Politik
sebagai Pertunjukan
Populisme, Pencitraan, dan
Demokrasi Permukaan
Alihkan ke: Kajian
Teori Artikel Ini.
Populisme, Jokowi
dalam Nominasi OCCRP, Mengkritik
Sebutan Rakyat Jelata, Opini
dan untuk Kerja Pemerintah, Arah
Pendidikan Jawa Barat.
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena populisme politik
dalam konteks perkembangan media, mulai dari radio, televisi, hingga media
sosial digital. Populisme dipahami sebagai strategi politik yang menekankan
citra, simbol, dan kedekatan emosional dengan rakyat, ketimbang substansi
kebijakan. Melalui studi kasus berbagai tokoh seperti Franklin D. Roosevelt,
John F. Kennedy, Juan dan Eva Perón, Silvio Berlusconi, Hugo Chávez, Donald
Trump, Rodrigo Duterte, hingga Joko Widodo, tulisan ini memperlihatkan
bagaimana politik bertransformasi menjadi panggung pertunjukan.
Di Indonesia, fenomena ini tampak melalui strategi
simbolis SBY, blusukan Jokowi, program kartu sosial, hingga gaya kreatif Ridwan
Kamil dan reality show politik Dedi Mulyadi. Selain itu, artikel ini juga
menyoroti peran buzzer sebagai kekuatan baru dalam membentuk narasi digital,
serta dampaknya terhadap demokrasi yang cenderung berubah menjadi industri
tontonan. Analisis kemudian menunjukkan bahwa orientasi politik berbasis
pencitraan memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan publik di sektor
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, yang lebih menekankan aspek visual
daripada perbaikan struktural.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia
berisiko terjebak dalam "demokrasi permukaan," di mana
keberhasilan diukur dari citra, bukan substansi. Namun demikian, peluang menuju
demokrasi yang lebih substansial tetap terbuka melalui pendidikan politik,
kebebasan pers yang kritis, serta gerakan masyarakat sipil yang menuntut
akuntabilitas.
Kata Kunci: Populisme, Pencitraan Politik, Media Sosial,
Buzzer, Demokrasi Permukaan, Politik Indonesia, Politik sebagai Pertunjukan.
PEMBAHASAN
SOROTAN, PENCITRAAN, JANJI,
KOSONG REALITA POLITIK
1.
Pendahuluan:
Populisme dan Panggung Politik
Bayangkan seorang pemimpin berdiri di tengah
lapangan luas. Ribuan orang berdesakan sambil meneriakkan namanya, mengangkat
poster dengan wajahnya yang tersenyum. Sang pemimpin tidak berbicara tentang
data ekonomi, apalagi tentang strategi pembangunan yang rinci. Ia hanya
menyampaikan kata-kata sederhana yang membuat rakyat merasa didengar,
janji-janji yang tampak dekat dengan kehidupan sehari-hari. Saat itu publik
merasa: “Inilah orang kita.”
Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: benarkah ia
sungguh “orang kita”, ataukah sekadar aktor piawai yang mampu mengubah
gimik panggung menjadi kebijakan semu demi mempertahankan popularitas?
Pertanyaan tersebut membawa kita pada fenomena populisme
yang kini mewarnai politik di berbagai belahan dunia. Dari Donald Trump di
Amerika Serikat, Joko Widodo di Indonesia, hingga para pemimpin di Amerika
Latin, Asia, dan Eropa, populisme hadir sebagai strategi politik yang
mengandalkan citra dan kedekatan emosional ketimbang tawaran
kebijakan substansial.
Fenomena lahirnya pemimpin populis modern tidak
bisa dilepaskan dari dua arus besar yang saling terkait:
1)
Perkembangan teknologi media – mulai dari radio, televisi, hingga media sosial, yang membentuk ruang
publik baru.
2)
Krisis legitimasi politik – yang melemahkan kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi
konvensional, sehingga mereka mencari figur yang dianggap “mewakili suara
rakyat.”
Sejarah mencatat bahwa pada awal abad ke-20, media
massa mulai memainkan peran sentral dalam membentuk figur publik. Presiden
Amerika Serikat ke-32, Franklin D. Roosevelt, melalui Fireside Chats
pada tahun 1930-an, berhasil menciptakan kedekatan emosional dengan rakyat di
tengah krisis ekonomi hanya dengan kekuatan suara radio.
Meski radio menghadirkan intimasi emosional, ia
tetap terbatas karena tidak menampilkan citra visual. Lompatan besar terjadi
pada dekade 1950-an ketika televisi memasuki ruang tamu keluarga. Sejak saat
itu, politik tidak lagi sekadar soal gagasan, melainkan juga soal penampilan,
gestur, dan visualisasi citra.
Pertarungan pemilu Presiden Amerika Serikat tahun
1960 antara John F. Kennedy dan Richard Nixon menjadi titik balik penting.
Kennedy yang tampil segar, percaya diri, dan fotogenik, berhasil memikat publik
televisi, sementara Nixon terlihat pucat dan gugup di bawah sorot lampu studio.
Peristiwa ini menandai lahirnya era baru: politik sebagai tontonan.
Dari titik inilah populisme menemukan ruang
panggung yang semakin luas—mulai dari retorika suara, hingga dominasi visual,
dan kini berkembang dalam jagat media sosial yang serba instan.
2.
Sejarah
Awal Populisme dalam Media
Fenomena populisme modern tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan media massa yang membentuk citra publik seorang pemimpin.
Media menjadi sarana utama yang menghubungkan politisi dengan rakyat, membangun
persepsi, dan menciptakan kedekatan emosional. Sejarah menunjukkan bahwa setiap
lompatan teknologi media selalu melahirkan cara baru bagi populisme untuk
berkembang.
2.1.
Era Radio: Intimasi Suara
Roosevelt
Pada awal abad ke-20, radio menjadi media pertama
yang benar-benar mampu menciptakan kedekatan antara pemimpin dan rakyat.
Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, memanfaatkan Fireside
Chats pada dekade 1930-an untuk berbicara langsung kepada warga di tengah
krisis ekonomi.
Suara Roosevelt yang tenang menciptakan kesan
seolah ia hadir di ruang keluarga pendengar. Sejarawan J. Michael Hogan dalam
bukunya Voice of Democracy menegaskan bahwa radio memungkinkan
terciptanya hubungan emosional yang hangat. Meski begitu, radio hanya
mengandalkan suara tanpa visual, sehingga citra kepemimpinan yang dibangun
tetap terbatas.
2.2.
Era Televisi: Politik
Menjadi Visual
Lompatan besar berikutnya terjadi pada dekade
1950-an ketika televisi mulai merajai ruang publik. Televisi tidak hanya
menghadirkan suara, tetapi juga penampilan, ekspresi, dan bahasa tubuh.
Titik balik paling terkenal adalah debat
pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1960 antara John F. Kennedy dan
Richard Nixon. Disaksikan oleh sekitar 70 juta warga Amerika, peristiwa ini
memperlihatkan betapa pentingnya kekuatan visual. Kennedy tampil segar, percaya
diri, dan telegenik, sementara Nixon terlihat pucat dan berkeringat di bawah
sorot lampu studio.
Sejarawan David Greenberg dalam bukunya Republic
of Spin menyatakan bahwa sejak saat itu, politik tidak lagi semata-mata
soal argumen rasional, melainkan juga tentang telegenik—kemampuan
menguasai bahasa tubuh, tatapan, ekspresi, dan citra visual.
Dengan demikian, sejak era radio hingga televisi,
politik mulai bertransformasi menjadi pertunjukan publik. Jika radio
menghadirkan suara yang akrab, maka televisi menambahkan dimensi visual yang
jauh lebih kuat dalam membangun citra populis seorang pemimpin.
3.
Populisme
Visual dan Politik sebagai Pertunjukan
Ketika media berkembang, populisme tidak lagi
sekadar hadir dalam bentuk retorika suara atau penampilan visual sederhana, tetapi
bertransformasi menjadi sebuah pertunjukan politik. Kamera, film, dan
televisi membuka peluang bagi pemimpin populis untuk membentuk ikonografi,
mengatur panggung, dan mengikat emosi rakyat melalui citra yang dirancang
secara sengaja.
3.1.
Juan dan Eva Perón:
Ikonografi Populis Argentina
Contoh klasik muncul di Argentina melalui Juan
Perón dan istrinya, Eva Perón (Evita). Dalam arsip dokumenter Perón:
Sinfonía del Sentimiento karya Leonardo Favio, tampak bagaimana pasangan
ini menggunakan kamera untuk menciptakan narasi “pro-rakyat.”
Evita kerap difoto saat mengunjungi rumah sakit,
memeluk anak-anak miskin, atau hadir bersama buruh. Gambar-gambar tersebut
kemudian dicetak di koran, diputar di bioskop, dan berfungsi sebagai propaganda
visual. Pasangan Perón tidak hanya tampil sebagai politisi, tetapi sebagai ikon
emosional yang melekat dalam imajinasi rakyat.
3.2.
Silvio Berlusconi: Media
sebagai Alat Kekuasaan
Di Italia, Silvio Berlusconi memperlihatkan ekstrem
lain dari politik sebagai pertunjukan. Sebelum terjun ke dunia politik, ia
membangun kerajaan media Fininvest yang menguasai jaringan televisi
swasta. Dengan media yang ia kendalikan, Berlusconi mampu mengatur citranya,
meminimalisasi liputan negatif, dan menyiarkan kampanye politiknya layaknya
acara hiburan.
Laporan The Guardian (2002) menyebut bahwa
strategi Berlusconi menjadikan politik tidak lagi sekadar ruang perdebatan
kebijakan, tetapi tontonan yang diatur dengan logika pasar media.
3.3.
Hugo Chávez: Reality Show
Politik di Venezuela
Di Venezuela, Hugo Chávez memanfaatkan program
televisinya sendiri, Aló Presidente, sebagai panggung populisme. Ia
berbicara langsung kepada rakyat selama berjam-jam tanpa naskah, bahkan sering
memanggil menteri di tengah siaran untuk segera melaksanakan kebijakan.
Sejarawan Steve Ellner dalam Latin American
Perspectives menilai strategi ini sebagai bentuk populisme partisipatif
dalam format televisi interaktif. Chávez bukan sekadar presiden, tetapi juga
bintang reality show yang membaurkan batas antara kebijakan dan hiburan.
Dengan ketiga contoh di atas, jelas terlihat bahwa
pada era media visual, politik berubah menjadi teater publik. Citra,
simbol, dan adegan yang mudah dipahami menjadi jauh lebih penting daripada
detail kebijakan. Dari Perón hingga Chávez, populisme menemukan panggung baru
di mana kepemimpinan dibentuk bukan hanya oleh ide, tetapi oleh pertunjukan
yang dapat direkam, diputar, dan diulang-ulang dalam kesadaran rakyat.
4.
Transformasi
ke Era Digital
Memasuki dekade 2010-an, perkembangan teknologi
digital dan media sosial melahirkan babak baru dalam populisme. Jika sebelumnya
radio, televisi, dan film dokumenter menjadi panggung utama, kini populisme
menemukan arena yang lebih instan, interaktif, dan tanpa batas: layar
ponsel di tangan miliaran orang.
Media sosial menghapus peran mediator tradisional
seperti redaksi surat kabar atau stasiun televisi. Seorang pemimpin bisa
langsung menembus ruang privat audiens melalui notifikasi di gawai mereka.
Setiap unggahan menjadi panggung politik, setiap cuitan menjadi pidato singkat,
dan setiap kontroversi menjadi bahan bakar viralitas.
4.1.
Donald Trump dan Populisme
Twitter
Donald Trump adalah ikon awal dari populisme
digital. Melalui Twitter, ia memotong jalur media tradisional, menyampaikan
pesan langsung ke puluhan juta pengikut, dan menciptakan kontroversi harian
yang selalu menarik liputan media. Artikel The Washington Post mencatat
bagaimana strategi ini menjadikan Trump mampu mendominasi narasi publik dengan
biaya rendah, karena setiap twitnya beresonansi luas melalui pemberitaan
gratis.
4.2.
Rodrigo Duterte dan
Facebook Live
Di Asia Tenggara, Rodrigo Duterte di Filipina
menggunakan Facebook Live sebagai senjata politik. Ia berbicara tanpa sensor,
penuh makian terhadap lawan politik, dan menampilkan diri sebagai suara rakyat
kecil yang marah kepada elit. Jonathan Corpus Ong dalam Critical Asian
Studies menjelaskan bahwa gaya kasar namun jujur ini memperkuat citra
Duterte sebagai pemimpin yang autentik. Media sosial membuatnya tampak lebih
dekat dan spontan dibanding politisi tradisional.
4.3.
Joko Widodo dan Blusukan di
Era Media Sosial
Di Indonesia, Joko Widodo sejak menjabat Wali Kota
Solo memanfaatkan strategi blusukan yang direkam, dibingkai, lalu diunggah ke YouTube
dan media sosial. Liputan BBC Jokowi: From Furniture Seller to President
menegaskan bahwa citra “pemimpin rakyat” ini terbentuk secara konsisten melalui
dokumentasi visual yang dirancang agar mudah dikonsumsi publik.
Ros Tapsell dalam bukunya Media Power in
Indonesia menyebut strategi ini sebagai political branding berbasis
visual. Setiap interaksi publik dihitung untuk menghasilkan dampak
emosional, di mana kamera tidak hanya merekam, tetapi sekaligus membentuk
realitas politik.
Dengan demikian, era digital menandai transformasi
besar: populisme tidak lagi bergantung pada sorotan kamera televisi, melainkan
hadir langsung di layar ponsel. Politik berubah menjadi konten, pemimpin
menjadi influencer, dan rakyat menjelma penonton yang terlibat dalam siklus like,
share, dan viralitas.
5.
Paradoks
Citra dan Kebijakan
Perkembangan populisme berbasis media, baik
televisi maupun media sosial, menciptakan sebuah paradoks. Ketika kamera selalu
hadir, yang lebih diprioritaskan bukan lagi isi kebijakan, melainkan bagaimana
kebijakan tersebut tampak di mata publik. Gimik komunikasi yang awalnya
hanya alat penyampai pesan, secara perlahan berubah menjadi substansi politik
itu sendiri.
5.1.
Politik Gimik vs Kebijakan
Substansial
Dalam logika populisme visual, publik sering kali
sulit membedakan antara kebijakan nyata yang memiliki dampak struktural dengan
kebijakan simbolis yang lebih banyak memengaruhi persepsi. Murray Edelman dalam
bukunya Politics as Performance menjelaskan bahwa publik kerap menerima
simbol politik sebagai kenyataan, padahal yang mereka lihat hanyalah panggung
pencitraan.
5.2.
Duterte: Perang Narkoba
sebagai Teater Politik
Contoh mencolok adalah kebijakan pemberantasan
narkoba oleh Rodrigo Duterte di Filipina. Pada awalnya, kebijakan ini dibingkai
sebagai tindakan tegas untuk menyelamatkan generasi muda. Namun, laporan The
New York Times tahun 2017 menunjukkan bahwa yang terjadi lebih menyerupai
aksi teatrikal politik. Citra Duterte sebagai “strongman” dibangun melalui
adegan kekerasan dan retorika tanpa diikuti solusi komprehensif terhadap akar
persoalan narkotika.
5.3.
Jokowi: Blusukan yang
Menjadi Ritual
Di Indonesia, blusukan Jokowi awalnya tampil
sebagai inovasi politik—cara sederhana untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat
kecil. Namun, seiring waktu, blusukan kehilangan bobot substantifnya. Ia
berubah menjadi ritual berulang yang lebih menekankan pada kesan visual
ketimbang penyelesaian masalah struktural.
Fenomena serupa juga terlihat dalam program
kartu-kartu sosial (KIP, KIS, dan lainnya). Studi Australian National
University (2020) menunjukkan bahwa selain manfaat sosial, program ini
dirancang dengan dimensi komunikasi yang kuat: nama yang mudah diingat, kemasan
visual, dan momentum peluncuran yang disesuaikan untuk liputan media.
5.4.
Trump: Tembok Perbatasan
sebagai Simbol
Donald Trump menawarkan janji besar untuk membangun
tembok di perbatasan dengan Meksiko. Secara visual, tembok menjadi simbol
sederhana: pembatas yang jelas antara “kita” dan “mereka.” Namun,
secara faktual, pembangunan tembok hanya terealisasi sebagian kecil. Janji itu
lebih berfungsi sebagai slogan kampanye daripada kebijakan imigrasi yang
menyentuh akar masalah.
Dengan contoh-contoh di atas, terlihat jelas
paradoks antara citra dan realitas: gimik yang kuat secara simbolis, tetapi
dangkal secara kebijakan. Dari blusukan, reality show, perang narkoba, hingga
tembok perbatasan, semuanya berbagi logika yang sama: menciptakan image of
action, yakni kesan seolah-olah bertindak, tanpa komitmen serius pada
reformasi struktural.
6.
Politik
Panggung di Indonesia
Fenomena politik sebagai pertunjukan juga tampak
jelas di Indonesia, terutama setelah era reformasi. Para pemimpin dan politisi
memanfaatkan simbol, gestur, hingga media sosial untuk membangun citra, sering
kali lebih menonjol daripada kebijakan substansial.
6.1.
Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY): Simbol Dua Jari
Pada Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono
memperkenalkan gestur khas dua jari sebagai simbol nomor urut kampanyenya.
Walaupun sederhana, simbol ini menjadi ikon visual yang mudah dikenali dan
direplikasi. Branding ini memperlihatkan bagaimana gestur sederhana bisa
memiliki kekuatan simbolis dalam membangun citra politik.
6.2.
Joko Widodo: Blusukan dan
Program Kartu
Jokowi melanjutkan strategi citra dengan blusukan
sejak menjabat Wali Kota Solo. Awalnya, blusukan dipandang sebagai metode
inovatif untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat kecil. Namun, seiring waktu,
blusukan berubah menjadi ritual pencitraan yang berulang dan kehilangan bobot
substantifnya.
Selain itu, berbagai program kartu sosial—seperti
Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS)—juga diposisikan
bukan hanya sebagai kebijakan, tetapi sebagai produk komunikasi politik.
Studi Australian National University (2020) menegaskan bahwa program tersebut
didesain dengan nama yang mudah diingat, kemasan visual, dan momentum
peluncuran yang diatur agar menjadi bahan liputan media.
6.3.
Ridwan Kamil: Politik
Kreatif dan Media Sosial
Sebagai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil
memanfaatkan media sosial secara intens. Ia meluncurkan program dengan nama
populer seperti Jalan Cantik atau Saber Hoaks—branding yang
“catchy” untuk mempermudah komunikasi dengan publik.
Selain itu, gaya komunikasinya sering disertai
humor, konten kreatif, dan aksi spontan yang mudah viral. Hal ini membentuk
citra sebagai pemimpin “milenial” yang dekat dengan warganya. Namun,
kritik muncul karena gaya tersebut dinilai sering kali tidak menjawab persoalan
struktural yang lebih kompleks.
6.4.
Dedi Mulyadi: Reality Show
Politik
Dedi Mulyadi mengambil pendekatan lebih teatrikal.
Ia memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk menampilkan dirinya dalam format
semacam reality show politik. Videonya sering memperlihatkan aksi menegur
warga, membantu masyarakat miskin, atau memberikan wejangan budaya Sunda dengan
gaya blak-blakan.
Strategi ini berhasil memperkuat citra dirinya
sebagai “bapa” yang hadir langsung di tengah rakyat. Namun, problem mendasarnya
adalah sifatnya yang sementara: aksi emosional di depan kamera sering kali
tidak diikuti oleh desain kebijakan jangka panjang. Akibatnya, masalah
struktural seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial tetap belum tersentuh.
Fenomena politik panggung di Indonesia
memperlihatkan pola yang sama: aksi simbolis, visual, dan mudah dipahami
publik lebih diutamakan daripada perumusan kebijakan mendalam. Dari SBY
hingga Jokowi, Ridwan Kamil, dan Dedi Mulyadi, politik semakin bergeser menjadi
pertunjukan publik yang viral di media sosial, namun rawan kehilangan substansi
kebijakan.
7.
Fenomena
Buzzer Politik
Selain pencitraan personal, panggung politik modern
juga diperkuat oleh hadirnya aktor baru bernama buzzer. Mereka berfungsi
sebagai perpanjangan tangan digital untuk memperkuat narasi, mengulang pesan,
bahkan menggiring opini publik agar citra seorang tokoh tetap hidup di ruang
media. Jika gimik adalah panggung depan, maka buzzer adalah operator lampu sorot
yang menentukan bagian mana yang bersinar dan mana yang tenggelam.
7.1.
Akar Sejarah Propaganda
Fenomena buzzer tidak lahir tiba-tiba. Ia memiliki
jejak panjang dalam sejarah propaganda politik. Pada masa Perang Dunia I,
misalnya, pemerintah Amerika Serikat melalui Committee on Public Information
yang dipimpin George Creel menggunakan poster, pamflet, hingga film untuk
membentuk opini publik.
Di Eropa, Nazi Jerman di bawah Joseph Goebbels
mengembangkan propaganda modern yang efektif dengan memanfaatkan radio, film,
dan poster untuk menciptakan narasi tentang “superioritas ras Arya.”
Sejarah ini menunjukkan bahwa opini publik sudah lama dapat digiring melalui
media, jauh sebelum istilah buzzer dikenal.
7.2.
Evolusi Buzzer di Era Media
Sosial Global
Memasuki awal 2000-an, kemunculan media sosial
seperti Friendster, MySpace, Facebook, dan Twitter membuka ruang komunikasi
yang lebih bebas. Awalnya dianggap sebagai arena demokratis, media sosial
perlahan berubah menjadi medan perebutan perhatian. Dalam logika algoritma,
suara yang paling sering muncul dan paling konsisten akan dianggap sebagai
kebenaran.
Fenomena buzzer mulai tampak dalam politik global.
Pada pemilu Amerika Serikat 2008, tim Barack Obama berhasil memanfaatkan media
sosial untuk mobilisasi massa. Meski belum melibatkan buzzer dalam pengertian
modern, kampanye tersebut menunjukkan potensi kekuatan digital. Setelah itu,
banyak pihak menyadari pentingnya membentuk pasukan akun untuk menguasai wacana
publik.
Rodrigo Duterte di Filipina pada 2016 adalah salah
satu contoh paling menonjol. Ratusan akun asli maupun palsu digerakkan untuk
membangun citra dirinya sebagai pemimpin tegas dan dekat dengan rakyat.
Penelitian Rappler mencatat bahwa ekosistem buzzer di Filipina bekerja
layaknya industri lengkap dengan tarif bayaran dan pola kerja terstruktur.
Fenomena serupa juga terjadi di Amerika Serikat
pada Pilpres 2016 ketika Donald Trump didukung oleh operasi informasi dari luar
negeri. Investigasi menemukan adanya keterlibatan Rusia melalui Internet
Research Agency yang mengoperasikan ribuan akun palsu untuk menyebarkan
hoaks, menghasut, dan memecah belah opini publik.
7.3.
Buzzer Politik di Indonesia
Di Indonesia, istilah buzzer bahkan menjadi
lebih populer daripada di banyak negara lain. Akar kemunculannya dapat
ditelusuri pasca-reformasi 1998, ketika media menjadi lebih beragam dan
kompetitif.
Dengan meningkatnya penetrasi internet sejak
2000-an, media sosial membuka kanal baru bagi politisi untuk berbicara langsung
kepada publik tanpa melalui media arus utama. Aksi simbolis seperti blusukan ke
pasar atau makan di warung sederhana dapat direkam, disebarkan, dan diviralkan
dengan framing tertentu untuk membentuk citra.
Fenomena buzzer politik semakin jelas terlihat pada
Pilpres 2014. Menurut analisis Ross Tapsell dalam Media Power in Indonesia,
inilah titik balik ketika media sosial menjadi arena tempur utama politik
nasional. Kedua kubu capres sama-sama mempekerjakan tim buzzer untuk
memproduksi, menyebarkan, dan memviralkan pesan politik, baik untuk mendukung
kandidat maupun menyerang lawan.
7.4.
Infrastruktur dan Pendanaan
Buzzer
Ekosistem buzzer di Indonesia bekerja secara
terstruktur. Penelitian Australian Strategic Policy Institute (2019) memetakan
tiga lapisan utamanya:
1)
Produksi Narasi –
merumuskan tema besar, framing, dan spin untuk menguntungkan kandidat.
2)
Distribusi dan Amplifikasi – buzzer menyebarkan pesan masif melalui akun anonim, flooding, atau
astroturfing agar tampak organik.
3)
Pengendalian Narasi – menjaga
relevansi isu, melakukan counter-narrative, atau mengalihkan perhatian ke topik
baru bila muncul kritik.
Pendanaan buzzer biasanya berasal dari tiga sumber
utama:
·
Dana kampanye resmi kandidat
atau partai politik.
·
Sponsor korporasi dengan
kepentingan bisnis.
·
Dana negara, misalnya
anggaran humas pemerintah atau BUMN (sebagaimana dicatat investigasi Tempo
tahun 2020).
Operasi buzzer juga ditunjang oleh infrastruktur
digital: server, perangkat lunak otomatis, bot, hingga war room khusus untuk
memantau tren media sosial secara real time. Laporan Oxford Internet Institute
(2020) bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem cyber
troops terbesar di Asia Tenggara.
Dengan demikian, buzzer politik menjadi bagian
penting dalam lanskap populisme digital di Indonesia. Mereka bekerja bukan
hanya saat kampanye pemilu, tetapi juga dalam menjaga legitimasi pemerintah,
menyerang lawan politik, hingga menggiring opini publik dalam isu kebijakan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana demokrasi digital sering kali terjebak
dalam perang opini, di mana kebenaran publik ditentukan oleh kekuatan
narasi yang paling keras dan paling viral, bukan oleh gagasan yang paling
substansial.
8.
Demokrasi
sebagai Industri Tontonan
Ketika gimik politik dipertahankan oleh buzzer dan
media sosial, demokrasi perlahan bertransformasi menjadi sebuah industri
tontonan. Politik bukan lagi arena pertarungan gagasan, melainkan panggung
hiburan yang dipenuhi konten, drama, dan visualisasi citra.
8.1.
Politik sebagai Hiburan
Dalam logika ini, yang bertahan bukanlah politisi
dengan kapasitas terbaik, melainkan mereka yang paling pandai menjaga perhatian
publik. Demokrasi berubah menyerupai dunia hiburan:
·
Ada produser: tim kampanye, konsultan politik, dan buzzer.
·
Ada bintang: politisi, influencer, atau tokoh populis.
·
Ada penulis naskah: tim kreatif dan perancang narasi.
·
Ada sponsor: oligarki dan pemodal besar yang memastikan
pertunjukan berjalan sesuai skenario.
Sementara
rakyat lebih banyak berperan sebagai penonton, yang sesekali diajak
berinteraksi, tetapi tidak pernah benar-benar mengendalikan alur cerita.
8.2.
Pergeseran Peran Partai
Politik
Partai politik yang semestinya berfungsi sebagai
mesin ideologis perlahan berubah menjadi agensi pencitraan. Proses rekrutmen
kader dan kandidat lebih menekankan pada popularitas elektoral ketimbang
integritas dan visi kebijakan.
Hal ini tercermin dari munculnya politisi yang
lebih sibuk mengelola momentum media untuk kepentingan elektoral berikutnya,
bahkan jika itu berarti mengorbankan efektivitas kebijakan jangka panjang.
8.3.
Polarisasi Politik
Fenomena politik panggung juga mendorong polarisasi
yang tajam. Pada pemilu 2014 dan 2019, perbedaan pilihan politik bercampur
dengan identitas agama, etnis, dan kelas sosial, menciptakan luka sosial yang
mendalam. Polarisasi ini memperlihatkan bahwa politik tontonan tidak hanya
memengaruhi perilaku pemilih, tetapi juga merembes ke inti masyarakat,
memperkuat konflik horizontal yang sulit dipulihkan.
8.4.
Dampak Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, logika industri tontonan
melemahkan kualitas demokrasi:
·
Pemilu menjadi sekadar rutinitas prosedural, bukan kompetisi gagasan.
·
Janji politik diperlakukan sebagai promosi, bukan kontrak sosial.
·
Relasi antara pemilih dan pemimpin menjadi transaksional, berfokus pada
manfaat jangka pendek atau kepuasan emosional sesaat.
Kondisi ini menciptakan demokrasi yang stabil
secara elektoral, tetapi rapuh secara substansial. Ia menghasilkan pemimpin
yang populer di permukaan, namun lemah dalam membangun kebijakan struktural
yang berkelanjutan.
Dengan demikian, demokrasi kontemporer semakin
menyerupai panggung hiburan. Ia menghasilkan bintang politik yang viral dan
memikat, tetapi sering kali miskin substansi. Jika tren ini berlanjut tanpa
koreksi, demokrasi akan kehilangan maknanya sebagai ruang deliberasi publik,
dan hanya tersisa sebagai manajemen citra yang tipis di permukaan.
9.
Dampak
Politik Panggung pada Kebijakan Publik
Politik panggung yang berorientasi pada citra dan
gimik memiliki konsekuensi serius terhadap kualitas kebijakan publik. Alih-alih
berfokus pada solusi jangka panjang, kebijakan sering kali dikemas agar tampak
menarik di hadapan kamera dan mudah dipahami publik. Akibatnya, substansi
kebijakan kerap tereduksi menjadi simbolisme visual yang dangkal.
9.1.
Sektor Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, logika panggung membuat
kebijakan lebih berorientasi pada proyek yang fotogenik ketimbang
perbaikan sistemik.
·
Pembangunan gedung sekolah baru, pembagian seragam gratis, atau
peluncuran program beasiswa dalam jumlah besar sering dijadikan bahan
pencitraan.
·
Namun, aspek mendasar seperti perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas
guru, dan pemerataan akses di daerah tertinggal sering terabaikan.
Hasilnya,
program terlihat spektakuler di depan kamera, tetapi tidak selalu berdampak
signifikan pada mutu pendidikan jangka panjang.
9.2.
Sektor Kesehatan
Di bidang kesehatan, pola serupa kembali muncul.
·
Pembangunan rumah sakit baru atau layanan kesehatan gratis kerap
dijadikan momen pencitraan.
·
Peresmian fasilitas kesehatan sering dikemas sebagai acara besar dengan
liputan media, spanduk, dan pidato politik.
Namun,
masalah mendasar seperti kekurangan tenaga medis, ketersediaan obat yang tidak
konsisten, atau lemahnya sistem rujukan jarang menjadi sorotan utama.
Akibatnya, kebijakan kesehatan lebih sering tampil sebagai simbol kepedulian
ketimbang solusi komprehensif.
9.3.
Sektor Infrastruktur
Bidang infrastruktur menjadi arena yang paling
gemerlap dalam politik panggung.
·
Jalan tol, bandara, bendungan, atau gedung ikonik diproyeksikan sebagai
monumen keberhasilan.
·
Setiap proyek besar diabadikan dalam foto dan video untuk memperkuat
citra kepemimpinan.
Namun,
orientasi pembangunan sering kali tidak berangkat dari kebutuhan strategis
masyarakat, melainkan dari nilai jual visual dan potensi popularitas.
Akibatnya, infrastruktur terkadang lebih menguntungkan elit politik daripada
pemerataan ekonomi atau konektivitas wilayah terpencil.
9.4.
Siklus Politik Panggung
Ketika publik terbiasa menilai dari visualisasi
pencapaian, maka keberhasilan pemerintah diukur dari banyaknya acara
peresmian atau momen viral, bukan dari kualitas dan keberlanjutan kebijakan.
Hal ini menciptakan siklus:
1)
Politisi terus memproduksi kebijakan yang mudah dipentaskan.
2)
Publik menilai pemerintah berdasarkan citra, bukan substansi.
3)
Demokrasi semakin tereduksi menjadi manajemen pencitraan.
Dengan demikian, dampak politik panggung terhadap
kebijakan publik sangat nyata: pendidikan dinilai dari jumlah gedung, kesehatan
dari peresmian rumah sakit, dan infrastruktur dari panjang jalan tol. Padahal,
indikator sesungguhnya seharusnya adalah kualitas lulusan, penurunan angka
kematian, atau efektivitas konektivitas wilayah. Tanpa koreksi, arah ini hanya
akan melahirkan demokrasi permukaan yang terlihat berhasil di depan
kamera, tetapi rapuh di dalam realitas masyarakat.
10. Kesimpulan: Demokrasi Permukaan vs Demokrasi
Substansial
Fenomena politik panggung memperlihatkan bagaimana
demokrasi perlahan bergeser dari ruang deliberasi gagasan menuju arena tontonan
yang penuh citra. Gimik visual, program cepat saji, serta propaganda buzzer
membuat demokrasi tampak meriah di permukaan, tetapi sering kali kosong secara
substansial.
10.1.
Risiko Demokrasi Permukaan
Jika tren ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia
menghadapi dua risiko utama:
1)
Demokrasi prosedural yang stabil, tetapi rapuh secara substansial – pemilu tetap berlangsung rutin, namun kualitas
gagasan dan akuntabilitas makin menurun.
2)
Gelombang populisme baru yang lebih radikal – kekecewaan publik terhadap kesenjangan antara
citra dan realitas dapat melahirkan figur-figur ekstrem dengan narasi emosional
yang berbahaya bagi kohesi sosial.
Polarisasi pada Pemilu 2014 dan 2019 menunjukkan
gejala tersebut, ketika politik identitas bercampur dengan perbedaan kelas
sosial dan agama, menghasilkan luka sosial yang belum sepenuhnya sembuh hingga
kini.
10.2.
Dampak pada Kebijakan
Publik
Politik panggung juga menggeser orientasi
kebijakan:
·
Pendidikan lebih sibuk
pada pembangunan gedung dan program simbolis daripada peningkatan kualitas guru
atau kurikulum.
·
Kesehatan menonjolkan
peresmian rumah sakit ketimbang memperkuat sistem pelayanan dasar.
·
Infrastruktur
diproyeksikan sebagai monumen pencitraan, bukan sarana pemerataan ekonomi.
Akibatnya, publik lebih sering disuguhi
keberhasilan visual ketimbang hasil nyata yang berkelanjutan.
10.3.
Jalan Menuju Demokrasi
Substansial
Namun, arah ini tidaklah final. Sejarah demokrasi
di berbagai negara menunjukkan bahwa kesadaran publik dapat kembali tumbuh
melalui:
·
Pendidikan politik yang kritis
dan membangun daya nalar warga.
·
Kebebasan pers yang
independen dan berani mengawasi kekuasaan.
·
Gerakan masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas lebih besar dari para pemimpin.
Demokrasi yang sehat hanya dapat lahir jika rakyat
aktif bertanya: “Apa visi dan kebijakan yang ditawarkan kandidat untuk lima
tahun ke depan?” alih-alih sekadar terpukau oleh siapa kandidatnya dan
seberapa menarik penampilannya.
Penutup
Tanpa upaya kolektif untuk melampaui logika
panggung, demokrasi Indonesia berisiko terjebak dalam kemegahan permukaan
yang menipu. Kita akan terus menjadi penonton yang terhibur, tetapi bukan warga
yang berdaya dan sejahtera. Sebaliknya, dengan kesadaran kritis, demokrasi
dapat diarahkan kembali ke jalur substansial—sebagai ruang untuk merumuskan
solusi nyata demi kepentingan rakyat, bukan sekadar panggung pencitraan yang
kosong makna.
Referensi
Artikel ini disusun dan dikembangkan berdasarkan
materi dari video YouTube:
Kamar Film. Sorotan,
Pencitraan, Janji Kosong: Realita Politik. YouTube, 2023. Tautan Video

Tidak ada komentar:
Posting Komentar