Rakyat Jelata: Definisi, Peran, Posisi, dan Etika dalam Narasi Publik oleh Pejabat Pemerintahan
Pendahuluan
Istilah "rakyat jelata"
sering kali digunakan untuk merujuk pada kelompok masyarakat yang berada di
posisi hierarkis bawah dalam struktur sosial. Dalam tradisi historis dan
budaya, rakyat jelata sering dianggap sebagai bagian mayoritas yang memainkan
peran signifikan dalam kehidupan berbangsa, meskipun kontribusinya kerap kurang
diakui. Istilah ini memiliki konotasi beragam, bergantung pada konteks
penggunaannya. Dalam konteks komunikasi publik, penggunaan istilah ini oleh
pejabat pemerintahan memunculkan perdebatan etis, terutama terkait dengan
potensi dampak psikologis dan sosial terhadap masyarakat yang menjadi objek
penyebutan tersebut.
Secara historis, istilah ini telah ada sejak era
feodalisme, di mana "jelata" merujuk pada kaum petani atau
pekerja yang menjadi tulang punggung perekonomian tetapi tidak memiliki akses
ke kekuasaan atau pengaruh politik. Dalam konteks modern, istilah ini sering
kali diasosiasikan dengan masyarakat kelas bawah yang menghadapi berbagai
tantangan struktural, termasuk akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan layanan
publik.¹ Namun, penggunaan istilah ini di ruang publik, terutama oleh pejabat
pemerintahan, dapat dipersepsikan berbeda, baik sebagai pengakuan atas kondisi
sosial-ekonomi masyarakat atau sebagai bentuk pelabelan yang berpotensi
melanggengkan stigma.
Pembahasan etika dalam komunikasi publik menjadi
penting karena kata-kata yang digunakan oleh pejabat publik memiliki bobot yang
dapat memengaruhi persepsi dan hubungan antara pemerintah dan rakyat.² Dalam
teori komunikasi politik, narasi yang digunakan oleh pemimpin dapat membentuk
opini publik dan membangun atau merusak kepercayaan sosial.³ Maka, pertanyaan
"Apakah seorang pejabat pemerintahan diperbolehkan secara etis
menggarisbawahi istilah 'rakyat jelata' dalam pernyataannya di depan publik?"
menjadi sangat relevan untuk dibahas, mengingat dampak filosofis dan
praktisnya.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
mendalam tentang definisi, peran, dan posisi rakyat jelata dalam masyarakat
berdasarkan perspektif filosofis dan sosiologis. Selain itu, artikel ini akan
mengupas secara kritis pertimbangan etis penggunaan istilah "rakyat jelata"
oleh pejabat pemerintahan dalam komunikasi publik, dengan merujuk pada
teori-teori etika dan kasus-kasus aktual. Dengan pendekatan ini, diharapkan
pembaca dapat memahami dimensi kompleks dari istilah tersebut dan implikasinya
dalam konteks sosial dan politik.
Catatan
Kaki:
[1]
Anthony Giddens, Sociology, 7th ed. (Cambridge: Polity Press,
2013), hlm. 263.
[2]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere:
An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Cambridge: MIT Press,
1991), hlm. 178.
[3]
Joseph S. Nye Jr., The Powers to Lead (Oxford: Oxford University
Press, 2008), hlm. 51.
Bab I: Definisi dan Makna "Rakyat Jelata"
1.1. Etimologi dan Sejarah Istilah
Istilah "rakyat
jelata" memiliki akar yang mendalam dalam tradisi sosial dan historis.
Kata "jelata" berasal dari bahasa Melayu Klasik yang merujuk pada
golongan masyarakat biasa, yang secara hierarkis berada di bawah kaum bangsawan atau elite.¹ Dalam konteks
tradisional, istilah ini sering digunakan untuk mendeskripsikan kaum petani,
buruh, atau kelompok pekerja kasar yang menjalankan fungsi ekonomi dasar
masyarakat, tetapi tidak memiliki akses kepada kekuasaan atau pengaruh
politik.²
Di dunia Barat,
istilah yang setara dengan "rakyat jelata" dapat ditemukan dalam kata
seperti commoners
atau peasantry.
Pada era feodalisme di Eropa, istilah ini merujuk pada kelompok yang tunduk
kepada kaum aristokrat dan menjadi bagian penting dalam struktur agraris.³
Dalam konteks Islam, istilah serupa ditemukan dalam konsep "masakin"
atau "mustadh'afin," yaitu kelompok yang secara sosial dan
ekonomi berada dalam posisi lemah, tetapi tetap menjadi perhatian utama dalam
ajaran keadilan sosial.⁴
1.2.
Definisi Kontemporer
Dalam wacana modern,
istilah "rakyat jelata" sering digunakan untuk menggambarkan
masyarakat kelas bawah atau mayoritas yang tidak memiliki akses yang setara
terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Definisi ini mencakup mereka yang
bekerja dalam sektor informal, berpenghasilan rendah, dan memiliki keterbatasan
dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik.⁵ Namun, makna
istilah ini dapat berbeda tergantung pada konteks penggunaannya, apakah
digunakan secara deskriptif, merendahkan, atau justru memuliakan peran mereka
dalam masyarakat.
Dalam kajian
sosiologi modern, rakyat jelata didefinisikan sebagai kelompok mayoritas yang
menjadi basis dari struktur sosial.⁶ Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang
modal sosial dan budaya, menjelaskan bahwa kelompok ini sering kali mengalami
ketimpangan akses terhadap modal ekonomi, sosial, dan simbolik, yang membatasi
mereka dari mobilitas vertikal dalam masyarakat.⁷ Oleh karena itu, istilah
"jelata" juga dapat dianggap sebagai refleksi dari ketimpangan
struktural dalam sistem sosial.
1.3.
Makna Konotatif: Positif dan Negatif
Makna "rakyat
jelata" dapat membawa konotasi yang beragam, bergantung pada bagaimana
istilah ini digunakan. Dalam konteks positif, istilah ini dapat dianggap
sebagai pengakuan terhadap kelompok mayoritas yang menjadi pilar utama
pembangunan masyarakat. Sebagai contoh, dalam retorika politik populis, "rakyat
jelata" sering disebut sebagai simbol kedaulatan rakyat dan perjuangan
melawan ketidakadilan sosial.⁸
Namun, dalam konteks
negatif, istilah ini dapat dianggap merendahkan, terutama jika digunakan untuk menggambarkan
kelompok masyarakat yang dianggap tidak berdaya atau kurang berpendidikan. Hal
ini menimbulkan potensi stigmatisasi yang dapat memperkuat stereotip negatif
terhadap masyarakat kelas bawah.⁹
1.4.
Implikasi Filosofis
Dari perspektif
filosofis, istilah "rakyat jelata" merepresentasikan
perdebatan tentang kesetaraan dan keadilan sosial. Dalam teori keadilan John
Rawls, perhatian terhadap rakyat jelata adalah bagian dari prinsip distribusi
yang adil, di mana kebijakan sosial harus dirancang untuk memberikan keuntungan
maksimal kepada kelompok yang paling tidak diuntungkan.¹⁰ Begitu pula dalam
filsafat Islam, keadilan terhadap kelompok mustadh'afin menjadi salah satu
prinsip dasar dalam pemerintahan yang ideal.¹¹
Bab ini memberikan
kerangka pemahaman yang lebih luas tentang "rakyat jelata,"
baik dalam konteks historis, sosiologis, maupun filosofis, yang akan menjadi
dasar untuk analisis dalam bab-bab berikutnya.
Catatan Kaki:
[1]
Kamus Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kamus
Dewan Edisi Keempat (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005),
hlm. 321.
[2]
E.J. Hobsbawm, The Age
of Revolution: Europe 1789-1848 (New York: Vintage, 1996), hlm. 45.
[3]
Marc Bloch, Feudal
Society: Social Classes and Political Organization (London:
Routledge, 1989), hlm. 84.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh
al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981), hlm. 53.
[5]
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.
[6]
Pierre Bourdieu, Distinction:
A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard
University Press, 1984), hlm. 72.
[7]
Ibid.
[8]
Ernesto Laclau, On
Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 67.
[9]
Arjun Appadurai, Modernity
at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1996), hlm. 112.
[10]
John Rawls, A Theory
of Justice, Revised Edition (Cambridge: Harvard University Press,
1999), hlm. 75.
[11]
Abul A'la Maududi, The
Islamic Way of Life (Leicester: The Islamic Foundation, 1991), hlm.
23.
Bab II: Peran dan Posisi Rakyat Jelata dalam Masyarakat
2.1.
Peran dalam Struktur Sosial
1)
Tulang Punggung Ekonomi
Rakyat jelata
memiliki peran vital sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat. Kelompok ini
mencakup buruh, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal yang menopang
kebutuhan dasar masyarakat.¹ Dalam perspektif ekonomi klasik, seperti yang
diuraikan oleh Adam Smith, rakyat jelata adalah produsen utama dalam rantai
nilai ekonomi, yang peran mereka mendukung stabilitas pasar dan pemenuhan
kebutuhan dasar.²
Dalam konteks negara
berkembang, kontribusi rakyat jelata sering kali terlihat dalam sektor agraris
dan ekonomi informal.³ Di Indonesia, data menunjukkan bahwa sekitar 57,5%
tenaga kerja berada di sektor informal, yang sebagian besar terdiri dari
kelompok yang bisa dikategorikan sebagai rakyat jelata.⁴ Sumbangsih mereka
terhadap produksi pangan, pembangunan infrastruktur, dan jasa informal menjadi
fondasi utama bagi keberlanjutan sosial dan ekonomi bangsa.
2)
b. Agen Perubahan Sosial
Rakyat jelata juga
memainkan peran penting dalam perubahan sosial dan politik. Dalam sejarah,
berbagai gerakan revolusioner dan perjuangan melawan ketidakadilan sosial
dipelopori oleh rakyat jelata, seperti Revolusi Perancis (1789) dan gerakan
nasionalisme di Asia-Afrika.⁵ Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed,
menekankan bahwa kesadaran kritis (critical consciousness) yang muncul dari
kalangan rakyat tertindas dapat menjadi kekuatan transformasi sosial yang signifikan.⁶
2.2.
Posisi dalam Teori Sosial
1)
Perspektif Teori Kelas
Dari sudut pandang
teori kelas Marxian, rakyat jelata sering diidentifikasi sebagai proletariat,
yakni kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan bergantung pada
penjualan tenaga kerja.⁷ Karl Marx memandang bahwa rakyat jelata, sebagai
mayoritas dalam masyarakat kapitalis, memiliki potensi revolusioner untuk
menggantikan sistem kapitalis dengan tatanan yang lebih adil.⁸
Namun, dalam
analisis Max Weber, posisi rakyat jelata tidak hanya ditentukan oleh
kepemilikan ekonomi, tetapi juga oleh status sosial dan akses terhadap
kekuasaan politik.⁹ Weber menyoroti pentingnya dimensi stratifikasi sosial yang
mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik dalam menentukan posisi rakyat
jelata.
2)
Konsep Egalitarianisme
Teori
egalitarianisme, seperti yang dikemukakan oleh John Rawls, menempatkan rakyat
jelata sebagai kelompok yang harus mendapatkan perhatian utama dalam kebijakan
publik.¹⁰ Prinsip "difference principle" Rawls menggarisbawahi
bahwa ketimpangan sosial hanya dapat diterima jika memberikan manfaat terbesar
kepada kelompok yang paling kurang beruntung, yang sering kali mencakup rakyat
jelata.¹¹
3)
Perspektif Islam
Dalam Islam, rakyat
jelata termasuk dalam kelompok mustadh'afin yang menjadi perhatian
utama dalam distribusi keadilan sosial.¹² Dalam pandangan Ibn Khaldun, mereka
adalah fondasi peradaban (umran), yang keberadaannya menjadi
penanda stabilitas dan kesejahteraan suatu masyarakat.¹³ Konsep ini menekankan
pentingnya menjaga hak-hak rakyat jelata sebagai wujud dari keadilan dan
keberlanjutan sosial.
2.3.
Tantangan yang Dihadapi
Rakyat jelata
menghadapi berbagai tantangan struktural yang membatasi partisipasi mereka
dalam pembangunan sosial dan politik, seperti:
·
Ketimpangan
Ekonomi:
Rakyat jelata sering terjebak dalam
lingkaran kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun.¹⁴
·
Keterbatasan
Akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan:
Kelompok ini sering menghadapi hambatan
dalam mendapatkan layanan dasar, yang memperkuat ketidaksetaraan sosial.¹⁵
·
Stigma
Sosial:
Label sebagai "kelas bawah"
dapat memperkuat stereotip negatif, yang menghambat mobilitas sosial mereka.¹⁶
Kesimpulan Bab
Rakyat jelata
memegang peran yang sangat penting dalam struktur masyarakat, baik sebagai
tulang punggung ekonomi, agen perubahan sosial, maupun simbol keadilan sosial
dalam teori politik. Namun, posisi mereka sering kali dipengaruhi oleh
ketimpangan struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan publik untuk
menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Analisis ini menjadi
landasan penting untuk membahas etika dalam penggunaan istilah "rakyat
jelata" oleh pejabat pemerintahan.
Catatan Kaki:
[1]
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.
[2]
Adam Smith, The
Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), hlm.
13.
[3]
E.J. Hobsbawm, The Age
of Revolution: Europe 1789-1848 (New York: Vintage, 1996), hlm. 56.
[4]
Badan Pusat Statistik
(BPS), "Laporan Tenaga Kerja Indonesia," 2023.
[5]
Marc Bloch, Feudal
Society: Social Classes and Political Organization (London:
Routledge, 1989), hlm. 84.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy
of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), hlm. 45.
[7]
Karl Marx and Friedrich
Engels, The
Communist Manifesto (London: Penguin Books, 1848), hlm. 18.
[8]
Ibid.
[9]
Max Weber, Economy
and Society (Berkeley: University of California Press, 1978), hlm.
302.
[10]
John Rawls, A Theory
of Justice, Revised Edition (Cambridge: Harvard University Press,
1999), hlm. 75.
[11]
Ibid.
[12]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh
al-Zakah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981), hlm. 53.
[13]
Ibn Khaldun, Muqaddimah
(Beirut: Dar al-Fikr, 1967), hlm. 57.
[14]
Thomas Piketty, Capital
in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press,
2014), hlm. 147.
[15]
Amartya Sen, Development
as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 87.
[16]
Arjun Appadurai, Modernity
at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1996), hlm. 112.
Bab III: Perspektif Etika dalam Penggunaan Istilah oleh Pejabat Publik
3.1.
Teori Etika yang Relevan
1)
Utilitarianisme
Dalam pandangan
utilitarianisme, setiap tindakan atau pernyataan pejabat publik harus
dievaluasi berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.¹ Penggunaan istilah "rakyat jelata"
dapat dianggap etis jika istilah tersebut berkontribusi pada terciptanya
manfaat terbesar bagi mayoritas, seperti membangkitkan solidaritas sosial atau
mendorong kebijakan yang mendukung kesejahteraan mereka. Namun, jika istilah
ini menimbulkan stigma atau merendahkan kelompok tertentu, maka penggunaannya
bertentangan dengan prinsip utilitarianisme.²
Sebagai contoh,
pernyataan seorang pejabat yang secara eksplisit menyebut "rakyat
jelata" dalam konteks empati dan kepedulian terhadap masalah yang mereka
hadapi dapat membawa dampak positif. Sebaliknya, penggunaan istilah ini dalam
konteks yang bernada merendahkan justru menciptakan ketidakpuasan dan
memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
2)
Deontologi
Deontologi, seperti
yang dirumuskan oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan harus dinilai
berdasarkan kewajiban moral dan prinsip universal, bukan hanya hasilnya.³ Dalam
konteks ini, penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat
publik harus mempertimbangkan apakah penyebutan tersebut menghormati martabat
manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat.⁴ Mengacu pada prinsip Kantian,
tindakan yang merendahkan martabat rakyat jelata, meskipun menghasilkan dampak
positif, tetap tidak dapat diterima secara moral.
Sebagai contoh,
pejabat yang menggunakan istilah ini untuk menjustifikasi ketimpangan sosial
tanpa solusi konkret melanggar prinsip penghormatan terhadap martabat manusia.
Oleh karena itu, pejabat publik harus memastikan bahwa narasi mereka
mencerminkan penghormatan terhadap semua kelompok masyarakat.
3)
Etika Kebajikan
Dalam perspektif
etika kebajikan, fokusnya adalah pada karakter dan niat moral dari individu
yang bertindak.⁵ Penggunaan istilah "rakyat jelata"
dianggap etis jika mencerminkan kebajikan seperti empati, keadilan, dan
tanggung jawab. Sebaliknya, jika istilah ini digunakan untuk memperkuat
stereotip negatif atau mempertahankan kekuasaan, maka tindakan tersebut tidak
sejalan dengan etika kebajikan.⁶
3.2.
Pengaruh Narasi Publik
1)
Dampak terhadap Persepsi Masyarakat
Narasi yang
digunakan pejabat publik dapat memengaruhi cara masyarakat memandang diri
mereka sendiri dan kelompok lain. Jika istilah "rakyat jelata"
digunakan secara konstruktif, seperti untuk memperjuangkan hak-hak mereka,
istilah ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan solidaritas sosial.⁷ Namun,
jika istilah ini digunakan untuk mengukuhkan hierarki sosial, hal tersebut
dapat memperkuat stigma dan memunculkan perasaan terpinggirkan.⁸
2)
Potensi Polaritas Sosial
Retorika pejabat
yang tidak sensitif terhadap makna dan dampak istilah ini dapat memperdalam
polarisasi sosial. Dalam konteks populisme, istilah "rakyat jelata"
sering kali digunakan untuk menciptakan dikotomi antara "rakyat"
dan "elite," yang dapat memperburuk konflik kelas.⁹ Oleh
karena itu, pejabat harus berhati-hati dalam membingkai narasi mereka agar
tidak memicu perpecahan sosial.
3.3.
Kerangka Etis untuk Penggunaan Istilah
1)
Konteks dan Intensi
Etika penggunaan
istilah "rakyat jelata" sangat bergantung pada konteks dan niat di
balik penggunaannya.¹⁰ Dalam pidato yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
tentang ketimpangan sosial, istilah ini dapat diterima jika digunakan dengan
empati dan tujuan yang konstruktif. Sebaliknya, dalam konteks yang bernada
merendahkan, penggunaan istilah ini menjadi tidak etis.
2)
Komunikasi yang Inklusif
Pejabat publik
memiliki tanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang inklusif dan tidak
menimbulkan diskriminasi.¹¹ Istilah yang digunakan harus mencerminkan
penghormatan terhadap semua kelompok masyarakat, tanpa memperkuat stereotip
atau ketimpangan sosial.
3.4.
Studi Kasus dan Pembelajaran
Penggunaan istilah
"rakyat jelata" dalam komunikasi publik telah menjadi sorotan dalam
beberapa kasus. Sebagai contoh, dalam konteks kampanye politik, beberapa
kandidat menggunakan istilah ini untuk menciptakan kesan bahwa mereka dekat
dengan rakyat. Namun, jika retorika tersebut tidak diikuti dengan tindakan
nyata, maka hal ini dapat dianggap manipulatif dan tidak etis.¹²
Sebagai pembanding,
beberapa pejabat di negara-negara Nordik lebih memilih menggunakan istilah yang
mencerminkan kesetaraan, seperti "masyarakat umum" atau "rakyat
pekerja," yang lebih inklusif dan netral secara emosional.¹³
Catatan Kaki:
[1]
Jeremy Bentham, An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford:
Clarendon Press, 1907), hlm. 13.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism
(London: Parker, Son, and Bourn, 1863), hlm. 23.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), hlm. 38.
[4]
Ibid.
[5]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), hlm.
122.
[6]
Ibid.
[7]
Ernesto Laclau, On
Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 45.
[8]
Arjun Appadurai, Modernity
at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1996), hlm. 67.
[9]
Cas Mudde, Populist
Radical Right Parties in Europe (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 98.
[10]
Michael Sandel, Justice:
What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and
Giroux, 2009), hlm. 92.
[11]
Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm.
109.
[12]
Thomas Piketty, Capital
and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.
[13]
Lars Trägårdh, State
and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered
(Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.
Bab IV: Analisis Kritis atas Pertanyaan Etis
Pertanyaan etis,
"Apakah seorang pejabat pemerintahan diperbolehkan secara etis
menggarisbawahi istilah 'rakyat jelata' dalam pernyataannya di depan publik?"
memerlukan analisis mendalam karena melibatkan aspek moral, sosial, dan
politik. Analisis ini akan mempertimbangkan teori etika, dampak sosial, dan
konteks penggunaan istilah tersebut untuk menilai apakah tindakan tersebut
dapat diterima secara etis.
4.1.
Analisis Berdasarkan Teori Etika
1)
Utilitarianisme
Dalam pandangan
utilitarianisme, tindakan seorang pejabat menggunakan istilah "rakyat
jelata" harus dinilai berdasarkan dampak positif atau negatif terhadap
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.¹
·
Argumentasi
Pro:
Jika istilah ini digunakan untuk
meningkatkan kesadaran tentang ketimpangan sosial atau sebagai bagian dari
kebijakan yang dirancang untuk membantu kelompok tersebut, maka penggunaannya
dapat diterima.² Sebagai contoh, seorang pejabat yang menggunakan istilah ini
untuk menggambarkan kebutuhan mendesak dalam program bantuan sosial dapat
menciptakan efek positif dengan memobilisasi dukungan publik.
·
Argumentasi
Kontra:
Namun, jika istilah ini menimbulkan
stigma atau rasa rendah diri di kalangan masyarakat yang disebut, maka tindakan
tersebut menjadi tidak etis karena menciptakan kerugian emosional dan sosial
yang lebih besar daripada manfaatnya.³
2)
Deontologi
Dalam pendekatan
deontologis, tindakan pejabat harus dinilai berdasarkan kewajiban moral dan
prinsip universal, bukan hasilnya.⁴
·
Argumentasi
Pro:
Jika penggunaan istilah ini dimaksudkan
untuk mengakui realitas sosial dan memperjuangkan keadilan, maka hal tersebut
dapat dianggap sejalan dengan prinsip moralitas universal.⁵ Sebagai contoh,
pejabat yang menggunakan istilah ini untuk menyoroti ketidakadilan sosial
sedang menjalankan kewajiban moralnya sebagai pelayan publik.
·
Argumentasi
Kontra:
Namun, istilah yang berpotensi
merendahkan martabat manusia tidak dapat dibenarkan, terlepas dari niat atau
hasilnya. Menurut Kantian ethics, tindakan tersebut melanggar prinsip
penghormatan terhadap martabat manusia.⁶
3)
Etika Kebajikan
Dalam etika
kebajikan, niat dan karakter pejabat menjadi fokus utama. Penggunaan istilah
"rakyat jelata" hanya dapat diterima jika didasari oleh niat
yang mulia, seperti empati dan keadilan.⁷ Namun, jika istilah ini digunakan
untuk tujuan populisme atau mempertahankan hierarki sosial, maka tindakan
tersebut bertentangan dengan kebajikan kepemimpinan yang ideal.⁸
4.2.
Dampak Sosial dan Politik
1)
Stigmatisasi dan
Stereotipisasi
Penggunaan istilah
"rakyat jelata" dapat memperkuat stereotip negatif terhadap
kelompok masyarakat yang disebut.⁹ Label seperti ini sering kali memposisikan
mereka sebagai "kelas bawah" yang tidak mampu, sehingga
memperkuat ketimpangan sosial dan hierarki kelas.¹⁰ Misalnya, dalam diskursus
politik, istilah ini dapat digunakan untuk menjustifikasi perbedaan perlakuan
antara kelompok sosial yang berbeda, yang berpotensi memperburuk fragmentasi
sosial.
2)
Potensi Alienasi
Istilah yang
dianggap merendahkan dapat menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan
rakyatnya.¹¹ Sebuah survei tentang kepercayaan publik terhadap pejabat
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa yang tidak sensitif sering kali menyebabkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.¹² Oleh karena itu, penting
bagi pejabat untuk memilih bahasa yang inklusif dan menghormati semua kelompok
masyarakat.
3)
Narasi Populisme
Dalam beberapa
kasus, istilah "rakyat jelata" digunakan dalam konteks
populisme untuk menciptakan dikotomi antara "rakyat" dan
"elite."¹³ Meskipun narasi ini dapat efektif secara politis,
penggunaannya yang berlebihan dapat memperkuat polarisasi sosial dan mengurangi
rasa persatuan di masyarakat.
4.3.
Konteks Penggunaan dan Etika
Penggunaan istilah
"rakyat jelata" tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan
politik di mana istilah tersebut digunakan.¹⁴ Seorang pejabat mungkin
menggunakan istilah ini dalam konteks yang berbeda, seperti:
·
Untuk
Empati:
Dalam situasi darurat, istilah ini dapat
digunakan untuk menunjukkan solidaritas dengan kelompok yang rentan.
·
Untuk
Manipulasi:
Dalam konteks populisme, istilah ini
dapat digunakan untuk memobilisasi dukungan, tetapi sering kali tanpa tindakan
nyata yang menguntungkan kelompok tersebut.
·
Untuk
Kritik:
Dalam kritik terhadap kebijakan yang
tidak adil, istilah ini dapat berfungsi untuk menggarisbawahi kebutuhan
mendesak dari kelompok yang terpinggirkan.
4.4.
Rekomendasi Komunikasi Etis
Untuk mencegah
dampak negatif, pejabat publik harus mempertimbangkan beberapa prinsip berikut:
·
Bahasa
yang Inklusif:
Menggunakan istilah yang netral dan
menghormati martabat semua kelompok.¹⁵
·
Konteks
yang Jelas:
Memberikan penjelasan yang mendalam
tentang tujuan penggunaan istilah tersebut.
·
Tindakan
Konkret:
Mengikuti penggunaan istilah dengan
kebijakan yang nyata untuk membantu kelompok yang disebut.
Kesimpulan Bab
Secara etis,
penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh pejabat publik
memiliki potensi manfaat dan risiko yang besar. Analisis berdasarkan teori
etika, dampak sosial, dan konteks penggunaannya menunjukkan bahwa istilah ini
dapat diterima dalam situasi tertentu, tetapi penggunaannya harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari stigmatisasi dan memperkuat kepercayaan
publik.
Catatan Kaki:
[1]
Jeremy Bentham, An Introduction
to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon
Press, 1907), hlm. 13.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism
(London: Parker, Son, and Bourn, 1863), hlm. 23.
[3]
Ibid.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), hlm. 38.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), hlm.
122.
[8]
Ibid.
[9]
Arjun Appadurai, Modernity
at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1996), hlm. 67.
[10]
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.
[11]
Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm.
109.
[12]
Thomas Piketty, Capital
and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.
[13]
Ernesto Laclau, On
Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. 45.
[14]
Lars Trägårdh, State
and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered
(Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.
[15]
Michael Sandel, Justice:
What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and
Giroux, 2009), hlm. 92.
Penutup
Dalam kajian ini,
istilah "rakyat
jelata" diurai melalui perspektif filosofis, sosial, dan
etika, menunjukkan kompleksitas makna dan dampaknya dalam struktur masyarakat
dan komunikasi publik. Istilah ini memiliki akar historis yang dalam, sering
digunakan untuk menggambarkan masyarakat kelas bawah yang berperan sebagai
tulang punggung ekonomi dan agen perubahan sosial, tetapi juga kerap menjadi
objek stigma sosial.
Dari analisis yang
dilakukan, dapat disimpulkan beberapa poin utama:
1)
Definisi dan Peran Rakyat
Jelata dalam Masyarakat
Rakyat jelata memiliki kontribusi yang tak
tergantikan dalam struktur masyarakat. Mereka adalah produsen dan penyokong
ekonomi sekaligus pelopor dalam gerakan sosial yang bertujuan memperjuangkan
keadilan.¹ Namun, posisi mereka dalam hierarki sosial sering kali membuat
mereka rentan terhadap marginalisasi dan diskriminasi, baik secara ekonomi
maupun simbolik.²
2)
Etika Penggunaan Istilah
oleh Pejabat Publik
Penggunaan istilah "rakyat jelata" oleh
pejabat pemerintahan memunculkan pertanyaan etis yang signifikan. Berdasarkan
teori etika seperti utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan, istilah
ini dapat diterima secara moral jika digunakan dengan niat baik, dalam konteks
yang mendukung solidaritas sosial, dan disertai kebijakan nyata yang membela hak-hak
mereka.³ Sebaliknya, jika istilah ini digunakan untuk memperkuat hierarki
sosial atau demi tujuan populisme tanpa komitmen substansial, tindakan tersebut
tidak dapat dibenarkan secara etis.⁴
3)
Pengaruh terhadap Narasi
Publik
Narasi pejabat publik yang tidak sensitif
terhadap makna istilah ini dapat memperkuat stereotip negatif dan menciptakan
jarak emosional antara pemerintah dan rakyat.⁵ Oleh karena itu, diperlukan
kehati-hatian dalam penggunaan istilah ini, dengan mempertimbangkan dampaknya
terhadap persepsi masyarakat dan kepercayaan publik.
4)
Konteks dan Tanggung Jawab
Konteks penggunaan istilah sangat menentukan etis
atau tidaknya tindakan tersebut. Pejabat publik harus memahami bahwa bahasa
yang mereka gunakan memiliki konsekuensi sosial yang luas. Komunikasi publik
harus mencerminkan prinsip keadilan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap
martabat semua lapisan masyarakat.⁶
Rekomendasi
Berdasarkan temuan
dalam kajian ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan:
·
Pejabat publik perlu
mengutamakan bahasa yang inklusif dan netral untuk menghindari stigmatisasi.⁷
·
Pendidikan etika komunikasi
bagi pejabat pemerintahan menjadi penting untuk meningkatkan sensitivitas
sosial dalam penggunaan istilah tertentu.
·
Kebijakan publik harus
dirancang dengan fokus pada penghapusan ketimpangan sosial yang dihadapi oleh
rakyat jelata, sehingga istilah ini tidak hanya menjadi retorika tanpa makna.⁸
Kajian ini
menekankan pentingnya penggunaan istilah yang sesuai dan bertanggung jawab
dalam narasi publik, terutama oleh pejabat pemerintahan. Sebagai pelayan
masyarakat, pejabat memiliki kewajiban moral untuk menjaga hubungan yang
harmonis dan adil dengan rakyatnya. Dengan demikian, istilah "rakyat
jelata" harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat solidaritas
sosial, bukan sebagai alat untuk mempertahankan ketimpangan.
Catatan Kaki:
[1]
Anthony Giddens, Sociology,
7th ed. (Cambridge: Polity Press, 2013), hlm. 321.
[2]
Pierre Bourdieu, Distinction:
A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard
University Press, 1984), hlm. 72.
[3]
Jeremy Bentham, An
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford:
Clarendon Press, 1907), hlm. 13.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), hlm. 38.
[5]
Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), hlm.
109.
[6]
Michael Sandel, Justice:
What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus, and
Giroux, 2009), hlm. 92.
[7]
Lars Trägårdh, State
and Civil Society in Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered
(Oxford: Berghahn Books, 2007), hlm. 45.
[8]
Thomas Piketty, Capital
and Ideology (Cambridge: Harvard University Press, 2020), hlm. 219.
Daftar Pustaka
Anthony Giddens. Sociology. Edisi ke-7.
Cambridge: Polity Press, 2013.
Arjun Appadurai. Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996.
Alasdair MacIntyre. After Virtue. Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981.
Adam Smith. The Wealth of Nations. London:
W. Strahan and T. Cadell, 1776.
Cas Mudde. Populist Radical Right Parties in
Europe. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
E.J. Hobsbawm. The Age of Revolution: Europe 1789-1848.
New York: Vintage, 1996.
Ernesto Laclau. On Populist Reason. London:
Verso, 2005.
Immanuel Kant. Groundwork of the Metaphysics of
Morals. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Jürgen Habermas. The Structural Transformation
of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society.
Cambridge: MIT Press, 1991.
Jürgen Habermas. The Theory of Communicative
Action. Boston: Beacon Press, 1984.
Jeremy Bentham. An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1907.
John Rawls. A Theory of Justice. Revised
Edition. Cambridge: Harvard University Press, 1999.
John Stuart Mill. Utilitarianism. London:
Parker, Son, and Bourn, 1863.
Karl Marx dan Friedrich Engels. The Communist
Manifesto. London: Penguin Books, 1848.
Lars Trägårdh. State and Civil Society in
Northern Europe: The Swedish Model Reconsidered. Oxford: Berghahn Books,
2007.
Marc Bloch. Feudal Society: Social Classes and
Political Organization. London: Routledge, 1989.
Michael Sandel. Justice: What's the Right Thing
to Do?. New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2009.
Paulo Freire. Pedagogy of the Oppressed. New
York: Continuum, 1970.
Pierre Bourdieu. Distinction: A Social Critique
of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press, 1984.
Thomas Piketty. Capital and Ideology.
Cambridge: Harvard University Press, 2020.
Thomas Piketty. Capital in the Twenty-First
Century. Cambridge: Harvard University Press, 2014.
Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Zakah. Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1981.
Ibn Khaldun. Muqaddimah. Beirut: Dar
al-Fikr, 1967.
Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan Tenaga
Kerja Indonesia, 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar