Selasa, 23 September 2025

Dari Simbolisme ke Substansi: Kritik terhadap Populisme Simbolik dan Gagasan Pabrik Pengolahan Rumput Desa sebagai Solusi Struktural

Unjuk Ngarit, atau Bikin Pabrik Pengolahan Rumput

Dari Simbolisme ke Substansi


Alihkan ke: Populisme.

Sorotan, Pencitraan, dan Realita Politik.


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena populisme dalam politik Indonesia dengan menyoroti perbedaan antara aksi simbolik dan kebijakan substantif. Contoh utama yang dianalisis adalah praktik ngarit (memotong rumput untuk ternak) yang dilakukan oleh pejabat atau kandidat politik sebagai strategi populis. Meskipun efektif dalam membangun kedekatan emosional dengan rakyat, aksi tersebut dikritik karena tidak menyentuh persoalan struktural yang dihadapi peternak, khususnya krisis pakan musiman, fragmentasi lahan, lemahnya kelembagaan desa, serta ketergantungan pada kondisi alam. Artikel ini kemudian mengajukan solusi alternatif berupa program pabrik pengolahan rumput desa. Program ini dipandang mampu menjawab persoalan pakan ternak, membuka peluang ekonomi baru, memperkuat kelembagaan lokal, serta mendukung agenda pembangunan berkelanjutan. Analisis disusun secara sistematis melalui kerangka konseptual populisme, kritik etika politik, studi tentang tantangan peternakan, hingga refleksi filosofis mengenai makna kepemimpinan. Artikel ini menegaskan bahwa politik tidak seharusnya berhenti pada pencitraan simbolik, tetapi harus menghasilkan kebijakan substantif yang berdampak nyata dan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat.

Kata Kunci: Populisme; simbolisme politik; ngarit; pakan ternak; pembangunan desa; pabrik pengolahan rumput; etika politik; substansi kebijakan; pembangunan berkelanjutan.


PEMBAHASAN

Kritik terhadap Populisme Simbolik dan Gagasan Pabrik Pengolahan Rumput Desa sebagai Solusi Struktural


1.            Pendahuluan

Fenomena politik kontemporer di Indonesia ditandai oleh maraknya praktik populisme, yaitu gaya politik yang mengklaim berbicara dan bertindak atas nama rakyat kecil. Dalam praktiknya, populisme kerap diwujudkan melalui aksi simbolik para pemimpin politik yang berusaha menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Salah satu contohnya adalah aksi seorang pejabat atau kandidat politik yang melakukan pekerjaan rakyat sehari-hari, seperti ngarit (memotong rumput untuk pakan ternak). Aksi semacam ini biasanya ditampilkan melalui media massa dan media sosial untuk menarik simpati publik, membangun citra kesederhanaan, serta memperkuat klaim representasi rakyat kecil.

Namun demikian, praktik populisme simbolik seperti ini menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana aksi tersebut menyentuh persoalan substantif yang dihadapi rakyat, khususnya petani dan peternak? Apakah dengan ngarit bersama rakyat, kebutuhan struktural seperti ketersediaan pakan ternak, harga jual hasil peternakan, dan ketahanan ekonomi desa benar-benar terjawab? Kritik akademik menegaskan bahwa simbolisme politik semacam ini cenderung lebih menekankan aspek emosional ketimbang solusi konkret yang berkelanjutan.¹

Dalam konteks peternakan di Indonesia, salah satu persoalan nyata yang dihadapi masyarakat adalah ketersediaan pakan ternak sepanjang tahun. Pada musim penghujan, rumput mudah ditemukan, tetapi pada musim kemarau peternak sering mengalami kesulitan serius untuk memenuhi kebutuhan pakan. Akibatnya, produktivitas ternak menurun, biaya operasional meningkat, dan ketahanan ekonomi peternak melemah.² Aksi simbolik seperti ngarit memang dapat menumbuhkan simpati, tetapi tidak menyentuh akar persoalan tersebut.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk:

1)             Mengkritisi praktik populisme simbolik yang lebih menonjolkan pencitraan ketimbang penyelesaian masalah.

2)             Mengajukan gagasan alternatif berupa program pembangunan pabrik pengolahan rumput di tingkat desa, yang dapat menyediakan pakan ternak secara berkelanjutan, menciptakan peluang penghasilan baru, serta memperkuat ekonomi pedesaan.

Dengan pendekatan ini, diharapkan pembahasan tidak hanya berhenti pada kritik terhadap simbolisme politik, melainkan bergerak menuju tawaran solusi yang lebih substantif dan konstruktif. Artikel ini juga berusaha menegaskan pentingnya etika politik yang bertanggung jawab, di mana pemimpin tidak hanya tampil sebagai figur simbolik, tetapi juga sebagai aktor yang menciptakan perubahan struktural demi kesejahteraan rakyat.³


Footnotes

[1]            Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–10.

[2]            Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.

[3]            Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 23–27.


2.            Konsep Populisme dalam Politik

Populisme merupakan salah satu fenomena politik yang terus menjadi perhatian dalam kajian ilmu politik kontemporer. Secara konseptual, populisme sering dipahami sebagai suatu gaya atau strategi politik yang berupaya membangun legitimasi dengan mengatasnamakan “rakyat” sebagai entitas moral yang murni dan berhadapan dengan “elit” yang dianggap korup atau jauh dari kepentingan publik.¹ Dalam kerangka ini, populisme tidak hanya dipahami sebagai ideologi, melainkan juga sebagai cara berkomunikasi politik, praktik mobilisasi massa, serta strategi elektoral.²

2.1.        Definisi dan Karakteristik Populisme

Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai “thin-centered ideology,” yakni ideologi tipis yang tidak memiliki kerangka doktrinal menyeluruh, melainkan hanya menekankan dikotomi moral antara rakyat (the pure people) dan elit (the corrupt elite).³ Dari definisi ini, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik utama populisme:

1)             Dikotomi rakyat vs elit – populisme menekankan adanya pertentangan tajam antara rakyat yang dianggap bermoral tinggi dengan elit yang dianggap korup.

2)             Klaim representasi tunggal – populis sering mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya representasi sah dari kehendak rakyat.

3)             Gaya komunikasi langsung – populisme mengedepankan retorika sederhana, emosional, dan mudah dipahami massa.

4)             Antipartai dan antiinstitusi – populisme cenderung melemahkan institusi politik formal, dengan mengutamakan hubungan langsung antara pemimpin dan rakyat.⁴

Dengan karakteristik ini, populisme sering kali lebih menekankan aspek performatif ketimbang program substantif. Pemimpin populis berusaha menampilkan diri sebagai bagian dari rakyat kecil, meskipun posisinya jelas berbeda dari mereka secara sosial, politik, maupun ekonomi.

2.2.        Populisme Simbolik vs Substantif

Dalam praktiknya, populisme dapat dibedakan menjadi dua kecenderungan besar: populisme simbolik dan populisme substantif.

·                Populisme simbolik merujuk pada strategi yang menekankan gestur dan aksi-aksi simbolik, seperti mengenakan pakaian rakyat jelata, bekerja di sawah, atau melakukan aktivitas keseharian petani dan buruh. Tindakan ini lebih ditujukan untuk membangun kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat. Namun, keterbatasannya terletak pada ketiadaan solusi struktural yang nyata bagi masalah yang dihadapi rakyat.

·                Populisme substantif berusaha menjawab tuntutan rakyat dengan kebijakan publik yang konkret, seperti pemberian subsidi, pembentukan program kesejahteraan sosial, atau pembangunan infrastruktur yang menyentuh kehidupan sehari-hari.⁵

Perbedaan keduanya sangat signifikan: populisme simbolik cenderung menghasilkan efek sesaat dan berorientasi pada pencitraan, sedangkan populisme substantif memiliki potensi membawa perubahan sistemik.

2.3.        Populisme dalam Konteks Politik Indonesia

Dalam sejarah politik Indonesia, populisme bukanlah fenomena baru. Pada masa Orde Lama, Sukarno menampilkan gaya politik yang sarat retorika kerakyatan, meskipun pada saat itu lebih bersifat ideologis dengan nuansa nasionalisme dan sosialisme.⁶ Pada era reformasi, populisme muncul kembali dalam bentuk yang lebih variatif, terutama dalam konteks demokrasi elektoral. Kandidat politik kerap mengadopsi gaya komunikasi populis untuk meraih simpati publik, termasuk dengan melakukan aksi-aksi simbolik yang ditampilkan secara masif melalui media.

Populisme di Indonesia juga memiliki ciri khas, yaitu kuatnya penggunaan simbol budaya dan agama untuk menegaskan identitas kedekatan dengan rakyat.⁷ Dalam beberapa kasus, hal ini menimbulkan ketegangan karena simbol-simbol tersebut dapat dimanfaatkan secara berlebihan untuk tujuan elektoral tanpa memperhatikan konsistensi kebijakan jangka panjang.

2.4.        Kritik terhadap Populisme Simbolik

Populisme simbolik, meskipun efektif secara komunikasi, sering kali dipandang bermasalah dari perspektif etika politik. Aksi seperti ngarit oleh pejabat, misalnya, dapat menimbulkan kesan kedekatan dengan rakyat, tetapi berpotensi menipu secara simbolik. Rakyat diajak untuk melihat pemimpin sebagai bagian dari mereka, padahal yang lebih dibutuhkan adalah kebijakan konkret untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.⁸

Dari sudut pandang sosiologis, populisme simbolik memperkuat pola politik personalistik dan patrimonialistik. Hal ini dapat melemahkan kelembagaan demokrasi, karena rakyat lebih terikat pada figur dan gestur ketimbang institusi dan kebijakan. Dalam jangka panjang, praktik ini berisiko menurunkan kualitas demokrasi dan menjebak masyarakat pada politik pencitraan semata.


Footnotes

[1]            Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 38–45.

[2]            Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion, Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 129–131.

[3]            Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–10.

[4]            Kurt Weyland, “Populism: A Political-Strategic Approach,” Comparative Politics 31, no. 4 (1999): 1–22.

[5]            Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open University Press, 2000), 92–95.

[6]            Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 103–107.

[7]            Marcus Mietzner, “Populist Anti-Establishment Politics in Indonesia: An Analysis of Campaigns in the 2014 Elections,” South East Asia Research 22, no. 3 (2014): 289–300.

[8]            Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004), 176–179.


3.            Kritik terhadap Aksi Simbolik “Ngarit”

Praktik ngarit oleh pejabat publik atau kandidat politik sering muncul dalam lanskap politik Indonesia sebagai bentuk strategi komunikasi populis. Aksi ini dimaksudkan untuk menampilkan kedekatan pemimpin dengan rakyat kecil, khususnya petani dan peternak. Melalui gestur tersebut, pemimpin berusaha membangun citra kesederhanaan sekaligus menegaskan klaim representasi moral atas nama rakyat.¹ Namun demikian, aksi semacam ini perlu dikritisi secara akademik karena lebih menekankan aspek simbolik ketimbang substansi.

3.1.        Analisis Simbolik

Secara simbolik, ngarit dipersepsikan sebagai cara pemimpin menurunkan jarak sosial antara dirinya dengan rakyat. Dalam tradisi politik patrimonial di Indonesia, gestur seperti ini mudah diterima karena meneguhkan budaya patron-klien, di mana rakyat melihat pemimpin sebagai figur yang “merakyat.”² Akan tetapi, makna simbolik ini bersifat semu karena pemimpin hanya melakukan aktivitas tersebut dalam waktu terbatas, biasanya dalam rangka kampanye atau liputan media. Hal ini berbeda dengan realitas keseharian rakyat yang harus bergulat dengan pekerjaan berat tersebut sebagai bagian dari kelangsungan hidup mereka.

3.2.        Keterbatasan Substansi

Dari sudut pandang kebijakan publik, aksi ngarit tidak memberikan kontribusi nyata bagi penyelesaian masalah struktural peternakan. Tantangan utama peternak bukanlah kekurangan tenaga kerja untuk memotong rumput, melainkan keterbatasan pasokan pakan ternak yang berkesinambungan, terutama pada musim kemarau.³ Dengan demikian, simbolisme ngarit gagal menjawab kebutuhan mendasar berupa ketersediaan sistem penyimpanan, teknologi pengolahan, dan akses pasar bagi pakan ternak. Aksi simbolik tersebut hanya menciptakan kesan kepedulian, tetapi tidak diikuti langkah-langkah praktis untuk memperbaiki kondisi peternak.

3.3.        Etika Politik: Antara Pencitraan dan Tanggung Jawab

Dari perspektif etika politik, praktik populisme simbolik dapat dipandang problematis karena mengaburkan batas antara pencitraan dan tanggung jawab kepemimpinan. Pemimpin yang lebih sibuk mempertontonkan gestur “kerakyatan” berisiko mengabaikan fungsi utamanya, yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.⁴ Aksi ngarit yang semestinya menjadi bagian dari program kebijakan pangan dan peternakan malah direduksi menjadi tontonan publik yang bersifat performatif. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas demokrasi karena rakyat diposisikan sebagai penonton, bukan sebagai subjek dalam proses pembuatan kebijakan.

3.4.        Dampak Sosiologis

Secara sosiologis, aksi simbolik ngarit memperkuat pola politik personalistik dan melemahkan kelembagaan demokrasi. Dalam politik personalistik, yang ditonjolkan adalah figur pemimpin beserta citra yang melekat padanya, sementara institusi politik dan mekanisme kebijakan sering terpinggirkan.⁵ Akibatnya, masyarakat lebih terikat pada loyalitas emosional terhadap figur ketimbang pada program atau regulasi yang menjamin kesejahteraan bersama. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan budaya politik yang dangkal, di mana preferensi politik dibangun atas dasar gestur personal pemimpin, bukan atas basis visi, misi, dan kebijakan substantif.

3.5.        Kritik Normatif

Kritik utama terhadap aksi ngarit terletak pada sifatnya yang reduktif: ia mereduksi persoalan rakyat hanya menjadi alat komunikasi politik. Dengan menjadikan pekerjaan rakyat sebagai panggung pencitraan, pemimpin berisiko meremehkan kompleksitas persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kritik normatif menegaskan bahwa tugas pemimpin bukan meniru pekerjaan rakyat, melainkan memastikan rakyat memiliki akses terhadap kebijakan, teknologi, dan sumber daya yang memungkinkan mereka bekerja dengan lebih sejahtera.⁶


Kesimpulan Sementara

Aksi simbolik seperti ngarit hanya menghasilkan efek emosional sesaat tanpa memberikan solusi jangka panjang. Dalam kerangka akademik, aksi ini dapat dipahami sebagai strategi populisme simbolik yang problematis karena gagal menjawab kebutuhan struktural rakyat. Oleh karena itu, pemimpin yang sungguh-sungguh berpihak pada rakyat seharusnya melampaui simbolisme dengan menghadirkan kebijakan substantif yang memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam sektor peternakan.


Footnotes

[1]            Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–6.

[2]            Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 35–40.

[3]            Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.

[4]            Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 23–27.

[5]            Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 98–100.

[6]            Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.


4.            Tantangan Nyata Peternakan di Indonesia

Sektor peternakan memiliki posisi penting dalam struktur ekonomi pedesaan Indonesia. Selain menjadi sumber utama protein hewani, peternakan juga memberikan kontribusi pada pendapatan rumah tangga dan memperkuat ketahanan pangan nasional.¹ Namun, di balik potensinya yang besar, sektor ini menghadapi berbagai tantangan mendasar yang menghambat produktivitas dan kesejahteraan peternak. Tantangan tersebut bersifat struktural, ekologis, dan institusional, sehingga memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan.

4.1.        Ketersediaan Pakan Ternak

Masalah terbesar yang dihadapi peternak di Indonesia adalah ketidakstabilan ketersediaan pakan ternak. Pada musim penghujan, rumput tersedia melimpah dan relatif mudah diperoleh. Namun, pada musim kemarau, peternak sering mengalami kesulitan serius dalam menyediakan pakan.² Hal ini mengakibatkan turunnya produktivitas ternak, meningkatnya angka kematian hewan, dan bertambahnya biaya operasional. Ironisnya, sebagian besar peternak masih mengandalkan sumber pakan alami dari lahan terbuka tanpa adanya sistem pengolahan atau pengawetan (seperti silase dan hay).³ Akibatnya, mereka selalu berada dalam kondisi rawan krisis pakan musiman.

4.2.        Fragmentasi Lahan dan Keterbatasan Infrastruktur

Struktur kepemilikan lahan di pedesaan sangat terfragmentasi, sehingga ketersediaan lahan untuk menanam rumput pakan relatif terbatas. Banyak peternak yang memiliki ternak tetapi tidak memiliki lahan khusus untuk menanam pakan, sehingga mereka bergantung pada lahan umum atau membeli pakan dengan harga tinggi.⁴ Ditambah lagi, minimnya infrastruktur pengolahan pakan di tingkat lokal menyebabkan peternak tidak mampu menyimpan kelebihan rumput pada musim hujan untuk digunakan di musim kemarau. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya integrasi antara kebijakan pertanian dan peternakan.

4.3.        Ketergantungan pada Faktor Alam

Peternakan di Indonesia masih sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kekeringan panjang atau banjir seringkali menghancurkan sumber pakan, sehingga peternak mengalami kerugian besar.⁵ Adaptasi terhadap perubahan iklim belum menjadi perhatian utama dalam program peternakan di tingkat desa. Padahal, ketergantungan semacam ini memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi sektor peternakan bila tidak didukung inovasi teknologi pakan dan sistem pengelolaan risiko yang lebih baik.

4.4.        Lemahnya Dukungan Teknologi dan Inovasi

Sebagian besar peternak kecil di Indonesia masih menggunakan metode tradisional. Pengetahuan mengenai teknologi pengawetan pakan (silase, hay, fermentasi) masih sangat terbatas, baik karena kurangnya pelatihan maupun minimnya akses terhadap teknologi tersebut.⁶ Akibatnya, meskipun terdapat potensi untuk mengembangkan industri pakan lokal, mayoritas peternak tetap terjebak dalam sistem subsisten yang tidak berorientasi jangka panjang.

4.5.        Persoalan Ekonomi dan Kelembagaan

Tantangan lain adalah lemahnya dukungan kelembagaan peternak. Koperasi atau kelompok tani ternak yang seharusnya menjadi wadah kerjasama sering kali belum berjalan efektif.⁷ Peternak kecil cenderung bekerja sendiri-sendiri, sehingga tidak memiliki daya tawar dalam membeli pakan atau menjual hasil ternak. Selain itu, keterbatasan modal membuat mereka kesulitan mengakses pakan alternatif dengan kualitas lebih baik. Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah peternakan bukan sekadar teknis, tetapi juga terkait struktur sosial-ekonomi yang melemahkan posisi peternak kecil di pasar.

4.6.        Implikasi Sosial

Keterbatasan struktural ini menimbulkan dampak sosial yang signifikan. Peternak sering hidup dalam kondisi rentan secara ekonomi, karena pendapatan mereka sangat tergantung pada fluktuasi harga pakan dan hasil ternak. Ketika harga pakan naik atau terjadi kelangkaan, banyak peternak kecil terpaksa menjual ternaknya lebih awal dengan harga rendah.⁸ Dalam jangka panjang, hal ini memperburuk ketimpangan sosial di desa, karena hanya peternak dengan modal besar yang mampu bertahan dan berkembang.


Kesimpulan Sementara

Tantangan nyata peternakan di Indonesia bersumber pada krisis pakan musiman, fragmentasi lahan, keterbatasan infrastruktur, lemahnya adaptasi iklim, minimnya dukungan teknologi, dan rapuhnya kelembagaan peternak. Kondisi ini menunjukkan bahwa problem peternakan tidak dapat diselesaikan melalui aksi-aksi simbolik semata, melainkan menuntut intervensi struktural yang berkelanjutan. Oleh karena itu, gagasan pendirian pabrik pengolahan rumput desa menjadi sangat relevan, karena berpotensi menjawab tantangan pokok tersebut secara sistematis.


Footnotes

[1]            Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 45–47.

[2]            Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.

[3]            Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2 (2010): 123–130.

[4]            Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018): 65–72.

[5]            Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 89–91.

[6]            Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2 (2021): 56–62.

[7]            Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.

[8]            Tri Widodo, “Dampak Fluktuasi Harga Pakan terhadap Kesejahteraan Peternak,” Agro Ekonomi 24, no. 2 (2016): 101–109.


5.            Saran Konstruktif: Pabrik Pengolahan Rumput Desa

Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, tantangan struktural peternakan di Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan simbolik, melainkan membutuhkan intervensi yang bersifat sistematis, berkelanjutan, dan berbasis kebijakan. Salah satu gagasan konstruktif yang relevan adalah pendirian pabrik pengolahan rumput di tingkat desa. Program ini dapat menjadi solusi strategis bagi permasalahan pakan ternak musiman, sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat pedesaan.

5.1.        Konsep Dasar Pabrik Pengolahan Rumput

Pabrik pengolahan rumput merupakan unit produksi yang berfungsi mengolah rumput hijauan menjadi pakan olahan, baik dalam bentuk silase, hay, maupun pakan fermentasi.¹ Teknologi ini memungkinkan penyimpanan rumput dalam jangka waktu lama tanpa mengurangi kandungan nutrisi, sehingga pasokan pakan ternak tetap tersedia sepanjang tahun. Dengan demikian, peternak tidak lagi bergantung secara penuh pada kondisi iklim dan musim.

Pabrik ini dapat dikelola secara kolektif melalui koperasi desa atau BUMDes, dengan dukungan pemerintah daerah maupun investor swasta. Mekanisme kerjanya sederhana: masyarakat yang memiliki akses ke lahan atau mampu menanam rumput dapat menjual hasil panennya ke pabrik, yang kemudian mengolahnya menjadi produk pakan siap simpan.² Hal ini menjadikan rumput tidak lagi sekadar komoditas musiman, tetapi juga bernilai ekonomi yang lebih tinggi.

5.2.        Peran Masyarakat dan Keterlibatan Multipihak

Kelebihan utama program ini adalah sifatnya yang inklusif. Tidak hanya peternak yang dapat terlibat, tetapi juga masyarakat desa yang tidak memelihara ternak. Siapa pun yang dapat menanam atau mengumpulkan rumput dapat menjualnya ke pabrik dan memperoleh pendapatan tambahan.³ Dengan cara ini, pabrik pengolahan rumput tidak hanya menyelesaikan masalah pakan, tetapi juga menciptakan peluang usaha baru yang berbasis pada potensi lokal.

Selain itu, keberhasilan program ini memerlukan kolaborasi multipihak:

·                Pemerintah daerah menyediakan regulasi, dukungan infrastruktur, dan insentif.

·                Koperasi peternak atau BUMDes mengelola operasional dan distribusi.

·                Investor swasta mendukung pembiayaan dan teknologi.

·                Lembaga pendidikan dan penelitian memberikan pelatihan serta transfer teknologi terkait inovasi pakan.⁴

5.3.        Manfaat Ekonomi dan Sosial

Pendirian pabrik pengolahan rumput desa memiliki potensi memberikan manfaat ganda:

1)             Ekonomi:

þ Menjamin ketersediaan pakan yang stabil sehingga produktivitas ternak meningkat.

þ Menciptakan pasar baru bagi rumput sebagai komoditas bernilai jual.

þ Menambah pendapatan rumah tangga melalui keterlibatan dalam rantai pasok.⁵

2)             Sosial:

þ Memberikan peluang kerja dan usaha bagi masyarakat non-peternak.

þ Memperkuat kohesi sosial melalui kerjasama dalam pemasokan dan distribusi.

þ Mengurangi kerentanan ekonomi peternak kecil terhadap fluktuasi harga pakan.

3)             Lingkungan:

þ Memanfaatkan lahan tidur atau kurang produktif untuk penanaman rumput.

þ Mendorong pola pertanian terpadu yang lebih ramah lingkungan.

þ Mengurangi praktik eksploitasi berlebihan atas lahan umum yang sering merusak ekosistem.⁶

5.4.        Strategi Implementasi

Agar program ini dapat berjalan dengan efektif, beberapa langkah implementatif perlu dipertimbangkan:

1)             Pemetaan potensi desa untuk menentukan lokasi strategis yang memiliki lahan memadai dan jumlah peternak signifikan.

2)             Penyediaan pelatihan masyarakat mengenai teknik penanaman, panen, dan pengolahan rumput menjadi silase atau hay.

3)             Skema pembiayaan inklusif, seperti kredit mikro, dana desa, atau pembiayaan syariah, sehingga peternak kecil dapat berpartisipasi.

4)             Penguatan kelembagaan lokal melalui koperasi atau BUMDes agar program tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat.⁷

5)             Integrasi dengan pasar nasional untuk memastikan produk pakan olahan tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga dapat dipasarkan secara lebih luas.

5.5.        Relevansi Etika Politik

Dalam perspektif etika politik, program pendirian pabrik pengolahan rumput desa menunjukkan perbedaan mendasar dengan aksi populisme simbolik seperti ngarit. Jika ngarit hanya menampilkan gestur kedekatan tanpa solusi struktural, maka program ini menghadirkan kebijakan nyata yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan prinsip keadilan sosial, di mana pemimpin tidak sekadar tampil “merakyat,” tetapi benar-benar menciptakan sistem yang memperkuat kehidupan rakyat secara berkelanjutan.⁸


Kesimpulan Sementara

Pabrik pengolahan rumput desa dapat menjadi solusi inovatif yang menjawab tantangan peternakan Indonesia. Program ini mampu menyediakan pakan ternak sepanjang tahun, membuka peluang penghasilan baru bagi masyarakat desa, dan memperkuat ekonomi lokal. Dengan implementasi yang tepat dan kolaborasi multipihak, gagasan ini berpotensi mengubah sektor peternakan dari sistem subsisten yang rentan menjadi industri desa yang lebih tangguh dan berdaya saing.


Footnotes

[1]            Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2 (2010): 123–130.

[2]            Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018): 65–72.

[3]            Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.

[4]            Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2 (2021): 56–62.

[5]            Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.

[6]            Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 93–96.

[7]            Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.

[8]            Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.


6.            Manfaat Program Pabrik Rumput Desa

Gagasan pendirian pabrik pengolahan rumput desa tidak hanya sekadar menjawab persoalan teknis berupa krisis pakan musiman, tetapi juga membawa dampak yang luas bagi aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan. Program ini dapat dipandang sebagai model pembangunan berbasis desa yang mengintegrasikan potensi lokal dengan inovasi teknologi, sekaligus memperkuat daya tahan masyarakat terhadap tantangan struktural di sektor peternakan.

6.1.        Manfaat Ekonomi

Dari perspektif ekonomi, pabrik pengolahan rumput berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui beberapa cara:

1)             Stabilitas usaha ternak: Dengan tersedianya pakan sepanjang tahun, produktivitas ternak dapat dipertahankan, sehingga peternak tidak lagi mengalami kerugian besar pada musim kemarau.¹

2)             Diversifikasi sumber pendapatan: Masyarakat non-peternak pun dapat berpartisipasi dengan menjual rumput ke pabrik, sehingga terbuka peluang pendapatan baru yang berbasis sumber daya lokal.²

3)             Penguatan rantai nilai ekonomi desa: Rumput yang semula hanya dianggap sebagai komoditas musiman dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, menciptakan pasar baru sekaligus meningkatkan daya tawar peternak di hadapan tengkulak atau pasar regional.³

Program ini pada akhirnya berfungsi sebagai instrumen untuk mengurangi ketergantungan peternak pada fluktuasi pasar pakan industri sekaligus mendorong kemandirian ekonomi pedesaan.

6.2.        Manfaat Sosial

Secara sosial, pabrik pengolahan rumput desa dapat memperkuat kohesi dan solidaritas masyarakat:

1)             Pemerataan kesempatan: Semua warga, baik yang memiliki ternak maupun tidak, dapat berkontribusi dalam rantai produksi rumput, sehingga manfaat ekonomi tersebar lebih merata.⁴

2)             Pemberdayaan komunitas: Dengan adanya pabrik yang dikelola koperasi atau BUMDes, masyarakat belajar mengelola usaha secara kolektif, meningkatkan keterampilan manajerial dan kewirausahaan.

3)             Pengurangan kerentanan sosial-ekonomi: Peternak kecil tidak lagi rentan terhadap krisis pakan yang berulang, sehingga ketahanan ekonomi rumah tangga meningkat.⁵

Dengan kata lain, program ini dapat mengurangi kesenjangan sosial di pedesaan dan membangun budaya partisipasi aktif dalam pembangunan ekonomi lokal.

6.3.        Manfaat Lingkungan

Pendirian pabrik rumput desa juga membawa dampak positif terhadap pengelolaan lingkungan:

1)             Optimalisasi lahan tidur:

Tanah kosong atau lahan marginal dapat dimanfaatkan untuk menanam rumput pakan, sehingga lebih produktif dan bernilai ekonomis.⁶

2)             Pertanian ramah lingkungan:

Rumput sebagai tanaman hijauan berfungsi menjaga kelembaban tanah, mencegah erosi, dan meningkatkan kesuburan tanah melalui rotasi tanaman.

3)             Pengelolaan limbah ternak:

Dengan tersedianya pakan yang lebih stabil, populasi ternak dapat dikelola lebih baik, sehingga limbah organik dapat diolah secara lebih sistematis menjadi pupuk organik atau biogas.⁷

Aspek lingkungan ini menjadikan program pabrik rumput selaras dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.

6.4.        Manfaat Kelembagaan

Di samping manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, keberadaan pabrik rumput juga memperkuat kelembagaan desa:

1)             Penguatan koperasi dan BUMDes: Pengelolaan pabrik secara kolektif mendorong penguatan institusi ekonomi desa yang selama ini sering lemah.⁸

2)             Kemandirian desa: Dengan sistem produksi pakan lokal, desa tidak lagi terlalu bergantung pada pakan industri besar yang sering fluktuatif harganya.

3)             Transfer pengetahuan: Melalui pelatihan dan kerjasama dengan lembaga penelitian, masyarakat desa memperoleh pengetahuan baru dalam pengolahan pakan, manajemen usaha, dan tata kelola organisasi.

Manfaat kelembagaan ini tidak hanya berdampak pada sektor peternakan, tetapi juga mendorong kemandirian desa dalam menghadapi dinamika ekonomi nasional maupun global.


Kesimpulan Sementara

Secara keseluruhan, manfaat program pabrik pengolahan rumput desa dapat dirangkum dalam empat dimensi: ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan. Dimensi ekonomi menegaskan stabilitas usaha ternak dan diversifikasi pendapatan; dimensi sosial memperlihatkan pemerataan kesempatan dan penguatan kohesi komunitas; dimensi lingkungan menunjukkan kontribusi terhadap pertanian berkelanjutan; sedangkan dimensi kelembagaan menekankan penguatan institusi ekonomi desa. Dengan demikian, gagasan ini bukan hanya solusi teknis, tetapi juga strategi pembangunan pedesaan yang komprehensif.


Footnotes

[1]            Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.

[2]            Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.

[3]            Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2 (2010): 123–130.

[4]            Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018): 65–72.

[5]            Tri Widodo, “Dampak Fluktuasi Harga Pakan terhadap Kesejahteraan Peternak,” Agro Ekonomi 24, no. 2 (2016): 101–109.

[6]            Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 93–96.

[7]            Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2 (2021): 56–62.

[8]            Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.


7.            Strategi Implementasi Program

Gagasan pendirian pabrik pengolahan rumput desa sebagai solusi struktural bagi krisis pakan ternak dan penguatan ekonomi pedesaan memerlukan strategi implementasi yang terencana dengan baik. Implementasi tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga melibatkan dimensi sosial, kelembagaan, ekonomi, dan politik. Tanpa strategi yang komprehensif, program berpotensi berhenti pada tataran wacana atau mengalami kegagalan akibat lemahnya dukungan kelembagaan serta keterbatasan kapasitas masyarakat. Oleh karena itu, strategi implementasi berikut dirumuskan agar gagasan ini dapat dijalankan secara efektif, berkelanjutan, dan inklusif.

7.1.        Pemetaan Potensi Desa

Langkah awal adalah melakukan pemetaan potensi desa yang meliputi:

·                Ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk produksi rumput pakan.

·                Jumlah populasi ternak di wilayah tersebut dan kebutuhan pakan per tahun.

·                Potensi tenaga kerja lokal yang dapat terlibat dalam rantai produksi.

·                Kapasitas kelembagaan desa seperti BUMDes atau koperasi yang dapat menjadi pengelola utama.¹

Pemetaan ini penting agar program tidak diterapkan secara seragam, melainkan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing desa.

7.2.        Pembentukan Kelembagaan Pengelola

Kelembagaan lokal menjadi kunci keberhasilan program. Pabrik pengolahan rumput sebaiknya dikelola melalui BUMDes atau koperasi peternak, yang berfungsi sebagai lembaga kolektif milik masyarakat desa.² Dengan struktur kelembagaan yang jelas, pengelolaan program akan lebih akuntabel, partisipatif, dan mampu menjaga keberlanjutan usaha. Selain itu, model koperasi dapat memperkuat posisi tawar peternak terhadap pasar pakan maupun produk ternak.

7.3.        Skema Pembiayaan Inklusif

Pendirian pabrik pengolahan rumput memerlukan modal awal yang cukup besar, terutama untuk investasi peralatan pengolahan, gudang penyimpanan, serta biaya operasional awal. Untuk itu, perlu dirancang skema pembiayaan inklusif melalui:

·                Dana desa sebagai modal awal pembangunan infrastruktur.

·                Kredit mikro bagi petani dan peternak untuk mendukung partisipasi mereka dalam rantai produksi.

·                Skema pembiayaan syariah, agar program lebih sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat desa.³

·                Kemitraan dengan sektor swasta melalui model investasi bersama (public-private partnership).

Dengan demikian, beban pembiayaan tidak hanya ditanggung oleh pemerintah, tetapi juga dibagi melalui kolaborasi multipihak.

7.4.        Transfer Teknologi dan Pelatihan Masyarakat

Agar pabrik dapat berfungsi optimal, masyarakat perlu memperoleh keterampilan teknis mengenai:

·                Penanaman dan panen rumput pakan secara efisien.

·                Teknik pengolahan menjadi silase, hay, atau pakan fermentasi.

·                Manajemen rantai pasok dan distribusi produk pakan.

·                Penerapan standar kualitas pakan untuk menjamin nilai jual.⁴

Pelatihan ini dapat difasilitasi melalui kerjasama antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan organisasi masyarakat sipil. Transfer teknologi menjadi kunci agar masyarakat desa tidak hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai produsen yang mampu mengelola inovasi.

7.5.        Penguatan Jaringan Pasar

Keberlanjutan program sangat bergantung pada adanya akses pasar yang jelas. Produk pabrik rumput harus dipastikan dapat:

·                Menyediakan pakan untuk kebutuhan lokal desa.

·                Didistribusikan ke desa-desa sekitar yang mengalami defisit pakan.

·                Terhubung dengan pasar regional atau bahkan nasional melalui koperasi atau BUMDes.⁵

Strategi ini akan menjadikan pabrik rumput bukan hanya solusi lokal, tetapi juga bagian dari sistem distribusi pakan ternak yang lebih luas, sehingga meningkatkan daya saing ekonomi desa.

7.6.        Monitoring, Evaluasi, dan Tata Kelola Transparan

Setiap program pembangunan desa rentan terhadap masalah korupsi, penyalahgunaan dana, dan lemahnya akuntabilitas. Oleh karena itu, perlu dirancang mekanisme monitoring dan evaluasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung. Transparansi dalam pengelolaan keuangan dan distribusi manfaat menjadi syarat mutlak agar program tetap dipercaya oleh masyarakat.⁶

7.7.        Integrasi dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan

Akhirnya, program ini harus diintegrasikan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya:

·                Tujuan 2: Mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan.

·                Tujuan 8: Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.

·                Tujuan 12: Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

·                Tujuan 15: Kehidupan di darat.⁷

Dengan mengacu pada kerangka SDGs, program pabrik rumput desa dapat memperoleh legitimasi yang lebih luas, baik dalam konteks nasional maupun global.


Kesimpulan Sementara

Strategi implementasi pabrik pengolahan rumput desa mencakup pemetaan potensi lokal, pembentukan kelembagaan pengelola, skema pembiayaan inklusif, transfer teknologi, penguatan jaringan pasar, mekanisme tata kelola yang transparan, serta integrasi dengan agenda pembangunan berkelanjutan. Dengan strategi ini, program tidak hanya menyelesaikan persoalan teknis pakan ternak, tetapi juga berfungsi sebagai model pembangunan desa yang berdaya saing, berkelanjutan, dan berbasis partisipasi masyarakat.


Footnotes

[1]            Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018): 65–72.

[2]            Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.

[3]            Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 78–80.

[4]            Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2 (2021): 56–62.

[5]            Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.

[6]            Robert Chambers, Rural Development: Putting the Last First (London: Longman, 1983), 112–115.

[7]            United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), 14–19.


8.            Perbandingan: Simbolisme vs Substansi

Fenomena populisme dalam politik Indonesia sering memperlihatkan ketegangan antara simbolisme dan substansi. Simbolisme tercermin dalam gestur-gestur politik yang dirancang untuk menciptakan kedekatan emosional dengan rakyat, sementara substansi menekankan pada kebijakan nyata yang membawa dampak struktural. Bab ini membandingkan kedua pendekatan tersebut dalam konteks aksi simbolik ngarit dan gagasan pembangunan pabrik pengolahan rumput desa.

8.1.        Simbolisme: Politik Emosi dan Pencitraan

Simbolisme politik sering hadir dalam bentuk gestur sederhana yang mudah dipahami rakyat, seperti pejabat yang melakukan pekerjaan rakyat sehari-hari. Dalam kasus ngarit, pemimpin tampil seolah-olah berbagi penderitaan dengan peternak.¹ Strategi ini efektif dalam membangun kedekatan emosional karena memanfaatkan nilai-nilai budaya lokal, seperti kesederhanaan, gotong royong, dan solidaritas desa.²

Namun, simbolisme memiliki keterbatasan yang signifikan. Ia sering kali hanya menciptakan ilusi keterlibatan tanpa menyentuh akar masalah. Pemimpin yang tampil “merakyat” tidak otomatis memperbaiki sistem produksi pakan atau meningkatkan kesejahteraan peternak. Dalam banyak kasus, simbolisme berfungsi sebagai alat komunikasi politik jangka pendek, terutama menjelang pemilu.³

8.2.        Substansi: Politik Kebijakan dan Perubahan Struktural

Sebaliknya, substansi politik menekankan pada kebijakan publik yang memiliki dampak langsung dan jangka panjang bagi masyarakat. Gagasan pabrik pengolahan rumput desa adalah contoh substansi karena:

·                Menghadirkan solusi teknis terhadap krisis pakan musiman.

·                Menciptakan rantai nilai ekonomi baru bagi masyarakat desa.

·                Mengurangi ketergantungan peternak pada kondisi alam dan pasar pakan industri.

·                Memberdayakan kelembagaan desa melalui koperasi atau BUMDes.⁴

Pendekatan substansial lebih sulit dipasarkan secara emosional karena tidak selalu menghadirkan gestur dramatis yang mudah dipahami publik. Namun, dalam jangka panjang, substansi memiliki daya tahan lebih besar dan mampu memperkuat fondasi kesejahteraan masyarakat.

8.3.        Konsekuensi Sosial-Politik

Perbandingan antara simbolisme dan substansi memiliki implikasi sosial-politik yang penting.

1)             Simbolisme berisiko memperkuat budaya politik patrimonial dan personalistik. Masyarakat lebih menilai gestur figur ketimbang efektivitas institusi.⁵ Hal ini melemahkan demokrasi karena preferensi politik dibangun di atas pencitraan, bukan kinerja kebijakan.

2)             Substansi mendorong penguatan institusi dan kebijakan publik. Ketika masyarakat melihat hasil nyata dari program seperti pabrik pengolahan rumput, loyalitas mereka tidak lagi bergantung pada figur semata, melainkan pada keberhasilan sistem.⁶

Dengan demikian, simbolisme memperkuat politik jangka pendek berbasis citra, sementara substansi memperkuat politik jangka panjang berbasis kebijakan.

8.4.        Relevansi Etis dan Filosofis

Dari perspektif etika politik, substansi lebih mencerminkan tanggung jawab moral pemimpin terhadap rakyat. Pemimpin sejati bukan hanya mereka yang mampu tampil sederhana di depan kamera, tetapi mereka yang merancang sistem yang adil dan berkelanjutan.⁷ Secara filosofis, simbolisme dapat dipandang sebagai representasi dangkal (appearance), sedangkan substansi merupakan esensi (essence) yang lebih hakiki dalam membangun keadilan sosial.


Kesimpulan Sementara

Perbandingan ini menunjukkan bahwa simbolisme seperti ngarit hanya memberikan efek emosional sesaat, sedangkan substansi berupa program pabrik pengolahan rumput desa memberikan dampak nyata yang berkelanjutan. Politik yang sehat seharusnya bergerak dari simbolisme menuju substansi, dari pencitraan menuju kebijakan, serta dari gestur sesaat menuju perubahan struktural.


Footnotes

[1]            Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–7.

[2]            Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 38–41.

[3]            Marcus Mietzner, “Populist Anti-Establishment Politics in Indonesia: Campaigns in the 2014 Elections,” South East Asia Research 22, no. 3 (2014): 289–300.

[4]            Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2 (2010): 123–130.

[5]            Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004), 176–179.

[6]            Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.

[7]            Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.


9.            Sintesis dan Refleksi Filosofis

Pembahasan mengenai populisme simbolik dan alternatif substantif melalui program pabrik pengolahan rumput desa tidak hanya relevan pada tataran praktis, tetapi juga membuka ruang refleksi filosofis mengenai makna kepemimpinan, etika politik, dan paradigma pembangunan. Bab ini berupaya mensintesiskan kritik yang telah dikemukakan dengan tawaran solusi struktural, serta menempatkannya dalam kerangka pemikiran filosofis yang lebih luas.

9.1.        Antara Simbolisme dan Substansi: Sebuah Dialektika

Fenomena ngarit sebagai aksi populisme simbolik mencerminkan salah satu bentuk dialektika antara appearance (penampilan) dan essence (hakikat).¹ Penampilan berfungsi membangun kedekatan emosional, tetapi sering kali dangkal dan temporer. Hakikat terletak pada upaya substantif yang menjawab kebutuhan riil rakyat, seperti ketersediaan pakan ternak, penguatan kelembagaan desa, dan keberlanjutan ekonomi lokal.

Dalam perspektif filsafat politik, simbolisme tanpa substansi hanya menghasilkan legitimasi semu.² Sebaliknya, substansi tanpa komunikasi simbolik dapat kehilangan daya mobilisasi politik. Karena itu, sintesis yang ideal bukanlah menolak simbolisme sepenuhnya, melainkan mengintegrasikannya dengan kebijakan substantif. Simbol dapat menjadi sarana komunikasi, tetapi harus selalu berakar pada kebijakan nyata.

9.2.        Etika Kepemimpinan dan Tanggung Jawab Moral

Kepemimpinan dalam politik menuntut adanya keseimbangan antara representasi simbolik dan tanggung jawab substantif. Pemimpin sejati, menurut pandangan etika politik, adalah mereka yang tidak hanya tampil sebagai “bagian dari rakyat,” tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan rakyat hidup lebih bermartabat.³ Dalam konteks ini, program pabrik pengolahan rumput desa menjadi manifestasi konkret dari etika tanggung jawab: pemimpin tidak sekadar meniru pekerjaan rakyat, tetapi menciptakan struktur yang memudahkan rakyat dalam pekerjaan mereka.

Refleksi ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial sebagaimana dikemukakan John Rawls, bahwa kebijakan publik harus dirancang untuk memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling lemah secara sosial-ekonomi.⁴ Dengan demikian, substansi kebijakan lebih sesuai dengan prinsip etis universal dibandingkan simbolisme semata.

9.3.        Filosofi Pembangunan Desa

Pabrik pengolahan rumput desa dapat dipandang sebagai bagian dari filosofi pembangunan desa yang menekankan pemberdayaan, keberlanjutan, dan partisipasi. Pemberdayaan berarti masyarakat menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek pertunjukan politik. Keberlanjutan berarti program yang dijalankan mampu bertahan lintas musim dan generasi, tidak hanya sebatas pada masa kampanye atau periode tertentu. Partisipasi berarti setiap individu, baik peternak maupun non-peternak, memiliki ruang untuk mengambil peran dalam rantai produksi dan distribusi.⁵

Konsep ini selaras dengan paradigma pembangunan berbasis masyarakat (community-based development), di mana kekuatan lokal menjadi fondasi utama untuk membangun kemandirian.⁶ Secara filosofis, hal ini menggeser fokus dari pembangunan top-down menuju pembangunan yang berbasis kebutuhan dan potensi rakyat sendiri.

9.4.        Politik sebagai Ruang Etis

Politik, dalam refleksi filosofis, tidak boleh direduksi menjadi ajang pencitraan atau perebutan kekuasaan semata. Hannah Arendt menekankan bahwa politik pada dasarnya adalah ruang etis untuk bertindak bersama demi kebaikan bersama (the common good).⁷ Dengan demikian, aksi populisme simbolik yang hanya memanfaatkan pekerjaan rakyat untuk tujuan elektoral justru melemahkan hakikat politik itu sendiri. Sebaliknya, kebijakan substantif seperti pabrik pengolahan rumput desa mengembalikan politik pada tujuan utamanya, yakni menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik dan adil bagi seluruh warga.

9.5.        Sintesis: Dari Kritik menuju Transformasi

Sintesis yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah: kritik terhadap populisme simbolik harus diikuti dengan tawaran solusi substantif agar menghasilkan transformasi nyata. Kritik tanpa tawaran solusi hanya berakhir pada retorika, sementara solusi tanpa kritik berisiko kehilangan konteks. Pabrik pengolahan rumput desa hadir sebagai bentuk sintesis yang tidak hanya mengoreksi kelemahan simbolisme ngarit, tetapi juga mengartikulasikan langkah praktis yang selaras dengan nilai etika dan filosofi pembangunan.


Kesimpulan Sementara

Refleksi filosofis atas perbandingan simbolisme dan substansi menegaskan pentingnya pergeseran paradigma politik: dari penampilan menuju hakikat, dari pencitraan menuju kebijakan, dari retorika menuju tindakan. Program pabrik pengolahan rumput desa mencerminkan substansi politik yang berakar pada etika kepemimpinan, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, politik tidak lagi berhenti pada panggung pencitraan, tetapi menjadi instrumen transformasi sosial yang sesungguhnya.


Footnotes

[1]            Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 514a–517a.

[2]            Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), 38–45.

[3]            Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 77–79.

[4]            John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 302–303.

[5]            Robert Chambers, Rural Development: Putting the Last First (London: Longman, 1983), 112–115.

[6]            David Korten, Getting to the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda (West Hartford: Kumarian Press, 1990), 67–69.

[7]            Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–181.


10.        Penutup

Pembahasan dalam artikel ini memperlihatkan adanya ketegangan antara populisme simbolik dan pendekatan substantif dalam praktik politik Indonesia. Aksi ngarit oleh pejabat atau kandidat politik, meskipun mampu menarik simpati publik melalui gestur kesederhanaan, terbukti hanya memberikan dampak emosional sesaat tanpa menyelesaikan persoalan struktural yang dihadapi peternak.¹ Kritik akademik menegaskan bahwa simbolisme politik semacam ini berisiko mereduksi makna kepemimpinan menjadi sekadar pencitraan, serta memperkuat budaya politik personalistik yang melemahkan institusi demokrasi.²

Sebaliknya, pendekatan substantif yang diwujudkan melalui gagasan pabrik pengolahan rumput desa menawarkan solusi nyata yang bersifat sistemik dan berkelanjutan. Program ini mampu menjawab problem krisis pakan musiman, membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan lahan, serta memperkuat kelembagaan desa.³ Dengan strategi implementasi yang tepat, pabrik rumput desa dapat menjadi instrumen pembangunan yang inklusif, partisipatif, dan selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs).⁴

Refleksi filosofis menunjukkan bahwa politik seharusnya tidak berhenti pada penampilan (appearance), tetapi harus menyentuh hakikat (essence) berupa tanggung jawab moral pemimpin dalam membangun sistem yang adil dan produktif.⁵ Pemimpin yang sejati bukanlah mereka yang sekadar meniru pekerjaan rakyat untuk memperoleh legitimasi, melainkan mereka yang mampu menciptakan struktur yang memperkuat rakyat dalam pekerjaannya. Dengan demikian, politik menemukan kembali makna etisnya: sebagai ruang untuk bertindak bersama demi kebaikan bersama.⁶

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa kritik terhadap populisme simbolik harus selalu diiringi dengan tawaran solusi substantif. Kritik tanpa solusi berpotensi menjadi wacana hampa, sedangkan solusi tanpa kritik berisiko kehilangan konteks. Pabrik pengolahan rumput desa adalah contoh bagaimana solusi substantif dapat menjadi jawaban atas kelemahan simbolisme ngarit. Oleh karena itu, masa depan politik Indonesia perlu diarahkan pada penguatan kebijakan substantif yang berakar pada kebutuhan riil rakyat, sehingga demokrasi tidak hanya berhenti pada pencitraan, tetapi juga menghasilkan transformasi sosial yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]            Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–7.

[2]            Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004), 176–179.

[3]            Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2 (2010): 123–130.

[4]            United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), 14–19.

[5]            Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 514a–517a.

[6]            Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–181.


Daftar Pustaka

Anderson, B. R. O’G. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Bloom, A. (Trans.). (1991). The Republic (Plato). Basic Books.

Chambers, R. (1983). Rural development: Putting the last first. Longman.

Food and Agriculture Organization. (2020). The state of food and agriculture 2020. FAO.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.

Hadiz, V. R., & Robison, R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. Routledge.

Huntington, S. P. (1968). Political order in changing societies. Yale University Press.

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2019). Climate change and land. IPCC.

Korten, D. (1990). Getting to the 21st century: Voluntary action and the global agenda. Kumarian Press.

Laclau, E. (2005). On populist reason. Verso.

Mietzner, M. (2009). Military politics, Islam, and the state in Indonesia. ISEAS.

Mietzner, M. (2014). Populist anti-establishment politics in Indonesia: Campaigns in the 2014 elections. South East Asia Research, 22(3), 289–300.

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Nurhayati, & Setiadi, B. (2010). Silase sebagai alternatif pengawetan hijauan pakan. Buletin Peternakan, 34(2), 123–130.

Pambudi, R. (2018). Peternakan rakyat dan problem fragmentasi lahan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 15(1), 65–72.

Prasetyo, E. (2019). Permasalahan pakan ternak di Indonesia. Jurnal Peternakan Indonesia, 22(3), 145–152.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rohmah, S. (2021). Transfer teknologi pakan fermentasi untuk peternak rakyat. Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian, 3(2), 56–62.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Syafii Antonio, M. (2001). Bank syariah: Dari teori ke praktik. Gema Insani.

Taggart, P. (2000). Populism. Open University Press.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.

Urbinati, N. (2014). Democracy disfigured: Opinion, truth, and the people. Harvard University Press.

Weber, M. (1965). Politics as a vocation (H. H. Gerth & C. Wright Mills, Trans.). Fortress Press.

Weyland, K. (1999). Populism: A political-strategic approach. Comparative Politics, 31(4), 1–22.

Widodo, T. (2016). Dampak fluktuasi harga pakan terhadap kesejahteraan peternak. Agro Ekonomi, 24(2), 101–109.

Wiradi, G. (2009). Reforma agraria, perjalanan yang belum berakhir. INSIST.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar