Jumat, 03 Oktober 2025

Sistem Moneter dan Fiskal: Fondasi, Dinamika, dan Relevansi dalam Stabilitas Ekonomi Nasional dan Global

Sistem Moneter dan Fiskal

Fondasi, Dinamika, dan Relevansi dalam Stabilitas Ekonomi Nasional dan Global


Alihkan ke: Sistem Ekonomi.

Uang, Sistem Moneter, Fiskal, IHSG.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem moneter dan fiskal sebagai dua pilar fundamental dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional maupun global. Melalui pendekatan historis, teoritis, komparatif, dan empiris, pembahasan menyoroti konsep dasar, instrumen, serta mekanisme kedua sistem tersebut, disertai dengan penelusuran perkembangan historis dari era barter, gold standard, hingga kehadiran mata uang digital, serta dari merkantilisme hingga konsep welfare state. Artikel ini juga membahas interaksi moneter-fiskal, baik dalam bentuk sinergi maupun konflik, serta peran lembaga internasional seperti IMF dan World Bank dalam mengarahkan dinamika global.

Lebih lanjut, artikel ini mengidentifikasi tantangan kontemporer, termasuk inflasi, stagflasi, beban utang publik, digitalisasi keuangan, ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik. Kritik terhadap pendekatan ortodoks diulas bersama reinterpretasi kebijakan dalam kerangka ekonomi hijau dan perspektif ekonomi Islam, yang menekankan dimensi etis, keadilan, dan keberlanjutan. Pada bagian reflektif-filosofis, sistem moneter dan fiskal dipahami tidak hanya sebagai instrumen teknokratis, tetapi juga sarat nilai normatif yang terkait dengan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, serta martabat manusia.

Kajian ini menyimpulkan bahwa efektivitas sistem moneter dan fiskal sangat bergantung pada koordinasi yang sinergis, adaptasi terhadap perubahan global, serta integrasi nilai-nilai etika dan keberlanjutan. Dengan demikian, relevansi keduanya dalam kehidupan kontemporer tidak terbatas pada aspek teknis, melainkan juga menyangkut dimensi sosial, politik, dan filosofis yang lebih luas.

Kata Kunci: Sistem Moneter, Sistem Fiskal, Stabilitas Ekonomi, Globalisasi, Kebijakan Publik, Keadilan Sosial, Ekonomi Hijau, Ekonomi Islam.


PEMBAHASAN

Kajian Sistem Moneter dan Fiskal


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Ekonomi modern tidak dapat dilepaskan dari dua instrumen fundamental yang menjadi penopang stabilitas dan pertumbuhan: sistem moneter dan sistem fiskal. Keduanya berfungsi sebagai kerangka kebijakan yang saling melengkapi untuk mengatur alokasi sumber daya, menjaga stabilitas harga, mengendalikan inflasi, serta mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sistem moneter menitikberatkan pada pengaturan jumlah uang beredar dan stabilitas keuangan, sementara sistem fiskal berfokus pada kebijakan anggaran negara yang mencakup pajak, belanja, serta pembiayaan publik.¹

Interaksi keduanya sangat menentukan arah pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam konteks global, kegagalan koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal dapat menimbulkan ketidakseimbangan makroekonomi, sebagaimana tercermin dalam krisis finansial Asia 1997 dan krisis global 2008.² Dalam situasi seperti itu, peran sinergis kebijakan moneter-fiskal menjadi semakin mendesak untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang yang rentan terhadap gejolak eksternal.³

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam artikel ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)                  Apa definisi, peran, dan fungsi mendasar dari sistem moneter dan fiskal dalam perekonomian?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan kedua sistem tersebut dalam konteks nasional dan global?

3)                  Bagaimana interaksi, sinergi, sekaligus potensi konflik antara sistem moneter dan fiskal?

4)                  Apa tantangan kontemporer yang dihadapi dalam pengelolaan sistem moneter dan fiskal?

5)                  Bagaimana relevansi sistem moneter dan fiskal dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial di era globalisasi?

1.3.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan konsep dasar, instrumen, dan mekanisme sistem moneter dan fiskal.

2)                  Menjelaskan dinamika historis dan perkembangan kebijakan terkait keduanya.

3)                  Menganalisis interaksi moneter-fiskal dalam konteks ekonomi nasional maupun internasional.

4)                  Mengkaji kritik, reinterpretasi, serta perspektif alternatif, termasuk dari sudut pandang ekonomi Islam dan ekonomi hijau.

5)                  Merefleksikan relevansi sistem moneter dan fiskal dalam kehidupan kontemporer, baik dalam ranah teoritis maupun praktis.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan historis, teoritis, komparatif, dan empiris. Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri perkembangan sistem moneter dan fiskal dari masa klasik hingga modern. Pendekatan teoritis berfokus pada landasan konseptual dari berbagai aliran pemikiran ekonomi, seperti Keynesian, Monetarist, hingga teori kontemporer. Pendekatan komparatif digunakan untuk melihat praktik sistem moneter dan fiskal di berbagai negara, sementara pendekatan empiris bertumpu pada analisis data makroekonomi yang relevan.

Dengan pendekatan multidisipliner ini, diharapkan pembahasan akan menghasilkan sintesis yang tidak hanya akademis, tetapi juga aplikatif untuk kebijakan ekonomi kontemporer.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 45.

[2]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 178–182.

[3]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of Trump (New York: W. W. Norton & Company, 2018), 56–60.


2.           Konsep Dasar Sistem Moneter dan Fiskal

2.1.       Definisi Sistem Moneter

Sistem moneter dapat dipahami sebagai seperangkat mekanisme, lembaga, serta aturan yang mengatur peredaran uang dan kredit dalam suatu perekonomian.¹ Dalam kerangka ini, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai penyimpan nilai, satuan hitung, dan instrumen pembayaran yang sah.² Keberadaan sistem moneter memastikan stabilitas keuangan, memperlancar transaksi ekonomi, serta mengendalikan inflasi melalui kebijakan yang dijalankan oleh otoritas moneter, terutama bank sentral.³

Secara historis, sistem moneter telah mengalami evolusi, mulai dari penggunaan logam mulia (gold and silver standard), sistem uang kertas berbasis cadangan emas, hingga sistem fiat money dan kini memasuki era digital currency. Evolusi ini menunjukkan fleksibilitas sistem moneter dalam merespons perubahan struktur ekonomi dan kebutuhan global.⁴

2.2.       Definisi Sistem Fiskal

Sistem fiskal mengacu pada kebijakan negara yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan dan belanja publik, dengan tujuan utama untuk memelihara stabilitas ekonomi, distribusi kesejahteraan, serta pembangunan berkelanjutan.⁵ Pendapatan negara umumnya diperoleh melalui pajak, retribusi, dan penerimaan lain, sementara belanja negara dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta subsidi sosial.⁶

Dalam literatur ekonomi klasik, kebijakan fiskal sering dipandang sebagai instrumen untuk memengaruhi permintaan agregat. Teori Keynesian, misalnya, menekankan pentingnya pengeluaran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya ketika sektor swasta mengalami kelesuan.⁷ Dengan demikian, sistem fiskal bukan hanya instrumen teknis, melainkan juga refleksi dari filosofi politik dan sosial suatu negara mengenai distribusi kekayaan dan tanggung jawab negara terhadap warganya.⁸

2.3.       Persamaan dan Perbedaan Sistem Moneter dan Fiskal

Meskipun memiliki ruang lingkup berbeda, sistem moneter dan fiskal memiliki tujuan yang sama: menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendukung pembangunan nasional.⁹ Persamaannya terletak pada fungsi stabilisasi, yakni upaya mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif. Namun, perbedaannya terletak pada instrumen dan otoritas pelaksana.

Sistem moneter diatur oleh bank sentral dengan instrumen berupa suku bunga, cadangan wajib minimum, serta operasi pasar terbuka.¹⁰ Sebaliknya, sistem fiskal dikelola oleh pemerintah melalui kebijakan perpajakan, belanja, serta pembiayaan defisit anggaran.¹¹ Perbedaan ini seringkali menimbulkan potensi ketegangan kebijakan, khususnya ketika pemerintah lebih mendorong ekspansi fiskal sementara bank sentral cenderung menempuh kebijakan moneter ketat.¹²

2.4.       Peran Utama dalam Perekonomian Nasional

Dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional, sistem moneter dan fiskal berperan sebagai dua roda penggerak utama. Sistem moneter berfungsi menjaga stabilitas harga, mengatur jumlah uang beredar, serta mendorong efisiensi sektor keuangan.¹³ Sementara itu, sistem fiskal berfungsi meningkatkan penerimaan negara, membiayai pembangunan, serta mewujudkan redistribusi ekonomi agar tercapai keadilan sosial.¹⁴

Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat krusial. Jika kebijakan moneter terlalu longgar tanpa dukungan fiskal yang efektif, maka risiko inflasi meningkat. Sebaliknya, kebijakan fiskal ekspansif tanpa koordinasi dengan kebijakan moneter dapat menimbulkan tekanan defisit dan utang publik.¹⁵ Oleh karena itu, sinergi moneter dan fiskal diperlukan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, berkelanjutan, dan inklusif.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 33.

[2]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed. (New York: Worth Publishers, 2023), 85–86.

[3]                Stanley Fischer, “Central Bank Independence Revisited,” American Economic Review 111, no. 5 (2021): 159–164.

[4]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 22–27.

[5]                Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 3–4.

[6]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 15.

[7]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–130.

[8]                Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 54.

[9]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 220.

[10]             Mishkin, The Economics of Money, 40–42.

[11]             Musgrave and Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 112–115.

[12]             Blanchard, Macroeconomics, 235–236.

[13]             Mankiw, Macroeconomics, 92.

[14]             Stiglitz, Economics of the Public Sector, 66–67.

[15]             Fischer, “Central Bank Independence Revisited,” 168–169.


3.           Sejarah Perkembangan Sistem Moneter dan Fiskal

3.1.       Perkembangan Sistem Moneter

Sejarah sistem moneter menunjukkan transformasi mendasar dalam cara manusia mengelola pertukaran ekonomi. Pada masa awal, masyarakat menggunakan sistem barter yang kemudian dianggap tidak efisien karena keterbatasan dalam double coincidence of wants.¹ Untuk mengatasi kelemahan tersebut, logam mulia seperti emas dan perak mulai digunakan sebagai alat tukar yang diakui secara luas. Hal ini menandai lahirnya commodity money

Pada abad ke-19, sistem gold standard menjadi basis utama moneter internasional, di mana nilai mata uang dikaitkan langsung dengan cadangan emas suatu negara.³ Sistem ini memberikan kepastian nilai tukar dan stabilitas harga, tetapi sekaligus membatasi fleksibilitas kebijakan moneter dalam menghadapi guncangan ekonomi.⁴ Setelah runtuhnya Bretton Woods System pada 1971, dunia beralih pada sistem uang fiat (fiat money), di mana nilai mata uang tidak lagi dijamin oleh emas, melainkan oleh kepercayaan pada pemerintah dan bank sentral.⁵

Dalam perkembangan kontemporer, muncul fenomena digitalisasi moneter dengan hadirnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC).⁶ Perubahan ini memperlihatkan adaptasi sistem moneter terhadap tantangan globalisasi, teknologi finansial, serta kebutuhan efisiensi transaksi modern.

3.2.       Perkembangan Sistem Fiskal

Berbeda dengan moneter, sistem fiskal mengalami evolusi seiring dengan perkembangan negara dan institusi politik. Pada era merkantilisme (abad ke-16–18), kebijakan fiskal berfokus pada akumulasi kekayaan melalui perdagangan, proteksi, dan intervensi negara.⁷ Tujuan utamanya adalah memperkuat kekuasaan negara dan meningkatkan cadangan logam mulia.

Memasuki era klasik (abad ke-18–19), tokoh seperti Adam Smith menekankan prinsip laissez-faire, sehingga intervensi fiskal negara dianggap minimal.⁸ Namun, krisis besar (Great Depression) tahun 1930-an melahirkan paradigma baru melalui pemikiran John Maynard Keynes yang menekankan pentingnya kebijakan fiskal ekspansif untuk mengatasi resesi dan meningkatkan permintaan agregat.⁹

Pasca Perang Dunia II, negara-negara mulai menerapkan kebijakan fiskal yang lebih sistematis dalam konteks welfare state, dengan fokus pada redistribusi pendapatan, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan layanan sosial.¹⁰ Pada era kontemporer, kebijakan fiskal tidak hanya dipandang sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai sarana mencapai tujuan sosial, politik, dan lingkungan, misalnya melalui green fiscal policy untuk mengatasi perubahan iklim.¹¹

3.3.       Pengalaman Historis Negara-Negara Maju dan Berkembang

Negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, menunjukkan peran penting koordinasi moneter dan fiskal dalam menghadapi krisis ekonomi. Misalnya, kebijakan New Deal pada era Roosevelt di Amerika Serikat menjadi contoh klasik bagaimana kebijakan fiskal ekspansif dapat memulihkan ekonomi.¹² Sebaliknya, kebijakan moneter ketat yang diterapkan Federal Reserve pada era Paul Volcker (1980-an) menunjukkan bagaimana stabilitas inflasi menjadi prioritas dalam konteks moneter.¹³

Di sisi lain, negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara mengalami dinamika berbeda. Krisis finansial Asia tahun 1997 menegaskan betapa rentannya perekonomian negara berkembang terhadap arus modal global, lemahnya sistem moneter domestik, dan defisit fiskal yang tidak terkendali.¹⁴ Hal ini memunculkan kesadaran akan pentingnya reformasi fiskal dan penguatan independensi bank sentral.¹⁵


Footnotes

[1]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed. (New York: Worth Publishers, 2023), 75.

[2]                Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1993), 21–22.

[3]                Barry Eichengreen, Golden Fetters: The Gold Standard and the Great Depression, 1919–1939 (New York: Oxford University Press, 1992), 5–6.

[4]                Eichengreen, Golden Fetters, 12.

[5]                Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 154–156.

[6]                Raphael Auer and Rainer Böhme, “The Technology of Retail Central Bank Digital Currency,” BIS Quarterly Review, March 2020, 85–86.

[7]                Lars Magnusson, The Political Economy of Mercantilism (London: Routledge, 2015), 44.

[8]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 342.

[9]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–129.

[10]             Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.

[11]             Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy: Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 14.

[12]             William E. Leuchtenburg, Franklin D. Roosevelt and the New Deal, 1932–1940 (New York: Harper & Row, 1963), 45–47.

[13]             Paul Volcker and Toyoo Gyohten, Changing Fortunes: The World’s Money and the Threat to American Leadership (New York: Times Books, 1992), 67–69.

[14]             Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 273.

[15]             Andrew Sheng, From Asian to Global Financial Crisis (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 144–146.


4.           Instrumen dan Mekanisme Sistem Moneter

4.1.       Instrumen Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan instrumen utama yang dimiliki oleh bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang beredar dan menjaga stabilitas makroekonomi.¹ Instrumen ini secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori: kebijakan moneter konvensional dan kebijakan moneter non-konvensional.

1)                  Suku Bunga (Interest Rate Policy).

Penetapan suku bunga acuan adalah instrumen paling penting dalam transmisi moneter. Melalui mekanisme ini, bank sentral dapat memengaruhi tingkat konsumsi, investasi, dan nilai tukar.² Peningkatan suku bunga biasanya menurunkan inflasi, tetapi berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi.

2)                  Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operations).

Bank sentral membeli atau menjual surat berharga pemerintah untuk mengatur likuiditas perbankan.³ Instrumen ini dinilai fleksibel karena dapat digunakan secara cepat dalam merespons dinamika pasar.

3)                  Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement).

Penetapan kewajiban bank umum untuk menyimpan sebagian dana nasabah di bank sentral bertujuan mengontrol kemampuan bank dalam menyalurkan kredit.⁴

4)                  Instrumen Non-Konvensional.

Pasca krisis finansial global 2008, banyak bank sentral mengadopsi kebijakan quantitative easing (QE), yakni pembelian aset skala besar untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong investasi.⁵

4.2.       Peran Bank Sentral dan Independensinya

Bank sentral merupakan otoritas utama dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Perannya mencakup menjaga stabilitas harga, mengendalikan inflasi, mengawasi sistem pembayaran, serta menjadi lender of last resort bagi lembaga keuangan.⁶

Independensi bank sentral merupakan isu penting dalam efektivitas kebijakan moneter. Teori ekonomi menunjukkan bahwa semakin independen bank sentral dari tekanan politik, semakin besar kemampuannya menjaga stabilitas inflasi jangka panjang.⁷ Misalnya, European Central Bank (ECB) dianggap sebagai salah satu bank sentral dengan tingkat independensi tinggi, sehingga dipercaya mampu menjaga kredibilitas kebijakan moneter di kawasan Euro.⁸

4.3.       Mekanisme Transmisi Moneter

Mekanisme transmisi moneter menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan bank sentral memengaruhi variabel makroekonomi, terutama inflasi dan pertumbuhan.⁹ Secara garis besar terdapat beberapa jalur transmisi utama:

1)                  Jalur Suku Bunga.

Perubahan suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman, konsumsi, dan investasi masyarakat.¹⁰

2)                  Jalur Kredit.

Kebijakan moneter memengaruhi ketersediaan kredit melalui kemampuan bank menyalurkan pinjaman.¹¹

3)                  Jalur Nilai Tukar.

Penyesuaian moneter dapat memengaruhi kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing, yang berdampak pada ekspor, impor, dan neraca perdagangan.¹²

4)                  Jalur Ekspektasi.

Kredibilitas bank sentral dalam menjaga stabilitas inflasi memengaruhi ekspektasi publik terhadap masa depan, sehingga berimplikasi pada perilaku konsumsi dan investasi.¹³

4.4.       Tantangan Implementasi Instrumen Moneter

Meskipun memiliki instrumen yang kuat, kebijakan moneter sering menghadapi tantangan serius. Pertama, adanya time lag, yaitu jeda waktu antara penerapan kebijakan dan dampaknya terhadap perekonomian.¹⁴ Kedua, globalisasi keuangan membuat kebijakan moneter nasional rentan terhadap arus modal internasional.¹⁵ Ketiga, munculnya inovasi digital dalam sistem keuangan, seperti cryptocurrency dan fintech, menimbulkan tantangan baru dalam efektivitas instrumen tradisional.¹⁶

Oleh karena itu, pengelolaan instrumen moneter membutuhkan koordinasi erat dengan kebijakan fiskal serta adaptasi berkelanjutan terhadap perubahan global dan teknologi.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 61.

[2]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed. (New York: Worth Publishers, 2023), 104–105.

[3]                Stanley Fischer, “Central Bank Independence Revisited,” American Economic Review 111, no. 5 (2021): 163.

[4]                Frederic S. Mishkin, Monetary Policy Strategy (Cambridge: MIT Press, 1999), 55–57.

[5]                Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 324–325.

[6]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 190.

[7]                Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 152–153.

[8]                Otmar Issing, The Birth of the Euro (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 88–89.

[9]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 245.

[10]             Mankiw, Macroeconomics, 110–111.

[11]             Mishkin, Monetary Policy Strategy, 70–72.

[12]             Maurice Obstfeld and Kenneth Rogoff, Foundations of International Macroeconomics (Cambridge: MIT Press, 1996), 202.

[13]             Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press, 2003), 15–16.

[14]             Blanchard, Macroeconomics, 250.

[15]             Eichengreen, Globalizing Capital, 198.

[16]             Raphael Auer et al., “The Rise of Digital Money,” Annual Review of Financial Economics 13 (2021): 167–169.


5.           Instrumen dan Mekanisme Sistem Fiskal

5.1.       Instrumen Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal mencakup serangkaian instrumen yang digunakan pemerintah untuk mengatur perekonomian melalui pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara.¹ Instrumen tersebut meliputi:

1)                  Pajak (Taxation).

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Ia berfungsi tidak hanya untuk membiayai pengeluaran publik, tetapi juga sebagai instrumen redistribusi pendapatan dan pengendali aktivitas ekonomi.² Pajak progresif, misalnya, dapat mengurangi kesenjangan sosial, sementara insentif pajak digunakan untuk mendorong investasi di sektor tertentu.³

2)                  Belanja Negara (Government Expenditure).

Pengeluaran pemerintah dialokasikan pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan subsidi.⁴ Belanja negara yang tepat sasaran dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi.

3)                  Subsidi dan Transfer.

Subsidi diberikan untuk menurunkan harga barang/jasa strategis seperti energi atau pangan, sedangkan transfer sosial diarahkan untuk melindungi kelompok masyarakat rentan.⁵

4)                  Utang Publik dan Pembiayaan Defisit.

Ketika penerimaan tidak mencukupi, pemerintah menutupi defisit anggaran melalui penerbitan obligasi atau pinjaman.⁶ Meski berisiko meningkatkan beban fiskal di masa depan, utang publik dapat menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan pembiayaan pembangunan.

5.2.       Fungsi Sistem Fiskal

Richard A. Musgrave mengklasifikasikan fungsi fiskal ke dalam tiga kategori utama: fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.⁷

1)                  Fungsi Alokasi.

Pemerintah menggunakan instrumen fiskal untuk menyediakan barang publik (public goods) yang tidak dapat disediakan pasar secara efisien, seperti jalan raya, pendidikan dasar, dan keamanan.⁸

2)                  Fungsi Distribusi.

Fiskal menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan sosial melalui redistribusi pendapatan. Pajak progresif dan program transfer tunai merupakan contoh nyata dari fungsi ini.⁹

3)                  Fungsi Stabilisasi.

Kebijakan fiskal digunakan untuk menstabilkan fluktuasi siklus ekonomi. Dalam masa resesi, pemerintah dapat meningkatkan belanja negara (fiskal ekspansif), sementara pada masa inflasi, belanja dapat dikurangi atau pajak dinaikkan (fiskal kontraktif).¹⁰

5.3.       Mekanisme Kebijakan Fiskal

Mekanisme kebijakan fiskal bekerja melalui dua jalur utama: kebijakan fiskal diskresioner dan stabilisator otomatis.

1)                  Kebijakan Diskresioner.

Pemerintah secara aktif mengambil keputusan untuk menaikkan atau menurunkan pajak serta belanja negara sesuai kondisi ekonomi.¹¹ Misalnya, stimulus fiskal pada masa pandemi COVID-19 yang ditujukan untuk mendorong daya beli dan mempertahankan lapangan kerja.¹²

2)                  Stabilisator Otomatis (Automatic Stabilizers).

Tanpa intervensi langsung, mekanisme fiskal dapat bekerja otomatis, misalnya melalui sistem pajak progresif atau tunjangan pengangguran.¹³ Ketika pendapatan masyarakat menurun, beban pajak juga menurun, sehingga daya beli tetap terjaga.

5.4.       Hubungan Defisit Anggaran dan Utang Publik

Kebijakan fiskal sering dihadapkan pada dilema antara kebutuhan pembangunan dan keterbatasan anggaran. Defisit fiskal menjadi keniscayaan ketika belanja negara lebih besar dari penerimaan.¹⁴ Dalam konteks ini, utang publik digunakan sebagai solusi jangka pendek, meskipun pada jangka panjang dapat memunculkan risiko keberlanjutan fiskal.¹⁵

Studi empiris menunjukkan bahwa negara dengan tingkat utang publik tinggi berisiko menghadapi debt overhang, yaitu situasi ketika utang menghambat pertumbuhan ekonomi.¹⁶ Oleh karena itu, pengelolaan defisit dan utang publik harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal dan kondisi makroekonomi.


Footnotes

[1]                Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 53.

[2]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 75.

[3]                Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 210.

[4]                Alan J. Auerbach and Daniel R. Feenberg, “The Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic Perspectives 14, no. 3 (2000): 41.

[5]                Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 92.

[6]                Kenneth Rogoff, The Curse of Cash (Princeton: Princeton University Press, 2016), 114.

[7]                Musgrave and Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5.

[8]                Stiglitz, Economics of the Public Sector, 66.

[9]                Rosen and Gayer, Public Finance, 121.

[10]             Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 275.

[11]             N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed. (New York: Worth Publishers, 2023), 178.

[12]             International Monetary Fund (IMF), Fiscal Monitor: Policies to Support People During the COVID-19 Pandemic (Washington, DC: IMF, 2020), 13–15.

[13]             Auerbach and Feenberg, “The Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” 42.

[14]             Blanchard, Macroeconomics, 280.

[15]             Carmen M. Reinhart and Kenneth Rogoff, This Time Is Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton University Press, 2009), 158–160.

[16]             Joshua Aizenman and Nancy Marion, “Using Inflation to Erode the U.S. Public Debt,” Journal of Macroeconomics 31, no. 4 (2009): 522–523.


6.           Interaksi antara Sistem Moneter dan Fiskal

6.1.       Sinergi Moneter-Fiskal dalam Stabilitas Ekonomi

Sistem moneter dan fiskal ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam mengarahkan perekonomian menuju keseimbangan. Kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga tidak dapat bekerja efektif tanpa dukungan kebijakan fiskal yang sesuai.¹ Misalnya, ketika bank sentral menurunkan suku bunga untuk mendorong investasi, efektivitas kebijakan tersebut akan lebih besar jika pemerintah secara bersamaan meningkatkan belanja publik yang produktif.²

Sinergi semacam ini terbukti pada masa krisis global 2008, ketika banyak negara menerapkan kebijakan moneter longgar (quantitative easing) bersamaan dengan stimulus fiskal besar-besaran.³ Hasilnya adalah pemulihan ekonomi yang relatif cepat, meskipun di beberapa negara meninggalkan beban utang publik yang signifikan.

6.2.       Konflik Kepentingan antara Otoritas Moneter dan Fiskal

Meskipun idealnya bersinergi, tidak jarang kebijakan moneter dan fiskal mengalami ketegangan. Salah satu bentuk konflik terjadi ketika pemerintah menjalankan kebijakan fiskal ekspansif melalui peningkatan defisit anggaran, sementara bank sentral justru menerapkan kebijakan moneter ketat untuk menekan inflasi.⁴ Kondisi ini dikenal sebagai policy mix inconsistency, yang dapat menimbulkan ketidakpastian pasar.

Konflik juga muncul dari aspek independensi bank sentral. Pemerintah yang membutuhkan pembiayaan defisit terkadang menekan bank sentral untuk mencetak uang atau membeli surat utang negara, praktik yang dalam sejarah sering berujung pada hiperinflasi.⁵ Studi kasus klasik adalah hiperinflasi Jerman pada awal 1920-an, ketika pembiayaan defisit melalui pencetakan uang menyebabkan nilai mata uang jatuh drastis.⁶

6.3.       Model Teoritis: Keynesian, Monetarist, dan Pandangan Modern

Dalam literatur ekonomi, terdapat perbedaan pandangan mengenai bagaimana seharusnya koordinasi moneter dan fiskal dijalankan.

1)                  Pandangan Keynesian.

Keynes menekankan peran besar kebijakan fiskal dalam mengelola permintaan agregat. Menurut pendekatan ini, kebijakan fiskal ekspansif dapat mengatasi resesi dengan lebih cepat dibandingkan kebijakan moneter.⁷

2)                  Pandangan Monetarist.

Milton Friedman dan pengikutnya menekankan pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi. Menurut mereka, fiskal cenderung boros dan politis, sehingga stabilitas jangka panjang lebih terjamin jika bank sentral berfokus pada pertumbuhan jumlah uang yang terkendali.⁸

3)                  Pandangan Modern (New Consensus).

Dalam kerangka New Consensus Macroeconomics, koordinasi antara moneter dan fiskal dianggap penting. Kebijakan moneter diposisikan sebagai instrumen utama untuk menjaga stabilitas harga, sementara kebijakan fiskal diarahkan untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang, distribusi pendapatan, dan penyesuaian struktural.⁹

6.4.       Pentingnya Koordinasi Kebijakan di Era Globalisasi

Era globalisasi memperumit interaksi moneter dan fiskal. Pergerakan modal lintas negara yang sangat cepat membuat kebijakan moneter domestik lebih rentan terhadap guncangan eksternal.¹⁰ Dalam kondisi demikian, koordinasi dengan kebijakan fiskal menjadi kunci untuk menjaga stabilitas makroekonomi.

Sebagai contoh, pengalaman Indonesia pada masa krisis finansial Asia 1997 menunjukkan bahwa lemahnya koordinasi antara fiskal dan moneter memperburuk krisis.¹¹ Sebaliknya, setelah krisis 2008, koordinasi yang lebih baik antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan membantu menjaga stabilitas meskipun menghadapi tekanan global.¹²


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 312.

[2]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 278.

[3]                Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 326–330.

[4]                Stanley Fischer, “Modern Central Banking,” in The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, ed. Forrest Capie et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 262.

[5]                Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 155.

[6]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin, 2008), 104–106.

[7]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 132–134.

[8]                Milton Friedman, A Monetary History of the United States, 1867–1960, with Anna Jacobson Schwartz (Princeton: Princeton University Press, 1963), 690.

[9]                David Romer, Advanced Macroeconomics, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 561.

[10]             Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 194–196.

[11]             Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 272–274.

[12]             Chatib Basri, A Tale of Two Crises: Indonesia’s Political Economy (Singapore: ISEAS Publishing, 2013), 45–47.


7.           Sistem Moneter dan Fiskal dalam Perspektif Global

7.1.       Globalisasi dan Integrasi Ekonomi Internasional

Dalam era globalisasi, sistem moneter dan fiskal tidak lagi terbatas pada konteks domestik, melainkan saling terkait dengan dinamika internasional. Liberalisasi arus modal, perdagangan bebas, serta integrasi pasar keuangan global membuat kebijakan moneter dan fiskal suatu negara semakin dipengaruhi oleh kondisi eksternal.¹ Misalnya, kebijakan suku bunga Amerika Serikat melalui Federal Reserve seringkali berdampak pada stabilitas nilai tukar dan arus modal di negara berkembang.²

Selain itu, harmonisasi kebijakan fiskal menjadi semakin penting, khususnya dalam kerangka kerja sama regional seperti Uni Eropa.³ Krisis utang Yunani pada 2010 memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan fiskal di satu negara dapat menimbulkan implikasi luas bagi kawasan, bahkan dunia.

7.2.       Peran Lembaga Internasional

Lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO) memainkan peran vital dalam mengarahkan sistem moneter dan fiskal global. IMF, misalnya, berfungsi menyediakan pinjaman darurat sekaligus mengawasi stabilitas moneter internasional melalui pengawasan kebijakan makroekonomi negara anggotanya.⁴ World Bank fokus pada pembiayaan pembangunan dan proyek infrastruktur, sementara WTO mengatur aturan perdagangan internasional yang secara tidak langsung memengaruhi penerimaan fiskal melalui tarif dan pajak perdagangan.⁵

Namun, peran lembaga-lembaga ini tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan IMF pada dekade 1980–1990 justru memperburuk ketimpangan dan mengurangi ruang fiskal negara berkembang.⁶

7.3.       Krisis Finansial Global sebagai Pembelajaran

Sejarah mencatat beberapa krisis global yang menegaskan pentingnya koordinasi moneter-fiskal dalam skala internasional.

1)                  Krisis Finansial Asia 1997.

Krisis ini dipicu oleh aliran modal jangka pendek dan lemahnya fundamental fiskal serta moneter di Asia Tenggara.⁷ IMF menawarkan paket bantuan, namun dengan syarat pengetatan fiskal yang justru memperdalam resesi.⁸

2)                  Krisis Global 2008.

Krisis ini berawal dari runtuhnya pasar perumahan di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia. Respons global berupa kebijakan moneter longgar (quantitative easing) dan stimulus fiskal masif terbukti efektif meredakan dampak krisis.⁹

3)                  Pandemi COVID-19.

Pandemi menjadi ujian terbaru bagi sistem moneter dan fiskal global. Hampir semua negara menerapkan kebijakan fiskal ekspansif berupa bantuan sosial, subsidi, dan stimulus ekonomi, diiringi kebijakan moneter longgar untuk menjaga likuiditas.¹⁰ Namun, kebijakan ini juga meninggalkan beban utang publik yang tinggi, terutama di negara berkembang.

7.4.       Tantangan Global Kontemporer

Saat ini, terdapat beberapa tantangan besar dalam sistem moneter dan fiskal global. Pertama, ketidakstabilan geopolitik seperti perang dagang atau konflik antarnegara yang memengaruhi arus modal dan perdagangan. Kedua, ketimpangan ekonomi global, di mana negara maju memiliki kapasitas fiskal lebih besar dibanding negara berkembang. Ketiga, perubahan iklim, yang menuntut adanya inovasi dalam kebijakan fiskal global, seperti penerapan pajak karbon atau pendanaan hijau.¹¹

Di sisi moneter, tantangan muncul dari perkembangan mata uang digital dan kemungkinan pergeseran dominasi dolar AS dalam sistem keuangan global.¹² Situasi ini menuntut negara-negara untuk memperkuat koordinasi internasional agar sistem moneter dan fiskal tetap mampu menopang stabilitas global.


Footnotes

[1]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 182.

[2]                Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” NBER Working Paper No. 21162 (2015): 3–4.

[3]                Paul De Grauwe, Economics of Monetary Union, 13th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2020), 155–157.

[4]                International Monetary Fund (IMF), Articles of Agreement of the International Monetary Fund (Washington, DC: IMF, 2022), 12.

[5]                John H. Jackson, The World Trading System: Law and Policy of International Economic Relations, 2nd ed. (Cambridge: MIT Press, 1997), 45–47.

[6]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W. W. Norton & Company, 2018), 77–79.

[7]                Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 273–275.

[8]                Andrew Sheng, From Asian to Global Financial Crisis (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 151–153.

[9]                Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 323–325.

[10]             International Monetary Fund (IMF), Fiscal Monitor: Policies to Support People During the COVID-19 Pandemic (Washington, DC: IMF, 2020), 7–10.

[11]             Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy: Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 22–23.

[12]             Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 142–145.


8.           Tantangan Kontemporer dalam Sistem Moneter dan Fiskal

8.1.       Inflasi, Stagflasi, dan Resesi Ekonomi

Salah satu tantangan utama dalam kebijakan moneter dan fiskal kontemporer adalah pengendalian inflasi yang kerap kali bertentangan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi.¹ Pada masa pascapandemi COVID-19, banyak negara mengalami lonjakan inflasi akibat disrupsi rantai pasokan, kenaikan harga energi, dan kebijakan fiskal ekspansif yang meningkatkan permintaan.² Lebih kompleks lagi, muncul fenomena stagflasi, yakni kombinasi inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi rendah, sebagaimana dialami pada krisis minyak 1970-an.³ Kondisi ini menempatkan kebijakan moneter dan fiskal dalam dilema: menekan inflasi dengan risiko memperdalam resesi atau mendorong pertumbuhan dengan risiko memperburuk inflasi.

8.2.       Utang Publik dan Keberlanjutan Fiskal

Meningkatnya kebutuhan belanja negara, terutama untuk kesehatan, infrastruktur, dan subsidi sosial, menyebabkan utang publik global melonjak signifikan. Data IMF menunjukkan bahwa rasio utang publik global terhadap PDB mencapai level tertinggi sejak Perang Dunia II.⁴ Meski utang dapat menjadi instrumen penting pembiayaan pembangunan, keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) menjadi isu serius, terutama bagi negara berkembang yang rentan terhadap perubahan suku bunga global dan fluktuasi nilai tukar.⁵

Fenomena debt trap atau jebakan utang juga menjadi peringatan, di mana negara-negara dengan beban utang besar kehilangan ruang fiskal untuk pembangunan, bahkan berisiko pada krisis fiskal berkepanjangan.⁶

8.3.       Digitalisasi Keuangan dan Disrupsi Teknologi

Munculnya cryptocurrency, fintech, dan central bank digital currency (CBDC) membawa tantangan baru bagi sistem moneter.⁷ Di satu sisi, digitalisasi keuangan meningkatkan efisiensi transaksi dan memperluas inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, ia menimbulkan risiko stabilitas, termasuk potensi pelarian modal, penghindaran pajak, dan lemahnya pengawasan otoritas moneter.⁸

Bagi fiskal, teknologi digital membuka peluang optimalisasi penerimaan melalui sistem perpajakan berbasis digital. Akan tetapi, ia juga menimbulkan tantangan dalam regulasi, terutama terhadap transaksi lintas batas yang sulit dipantau.⁹

8.4.       Ketidaksetaraan Ekonomi dan Distribusi Fiskal

Ketidaksetaraan pendapatan global semakin melebar dalam dua dekade terakhir, meski pertumbuhan ekonomi global relatif positif.¹⁰ Sistem fiskal di banyak negara kerap gagal menjalankan fungsi redistribusi, sehingga memperburuk kesenjangan sosial.¹¹ Ketika kebijakan moneter terlalu fokus pada stabilitas harga tanpa memperhatikan dampak sosial, risiko ketidakadilan ekonomi semakin besar.

Oleh karena itu, banyak ekonom mendorong reformasi fiskal yang lebih progresif, termasuk pajak kekayaan, pajak karbon, dan peningkatan belanja sosial untuk mengurangi kesenjangan.¹²

8.5.       Tantangan Geopolitik dan Perubahan Iklim

Ketegangan geopolitik, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok atau konflik di Eropa Timur, berimplikasi langsung terhadap stabilitas moneter dan fiskal global.¹³ Gangguan rantai pasokan dan kenaikan harga energi memperumit pengelolaan inflasi dan menekan anggaran fiskal negara importir energi.

Selain itu, perubahan iklim menjadi tantangan struktural yang menuntut adaptasi kebijakan fiskal melalui pengalokasian anggaran untuk mitigasi dan adaptasi, serta instrumen pajak karbon untuk mengurangi emisi.¹⁴ Dari sisi moneter, transisi menuju ekonomi hijau memerlukan inovasi kebijakan dalam mendukung pembiayaan ramah lingkungan.¹⁵


Footnotes

[1]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 280.

[2]                International Monetary Fund (IMF), World Economic Outlook: Countering the Cost-of-Living Crisis (Washington, DC: IMF, 2022), 14.

[3]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 202.

[4]                IMF, Fiscal Monitor: Managing Public Wealth (Washington, DC: IMF, 2018), 7.

[5]                Carmen M. Reinhart and Kenneth Rogoff, This Time Is Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton University Press, 2009), 156–158.

[6]                Joshua Aizenman and Nancy Marion, “Using Inflation to Erode the U.S. Public Debt,” Journal of Macroeconomics 31, no. 4 (2009): 522–523.

[7]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 137.

[8]                Raphael Auer et al., “The Technology of Retail Central Bank Digital Currency,” BIS Quarterly Review, March 2020, 85–86.

[9]                Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 132.

[10]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 375–378.

[11]             Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton & Company, 2012), 88–89.

[12]             Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy: Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 26–27.

[13]             Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” NBER Working Paper No. 21162 (2015): 5–7.

[14]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 41–42.

[15]             Mark Carney, “Breaking the Tragedy of the Horizon: Climate Change and Financial Stability,” Speech at Lloyd’s of London, September 29, 2015, 8–9.


9.           Kritik dan Reinterpretasi

9.1.       Kritik terhadap Pendekatan Ortodoks

Pendekatan ortodoks dalam moneter dan fiskal sering dianggap terlalu mekanistik dan reduksionis. Dalam perspektif moneter, fokus yang berlebihan pada stabilitas harga melalui kebijakan suku bunga atau pengendalian jumlah uang beredar sering kali mengabaikan aspek distribusi dan keadilan sosial.¹ Milton Friedman, misalnya, menekankan bahwa inflasi adalah fenomena moneter murni, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa inflasi juga berkaitan dengan faktor struktural seperti ketimpangan produksi dan ketidakstabilan geopolitik.²

Di sisi fiskal, kritik diarahkan pada keterbatasan pemerintah dalam mengelola defisit dan utang.³ Banyak ekonom menilai bahwa aturan fiskal ketat (fiscal rules) justru membatasi ruang gerak negara dalam menghadapi krisis, sebagaimana terlihat pada kebijakan austerity di Eropa pascakrisis 2008 yang memperlambat pemulihan ekonomi.⁴ Dengan demikian, baik moneter maupun fiskal dalam kerangka ortodoks sering dinilai gagal memberikan solusi komprehensif bagi persoalan kompleks ekonomi global kontemporer.

9.2.       Reinterpretasi dalam Kerangka Ekonomi Hijau

Dalam dua dekade terakhir, muncul reinterpretasi kebijakan moneter dan fiskal dalam kerangka ekonomi hijau (green economy). Kebijakan fiskal mulai diarahkan untuk mendorong keberlanjutan lingkungan melalui instrumen seperti pajak karbon, penghapusan subsidi energi fosil, serta pembiayaan proyek ramah lingkungan.⁵ Sementara itu, otoritas moneter mulai mengintegrasikan risiko iklim ke dalam kerangka stabilitas keuangan, termasuk melalui dorongan pembiayaan hijau (green finance).⁶

Reinterpretasi ini merepresentasikan pergeseran paradigma dari sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi menuju pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan keadilan antargenerasi. Dengan kata lain, kebijakan moneter dan fiskal kini dipandang bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga instrumen etis yang berorientasi pada kelestarian alam dan kesejahteraan sosial.⁷

9.3.       Perspektif Ekonomi Islam

Ekonomi Islam menawarkan kritik sekaligus alternatif terhadap paradigma konvensional sistem moneter dan fiskal. Sistem moneter berbasis bunga dinilai tidak adil karena menciptakan eksploitasi dan spekulasi. Sebagai gantinya, Islam menekankan sistem keuangan berbasis bagi hasil (profit and loss sharing) yang mendorong keadilan distributif.⁸

Dalam aspek fiskal, Islam memiliki instrumen khas seperti zakat, kharaj, dan jizyah yang berfungsi sebagai alat redistribusi dan stabilisasi sosial.⁹ Zakat, misalnya, tidak hanya mengurangi kesenjangan, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan stabilitas ekonomi.¹⁰ Dengan demikian, reinterpretasi dalam perspektif Islam menekankan pentingnya nilai moral, keadilan, dan tanggung jawab sosial dalam pengelolaan moneter dan fiskal.

9.4.       Implikasi Filosofis dan Etis

Kritik dan reinterpretasi di atas menegaskan bahwa sistem moneter dan fiskal bukanlah entitas netral, melainkan sarat nilai (value-laden).¹¹ Kebijakan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari dimensi etika, moral, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, reinterpretasi sistem moneter dan fiskal menuntut kerangka filsafat politik dan ekonomi yang lebih luas, mencakup aspek keberlanjutan, keadilan antar-generasi, serta kesejahteraan kolektif.¹²

Dengan demikian, sistem moneter dan fiskal di era kontemporer perlu dipahami bukan hanya sebagai instrumen teknokratis, tetapi juga sebagai arena perumusan norma keadilan dan arah pembangunan peradaban.


Footnotes

[1]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 288.

[2]                Milton Friedman, A Monetary History of the United States, 1867–1960, with Anna Jacobson Schwartz (Princeton: Princeton University Press, 1963), 690.

[3]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton & Company, 2012), 90–91.

[4]                Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 75–77.

[5]                Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy: Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 24–25.

[6]                Mark Carney, “Breaking the Tragedy of the Horizon: Climate Change and Financial Stability,” Speech at Lloyd’s of London, September 29, 2015, 6.

[7]                Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 42–44.

[8]                Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 110–112.

[9]                M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An Islamic Perspective (Leicester: Islamic Foundation, 1996), 77–78.

[10]             Monzer Kahf, Islamic Economics: Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic System (Plainfield, IN: Muslim Students Association, 1978), 55–56.

[11]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 88.

[12]             John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge: Harvard University Press, 2001), 45–46.


10.       Relevansi Sistem Moneter dan Fiskal dalam Kehidupan Kontemporer

10.1.    Implikasi bagi Pembangunan Nasional

Sistem moneter dan fiskal memiliki peran vital dalam menentukan arah pembangunan nasional. Kebijakan moneter yang kredibel menjaga stabilitas inflasi, mendorong investasi, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif.¹ Sementara itu, kebijakan fiskal berfungsi sebagai alat distribusi dan penyediaan barang publik yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar.² Kombinasi keduanya menjadi syarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan.

Di Indonesia, relevansi ini tampak pada kebijakan moneter Bank Indonesia yang menjaga stabilitas nilai rupiah, bersinergi dengan kebijakan fiskal pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan, bantuan sosial, dan subsidi strategis.³

10.2.    Peran dalam Stabilitas Sosial dan Politik

Kebijakan moneter dan fiskal bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga instrumen sosial dan politik. Inflasi tinggi, misalnya, dapat menggerus daya beli masyarakat, menimbulkan keresahan sosial, dan mengancam legitimasi politik pemerintah.⁴ Begitu pula dengan kebijakan fiskal yang bias kepentingan elit berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial serta memperlebar jurang ketimpangan.⁵

Dalam konteks ini, sistem moneter dan fiskal yang efektif berperan sebagai “penyangga sosial” dengan menjaga stabilitas harga, membuka lapangan kerja, serta mendukung pemerataan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi sering kali beriringan dengan stabilitas politik dan sosial.⁶

10.3.    Dampak terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Relevansi sistem moneter dan fiskal paling nyata terlihat dalam keseharian masyarakat. Ketika inflasi terkendali, harga kebutuhan pokok lebih stabil, dan daya beli masyarakat meningkat.⁷ Sementara itu, kebijakan fiskal yang tepat sasaran, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, dan transfer sosial, dapat mengurangi kemiskinan dan memperluas akses terhadap layanan publik.⁸

Dalam jangka panjang, kombinasi moneter dan fiskal yang sehat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih inklusif, di mana kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat luas.⁹

10.4.    Relevansi di Era Globalisasi dan Transformasi Digital

Era globalisasi dan transformasi digital menambah dimensi baru bagi relevansi sistem moneter dan fiskal. Pertama, globalisasi membuat stabilitas moneter nasional semakin terkait dengan dinamika internasional, sehingga koordinasi kebijakan dengan negara lain menjadi kebutuhan strategis.¹⁰ Kedua, transformasi digital menuntut adaptasi fiskal melalui perpajakan digital dan dukungan terhadap inovasi ekonomi berbasis teknologi.¹¹

Selain itu, kemunculan central bank digital currency (CBDC) menegaskan peran baru otoritas moneter dalam menghadapi revolusi keuangan digital.¹² Sementara kebijakan fiskal dituntut lebih adaptif untuk menjawab tantangan ketidaksetaraan digital dan pembiayaan infrastruktur teknologi.¹³


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 310.

[2]                Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 5.

[3]                Perry Warjiyo, Bank Indonesia: Kebijakan Moneter dan Stabilitas Keuangan (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2021), 42–43.

[4]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 288.

[5]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton & Company, 2012), 90.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 95–96.

[7]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed. (New York: Worth Publishers, 2023), 175.

[8]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 121.

[9]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 375.

[10]             Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 196.

[11]             Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 132.

[12]             Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 142.

[13]             International Monetary Fund (IMF), Taxing the Digital Economy (Washington, DC: IMF, 2021), 18–19.


11.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.    Integrasi Teori dan Praktik

Kajian mengenai sistem moneter dan fiskal memperlihatkan bahwa keduanya bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan dua instrumen yang saling berkelindan dalam mengarahkan perekonomian.¹ Teori moneter yang menekankan stabilitas harga dan kontrol inflasi, serta teori fiskal yang menekankan peran pemerintah dalam distribusi dan stabilisasi, hanya dapat berjalan efektif apabila diintegrasikan dalam praktik kebijakan yang sinergis.² Dalam konteks ini, sejarah krisis finansial global menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang longgar tanpa disiplin fiskal justru menciptakan kerentanan baru, sementara kebijakan fiskal ekspansif tanpa dukungan moneter berisiko kehilangan efektivitas.³

11.2.    Refleksi Filosofis tentang Keadilan dan Stabilitas

Dari sudut pandang filosofis, sistem moneter dan fiskal tidak hanya berfungsi sebagai instrumen teknis, melainkan juga sebagai instrumen moral. Pemikiran John Rawls, misalnya, menegaskan bahwa keadilan harus menjadi kerangka dasar dalam merancang institusi ekonomi.⁴ Dengan demikian, kebijakan fiskal progresif yang mengurangi ketimpangan dan kebijakan moneter yang menjaga stabilitas harga sejatinya merupakan manifestasi dari prinsip keadilan distributif.

Sementara itu, Amartya Sen menekankan pentingnya kebebasan substantif dalam pembangunan.⁵ Dalam kerangka ini, sistem moneter dan fiskal tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga perlu mendukung terciptanya kesempatan yang adil bagi semua warga negara untuk hidup bermartabat.

11.3.    Dimensi Etis dalam Pengelolaan Ekonomi

Dimensi etis semakin penting dalam era kontemporer. Sistem moneter yang terlalu berorientasi pada kepentingan pasar berpotensi mengabaikan kesejahteraan masyarakat.⁶ Begitu pula, kebijakan fiskal yang bias terhadap kepentingan elit berpotensi menimbulkan eksklusi sosial. Oleh karena itu, reinterpretasi sistem moneter dan fiskal harus berlandaskan etika publik: transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.⁷

Dalam tradisi Islam, nilai-nilai etis ini sangat ditekankan melalui konsep maqashid al-shariah, yang mengaitkan kebijakan ekonomi dengan tujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁸ Dengan demikian, pengelolaan moneter dan fiskal yang sesuai nilai moral tidak hanya menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga memperkokoh fondasi sosial dan spiritual suatu bangsa.

11.4.    Mewujudkan Ekonomi Berkelanjutan dan Inklusif

Sintesis dari berbagai perspektif menunjukkan bahwa relevansi moneter dan fiskal di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjawab tantangan keberlanjutan dan inklusivitas. Transisi menuju ekonomi hijau, misalnya, memerlukan kombinasi kebijakan fiskal berupa pajak karbon dengan dukungan moneter berupa pembiayaan ramah lingkungan.⁹ Begitu pula, penguatan inklusi keuangan menuntut koordinasi antara moneter dan fiskal agar kelompok marginal dapat mengakses pembiayaan dan perlindungan sosial.

Dengan demikian, refleksi filosofis menegaskan bahwa sistem moneter dan fiskal harus diarahkan tidak hanya pada tujuan teknis (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi), tetapi juga pada tujuan normatif: keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan martabat manusia.¹⁰


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 310–311.

[2]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 278–280.

[3]                Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 329–330.

[4]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge: Harvard University Press, 2001), 45–46.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 88–89.

[6]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton & Company, 2012), 92.

[7]                Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 105.

[8]                Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 112–113.

[9]                Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 41–42.

[10]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 377.


12.       Penutup

12.1.    Kesimpulan Umum

Kajian mengenai sistem moneter dan fiskal menunjukkan bahwa keduanya merupakan fondasi utama dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Sistem moneter, dengan instrumen seperti suku bunga, cadangan wajib minimum, dan operasi pasar terbuka, berfungsi mengendalikan inflasi dan menjaga kestabilan nilai mata uang.¹ Sementara itu, sistem fiskal, melalui pajak, belanja publik, dan pengelolaan defisit, berperan dalam distribusi kesejahteraan, penyediaan barang publik, serta stabilisasi siklus ekonomi.²

Sejarah perkembangan keduanya, mulai dari sistem barter, gold standard, hingga era uang fiat dan digital, memperlihatkan fleksibilitas dalam merespons tantangan global.³ Demikian pula, dinamika kebijakan fiskal dari merkantilisme hingga welfare state menegaskan pentingnya peran negara dalam mengarahkan pembangunan dan keadilan sosial.⁴

12.2.    Rekomendasi Kebijakan

Dalam konteks kontemporer, terdapat beberapa rekomendasi penting:

1)                  Penguatan koordinasi moneter-fiskal.

Sinergi kebijakan perlu diperkuat untuk menghadapi tantangan inflasi, resesi, dan ketidakpastian global.⁵

2)                  Reformasi fiskal progresif.

Pajak yang lebih adil, penghapusan subsidi yang tidak produktif, serta penguatan belanja sosial dapat meningkatkan keadilan distributif.⁶

3)                  Inovasi moneter.

Otoritas moneter perlu mengantisipasi digitalisasi keuangan melalui pengembangan central bank digital currency (CBDC) dan regulasi yang adaptif.⁷

4)                  Integrasi aspek keberlanjutan.

Kebijakan moneter dan fiskal harus diarahkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk mitigasi perubahan iklim melalui pajak karbon dan pembiayaan hijau.⁸

12.3.    Implikasi Akademik dan Praktis

Dari sisi akademik, studi ini memperkaya literatur tentang interaksi moneter dan fiskal dalam perspektif historis, teoritis, dan filosofis. Kajian ini menegaskan bahwa ekonomi bukanlah ilmu yang netral, tetapi sarat nilai, sehingga perlu dipahami melalui lensa etika dan keadilan.⁹

Dari sisi praktis, kebijakan moneter dan fiskal yang baik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, memperkuat stabilitas sosial-politik, serta mendorong tercapainya kesejahteraan yang lebih inklusif.¹⁰ Dengan demikian, relevansi moneter dan fiskal melampaui aspek teknokratis dan menyentuh ranah normatif serta humanistik.

12.4.    D. Penutup

Akhirnya, sistem moneter dan fiskal harus dipandang sebagai instrumen strategis dalam membangun peradaban ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan bermartabat. Integrasi keduanya bukan hanya soal teknis kebijakan, melainkan juga refleksi atas visi kolektif manusia dalam mewujudkan kesejahteraan bersama di tengah kompleksitas global.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 65.

[2]                Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.

[3]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 202.

[4]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–129.

[5]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 278.

[6]                Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 88–89.

[7]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 143–144.

[8]                Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 42–43.

[9]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 90.

[10]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 377.


Daftar Pustaka

Aizenman, J., & Marion, N. (2009). Using inflation to erode the U.S. public debt. Journal of Macroeconomics, 31(4), 519–530. https://doi.org/10.1016/j.jmacro.2008.09.001

Alesina, A., & Summers, L. H. (1993). Central bank independence and macroeconomic performance: Some comparative evidence. Journal of Money, Credit and Banking, 25(2), 151–162. https://doi.org/10.2307/2077833

Auer, R., & Böhme, R. (2020, March). The technology of retail central bank digital currency. BIS Quarterly Review, 85–100.

Auer, R., Cornelli, G., & Frost, J. (2021). The rise of digital money. Annual Review of Financial Economics, 13(1), 161–181. annurev-financial

Auerbach, A. J., & Feenberg, D. R. (2000). The significance of federal taxes as automatic stabilizers. Journal of Economic Perspectives, 14(3), 37–56. jep

Basri, C. (2013). A tale of two crises: Indonesia’s political economy. Singapore: ISEAS Publishing.

Bernanke, B. S. (2015). The courage to act: A memoir of a crisis and its aftermath. New York, NY: W. W. Norton & Company.

Blyth, M. (2013). Austerity: The history of a dangerous idea. Oxford: Oxford University Press.

Blanchard, O. (2021). Macroeconomics (8th ed.). New York, NY: Pearson.

Carney, M. (2015, September 29). Breaking the tragedy of the horizon: Climate change and financial stability. Speech at Lloyd’s of London.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: Islamic Foundation.

De Grauwe, P. (2020). Economics of monetary union (13th ed.). Oxford: Oxford University Press.

Eichengreen, B. (1992). Golden fetters: The gold standard and the Great Depression, 1919–1939. New York, NY: Oxford University Press.

Eichengreen, B. (2019). Globalizing capital: A history of the international monetary system (3rd ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Ferguson, N. (2008). The ascent of money: A financial history of the world. New York, NY: Penguin Press.

Fischer, S. (1994). Modern central banking. In F. Capie, C. A. E. Goodhart, S. Fischer, & N. Schnadt (Eds.), The future of central banking: The tercentenary symposium of the Bank of England (pp. 262–308). Cambridge: Cambridge University Press.

Fischer, S. (2021). Central bank independence revisited. American Economic Review, 111(5), 159–163. aer

Friedman, M., & Schwartz, A. J. (1963). A monetary history of the United States, 1867–1960. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Hill, H. (1996). The Indonesian economy since 1966: Southeast Asia’s emerging giant. Cambridge: Cambridge University Press.

International Monetary Fund. (2018). Fiscal monitor: Managing public wealth. Washington, DC: IMF.

International Monetary Fund. (2020). Fiscal monitor: Policies to support people during the COVID-19 pandemic. Washington, DC: IMF.

International Monetary Fund. (2021). Taxing the digital economy. Washington, DC: IMF.

International Monetary Fund. (2022). Articles of agreement of the International Monetary Fund. Washington, DC: IMF.

International Monetary Fund. (2022). World economic outlook: Countering the cost-of-living crisis. Washington, DC: IMF.

Issing, O. (2008). The birth of the euro. Cambridge: Cambridge University Press.

Jackson, J. H. (1997). The world trading system: Law and policy of international economic relations (2nd ed.). Cambridge, MA: MIT Press.

Kahf, M. (1978). Islamic economics: Analytical study of the functioning of the Islamic economic system. Plainfield, IN: Muslim Students Association.

Keynes, J. M. (1936). The general theory of employment, interest, and money. London: Macmillan.

Kindleberger, C. P. (1993). A financial history of Western Europe (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Leuchtenburg, W. E. (1963). Franklin D. Roosevelt and the New Deal, 1932–1940. New York, NY: Harper & Row.

Magnusson, L. (2015). The political economy of mercantilism. London: Routledge.

Mankiw, N. G. (2023). Macroeconomics (11th ed.). New York, NY: Worth Publishers.

Markandya, A., et al. (2015). Green fiscal policy: Reforming energy subsidies and taxes. Geneva: UNEP.

Mishkin, F. S. (1999). Monetary policy strategy. Cambridge, MA: MIT Press.

Mishkin, F. S. (2021). The economics of money, banking, and financial markets (11th ed.). New York, NY: Pearson.

Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public finance in theory and practice (5th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.

Obstfeld, M., & Rogoff, K. (1996). Foundations of international macroeconomics. Cambridge, MA: MIT Press.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Prasad, E. S. (2021). The future of money: How the digital revolution is transforming currencies and finance. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Reinhart, C. M., & Rogoff, K. (2009). This time is different: Eight centuries of financial folly. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Rey, H. (2015). Dilemma not trilemma: The global financial cycle and monetary policy independence. NBER Working Paper No. 21162. w21162

Rogoff, K. (2016). The curse of cash. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Romer, D. (2019). Advanced macroeconomics (6th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.

Rosen, H. S., & Gayer, T. (2014). Public finance (10th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York, NY: Knopf.

Sheng, A. (2009). From Asian to global financial crisis. Cambridge: Cambridge University Press.

Siddiqi, M. N. (1996). Role of the state in the economy: An Islamic perspective. Leicester: Islamic Foundation.

Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. London: W. Strahan and T. Cadell.

Stern, N. (2007). The economics of climate change: The Stern review. Cambridge: Cambridge University Press.

Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality: How today’s divided society endangers our future. New York, NY: W. W. Norton & Company.

Stiglitz, J. E. (2015). Economics of the public sector (4th ed.). New York, NY: W. W. Norton & Company.

Stiglitz, J. E. (2018). Globalization and its discontents revisited: Anti-globalization in the era of Trump. New York, NY: W. W. Norton & Company.

Tanzi, V. (2011). Government versus markets: The changing economic role of the state. Cambridge: Cambridge University Press.

Volcker, P., & Gyohten, T. (1992). Changing fortunes: The world’s money and the threat to American leadership. New York, NY: Times Books.

Warjiyo, P. (2021). Bank Indonesia: Kebijakan moneter dan stabilitas keuangan. Jakarta: Bank Indonesia Institute.

Woodford, M. (2003). Interest and prices: Foundations of a theory of monetary policy. Princeton, NJ: Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar