Jumat, 03 Oktober 2025

Politik sebagai Pertunjukan: Populisme, Pencitraan, dan Demokrasi Permukaan

Politik sebagai Pertunjukan

Populisme, Pencitraan, dan Demokrasi Permukaan


Alihkan ke: Kajian Teori Artikel Ini.

Populisme, Jokowi dalam Nominasi OCCRP, Mengkritik Sebutan Rakyat Jelata, Opini dan untuk Kerja Pemerintah, Arah Pendidikan Jawa Barat.


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena populisme politik dalam konteks perkembangan media, mulai dari radio, televisi, hingga media sosial digital. Populisme dipahami sebagai strategi politik yang menekankan citra, simbol, dan kedekatan emosional dengan rakyat, ketimbang substansi kebijakan. Melalui studi kasus berbagai tokoh seperti Franklin D. Roosevelt, John F. Kennedy, Juan dan Eva Perón, Silvio Berlusconi, Hugo Chávez, Donald Trump, Rodrigo Duterte, hingga Joko Widodo, tulisan ini memperlihatkan bagaimana politik bertransformasi menjadi panggung pertunjukan.

Di Indonesia, fenomena ini tampak melalui strategi simbolis SBY, blusukan Jokowi, program kartu sosial, hingga gaya kreatif Ridwan Kamil dan reality show politik Dedi Mulyadi. Selain itu, artikel ini juga menyoroti peran buzzer sebagai kekuatan baru dalam membentuk narasi digital, serta dampaknya terhadap demokrasi yang cenderung berubah menjadi industri tontonan. Analisis kemudian menunjukkan bahwa orientasi politik berbasis pencitraan memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan publik di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, yang lebih menekankan aspek visual daripada perbaikan struktural.

Tulisan ini menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia berisiko terjebak dalam "demokrasi permukaan," di mana keberhasilan diukur dari citra, bukan substansi. Namun demikian, peluang menuju demokrasi yang lebih substansial tetap terbuka melalui pendidikan politik, kebebasan pers yang kritis, serta gerakan masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas.

Kata Kunci: Populisme, Pencitraan Politik, Media Sosial, Buzzer, Demokrasi Permukaan, Politik Indonesia, Politik sebagai Pertunjukan.


PEMBAHASAN

SOROTAN, PENCITRAAN, JANJI, KOSONG REALITA POLITIK


1.           Pendahuluan: Populisme dan Panggung Politik

Bayangkan seorang pemimpin berdiri di tengah lapangan luas. Ribuan orang berdesakan sambil meneriakkan namanya, mengangkat poster dengan wajahnya yang tersenyum. Sang pemimpin tidak berbicara tentang data ekonomi, apalagi tentang strategi pembangunan yang rinci. Ia hanya menyampaikan kata-kata sederhana yang membuat rakyat merasa didengar, janji-janji yang tampak dekat dengan kehidupan sehari-hari. Saat itu publik merasa: “Inilah orang kita.”

Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: benarkah ia sungguh “orang kita”, ataukah sekadar aktor piawai yang mampu mengubah gimik panggung menjadi kebijakan semu demi mempertahankan popularitas?

Pertanyaan tersebut membawa kita pada fenomena populisme yang kini mewarnai politik di berbagai belahan dunia. Dari Donald Trump di Amerika Serikat, Joko Widodo di Indonesia, hingga para pemimpin di Amerika Latin, Asia, dan Eropa, populisme hadir sebagai strategi politik yang mengandalkan citra dan kedekatan emosional ketimbang tawaran kebijakan substansial.

Fenomena lahirnya pemimpin populis modern tidak bisa dilepaskan dari dua arus besar yang saling terkait:

1)                  Perkembangan teknologi media – mulai dari radio, televisi, hingga media sosial, yang membentuk ruang publik baru.

2)                  Krisis legitimasi politik – yang melemahkan kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi konvensional, sehingga mereka mencari figur yang dianggap “mewakili suara rakyat.”

Sejarah mencatat bahwa pada awal abad ke-20, media massa mulai memainkan peran sentral dalam membentuk figur publik. Presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin D. Roosevelt, melalui Fireside Chats pada tahun 1930-an, berhasil menciptakan kedekatan emosional dengan rakyat di tengah krisis ekonomi hanya dengan kekuatan suara radio.

Meski radio menghadirkan intimasi emosional, ia tetap terbatas karena tidak menampilkan citra visual. Lompatan besar terjadi pada dekade 1950-an ketika televisi memasuki ruang tamu keluarga. Sejak saat itu, politik tidak lagi sekadar soal gagasan, melainkan juga soal penampilan, gestur, dan visualisasi citra.

Pertarungan pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 1960 antara John F. Kennedy dan Richard Nixon menjadi titik balik penting. Kennedy yang tampil segar, percaya diri, dan fotogenik, berhasil memikat publik televisi, sementara Nixon terlihat pucat dan gugup di bawah sorot lampu studio. Peristiwa ini menandai lahirnya era baru: politik sebagai tontonan.

Dari titik inilah populisme menemukan ruang panggung yang semakin luas—mulai dari retorika suara, hingga dominasi visual, dan kini berkembang dalam jagat media sosial yang serba instan.


2.           Sejarah Awal Populisme dalam Media

Fenomena populisme modern tidak dapat dilepaskan dari perkembangan media massa yang membentuk citra publik seorang pemimpin. Media menjadi sarana utama yang menghubungkan politisi dengan rakyat, membangun persepsi, dan menciptakan kedekatan emosional. Sejarah menunjukkan bahwa setiap lompatan teknologi media selalu melahirkan cara baru bagi populisme untuk berkembang.

2.1.       Era Radio: Intimasi Suara Roosevelt

Pada awal abad ke-20, radio menjadi media pertama yang benar-benar mampu menciptakan kedekatan antara pemimpin dan rakyat. Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, memanfaatkan Fireside Chats pada dekade 1930-an untuk berbicara langsung kepada warga di tengah krisis ekonomi.

Suara Roosevelt yang tenang menciptakan kesan seolah ia hadir di ruang keluarga pendengar. Sejarawan J. Michael Hogan dalam bukunya Voice of Democracy menegaskan bahwa radio memungkinkan terciptanya hubungan emosional yang hangat. Meski begitu, radio hanya mengandalkan suara tanpa visual, sehingga citra kepemimpinan yang dibangun tetap terbatas.

2.2.       Era Televisi: Politik Menjadi Visual

Lompatan besar berikutnya terjadi pada dekade 1950-an ketika televisi mulai merajai ruang publik. Televisi tidak hanya menghadirkan suara, tetapi juga penampilan, ekspresi, dan bahasa tubuh.

Titik balik paling terkenal adalah debat pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1960 antara John F. Kennedy dan Richard Nixon. Disaksikan oleh sekitar 70 juta warga Amerika, peristiwa ini memperlihatkan betapa pentingnya kekuatan visual. Kennedy tampil segar, percaya diri, dan telegenik, sementara Nixon terlihat pucat dan berkeringat di bawah sorot lampu studio.

Sejarawan David Greenberg dalam bukunya Republic of Spin menyatakan bahwa sejak saat itu, politik tidak lagi semata-mata soal argumen rasional, melainkan juga tentang telegenik—kemampuan menguasai bahasa tubuh, tatapan, ekspresi, dan citra visual.

Dengan demikian, sejak era radio hingga televisi, politik mulai bertransformasi menjadi pertunjukan publik. Jika radio menghadirkan suara yang akrab, maka televisi menambahkan dimensi visual yang jauh lebih kuat dalam membangun citra populis seorang pemimpin.


3.           Populisme Visual dan Politik sebagai Pertunjukan

Ketika media berkembang, populisme tidak lagi sekadar hadir dalam bentuk retorika suara atau penampilan visual sederhana, tetapi bertransformasi menjadi sebuah pertunjukan politik. Kamera, film, dan televisi membuka peluang bagi pemimpin populis untuk membentuk ikonografi, mengatur panggung, dan mengikat emosi rakyat melalui citra yang dirancang secara sengaja.

3.1.       Juan dan Eva Perón: Ikonografi Populis Argentina

Contoh klasik muncul di Argentina melalui Juan Perón dan istrinya, Eva Perón (Evita). Dalam arsip dokumenter Perón: Sinfonía del Sentimiento karya Leonardo Favio, tampak bagaimana pasangan ini menggunakan kamera untuk menciptakan narasi “pro-rakyat.”

Evita kerap difoto saat mengunjungi rumah sakit, memeluk anak-anak miskin, atau hadir bersama buruh. Gambar-gambar tersebut kemudian dicetak di koran, diputar di bioskop, dan berfungsi sebagai propaganda visual. Pasangan Perón tidak hanya tampil sebagai politisi, tetapi sebagai ikon emosional yang melekat dalam imajinasi rakyat.

3.2.       Silvio Berlusconi: Media sebagai Alat Kekuasaan

Di Italia, Silvio Berlusconi memperlihatkan ekstrem lain dari politik sebagai pertunjukan. Sebelum terjun ke dunia politik, ia membangun kerajaan media Fininvest yang menguasai jaringan televisi swasta. Dengan media yang ia kendalikan, Berlusconi mampu mengatur citranya, meminimalisasi liputan negatif, dan menyiarkan kampanye politiknya layaknya acara hiburan.

Laporan The Guardian (2002) menyebut bahwa strategi Berlusconi menjadikan politik tidak lagi sekadar ruang perdebatan kebijakan, tetapi tontonan yang diatur dengan logika pasar media.

3.3.       Hugo Chávez: Reality Show Politik di Venezuela

Di Venezuela, Hugo Chávez memanfaatkan program televisinya sendiri, Aló Presidente, sebagai panggung populisme. Ia berbicara langsung kepada rakyat selama berjam-jam tanpa naskah, bahkan sering memanggil menteri di tengah siaran untuk segera melaksanakan kebijakan.

Sejarawan Steve Ellner dalam Latin American Perspectives menilai strategi ini sebagai bentuk populisme partisipatif dalam format televisi interaktif. Chávez bukan sekadar presiden, tetapi juga bintang reality show yang membaurkan batas antara kebijakan dan hiburan.


Dengan ketiga contoh di atas, jelas terlihat bahwa pada era media visual, politik berubah menjadi teater publik. Citra, simbol, dan adegan yang mudah dipahami menjadi jauh lebih penting daripada detail kebijakan. Dari Perón hingga Chávez, populisme menemukan panggung baru di mana kepemimpinan dibentuk bukan hanya oleh ide, tetapi oleh pertunjukan yang dapat direkam, diputar, dan diulang-ulang dalam kesadaran rakyat.


4.           Transformasi ke Era Digital

Memasuki dekade 2010-an, perkembangan teknologi digital dan media sosial melahirkan babak baru dalam populisme. Jika sebelumnya radio, televisi, dan film dokumenter menjadi panggung utama, kini populisme menemukan arena yang lebih instan, interaktif, dan tanpa batas: layar ponsel di tangan miliaran orang.

Media sosial menghapus peran mediator tradisional seperti redaksi surat kabar atau stasiun televisi. Seorang pemimpin bisa langsung menembus ruang privat audiens melalui notifikasi di gawai mereka. Setiap unggahan menjadi panggung politik, setiap cuitan menjadi pidato singkat, dan setiap kontroversi menjadi bahan bakar viralitas.

4.1.       Donald Trump dan Populisme Twitter

Donald Trump adalah ikon awal dari populisme digital. Melalui Twitter, ia memotong jalur media tradisional, menyampaikan pesan langsung ke puluhan juta pengikut, dan menciptakan kontroversi harian yang selalu menarik liputan media. Artikel The Washington Post mencatat bagaimana strategi ini menjadikan Trump mampu mendominasi narasi publik dengan biaya rendah, karena setiap twitnya beresonansi luas melalui pemberitaan gratis.

4.2.       Rodrigo Duterte dan Facebook Live

Di Asia Tenggara, Rodrigo Duterte di Filipina menggunakan Facebook Live sebagai senjata politik. Ia berbicara tanpa sensor, penuh makian terhadap lawan politik, dan menampilkan diri sebagai suara rakyat kecil yang marah kepada elit. Jonathan Corpus Ong dalam Critical Asian Studies menjelaskan bahwa gaya kasar namun jujur ini memperkuat citra Duterte sebagai pemimpin yang autentik. Media sosial membuatnya tampak lebih dekat dan spontan dibanding politisi tradisional.

4.3.       Joko Widodo dan Blusukan di Era Media Sosial

Di Indonesia, Joko Widodo sejak menjabat Wali Kota Solo memanfaatkan strategi blusukan yang direkam, dibingkai, lalu diunggah ke YouTube dan media sosial. Liputan BBC Jokowi: From Furniture Seller to President menegaskan bahwa citra “pemimpin rakyat” ini terbentuk secara konsisten melalui dokumentasi visual yang dirancang agar mudah dikonsumsi publik.

Ros Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia menyebut strategi ini sebagai political branding berbasis visual. Setiap interaksi publik dihitung untuk menghasilkan dampak emosional, di mana kamera tidak hanya merekam, tetapi sekaligus membentuk realitas politik.


Dengan demikian, era digital menandai transformasi besar: populisme tidak lagi bergantung pada sorotan kamera televisi, melainkan hadir langsung di layar ponsel. Politik berubah menjadi konten, pemimpin menjadi influencer, dan rakyat menjelma penonton yang terlibat dalam siklus like, share, dan viralitas.


5.           Paradoks Citra dan Kebijakan

Perkembangan populisme berbasis media, baik televisi maupun media sosial, menciptakan sebuah paradoks. Ketika kamera selalu hadir, yang lebih diprioritaskan bukan lagi isi kebijakan, melainkan bagaimana kebijakan tersebut tampak di mata publik. Gimik komunikasi yang awalnya hanya alat penyampai pesan, secara perlahan berubah menjadi substansi politik itu sendiri.

5.1.       Politik Gimik vs Kebijakan Substansial

Dalam logika populisme visual, publik sering kali sulit membedakan antara kebijakan nyata yang memiliki dampak struktural dengan kebijakan simbolis yang lebih banyak memengaruhi persepsi. Murray Edelman dalam bukunya Politics as Performance menjelaskan bahwa publik kerap menerima simbol politik sebagai kenyataan, padahal yang mereka lihat hanyalah panggung pencitraan.

5.2.       Duterte: Perang Narkoba sebagai Teater Politik

Contoh mencolok adalah kebijakan pemberantasan narkoba oleh Rodrigo Duterte di Filipina. Pada awalnya, kebijakan ini dibingkai sebagai tindakan tegas untuk menyelamatkan generasi muda. Namun, laporan The New York Times tahun 2017 menunjukkan bahwa yang terjadi lebih menyerupai aksi teatrikal politik. Citra Duterte sebagai “strongman” dibangun melalui adegan kekerasan dan retorika tanpa diikuti solusi komprehensif terhadap akar persoalan narkotika.

5.3.       Jokowi: Blusukan yang Menjadi Ritual

Di Indonesia, blusukan Jokowi awalnya tampil sebagai inovasi politik—cara sederhana untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat kecil. Namun, seiring waktu, blusukan kehilangan bobot substantifnya. Ia berubah menjadi ritual berulang yang lebih menekankan pada kesan visual ketimbang penyelesaian masalah struktural.

Fenomena serupa juga terlihat dalam program kartu-kartu sosial (KIP, KIS, dan lainnya). Studi Australian National University (2020) menunjukkan bahwa selain manfaat sosial, program ini dirancang dengan dimensi komunikasi yang kuat: nama yang mudah diingat, kemasan visual, dan momentum peluncuran yang disesuaikan untuk liputan media.

5.4.       Trump: Tembok Perbatasan sebagai Simbol

Donald Trump menawarkan janji besar untuk membangun tembok di perbatasan dengan Meksiko. Secara visual, tembok menjadi simbol sederhana: pembatas yang jelas antara “kita” dan “mereka.” Namun, secara faktual, pembangunan tembok hanya terealisasi sebagian kecil. Janji itu lebih berfungsi sebagai slogan kampanye daripada kebijakan imigrasi yang menyentuh akar masalah.


Dengan contoh-contoh di atas, terlihat jelas paradoks antara citra dan realitas: gimik yang kuat secara simbolis, tetapi dangkal secara kebijakan. Dari blusukan, reality show, perang narkoba, hingga tembok perbatasan, semuanya berbagi logika yang sama: menciptakan image of action, yakni kesan seolah-olah bertindak, tanpa komitmen serius pada reformasi struktural.


6.           Politik Panggung di Indonesia

Fenomena politik sebagai pertunjukan juga tampak jelas di Indonesia, terutama setelah era reformasi. Para pemimpin dan politisi memanfaatkan simbol, gestur, hingga media sosial untuk membangun citra, sering kali lebih menonjol daripada kebijakan substansial.

6.1.       Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Simbol Dua Jari

Pada Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono memperkenalkan gestur khas dua jari sebagai simbol nomor urut kampanyenya. Walaupun sederhana, simbol ini menjadi ikon visual yang mudah dikenali dan direplikasi. Branding ini memperlihatkan bagaimana gestur sederhana bisa memiliki kekuatan simbolis dalam membangun citra politik.

6.2.       Joko Widodo: Blusukan dan Program Kartu

Jokowi melanjutkan strategi citra dengan blusukan sejak menjabat Wali Kota Solo. Awalnya, blusukan dipandang sebagai metode inovatif untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat kecil. Namun, seiring waktu, blusukan berubah menjadi ritual pencitraan yang berulang dan kehilangan bobot substantifnya.

Selain itu, berbagai program kartu sosial—seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS)—juga diposisikan bukan hanya sebagai kebijakan, tetapi sebagai produk komunikasi politik. Studi Australian National University (2020) menegaskan bahwa program tersebut didesain dengan nama yang mudah diingat, kemasan visual, dan momentum peluncuran yang diatur agar menjadi bahan liputan media.

6.3.       Ridwan Kamil: Politik Kreatif dan Media Sosial

Sebagai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil memanfaatkan media sosial secara intens. Ia meluncurkan program dengan nama populer seperti Jalan Cantik atau Saber Hoaks—branding yang “catchy” untuk mempermudah komunikasi dengan publik.

Selain itu, gaya komunikasinya sering disertai humor, konten kreatif, dan aksi spontan yang mudah viral. Hal ini membentuk citra sebagai pemimpin “milenial” yang dekat dengan warganya. Namun, kritik muncul karena gaya tersebut dinilai sering kali tidak menjawab persoalan struktural yang lebih kompleks.

6.4.       Dedi Mulyadi: Reality Show Politik

Dedi Mulyadi mengambil pendekatan lebih teatrikal. Ia memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk menampilkan dirinya dalam format semacam reality show politik. Videonya sering memperlihatkan aksi menegur warga, membantu masyarakat miskin, atau memberikan wejangan budaya Sunda dengan gaya blak-blakan.

Strategi ini berhasil memperkuat citra dirinya sebagai “bapa” yang hadir langsung di tengah rakyat. Namun, problem mendasarnya adalah sifatnya yang sementara: aksi emosional di depan kamera sering kali tidak diikuti oleh desain kebijakan jangka panjang. Akibatnya, masalah struktural seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial tetap belum tersentuh.


Fenomena politik panggung di Indonesia memperlihatkan pola yang sama: aksi simbolis, visual, dan mudah dipahami publik lebih diutamakan daripada perumusan kebijakan mendalam. Dari SBY hingga Jokowi, Ridwan Kamil, dan Dedi Mulyadi, politik semakin bergeser menjadi pertunjukan publik yang viral di media sosial, namun rawan kehilangan substansi kebijakan.


7.           Fenomena Buzzer Politik

Selain pencitraan personal, panggung politik modern juga diperkuat oleh hadirnya aktor baru bernama buzzer. Mereka berfungsi sebagai perpanjangan tangan digital untuk memperkuat narasi, mengulang pesan, bahkan menggiring opini publik agar citra seorang tokoh tetap hidup di ruang media. Jika gimik adalah panggung depan, maka buzzer adalah operator lampu sorot yang menentukan bagian mana yang bersinar dan mana yang tenggelam.

7.1.       Akar Sejarah Propaganda

Fenomena buzzer tidak lahir tiba-tiba. Ia memiliki jejak panjang dalam sejarah propaganda politik. Pada masa Perang Dunia I, misalnya, pemerintah Amerika Serikat melalui Committee on Public Information yang dipimpin George Creel menggunakan poster, pamflet, hingga film untuk membentuk opini publik.

Di Eropa, Nazi Jerman di bawah Joseph Goebbels mengembangkan propaganda modern yang efektif dengan memanfaatkan radio, film, dan poster untuk menciptakan narasi tentang “superioritas ras Arya.” Sejarah ini menunjukkan bahwa opini publik sudah lama dapat digiring melalui media, jauh sebelum istilah buzzer dikenal.

7.2.       Evolusi Buzzer di Era Media Sosial Global

Memasuki awal 2000-an, kemunculan media sosial seperti Friendster, MySpace, Facebook, dan Twitter membuka ruang komunikasi yang lebih bebas. Awalnya dianggap sebagai arena demokratis, media sosial perlahan berubah menjadi medan perebutan perhatian. Dalam logika algoritma, suara yang paling sering muncul dan paling konsisten akan dianggap sebagai kebenaran.

Fenomena buzzer mulai tampak dalam politik global. Pada pemilu Amerika Serikat 2008, tim Barack Obama berhasil memanfaatkan media sosial untuk mobilisasi massa. Meski belum melibatkan buzzer dalam pengertian modern, kampanye tersebut menunjukkan potensi kekuatan digital. Setelah itu, banyak pihak menyadari pentingnya membentuk pasukan akun untuk menguasai wacana publik.

Rodrigo Duterte di Filipina pada 2016 adalah salah satu contoh paling menonjol. Ratusan akun asli maupun palsu digerakkan untuk membangun citra dirinya sebagai pemimpin tegas dan dekat dengan rakyat. Penelitian Rappler mencatat bahwa ekosistem buzzer di Filipina bekerja layaknya industri lengkap dengan tarif bayaran dan pola kerja terstruktur.

Fenomena serupa juga terjadi di Amerika Serikat pada Pilpres 2016 ketika Donald Trump didukung oleh operasi informasi dari luar negeri. Investigasi menemukan adanya keterlibatan Rusia melalui Internet Research Agency yang mengoperasikan ribuan akun palsu untuk menyebarkan hoaks, menghasut, dan memecah belah opini publik.

7.3.       Buzzer Politik di Indonesia

Di Indonesia, istilah buzzer bahkan menjadi lebih populer daripada di banyak negara lain. Akar kemunculannya dapat ditelusuri pasca-reformasi 1998, ketika media menjadi lebih beragam dan kompetitif.

Dengan meningkatnya penetrasi internet sejak 2000-an, media sosial membuka kanal baru bagi politisi untuk berbicara langsung kepada publik tanpa melalui media arus utama. Aksi simbolis seperti blusukan ke pasar atau makan di warung sederhana dapat direkam, disebarkan, dan diviralkan dengan framing tertentu untuk membentuk citra.

Fenomena buzzer politik semakin jelas terlihat pada Pilpres 2014. Menurut analisis Ross Tapsell dalam Media Power in Indonesia, inilah titik balik ketika media sosial menjadi arena tempur utama politik nasional. Kedua kubu capres sama-sama mempekerjakan tim buzzer untuk memproduksi, menyebarkan, dan memviralkan pesan politik, baik untuk mendukung kandidat maupun menyerang lawan.

7.4.       Infrastruktur dan Pendanaan Buzzer

Ekosistem buzzer di Indonesia bekerja secara terstruktur. Penelitian Australian Strategic Policy Institute (2019) memetakan tiga lapisan utamanya:

1)                  Produksi Narasi – merumuskan tema besar, framing, dan spin untuk menguntungkan kandidat.

2)                  Distribusi dan Amplifikasi – buzzer menyebarkan pesan masif melalui akun anonim, flooding, atau astroturfing agar tampak organik.

3)                  Pengendalian Narasi – menjaga relevansi isu, melakukan counter-narrative, atau mengalihkan perhatian ke topik baru bila muncul kritik.

Pendanaan buzzer biasanya berasal dari tiga sumber utama:

·                     Dana kampanye resmi kandidat atau partai politik.

·                     Sponsor korporasi dengan kepentingan bisnis.

·                     Dana negara, misalnya anggaran humas pemerintah atau BUMN (sebagaimana dicatat investigasi Tempo tahun 2020).

Operasi buzzer juga ditunjang oleh infrastruktur digital: server, perangkat lunak otomatis, bot, hingga war room khusus untuk memantau tren media sosial secara real time. Laporan Oxford Internet Institute (2020) bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem cyber troops terbesar di Asia Tenggara.


Dengan demikian, buzzer politik menjadi bagian penting dalam lanskap populisme digital di Indonesia. Mereka bekerja bukan hanya saat kampanye pemilu, tetapi juga dalam menjaga legitimasi pemerintah, menyerang lawan politik, hingga menggiring opini publik dalam isu kebijakan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana demokrasi digital sering kali terjebak dalam perang opini, di mana kebenaran publik ditentukan oleh kekuatan narasi yang paling keras dan paling viral, bukan oleh gagasan yang paling substansial.


8.           Demokrasi sebagai Industri Tontonan

Ketika gimik politik dipertahankan oleh buzzer dan media sosial, demokrasi perlahan bertransformasi menjadi sebuah industri tontonan. Politik bukan lagi arena pertarungan gagasan, melainkan panggung hiburan yang dipenuhi konten, drama, dan visualisasi citra.

8.1.       Politik sebagai Hiburan

Dalam logika ini, yang bertahan bukanlah politisi dengan kapasitas terbaik, melainkan mereka yang paling pandai menjaga perhatian publik. Demokrasi berubah menyerupai dunia hiburan:

·                     Ada produser: tim kampanye, konsultan politik, dan buzzer.

·                     Ada bintang: politisi, influencer, atau tokoh populis.

·                     Ada penulis naskah: tim kreatif dan perancang narasi.

·                     Ada sponsor: oligarki dan pemodal besar yang memastikan pertunjukan berjalan sesuai skenario.

Sementara rakyat lebih banyak berperan sebagai penonton, yang sesekali diajak berinteraksi, tetapi tidak pernah benar-benar mengendalikan alur cerita.

8.2.       Pergeseran Peran Partai Politik

Partai politik yang semestinya berfungsi sebagai mesin ideologis perlahan berubah menjadi agensi pencitraan. Proses rekrutmen kader dan kandidat lebih menekankan pada popularitas elektoral ketimbang integritas dan visi kebijakan.

Hal ini tercermin dari munculnya politisi yang lebih sibuk mengelola momentum media untuk kepentingan elektoral berikutnya, bahkan jika itu berarti mengorbankan efektivitas kebijakan jangka panjang.

8.3.       Polarisasi Politik

Fenomena politik panggung juga mendorong polarisasi yang tajam. Pada pemilu 2014 dan 2019, perbedaan pilihan politik bercampur dengan identitas agama, etnis, dan kelas sosial, menciptakan luka sosial yang mendalam. Polarisasi ini memperlihatkan bahwa politik tontonan tidak hanya memengaruhi perilaku pemilih, tetapi juga merembes ke inti masyarakat, memperkuat konflik horizontal yang sulit dipulihkan.

8.4.       Dampak Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, logika industri tontonan melemahkan kualitas demokrasi:

·                     Pemilu menjadi sekadar rutinitas prosedural, bukan kompetisi gagasan.

·                     Janji politik diperlakukan sebagai promosi, bukan kontrak sosial.

·                     Relasi antara pemilih dan pemimpin menjadi transaksional, berfokus pada manfaat jangka pendek atau kepuasan emosional sesaat.

Kondisi ini menciptakan demokrasi yang stabil secara elektoral, tetapi rapuh secara substansial. Ia menghasilkan pemimpin yang populer di permukaan, namun lemah dalam membangun kebijakan struktural yang berkelanjutan.


Dengan demikian, demokrasi kontemporer semakin menyerupai panggung hiburan. Ia menghasilkan bintang politik yang viral dan memikat, tetapi sering kali miskin substansi. Jika tren ini berlanjut tanpa koreksi, demokrasi akan kehilangan maknanya sebagai ruang deliberasi publik, dan hanya tersisa sebagai manajemen citra yang tipis di permukaan.


9.           Dampak Politik Panggung pada Kebijakan Publik

Politik panggung yang berorientasi pada citra dan gimik memiliki konsekuensi serius terhadap kualitas kebijakan publik. Alih-alih berfokus pada solusi jangka panjang, kebijakan sering kali dikemas agar tampak menarik di hadapan kamera dan mudah dipahami publik. Akibatnya, substansi kebijakan kerap tereduksi menjadi simbolisme visual yang dangkal.

9.1.       Sektor Pendidikan

Dalam bidang pendidikan, logika panggung membuat kebijakan lebih berorientasi pada proyek yang fotogenik ketimbang perbaikan sistemik.

·                     Pembangunan gedung sekolah baru, pembagian seragam gratis, atau peluncuran program beasiswa dalam jumlah besar sering dijadikan bahan pencitraan.

·                     Namun, aspek mendasar seperti perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan pemerataan akses di daerah tertinggal sering terabaikan.

Hasilnya, program terlihat spektakuler di depan kamera, tetapi tidak selalu berdampak signifikan pada mutu pendidikan jangka panjang.

9.2.       Sektor Kesehatan

Di bidang kesehatan, pola serupa kembali muncul.

·                     Pembangunan rumah sakit baru atau layanan kesehatan gratis kerap dijadikan momen pencitraan.

·                     Peresmian fasilitas kesehatan sering dikemas sebagai acara besar dengan liputan media, spanduk, dan pidato politik.

Namun, masalah mendasar seperti kekurangan tenaga medis, ketersediaan obat yang tidak konsisten, atau lemahnya sistem rujukan jarang menjadi sorotan utama. Akibatnya, kebijakan kesehatan lebih sering tampil sebagai simbol kepedulian ketimbang solusi komprehensif.

9.3.       Sektor Infrastruktur

Bidang infrastruktur menjadi arena yang paling gemerlap dalam politik panggung.

·                     Jalan tol, bandara, bendungan, atau gedung ikonik diproyeksikan sebagai monumen keberhasilan.

·                     Setiap proyek besar diabadikan dalam foto dan video untuk memperkuat citra kepemimpinan.

Namun, orientasi pembangunan sering kali tidak berangkat dari kebutuhan strategis masyarakat, melainkan dari nilai jual visual dan potensi popularitas. Akibatnya, infrastruktur terkadang lebih menguntungkan elit politik daripada pemerataan ekonomi atau konektivitas wilayah terpencil.


9.4.       Siklus Politik Panggung

Ketika publik terbiasa menilai dari visualisasi pencapaian, maka keberhasilan pemerintah diukur dari banyaknya acara peresmian atau momen viral, bukan dari kualitas dan keberlanjutan kebijakan. Hal ini menciptakan siklus:

1)                  Politisi terus memproduksi kebijakan yang mudah dipentaskan.

2)                  Publik menilai pemerintah berdasarkan citra, bukan substansi.

3)                  Demokrasi semakin tereduksi menjadi manajemen pencitraan.


Dengan demikian, dampak politik panggung terhadap kebijakan publik sangat nyata: pendidikan dinilai dari jumlah gedung, kesehatan dari peresmian rumah sakit, dan infrastruktur dari panjang jalan tol. Padahal, indikator sesungguhnya seharusnya adalah kualitas lulusan, penurunan angka kematian, atau efektivitas konektivitas wilayah. Tanpa koreksi, arah ini hanya akan melahirkan demokrasi permukaan yang terlihat berhasil di depan kamera, tetapi rapuh di dalam realitas masyarakat.


10.       Kesimpulan: Demokrasi Permukaan vs Demokrasi Substansial

Fenomena politik panggung memperlihatkan bagaimana demokrasi perlahan bergeser dari ruang deliberasi gagasan menuju arena tontonan yang penuh citra. Gimik visual, program cepat saji, serta propaganda buzzer membuat demokrasi tampak meriah di permukaan, tetapi sering kali kosong secara substansial.

10.1.    Risiko Demokrasi Permukaan

Jika tren ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia menghadapi dua risiko utama:

1)                  Demokrasi prosedural yang stabil, tetapi rapuh secara substansial – pemilu tetap berlangsung rutin, namun kualitas gagasan dan akuntabilitas makin menurun.

2)                  Gelombang populisme baru yang lebih radikal – kekecewaan publik terhadap kesenjangan antara citra dan realitas dapat melahirkan figur-figur ekstrem dengan narasi emosional yang berbahaya bagi kohesi sosial.

Polarisasi pada Pemilu 2014 dan 2019 menunjukkan gejala tersebut, ketika politik identitas bercampur dengan perbedaan kelas sosial dan agama, menghasilkan luka sosial yang belum sepenuhnya sembuh hingga kini.

10.2.    Dampak pada Kebijakan Publik

Politik panggung juga menggeser orientasi kebijakan:

·                     Pendidikan lebih sibuk pada pembangunan gedung dan program simbolis daripada peningkatan kualitas guru atau kurikulum.

·                     Kesehatan menonjolkan peresmian rumah sakit ketimbang memperkuat sistem pelayanan dasar.

·                     Infrastruktur diproyeksikan sebagai monumen pencitraan, bukan sarana pemerataan ekonomi.

Akibatnya, publik lebih sering disuguhi keberhasilan visual ketimbang hasil nyata yang berkelanjutan.

10.3.    Jalan Menuju Demokrasi Substansial

Namun, arah ini tidaklah final. Sejarah demokrasi di berbagai negara menunjukkan bahwa kesadaran publik dapat kembali tumbuh melalui:

·                     Pendidikan politik yang kritis dan membangun daya nalar warga.

·                     Kebebasan pers yang independen dan berani mengawasi kekuasaan.

·                     Gerakan masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas lebih besar dari para pemimpin.

Demokrasi yang sehat hanya dapat lahir jika rakyat aktif bertanya: “Apa visi dan kebijakan yang ditawarkan kandidat untuk lima tahun ke depan?” alih-alih sekadar terpukau oleh siapa kandidatnya dan seberapa menarik penampilannya.


Penutup

Tanpa upaya kolektif untuk melampaui logika panggung, demokrasi Indonesia berisiko terjebak dalam kemegahan permukaan yang menipu. Kita akan terus menjadi penonton yang terhibur, tetapi bukan warga yang berdaya dan sejahtera. Sebaliknya, dengan kesadaran kritis, demokrasi dapat diarahkan kembali ke jalur substansial—sebagai ruang untuk merumuskan solusi nyata demi kepentingan rakyat, bukan sekadar panggung pencitraan yang kosong makna.


Referensi

Artikel ini disusun dan dikembangkan berdasarkan materi dari video YouTube:

Kamar Film. Sorotan, Pencitraan, Janji Kosong: Realita Politik. YouTube, 2023. Tautan Video


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar