Dilema Arah Pendidikan di Jawa Barat
Antara Disiplin Otoriter dan
Pendidikan Humanistik
Alihkan ke: Filsafat
Pendidikan.
Guru
yang Membebaskan, Guru
Filosofis ala Socrates, Guru
Filosifis ala Plato, Guru
Bijak ala Aristoteles, Siswa
Hebat ala Rene Descartes.
Abstrak
Artikel ini membahas dinamika arah kebijakan
pendidikan di Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi,
yang menuai kontroversi publik karena pendekatannya yang cenderung otoriter.
Kebijakan-kebijakan seperti penerapan barak militer bagi siswa “nakal” dan jam
masuk sekolah pukul 06.00 WIB dianggap kurang berpijak pada prinsip-prinsip
pendidikan humanistik dan mengabaikan pertimbangan ilmiah, psikologis, serta
sosial-kultural anak. Artikel ini mengkaji kebijakan-kebijakan tersebut melalui
pendekatan evaluatif-filosofis, mengontraskannya dengan paradigma pendidikan
modern berbasis humanisme seperti yang dikemukakan John Dewey, Paulo Freire,
dan Carl Rogers. Temuan menunjukkan bahwa pendekatan otoriter dalam pendidikan
justru berisiko menimbulkan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan
kognitif, afektif, dan sosial peserta didik. Di sisi lain, pendekatan
humanistik lebih mampu menumbuhkan otonomi, kreativitas, dan karakter positif
siswa. Artikel ini menawarkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti ilmiah yang
mendorong sinergi antara nilai-nilai lokal, hak anak, dan arah pembangunan
pendidikan nasional.
Kata kunci: pendidikan
Jawa Barat, kebijakan pendidikan, pendekatan otoriter, humanisme pendidikan,
disiplin anak, Dedi Mulyadi.
PEMBAHASAN
Dilema Arah Pendidikan di Jawa
Barat
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan bangsa. Dalam
konteks Indonesia, arah dan tujuan pendidikan telah diatur secara jelas dalam
berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
“mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”¹ Arah pendidikan Indonesia tidak hanya bertumpu pada pencapaian
intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada pembentukan karakter dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, dinamika pendidikan di tingkat daerah sering kali menunjukkan
deviasi dari visi nasional tersebut, terutama ketika kebijakan pendidikan
dirancang secara top-down tanpa landasan filosofis yang kuat dan tanpa
melibatkan partisipasi dari komunitas pendidikan. Hal ini terlihat jelas dalam
konteks Provinsi Jawa Barat, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan
publik nasional akibat munculnya sejumlah kebijakan kontroversial dari Gubernur
Dedi Mulyadi, baik semasa menjabat sebagai Bupati Purwakarta maupun saat
berperan aktif dalam dunia politik daerah. Kebijakan-kebijakan tersebut, yang
di antaranya mencakup program barak militer untuk siswa yang dianggap
bermasalah, kewajiban masuk sekolah pada pukul 06.30 pagi, dan pelibatan unsur
militer dalam pembinaan karakter siswa, telah menimbulkan perdebatan luas
mengenai arah pendidikan di Jawa Barat.
Sebagai contoh, pada 2015, Dedi Mulyadi meluncurkan program “barak
militer” bagi siswa yang dianggap melanggar kedisiplinan di sekolah.
Program ini mendapatkan respons beragam dari masyarakat dan kalangan akademisi.
Sebagian menilai program ini dapat membentuk karakter disiplin, namun tidak
sedikit yang mengkritiknya karena dianggap menyalahi prinsip pedagogis dan
mengabaikan pendekatan psikologis terhadap anak.² Sementara itu, kebijakan
masuk sekolah lebih awal dari biasanya juga menimbulkan kekhawatiran tentang
kesehatan fisik dan mental siswa, serta beban tambahan bagi orang tua yang
harus menyesuaikan rutinitas keluarga.³
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pendekatan otoriter
dalam mendidik, yang sering kali disamarkan dengan istilah "pendidikan
karakter", benar-benar sejalan dengan nilai-nilai dasar pendidikan
nasional dan prinsip-prinsip hak anak? Ataukah hal itu justru menjadi bentuk
kekerasan struktural yang disahkan oleh kebijakan publik?
Dalam kerangka inilah penting untuk mengkaji ulang secara kritis arah
pendidikan di Jawa Barat, terutama melalui lensa filsafat pendidikan dan
prinsip-prinsip humanistik. Pendidikan, menurut Paulo Freire, harus
membebaskan, bukan menindas.⁴ Maka, ketika kebijakan pendidikan lokal lebih
menekankan pada ketundukan dan penyeragaman daripada pada penghargaan terhadap
kemanusiaan dan potensi individu, maka di sanalah sesungguhnya krisis
pendidikan sedang berlangsung.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[2]
Lihat berita
“Barak Militer untuk Anak Nakal ala Bupati Dedi Mulyadi Menuai Kritik,” Kompas.com,
23 November 2015, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/23/18000061/barak-militer-untuk-anak-nakal-ala-bupati-dedi-menuai-kritik.
[3]
Muhammad
Idris, “Masuk Sekolah Jam 06.30, Begini Kritik Psikolog Anak terhadap Kebijakan
tersebut,” Detik.com, 11 Juli 2023, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6806547/masuk-sekolah-jam-0630-psikolog-beri-kritik.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), hlm. 72–75.
2.
Kebijakan-Kebijakan Kontroversial Gubernur
Dedi Mulyadi
Dalam perannya sebagai kepala daerah, Dedi Mulyadi dikenal sebagai
sosok yang penuh terobosan dan memiliki gaya kepemimpinan yang tidak
konvensional. Namun, sejumlah kebijakan yang ia terapkan di sektor pendidikan
menuai sorotan tajam, karena dinilai lebih menekankan aspek kedisiplinan secara
militeristik daripada pendekatan pedagogis yang humanis. Tiga di antara
kebijakan tersebut menjadi titik kontroversi paling signifikan, yaitu: program
barak militer bagi siswa bermasalah, kebijakan masuk sekolah pukul 06.30 pagi,
dan pelibatan unsur militer dalam pembinaan karakter siswa.
2.1. Program
Barak Militer untuk Siswa Bermasalah
Pada tahun 2015, Dedi Mulyadi—saat itu menjabat sebagai Bupati
Purwakarta—menginisiasi program pelatihan semi-militer di barak-barak khusus
bagi siswa sekolah menengah yang dianggap nakal atau sering melakukan
pelanggaran kedisiplinan. Program ini disebut-sebut bertujuan membentuk mental
tangguh dan karakter disiplin melalui pendekatan fisik dan aturan ketat yang
menyerupai sistem pelatihan militer.¹
Kebijakan ini segera menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama
praktisi pendidikan dan pemerhati anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyatakan keprihatinannya dan mempertanyakan dasar pedagogis dari
program tersebut.² Pendekatan koersif semacam ini, menurut para psikolog,
berpotensi merusak harga diri anak, menimbulkan trauma, dan tidak menyelesaikan
akar masalah perilaku menyimpang yang biasanya lebih kompleks dan personal.³
Alih-alih membina, kebijakan semacam ini lebih mencerminkan pendekatan represif
yang menyamakan pelanggaran siswa dengan tindak pidana.
2.2.
Kebijakan Masuk
Sekolah Pukul 06.30 Pagi
Kebijakan lain yang memicu perdebatan
adalah penetapan jam masuk sekolah pada pukul 06.30 pagi untuk siswa tingkat
SMP dan SMA di sejumlah wilayah Jawa Barat. Alasan utama kebijakan ini, menurut
Dedi Mulyadi, adalah untuk membentuk kedisiplinan, menanamkan nilai kerja
keras, dan menyesuaikan rutinitas dengan ritme kerja masyarakat yang dimulai
sejak pagi hari.⁴
Namun, berbagai pakar pendidikan dan kesehatan anak justru menilai
kebijakan ini sebagai bentuk abai terhadap kebutuhan biologis dan psikologis
siswa. Secara ilmiah, remaja secara alami memiliki ritme sirkadian (jam
biologis) yang cenderung membuat mereka sulit tidur lebih awal dan bangun
terlalu pagi.⁵ Oleh karena itu, memaksa mereka masuk sekolah terlalu dini
justru berdampak buruk terhadap konsentrasi belajar, daya tahan tubuh, serta
kestabilan emosi.⁶ Selain itu, orang tua pun merasa terbebani dengan perubahan
rutinitas mendadak yang tidak mempertimbangkan dinamika kehidupan keluarga dan
transportasi.⁷
2.3.
Pelibatan Unsur
Militer dalam Pendidikan Karakter
Dedi Mulyadi juga dikenal gemar melibatkan unsur militer, seperti TNI,
dalam pembinaan karakter siswa melalui kegiatan apel, baris-berbaris, dan
pembekalan kedisiplinan. Ia berpendapat bahwa generasi muda memerlukan figur
dan sistem pendidikan yang tegas agar tidak “lemah” dan “manja”.⁸
Meskipun pelibatan TNI dalam pendidikan tidak sepenuhnya dilarang,
pendekatan semacam ini menimbulkan kekhawatiran mengenai bias ideologis dalam
pendidikan. Pendidikan karakter idealnya dibentuk melalui teladan, dialog,
refleksi nilai, dan pembiasaan etis yang sesuai dengan tahapan psikologis
anak.⁹ Pendekatan yang militeristik dapat menciptakan budaya kepatuhan membabi
buta, menghambat nalar kritis, dan menjauhkan peserta didik dari esensi
pendidikan yang membebaskan.
Secara keseluruhan, tiga kebijakan ini
menggambarkan kecenderungan kuat pada pendekatan otoriter dalam pendidikan,
yang menekankan pada hasil instan berupa ketaatan dan ketertiban, tetapi
mengabaikan proses pendidikan yang mendalam, holistik, dan menghargai
subjektivitas anak. Tanpa fondasi filosofis dan pedagogis yang kokoh,
kebijakan-kebijakan semacam ini berpotensi menciptakan generasi yang disiplin
secara permukaan, tetapi rapuh secara moral dan spiritual.
Footnotes
[1]
“Barak
Militer untuk Anak Nakal ala Bupati Dedi Mulyadi Menuai Kritik,” Kompas.com,
23 November 2015, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/23/18000061/barak-militer-untuk-anak-nakal-ala-bupati-dedi-menuai-kritik.
[2]
Ibid.
[3]
Retno
Listyarti, “Catatan Psikologis tentang Program Semi-Militer di Sekolah,” KPAI.go.id,
2015.
[4]
Muhammad
Idris, “Masuk Sekolah Jam 06.30, Psikolog Anak Beri Kritik Tajam,” Detik.com,
11 Juli 2023, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6806547.
[5]
Daniel J. Buysse, “Sleep Health: Can We Define It?
Does It Matter?” Sleep, vol. 37, no. 1 (2014): 9–17.
[6]
American Academy of Pediatrics, “School Start Times
for Adolescents,” Pediatrics, vol. 134, no. 3 (2014): 642–649.
[7]
“Orang Tua
Keluhkan Jam Masuk Sekolah Terlalu Pagi,” CNN Indonesia, 12 Juli 2023, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230712125614-20-969864.
[8]
“Dedi
Mulyadi: Generasi Lemah Harus Diperkuat oleh TNI,” Republika.co.id, 17
Maret 2016, https://www.republika.co.id/berita/o3tg23380.
[9]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An
Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005),
27–35.
3.
Evaluasi Filosofis: Antara Humanisme dan
Otoritarianisme
Kebijakan pendidikan tidak hanya perlu dievaluasi dari segi teknis dan
administratif, tetapi juga secara filosofis, karena pendidikan pada hakikatnya
adalah praktik nilai. Dalam konteks kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi yang
menekankan kedisiplinan secara militeristik dan pendekatan represif terhadap
siswa, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan semacam ini sejalan
dengan esensi pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanisasi)?
Atau justru memperkuat budaya otoritarianisme dalam institusi pendidikan?
Pendidikan dalam pandangan para filsuf humanis—seperti John Dewey,
Paulo Freire, dan Ki Hajar Dewantara—bukan sekadar transmisi pengetahuan atau
penanaman kepatuhan terhadap otoritas, tetapi merupakan proses pembebasan,
pertumbuhan kepribadian, dan pembentukan kesadaran moral serta sosial.¹ Paulo
Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyatakan bahwa pendidikan
sejati adalah dialogis dan problem-posing (membangkitkan pertanyaan), bukan
"banking education" yang menjejalkan pengetahuan dari atas ke
bawah secara mekanistik.² Freire menegaskan bahwa pendidikan yang represif
adalah bentuk kekerasan struktural, karena mengobjektifikasi peserta didik
sebagai subjek pasif.
Sebaliknya, pendekatan otoritarian dalam pendidikan sering memandang
anak sebagai objek yang perlu dikontrol, didisiplinkan, bahkan dikoreksi dengan
cara-cara keras demi tujuan jangka pendek seperti ketertiban atau ketaatan.
Dalam perspektif ini, pendidikan menjadi alat kekuasaan, bukan medium
pembentukan karakter otonom dan reflektif.³ Hal ini tampak dalam praktik barak
militer untuk siswa nakal dan jam masuk sekolah yang terlalu pagi, yang
mengabaikan kebutuhan individual siswa demi “kepentingan sistem.”
Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, menolak keras pendekatan
otoriter. Ia menegaskan bahwa pendidikan harus berlangsung dalam suasana kasih
sayang dan penghormatan terhadap kodrat anak. Prinsip tut wuri handayani
mencerminkan bahwa pendidik tidak bertugas memerintah, tetapi mendampingi dan
membimbing perkembangan murid dari belakang.⁴ Jika pendidikan menjadi sarana
untuk "meluruskan" anak dengan kekerasan simbolik dan fisik,
maka ini adalah pengingkaran terhadap amanat kemerdekaan belajar.
Dalam kerangka negara demokratis
seperti Indonesia, pendidikan idealnya membentuk warga negara yang tidak hanya
disiplin, tetapi juga kritis, partisipatif, dan memiliki kesadaran sosial. Pendekatan yang terlalu
militeristik justru bertentangan dengan cita-cita demokrasi tersebut karena
menciptakan ketundukan, bukan kemandirian.⁵ Apalagi, ketika unsur militer
dihadirkan dalam institusi pendidikan secara reguler, hal ini berisiko
mempolitisasi pendidikan dan menanamkan nilai-nilai hierarkis yang membekukan
kreativitas serta dialog.
Evaluasi filosofis terhadap arah pendidikan di Jawa Barat menunjukkan
bahwa kebijakan berbasis otoritarianisme, meskipun dibalut jargon “pendidikan
karakter,” sesungguhnya menggerus nilai-nilai pendidikan sebagai proses
pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan karakter sejati bukanlah soal
hukuman, tetapi pengasahan nurani, akal budi, dan empati. Oleh karena itu,
sudah saatnya pendidikan di Jawa Barat direfleksikan ulang agar kembali
berpijak pada prinsip-prinsip humanistik yang menempatkan peserta didik sebagai
subjek yang berdaya dan merdeka.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), hlm. 25–30; Ki Hajar Dewantara, Pendidikan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1935), hlm. 10–12.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.
[3]
Henry A. Giroux, Schooling and the Struggle for
Public Life (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988), 45–47.
[4]
Ki Hajar
Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka
(Yogyakarta: UST Press, 2004), hlm. 18–20.
[5]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder:
Westview Press, 2012), 95–97.
4.
Dampak Jangka Panjang bagi Generasi Muda
Kebijakan pendidikan yang cenderung otoriter tidak hanya berdampak
jangka pendek dalam bentuk ketertiban semu di lingkungan sekolah, tetapi juga
membawa implikasi serius dalam jangka panjang terhadap perkembangan psikologis,
sosial, dan intelektual generasi muda. Dalam konteks Jawa Barat,
pendekatan-pendekatan koersif yang menekankan kepatuhan melalui kontrol ketat,
disiplin keras, dan pengabaian terhadap suara peserta didik berpotensi
menciptakan generasi yang secara lahiriah tertib, namun secara batiniah kehilangan
otonomi, empati, dan daya refleksi.
4.1.
Kerusakan Psikologis
dan Trauma Tersembunyi
Studi psikologi perkembangan anak menunjukkan bahwa pendekatan
pendidikan yang keras dan penuh tekanan cenderung menimbulkan gangguan
emosional seperti kecemasan, stres kronis, serta harga diri yang rendah.¹
Ketika siswa dipaksa mengikuti barak militer atau masuk sekolah sebelum kondisi
fisik dan mental mereka siap, tubuh mereka akan memasuki mode “survival”
alih-alih “belajar”.² Hal ini dapat mengganggu fungsi kognitif,
menurunkan motivasi intrinsik, dan membentuk hubungan negatif dengan proses
belajar itu sendiri.
Sebagaimana dijelaskan oleh American Psychological Association (APA),
eksposur terhadap praktik-praktik pendidikan yang mengandung unsur penghukuman
keras atau pelecehan emosional dalam jangka panjang dapat memicu trauma
perkembangan, yang akan memengaruhi relasi sosial, ketahanan mental, dan
prestasi akademik anak hingga dewasa.³
4.2.
Pemiskinan Kemampuan
Kritis dan Kreatif
Salah satu bahaya laten dari pendekatan
otoriter dalam pendidikan adalah matinya daya nalar kritis dan kemampuan
berpikir reflektif.⁴ Pendidikan yang menekankan kepatuhan dan hukuman membentuk
pola pikir yang tunduk pada otoritas, tetapi tidak mampu menyaring informasi,
mengkritisi kebijakan, atau mengambil keputusan etis secara mandiri. Ini berpotensi menciptakan
generasi yang pasif dan tidak siap menghadapi kompleksitas kehidupan
sosial-politik di era demokrasi dan disrupsi digital.
Pendidikan sejati, menurut Freire, adalah yang mengembangkan conscientização—kesadaran
kritis terhadap dunia dan diri sendiri.⁵ Ketika anak tidak diberi ruang untuk
bertanya, meragukan, atau beropini, maka mereka kehilangan kesempatan menjadi
subjek dalam proses belajarnya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang
mungkin terampil secara teknis, tetapi minim kemandirian berpikir.
4.3.
Distorsi Nilai-Nilai
Moral dan Empati Sosial
Ironisnya, kebijakan yang mengklaim membentuk “karakter” justru
berisiko melahirkan generasi dengan nilai-nilai moral yang tumpul. Nilai
seperti kejujuran, kepedulian, atau tanggung jawab tidak tumbuh melalui
perintah dan hukuman, melainkan melalui pengalaman, teladan, dan pembiasaan
yang empatik.⁶ Jika anak-anak dididik dalam lingkungan yang keras dan tidak
demokratis, mereka bisa menginternalisasi model hubungan kuasa yang opresif dan
mereproduksinya dalam kehidupan sosial, termasuk dalam keluarga dan komunitas.
Penelitian oleh Carol Gilligan dan rekan-rekannya menegaskan bahwa
lingkungan belajar yang empatik dan partisipatif akan lebih berhasil membentuk
individu yang memiliki moral reasoning yang matang, dibandingkan
lingkungan yang bersifat koersif dan kompetitif.⁷ Oleh karena itu, pendekatan
otoriter dalam pendidikan tidak hanya gagal membentuk akhlak mulia, tetapi
justru membiaskan pemahaman peserta didik tentang apa itu “baik”, “adil”,
dan “bermartabat”.
4.4.
Risiko Munculnya
Generasi Apatis dan Anti-Intelektual
Dalam jangka panjang, pengalaman pendidikan yang represif dapat
memunculkan apatisme terhadap institusi formal, termasuk sekolah dan negara.
Anak-anak yang tumbuh dalam sistem yang tidak mendengarkan dan menghargai
mereka akan memandang pendidikan sebagai beban, bukan sebagai alat pembebasan.⁸
Hal ini berpotensi melahirkan generasi yang secara formal terdidik, tetapi
kehilangan semangat untuk terlibat aktif dalam perubahan sosial yang
konstruktif.
Terdapat pula risiko berkembangnya sikap anti-intelektualisme, yakni
penolakan terhadap pemikiran mendalam dan pembelajaran kritis, karena dianggap
tidak relevan atau bahkan mengancam kenyamanan otoritas.⁹ Dalam konteks
demokrasi, hal ini sangat membahayakan karena menciptakan ruang kosong dalam
masyarakat sipil yang seharusnya diisi oleh warga yang cerdas dan berani
menyuarakan kebenaran.
Secara keseluruhan, kebijakan
pendidikan yang menekankan kontrol daripada pembinaan, ketertiban semu daripada
keterlibatan bermakna, dan kepatuhan daripada kesadaran diri akan membawa
kerusakan jangka panjang yang tidak kasatmata. Generasi muda tidak sekadar membutuhkan
disiplin, tetapi bimbingan yang memanusiakan, ruang untuk bertumbuh, dan
teladan yang menginspirasi.
Footnotes
[1]
Diana Baumrind, “The Influence of Parenting Style on
Adolescent Competence and Substance Use,” Journal of Early Adolescence
11, no. 1 (1991): 56–95.
[2]
Bruce Perry and Maia Szalavitz, The Boy Who Was
Raised as a Dog: And Other Stories from a Child Psychiatrist’s Notebook
(New York: Basic Books, 2007), 34–41.
[3]
American Psychological Association, “Effects of
Emotional Abuse,” APA.org, accessed July 28, 2025, https://www.apa.org/topics/abuse/emotional.
[4]
Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism:
Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm
Publishers, 2004), 112–119.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.
[6]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools
(New York: Teachers College Press, 2005), 1–12.
[7]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological
Theory and Women's Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982),
98–105.
[8]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York:
Harper & Row, 1971), 22–36.
[9]
Susan Jacoby, The Age of American Unreason (New
York: Pantheon Books, 2008), 55–65.
5.
Rekomendasi Arah
Perbaikan
Menimbang dampak jangka panjang dari
pendekatan otoriter dalam pendidikan sebagaimana terlihat pada
kebijakan-kebijakan kontroversial di Jawa Barat, sangat mendesak untuk
merumuskan arah perbaikan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pedagogis,
filosofis, dan hak anak. Reformasi pendidikan di tingkat daerah tidak boleh
sekadar bersifat teknokratis atau populis, tetapi harus berpijak pada komitmen
terhadap pembentukan manusia yang merdeka, bermoral, dan cerdas secara sosial.
Beberapa langkah perbaikan berikut dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah,
pendidik, dan masyarakat sipil.
5.1.
Menggeser Paradigma
Pendidikan dari Otoritarianisme ke Humanisme
Langkah pertama dan paling mendasar adalah perubahan paradigma: dari
melihat anak sebagai objek disiplin menjadi subjek pembelajaran yang otonom.
Pendidikan humanistik menekankan relasi dialogis antara pendidik dan peserta
didik, di mana proses pembelajaran menjadi sarana pengembangan potensi, bukan
pembentukan kepatuhan semata.¹
Paulo Freire menekankan pentingnya praxis—refleksi dan
aksi—dalam pendidikan.² Dalam konteks ini, siswa tidak lagi diperlakukan
sebagai wadah kosong yang harus diisi, melainkan sebagai individu yang punya
hak untuk bertanya, mempertimbangkan, dan mengambil sikap. Pemerintah daerah
perlu mengadopsi paradigma ini secara sistemik dalam seluruh kebijakan
pendidikan, termasuk dalam pembinaan karakter.
5.2.
Meningkatkan
Partisipasi Komunitas Pendidikan dalam Perumusan Kebijakan
Pendidikan yang baik lahir dari kebijakan yang inklusif, berbasis data,
dan partisipatif.³ Dalam banyak kasus, kegagalan kebijakan pendidikan di
tingkat daerah terjadi karena kebijakan tersebut dirancang secara top-down
tanpa melibatkan guru, orang tua, siswa, dan ahli pendidikan. Padahal,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 secara eksplisit menegaskan bahwa masyarakat
memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan.⁴
Karenanya, setiap kebijakan besar yang menyangkut waktu belajar, metode
pembinaan siswa, dan perubahan sistemik lainnya seharusnya dibicarakan melalui
forum musyawarah pendidikan daerah (MPD), forum guru, atau dewan pendidikan.
Proses ini tidak hanya menjamin kebijakan yang lebih akomodatif dan adil,
tetapi juga meningkatkan rasa memiliki dari seluruh pemangku kepentingan.
5.3.
Mengarusutamakan
Pendidikan Berbasis Hak Anak
Prinsip-prinsip child-friendly
education harus menjadi landasan dalam seluruh aspek kebijakan pendidikan,
terutama dalam penegakan kedisiplinan.⁵ Program pelatihan semi-militer atau
bentuk-bentuk penghukuman keras lainnya bertentangan dengan Konvensi Hak Anak
yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1990 melalui Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990.⁶
Alih-alih pendekatan represif, sistem
disiplin positif yang menekankan pemulihan, pemahaman, dan penguatan perilaku
positif seharusnya diimplementasikan di sekolah.⁷ Guru dan pembina perlu
dibekali pelatihan tentang pendekatan psikologis terhadap perilaku anak,
termasuk strategi intervensi yang menghormati martabat anak.
5.4.
Mengembangkan
Kurikulum yang Mendorong Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif
Untuk membentuk generasi yang mampu menghadapi tantangan abad ke-21,
kurikulum di Jawa Barat perlu mengintegrasikan prinsip 4C (Critical
thinking, Creativity, Communication, Collaboration).⁸ Sistem pembelajaran tidak
boleh lagi hanya berfokus pada hafalan dan ketertiban kelas, melainkan pada
eksplorasi, pemecahan masalah, dan kerja tim.
Program seperti project-based learning, student-led learning,
dan community service learning dapat dikembangkan di tingkat sekolah
sebagai strategi konkrit yang menumbuhkan karakter secara alami, bukan
dipaksakan melalui indoktrinasi.
5.5.
Menempatkan Guru
sebagai Agen Transformasi Sosial
Guru bukan hanya pelaksana kurikulum, melainkan agen perubahan sosial.⁹
Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru dalam aspek pedagogik, psikologi
perkembangan, manajemen kelas, dan filsafat pendidikan perlu menjadi prioritas.
Pemerintah daerah perlu menyediakan ruang pelatihan yang berkelanjutan,
reflektif, dan berbasis konteks lokal.
Selain itu, guru harus diberikan otonomi profesional yang memadai agar
mampu mengambil keputusan etis dalam membina siswa, bukan sekadar menjadi
perpanjangan tangan dari kebijakan yang serba seragam dan birokratis.
Secara keseluruhan, arah perbaikan
pendidikan di Jawa Barat harus beranjak dari pendekatan yang menekankan
kedisiplinan struktural menuju sistem yang mendukung pertumbuhan manusia secara
utuh. Pendidikan harus
menjadi ruang harapan dan pembebasan, bukan instrumen represi dan kepatuhan
buta.
Footnotes
[1]
Carl Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH:
Merrill, 1969), 103–107.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 87–92.
[3]
Andy Hargreaves and Michael Fullan, Professional
Capital: Transforming Teaching in Every School (New York: Teachers College
Press, 2012), 56–59.
[4]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 8 dan 9.
[5]
UNICEF, “Child-Friendly Schools Manual,” UNICEF.org,
2009, https://www.unicef.org/documents/child-friendly-schools-manual.
[6]
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak.
[7]
Jane Nelsen, Positive Discipline (New York:
Ballantine Books, 2006), 21–33.
[8]
Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century
Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009),
50–57.
[9]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward
a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988),
15–22.
6.
Penutup
Diskursus mengenai arah pendidikan di
Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari pergulatan antara dua kutub ekstrem: satu
sisi mengedepankan pendekatan disiplin otoriter, dan sisi lainnya mendorong
pendidikan yang humanistik dan berkeadaban. Realitas kebijakan seperti
pelatihan semi-militer, razia rambut siswa, atau sistem pembinaan yang
menekankan kontrol dan kepatuhan telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa
depan generasi muda yang hidup dalam tekanan struktural dan psikologis.¹
Dalam konteks ini, penting untuk
menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekadar alat untuk mencetak individu yang
patuh terhadap otoritas, melainkan sarana untuk membebaskan manusia dari
kebodohan, ketakutan, dan ketergantungan.² Seperti yang dikemukakan oleh John Dewey, pendidikan sejatinya adalah proses sosial yang bertujuan membentuk
individu yang demokratis, kritis, dan mampu berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakat.³
Menjadi tantangan besar bagi Jawa
Barat—yang merupakan salah satu provinsi dengan jumlah pelajar terbanyak di
Indonesia—untuk menjadikan sistem pendidikannya sebagai ruang pembentukan
karakter yang beradab dan merdeka. Pergeseran paradigma dari pendekatan
represif ke pendekatan humanistik tidak hanya membutuhkan reformasi kebijakan,
tetapi juga transformasi budaya di lingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat.
Pendidikan humanistik bukan berarti
permisif atau bebas nilai, tetapi justru lebih menekankan pada tanggung jawab
moral yang tumbuh dari kesadaran, bukan dari rasa takut.⁴ Untuk itu, peran guru
sebagai figur pendamping yang empatik dan reflektif sangat sentral. Pendidikan karakter tidak akan
berhasil jika hanya dimaknai sebagai serangkaian sanksi dan aturan tanpa
disertai pembiasaan nilai melalui keteladanan, dialog, dan pembelajaran
kontekstual.⁵
Akhirnya, masa depan pendidikan Jawa Barat akan sangat ditentukan oleh
pilihan hari ini: apakah akan tetap mempertahankan pola lama yang represif demi
ilusi ketertiban semu, atau berani mengadopsi pendekatan pendidikan yang
memberdayakan, membebaskan, dan memanusiakan manusia. Pendidikan adalah cermin
dari nilai-nilai yang kita anut sebagai masyarakat. Bila kita mendambakan
generasi muda yang cerdas, berintegritas, dan berkepribadian utuh, maka sudah
saatnya kita menata ulang arah pendidikan menuju ranah yang lebih adil,
inklusif, dan berorientasi pada kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Komnas HAM
RI, Laporan Situasi Hak Anak di Sekolah: Catatan dan Rekomendasi
(Jakarta: Komnas HAM, 2022), 12–16.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 72–75.
[3]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 1–4.
[4]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH:
Charles Merrill, 1969), 109–112.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 44–47.
Daftar Pustaka
Dewey, J. (1916). Democracy and
education: An introduction to the philosophy of education. Macmillan.
Freire, P. (2005). Pedagogy of the
oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)
Komnas HAM RI. (2022). Laporan
situasi hak anak di sekolah: Catatan dan rekomendasi. Komnas HAM Republik
Indonesia. https://www.komnasham.go.id
Kompas. (2023, Oktober 4). Jam masuk sekolah pukul 06.00 menuai pro
kontra: "Kebijakan yang tidak berbasis riset". Kompas.com.
https://www.kompas.com
Lickona, T. (1991). Educating for
character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.
Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi
revisi). Remaja Rosdakarya.
Mulyadi, D. (2022, Oktober 15). Terapkan disiplin anak dengan metode
semi-militer. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com
Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Charles Merrill
Publishing Company.
Suharsimi, A. (2019). Pengantar administrasi pendidikan. Rineka
Cipta.
UNICEF Indonesia. (2021). Pentingnya pendekatan ramah anak dalam
pendidikan. https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/pendidikan-ramah-anak
Zuhdi, M. (2011). Humanisasi pendidikan: Menolak pendekatan kekerasan
dalam pendidikan anak. Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 23–40. https://doi.org/10.14421/jpi.2011.41.23-40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar