Kamis, 05 Desember 2024

Apakah seorang pejabat pemerintahan diperbolehkan secara etis menggarisbawahi istilah 'rakyat jelata' dalam pernyataannya di depan publik?

 Rakyat Jelata: Definisi, Peran, Posisi, dan Etika dalam Narasi Publik oleh Pejabat Pemerintahan

Sumber Gambar: Repelita


Pendahuluan

Istilah "rakyat jelata" sering kali digunakan untuk merujuk pada kelompok masyarakat yang berada di posisi hierarkis bawah dalam struktur sosial. Dalam tradisi historis dan budaya, rakyat jelata sering dianggap sebagai bagian mayoritas yang memainkan peran signifikan dalam kehidupan berbangsa, meskipun kontribusinya kerap kurang diakui. Istilah ini memiliki konotasi beragam, bergantung pada konteks penggunaannya. Dalam konteks komunikasi publik, penggunaan istilah ini oleh pejabat pemerintahan memunculkan perdebatan etis, terutama terkait dengan potensi dampak psikologis dan sosial terhadap masyarakat yang menjadi objek penyebutan tersebut.

Secara historis, istilah ini telah ada sejak era feodalisme, di mana "jelata" merujuk pada kaum petani atau pekerja yang menjadi tulang punggung perekonomian tetapi tidak memiliki akses ke kekuasaan atau pengaruh politik. Dalam konteks modern, istilah ini sering kali diasosiasikan dengan masyarakat kelas bawah yang menghadapi berbagai tantangan struktural, termasuk akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan layanan publik.¹ Namun, penggunaan istilah ini di ruang publik, terutama oleh pejabat pemerintahan, dapat dipersepsikan berbeda, baik sebagai pengakuan atas kondisi sosial-ekonomi masyarakat atau sebagai bentuk pelabelan yang berpotensi melanggengkan stigma.

Pembahasan etika dalam komunikasi publik menjadi penting karena kata-kata yang digunakan oleh pejabat publik memiliki bobot yang dapat memengaruhi persepsi dan hubungan antara pemerintah dan rakyat.² Dalam teori komunikasi politik, narasi yang digunakan oleh pemimpin dapat membentuk opini publik dan membangun atau merusak kepercayaan sosial.³ Maka, pertanyaan "Apakah seorang pejabat pemerintahan diperbolehkan secara etis menggarisbawahi istilah 'rakyat jelata' dalam pernyataannya di depan publik?" menjadi sangat relevan untuk dibahas, mengingat dampak filosofis dan praktisnya.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mendalam tentang definisi, peran, dan posisi rakyat jelata dalam masyarakat berdasarkan perspektif filosofis dan sosiologis. Selain itu, artikel ini akan mengupas secara kritis pertimbangan etis penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat pemerintahan dalam komunikasi publik, dengan merujuk pada teori-teori etika dan kasus-kasus aktual. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memahami dimensi kompleks dari istilah tersebut dan implikasinya dalam konteks sosial dan politik.


Catatan Kaki:

[1]              Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 263.

[2]              Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge: MIT Press, 1991), hlm. 178.

[3]              Joseph S. Nye Jr., The Powers to Lead (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 51.


Bab I: Definisi dan Makna "Rakyat Jelata"

1.1.       Etimologi dan Sejarah Istilah

Istilah "rakyat jelata" memiliki akar yang mendalam dalam tradisi sosial dan historis. Kata "jelata" berasal dari bahasa Melayu Klasik yang merujuk pada golongan masyarakat biasa, yang secara hierarkis berada di bawah kaum bangsawan atau elite.¹ Dalam konteks tradisional, istilah ini sering digunakan untuk mendeskripsikan kaum petani, buruh, atau kelompok pekerja kasar yang menjalankan fungsi ekonomi dasar masyarakat, tetapi tidak memiliki akses kepada kekuasaan atau pengaruh politik.²

Di dunia Barat, istilah yang setara dengan "rakyat jelata" dapat ditemukan dalam kata seperti commoners atau peasantry. Pada era feodalisme di Eropa, istilah ini merujuk pada kelompok yang tunduk kepada kaum aristokrat dan menjadi bagian penting dalam struktur agraris.³ Dalam konteks Islam, istilah serupa ditemukan dalam konsep "masakin" atau "mustadh'afin," yaitu kelompok yang secara sosial dan ekonomi berada dalam posisi lemah, tetapi tetap menjadi perhatian utama dalam ajaran keadilan sosial.⁴

1.2.       Definisi Kontemporer

Dalam wacana modern, istilah "rakyat jelata" sering digunakan untuk menggambarkan masyarakat kelas bawah atau mayoritas yang tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Definisi ini mencakup mereka yang bekerja dalam sektor informal, berpenghasilan rendah, dan memiliki keterbatasan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik.⁵ Namun, makna istilah ini dapat berbeda tergantung pada konteks penggunaannya, apakah digunakan secara deskriptif, merendahkan, atau justru memuliakan peran mereka dalam masyarakat.

Dalam kajian sosiologi modern, rakyat jelata didefinisikan sebagai kelompok mayoritas yang menjadi basis dari struktur sosial.⁶ Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang modal sosial dan budaya, menjelaskan bahwa kelompok ini sering kali mengalami ketimpangan akses terhadap modal ekonomi, sosial, dan simbolik, yang membatasi mereka dari mobilitas vertikal dalam masyarakat.⁷ Oleh karena itu, istilah "jelata" juga dapat dianggap sebagai refleksi dari ketimpangan struktural dalam sistem sosial.

1.3.       Makna Konotatif: Positif dan Negatif

Makna "rakyat jelata" dapat membawa konotasi yang beragam, bergantung pada bagaimana istilah ini digunakan. Dalam konteks positif, istilah ini dapat dianggap sebagai pengakuan terhadap kelompok mayoritas yang menjadi pilar utama pembangunan masyarakat. Sebagai contoh, dalam retorika politik populis, "rakyat jelata" sering disebut sebagai simbol kedaulatan rakyat dan perjuangan melawan ketidakadilan sosial.⁸

Namun, dalam konteks negatif, istilah ini dapat dianggap merendahkan, terutama jika digunakan untuk menggambarkan kelompok masyarakat yang dianggap tidak berdaya atau kurang berpendidikan. Hal ini menimbulkan potensi stigmatisasi yang dapat memperkuat stereotip negatif terhadap masyarakat kelas bawah.⁹

1.4.       Implikasi Filosofis

Dari perspektif filosofis, istilah "rakyat jelata" merepresentasikan perdebatan tentang kesetaraan dan keadilan sosial. Dalam teori keadilan John Rawls, perhatian terhadap rakyat jelata adalah bagian dari prinsip distribusi yang adil, di mana kebijakan sosial harus dirancang untuk memberikan keuntungan maksimal kepada kelompok yang paling tidak diuntungkan.¹⁰ Begitu pula dalam filsafat Islam, keadilan terhadap kelompok mustadh'afin menjadi salah satu prinsip dasar dalam pemerintahan yang ideal.¹¹

Bab ini memberikan kerangka pemahaman yang lebih luas tentang "rakyat jelata," baik dalam konteks historis, sosiologis, maupun filosofis, yang akan menjadi dasar untuk analisis dalam bab-bab berikutnya.


Catatan Kaki:

[1]              Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), hlm. 321.

[2]              E.J. Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789-1848 (New York: Vintage, 1996), hlm. 45.

[3]              Marc Bloch, Feudal Society: Social Classes and Political Organization (London: Routledge, 1989), hlm. 84.

[4]              Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981), hlm. 53.

[5]              Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.

[6]              Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), hlm. 72.

[7]              Ibid.

[8]              Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 67.

[9]              Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hlm. 112.

[10]          John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hlm. 75.

[11]          Abul A'la Maududi, The Islamic Way of Life (Leicester: The Islamic Foundation, 1991), hlm. 23.


Bab II: Peran dan Posisi Rakyat Jelata dalam Masyarakat

2.1.       Peran dalam Struktur Sosial

1)            Tulang Punggung Ekonomi

Rakyat jelata memiliki peran vital sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat. Kelompok ini mencakup buruh, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal yang menopang kebutuhan dasar masyarakat.¹ Dalam perspektif ekonomi klasik, seperti yang diuraikan oleh Adam Smith, rakyat jelata adalah produsen utama dalam rantai nilai ekonomi, yang peran mereka mendukung stabilitas pasar dan pemenuhan kebutuhan dasar.²

Dalam konteks negara berkembang, kontribusi rakyat jelata sering kali terlihat dalam sektor agraris dan ekonomi informal.³ Di Indonesia, data menunjukkan bahwa sekitar 57,5% tenaga kerja berada di sektor informal, yang sebagian besar terdiri dari kelompok yang bisa dikategorikan sebagai rakyat jelata.⁴ Sumbangsih mereka terhadap produksi pangan, pembangunan infrastruktur, dan jasa informal menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan sosial dan ekonomi bangsa.

2)            b. Agen Perubahan Sosial

Rakyat jelata juga memainkan peran penting dalam perubahan sosial dan politik. Dalam sejarah, berbagai gerakan revolusioner dan perjuangan melawan ketidakadilan sosial dipelopori oleh rakyat jelata, seperti Revolusi Perancis (1789) dan gerakan nasionalisme di Asia-Afrika.⁵ Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa kesadaran kritis (critical consciousness) yang muncul dari kalangan rakyat tertindas dapat menjadi kekuatan transformasi sosial yang signifikan.⁶

2.2.       Posisi dalam Teori Sosial

1)            Perspektif Teori Kelas

Dari sudut pandang teori kelas Marxian, rakyat jelata sering diidentifikasi sebagai proletariat, yakni kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan bergantung pada penjualan tenaga kerja.⁷ Karl Marx memandang bahwa rakyat jelata, sebagai mayoritas dalam masyarakat kapitalis, memiliki potensi revolusioner untuk menggantikan sistem kapitalis dengan tatanan yang lebih adil.⁸

Namun, dalam analisis Max Weber, posisi rakyat jelata tidak hanya ditentukan oleh kepemilikan ekonomi, tetapi juga oleh status sosial dan akses terhadap kekuasaan politik.⁹ Weber menyoroti pentingnya dimensi stratifikasi sosial yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik dalam menentukan posisi rakyat jelata.

2)            Konsep Egalitarianisme

Teori egalitarianisme, seperti yang dikemukakan oleh John Rawls, menempatkan rakyat jelata sebagai kelompok yang harus mendapatkan perhatian utama dalam kebijakan publik.¹⁰ Prinsip "difference principle" Rawls menggarisbawahi bahwa ketimpangan sosial hanya dapat diterima jika memberikan manfaat terbesar kepada kelompok yang paling kurang beruntung, yang sering kali mencakup rakyat jelata.¹¹

3)            Perspektif Islam

Dalam Islam, rakyat jelata termasuk dalam kelompok mustadh'afin yang menjadi perhatian utama dalam distribusi keadilan sosial.¹² Dalam pandangan Ibn Khaldun, mereka adalah fondasi peradaban (umran), yang keberadaannya menjadi penanda stabilitas dan kesejahteraan suatu masyarakat.¹³ Konsep ini menekankan pentingnya menjaga hak-hak rakyat jelata sebagai wujud dari keadilan dan keberlanjutan sosial.

2.3.       Tantangan yang Dihadapi

Rakyat jelata menghadapi berbagai tantangan struktural yang membatasi partisipasi mereka dalam pembangunan sosial dan politik, seperti:

·                     Ketimpangan Ekonomi:

Rakyat jelata sering terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun.¹⁴

·                     Keterbatasan Akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan:

Kelompok ini sering menghadapi hambatan dalam mendapatkan layanan dasar, yang memperkuat ketidaksetaraan sosial.¹⁵

·                     Stigma Sosial:

Label sebagai "kelas bawah" dapat memperkuat stereotip negatif, yang menghambat mobilitas sosial mereka.¹⁶


Kesimpulan Bab

Rakyat jelata memegang peran yang sangat penting dalam struktur masyarakat, baik sebagai tulang punggung ekonomi, agen perubahan sosial, maupun simbol keadilan sosial dalam teori politik. Namun, posisi mereka sering kali dipengaruhi oleh ketimpangan struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan publik untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Analisis ini menjadi landasan penting untuk membahas etika dalam penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat pemerintahan.


Catatan Kaki:

[1]              Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.

[2]              Adam Smith, The Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), hlm. 13.

[3]              E.J. Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789-1848 (New York: Vintage, 1996), hlm. 56.

[4]              Badan Pusat Statistik (BPS), "Laporan Tenaga Kerja Indonesia," 2023.

[5]              Marc Bloch, Feudal Society: Social Classes and Political Organization (London: Routledge, 1989), hlm. 84.

[6]              Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), hlm. 45.

[7]              Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (London: Penguin Books, 1848), hlm. 18.

[8]              Ibid.

[9]              Max Weber, Economy and Society (Berkeley: University of California Press, 1978), hlm. 302.

[10]          John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hlm. 75.

[11]          Ibid.

[12]          Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981), hlm. 53.

[13]          Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), hlm. 57.

[14]          Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), hlm. 147.

[15]          Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 87.

[16]          Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hlm. 112.


Bab III: Perspektif Etika dalam Penggunaan Istilah oleh Pejabat Publik

3.1.       Teori Etika yang Relevan

1)            Utilitarianisme

Dalam pandangan utilitarianisme, setiap tindakan atau pernyataan pejabat publik harus dievaluasi berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.¹ Penggunaan istilah "rakyat jelata" dapat dianggap etis jika istilah tersebut berkontribusi pada terciptanya manfaat terbesar bagi mayoritas, seperti membangkitkan solidaritas sosial atau mendorong kebijakan yang mendukung kesejahteraan mereka. Namun, jika istilah ini menimbulkan stigma atau merendahkan kelompok tertentu, maka penggunaannya bertentangan dengan prinsip utilitarianisme.²

Sebagai contoh, pernyataan seorang pejabat yang secara eksplisit menyebut "rakyat jelata" dalam konteks empati dan kepedulian terhadap masalah yang mereka hadapi dapat membawa dampak positif. Sebaliknya, penggunaan istilah ini dalam konteks yang bernada merendahkan justru menciptakan ketidakpuasan dan memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat.

2)            Deontologi

Deontologi, seperti yang dirumuskan oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan harus dinilai berdasarkan kewajiban moral dan prinsip universal, bukan hanya hasilnya.³ Dalam konteks ini, penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat publik harus mempertimbangkan apakah penyebutan tersebut menghormati martabat manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat.⁴ Mengacu pada prinsip Kantian, tindakan yang merendahkan martabat rakyat jelata, meskipun menghasilkan dampak positif, tetap tidak dapat diterima secara moral.

Sebagai contoh, pejabat yang menggunakan istilah ini untuk menjustifikasi ketimpangan sosial tanpa solusi konkret melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Oleh karena itu, pejabat publik harus memastikan bahwa narasi mereka mencerminkan penghormatan terhadap semua kelompok masyarakat.

3)            Etika Kebajikan

Dalam perspektif etika kebajikan, fokusnya adalah pada karakter dan niat moral dari individu yang bertindak.⁵ Penggunaan istilah "rakyat jelata" dianggap etis jika mencerminkan kebajikan seperti empati, keadilan, dan tanggung jawab. Sebaliknya, jika istilah ini digunakan untuk memperkuat stereotip negatif atau mempertahankan kekuasaan, maka tindakan tersebut tidak sejalan dengan etika kebajikan.⁶

3.2.       Pengaruh Narasi Publik

1)            Dampak terhadap Persepsi Masyarakat

Narasi yang digunakan pejabat publik dapat memengaruhi cara masyarakat memandang diri mereka sendiri dan kelompok lain. Jika istilah "rakyat jelata" digunakan secara konstruktif, seperti untuk memperjuangkan hak-hak mereka, istilah ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan solidaritas sosial.⁷ Namun, jika istilah ini digunakan untuk mengukuhkan hierarki sosial, hal tersebut dapat memperkuat stigma dan memunculkan perasaan terpinggirkan.⁸

2)            Potensi Polaritas Sosial

Retorika pejabat yang tidak sensitif terhadap makna dan dampak istilah ini dapat memperdalam polarisasi sosial. Dalam konteks populisme, istilah "rakyat jelata" sering kali digunakan untuk menciptakan dikotomi antara "rakyat" dan "elite," yang dapat memperburuk konflik kelas.⁹ Oleh karena itu, pejabat harus berhati-hati dalam membingkai narasi mereka agar tidak memicu perpecahan sosial.

3.3.       Kerangka Etis untuk Penggunaan Istilah

1)            Konteks dan Intensi

Etika penggunaan istilah "rakyat jelata" sangat bergantung pada konteks dan niat di balik penggunaannya.¹⁰ Dalam pidato yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang ketimpangan sosial, istilah ini dapat diterima jika digunakan dengan empati dan tujuan yang konstruktif. Sebaliknya, dalam konteks yang bernada merendahkan, penggunaan istilah ini menjadi tidak etis.

2)            Komunikasi yang Inklusif

Pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang inklusif dan tidak menimbulkan diskriminasi.¹¹ Istilah yang digunakan harus mencerminkan penghormatan terhadap semua kelompok masyarakat, tanpa memperkuat stereotip atau ketimpangan sosial.

3.4.       Studi Kasus dan Pembelajaran

Penggunaan istilah "rakyat jelata" dalam komunikasi publik telah menjadi sorotan dalam beberapa kasus. Sebagai contoh, dalam konteks kampanye politik, beberapa kandidat menggunakan istilah ini untuk menciptakan kesan bahwa mereka dekat dengan rakyat. Namun, jika retorika tersebut tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka hal ini dapat dianggap manipulatif dan tidak etis.¹²

Sebagai pembanding, beberapa pejabat di negara-negara Nordik lebih memilih menggunakan istilah yang mencerminkan kesetaraan, seperti "masyarakat umum" atau "rakyat pekerja," yang lebih inklusif dan netral secara emosional.¹³


Catatan Kaki:

[1]              Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), hlm. 13.

[2]              John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), hlm. 23.

[3]              Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 38.

[4]              Ibid.

[5]              Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), hlm. 122.

[6]              Ibid.

[7]              Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 45.

[8]              Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hlm. 67.

[9]              Cas Mudde, Populist Radical Right Parties in Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 98.

[10]          Michael Sandel, Justice: What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2009), hlm. 92.

[11]          Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm. 109.

[12]          Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.

[13]          Lars Trägårdh, State and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered (Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.


Bab IV: Analisis Kritis atas Pertanyaan Etis

Pertanyaan etis, "Apakah seorang pejabat pemerintahan diperbolehkan secara etis menggarisbawahi istilah 'rakyat jelata' dalam pernyataannya di depan publik?" memerlukan analisis mendalam karena melibatkan aspek moral, sosial, dan politik. Analisis ini akan mempertimbangkan teori etika, dampak sosial, dan konteks penggunaan istilah tersebut untuk menilai apakah tindakan tersebut dapat diterima secara etis.

4.1.       Analisis Berdasarkan Teori Etika

1)            Utilitarianisme

Dalam pandangan utilitarianisme, tindakan seorang pejabat menggunakan istilah "rakyat jelata" harus dinilai berdasarkan dampak positif atau negatif terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.¹

·                     Argumentasi Pro:

Jika istilah ini digunakan untuk meningkatkan kesadaran tentang ketimpangan sosial atau sebagai bagian dari kebijakan yang dirancang untuk membantu kelompok tersebut, maka penggunaannya dapat diterima.² Sebagai contoh, seorang pejabat yang menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kebutuhan mendesak dalam program bantuan sosial dapat menciptakan efek positif dengan memobilisasi dukungan publik.

·                     Argumentasi Kontra:

Namun, jika istilah ini menimbulkan stigma atau rasa rendah diri di kalangan masyarakat yang disebut, maka tindakan tersebut menjadi tidak etis karena menciptakan kerugian emosional dan sosial yang lebih besar daripada manfaatnya.³

2)            Deontologi

Dalam pendekatan deontologis, tindakan pejabat harus dinilai berdasarkan kewajiban moral dan prinsip universal, bukan hasilnya.⁴

·                     Argumentasi Pro:

Jika penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk mengakui realitas sosial dan memperjuangkan keadilan, maka hal tersebut dapat dianggap sejalan dengan prinsip moralitas universal.⁵ Sebagai contoh, pejabat yang menggunakan istilah ini untuk menyoroti ketidakadilan sosial sedang menjalankan kewajiban moralnya sebagai pelayan publik.

·                     Argumentasi Kontra:

Namun, istilah yang berpotensi merendahkan martabat manusia tidak dapat dibenarkan, terlepas dari niat atau hasilnya. Menurut Kantian ethics, tindakan tersebut melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia.⁶

3)            Etika Kebajikan

Dalam etika kebajikan, niat dan karakter pejabat menjadi fokus utama. Penggunaan istilah "rakyat jelata" hanya dapat diterima jika didasari oleh niat yang mulia, seperti empati dan keadilan.⁷ Namun, jika istilah ini digunakan untuk tujuan populisme atau mempertahankan hierarki sosial, maka tindakan tersebut bertentangan dengan kebajikan kepemimpinan yang ideal.⁸

4.2.       Dampak Sosial dan Politik

1)            Stigmatisasi dan Stereotipisasi

Penggunaan istilah "rakyat jelata" dapat memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok masyarakat yang disebut.⁹ Label seperti ini sering kali memposisikan mereka sebagai "kelas bawah" yang tidak mampu, sehingga memperkuat ketimpangan sosial dan hierarki kelas.¹⁰ Misalnya, dalam diskursus politik, istilah ini dapat digunakan untuk menjustifikasi perbedaan perlakuan antara kelompok sosial yang berbeda, yang berpotensi memperburuk fragmentasi sosial.

2)            Potensi Alienasi

Istilah yang dianggap merendahkan dapat menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan rakyatnya.¹¹ Sebuah survei tentang kepercayaan publik terhadap pejabat menunjukkan bahwa penggunaan bahasa yang tidak sensitif sering kali menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.¹² Oleh karena itu, penting bagi pejabat untuk memilih bahasa yang inklusif dan menghormati semua kelompok masyarakat.

3)            Narasi Populisme

Dalam beberapa kasus, istilah "rakyat jelata" digunakan dalam konteks populisme untuk menciptakan dikotomi antara "rakyat" dan "elite."¹³ Meskipun narasi ini dapat efektif secara politis, penggunaannya yang berlebihan dapat memperkuat polarisasi sosial dan mengurangi rasa persatuan di masyarakat.

4.3.       Konteks Penggunaan dan Etika

Penggunaan istilah "rakyat jelata" tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan politik di mana istilah tersebut digunakan.¹⁴ Seorang pejabat mungkin menggunakan istilah ini dalam konteks yang berbeda, seperti:

·                     Untuk Empati:

Dalam situasi darurat, istilah ini dapat digunakan untuk menunjukkan solidaritas dengan kelompok yang rentan.

·                     Untuk Manipulasi:

Dalam konteks populisme, istilah ini dapat digunakan untuk memobilisasi dukungan, tetapi sering kali tanpa tindakan nyata yang menguntungkan kelompok tersebut.

·                     Untuk Kritik:

Dalam kritik terhadap kebijakan yang tidak adil, istilah ini dapat berfungsi untuk menggarisbawahi kebutuhan mendesak dari kelompok yang terpinggirkan.

4.4.       Rekomendasi Komunikasi Etis

Untuk mencegah dampak negatif, pejabat publik harus mempertimbangkan beberapa prinsip berikut:

·                     Bahasa yang Inklusif:

Menggunakan istilah yang netral dan menghormati martabat semua kelompok.¹⁵

·                     Konteks yang Jelas:

Memberikan penjelasan yang mendalam tentang tujuan penggunaan istilah tersebut.

·                     Tindakan Konkret:

Mengikuti penggunaan istilah dengan kebijakan yang nyata untuk membantu kelompok yang disebut.


Kesimpulan Bab

Secara etis, penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat publik memiliki potensi manfaat dan risiko yang besar. Analisis berdasarkan teori etika, dampak sosial, dan konteks penggunaannya menunjukkan bahwa istilah ini dapat diterima dalam situasi tertentu, tetapi penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari stigmatisasi dan memperkuat kepercayaan publik.


Catatan Kaki:

[1]              Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), hlm. 13.

[2]              John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), hlm. 23.

[3]              Ibid.

[4]              Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 38.

[5]              Ibid.

[6]              Ibid.

[7]              Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), hlm. 122.

[8]              Ibid.

[9]              Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hlm. 67.

[10]          Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.

[11]          Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm. 109.

[12]          Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.

[13]          Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 45.

[14]          Lars Trägårdh, State and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered (Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.

[15]          Michael Sandel, Justice: What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2009), hlm. 92.


Penutup

Dalam kajian ini, istilah "rakyat jelata" diurai melalui perspektif filosofis, sosial, dan etika, menunjukkan kompleksitas makna dan dampaknya dalam struktur masyarakat dan komunikasi publik. Istilah ini memiliki akar historis yang dalam, sering digunakan untuk menggambarkan masyarakat kelas bawah yang berperan sebagai tulang punggung ekonomi dan agen perubahan sosial, tetapi juga kerap menjadi objek stigma sosial.

Dari analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa poin utama:

1)                  Definisi dan Peran Rakyat Jelata dalam Masyarakat

Rakyat jelata memiliki kontribusi yang tak tergantikan dalam struktur masyarakat. Mereka adalah produsen dan penyokong ekonomi sekaligus pelopor dalam gerakan sosial yang bertujuan memperjuangkan keadilan.¹ Namun, posisi mereka dalam hierarki sosial sering kali membuat mereka rentan terhadap marginalisasi dan diskriminasi, baik secara ekonomi maupun simbolik.²

2)                  Etika Penggunaan Istilah oleh Pejabat Publik

Penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat pemerintahan memunculkan pertanyaan etis yang signifikan. Berdasarkan teori etika seperti utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan, istilah ini dapat diterima secara moral jika digunakan dengan niat baik, dalam konteks yang mendukung solidaritas sosial, dan disertai kebijakan nyata yang membela hak-hak mereka.³ Sebaliknya, jika istilah ini digunakan untuk memperkuat hierarki sosial atau demi tujuan populisme tanpa komitmen substansial, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara etis.⁴

3)                  Pengaruh terhadap Narasi Publik

Narasi pejabat publik yang tidak sensitif terhadap makna istilah ini dapat memperkuat stereotip negatif dan menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan rakyat.⁵ Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam penggunaan istilah ini, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap persepsi masyarakat dan kepercayaan publik.

4)                  Konteks dan Tanggung Jawab

Konteks penggunaan istilah sangat menentukan etis atau tidaknya tindakan tersebut. Pejabat publik harus memahami bahwa bahasa yang mereka gunakan memiliki konsekuensi sosial yang luas. Komunikasi publik harus mencerminkan prinsip keadilan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap martabat semua lapisan masyarakat.⁶

Rekomendasi

Berdasarkan temuan dalam kajian ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan:

·                     Pejabat publik perlu mengutamakan bahasa yang inklusif dan netral untuk menghindari stigmatisasi.⁷

·                     Pendidikan etika komunikasi bagi pejabat pemerintahan menjadi penting untuk meningkatkan sensitivitas sosial dalam penggunaan istilah tertentu.

·                     Kebijakan publik harus dirancang dengan fokus pada penghapusan ketimpangan sosial yang dihadapi oleh rakyat jelata, sehingga istilah ini tidak hanya menjadi retorika tanpa makna.⁸

Kajian ini menekankan pentingnya penggunaan istilah yang sesuai dan bertanggung jawab dalam narasi publik, terutama oleh pejabat pemerintahan. Sebagai pelayan masyarakat, pejabat memiliki kewajiban moral untuk menjaga hubungan yang harmonis dan adil dengan rakyatnya. Dengan demikian, istilah "rakyat jelata" harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat solidaritas sosial, bukan sebagai alat untuk mempertahankan ketimpangan.


Catatan Kaki:

[1]              Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.

[2]              Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), hlm. 72.

[3]              Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), hlm. 13.

[4]              Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 38.

[5]              Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm. 109.

[6]              Michael Sandel, Justice: What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2009), hlm. 92.

[7]              Lars Trägårdh, State and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered (Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.

[8]              Thomas Piketty, Capital and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.


Daftar Pustaka

Anthony Giddens. Sociology. Edisi ke-7. Cambridge: Polity Press, 2013.

Arjun Appadurai. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996.

Alasdair MacIntyre. After Virtue. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981.

Adam Smith. The Wealth of Nations. London: W. Strahan and T. Cadell, 1776.

Cas Mudde. Populist Radical Right Parties in Europe. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

E.J. Hobsbawm. The Age of Revolution: Europe 1789-1848. New York: Vintage, 1996.

Ernesto Laclau. On Populist Reason. London: Verso, 2005.

Immanuel Kant. Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

Jürgen Habermas. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: MIT Press, 1991.

Jürgen Habermas. The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press, 1984.

Jeremy Bentham. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1907.

John Rawls. A Theory of Justice. Revised Edition. Cambridge: Harvard University Press, 1999.

John Stuart Mill. Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn, 1863.

Karl Marx dan Friedrich Engels. The Communist Manifesto. London: Penguin Books, 1848.

Lars Trägårdh. State and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered. Oxford: Berghahn Books, 2007.

Marc Bloch. Feudal Society: Social Classes and Political Organization. London: Routledge, 1989.

Michael Sandel. Justice: What's the Right Thing to Do?. New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2009.

Paulo Freire. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, 1970.

Pierre Bourdieu. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press, 1984.

Thomas Piketty. Capital and Ideology. Cambridge: Harvard University Press, 2020.

Thomas Piketty. Capital in the Twenty-First Century. Cambridge: Harvard University Press, 2014.

Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Zakah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981.

Ibn Khaldun. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.

Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan Tenaga Kerja Indonesia, 2023.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar