Senin, 17 Februari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 10 Bab 10: Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an

Kajian Komprehensif Berdasarkan Kitab-Kitab Ulumul Hadits dan Kitab Hadits Induk


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 10 (Sepuluh)


Abstrak

Artikel ini membahas fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an berdasarkan kajian kitab-kitab Ulumul Hadits dan kitab Hadits induk. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Hadits berperan dalam menjelaskan, merinci, dan melengkapi hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an. Melalui metode penelitian kepustakaan (library research), artikel ini mengkaji berbagai referensi dari kitab-kitab Hadits utama seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, serta pandangan para ulama klasik dan kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hadits memiliki lima fungsi utama terhadap Al-Qur'an: (1) sebagai penjelas ayat-ayat yang bersifat global (bayan tafsir), (2) sebagai pembatas atau pengecualian hukum yang bersifat umum (bayan takhshish), (3) sebagai perinci hukum-hukum yang hanya disebutkan secara garis besar dalam Al-Qur'an (bayan tafshil), (4) sebagai penetap hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an (bayan istiqra'), serta (5) dalam beberapa kasus, sebagai hukum yang menghapus atau mengganti hukum dalam Al-Qur'an (naskh wa mansukh). Namun, terdapat tantangan dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an, di antaranya kritik terhadap otoritas Hadits, validitas sanad, hermeneutika modern, serta relevansi Hadits dalam konteks kehidupan kontemporer. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang seimbang antara metode klasik dan modern dalam studi Hadits. Artikel ini merekomendasikan penguatan studi ilmu Hadits dalam pendidikan Islam, pengembangan metode pemahaman Hadits yang kontekstual, serta pemanfaatan teknologi dalam penyebaran ilmu Hadits.

Kata Kunci: Hadits, Al-Qur'an, Ulumul Hadits, Kitab Hadits Induk, Bayan Tafsir, Bayan Takhshish, Bayan Tafshil, Naskh wa Mansukh, Kritik Hadits, Hermeneutika Islam.


PEMBAHASAN

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an


1.           Pendahuluan

Hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits dalam Islam memiliki posisi yang sangat fundamental. Al-Qur'an sebagai firman Allah Swt merupakan pedoman utama umat Islam dalam segala aspek kehidupan, sedangkan Hadits, sebagai sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw, berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap dari kandungan Al-Qur'an. Dalam memahami ajaran Islam secara menyeluruh, tidak cukup hanya merujuk pada Al-Qur'an, tetapi juga membutuhkan Hadits untuk memberikan detail dan implementasi praktis dari hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur'an.

1.1.       Latar Belakang

Islam merupakan agama yang bersumber pada dua rujukan utama, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an disebut sebagai "hudan lil muttaqin" (petunjuk bagi orang-orang bertakwa), sementara Hadits memainkan peran signifikan dalam menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global atau membutuhkan rincian lebih lanjut. Dalam Al-Qur'an sendiri ditegaskan pentingnya menaati Rasulullah Saw, sebagaimana firman-Nya:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ

"Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah." (QS. An-Nisa [04] ayat 80).

Ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah perpanjangan dari ketaatan kepada Allah Swt. Hal ini memberikan landasan bahwa Hadits memiliki otoritas yang kuat dalam memberikan penjelasan terhadap Al-Qur'an.

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk menggali fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an secara komprehensif dengan meninjau berbagai pandangan ulama klasik dan modern. Kajian ini didasarkan pada kitab-kitab Ulumul Hadits dan kitab Hadits induk seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab lain yang relevan. Dengan pendekatan ini, diharapkan artikel ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana Hadits berperan dalam menjelaskan, memperinci, dan menerapkan hukum-hukum dalam Al-Qur'an secara praktis.

1.3.       Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam artikel ini adalah kajian literatur dengan pendekatan deskriptif-analitis. Artikel ini mengandalkan sumber primer seperti kitab Hadits induk dan kitab Ulumul Hadits, serta karya-karya ulama terkemuka seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi'i dan Tadrib Al-Rawi karya Imam Suyuthi. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembahasan didasarkan pada data otoritatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1.4.       Relevansi Kajian

Pemahaman yang mendalam tentang fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an sangat relevan dalam konteks pendidikan Islam saat ini. Sebagai umat Islam yang ingin memahami hukum-hukum agama secara utuh, mengetahui peran Hadits dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an menjadi suatu kebutuhan mendesak. Oleh karena itu, artikel ini diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi para akademisi, pendidik, dan pelajar yang ingin mendalami hubungan Al-Qur'an dan Hadits.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 80.

[2]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), 17.

[3]                Imam Suyuthi, Tadrib Al-Rawi, ed. Abdul Wahhab Abdul Latif (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), 25.

[4]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kayfa Nata`amul Ma'a As-Sunnah, (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), 31.

[5]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Ilmu, Hadits No. 71.

[6]                Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Iman, Hadits No. 89.


2.           Pengantar Hubungan Al-Qur'an dan Hadits

2.1.       Definisi Al-Qur'an dan Hadits

Dalam Islam, Al-Qur'an dan Hadits merupakan dua sumber hukum utama yang menjadi pedoman bagi kehidupan umat Muslim. Al-Qur'an adalah kitab suci yang berisi wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dan menjadi pedoman utama dalam kehidupan umat Islam. Wahyu ini terjaga dalam bentuk tulisan dan hafalan, serta dijamin keasliannya oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami pula yang akan menjaganya." (QS. Al-Hijr [15] ayat 9).¹

Sementara itu, Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau.² Hadits memiliki peran sebagai penjelas dan pelengkap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Imam An-Nawawi mendefinisikan Hadits sebagai:

_"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau."_³

Hadits kemudian dikodifikasi dalam berbagai kitab oleh para ulama, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan lainnya.

2.2.       Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber Utama

Al-Qur'an memiliki kedudukan tertinggi dalam hukum Islam. Sebagai kitab suci yang bersifat final, Al-Qur'an menjadi pedoman utama dalam setiap aspek kehidupan umat Islam. Allah Swt berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagai penjelas segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl [16] ayat 89).⁴

Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an berfungsi sebagai sumber utama hukum Islam. Namun, dalam banyak hal, Al-Qur'an hanya menyampaikan prinsip-prinsip dasar dan aturan umum yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang salah satunya dilakukan melalui Hadits Nabi Saw. Imam Syafi'i dalam Ar-Risalah menegaskan bahwa Sunnah Rasulullah Saw memiliki otoritas dalam menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum.⁵

2.3.       Peran Hadits sebagai Penjelas Al-Qur'an

Hadits berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global atau membutuhkan perincian lebih lanjut. Fungsi ini disebut dengan bayan tafsir, di mana Hadits memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap kandungan Al-Qur'an.⁶ Contoh peran Hadits dalam menjelaskan ayat Al-Qur'an adalah dalam tata cara shalat. Al-Qur'an hanya memerintahkan untuk mendirikan shalat, sebagaimana dalam firman Allah Swt:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, serta ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 43).⁷

Namun, bagaimana cara melaksanakan shalat, jumlah rakaat, dan bacaan dalam shalat tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Hadits Nabi Saw kemudian memberikan rincian tentang tata cara shalat, sebagaimana sabda beliau:

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”.

_"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."_⁸

Contoh lain adalah perintah zakat dalam Al-Qur'an, tetapi ketentuan nisab dan kadar zakat dijelaskan melalui Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memahami Islam secara utuh memerlukan pemahaman terhadap Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

2.4.       Dalil Kewajiban Mengikuti Hadits

Kewajiban mengikuti Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Di antaranya adalah firman Allah Swt:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).⁹

Ayat ini menunjukkan bahwa segala perintah dan larangan Rasulullah Saw wajib diikuti oleh umat Islam. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw:

عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.

_"Ketahuilah! Sesungguhnya aku telah diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang semisalnya bersamanya."_¹⁰

Hadits ini menunjukkan bahwa selain Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw juga diberikan wahyu dalam bentuk Sunnah yang menjadi bagian dari hukum Islam.


Kesimpulan

Al-Qur'an dan Hadits memiliki hubungan yang erat dalam membentuk hukum Islam. Al-Qur'an sebagai sumber utama memberikan prinsip dasar, sementara Hadits berfungsi sebagai penjelas, perinci, dan pelengkap dari kandungan Al-Qur'an. Oleh karena itu, memahami Islam tidak bisa hanya dengan merujuk pada Al-Qur'an semata, tetapi juga harus didukung oleh pemahaman terhadap Hadits Nabi Saw. Dalam kajian hukum Islam, ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Malik menegaskan bahwa Hadits memiliki otoritas dalam menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.

[2]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Ilmu, Hadits No. 71.

[3]                Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.

[4]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 89.

[5]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 19.

[6]                Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 25.

[7]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.

[8]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab Ash-Shalah, Hadits No. 733.

[9]                Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [59] ayat 7.

[10]             Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab Al-Ilm, Hadits No. 2664.


3.           Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an

Hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits tidak hanya bersifat pelengkap, tetapi juga bersifat integratif dalam membangun hukum Islam. Hadits berfungsi sebagai penjelas, perinci, dan penyempurna dari kandungan Al-Qur'an. Fungsi ini telah dikaji oleh para ulama dalam berbagai kitab Ulumul Hadits dan kitab-kitab Hadits induk. Dalam bab ini, akan dibahas secara mendalam bagaimana Hadits berfungsi terhadap Al-Qur'an berdasarkan sumber-sumber yang kredibel.

3.1.       Menjelaskan Ayat-Ayat yang Bersifat Global (Tafsir)

Salah satu fungsi utama Hadits adalah menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum atau global (ijmal). Terkadang, Al-Qur'an menyebutkan suatu perintah tanpa memberikan rincian teknis, sehingga membutuhkan Hadits untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.¹

Sebagai contoh, perintah shalat dalam Al-Qur'an disebutkan dalam berbagai ayat, seperti:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 43).²

Namun, ayat ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana tata cara shalat yang benar, jumlah rakaatnya, bacaan dalam shalat, serta aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu, Hadits memberikan rincian mengenai cara pelaksanaan shalat, sebagaimana dalam sabda Nabi Saw:

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”.

_"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."_³

Hadits ini menjadi dasar bahwa tata cara shalat yang benar harus mengacu pada praktik yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

3.2.       Menjelaskan Ayat-Ayat yang Bersifat Umum (Takhshish)

Dalam beberapa kasus, Hadits berfungsi untuk mengkhususkan (takhshish) hukum yang disebutkan dalam Al-Qur'an secara umum (‘aam). Ini berarti bahwa suatu hukum yang tampaknya berlaku untuk semua orang atau semua keadaan dalam Al-Qur'an dapat dikonfirmasi atau dikecualikan oleh Hadits.⁴

Contohnya adalah ayat tentang larangan memakan bangkai:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah." (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3).⁵

Ayat ini tampak melarang segala bentuk bangkai. Namun, Hadits kemudian mengecualikan dua jenis bangkai yang boleh dikonsumsi, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ”.

_" Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa."_⁶

Hadits ini berfungsi sebagai takhshish terhadap ayat Al-Qur'an, menunjukkan bahwa tidak semua bangkai dilarang.

3.3.       Memberikan Penjelasan Terperinci (Tafshil)

Fungsi Hadits berikutnya adalah memberikan perincian (tafshil) terhadap hukum-hukum dalam Al-Qur'an yang disebutkan secara ringkas. Salah satu contoh yang terkenal adalah hukum tentang warisan.

Dalam Al-Qur'an, terdapat ayat yang mengatur pembagian warisan:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan." (QS. An-Nisa [04] ayat 11).⁷

Namun, ayat ini tidak menjelaskan bagaimana pembagian warisan dalam kasus tertentu, seperti jika seorang yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki, atau jika ia hanya memiliki saudara. Hadits Nabi Saw memberikan rincian lebih lanjut mengenai pembagian warisan bagi ahli waris tertentu, sebagaimana dalam sabdanya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.

_"Berikanlah bagian warisan kepada pemilik haknya, kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat (hubungan nasabnya)."_⁸

Hadits ini memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana pembagian warisan harus dilakukan dalam kasus-kasus khusus yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.

3.4.       Menyatakan Hukum Baru yang Tidak Disebutkan Secara Langsung dalam Al-Qur'an (Istiqra')

Dalam beberapa situasi, Hadits memberikan hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi tetap berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an. Ini disebut sebagai istiqra' atau penggalian hukum melalui ijtihad Rasulullah Saw.⁹

Sebagai contoh, larangan menikahi seorang wanita bersamaan dengan bibinya (dari pihak ayah atau ibu) tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur'an, tetapi disebutkan dalam Hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا عَلَى خَالَتِهَا”.

_"Tidak boleh seorang wanita dinikahi bersama dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu."_¹⁰

Hadits ini memberikan tambahan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tetapi sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hubungan keluarga yang telah ditetapkan dalam Islam.

3.5.       Menghapus atau Menasakh Ketentuan Al-Qur'an (Naskh wa Mansukh)

Fungsi terakhir Hadits terhadap Al-Qur'an adalah dalam konteks naskh wa mansukh (penghapusan hukum sebelumnya dengan hukum yang baru). Dalam beberapa kasus, Hadits bisa mengganti atau mengklarifikasi hukum yang disebutkan dalam Al-Qur'an.¹¹

Contohnya adalah mengenai hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah. Dalam Al-Qur'an, hukuman bagi pezina disebutkan sebagai cambuk:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ 

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera." (QS. An-Nur [24] ayat 2).¹²

Namun, Hadits Nabi Saw menetapkan bahwa untuk pezina yang sudah menikah, hukumannya adalah rajam, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَخُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا: الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ الرَّجْمُ”.

_"Ambillah (hukum) dariku, ambillah (hukum) dariku! Allah telah menetapkan jalan bagi mereka: perawan dengan perawan dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah dirajam."_¹³

Hadits ini berfungsi untuk memperjelas bahwa hukuman rajam berlaku bagi pezina yang sudah menikah, sedangkan hukuman cambuk berlaku bagi yang belum menikah.


Kesimpulan

Hadits memiliki peran yang sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan bahkan dalam beberapa kasus, menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim dalam mengamalkan ajaran Islam secara komprehensif.


Catatan Kaki

[1]                Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 27.

[2]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.

[3]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.

[4]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 25.

[5]                Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-At'imah, Hadits No. 3802.

[7]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 11.

[8]                Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Faraidh, Hadits No. 1615.

[9]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kayfa Nata`amul Ma'a As-Sunnah (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 47.

[10]             At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab An-Nikah, Hadits No. 1084.

[11]             Abu Ubaid Al-Qasim, An-Nasikh wal-Mansukh (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 78.

[12]             Al-Qur'an, QS. An-Nur [24] ayat 2.

[13]             Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Hudud, Hadits No. 1690.


4.           Pandangan Ulama tentang Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an

Para ulama telah mengkaji hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits secara mendalam dalam berbagai karya mereka. Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa Hadits memiliki fungsi sebagai penjelas, perinci, dan bahkan dalam beberapa kasus, sebagai pemberi hukum tambahan terhadap Al-Qur'an. Dalam bab ini, akan diuraikan pandangan ulama klasik dan kontemporer mengenai fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an berdasarkan kitab-kitab otoritatif dalam bidang Ulumul Hadits dan ushul fikih.

4.1.       Pandangan Ulama Klasik

Para ulama klasik telah memberikan perhatian besar terhadap fungsi Hadits dalam menjelaskan Al-Qur'an. Mereka menyusun berbagai kaidah dan metodologi dalam memahami hubungan antara keduanya.

4.1.1.    Imam Syafi'i (w. 204 H)

Imam Syafi'i adalah salah satu ulama yang sangat menekankan pentingnya Hadits dalam menjelaskan Al-Qur'an. Dalam kitabnya Ar-Risalah, beliau menyatakan:

_"Segala ketetapan yang berasal dari Rasulullah Saw adalah bentuk pemahaman terhadap Al-Qur'an. Tidaklah seseorang mengetahui makna suatu ayat kecuali melalui Sunnah yang menjelaskannya."_¹

Menurut Imam Syafi'i, Hadits memiliki tiga fungsi utama terhadap Al-Qur'an:

1)                  Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum (bayan tafsir),

2)                  Membatasi keumuman ayat-ayat tertentu (bayan takhshish),

3)                  Menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an (bayan istiqra').²

Contoh yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i adalah kewajiban shalat. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk mendirikan shalat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana tata cara pelaksanaannya. Hadits Nabi Saw kemudian merinci perintah ini melalui sabdanya:

_"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."_³

Hal ini menunjukkan bahwa tanpa Hadits, ajaran Islam tidak dapat dipahami secara sempurna.

4.1.2.      Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa Hadits memiliki peran yang sangat besar dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Beliau berkata:

_"Barang siapa menolak Hadits Rasulullah Saw, maka ia telah menolak Al-Qur'an, karena Hadits merupakan penjelas Al-Qur'an."_⁴

Beliau juga menekankan bahwa seseorang tidak dapat memahami syariat Islam hanya dengan berpegang pada Al-Qur'an tanpa merujuk kepada Hadits.

4.1.3.      Imam Al-Baihaqi (w. 458 H)

Dalam kitabnya Dala’il An-Nubuwwah, Imam Al-Baihaqi menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur'an dan menjelaskan maksudnya kepada umat Islam. Menurutnya, penjelasan yang diberikan oleh Nabi Saw dalam bentuk Hadits harus diterima sebagai bagian dari pemahaman Al-Qur'an.⁵

4.2.       Pandangan Ulama Kontemporer

Para ulama kontemporer juga mengkaji fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an dalam konteks yang lebih modern. Berikut adalah beberapa pendapat mereka:

4.2.1.      Muhammad Abu Zahrah (w. 1974 M)

Dalam karyanya Ushul al-Fiqh, Abu Zahrah menegaskan bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an yang tidak dapat dipisahkan dalam penetapan hukum Islam. Menurutnya, apabila seseorang hanya berpegang pada Al-Qur'an tanpa Hadits, maka banyak aspek hukum Islam yang akan menjadi tidak jelas.⁶

4.2.2.      Yusuf Al-Qaradhawi (w. 2022 M)

Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah menekankan bahwa dalam memahami Islam, tidak cukup hanya dengan Al-Qur'an saja. Menurutnya:

_"Al-Qur'an adalah sumber utama syariat, tetapi ia membutuhkan Hadits untuk menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya secara rinci."_⁷

Ia juga mengkritik kelompok-kelompok yang menolak Hadits dan hanya berpegang pada Al-Qur'an (Qur’aniyyun). Menurutnya, pemahaman seperti ini akan menyebabkan kekeliruan dalam memahami ajaran Islam.

4.2.3.      Musthafa As-Siba’i (w. 1964 M)

Musthafa As-Siba’i dalam kitabnya As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami menegaskan bahwa Hadits bukan hanya berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an, tetapi juga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.⁸ Beliau memberikan contoh beberapa hukum Islam yang hanya bisa dipahami melalui Hadits, seperti:

·                     Larangan menikahi seorang wanita bersamaan dengan bibinya,

·                     Hukuman rajam bagi pezina yang sudah menikah,

·                     Ketentuan nisab dalam zakat.

4.3.       Kritikan terhadap Posisi Hadits dalam Menjelaskan Al-Qur'an

Meskipun mayoritas ulama menerima Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an, ada beberapa kelompok yang mempertanyakan otoritas Hadits. Beberapa kelompok yang menolak Hadits sebagai sumber hukum utama antara lain:

4.3.1.      Kaum Qur’aniyyun

Kelompok Qur’aniyyun hanya menerima Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber hukum Islam dan menolak Hadits. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an telah cukup sebagai petunjuk bagi umat Islam tanpa memerlukan Hadits. Pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan perintah Al-Qur'an yang mengharuskan ketaatan kepada Rasulullah Saw:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ 

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).⁹

4.3.2.      Kritik dari Beberapa Orientalis

Beberapa orientalis seperti Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher berpendapat bahwa banyak Hadits yang tidak dapat dipercaya keotentikannya dan hanya merupakan rekonstruksi ulama abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah.¹⁰ Namun, pendapat ini telah dibantah oleh para ulama Hadits, termasuk Al-A'zami dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, yang menunjukkan bahwa proses periwayatan Hadits telah melalui mekanisme yang ketat.¹¹


Kesimpulan

Pandangan ulama klasik dan kontemporer menunjukkan bahwa Hadits memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan melengkapi hukum-hukum dalam Al-Qur'an. Tanpa Hadits, pemahaman terhadap syariat Islam menjadi tidak utuh. Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa Hadits merupakan bagian integral dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 19.

[2]                Ibid., hlm. 21.

[3]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.

[4]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu’aib Al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1995), Jilid 1, hlm. 227.

[5]                Al-Baihaqi, Dala’il An-Nubuwwah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1985), hlm. 89.

[6]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr, 1997), hlm. 45.

[7]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 31.

[8]                Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami (Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.

[9]                Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [15 ayat 7.

[10]             Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.

[11]             Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.


5.           Analisis Kitab Hadits Induk terhadap Fungsi Hadits

Kitab-kitab Hadits induk memiliki peran yang sangat penting dalam menjelaskan fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an. Para ulama Hadits telah mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan Hadits dalam kitab-kitab utama yang menjadi referensi utama bagi umat Islam dalam memahami Sunnah Nabi Saw. Analisis terhadap kitab-kitab Hadits induk ini bertujuan untuk menggali bagaimana Hadits memberikan tafsir, takhshish, tafshil, bahkan dalam beberapa kasus menasakh hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an.

Dalam bab ini, kita akan menganalisis fungsi Hadits dalam kitab-kitab Hadits induk yang paling otoritatif, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, serta beberapa kitab lainnya yang memiliki peran penting dalam kajian Hadits.

5.1.       Studi Kasus dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim

5.1.1.      Penjelasan Ayat tentang Wudhu (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6)

Al-Qur'an menjelaskan tata cara berwudhu secara global dalam firman Allah Swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki." (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6).¹

Ayat ini tidak menjelaskan secara rinci bagaimana tata cara berwudhu yang sempurna, terutama tentang jumlah basuhan dan bagaimana mengusap kepala. Dalam Shahih Bukhari, terdapat Hadits yang menjelaskan praktik wudhu Rasulullah Saw secara lebih rinci:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ."

Dari Utsman bin Affan RA, ia berkata:

"Beliau (Rasulullah Saw) meminta air wudhu, lalu berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya hingga siku tiga kali, kemudian membasuh tangan kirinya seperti itu. Setelah itu, beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya seperti itu. Kemudian beliau berkata: ‘Aku telah melihat Nabi Saw berwudhu seperti wudhuku ini.’ Setelah itu beliau berkata: ‘Barang siapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian melaksanakan shalat dua rakaat tanpa berbicara dengan dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosa yang telah lalu.’"

Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah basuhan dalam wudhu adalah tiga kali untuk setiap anggota tubuh yang dibasuh, kecuali kepala yang cukup diusap satu kali. Ini adalah contoh bagaimana Hadits memberikan tafshil terhadap ayat yang bersifat global.

5.1.2.      Batasan Hukum Warisan dalam QS. An-Nisa [04] ayat 11

Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 11, Allah menetapkan pembagian warisan bagi anak laki-laki dan perempuan:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ

_"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan."_³

Namun, ayat ini tidak menjelaskan bagaimana pembagian warisan jika seseorang tidak memiliki anak. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ”.

_"Berikanlah bagian warisan kepada pemilik haknya, kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat (hubungan nasabnya)."_⁴

Hadits ini menunjukkan fungsi takhshish dalam memperjelas penerapan hukum warisan dalam situasi yang tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur'an.

5.2.       Kajian Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i

5.2.1.      Hadits tentang Makanan yang Dihalalkan dan Diharamkan

Dalam QS. Al-Ma’idah [05] ayat 3, Allah Swt mengharamkan bangkai secara umum:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

_"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah."_⁵

Namun, dalam Sunan Abu Dawud, terdapat Hadits yang mengecualikan dua jenis bangkai dari larangan ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ.

_" Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa."_⁶

Hadits ini berfungsi sebagai takhshish, yaitu mengkhususkan hukum dalam Al-Qur'an dengan pengecualian tertentu.

5.2.2.      Tata Cara Shalat Malam dalam QS. Al-Muzzammil: 20

Allah Swt dalam QS. Al-Muzzammil [73] ayat 20 menyebutkan:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ

_"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya..."_⁷

Namun, ayat ini tidak menjelaskan jumlah rakaat yang dianjurkan dalam shalat malam. Dalam Sunan Tirmidzi, disebutkan Hadits dari Aisyah RA:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ:  مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا.

Dari Aisyah ra., ia berkata:

"Rasulullah Saw tidak pernah menambah jumlah rakaat shalat malamnya, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, janganlah engkau bertanya tentang keindahan dan panjangnya (shalat itu). Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, janganlah engkau bertanya tentang keindahan dan panjangnya (shalat itu). Kemudian beliau shalat tiga rakaat." _⁸

Hadits ini memberikan rincian praktis terhadap ayat Al-Qur'an mengenai shalat malam.

5.3.       Kajian Kitab Hadits Lain: Al-Muwatta dan Musnad Ahmad

5.3.1.      Hadits tentang Larangan Menikahi Wanita dan Bibinya dalam QS. An-Nisa [04] ayat 23

Al-Qur'an menetapkan beberapa larangan pernikahan dalam QS. An-Nisa [04] ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ 

_"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan, bibi-bibimu dari ayah dan bibi-bibimu dari ibu..."_⁹

Namun, tidak disebutkan secara eksplisit apakah seorang laki-laki boleh menikahi seorang wanita bersama dengan bibinya. Dalam Al-Muwatta, disebutkan Hadits Nabi Saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا عَلَى خَالَتِهَا.

_"Tidak boleh seorang wanita dinikahi bersama dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu."_¹⁰

Hadits ini menambahkan hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam ayat Al-Qur'an.


Kesimpulan

Analisis terhadap kitab-kitab Hadits induk menunjukkan bahwa Hadits memiliki berbagai fungsi dalam menjelaskan Al-Qur'an. Hadits:

1)                  Menafsirkan ayat-ayat yang bersifat global, seperti dalam penjelasan tata cara wudhu.

2)                  Memberikan batasan terhadap hukum yang bersifat umum, seperti pengecualian dalam hukum warisan.

3)                  Merinci aturan-aturan yang hanya disebutkan secara garis besar dalam Al-Qur'an, seperti jumlah rakaat shalat malam.

4)                  Menetapkan hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti larangan menikahi wanita bersama dengan bibinya.

Tanpa Hadits, umat Islam akan kesulitan memahami bagaimana ajaran Al-Qur'an harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kitab-kitab Hadits induk memiliki otoritas yang sangat penting dalam menginterpretasikan Al-Qur'an secara lebih mendalam.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6.

[2]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Wudhu, Hadits No. 157.

[3]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 11.

[4]                Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Faraidh, Hadits No. 1615.

[5]                Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab At-Taharah, Hadits No. 3802.

[7]                Al-Qur'an, QS. Al-Muzzammil [73] ayat 20.

[8]                At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab As-Salat, Hadits No. 436.

[9]                Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 23.

[10]             Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.


6.           Tantangan dalam Memahami Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an

Meskipun Hadits memiliki peran penting dalam menjelaskan Al-Qur'an, terdapat berbagai tantangan dalam memahami dan mengimplementasikan fungsi Hadits. Tantangan ini mencakup isu otoritas Hadits, kritik terhadap validitas Hadits, hermeneutika modern, serta tantangan dalam mengintegrasikan Hadits ke dalam kehidupan kontemporer.

Dalam bab ini, kita akan menganalisis tantangan utama yang dihadapi dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an berdasarkan kajian ilmiah dari kitab-kitab Ulumul Hadits, pemikiran para ulama klasik dan kontemporer, serta pendapat akademisi modern.

6.1.       Isu Otoritas Hadits dalam Menjelaskan Al-Qur'an

Salah satu tantangan utama dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an adalah perbedaan pandangan mengenai otoritas Hadits. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Hadits memiliki otoritas dalam menjelaskan dan merinci hukum dalam Al-Qur'an. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).¹

Namun, ada kelompok yang mempertanyakan otoritas Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Kelompok Qur’aniyyun (Inkar Sunnah) berpendapat bahwa hanya Al-Qur'an yang menjadi sumber hukum Islam, sementara Hadits dianggap sebagai tambahan yang tidak diperlukan.²

Pandangan ini telah dibantah oleh banyak ulama, termasuk Imam Syafi'i yang dalam Ar-Risalah menyatakan:

_"Tidaklah seseorang memahami Al-Qur'an secara sempurna kecuali melalui Sunnah Rasulullah yang menjelaskannya."_³

Penolakan terhadap Hadits sebagai sumber hukum akan menyebabkan ketidaksempurnaan dalam memahami hukum Islam, seperti dalam tata cara shalat, zakat, dan puasa yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.

6.2.       Kritik terhadap Validitas Hadits

Sebagian akademisi, terutama dari kalangan orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, mengkritik validitas Hadits dengan menyatakan bahwa sebagian besar Hadits baru dikodifikasi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah.⁴ Mereka berpendapat bahwa Hadits bukanlah sabda asli Nabi Saw, melainkan hasil rekonstruksi ulama.

Namun, pandangan ini telah dibantah oleh banyak ulama Hadits, seperti Muhammad Mustafa Al-A'zami yang dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature membuktikan bahwa sistem periwayatan Hadits telah berjalan sejak zaman Nabi Saw dan ditransmisikan dengan metode yang ketat.⁵

Para ulama Hadits juga mengembangkan ilmu Jarh wa Ta'dil untuk menilai kredibilitas perawi dan ilmu Musthalah Hadits untuk mengklasifikasikan Hadits berdasarkan tingkat validitasnya.⁶ Oleh karena itu, tantangan dalam validitas Hadits dapat diatasi dengan metode ilmiah yang telah dikembangkan oleh para ulama sejak dahulu.

6.3.       Tantangan Hermeneutika Modern dalam Memahami Hadits

Dalam era modern, pendekatan hermeneutika terhadap Hadits mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagian akademisi mencoba menafsirkan Hadits dengan metode historis-kritis, yaitu menelaah konteks sosial dan budaya di mana Hadits tersebut muncul.

Sebagai contoh, beberapa Hadits yang dianggap misoginis oleh sebagian kalangan modern dipahami ulang dalam konteks sosial Arab pada masa Nabi Saw. Sebagian ulama seperti Yusuf Al-Qaradhawi menegaskan bahwa Hadits harus dipahami sesuai dengan maqashid syariah (tujuan utama syariat).⁷

Namun, pendekatan hermeneutika ini juga menimbulkan tantangan. Beberapa akademisi menggunakan metode ini untuk mendekonstruksi Hadits, sehingga berpotensi mengurangi otoritasnya dalam menjelaskan Al-Qur'an. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara pendekatan klasik dan metode ilmiah modern dalam memahami Hadits.

6.4.       Relevansi Hadits dalam Konteks Kekinian

Tantangan lain dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an adalah bagaimana Hadits dapat diterapkan dalam kehidupan kontemporer. Beberapa Hadits yang berkaitan dengan ekonomi, politik, dan sosial perlu dikontekstualisasikan agar tetap relevan.

Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi Islam, Hadits Nabi Saw tentang larangan riba dan spekulasi telah dijadikan dasar dalam pengembangan sistem perbankan syariah modern.⁸

Namun, tantangan muncul ketika beberapa Hadits dianggap tidak lagi relevan dalam dunia modern, seperti perbudakan dan sistem hukum hudud yang dalam beberapa kasus tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia modern. Para ulama berusaha mencari solusi dengan melakukan pendekatan kontekstual dalam memahami Hadits.

Salah satu metode yang digunakan adalah konsep Ilhaq An-Nazhair (analogi dengan hukum yang serupa), yang digunakan oleh para fuqaha dalam memahami Hadits yang berkaitan dengan kehidupan modern.⁹ Dengan metode ini, Hadits tetap dapat berfungsi dalam menjelaskan dan menerapkan hukum Al-Qur'an dalam kondisi sosial yang berbeda.


Kesimpulan

Tantangan dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an meliputi beberapa aspek utama:

1)                  Isu otoritas Hadits, terutama dari kelompok Inkar Sunnah yang menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam.

2)                  Kritik terhadap validitas Hadits, yang telah dijawab dengan metode ilmiah dalam ilmu Hadits.

3)                  Pendekatan hermeneutika modern, yang memerlukan keseimbangan agar tidak mengurangi otoritas Hadits.

4)                  Relevansi Hadits dalam konteks kekinian, yang menuntut metode kontekstual agar Hadits tetap bisa diterapkan dalam dunia modern.

Dengan pendekatan yang seimbang antara metode klasik dan modern, Hadits tetap dapat berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an yang relevan dalam kehidupan umat Islam di berbagai zaman.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [59] ayat 7.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr, 1997), hlm. 98.

[3]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 20.

[4]                Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.

[5]                Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.

[6]                Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 27.

[7]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 41.

[8]                Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2004), hlm. 253.

[9]                Mustafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami (Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.


7.           Simpulan dan Rekomendasi

7.1.       Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa Hadits memiliki peran yang sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan melengkapi kandungan Al-Qur'an. Hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits bukanlah hubungan yang bersifat subordinatif, melainkan saling melengkapi dalam membentuk sistem hukum Islam yang utuh.

Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip dasar hukum Islam, sedangkan Hadits berfungsi sebagai:

1)                  Menjelaskan ayat-ayat yang bersifat global (bayan tafsir), seperti dalam tata cara shalat yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.¹

2)                  Memberikan batasan terhadap hukum yang bersifat umum (bayan takhshish), seperti pengecualian dalam hukum makanan yang disebutkan dalam QS. Al-Ma'idah: 3.²

3)                  Merinci aturan-aturan yang hanya disebutkan secara garis besar dalam Al-Qur'an (bayan tafshil), seperti jumlah rakaat shalat malam yang disebutkan dalam QS. Al-Muzzammil [73] ayat 20.³

4)                  Menetapkan hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an (bayan istiqra'), seperti larangan menikahi seorang wanita dan bibinya secara bersamaan.⁴

5)                  Menetapkan hukum baru yang menghapus atau mengganti hukum dalam Al-Qur'an (naskh wa mansukh), seperti hukum rajam bagi pezina yang telah menikah.⁵

Dari berbagai analisis kitab Hadits induk seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, dan kitab-kitab lainnya, jelas bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an yang memiliki otoritas dalam menjelaskan syariat Islam.

Namun, terdapat berbagai tantangan dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an, seperti isu otoritas Hadits, kritik terhadap validitas Hadits, hermeneutika modern, dan relevansi Hadits dalam konteks kekinian.⁶ Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmiah yang seimbang antara metode klasik dan modern dalam memahami Hadits agar tetap dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam saat ini.

7.2.       Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk memperkuat pemahaman dan penerapan Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an adalah sebagai berikut:

7.2.1.      Meningkatkan Studi Ilmu Hadits dalam Pendidikan Islam

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap fungsi Hadits, studi ilmu Hadits perlu ditingkatkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Ulama seperti Imam An-Nawawi dalam Muqaddimah Al-Majmu' menekankan pentingnya mempelajari ilmu Hadits secara sistematis agar tidak terjadi distorsi dalam memahami agama.⁷ Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal, harus memasukkan studi Ulumul Hadits secara lebih mendalam dalam kurikulumnya.

7.2.2.      Mengembangkan Metode Pemahaman Hadits yang Kontekstual

Dalam menghadapi tantangan hermeneutika modern, penting bagi para ulama dan akademisi untuk mengembangkan metode pemahaman Hadits yang tidak hanya berbasis pada teks (tekstualis), tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah dan maqashid syariah (tujuan hukum Islam). Yusuf Al-Qaradhawi dalam Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah menekankan bahwa pemahaman Hadits harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat agar dapat diterapkan secara relevan.⁸

7.2.3.      Memanfaatkan Teknologi dalam Penyebaran Ilmu Hadits

Di era digital, ilmu Hadits harus lebih mudah diakses oleh masyarakat luas melalui teknologi. Digitalisasi kitab-kitab Hadits induk dan pembuatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan dapat membantu umat Islam dalam memahami Hadits secara lebih cepat dan tepat. Inisiatif seperti Maktabah Syamilah dan Sunnah.com telah berkontribusi dalam menyediakan akses Hadits secara luas.⁹

7.2.4.      Meningkatkan Kesadaran Akan Pentingnya Hadits dalam Masyarakat

Masih banyak umat Islam yang kurang memahami pentingnya Hadits dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dakwah yang lebih efektif dalam menyampaikan peran Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an. Program kajian keislaman berbasis Hadits, baik melalui ceramah langsung maupun media digital, dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya Hadits dalam membentuk kehidupan beragama yang lebih baik.

7.2.5.      Membangun Dialog Akademik untuk Mengatasi Tantangan Modern

Untuk menjawab tantangan dari kelompok yang meragukan otoritas Hadits, perlu adanya dialog akademik antara ulama, akademisi, dan pemikir Islam modern. Diskusi yang melibatkan ilmuwan Islam dan orientalis juga penting untuk membangun pemahaman yang lebih objektif mengenai validitas Hadits. Karya-karya akademik seperti Studies in Hadith Methodology and Literature oleh Muhammad Mustafa Al-A'zami dapat dijadikan rujukan utama dalam menghadapi kritik terhadap Hadits.¹⁰


Penutup

Hadits merupakan bagian integral dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Tanpa Hadits, umat Islam akan kesulitan dalam memahami berbagai perintah Al-Qur'an yang bersifat global. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi Hadits harus terus diperkuat melalui pendidikan, penelitian akademik, dan dakwah yang berbasis pada metode ilmiah yang valid.

Dengan pendekatan yang tepat, Hadits akan terus berperan sebagai pedoman hidup bagi umat Islam di berbagai zaman, sekaligus menjawab tantangan kontemporer dengan solusi yang relevan dan sesuai dengan maqashid syariah.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.

[2]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab At-Taharah, Hadits No. 3802.

[3]                At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab As-Salat, Hadits No. 436.

[4]                Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.

[5]                Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Hudud, Hadits No. 1690.

[6]                Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.

[7]                Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.

[8]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 41.

[9]                "Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad," Sunnah.com, diakses 10 Februari 2025, https://sunnah.com.

[10]             Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.


Daftar Pustaka

Sumber Buku

Abu Dawud. (1996). Sunan Abu Dawud (M. Muhyiddin Abdul Hamid, Ed.). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-A'zami, M. M. (1977). Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications.

Al-Baihaqi. (1985). Dala’il An-Nubuwwah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. I. (1987). Shahih Al-Bukhari (M. Al-Bugha, Ed.). Beirut: Dar Ibn Kathir.

Al-Mawardi, A. (1996). Al-Ahkam As-Sultaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Qaradhawi, Y. (1990). Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah. Kairo: Dar As-Syuruq.

Al-Qur’an Al-Karim.

An-Nawawi, Y. bin S. (1955). Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi.

As-Siba’i, M. (1959). As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami. Damaskus: Al-Maktab Al-Islami.

As-Suyuthi, J. (1986). Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr.

At-Tirmidzi, M. bin I. (1985). Sunan At-Tirmidzi (A. W. A. Latif, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi.

Az-Zuhaili, W. (2004). Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr.

Goldziher, I. (1971). Muslim Studies (S. M. Stern, Ed. & Trans.). Albany: State University of New York Press.

Ibnu Majah, M. (2000). Sunan Ibnu Majah. Riyadh: Darussalam.

Imam Malik bin Anas. (1985). Al-Muwatta (Y. bin Y. Al-Laitsi, Ed.). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Muslim, M. bin H. (1955). Shahih Muslim (A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi.

Schacht, J. (1950). The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.

Syafi’i, I. (1940). Ar-Risalah (A. M. Syakir, Ed.). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Zahrah, M. A. (1997). Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar Al-Fikr.

Sumber Online

"Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad." (2025). Sunnah.com. Retrieved from https://sunnah.com.


Lampiran 1: Glosarium

Glosarium ini berisi istilah-istilah teknis yang digunakan dalam artikel mengenai fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an. Definisi dalam glosarium ini mengacu pada kitab-kitab Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, dan referensi Islam klasik serta kontemporer.


1.            Bayan Istiqra' (بيان استقراء)

Merujuk pada fungsi Hadits dalam menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an tetapi berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam syariat Islam.¹ Contoh dari fungsi ini adalah larangan menikahi seorang wanita bersama dengan bibinya, yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.²

2.            Bayan Tafshil (بيان تفصيل)

Hadits berfungsi sebagai perincian terhadap ayat Al-Qur'an yang menyebutkan hukum-hukum secara garis besar.³ Contohnya adalah tata cara shalat yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an tetapi diperinci oleh Hadits Nabi Saw.⁴

3.            Bayan Tafsir (بيان تفسير)

Fungsi Hadits dalam menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum atau global.⁵ Misalnya, Hadits yang menjelaskan makna "shalat" dalam perintah Allah untuk mendirikan shalat dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.⁶

4.            Bayan Takhshish (بيان تخصيص)

Fungsi Hadits dalam mengkhususkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum ('aam).⁷ Misalnya, ayat yang melarang semua bentuk bangkai (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3), tetapi Hadits mengecualikan ikan dan belalang dari larangan ini.⁸

5.            Hadits (حديث)

Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau.⁹ Hadits terbagi menjadi berbagai kategori berdasarkan sanad dan matannya, seperti Shahih, Hasan, dan Dha'if.¹⁰

6.            Hermeneutika Islam

Pendekatan modern dalam memahami teks-teks Islam, termasuk Hadits, dengan mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan linguistik.¹¹ Beberapa akademisi Muslim kontemporer menggunakan metode ini untuk memahami Hadits dalam konteks kehidupan modern.¹²

7.            Inkar Sunnah (إنكار السنة)

Kelompok yang menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam dan hanya berpegang pada Al-Qur'an saja.¹³ Pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan perintah dalam Al-Qur'an untuk mengikuti Rasulullah Saw (QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).¹⁴

8.            Jarh wa Ta'dil (الجرح والتعديل)

Ilmu yang membahas tentang kredibilitas perawi Hadits, baik dari segi keadilan (‘adalah) maupun ketelitian dalam meriwayatkan Hadits (dhabit).¹⁵ Ilmu ini menjadi bagian penting dalam menilai otentisitas suatu Hadits.¹⁶

9.            Maqashid Syariah (مقاصد الشريعة)

Tujuan utama dari hukum Islam yang bertujuan untuk menjaga lima aspek utama kehidupan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.¹⁷ Pemahaman Hadits dalam konteks modern sering kali dikaitkan dengan maqashid syariah agar tetap relevan.¹⁸

10.         Musthalah Hadits (مصطلح الحديث)

Cabang ilmu dalam studi Hadits yang membahas berbagai terminologi dalam ilmu Hadits, seperti definisi Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if, serta kaidah-kaidah dalam menilai sanad dan matan Hadits.¹⁹

11.         Nasakh wa Mansukh (النسخ والمنسوخ)

Konsep dalam hukum Islam di mana suatu hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an atau Hadits dapat dihapus atau diganti dengan hukum yang baru melalui wahyu berikutnya.²⁰ Contohnya adalah hukuman rajam bagi pezina yang telah menikah, yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.²¹

12.         Sunnah (السنة)

Segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw yang menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an.²² Sunnah juga mencakup kebiasaan dan sikap hidup Nabi Saw yang menjadi teladan bagi umat Islam.²³


Catatan Kaki

[1]                Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 25.

[2]                Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.

[3]                Al-Bukhari, M. I., Shahih Al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.

[4]                Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab As-Salat, Hadits No. 759.

[5]                Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 45.

[6]                Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 43.

[7]                Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 31.

[8]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab At-Taharah, Hadits No. 3802.

[9]                Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr, 1997), hlm. 45.

[10]             Al-Baihaqi, Dala’il An-Nubuwwah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1985), hlm. 89.

[11]             Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.

[12]             Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.

[13]             Mustafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami (Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.

[14]             Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr: 7.

[15]             Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.

[16]             Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Ilm, Hadits No. 3641.

[17]             Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2004), hlm. 253.

[18]             Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah, hlm. 89.

[19]             As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, hlm. 97.

[20]             Abu Ubaid Al-Qasim, An-Nasikh wal-Mansukh (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 78.

[21]             Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Hudud, Hadits No. 1690.

[22]             Syafi’i, Ar-Risalah, hlm. 19.

[23]             An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, hlm. 21.


Lampiran 2: Resume Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an

Berikut adalah beberapa fungsi hadis terhadap Al-Qur'an:

1)                 Sebagai Penjelas (Bayan Tafsir/Taqrir)

Hadis berfungsi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang masih bersifat global (mujmal). Contohnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat, tetapi tata cara shalat dijelaskan melalui hadis.

2)                 Sebagai Penguat (Bayan Ta'kid)

Hadis memperkuat hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Al-Qur'an, baik dengan pengulangan atau dengan penekanan lebih lanjut. Contohnya, larangan riba dalam Al-Qur'an diperkuat dengan hadis yang menegaskan berbagai jenis riba.

3)                 Sebagai Penetap Hukum Baru (Bayan Tasyri')

Dalam beberapa kasus, hadis menetapkan hukum yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Misalnya, larangan memakan hewan buas bertaring dan burung bercakar tajam berasal dari hadis, bukan dari Al-Qur'an.

4)                 Sebagai Pembatas (Bayan Takhshish)

Hadis berfungsi membatasi keumuman suatu ayat Al-Qur'an. Contohnya, dalam Al-Qur'an semua harta peninggalan orang tua diwarisi oleh anak, tetapi dalam hadis dijelaskan bahwa "laa yashilu al-qaatilu min al-mirats" (pembunuh tidak boleh mendapatkan warisan).

5)                 Sebagai Pengecualian (Bayan Taqyid)

Hadis juga membatasi makna suatu ayat yang bersifat mutlak. Contohnya, dalam Al-Qur'an disebutkan "Potonglah tangan pencuri" (QS. Al-Ma’idah [05] ayat 38), tetapi dalam hadis dijelaskan bahwa pencurian yang menyebabkan pemotongan tangan memiliki syarat tertentu, seperti jumlah minimal barang yang dicuri.

6)                 Sebagai Penjelas Konteks Sejarah (Asbabun Nuzul)

Beberapa hadis menjelaskan latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur'an sehingga mempermudah pemahaman hukum dan maksud dari ayat tersebut.

Dengan demikian, hadis memiliki peran yang sangat penting dalam memahami, menjelaskan, dan mengimplementasikan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar