Unjuk Ngarit, atau Bikin Pabrik Pengolahan Rumput
Dari Simbolisme ke Substansi
Alihkan ke: Populisme.
Sorotan,
Pencitraan, dan Realita Politik.
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena populisme dalam politik Indonesia dengan
menyoroti perbedaan antara aksi simbolik dan kebijakan substantif.
Contoh utama yang dianalisis adalah praktik ngarit (memotong rumput
untuk ternak) yang dilakukan oleh pejabat atau kandidat politik sebagai
strategi populis. Meskipun efektif dalam membangun kedekatan emosional dengan
rakyat, aksi tersebut dikritik karena tidak menyentuh persoalan struktural yang
dihadapi peternak, khususnya krisis pakan musiman, fragmentasi lahan, lemahnya
kelembagaan desa, serta ketergantungan pada kondisi alam. Artikel ini kemudian
mengajukan solusi alternatif berupa program pabrik pengolahan rumput desa.
Program ini dipandang mampu menjawab persoalan pakan ternak, membuka peluang
ekonomi baru, memperkuat kelembagaan lokal, serta mendukung agenda pembangunan
berkelanjutan. Analisis disusun secara sistematis melalui kerangka konseptual
populisme, kritik etika politik, studi tentang tantangan peternakan, hingga
refleksi filosofis mengenai makna kepemimpinan. Artikel ini menegaskan bahwa
politik tidak seharusnya berhenti pada pencitraan simbolik, tetapi harus
menghasilkan kebijakan substantif yang berdampak nyata dan berkelanjutan bagi
kesejahteraan rakyat.
Kata Kunci: Populisme; simbolisme politik; ngarit; pakan
ternak; pembangunan desa; pabrik pengolahan rumput; etika politik; substansi
kebijakan; pembangunan berkelanjutan.
PEMBAHASAN
Kritik terhadap Populisme
Simbolik dan Gagasan Pabrik Pengolahan Rumput Desa sebagai Solusi Struktural
1.
Pendahuluan
Fenomena politik kontemporer di
Indonesia ditandai oleh maraknya praktik populisme, yaitu gaya politik yang
mengklaim berbicara dan bertindak atas nama rakyat kecil. Dalam praktiknya,
populisme kerap diwujudkan melalui aksi simbolik para pemimpin politik
yang berusaha menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Salah satu contohnya adalah
aksi seorang pejabat atau kandidat politik yang melakukan pekerjaan rakyat
sehari-hari, seperti ngarit (memotong rumput untuk pakan ternak). Aksi
semacam ini biasanya ditampilkan
melalui media massa dan media sosial untuk menarik simpati publik, membangun
citra kesederhanaan, serta memperkuat klaim representasi rakyat kecil.
Namun demikian, praktik populisme
simbolik seperti ini menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana aksi tersebut
menyentuh persoalan substantif yang dihadapi rakyat, khususnya petani dan
peternak? Apakah dengan ngarit bersama rakyat, kebutuhan struktural seperti ketersediaan pakan ternak, harga
jual hasil peternakan, dan ketahanan ekonomi desa benar-benar terjawab? Kritik
akademik menegaskan bahwa simbolisme politik semacam ini cenderung lebih
menekankan aspek emosional ketimbang solusi konkret yang berkelanjutan.¹
Dalam konteks peternakan di Indonesia,
salah satu persoalan nyata yang dihadapi masyarakat adalah ketersediaan pakan
ternak sepanjang tahun. Pada musim penghujan, rumput mudah ditemukan, tetapi
pada musim kemarau peternak sering mengalami kesulitan serius untuk memenuhi
kebutuhan pakan. Akibatnya, produktivitas
ternak menurun, biaya operasional meningkat, dan ketahanan ekonomi peternak
melemah.² Aksi simbolik seperti ngarit memang dapat menumbuhkan simpati,
tetapi tidak menyentuh akar persoalan tersebut.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan
untuk:
1)
Mengkritisi praktik
populisme simbolik yang lebih menonjolkan pencitraan ketimbang penyelesaian
masalah.
2)
Mengajukan gagasan
alternatif berupa program pembangunan pabrik pengolahan rumput di tingkat
desa, yang dapat menyediakan pakan ternak secara berkelanjutan, menciptakan
peluang penghasilan baru, serta memperkuat ekonomi pedesaan.
Dengan pendekatan ini, diharapkan
pembahasan tidak hanya berhenti pada kritik terhadap simbolisme politik,
melainkan bergerak menuju tawaran solusi yang lebih substantif dan konstruktif. Artikel ini juga berusaha menegaskan
pentingnya etika politik yang bertanggung jawab, di mana pemimpin tidak
hanya tampil sebagai figur simbolik, tetapi juga sebagai aktor yang menciptakan
perubahan struktural demi kesejahteraan rakyat.³
Footnotes
[1]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–10.
[2]
Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di
Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.
[3]
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing
Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 23–27.
2.
Konsep Populisme
dalam Politik
Populisme merupakan salah satu fenomena
politik yang terus menjadi perhatian dalam kajian ilmu politik kontemporer.
Secara konseptual, populisme sering dipahami sebagai suatu gaya atau strategi
politik yang berupaya membangun legitimasi dengan mengatasnamakan “rakyat”
sebagai entitas moral yang
murni dan berhadapan dengan “elit” yang dianggap korup atau jauh dari
kepentingan publik.¹ Dalam kerangka ini, populisme tidak hanya dipahami sebagai
ideologi, melainkan juga sebagai cara berkomunikasi politik, praktik mobilisasi
massa, serta strategi elektoral.²
2.1.
Definisi dan
Karakteristik Populisme
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira
Kaltwasser mendefinisikan populisme sebagai “thin-centered ideology,” yakni ideologi tipis yang tidak
memiliki kerangka doktrinal menyeluruh, melainkan hanya menekankan dikotomi
moral antara rakyat (the pure people) dan elit (the corrupt elite).³ Dari
definisi ini, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik utama populisme:
1)
Dikotomi rakyat vs elit
– populisme menekankan adanya pertentangan tajam antara rakyat yang dianggap
bermoral tinggi dengan elit yang dianggap korup.
2)
Klaim representasi
tunggal – populis sering mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya
representasi sah dari kehendak rakyat.
3)
Gaya komunikasi langsung
– populisme mengedepankan retorika sederhana, emosional, dan mudah dipahami
massa.
4)
Antipartai dan
antiinstitusi – populisme cenderung melemahkan institusi politik formal,
dengan mengutamakan hubungan langsung antara pemimpin dan rakyat.⁴
Dengan karakteristik ini, populisme
sering kali lebih menekankan aspek performatif ketimbang program substantif.
Pemimpin populis berusaha menampilkan diri sebagai bagian dari rakyat kecil,
meskipun posisinya jelas berbeda dari mereka secara sosial, politik, maupun
ekonomi.
2.2.
Populisme Simbolik
vs Substantif
Dalam praktiknya, populisme dapat
dibedakan menjadi dua kecenderungan besar: populisme simbolik dan populisme substantif.
·
Populisme simbolik
merujuk pada strategi yang menekankan gestur dan aksi-aksi simbolik, seperti
mengenakan pakaian rakyat jelata, bekerja di sawah, atau melakukan aktivitas
keseharian petani dan buruh. Tindakan ini lebih ditujukan untuk membangun
kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat. Namun, keterbatasannya terletak
pada ketiadaan solusi struktural yang nyata bagi masalah yang dihadapi rakyat.
·
Populisme substantif
berusaha menjawab tuntutan rakyat dengan kebijakan publik yang konkret, seperti
pemberian subsidi, pembentukan program kesejahteraan sosial, atau pembangunan
infrastruktur yang menyentuh kehidupan sehari-hari.⁵
Perbedaan keduanya sangat signifikan:
populisme simbolik cenderung menghasilkan efek sesaat dan berorientasi pada pencitraan, sedangkan
populisme substantif memiliki potensi membawa perubahan sistemik.
2.3.
Populisme dalam
Konteks Politik Indonesia
Dalam sejarah politik Indonesia,
populisme bukanlah fenomena baru. Pada masa Orde Lama, Sukarno menampilkan gaya
politik yang sarat retorika kerakyatan, meskipun pada saat itu lebih bersifat
ideologis dengan nuansa nasionalisme dan sosialisme.⁶ Pada era reformasi,
populisme muncul kembali dalam bentuk
yang lebih variatif, terutama dalam konteks demokrasi elektoral. Kandidat
politik kerap mengadopsi gaya komunikasi populis untuk meraih simpati publik,
termasuk dengan melakukan aksi-aksi simbolik yang ditampilkan secara masif
melalui media.
Populisme di Indonesia juga memiliki
ciri khas, yaitu kuatnya penggunaan simbol budaya dan agama untuk menegaskan
identitas kedekatan dengan rakyat.⁷ Dalam beberapa kasus, hal ini menimbulkan ketegangan karena
simbol-simbol tersebut dapat dimanfaatkan secara berlebihan untuk tujuan
elektoral tanpa memperhatikan konsistensi kebijakan jangka panjang.
2.4.
Kritik terhadap
Populisme Simbolik
Populisme simbolik, meskipun efektif
secara komunikasi, sering kali dipandang bermasalah dari perspektif etika
politik. Aksi seperti ngarit oleh pejabat, misalnya, dapat menimbulkan
kesan kedekatan dengan rakyat, tetapi berpotensi menipu secara simbolik. Rakyat
diajak untuk melihat pemimpin sebagai bagian dari mereka, padahal yang lebih
dibutuhkan adalah kebijakan konkret untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.⁸
Dari sudut pandang sosiologis,
populisme simbolik memperkuat pola politik personalistik dan patrimonialistik.
Hal ini dapat melemahkan kelembagaan demokrasi, karena rakyat lebih terikat
pada figur dan gestur ketimbang institusi dan kebijakan. Dalam jangka panjang,
praktik ini berisiko menurunkan kualitas demokrasi dan menjebak masyarakat pada
politik pencitraan semata.
Footnotes
[1]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 38–45.
[2]
Nadia Urbinati, Democracy Disfigured: Opinion,
Truth, and the People (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 129–131.
[3]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 6–10.
[4]
Kurt Weyland, “Populism: A Political-Strategic
Approach,” Comparative Politics 31, no. 4 (1999): 1–22.
[5]
Paul Taggart, Populism (Buckingham: Open
University Press, 2000), 92–95.
[6]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 103–107.
[7]
Marcus Mietzner, “Populist Anti-Establishment Politics
in Indonesia: An Analysis of Campaigns in the 2014 Elections,” South East
Asia Research 22, no. 3 (2014): 289–300.
[8]
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge, 2004), 176–179.
3.
Kritik terhadap Aksi
Simbolik “Ngarit”
Praktik ngarit oleh pejabat
publik atau kandidat politik sering muncul dalam lanskap politik Indonesia
sebagai bentuk strategi komunikasi populis. Aksi ini dimaksudkan untuk
menampilkan kedekatan pemimpin dengan rakyat kecil, khususnya petani dan
peternak. Melalui gestur tersebut, pemimpin berusaha membangun citra kesederhanaan sekaligus menegaskan klaim
representasi moral atas nama rakyat.¹ Namun demikian, aksi semacam ini perlu
dikritisi secara akademik karena lebih menekankan aspek simbolik ketimbang
substansi.
3.1.
Analisis Simbolik
Secara simbolik, ngarit
dipersepsikan sebagai cara pemimpin menurunkan jarak sosial antara dirinya
dengan rakyat. Dalam tradisi politik patrimonial di Indonesia, gestur seperti
ini mudah diterima karena meneguhkan budaya patron-klien, di mana rakyat
melihat pemimpin sebagai figur yang “merakyat.”² Akan tetapi, makna simbolik
ini bersifat semu karena pemimpin hanya melakukan aktivitas tersebut dalam
waktu terbatas, biasanya dalam rangka kampanye atau liputan media. Hal ini
berbeda dengan realitas keseharian rakyat yang harus bergulat dengan pekerjaan
berat tersebut sebagai bagian dari kelangsungan hidup mereka.
3.2.
Keterbatasan
Substansi
Dari sudut pandang kebijakan publik,
aksi ngarit tidak memberikan kontribusi nyata bagi penyelesaian masalah
struktural peternakan. Tantangan utama peternak bukanlah kekurangan tenaga
kerja untuk memotong rumput, melainkan keterbatasan pasokan pakan ternak yang
berkesinambungan, terutama pada musim kemarau.³ Dengan demikian, simbolisme ngarit
gagal menjawab kebutuhan mendasar berupa ketersediaan sistem penyimpanan, teknologi pengolahan, dan akses pasar bagi
pakan ternak. Aksi simbolik tersebut hanya menciptakan kesan kepedulian, tetapi
tidak diikuti langkah-langkah praktis untuk memperbaiki kondisi peternak.
3.3.
Etika Politik:
Antara Pencitraan dan Tanggung Jawab
Dari perspektif etika politik, praktik
populisme simbolik dapat dipandang problematis karena mengaburkan batas antara
pencitraan dan tanggung jawab kepemimpinan. Pemimpin yang lebih sibuk
mempertontonkan gestur “kerakyatan” berisiko mengabaikan fungsi utamanya, yaitu
merumuskan dan melaksanakan kebijakan
yang adil dan berpihak pada rakyat.⁴ Aksi ngarit yang semestinya menjadi
bagian dari program kebijakan pangan dan peternakan malah direduksi menjadi
tontonan publik yang bersifat performatif. Hal ini berpotensi menurunkan
kualitas demokrasi karena rakyat diposisikan sebagai penonton, bukan sebagai
subjek dalam proses pembuatan kebijakan.
3.4.
Dampak Sosiologis
Secara sosiologis, aksi simbolik ngarit
memperkuat pola politik personalistik dan melemahkan kelembagaan demokrasi. Dalam politik personalistik, yang
ditonjolkan adalah figur pemimpin beserta citra yang melekat padanya, sementara
institusi politik dan mekanisme kebijakan sering terpinggirkan.⁵ Akibatnya,
masyarakat lebih terikat pada loyalitas emosional terhadap figur ketimbang pada
program atau regulasi yang menjamin kesejahteraan bersama. Dalam jangka
panjang, hal ini dapat menciptakan budaya politik yang dangkal, di mana
preferensi politik dibangun atas dasar gestur personal pemimpin, bukan atas
basis visi, misi, dan kebijakan substantif.
3.5.
Kritik Normatif
Kritik utama terhadap aksi ngarit
terletak pada sifatnya yang reduktif: ia mereduksi persoalan rakyat hanya
menjadi alat komunikasi politik. Dengan menjadikan pekerjaan rakyat sebagai
panggung pencitraan, pemimpin berisiko meremehkan kompleksitas persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi
masyarakat. Kritik normatif menegaskan bahwa tugas pemimpin bukan meniru
pekerjaan rakyat, melainkan memastikan rakyat memiliki akses terhadap
kebijakan, teknologi, dan sumber daya yang memungkinkan mereka bekerja dengan
lebih sejahtera.⁶
Kesimpulan Sementara
Aksi simbolik seperti ngarit
hanya menghasilkan efek emosional sesaat tanpa memberikan solusi jangka
panjang. Dalam kerangka akademik, aksi ini dapat dipahami sebagai strategi
populisme simbolik yang problematis karena gagal menjawab kebutuhan struktural
rakyat. Oleh karena itu, pemimpin yang sungguh-sungguh berpihak pada rakyat
seharusnya melampaui simbolisme dengan menghadirkan
kebijakan substantif yang memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan
masyarakat, khususnya dalam sektor peternakan.
Footnotes
[1]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–6.
[2]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power:
Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University
Press, 1990), 35–40.
[3]
Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di
Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.
[4]
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing
Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 23–27.
[5]
Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the
State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 98–100.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.
4.
Tantangan Nyata
Peternakan di Indonesia
Sektor peternakan memiliki posisi
penting dalam struktur ekonomi pedesaan Indonesia. Selain menjadi sumber utama
protein hewani, peternakan juga memberikan kontribusi pada pendapatan rumah
tangga dan memperkuat ketahanan pangan nasional.¹ Namun, di balik potensinya
yang besar, sektor ini menghadapi berbagai tantangan mendasar yang menghambat
produktivitas dan kesejahteraan peternak. Tantangan tersebut bersifat
struktural, ekologis, dan
institusional, sehingga memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan.
4.1.
Ketersediaan Pakan
Ternak
Masalah terbesar yang dihadapi peternak
di Indonesia adalah ketidakstabilan ketersediaan pakan ternak. Pada musim
penghujan, rumput tersedia melimpah dan relatif mudah diperoleh. Namun, pada
musim kemarau, peternak sering mengalami kesulitan serius dalam menyediakan
pakan.² Hal ini mengakibatkan turunnya produktivitas ternak, meningkatnya angka
kematian hewan, dan bertambahnya biaya operasional. Ironisnya, sebagian besar
peternak masih mengandalkan sumber pakan
alami dari lahan terbuka tanpa adanya sistem pengolahan atau pengawetan
(seperti silase dan hay).³ Akibatnya, mereka selalu berada dalam kondisi rawan
krisis pakan musiman.
4.2.
Fragmentasi Lahan
dan Keterbatasan Infrastruktur
Struktur kepemilikan lahan di pedesaan
sangat terfragmentasi, sehingga ketersediaan lahan untuk menanam rumput pakan
relatif terbatas. Banyak peternak yang memiliki ternak tetapi tidak memiliki
lahan khusus untuk menanam pakan, sehingga mereka bergantung pada lahan umum
atau membeli pakan dengan harga tinggi.⁴ Ditambah lagi, minimnya infrastruktur
pengolahan pakan di tingkat lokal menyebabkan peternak tidak mampu menyimpan
kelebihan rumput pada musim hujan untuk digunakan di musim kemarau. Kondisi ini
memperlihatkan lemahnya integrasi antara kebijakan pertanian dan peternakan.
4.3.
Ketergantungan pada
Faktor Alam
Peternakan di Indonesia masih sangat
rentan terhadap perubahan iklim. Kekeringan panjang atau banjir seringkali
menghancurkan sumber pakan, sehingga peternak mengalami kerugian besar.⁵
Adaptasi terhadap perubahan iklim belum menjadi perhatian utama dalam program
peternakan di tingkat desa. Padahal, ketergantungan semacam ini memperlihatkan
betapa rapuhnya fondasi sektor peternakan bila tidak didukung inovasi teknologi
pakan dan sistem pengelolaan risiko yang lebih baik.
4.4.
Lemahnya Dukungan
Teknologi dan Inovasi
Sebagian besar peternak kecil di
Indonesia masih menggunakan metode tradisional. Pengetahuan mengenai teknologi
pengawetan pakan (silase, hay, fermentasi) masih sangat terbatas, baik karena
kurangnya pelatihan maupun minimnya akses terhadap teknologi tersebut.⁶ Akibatnya, meskipun terdapat potensi untuk
mengembangkan industri pakan lokal, mayoritas peternak tetap terjebak dalam
sistem subsisten yang tidak berorientasi jangka panjang.
4.5.
Persoalan Ekonomi
dan Kelembagaan
Tantangan lain adalah lemahnya dukungan
kelembagaan peternak. Koperasi atau kelompok tani ternak yang seharusnya
menjadi wadah kerjasama sering kali belum berjalan efektif.⁷ Peternak kecil
cenderung bekerja sendiri-sendiri, sehingga tidak memiliki daya tawar dalam membeli pakan atau menjual hasil
ternak. Selain itu, keterbatasan modal membuat mereka kesulitan mengakses pakan
alternatif dengan kualitas lebih baik. Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah
peternakan bukan sekadar teknis, tetapi juga terkait struktur sosial-ekonomi
yang melemahkan posisi peternak kecil di pasar.
4.6.
Implikasi Sosial
Keterbatasan struktural ini menimbulkan
dampak sosial yang signifikan. Peternak sering hidup dalam kondisi rentan
secara ekonomi, karena pendapatan mereka sangat tergantung pada fluktuasi harga
pakan dan hasil ternak. Ketika harga pakan naik atau terjadi kelangkaan, banyak
peternak kecil terpaksa menjual ternaknya lebih awal dengan harga rendah.⁸
Dalam jangka panjang, hal ini
memperburuk ketimpangan sosial di desa, karena hanya peternak dengan modal
besar yang mampu bertahan dan berkembang.
Kesimpulan Sementara
Tantangan nyata peternakan di Indonesia
bersumber pada krisis pakan musiman, fragmentasi lahan, keterbatasan
infrastruktur, lemahnya adaptasi iklim, minimnya dukungan teknologi, dan
rapuhnya kelembagaan peternak. Kondisi ini menunjukkan bahwa problem peternakan
tidak dapat diselesaikan melalui
aksi-aksi simbolik semata, melainkan menuntut intervensi struktural yang
berkelanjutan. Oleh karena itu, gagasan pendirian pabrik pengolahan rumput desa
menjadi sangat relevan, karena berpotensi menjawab tantangan pokok tersebut
secara sistematis.
Footnotes
[1]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State
of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 45–47.
[2]
Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di
Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.
[3]
Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai
Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2
(2010): 123–130.
[4]
Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem
Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018):
65–72.
[5]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate
Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 89–91.
[6]
Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi
untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2
(2021): 56–62.
[7]
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang
Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.
[8]
Tri Widodo, “Dampak Fluktuasi Harga Pakan terhadap
Kesejahteraan Peternak,” Agro Ekonomi 24, no. 2 (2016): 101–109.
5.
Saran Konstruktif:
Pabrik Pengolahan Rumput Desa
Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab
sebelumnya, tantangan struktural peternakan di Indonesia tidak dapat
diselesaikan melalui pendekatan simbolik, melainkan membutuhkan intervensi yang
bersifat sistematis, berkelanjutan, dan berbasis kebijakan. Salah satu gagasan konstruktif yang relevan
adalah pendirian pabrik pengolahan rumput di tingkat desa. Program ini
dapat menjadi solusi strategis bagi permasalahan pakan ternak musiman,
sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat pedesaan.
5.1.
Konsep Dasar Pabrik
Pengolahan Rumput
Pabrik pengolahan rumput merupakan unit
produksi yang berfungsi mengolah rumput hijauan menjadi pakan olahan, baik
dalam bentuk silase, hay, maupun pakan fermentasi.¹ Teknologi ini
memungkinkan penyimpanan rumput dalam jangka waktu lama tanpa mengurangi
kandungan nutrisi, sehingga pasokan pakan ternak tetap tersedia sepanjang
tahun. Dengan demikian, peternak tidak
lagi bergantung secara penuh pada kondisi iklim dan musim.
Pabrik ini dapat dikelola secara kolektif
melalui koperasi desa atau BUMDes, dengan dukungan pemerintah daerah maupun
investor swasta. Mekanisme kerjanya sederhana:
masyarakat yang memiliki akses ke lahan atau mampu menanam rumput dapat menjual
hasil panennya ke pabrik, yang kemudian mengolahnya menjadi produk pakan siap
simpan.² Hal ini menjadikan rumput tidak lagi sekadar komoditas musiman, tetapi
juga bernilai ekonomi yang lebih tinggi.
5.2.
Peran Masyarakat dan
Keterlibatan Multipihak
Kelebihan utama program ini adalah
sifatnya yang inklusif. Tidak hanya peternak yang dapat terlibat, tetapi
juga masyarakat desa yang tidak memelihara ternak. Siapa pun yang dapat menanam
atau mengumpulkan rumput dapat menjualnya ke pabrik dan memperoleh pendapatan
tambahan.³ Dengan cara ini, pabrik pengolahan rumput tidak hanya menyelesaikan
masalah pakan, tetapi juga menciptakan peluang usaha baru yang berbasis pada
potensi lokal.
Selain itu, keberhasilan program ini memerlukan kolaborasi multipihak:
·
Pemerintah daerah
menyediakan regulasi, dukungan infrastruktur, dan insentif.
·
Koperasi peternak atau
BUMDes mengelola operasional dan distribusi.
·
Investor swasta
mendukung pembiayaan dan teknologi.
·
Lembaga pendidikan dan
penelitian memberikan pelatihan serta transfer teknologi terkait inovasi
pakan.⁴
5.3.
Manfaat Ekonomi dan
Sosial
Pendirian pabrik pengolahan rumput desa
memiliki potensi memberikan manfaat ganda:
1)
Ekonomi:
þ Menjamin ketersediaan
pakan yang stabil sehingga produktivitas ternak meningkat.
þ Menciptakan pasar baru
bagi rumput sebagai komoditas bernilai jual.
þ Menambah pendapatan
rumah tangga melalui keterlibatan dalam rantai pasok.⁵
2)
Sosial:
þ Memberikan peluang
kerja dan usaha bagi masyarakat non-peternak.
þ Memperkuat kohesi
sosial melalui kerjasama dalam pemasokan dan distribusi.
þ Mengurangi kerentanan
ekonomi peternak kecil terhadap fluktuasi harga pakan.
3)
Lingkungan:
þ Memanfaatkan lahan
tidur atau kurang produktif untuk penanaman rumput.
þ Mendorong pola
pertanian terpadu yang lebih ramah lingkungan.
þ
Mengurangi praktik eksploitasi berlebihan atas lahan umum yang sering merusak
ekosistem.⁶
5.4.
Strategi
Implementasi
Agar program ini dapat berjalan dengan
efektif, beberapa langkah implementatif perlu dipertimbangkan:
1)
Pemetaan potensi desa
untuk menentukan lokasi strategis yang memiliki lahan memadai dan jumlah
peternak signifikan.
2)
Penyediaan pelatihan
masyarakat mengenai teknik penanaman, panen, dan pengolahan rumput menjadi
silase atau hay.
3)
Skema pembiayaan
inklusif, seperti kredit mikro, dana desa, atau pembiayaan syariah,
sehingga peternak kecil dapat berpartisipasi.
4)
Penguatan kelembagaan
lokal melalui koperasi atau BUMDes agar program tidak hanya berorientasi
pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat.⁷
5)
Integrasi dengan pasar
nasional untuk memastikan produk pakan olahan tidak hanya memenuhi
kebutuhan lokal, tetapi juga dapat dipasarkan secara lebih luas.
5.5.
Relevansi Etika
Politik
Dalam perspektif etika politik, program
pendirian pabrik pengolahan rumput desa menunjukkan perbedaan mendasar dengan
aksi populisme simbolik seperti ngarit. Jika ngarit hanya
menampilkan gestur kedekatan tanpa solusi struktural, maka program ini
menghadirkan kebijakan nyata yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini
selaras dengan prinsip keadilan sosial, di mana pemimpin tidak sekadar tampil “merakyat,”
tetapi benar-benar menciptakan sistem yang memperkuat kehidupan rakyat secara
berkelanjutan.⁸
Kesimpulan Sementara
Pabrik pengolahan rumput desa dapat
menjadi solusi inovatif yang menjawab tantangan peternakan Indonesia. Program ini mampu menyediakan
pakan ternak sepanjang tahun, membuka peluang penghasilan baru bagi masyarakat
desa, dan memperkuat ekonomi lokal. Dengan implementasi yang tepat dan
kolaborasi multipihak, gagasan ini berpotensi mengubah sektor peternakan dari
sistem subsisten yang rentan menjadi industri desa yang lebih tangguh dan
berdaya saing.
Footnotes
[1]
Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai
Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2
(2010): 123–130.
[2]
Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem
Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018):
65–72.
[3]
Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di
Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.
[4]
Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi
untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2
(2021): 56–62.
[5]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State
of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.
[6]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate
Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 93–96.
[7]
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang
Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.
[8]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.
6.
Manfaat Program
Pabrik Rumput Desa
Gagasan pendirian pabrik pengolahan
rumput desa tidak hanya sekadar menjawab persoalan teknis berupa krisis pakan
musiman, tetapi juga membawa dampak yang luas bagi aspek ekonomi, sosial,
lingkungan, dan kelembagaan. Program ini dapat dipandang sebagai model
pembangunan berbasis desa yang mengintegrasikan
potensi lokal dengan inovasi teknologi, sekaligus memperkuat daya tahan
masyarakat terhadap tantangan struktural di sektor peternakan.
6.1.
Manfaat Ekonomi
Dari perspektif ekonomi, pabrik pengolahan rumput berpotensi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa melalui beberapa cara:
1)
Stabilitas usaha ternak:
Dengan tersedianya pakan sepanjang tahun, produktivitas ternak dapat
dipertahankan, sehingga peternak tidak lagi mengalami kerugian besar pada musim
kemarau.¹
2)
Diversifikasi sumber
pendapatan: Masyarakat non-peternak pun dapat berpartisipasi dengan menjual
rumput ke pabrik, sehingga terbuka peluang pendapatan baru yang berbasis sumber
daya lokal.²
3)
Penguatan rantai nilai
ekonomi desa: Rumput yang semula hanya dianggap sebagai komoditas musiman
dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, menciptakan pasar baru sekaligus
meningkatkan daya tawar peternak di hadapan tengkulak atau pasar regional.³
Program ini pada akhirnya berfungsi
sebagai instrumen untuk mengurangi ketergantungan peternak pada fluktuasi pasar pakan industri
sekaligus mendorong kemandirian ekonomi pedesaan.
6.2.
Manfaat Sosial
Secara sosial, pabrik pengolahan rumput
desa dapat memperkuat kohesi dan solidaritas masyarakat:
1)
Pemerataan kesempatan:
Semua warga, baik yang memiliki ternak maupun tidak, dapat berkontribusi dalam
rantai produksi rumput, sehingga manfaat ekonomi tersebar lebih merata.⁴
2)
Pemberdayaan komunitas:
Dengan adanya pabrik yang dikelola koperasi atau BUMDes, masyarakat belajar
mengelola usaha secara kolektif, meningkatkan keterampilan manajerial dan
kewirausahaan.
3)
Pengurangan kerentanan
sosial-ekonomi: Peternak kecil tidak lagi rentan terhadap krisis pakan yang
berulang, sehingga ketahanan ekonomi rumah tangga meningkat.⁵
Dengan kata lain, program ini dapat
mengurangi kesenjangan sosial di pedesaan dan membangun budaya partisipasi aktif dalam pembangunan ekonomi
lokal.
6.3.
Manfaat Lingkungan
Pendirian pabrik rumput desa juga
membawa dampak positif terhadap pengelolaan lingkungan:
1)
Optimalisasi lahan tidur:
Tanah kosong atau lahan marginal dapat dimanfaatkan untuk
menanam rumput pakan, sehingga lebih produktif dan bernilai ekonomis.⁶
2)
Pertanian ramah
lingkungan:
Rumput sebagai tanaman hijauan berfungsi menjaga kelembaban
tanah, mencegah erosi, dan meningkatkan kesuburan tanah melalui rotasi tanaman.
3)
Pengelolaan limbah
ternak:
Dengan tersedianya pakan yang lebih stabil, populasi ternak
dapat dikelola lebih baik, sehingga limbah organik dapat diolah secara lebih
sistematis menjadi pupuk organik atau biogas.⁷
Aspek lingkungan ini menjadikan program
pabrik rumput selaras dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang
menekankan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.
6.4.
Manfaat Kelembagaan
Di samping manfaat ekonomi, sosial, dan
lingkungan, keberadaan
pabrik rumput juga memperkuat kelembagaan desa:
1)
Penguatan koperasi dan
BUMDes: Pengelolaan pabrik secara kolektif mendorong penguatan institusi
ekonomi desa yang selama ini sering lemah.⁸
2)
Kemandirian desa:
Dengan sistem produksi pakan lokal, desa tidak lagi terlalu bergantung pada
pakan industri besar yang sering fluktuatif harganya.
3)
Transfer pengetahuan:
Melalui pelatihan dan kerjasama dengan lembaga penelitian, masyarakat desa
memperoleh pengetahuan baru dalam pengolahan pakan, manajemen usaha, dan tata
kelola organisasi.
Manfaat kelembagaan ini tidak hanya berdampak pada sektor peternakan, tetapi
juga mendorong kemandirian desa dalam menghadapi dinamika ekonomi nasional
maupun global.
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan, manfaat program
pabrik pengolahan rumput desa dapat dirangkum dalam empat dimensi: ekonomi,
sosial, lingkungan, dan kelembagaan. Dimensi ekonomi menegaskan stabilitas
usaha ternak dan diversifikasi pendapatan; dimensi sosial memperlihatkan pemerataan kesempatan dan penguatan kohesi
komunitas; dimensi lingkungan menunjukkan kontribusi terhadap pertanian
berkelanjutan; sedangkan dimensi kelembagaan menekankan penguatan institusi
ekonomi desa. Dengan demikian, gagasan ini bukan hanya solusi teknis, tetapi
juga strategi pembangunan pedesaan yang komprehensif.
Footnotes
[1]
Eko Prasetyo, “Permasalahan Pakan Ternak di
Indonesia,” Jurnal Peternakan Indonesia 22, no. 3 (2019): 145–152.
[2]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State
of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.
[3]
Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai
Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2
(2010): 123–130.
[4]
Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem
Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018):
65–72.
[5]
Tri Widodo, “Dampak Fluktuasi Harga Pakan terhadap
Kesejahteraan Peternak,” Agro Ekonomi 24, no. 2 (2016): 101–109.
[6]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate
Change and Land (Geneva: IPCC, 2019), 93–96.
[7]
Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi
untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2
(2021): 56–62.
[8]
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang
Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.
7.
Strategi
Implementasi Program
Gagasan pendirian pabrik pengolahan
rumput desa sebagai solusi struktural bagi krisis pakan ternak dan penguatan
ekonomi pedesaan memerlukan strategi implementasi yang terencana dengan baik.
Implementasi tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga melibatkan
dimensi sosial, kelembagaan, ekonomi, dan politik. Tanpa strategi yang
komprehensif, program berpotensi berhenti pada tataran wacana atau mengalami
kegagalan akibat lemahnya dukungan
kelembagaan serta keterbatasan kapasitas masyarakat. Oleh karena itu, strategi
implementasi berikut dirumuskan agar gagasan ini dapat dijalankan secara
efektif, berkelanjutan, dan inklusif.
7.1.
Pemetaan Potensi
Desa
Langkah awal adalah melakukan pemetaan
potensi desa yang meliputi:
·
Ketersediaan lahan
yang dapat dimanfaatkan untuk produksi rumput pakan.
·
Jumlah populasi ternak
di wilayah tersebut dan kebutuhan pakan per tahun.
·
Potensi tenaga kerja
lokal yang dapat terlibat dalam rantai produksi.
·
Kapasitas kelembagaan
desa seperti BUMDes atau koperasi yang dapat menjadi pengelola utama.¹
Pemetaan ini penting agar program tidak
diterapkan secara seragam, melainkan disesuaikan dengan karakteristik dan
kebutuhan masing-masing desa.
7.2.
Pembentukan
Kelembagaan Pengelola
Kelembagaan lokal menjadi kunci
keberhasilan program. Pabrik pengolahan rumput sebaiknya dikelola melalui BUMDes
atau koperasi peternak, yang berfungsi sebagai lembaga kolektif milik
masyarakat desa.² Dengan struktur kelembagaan yang jelas, pengelolaan program
akan lebih akuntabel, partisipatif,
dan mampu menjaga keberlanjutan usaha. Selain itu, model koperasi dapat
memperkuat posisi tawar peternak terhadap pasar pakan maupun produk ternak.
7.3.
Skema Pembiayaan
Inklusif
Pendirian pabrik pengolahan rumput
memerlukan modal awal yang cukup besar, terutama untuk investasi peralatan pengolahan, gudang penyimpanan, serta biaya
operasional awal. Untuk itu, perlu dirancang skema pembiayaan inklusif melalui:
·
Dana desa sebagai
modal awal pembangunan infrastruktur.
·
Kredit mikro bagi
petani dan peternak untuk mendukung partisipasi mereka dalam rantai produksi.
·
Skema pembiayaan syariah,
agar program lebih sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat desa.³
·
Kemitraan dengan sektor
swasta melalui model investasi bersama (public-private partnership).
Dengan demikian, beban pembiayaan tidak
hanya ditanggung oleh pemerintah, tetapi juga dibagi melalui kolaborasi multipihak.
7.4.
Transfer Teknologi
dan Pelatihan Masyarakat
Agar pabrik dapat berfungsi optimal,
masyarakat perlu memperoleh keterampilan teknis mengenai:
·
Penanaman dan panen rumput
pakan secara efisien.
·
Teknik pengolahan menjadi
silase, hay, atau pakan fermentasi.
·
Manajemen rantai pasok dan
distribusi produk pakan.
·
Penerapan standar kualitas
pakan untuk menjamin nilai jual.⁴
Pelatihan ini dapat difasilitasi
melalui kerjasama antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga
penelitian, dan organisasi masyarakat sipil. Transfer teknologi menjadi kunci agar masyarakat desa tidak
hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai produsen yang
mampu mengelola inovasi.
7.5.
Penguatan Jaringan
Pasar
Keberlanjutan program sangat bergantung
pada adanya akses pasar yang jelas. Produk pabrik rumput harus dipastikan
dapat:
·
Menyediakan pakan untuk
kebutuhan lokal desa.
·
Didistribusikan ke
desa-desa sekitar yang mengalami defisit pakan.
·
Terhubung dengan pasar
regional atau bahkan nasional melalui koperasi atau BUMDes.⁵
Strategi ini akan menjadikan pabrik
rumput bukan hanya solusi lokal, tetapi juga bagian dari sistem distribusi pakan ternak yang lebih luas,
sehingga meningkatkan daya saing ekonomi desa.
7.6.
Monitoring,
Evaluasi, dan Tata Kelola Transparan
Setiap program pembangunan desa rentan
terhadap masalah korupsi, penyalahgunaan dana, dan lemahnya akuntabilitas. Oleh
karena itu, perlu dirancang mekanisme monitoring dan evaluasi yang
melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung. Transparansi dalam
pengelolaan keuangan dan distribusi
manfaat menjadi syarat mutlak agar program tetap dipercaya oleh masyarakat.⁶
7.7.
Integrasi dengan
Agenda Pembangunan Berkelanjutan
Akhirnya, program ini harus
diintegrasikan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya:
·
Tujuan 2: Mengakhiri
kelaparan dan mencapai ketahanan pangan.
·
Tujuan 8: Pekerjaan layak
dan pertumbuhan ekonomi.
·
Tujuan 12: Konsumsi dan
produksi yang bertanggung jawab.
·
Tujuan 15: Kehidupan di
darat.⁷
Dengan mengacu pada kerangka SDGs,
program pabrik rumput desa dapat memperoleh legitimasi yang lebih luas, baik dalam konteks nasional maupun global.
Kesimpulan Sementara
Strategi implementasi pabrik pengolahan
rumput desa mencakup pemetaan potensi lokal, pembentukan kelembagaan pengelola,
skema pembiayaan inklusif, transfer teknologi, penguatan jaringan pasar,
mekanisme tata kelola yang transparan, serta integrasi dengan agenda
pembangunan berkelanjutan. Dengan
strategi ini, program tidak hanya menyelesaikan persoalan teknis pakan ternak,
tetapi juga berfungsi sebagai model pembangunan desa yang berdaya saing,
berkelanjutan, dan berbasis partisipasi masyarakat.
Footnotes
[1]
Rachmat Pambudi, “Peternakan Rakyat dan Problem
Fragmentasi Lahan,” Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 15, no. 1 (2018):
65–72.
[2]
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang
Belum Berakhir (Jakarta: INSIST, 2009), 210–213.
[3]
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori
ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 78–80.
[4]
Siti Rohmah, “Transfer Teknologi Pakan Fermentasi
untuk Peternak Rakyat,” Jurnal Pengabdian Masyarakat Pertanian 3, no. 2
(2021): 56–62.
[5]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State
of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.
[6]
Robert Chambers, Rural Development: Putting the
Last First (London: Longman, 1983), 112–115.
[7]
United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), 14–19.
8.
Perbandingan:
Simbolisme vs Substansi
Fenomena populisme dalam politik
Indonesia sering memperlihatkan ketegangan antara simbolisme dan substansi.
Simbolisme tercermin dalam gestur-gestur politik yang dirancang untuk
menciptakan kedekatan emosional dengan rakyat, sementara substansi menekankan
pada kebijakan nyata yang membawa dampak struktural. Bab ini membandingkan kedua pendekatan tersebut dalam
konteks aksi simbolik ngarit dan gagasan pembangunan pabrik pengolahan
rumput desa.
8.1.
Simbolisme: Politik
Emosi dan Pencitraan
Simbolisme politik sering hadir dalam
bentuk gestur sederhana yang mudah dipahami rakyat, seperti pejabat yang
melakukan pekerjaan rakyat sehari-hari. Dalam kasus ngarit, pemimpin tampil seolah-olah berbagi penderitaan
dengan peternak.¹ Strategi ini efektif dalam membangun kedekatan emosional
karena memanfaatkan nilai-nilai budaya lokal, seperti kesederhanaan, gotong
royong, dan solidaritas desa.²
Namun, simbolisme memiliki keterbatasan
yang signifikan. Ia sering kali hanya menciptakan ilusi keterlibatan
tanpa menyentuh akar masalah. Pemimpin yang tampil “merakyat” tidak otomatis memperbaiki sistem produksi pakan
atau meningkatkan kesejahteraan peternak. Dalam banyak kasus, simbolisme
berfungsi sebagai alat komunikasi politik jangka pendek, terutama menjelang
pemilu.³
8.2.
Substansi: Politik
Kebijakan dan Perubahan Struktural
Sebaliknya, substansi politik
menekankan pada kebijakan publik yang memiliki dampak langsung dan jangka
panjang bagi masyarakat. Gagasan
pabrik pengolahan rumput desa adalah contoh substansi karena:
·
Menghadirkan solusi teknis
terhadap krisis pakan musiman.
·
Menciptakan rantai nilai
ekonomi baru bagi masyarakat desa.
·
Mengurangi ketergantungan
peternak pada kondisi alam dan pasar pakan industri.
·
Memberdayakan kelembagaan
desa melalui koperasi atau BUMDes.⁴
Pendekatan substansial lebih sulit
dipasarkan secara emosional karena tidak selalu menghadirkan gestur dramatis
yang mudah dipahami publik. Namun, dalam jangka panjang, substansi memiliki
daya tahan lebih besar dan mampu memperkuat fondasi kesejahteraan masyarakat.
8.3.
Konsekuensi
Sosial-Politik
Perbandingan antara simbolisme dan
substansi memiliki implikasi sosial-politik yang penting.
1)
Simbolisme berisiko
memperkuat budaya politik patrimonial dan personalistik. Masyarakat lebih
menilai gestur figur ketimbang efektivitas institusi.⁵ Hal ini melemahkan
demokrasi karena preferensi politik dibangun di atas pencitraan, bukan kinerja
kebijakan.
2)
Substansi mendorong
penguatan institusi dan kebijakan publik. Ketika masyarakat melihat hasil nyata
dari program seperti pabrik pengolahan rumput, loyalitas mereka tidak lagi
bergantung pada figur semata, melainkan pada keberhasilan sistem.⁶
Dengan demikian, simbolisme memperkuat
politik jangka pendek berbasis citra, sementara substansi memperkuat politik jangka panjang berbasis
kebijakan.
8.4.
Relevansi Etis dan
Filosofis
Dari perspektif etika politik,
substansi lebih mencerminkan tanggung jawab moral pemimpin terhadap rakyat.
Pemimpin sejati bukan hanya mereka yang mampu tampil sederhana di depan kamera,
tetapi mereka yang merancang sistem yang adil dan berkelanjutan.⁷ Secara filosofis, simbolisme dapat dipandang
sebagai representasi dangkal (appearance), sedangkan substansi merupakan esensi
(essence) yang lebih hakiki dalam membangun keadilan sosial.
Kesimpulan Sementara
Perbandingan ini menunjukkan bahwa
simbolisme seperti ngarit hanya memberikan efek emosional sesaat,
sedangkan substansi berupa program pabrik pengolahan rumput desa memberikan dampak nyata yang berkelanjutan.
Politik yang sehat seharusnya bergerak dari simbolisme menuju substansi, dari
pencitraan menuju kebijakan, serta dari gestur sesaat menuju perubahan
struktural.
Footnotes
[1]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–7.
[2]
Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power:
Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University
Press, 1990), 38–41.
[3]
Marcus Mietzner, “Populist Anti-Establishment Politics
in Indonesia: Campaigns in the 2014 Elections,” South East Asia Research
22, no. 3 (2014): 289–300.
[4]
Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai
Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2
(2010): 123–130.
[5]
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge, 2004), 176–179.
[6]
Food and Agriculture Organization (FAO), The State
of Food and Agriculture 2020 (Rome: FAO, 2020), 77–81.
[7]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 12–15.
9.
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
Pembahasan mengenai populisme simbolik
dan alternatif substantif melalui program pabrik pengolahan rumput desa tidak
hanya relevan pada tataran praktis, tetapi juga membuka ruang refleksi
filosofis mengenai makna kepemimpinan, etika politik, dan paradigma
pembangunan. Bab ini berupaya mensintesiskan kritik yang telah dikemukakan
dengan tawaran solusi struktural, serta menempatkannya dalam kerangka pemikiran
filosofis yang lebih luas.
9.1.
Antara Simbolisme
dan Substansi: Sebuah Dialektika
Fenomena ngarit sebagai aksi
populisme simbolik mencerminkan salah satu bentuk dialektika antara appearance
(penampilan) dan essence (hakikat).¹ Penampilan berfungsi membangun
kedekatan emosional, tetapi sering kali dangkal dan temporer. Hakikat terletak pada upaya substantif yang menjawab
kebutuhan riil rakyat, seperti ketersediaan pakan ternak, penguatan kelembagaan
desa, dan keberlanjutan ekonomi lokal.
Dalam perspektif filsafat politik,
simbolisme tanpa substansi hanya menghasilkan legitimasi semu.² Sebaliknya,
substansi tanpa komunikasi simbolik dapat kehilangan daya mobilisasi politik.
Karena itu, sintesis yang ideal bukanlah menolak simbolisme sepenuhnya,
melainkan mengintegrasikannya dengan kebijakan substantif. Simbol dapat menjadi
sarana komunikasi, tetapi harus selalu berakar pada kebijakan nyata.
9.2.
Etika Kepemimpinan
dan Tanggung Jawab Moral
Kepemimpinan dalam politik menuntut
adanya keseimbangan antara representasi simbolik dan tanggung jawab substantif.
Pemimpin sejati, menurut pandangan etika politik, adalah mereka yang tidak
hanya tampil sebagai “bagian dari rakyat,” tetapi juga membangun sistem yang
memungkinkan rakyat hidup lebih bermartabat.³
Dalam konteks ini, program pabrik pengolahan rumput desa menjadi manifestasi
konkret dari etika tanggung jawab: pemimpin tidak sekadar meniru pekerjaan
rakyat, tetapi menciptakan struktur yang memudahkan rakyat dalam pekerjaan
mereka.
Refleksi ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial sebagaimana dikemukakan John
Rawls, bahwa kebijakan publik harus dirancang untuk memberikan manfaat terbesar
bagi mereka yang paling lemah secara sosial-ekonomi.⁴ Dengan demikian,
substansi kebijakan lebih sesuai dengan prinsip etis universal dibandingkan
simbolisme semata.
9.3.
Filosofi Pembangunan
Desa
Pabrik pengolahan rumput desa dapat
dipandang sebagai bagian dari filosofi pembangunan desa yang menekankan pemberdayaan,
keberlanjutan, dan partisipasi. Pemberdayaan berarti masyarakat menjadi
subjek pembangunan, bukan sekadar objek pertunjukan politik. Keberlanjutan
berarti program yang dijalankan mampu bertahan lintas musim dan generasi, tidak
hanya sebatas pada masa kampanye atau
periode tertentu. Partisipasi berarti setiap individu, baik peternak maupun
non-peternak, memiliki ruang untuk mengambil peran dalam rantai produksi dan
distribusi.⁵
Konsep ini selaras dengan paradigma
pembangunan berbasis masyarakat (community-based development), di mana kekuatan
lokal menjadi fondasi utama untuk membangun kemandirian.⁶ Secara filosofis, hal
ini menggeser fokus dari pembangunan top-down menuju pembangunan yang berbasis
kebutuhan dan potensi rakyat sendiri.
9.4.
Politik sebagai
Ruang Etis
Politik, dalam refleksi filosofis,
tidak boleh direduksi menjadi ajang pencitraan atau perebutan kekuasaan semata.
Hannah Arendt menekankan bahwa politik pada dasarnya adalah ruang etis untuk
bertindak bersama demi kebaikan bersama
(the common good).⁷ Dengan demikian, aksi populisme simbolik yang hanya
memanfaatkan pekerjaan rakyat untuk tujuan elektoral justru melemahkan hakikat
politik itu sendiri. Sebaliknya, kebijakan substantif seperti pabrik pengolahan
rumput desa mengembalikan politik
pada tujuan utamanya, yakni menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik dan
adil bagi seluruh warga.
9.5.
Sintesis: Dari
Kritik menuju Transformasi
Sintesis yang dapat ditarik dari
pembahasan ini adalah: kritik terhadap populisme simbolik harus diikuti dengan
tawaran solusi substantif agar menghasilkan transformasi nyata. Kritik tanpa
tawaran solusi hanya berakhir pada retorika, sementara solusi tanpa kritik berisiko kehilangan konteks. Pabrik
pengolahan rumput desa hadir sebagai bentuk sintesis yang tidak hanya
mengoreksi kelemahan simbolisme ngarit, tetapi juga mengartikulasikan
langkah praktis yang selaras dengan nilai etika dan filosofi pembangunan.
Kesimpulan Sementara
Refleksi filosofis atas perbandingan
simbolisme dan substansi menegaskan pentingnya pergeseran paradigma politik:
dari penampilan menuju hakikat, dari pencitraan menuju kebijakan, dari retorika
menuju tindakan. Program pabrik pengolahan rumput desa mencerminkan substansi politik yang berakar pada
etika kepemimpinan, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan
demikian, politik tidak lagi berhenti pada panggung pencitraan, tetapi menjadi
instrumen transformasi sosial yang sesungguhnya.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 514a–517a.
[2]
Ernesto Laclau, On Populist Reason (London:
Verso, 2005), 38–45.
[3]
Max Weber, Politics as a Vocation, trans. H. H.
Gerth and C. Wright Mills (Philadelphia: Fortress Press, 1965), 77–79.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 302–303.
[5]
Robert Chambers, Rural Development: Putting the
Last First (London: Longman, 1983), 112–115.
[6]
David Korten, Getting to the 21st Century:
Voluntary Action and the Global Agenda (West Hartford: Kumarian Press,
1990), 67–69.
[7]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 175–181.
10.
Penutup
Pembahasan dalam artikel ini
memperlihatkan adanya ketegangan antara populisme simbolik dan pendekatan
substantif dalam praktik politik Indonesia. Aksi ngarit oleh pejabat
atau kandidat politik, meskipun mampu menarik simpati publik melalui gestur
kesederhanaan, terbukti hanya memberikan dampak emosional sesaat tanpa
menyelesaikan persoalan struktural yang dihadapi peternak.¹ Kritik akademik
menegaskan bahwa simbolisme politik semacam ini berisiko mereduksi makna
kepemimpinan menjadi sekadar pencitraan, serta memperkuat budaya politik
personalistik yang melemahkan institusi demokrasi.²
Sebaliknya, pendekatan substantif yang
diwujudkan melalui gagasan pabrik pengolahan rumput desa menawarkan
solusi nyata yang bersifat sistemik dan berkelanjutan. Program ini mampu
menjawab problem krisis pakan musiman, membuka peluang ekonomi baru bagi
masyarakat, mengoptimalkan pemanfaatan lahan, serta memperkuat kelembagaan
desa.³ Dengan strategi implementasi yang tepat, pabrik rumput desa dapat
menjadi instrumen pembangunan yang inklusif, partisipatif, dan selaras dengan
agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs).⁴
Refleksi filosofis menunjukkan bahwa
politik seharusnya tidak berhenti pada penampilan (appearance), tetapi
harus menyentuh hakikat (essence) berupa tanggung jawab moral pemimpin
dalam membangun sistem yang adil dan produktif.⁵ Pemimpin yang sejati bukanlah
mereka yang sekadar meniru pekerjaan rakyat untuk memperoleh legitimasi,
melainkan mereka yang mampu menciptakan struktur yang memperkuat rakyat dalam pekerjaannya. Dengan
demikian, politik menemukan kembali makna etisnya: sebagai ruang untuk
bertindak bersama demi kebaikan bersama.⁶
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa
kritik terhadap populisme simbolik harus selalu diiringi dengan tawaran solusi
substantif. Kritik tanpa solusi berpotensi menjadi wacana hampa, sedangkan
solusi tanpa kritik berisiko kehilangan konteks. Pabrik pengolahan rumput desa
adalah contoh bagaimana solusi substantif dapat menjadi jawaban atas kelemahan
simbolisme ngarit. Oleh karena itu, masa depan politik Indonesia perlu
diarahkan pada penguatan kebijakan substantif yang berakar pada kebutuhan riil
rakyat, sehingga demokrasi tidak hanya berhenti pada pencitraan, tetapi juga
menghasilkan transformasi sosial yang berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism:
A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–7.
[2]
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London:
Routledge, 2004), 176–179.
[3]
Nurhayati dan Bambang Setiadi, “Silase sebagai
Alternatif Pengawetan Hijauan Pakan,” Buletin Peternakan 34, no. 2
(2010): 123–130.
[4]
United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: United Nations, 2015), 14–19.
[5]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 514a–517a.
[6]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 175–181.
Daftar Pustaka
Anderson, B. R. O’G. (1990). Language
and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University
Press.
Arendt, H. (1958). The human
condition. University of Chicago Press.
Bloom, A. (Trans.). (1991). The
Republic (Plato). Basic Books.
Chambers, R. (1983). Rural
development: Putting the last first. Longman.
Food and Agriculture Organization.
(2020). The state of food and agriculture 2020. FAO.
Feith, H. (1962). The decline of
constitutional democracy in Indonesia. Cornell University Press.
Hadiz, V. R., & Robison, R.
(2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age
of markets. Routledge.
Huntington, S. P. (1968). Political
order in changing societies. Yale University Press.
Intergovernmental Panel on Climate
Change. (2019). Climate change and land. IPCC.
Korten, D. (1990). Getting to the
21st century: Voluntary action and the global agenda. Kumarian Press.
Laclau, E. (2005). On populist
reason. Verso.
Mietzner, M. (2009). Military
politics, Islam, and the state in Indonesia. ISEAS.
Mietzner, M. (2014). Populist
anti-establishment politics in Indonesia: Campaigns in the 2014 elections. South
East Asia Research, 22(3), 289–300.
Mudde, C., & Rovira Kaltwasser,
C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.
Nurhayati, & Setiadi, B. (2010).
Silase sebagai alternatif pengawetan hijauan pakan. Buletin Peternakan, 34(2),
123–130.
Pambudi, R. (2018). Peternakan rakyat
dan problem fragmentasi lahan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 15(1),
65–72.
Prasetyo, E. (2019). Permasalahan
pakan ternak di Indonesia. Jurnal Peternakan Indonesia, 22(3), 145–152.
Rawls, J. (1971). A theory of
justice. Harvard University Press.
Rohmah, S. (2021). Transfer teknologi
pakan fermentasi untuk peternak rakyat. Jurnal Pengabdian Masyarakat
Pertanian, 3(2), 56–62.
Sen, A. (1999). Development as
freedom. Alfred A. Knopf.
Syafii Antonio, M. (2001). Bank
syariah: Dari teori ke praktik. Gema Insani.
Taggart, P. (2000). Populism.
Open University Press.
United Nations. (2015). Transforming
our world: The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.
Urbinati, N. (2014). Democracy
disfigured: Opinion, truth, and the people. Harvard University Press.
Weber, M. (1965). Politics as a
vocation (H. H. Gerth & C. Wright Mills, Trans.). Fortress Press.
Weyland, K. (1999). Populism: A
political-strategic approach. Comparative Politics, 31(4), 1–22.
Widodo, T. (2016). Dampak fluktuasi
harga pakan terhadap kesejahteraan peternak. Agro Ekonomi, 24(2),
101–109.
Wiradi, G. (2009). Reforma
agraria, perjalanan yang belum berakhir. INSIST.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar