Selasa, 29 Juli 2025

Dilema Arah Pendidikan di Jawa Barat: Antara Disiplin Otoriter dan Pendidikan Humanistik

Dilema Arah Pendidikan di Jawa Barat

Antara Disiplin Otoriter dan Pendidikan Humanistik


Alihkan ke: Filsafat Pendidikan.

Guru yang Membebaskan, Guru Filosofis ala Socrates, Guru Filosifis ala Plato, Guru Bijak ala Aristoteles, Siswa Hebat ala Rene Descartes.


Abstrak

Artikel ini membahas dinamika arah kebijakan pendidikan di Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, yang menuai kontroversi publik karena pendekatannya yang cenderung otoriter. Kebijakan-kebijakan seperti penerapan barak militer bagi siswa “nakal” dan jam masuk sekolah pukul 06.00 WIB dianggap kurang berpijak pada prinsip-prinsip pendidikan humanistik dan mengabaikan pertimbangan ilmiah, psikologis, serta sosial-kultural anak. Artikel ini mengkaji kebijakan-kebijakan tersebut melalui pendekatan evaluatif-filosofis, mengontraskannya dengan paradigma pendidikan modern berbasis humanisme seperti yang dikemukakan John Dewey, Paulo Freire, dan Carl Rogers. Temuan menunjukkan bahwa pendekatan otoriter dalam pendidikan justru berisiko menimbulkan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan kognitif, afektif, dan sosial peserta didik. Di sisi lain, pendekatan humanistik lebih mampu menumbuhkan otonomi, kreativitas, dan karakter positif siswa. Artikel ini menawarkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti ilmiah yang mendorong sinergi antara nilai-nilai lokal, hak anak, dan arah pembangunan pendidikan nasional.

Kata kunci: pendidikan Jawa Barat, kebijakan pendidikan, pendekatan otoriter, humanisme pendidikan, disiplin anak, Dedi Mulyadi.


PEMBAHASAN

Dilema Arah Pendidikan di Jawa Barat


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks Indonesia, arah dan tujuan pendidikan telah diatur secara jelas dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”¹ Arah pendidikan Indonesia tidak hanya bertumpu pada pencapaian intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada pembentukan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun, dinamika pendidikan di tingkat daerah sering kali menunjukkan deviasi dari visi nasional tersebut, terutama ketika kebijakan pendidikan dirancang secara top-down tanpa landasan filosofis yang kuat dan tanpa melibatkan partisipasi dari komunitas pendidikan. Hal ini terlihat jelas dalam konteks Provinsi Jawa Barat, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan publik nasional akibat munculnya sejumlah kebijakan kontroversial dari Gubernur Dedi Mulyadi, baik semasa menjabat sebagai Bupati Purwakarta maupun saat berperan aktif dalam dunia politik daerah. Kebijakan-kebijakan tersebut, yang di antaranya mencakup program barak militer untuk siswa yang dianggap bermasalah, kewajiban masuk sekolah pada pukul 06.30 pagi, dan pelibatan unsur militer dalam pembinaan karakter siswa, telah menimbulkan perdebatan luas mengenai arah pendidikan di Jawa Barat.

Sebagai contoh, pada 2015, Dedi Mulyadi meluncurkan program “barak militer” bagi siswa yang dianggap melanggar kedisiplinan di sekolah. Program ini mendapatkan respons beragam dari masyarakat dan kalangan akademisi. Sebagian menilai program ini dapat membentuk karakter disiplin, namun tidak sedikit yang mengkritiknya karena dianggap menyalahi prinsip pedagogis dan mengabaikan pendekatan psikologis terhadap anak.² Sementara itu, kebijakan masuk sekolah lebih awal dari biasanya juga menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan fisik dan mental siswa, serta beban tambahan bagi orang tua yang harus menyesuaikan rutinitas keluarga.³

Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pendekatan otoriter dalam mendidik, yang sering kali disamarkan dengan istilah "pendidikan karakter", benar-benar sejalan dengan nilai-nilai dasar pendidikan nasional dan prinsip-prinsip hak anak? Ataukah hal itu justru menjadi bentuk kekerasan struktural yang disahkan oleh kebijakan publik?

Dalam kerangka inilah penting untuk mengkaji ulang secara kritis arah pendidikan di Jawa Barat, terutama melalui lensa filsafat pendidikan dan prinsip-prinsip humanistik. Pendidikan, menurut Paulo Freire, harus membebaskan, bukan menindas.⁴ Maka, ketika kebijakan pendidikan lokal lebih menekankan pada ketundukan dan penyeragaman daripada pada penghargaan terhadap kemanusiaan dan potensi individu, maka di sanalah sesungguhnya krisis pendidikan sedang berlangsung.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[2]                Lihat berita “Barak Militer untuk Anak Nakal ala Bupati Dedi Mulyadi Menuai Kritik,” Kompas.com, 23 November 2015, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/23/18000061/barak-militer-untuk-anak-nakal-ala-bupati-dedi-menuai-kritik.

[3]                Muhammad Idris, “Masuk Sekolah Jam 06.30, Begini Kritik Psikolog Anak terhadap Kebijakan tersebut,” Detik.com, 11 Juli 2023, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6806547/masuk-sekolah-jam-0630-psikolog-beri-kritik.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), hlm. 72–75.


2.           Kebijakan-Kebijakan Kontroversial Gubernur Dedi Mulyadi

Dalam perannya sebagai kepala daerah, Dedi Mulyadi dikenal sebagai sosok yang penuh terobosan dan memiliki gaya kepemimpinan yang tidak konvensional. Namun, sejumlah kebijakan yang ia terapkan di sektor pendidikan menuai sorotan tajam, karena dinilai lebih menekankan aspek kedisiplinan secara militeristik daripada pendekatan pedagogis yang humanis. Tiga di antara kebijakan tersebut menjadi titik kontroversi paling signifikan, yaitu: program barak militer bagi siswa bermasalah, kebijakan masuk sekolah pukul 06.30 pagi, dan pelibatan unsur militer dalam pembinaan karakter siswa.

2.1.       Program Barak Militer untuk Siswa Bermasalah

Pada tahun 2015, Dedi Mulyadi—saat itu menjabat sebagai Bupati Purwakarta—menginisiasi program pelatihan semi-militer di barak-barak khusus bagi siswa sekolah menengah yang dianggap nakal atau sering melakukan pelanggaran kedisiplinan. Program ini disebut-sebut bertujuan membentuk mental tangguh dan karakter disiplin melalui pendekatan fisik dan aturan ketat yang menyerupai sistem pelatihan militer.¹

Kebijakan ini segera menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama praktisi pendidikan dan pemerhati anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan keprihatinannya dan mempertanyakan dasar pedagogis dari program tersebut.² Pendekatan koersif semacam ini, menurut para psikolog, berpotensi merusak harga diri anak, menimbulkan trauma, dan tidak menyelesaikan akar masalah perilaku menyimpang yang biasanya lebih kompleks dan personal.³ Alih-alih membina, kebijakan semacam ini lebih mencerminkan pendekatan represif yang menyamakan pelanggaran siswa dengan tindak pidana.

2.2.       Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 06.30 Pagi

Kebijakan lain yang memicu perdebatan adalah penetapan jam masuk sekolah pada pukul 06.30 pagi untuk siswa tingkat SMP dan SMA di sejumlah wilayah Jawa Barat. Alasan utama kebijakan ini, menurut Dedi Mulyadi, adalah untuk membentuk kedisiplinan, menanamkan nilai kerja keras, dan menyesuaikan rutinitas dengan ritme kerja masyarakat yang dimulai sejak pagi hari.⁴

Namun, berbagai pakar pendidikan dan kesehatan anak justru menilai kebijakan ini sebagai bentuk abai terhadap kebutuhan biologis dan psikologis siswa. Secara ilmiah, remaja secara alami memiliki ritme sirkadian (jam biologis) yang cenderung membuat mereka sulit tidur lebih awal dan bangun terlalu pagi.⁵ Oleh karena itu, memaksa mereka masuk sekolah terlalu dini justru berdampak buruk terhadap konsentrasi belajar, daya tahan tubuh, serta kestabilan emosi.⁶ Selain itu, orang tua pun merasa terbebani dengan perubahan rutinitas mendadak yang tidak mempertimbangkan dinamika kehidupan keluarga dan transportasi.⁷

2.3.       Pelibatan Unsur Militer dalam Pendidikan Karakter

Dedi Mulyadi juga dikenal gemar melibatkan unsur militer, seperti TNI, dalam pembinaan karakter siswa melalui kegiatan apel, baris-berbaris, dan pembekalan kedisiplinan. Ia berpendapat bahwa generasi muda memerlukan figur dan sistem pendidikan yang tegas agar tidak “lemah” dan “manja”.⁸

Meskipun pelibatan TNI dalam pendidikan tidak sepenuhnya dilarang, pendekatan semacam ini menimbulkan kekhawatiran mengenai bias ideologis dalam pendidikan. Pendidikan karakter idealnya dibentuk melalui teladan, dialog, refleksi nilai, dan pembiasaan etis yang sesuai dengan tahapan psikologis anak.⁹ Pendekatan yang militeristik dapat menciptakan budaya kepatuhan membabi buta, menghambat nalar kritis, dan menjauhkan peserta didik dari esensi pendidikan yang membebaskan.


Secara keseluruhan, tiga kebijakan ini menggambarkan kecenderungan kuat pada pendekatan otoriter dalam pendidikan, yang menekankan pada hasil instan berupa ketaatan dan ketertiban, tetapi mengabaikan proses pendidikan yang mendalam, holistik, dan menghargai subjektivitas anak. Tanpa fondasi filosofis dan pedagogis yang kokoh, kebijakan-kebijakan semacam ini berpotensi menciptakan generasi yang disiplin secara permukaan, tetapi rapuh secara moral dan spiritual.


Footnotes

[1]                “Barak Militer untuk Anak Nakal ala Bupati Dedi Mulyadi Menuai Kritik,” Kompas.com, 23 November 2015, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/23/18000061/barak-militer-untuk-anak-nakal-ala-bupati-dedi-menuai-kritik.

[2]                Ibid.

[3]                Retno Listyarti, “Catatan Psikologis tentang Program Semi-Militer di Sekolah,” KPAI.go.id, 2015.

[4]                Muhammad Idris, “Masuk Sekolah Jam 06.30, Psikolog Anak Beri Kritik Tajam,” Detik.com, 11 Juli 2023, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6806547.

[5]                Daniel J. Buysse, “Sleep Health: Can We Define It? Does It Matter?” Sleep, vol. 37, no. 1 (2014): 9–17.

[6]                American Academy of Pediatrics, “School Start Times for Adolescents,” Pediatrics, vol. 134, no. 3 (2014): 642–649.

[7]                “Orang Tua Keluhkan Jam Masuk Sekolah Terlalu Pagi,” CNN Indonesia, 12 Juli 2023, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230712125614-20-969864.

[8]                “Dedi Mulyadi: Generasi Lemah Harus Diperkuat oleh TNI,” Republika.co.id, 17 Maret 2016, https://www.republika.co.id/berita/o3tg23380.

[9]                Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005), 27–35.


3.           Evaluasi Filosofis: Antara Humanisme dan Otoritarianisme

Kebijakan pendidikan tidak hanya perlu dievaluasi dari segi teknis dan administratif, tetapi juga secara filosofis, karena pendidikan pada hakikatnya adalah praktik nilai. Dalam konteks kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi yang menekankan kedisiplinan secara militeristik dan pendekatan represif terhadap siswa, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan semacam ini sejalan dengan esensi pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanisasi)? Atau justru memperkuat budaya otoritarianisme dalam institusi pendidikan?

Pendidikan dalam pandangan para filsuf humanis—seperti John Dewey, Paulo Freire, dan Ki Hajar Dewantara—bukan sekadar transmisi pengetahuan atau penanaman kepatuhan terhadap otoritas, tetapi merupakan proses pembebasan, pertumbuhan kepribadian, dan pembentukan kesadaran moral serta sosial.¹ Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah dialogis dan problem-posing (membangkitkan pertanyaan), bukan "banking education" yang menjejalkan pengetahuan dari atas ke bawah secara mekanistik.² Freire menegaskan bahwa pendidikan yang represif adalah bentuk kekerasan struktural, karena mengobjektifikasi peserta didik sebagai subjek pasif.

Sebaliknya, pendekatan otoritarian dalam pendidikan sering memandang anak sebagai objek yang perlu dikontrol, didisiplinkan, bahkan dikoreksi dengan cara-cara keras demi tujuan jangka pendek seperti ketertiban atau ketaatan. Dalam perspektif ini, pendidikan menjadi alat kekuasaan, bukan medium pembentukan karakter otonom dan reflektif.³ Hal ini tampak dalam praktik barak militer untuk siswa nakal dan jam masuk sekolah yang terlalu pagi, yang mengabaikan kebutuhan individual siswa demi “kepentingan sistem.”

Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, menolak keras pendekatan otoriter. Ia menegaskan bahwa pendidikan harus berlangsung dalam suasana kasih sayang dan penghormatan terhadap kodrat anak. Prinsip tut wuri handayani mencerminkan bahwa pendidik tidak bertugas memerintah, tetapi mendampingi dan membimbing perkembangan murid dari belakang.⁴ Jika pendidikan menjadi sarana untuk "meluruskan" anak dengan kekerasan simbolik dan fisik, maka ini adalah pengingkaran terhadap amanat kemerdekaan belajar.

Dalam kerangka negara demokratis seperti Indonesia, pendidikan idealnya membentuk warga negara yang tidak hanya disiplin, tetapi juga kritis, partisipatif, dan memiliki kesadaran sosial. Pendekatan yang terlalu militeristik justru bertentangan dengan cita-cita demokrasi tersebut karena menciptakan ketundukan, bukan kemandirian.⁵ Apalagi, ketika unsur militer dihadirkan dalam institusi pendidikan secara reguler, hal ini berisiko mempolitisasi pendidikan dan menanamkan nilai-nilai hierarkis yang membekukan kreativitas serta dialog.

Evaluasi filosofis terhadap arah pendidikan di Jawa Barat menunjukkan bahwa kebijakan berbasis otoritarianisme, meskipun dibalut jargon “pendidikan karakter,” sesungguhnya menggerus nilai-nilai pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan karakter sejati bukanlah soal hukuman, tetapi pengasahan nurani, akal budi, dan empati. Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan di Jawa Barat direfleksikan ulang agar kembali berpijak pada prinsip-prinsip humanistik yang menempatkan peserta didik sebagai subjek yang berdaya dan merdeka.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), hlm. 25–30; Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1935), hlm. 10–12.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.

[3]                Henry A. Giroux, Schooling and the Struggle for Public Life (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988), 45–47.

[4]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2004), hlm. 18–20.

[5]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2012), 95–97.


4.           Dampak Jangka Panjang bagi Generasi Muda

Kebijakan pendidikan yang cenderung otoriter tidak hanya berdampak jangka pendek dalam bentuk ketertiban semu di lingkungan sekolah, tetapi juga membawa implikasi serius dalam jangka panjang terhadap perkembangan psikologis, sosial, dan intelektual generasi muda. Dalam konteks Jawa Barat, pendekatan-pendekatan koersif yang menekankan kepatuhan melalui kontrol ketat, disiplin keras, dan pengabaian terhadap suara peserta didik berpotensi menciptakan generasi yang secara lahiriah tertib, namun secara batiniah kehilangan otonomi, empati, dan daya refleksi.

4.1.       Kerusakan Psikologis dan Trauma Tersembunyi

Studi psikologi perkembangan anak menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan yang keras dan penuh tekanan cenderung menimbulkan gangguan emosional seperti kecemasan, stres kronis, serta harga diri yang rendah.¹ Ketika siswa dipaksa mengikuti barak militer atau masuk sekolah sebelum kondisi fisik dan mental mereka siap, tubuh mereka akan memasuki mode “survival” alih-alih “belajar”.² Hal ini dapat mengganggu fungsi kognitif, menurunkan motivasi intrinsik, dan membentuk hubungan negatif dengan proses belajar itu sendiri.

Sebagaimana dijelaskan oleh American Psychological Association (APA), eksposur terhadap praktik-praktik pendidikan yang mengandung unsur penghukuman keras atau pelecehan emosional dalam jangka panjang dapat memicu trauma perkembangan, yang akan memengaruhi relasi sosial, ketahanan mental, dan prestasi akademik anak hingga dewasa.³

4.2.       Pemiskinan Kemampuan Kritis dan Kreatif

Salah satu bahaya laten dari pendekatan otoriter dalam pendidikan adalah matinya daya nalar kritis dan kemampuan berpikir reflektif.⁴ Pendidikan yang menekankan kepatuhan dan hukuman membentuk pola pikir yang tunduk pada otoritas, tetapi tidak mampu menyaring informasi, mengkritisi kebijakan, atau mengambil keputusan etis secara mandiri. Ini berpotensi menciptakan generasi yang pasif dan tidak siap menghadapi kompleksitas kehidupan sosial-politik di era demokrasi dan disrupsi digital.

Pendidikan sejati, menurut Freire, adalah yang mengembangkan conscientização—kesadaran kritis terhadap dunia dan diri sendiri.⁵ Ketika anak tidak diberi ruang untuk bertanya, meragukan, atau beropini, maka mereka kehilangan kesempatan menjadi subjek dalam proses belajarnya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang mungkin terampil secara teknis, tetapi minim kemandirian berpikir.

4.3.       Distorsi Nilai-Nilai Moral dan Empati Sosial

Ironisnya, kebijakan yang mengklaim membentuk “karakter” justru berisiko melahirkan generasi dengan nilai-nilai moral yang tumpul. Nilai seperti kejujuran, kepedulian, atau tanggung jawab tidak tumbuh melalui perintah dan hukuman, melainkan melalui pengalaman, teladan, dan pembiasaan yang empatik.⁶ Jika anak-anak dididik dalam lingkungan yang keras dan tidak demokratis, mereka bisa menginternalisasi model hubungan kuasa yang opresif dan mereproduksinya dalam kehidupan sosial, termasuk dalam keluarga dan komunitas.

Penelitian oleh Carol Gilligan dan rekan-rekannya menegaskan bahwa lingkungan belajar yang empatik dan partisipatif akan lebih berhasil membentuk individu yang memiliki moral reasoning yang matang, dibandingkan lingkungan yang bersifat koersif dan kompetitif.⁷ Oleh karena itu, pendekatan otoriter dalam pendidikan tidak hanya gagal membentuk akhlak mulia, tetapi justru membiaskan pemahaman peserta didik tentang apa itu “baik”, “adil”, dan “bermartabat”.

4.4.       Risiko Munculnya Generasi Apatis dan Anti-Intelektual

Dalam jangka panjang, pengalaman pendidikan yang represif dapat memunculkan apatisme terhadap institusi formal, termasuk sekolah dan negara. Anak-anak yang tumbuh dalam sistem yang tidak mendengarkan dan menghargai mereka akan memandang pendidikan sebagai beban, bukan sebagai alat pembebasan.⁸ Hal ini berpotensi melahirkan generasi yang secara formal terdidik, tetapi kehilangan semangat untuk terlibat aktif dalam perubahan sosial yang konstruktif.

Terdapat pula risiko berkembangnya sikap anti-intelektualisme, yakni penolakan terhadap pemikiran mendalam dan pembelajaran kritis, karena dianggap tidak relevan atau bahkan mengancam kenyamanan otoritas.⁹ Dalam konteks demokrasi, hal ini sangat membahayakan karena menciptakan ruang kosong dalam masyarakat sipil yang seharusnya diisi oleh warga yang cerdas dan berani menyuarakan kebenaran.


Secara keseluruhan, kebijakan pendidikan yang menekankan kontrol daripada pembinaan, ketertiban semu daripada keterlibatan bermakna, dan kepatuhan daripada kesadaran diri akan membawa kerusakan jangka panjang yang tidak kasatmata. Generasi muda tidak sekadar membutuhkan disiplin, tetapi bimbingan yang memanusiakan, ruang untuk bertumbuh, dan teladan yang menginspirasi.


Footnotes

[1]                Diana Baumrind, “The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance Use,” Journal of Early Adolescence 11, no. 1 (1991): 56–95.

[2]                Bruce Perry and Maia Szalavitz, The Boy Who Was Raised as a Dog: And Other Stories from a Child Psychiatrist’s Notebook (New York: Basic Books, 2007), 34–41.

[3]                American Psychological Association, “Effects of Emotional Abuse,” APA.org, accessed July 28, 2025, https://www.apa.org/topics/abuse/emotional.

[4]                Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 112–119.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.

[6]                Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools (New York: Teachers College Press, 2005), 1–12.

[7]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 98–105.

[8]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 22–36.

[9]                Susan Jacoby, The Age of American Unreason (New York: Pantheon Books, 2008), 55–65.


5.           Rekomendasi Arah Perbaikan

Menimbang dampak jangka panjang dari pendekatan otoriter dalam pendidikan sebagaimana terlihat pada kebijakan-kebijakan kontroversial di Jawa Barat, sangat mendesak untuk merumuskan arah perbaikan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pedagogis, filosofis, dan hak anak. Reformasi pendidikan di tingkat daerah tidak boleh sekadar bersifat teknokratis atau populis, tetapi harus berpijak pada komitmen terhadap pembentukan manusia yang merdeka, bermoral, dan cerdas secara sosial. Beberapa langkah perbaikan berikut dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah, pendidik, dan masyarakat sipil.

5.1.       Menggeser Paradigma Pendidikan dari Otoritarianisme ke Humanisme

Langkah pertama dan paling mendasar adalah perubahan paradigma: dari melihat anak sebagai objek disiplin menjadi subjek pembelajaran yang otonom. Pendidikan humanistik menekankan relasi dialogis antara pendidik dan peserta didik, di mana proses pembelajaran menjadi sarana pengembangan potensi, bukan pembentukan kepatuhan semata.¹

Paulo Freire menekankan pentingnya praxis—refleksi dan aksi—dalam pendidikan.² Dalam konteks ini, siswa tidak lagi diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi, melainkan sebagai individu yang punya hak untuk bertanya, mempertimbangkan, dan mengambil sikap. Pemerintah daerah perlu mengadopsi paradigma ini secara sistemik dalam seluruh kebijakan pendidikan, termasuk dalam pembinaan karakter.

5.2.       Meningkatkan Partisipasi Komunitas Pendidikan dalam Perumusan Kebijakan

Pendidikan yang baik lahir dari kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan partisipatif.³ Dalam banyak kasus, kegagalan kebijakan pendidikan di tingkat daerah terjadi karena kebijakan tersebut dirancang secara top-down tanpa melibatkan guru, orang tua, siswa, dan ahli pendidikan. Padahal, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 secara eksplisit menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan.⁴

Karenanya, setiap kebijakan besar yang menyangkut waktu belajar, metode pembinaan siswa, dan perubahan sistemik lainnya seharusnya dibicarakan melalui forum musyawarah pendidikan daerah (MPD), forum guru, atau dewan pendidikan. Proses ini tidak hanya menjamin kebijakan yang lebih akomodatif dan adil, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki dari seluruh pemangku kepentingan.

5.3.       Mengarusutamakan Pendidikan Berbasis Hak Anak

Prinsip-prinsip child-friendly education harus menjadi landasan dalam seluruh aspek kebijakan pendidikan, terutama dalam penegakan kedisiplinan.⁵ Program pelatihan semi-militer atau bentuk-bentuk penghukuman keras lainnya bertentangan dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.⁶

Alih-alih pendekatan represif, sistem disiplin positif yang menekankan pemulihan, pemahaman, dan penguatan perilaku positif seharusnya diimplementasikan di sekolah.⁷ Guru dan pembina perlu dibekali pelatihan tentang pendekatan psikologis terhadap perilaku anak, termasuk strategi intervensi yang menghormati martabat anak.

5.4.       Mengembangkan Kurikulum yang Mendorong Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif

Untuk membentuk generasi yang mampu menghadapi tantangan abad ke-21, kurikulum di Jawa Barat perlu mengintegrasikan prinsip 4C (Critical thinking, Creativity, Communication, Collaboration).⁸ Sistem pembelajaran tidak boleh lagi hanya berfokus pada hafalan dan ketertiban kelas, melainkan pada eksplorasi, pemecahan masalah, dan kerja tim.

Program seperti project-based learning, student-led learning, dan community service learning dapat dikembangkan di tingkat sekolah sebagai strategi konkrit yang menumbuhkan karakter secara alami, bukan dipaksakan melalui indoktrinasi.

5.5.       Menempatkan Guru sebagai Agen Transformasi Sosial

Guru bukan hanya pelaksana kurikulum, melainkan agen perubahan sosial.⁹ Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru dalam aspek pedagogik, psikologi perkembangan, manajemen kelas, dan filsafat pendidikan perlu menjadi prioritas. Pemerintah daerah perlu menyediakan ruang pelatihan yang berkelanjutan, reflektif, dan berbasis konteks lokal.

Selain itu, guru harus diberikan otonomi profesional yang memadai agar mampu mengambil keputusan etis dalam membina siswa, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan yang serba seragam dan birokratis.


Secara keseluruhan, arah perbaikan pendidikan di Jawa Barat harus beranjak dari pendekatan yang menekankan kedisiplinan struktural menuju sistem yang mendukung pertumbuhan manusia secara utuh. Pendidikan harus menjadi ruang harapan dan pembebasan, bukan instrumen represi dan kepatuhan buta.


Footnotes

[1]                Carl Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill, 1969), 103–107.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 87–92.

[3]                Andy Hargreaves and Michael Fullan, Professional Capital: Transforming Teaching in Every School (New York: Teachers College Press, 2012), 56–59.

[4]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 8 dan 9.

[5]                UNICEF, “Child-Friendly Schools Manual,” UNICEF.org, 2009, https://www.unicef.org/documents/child-friendly-schools-manual.

[6]                Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak.

[7]                Jane Nelsen, Positive Discipline (New York: Ballantine Books, 2006), 21–33.

[8]                Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 50–57.

[9]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 15–22.


6.           Penutup

Diskursus mengenai arah pendidikan di Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari pergulatan antara dua kutub ekstrem: satu sisi mengedepankan pendekatan disiplin otoriter, dan sisi lainnya mendorong pendidikan yang humanistik dan berkeadaban. Realitas kebijakan seperti pelatihan semi-militer, razia rambut siswa, atau sistem pembinaan yang menekankan kontrol dan kepatuhan telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan generasi muda yang hidup dalam tekanan struktural dan psikologis.¹

Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekadar alat untuk mencetak individu yang patuh terhadap otoritas, melainkan sarana untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan ketergantungan.² Seperti yang dikemukakan oleh John Dewey, pendidikan sejatinya adalah proses sosial yang bertujuan membentuk individu yang demokratis, kritis, dan mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.³

Menjadi tantangan besar bagi Jawa Barat—yang merupakan salah satu provinsi dengan jumlah pelajar terbanyak di Indonesia—untuk menjadikan sistem pendidikannya sebagai ruang pembentukan karakter yang beradab dan merdeka. Pergeseran paradigma dari pendekatan represif ke pendekatan humanistik tidak hanya membutuhkan reformasi kebijakan, tetapi juga transformasi budaya di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Pendidikan humanistik bukan berarti permisif atau bebas nilai, tetapi justru lebih menekankan pada tanggung jawab moral yang tumbuh dari kesadaran, bukan dari rasa takut.⁴ Untuk itu, peran guru sebagai figur pendamping yang empatik dan reflektif sangat sentral. Pendidikan karakter tidak akan berhasil jika hanya dimaknai sebagai serangkaian sanksi dan aturan tanpa disertai pembiasaan nilai melalui keteladanan, dialog, dan pembelajaran kontekstual.⁵

Akhirnya, masa depan pendidikan Jawa Barat akan sangat ditentukan oleh pilihan hari ini: apakah akan tetap mempertahankan pola lama yang represif demi ilusi ketertiban semu, atau berani mengadopsi pendekatan pendidikan yang memberdayakan, membebaskan, dan memanusiakan manusia. Pendidikan adalah cermin dari nilai-nilai yang kita anut sebagai masyarakat. Bila kita mendambakan generasi muda yang cerdas, berintegritas, dan berkepribadian utuh, maka sudah saatnya kita menata ulang arah pendidikan menuju ranah yang lebih adil, inklusif, dan berorientasi pada kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Komnas HAM RI, Laporan Situasi Hak Anak di Sekolah: Catatan dan Rekomendasi (Jakarta: Komnas HAM, 2022), 12–16.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.

[3]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 1–4.

[4]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Charles Merrill, 1969), 109–112.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 44–47.


Daftar Pustaka

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.

Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Komnas HAM RI. (2022). Laporan situasi hak anak di sekolah: Catatan dan rekomendasi. Komnas HAM Republik Indonesia. https://www.komnasham.go.id

Kompas. (2023, Oktober 4). Jam masuk sekolah pukul 06.00 menuai pro kontra: "Kebijakan yang tidak berbasis riset". Kompas.com. https://www.kompas.com

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.

Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi revisi). Remaja Rosdakarya.

Mulyadi, D. (2022, Oktober 15). Terapkan disiplin anak dengan metode semi-militer. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com

Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Charles Merrill Publishing Company.

Suharsimi, A. (2019). Pengantar administrasi pendidikan. Rineka Cipta.

UNICEF Indonesia. (2021). Pentingnya pendekatan ramah anak dalam pendidikan. https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/pendidikan-ramah-anak

Zuhdi, M. (2011). Humanisasi pendidikan: Menolak pendekatan kekerasan dalam pendidikan anak. Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 23–40. https://doi.org/10.14421/jpi.2011.41.23-40


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar