Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an
Kajian Komprehensif Berdasarkan Kitab-Kitab Ulumul
Hadits dan Kitab Hadits Induk
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 10 (Sepuluh)
Abstrak
Artikel ini membahas fungsi
Hadits terhadap Al-Qur'an berdasarkan kajian kitab-kitab Ulumul
Hadits dan kitab Hadits induk. Kajian ini bertujuan untuk
menganalisis bagaimana Hadits berperan dalam menjelaskan, merinci, dan
melengkapi hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an. Melalui metode
penelitian kepustakaan (library research), artikel
ini mengkaji berbagai referensi dari kitab-kitab Hadits utama seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, serta
pandangan para ulama klasik dan kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Hadits memiliki lima fungsi utama terhadap Al-Qur'an: (1) sebagai penjelas
ayat-ayat yang bersifat global (bayan tafsir), (2) sebagai
pembatas atau pengecualian hukum yang bersifat umum (bayan
takhshish), (3) sebagai perinci hukum-hukum yang hanya disebutkan
secara garis besar dalam Al-Qur'an (bayan tafshil),
(4) sebagai penetap hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an (bayan
istiqra'), serta (5) dalam beberapa kasus, sebagai hukum yang
menghapus atau mengganti hukum dalam Al-Qur'an (naskh wa mansukh).
Namun, terdapat tantangan dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an, di
antaranya kritik terhadap otoritas Hadits, validitas sanad, hermeneutika modern, serta relevansi Hadits dalam konteks kehidupan kontemporer. Untuk
menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang seimbang antara metode
klasik dan modern dalam studi Hadits. Artikel ini merekomendasikan penguatan
studi ilmu Hadits dalam pendidikan Islam, pengembangan metode pemahaman Hadits
yang kontekstual, serta pemanfaatan teknologi dalam penyebaran ilmu Hadits.
Kata Kunci: Hadits,
Al-Qur'an, Ulumul Hadits, Kitab Hadits Induk, Bayan Tafsir, Bayan Takhshish,
Bayan Tafshil, Naskh wa Mansukh, Kritik Hadits, Hermeneutika Islam.
PEMBAHASAN
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an
1.
Pendahuluan
Hubungan antara Al-Qur'an dan
Hadits dalam Islam memiliki posisi yang sangat fundamental. Al-Qur'an sebagai
firman Allah Swt merupakan pedoman utama umat Islam dalam segala aspek
kehidupan, sedangkan Hadits, sebagai sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi
Muhammad Saw, berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap dari kandungan
Al-Qur'an. Dalam memahami ajaran Islam secara menyeluruh, tidak cukup hanya
merujuk pada Al-Qur'an, tetapi juga membutuhkan Hadits untuk memberikan detail
dan implementasi praktis dari hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur'an.
1.1. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang
bersumber pada dua rujukan utama, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an disebut
sebagai "hudan lil muttaqin" (petunjuk bagi orang-orang
bertakwa), sementara Hadits memainkan peran signifikan dalam menjelaskan maksud
ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global atau membutuhkan rincian lebih lanjut.
Dalam Al-Qur'an sendiri ditegaskan pentingnya menaati Rasulullah Saw, sebagaimana
firman-Nya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ
"Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati
Allah." (QS. An-Nisa [04] ayat 80).
Ayat ini menunjukkan bahwa
ketaatan kepada Rasul adalah perpanjangan dari ketaatan kepada Allah Swt. Hal
ini memberikan landasan bahwa Hadits memiliki otoritas yang kuat dalam
memberikan penjelasan terhadap Al-Qur'an.
1.2. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
menggali fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an secara komprehensif dengan meninjau
berbagai pandangan ulama klasik dan modern. Kajian ini didasarkan pada
kitab-kitab Ulumul Hadits dan kitab Hadits induk seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab lain yang relevan. Dengan
pendekatan ini, diharapkan artikel ini dapat memberikan wawasan mendalam
tentang bagaimana Hadits berperan dalam menjelaskan, memperinci, dan menerapkan
hukum-hukum dalam Al-Qur'an secara praktis.
1.3. Metodologi
Metodologi yang digunakan
dalam artikel ini adalah kajian literatur dengan pendekatan
deskriptif-analitis. Artikel ini mengandalkan sumber primer seperti kitab
Hadits induk dan kitab Ulumul Hadits, serta karya-karya ulama terkemuka
seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi'i dan Tadrib Al-Rawi karya
Imam Suyuthi. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembahasan
didasarkan pada data otoritatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
1.4. Relevansi Kajian
Pemahaman yang mendalam
tentang fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an sangat relevan dalam konteks
pendidikan Islam saat ini. Sebagai umat Islam yang ingin memahami hukum-hukum
agama secara utuh, mengetahui peran Hadits dalam menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur'an menjadi suatu kebutuhan mendesak. Oleh karena itu, artikel ini
diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi para akademisi, pendidik, dan
pelajar yang ingin mendalami hubungan Al-Qur'an dan Hadits.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 80.
[2]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), 17.
[3]
Imam Suyuthi, Tadrib Al-Rawi, ed. Abdul
Wahhab Abdul Latif (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), 25.
[4]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kayfa Nata`amul Ma'a
As-Sunnah, (Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), 31.
[5]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, ed. Mustafa Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab
Al-Ilmu, Hadits No. 71.
[6]
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim,
ed. Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Iman,
Hadits No. 89.
2.
Pengantar
Hubungan Al-Qur'an dan Hadits
2.1. Definisi Al-Qur'an dan Hadits
Dalam Islam, Al-Qur'an dan
Hadits merupakan dua sumber hukum utama yang menjadi pedoman bagi kehidupan
umat Muslim. Al-Qur'an adalah kitab suci yang berisi wahyu Allah Swt yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dan menjadi pedoman
utama dalam kehidupan umat Islam. Wahyu ini terjaga dalam bentuk tulisan dan
hafalan, serta dijamin keasliannya oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami pula yang akan menjaganya."
(QS. Al-Hijr [15] ayat 9).¹
Sementara itu, Hadits adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan beliau.² Hadits memiliki peran sebagai penjelas dan
pelengkap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Imam An-Nawawi
mendefinisikan Hadits sebagai:
_"Segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat
beliau."_³
Hadits kemudian dikodifikasi
dalam berbagai kitab oleh para ulama, seperti Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
dan lainnya.
2.2. Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber Utama
Al-Qur'an memiliki kedudukan
tertinggi dalam hukum Islam. Sebagai kitab suci yang bersifat final, Al-Qur'an
menjadi pedoman utama dalam setiap aspek kehidupan umat Islam. Allah Swt berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur'an) sebagai penjelas segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl
[16] ayat 89).⁴
Ayat ini menunjukkan bahwa
Al-Qur'an berfungsi sebagai sumber utama hukum Islam. Namun, dalam banyak hal,
Al-Qur'an hanya menyampaikan prinsip-prinsip dasar dan aturan umum yang
membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang salah satunya dilakukan melalui
Hadits Nabi Saw. Imam Syafi'i dalam Ar-Risalah
menegaskan bahwa Sunnah Rasulullah Saw memiliki otoritas dalam menafsirkan dan
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum.⁵
2.3. Peran Hadits sebagai Penjelas Al-Qur'an
Hadits berfungsi sebagai
penjelas dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global atau membutuhkan
perincian lebih lanjut. Fungsi ini disebut dengan bayan tafsir,
di mana Hadits memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap kandungan
Al-Qur'an.⁶ Contoh peran Hadits dalam menjelaskan ayat Al-Qur'an adalah dalam
tata cara shalat. Al-Qur'an hanya memerintahkan untuk mendirikan shalat,
sebagaimana dalam firman Allah Swt:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat, serta ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS.
Al-Baqarah [02] ayat 43).⁷
Namun, bagaimana cara
melaksanakan shalat, jumlah rakaat, dan bacaan dalam shalat tidak dijelaskan
secara rinci dalam Al-Qur'an. Hadits Nabi Saw kemudian memberikan rincian tentang
tata cara shalat, sebagaimana sabda beliau:
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ ﷺ “صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”.
_"Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."_⁸
Contoh lain adalah perintah
zakat dalam Al-Qur'an, tetapi ketentuan nisab dan kadar zakat dijelaskan
melalui Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa memahami
Islam secara utuh memerlukan pemahaman terhadap Hadits sebagai sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an.
2.4. Dalil Kewajiban Mengikuti Hadits
Kewajiban mengikuti Hadits
sebagai penjelas Al-Qur'an ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur'an. Di
antaranya adalah firman Allah Swt:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).⁹
Ayat ini menunjukkan bahwa
segala perintah dan larangan Rasulullah Saw wajib diikuti oleh umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw:
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ”.
_"Ketahuilah! Sesungguhnya aku
telah diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang semisalnya bersamanya."_¹⁰
Hadits ini menunjukkan bahwa
selain Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw juga diberikan wahyu dalam bentuk Sunnah
yang menjadi bagian dari hukum Islam.
Kesimpulan
Al-Qur'an dan Hadits memiliki
hubungan yang erat dalam membentuk hukum Islam. Al-Qur'an sebagai sumber utama
memberikan prinsip dasar, sementara Hadits berfungsi sebagai penjelas, perinci,
dan pelengkap dari kandungan Al-Qur'an. Oleh karena itu, memahami Islam tidak
bisa hanya dengan merujuk pada Al-Qur'an semata, tetapi juga harus didukung
oleh pemahaman terhadap Hadits Nabi Saw. Dalam kajian hukum Islam, ulama
seperti Imam Syafi'i dan Imam Malik menegaskan bahwa Hadits memiliki otoritas
dalam menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an, sehingga keduanya
tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Hijr [15] ayat 9.
[2]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa
Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Ilmu, Hadits No. 71.
[3]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, ed.
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.
[4]
Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 89.
[5]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 19.
[6]
Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 25.
[7]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab
Ash-Shalah, Hadits No. 733.
[9]
Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [59] ayat 7.
[10]
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab
Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab Al-Ilm, Hadits
No. 2664.
3.
Fungsi
Hadits terhadap Al-Qur'an
Hubungan antara Al-Qur'an dan
Hadits tidak hanya bersifat pelengkap, tetapi juga bersifat integratif dalam membangun
hukum Islam. Hadits berfungsi sebagai penjelas, perinci, dan penyempurna dari
kandungan Al-Qur'an. Fungsi ini telah dikaji oleh para ulama dalam berbagai
kitab Ulumul Hadits dan kitab-kitab Hadits induk. Dalam
bab ini, akan dibahas secara mendalam bagaimana Hadits berfungsi terhadap
Al-Qur'an berdasarkan sumber-sumber yang kredibel.
3.1. Menjelaskan Ayat-Ayat yang Bersifat Global (Tafsir)
Salah satu fungsi utama
Hadits adalah menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum atau
global (ijmal). Terkadang, Al-Qur'an menyebutkan suatu
perintah tanpa memberikan rincian teknis, sehingga membutuhkan Hadits untuk
memberikan penjelasan lebih lanjut.¹
Sebagai contoh, perintah
shalat dalam Al-Qur'an disebutkan dalam berbagai ayat, seperti:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat serta
tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'."
(QS. Al-Baqarah [02] ayat 43).²
Namun, ayat ini tidak
menjelaskan secara detail bagaimana tata cara shalat yang benar, jumlah
rakaatnya, bacaan dalam shalat, serta aturan-aturan lainnya. Oleh karena itu,
Hadits memberikan rincian mengenai cara pelaksanaan shalat, sebagaimana dalam
sabda Nabi Saw:
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ ﷺ “صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي”.
_"Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat."_³
Hadits ini menjadi dasar
bahwa tata cara shalat yang benar harus mengacu pada praktik yang dicontohkan
oleh Rasulullah Saw.
3.2. Menjelaskan Ayat-Ayat yang Bersifat Umum
(Takhshish)
Dalam beberapa kasus, Hadits
berfungsi untuk mengkhususkan (takhshish) hukum yang
disebutkan dalam Al-Qur'an secara umum (‘aam). Ini
berarti bahwa suatu hukum yang tampaknya berlaku untuk semua orang atau semua
keadaan dalam Al-Qur'an dapat dikonfirmasi atau dikecualikan oleh Hadits.⁴
Contohnya adalah ayat tentang
larangan memakan bangkai:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
"Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah." (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3).⁵
Ayat ini tampak melarang
segala bentuk bangkai. Namun, Hadits kemudian mengecualikan dua jenis bangkai
yang boleh dikonsumsi, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا
الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ”.
_" Dihalalkan
bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai itu
adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa."_⁶
Hadits ini berfungsi sebagai takhshish
terhadap ayat Al-Qur'an, menunjukkan bahwa tidak semua bangkai dilarang.
3.3. Memberikan Penjelasan Terperinci (Tafshil)
Fungsi Hadits berikutnya
adalah memberikan perincian (tafshil) terhadap hukum-hukum
dalam Al-Qur'an yang disebutkan secara ringkas. Salah satu contoh yang terkenal
adalah hukum tentang warisan.
Dalam Al-Qur'an, terdapat
ayat yang mengatur pembagian warisan:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan." (QS. An-Nisa [04] ayat 11).⁷
Namun, ayat ini tidak
menjelaskan bagaimana pembagian warisan dalam kasus tertentu, seperti jika
seorang yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki, atau jika ia hanya
memiliki saudara. Hadits Nabi Saw memberikan rincian lebih lanjut mengenai
pembagian warisan bagi ahli waris tertentu, sebagaimana dalam sabdanya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ
فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ”.
_"Berikanlah bagian warisan kepada
pemilik haknya, kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat
(hubungan nasabnya)."_⁸
Hadits ini memberikan
penjelasan rinci tentang bagaimana pembagian warisan harus dilakukan dalam
kasus-kasus khusus yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.
3.4. Menyatakan Hukum Baru yang Tidak Disebutkan Secara
Langsung dalam Al-Qur'an (Istiqra')
Dalam beberapa situasi,
Hadits memberikan hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an,
tetapi tetap berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an.
Ini disebut sebagai istiqra' atau penggalian
hukum melalui ijtihad Rasulullah Saw.⁹
Sebagai contoh, larangan
menikahi seorang wanita bersamaan dengan bibinya (dari pihak ayah atau ibu)
tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur'an, tetapi disebutkan dalam
Hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا
عَلَى خَالَتِهَا”.
_"Tidak boleh seorang wanita dinikahi
bersama dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu."_¹⁰
Hadits ini memberikan
tambahan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tetapi
sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hubungan keluarga yang telah
ditetapkan dalam Islam.
3.5. Menghapus atau Menasakh Ketentuan Al-Qur'an (Naskh
wa Mansukh)
Fungsi terakhir Hadits
terhadap Al-Qur'an adalah dalam konteks naskh wa mansukh
(penghapusan hukum sebelumnya dengan hukum yang baru). Dalam beberapa kasus,
Hadits bisa mengganti atau mengklarifikasi hukum yang disebutkan dalam
Al-Qur'an.¹¹
Contohnya adalah mengenai
hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah. Dalam Al-Qur'an, hukuman bagi
pezina disebutkan sebagai cambuk:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
"Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali
dera." (QS. An-Nur [24] ayat 2).¹²
Namun, Hadits Nabi Saw menetapkan
bahwa untuk pezina yang sudah menikah, hukumannya adalah rajam, sebagaimana
disebutkan dalam sabda beliau:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “أَخُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا: الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ الرَّجْمُ”.
_"Ambillah
(hukum) dariku, ambillah (hukum) dariku! Allah telah menetapkan
jalan bagi mereka: perawan dengan perawan dicambuk seratus kali dan diasingkan
selama setahun, sedangkan yang sudah menikah dengan yang sudah menikah dirajam."_¹³
Hadits ini berfungsi untuk
memperjelas bahwa hukuman rajam berlaku bagi pezina yang sudah menikah,
sedangkan hukuman cambuk berlaku bagi yang belum menikah.
Kesimpulan
Hadits memiliki peran yang
sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan bahkan dalam beberapa kasus,
menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Oleh
karena itu, memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an menjadi suatu keharusan
bagi setiap Muslim dalam mengamalkan ajaran Islam secara komprehensif.
Catatan Kaki
[1]
Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 27.
[2]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.
[3]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa
Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.
[4]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 25.
[5]
Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-At'imah,
Hadits No. 3802.
[7]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 11.
[8]
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi
(Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Faraidh, Hadits No.
1615.
[9]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kayfa Nata`amul Ma'a As-Sunnah
(Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 47.
[10]
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab An-Nikah,
Hadits No. 1084.
[11]
Abu Ubaid Al-Qasim, An-Nasikh wal-Mansukh (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 78.
[12]
Al-Qur'an, QS. An-Nur [24] ayat 2.
[13]
Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Hudud,
Hadits No. 1690.
4.
Pandangan
Ulama tentang Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an
Para ulama telah mengkaji
hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits secara mendalam dalam berbagai karya
mereka. Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa Hadits
memiliki fungsi sebagai penjelas, perinci, dan bahkan dalam beberapa kasus,
sebagai pemberi hukum tambahan terhadap Al-Qur'an. Dalam bab ini, akan
diuraikan pandangan ulama klasik dan kontemporer mengenai fungsi Hadits
terhadap Al-Qur'an berdasarkan kitab-kitab otoritatif dalam bidang Ulumul
Hadits dan ushul fikih.
4.1. Pandangan Ulama Klasik
Para ulama klasik telah
memberikan perhatian besar terhadap fungsi Hadits dalam menjelaskan Al-Qur'an.
Mereka menyusun berbagai kaidah dan metodologi dalam memahami hubungan antara
keduanya.
4.1.1.
Imam
Syafi'i (w. 204 H)
Imam Syafi'i adalah salah
satu ulama yang sangat menekankan pentingnya Hadits dalam menjelaskan
Al-Qur'an. Dalam kitabnya Ar-Risalah, beliau
menyatakan:
_"Segala ketetapan yang berasal dari Rasulullah
Saw adalah bentuk pemahaman terhadap Al-Qur'an. Tidaklah seseorang mengetahui
makna suatu ayat kecuali melalui Sunnah yang menjelaskannya."_¹
Menurut Imam Syafi'i, Hadits
memiliki tiga fungsi utama terhadap Al-Qur'an:
1)
Menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum (bayan tafsir),
2)
Membatasi
keumuman ayat-ayat tertentu (bayan takhshish),
3)
Menetapkan
hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an
(bayan istiqra').²
Contoh yang dikemukakan oleh
Imam Syafi'i adalah kewajiban shalat. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk
mendirikan shalat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana tata cara pelaksanaannya.
Hadits Nabi Saw kemudian merinci perintah ini melalui sabdanya:
_"Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat."_³
Hal ini menunjukkan bahwa
tanpa Hadits, ajaran Islam tidak dapat dipahami secara sempurna.
4.1.2.
Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Imam Ahmad bin Hanbal
menegaskan bahwa Hadits memiliki peran yang sangat besar dalam menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur'an. Beliau berkata:
_"Barang siapa menolak Hadits Rasulullah
Saw, maka ia telah menolak Al-Qur'an, karena Hadits merupakan penjelas
Al-Qur'an."_⁴
Beliau juga menekankan bahwa
seseorang tidak dapat memahami syariat Islam hanya dengan berpegang pada
Al-Qur'an tanpa merujuk kepada Hadits.
4.1.3.
Imam
Al-Baihaqi (w. 458 H)
Dalam kitabnya Dala’il
An-Nubuwwah, Imam Al-Baihaqi menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memiliki
otoritas dalam menafsirkan Al-Qur'an dan menjelaskan maksudnya kepada umat
Islam. Menurutnya, penjelasan yang diberikan oleh Nabi Saw dalam bentuk Hadits
harus diterima sebagai bagian dari pemahaman Al-Qur'an.⁵
4.2. Pandangan Ulama Kontemporer
Para ulama kontemporer juga
mengkaji fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an dalam konteks yang lebih modern.
Berikut adalah beberapa pendapat mereka:
4.2.1.
Muhammad
Abu Zahrah (w. 1974 M)
Dalam karyanya Ushul
al-Fiqh, Abu Zahrah menegaskan bahwa Hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an yang tidak dapat dipisahkan dalam penetapan hukum
Islam. Menurutnya, apabila seseorang hanya berpegang pada Al-Qur'an tanpa
Hadits, maka banyak aspek hukum Islam yang akan menjadi tidak jelas.⁶
4.2.2.
Yusuf
Al-Qaradhawi (w. 2022 M)
Yusuf Al-Qaradhawi dalam
kitabnya Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah menekankan bahwa
dalam memahami Islam, tidak cukup hanya dengan Al-Qur'an saja. Menurutnya:
_"Al-Qur'an adalah sumber utama syariat,
tetapi ia membutuhkan Hadits untuk menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya secara rinci."_⁷
Ia juga mengkritik
kelompok-kelompok yang menolak Hadits dan hanya berpegang pada Al-Qur'an
(Qur’aniyyun). Menurutnya, pemahaman seperti ini akan menyebabkan kekeliruan
dalam memahami ajaran Islam.
4.2.3.
Musthafa
As-Siba’i (w. 1964 M)
Musthafa As-Siba’i dalam
kitabnya As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami
menegaskan bahwa Hadits bukan hanya berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an,
tetapi juga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.⁸ Beliau memberikan
contoh beberapa hukum Islam yang hanya bisa dipahami melalui Hadits, seperti:
·
Larangan menikahi seorang
wanita bersamaan dengan bibinya,
·
Hukuman rajam bagi pezina
yang sudah menikah,
·
Ketentuan nisab dalam
zakat.
4.3. Kritikan terhadap Posisi Hadits dalam Menjelaskan
Al-Qur'an
Meskipun mayoritas ulama
menerima Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an, ada beberapa kelompok yang
mempertanyakan otoritas Hadits. Beberapa kelompok yang menolak Hadits sebagai
sumber hukum utama antara lain:
4.3.1.
Kaum
Qur’aniyyun
Kelompok Qur’aniyyun hanya
menerima Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber hukum Islam dan menolak Hadits.
Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an telah cukup sebagai petunjuk bagi umat Islam
tanpa memerlukan Hadits. Pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama karena
bertentangan dengan perintah Al-Qur'an yang mengharuskan ketaatan kepada
Rasulullah Saw:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).⁹
4.3.2.
Kritik
dari Beberapa Orientalis
Beberapa orientalis seperti
Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher berpendapat bahwa banyak Hadits yang tidak
dapat dipercaya keotentikannya dan hanya merupakan rekonstruksi ulama abad ke-2
dan ke-3 Hijriyah.¹⁰ Namun, pendapat ini telah dibantah oleh para ulama Hadits,
termasuk Al-A'zami dalam karyanya Studies in Hadith
Methodology and Literature, yang menunjukkan bahwa proses
periwayatan Hadits telah melalui mekanisme yang ketat.¹¹
Kesimpulan
Pandangan ulama klasik dan
kontemporer menunjukkan bahwa Hadits memiliki fungsi yang sangat penting dalam
menjelaskan, merinci, dan melengkapi hukum-hukum dalam Al-Qur'an. Tanpa Hadits,
pemahaman terhadap syariat Islam menjadi tidak utuh. Oleh karena itu, mayoritas
ulama sepakat bahwa Hadits merupakan bagian integral dalam memahami dan
mengamalkan ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 19.
[2]
Ibid., hlm. 21.
[3]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adzan,
Hadits No. 631.
[4]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu’aib
Al-Arna’uth (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1995), Jilid 1, hlm. 227.
[5]
Al-Baihaqi, Dala’il An-Nubuwwah (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1985), hlm. 89.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr,
1997), hlm. 45.
[7]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah
(Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 31.
[8]
Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami
(Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.
[9]
Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [15 ayat 7.
[10]
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.
[11]
Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.
5.
Analisis
Kitab Hadits Induk terhadap Fungsi Hadits
Kitab-kitab Hadits induk
memiliki peran yang sangat penting dalam menjelaskan fungsi Hadits terhadap
Al-Qur'an. Para ulama Hadits telah mengumpulkan, menyusun, dan
mengklasifikasikan Hadits dalam kitab-kitab utama yang menjadi referensi utama
bagi umat Islam dalam memahami Sunnah Nabi Saw. Analisis terhadap kitab-kitab
Hadits induk ini bertujuan untuk menggali bagaimana Hadits memberikan tafsir,
takhshish, tafshil, bahkan dalam beberapa kasus menasakh hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an.
Dalam bab ini, kita akan
menganalisis fungsi Hadits dalam kitab-kitab Hadits induk yang paling
otoritatif, yaitu Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, Sunan
Ibnu Majah, serta beberapa kitab lainnya yang memiliki peran
penting dalam kajian Hadits.
5.1. Studi Kasus dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
5.1.1.
Penjelasan
Ayat tentang Wudhu (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6)
Al-Qur'an menjelaskan tata
cara berwudhu secara global dalam firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki." (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6).¹
Ayat ini tidak menjelaskan
secara rinci bagaimana tata cara berwudhu yang sempurna, terutama tentang
jumlah basuhan dan bagaimana mengusap kepala. Dalam Shahih Bukhari,
terdapat Hadits yang menjelaskan praktik wudhu Rasulullah Saw secara lebih
rinci:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ: "دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،
ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،
ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ
قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ
وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ."
Dari Utsman bin Affan RA, ia berkata:
"Beliau (Rasulullah Saw) meminta air wudhu, lalu berwudhu. Beliau
membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur, memasukkan air
ke hidung dan mengeluarkannya. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya tiga kali,
lalu membasuh tangan kanannya hingga siku tiga kali, kemudian membasuh tangan
kirinya seperti itu. Setelah itu, beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki
kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya seperti
itu. Kemudian beliau berkata: ‘Aku telah melihat Nabi Saw berwudhu seperti
wudhuku ini.’ Setelah itu beliau berkata: ‘Barang siapa berwudhu seperti
wudhuku ini, kemudian melaksanakan shalat dua rakaat tanpa berbicara dengan
dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosa yang telah lalu.’"_²
Hadits ini menunjukkan bahwa
jumlah basuhan dalam wudhu adalah tiga kali untuk setiap anggota tubuh yang
dibasuh, kecuali kepala yang cukup diusap satu kali. Ini adalah contoh
bagaimana Hadits memberikan tafshil terhadap ayat yang bersifat global.
5.1.2.
Batasan
Hukum Warisan dalam QS. An-Nisa [04] ayat 11
Dalam QS. An-Nisa [04] ayat
11, Allah menetapkan pembagian warisan bagi anak laki-laki dan perempuan:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
_"Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan."_³
Namun, ayat ini tidak
menjelaskan bagaimana pembagian warisan jika seseorang tidak memiliki anak.
Dalam Shahih Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ
فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ”.
_"Berikanlah
bagian warisan kepada pemilik haknya, kemudian sisanya untuk laki-laki yang
paling dekat (hubungan nasabnya)."_⁴
Hadits ini menunjukkan fungsi
takhshish dalam memperjelas penerapan hukum warisan
dalam situasi yang tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur'an.
5.2. Kajian Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, dan Sunan
An-Nasa’i
5.2.1.
Hadits
tentang Makanan yang Dihalalkan dan Diharamkan
Dalam QS. Al-Ma’idah [05]
ayat 3, Allah Swt mengharamkan bangkai secara umum:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
_"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah."_⁵
Namun, dalam Sunan
Abu Dawud, terdapat Hadits yang mengecualikan dua jenis bangkai
dari larangan ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا
الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبِدُ
وَالطِّحَالُ.
_" Dihalalkan
bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai itu
adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa."_⁶
Hadits ini berfungsi sebagai takhshish,
yaitu mengkhususkan hukum dalam Al-Qur'an dengan pengecualian tertentu.
5.2.2.
Tata
Cara Shalat Malam dalam QS. Al-Muzzammil: 20
Allah Swt dalam QS.
Al-Muzzammil [73] ayat 20 menyebutkan:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ
مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ
_"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa
kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua
malam, atau sepertiganya..."_⁷
Namun, ayat ini tidak
menjelaskan jumlah rakaat yang dianjurkan dalam shalat malam. Dalam Sunan
Tirmidzi, disebutkan Hadits dari Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ،
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلاَثًا.
Dari Aisyah ra.,
ia berkata:
"Rasulullah Saw
tidak pernah menambah jumlah rakaat shalat malamnya, baik di bulan Ramadhan
maupun di bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat,
janganlah engkau bertanya tentang keindahan dan panjangnya (shalat itu). Kemudian beliau shalat empat
rakaat lagi, janganlah engkau bertanya tentang keindahan dan panjangnya (shalat itu). Kemudian beliau shalat tiga
rakaat." _⁸
Hadits ini memberikan rincian
praktis terhadap ayat Al-Qur'an mengenai shalat malam.
5.3. Kajian Kitab Hadits Lain: Al-Muwatta dan Musnad
Ahmad
5.3.1.
Hadits
tentang Larangan Menikahi Wanita dan Bibinya dalam QS. An-Nisa [04] ayat 23
Al-Qur'an menetapkan beberapa
larangan pernikahan dalam QS. An-Nisa [04] ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
_"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan, bibi-bibimu dari ayah
dan bibi-bibimu dari ibu..."_⁹
Namun, tidak disebutkan
secara eksplisit apakah seorang laki-laki boleh menikahi seorang wanita bersama
dengan bibinya. Dalam Al-Muwatta, disebutkan Hadits
Nabi Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا
عَلَى خَالَتِهَا.
_"Tidak boleh seorang wanita dinikahi
bersama dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu."_¹⁰
Hadits ini menambahkan hukum
yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam ayat Al-Qur'an.
Kesimpulan
Analisis terhadap kitab-kitab
Hadits induk menunjukkan bahwa Hadits memiliki berbagai fungsi dalam
menjelaskan Al-Qur'an. Hadits:
1)
Menafsirkan
ayat-ayat yang bersifat global, seperti dalam penjelasan tata
cara wudhu.
2)
Memberikan
batasan terhadap hukum yang bersifat umum, seperti pengecualian
dalam hukum warisan.
3)
Merinci
aturan-aturan yang hanya disebutkan secara garis besar dalam Al-Qur'an,
seperti jumlah rakaat shalat malam.
4)
Menetapkan
hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti
larangan menikahi wanita bersama dengan bibinya.
Tanpa Hadits, umat Islam akan
kesulitan memahami bagaimana ajaran Al-Qur'an harus diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kitab-kitab Hadits induk memiliki
otoritas yang sangat penting dalam menginterpretasikan Al-Qur'an secara lebih
mendalam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 6.
[2]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa
Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Wudhu, Hadits No. 157.
[3]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 11.
[4]
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi
(Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Faraidh, Hadits No.
1615.
[5]
Al-Qur'an, QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab
At-Taharah, Hadits No. 3802.
[7]
Al-Qur'an, QS. Al-Muzzammil [73] ayat 20.
[8]
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab
Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab As-Salat,
Hadits No. 436.
[9]
Al-Qur'an, QS. An-Nisa [04] ayat 23.
[10]
Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya
Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.
6.
Tantangan
dalam Memahami Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an
Meskipun Hadits memiliki
peran penting dalam menjelaskan Al-Qur'an, terdapat berbagai tantangan dalam
memahami dan mengimplementasikan fungsi Hadits. Tantangan ini mencakup isu
otoritas Hadits, kritik terhadap validitas Hadits, hermeneutika modern, serta tantangan
dalam mengintegrasikan Hadits ke dalam kehidupan kontemporer.
Dalam bab ini, kita akan
menganalisis tantangan utama yang dihadapi dalam memahami fungsi Hadits
terhadap Al-Qur'an berdasarkan kajian ilmiah dari kitab-kitab Ulumul
Hadits, pemikiran para ulama klasik dan kontemporer, serta pendapat
akademisi modern.
6.1. Isu Otoritas Hadits dalam Menjelaskan Al-Qur'an
Salah satu tantangan utama
dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an adalah perbedaan pandangan
mengenai otoritas Hadits. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini
bahwa Hadits memiliki otoritas dalam menjelaskan dan merinci hukum dalam
Al-Qur'an. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).¹
Namun, ada kelompok yang
mempertanyakan otoritas Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Kelompok Qur’aniyyun (Inkar Sunnah) berpendapat bahwa hanya
Al-Qur'an yang menjadi sumber hukum Islam, sementara Hadits dianggap sebagai
tambahan yang tidak diperlukan.²
Pandangan ini telah dibantah
oleh banyak ulama, termasuk Imam Syafi'i yang dalam Ar-Risalah
menyatakan:
_"Tidaklah seseorang memahami Al-Qur'an
secara sempurna kecuali melalui Sunnah Rasulullah yang menjelaskannya."_³
Penolakan terhadap Hadits
sebagai sumber hukum akan menyebabkan ketidaksempurnaan dalam memahami hukum
Islam, seperti dalam tata cara shalat, zakat, dan puasa yang tidak dijelaskan
secara rinci dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.
6.2. Kritik terhadap Validitas Hadits
Sebagian akademisi, terutama
dari kalangan orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, mengkritik
validitas Hadits dengan menyatakan bahwa sebagian besar Hadits baru
dikodifikasi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah.⁴ Mereka berpendapat bahwa Hadits
bukanlah sabda asli Nabi Saw, melainkan hasil rekonstruksi ulama.
Namun, pandangan ini telah
dibantah oleh banyak ulama Hadits, seperti Muhammad Mustafa Al-A'zami yang
dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and
Literature membuktikan bahwa sistem periwayatan Hadits telah
berjalan sejak zaman Nabi Saw dan ditransmisikan dengan metode yang ketat.⁵
Para ulama Hadits juga
mengembangkan ilmu Jarh wa Ta'dil untuk menilai
kredibilitas perawi dan ilmu Musthalah Hadits untuk
mengklasifikasikan Hadits berdasarkan tingkat validitasnya.⁶ Oleh karena itu,
tantangan dalam validitas Hadits dapat diatasi dengan metode ilmiah yang telah
dikembangkan oleh para ulama sejak dahulu.
6.3. Tantangan Hermeneutika Modern dalam Memahami Hadits
Dalam era modern, pendekatan hermeneutika terhadap Hadits mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagian
akademisi mencoba menafsirkan Hadits dengan metode historis-kritis, yaitu
menelaah konteks sosial dan budaya di mana Hadits tersebut muncul.
Sebagai contoh, beberapa
Hadits yang dianggap misoginis oleh sebagian kalangan modern dipahami ulang
dalam konteks sosial Arab pada masa Nabi Saw. Sebagian ulama seperti Yusuf
Al-Qaradhawi menegaskan bahwa Hadits harus dipahami sesuai dengan maqashid
syariah (tujuan utama syariat).⁷
Namun, pendekatan hermeneutika ini juga menimbulkan tantangan. Beberapa akademisi menggunakan
metode ini untuk mendekonstruksi Hadits, sehingga berpotensi mengurangi
otoritasnya dalam menjelaskan Al-Qur'an. Oleh karena itu, diperlukan
keseimbangan antara pendekatan klasik dan metode ilmiah modern dalam memahami
Hadits.
6.4. Relevansi Hadits dalam Konteks Kekinian
Tantangan lain dalam memahami
fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an adalah bagaimana Hadits dapat diterapkan dalam
kehidupan kontemporer. Beberapa Hadits yang berkaitan dengan ekonomi, politik,
dan sosial perlu dikontekstualisasikan agar tetap relevan.
Sebagai contoh, dalam bidang
ekonomi Islam, Hadits Nabi Saw tentang larangan riba dan spekulasi telah
dijadikan dasar dalam pengembangan sistem perbankan syariah modern.⁸
Namun, tantangan muncul
ketika beberapa Hadits dianggap tidak lagi relevan dalam dunia modern, seperti
perbudakan dan sistem hukum hudud yang dalam beberapa kasus tidak sesuai dengan
prinsip hak asasi manusia modern. Para ulama berusaha mencari solusi dengan
melakukan pendekatan kontekstual dalam memahami Hadits.
Salah satu metode yang
digunakan adalah konsep Ilhaq An-Nazhair (analogi
dengan hukum yang serupa), yang digunakan oleh para fuqaha dalam memahami
Hadits yang berkaitan dengan kehidupan modern.⁹ Dengan metode ini, Hadits tetap
dapat berfungsi dalam menjelaskan dan menerapkan hukum Al-Qur'an dalam kondisi
sosial yang berbeda.
Kesimpulan
Tantangan dalam memahami
fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an meliputi beberapa aspek utama:
1)
Isu
otoritas Hadits, terutama dari kelompok Inkar Sunnah yang
menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam.
2)
Kritik
terhadap validitas Hadits, yang telah dijawab dengan metode
ilmiah dalam ilmu Hadits.
3)
Pendekatan hermeneutika modern, yang memerlukan keseimbangan agar tidak
mengurangi otoritas Hadits.
4)
Relevansi
Hadits dalam konteks kekinian, yang menuntut metode kontekstual
agar Hadits tetap bisa diterapkan dalam dunia modern.
Dengan pendekatan yang
seimbang antara metode klasik dan modern, Hadits tetap dapat berfungsi sebagai
penjelas Al-Qur'an yang relevan dalam kehidupan umat Islam di berbagai zaman.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr [59] ayat 7.
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr,
1997), hlm. 98.
[3]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 20.
[4]
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.
[5]
Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.
[6]
Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 27.
[7]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a As-Sunnah
(Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 41.
[8]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 2004), hlm. 253.
[9]
Mustafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami
(Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.
7.
Simpulan
dan Rekomendasi
7.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang
telah dilakukan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa Hadits memiliki
peran yang sangat penting dalam menjelaskan, merinci, dan melengkapi kandungan
Al-Qur'an. Hubungan antara Al-Qur'an dan Hadits bukanlah hubungan yang bersifat
subordinatif, melainkan saling melengkapi dalam membentuk sistem hukum Islam
yang utuh.
Al-Qur'an memberikan
prinsip-prinsip dasar hukum Islam, sedangkan Hadits berfungsi sebagai:
1)
Menjelaskan
ayat-ayat yang bersifat global (bayan tafsir),
seperti dalam tata cara shalat yang tidak dijelaskan secara rinci dalam
Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.¹
2)
Memberikan
batasan terhadap hukum yang bersifat umum (bayan
takhshish), seperti pengecualian dalam
hukum makanan yang disebutkan dalam QS. Al-Ma'idah: 3.²
3)
Merinci
aturan-aturan yang hanya disebutkan secara garis besar dalam Al-Qur'an (bayan
tafshil), seperti jumlah rakaat shalat
malam yang disebutkan dalam QS. Al-Muzzammil [73] ayat 20.³
4)
Menetapkan
hukum tambahan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an (bayan
istiqra'), seperti larangan menikahi
seorang wanita dan bibinya secara bersamaan.⁴
5)
Menetapkan
hukum baru yang menghapus atau mengganti hukum dalam Al-Qur'an (naskh wa
mansukh), seperti hukum rajam bagi
pezina yang telah menikah.⁵
Dari berbagai analisis kitab
Hadits induk seperti Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
Tirmidzi, dan kitab-kitab lainnya, jelas bahwa Hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an yang memiliki otoritas dalam menjelaskan
syariat Islam.
Namun, terdapat berbagai
tantangan dalam memahami fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an, seperti isu otoritas
Hadits, kritik terhadap validitas Hadits, hermeneutika modern, dan relevansi
Hadits dalam konteks kekinian.⁶ Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmiah
yang seimbang antara metode klasik dan modern dalam memahami Hadits agar tetap
dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam saat ini.
7.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di
atas, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk memperkuat pemahaman dan
penerapan Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
7.2.1.
Meningkatkan
Studi Ilmu Hadits dalam Pendidikan Islam
Untuk menghindari
kesalahpahaman terhadap fungsi Hadits, studi ilmu Hadits perlu ditingkatkan
dalam kurikulum pendidikan Islam. Ulama seperti Imam An-Nawawi dalam Muqaddimah
Al-Majmu' menekankan pentingnya mempelajari ilmu Hadits secara
sistematis agar tidak terjadi distorsi dalam memahami agama.⁷ Oleh karena itu,
lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal, harus memasukkan studi Ulumul
Hadits secara lebih mendalam dalam kurikulumnya.
7.2.2.
Mengembangkan
Metode Pemahaman Hadits yang Kontekstual
Dalam menghadapi tantangan
hermeneutika modern, penting bagi para ulama dan akademisi untuk mengembangkan
metode pemahaman Hadits yang tidak hanya berbasis pada teks (tekstualis),
tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah dan maqashid syariah (tujuan hukum
Islam). Yusuf Al-Qaradhawi dalam Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah
menekankan bahwa pemahaman Hadits harus mempertimbangkan kondisi sosial
masyarakat agar dapat diterapkan secara relevan.⁸
7.2.3.
Memanfaatkan
Teknologi dalam Penyebaran Ilmu Hadits
Di era digital, ilmu Hadits
harus lebih mudah diakses oleh masyarakat luas melalui teknologi. Digitalisasi
kitab-kitab Hadits induk dan pembuatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan dapat
membantu umat Islam dalam memahami Hadits secara lebih cepat dan tepat.
Inisiatif seperti Maktabah Syamilah dan Sunnah.com
telah berkontribusi dalam menyediakan akses Hadits secara luas.⁹
7.2.4.
Meningkatkan
Kesadaran Akan Pentingnya Hadits dalam Masyarakat
Masih banyak umat Islam yang
kurang memahami pentingnya Hadits dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan dakwah yang lebih efektif dalam menyampaikan peran Hadits
sebagai penjelas Al-Qur'an. Program kajian keislaman berbasis Hadits, baik
melalui ceramah langsung maupun media digital, dapat membantu meningkatkan
pemahaman masyarakat mengenai pentingnya Hadits dalam membentuk kehidupan
beragama yang lebih baik.
7.2.5.
Membangun
Dialog Akademik untuk Mengatasi Tantangan Modern
Untuk menjawab tantangan dari
kelompok yang meragukan otoritas Hadits, perlu adanya dialog akademik antara
ulama, akademisi, dan pemikir Islam modern. Diskusi yang melibatkan ilmuwan
Islam dan orientalis juga penting untuk membangun pemahaman yang lebih objektif
mengenai validitas Hadits. Karya-karya akademik seperti Studies
in Hadith Methodology and Literature oleh Muhammad Mustafa
Al-A'zami dapat dijadikan rujukan utama dalam menghadapi kritik terhadap
Hadits.¹⁰
Penutup
Hadits merupakan bagian
integral dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Tanpa Hadits, umat Islam
akan kesulitan dalam memahami berbagai perintah Al-Qur'an yang bersifat global.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi Hadits harus terus diperkuat melalui
pendidikan, penelitian akademik, dan dakwah yang berbasis pada metode ilmiah
yang valid.
Dengan pendekatan yang tepat,
Hadits akan terus berperan sebagai pedoman hidup bagi umat Islam di berbagai
zaman, sekaligus menjawab tantangan kontemporer dengan solusi yang relevan dan
sesuai dengan maqashid syariah.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, ed. Mustafa
Al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.
[2]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1996), Kitab
At-Taharah, Hadits No. 3802.
[3]
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, ed. Abdul Wahhab
Abdul Latif (Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi, 1985), Kitab As-Salat,
Hadits No. 436.
[4]
Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya
Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.
[5]
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, ed. Abdul Baqi
(Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab Al-Hudud, Hadits No. 1690.
[6]
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.
[7]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, ed.
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.
[8]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah
(Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 41.
[9]
"Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet Muhammad,"
Sunnah.com, diakses 10 Februari 2025, https://sunnah.com.
[10]
Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Abu Dawud. (1996). Sunan Abu Dawud (M.
Muhyiddin Abdul Hamid, Ed.). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-A'zami, M. M. (1977). Studies in Hadith
Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications.
Al-Baihaqi. (1985). Dala’il An-Nubuwwah.
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Bukhari, M. I. (1987). Shahih Al-Bukhari
(M. Al-Bugha, Ed.). Beirut: Dar Ibn Kathir.
Al-Mawardi, A. (1996). Al-Ahkam As-Sultaniyyah
wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Qaradhawi, Y. (1990). Kaifa Nata’amal Ma’a
As-Sunnah. Kairo: Dar As-Syuruq.
Al-Qur’an Al-Karim.
An-Nawawi, Y. bin S. (1955). Al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim (A. Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi.
As-Siba’i, M. (1959). As-Sunnah wa Makanatuha
fit Tasyri' Al-Islami. Damaskus: Al-Maktab Al-Islami.
As-Suyuthi, J. (1986). Tadrib Al-Rawi fi Syarh
Taqrib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr.
At-Tirmidzi, M. bin I. (1985). Sunan At-Tirmidzi
(A. W. A. Latif, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi.
Az-Zuhaili, W. (2004). Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr.
Goldziher, I. (1971). Muslim Studies (S. M.
Stern, Ed. & Trans.). Albany: State University of New York Press.
Ibnu Majah, M. (2000). Sunan Ibnu Majah.
Riyadh: Darussalam.
Imam Malik bin Anas. (1985). Al-Muwatta (Y.
bin Y. Al-Laitsi, Ed.). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Muslim, M. bin H. (1955). Shahih Muslim (A.
Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi.
Schacht, J. (1950). The Origins of Muhammadan
Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.
Syafi’i, I. (1940). Ar-Risalah (A. M.
Syakir, Ed.). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Zahrah, M. A. (1997). Ushul al-Fiqh. Kairo:
Dar Al-Fikr.
Sumber Online
"Sunnah.com – Sayings and Teachings of Prophet
Muhammad." (2025). Sunnah.com. Retrieved from https://sunnah.com.
Lampiran 1: Glosarium
Glosarium ini berisi
istilah-istilah teknis yang digunakan dalam artikel mengenai fungsi Hadits
terhadap Al-Qur'an. Definisi dalam glosarium ini mengacu pada kitab-kitab Ulumul
Hadits, Ushul Fiqh, dan referensi
Islam klasik serta kontemporer.
1.
Bayan Istiqra' (بيان استقراء)
Merujuk pada fungsi Hadits dalam menetapkan
hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an tetapi berdasarkan
prinsip-prinsip yang ada dalam syariat Islam.¹ Contoh dari fungsi ini adalah
larangan menikahi seorang wanita bersama dengan bibinya, yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an tetapi dijelaskan dalam Hadits.²
2.
Bayan Tafshil (بيان تفصيل)
Hadits berfungsi sebagai perincian terhadap ayat
Al-Qur'an yang menyebutkan hukum-hukum secara garis besar.³ Contohnya adalah
tata cara shalat yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an tetapi
diperinci oleh Hadits Nabi Saw.⁴
3.
Bayan Tafsir (بيان تفسير)
Fungsi Hadits dalam menjelaskan makna ayat-ayat
Al-Qur'an yang bersifat umum atau global.⁵ Misalnya, Hadits yang menjelaskan
makna "shalat" dalam perintah Allah untuk mendirikan shalat
dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 43.⁶
4.
Bayan Takhshish (بيان تخصيص)
Fungsi Hadits dalam mengkhususkan hukum yang
terdapat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum ('aam).⁷
Misalnya, ayat yang melarang semua bentuk bangkai (QS. Al-Ma'idah [05] ayat 3),
tetapi Hadits mengecualikan ikan dan belalang dari larangan ini.⁸
5.
Hadits (حديث)
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat
beliau.⁹ Hadits terbagi menjadi berbagai kategori berdasarkan sanad dan
matannya, seperti Shahih, Hasan,
dan Dha'if.¹⁰
6.
Hermeneutika Islam
Pendekatan modern dalam memahami teks-teks
Islam, termasuk Hadits, dengan mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan
linguistik.¹¹ Beberapa akademisi Muslim kontemporer menggunakan metode ini
untuk memahami Hadits dalam konteks kehidupan modern.¹²
7.
Inkar Sunnah (إنكار السنة)
Kelompok yang menolak Hadits sebagai sumber
hukum Islam dan hanya berpegang pada Al-Qur'an saja.¹³ Pandangan ini ditolak
oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan perintah dalam Al-Qur'an untuk
mengikuti Rasulullah Saw (QS. Al-Hasyr [59] ayat 7).¹⁴
8.
Jarh wa Ta'dil (الجرح والتعديل)
Ilmu yang membahas tentang kredibilitas perawi
Hadits, baik dari segi keadilan (‘adalah) maupun ketelitian
dalam meriwayatkan Hadits (dhabit).¹⁵ Ilmu ini menjadi
bagian penting dalam menilai otentisitas suatu Hadits.¹⁶
9.
Maqashid Syariah (مقاصد الشريعة)
Tujuan utama dari hukum Islam yang bertujuan
untuk menjaga lima aspek utama kehidupan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.¹⁷ Pemahaman Hadits dalam konteks modern sering kali dikaitkan dengan
maqashid syariah agar tetap relevan.¹⁸
10.
Musthalah Hadits (مصطلح الحديث)
Cabang ilmu dalam studi Hadits yang membahas
berbagai terminologi dalam ilmu Hadits, seperti definisi Hadits Shahih,
Hasan, dan Dha’if,
serta kaidah-kaidah dalam menilai sanad dan matan Hadits.¹⁹
11.
Nasakh wa Mansukh (النسخ والمنسوخ)
Konsep dalam hukum Islam di mana suatu hukum
yang terdapat dalam Al-Qur'an atau Hadits dapat dihapus atau diganti dengan
hukum yang baru melalui wahyu berikutnya.²⁰ Contohnya adalah hukuman rajam bagi
pezina yang telah menikah, yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an tetapi
dijelaskan dalam Hadits.²¹
12.
Sunnah (السنة)
Segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi
Muhammad Saw yang menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an.²² Sunnah juga
mencakup kebiasaan dan sikap hidup Nabi Saw yang menjadi teladan bagi umat
Islam.²³
Catatan Kaki
[1]
Imam Syafi'i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1940), hlm. 25.
[2]
Malik bin Anas, Al-Muwatta, ed. Yahya bin Yahya
Al-Laitsi (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1985), Kitab An-Nikah, Hadits No. 1120.
[3]
Al-Bukhari, M. I., Shahih Al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn
Kathir, 1987), Kitab Al-Adzan, Hadits No. 631.
[4]
Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya’
At-Turath Al-Arabi, 1955), Kitab As-Salat, Hadits No. 759.
[5]
Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), hlm. 45.
[6]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 43.
[7]
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah
(Kairo: Dar As-Syuruq, 1990), hlm. 31.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab At-Taharah,
Hadits No. 3802.
[9]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar Al-Fikr,
1997), hlm. 45.
[10]
Al-Baihaqi, Dala’il An-Nubuwwah (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1985), hlm. 89.
[11]
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 45.
[12]
Muhammad Mustafa Al-A'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 65.
[13]
Mustafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri' Al-Islami
(Damaskus: Al-Maktab Al-Islami, 1959), hlm. 72.
[14]
Al-Qur'an, QS. Al-Hasyr: 7.
[15]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
(Beirut: Dar Ihya' At-Turath Al-Arabi, 1955), Jilid 1, hlm. 10.
[16]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Ilm,
Hadits No. 3641.
[17]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
(Damaskus: Dar Al-Fikr, 2004), hlm. 253.
[18]
Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah,
hlm. 89.
[19]
As-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi,
hlm. 97.
[20]
Abu Ubaid Al-Qasim, An-Nasikh wal-Mansukh (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991), hlm. 78.
[21]
Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Hudud,
Hadits No. 1690.
[22]
Syafi’i, Ar-Risalah, hlm. 19.
[23]
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, hlm.
21.
Lampiran 2: Resume Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Berikut adalah beberapa
fungsi hadis terhadap Al-Qur'an:
1)
Sebagai Penjelas (Bayan
Tafsir/Taqrir)
Hadis berfungsi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an
yang masih bersifat global (mujmal). Contohnya, Al-Qur'an memerintahkan shalat,
tetapi tata cara shalat dijelaskan melalui hadis.
2)
Sebagai Penguat (Bayan
Ta'kid)
Hadis memperkuat hukum-hukum yang sudah disebutkan
dalam Al-Qur'an, baik dengan pengulangan atau dengan penekanan lebih lanjut.
Contohnya, larangan riba dalam Al-Qur'an diperkuat dengan hadis yang menegaskan
berbagai jenis riba.
3)
Sebagai Penetap Hukum Baru
(Bayan Tasyri')
Dalam beberapa kasus, hadis menetapkan hukum
yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Misalnya, larangan
memakan hewan buas bertaring dan burung bercakar tajam berasal dari hadis,
bukan dari Al-Qur'an.
4)
Sebagai Pembatas (Bayan
Takhshish)
Hadis berfungsi membatasi keumuman suatu ayat
Al-Qur'an. Contohnya, dalam Al-Qur'an semua harta peninggalan orang tua
diwarisi oleh anak, tetapi dalam hadis dijelaskan bahwa "laa yashilu
al-qaatilu min al-mirats" (pembunuh tidak boleh mendapatkan warisan).
5)
Sebagai Pengecualian
(Bayan Taqyid)
Hadis juga membatasi makna suatu ayat yang
bersifat mutlak. Contohnya, dalam Al-Qur'an disebutkan "Potonglah tangan
pencuri" (QS. Al-Ma’idah [05] ayat 38), tetapi dalam hadis dijelaskan
bahwa pencurian yang menyebabkan pemotongan tangan memiliki syarat tertentu, seperti
jumlah minimal barang yang dicuri.
6)
Sebagai Penjelas Konteks
Sejarah (Asbabun Nuzul)
Beberapa hadis menjelaskan latar belakang
turunnya ayat-ayat Al-Qur'an sehingga mempermudah pemahaman hukum dan maksud
dari ayat tersebut.
Dengan demikian, hadis memiliki
peran yang sangat penting dalam memahami, menjelaskan, dan mengimplementasikan
ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar