Selasa, 16 September 2025

Sorotan, Pencitraan, dan Realita Politik: Kajian Populisme, Media, dan Krisis Demokrasi Kontemporer

Sorotan, Pencitraan, dan Realita Politik

Kajian Populisme, Media, dan Krisis Demokrasi Kontemporer


Alihkan ke: Populisme.

Kajian Teori tehadap Vodeo: Kamar Film, Subtitle Video.


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena politik pencitraan dalam kaitannya dengan populisme, media, dan krisis demokrasi kontemporer. Melalui pendekatan historis, konseptual, dan analitis, tulisan ini menelusuri bagaimana perkembangan media—dari radio Roosevelt, televisi Kennedy, ikonografi Perón, hingga media sosial era Trump, Duterte, dan Jokowi—telah membentuk pola baru politik berbasis citra dan simbol. Fenomena gimmick politik seperti blusukan, program kartu sosial, serta retorika populis sederhana memperlihatkan bagaimana kebijakan publik sering direduksi menjadi pertunjukan visual. Kehadiran buzzer digital semakin memperkuat tren ini dengan memproduksi, mendistribusikan, dan mempertahankan narasi politik di ruang maya, sekaligus memicu polarisasi sosial.

Dampak dari politik pencitraan meliputi degradasi demokrasi substantif, melemahnya akuntabilitas publik, serta pergeseran relasi rakyat dan pemimpin dari kontrak sosial menuju transaksi singkat berbasis persepsi citra. Meski demikian, artikel ini juga menekankan peluang reinterpretasi: perlunya evidence-based policy, penguatan media independen, peningkatan literasi digital, serta kemungkinan membangun populisme inklusif yang berorientasi pada keadilan sosial. Dengan refleksi filosofis dari Aristoteles, Arendt, Kant, hingga Laclau, artikel ini menyimpulkan bahwa politik modern tidak boleh berhenti pada logika sorotan visual, tetapi harus kembali pada hakikatnya sebagai seni mengelola polis demi kebaikan bersama (eudaimonia).

Kata Kunci: Populisme, politik pencitraan, media sosial, gimmick politik, buzzer, demokrasi, disinformasi, kebijakan publik, filsafat politik.


PEMBAHASAN

Kajian Populisme, Media, dan Krisis Demokrasi Kontemporer


1.          Pendahuluan

Fenomena politik kontemporer, baik di tingkat global maupun lokal, memperlihatkan kecenderungan yang semakin kuat menuju politik pencitraan ketimbang politik gagasan. Panggung demokrasi yang sejatinya dimaksudkan sebagai arena pertarungan ide dan perumusan kebijakan publik, kini sering kali berubah menjadi ajang pertunjukan visual yang dipenuhi gimmick, slogan, dan simbol-simbol instan.¹ Pemimpin politik tidak hanya dinilai dari sejauh mana mereka merancang kebijakan yang berdampak struktural, melainkan dari seberapa efektif mereka mengelola citra di hadapan publik melalui media massa dan media sosial.²

Dalam konteks ini, populisme menjadi salah satu gaya politik yang paling menonjol. Populisme secara sederhana dapat dipahami sebagai strategi politik yang membagi masyarakat ke dalam dikotomi “rakyat murni” versus “elit korup,” di mana seorang pemimpin memposisikan dirinya sebagai representasi langsung rakyat.³ Strategi ini memiliki daya tarik emosional yang besar, terutama ketika difasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi. Dari Roosevelt dengan Fireside Chats di era radio, Kennedy yang tampil telegenik dalam debat televisi tahun 1960, hingga Trump dan Duterte yang memanfaatkan media sosial secara agresif, pola yang sama terlihat: kekuatan citra dan simbol sering kali lebih menentukan ketimbang isi kebijakan.⁴

Indonesia pun tidak lepas dari arus besar ini. Sejak era reformasi 1998, media menjadi semakin plural dan kompetitif, membuka ruang bagi praktik pencitraan politik yang intensif. Joko Widodo, misalnya, dikenal dengan strategi blusukan yang efektif membangun citra sebagai pemimpin merakyat, sementara Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi mengemas politik dalam format konten media sosial yang kreatif dan teatrikal.⁵ Program-program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia Sehat juga dikritik karena selain memiliki nilai sosial, ia dikemas dengan dimensi komunikasi yang kuat agar mudah dikenali publik.⁶ Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak lagi berdiri sendiri sebagai upaya teknokratis, melainkan sekaligus diposisikan sebagai properti panggung politik.

Permasalahan mendasar dari politik pencitraan terletak pada degradasi substansi demokrasi. Politik yang seharusnya berbasis pada argumentasi rasional dan kebijakan berkelanjutan justru terjebak pada “governing by headline” – pemerintahan yang bekerja untuk menghasilkan berita utama alih-alih membangun solusi jangka panjang.⁷ Dalam jangka panjang, hal ini berisiko melahirkan demokrasi prosedural yang tampak stabil secara elektoral, tetapi rapuh secara substansial.⁸ Pemilu tetap berlangsung rutin, namun kualitas gagasan, akuntabilitas, dan perdebatan publik semakin memudar.

Bertolak dari latar belakang tersebut, artikel ini bermaksud untuk mengkaji fenomena sorotan, pencitraan, dan janji kosong dalam realita politik kontemporer, dengan menyoroti relasi antara populisme, media, dan krisis demokrasi. Pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah: bagaimana media dan strategi populisme membentuk politik pencitraan di Indonesia dan dunia? Apa implikasi dari fenomena ini terhadap kualitas demokrasi dan kebijakan publik? Kajian ini penting karena pemahaman kritis terhadap dinamika politik pencitraan dapat menjadi dasar untuk membangun kembali politik yang lebih substantif, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.


Footnotes

[1]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 5–7.

[2]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 142–45.

[3]                Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–9.

[4]                David Greenberg, Republic of Spin: An Inside History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–15.

[5]                BBC News, “Jokowi: From Furniture Seller to President,” 2014.

[6]                Australian National University, “The Politics of Social Protection in Indonesia,” ANU Policy Paper, 2020.

[7]                The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.

[8]                Freedom House, Freedom in the World 2021: Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.


2.          Landasan Konseptual: Populisme dan Politik Pencitraan

2.1.      Populisme: Definisi dan Karakteristik

Populisme adalah salah satu istilah paling sering digunakan dalam kajian politik kontemporer, tetapi juga merupakan konsep yang sering diperdebatkan. Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai sebuah thin-centered ideology yang membagi masyarakat ke dalam dua kubu antagonistik: “rakyat murni” versus “elit korup,” serta menekankan bahwa politik harus mengekspresikan kehendak umum rakyat.¹ Populisme bersifat fleksibel karena tidak menawarkan kerangka ideologis yang utuh seperti sosialisme atau liberalisme, melainkan lebih sebagai strategi atau gaya retorika yang bisa dipadukan dengan ideologi lain.²

Ciri khas populisme terletak pada narasi simplifikatif dan emosional. Pemimpin populis cenderung menggunakan simbol, slogan, dan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak luas.³ Mereka memposisikan diri sebagai “juru bicara rakyat kecil” yang melawan elit politik, ekonomi, atau global yang dianggap mengkhianati kepentingan nasional. Dalam konteks ini, populisme tidak sekadar fenomena politik elektoral, tetapi juga strategi komunikasi yang berakar pada kebutuhan menciptakan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat.

2.2.      Politik Pencitraan dan Political Branding

Fenomena politik pencitraan dapat dipahami melalui kerangka political branding. Menurut Jennifer Lees-Marshment, political branding merupakan upaya sistematis untuk membentuk citra politisi atau partai politik sebagaimana produk komersial dipasarkan kepada konsumen.⁴ Branding politik mencakup simbol, gaya komunikasi, gestur, bahkan narasi visual yang dirancang untuk memengaruhi persepsi publik.

Murray Edelman menekankan bahwa politik modern sering kali tampil sebagai “pertunjukan” (politics as performance), di mana makna politik dibentuk lebih oleh persepsi publik ketimbang substansi kebijakan.⁵ Dalam kerangka ini, politik pencitraan tidak hanya menyangkut komunikasi eksternal, tetapi juga cara kebijakan publik dirancang agar tampak sesuai dengan narasi visual tertentu. Contoh konkret dapat ditemukan dalam praktik blusukan di Indonesia atau dalam janji pembangunan tembok perbatasan oleh Donald Trump, yang lebih kuat secara simbolik dibandingkan implementasi kebijakan itu sendiri.

2.3.      Teori Komunikasi Politik: Framing, Agenda Setting, dan Spin

Untuk memahami dinamika politik pencitraan, perlu digunakan kerangka teori komunikasi politik. Pertama, teori framing menjelaskan bagaimana media dan aktor politik membingkai suatu isu dengan sudut pandang tertentu untuk memengaruhi opini publik.⁶ Misalnya, aksi seorang pejabat memberikan bantuan langsung dapat dibingkai sebagai bukti kepedulian, meskipun secara substansi tidak menyentuh akar masalah kemiskinan.

Kedua, agenda setting theory menegaskan bahwa media tidak hanya memberi informasi kepada publik, tetapi juga menentukan isu apa yang dianggap penting.⁷ Dalam konteks politik pencitraan, isu-isu yang mudah divisualisasikan lebih sering mendapat sorotan dibandingkan persoalan struktural yang rumit.

Ketiga, spin doctoring adalah strategi aktor politik untuk mengendalikan narasi melalui manipulasi pesan, seleksi fakta, dan penciptaan simbol.⁸ Spin doctor sering berperan sebagai arsitek komunikasi politik, memastikan bahwa setiap tindakan atau kebijakan dipersepsikan positif oleh publik. Kehadiran buzzer di era digital memperluas praktik ini, dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat pesan dan menekan kritik.

2.4.      Sintesis Konseptual

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa populisme dan politik pencitraan saling berkaitan erat. Populisme menyediakan kerangka retoris sederhana – rakyat versus elit – sementara politik pencitraan menyediakan perangkat visual dan simbolik untuk mewujudkan narasi tersebut di ruang publik. Media, baik konvensional maupun digital, berperan sebagai panggung utama yang memungkinkan kedua konsep ini beroperasi secara efektif. Dengan demikian, analisis fenomena politik kontemporer perlu memadukan teori populisme dengan kajian komunikasi politik agar dapat menjelaskan mengapa politik modern sering kali lebih menekankan sorotan dan citra dibandingkan substansi kebijakan.


Footnotes

[1]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–9.

[2]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 34–36.

[3]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 28–30.

[4]                Jennifer Lees-Marshment, Political Marketing and British Political Parties: The Party’s Just Begun (Manchester: Manchester University Press, 2001), 12–15.

[5]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 9–12.

[6]                Robert M. Entman, “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm,” Journal of Communication 43, no. 4 (1993): 51–58.

[7]                Maxwell E. McCombs and Donald L. Shaw, “The Agenda-Setting Function of Mass Media,” Public Opinion Quarterly 36, no. 2 (1972): 176–87.

[8]                Peter Oborne, The Rise of Political Lying (London: Free Press, 2005), 21–23.


3.          Sejarah Populisme dan Media

3.1.      Era Radio: Intimasi Politik Awal

Kemunculan populisme modern tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi komunikasi. Pada dekade 1930-an, Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, memanfaatkan radio sebagai sarana untuk membangun kedekatan emosional dengan rakyat melalui Fireside Chats. Suara Roosevelt yang tenang memberi kesan seolah-olah ia hadir langsung di ruang keluarga warga Amerika.¹ Dengan cara ini, media radio menjadi instrumen politik populis awal yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi emosional dan keintiman antara pemimpin dan rakyat.

Namun, radio memiliki keterbatasan karena hanya mengandalkan suara. Ia mampu menciptakan keintiman tetapi tidak membangun citra visual.² Keterbatasan inilah yang kemudian dilampaui oleh televisi pada pertengahan abad ke-20.

3.2.      Era Televisi: Politik Telegenik

Televisi membawa populisme pada dimensi baru dengan mengutamakan visual. Debat televisi pertama antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada pemilihan presiden AS tahun 1960 menjadi titik balik sejarah politik modern.³ Kennedy tampil segar, fotogenik, dan percaya diri, sementara Nixon tampak pucat dan gugup.⁴ Fakta menarik, mereka yang mendengar debat melalui radio menilai Nixon lebih unggul dalam argumentasi, tetapi mereka yang menontonnya melalui televisi mayoritas menilai Kennedy sebagai pemenang.⁵ Peristiwa ini menandai lahirnya era politik telegenik, di mana citra visual dan gestur tubuh menjadi sama pentingnya, bahkan lebih menentukan, dibandingkan substansi argumen.

Era ini memperlihatkan bahwa media visual tidak hanya menyampaikan pesan politik, tetapi juga membentuk persepsi kepemimpinan melalui estetika tubuh, bahasa non-verbal, dan daya tarik personal.

3.3.      Era Ikonografi Politik: Peronisme dan Propaganda Visual

Jika radio dan televisi menjadi medium komunikasi politik di Amerika Serikat, di Amerika Latin populisme menemukan bentuknya melalui ikonografi politik. Juan dan Eva Perón di Argentina memanfaatkan film dokumenter, foto, dan media cetak untuk membangun citra pro-rakyat.⁶ Eva “Evita” Perón, misalnya, sengaja difoto saat mengunjungi rumah sakit atau memeluk anak-anak miskin.⁷ Hasil visual yang dirancang itu disebarluaskan melalui surat kabar dan bioskop sehingga menciptakan propaganda visual yang melekat dalam memori kolektif rakyat Argentina.

Praktik ini menandai lahirnya “politik sebagai tontonan,” di mana visualitas menjadi instrumen utama untuk mengikat emosi massa.⁸

3.4.      Era Televisi Swasta dan Reality Show

Perkembangan televisi satelit dan swasta pada dekade 1980–1990-an mempercepat populisme dalam format hiburan. Silvio Berlusconi di Italia adalah contoh ekstrem, karena ia membangun kerajaan media Fininvest sebelum masuk ke politik.⁹ Dengan menguasai jaringan televisi, ia tidak hanya mempromosikan citranya, tetapi juga menghapus liputan negatif dan menampilkan kampanye dalam format yang menyerupai acara hiburan.¹⁰

Di Venezuela, Hugo Chávez memanfaatkan acara televisi Aló Presidente untuk berbicara langsung kepada rakyat. Ia menjadikan politik sebagai reality show interaktif, berbicara hingga enam jam tanpa naskah, bahkan memanggil menteri secara langsung untuk mengeksekusi kebijakan di hadapan publik.¹¹ Televisi menjadikan Chávez bukan hanya seorang presiden, melainkan juga bintang pertunjukan politik.

3.5.      Era Media Sosial: Populisme Digital

Memasuki dekade 2010-an, media sosial menghadirkan babak baru dalam sejarah populisme. Donald Trump di Amerika Serikat memanfaatkan Twitter untuk mengomunikasikan pesan politik secara langsung kepada jutaan pengikutnya, sekaligus menciptakan kontroversi yang memancing liputan media gratis.¹² Di Filipina, Rodrigo Duterte menggunakan Facebook Live untuk membangun citra sebagai pemimpin “kasar tapi jujur.”¹³ Media sosial memungkinkan pemimpin populis memotong jalur media tradisional dan membangun hubungan instan dengan publik.

Indonesia juga mengalami fenomena serupa. Joko Widodo sejak menjabat Wali Kota Solo mengundang wartawan untuk meliput blusukan-nya, yang kemudian dipotong, dibingkai, dan dibagikan melalui media sosial.¹⁴ Ros Tapsell menyebut strategi ini sebagai political branding berbasis visual, di mana setiap interaksi publik dikalkulasi untuk menciptakan efek emosional.¹⁵ Ridwan Kamil mengemas kebijakan dengan nama-nama populer (Jalan Cantik, Saber Hoaks) agar mudah dikonsumsi publik, sementara Dedi Mulyadi menggunakan YouTube dan Facebook untuk menampilkan dirinya dalam gaya reality show politik.¹⁶


Kesimpulan Sementara

Sejarah populisme dan media menunjukkan bahwa medium komunikasi selalu menjadi faktor penentu dalam gaya kepemimpinan populis. Dari radio Roosevelt hingga media sosial Trump, Duterte, dan Jokowi, pola yang sama terlihat: media tidak hanya sebagai saluran komunikasi, melainkan sebagai panggung politik. Visual, simbol, dan narasi emosional lebih sering menentukan persepsi publik dibandingkan isi kebijakan. Dengan demikian, perkembangan teknologi media dapat dipahami sebagai katalisator yang memperkuat politik pencitraan dalam berbagai konteks populisme di seluruh dunia.


Footnotes

[1]                J. Michael Hogan, Voices of Democracy: The Roosevelt Fireside Chats (College Station: Texas A&M University Press, 2013), 25–28.

[2]                Ibid., 32–34.

[3]                Theodore H. White, The Making of the President 1960 (New York: Atheneum, 1961), 105–10.

[4]                David Greenberg, Republic of Spin: An Inside History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–12.

[5]                The New York Times, “70 Million Saw Kennedy-Nixon Debate,” October 21, 1960.

[6]                Mariano Ben Plotkin, Manana es San Perón: A Cultural History of Peronism in Argentina (Wilmington: SR Books, 2003), 58–60.

[7]                Jill Hedges, Evita: The Life of Eva Perón (London: Tauris, 2016), 74–76.

[8]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 23–25.

[9]                Alexander Stille, “Berlusconi’s Shadow,” The New Yorker, April 2002.

[10]             Tobias Jones, The Dark Heart of Italy (London: Faber & Faber, 2003), 122–25.

[11]             Steve Ellner, “Hugo Chávez’s ‘Participatory Democracy’: Origins, Dimensions, and Contradictions,” Latin American Perspectives 33, no. 2 (2006): 49–62.

[12]             Philip N. Howard and Bence Kollanyi, “Bots, #StrongerIn, and #Brexit: Computational Propaganda during the UK-EU Referendum,” Political Communication 34, no. 2 (2017): 211–12.

[13]             Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3 (2018): 328–31.

[14]             BBC News, “Jokowi: From Furniture Seller to President,” 2014.

[15]             Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 140–42.

[16]             Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo, July 2019.


4.          Media Sosial dan Populisme Digital

4.1.      Transformasi Digital Politik

Perkembangan teknologi digital dan media sosial pada dekade 2010-an menandai babak baru dalam praktik populisme. Jika sebelumnya populisme bergantung pada media massa konvensional seperti radio, televisi, dan film dokumenter, maka kini media sosial menghadirkan panggung politik yang lebih instan, interaktif, dan tidak terbatas ruang serta waktu.¹ Media sosial memungkinkan pemimpin populis berkomunikasi langsung dengan audiens tanpa perantara redaksi media, sehingga mereka dapat membangun citra sekaligus menciptakan kedekatan semu dengan publik.²

Transformasi ini menjadikan media sosial bukan sekadar instrumen tambahan dalam komunikasi politik, tetapi juga arena utama bagi produksi dan reproduksi politik pencitraan. Setiap unggahan dapat berfungsi sebagai pidato singkat, setiap tweet menjadi slogan, dan setiap kontroversi berpotensi menjadi bahan bakar viralitas.³

4.2.      Kasus Global: Trump dan Duterte

Donald Trump adalah salah satu tokoh yang dianggap merepresentasikan fenomena populisme digital. Melalui akun Twitter pribadinya, ia mampu menyampaikan pesan secara langsung kepada jutaan pengikut, memotong jalur media tradisional, serta mengatur siklus berita dengan menciptakan kontroversi harian.⁴ Strategi ini tidak hanya memperkuat basis politiknya, tetapi juga membuat media arus utama terjebak untuk terus menyoroti setiap cuitannya.

Di Filipina, Rodrigo Duterte memanfaatkan Facebook dan fitur live streaming untuk membangun citra sebagai pemimpin “kasar tapi jujur.” Ia berbicara tanpa sensor, menggunakan bahasa blak-blakan, bahkan menghina lawan politiknya.⁵ Dengan cara ini, Duterte berhasil menampilkan dirinya sebagai representasi suara rakyat kecil yang marah pada elit. Media sosial memberinya ruang untuk memperkuat narasi populis, sekaligus memperlebar polarisasi politik di Filipina.

4.3.      Kasus Indonesia: Jokowi, Ridwan Kamil, dan Dedi Mulyadi

Fenomena populisme digital juga sangat menonjol di Indonesia. Joko Widodo sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo telah menggunakan blusukan sebagai strategi politik yang kemudian dipublikasikan melalui media sosial. Setiap kunjungan ke pasar tradisional, gang sempit, atau pertemuan dengan rakyat kecil direkam, dipotong, dan dibingkai agar menciptakan citra pemimpin sederhana dan merakyat.⁶ Ros Tapsell menyebut strategi ini sebagai bentuk political branding berbasis visual, di mana setiap interaksi publik dikalkulasi untuk menghasilkan dampak emosional.⁷

Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, menggunakan Instagram dan platform digital lainnya untuk meluncurkan program-program dengan nama populer seperti Jalan Cantik atau Saber Hoaks.⁸ Program tersebut dikemas dalam bahasa kreatif agar mudah dikonsumsi publik dan cepat viral. Dengan demikian, politik tidak hanya dikomunikasikan, tetapi juga diproduksi sebagai konten media sosial.

Dedi Mulyadi melangkah lebih jauh dengan mengemas aktivitas politiknya dalam format reality show melalui YouTube dan Facebook. Ia sering tampil membantu warga miskin, menegur masyarakat yang melanggar aturan, atau memberikan wejangan budaya Sunda.⁹ Tayangan ini cepat menjadi viral dan membangun citra Dedi sebagai “bapak rakyat” yang hadir langsung di tengah masyarakat. Namun, sebagaimana dicatat banyak pengamat, tindakan semacam ini sering kali berhenti pada momen emosional yang dramatis, tanpa diikuti desain kebijakan struktural yang berkelanjutan.¹⁰

4.4.      Paradoks Populisme Digital

Kehadiran media sosial menghadirkan paradoks dalam praktik populisme. Di satu sisi, media sosial membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas, memungkinkan komunikasi langsung antara pemimpin dan rakyat, serta mempercepat penyebaran informasi.¹¹ Di sisi lain, logika algoritmik media sosial lebih mementingkan keterlibatan (engagement) daripada substansi.¹² Akibatnya, isu-isu yang kontroversial, emosional, atau mudah divisualisasikan lebih cepat viral dibandingkan diskusi kebijakan yang kompleks.

Fenomena ini menimbulkan risiko degradasi demokrasi, di mana politik direduksi menjadi tontonan singkat yang menghibur, sementara kebijakan publik yang membutuhkan riset, perencanaan, dan konsensus justru terpinggirkan.¹³ Dengan demikian, populisme digital memperlihatkan wajah ganda: sebagai instrumen pemberdayaan politik sekaligus potensi pelemahan demokrasi substantif.


Kesimpulan Sementara

Sejarah perkembangan media menunjukkan bahwa setiap teknologi komunikasi baru memperkuat gaya populisme tertentu. Media sosial sebagai medium utama era digital memungkinkan politisi membangun citra secara instan dan interaktif. Namun, dominasi logika viralitas dan pencitraan menggeser perhatian publik dari substansi kebijakan menuju performa visual. Oleh karena itu, analisis populisme digital tidak hanya berkaitan dengan strategi komunikasi, tetapi juga dengan transformasi mendasar dalam relasi antara rakyat, media, dan kekuasaan.


Footnotes

[1]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity, 2012), 15–18.

[2]                Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity, 2010), 24–27.

[3]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 97–100.

[4]                Philip N. Howard and Muzammil M. Hussain, Democracy’s Fourth Wave? Digital Media and the Arab Spring (Oxford: Oxford University Press, 2013), 112–15.

[5]                Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3 (2018): 330–32.

[6]                BBC News, “Jokowi: From Furniture Seller to President,” 2014.

[7]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 142–44.

[8]                Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo, July 2019.

[9]                Kompas, “Dedi Mulyadi dan Politik Pertunjukan,” Kompas, August 2020.

[10]             Ibid.

[11]             Bruce Bimber, Information and American Democracy: Technology in the Evolution of Political Power (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 210–12.

[12]             José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford University Press, 2018), 67–70.

[13]             The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.


5.          Gimmick Politik sebagai Kebijakan

5.1.      Konsep Governing by Headline

Dalam politik modern, sering kali terjadi pergeseran dari kebijakan berbasis riset menuju kebijakan berbasis sorotan. The Economist menyebut fenomena ini sebagai governing by headline – sebuah pola di mana pemerintah dan pemimpin politik lebih sibuk menciptakan berita utama yang menarik perhatian ketimbang merancang kebijakan substantif jangka panjang.¹ Dalam kerangka ini, gimmick politik—yakni aksi simbolis, janji sederhana, atau visualisasi emosional—sering kali diperlakukan seolah-olah kebijakan publik yang sah.

Gimmick tersebut bekerja karena sifatnya yang instan, mudah dipahami, dan kuat secara simbolis. Ia menciptakan kesan “aksi nyata,” meskipun secara struktural tidak menyentuh akar masalah.² Dengan kata lain, politik bertransformasi menjadi serangkaian pertunjukan singkat yang lebih berfungsi sebagai komunikasi simbolis ketimbang instrumen perubahan sosial.

5.2.      Kasus Duterte: Perang Narkoba sebagai Drama Politik

Rodrigo Duterte di Filipina menjadi salah satu contoh paling gamblang dari gimmick politik yang dijadikan kebijakan. Ia meluncurkan kampanye pemberantasan narkoba dengan gaya retorika keras, menampilkan dirinya sebagai pemimpin “tanpa kompromi.”³ Media internasional melaporkan bahwa kebijakan ini dikemas sebagai aksi penyelamatan generasi muda dari bahaya narkotika.⁴ Namun, laporan Human Rights Watch pada tahun 2017 menyatakan bahwa kampanye tersebut lebih menyerupai teatrikal politik—menampilkan citra strongman—ketimbang program komprehensif yang mengatasi akar masalah narkoba.⁵ Dengan demikian, perang narkoba Duterte lebih berfungsi sebagai panggung politik populis daripada kebijakan publik yang efektif.

5.3.      Kasus Trump: Tembok Perbatasan sebagai Simbol Politik

Donald Trump dalam kampanye dan masa pemerintahannya menjadikan slogan “Build the Wall” sebagai simbol perjuangan melawan imigrasi ilegal dari Meksiko.⁶ Janji tersebut sederhana, visual, dan mudah divisualisasikan—tembok sebagai pembatas yang konkret. Namun, secara faktual, pembangunan tembok hanya terealisasi sebagian kecil, sementara narasi tentang tembok jauh lebih sering digunakan dalam retorika kampanye untuk memobilisasi dukungan basis politiknya.⁷ Tembok tersebut pada akhirnya menjadi gimmick politik: kuat secara simbolik, lemah secara kebijakan.

5.4.      Kasus Indonesia: Blusukan dan Program Kartu Sosial

Di Indonesia, praktik gimmick politik terlihat jelas dalam strategi blusukan yang populer pada era Joko Widodo. Pada awalnya, blusukan dipandang sebagai inovasi dalam membangun kedekatan pemimpin dengan rakyat kecil.⁸ Namun, seiring waktu, praktik ini mengalami repetisi dan kehilangan bobot substantifnya. Blusukan berubah menjadi ritual pencitraan, bukan mekanisme penyelesaian masalah struktural.⁹

Selain itu, program-program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Sembako Murah menunjukkan pola serupa. Secara substansi, program tersebut memang memiliki manfaat sosial, tetapi penelitian Australian National University (2020) menekankan bahwa program tersebut juga dirancang dengan dimensi komunikasi politik yang kuat: nama yang sederhana, kemasan visual yang mudah diingat, serta momentum peluncuran yang disesuaikan dengan logika liputan media.¹⁰ Dengan demikian, program sosial tersebut berfungsi ganda: sebagai kebijakan publik sekaligus instrumen pencitraan politik.

5.5.      Politik Pertunjukan Lokal: Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi

Di tingkat daerah, politik gimmick tampak dalam gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi. Ridwan Kamil mengemas program-program pemerintah dalam bahasa populer seperti Jalan Cantik atau Saber Hoaks, agar mudah dipahami dan cepat viral.¹¹ Tempo mencatat bahwa strategi ini disebut sebagai politik gaya milenial—cepat, kreatif, dan berbasis media sosial—namun sering kali tidak menyentuh kompleksitas masalah struktural.¹²

Dedi Mulyadi lebih teatrikal, dengan memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk menampilkan aksi-aksi spontan seperti menegur warga yang melanggar aturan atau membantu masyarakat miskin.¹³ Video-video tersebut viral dan menciptakan citra dirinya sebagai pemimpin merakyat. Akan tetapi, banyak pengamat menilai bahwa solusi yang ditawarkan berhenti pada aksi emosional sesaat, tanpa diikuti kebijakan struktural jangka panjang.¹⁴

5.6.      Pola Umum Gimmick Politik

Dari berbagai kasus tersebut dapat diidentifikasi pola umum gimmick politik:

1)                 Kesederhanaan simbol – slogan, gestur, atau aksi visual yang mudah dipahami publik.

2)                 Kekuatan emosional – membangkitkan simpati, marah, atau harapan dalam waktu singkat.

3)                 Repetisi media – didistribusikan melalui media konvensional maupun media sosial agar berulang kali hadir di ruang publik.

4)                 Keterputusan struktural – jarang diiringi oleh kebijakan berkelanjutan yang menyentuh akar masalah.

Pola ini memperlihatkan bahwa gimmick politik sering kali tidak berfungsi sebagai instrumen solusi, melainkan sebagai alat komunikasi politik yang diperlakukan seolah kebijakan.


Kesimpulan Sementara

Gimmick politik adalah bentuk ekstrem dari politik pencitraan. Ia menjelma menjadi kebijakan semu yang kuat dalam membangun persepsi publik, tetapi lemah dalam menghadirkan solusi substantif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi kontemporer sering kali bekerja bukan melalui perdebatan kebijakan, melainkan melalui produksi simbol-simbol yang mampu menciptakan headline. Dengan demikian, memahami gimmick politik menjadi penting untuk mengkritisi kualitas demokrasi yang semakin terjebak pada logika panggung ketimbang substansi.


Footnotes

[1]                The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.

[2]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 27–29.

[3]                Nicole Curato, Flirting with Authoritarian Fantasies: Rodrigo Duterte and the New Terms of Philippine Populism (Singapore: NUS Press, 2017), 51–54.

[4]                The New York Times, “They Are Slaughtering Us Like Animals,” December 7, 2016.

[5]                Human Rights Watch, License to Kill: Philippine Police Killings in Duterte’s “War on Drugs” (New York: HRW, 2017).

[6]                Joshua M. Scacco and Kevin Coe, The Ubiquitous Presidency: Presidential Communication and Digital Democracy in Tumultuous Times (Oxford: Oxford University Press, 2021), 115–17.

[7]                Philip Bump, “Trump’s Border Wall: How Much Has Been Built During His Term?” The Washington Post, January 2021.

[8]                BBC News, “Jokowi: From Furniture Seller to President,” 2014.

[9]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 142–43.

[10]             Australian National University, “The Politics of Social Protection in Indonesia,” ANU Policy Paper, 2020.

[11]             Tempo, “Ridwan Kamil dan Politik Gaya Milenial,” Tempo, July 2019.

[12]             Ibid.

[13]             Kompas, “Dedi Mulyadi dan Politik Pertunjukan,” Kompas, August 2020.

[14]             Ibid.


6.          Fenomena Buzzer Politik

6.1.      Akar Historis Propaganda dan Evolusi Buzzer

Fenomena buzzer politik dalam demokrasi kontemporer tidak muncul tiba-tiba, melainkan memiliki akar panjang dalam sejarah propaganda politik modern. Pada masa Perang Dunia I, pemerintah Amerika Serikat melalui Committee on Public Information (CPI) yang dipimpin George Creel menggunakan poster, pamflet, dan film untuk menggiring opini publik demi mendukung keterlibatan AS dalam perang.¹ Di Jerman, Joseph Goebbels mengembangkan seni propaganda yang memanfaatkan film, radio, dan media cetak untuk membentuk persepsi publik tentang keunggulan rezim Nazi.² Praktik-praktik inilah yang dapat disebut sebagai “proto-buzzer,” yakni upaya sistematis membentuk opini massa melalui medium komunikasi massa terpusat.

Perkembangan internet dan media sosial pada awal abad ke-21 melahirkan bentuk baru propaganda yang lebih desentralistik dan interaktif. Jika propaganda klasik bergantung pada institusi negara dan media besar, buzzer digital beroperasi melalui akun-akun individu, baik asli maupun palsu, yang digerakkan secara terkoordinasi untuk memengaruhi wacana publik.³

6.2.      Buzzer dalam Politik Global

Buzzer politik mulai menjadi perhatian luas pada Pemilu Amerika Serikat 2008 ketika tim Barack Obama menggunakan media sosial untuk mobilisasi politik. Meski belum dalam bentuk buzzer terorganisasi, praktik ini menunjukkan potensi media sosial sebagai arena politik utama.⁴ Fenomena buzzer mencapai bentuk yang lebih ekstrem pada Pemilu AS 2016, ketika Donald Trump memanfaatkan jaringan akun palsu dan diduga didukung operasi informasi dari luar negeri, khususnya Internet Research Agency (IRA) Rusia, untuk menyebarkan disinformasi dan memecah belah publik.⁵

Di Filipina, Rodrigo Duterte dikenal sebagai salah satu pemimpin yang paling efektif menggunakan buzzer. Ratusan akun digerakkan untuk membangun citra dirinya sebagai pemimpin tegas sekaligus menyerang lawan politik dengan kampanye hitam.⁶ Penelitian Rappler menunjukkan bahwa ekosistem buzzer di Filipina bekerja layaknya industri, lengkap dengan tarif bayaran dan sistem koordinasi yang terstruktur.⁷

6.3.      Buzzer dalam Politik Indonesia

Di Indonesia, istilah “buzzer” menjadi sangat populer dalam diskursus politik sejak Pemilu Presiden 2014. Menurut Ros Tapsell, inilah momen ketika media sosial menjadi arena tempur utama politik nasional, dan tim sukses kandidat mempekerjakan orang-orang untuk memproduksi, menyebarkan, serta memviralkan pesan politik tertentu.⁸ Strategi ini berkembang pesat hingga level daerah, partai politik, bahkan kementerian dan BUMN.

Fenomena buzzer di Indonesia dapat dijelaskan melalui tiga tahap utama sebagaimana dipetakan oleh Australian Strategic Policy Institute: (1) produksi narasi, yaitu merumuskan tema besar untuk membingkai kandidat atau isu; (2) distribusi dan amplifikasi, yakni penyebaran pesan melalui akun anonim maupun publik; dan (3) pengendalian narasi, yaitu menjaga pesan utama tetap relevan sambil menangkis serangan lawan atau mengalihkan perhatian publik.⁹

Buzzer di Indonesia tidak hanya beroperasi pada masa pemilu, tetapi juga digunakan untuk menjaga legitimasi pemerintah atau menyerang gerakan masyarakat sipil. Freedom House (2021) mencatat Indonesia sebagai negara dengan kategori partly free, salah satunya karena adanya manipulasi opini publik secara sistematis di ranah digital.¹⁰

6.4.      Infrastruktur dan Ekonomi Politik Buzzer

Ekosistem buzzer bekerja layaknya industri yang memiliki sumber pendanaan, infrastruktur teknologi, dan sumber daya manusia yang profesional. Laporan The Intercept (2019) menemukan bahwa pendanaan buzzer di Indonesia berasal dari tiga sumber utama: (1) dana kampanye resmi kandidat atau partai, (2) dukungan sponsor korporasi yang berharap mendapat keuntungan kebijakan, dan (3) dana operasi pemerintah atau BUMN yang dialihkan untuk mendukung narasi tertentu.¹¹

Dari sisi infrastruktur, buzzer menggunakan kombinasi server lokal dan internasional, perangkat lunak otomatis (bot software), hingga jasa pihak ketiga seperti click farm di luar negeri untuk meningkatkan interaksi.¹² Operasi ini sering dijalankan dari war room khusus, ruang tertutup dengan layar monitor yang memantau tren media sosial secara real time. Oxford Internet Institute (2020) bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem cyber troops terbesar di Asia Tenggara.¹³

6.5.      Buzzer sebagai Operator Politik Pencitraan

Buzzer berperan sebagai operator yang memperkuat gimmick politik di ruang digital. Jika aksi blusukan atau program kartu sosial berfungsi sebagai panggung depan, maka buzzer adalah lampu sorot yang memastikan panggung itu tetap terlihat terang. Mereka memperbanyak tayangan, menciptakan trending topic, mengulang pesan hingga publik menganggapnya sebagai kebenaran.¹⁴

Dengan logika algoritmik media sosial, buzzer bekerja pada level bawah sadar publik, memanipulasi persepsi melalui banjir informasi yang seragam.¹⁵ Fenomena ini memperlihatkan bahwa buzzer bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan mesin propaganda digital yang dapat membentuk lanskap demokrasi.


Kesimpulan Sementara

Fenomena buzzer menunjukkan bahwa demokrasi digital bukan sekadar ruang diskusi terbuka, tetapi juga arena perang opini yang diatur oleh algoritma dan aktor politik. Buzzer melanjutkan tradisi propaganda klasik, namun bekerja lebih cepat, lebih murah, dan lebih masif melalui media sosial. Dengan demikian, buzzer menjadi elemen integral dalam politik pencitraan kontemporer, sekaligus ancaman bagi demokrasi substantif karena mengaburkan batas antara komunikasi politik, propaganda, dan manipulasi opini publik.


Footnotes

[1]                George Creel, How We Advertised America: The First Telling of the Amazing Story of the Committee on Public Information That Carried the Gospel of Americanism to Every Corner of the Globe (New York: Harper & Brothers, 1920), 45–48.

[2]                David Welch, Propaganda and the German Cinema, 1933–1945 (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–15.

[3]                Philip N. Howard, New Media Campaigns and the Managed Citizen (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 55–58.

[4]                Daniel Kreiss, Taking Our Country Back: The Crafting of Networked Politics from Howard Dean to Barack Obama (Oxford: Oxford University Press, 2012), 101–04.

[5]                Renee DiResta et al., The Tactics & Tropes of the Internet Research Agency (New York: New Knowledge, 2019), 5–8.

[6]                Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3 (2018): 328–30.

[7]                Rappler, “Propaganda War: Weaponizing the Internet,” 2016.

[8]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 140–42.

[9]                Australian Strategic Policy Institute, Cyber Troops, Online Manipulation of Public Opinion, and the Future of Democracy in Indonesia, Policy Paper, 2019.

[10]             Freedom House, Freedom in the World 2021: Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.

[11]             The Intercept, “Indonesia’s Cyber Army: The Government Paid Buzzers,” 2019.

[12]             Oxford Internet Institute, Industrialized Disinformation: 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation (Oxford: OII, 2020), 46–49.

[13]             Ibid.

[14]             Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 30–33.

[15]             José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford University Press, 2018), 71–74.


7.          Dampak terhadap Demokrasi dan Kebijakan Publik

7.1.      Demokrasi sebagai Tontonan

Fenomena pencitraan, gimmick politik, dan peran buzzer membawa konsekuensi serius bagi demokrasi. Politik tidak lagi dilihat sebagai arena deliberasi rasional dan perumusan kebijakan, melainkan sebagai panggung hiburan yang memproduksi drama politik untuk konsumsi publik.¹ Dalam kerangka ini, pemimpin diposisikan sebagai aktor utama, buzzer berperan sebagai produser sekaligus pengendali narasi, dan publik ditempatkan sebagai penonton yang menekan tombol like, share, atau retweet.² Demokrasi mengalami reduksi dari sistem representasi substantif menjadi sekadar “industri tontonan.”

Konsekuensi dari demokrasi sebagai tontonan adalah berkurangnya kualitas partisipasi publik. Keterlibatan warga dibatasi pada partisipasi emosional sesaat, bukan keterlibatan kritis dalam merumuskan arah kebijakan.³ Hal ini melemahkan prinsip dasar demokrasi deliberatif yang menekankan partisipasi rasional, argumentatif, dan berorientasi pada kepentingan publik jangka panjang.

7.2.      Degradasi Kebijakan Publik

Selain merusak kualitas demokrasi, politik pencitraan juga berdampak pada perumusan kebijakan publik. Pertama, terjadi kecenderungan prioritisasi pada isu-isu yang fotogenik dan mudah dipasarkan, dibandingkan isu-isu yang kompleks dan membutuhkan penyelesaian struktural.⁴ Dalam bidang pendidikan, misalnya, pembangunan sekolah baru atau pembagian seragam gratis sering dijadikan sorotan utama, padahal tantangan utama terletak pada kualitas guru, kurikulum, dan akses di wilayah tertinggal.⁵

Di bidang kesehatan, peresmian rumah sakit baru atau peluncuran program layanan kesehatan gratis sering dikemas sebagai acara seremonial besar yang diliput media. Namun, persoalan mendasar seperti kurangnya tenaga medis, distribusi obat, dan lemahnya sistem rujukan jarang mendapat perhatian yang sama.⁶

Dalam bidang infrastruktur, proyek-proyek ikonik seperti jalan tol, bandara, atau bendungan sering diprioritaskan karena mudah divisualisasikan sebagai simbol pembangunan. Namun, proyek tersebut kerap tidak berangkat dari kebutuhan strategis masyarakat luas, melainkan dari kalkulasi nilai jual visual dan potensi pencitraan politik.⁷ Dengan demikian, kebijakan publik sering kali terjebak dalam logika pencitraan ketimbang logika perencanaan jangka panjang.

7.3.      Relasi Rakyat dan Pemimpin: Dari Kontrak Sosial ke Transaksi Singkat

Fenomena politik pencitraan juga mengubah relasi rakyat dan pemimpin. Janji politik tidak lagi dipandang sebagai kontrak sosial yang harus dipertanggungjawabkan, melainkan sebagai promosi yang tidak wajib ditepati.⁸ Pemilih pun membalasnya dengan “rasionalitas singkat,” yakni memilih kandidat yang dianggap dapat memberikan manfaat cepat, baik dalam bentuk bantuan langsung maupun kepuasan emosional karena identitas atau narasinya sesuai dengan preferensi mereka.⁹

Akibatnya, kualitas evaluasi publik terhadap pemimpin menjadi dangkal. Penilaian lebih sering berbasis persepsi citra ketimbang hasil kebijakan nyata. Hal ini melemahkan mekanisme akuntabilitas dalam demokrasi dan memperkuat kecenderungan politik berbasis figur dibandingkan politik berbasis program.¹⁰

7.4.      Polarisasi dan Fragmentasi Sosial

Dampak lain yang signifikan adalah meningkatnya polarisasi sosial. Politik pencitraan, terutama yang diperkuat oleh buzzer digital, sering kali menggunakan isu identitas, baik agama, etnis, maupun kelas sosial, untuk memperkuat basis dukungan.¹¹ Pemilu Presiden 2014 dan 2019 di Indonesia, misalnya, menunjukkan bagaimana politik identitas bercampur dengan pencitraan kandidat sehingga memicu ketegangan sosial yang tajam.¹² Polarisasi ini berpotensi meninggalkan luka sosial jangka panjang dan mengganggu kohesi nasional.

7.5.      Demokrasi Prosedural yang Rapuh

Dalam jangka panjang, dampak kumulatif dari politik pencitraan, gimmick, dan buzzer adalah terbentuknya demokrasi prosedural yang stabil secara elektoral tetapi rapuh secara substansial. Pemilu tetap berlangsung secara rutin dan damai, tetapi kualitas demokrasi melemah karena gagasan, visi kebijakan, dan akuntabilitas kian terpinggirkan.¹³ Situasi ini menciptakan risiko dua arah: di satu sisi, demokrasi dapat terjebak dalam status quo yang dangkal; di sisi lain, kekecewaan publik terhadap kesenjangan antara janji politik dan realitas dapat memicu gelombang populisme baru yang lebih radikal.¹⁴


Kesimpulan Sementara

Dampak fenomena pencitraan politik terhadap demokrasi dan kebijakan publik dapat diringkas dalam tiga poin utama. Pertama, demokrasi direduksi menjadi tontonan yang menekankan performa visual ketimbang substansi. Kedua, kebijakan publik cenderung diperlakukan sebagai properti panggung politik sehingga mengabaikan kebutuhan struktural masyarakat. Ketiga, relasi antara rakyat dan pemimpin mengalami degradasi dari kontrak sosial menuju transaksi singkat, yang pada akhirnya melemahkan akuntabilitas dan memperkuat polarisasi sosial.

Dengan demikian, fenomena ini bukan hanya persoalan komunikasi politik, tetapi juga tantangan serius bagi masa depan demokrasi substantif.


Footnotes

[1]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 5–7.

[2]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 124–26.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 305–08.

[4]                The Economist, “Governing by Headline,” March 14, 2020.

[5]                UNESCO, Global Education Monitoring Report 2019: Migration, Displacement and Education (Paris: UNESCO, 2019), 210–12.

[6]                World Health Organization, World Health Statistics 2020 (Geneva: WHO, 2020), 54–56.

[7]                John Harriss, “The Depoliticization of Development,” Journal of Development Studies 36, no. 6 (2000): 1–12.

[8]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 78–80.

[9]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 52–55.

[10]             Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization 19, no. 2 (2012): 209–29.

[11]             Merlyna Lim, “Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia,” Critical Asian Studies 49, no. 3 (2017): 411–27.

[12]             Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 54, no. 3 (2018): 307–38.

[13]             Freedom House, Freedom in the World 2021: Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.

[14]             Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York: Penguin, 2019), 45–48.


8.          Kritik dan Reinterpretasi

8.1.      Kritik terhadap Politik Pencitraan

Politik pencitraan, meski efektif dalam membangun kedekatan emosional dengan rakyat, tidak luput dari kritik tajam. Pertama, ia dianggap mereduksi substansi demokrasi menjadi sekadar tontonan, di mana performa visual dan narasi simbolis lebih penting daripada kebijakan yang berkelanjutan.¹ Politik pencitraan cenderung menghasilkan short-termism, yaitu orientasi jangka pendek yang hanya fokus pada pencapaian visual sesaat alih-alih solusi struktural.²

Kedua, politik pencitraan memperlemah mekanisme akuntabilitas. Karena penilaian publik sering didasarkan pada persepsi citra, maka pemimpin dapat memperoleh legitimasi tanpa harus memenuhi janji-janji politik mereka secara substansial.³ Hal ini memperkuat moral hazard dalam politik, di mana elit lebih memilih investasi dalam strategi komunikasi ketimbang perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).⁴

Ketiga, politik pencitraan seringkali melahirkan polarisasi. Citra politik dibangun dengan dikotomi sederhana—“pemimpin rakyat” versus “elit korup”—yang memperkuat logika populisme eksklusif.⁵ Akibatnya, identitas politik sering dijadikan instrumen polarisasi, yang dalam konteks Indonesia terlihat jelas pada pemilu 2014 dan 2019.⁶

8.2.      Kritik terhadap Peran Media dan Buzzer

Media massa dan media sosial sering menjadi sasaran kritik karena lebih mengutamakan berita sensasional dibandingkan isu kebijakan.⁷ Logika algoritma media sosial memperburuk situasi dengan mendorong konten yang kontroversial dan emosional untuk mendapatkan keterlibatan publik.⁸ Akibatnya, diskursus publik dipenuhi oleh “noise” informasi, disinformasi, dan narasi hiperbolik yang memperkuat pencitraan politik.

Buzzer digital, sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik, memperdalam masalah ini. Mereka tidak hanya memperkuat pencitraan, tetapi juga melakukan serangan terhadap lawan politik dengan kampanye hitam.⁹ Praktik ini merusak iklim demokrasi deliberatif dan menciptakan suasana politik yang penuh kecurigaan.

8.3.      Reinterpretasi: Menuju Politik Substansial

Kritik terhadap politik pencitraan membuka peluang untuk reinterpretasi. Pertama, perlu ditekankan pentingnya evidence-based policy. Kebijakan publik harus dirumuskan berdasarkan data empiris, riset akademik, serta konsultasi dengan pemangku kepentingan, bukan semata-mata kalkulasi pencitraan.¹⁰ Dengan cara ini, kebijakan dapat menjawab persoalan struktural seperti ketimpangan sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Kedua, peran media independen dan kritis sangat penting. Media harus berfungsi sebagai watchdog demokrasi, tidak sekadar menjadi saluran propaganda atau hiburan politik.¹¹ Jurnalisme investigatif yang kuat dapat membantu membongkar ketidaksesuaian antara janji politik dan realitas kebijakan.

Ketiga, literasi digital publik perlu diperkuat agar masyarakat mampu membedakan antara pencitraan simbolis dan kebijakan substantif.¹² Pendidikan politik yang kritis dapat mengubah warga dari sekadar penonton pasif menjadi aktor aktif dalam demokrasi.

8.4.      Reinterpretasi Populisme: Dari Eksklusif ke Inklusif

Populisme tidak harus selalu dipahami dalam bentuk eksklusif dan polarisatif. Ernesto Laclau berargumen bahwa populisme dapat berfungsi sebagai logika artikulasi politik yang menyatukan berbagai tuntutan rakyat ke dalam proyek hegemonik.¹³ Dalam konteks ini, reinterpretasi populisme dapat diarahkan ke bentuk yang lebih inklusif, dengan menekankan partisipasi publik yang luas dan memperjuangkan keadilan sosial.

Konsep “populisme inklusif” ini dapat menjadi jalan tengah: memanfaatkan kekuatan simbol dan kedekatan emosional untuk membangun legitimasi, tetapi tetap diarahkan pada perumusan kebijakan struktural yang berpihak pada kepentingan rakyat.¹⁴


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap politik pencitraan, peran media, dan buzzer menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi kontemporer jika hanya bertumpu pada logika sorotan visual. Namun, reinterpretasi yang menekankan politik berbasis bukti, media kritis, literasi digital, dan populisme inklusif dapat membuka jalan menuju demokrasi yang lebih substantif. Dengan demikian, alih-alih menolak populisme secara total, tantangan utamanya adalah bagaimana mengarahkan energi populis ke dalam kerangka kebijakan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.


Footnotes

[1]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 27–29.

[2]                Colin Hay, Why We Hate Politics (Cambridge: Polity, 2007), 44–46.

[3]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 129–31.

[4]                Paul Cairney, The Politics of Evidence-Based Policy Making (London: Palgrave Macmillan, 2016), 2–4.

[5]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 61–63.

[6]                Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 54, no. 3 (2018): 310–12.

[7]                Robert McChesney, Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (New York: The New Press, 1999), 112–15.

[8]                José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford University Press, 2018), 70–72.

[9]                Australian Strategic Policy Institute, Cyber Troops, Online Manipulation of Public Opinion, and the Future of Democracy in Indonesia, Policy Paper (Canberra: ASPI, 2019), 8–10.

[10]             Paul Cairney and Kathryn Oliver, “Evidence-Based Policy Making: The Illusion of a Straightforward Solution,” Political Studies Review 15, no. 3 (2017): 316–17.

[11]             James Curran, Media and Power (London: Routledge, 2002), 219–21.

[12]             Sonia Livingstone, Media Literacy and the Challenge of New Information and Communication Technologies (London: London School of Economics, 2004), 12–15.

[13]             Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 67–70.

[14]             Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 134–36.


9.          Relevansi dan Tantangan Kontemporer

9.1.      Politik Pencitraan dalam Konteks Global

Politik pencitraan dan populisme digital bukan hanya fenomena lokal, tetapi bagian dari tren global yang menunjukkan bagaimana demokrasi kontemporer beradaptasi dengan logika media baru. Fenomena Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, Narendra Modi di India, dan Rodrigo Duterte di Filipina memperlihatkan pola serupa: pemimpin politik mengandalkan media sosial untuk membangun citra, menyampaikan pesan langsung, serta melewati filter media tradisional.¹

Dalam konteks global, populisme digital tetap relevan karena mencerminkan krisis representasi politik. Ketika partai politik dianggap gagal menjadi saluran aspirasi, pemimpin populis menggunakan media sosial untuk menampilkan diri sebagai figur “anti-establishment” yang berbicara langsung kepada rakyat.² Namun, strategi ini juga menimbulkan risiko global berupa penyebaran disinformasi, meningkatnya polarisasi sosial, serta melemahnya norma demokrasi deliberatif.³

9.2.      Relevansi di Indonesia

Indonesia menempati posisi unik dalam fenomena ini. Dengan jumlah pengguna internet lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan populasi digital terbesar di dunia.⁴ Hal ini menjadikan media sosial sebagai arena utama politik kontemporer, baik dalam kontestasi elektoral maupun dalam menjaga legitimasi pemerintahan.

Fenomena blusukan, branding kartu sosial, serta viralitas program-program populer menunjukkan bahwa strategi pencitraan tidak hanya menjadi alat kampanye, tetapi juga bagian integral dari tata kelola politik.⁵ Namun, implikasinya adalah kebijakan publik rentan disesuaikan dengan logika viralitas ketimbang kebutuhan struktural masyarakat.

Selain itu, keberadaan buzzer mempertegas tantangan bagi demokrasi Indonesia. Studi Merlyna Lim menunjukkan bahwa buzzer berperan dalam menciptakan “enklave algoritmik” yang memperkuat polarisasi politik berbasis identitas.⁶ Pemilu 2019 memperlihatkan dampak langsungnya, ketika kontestasi elektoral berubah menjadi ajang pertempuran narasi digital yang membelah masyarakat dalam jangka panjang.

9.3.      Tantangan terhadap Demokrasi Substantif

Fenomena politik pencitraan menghadirkan sejumlah tantangan kontemporer. Pertama, tantangan epistemik, yakni bagaimana publik dapat membedakan antara informasi faktual dan pencitraan semu di tengah banjir informasi digital.⁷ Kedua, tantangan institusional, ketika partai politik dan parlemen semakin kehilangan peran dalam membangun program substantif, tergantikan oleh figur populis yang berorientasi pada personal branding.⁸ Ketiga, tantangan normatif, yaitu risiko bahwa demokrasi direduksi menjadi prosedur elektoral tanpa isi deliberatif, sehingga berpotensi melahirkan otoritarianisme elektoral.⁹

9.4.      Peluang Reinterpretasi

Meskipun penuh tantangan, fenomena ini juga membuka peluang untuk merevitalisasi demokrasi. Pertama, media sosial dapat menjadi ruang untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas jika digunakan secara etis oleh pemerintah maupun masyarakat sipil.¹⁰ Kedua, literasi digital yang ditingkatkan dapat mengubah warga dari konsumen pasif konten politik menjadi aktor kritis yang menuntut substansi kebijakan.¹¹ Ketiga, populisme inklusif dapat diarahkan untuk memperjuangkan isu-isu sosial seperti kesetaraan, lingkungan, dan keadilan gender, alih-alih sekadar mobilisasi emosi identitas.¹²


Kesimpulan Sementara

Relevansi politik pencitraan pada era kontemporer tidak dapat dipungkiri: ia menjadi instrumen dominan dalam komunikasi politik global maupun nasional. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa logika sorotan visual tidak sepenuhnya menggantikan substansi demokrasi. Masa depan demokrasi Indonesia—dan dunia—bergantung pada kemampuan institusi, media, dan masyarakat sipil untuk mengubah politik pencitraan menjadi politik yang substantif, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang rakyat.


Footnotes

[1]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 97–100.

[2]                Cas Mudde and Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 80–82.

[3]                Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York: Penguin, 2019), 45–48.

[4]                We Are Social, Digital 2023: Indonesia, January 2023.

[5]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 141–43.

[6]                Merlyna Lim, “Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia,” Critical Asian Studies 49, no. 3 (2017): 413–16.

[7]                José van Dijck, Thomas Poell, and Martijn de Waal, The Platform Society: Public Values in a Connective World (Oxford: Oxford University Press, 2018), 68–70.

[8]                Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization 19, no. 2 (2012): 212–14.

[9]                Thomas Carothers, “The End of the Transition Paradigm,” Journal of Democracy 13, no. 1 (2002): 6–9.

[10]             Bruce Bimber, Information and American Democracy: Technology in the Evolution of Political Power (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 220–23.

[11]             Sonia Livingstone, Media Literacy and the Challenge of New Information and Communication Technologies (London: London School of Economics, 2004), 12–15.

[12]             Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 71–74.


10.      Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.   Paradoks Politik Modern: Antara Panggung dan Realitas

Analisis atas fenomena pencitraan, gimmick, dan buzzer politik menunjukkan paradoks mendasar dalam demokrasi kontemporer. Politik, yang secara klasik dipahami sebagai seni mengelola polis (kota/negara), kini lebih sering dipraktikkan sebagai seni mengelola sorotan.¹ Jika Aristoteles menekankan bahwa politik bertujuan mewujudkan eudaimonia—kebaikan tertinggi bagi warga negara²—maka politik modern cenderung bergerak ke arah estetika performatif yang lebih berfokus pada persepsi publik dibandingkan kesejahteraan substantif. Paradoks ini memperlihatkan ketegangan antara politik sebagai seni pemerintahan substantif dan politik sebagai seni pertunjukan.

10.2.   Refleksi Etis: Integritas dan Kejujuran Politik

Dari perspektif etika politik, politik pencitraan menimbulkan persoalan serius terkait integritas dan kejujuran. Pemimpin yang mengutamakan gimmick dan pencitraan cenderung menggunakan simbol-simbol untuk memobilisasi dukungan tanpa komitmen penuh terhadap implementasi kebijakan.³ Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik seharusnya bertumpu pada ruang publik yang jujur dan terbuka, di mana kebenaran faktual menjadi fondasi diskursus bersama.⁴ Namun, dominasi buzzer dan algoritma media sosial justru memperbanyak disinformasi yang merusak kualitas ruang publik.

Dalam kerangka filsafat moral Kant, hal ini dapat dipahami sebagai pelanggaran terhadap imperatif kategoris yang menuntut pemimpin bertindak dengan niat baik (good will), bukan sekadar sarana instrumental untuk mencapai kekuasaan.⁵ Politik pencitraan, ketika melupakan dimensi moral ini, berisiko jatuh pada praktik manipulatif yang mereduksi manusia menjadi objek konsumsi citra.

10.3.   Refleksi Epistemologis: Politik, Pengetahuan, dan Kebenaran

Politik pencitraan juga menimbulkan krisis epistemologis. Ketika citra lebih dipercaya daripada fakta, maka realitas politik dibentuk bukan oleh data dan bukti, melainkan oleh narasi yang berhasil viral.⁶ Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra—realitas semu yang menggantikan realitas nyata.⁷ Dalam konteks politik, simulacra tercermin pada janji, slogan, dan aksi teatrikal yang seolah-olah merupakan kebijakan, padahal substansinya lemah.

Refleksi ini penting karena demokrasi mensyaratkan adanya ruang publik yang rasional, di mana warga dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Jika ruang publik dikuasai oleh citra dan manipulasi digital, maka kualitas demokrasi akan semakin terdegradasi.⁸

10.4.   Refleksi Ontologis: Politik sebagai Representasi

Pertanyaan ontologis tentang “apa itu politik” kembali relevan dalam konteks pencitraan. Apakah politik adalah representasi kepentingan rakyat, ataukah sekadar representasi simbolis yang berfungsi di panggung media? Ernesto Laclau berargumen bahwa populisme merupakan logika representasi politik yang tidak bisa dihindari, karena rakyat selalu hadir sebagai konstruksi diskursif.⁹ Namun, representasi yang terlalu menekankan simbol tanpa kebijakan konkret berisiko mengosongkan makna substantif dari demokrasi.

Dengan demikian, refleksi ontologis menuntut reinterpretasi politik sebagai seni yang tidak hanya merepresentasikan citra, tetapi juga merepresentasikan kebutuhan nyata masyarakat.¹⁰ Politik seharusnya bukan hanya politics of performance, melainkan juga politics of responsibility.

10.5.   Sintesis: Menuju Demokrasi Substantif

Dari refleksi filosofis di atas, dapat disintesiskan bahwa tantangan utama demokrasi kontemporer bukan sekadar munculnya politik pencitraan, melainkan hilangnya keseimbangan antara panggung dan substansi. Politik membutuhkan simbol, karena simbol memudahkan komunikasi dengan publik. Namun, simbol seharusnya menjadi jembatan menuju substansi, bukan pengganti substansi.

Dengan mengembalikan politik pada orientasi Aristotelian tentang kebaikan bersama, memulihkan ruang publik Arendtian yang jujur, serta menegakkan etika Kantian tentang niat baik, demokrasi dapat diarahkan kembali ke jalurnya.¹¹ Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem politik dan budaya publik yang tidak hanya terpesona oleh sorotan, tetapi juga menuntut substansi kebijakan yang nyata.


Kesimpulan Sementara

Politik pencitraan memperlihatkan wajah paradoks demokrasi modern: ia sekaligus alat untuk memperkuat legitimasi sekaligus ancaman terhadap substansi demokrasi. Refleksi filosofis menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada logika pertunjukan, tetapi harus kembali pada hakikatnya sebagai seni mengelola polis demi kebaikan bersama.


Footnotes

[1]                Murray Edelman, Constructing the Political Spectacle (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 9–12.

[2]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253a.

[3]                Colin Hay, Why We Hate Politics (Cambridge: Polity, 2007), 46–48.

[4]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 219–21.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31–34.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 211–14.

[7]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[8]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1991), 181–83.

[9]                Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 154–56.

[10]             Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 128–30.

[11]             Larry Diamond, Ill Winds: Saving Democracy from Russian Rage, Chinese Ambition, and American Complacency (New York: Penguin, 2019), 87–90.


11.      Penutup

11.1.   Ringkasan Temuan

Artikel ini telah menelusuri fenomena politik pencitraan dalam kaitannya dengan populisme, media, dan demokrasi kontemporer. Dari sejarah awal populisme melalui radio Roosevelt, televisi Kennedy, ikonografi Perón, hingga media sosial yang dimanfaatkan Trump, Duterte, dan Jokowi, terlihat jelas bahwa perkembangan teknologi komunikasi senantiasa menjadi katalisator transformasi politik.¹

Politik pencitraan dan gimmick terbukti efektif dalam membangun legitimasi populis, namun sering kali mengabaikan substansi kebijakan. Program sosial yang dikemas dalam bentuk visual, aksi blusukan, atau slogan sederhana menjadi bukti bagaimana kebijakan publik direduksi menjadi properti panggung politik.² Kehadiran buzzer memperkuat tren ini dengan mengendalikan narasi digital, memanipulasi opini, dan memperlebar polarisasi sosial.³

11.2.   Implikasi Demokrasi dan Kebijakan Publik

Fenomena tersebut membawa dampak ganda. Di satu sisi, ia membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dan instan, memungkinkan komunikasi langsung antara pemimpin dan rakyat.⁴ Namun, di sisi lain, ia menimbulkan degradasi demokrasi: partisipasi publik direduksi menjadi keterlibatan emosional sesaat, kebijakan publik dikemas demi sorotan, dan relasi rakyat-pemimpin bergeser dari kontrak sosial menjadi transaksi singkat.⁵

Polarisasi sosial yang semakin tajam serta melemahnya akuntabilitas menandakan bahwa demokrasi kontemporer tengah menghadapi risiko menjadi prosedural belaka.⁶

11.3.   Jalan ke Depan: Politik Substansial dan Demokrasi Inklusif

Meskipun demikian, kritik terhadap politik pencitraan tidak berarti menolak peran simbol dalam politik. Simbol tetap penting sebagai sarana komunikasi, tetapi simbol harus diarahkan pada substansi. Dengan memperkuat evidence-based policy, mendukung media kritis, meningkatkan literasi digital publik, serta mendorong populisme inklusif, demokrasi dapat diselamatkan dari jebakan politik permukaan.⁷

Refleksi filosofis mengingatkan bahwa politik pada akhirnya adalah seni mengelola polis demi kebaikan bersama, bukan sekadar seni mengelola sorotan. Seperti ditekankan Aristoteles, tujuan politik adalah mewujudkan eudaimonia—kesejahteraan bersama—bukan hanya penciptaan citra sesaat.⁸


Penutup

Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa politik pencitraan adalah realitas tak terhindarkan dalam era digital, tetapi dampaknya harus terus dikritisi dan diarahkan. Demokrasi Indonesia—dan dunia—akan rapuh bila hanya dipandu oleh logika viralitas. Tugas intelektual, media, dan masyarakat sipil adalah menjaga agar sorotan tidak menggantikan substansi, agar gimmick tidak menggantikan kebijakan, dan agar panggung politik tetap berakar pada tanggung jawab moral pemimpin untuk menyejahterakan rakyat.⁹


Footnotes

[1]                David Greenberg, Republic of Spin: An Inside History of the American Presidency (New York: W.W. Norton, 2016), 210–15.

[2]                Ros Tapsell, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (Lanham: Rowman & Littlefield, 2017), 141–43.

[3]                Jonathan Corpus Ong and Jason Cabañes, “Architects of Networked Disinformation: Behind the Scenes of Troll Accounts and Fake News Production in the Philippines,” Critical Asian Studies 50, no. 3 (2018): 330–32.

[4]                Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity, 2012), 18–20.

[5]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 305–08.

[6]                Freedom House, Freedom in the World 2021: Democracy under Siege (Washington, DC: Freedom House, 2021), 12–15.

[7]                Paul Cairney, The Politics of Evidence-Based Policy Making (London: Palgrave Macmillan, 2016), 3–5.

[8]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 1252a–1253a.

[9]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 219–21.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1958). The human condition. Chicago: University of Chicago Press.

Aristotle. (2013). Politics (C. Lord, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Australian National University. (2020). The politics of social protection in Indonesia. ANU Policy Paper.

Australian Strategic Policy Institute. (2019). Cyber troops, online manipulation of public opinion, and the future of democracy in Indonesia. Canberra: ASPI.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). Ann Arbor: University of Michigan Press.

BBC News. (2014). Jokowi: From furniture seller to president. Retrieved from BBC.

Bimber, B. (2003). Information and American democracy: Technology in the evolution of political power. Cambridge: Cambridge University Press.

Bump, P. (2021, January). Trump’s border wall: How much has been built during his term? The Washington Post.

Cairney, P. (2016). The politics of evidence-based policy making. London: Palgrave Macmillan.

Cairney, P., & Oliver, K. (2017). Evidence-based policy making: The illusion of a straightforward solution. Political Studies Review, 15(3), 316–327.

Carothers, T. (2002). The end of the transition paradigm. Journal of Democracy, 13(1), 5–21.

Castells, M. (2012). Networks of outrage and hope: Social movements in the internet age. Cambridge: Polity.

Creel, G. (1920). How we advertised America: The first telling of the amazing story of the Committee on Public Information that carried the gospel of Americanism to every corner of the globe. New York: Harper & Brothers.

Curran, J. (2002). Media and power. London: Routledge.

Curato, N. (2017). Flirting with authoritarian fantasies: Rodrigo Duterte and the new terms of Philippine populism. Singapore: NUS Press.

Diamond, L. (2019). Ill winds: Saving democracy from Russian rage, Chinese ambition, and American complacency. New York: Penguin.

DiResta, R., et al. (2019). The tactics & tropes of the Internet Research Agency. New York: New Knowledge.

Edelman, M. (1988). Constructing the political spectacle. Chicago: University of Chicago Press.

Ellner, S. (2006). Hugo Chávez’s “participatory democracy”: Origins, dimensions, and contradictions. Latin American Perspectives, 33(2), 49–62.

Entman, R. M. (1993). Framing: Toward clarification of a fractured paradigm. Journal of Communication, 43(4), 51–58.

Freedom House. (2021). Freedom in the world 2021: Democracy under siege. Washington, DC: Freedom House.

Greenberg, D. (2016). Republic of spin: An inside history of the American presidency. New York: W.W. Norton.

Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere. Cambridge: MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. Cambridge: MIT Press.

Harriss, J. (2000). The depoliticization of development. Journal of Development Studies, 36(6), 1–12.

Hay, C. (2007). Why we hate politics. Cambridge: Polity.

Hedges, J. (2016). Evita: The life of Eva Perón. London: Tauris.

Howard, P. N. (2006). New media campaigns and the managed citizen. Cambridge: Cambridge University Press.

Howard, P. N., & Hussain, M. M. (2013). Democracy’s fourth wave? Digital media and the Arab Spring. Oxford: Oxford University Press.

Howard, P. N., & Kollanyi, B. (2017). Bots, #StrongerIn, and #Brexit: Computational propaganda during the UK-EU referendum. Political Communication, 34(2), 211–227.

Human Rights Watch. (2017). License to kill: Philippine police killings in Duterte’s “war on drugs”. New York: HRW.

Jones, T. (2003). The dark heart of Italy. London: Faber & Faber.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kreiss, D. (2012). Taking our country back: The crafting of networked politics from Howard Dean to Barack Obama. Oxford: Oxford University Press.

Laclau, E. (2005). On populist reason. London: Verso.

Lees-Marshment, J. (2001). Political marketing and British political parties: The party’s just begun. Manchester: Manchester University Press.

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411–427.

Livingstone, S. (2004). Media literacy and the challenge of new information and communication technologies. London: London School of Economics.

McChesney, R. (1999). Rich media, poor democracy: Communication politics in dubious times. New York: The New Press.

McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176–187.

Mietzner, M. (2012). Indonesia’s democratic stagnation: Anti-reformist elites and resilient civil society. Democratization, 19(2), 209–229.

Moffitt, B. (2016). The global rise of populism: Performance, political style, and representation. Stanford: Stanford University Press.

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Oborne, P. (2005). The rise of political lying. London: Free Press.

Ong, J. C., & Cabañes, J. (2018). Architects of networked disinformation: Behind the scenes of troll accounts and fake news production in the Philippines. Critical Asian Studies, 50(3), 323–347.

Oxford Internet Institute. (2020). Industrialized disinformation: 2020 global inventory of organized social media manipulation. Oxford: OII.

Papacharissi, Z. (2010). A private sphere: Democracy in a digital age. Cambridge: Polity.

Plotkin, M. B. (2003). Mañana es San Perón: A cultural history of Peronism in Argentina. Wilmington: SR Books.

Power, T. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338.

Rappler. (2016). Propaganda war: Weaponizing the internet. Retrieved from rappler.

Scacco, J. M., & Coe, K. (2021). The ubiquitous presidency: Presidential communication and digital democracy in tumultuous times. Oxford: Oxford University Press.

Stille, A. (2002, April). Berlusconi’s shadow. The New Yorker.

Tapsell, R. (2017). Media power in Indonesia: Oligarchs, citizens and the digital revolution. Lanham: Rowman & Littlefield.

Tempo. (2019, July). Ridwan Kamil dan politik gaya milenial. Tempo.

The Economist. (2020, March 14). Governing by headline. The Economist.

The Intercept. (2019). Indonesia’s cyber army: The government paid buzzers. Retrieved from theintercept.

The New York Times. (1960, October 21). 70 million saw Kennedy-Nixon debate. The New York Times.

The New York Times. (2016, December 7). They are slaughtering us like animals. The New York Times.

UNESCO. (2019). Global education monitoring report 2019: Migration, displacement and education. Paris: UNESCO.

Urbinati, N. (2014). Democracy disfigured: Opinion, truth, and the people. Cambridge: Harvard University Press.

van Dijck, J., Poell, T., & de Waal, M. (2018). The platform society: Public values in a connective world. Oxford: Oxford University Press.

Welch, D. (1983). Propaganda and the German cinema, 1933–1945. Oxford: Oxford University Press.

White, T. H. (1961). The making of the president 1960. New York: Atheneum.

World Health Organization. (2020). World health statistics 2020. Geneva: WHO.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. New York: PublicAffairs.

We Are Social. (2023, January). Digital 2023: Indonesia. Retrieved from wearesocial.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar