Sorotan,
Pencitraan, dan Realita Politik
Kajian Populisme, Media, dan
Krisis Demokrasi Kontemporer
Alihkan ke: Populisme.
Kajian Teori tehadap Vodeo: Kamar Film,
Subtitle Video.
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena politik pencitraan dalam
kaitannya dengan populisme, media, dan krisis demokrasi kontemporer. Melalui
pendekatan historis, konseptual, dan analitis, tulisan ini menelusuri bagaimana
perkembangan media—dari radio Roosevelt, televisi Kennedy, ikonografi Perón,
hingga media sosial era Trump, Duterte, dan Jokowi—telah membentuk pola baru
politik berbasis citra dan simbol. Fenomena gimmick politik seperti blusukan,
program kartu sosial, serta retorika populis sederhana memperlihatkan bagaimana
kebijakan publik sering direduksi menjadi pertunjukan visual. Kehadiran buzzer
digital semakin memperkuat tren ini dengan memproduksi, mendistribusikan, dan
mempertahankan narasi politik di ruang maya, sekaligus memicu polarisasi
sosial.
Dampak dari politik pencitraan meliputi degradasi
demokrasi substantif, melemahnya akuntabilitas publik, serta pergeseran relasi
rakyat dan pemimpin dari kontrak sosial menuju transaksi singkat berbasis
persepsi citra. Meski demikian, artikel ini juga menekankan peluang
reinterpretasi: perlunya evidence-based policy, penguatan media
independen, peningkatan literasi digital, serta kemungkinan membangun populisme
inklusif yang berorientasi pada keadilan sosial. Dengan refleksi filosofis dari
Aristoteles, Arendt, Kant, hingga Laclau, artikel ini menyimpulkan bahwa
politik modern tidak boleh berhenti pada logika sorotan visual, tetapi harus
kembali pada hakikatnya sebagai seni mengelola polis demi kebaikan bersama (eudaimonia).
Kata Kunci: Populisme, politik pencitraan, media sosial, gimmick
politik, buzzer, demokrasi, disinformasi, kebijakan publik, filsafat politik.
PEMBAHASAN
Kajian Populisme, Media, dan
Krisis Demokrasi Kontemporer
1.
Pendahuluan
Fenomena
politik kontemporer, baik di tingkat global maupun lokal, memperlihatkan
kecenderungan yang semakin kuat menuju politik pencitraan ketimbang politik
gagasan. Panggung demokrasi yang sejatinya dimaksudkan sebagai arena
pertarungan ide dan perumusan kebijakan publik, kini sering kali berubah
menjadi ajang pertunjukan visual yang dipenuhi gimmick, slogan, dan simbol-simbol instan.¹ Pemimpin
politik tidak hanya dinilai dari sejauh mana mereka merancang kebijakan yang
berdampak struktural, melainkan dari seberapa efektif mereka mengelola citra di
hadapan publik melalui media massa dan media sosial.²
Dalam
konteks ini, populisme menjadi salah satu gaya politik yang paling menonjol.
Populisme secara sederhana dapat dipahami sebagai strategi politik yang membagi
masyarakat ke dalam dikotomi “rakyat murni” versus “elit korup,”
di mana seorang pemimpin memposisikan dirinya sebagai representasi langsung
rakyat.³ Strategi ini memiliki daya tarik emosional yang besar, terutama ketika
difasilitasi
oleh perkembangan teknologi komunikasi. Dari Roosevelt dengan Fireside
Chats di era radio, Kennedy yang tampil telegenik dalam debat
televisi tahun 1960, hingga Trump dan Duterte yang memanfaatkan media sosial
secara agresif, pola yang sama terlihat: kekuatan citra dan simbol sering kali
lebih menentukan ketimbang isi kebijakan.⁴
Indonesia
pun tidak lepas dari arus besar ini. Sejak era reformasi 1998, media menjadi
semakin plural dan kompetitif, membuka ruang bagi praktik pencitraan politik
yang intensif. Joko Widodo, misalnya, dikenal dengan strategi blusukan
yang efektif membangun citra sebagai pemimpin merakyat, sementara Ridwan Kamil
dan Dedi Mulyadi mengemas politik dalam format konten media sosial yang kreatif
dan teatrikal.⁵ Program-program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar atau
Kartu Indonesia Sehat juga dikritik karena selain memiliki nilai sosial, ia
dikemas dengan dimensi komunikasi yang kuat agar mudah dikenali publik.⁶
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak lagi berdiri sendiri
sebagai upaya teknokratis, melainkan sekaligus diposisikan sebagai properti
panggung politik.
Permasalahan
mendasar dari politik pencitraan terletak pada degradasi substansi demokrasi.
Politik yang seharusnya berbasis pada argumentasi rasional dan kebijakan
berkelanjutan justru terjebak pada “governing by headline” – pemerintahan
yang bekerja untuk menghasilkan berita utama alih-alih membangun solusi jangka panjang.⁷ Dalam
jangka panjang, hal ini berisiko melahirkan demokrasi prosedural yang tampak
stabil secara elektoral, tetapi rapuh secara substansial.⁸ Pemilu tetap berlangsung
rutin, namun kualitas gagasan, akuntabilitas, dan perdebatan publik semakin
memudar.
Bertolak
dari latar belakang tersebut, artikel ini bermaksud untuk mengkaji fenomena
sorotan, pencitraan, dan janji kosong dalam realita politik kontemporer, dengan
menyoroti relasi antara populisme, media, dan krisis demokrasi. Pertanyaan
utama yang hendak dijawab adalah: bagaimana media dan strategi populisme
membentuk politik pencitraan di Indonesia dan dunia? Apa implikasi dari
fenomena ini terhadap kualitas demokrasi dan kebijakan publik? Kajian ini
penting karena pemahaman kritis terhadap dinamika politik pencitraan dapat
menjadi dasar untuk membangun kembali politik yang lebih substantif, akuntabel,
dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Footnotes
[1]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 5–7.
[2]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 142–45.
[3]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–9.
[4]
David Greenberg, Republic of Spin: An Inside
History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–15.
[5]
BBC News, “Jokowi: From Furniture
Seller to President,” 2014.
[6]
Australian National University, “The Politics of
Social Protection in Indonesia,” ANU Policy Paper, 2020.
[7]
The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.
[8]
Freedom House, Freedom in the World 2021:
Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.
2.
Landasan Konseptual: Populisme dan
Politik Pencitraan
2.1.
Populisme: Definisi dan
Karakteristik
Populisme
adalah salah satu istilah paling sering digunakan dalam kajian politik
kontemporer, tetapi juga merupakan konsep yang sering diperdebatkan. Cas Mudde
dan Cristóbal Rovira Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai sebuah thin-centered
ideology yang membagi masyarakat ke dalam dua kubu antagonistik: “rakyat
murni” versus “elit korup,” serta menekankan bahwa politik harus
mengekspresikan kehendak umum rakyat.¹ Populisme bersifat fleksibel karena tidak
menawarkan kerangka ideologis yang utuh seperti sosialisme atau liberalisme,
melainkan lebih sebagai strategi atau gaya retorika yang bisa dipadukan dengan
ideologi lain.²
Ciri
khas populisme terletak pada narasi simplifikatif dan emosional. Pemimpin
populis cenderung menggunakan simbol, slogan, dan bahasa yang mudah dipahami
oleh khalayak luas.³ Mereka memposisikan diri sebagai “juru bicara rakyat
kecil” yang melawan elit politik, ekonomi, atau global yang dianggap
mengkhianati kepentingan nasional. Dalam konteks ini, populisme tidak sekadar fenomena politik
elektoral, tetapi juga strategi komunikasi yang berakar pada kebutuhan
menciptakan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat.
2.2.
Politik Pencitraan dan Political
Branding
Fenomena
politik pencitraan dapat dipahami melalui kerangka political branding. Menurut
Jennifer Lees-Marshment, political branding merupakan upaya
sistematis untuk membentuk citra politisi atau partai politik sebagaimana
produk komersial dipasarkan kepada konsumen.⁴ Branding politik mencakup simbol,
gaya komunikasi, gestur, bahkan narasi visual yang dirancang untuk memengaruhi
persepsi publik.
Murray
Edelman menekankan bahwa politik modern sering kali tampil sebagai “pertunjukan”
(politics
as performance), di mana makna politik dibentuk lebih oleh persepsi
publik ketimbang substansi kebijakan.⁵ Dalam kerangka ini, politik pencitraan
tidak hanya menyangkut komunikasi eksternal, tetapi juga cara kebijakan publik
dirancang agar tampak sesuai dengan narasi visual tertentu. Contoh konkret
dapat ditemukan dalam praktik blusukan di Indonesia atau dalam
janji pembangunan tembok perbatasan oleh Donald Trump, yang lebih kuat secara
simbolik dibandingkan implementasi kebijakan itu sendiri.
2.3.
Teori Komunikasi Politik: Framing,
Agenda Setting, dan Spin
Untuk
memahami dinamika politik pencitraan, perlu digunakan kerangka teori komunikasi
politik. Pertama, teori framing menjelaskan
bagaimana media dan aktor politik membingkai suatu isu dengan sudut pandang
tertentu untuk memengaruhi opini publik.⁶ Misalnya, aksi seorang pejabat
memberikan bantuan langsung dapat dibingkai sebagai bukti kepedulian, meskipun
secara substansi tidak menyentuh akar masalah kemiskinan.
Kedua,
agenda
setting theory menegaskan bahwa media tidak hanya memberi
informasi kepada publik, tetapi juga menentukan isu apa yang dianggap penting.⁷
Dalam konteks politik pencitraan, isu-isu yang mudah divisualisasikan lebih
sering mendapat sorotan dibandingkan persoalan struktural yang rumit.
Ketiga,
spin
doctoring adalah strategi aktor politik untuk mengendalikan
narasi melalui manipulasi pesan, seleksi fakta, dan penciptaan simbol.⁸ Spin
doctor sering berperan sebagai arsitek komunikasi politik, memastikan bahwa setiap tindakan atau
kebijakan dipersepsikan positif oleh publik. Kehadiran buzzer di era digital
memperluas praktik ini, dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk
memperkuat pesan dan menekan kritik.
2.4.
Sintesis Konseptual
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa populisme dan politik pencitraan saling
berkaitan erat. Populisme menyediakan kerangka retoris sederhana – rakyat
versus elit – sementara politik pencitraan menyediakan perangkat visual dan
simbolik untuk mewujudkan narasi tersebut di ruang publik. Media, baik
konvensional maupun digital, berperan sebagai panggung utama yang memungkinkan kedua konsep
ini beroperasi secara efektif. Dengan demikian, analisis fenomena politik
kontemporer perlu memadukan teori populisme dengan kajian komunikasi politik
agar dapat menjelaskan mengapa politik modern sering kali lebih menekankan
sorotan dan citra dibandingkan substansi kebijakan.
Footnotes
[1]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–9.
[2]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 34–36.
[3]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism:
Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford
University Press, 2016), 28–30.
[4]
Jennifer Lees-Marshment, Political Marketing and
British Political Parties: The Party’s Just Begun (Manchester: Manchester
University Press, 2001), 12–15.
[5]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 9–12.
[6]
Robert M. Entman, “Framing: Toward Clarification of a
Fractured Paradigm,” Journal of Communication 43, no. 4 (1993): 51–58.
[7]
Maxwell E. McCombs and Donald L. Shaw, “The
Agenda-Setting Function of Mass Media,” Public Opinion Quarterly 36,
no. 2 (1972): 176–87.
[8]
Peter Oborne, The Rise of Political Lying
(London: Free Press, 2005), 21–23.
3.
Sejarah Populisme dan Media
3.1.
Era Radio: Intimasi Politik Awal
Kemunculan
populisme modern tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi komunikasi.
Pada dekade 1930-an, Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32,
memanfaatkan radio sebagai sarana untuk membangun kedekatan emosional dengan
rakyat melalui Fireside Chats. Suara Roosevelt
yang tenang memberi kesan seolah-olah ia hadir langsung di ruang keluarga warga
Amerika.¹ Dengan cara ini, media radio menjadi instrumen politik populis awal
yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi emosional dan keintiman antara
pemimpin dan rakyat.
Namun,
radio memiliki keterbatasan karena hanya mengandalkan suara. Ia mampu
menciptakan keintiman tetapi tidak membangun citra visual.² Keterbatasan inilah yang kemudian
dilampaui oleh televisi pada pertengahan abad ke-20.
3.2.
Era Televisi: Politik Telegenik
Televisi
membawa populisme pada dimensi baru dengan mengutamakan visual. Debat televisi pertama antara John
F. Kennedy dan Richard Nixon pada pemilihan presiden AS tahun 1960 menjadi
titik balik sejarah politik modern.³ Kennedy tampil segar, fotogenik, dan
percaya diri, sementara Nixon tampak pucat dan gugup.⁴ Fakta menarik, mereka
yang mendengar debat melalui radio menilai Nixon lebih unggul dalam
argumentasi, tetapi mereka yang menontonnya melalui televisi mayoritas menilai
Kennedy sebagai pemenang.⁵ Peristiwa ini menandai lahirnya era politik
telegenik, di mana citra visual dan gestur tubuh menjadi sama pentingnya,
bahkan lebih menentukan, dibandingkan substansi argumen.
Era
ini memperlihatkan bahwa media visual tidak hanya menyampaikan pesan politik,
tetapi juga membentuk persepsi kepemimpinan melalui estetika tubuh, bahasa non-verbal,
dan daya tarik personal.
3.3.
Era Ikonografi Politik: Peronisme
dan Propaganda Visual
Jika
radio dan televisi menjadi medium komunikasi politik di Amerika Serikat, di
Amerika Latin populisme menemukan bentuknya melalui ikonografi politik. Juan
dan Eva Perón di Argentina memanfaatkan film dokumenter, foto, dan media cetak
untuk membangun citra pro-rakyat.⁶ Eva “Evita” Perón, misalnya, sengaja difoto saat
mengunjungi rumah sakit atau memeluk anak-anak miskin.⁷ Hasil visual yang
dirancang itu disebarluaskan melalui surat kabar dan bioskop sehingga
menciptakan propaganda visual yang melekat dalam memori kolektif rakyat
Argentina.
Praktik
ini menandai lahirnya “politik sebagai tontonan,” di mana visualitas menjadi
instrumen utama untuk mengikat emosi massa.⁸
3.4.
Era Televisi Swasta dan Reality Show
Perkembangan
televisi satelit dan swasta pada dekade 1980–1990-an mempercepat populisme
dalam format hiburan. Silvio Berlusconi di Italia adalah contoh ekstrem, karena ia membangun kerajaan
media Fininvest
sebelum masuk ke politik.⁹ Dengan menguasai jaringan televisi, ia tidak hanya
mempromosikan citranya, tetapi juga menghapus liputan negatif dan menampilkan
kampanye dalam format yang menyerupai acara hiburan.¹⁰
Di
Venezuela, Hugo Chávez memanfaatkan acara televisi Aló Presidente untuk berbicara
langsung kepada rakyat. Ia menjadikan politik sebagai reality
show interaktif, berbicara hingga enam jam tanpa naskah, bahkan
memanggil menteri secara langsung untuk mengeksekusi kebijakan di hadapan publik.¹¹ Televisi
menjadikan Chávez bukan hanya seorang presiden, melainkan juga bintang
pertunjukan politik.
3.5.
Era Media Sosial: Populisme Digital
Memasuki
dekade 2010-an, media sosial menghadirkan babak baru dalam sejarah populisme.
Donald Trump di Amerika Serikat memanfaatkan Twitter untuk mengomunikasikan pesan politik
secara langsung kepada jutaan pengikutnya, sekaligus menciptakan kontroversi
yang memancing liputan media gratis.¹² Di Filipina, Rodrigo Duterte menggunakan
Facebook Live untuk membangun citra sebagai pemimpin “kasar tapi jujur.”¹³
Media sosial memungkinkan pemimpin populis memotong jalur media tradisional dan
membangun hubungan instan dengan publik.
Indonesia
juga mengalami fenomena serupa. Joko Widodo sejak menjabat Wali Kota Solo
mengundang wartawan untuk meliput blusukan-nya, yang kemudian dipotong, dibingkai, dan
dibagikan melalui media sosial.¹⁴ Ros Tapsell menyebut strategi ini sebagai political
branding berbasis visual, di mana setiap interaksi publik
dikalkulasi untuk menciptakan efek emosional.¹⁵ Ridwan Kamil mengemas kebijakan
dengan nama-nama populer (Jalan Cantik, Saber
Hoaks) agar mudah dikonsumsi publik, sementara Dedi Mulyadi
menggunakan YouTube dan Facebook untuk menampilkan dirinya dalam gaya reality
show politik.¹⁶
Kesimpulan
Sementara
Sejarah
populisme dan media menunjukkan bahwa medium komunikasi selalu menjadi faktor
penentu dalam gaya kepemimpinan populis. Dari radio Roosevelt hingga media
sosial Trump, Duterte, dan Jokowi, pola yang sama terlihat: media tidak hanya
sebagai saluran komunikasi, melainkan sebagai panggung politik. Visual, simbol,
dan narasi emosional lebih sering menentukan persepsi publik dibandingkan isi
kebijakan. Dengan demikian, perkembangan teknologi media dapat dipahami sebagai
katalisator yang memperkuat politik pencitraan dalam berbagai konteks populisme
di seluruh dunia.
Footnotes
[1]
J. Michael Hogan, Voices of Democracy: The
Roosevelt Fireside Chats (College Station: Texas A&M University Press,
2013), 25–28.
[2]
Ibid., 32–34.
[3]
Theodore H. White, The Making of the President
1960 (New York: Atheneum, 1961), 105–10.
[4]
David Greenberg, Republic of Spin: An Inside
History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–12.
[5]
The New York Times, “70 Million Saw Kennedy-Nixon
Debate,” October 21, 1960.
[6]
Mariano Ben Plotkin, Manana es San Perón: A
Cultural History of Peronism in Argentina (Wilmington: SR Books, 2003),
58–60.
[7]
Jill Hedges, Evita: The Life of Eva Perón
(London: Tauris, 2016), 74–76.
[8]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 23–25.
[9]
Alexander Stille, “Berlusconi’s Shadow,” The New
Yorker, April 2002.
[10]
Tobias Jones, The Dark Heart of Italy
(London: Faber & Faber, 2003), 122–25.
[11]
Steve Ellner, “Hugo Chávez’s ‘Participatory
Democracy’: Origins, Dimensions, and Contradictions,” Latin American
Perspectives 33, no. 2 (2006): 49–62.
[12]
Philip N. Howard and Bence Kollanyi, “Bots,
#StrongerIn, and #Brexit: Computational Propaganda during the UK-EU
Referendum,” Political Communication 34, no. 2 (2017): 211–12.
[13]
Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of
Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News
Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3
(2018): 328–31.
[14]
BBC News, “Jokowi: From Furniture
Seller to President,” 2014.
[15]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 140–42.
[16]
Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo,
July 2019.
4.
Media Sosial dan Populisme Digital
4.1.
Transformasi Digital Politik
Perkembangan
teknologi digital dan media sosial pada dekade 2010-an menandai babak baru
dalam praktik populisme. Jika sebelumnya populisme bergantung pada media massa
konvensional seperti radio, televisi, dan film dokumenter, maka kini media
sosial menghadirkan panggung politik yang lebih instan, interaktif, dan tidak
terbatas ruang serta waktu.¹ Media sosial memungkinkan pemimpin populis
berkomunikasi langsung dengan audiens tanpa perantara redaksi media, sehingga mereka dapat membangun
citra sekaligus menciptakan kedekatan semu dengan publik.²
Transformasi
ini menjadikan media sosial bukan sekadar instrumen tambahan dalam komunikasi
politik, tetapi juga arena utama bagi produksi dan reproduksi politik pencitraan. Setiap unggahan
dapat berfungsi sebagai pidato singkat, setiap tweet menjadi slogan, dan setiap
kontroversi berpotensi menjadi bahan bakar viralitas.³
4.2.
Kasus Global: Trump dan Duterte
Donald
Trump adalah salah satu tokoh yang dianggap merepresentasikan fenomena populisme digital. Melalui
akun Twitter pribadinya, ia mampu menyampaikan pesan secara langsung kepada
jutaan pengikut, memotong jalur media tradisional, serta mengatur siklus berita
dengan menciptakan kontroversi harian.⁴ Strategi ini tidak hanya memperkuat
basis politiknya, tetapi juga membuat media arus utama terjebak untuk terus
menyoroti setiap cuitannya.
Di
Filipina, Rodrigo Duterte memanfaatkan Facebook dan fitur live
streaming untuk membangun citra sebagai pemimpin “kasar tapi jujur.”
Ia berbicara tanpa sensor, menggunakan bahasa blak-blakan, bahkan menghina
lawan politiknya.⁵ Dengan cara ini, Duterte berhasil menampilkan dirinya
sebagai representasi suara rakyat kecil yang marah pada elit. Media sosial
memberinya ruang untuk memperkuat narasi populis, sekaligus memperlebar
polarisasi politik di Filipina.
4.3.
Kasus Indonesia: Jokowi, Ridwan
Kamil, dan Dedi Mulyadi
Fenomena
populisme digital juga sangat menonjol di Indonesia. Joko Widodo sejak menjabat
sebagai Wali Kota Solo telah menggunakan blusukan sebagai strategi politik
yang kemudian dipublikasikan melalui media sosial. Setiap kunjungan ke pasar
tradisional, gang sempit, atau pertemuan dengan rakyat kecil direkam, dipotong,
dan dibingkai agar menciptakan citra pemimpin sederhana dan merakyat.⁶ Ros Tapsell
menyebut strategi ini sebagai bentuk political branding berbasis visual,
di mana setiap interaksi publik dikalkulasi untuk menghasilkan dampak
emosional.⁷
Ridwan
Kamil, Gubernur Jawa Barat, menggunakan Instagram dan platform digital lainnya
untuk meluncurkan program-program dengan nama populer seperti Jalan
Cantik atau Saber Hoaks.⁸ Program tersebut
dikemas dalam bahasa kreatif agar mudah dikonsumsi publik dan cepat viral.
Dengan demikian, politik tidak hanya dikomunikasikan, tetapi juga diproduksi sebagai konten media
sosial.
Dedi
Mulyadi melangkah lebih jauh dengan mengemas aktivitas politiknya dalam format reality
show melalui YouTube dan Facebook. Ia sering tampil membantu warga
miskin, menegur masyarakat yang melanggar aturan, atau memberikan wejangan budaya
Sunda.⁹ Tayangan ini cepat menjadi viral dan membangun citra Dedi sebagai
“bapak rakyat” yang hadir langsung di tengah masyarakat. Namun, sebagaimana
dicatat banyak pengamat, tindakan semacam ini sering kali berhenti pada momen
emosional yang dramatis, tanpa diikuti desain kebijakan struktural yang
berkelanjutan.¹⁰
4.4.
Paradoks Populisme Digital
Kehadiran
media sosial menghadirkan paradoks dalam praktik populisme. Di satu sisi, media
sosial membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas, memungkinkan komunikasi
langsung antara pemimpin dan rakyat, serta mempercepat penyebaran informasi.¹¹
Di sisi lain, logika algoritmik media sosial lebih mementingkan keterlibatan (engagement)
daripada substansi.¹² Akibatnya, isu-isu yang kontroversial, emosional, atau
mudah divisualisasikan lebih cepat viral dibandingkan diskusi kebijakan yang
kompleks.
Fenomena
ini menimbulkan risiko degradasi demokrasi, di mana politik direduksi menjadi
tontonan singkat yang menghibur, sementara kebijakan publik yang membutuhkan
riset, perencanaan, dan konsensus justru terpinggirkan.¹³ Dengan demikian, populisme
digital memperlihatkan wajah ganda: sebagai instrumen pemberdayaan politik
sekaligus potensi pelemahan demokrasi substantif.
Kesimpulan
Sementara
Sejarah
perkembangan media menunjukkan bahwa setiap teknologi komunikasi baru
memperkuat gaya populisme tertentu. Media sosial sebagai medium utama era digital memungkinkan politisi
membangun citra secara instan dan interaktif. Namun, dominasi logika viralitas
dan pencitraan menggeser perhatian publik dari substansi kebijakan menuju
performa visual. Oleh karena itu, analisis populisme digital tidak hanya
berkaitan dengan strategi komunikasi, tetapi juga dengan transformasi mendasar
dalam relasi antara rakyat, media, dan kekuasaan.
Footnotes
[1]
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope:
Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity, 2012), 15–18.
[2]
Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in
a Digital Age (Cambridge: Polity, 2010), 24–27.
[3]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism:
Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford
University Press, 2016), 97–100.
[4]
Philip N. Howard and Muzammil M. Hussain, Democracy’s
Fourth Wave? Digital Media and the Arab Spring (Oxford: Oxford University
Press, 2013), 112–15.
[5]
Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of
Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News
Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3
(2018): 330–32.
[6]
BBC News, “Jokowi: From Furniture
Seller to President,” 2014.
[7]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 142–44.
[8]
Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo,
July 2019.
[9]
Kompas, “Dedi Mulyadi dan Politik Pertunjukan,” Kompas,
August 2020.
[10]
Ibid.
[11]
Bruce Bimber, Information and American Democracy:
Technology in the Evolution of Political Power (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 210–12.
[12]
José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The
Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 67–70.
[13]
The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.
5.
Gimmick Politik sebagai Kebijakan
5.1.
Konsep Governing by Headline
Dalam
politik modern, sering kali terjadi pergeseran dari kebijakan berbasis riset
menuju kebijakan berbasis sorotan. The Economist menyebut fenomena ini
sebagai governing
by headline – sebuah pola di mana pemerintah dan pemimpin politik
lebih sibuk menciptakan berita utama yang menarik perhatian ketimbang merancang
kebijakan substantif jangka panjang.¹ Dalam kerangka ini, gimmick politik—yakni
aksi simbolis, janji sederhana, atau visualisasi emosional—sering kali diperlakukan seolah-olah
kebijakan publik yang sah.
Gimmick
tersebut bekerja karena sifatnya yang instan, mudah dipahami, dan kuat secara
simbolis. Ia menciptakan kesan “aksi nyata,” meskipun secara struktural
tidak menyentuh akar masalah.² Dengan kata lain, politik bertransformasi
menjadi serangkaian pertunjukan singkat yang lebih berfungsi sebagai komunikasi
simbolis ketimbang instrumen perubahan sosial.
5.2.
Kasus Duterte: Perang Narkoba
sebagai Drama Politik
Rodrigo
Duterte di Filipina menjadi salah satu contoh paling gamblang dari gimmick
politik yang dijadikan kebijakan. Ia meluncurkan kampanye pemberantasan narkoba
dengan gaya retorika keras, menampilkan dirinya sebagai pemimpin “tanpa
kompromi.”³ Media internasional melaporkan bahwa kebijakan ini dikemas sebagai aksi
penyelamatan generasi muda dari bahaya narkotika.⁴ Namun, laporan Human Rights
Watch pada tahun 2017 menyatakan bahwa kampanye tersebut lebih menyerupai
teatrikal politik—menampilkan citra strongman—ketimbang program
komprehensif yang mengatasi akar masalah narkoba.⁵ Dengan demikian, perang
narkoba Duterte lebih berfungsi sebagai panggung politik populis daripada
kebijakan publik yang efektif.
5.3.
Kasus Trump: Tembok Perbatasan
sebagai Simbol Politik
Donald
Trump dalam kampanye dan masa pemerintahannya menjadikan slogan “Build
the Wall” sebagai simbol perjuangan melawan imigrasi ilegal dari
Meksiko.⁶ Janji tersebut sederhana, visual, dan mudah divisualisasikan—tembok
sebagai pembatas yang konkret. Namun, secara faktual, pembangunan tembok hanya
terealisasi sebagian kecil, sementara narasi tentang tembok jauh lebih sering digunakan dalam
retorika kampanye untuk memobilisasi dukungan basis politiknya.⁷ Tembok
tersebut pada akhirnya menjadi gimmick politik: kuat secara simbolik, lemah
secara kebijakan.
5.4.
Kasus Indonesia: Blusukan dan
Program Kartu Sosial
Di
Indonesia, praktik gimmick politik terlihat jelas dalam strategi blusukan
yang populer pada era Joko Widodo. Pada awalnya, blusukan dipandang sebagai inovasi
dalam membangun kedekatan pemimpin dengan rakyat kecil.⁸ Namun, seiring waktu, praktik ini
mengalami repetisi dan kehilangan bobot substantifnya. Blusukan
berubah menjadi ritual pencitraan, bukan mekanisme penyelesaian masalah
struktural.⁹
Selain
itu, program-program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia
Sehat, dan Kartu Sembako Murah menunjukkan pola serupa. Secara substansi, program
tersebut memang memiliki manfaat sosial, tetapi penelitian Australian National
University (2020) menekankan bahwa program tersebut juga dirancang dengan
dimensi komunikasi politik yang kuat: nama yang sederhana, kemasan visual yang
mudah diingat, serta momentum peluncuran yang disesuaikan dengan logika liputan
media.¹⁰ Dengan demikian, program sosial tersebut berfungsi ganda: sebagai
kebijakan publik sekaligus instrumen pencitraan politik.
5.5.
Politik Pertunjukan Lokal: Ridwan
Kamil dan Dedi Mulyadi
Di
tingkat daerah, politik gimmick tampak dalam gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan
Dedi Mulyadi. Ridwan Kamil mengemas program-program pemerintah dalam bahasa
populer seperti Jalan Cantik atau Saber
Hoaks, agar mudah dipahami dan cepat viral.¹¹ Tempo mencatat bahwa
strategi ini disebut sebagai politik gaya milenial—cepat, kreatif, dan berbasis
media sosial—namun sering kali tidak menyentuh kompleksitas masalah struktural.¹²
Dedi
Mulyadi lebih teatrikal, dengan memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk
menampilkan aksi-aksi spontan seperti menegur warga yang melanggar aturan atau
membantu masyarakat miskin.¹³ Video-video tersebut viral dan menciptakan citra
dirinya sebagai pemimpin merakyat. Akan tetapi, banyak pengamat menilai bahwa
solusi yang ditawarkan berhenti pada aksi emosional sesaat, tanpa diikuti
kebijakan struktural jangka panjang.¹⁴
5.6.
Pola Umum Gimmick Politik
Dari
berbagai kasus tersebut dapat diidentifikasi pola umum gimmick politik:
1)
Kesederhanaan
simbol – slogan, gestur, atau aksi visual yang
mudah dipahami publik.
2)
Kekuatan
emosional – membangkitkan simpati, marah, atau
harapan dalam waktu singkat.
3)
Repetisi
media – didistribusikan melalui media
konvensional maupun media sosial agar berulang kali hadir di ruang publik.
4)
Keterputusan
struktural – jarang diiringi oleh kebijakan
berkelanjutan yang menyentuh akar masalah.
Pola
ini memperlihatkan bahwa gimmick politik sering kali tidak berfungsi sebagai
instrumen solusi, melainkan sebagai alat komunikasi politik yang diperlakukan seolah
kebijakan.
Kesimpulan
Sementara
Gimmick
politik adalah bentuk ekstrem dari politik pencitraan. Ia menjelma menjadi
kebijakan semu yang kuat dalam membangun persepsi publik, tetapi lemah dalam
menghadirkan solusi substantif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi
kontemporer sering kali bekerja bukan melalui perdebatan kebijakan, melainkan melalui produksi
simbol-simbol yang mampu menciptakan headline. Dengan demikian, memahami
gimmick politik menjadi penting untuk mengkritisi kualitas demokrasi yang
semakin terjebak pada logika panggung ketimbang substansi.
Footnotes
[1]
The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.
[2]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 27–29.
[3]
Nicole Curato, Flirting with Authoritarian Fantasies:
Rodrigo Duterte and the New Terms of Philippine Populism (Singapore: NUS
Press, 2017), 51–54.
[4]
The New York Times, “They Are Slaughtering Us Like
Animals,” December 7, 2016.
[5]
Human Rights Watch, License to Kill: Philippine
Police Killings in Duterte’s “War on Drugs” (New York: HRW, 2017).
[6]
Joshua M. Scacco and Kevin Coe, The Ubiquitous
Presidency: Presidential Communication and Digital Democracy in Tumultuous
Times (Oxford: Oxford University Press, 2021), 115–17.
[7]
Philip Bump, “Trump’s Border Wall: How Much Has Been
Built During His Term?” The Washington Post, January 2021.
[8]
BBC News, “Jokowi: From Furniture
Seller to President,” 2014.
[9]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 142–43.
[10]
Australian National University, “The Politics of
Social Protection in Indonesia,” ANU Policy Paper, 2020.
[11]
Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo,
July 2019.
[12]
Ibid.
[13]
Kompas, “Dedi Mulyadi dan Politik Pertunjukan,” Kompas,
August 2020.
[14]
Ibid.
6.
Fenomena Buzzer Politik
6.1.
Akar Historis Propaganda dan Evolusi
Buzzer
Fenomena
buzzer politik dalam demokrasi kontemporer tidak muncul tiba-tiba, melainkan
memiliki akar panjang dalam sejarah propaganda politik modern. Pada masa Perang
Dunia I, pemerintah Amerika Serikat melalui Committee on Public Information
(CPI) yang dipimpin George Creel menggunakan poster, pamflet, dan film untuk
menggiring opini publik demi mendukung keterlibatan AS dalam perang.¹ Di
Jerman, Joseph Goebbels mengembangkan seni propaganda yang memanfaatkan film,
radio, dan media cetak untuk membentuk persepsi publik tentang keunggulan rezim
Nazi.² Praktik-praktik inilah yang dapat disebut sebagai “proto-buzzer,” yakni
upaya sistematis membentuk opini massa melalui medium komunikasi massa
terpusat.
Perkembangan
internet dan media sosial pada awal abad ke-21 melahirkan bentuk baru propaganda yang lebih
desentralistik dan interaktif. Jika propaganda klasik bergantung pada institusi
negara dan media besar, buzzer digital beroperasi melalui akun-akun individu,
baik asli maupun palsu, yang digerakkan secara terkoordinasi untuk memengaruhi
wacana publik.³
6.2.
Buzzer dalam Politik Global
Buzzer
politik mulai menjadi perhatian luas pada Pemilu Amerika Serikat 2008 ketika
tim Barack Obama menggunakan media sosial untuk mobilisasi politik. Meski belum
dalam bentuk buzzer terorganisasi, praktik ini menunjukkan potensi media sosial
sebagai arena politik utama.⁴ Fenomena buzzer mencapai bentuk yang lebih
ekstrem pada Pemilu AS 2016, ketika Donald Trump memanfaatkan jaringan akun palsu dan diduga
didukung operasi informasi dari luar negeri, khususnya Internet Research Agency
(IRA) Rusia, untuk menyebarkan disinformasi dan memecah belah publik.⁵
Di
Filipina, Rodrigo Duterte dikenal sebagai salah satu pemimpin yang paling
efektif menggunakan buzzer. Ratusan akun digerakkan untuk membangun citra
dirinya sebagai
pemimpin tegas sekaligus menyerang lawan politik dengan kampanye hitam.⁶
Penelitian Rappler
menunjukkan bahwa ekosistem buzzer di Filipina bekerja layaknya industri,
lengkap dengan tarif bayaran dan sistem koordinasi yang terstruktur.⁷
6.3.
Buzzer dalam Politik Indonesia
Di
Indonesia, istilah “buzzer” menjadi sangat populer dalam diskursus
politik sejak Pemilu Presiden 2014. Menurut Ros Tapsell, inilah momen ketika
media sosial menjadi arena tempur utama politik nasional, dan tim sukses
kandidat mempekerjakan orang-orang untuk memproduksi, menyebarkan, serta memviralkan pesan
politik tertentu.⁸ Strategi ini berkembang pesat hingga level daerah, partai
politik, bahkan kementerian dan BUMN.
Fenomena
buzzer di Indonesia dapat dijelaskan melalui tiga tahap utama sebagaimana
dipetakan oleh Australian Strategic Policy Institute:
(1) produksi narasi, yaitu merumuskan tema besar untuk membingkai kandidat atau
isu; (2) distribusi dan amplifikasi, yakni penyebaran pesan melalui akun anonim
maupun publik; dan (3) pengendalian narasi, yaitu menjaga pesan utama tetap relevan sambil
menangkis serangan lawan atau mengalihkan perhatian publik.⁹
Buzzer
di Indonesia tidak hanya beroperasi pada masa pemilu, tetapi juga digunakan
untuk menjaga legitimasi pemerintah atau menyerang gerakan masyarakat sipil.
Freedom House (2021) mencatat Indonesia sebagai negara dengan kategori partly free, salah
satunya karena adanya manipulasi opini publik secara sistematis di ranah
digital.¹⁰
6.4.
Infrastruktur dan Ekonomi Politik
Buzzer
Ekosistem
buzzer bekerja layaknya industri yang memiliki sumber pendanaan, infrastruktur teknologi,
dan sumber daya manusia yang profesional. Laporan The Intercept (2019) menemukan
bahwa pendanaan buzzer di Indonesia berasal dari tiga sumber utama: (1) dana
kampanye resmi kandidat atau partai, (2) dukungan sponsor korporasi yang
berharap mendapat keuntungan kebijakan, dan (3) dana operasi pemerintah atau
BUMN yang dialihkan untuk mendukung narasi tertentu.¹¹
Dari
sisi infrastruktur, buzzer menggunakan kombinasi server lokal dan
internasional, perangkat lunak otomatis (bot software), hingga jasa pihak
ketiga seperti click farm di luar negeri untuk
meningkatkan interaksi.¹² Operasi ini sering dijalankan dari war room khusus, ruang tertutup
dengan layar monitor yang memantau tren media sosial secara real time. Oxford
Internet Institute (2020) bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara dengan ekosistem cyber troops terbesar di Asia
Tenggara.¹³
6.5.
Buzzer sebagai Operator Politik
Pencitraan
Buzzer
berperan sebagai operator yang memperkuat gimmick politik di ruang digital. Jika aksi blusukan
atau program kartu sosial berfungsi sebagai panggung depan, maka buzzer adalah
lampu sorot yang memastikan panggung itu tetap terlihat terang. Mereka
memperbanyak tayangan, menciptakan trending topic, mengulang pesan hingga
publik menganggapnya sebagai kebenaran.¹⁴
Dengan
logika algoritmik media sosial, buzzer bekerja pada level bawah sadar publik,
memanipulasi persepsi melalui banjir informasi yang seragam.¹⁵ Fenomena ini
memperlihatkan bahwa buzzer bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan mesin
propaganda digital yang dapat membentuk lanskap demokrasi.
Kesimpulan
Sementara
Fenomena
buzzer menunjukkan bahwa demokrasi digital bukan sekadar ruang diskusi terbuka,
tetapi juga arena perang opini yang diatur oleh algoritma dan aktor politik.
Buzzer melanjutkan tradisi propaganda klasik, namun bekerja lebih cepat, lebih
murah, dan lebih masif melalui media sosial. Dengan demikian, buzzer menjadi
elemen integral dalam politik pencitraan kontemporer, sekaligus ancaman bagi
demokrasi substantif karena mengaburkan batas antara komunikasi politik,
propaganda, dan manipulasi opini publik.
Footnotes
[1]
George Creel, How We Advertised America: The First
Telling of the Amazing Story of the Committee on Public Information That
Carried the Gospel of Americanism to Every Corner of the Globe (New York:
Harper & Brothers, 1920), 45–48.
[2]
David Welch, Propaganda and the German Cinema,
1933–1945 (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–15.
[3]
Philip N. Howard, New Media Campaigns and the
Managed Citizen (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 55–58.
[4]
Daniel Kreiss, Taking Our Country Back: The
Crafting of Networked Politics from Howard Dean to Barack Obama (Oxford:
Oxford University Press, 2012), 101–04.
[5]
Renee DiResta et al., The Tactics & Tropes of
the Internet Research Agency (New York: New Knowledge, 2019), 5–8.
[6]
Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of
Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News
Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3
(2018): 328–30.
[7]
Rappler, “Propaganda
War: Weaponizing the Internet,” 2016.
[8]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 140–42.
[9]
Australian Strategic Policy Institute, Cyber
Troops, Online Manipulation of Public Opinion, and the Future of Democracy in
Indonesia, Policy Paper, 2019.
[10]
Freedom House, Freedom in the World 2021:
Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.
[11]
The Intercept, “Indonesia’s
Cyber Army: The Government Paid Buzzers,” 2019.
[12]
Oxford Internet Institute, Industrialized
Disinformation: 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation
(Oxford: OII, 2020), 46–49.
[13]
Ibid.
[14]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 30–33.
[15]
José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The
Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 71–74.
7.
Dampak terhadap Demokrasi dan
Kebijakan Publik
7.1.
Demokrasi sebagai Tontonan
Fenomena
pencitraan, gimmick politik, dan peran buzzer membawa konsekuensi serius bagi
demokrasi. Politik tidak lagi dilihat sebagai arena deliberasi rasional dan perumusan kebijakan, melainkan
sebagai panggung hiburan yang memproduksi drama politik untuk konsumsi publik.¹
Dalam kerangka ini, pemimpin diposisikan sebagai aktor utama, buzzer berperan
sebagai produser sekaligus pengendali narasi, dan publik ditempatkan sebagai
penonton yang menekan tombol like, share, atau retweet.²
Demokrasi mengalami reduksi dari sistem representasi substantif menjadi sekadar
“industri tontonan.”
Konsekuensi
dari demokrasi sebagai tontonan adalah berkurangnya kualitas partisipasi
publik. Keterlibatan warga dibatasi pada partisipasi emosional sesaat, bukan
keterlibatan kritis dalam merumuskan arah kebijakan.³ Hal ini melemahkan prinsip dasar demokrasi
deliberatif yang menekankan partisipasi rasional, argumentatif, dan
berorientasi pada kepentingan publik jangka panjang.
7.2.
Degradasi Kebijakan Publik
Selain
merusak kualitas demokrasi, politik pencitraan juga berdampak pada perumusan
kebijakan publik. Pertama, terjadi kecenderungan prioritisasi pada isu-isu yang
fotogenik
dan mudah dipasarkan, dibandingkan isu-isu yang kompleks dan membutuhkan
penyelesaian struktural.⁴ Dalam bidang pendidikan, misalnya, pembangunan
sekolah baru atau pembagian seragam gratis sering dijadikan sorotan utama,
padahal tantangan utama terletak pada kualitas guru, kurikulum, dan akses di
wilayah tertinggal.⁵
Di
bidang kesehatan, peresmian rumah sakit baru atau peluncuran program layanan
kesehatan gratis sering dikemas sebagai acara seremonial besar yang diliput
media. Namun, persoalan mendasar seperti kurangnya tenaga medis, distribusi obat, dan lemahnya
sistem rujukan jarang mendapat perhatian yang sama.⁶
Dalam
bidang infrastruktur, proyek-proyek ikonik seperti jalan tol, bandara, atau
bendungan sering diprioritaskan karena mudah divisualisasikan sebagai simbol
pembangunan. Namun, proyek tersebut kerap tidak berangkat dari kebutuhan
strategis masyarakat luas, melainkan dari kalkulasi nilai jual visual dan potensi pencitraan
politik.⁷ Dengan demikian, kebijakan publik sering kali terjebak dalam logika
pencitraan ketimbang logika perencanaan jangka panjang.
7.3.
Relasi Rakyat dan Pemimpin: Dari
Kontrak Sosial ke Transaksi Singkat
Fenomena
politik pencitraan juga mengubah relasi rakyat dan pemimpin. Janji politik
tidak lagi dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipertanggungjawabkan,
melainkan sebagai promosi yang tidak wajib ditepati.⁸ Pemilih pun membalasnya dengan
“rasionalitas singkat,” yakni memilih kandidat yang dianggap dapat memberikan
manfaat cepat, baik dalam bentuk bantuan langsung maupun kepuasan emosional
karena identitas atau narasinya sesuai dengan preferensi mereka.⁹
Akibatnya,
kualitas evaluasi publik terhadap pemimpin menjadi dangkal. Penilaian lebih
sering berbasis persepsi citra ketimbang hasil kebijakan nyata. Hal ini
melemahkan mekanisme akuntabilitas dalam demokrasi dan memperkuat kecenderungan
politik berbasis figur dibandingkan politik berbasis program.¹⁰
7.4.
Polarisasi dan Fragmentasi Sosial
Dampak
lain yang signifikan adalah meningkatnya polarisasi sosial. Politik pencitraan,
terutama yang diperkuat oleh buzzer digital, sering kali menggunakan isu
identitas, baik agama, etnis, maupun kelas sosial, untuk memperkuat basis
dukungan.¹¹ Pemilu Presiden 2014 dan 2019 di Indonesia, misalnya, menunjukkan
bagaimana politik identitas bercampur dengan pencitraan kandidat sehingga
memicu ketegangan sosial yang tajam.¹² Polarisasi ini berpotensi meninggalkan
luka sosial jangka panjang dan mengganggu kohesi nasional.
7.5.
Demokrasi Prosedural yang Rapuh
Dalam
jangka panjang, dampak kumulatif dari politik pencitraan, gimmick, dan buzzer
adalah terbentuknya
demokrasi prosedural yang stabil secara elektoral tetapi rapuh secara
substansial. Pemilu tetap berlangsung secara rutin dan damai, tetapi kualitas
demokrasi melemah karena gagasan, visi kebijakan, dan akuntabilitas kian
terpinggirkan.¹³ Situasi ini menciptakan risiko dua arah: di satu sisi,
demokrasi dapat terjebak dalam status quo yang dangkal; di sisi lain,
kekecewaan publik terhadap kesenjangan antara janji politik dan realitas dapat
memicu gelombang populisme baru yang lebih radikal.¹⁴
Kesimpulan
Sementara
Dampak
fenomena pencitraan politik terhadap demokrasi dan kebijakan publik dapat
diringkas dalam tiga poin utama. Pertama, demokrasi direduksi menjadi tontonan
yang menekankan performa visual ketimbang substansi. Kedua, kebijakan publik
cenderung diperlakukan sebagai properti panggung politik sehingga mengabaikan
kebutuhan struktural masyarakat. Ketiga, relasi antara rakyat dan pemimpin
mengalami degradasi dari kontrak sosial menuju transaksi singkat, yang pada
akhirnya melemahkan akuntabilitas dan memperkuat polarisasi sosial.
Dengan
demikian, fenomena ini bukan hanya persoalan komunikasi politik, tetapi juga tantangan serius
bagi masa depan demokrasi substantif.
Footnotes
[1]
Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle
(Chicago: University of Chicago Press, 1988), 5–7.
[2]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism:
Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford
University Press, 2016), 124–26.
[3]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions
to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996),
305–08.
[4]
The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.
[5]
UNESCO, Global Education Monitoring Report 2019:
Migration, Displacement and Education (Paris: UNESCO, 2019), 210–12.
[6]
World Health Organization, World Health Statistics
2020 (Geneva: WHO, 2020), 54–56.
[7]
John Harriss, “The Depoliticization of Development,” Journal
of Development Studies 36, no. 6 (2000): 1–12.
[8]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 78–80.
[9]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for
Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell
University Press, 2019), 52–55.
[10]
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation:
Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization
19, no. 2 (2012): 209–29.
[11]
Merlyna Lim, “Freedom to Hate: Social Media,
Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia,” Critical
Asian Studies 49, no. 3 (2017): 411–27.
[12]
Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn and
Indonesia’s Democratic Decline,” Bulletin of Indonesian Economic Studies
54, no. 3 (2018): 307–38.
[13]
Freedom House, Freedom in the World 2021:
Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.
[14]
Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from
Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York:
Penguin, 2019), 45–48.
8.
Kritik dan Reinterpretasi
8.1.
Kritik terhadap Politik Pencitraan
Politik
pencitraan, meski efektif dalam membangun kedekatan emosional dengan rakyat,
tidak luput dari kritik tajam. Pertama, ia dianggap mereduksi substansi
demokrasi menjadi sekadar tontonan, di mana performa visual dan narasi simbolis
lebih penting
daripada kebijakan yang berkelanjutan.¹ Politik pencitraan cenderung
menghasilkan short-termism, yaitu orientasi
jangka pendek yang hanya fokus pada pencapaian visual sesaat alih-alih solusi
struktural.²
Kedua,
politik pencitraan memperlemah mekanisme akuntabilitas. Karena penilaian publik
sering didasarkan pada persepsi citra, maka pemimpin dapat memperoleh legitimasi tanpa
harus memenuhi janji-janji politik mereka secara substansial.³ Hal ini
memperkuat moral
hazard dalam politik, di mana elit lebih memilih investasi dalam
strategi komunikasi ketimbang perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based
policy).⁴
Ketiga,
politik pencitraan seringkali melahirkan polarisasi. Citra politik dibangun
dengan dikotomi sederhana—“pemimpin rakyat” versus “elit korup”—yang memperkuat
logika populisme eksklusif.⁵ Akibatnya, identitas politik sering dijadikan
instrumen polarisasi, yang dalam konteks Indonesia terlihat jelas pada pemilu 2014 dan
2019.⁶
8.2.
Kritik terhadap Peran Media dan
Buzzer
Media
massa dan media sosial sering menjadi sasaran kritik karena lebih mengutamakan
berita sensasional dibandingkan isu kebijakan.⁷ Logika algoritma media sosial
memperburuk situasi dengan mendorong konten yang kontroversial dan emosional untuk mendapatkan keterlibatan
publik.⁸ Akibatnya, diskursus publik dipenuhi oleh “noise” informasi,
disinformasi, dan narasi hiperbolik yang memperkuat pencitraan politik.
Buzzer
digital, sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik, memperdalam masalah ini.
Mereka tidak hanya memperkuat pencitraan, tetapi juga melakukan serangan
terhadap lawan politik dengan kampanye hitam.⁹ Praktik ini merusak iklim demokrasi
deliberatif dan menciptakan suasana politik yang penuh kecurigaan.
8.3.
Reinterpretasi: Menuju Politik
Substansial
Kritik
terhadap politik pencitraan membuka peluang untuk reinterpretasi. Pertama,
perlu ditekankan pentingnya evidence-based policy. Kebijakan
publik harus dirumuskan berdasarkan data empiris, riset akademik, serta
konsultasi dengan pemangku kepentingan, bukan semata-mata kalkulasi
pencitraan.¹⁰ Dengan cara ini, kebijakan dapat menjawab persoalan struktural seperti
ketimpangan sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Kedua,
peran media independen dan kritis sangat penting. Media harus berfungsi sebagai
watchdog
demokrasi, tidak sekadar menjadi saluran propaganda atau hiburan politik.¹¹ Jurnalisme
investigatif yang kuat dapat membantu membongkar ketidaksesuaian antara janji
politik dan realitas kebijakan.
Ketiga,
literasi digital publik perlu diperkuat agar masyarakat mampu membedakan antara
pencitraan simbolis dan kebijakan substantif.¹² Pendidikan politik yang kritis
dapat mengubah warga dari sekadar penonton pasif menjadi aktor aktif dalam demokrasi.
8.4.
Reinterpretasi Populisme: Dari
Eksklusif ke Inklusif
Populisme
tidak harus selalu dipahami dalam bentuk eksklusif dan polarisatif. Ernesto
Laclau berargumen bahwa populisme dapat berfungsi sebagai logika artikulasi
politik yang menyatukan berbagai tuntutan rakyat ke dalam proyek hegemonik.¹³
Dalam konteks ini, reinterpretasi populisme dapat diarahkan ke bentuk yang lebih inklusif, dengan menekankan
partisipasi publik yang luas dan memperjuangkan
keadilan sosial.
Konsep
“populisme inklusif” ini dapat menjadi jalan tengah: memanfaatkan
kekuatan simbol dan kedekatan emosional untuk membangun legitimasi, tetapi
tetap diarahkan pada perumusan kebijakan struktural yang berpihak pada
kepentingan rakyat.¹⁴
Kesimpulan
Sementara
Kritik
terhadap politik pencitraan, peran media, dan buzzer menunjukkan betapa
rapuhnya demokrasi kontemporer jika hanya bertumpu pada logika sorotan visual. Namun,
reinterpretasi yang menekankan politik berbasis bukti, media kritis, literasi
digital, dan populisme inklusif dapat membuka jalan menuju demokrasi yang lebih
substantif. Dengan demikian, alih-alih menolak populisme secara total,
tantangan utamanya adalah bagaimana mengarahkan energi populis ke dalam
kerangka kebijakan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Footnotes
[1]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 27–29.
[2]
Colin Hay, Why We Hate Politics (Cambridge:
Polity, 2007), 44–46.
[3]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism:
Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford
University Press, 2016), 129–31.
[4]
Paul Cairney, The Politics of Evidence-Based
Policy Making (London: Palgrave Macmillan, 2016), 2–4.
[5]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 61–63.
[6]
Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn and
Indonesia’s Democratic Decline,” Bulletin of Indonesian Economic Studies
54, no. 3 (2018): 310–12.
[7]
Robert McChesney, Rich Media, Poor Democracy:
Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 1999),
112–15.
[8]
José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The
Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 70–72.
[9]
Australian Strategic Policy Institute, Cyber
Troops, Online Manipulation of Public Opinion, and the Future of Democracy in
Indonesia, Policy Paper (Canberra: ASPI, 2019), 8–10.
[10]
Paul Cairney and Kathryn Oliver, “Evidence-Based
Policy Making: The Illusion of a Straightforward Solution,” Political
Studies Review 15, no. 3 (2017): 316–17.
[11]
James Curran, Media and Power (London:
Routledge, 2002), 219–21.
[12]
Sonia Livingstone, Media Literacy and the
Challenge of New Information and Communication Technologies (London:
London School of Economics, 2004), 12–15.
[13]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 67–70.
[14]
Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion,
Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 134–36.
9.
Relevansi dan Tantangan Kontemporer
9.1.
Politik Pencitraan dalam Konteks
Global
Politik
pencitraan dan populisme digital bukan hanya fenomena lokal, tetapi bagian dari
tren global yang menunjukkan bagaimana demokrasi kontemporer beradaptasi dengan logika media
baru. Fenomena Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, Narendra Modi di India, dan Rodrigo
Duterte di Filipina memperlihatkan pola serupa: pemimpin politik mengandalkan
media sosial untuk membangun citra, menyampaikan pesan langsung, serta melewati
filter media tradisional.¹
Dalam
konteks global, populisme digital tetap relevan karena mencerminkan krisis
representasi politik. Ketika partai politik dianggap gagal menjadi saluran
aspirasi, pemimpin populis menggunakan media sosial untuk menampilkan diri
sebagai figur
“anti-establishment” yang berbicara langsung kepada rakyat.² Namun, strategi ini
juga menimbulkan risiko global berupa penyebaran disinformasi, meningkatnya
polarisasi sosial, serta melemahnya norma demokrasi deliberatif.³
9.2.
Relevansi di Indonesia
Indonesia
menempati posisi unik dalam fenomena ini. Dengan jumlah pengguna internet lebih
dari 200 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan populasi digital
terbesar di dunia.⁴ Hal ini menjadikan media sosial sebagai arena utama politik
kontemporer, baik dalam kontestasi elektoral maupun dalam menjaga legitimasi
pemerintahan.
Fenomena
blusukan,
branding kartu sosial, serta viralitas program-program populer menunjukkan bahwa strategi pencitraan
tidak hanya menjadi alat kampanye, tetapi juga bagian integral dari tata kelola
politik.⁵ Namun, implikasinya adalah kebijakan publik rentan disesuaikan dengan
logika viralitas ketimbang kebutuhan struktural masyarakat.
Selain
itu, keberadaan buzzer mempertegas tantangan bagi demokrasi Indonesia. Studi
Merlyna Lim menunjukkan bahwa buzzer berperan dalam menciptakan “enklave
algoritmik” yang memperkuat polarisasi politik berbasis identitas.⁶ Pemilu 2019 memperlihatkan dampak
langsungnya, ketika kontestasi elektoral berubah menjadi ajang pertempuran
narasi digital yang membelah masyarakat dalam jangka panjang.
9.3.
Tantangan terhadap Demokrasi Substantif
Fenomena
politik pencitraan menghadirkan sejumlah tantangan kontemporer. Pertama, tantangan
epistemik, yakni bagaimana publik dapat membedakan antara
informasi faktual dan pencitraan semu di tengah banjir informasi digital.⁷
Kedua, tantangan
institusional, ketika partai politik dan parlemen semakin kehilangan peran dalam
membangun program substantif, tergantikan oleh figur populis yang berorientasi
pada personal branding.⁸ Ketiga, tantangan normatif, yaitu
risiko bahwa demokrasi direduksi menjadi prosedur elektoral tanpa isi
deliberatif, sehingga berpotensi melahirkan otoritarianisme elektoral.⁹
9.4.
Peluang Reinterpretasi
Meskipun
penuh tantangan, fenomena ini juga membuka peluang untuk merevitalisasi
demokrasi. Pertama, media sosial dapat menjadi ruang untuk memperkuat
transparansi dan akuntabilitas jika digunakan secara etis oleh pemerintah
maupun masyarakat
sipil.¹⁰ Kedua, literasi digital yang ditingkatkan dapat mengubah warga dari
konsumen pasif konten politik menjadi aktor kritis yang menuntut substansi
kebijakan.¹¹ Ketiga, populisme inklusif dapat diarahkan untuk memperjuangkan
isu-isu sosial seperti kesetaraan, lingkungan, dan keadilan gender, alih-alih
sekadar mobilisasi emosi identitas.¹²
Kesimpulan
Sementara
Relevansi
politik pencitraan pada era kontemporer tidak dapat dipungkiri: ia menjadi
instrumen dominan dalam komunikasi politik global maupun nasional. Namun,
tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa logika sorotan visual tidak sepenuhnya
menggantikan substansi demokrasi. Masa depan demokrasi Indonesia—dan
dunia—bergantung pada kemampuan institusi, media, dan masyarakat sipil untuk
mengubah politik pencitraan menjadi politik yang substantif, inklusif, dan
berorientasi pada kepentingan jangka panjang rakyat.
Footnotes
[1]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism:
Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford
University Press, 2016), 97–100.
[2]
Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 80–82.
[3]
Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from
Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York:
Penguin, 2019), 45–48.
[4]
We Are Social, Digital 2023: Indonesia, January 2023.
[5]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 141–43.
[6]
Merlyna Lim, “Freedom to Hate: Social Media,
Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia,” Critical
Asian Studies 49, no. 3 (2017): 413–16.
[7]
José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The
Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 68–70.
[8]
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation:
Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization
19, no. 2 (2012): 212–14.
[9]
Thomas Carothers, “The End of the Transition
Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 6–9.
[10]
Bruce Bimber, Information and American Democracy:
Technology in the Evolution of Political Power (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 220–23.
[11]
Sonia Livingstone, Media Literacy and the
Challenge of New Information and Communication Technologies (London:
London School of Economics, 2004), 12–15.
[12]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 71–74.
10.
Sintesis dan Refleksi Filosofis
10.1.
Paradoks Politik Modern: Antara
Panggung dan Realitas
Analisis
atas fenomena pencitraan, gimmick, dan buzzer politik menunjukkan paradoks
mendasar dalam demokrasi kontemporer. Politik, yang secara klasik dipahami
sebagai seni mengelola polis (kota/negara), kini lebih sering dipraktikkan
sebagai seni mengelola sorotan.¹ Jika Aristoteles menekankan bahwa politik bertujuan
mewujudkan eudaimonia—kebaikan
tertinggi bagi warga negara²—maka politik modern cenderung bergerak ke arah
estetika performatif yang lebih berfokus pada persepsi publik dibandingkan
kesejahteraan substantif. Paradoks ini memperlihatkan ketegangan antara politik
sebagai seni pemerintahan substantif dan politik sebagai seni pertunjukan.
10.2.
Refleksi Etis: Integritas dan
Kejujuran Politik
Dari
perspektif etika politik, politik pencitraan menimbulkan persoalan serius
terkait integritas dan kejujuran. Pemimpin yang mengutamakan gimmick dan
pencitraan cenderung menggunakan simbol-simbol untuk memobilisasi dukungan tanpa
komitmen penuh terhadap implementasi kebijakan.³ Hannah Arendt mengingatkan
bahwa politik seharusnya bertumpu pada ruang publik yang jujur dan terbuka, di
mana kebenaran faktual menjadi fondasi diskursus bersama.⁴ Namun, dominasi
buzzer dan algoritma media sosial justru memperbanyak disinformasi yang merusak
kualitas ruang publik.
Dalam
kerangka filsafat moral Kant, hal ini dapat dipahami sebagai pelanggaran
terhadap imperatif kategoris yang menuntut pemimpin bertindak dengan niat baik
(good
will), bukan sekadar sarana instrumental untuk mencapai kekuasaan.⁵
Politik pencitraan, ketika melupakan dimensi moral ini, berisiko jatuh pada
praktik manipulatif yang mereduksi manusia menjadi objek konsumsi citra.
10.3.
Refleksi Epistemologis: Politik,
Pengetahuan, dan Kebenaran
Politik
pencitraan juga menimbulkan krisis epistemologis. Ketika citra lebih dipercaya
daripada fakta, maka realitas politik dibentuk bukan oleh data dan bukti,
melainkan oleh narasi yang berhasil viral.⁶ Jean Baudrillard menyebut fenomena
ini sebagai simulacra—realitas semu yang menggantikan realitas nyata.⁷ Dalam konteks
politik, simulacra
tercermin pada janji, slogan, dan aksi teatrikal yang seolah-olah merupakan
kebijakan, padahal substansinya lemah.
Refleksi
ini penting karena demokrasi mensyaratkan adanya ruang publik yang rasional, di
mana warga dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Jika
ruang publik dikuasai oleh citra dan manipulasi digital, maka kualitas
demokrasi akan semakin terdegradasi.⁸
10.4.
Refleksi Ontologis: Politik sebagai
Representasi
Pertanyaan
ontologis tentang “apa itu politik” kembali relevan dalam konteks pencitraan.
Apakah politik adalah representasi kepentingan rakyat, ataukah sekadar
representasi simbolis yang berfungsi di panggung media? Ernesto Laclau
berargumen bahwa populisme merupakan logika representasi politik yang tidak
bisa dihindari, karena rakyat selalu hadir sebagai konstruksi diskursif.⁹
Namun, representasi yang terlalu menekankan simbol tanpa kebijakan konkret
berisiko mengosongkan makna substantif dari demokrasi.
Dengan
demikian, refleksi ontologis menuntut reinterpretasi politik sebagai seni yang
tidak hanya merepresentasikan citra, tetapi juga merepresentasikan kebutuhan nyata masyarakat.¹⁰
Politik seharusnya bukan hanya politics of performance, melainkan
juga politics
of responsibility.
10.5.
Sintesis: Menuju Demokrasi
Substantif
Dari
refleksi filosofis di atas, dapat disintesiskan bahwa tantangan utama demokrasi
kontemporer bukan sekadar munculnya politik pencitraan, melainkan hilangnya
keseimbangan antara panggung dan substansi. Politik membutuhkan simbol, karena
simbol memudahkan komunikasi dengan publik. Namun, simbol seharusnya menjadi
jembatan menuju substansi, bukan pengganti substansi.
Dengan
mengembalikan politik pada orientasi Aristotelian tentang kebaikan bersama,
memulihkan ruang publik Arendtian yang jujur, serta menegakkan etika Kantian
tentang niat baik, demokrasi dapat diarahkan kembali ke jalurnya.¹¹
Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem politik dan budaya publik yang
tidak hanya terpesona oleh sorotan, tetapi juga menuntut substansi kebijakan
yang nyata.
Kesimpulan
Sementara
Politik
pencitraan memperlihatkan wajah paradoks demokrasi modern: ia sekaligus alat
untuk memperkuat legitimasi sekaligus ancaman terhadap substansi demokrasi.
Refleksi filosofis menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada logika
pertunjukan, tetapi harus kembali pada hakikatnya sebagai seni mengelola polis
demi kebaikan bersama.
Footnotes
[1]
Murray Edelman, Constructing the Political
Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 9–12.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord
(Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253a.
[3]
Colin Hay, Why We Hate Politics (Cambridge:
Polity, 2007), 46–48.
[4]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 219–21.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
31–34.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 211–14.
[7]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
[8]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of
the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1991), 181–83.
[9]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 154–56.
[10]
Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion,
Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 128–30.
[11]
Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from
Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York:
Penguin, 2019), 87–90.
11.
Penutup
11.1.
Ringkasan Temuan
Artikel
ini telah menelusuri fenomena politik pencitraan dalam kaitannya dengan populisme, media, dan demokrasi
kontemporer. Dari sejarah awal populisme melalui radio Roosevelt, televisi
Kennedy, ikonografi Perón, hingga media sosial yang dimanfaatkan Trump,
Duterte, dan Jokowi, terlihat jelas bahwa perkembangan teknologi komunikasi
senantiasa menjadi katalisator transformasi politik.¹
Politik
pencitraan dan gimmick terbukti efektif dalam membangun legitimasi populis,
namun sering kali mengabaikan substansi kebijakan. Program sosial yang dikemas
dalam bentuk
visual, aksi blusukan, atau slogan sederhana
menjadi bukti bagaimana kebijakan publik direduksi menjadi properti panggung
politik.² Kehadiran buzzer memperkuat tren ini dengan mengendalikan narasi
digital, memanipulasi opini, dan memperlebar polarisasi sosial.³
11.2.
Implikasi Demokrasi dan Kebijakan
Publik
Fenomena
tersebut membawa dampak ganda. Di satu sisi, ia membuka ruang partisipasi
publik yang lebih luas dan instan, memungkinkan komunikasi langsung antara
pemimpin dan rakyat.⁴ Namun, di sisi lain, ia menimbulkan degradasi demokrasi:
partisipasi publik direduksi menjadi keterlibatan emosional sesaat, kebijakan
publik dikemas demi sorotan, dan relasi rakyat-pemimpin bergeser dari kontrak
sosial menjadi transaksi singkat.⁵
Polarisasi
sosial yang semakin tajam serta melemahnya akuntabilitas menandakan bahwa
demokrasi kontemporer tengah menghadapi risiko menjadi prosedural belaka.⁶
11.3.
Jalan ke Depan: Politik Substansial
dan Demokrasi Inklusif
Meskipun
demikian, kritik terhadap politik pencitraan tidak berarti menolak peran simbol
dalam politik. Simbol tetap penting sebagai sarana komunikasi, tetapi simbol
harus diarahkan pada substansi. Dengan memperkuat evidence-based policy, mendukung
media kritis, meningkatkan literasi digital publik, serta mendorong populisme
inklusif, demokrasi dapat diselamatkan dari jebakan politik permukaan.⁷
Refleksi
filosofis mengingatkan bahwa politik pada akhirnya adalah seni mengelola polis
demi kebaikan bersama, bukan sekadar seni mengelola sorotan. Seperti ditekankan
Aristoteles, tujuan politik adalah mewujudkan eudaimonia—kesejahteraan bersama—bukan hanya penciptaan
citra sesaat.⁸
Penutup
Dengan
demikian, artikel ini menegaskan bahwa politik pencitraan adalah realitas tak
terhindarkan dalam era digital, tetapi dampaknya harus terus dikritisi dan diarahkan.
Demokrasi Indonesia—dan dunia—akan rapuh bila hanya dipandu oleh logika
viralitas. Tugas intelektual, media, dan masyarakat sipil adalah menjaga agar
sorotan tidak menggantikan substansi, agar gimmick tidak menggantikan
kebijakan, dan agar panggung politik tetap berakar pada tanggung jawab moral
pemimpin untuk menyejahterakan rakyat.⁹
Footnotes
[1]
David Greenberg, Republic of Spin: An Inside
History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–15.
[2]
Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs,
Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield,
2017), 141–43.
[3]
Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of
Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News
Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3
(2018): 330–32.
[4]
Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope:
Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity, 2012), 18–20.
[5]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT
Press, 1996), 305–08.
[6]
Freedom House, Freedom in the World 2021:
Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.
[7]
Paul Cairney, The Politics of Evidence-Based
Policy Making (London: Palgrave Macmillan, 2016), 3–5.
[8]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord
(Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253a.
[9]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 219–21.
Daftar
Pustaka
Arendt, H.
(1958). The human condition. Chicago: University of Chicago Press.
Aristotle.
(2013). Politics (C. Lord, Trans.). Chicago: University of Chicago
Press.
Aspinall,
E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections,
clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Australian
National University. (2020). The politics of social protection in Indonesia.
ANU Policy Paper.
Australian
Strategic Policy Institute. (2019). Cyber troops, online manipulation of
public opinion, and the future of democracy in Indonesia. Canberra: ASPI.
Baudrillard,
J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). Ann Arbor:
University of Michigan Press.
BBC News.
(2014). Jokowi: From furniture seller to president. Retrieved from BBC.
Bimber, B.
(2003). Information and American democracy: Technology in the evolution of
political power. Cambridge: Cambridge University Press.
Bump, P.
(2021, January). Trump’s border wall: How much has been built during his term? The
Washington Post.
Cairney,
P. (2016). The politics of evidence-based policy making. London:
Palgrave Macmillan.
Cairney,
P., & Oliver, K. (2017). Evidence-based policy making: The illusion of a
straightforward solution. Political Studies Review, 15(3), 316–327.
Carothers,
T. (2002). The end of the transition paradigm. Journal of Democracy, 13(1),
5–21.
Castells,
M. (2012). Networks of outrage and hope: Social movements in the internet
age. Cambridge: Polity.
Creel, G.
(1920). How we advertised America: The first telling of the amazing story
of the Committee on Public Information that carried the gospel of Americanism
to every corner of the globe. New York: Harper & Brothers.
Curran, J.
(2002). Media and power. London: Routledge.
Curato, N.
(2017). Flirting with authoritarian fantasies: Rodrigo Duterte and the new
terms of Philippine populism. Singapore: NUS Press.
Diamond,
L. (2019). Ill winds: Saving democracy from Russian rage, Chinese ambition,
and American complacency. New York: Penguin.
DiResta,
R., et al. (2019). The tactics & tropes of the Internet Research Agency.
New York: New Knowledge.
Edelman,
M. (1988). Constructing the political spectacle. Chicago: University
of Chicago Press.
Ellner, S.
(2006). Hugo Chávez’s “participatory democracy”: Origins, dimensions, and
contradictions. Latin American Perspectives, 33(2), 49–62.
Entman, R.
M. (1993). Framing: Toward clarification of a fractured paradigm. Journal
of Communication, 43(4), 51–58.
Freedom
House. (2021). Freedom in the world 2021: Democracy under siege.
Washington, DC: Freedom House.
Greenberg,
D. (2016). Republic of spin: An inside history of the American presidency.
New York: W.W. Norton.
Habermas,
J. (1991). The structural transformation of the public sphere.
Cambridge: MIT Press.
Habermas,
J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of
law and democracy. Cambridge: MIT Press.
Harriss,
J. (2000). The depoliticization of development. Journal of Development
Studies, 36(6), 1–12.
Hay, C.
(2007). Why we hate politics. Cambridge: Polity.
Hedges, J.
(2016). Evita: The life of Eva Perón. London: Tauris.
Howard, P.
N. (2006). New media campaigns and the managed citizen. Cambridge: Cambridge
University Press.
Howard, P.
N., & Hussain, M. M. (2013). Democracy’s fourth wave? Digital media and
the Arab Spring. Oxford: Oxford University Press.
Howard, P.
N., & Kollanyi, B. (2017). Bots, #StrongerIn, and #Brexit: Computational
propaganda during the UK-EU referendum. Political Communication, 34(2),
211–227.
Human
Rights Watch. (2017). License to kill: Philippine police killings in
Duterte’s “war on drugs”. New York: HRW.
Jones, T.
(2003). The dark heart of Italy. London: Faber & Faber.
Kant, I.
(1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Kreiss, D.
(2012). Taking our country back: The crafting of networked politics from
Howard Dean to Barack Obama. Oxford: Oxford University Press.
Laclau, E.
(2005). On populist reason. London: Verso.
Lees-Marshment,
J. (2001). Political marketing and British political parties: The party’s
just begun. Manchester: Manchester University Press.
Lim, M.
(2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of
tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3),
411–427.
Livingstone,
S. (2004). Media literacy and the challenge of new information and
communication technologies. London: London School of Economics.
McChesney,
R. (1999). Rich media, poor democracy: Communication politics in dubious
times. New York: The New Press.
McCombs,
M. E., & Shaw, D. L. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public
Opinion Quarterly, 36(2), 176–187.
Mietzner,
M. (2012). Indonesia’s democratic stagnation: Anti-reformist elites and
resilient civil society. Democratization, 19(2), 209–229.
Moffitt,
B. (2016). The global rise of populism: Performance, political style, and
representation. Stanford: Stanford University Press.
Mudde, C.,
& Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction.
Oxford: Oxford University Press.
Oborne, P.
(2005). The rise of political lying. London: Free Press.
Ong, J.
C., & Cabañes, J. (2018). Architects of networked disinformation: Behind
the scenes of troll accounts and fake news production in the Philippines. Critical
Asian Studies, 50(3), 323–347.
Oxford
Internet Institute. (2020). Industrialized disinformation: 2020 global
inventory of organized social media manipulation. Oxford: OII.
Papacharissi,
Z. (2010). A private sphere: Democracy in a digital age. Cambridge:
Polity.
Plotkin,
M. B. (2003). Mañana es San Perón: A cultural history of Peronism in
Argentina. Wilmington: SR Books.
Power, T.
(2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338.
Rappler.
(2016). Propaganda war: Weaponizing the internet. Retrieved from rappler.
Scacco, J.
M., & Coe, K. (2021). The ubiquitous presidency: Presidential
communication and digital democracy in tumultuous times. Oxford: Oxford
University Press.
Stille, A.
(2002, April). Berlusconi’s shadow. The New Yorker.
Tapsell,
R. (2017). Media power in Indonesia: Oligarchs, citizens and the digital
revolution. Lanham: Rowman & Littlefield.
Tempo.
(2019, July). Ridwan Kamil dan politik gaya milenial. Tempo.
The
Economist. (2020, March 14). Governing by headline. The Economist.
The
Intercept. (2019). Indonesia’s cyber army: The government paid buzzers.
Retrieved from theintercept.
The New
York Times. (1960, October 21). 70 million saw Kennedy-Nixon debate. The
New York Times.
The New
York Times. (2016, December 7). They are slaughtering us like animals. The
New York Times.
UNESCO.
(2019). Global education monitoring report 2019: Migration, displacement
and education. Paris: UNESCO.
Urbinati,
N. (2014). Democracy disfigured: Opinion, truth, and the people.
Cambridge: Harvard University Press.
van Dijck,
J., Poell, T., & de Waal, M. (2018). The platform society: Public
values in a connective world. Oxford: Oxford University Press.
Welch, D.
(1983). Propaganda and the German cinema, 1933–1945. Oxford: Oxford
University Press.
White, T.
H. (1961). The making of the president 1960. New York: Atheneum.
World
Health Organization. (2020). World health statistics 2020. Geneva:
WHO.
Zuboff, S.
(2019). The age of surveillance capitalism. New York: PublicAffairs.
We Are
Social. (2023, January). Digital 2023: Indonesia. Retrieved from wearesocial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar