dalam kepemimpinan Islam.

Namun, implementasi fiqih Persis menghadapi tantangan dalam menghadapi pluralitas pemikiran Islam di Indonesia, globalisasi, serta pengaruh ideologi sekuler dan liberalisme. Untuk mempertahankan prinsip fiqihnya, Persis aktif dalam pendidikan, penerbitan literatur keislaman, serta pemanfaatan teknologi digital dalam dakwah. Dengan pendekatan ini, Persis tetap relevan dalam membimbing umat Islam di Indonesia dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam berdasarkan dalil yang kuat.

Kata Kunci: Fiqih Persis, Metodologi Ijtihad, Reformasi Islam, Taqlid, Tajdid, Al-Qur’an dan Sunnah, Implementasi Fiqih, Ormas Islam, Pemurnian Islam.


PEMBAHASAN

Landasan, Metodologi, dan Implementasi Fiqih Persis


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Munculnya Ormas Persatuan Islam (Persis)

Persatuan Islam (Persis) adalah salah satu organisasi Islam yang berperan penting dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh para tokoh pembaharu Islam seperti Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, dengan tujuan untuk memperbaiki pemahaman keislaman masyarakat berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits yang shahih serta menolak praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam kedua sumber utama tersebut.¹ Persis menekankan pentingnya tajdid (pembaruan) dalam pemikiran Islam, sebagaimana dipelopori oleh gerakan-gerakan reformis di dunia Islam, seperti pemikiran Muhammad Abduh dan Rashid Rida di Mesir.²

Sebagai organisasi Islam yang lahir dalam konteks kolonialisme Belanda, Persis mengadopsi pendekatan yang lebih intelektual dan berbasis pada argumentasi dalil dalam dakwah dan perjuangannya. Berbeda dengan organisasi Islam lain yang cenderung mengikuti mazhab tertentu, Persis menolak taqlid buta terhadap mazhab fiqih dan mengutamakan pendekatan ijtihad berbasis Al-Qur'an dan Sunnah.³ Sikap ini menyebabkan Persis sering kali berbeda pandangan dengan organisasi Islam lainnya dalam beberapa aspek hukum Islam, terutama dalam masalah ibadah dan muamalah.

1.2.       Karakteristik Fiqih Khas Persis dalam Konstelasi Pemikiran Islam di Indonesia

Fiqih khas Persis memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari fiqih yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Karakteristik ini antara lain:

1)                  Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah

Persis menegaskan bahwa dalam memahami hukum Islam, sumber utama yang harus dipegang adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek hukum Islam, Persis sering kali berbeda pandangan dengan mayoritas Muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i secara turun-temurun.⁴

2)                  Menolak Taqlid Buta dan Mengutamakan Ijtihad

Persis menekankan pentingnya ijtihad dalam menggali hukum Islam dan menolak praktik taqlid buta terhadap pendapat ulama terdahulu. Hal ini membuat Persis sering bersikap kritis terhadap berbagai amalan tradisional yang berkembang di masyarakat, seperti tahlilan, maulid nabi, dan doa bersama yang dianggap tidak memiliki dasar kuat dalam Sunnah.⁵

3)                  Mengedepankan Rasionalitas dalam Beragama

Dalam berbagai fatwa dan kajian keagamaannya, Persis menekankan rasionalitas dan kritik ilmiah terhadap berbagai pemikiran keislaman. Hal ini sejalan dengan tradisi pemikiran Islam modernis yang berkembang di Timur Tengah, seperti yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Rida.⁶

4)                  Pendekatan Kritis terhadap Mazhab Fiqih

Berbeda dengan NU yang secara tradisional mengikuti mazhab Syafi’i atau Muhammadiyah yang cenderung mengikuti mazhab Hanbali dalam pendekatan fiqihnya, Persis tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu. Sebaliknya, organisasi ini lebih memilih untuk mengadopsi pendapat-pendapat dari berbagai mazhab yang dianggap paling kuat berdasarkan dalil.⁷

1.3.       Tujuan Penulisan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konsep fiqih khas yang dikembangkan oleh Persis, mulai dari landasan pemikirannya, metodologi ijtihad yang digunakan, hingga implementasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan akademis yang berbasis pada sumber-sumber referensi yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana Persis membangun konsep fiqihnya dan bagaimana pendekatan ini diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan umat.

Selain itu, artikel ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang dinamika pemikiran Islam di Indonesia, khususnya mengenai bagaimana organisasi seperti Persis berusaha mempertahankan kemurnian ajaran Islam di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam kajian akademik terkait perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dan relevansi konsep fiqih Persis dalam konteks kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 17.

[2]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 215.

[3]                Ahmad Hasan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 45.

[4]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 58.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 129.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 89.

[7]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 67.


2.           Sejarah dan Karakteristik Persis dalam Pemikiran Fiqih

2.1.       Sejarah Singkat Persis

2.1.1.    Latar Belakang Berdirinya Persis

Persatuan Islam (Persis) didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Organisasi ini lahir sebagai respons terhadap kondisi umat Islam Indonesia yang dinilai masih banyak terjebak dalam praktik keagamaan yang tidak berbasis pada Al-Qur’an dan Hadits.¹ Persis hadir sebagai gerakan reformasi Islam yang menekankan pentingnya tajdid (pembaruan) dalam pemahaman agama serta menolak praktik-praktik yang dianggap bid’ah.

Kemunculan Persis dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam yang berkembang di Timur Tengah, khususnya pemikiran Muhammad Abduh dan Rashid Rida.² Persis juga dipengaruhi oleh pemikiran Salafi yang menekankan purifikasi ajaran Islam. Dalam konteks Indonesia, Persis memiliki kesamaan visi dengan Muhammadiyah dalam aspek pemurnian ajaran Islam, namun dengan pendekatan yang lebih ketat dan argumentatif dalam persoalan fiqih.³

2.1.2.    Peran Tokoh-Tokoh Persis dalam Pengembangan Fiqih

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan fiqih khas Persis adalah A. Hassan (1887–1958).⁴ A. Hassan dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman mendalam terhadap ilmu fiqih dan tafsir serta dikenal sebagai polemis yang tajam dalam diskusi keagamaan.⁵ Karya-karya A. Hassan, seperti Soal Jawab dan Tafsir Al-Furqan, menjadi rujukan utama dalam pemikiran keislaman di Persis.

Selain A. Hassan, ada beberapa tokoh penting lainnya dalam Persis, seperti Ahmad Djunaedi, Isa Anshary, dan Mohammad Natsir.⁶ Mereka memainkan peran signifikan dalam menyebarkan pemikiran fiqih Persis, baik melalui pendidikan, literatur, maupun debat keagamaan dengan kelompok lain di Indonesia.

2.2.       Prinsip-Prinsip Dasar dalam Fiqih Persis

Persis memiliki prinsip dasar dalam memahami fiqih yang membedakannya dari organisasi Islam lainnya di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

2.2.1.    Pemurnian Akidah dan Ibadah Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Persis menekankan bahwa akidah dan ibadah harus berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih. Mereka menolak amalan yang tidak memiliki dasar dalam dua sumber utama tersebut.⁷ Oleh karena itu, dalam praktik ibadah, Persis sering kali berbeda dengan mayoritas Muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i. Beberapa perbedaan yang mencolok antara lain:

·                     Shalat Tarawih:

Persis lebih cenderung mengamalkan shalat tarawih 8 rakaat berdasarkan Hadits Aisyah dalam Shahih Bukhari, berbeda dengan kebiasaan masyarakat yang mengamalkan 20 rakaat.⁸

·                     Tahlilan dan Maulid Nabi:

Persis menganggap bahwa praktik ini tidak memiliki dasar kuat dalam Sunnah dan menolaknya sebagai bagian dari ajaran Islam.⁹

2.2.2.    Menolak Taqlid Buta dan Mengutamakan Ijtihad

Salah satu ciri khas fiqih Persis adalah penolakannya terhadap taqlid buta terhadap mazhab tertentu. Menurut Persis, umat Islam harus berusaha memahami dalil secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits.¹⁰ Oleh karena itu, Persis tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu, melainkan memilih pendapat yang dianggap lebih kuat berdasarkan dalil.

Pendekatan ini mengacu pada pemikiran ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang juga mengutamakan pemahaman langsung terhadap teks-teks suci.¹¹

2.2.3.    Sikap Kritis terhadap Mazhab Fiqih Klasik

Berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang secara tradisional mengikuti mazhab Syafi’i, Persis memilih untuk tidak mengikatkan diri pada satu mazhab fiqih tertentu.¹² Mereka lebih menekankan kajian langsung terhadap dalil dan memilih pendapat yang dianggap paling kuat.

Misalnya, dalam persoalan wudhu, Persis cenderung mengikuti pendapat yang mewajibkan mengusap seluruh kepala berdasarkan Hadits yang lebih kuat, meskipun pendapat ini tidak sejalan dengan mazhab Syafi’i.¹³

2.2.4.    Rasionalitas dalam Beragama

Persis juga menekankan pentingnya rasionalitas dalam beragama. Mereka tidak hanya sekadar menerima pendapat ulama terdahulu, tetapi juga mempertimbangkan logika dan argumentasi dalam memahami hukum Islam.¹⁴

Pendekatan ini membuat Persis sering kali terlibat dalam polemik keagamaan dengan kelompok lain yang lebih tradisional. Namun, mereka berargumen bahwa pendekatan ini adalah bentuk komitmen terhadap prinsip tajdid dalam Islam.¹⁵


Kesimpulan

Sejarah dan karakteristik fiqih Persis menunjukkan bahwa organisasi ini berusaha untuk mengembalikan pemahaman Islam kepada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan menolak taqlid buta dan mengutamakan ijtihad, Persis memiliki pendekatan fiqih yang berbeda dari mayoritas umat Islam di Indonesia.

Meskipun sering kali mendapatkan tantangan dari kelompok Islam lain, pemikiran fiqih Persis tetap berkembang dan memiliki pengaruh signifikan dalam wacana keislaman di Indonesia. Tokoh-tokoh seperti A. Hassan dan Isa Anshary memainkan peran penting dalam menyebarkan ide-ide fiqih Persis, baik melalui dakwah maupun literatur.

Dalam bab selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai metodologi ijtihad dalam fiqih Persis dan bagaimana pendekatan ini diterapkan dalam berbagai aspek hukum Islam.


Catatan Kaki

[1]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 17.

[2]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 215.

[3]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 32.

[4]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 12.

[5]                M. Syafi’i Antonio, Mengenal A. Hassan dan Pemikiran Fiqihnya (Jakarta: Gema Insani, 2001), 45.

[6]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 98.

[7]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam, 56.

[8]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, 89.

[9]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 134.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 110.

[11]             Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Wafa, 1995), 3:400.

[12]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, 250.

[13]             Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, 92.

[14]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, 140.

[15]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, 145.


3.           Metodologi Ijtihad dalam Fiqih Persis

3.1.       Pendekatan dalam Menentukan Hukum

3.1.1.    Al-Qur’an sebagai Sumber Utama Hukum

Persatuan Islam (Persis) memegang prinsip bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama dalam menetapkan hukum Islam. Pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir yang berbasis dalil-dalil yang kuat dan rasional.¹ Persis menolak interpretasi yang dianggap tidak sesuai dengan konteks Al-Qur’an atau tidak memiliki dasar yang jelas dalam teks. Oleh karena itu, dalam berbagai persoalan fiqih, Persis selalu merujuk langsung pada Al-Qur’an sebelum mempertimbangkan sumber-sumber lainnya.

Misalnya, dalam persoalan warisan, Persis berpegang teguh pada ayat-ayat dalam Surah An-Nisa’ yang menjelaskan hukum waris secara rinci. Mereka menolak praktik-praktik adat yang bertentangan dengan aturan tersebut, seperti kecenderungan dalam beberapa komunitas yang masih mengutamakan laki-laki dalam pembagian warisan.²

3.1.2.    Sunnah Shahihah sebagai Tafsir Praktis terhadap Al-Qur’an

Selain Al-Qur’an, Persis menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum kedua, dengan syarat bahwa hadits yang digunakan harus shahih.³ Persis menggunakan metode kritik hadits yang ketat dalam menentukan validitasnya, serupa dengan pendekatan yang dilakukan oleh ulama hadits klasik seperti Imam Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits yang dinilai dhaif atau tidak memiliki sanad yang kuat ditolak sebagai dasar hukum.

Sebagai contoh, dalam persoalan qunut dalam shalat Subuh, Persis berpendapat bahwa tidak ada hadits shahih yang mewajibkan qunut secara terus-menerus dalam shalat Subuh.⁴ Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan doa qunut sebagai bagian dari ibadah wajib, berbeda dengan praktik mayoritas Muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i.

3.1.3.    Penggunaan Ijtihad dan Qiyas secara Ketat dan Selektif

Persis mengakui peran ijtihad dalam menggali hukum Islam, tetapi menekankan bahwa ijtihad harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas keilmuan tinggi dalam ilmu syariat.⁵ Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan, dan hanya ulama yang memenuhi syarat tertentu yang berhak berijtihad.

Selain itu, Persis juga menggunakan qiyas sebagai metode dalam menyelesaikan persoalan fiqih yang tidak memiliki ketetapan langsung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, qiyas yang digunakan harus memiliki analogi yang kuat dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip utama Islam. Sebagai contoh, dalam hukum terkait rokok, Persis menggunakan qiyas dengan ayat yang melarang konsumsi zat yang merusak tubuh (Surah Al-Baqarah: 195), sehingga mereka cenderung mengharamkan rokok.⁶

3.2.       Sikap terhadap Mazhab Fiqih Klasik

3.2.1.    Tidak Terikat pada Satu Mazhab Tertentu

Persis menolak untuk terikat pada satu mazhab fiqih tertentu. Mereka berpendapat bahwa Islam tidak membatasi umatnya untuk hanya mengikuti satu mazhab tertentu, tetapi harus mencari pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil.⁷ Oleh karena itu, dalam beberapa persoalan fiqih, Persis tidak ragu untuk mengambil pendapat dari mazhab yang berbeda, selama pendapat tersebut memiliki dasar yang lebih kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Misalnya, dalam tata cara shalat, Persis tidak secara eksklusif mengikuti mazhab Syafi’i seperti mayoritas Muslim Indonesia, tetapi juga mengambil pendapat dari mazhab lain, termasuk mazhab Hanbali dalam beberapa aspek yang mereka anggap lebih sesuai dengan dalil shahih.⁸

3.2.2.    Koreksi terhadap Pendapat Mazhab yang Dianggap Bertentangan dengan Dalil

Persis bersikap kritis terhadap pendapat mazhab fiqih yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tidak segan untuk mengkritik pendapat-pendapat yang menurut mereka hanya berdasarkan tradisi atau taqlid buta.⁹

Salah satu contoh kritik Persis terhadap mazhab Syafi’i adalah dalam persoalan niat dalam shalat. Menurut mazhab Syafi’i, niat harus diucapkan secara lisan, sementara Persis berpendapat bahwa niat adalah perbuatan hati dan tidak perlu diucapkan karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan pengucapan niat secara lisan sebelum shalat.¹⁰

3.3.       Peran Ulama Persis dalam Pembentukan Hukum Islam

3.3.1.    Peran A. Hassan dalam Pengembangan Metodologi Ijtihad

A. Hassan adalah salah satu tokoh kunci dalam pengembangan metodologi ijtihad di Persis. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki keahlian dalam ilmu fiqih, hadits, dan tafsir.¹¹ Metode yang ia gunakan dalam menetapkan hukum Islam sangat ketat dan berbasis pada penelitian dalil yang mendalam.

Dalam berbagai karyanya, seperti Soal Jawab dan Tafsir Al-Furqan, A. Hassan menekankan pentingnya ijtihad dalam memahami ajaran Islam dan menolak sikap pasif dalam mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa kritik.¹²

3.3.2.    Karya-Karya Fiqih Khas Persis dan Pengaruhnya

Beberapa karya yang menjadi rujukan dalam fiqih Persis antara lain:

·                     Soal Jawab karya A. Hassan

·                     Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan

·                     Pedoman Shalat karya ulama Persis lainnya

Karya-karya ini memberikan panduan dalam memahami hukum Islam secara lebih mendalam dan menjadi acuan bagi anggota Persis dalam mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari.


Kesimpulan

Metodologi ijtihad dalam fiqih Persis didasarkan pada prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah shahihah, menolak taqlid buta terhadap mazhab, serta mengedepankan analisis dalil yang ketat dalam menentukan hukum. Persis juga bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat fiqih klasik yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat.

Dengan pendekatan ini, Persis tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai organisasi Islam yang berkomitmen terhadap purifikasi ajaran Islam dan menolak praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari ajaran asli Islam.


Catatan Kaki

[1]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 24.

[2]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 230.

[3]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 53.

[4]                Ibid., 67.

[5]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 78.

[6]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 130.

[7]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 98.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 112.

[9]                Ibid., 120.

[10]             Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Wafa, 1995), 3:400.

[11]             Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, 102.

[12]             Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, 135.


4.           Karakteristik Fiqih Persis dalam Beberapa Masalah Pokok

4.1.       Fiqih Ibadah

4.1.1.    Penegakan Shalat Sesuai Dalil Shahih

Persis memiliki pendekatan fiqih yang sangat ketat dalam hal shalat, dengan menitikberatkan praktik yang sesuai dengan dalil shahih dari Al-Qur'an dan Sunnah. Salah satu perbedaannya dengan mayoritas Muslim Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi'i adalah dalam persoalan qunut Subuh.

Persis berpendapat bahwa tidak ada hadits shahih yang secara eksplisit mewajibkan qunut dalam shalat Subuh secara terus-menerus. Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan qunut kecuali dalam kondisi tertentu, seperti musibah besar (nazilah).¹ Sikap ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw hanya membaca qunut dalam keadaan darurat, bukan sebagai praktik yang tetap dalam shalat Subuh.²

4.1.2.    Sikap terhadap Shalat Tarawih dan Bacaan Shalat

Dalam masalah shalat tarawih, Persis berpegang pada hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat, termasuk witir. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung melaksanakan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, berbeda dengan mayoritas Muslim Indonesia yang menjalankan 20 rakaat sebagaimana dianjurkan dalam mazhab Syafi’i.³

Selain itu, dalam bacaan shalat, Persis menekankan pentingnya kembali kepada dalil shahih, sehingga mereka tidak menggunakan bacaan shalat yang tidak memiliki dasar kuat dalam hadits. Contohnya, mereka tidak membaca usalli (lafadz niat shalat secara lisan), karena berpendapat bahwa niat adalah perbuatan hati yang tidak perlu diucapkan.⁴

4.2.       Fiqih Muamalah

4.2.1.    Prinsip Ekonomi Islam dalam Pandangan Persis

Dalam aspek ekonomi Islam, Persis berpegang pada prinsip bahwa semua transaksi harus bebas dari riba, gharar (ketidakjelasan), dan unsur spekulatif. Mereka menolak segala bentuk transaksi yang mengandung unsur eksploitasi dan ketidakadilan.⁵

Salah satu contoh nyata dari prinsip ini adalah sikap Persis terhadap sistem perbankan konvensional. Persis menilai bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah: 275-279. Oleh karena itu, mereka mengarahkan umat Islam untuk menggunakan lembaga keuangan syariah yang berbasis bagi hasil (mudharabah) atau sistem lainnya yang bebas dari riba.⁶

4.2.2.    Sikap terhadap Asuransi

Dalam hal asuransi, Persis menolak asuransi konvensional karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dan maysir (spekulasi). Mereka lebih mendukung sistem asuransi syariah yang berbasis tabarru’ (sumbangan) dan bukan transaksi bisnis yang mencari keuntungan.⁷

4.3.       Fiqih Politik dan Kenegaraan

4.3.1.    Konsep Kepemimpinan Islam Menurut Persis

Dalam konsep politik Islam, Persis berpendapat bahwa kepemimpinan harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan syariat Islam. Persis menolak sistem politik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, termasuk sistem yang memberikan kebebasan tanpa batas yang bertentangan dengan hukum syariat.⁸

Misalnya, dalam pandangannya terhadap demokrasi, Persis tidak menolak konsep musyawarah, tetapi mereka mengkritik demokrasi dalam bentuknya yang sekuler. Bagi Persis, kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam agama dan mampu menegakkan hukum Islam.⁹

4.3.2.    Sikap terhadap Sistem Hukum di Indonesia

Persis mendorong penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam aspek yang menyangkut kehidupan umat Islam, seperti hukum pernikahan, perbankan syariah, dan peradilan agama. Namun, mereka tidak secara frontal menolak hukum nasional, tetapi berusaha untuk mengislamisasikannya melalui jalur pendidikan dan advokasi.¹⁰

4.4.       Fiqih Sosial dan Kemasyarakatan

4.4.1.    Peran Perempuan dalam Islam Menurut Persis

Persis memiliki pandangan yang cukup moderat dalam hal peran perempuan dalam Islam. Mereka tidak menolak perempuan untuk berperan dalam kehidupan publik, termasuk dalam bidang pendidikan dan ekonomi, selama tetap dalam koridor syariat.¹¹

Namun, Persis menolak konsep feminisme yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama dalam hal yang menyangkut kesetaraan gender yang mengabaikan kodrat laki-laki dan perempuan.¹² Mereka juga menekankan pentingnya hijab bagi perempuan Muslim dan mengkritik budaya berpakaian yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.

4.4.2.    Pandangan tentang Budaya dan Adat yang Tidak Sesuai Syariat

Persis sangat kritis terhadap praktik budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka menolak ritual-ritual adat yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti selamatan kematian (tahlilan) dan upacara adat yang bercampur dengan kepercayaan animisme.¹³

Pendekatan ini membuat Persis sering berseberangan dengan kelompok Islam tradisional yang lebih menerima unsur budaya dalam praktik keagamaan. Namun, Persis tetap konsisten dalam menegakkan pemahaman Islam yang mereka yakini berdasarkan dalil yang kuat.¹⁴


Kesimpulan

Fiqih Persis memiliki karakteristik yang khas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, muamalah, politik, dan sosial. Mereka menekankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, menolak praktik yang tidak memiliki dasar kuat, serta berupaya menerapkan Islam dalam kehidupan modern dengan pendekatan yang rasional dan berbasis ijtihad.

Pendekatan ini membuat Persis menjadi salah satu ormas Islam yang berkontribusi dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Meskipun sering mengalami perbedaan pandangan dengan kelompok lain, Persis tetap berpegang pada prinsip tajdid yang menjadi ciri khasnya sejak awal berdiri.


Catatan Kaki

[1]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 67.

[2]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 3:265.

[3]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 87.

[4]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 92.

[5]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 115.

[6]                M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 32.

[7]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 141.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 165.

[9]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, 78.

[10]             Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, 112.

[11]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 278.

[12]             Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (New York: St. Martin’s Press, 1992), 54.

[13]             Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 145.

[14]             Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 128.


5.           Implementasi Fiqih Persis dalam Konteks Kontemporer

5.1.       Tantangan dalam Mengamalkan Fiqih Persis

5.1.1.    Polemik Internal dan Eksternal terhadap Pemikiran Fiqih Persis

Persatuan Islam (Persis) menghadapi berbagai tantangan dalam mengamalkan fiqihnya, baik dari dalam organisasi sendiri maupun dari kelompok Islam lain di Indonesia. Sikapnya yang cenderung ketat dalam menyeleksi dalil dan menolak taqlid buta sering kali berbenturan dengan komunitas Muslim yang masih berpegang teguh pada mazhab Syafi’i.¹

Secara internal, tantangan utama Persis adalah mempertahankan komitmen terhadap metodologi ijtihad yang berbasis dalil yang kuat di tengah munculnya berbagai pemikiran baru dalam dunia Islam. Beberapa kalangan di dalam Persis sendiri mulai terbuka terhadap pendekatan fiqih yang lebih moderat, terutama dalam menghadapi persoalan kontemporer yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab klasik.²

Secara eksternal, Persis sering berhadapan dengan kritik dari kelompok Islam tradisionalis yang menilai pendekatan mereka terlalu kaku dan kurang mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dalam berfatwa.³ Perbedaan tajam dalam hal ibadah (qunut, tahlilan, maulid, dll.), serta sikap kritis terhadap tarekat dan sufisme, sering kali menjadi sumber ketegangan dengan kelompok lain seperti Nahdlatul Ulama (NU).⁴

5.1.2.    Tantangan Globalisasi dan Sekularisme

Dalam era globalisasi, Persis juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas fiqihnya di tengah masuknya nilai-nilai sekuler yang semakin mendominasi kehidupan sosial dan politik. Globalisasi membawa berbagai pemikiran yang bertentangan dengan konsep Islam yang diusung oleh Persis, seperti liberalisme agama, feminisme radikal, dan konsep HAM Barat yang tidak selalu sesuai dengan hukum Islam.⁵

Persis tetap bersikap kritis terhadap ide-ide Barat, terutama dalam hal pernikahan, gender, ekonomi, dan sistem politik, yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.⁶ Namun, dalam beberapa aspek, mereka mulai beradaptasi dengan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan modern untuk mendukung dakwah dan pendidikan.

5.2.       Upaya Persis dalam Mempertahankan Prinsip-Prinsip Fiqihnya

5.2.1.    Pendidikan dan Kaderisasi Ulama

Salah satu strategi utama Persis dalam mempertahankan prinsip fiqihnya adalah melalui pendidikan dan kaderisasi ulama. Persis memiliki jaringan pendidikan yang luas, mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi Islam, yang menjadi pusat pengajaran fiqih khas mereka.⁷

Di antara lembaga pendidikan yang memainkan peran penting adalah Universitas Persatuan Islam dan Pesantren Persis yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga ini bertujuan mencetak kader-kader ulama yang memiliki pemahaman yang kuat terhadap metodologi ijtihad yang dianut oleh Persis.⁸

5.2.2.    Penerbitan Buku dan Literasi Keislaman

Persis juga aktif dalam menerbitkan berbagai buku dan jurnal keislaman yang memperkuat argumentasi fiqih mereka. Sejak zaman A. Hassan, Persis sudah dikenal sebagai organisasi yang kuat dalam argumentasi tertulis melalui penerbitan buku, majalah, dan buletin. Salah satu penerbit utama yang masih aktif adalah Pustaka Persis, yang menerbitkan karya-karya tentang fiqih, tafsir, dan pemikiran Islam.⁹

Beberapa karya monumental yang sering menjadi referensi dalam Persis antara lain:

·                     Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama – Ahmad Hassan

·                     Tafsir Al-Furqan – Ahmad Hassan

·                     Pedoman Shalat – Karya ulama Persis lainnya

Melalui penerbitan ini, Persis tidak hanya mempertahankan metodologi fiqihnya tetapi juga menyebarkannya kepada generasi muda Muslim di Indonesia.

5.2.3.    Pemanfaatan Teknologi dalam Dakwah dan Penyebaran Pemikiran Fiqih

Dalam menghadapi tantangan era digital, Persis mulai menggunakan media sosial, website, dan platform digital lainnya untuk menyebarkan pemikiran mereka. Situs web resmi, kanal YouTube, dan berbagai forum online digunakan untuk menyampaikan kajian keislaman berdasarkan metodologi Persis.¹⁰

Pemanfaatan teknologi ini bertujuan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang sering kali muncul di tengah umat Islam, seperti:

·                     Hukum cryptocurrency dalam Islam

·                     Fatwa tentang fintech dan perbankan syariah

·                     Sikap terhadap fenomena hijrah di media sosial

Dengan adanya digitalisasi dakwah, Persis mampu menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi, sekaligus menjawab berbagai tantangan baru yang tidak ada pada zaman pendiriannya.


Kesimpulan

Implementasi fiqih khas Persis dalam konteks kontemporer menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi internal maupun eksternal. Tantangan utama datang dari perbedaan pandangan dengan kelompok Islam tradisionalis, serta masuknya pemikiran sekuler dan liberal yang semakin menguat di era globalisasi.

Namun, Persis tetap konsisten dalam mempertahankan prinsip-prinsip fiqihnya melalui pendidikan, penerbitan buku, dan pemanfaatan teknologi dalam dakwah. Dengan pendekatan ini, Persis tidak hanya mempertahankan warisan metodologi ijtihadnya, tetapi juga beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk tetap relevan dalam kehidupan umat Islam saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 108.

[2]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 250.

[3]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 134.

[4]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 158.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 172.

[6]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 120.

[7]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, 134.

[8]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 187.

[9]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam, 140.

[10]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, 268.


6.           Kesimpulan

Fiqih khas Persatuan Islam (Persis) merupakan salah satu bentuk pemikiran Islam yang bercirikan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, menolak taqlid buta terhadap mazhab, serta mengutamakan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam. Sikap ini menjadikan Persis memiliki corak fiqih yang berbeda dibandingkan dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang lebih banyak mengikuti mazhab Syafi’i secara turun-temurun.

Dari pembahasan dalam artikel ini, dapat disimpulkan beberapa poin utama mengenai fiqih khas Persis, yaitu:

6.1.       Karakteristik Utama Fiqih Persis

Persis memiliki prinsip pemurnian ajaran Islam, yang menekankan bahwa ibadah dan muamalah harus berlandaskan dalil yang shahih.ⁱ Sikap ini terlihat dalam beberapa praktik ibadah yang mereka lakukan, seperti menolak qunut dalam shalat Subuh, membatasi shalat tarawih pada 8 rakaat, serta menolak praktik tahlilan dan maulid nabi yang dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam Sunnah.²

Selain itu, dalam bidang muamalah, Persis menekankan larangan riba dan unsur spekulatif dalam transaksi ekonomi. Mereka mendukung penerapan ekonomi Islam berbasis akad syariah, serta menolak sistem perbankan konvensional yang dianggap bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.³

Dalam konteks politik, Persis menegaskan bahwa sistem kepemimpinan harus berlandaskan syariat Islam. Mereka tidak menolak demokrasi secara keseluruhan, tetapi menolak konsep demokrasi yang bertentangan dengan hukum Islam.⁴

6.2.       Metodologi Ijtihad dalam Fiqih Persis

Persis menekankan pentingnya ijtihad dalam memahami dan menetapkan hukum Islam. Metodologi ijtihad yang digunakan oleh Persis berfokus pada:

·                     Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam

·                     Sunnah yang shahih sebagai tafsir praktis terhadap Al-Qur’an

·                     Penggunaan qiyas yang selektif dan hati-hati dalam masalah-masalah baru

·                     Menolak taqlid buta terhadap mazhab fiqih tertentu

Pendekatan ini menjadikan Persis sebagai salah satu organisasi Islam reformis di Indonesia yang lebih fleksibel dalam menafsirkan hukum Islam berdasarkan konteks zaman, selama tetap berpegang teguh pada dalil.⁵

6.3.       Implementasi Fiqih Persis dalam Konteks Kontemporer

Di era modern, Persis menghadapi tantangan besar dalam mengamalkan fiqihnya. Tantangan tersebut datang dari perbedaan pandangan dengan kelompok Islam tradisionalis, serta dari pengaruh sekularisme dan liberalisme dalam kehidupan sosial dan politik.⁶

Untuk mempertahankan prinsip fiqihnya, Persis melakukan berbagai upaya, seperti:

·                     Membangun sistem pendidikan Islam berbasis metodologi ijtihad melalui pesantren dan universitas Persis

·                     Menerbitkan buku dan literatur keislaman yang memperkuat argumentasi fiqih mereka

·                     Memanfaatkan teknologi digital dalam dakwah dan kajian keislaman agar dapat menjangkau generasi muda Muslim⁷

Pendekatan ini memungkinkan Persis tetap bertahan sebagai salah satu organisasi Islam berpengaruh di Indonesia, meskipun menghadapi berbagai tantangan modern.

6.4.       Relevansi Fiqih Persis dalam Kehidupan Umat Islam di Indonesia

Fiqih khas Persis tetap memiliki relevansi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, terutama bagi mereka yang menginginkan pendekatan Islam yang lebih rasional, kritis, dan berbasis dalil yang kuat. Sikap mereka yang menolak budaya Islam yang dianggap bid’ah sering kali menjadi perdebatan, tetapi di sisi lain juga memberikan alternatif dalam memahami Islam secara lebih tekstual dan sistematis.⁸

Ke depan, fiqih Persis akan tetap mengalami tantangan dan perkembangan. Dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, serta mampu beradaptasi dengan realitas sosial yang berkembang, Persis dapat terus berkontribusi dalam membentuk pemikiran Islam di Indonesia.

Dengan demikian, artikel ini telah membahas secara komprehensif tentang sejarah, metodologi, dan implementasi fiqih khas Persis, serta relevansinya dalam kehidupan umat Islam. Kajian lebih lanjut dapat dilakukan dengan melihat bagaimana perspektif fiqih Persis dalam menghadapi isu-isu kontemporer, seperti hukum digital, ekonomi berbasis kripto, dan pengaruh globalisasi terhadap syariat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 78.

[2]                Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Pustaka Tarbiyah, 1983), 95.

[3]                M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 40.

[4]                Ismail Al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought, 1992), 110.

[5]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2004), 280.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 175.

[7]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 162.

[8]                Djamaludin Ahmad, Metode Pemikiran Fiqih Persatuan Islam (Bandung: Persis Press, 1995), 140.


Daftar Pustaka

Azra, A. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana.

Engineer, A. A. (1992). The rights of women in Islam. New York: St. Martin’s Press.

Faruqi, I. A. (1992). Al-Tawhid: Its implications for thought and life. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.

Federspiel, H. M. (1970). Persatuan Islam: Islamic reform in twentieth-century Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Hassan, A. (1983). Soal jawab tentang berbagai masalah agama. Bandung: Pustaka Tarbiyah.

Hajar al-Asqalani, I. (1959). Fathul Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Madjid, N. (1995). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Syafi’i Antonio, M. (2001). Bank syariah dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani.

Taimiyyah, I. (1995). Majmu’ al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Wafa.

Ahmad, D. (1995). Metode pemikiran fiqih Persatuan Islam. Bandung: Persis Press.


Lampiran: Daftar Kitab Rujukan Pemikiran Khas Persatuan Islam (Persis)

Berikut adalah daftar kitab yang menjadi rujukan utama dalam pemikiran fiqih khas Persatuan Islam (Persis), beserta penulis, masa hidup, dan pokok pembahasannya:

1)                 Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama

Penulis: Ahmad Hassan (1887–1958)

Pokok Pembahasan: Buku ini berisi tanya-jawab tentang berbagai masalah fiqih, aqidah, dan muamalah yang dijawab berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Buku ini menjadi pedoman utama dalam pemahaman keislaman khas Persis, yang menekankan rasionalitas dan penolakan terhadap praktik yang dianggap bid’ah.

2)                 Tafsir Al-Furqan

Penulis: Ahmad Hassan (1887–1958)

Pokok Pembahasan: Tafsir Al-Qur’an yang disusun berdasarkan pendekatan tekstual dengan penekanan pada pemurnian ajaran Islam. Tafsir ini menyoroti berbagai ayat yang berkaitan dengan hukum Islam, ibadah, serta bantahan terhadap praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari Sunnah.

3)                 Pedoman Shalat

Penulis: Ulama Persis

Pokok Pembahasan: Buku ini memberikan panduan tentang cara melaksanakan shalat berdasarkan dalil dari hadits-hadits shahih. Dalam buku ini, Persis menegaskan bahwa niat tidak perlu diucapkan secara lisan, qunut tidak wajib dalam shalat Subuh, dan shalat tarawih sebaiknya dikerjakan delapan rakaat sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.

4)                 Al-Islam

Penulis: A. Hassan (1887–1958)

Pokok Pembahasan: Buku ini membahas prinsip dasar Islam yang terdiri dari akidah, ibadah, dan muamalah dengan pendekatan tajdid (pembaruan). Di dalamnya juga terdapat penolakan terhadap ajaran yang dianggap bertentangan dengan dalil shahih, seperti tarekat dan sufisme yang bercampur dengan unsur bid’ah.

5)                 Al-Mizan fi Tamyiz al-Haqq wa al-Batil

Penulis: Ahmad Hassan (1887–1958)

Pokok Pembahasan: Buku ini merupakan karya polemik yang membandingkan dalil-dalil fiqih yang digunakan oleh berbagai mazhab Islam. Dalam buku ini, Ahmad Hassan memberikan argumentasi mengapa Persis lebih memilih untuk tidak terikat pada mazhab tertentu dan lebih mengutamakan dalil yang paling kuat.

6)                 Tajdid Islam

Penulis: Isa Anshary (1916–1969)

Pokok Pembahasan: Buku ini membahas tentang konsep pembaruan Islam (tajdid) yang menjadi dasar gerakan Persis. Di dalamnya dijelaskan bagaimana umat Islam harus kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dengan menghindari takhayul, khurafat, dan bid’ah yang berkembang dalam masyarakat.

7)                 Risalah Tauhid

Penulis: Isa Anshary (1916–1969)

Pokok Pembahasan: Buku ini membahas konsep tauhid yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Penulis menolak konsep-konsep tauhid yang bercampur dengan unsur mistik dan filsafat yang dianggap tidak memiliki dasar dalam Islam.

8)                 Islam dan Demokrasi

Penulis: Isa Anshary (1916–1969)

Pokok Pembahasan: Buku ini membahas pandangan Persis terhadap sistem politik modern, khususnya demokrasi. Isa Anshary menjelaskan bahwa Islam tidak menolak demokrasi, tetapi menolak demokrasi sekuler yang bertentangan dengan prinsip syariat. Buku ini juga menekankan pentingnya kepemimpinan Islam yang berbasis pada hukum Allah.

9)                 Al-Hidayah fi Usul al-Fiqh

Penulis: Ulama Persis

Pokok Pembahasan: Kitab ini membahas tentang prinsip-prinsip usul fiqih yang menjadi dasar dalam pengambilan hukum Islam dalam Persis. Buku ini menegaskan pentingnya ijtihad yang berbasis pada dalil, serta menolak taqlid buta terhadap mazhab fiqih tertentu.

10)             Risalah Haji dan Umrah

Penulis: Ulama Persis

Pokok Pembahasan: Buku ini menjelaskan tata cara pelaksanaan haji dan umrah sesuai dengan dalil shahih. Persis menekankan pentingnya mengikuti tata cara ibadah haji yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dan menolak ritual tambahan yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam Islam.

11)             Islam dan Sosialisme

Penulis: Isa Anshary (1916–1969)

Pokok Pembahasan: Buku ini membahas kritik terhadap ideologi sosialisme dari perspektif Islam. Isa Anshary berpendapat bahwa Islam memiliki sistem ekonomi dan keadilan sosial sendiri yang lebih baik dibandingkan sosialisme maupun kapitalisme.

12)             Fiqih Sunnah

Penulis: Muhammad Asad (1900–1992)

Pokok Pembahasan: Buku ini sering dijadikan referensi oleh ulama Persis dalam memahami fiqih berbasis dalil shahih. Buku ini membahas berbagai aspek hukum Islam dengan pendekatan langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat pada satu mazhab tertentu.

13)             Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam

Penulis: Ibn Hazm (994–1064 M)

Pokok Pembahasan: Kitab ini membahas usul fiqih dengan pendekatan zahiriyah, yang menekankan pada makna literal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pemikiran dalam kitab ini sering dikutip dalam pembahasan fiqih oleh ulama Persis, terutama dalam hal ijtihad dan kritik terhadap taqlid mazhab.

14)             Kitab Tauhid

Penulis: Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792 M)

Pokok Pembahasan: Kitab ini membahas konsep tauhid yang murni dan pentingnya menjauhi segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Kitab ini memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran akidah dan fiqih Persis, yang menolak berbagai bentuk kultus individu dan praktik ibadah yang tidak memiliki dasar dalam Sunnah.

15)             Mukhtashar Sahih al-Bukhari

Penulis: Imam Al-Bukhari (810–870 M)

Pokok Pembahasan: Kitab hadits shahih yang menjadi rujukan utama dalam memahami sunnah Nabi SAW. Persis menggunakan kitab ini dalam menyeleksi dalil-dalil yang mereka gunakan dalam berfatwa dan menentukan hukum Islam.


Kesimpulan

Kitab-kitab di atas menjadi dasar dalam membentuk pemikiran fiqih khas Persis, yang menekankan pemurnian Islam, tajdid, dan penolakan terhadap taqlid buta. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah shahih, serta memanfaatkan warisan pemikiran dari para ulama reformis, Persis terus mempertahankan metodologi fiqihnya di tengah tantangan zaman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar