Jumat, 19 September 2025

Populisme: Konsep, Sejarah, Dinamika, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Populisme

Konsep, Sejarah, Dinamika, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Sorotan, Pencitraan, dan Realita Politik.


Abstrak

Populisme merupakan salah satu konsep paling menonjol sekaligus kontroversial dalam kajian politik kontemporer. Sebagai sebuah thin-centered ideology, populisme mendefinisikan politik melalui dikotomi antara “rakyat murni” versus “elit korup,” serta menekankan klaim representasi atas general will rakyat. Artikel ini berupaya memberikan telaah komprehensif mengenai populisme, mencakup dimensi konseptual, sejarah perkembangan, tipologi dan varian, tokoh-tokoh populis, fenomena kontemporer, serta dampaknya terhadap demokrasi dan kebijakan publik. Analisis menunjukkan bahwa populisme tidak dapat dipahami sebagai fenomena tunggal, melainkan sebagai spektrum ideologi, strategi politik, sekaligus gaya komunikasi yang berbeda-beda sesuai konteks sosial, ekonomi, dan kultural. Secara historis, populisme muncul di Amerika Serikat dan Rusia pada abad ke-19, berkembang pesat di Amerika Latin, dan kini hadir kembali dalam bentuk populisme kanan di Eropa serta populisme digital di berbagai belahan dunia.

Dampak populisme terhadap demokrasi bersifat ambivalen: ia dapat memperluas partisipasi politik dan menjadi koreksi atas defisit representasi, namun juga berpotensi melemahkan institusi demokratis, menolak pluralisme, serta mendorong konsentrasi kekuasaan. Refleksi filosofis memperlihatkan bahwa populisme tidak sekadar fenomena politik praktis, melainkan cermin dari sifat ontologis politik modern yang selalu berhubungan dengan konstruksi identitas kolektif “rakyat.” Artikel ini menegaskan bahwa populisme harus dipahami secara kritis sebagai tantangan sekaligus peluang bagi demokrasi kontemporer.

Kata Kunci: Populisme, demokrasi, rakyat, elit, ideologi tipis, politik kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Dinamika, Kritik, dan Relevansi Populisme


1.           Pendahuluan

Fenomena populisme dalam politik kontemporer menjadi salah satu topik paling banyak diperbincangkan dalam kajian ilmu politik dewasa ini. Istilah populisme kerap muncul dalam wacana publik, baik dalam konteks kampanye elektoral, dinamika partai politik, maupun analisis akademis mengenai demokrasi dan krisis representasi. Namun, meskipun penggunaannya begitu luas, populisme tetap merupakan sebuah konsep yang problematis karena multi-tafsir dan sering kali mengalami reduksi makna sesuai konteks tertentu. Dengan kata lain, populisme berada dalam wilayah ambivalensi: di satu sisi dipandang sebagai koreksi terhadap elitisme politik, tetapi di sisi lain dianggap ancaman bagi stabilitas demokrasi liberal.¹

Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai sebuah thin-centered ideology yang membagi masyarakat ke dalam dua kubu antagonistik: “rakyat murni” versus “elit korup.”² Ideologi ini menekankan bahwa politik seharusnya mengekspresikan general will atau kehendak umum rakyat, bukan sekadar menjadi arena kompetisi kepentingan elit.³ Namun demikian, karena sifatnya yang “tipis” (tidak menyajikan kerangka normatif dan programatik yang utuh), populisme cenderung bersifat parasit yang melekat pada ideologi lain, seperti nasionalisme, sosialisme, liberalisme, maupun bahkan agama.⁴ Inilah yang menjadikan populisme mudah bertransformasi dan mengakar dalam berbagai konteks sosial-politik yang berbeda.

Secara historis, populisme tidak hanya merupakan fenomena kontemporer, tetapi memiliki akar panjang dalam politik modern. Gerakan People’s Party di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, populisme agraris di Rusia, hingga peronisme di Argentina pada abad ke-20, merupakan manifestasi awal yang memperlihatkan bahwa populisme dapat muncul dengan wajah yang sangat beragam.⁵ Pada abad ke-21, populisme justru mengalami kebangkitan di berbagai belahan dunia, baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, maupun di negara berkembang di Amerika Latin, Asia, hingga Afrika. Hal ini menunjukkan bahwa populisme merupakan fenomena global yang melintasi batas geografis maupun ideologis.

Urgensi kajian populisme dalam ilmu politik kontemporer semakin mengemuka mengingat dampaknya yang signifikan terhadap demokrasi dan kebijakan publik. Populisme sering dikaitkan dengan meningkatnya polarisasi sosial, krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokratis, serta munculnya gaya kepemimpinan yang personalistik dan karismatik.⁶ Lebih jauh, dalam konteks perkembangan teknologi informasi, populisme juga bertransformasi menjadi digital populism, di mana media sosial menjadi sarana efektif untuk membangun narasi rakyat versus elit dan memobilisasi dukungan politik secara cepat.⁷

Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian akademik mengenai populisme memiliki relevansi yang penting, baik secara teoritis maupun praktis. Dari sisi teoritis, kajian ini membantu memperdalam pemahaman mengenai karakter dasar populisme, tipologi, serta perdebatan akademis yang mengiringinya. Dari sisi praktis, analisis terhadap populisme dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman dinamika politik di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang juga tidak lepas dari praktik populisme dalam sejarah maupun perkembangan politik mutakhir. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengurai konsep, sejarah, tipologi, tokoh, serta dampak populisme terhadap demokrasi, sekaligus memberikan refleksi filosofis mengenai posisi populisme dalam politik modern.


Footnotes

[1]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 3–4.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5.

[3]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 74–75.

[4]                Mudde and Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction, 15.

[5]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 23–25.

[6]                Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 70–84.

[7]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 121–123.


2.           Konsep Dasar Populisme

2.1.       Definisi Populisme

Populisme merupakan salah satu konsep paling sering digunakan dalam ilmu politik, namun pada saat yang sama juga merupakan konsep yang paling sulit didefinisikan secara tunggal. Margaret Canovan, salah satu akademisi terkemuka dalam kajian ini, menyatakan bahwa populisme adalah “a shadow cast by democracy itself,” yaitu bayangan yang selalu mengikuti demokrasi.¹ Artinya, populisme tidak dapat dipisahkan dari dinamika demokrasi karena selalu muncul ketika ada ketidakpuasan terhadap representasi politik yang berlaku.

Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai thin-centered ideology yang membagi masyarakat menjadi dua kubu antagonistik: “rakyat murni” (the pure people) versus “elit korup” (the corrupt elite).² Dengan definisi ini, populisme bukanlah sebuah ideologi komprehensif seperti liberalisme atau sosialisme, melainkan kerangka ideologis yang tipis dan bergantung pada ideologi lain untuk memperoleh substansi politik yang lebih lengkap.³

Ernesto Laclau menambahkan perspektif diskursif dengan menyatakan bahwa populisme adalah logika politik yang membentuk identitas kolektif “rakyat” melalui oposisi terhadap “elit.”⁴ Dengan demikian, populisme bukan hanya soal konten kebijakan, tetapi juga tentang cara membangun identitas politik melalui retorika dan simbol.

2.2.       Karakteristik Utama Populisme

Secara umum, terdapat beberapa karakteristik utama populisme yang dapat dikenali:

1)                  Dikotomi Rakyat vs Elit.

Populisme selalu memosisikan rakyat sebagai entitas moral yang murni dan homogen, berhadapan dengan elit yang dianggap korup, tidak mewakili, dan merusak tatanan politik.⁵

2)                  Kehendak Umum (General Will).

Populisme menekankan bahwa politik seharusnya mengekspresikan kehendak umum rakyat (volonté générale), bukan sekadar menjalankan prosedur demokratis yang dianggap membatasi.⁶

3)                  Gaya Politik Personalistik.

Pemimpin populis biasanya menampilkan diri sebagai representasi autentik dari rakyat, dengan gaya komunikasi yang sederhana, emosional, dan dekat dengan massa.⁷

4)                  Anti-Institusionalisme.

Populisme cenderung mencurigai lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen, pengadilan, dan media, yang dianggap sebagai instrumen elit untuk mempertahankan kekuasaan.⁸

5)                  Elastisitas Ideologis.

Karena bersifat thin-centered, populisme dapat menempel pada berbagai ideologi—baik kiri, kanan, nasionalis, maupun religius.⁹

Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan populisme bukan sekadar fenomena kebijakan, melainkan fenomena gaya politik dan strategi wacana yang bisa muncul dalam berbagai bentuk.

2.3.       Populisme sebagai Ideologi “Tipis”

Konsep populisme sebagai thin-centered ideology menegaskan bahwa ia tidak memiliki basis normatif yang utuh seperti liberalisme dengan konsep kebebasan, atau sosialisme dengan konsep kesetaraan.¹⁰ Populisme hanya menyajikan “kerangka kosong” berupa dikotomi rakyat vs elit yang kemudian diisi oleh ideologi lain. Misalnya, populisme kiri berorientasi pada redistribusi ekonomi, sedangkan populisme kanan sering menekankan identitas nasional dan eksklusivitas etnis.¹¹

Implikasinya, populisme memiliki fleksibilitas tinggi dalam konteks politik yang berbeda. Ia bisa muncul dalam bentuk kebijakan kesejahteraan inklusif maupun dalam bentuk kebijakan eksklusif yang xenofobik. Hal ini yang menjadikan populisme disebut “bunglon ideologis.”¹²

2.4.       Populisme dan Demokrasi

Hubungan antara populisme dan demokrasi bersifat ambivalen. Di satu sisi, populisme dapat menjadi kritik yang konstruktif terhadap defisit representasi dalam demokrasi liberal. Dengan mengusung retorika rakyat, populisme mampu meningkatkan partisipasi politik dan membangkitkan keterlibatan massa yang sebelumnya terpinggirkan.¹³ Namun, di sisi lain, populisme juga berpotensi merusak demokrasi karena cenderung melemahkan institusi formal, menolak pluralisme, dan memusatkan kekuasaan pada figur pemimpin tunggal.¹⁴

Dengan demikian, populisme bukan hanya konsep deskriptif, melainkan juga normatif, karena selalu menimbulkan perdebatan apakah ia merupakan obat atau ancaman bagi demokrasi kontemporer.


Footnotes

[1]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 294.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5.

[3]                Mudde and Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction, 15.

[4]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 67.

[5]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 19.

[6]                Pierre Rosanvallon, Le Peuple Intrapouvable: Histoire de la Représentation Démocratique en France (Paris: Gallimard, 1998), 33–34.

[7]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 41–42.

[8]                Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 72.

[9]                Mudde and Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction, 11.

[10]             Canovan, Populism, 8.

[11]             Moffitt, The Global Rise of Populism, 98–99.

[12]             Daniele Albertazzi and Duncan McDonnell, Twenty-First Century Populism: The Spectre of Western European Democracy (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2008), 3.

[13]             Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 123.

[14]             Müller, What Is Populism?, 43.


3.           Sejarah Perkembangan Populisme

3.1.       Populisme Awal di Abad ke-19

Akar populisme dapat ditelusuri sejak abad ke-19, ketika istilah ini mulai digunakan untuk menggambarkan gerakan politik yang mengatasnamakan rakyat jelata dalam melawan elit politik dan ekonomi. Salah satu contoh paling awal adalah People’s Party atau Populist Party di Amerika Serikat pada dekade 1890-an, yang lahir dari keresahan petani dan buruh terhadap dominasi perusahaan besar serta kebijakan ekonomi yang dianggap hanya menguntungkan kalangan elit industri dan perbankan.¹ Gerakan ini mengusung isu-isu redistribusi, keadilan ekonomi, dan keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik.

Di Rusia, populisme berkembang dalam bentuk gerakan narodnichestvo (dari kata narod yang berarti rakyat).² Kaum narodniki pada pertengahan abad ke-19 berusaha mengorganisir petani sebagai basis politik untuk menentang rezim Tsar. Meski akhirnya gagal mewujudkan revolusi besar, narodnichestvo memberikan pengaruh ideologis penting bagi perkembangan sosialisme dan komunisme di Rusia.³

3.2.       Populisme di Amerika Latin

Pada abad ke-20, populisme menemukan ladang subur di Amerika Latin. Salah satu tokoh paling terkenal adalah Juan Domingo Perón di Argentina (1946–1955), yang membangun model politik populis dengan basis dukungan buruh dan kelas menengah melalui kebijakan ekonomi proteksionis, redistribusi sosial, serta retorika nasionalisme.⁴ Fenomena ini dikenal sebagai Peronisme, yang kemudian menjadi rujukan bagi berbagai gerakan populis lain di kawasan tersebut.

Selain Perón, tokoh-tokoh seperti Getúlio Vargas di Brasil dan Lázaro Cárdenas di Meksiko juga menampilkan pola populisme serupa: kombinasi karisma pemimpin, mobilisasi massa, serta kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat.⁵ Pada era kontemporer, populisme di Amerika Latin mengalami kebangkitan melalui figur seperti Hugo Chávez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, dan Rafael Correa di Ekuador, yang sering disebut sebagai populisme kiri karena menekankan distribusi ekonomi dan keadilan sosial.⁶

3.3.       Populisme di Eropa

Di Eropa, populisme awalnya terkait dengan gerakan agraris di Eropa Timur dan Tengah pada akhir abad ke-19. Namun, perkembangan signifikan terjadi setelah Perang Dunia II, ketika populisme mulai dikaitkan dengan ideologi sayap kanan dan anti-imigrasi.⁷ Sejak 1990-an, populisme semakin menonjol di Eropa Barat melalui partai-partai seperti Front National (Prancis), Lega Nord (Italia), dan Party for Freedom (Belanda), yang mengusung isu nasionalisme, kedaulatan, serta penolakan terhadap integrasi Eropa.⁸

Fenomena Brexit pada 2016 dan kebangkitan tokoh-tokoh seperti Viktor Orbán di Hungaria serta Marine Le Pen di Prancis menunjukkan bahwa populisme kini menjadi arus utama dalam politik Eropa.⁹ Populisme di kawasan ini tidak hanya berbasis ekonomi, tetapi juga berbasis identitas, khususnya dalam menghadapi isu imigrasi, Islam, dan integrasi Uni Eropa.

3.4.       Populisme di Asia dan Afrika

Populisme juga muncul dalam konteks Asia dan Afrika, meskipun dengan karakteristik lokal. Di India, Indira Gandhi sering dianggap sebagai pemimpin populis karena retorikanya tentang “Garibi Hatao” (hapuskan kemiskinan) yang memobilisasi massa miskin pada 1970-an.¹⁰ Pada era kontemporer, Narendra Modi menampilkan populisme nasionalis Hindu yang menggabungkan retorika religius dengan pembangunan ekonomi.¹¹

Di Filipina, Rodrigo Duterte menggunakan gaya populisme law-and-order, dengan retorika keras terhadap kriminalitas dan narkoba.¹² Sementara itu, di Turki, Recep Tayyip Erdoğan mengombinasikan populisme religius dengan nasionalisme untuk mempertahankan basis dukungan luas.¹³

Di Afrika, populisme muncul dalam bentuk retorika anti-kolonial dan anti-elit lokal. Tokoh seperti Robert Mugabe di Zimbabwe dan Julius Malema di Afrika Selatan menunjukkan bagaimana populisme dapat berpadu dengan isu redistribusi tanah dan identitas rasial.¹⁴

3.5.       Populisme di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, populisme memiliki sejarah panjang sejak era kemerdekaan. Soekarno, misalnya, menampilkan gaya kepemimpinan populis dengan retorika revolusioner, mobilisasi massa, serta penekanan pada persatuan rakyat melawan kolonialisme dan imperialisme.¹⁵ Pada era Reformasi, populisme hadir kembali dalam gaya kampanye dan retorika politik beberapa kandidat, seperti Prabowo Subianto dan Joko Widodo, yang sama-sama menggunakan citra diri sebagai representasi rakyat untuk melawan elit.¹⁶

Hal ini menunjukkan bahwa populisme di Indonesia, sebagaimana di negara lain, bersifat kontekstual dan fleksibel, serta terus beradaptasi dengan perubahan dinamika sosial, ekonomi, dan politik.


Footnotes

[1]                Charles Postel, The Populist Vision (New York: Oxford University Press, 2007), 25–26.

[2]                Franco Venturi, Roots of Revolution: A History of the Populist and Socialist Movements in 19th Century Russia (New York: Alfred A. Knopf, 1960), 41–42.

[3]                Andrzej Walicki, A History of Russian Thought: From the Enlightenment to Marxism (Stanford: Stanford University Press, 1979), 276–278.

[4]                Daniel James, Resistance and Integration: Peronism and the Argentine Working Class, 1946–1976 (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 19–20.

[5]                Michael L. Conniff, ed., Populism in Latin America (Tuscaloosa: University of Alabama Press, 1999), 15–17.

[6]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 29–30.

[7]                Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 65.

[8]                Daniele Albertazzi and Duncan McDonnell, Twenty-First Century Populism: The Spectre of Western European Democracy (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2008), 23–24.

[9]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 54–56.

[10]             Christophe Jaffrelot, India’s Silent Revolution: The Rise of the Lower Castes in North India (New York: Columbia University Press, 2003), 112–113.

[11]             Ajay Gudavarthy, India after Modi: Populism and the Right (London: Bloomsbury, 2018), 7–9.

[12]             Nicole Curato, Democracy in a Time of Misery: From Spectacular Tragedy to Deliberative Action (Oxford: Oxford University Press, 2019), 47–49.

[13]             Jenny White, Muslim Nationalism and the New Turks (Princeton: Princeton University Press, 2013), 88–90.

[14]             Roger Southall, Populism and the Left in South Africa (Johannesburg: Jacana Media, 2021), 56–58.

[15]             Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 32–34.

[16]             Edward Aspinall, “Populism, Clientelism, and Mobilization in Indonesia: Insights from the 2014 Presidential Campaign,” Indonesia 99 (2015): 1–28.


4.           Tipologi dan Varian Populisme

4.1.       Populisme Kiri dan Populisme Kanan

Salah satu tipologi utama dalam studi populisme adalah pembedaan antara populisme kiri dan populisme kanan. Populisme kiri biasanya berfokus pada isu-isu ekonomi, redistribusi, dan keadilan sosial.¹ Gerakan ini menekankan pentingnya melawan elit ekonomi, kapitalis, dan lembaga internasional yang dianggap menindas rakyat. Contoh populisme kiri dapat ditemukan pada pemerintahan Hugo Chávez di Venezuela atau Evo Morales di Bolivia, yang menekankan retorika anti-neoliberalisme dan kebijakan redistributif.²

Sebaliknya, populisme kanan lebih menitikberatkan pada isu identitas, nasionalisme, dan kedaulatan negara.³ Elit yang diserang bukan hanya elit ekonomi, melainkan juga elit politik global, imigran, dan kelompok minoritas yang dianggap mengancam homogenitas budaya bangsa. Marine Le Pen di Prancis dan Viktor Orbán di Hungaria merupakan contoh kontemporer dari populisme kanan yang berbasis etno-nasionalisme dan anti-imigrasi.⁴

4.2.       Populisme Agraris

Populisme agraris adalah bentuk awal populisme yang muncul di abad ke-19, terutama di Amerika Serikat dan Rusia. Gerakan ini lahir dari keresahan petani terhadap eksploitasi ekonomi dan marginalisasi politik.⁵ People’s Party di Amerika Serikat menjadi salah satu representasi paling menonjol, dengan program menentang monopoli perusahaan besar dan menyerukan perlindungan terhadap kaum agraris.⁶ Populisme agraris menegaskan bahwa rakyat sejati adalah petani dan pekerja pedesaan, sehingga melawan elit perkotaan yang dianggap korup dan eksploitatif.

4.3.       Populisme Nasionalis dan Etno-Nasionalis

Varian lain dari populisme adalah populisme nasionalis yang mendefinisikan rakyat berdasarkan identitas kebangsaan, sering kali eksklusif terhadap kelompok etnis atau agama tertentu.⁷ Populisme etno-nasionalis mengusung agenda untuk mengembalikan kejayaan bangsa dengan menyingkirkan pengaruh asing dan memperkuat ikatan primordial. Contoh nyata adalah Donald Trump di Amerika Serikat dengan slogan “Make America Great Again,” yang menekankan proteksionisme ekonomi sekaligus kebijakan imigrasi yang ketat.⁸

4.4.       Populisme Religius

Populisme juga dapat mengambil bentuk religiopopulisme, yakni populisme yang menggunakan identitas agama sebagai basis mobilisasi.⁹ Dalam populisme jenis ini, rakyat didefinisikan sebagai komunitas religius yang murni, sementara elit dipandang sebagai pihak yang mengkhianati nilai-nilai agama. Recep Tayyip Erdoğan di Turki memanfaatkan retorika populisme religius dengan menekankan identitas Islam sebagai inti dari rakyat Turki.¹⁰ Di Indonesia, populisme religius kerap muncul dalam retorika politik yang mengatasnamakan umat, terutama dalam momen elektoral yang sarat polarisasi.¹¹

4.5.       Populisme Inklusif vs Eksklusif

Benjamin Moffitt dan Cas Mudde mengusulkan tipologi lain berdasarkan inklusivitas.¹² Populisme inklusif berusaha memperluas definisi “rakyat” dengan memasukkan kelompok marjinal, minoritas, dan kelompok yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi. Contohnya adalah Evo Morales yang mengintegrasikan komunitas pribumi dalam identitas nasional Bolivia.¹³ Sebaliknya, populisme eksklusif justru mendefinisikan rakyat secara sempit, menyingkirkan kelompok tertentu seperti imigran, minoritas agama, atau etnis. Populisme sayap kanan di Eropa banyak menampilkan wajah eksklusif ini.¹⁴

4.6.       Populisme dalam Sistem Politik yang Berbeda

Varian populisme juga dapat dilihat dari sistem politik yang menaunginya. Dalam sistem presidensial, populisme cenderung berwujud pada figur sentral pemimpin karismatik yang langsung mengklaim representasi rakyat, seperti halnya Trump di AS atau Bolsonaro di Brasil.¹⁵ Sementara dalam sistem parlementer, populisme sering berbentuk partai politik yang mendominasi wacana publik, misalnya UK Independence Party di Inggris atau Lega di Italia.¹⁶


Footnotes

[1]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 17.

[2]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 31–32.

[3]                Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 93.

[4]                Daniele Albertazzi and Duncan McDonnell, Populism and Liberal Democracy: Populists in Government in Austria, Italy, Poland and Switzerland (Oxford: Oxford University Press, 2015), 22–23.

[5]                Charles Postel, The Populist Vision (New York: Oxford University Press, 2007), 29.

[6]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 8.

[7]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 11–12.

[8]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 145.

[9]                Duncan McDonnell and Olivier Roy, “Religious Populism and the Politics of Faith,” in Populism and Religion, ed. Carlos de la Torre (London: Routledge, 2022), 10.

[10]             Jenny White, Muslim Nationalism and the New Turks (Princeton: Princeton University Press, 2013), 112.

[11]             Marcus Mietzner, “Populist Mobilization in Southeast Asia: The Indonesian Case,” Pacific Affairs 88, no. 4 (2015): 685–687.

[12]             Benjamin Moffitt and Cas Mudde, “What’s Left of the Radical Left? Populism, Socialism and the Decline of the Left in Europe,” Government and Opposition 51, no. 1 (2016): 25.

[13]             Raúl Madrid, The Rise of Ethnic Politics in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 97.

[14]             Mudde, The Far Right Today, 77.

[15]             Steven Levitsky and James Loxton, “Populism and Competitive Authoritarianism in the Andes,” Democratization 20, no. 1 (2013): 113–114.

[16]             Albertazzi and McDonnell, Populism and Liberal Democracy, 54.


5.           Tokoh-Tokoh Populis

5.1.       Tokoh Historis Populis

Sejarah populisme tidak dapat dilepaskan dari figur-figur pemimpin yang berhasil memobilisasi massa melalui retorika “rakyat” melawan “elit.” Salah satu tokoh awal adalah Andrew Jackson (1767–1845), Presiden Amerika Serikat ketujuh, yang dikenal sebagai pengusung Jacksonian Democracy.¹ Jackson menampilkan diri sebagai representasi rakyat biasa dengan menolak dominasi elit politik dan finansial, serta menekankan prinsip pemerintahan langsung oleh rakyat.²

Di Rusia, gerakan narodniki menemukan sosok-sosok intelektual dan aktivis yang berusaha mengartikulasikan aspirasi petani.³ Meskipun mereka gagal menciptakan revolusi besar, pengaruh mereka signifikan dalam memicu kesadaran politik rakyat dan memberi inspirasi bagi tokoh revolusioner berikutnya.

5.2.       Juan Domingo Perón dan Tradisi Populisme Amerika Latin

Tokoh penting lainnya adalah Juan Domingo Perón (1895–1974), Presiden Argentina yang memimpin pada 1946–1955 dan 1973–1974. Perón membangun ideologi Peronisme yang menekankan aliansi antara pemimpin karismatik, buruh, dan rakyat miskin.⁴ Dengan retorika nasionalisme dan kebijakan proteksionis, Perón berhasil menciptakan basis dukungan luas yang bertahan hingga kini.

Tradisi populisme Amerika Latin kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Getúlio Vargas di Brasil, Lázaro Cárdenas di Meksiko, dan lebih kontemporer Hugo Chávez di Venezuela. Chávez secara khusus dikenal dengan Bolivarian Revolution-nya yang memadukan retorika anti-imperialis, nasionalisasi sumber daya alam, serta redistribusi sosial.⁵

5.3.       Tokoh Kontemporer: Amerika Serikat dan Eropa

Dalam konteks kontemporer, Donald Trump menjadi representasi populisme kanan di Amerika Serikat. Terpilih sebagai Presiden pada 2016, Trump memanfaatkan sentimen anti-globalisasi, proteksionisme ekonomi, serta retorika anti-imigrasi untuk membangun citra diri sebagai pembela rakyat Amerika melawan “elit Washington.”⁶ Gaya komunikasinya yang langsung, provokatif, dan sering menggunakan media sosial mencerminkan karakteristik digital populism.⁷

Di Eropa, Marine Le Pen di Prancis dan Viktor Orbán di Hungaria menjadi ikon populisme kanan. Le Pen menekankan isu nasionalisme dan penolakan terhadap imigrasi, sedangkan Orbán membangun konsep “demokrasi iliberal” yang mengedepankan kedaulatan nasional atas integrasi Uni Eropa.⁸ Tokoh lain seperti Matteo Salvini (Italia) dan Geert Wilders (Belanda) juga memperlihatkan pola populisme eksklusif berbasis etno-nasionalisme.⁹

5.4.       Tokoh Populis di Asia

Populisme juga mengakar kuat di Asia dengan tokoh-tokoh yang memanfaatkan identitas religius maupun nasionalis. Narendra Modi di India menggunakan retorika populisme Hindu nasionalis, menekankan pembangunan ekonomi sekaligus menguatkan identitas mayoritas Hindu dalam politik.¹⁰ Di Filipina, Rodrigo Duterte menampilkan populisme law-and-order dengan retorika keras terhadap kriminalitas dan narkoba, sekaligus memosisikan dirinya sebagai pemimpin rakyat kecil yang melawan elit liberal.¹¹

Sementara itu, di Turki, Recep Tayyip Erdoğan memadukan populisme religius dengan nasionalisme. Ia menampilkan diri sebagai representasi rakyat Muslim Turki yang “dikhianatioleh elit sekuler, sambil memperkuat kekuasaan eksekutifnya.¹²

5.5.       Tokoh Populis di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, populisme memiliki wajah khas yang terikat pada dinamika sejarah politik nasional. Soekarno, Proklamator sekaligus Presiden pertama RI, sering dianggap sebagai figur populis karena gaya retorikanya yang revolusioner, penekanan pada persatuan nasional, serta mobilisasi massa melawan imperialisme dan kolonialisme.¹³ Retorikanya tentang Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) dan manipol usdek mencerminkan upaya membangun identitas rakyat yang menyatukan berbagai kelompok.

Pada era Reformasi, figur seperti Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) juga menggunakan strategi populis dalam kampanye politik. Prabowo sering mengusung narasi nasionalisme ekonomi dan kemandirian bangsa, sedangkan Jokowi membangun citra diri sebagai “orang biasa” (the common man) yang dekat dengan rakyat.¹⁴ Kehadiran media sosial semakin memperkuat dimensi populis dalam gaya komunikasi politik keduanya.


Footnotes

[1]                Sean Wilentz, The Rise of American Democracy: Jefferson to Lincoln (New York: W.W. Norton, 2005), 355–357.

[2]                Harry L. Watson, Liberty and Power: The Politics of Jacksonian America (New York: Hill and Wang, 2006), 22.

[3]                Andrzej Walicki, A History of Russian Thought: From the Enlightenment to Marxism (Stanford: Stanford University Press, 1979), 276.

[4]                Daniel James, Resistance and Integration: Peronism and the Argentine Working Class, 1946–1976 (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 19–20.

[5]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 45–46.

[6]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 154–155.

[7]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 127.

[8]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 60–62.

[9]                Daniele Albertazzi and Duncan McDonnell, Twenty-First Century Populism: The Spectre of Western European Democracy (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2008), 26.

[10]             Ajay Gudavarthy, India after Modi: Populism and the Right (London: Bloomsbury, 2018), 7–8.

[11]             Nicole Curato, Democracy in a Time of Misery: From Spectacular Tragedy to Deliberative Action (Oxford: Oxford University Press, 2019), 47–49.

[12]             Jenny White, Muslim Nationalism and the New Turks (Princeton: Princeton University Press, 2013), 115.

[13]             Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 33–35.

[14]             Edward Aspinall, “Populism, Clientelism, and Mobilization in Indonesia: Insights from the 2014 Presidential Campaign,” Indonesia 99 (2015): 1–28.


6.           Fenomena Populisme dalam Politik Kontemporer

6.1.       Populisme di Eropa

Dalam dekade terakhir, Eropa menjadi salah satu kawasan paling subur bagi berkembangnya populisme, terutama dalam bentuk populisme kanan. Fenomena ini dipicu oleh krisis ekonomi, meningkatnya arus migrasi, serta ketidakpuasan terhadap proyek integrasi Uni Eropa.¹ Partai-partai seperti Rassemblement National di Prancis, Alternative für Deutschland (AfD) di Jerman, dan Lega di Italia memanfaatkan sentimen anti-imigrasi serta retorika nasionalis untuk memperoleh dukungan luas.²

Brexit pada 2016 menjadi contoh konkret keberhasilan populisme dalam memengaruhi keputusan politik besar.³ Kampanye “Leave” yang dipimpin oleh tokoh seperti Nigel Farage memainkan retorika tentang “mengembalikan kendali kepada rakyat Inggris” dan menolak dominasi elit birokrasi Uni Eropa.⁴ Di Eropa Timur, pemimpin seperti Viktor Orbán di Hungaria dan Jarosław Kaczyński di Polandia menunjukkan bentuk populisme yang disebut demokrasi iliberal, yaitu demokrasi yang melemahkan prinsip pluralisme dan supremasi hukum demi klaim representasi langsung terhadap rakyat.⁵

6.2.       Populisme di Amerika Serikat

Populisme di Amerika Serikat menemukan momentum kuat dalam kepemimpinan Donald Trump (2016–2020). Trump memosisikan dirinya sebagai outsider yang melawan “elit Washington” dengan slogan “Drain the Swamp.”⁶ Retorika anti-globalisasi, proteksionisme ekonomi, dan kebijakan imigrasi yang ketat menjadi ciri utama kampanyenya.⁷ Media sosial, khususnya Twitter, berperan penting dalam membentuk gaya komunikasi Trump yang langsung, provokatif, dan berorientasi pada mobilisasi emosi publik.⁸

Fenomena populisme di AS tidak hanya muncul dari kanan, tetapi juga dari kiri, seperti yang ditunjukkan oleh Bernie Sanders. Sanders mengusung agenda populisme ekonomi progresif dengan menekankan redistribusi kekayaan, pengendalian korporasi besar, serta perbaikan sistem kesehatan dan pendidikan.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa populisme di AS bersifat spektrum ganda: eksklusif kanan maupun inklusif kiri.

6.3.       Populisme di Amerika Latin

Amerika Latin tetap menjadi laboratorium penting bagi populisme. Populisme kiri kontemporer yang diusung Hugo Chávez, Evo Morales, dan Rafael Correa menekankan narasi anti-neoliberalisme, kedaulatan nasional, serta kebijakan redistributif.¹⁰ Chávez, misalnya, menggunakan retorika Bolivarian Revolution untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan memobilisasi dukungan rakyat miskin.¹¹

Namun, kawasan ini juga mengenal populisme kanan, seperti Jair Bolsonaro di Brasil, yang menggabungkan retorika anti-korupsi dengan agenda konservatisme sosial dan nasionalisme.¹² Fenomena ini menunjukkan bahwa populisme di Amerika Latin bersifat dinamis dan dapat bergeser sesuai dengan konteks sosial-politik masing-masing negara.

6.4.       Populisme di Asia

Di Asia, populisme hadir dalam berbagai wajah. Narendra Modi di India menampilkan populisme nasionalis Hindu yang menggabungkan pembangunan ekonomi dengan agenda identitas mayoritas.¹³ Di Filipina, Rodrigo Duterte menampilkan gaya law-and-order populism melalui retorika keras terhadap narkoba dan kriminalitas, sekaligus mencitrakan dirinya sebagai figur yang dekat dengan rakyat kecil.¹⁴

Di Indonesia, populisme juga memainkan peran signifikan dalam dinamika politik. Retorika populis digunakan baik oleh Joko Widodo, yang menampilkan citra sebagai “orang biasa” yang sederhana, maupun oleh Prabowo Subianto, yang mengusung narasi nasionalisme ekonomi dan kritik terhadap elit global.¹⁵ Polarisasi politik dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019 memperlihatkan bagaimana populisme beroperasi dalam kerangka demokrasi elektoral dengan memanfaatkan media sosial, simbol keagamaan, dan isu kesejahteraan rakyat.¹⁶

6.5.       Populisme Digital dan Media Sosial

Fenomena baru dalam populisme kontemporer adalah kemunculan digital populism, yaitu praktik populisme yang sangat bergantung pada media sosial sebagai sarana komunikasi politik.¹⁷ Platform seperti Facebook, Twitter, dan WhatsApp memungkinkan pemimpin populis untuk berkomunikasi langsung dengan rakyat tanpa perantara institusi media tradisional. Hal ini memperkuat retorika rakyat vs elit dengan menciptakan narasi sederhana, emosional, dan mudah disebarkan.¹⁸

Digital populism juga mempermudah diseminasi informasi palsu (fake news) dan teori konspirasi yang sering kali digunakan untuk memperkuat klaim populis.¹⁹ Dengan demikian, fenomena populisme kontemporer tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan peran teknologi digital dan transformasi ruang publik global.


Footnotes

[1]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 56.

[2]                Daniele Albertazzi and Duncan McDonnell, Populism and Liberal Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2015), 44.

[3]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 167.

[4]                Matthew Goodwin and Oliver Heath, “The 2016 Referendum, Brexit and the Left Behind: An Aggregate-level Analysis of the Result,” The Political Quarterly 87, no. 3 (2016): 323–324.

[5]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 44.

[6]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 127.

[7]                Norris and Inglehart, Cultural Backlash, 154–155.

[8]                Daniel Kreiss, Prototype Politics: Technology-Intensive Campaigning and the Data of Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2016), 199.

[9]                Jeffrey S. Juris, “Reflections on #Occupy Everywhere: Social Media, Public Space, and Emerging Logics of Aggregation,” American Ethnologist 39, no. 2 (2012): 259.

[10]             Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 29.

[11]             Steve Ellner, Rethinking Venezuelan Politics: Class, Conflict, and the Chávez Phenomenon (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2008), 88.

[12]             Mariana Llanos and Leiv Marsteintredet, Presidential Breakdowns in Latin America (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 122.

[13]             Ajay Gudavarthy, India after Modi: Populism and the Right (London: Bloomsbury, 2018), 7–8.

[14]             Nicole Curato, Democracy in a Time of Misery: From Spectacular Tragedy to Deliberative Action (Oxford: Oxford University Press, 2019), 47.

[15]             Marcus Mietzner, “Populist Mobilization in Southeast Asia: The Indonesian Case,” Pacific Affairs 88, no. 4 (2015): 685–687.

[16]             Edward Aspinall and Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Paradox: Competitive Elections amidst Rising Illiberalism,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 55, no. 3 (2019): 295.

[17]             Paolo Gerbaudo, The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy (London: Pluto Press, 2019), 101.

[18]             Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 59.

[19]             Yochai Benkler, Robert Faris, and Hal Roberts, Network Propaganda: Manipulation, Disinformation, and Radicalization in American Politics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 67.


7.           Dampak terhadap Demokrasi dan Kebijakan Publik

7.1.       Populisme sebagai Koreksi terhadap Demokrasi Liberal

Populisme sering dipandang sebagai bentuk koreksi atas kelemahan demokrasi liberal yang dianggap terlalu elitis dan terlembaga.¹ Dengan mengusung klaim mewakili “rakyat murni,” populisme mampu menyoroti defisit representasi dalam sistem politik modern.² Dalam beberapa kasus, populisme mendorong partisipasi politik masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan, misalnya kelas pekerja atau komunitas minoritas yang diabaikan oleh partai-partai arus utama.³ Hal ini menunjukkan bahwa populisme memiliki dimensi positif sebagai mekanisme pengingat bahwa demokrasi harus tetap berpihak pada rakyat, bukan semata pada elit politik dan ekonomi.

7.2.       Risiko terhadap Institusi Demokrasi

Meskipun demikian, populisme juga menghadirkan risiko serius terhadap keberlangsungan institusi demokrasi. Pemimpin populis cenderung melemahkan lembaga legislatif, yudikatif, dan media yang dianggap sebagai hambatan bagi pelaksanaankehendak rakyat.”⁴ Dalam jangka panjang, praktik ini dapat mengarah pada konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif dan memunculkan pola pemerintahan yang otoritarian.⁵

Contoh konkret dapat ditemukan pada pemerintahan Viktor Orbán di Hungaria dan Recep Tayyip Erdoğan di Turki, di mana populisme digunakan untuk melemahkan sistem check and balance, membatasi kebebasan pers, serta memanipulasi konstitusi demi memperkuat kekuasaan.⁶ Dengan demikian, populisme menghadirkan paradoks: ia mengklaim berbicara atas nama rakyat, tetapi sering kali justru melemahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi liberal.

7.3.       Dampak terhadap Kebijakan Ekonomi

Dalam ranah ekonomi, populisme menghasilkan kebijakan yang bervariasi tergantung orientasi ideologi yang menyertainya. Populisme kiri, seperti yang dipraktikkan oleh Hugo Chávez di Venezuela atau Evo Morales di Bolivia, biasanya menekankan redistribusi kekayaan, nasionalisasi sumber daya, dan penolakan terhadap neoliberalisme.⁷ Sementara itu, populisme kanan lebih menekankan proteksionisme ekonomi, kebijakan anti-imigrasi, serta prioritas terhadap kelas mayoritas atau kelompok “asli” bangsa.⁸

Namun, kebijakan populis sering kali bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan. Orientasi pada pemenuhan tuntutan langsung rakyat dapat menimbulkan defisit fiskal, inflasi, dan ketidakstabilan ekonomi.⁹ Venezuela di bawah Chávez dan Nicolás Maduro menjadi contoh klasik bagaimana kebijakan populis dapat berujung pada krisis ekonomi yang mendalam.¹⁰

7.4.       Dampak terhadap Kebijakan Sosial

Dalam ranah kebijakan sosial, populisme dapat memperluas akses terhadap layanan publik jika berorientasi inklusif. Misalnya, pemerintahan Morales memperkuat hak-hak masyarakat adat di Bolivia dan meningkatkan program kesejahteraan sosial.¹¹ Namun, populisme eksklusif dapat menghasilkan kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau imigran, sebagaimana terlihat pada kebijakan imigrasi Donald Trump di Amerika Serikat atau retorika anti-Muslim dalam populisme kanan Eropa.¹²

Dengan demikian, dampak populisme terhadap kebijakan sosial bergantung pada definisi “rakyat” yang digunakan. Populisme inklusif memperluas makna rakyat, sedangkan populisme eksklusif menyempitkannya.

7.5.       Dampak terhadap Hubungan Internasional

Populisme juga memengaruhi dinamika hubungan internasional. Pemimpin populis cenderung menekankan kedaulatan nasional dan menolak multilateralisme.¹³ Hal ini terlihat dalam kebijakan Trump yang menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, serta retorikanya yang menolak organisasi internasional seperti NATO dan WHO.¹⁴

Di sisi lain, populisme kiri Amerika Latin sering membangun aliansi alternatif untuk melawan hegemoni Amerika Serikat dan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.¹⁵ Meskipun demikian, kecenderungan populis untuk memprioritaskan agenda domestik sering kali mengurangi komitmen terhadap kerja sama internasional, sehingga menciptakan ketegangan dalam tatanan global.


Footnotes

[1]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 294.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 7.

[3]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 112.

[4]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 46.

[5]                Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 72.

[6]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 61.

[7]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 44.

[8]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 145.

[9]                Michael L. Ross, “The Political Economy of Resource Curse,” World Politics 51, no. 2 (1999): 297.

[10]             Javier Corrales and Michael Penfold, Dragon in the Tropics: Hugo Chávez and the Political Economy of Revolution in Venezuela (Washington, DC: Brookings Institution Press, 2011), 90.

[11]             Raúl Madrid, The Rise of Ethnic Politics in Latin America (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 97.

[12]             Mudde, The Far Right Today, 77.

[13]             Peter Trubowitz, Geopolitics and Democracy: The Western Liberal Order from Foundation to Fracture (Oxford: Oxford University Press, 2023), 155.

[14]             Andrew Moravcsik, “The Paradox of US Unilateralism: The Case of Climate Policy,” Climate Policy 9, no. 4 (2009): 414.

[15]             Steve Ellner, Rethinking Venezuelan Politics: Class, Conflict, and the Chávez Phenomenon (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2008), 102.


8.           Kritik dan Reinterpretasi

8.1.       Kritik Konseptual terhadap Populisme

Salah satu kritik utama terhadap populisme terletak pada sifatnya yang konseptual. Para akademisi menilai bahwa populisme adalah istilah yang “terlalu elastis” karena dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena politik yang sangat beragam, mulai dari Peronisme di Argentina hingga Trumpisme di Amerika Serikat.¹ Hal ini menimbulkan problem metodologis: apakah populisme dapat diperlakukan sebagai ideologi, strategi politik, gaya komunikasi, atau sekadar retorika?²

Margaret Canovan, misalnya, menyebut populisme sebagai “konsep karet” yang sulit dipakukan dalam definisi tunggal.³ Sementara Jan-Werner Müller menegaskan bahwa terlalu sering populisme dipakai sebagai label peyoratif untuk mendeligitimasi lawan politik, tanpa analisis yang cermat.⁴ Akibatnya, kajian populisme sering terjebak dalam bias normatif dan mengabaikan keragaman manifestasinya.

8.2.       Kritik terhadap Dampak Populisme

Dari perspektif politik praktis, kritik terhadap populisme terutama diarahkan pada dampaknya terhadap demokrasi. Pemimpin populis dituduh merusak prinsip-prinsip demokrasi liberal dengan menolak pluralisme, melemahkan lembaga peradilan dan media, serta memusatkan kekuasaan pada figur tunggal.⁵ Hal ini terlihat dalam praktik “demokrasi iliberal” di Hungaria dan Turki, di mana populisme menjadi kendaraan bagi konsolidasi otoritarianisme.⁶

Selain itu, kebijakan populis sering dinilai oportunistik dan jangka pendek. Upaya memenuhi tuntutan rakyat secara instan, misalnya melalui subsidi besar-besaran atau retorika anti-elit tanpa reformasi struktural, sering kali berujung pada ketidakstabilan ekonomi dan politik.⁷ Dengan demikian, populisme dianggap lebih mementingkan performa politik dibandingkan tata kelola pemerintahan yang berkelanjutan.

8.3.       Kritik Normatif

Kritik normatif terhadap populisme datang dari kalangan liberal maupun konservatif. Kalangan liberal menilai populisme berbahaya karena menolak pluralisme dan keberagaman, serta menyederhanakan politik menjadi dikotomi moral antara rakyat murni versus elit korup.⁸ Sementara kalangan konservatif menilai populisme melemahkan stabilitas dan kontinuitas institusi, karena mengedepankan retorika emosional dan mobilisasi massa daripada prosedur konstitusional.⁹

Namun, ada juga kritik normatif yang lebih simpatik, misalnya dari Ernesto Laclau, yang melihat populisme sebagai logika politik yang sah dan inheren dalam demokrasi.¹⁰ Bagi Laclau, kritik liberal terhadap populisme sering kali bias elit dan mengabaikan kenyataan bahwa demokrasi selalu mengandung unsur antagonisme.

8.4.       Reinterpretasi Populisme sebagai Gejala Demokrasi

Daripada sekadar dipandang sebagai ancaman, populisme dapat direinterpretasi sebagai gejala yang muncul dari krisis representasi dalam demokrasi modern. Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser menyebut populisme sebagai “the shadow of representative democracy,” yaitu refleksi dari kegagalan sistem representatif dalam mewakili aspirasi rakyat.¹¹ Dalam perspektif ini, populisme berfungsi sebagai alarm yang mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh terjebak pada oligarki politik dan ekonomi.

Reinterpretasi ini juga menegaskan bahwa populisme bukanlah fenomena sementara, melainkan bagian inheren dari politik modern. Benjamin Moffitt menyatakan bahwa populisme harus dipahami sebagai “gaya politik” yang akan selalu hadir ketika ada ketidakpuasan rakyat terhadap elit.¹² Dengan demikian, populisme dapat dibaca sebagai mekanisme korektif, meskipun dalam praktiknya sering berisiko menimbulkan ekses negatif.

8.5.       Reinterpretasi dalam Konteks Global

Dalam konteks globalisasi, reinterpretasi populisme juga perlu memperhatikan peran media digital dan transformasi ruang publik. Populisme kontemporer memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk memanfaatkan media sosial dalam membangun narasi rakyat versus elit.¹³ Hal ini menimbulkan tantangan baru sekaligus peluang reinterpretasi: populisme digital tidak hanya mengancam demokrasi dengan menyebarkan disinformasi, tetapi juga membuka ruang partisipasi politik yang lebih langsung.¹⁴

Oleh karena itu, populisme dapat dipahami sebagai fenomena ambivalen: ia bisa menjadi ancaman sekaligus peluang, tergantung pada sejauh mana ia dapat diarahkan untuk memperkuat partisipasi rakyat tanpa merusak institusi demokrasi. Reinterpretasi ini mengajak kita melihat populisme secara lebih nuansa, bukan hanya hitam-putih antara “baik” dan “buruk.”


Footnotes

[1]                Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 1.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 2–3.

[3]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 5.

[4]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 3.

[5]                Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 72.

[6]                Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 61.

[7]                Javier Corrales and Michael Penfold, Dragon in the Tropics: Hugo Chávez and the Political Economy of Revolution in Venezuela (Washington, DC: Brookings Institution Press, 2011), 98.

[8]                Müller, What Is Populism?, 19.

[9]                Taggart, Populism, 95.

[10]             Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 154.

[11]             Mudde and Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction, 79.

[12]             Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 44.

[13]             Paolo Gerbaudo, The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy (London: Pluto Press, 2019), 103.

[14]             Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 62.


9.           Relevansi dan Tantangan Kontemporer

9.1.       Populisme dalam Konteks Globalisasi

Populisme tetap relevan dalam politik kontemporer karena kemampuannya beradaptasi dengan dinamika globalisasi. Gelombang globalisasi ekonomi sejak akhir abad ke-20 membawa ketimpangan sosial yang signifikan, menghasilkan “pemenang” dan “pecundang” dalam struktur ekonomi dunia.¹ Dalam konteks ini, populisme muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan global dan perasaan keterasingan sebagian kelompok masyarakat.² Narasi “rakyat murni” melawan “elit global” menjadi semakin kuat, terutama dalam retorika partai populis kanan di Eropa dan Amerika Serikat.³

Namun, relevansi populisme juga terlihat pada kemampuannya untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat lokal yang merasa identitas, budaya, dan kepentingannya terancam oleh arus globalisasi.⁴ Dengan demikian, populisme tidak sekadar fenomena politik domestik, melainkan juga bagian dari perdebatan global mengenai kedaulatan, integrasi regional, dan multikulturalisme.

9.2.       Populisme dan Tantangan Demokrasi

Salah satu tantangan utama dalam menghadapi populisme adalah dampaknya terhadap demokrasi liberal. Populisme menawarkan janji untuk “mengembalikan kekuasaan kepada rakyat,” namun sering kali dengan mengorbankan prinsip-prinsip pluralisme, check and balance, serta independensi lembaga demokratis.⁵ Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah demokrasi dapat tetap bertahan jika dikuasai logika populis yang menolak kompromi dan institusionalisasi?

Dalam konteks ini, populisme relevan sebagai cermin kelemahan demokrasi liberal. Ia menyoroti jarak yang semakin besar antara elit politik dan rakyat, serta defisit representasi yang nyata.⁶ Tantangannya adalah bagaimana demokrasi dapat memperbaiki kekurangan tersebut tanpa terjebak dalam pola otoritarianisme populis.

9.3.       Populisme dan Teknologi Digital

Perkembangan teknologi digital telah memperkuat relevansi populisme di era kontemporer. Media sosial memberi ruang bagi pemimpin populis untuk membangun komunikasi langsung dengan rakyat, tanpa perantara media arus utama.⁷ Retorika singkat, emosional, dan mudah disebarkan di platform digital memperkuat polarisasi politik dan menciptakan “ruang gema” (echo chambers) yang meneguhkan narasi populis.⁸

Namun, tantangan besar muncul dalam bentuk disinformasi dan fake news yang kerap menjadi bagian dari strategi mobilisasi populis.⁹ Hal ini menimbulkan dilema baru: bagaimana menjaga kebebasan berekspresi dalam demokrasi digital tanpa membiarkan ruang publik dikuasai oleh narasi manipulatif?

9.4.       Populisme dan Krisis Multidimensi

Relevansi populisme juga semakin jelas ketika dunia menghadapi krisis multidimensi: krisis ekonomi global, perubahan iklim, pandemi, hingga migrasi internasional. Dalam situasi krisis, populisme sering menawarkan jawaban sederhana terhadap masalah kompleks, misalnya dengan menyalahkan elit global, imigran, atau lembaga internasional.¹⁰ Strategi ini efektif dalam mobilisasi jangka pendek, tetapi sering kali kontraproduktif dalam penyelesaian masalah yang memerlukan solusi kolektif dan multilateral.¹¹

Krisis iklim, misalnya, menuntut kerja sama global yang berkelanjutan, tetapi populisme nasionalis sering menolak komitmen internasional dengan alasan melindungi kepentingan rakyat domestik.¹² Dengan demikian, tantangan kontemporer populisme adalah bagaimana mengatasi krisis global tanpa mereduksi kompleksitasnya menjadi sekadar pertarungan moral antara rakyat dan elit.

9.5.       Populisme di Indonesia dan Asia Tenggara

Dalam konteks Indonesia, populisme tetap relevan sebagai gaya politik elektoral. Pemilu 2014 dan 2019 memperlihatkan bagaimana retorika populis digunakan baik oleh Joko Widodo maupun Prabowo Subianto untuk menarik dukungan massa.¹³ Polarisasi politik berbasis identitas agama dan etnis juga menjadi tantangan besar bagi kohesi sosial.¹⁴ Hal serupa terjadi di negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Filipina di bawah Rodrigo Duterte dan Thailand dengan fenomena Thaksin Shinawatra.¹⁵

Tantangan kontemporer bagi Indonesia adalah bagaimana mengelola populisme agar tidak mengarah pada perpecahan sosial yang mendalam, melainkan justru memperkuat partisipasi politik rakyat dalam kerangka demokrasi yang inklusif.


Footnotes

[1]                Dani Rodrik, The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy (New York: W.W. Norton, 2011), 32.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 2–3.

[3]                Pippa Norris and Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 164.

[4]                Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 94.

[5]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 47.

[6]                Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 124.

[7]                Paolo Gerbaudo, The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy (London: Pluto Press, 2019), 102.

[8]                Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 59.

[9]                Yochai Benkler, Robert Faris, and Hal Roberts, Network Propaganda: Manipulation, Disinformation, and Radicalization in American Politics (Oxford: Oxford University Press, 2018), 71.

[10]             Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 138.

[11]             Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 73.

[12]             Andrew Moravcsik, “The Paradox of US Unilateralism: The Case of Climate Policy,” Climate Policy 9, no. 4 (2009): 414.

[13]             Marcus Mietzner, “Populist Mobilization in Southeast Asia: The Indonesian Case,” Pacific Affairs 88, no. 4 (2015): 685.

[14]             Edward Aspinall and Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Paradox: Competitive Elections amidst Rising Illiberalism,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 55, no. 3 (2019): 297.

[15]             Duncan McCargo and Ukrist Pathmanand, The Thaksinization of Thailand (Copenhagen: NIAS Press, 2005), 12.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.    Populisme sebagai Fenomena Permanen

Kajian historis dan konseptual menunjukkan bahwa populisme bukan sekadar fenomena sementara, melainkan sebuah gejala permanen dalam politik modern.¹ Populisme akan selalu muncul ketika terdapat kesenjangan antara aspirasi rakyat dengan representasi politik yang disediakan oleh elit.² Dalam perspektif ini, populisme dapat dipahami sebagai bentuk dialektika yang terus-menerus antara rakyat dan elit, di mana politik menjadi arena pertarungan klaim representasi.

10.2.    Dialektika antara Populisme dan Demokrasi

Secara filosofis, hubungan antara populisme dan demokrasi bersifat ambivalen. Populisme pada dasarnya mengekspresikan prinsip utama demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat (popular sovereignty).³ Namun, ketika klaim kedaulatan tersebut diekspresikan secara absolut oleh seorang pemimpin atau kelompok tertentu, ia dapat merusak demokrasi itu sendiri dengan menolak pluralisme dan institusionalisasi.⁴

Nadia Urbinati menyebut fenomena ini sebagai paradoks demokrasi: semakin populisme mengklaim berbicara atas nama rakyat, semakin besar risikonya mengikis fondasi demokrasi deliberatif.⁵ Dengan demikian, refleksi filosofis menempatkan populisme dalam posisi ganda: sebagai corrective bagi demokrasi liberal sekaligus potensi ancaman bagi kelangsungannya.

10.3.    Populisme dan Konsep “Rakyat”

Pertanyaan filosofis yang mendasar dalam populisme adalah: siapa yang dimaksud dengan “rakyat”? Ernesto Laclau menegaskan bahwa rakyat dalam populisme bukanlah entitas yang sudah ada, melainkan konstruksi diskursif yang dibentuk melalui oposisi terhadap elit.⁶ Hal ini mengandung implikasi bahwa rakyat bukanlah kategori tetap, tetapi selalu terbuka untuk diredefinisi sesuai konteks politik.

Refleksi ini memperlihatkan bahwa populisme sesungguhnya menyingkap sifat ontologis politik: politik selalu melibatkan konstruksi identitas kolektif, dan populisme adalah salah satu mekanisme paling kuat dalam proses tersebut.⁷ Dengan demikian, populisme tidak hanya soal kebijakan atau retorika, tetapi juga tentang pembentukan makna “rakyat” dalam setiap momen historis.

10.4.    Populisme dan Etika Politik

Dari perspektif etika politik, populisme menimbulkan dilema moral. Di satu sisi, populisme mengandung potensi etis untuk memperjuangkan keadilan sosial, mengoreksi ketidaksetaraan, dan mengangkat suara kelompok marjinal.⁸ Namun, di sisi lain, populisme sering terjebak dalam reduksionisme moral dengan membagi dunia secara dikotomis menjadi rakyat yang murni versus elit yang jahat.⁹ Pola semacam ini berbahaya karena mengabaikan kompleksitas realitas sosial dan melemahkan kapasitas deliberatif masyarakat.

Refleksi etis ini menegaskan pentingnya mengarahkan energi populis agar tidak mengarah pada eksklusi atau otoritarianisme, melainkan digunakan untuk memperluas ruang keadilan dan solidaritas dalam politik.

10.5.    Populisme di Era Digital dan Tantangan Filosofis

Era digital memperlihatkan transformasi populisme yang semakin cepat dan radikal. Media sosial menjadikan populisme lebih cair, emosional, dan performatif.¹⁰ Dalam konteks ini, refleksi filosofis perlu mengajukan pertanyaan: apakah demokrasi digital yang berbasis pada viralitas dan kecepatan informasi mampu menjaga rasionalitas publik?¹¹

Fenomena populisme digital menantang tradisi filsafat politik yang menekankan deliberasi rasional, sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas.¹² Jika ruang publik digital lebih banyak diisi oleh retorika emosional populis ketimbang argumen rasional, maka tantangan bagi demokrasi kontemporer adalah menemukan keseimbangan baru antara partisipasi rakyat dan kualitas deliberasi.

10.6.    Refleksi Akhir: Populisme sebagai Cermin Politik Modern

Secara reflektif, populisme dapat dipandang sebagai cermin bagi politik modern. Ia menunjukkan wajah ketidakpuasan rakyat, sekaligus mengungkapkan kelemahan institusi demokrasi yang gagal menyalurkan aspirasi dengan adil.¹³ Oleh karena itu, alih-alih sekadar diposisikan sebagai anomali, populisme perlu dipahami sebagai elemen yang melekat dalam dinamika politik kontemporer.

Dengan memahami populisme secara filosofis, kita dapat melihat bahwa politik tidak pernah statis, melainkan selalu menjadi arena pertarungan wacana, identitas, dan klaim kedaulatan. Populisme, dalam hal ini, adalah salah satu ekspresi paling radikal dari dinamika tersebut: berbahaya bila tidak dikendalikan, tetapi juga vital sebagai pengingat akan arti sejati demokrasi—yakni pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.¹⁴


Footnotes

[1]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 294.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 7.

[3]                Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 122.

[4]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 46.

[5]                Urbinati, Democracy Disfigured, 125.

[6]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 74–75.

[7]                Laclau, On Populist Reason, 93.

[8]                Kirk A. Hawkins, Venezuela’s Chavismo and Populism in Comparative Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 44.

[9]                Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 89.

[10]             Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 127.

[11]             Paolo Gerbaudo, The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy (London: Pluto Press, 2019), 109.

[12]             Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1989), 105.

[13]             Mudde and Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction, 79.

[14]             Canovan, Populism, 299.


11.       Penutup

Kajian mengenai populisme menunjukkan bahwa ia merupakan fenomena politik yang kompleks, ambivalen, sekaligus permanen dalam dinamika demokrasi modern. Sejak kemunculannya pada abad ke-19 dalam bentuk populisme agraris di Amerika Serikat dan Rusia, hingga manifestasi kontemporer di berbagai belahan dunia, populisme selalu hadir sebagai respon terhadap krisis representasi dan ketidakpuasan rakyat terhadap elit politik maupun ekonomi.¹

Dari segi konseptual, populisme dapat dipahami sebagai thin-centered ideology yang mendefinisikan politik dalam kerangka dikotomis: “rakyat murni” melawan “elit korup.”² Sifatnya yang tipis membuat populisme fleksibel dan mampu menempel pada ideologi lain, baik kiri, kanan, nasionalis, maupun religius.³ Namun, elastisitas inilah yang sekaligus menimbulkan problem metodologis dan perdebatan akademik: apakah populisme adalah ideologi, strategi politik, atau gaya komunikasi.⁴

Secara empiris, populisme memperlihatkan dampak ganda. Di satu sisi, ia berperan sebagai koreksi terhadap defisit representasi demokrasi liberal dengan meningkatkan partisipasi rakyat dan mengangkat isu-isu yang diabaikan elit.⁵ Di sisi lain, populisme sering kali melemahkan institusi demokratis, menolak pluralisme, serta mendorong konsentrasi kekuasaan di tangan pemimpin karismatik.⁶ Ambivalensi ini menegaskan bahwa populisme bukan sekadar anomali, melainkan cermin dari dinamika politik modern itu sendiri.

Refleksi filosofis atas populisme memperlihatkan bahwa politik pada dasarnya adalah arena konstruksi identitas kolektif.⁷ Populisme menyingkapkan sifat ontologis politik tersebut dengan memperlihatkan bagaimana “rakyat” selalu didefinisikan melalui oposisi terhadap “elit.”⁸ Dengan demikian, populisme bukan hanya gejala destruktif, tetapi juga ekspresi sah dari demokrasi yang menuntut representasi lebih autentik. Tantangannya adalah bagaimana mengelola energi populis agar tidak berubah menjadi otoritarianisme, tetapi diarahkan untuk memperkuat demokrasi yang inklusif dan deliberatif.

Pada akhirnya, populisme adalah paradoks: ia dapat mengancam sekaligus memperkuat demokrasi; ia dapat memperluas partisipasi sekaligus mempersempit pluralisme.⁹ Oleh karena itu, kajian akademik terhadap populisme tidak boleh berhenti pada labelisasi negatif, melainkan harus terus mencari pemahaman mendalam yang kritis dan reflektif. Dengan cara demikian, populisme dapat dibaca bukan hanya sebagai tantangan, melainkan juga sebagai peluang untuk meneguhkan makna demokrasi yang sejati: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.¹⁰


Footnotes

[1]                Charles Postel, The Populist Vision (New York: Oxford University Press, 2007), 25–26.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5.

[3]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 41.

[4]                Margaret Canovan, Populism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), 5.

[5]                Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 123.

[6]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 46.

[7]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 74.

[8]                Laclau, On Populist Reason, 93.

[9]                Takis S. Pappas, “Populists in Power,” Journal of Democracy 30, no. 2 (2019): 72.

[10]             Cas Mudde, The Far Right Today (Cambridge: Polity Press, 2019), 77.


Daftar Pustaka

Albertazzi, D., & McDonnell, D. (2008). Twenty-first century populism: The spectre of Western European democracy. Palgrave Macmillan.

Albertazzi, D., & McDonnell, D. (2015). Populism and liberal democracy: Populists in government in Austria, Italy, Poland and Switzerland. Oxford University Press.

Aspinall, E. (2015). Populism, clientelism, and mobilization in Indonesia: Insights from the 2014 presidential campaign. Indonesia, 99, 1–28.

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Indonesia’s democratic paradox: Competitive elections amidst rising illiberalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 55(3), 295–317.

Benker, Y., Faris, R., & Roberts, H. (2018). Network propaganda: Manipulation, disinformation, and radicalization in American politics. Oxford University Press.

Canovan, M. (1981). Populism. Harcourt Brace Jovanovich.

Conniff, M. L. (Ed.). (1999). Populism in Latin America. University of Alabama Press.

Corrales, J., & Penfold, M. (2011). Dragon in the tropics: Hugo Chávez and the political economy of revolution in Venezuela. Brookings Institution Press.

Curato, N. (2019). Democracy in a time of misery: From spectacular tragedy to deliberative action. Oxford University Press.

Ellner, S. (2008). Rethinking Venezuelan politics: Class, conflict, and the Chávez phenomenon. Lynne Rienner Publishers.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.

Gerbaudo, P. (2019). The digital party: Political organisation and online democracy. Pluto Press.

Goodwin, M., & Heath, O. (2016). The 2016 referendum, Brexit and the left behind: An aggregate-level analysis of the result. The Political Quarterly, 87(3), 323–332.

Gudavarthy, A. (2018). India after Modi: Populism and the right. Bloomsbury.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere. MIT Press.

Hawkins, K. A. (2010). Venezuela’s Chavismo and populism in comparative perspective. Cambridge University Press.

James, D. (1988). Resistance and integration: Peronism and the Argentine working class, 1946–1976. Cambridge University Press.

Jaffrelot, C. (2003). India’s silent revolution: The rise of the lower castes in North India. Columbia University Press.

Jur is, J. S. (2012). Reflections on #Occupy everywhere: Social media, public space, and emerging logics of aggregation. American Ethnologist, 39(2), 259–279.

Laclau, E. (2005). On populist reason. Verso.

Llanos, M., & Marsteintredet, L. (2010). Presidential breakdowns in Latin America. Palgrave Macmillan.

Madrid, R. (2012). The rise of ethnic politics in Latin America. Cambridge University Press.

McCargo, D., & Pathmanand, U. (2005). The Thaksinization of Thailand. NIAS Press.

McDonnell, D., & Roy, O. (2022). Religious populism and the politics of faith. In C. de la Torre (Ed.), Populism and religion (pp. 9–23). Routledge.

Mietzner, M. (2015). Populist mobilization in Southeast Asia: The Indonesian case. Pacific Affairs, 88(4), 685–687.

Moffitt, B. (2016). The global rise of populism: Performance, political style, and representation. Stanford University Press.

Moffitt, B., & Mudde, C. (2016). What’s left of the radical left? Populism, socialism and the decline of the left in Europe. Government and Opposition, 51(1), 24–44.

Moravcsik, A. (2009). The paradox of US unilateralism: The case of climate policy. Climate Policy, 9(4), 403–424.

Mudde, C. (2019). The far right today. Polity Press.

Mudde, C., & Kaltwasser, C. R. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Müller, J. W. (2016). What is populism? University of Pennsylvania Press.

Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism. Cambridge University Press.

Pappas, T. S. (2019). Populists in power. Journal of Democracy, 30(2), 70–84.

Papacharissi, Z. (2010). A private sphere: Democracy in a digital age. Polity Press.

Postel, C. (2007). The populist vision. Oxford University Press.

Rosanvallon, P. (1998). Le peuple intrapouvable: Histoire de la représentation démocratique en France. Gallimard.

Ross, M. L. (1999). The political economy of the resource curse. World Politics, 51(2), 297–322.

Southall, R. (2021). Populism and the left in South Africa. Jacana Media.

Taggart, P. (2000). Populism. Open University Press.

Trubowitz, P. (2023). Geopolitics and democracy: The Western liberal order from foundation to fracture. Oxford University Press.

Urbinati, N. (2014). Democracy disfigured: Opinion, truth, and the people. Harvard University Press.

Venturi, F. (1960). Roots of revolution: A history of the populist and socialist movements in 19th century Russia. Alfred A. Knopf.

Walicki, A. (1979). A history of Russian thought: From the Enlightenment to Marxism. Stanford University Press.

Watson, H. L. (2006). Liberty and power: The politics of Jacksonian America. Hill and Wang.

White, J. (2013). Muslim nationalism and the new Turks. Princeton University Press.

Wilentz, S. (2005). The rise of American democracy: Jefferson to Lincoln. W.W. Norton.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar