Sistem Moneter
dan Fiskal
Fondasi, Dinamika, dan
Relevansi dalam Stabilitas Ekonomi Nasional dan Global
Alihkan ke: Sistem
Ekonomi.
Uang, Sistem Moneter, Fiskal, IHSG.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
sistem moneter dan fiskal sebagai dua pilar fundamental dalam menjaga stabilitas
dan pertumbuhan ekonomi nasional maupun global. Melalui pendekatan historis,
teoritis, komparatif, dan empiris, pembahasan menyoroti konsep dasar,
instrumen, serta mekanisme kedua sistem tersebut, disertai dengan penelusuran
perkembangan historis dari era barter, gold standard, hingga kehadiran
mata uang digital, serta dari merkantilisme hingga konsep welfare state.
Artikel ini juga membahas interaksi moneter-fiskal, baik dalam bentuk sinergi
maupun konflik, serta peran lembaga internasional seperti IMF dan World Bank
dalam mengarahkan dinamika global.
Lebih lanjut, artikel ini mengidentifikasi
tantangan kontemporer, termasuk inflasi, stagflasi, beban utang publik,
digitalisasi keuangan, ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, dan ketegangan
geopolitik. Kritik terhadap pendekatan ortodoks diulas bersama reinterpretasi
kebijakan dalam kerangka ekonomi hijau dan perspektif ekonomi Islam, yang
menekankan dimensi etis, keadilan, dan keberlanjutan. Pada bagian
reflektif-filosofis, sistem moneter dan fiskal dipahami tidak hanya sebagai
instrumen teknokratis, tetapi juga sarat nilai normatif yang terkait dengan
keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, serta martabat manusia.
Kajian ini menyimpulkan bahwa efektivitas
sistem moneter dan fiskal sangat bergantung pada koordinasi yang sinergis,
adaptasi terhadap perubahan global, serta integrasi nilai-nilai etika dan
keberlanjutan. Dengan demikian, relevansi keduanya dalam kehidupan kontemporer
tidak terbatas pada aspek teknis, melainkan juga menyangkut dimensi sosial,
politik, dan filosofis yang lebih luas.
Kata Kunci: Sistem
Moneter, Sistem Fiskal, Stabilitas Ekonomi, Globalisasi, Kebijakan Publik,
Keadilan Sosial, Ekonomi Hijau, Ekonomi Islam.
PEMBAHASAN
Kajian Sistem Moneter dan
Fiskal
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Ekonomi modern tidak dapat dilepaskan dari dua instrumen fundamental
yang menjadi penopang stabilitas dan pertumbuhan: sistem moneter dan sistem
fiskal. Keduanya berfungsi sebagai kerangka kebijakan yang saling
melengkapi untuk mengatur alokasi sumber daya, menjaga stabilitas harga,
mengendalikan inflasi, serta mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sistem moneter menitikberatkan pada
pengaturan jumlah uang beredar dan stabilitas keuangan, sementara sistem fiskal
berfokus pada kebijakan anggaran negara yang mencakup pajak, belanja, serta
pembiayaan publik.¹
Interaksi keduanya sangat menentukan arah pembangunan ekonomi suatu
negara. Dalam konteks global, kegagalan koordinasi antara kebijakan moneter dan
fiskal dapat menimbulkan ketidakseimbangan makroekonomi, sebagaimana tercermin
dalam krisis finansial Asia 1997 dan krisis global 2008.² Dalam situasi seperti
itu, peran sinergis kebijakan moneter-fiskal menjadi semakin mendesak untuk
memastikan keberlanjutan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang yang
rentan terhadap gejolak eksternal.³
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam artikel
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Apa definisi, peran, dan fungsi mendasar dari
sistem moneter dan fiskal dalam perekonomian?
2)
Bagaimana sejarah
perkembangan kedua sistem tersebut dalam konteks nasional dan global?
3)
Bagaimana interaksi, sinergi, sekaligus
potensi konflik antara sistem moneter dan fiskal?
4)
Apa tantangan kontemporer yang dihadapi dalam
pengelolaan sistem moneter dan fiskal?
5)
Bagaimana relevansi sistem moneter dan fiskal
dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial di era globalisasi?
1.3.
Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menguraikan konsep dasar, instrumen, dan mekanisme
sistem moneter dan fiskal.
2)
Menjelaskan dinamika historis dan perkembangan
kebijakan terkait keduanya.
3)
Menganalisis interaksi moneter-fiskal dalam
konteks ekonomi nasional maupun internasional.
4)
Mengkaji kritik, reinterpretasi, serta perspektif
alternatif, termasuk dari sudut pandang ekonomi Islam dan ekonomi hijau.
5)
Merefleksikan relevansi sistem moneter dan
fiskal dalam kehidupan kontemporer, baik dalam ranah teoritis maupun praktis.
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan historis, teoritis, komparatif,
dan empiris. Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri perkembangan
sistem moneter dan fiskal dari masa klasik hingga modern. Pendekatan teoritis
berfokus pada landasan konseptual dari berbagai aliran pemikiran ekonomi,
seperti Keynesian, Monetarist, hingga teori kontemporer. Pendekatan komparatif
digunakan untuk melihat praktik sistem moneter dan fiskal di berbagai negara, sementara
pendekatan empiris bertumpu pada analisis data makroekonomi yang relevan.
Dengan pendekatan multidisipliner ini, diharapkan pembahasan akan
menghasilkan sintesis yang tidak hanya akademis, tetapi juga aplikatif untuk
kebijakan ekonomi kontemporer.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking,
and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 45.
[2]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 178–182.
[3]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of Trump (New York: W.
W. Norton & Company, 2018), 56–60.
2.
Konsep Dasar Sistem Moneter dan Fiskal
2.1.
Definisi Sistem
Moneter
Sistem moneter dapat dipahami sebagai seperangkat mekanisme, lembaga,
serta aturan yang mengatur peredaran uang dan kredit dalam suatu perekonomian.¹
Dalam kerangka ini, uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga
sebagai penyimpan nilai, satuan hitung, dan instrumen pembayaran yang sah.² Keberadaan sistem moneter
memastikan stabilitas keuangan, memperlancar transaksi ekonomi, serta
mengendalikan inflasi melalui kebijakan yang dijalankan oleh otoritas moneter,
terutama bank sentral.³
Secara historis, sistem moneter telah mengalami evolusi, mulai dari
penggunaan logam mulia (gold and silver standard), sistem uang kertas berbasis
cadangan emas, hingga sistem fiat money dan kini memasuki era digital currency.
Evolusi ini menunjukkan fleksibilitas sistem moneter dalam merespons perubahan
struktur ekonomi dan kebutuhan global.⁴
2.2.
Definisi Sistem
Fiskal
Sistem fiskal mengacu pada kebijakan negara yang berkaitan dengan
pengelolaan pendapatan dan belanja publik, dengan tujuan utama untuk memelihara
stabilitas ekonomi, distribusi kesejahteraan, serta pembangunan berkelanjutan.⁵
Pendapatan negara umumnya diperoleh melalui pajak, retribusi, dan penerimaan lain, sementara belanja negara
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta subsidi
sosial.⁶
Dalam literatur ekonomi klasik, kebijakan fiskal sering dipandang
sebagai instrumen untuk memengaruhi permintaan agregat. Teori Keynesian,
misalnya, menekankan pentingnya pengeluaran pemerintah dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi, khususnya ketika sektor swasta mengalami kelesuan.⁷ Dengan
demikian,
sistem fiskal bukan hanya instrumen teknis, melainkan juga refleksi dari
filosofi politik dan sosial suatu negara mengenai distribusi kekayaan dan
tanggung jawab negara terhadap warganya.⁸
2.3. Persamaan
dan Perbedaan Sistem Moneter dan Fiskal
Meskipun memiliki ruang lingkup berbeda, sistem moneter dan fiskal
memiliki tujuan yang sama: menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendukung
pembangunan nasional.⁹ Persamaannya terletak pada fungsi stabilisasi, yakni
upaya mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menciptakan
iklim investasi yang
kondusif. Namun, perbedaannya terletak pada instrumen dan otoritas pelaksana.
Sistem moneter diatur oleh bank sentral dengan instrumen berupa suku bunga,
cadangan wajib minimum, serta operasi pasar terbuka.¹⁰ Sebaliknya, sistem
fiskal dikelola oleh pemerintah melalui kebijakan perpajakan, belanja, serta
pembiayaan defisit anggaran.¹¹ Perbedaan ini seringkali menimbulkan potensi
ketegangan kebijakan, khususnya ketika pemerintah lebih mendorong ekspansi
fiskal sementara bank sentral cenderung menempuh kebijakan moneter ketat.¹²
2.4.
Peran Utama dalam
Perekonomian Nasional
Dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional, sistem moneter dan fiskal
berperan sebagai dua roda penggerak utama. Sistem moneter berfungsi menjaga
stabilitas harga, mengatur jumlah uang beredar, serta mendorong efisiensi
sektor keuangan.¹³ Sementara itu, sistem fiskal berfungsi meningkatkan
penerimaan negara, membiayai pembangunan, serta mewujudkan redistribusi ekonomi
agar tercapai keadilan sosial.¹⁴
Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat krusial. Jika kebijakan
moneter terlalu longgar tanpa dukungan fiskal yang efektif, maka risiko inflasi
meningkat. Sebaliknya, kebijakan fiskal ekspansif tanpa koordinasi dengan
kebijakan moneter dapat menimbulkan tekanan defisit dan utang publik.¹⁵ Oleh
karena itu, sinergi
moneter dan fiskal diperlukan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil,
berkelanjutan, dan inklusif.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 33.
[2]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed.
(New York: Worth Publishers, 2023), 85–86.
[3]
Stanley Fischer, “Central Bank Independence
Revisited,” American Economic Review 111, no. 5 (2021): 159–164.
[4]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 22–27.
[5]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 3–4.
[6]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 15.
[7]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–130.
[8]
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector,
4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 54.
[9]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 220.
[10]
Mishkin, The Economics of Money, 40–42.
[11]
Musgrave and Musgrave, Public Finance in Theory and
Practice, 112–115.
[12]
Blanchard, Macroeconomics, 235–236.
[13]
Mankiw, Macroeconomics, 92.
[14]
Stiglitz, Economics of the Public Sector,
66–67.
[15]
Fischer, “Central Bank Independence Revisited,”
168–169.
3.
Sejarah Perkembangan Sistem Moneter dan Fiskal
3.1.
Perkembangan Sistem
Moneter
Sejarah sistem moneter menunjukkan transformasi mendasar dalam cara
manusia mengelola pertukaran ekonomi. Pada masa awal, masyarakat menggunakan
sistem barter yang kemudian dianggap tidak efisien karena keterbatasan dalam double
coincidence of wants.¹ Untuk mengatasi kelemahan tersebut, logam mulia
seperti emas dan perak mulai digunakan sebagai alat tukar yang diakui secara luas. Hal ini menandai
lahirnya commodity money.²
Pada abad ke-19, sistem gold standard menjadi basis utama
moneter internasional, di mana nilai mata uang dikaitkan langsung dengan
cadangan emas suatu negara.³ Sistem ini memberikan kepastian nilai tukar dan
stabilitas harga, tetapi sekaligus membatasi fleksibilitas kebijakan moneter dalam
menghadapi guncangan ekonomi.⁴ Setelah runtuhnya Bretton Woods System
pada 1971, dunia beralih pada sistem uang fiat (fiat money), di mana
nilai mata uang tidak lagi dijamin oleh emas, melainkan oleh kepercayaan pada
pemerintah dan bank sentral.⁵
Dalam perkembangan kontemporer, muncul fenomena digitalisasi moneter
dengan hadirnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency
(CBDC).⁶ Perubahan ini memperlihatkan adaptasi sistem moneter terhadap
tantangan globalisasi, teknologi finansial, serta kebutuhan efisiensi
transaksi modern.
3.2.
Perkembangan Sistem
Fiskal
Berbeda dengan moneter, sistem fiskal mengalami evolusi seiring dengan
perkembangan negara dan institusi politik. Pada era merkantilisme (abad
ke-16–18), kebijakan fiskal berfokus pada akumulasi kekayaan melalui
perdagangan, proteksi, dan
intervensi negara.⁷ Tujuan utamanya adalah memperkuat kekuasaan negara dan
meningkatkan cadangan logam mulia.
Memasuki era klasik (abad ke-18–19), tokoh seperti Adam Smith
menekankan prinsip laissez-faire, sehingga intervensi fiskal negara
dianggap minimal.⁸ Namun, krisis besar (Great Depression) tahun 1930-an
melahirkan paradigma baru melalui pemikiran John Maynard Keynes yang menekankan
pentingnya kebijakan
fiskal ekspansif untuk mengatasi resesi dan meningkatkan permintaan agregat.⁹
Pasca Perang Dunia II, negara-negara mulai menerapkan kebijakan fiskal
yang lebih sistematis dalam konteks welfare state, dengan fokus pada
redistribusi pendapatan, pembangunan infrastruktur, dan penyediaan layanan
sosial.¹⁰ Pada era kontemporer, kebijakan fiskal tidak hanya dipandang sebagai
instrumen ekonomi,
tetapi juga sebagai sarana mencapai tujuan sosial, politik, dan lingkungan,
misalnya melalui green fiscal policy untuk mengatasi perubahan iklim.¹¹
3.3. Pengalaman
Historis Negara-Negara Maju dan Berkembang
Negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, menunjukkan peran
penting koordinasi moneter dan fiskal dalam menghadapi krisis ekonomi. Misalnya,
kebijakan New Deal pada era Roosevelt di Amerika Serikat menjadi contoh
klasik bagaimana kebijakan fiskal ekspansif dapat memulihkan ekonomi.¹²
Sebaliknya, kebijakan moneter ketat yang diterapkan Federal Reserve pada era Paul Volcker (1980-an) menunjukkan
bagaimana stabilitas inflasi menjadi prioritas dalam konteks moneter.¹³
Di sisi lain, negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara
Asia Tenggara mengalami dinamika berbeda. Krisis finansial Asia tahun 1997
menegaskan betapa rentannya perekonomian negara berkembang terhadap arus modal
global, lemahnya
sistem moneter domestik, dan defisit fiskal yang tidak terkendali.¹⁴ Hal ini
memunculkan kesadaran akan pentingnya reformasi fiskal dan penguatan
independensi bank sentral.¹⁵
Footnotes
[1]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed.
(New York: Worth Publishers, 2023), 75.
[2]
Charles P. Kindleberger, A Financial History of
Western Europe, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1993), 21–22.
[3]
Barry Eichengreen, Golden Fetters: The Gold
Standard and the Great Depression, 1919–1939 (New York: Oxford University
Press, 1992), 5–6.
[4]
Eichengreen, Golden Fetters, 12.
[5]
Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the
International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University
Press, 2019), 154–156.
[6]
Raphael Auer and Rainer Böhme, “The Technology of
Retail Central Bank Digital Currency,” BIS Quarterly Review, March 2020,
85–86.
[7]
Lars Magnusson, The Political Economy of
Mercantilism (London: Routledge, 2015), 44.
[8]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 342.
[9]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–129.
[10]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.
[11]
Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy:
Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 14.
[12]
William E. Leuchtenburg, Franklin D. Roosevelt and
the New Deal, 1932–1940 (New York: Harper & Row, 1963), 45–47.
[13]
Paul Volcker and Toyoo Gyohten, Changing Fortunes:
The World’s Money and the Threat to American Leadership (New York: Times
Books, 1992), 67–69.
[14]
Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966:
Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
273.
[15]
Andrew Sheng, From Asian to Global Financial Crisis
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 144–146.
4.
Instrumen dan
Mekanisme Sistem Moneter
4.1.
Instrumen Kebijakan
Moneter
Kebijakan moneter merupakan instrumen utama yang dimiliki oleh bank
sentral untuk mengendalikan jumlah uang beredar dan menjaga stabilitas
makroekonomi.¹ Instrumen ini secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori: kebijakan
moneter konvensional dan kebijakan moneter non-konvensional.
1)
Suku Bunga (Interest
Rate Policy).
Penetapan suku bunga acuan adalah instrumen paling penting
dalam transmisi moneter. Melalui mekanisme ini, bank sentral dapat memengaruhi
tingkat konsumsi, investasi, dan nilai tukar.² Peningkatan suku bunga biasanya
menurunkan inflasi, tetapi berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi.
2)
Operasi Pasar Terbuka (Open Market
Operations).
Bank
sentral membeli atau menjual surat berharga pemerintah untuk mengatur
likuiditas perbankan.³ Instrumen ini dinilai fleksibel karena dapat digunakan
secara cepat dalam merespons dinamika pasar.
3)
Cadangan Wajib Minimum
(Reserve Requirement).
Penetapan kewajiban bank umum untuk menyimpan sebagian dana
nasabah di bank sentral bertujuan mengontrol kemampuan bank dalam menyalurkan
kredit.⁴
4)
Instrumen Non-Konvensional.
Pasca
krisis finansial global 2008, banyak bank sentral mengadopsi kebijakan quantitative
easing (QE), yakni pembelian aset skala besar untuk meningkatkan likuiditas
dan mendorong investasi.⁵
4.2. Peran Bank
Sentral dan Independensinya
Bank sentral merupakan otoritas utama dalam pelaksanaan kebijakan
moneter. Perannya mencakup menjaga stabilitas harga, mengendalikan inflasi, mengawasi
sistem pembayaran, serta menjadi lender of last resort bagi lembaga keuangan.⁶
Independensi bank sentral merupakan isu penting dalam efektivitas
kebijakan moneter. Teori ekonomi menunjukkan bahwa semakin independen bank
sentral dari tekanan politik, semakin besar kemampuannya menjaga stabilitas
inflasi jangka panjang.⁷ Misalnya, European Central Bank (ECB) dianggap
sebagai salah satu bank sentral dengan tingkat independensi tinggi, sehingga
dipercaya mampu menjaga kredibilitas kebijakan moneter di kawasan Euro.⁸
4.3.
Mekanisme Transmisi
Moneter
Mekanisme transmisi moneter menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan
bank sentral memengaruhi variabel makroekonomi, terutama inflasi dan
pertumbuhan.⁹ Secara garis besar terdapat beberapa jalur transmisi utama:
1)
Jalur Suku Bunga.
Perubahan
suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman, konsumsi, dan investasi masyarakat.¹⁰
2)
Jalur Kredit.
Kebijakan
moneter memengaruhi
ketersediaan kredit melalui kemampuan bank menyalurkan pinjaman.¹¹
3)
Jalur Nilai Tukar.
Penyesuaian
moneter dapat memengaruhi kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing, yang berdampak
pada ekspor, impor, dan neraca perdagangan.¹²
4)
Jalur Ekspektasi.
Kredibilitas
bank sentral dalam menjaga stabilitas inflasi memengaruhi ekspektasi publik
terhadap masa depan, sehingga berimplikasi pada perilaku konsumsi dan investasi.¹³
4.4.
Tantangan
Implementasi Instrumen Moneter
Meskipun memiliki instrumen yang kuat, kebijakan moneter sering
menghadapi tantangan serius. Pertama, adanya time lag, yaitu jeda waktu
antara penerapan kebijakan dan dampaknya terhadap perekonomian.¹⁴ Kedua,
globalisasi keuangan membuat kebijakan moneter nasional rentan terhadap arus
modal internasional.¹⁵ Ketiga, munculnya inovasi digital dalam sistem keuangan,
seperti cryptocurrency dan fintech, menimbulkan tantangan baru
dalam efektivitas instrumen tradisional.¹⁶
Oleh karena itu, pengelolaan instrumen moneter membutuhkan koordinasi
erat dengan kebijakan fiskal serta adaptasi berkelanjutan terhadap perubahan
global dan teknologi.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 61.
[2]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed.
(New York: Worth Publishers, 2023), 104–105.
[3]
Stanley Fischer, “Central Bank Independence Revisited,”
American Economic Review 111, no. 5 (2021): 163.
[4]
Frederic S. Mishkin, Monetary Policy Strategy
(Cambridge: MIT Press, 1999), 55–57.
[5]
Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a
Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015),
324–325.
[6]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 190.
[7]
Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank
Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal
of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 152–153.
[8]
Otmar Issing, The Birth of the Euro (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 88–89.
[9]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 245.
[10]
Mankiw, Macroeconomics, 110–111.
[11]
Mishkin, Monetary Policy Strategy, 70–72.
[12]
Maurice Obstfeld and Kenneth Rogoff, Foundations of
International Macroeconomics (Cambridge: MIT Press, 1996), 202.
[13]
Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations
of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press,
2003), 15–16.
[14]
Blanchard, Macroeconomics, 250.
[15]
Eichengreen, Globalizing Capital, 198.
[16]
Raphael Auer et al., “The Rise of Digital Money,” Annual
Review of Financial Economics 13 (2021): 167–169.
5.
Instrumen dan
Mekanisme Sistem Fiskal
5.1.
Instrumen Kebijakan
Fiskal
Kebijakan fiskal mencakup serangkaian instrumen yang digunakan
pemerintah untuk mengatur perekonomian melalui pengelolaan penerimaan dan
pengeluaran negara.¹ Instrumen tersebut meliputi:
1)
Pajak (Taxation).
Pajak
merupakan sumber utama penerimaan negara. Ia berfungsi tidak hanya untuk
membiayai pengeluaran publik, tetapi juga sebagai instrumen redistribusi
pendapatan dan pengendali aktivitas ekonomi.² Pajak progresif, misalnya, dapat mengurangi kesenjangan
sosial, sementara insentif pajak digunakan untuk mendorong investasi di sektor
tertentu.³
2)
Belanja Negara (Government Expenditure).
Pengeluaran
pemerintah dialokasikan pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan,
dan subsidi.⁴ Belanja negara yang tepat sasaran dapat meningkatkan
produktivitas dan daya saing ekonomi.
3)
Subsidi dan Transfer.
Subsidi
diberikan untuk menurunkan harga barang/jasa strategis seperti energi atau
pangan, sedangkan transfer sosial diarahkan untuk melindungi kelompok masyarakat rentan.⁵
4)
Utang Publik dan Pembiayaan Defisit.
Ketika
penerimaan tidak mencukupi, pemerintah menutupi defisit anggaran melalui
penerbitan obligasi atau pinjaman.⁶ Meski berisiko meningkatkan beban fiskal di masa depan, utang publik
dapat menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan pembiayaan
pembangunan.
5.2.
Fungsi Sistem Fiskal
Richard A. Musgrave mengklasifikasikan fungsi fiskal ke dalam tiga kategori utama: fungsi
alokasi, distribusi, dan stabilisasi.⁷
1)
Fungsi Alokasi.
Pemerintah
menggunakan instrumen fiskal untuk menyediakan barang publik (public goods) yang tidak dapat
disediakan pasar secara efisien, seperti jalan raya, pendidikan dasar, dan
keamanan.⁸
2)
Fungsi Distribusi.
Fiskal
menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan sosial melalui redistribusi
pendapatan. Pajak progresif dan program transfer tunai merupakan contoh nyata dari fungsi
ini.⁹
3)
Fungsi Stabilisasi.
Kebijakan
fiskal digunakan untuk menstabilkan fluktuasi siklus ekonomi. Dalam masa resesi, pemerintah
dapat meningkatkan belanja negara (fiskal ekspansif), sementara pada masa
inflasi, belanja dapat dikurangi atau pajak dinaikkan (fiskal kontraktif).¹⁰
5.3.
Mekanisme Kebijakan
Fiskal
Mekanisme kebijakan fiskal bekerja melalui dua jalur utama: kebijakan fiskal diskresioner
dan stabilisator otomatis.
1)
Kebijakan Diskresioner.
Pemerintah
secara aktif mengambil keputusan untuk menaikkan atau menurunkan pajak serta
belanja negara sesuai kondisi ekonomi.¹¹ Misalnya, stimulus fiskal pada masa
pandemi COVID-19 yang ditujukan untuk mendorong daya beli dan mempertahankan
lapangan kerja.¹²
2)
Stabilisator Otomatis (Automatic Stabilizers).
Tanpa
intervensi langsung, mekanisme fiskal dapat bekerja otomatis, misalnya melalui
sistem pajak progresif atau tunjangan pengangguran.¹³ Ketika pendapatan masyarakat
menurun, beban pajak juga menurun, sehingga daya beli tetap terjaga.
5.4. Hubungan
Defisit Anggaran dan Utang Publik
Kebijakan fiskal sering dihadapkan pada dilema antara kebutuhan
pembangunan dan keterbatasan anggaran. Defisit fiskal menjadi keniscayaan
ketika belanja negara lebih besar dari penerimaan.¹⁴ Dalam konteks ini, utang
publik digunakan
sebagai solusi jangka pendek, meskipun pada jangka panjang dapat memunculkan
risiko keberlanjutan fiskal.¹⁵
Studi empiris menunjukkan bahwa negara dengan tingkat utang publik
tinggi berisiko menghadapi debt overhang, yaitu situasi ketika utang
menghambat pertumbuhan ekonomi.¹⁶ Oleh karena itu, pengelolaan defisit dan utang publik harus
dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal dan kondisi
makroekonomi.
Footnotes
[1]
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector,
4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 53.
[2]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 75.
[3]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 210.
[4]
Alan J. Auerbach and Daniel R. Feenberg, “The
Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic
Perspectives 14, no. 3 (2000): 41.
[5]
Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing
Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011),
92.
[6]
Kenneth Rogoff, The Curse of Cash (Princeton:
Princeton University Press, 2016), 114.
[7]
Musgrave and Musgrave, Public Finance in Theory and
Practice, 5.
[8]
Stiglitz, Economics of the Public Sector, 66.
[9]
Rosen and Gayer, Public Finance, 121.
[10]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 275.
[11]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed.
(New York: Worth Publishers, 2023), 178.
[12]
International Monetary Fund (IMF), Fiscal Monitor:
Policies to Support People During the COVID-19 Pandemic (Washington, DC:
IMF, 2020), 13–15.
[13]
Auerbach and Feenberg, “The Significance of Federal
Taxes as Automatic Stabilizers,” 42.
[14]
Blanchard, Macroeconomics, 280.
[15]
Carmen M. Reinhart and Kenneth Rogoff, This Time Is
Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 158–160.
[16]
Joshua Aizenman and Nancy Marion, “Using Inflation to
Erode the U.S. Public Debt,” Journal of Macroeconomics 31, no. 4 (2009):
522–523.
6.
Interaksi antara Sistem Moneter dan Fiskal
6.1. Sinergi
Moneter-Fiskal dalam Stabilitas Ekonomi
Sistem moneter dan fiskal ibarat dua sisi mata uang yang saling
melengkapi dalam mengarahkan perekonomian menuju keseimbangan. Kebijakan
moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga tidak dapat
bekerja efektif tanpa dukungan kebijakan fiskal yang sesuai.¹ Misalnya,
ketika bank sentral menurunkan suku bunga untuk mendorong investasi,
efektivitas kebijakan tersebut akan lebih besar jika pemerintah secara
bersamaan meningkatkan belanja publik yang produktif.²
Sinergi semacam ini terbukti pada masa krisis global 2008, ketika
banyak negara menerapkan kebijakan moneter longgar (quantitative easing)
bersamaan dengan stimulus fiskal besar-besaran.³ Hasilnya adalah pemulihan
ekonomi yang relatif cepat, meskipun di beberapa negara meninggalkan beban
utang publik yang signifikan.
6.2. Konflik
Kepentingan antara Otoritas Moneter dan Fiskal
Meskipun idealnya bersinergi, tidak jarang kebijakan moneter dan fiskal
mengalami ketegangan. Salah satu bentuk konflik terjadi ketika pemerintah
menjalankan kebijakan fiskal ekspansif melalui peningkatan defisit anggaran,
sementara bank sentral justru menerapkan kebijakan moneter ketat untuk menekan
inflasi.⁴ Kondisi ini dikenal sebagai policy mix inconsistency, yang
dapat menimbulkan ketidakpastian pasar.
Konflik juga muncul dari aspek independensi bank sentral. Pemerintah
yang membutuhkan pembiayaan defisit terkadang menekan bank sentral untuk
mencetak uang atau membeli surat utang negara, praktik yang dalam sejarah
sering berujung pada hiperinflasi.⁵ Studi kasus klasik adalah hiperinflasi
Jerman pada awal 1920-an, ketika pembiayaan defisit melalui pencetakan uang
menyebabkan nilai mata uang jatuh drastis.⁶
6.3.
Model Teoritis:
Keynesian, Monetarist, dan Pandangan Modern
Dalam literatur ekonomi, terdapat perbedaan pandangan mengenai
bagaimana seharusnya koordinasi moneter dan fiskal dijalankan.
1)
Pandangan Keynesian.
Keynes
menekankan peran besar kebijakan fiskal dalam mengelola permintaan agregat.
Menurut pendekatan ini, kebijakan fiskal ekspansif dapat mengatasi resesi dengan lebih
cepat dibandingkan kebijakan moneter.⁷
2)
Pandangan Monetarist.
Milton
Friedman dan pengikutnya menekankan pentingnya kebijakan moneter dalam
mengendalikan inflasi. Menurut mereka, fiskal cenderung boros dan politis, sehingga stabilitas jangka
panjang lebih terjamin jika bank sentral berfokus pada pertumbuhan jumlah uang
yang terkendali.⁸
3)
Pandangan Modern (New
Consensus).
Dalam kerangka New Consensus Macroeconomics,
koordinasi antara moneter dan fiskal dianggap penting. Kebijakan moneter diposisikan sebagai
instrumen utama untuk menjaga stabilitas harga, sementara kebijakan fiskal
diarahkan untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang, distribusi pendapatan,
dan penyesuaian struktural.⁹
6.4. Pentingnya
Koordinasi Kebijakan di Era Globalisasi
Era globalisasi memperumit interaksi moneter dan fiskal. Pergerakan
modal lintas negara yang sangat cepat membuat kebijakan moneter domestik lebih
rentan terhadap guncangan
eksternal.¹⁰ Dalam kondisi demikian, koordinasi dengan kebijakan fiskal menjadi
kunci untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Sebagai contoh, pengalaman Indonesia pada masa krisis finansial Asia
1997 menunjukkan bahwa lemahnya koordinasi antara fiskal dan moneter
memperburuk krisis.¹¹ Sebaliknya, setelah krisis 2008, koordinasi yang lebih
baik antara Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan membantu menjaga stabilitas meskipun menghadapi tekanan
global.¹²
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 312.
[2]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 278.
[3]
Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a
Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015),
326–330.
[4]
Stanley Fischer, “Modern Central Banking,” in The
Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England,
ed. Forrest Capie et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 262.
[5]
Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank
Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal
of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 155.
[6]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial
History of the World (New York: Penguin, 2008), 104–106.
[7]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 132–134.
[8]
Milton Friedman, A Monetary History of the United
States, 1867–1960, with Anna Jacobson Schwartz (Princeton: Princeton
University Press, 1963), 690.
[9]
David Romer, Advanced Macroeconomics, 6th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2019), 561.
[10]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 194–196.
[11]
Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966:
Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 272–274.
[12]
Chatib Basri, A Tale of Two Crises: Indonesia’s
Political Economy (Singapore: ISEAS Publishing, 2013), 45–47.
7.
Sistem Moneter dan Fiskal dalam Perspektif
Global
7.1.
Globalisasi dan
Integrasi Ekonomi Internasional
Dalam era globalisasi, sistem moneter dan fiskal tidak lagi terbatas
pada konteks domestik, melainkan saling terkait dengan dinamika internasional.
Liberalisasi arus modal, perdagangan bebas, serta integrasi pasar keuangan
global membuat kebijakan
moneter dan fiskal suatu negara semakin dipengaruhi oleh kondisi eksternal.¹
Misalnya, kebijakan suku bunga Amerika Serikat melalui Federal Reserve
seringkali berdampak pada stabilitas nilai tukar dan arus modal di negara
berkembang.²
Selain itu, harmonisasi kebijakan fiskal menjadi semakin penting,
khususnya dalam kerangka kerja sama regional seperti Uni Eropa.³ Krisis utang Yunani pada
2010 memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan fiskal di satu negara dapat
menimbulkan implikasi luas bagi kawasan, bahkan dunia.
7.2.
Peran Lembaga
Internasional
Lembaga internasional seperti International
Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization
(WTO) memainkan peran vital dalam mengarahkan sistem moneter dan fiskal
global. IMF, misalnya, berfungsi menyediakan pinjaman darurat sekaligus
mengawasi stabilitas moneter internasional melalui pengawasan kebijakan
makroekonomi negara anggotanya.⁴ World Bank fokus pada pembiayaan pembangunan dan
proyek infrastruktur, sementara WTO mengatur aturan perdagangan internasional
yang secara tidak langsung memengaruhi penerimaan fiskal melalui tarif dan
pajak perdagangan.⁵
Namun, peran lembaga-lembaga ini tidak lepas dari kritik. Beberapa
kalangan menilai bahwa kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan IMF
pada dekade 1980–1990 justru memperburuk ketimpangan dan mengurangi ruang
fiskal negara berkembang.⁶
7.3.
Krisis Finansial
Global sebagai Pembelajaran
Sejarah mencatat beberapa krisis global yang menegaskan pentingnya
koordinasi moneter-fiskal dalam skala internasional.
1)
Krisis Finansial Asia 1997.
Krisis
ini dipicu oleh aliran modal jangka pendek dan lemahnya fundamental fiskal
serta moneter di Asia Tenggara.⁷ IMF menawarkan paket bantuan, namun dengan syarat pengetatan fiskal yang
justru memperdalam resesi.⁸
2)
Krisis Global 2008.
Krisis
ini berawal dari runtuhnya pasar perumahan di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia.
Respons global berupa kebijakan moneter longgar (quantitative easing)
dan stimulus fiskal masif terbukti efektif meredakan dampak krisis.⁹
3)
Pandemi COVID-19.
Pandemi
menjadi ujian terbaru bagi sistem moneter dan fiskal global. Hampir semua
negara menerapkan kebijakan fiskal ekspansif berupa bantuan sosial, subsidi,
dan stimulus ekonomi, diiringi kebijakan moneter longgar untuk menjaga
likuiditas.¹⁰ Namun, kebijakan ini juga meninggalkan beban utang publik yang
tinggi, terutama di negara berkembang.
7.4.
Tantangan Global
Kontemporer
Saat ini, terdapat beberapa tantangan besar dalam sistem moneter dan
fiskal global. Pertama, ketidakstabilan geopolitik seperti perang dagang
atau konflik antarnegara yang memengaruhi arus modal dan perdagangan. Kedua, ketimpangan
ekonomi global, di mana negara maju memiliki kapasitas fiskal lebih besar
dibanding negara
berkembang. Ketiga, perubahan iklim, yang menuntut adanya inovasi dalam
kebijakan fiskal global, seperti penerapan pajak karbon atau pendanaan hijau.¹¹
Di sisi moneter, tantangan muncul dari perkembangan mata uang
digital dan kemungkinan pergeseran dominasi dolar AS dalam sistem keuangan
global.¹² Situasi ini menuntut negara-negara untuk memperkuat koordinasi
internasional agar sistem moneter dan fiskal tetap mampu menopang stabilitas
global.
Footnotes
[1]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 182.
[2]
Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global
Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” NBER Working Paper
No. 21162 (2015): 3–4.
[3]
Paul De Grauwe, Economics of Monetary Union,
13th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2020), 155–157.
[4]
International Monetary Fund (IMF), Articles of
Agreement of the International Monetary Fund (Washington, DC: IMF, 2022),
12.
[5]
John H. Jackson, The World Trading System: Law and
Policy of International Economic Relations, 2nd ed. (Cambridge: MIT Press,
1997), 45–47.
[6]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W. W. Norton & Company, 2018), 77–79.
[7]
Hal Hill, The Indonesian Economy since 1966:
Southeast Asia’s Emerging Giant (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 273–275.
[8]
Andrew Sheng, From Asian to Global Financial Crisis
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 151–153.
[9]
Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a
Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015),
323–325.
[10]
International Monetary Fund (IMF), Fiscal Monitor:
Policies to Support People During the COVID-19 Pandemic (Washington, DC:
IMF, 2020), 7–10.
[11]
Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy:
Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 22–23.
[12]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 142–145.
8.
Tantangan Kontemporer dalam Sistem Moneter dan
Fiskal
8.1.
Inflasi, Stagflasi,
dan Resesi Ekonomi
Salah satu tantangan utama dalam kebijakan moneter dan fiskal
kontemporer adalah pengendalian inflasi yang kerap kali bertentangan dengan
tujuan pertumbuhan ekonomi.¹ Pada masa pascapandemi COVID-19, banyak negara
mengalami lonjakan inflasi akibat disrupsi rantai pasokan, kenaikan harga
energi, dan kebijakan
fiskal ekspansif yang meningkatkan permintaan.² Lebih kompleks lagi, muncul
fenomena stagflasi, yakni kombinasi inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi rendah,
sebagaimana dialami pada krisis minyak 1970-an.³ Kondisi ini menempatkan
kebijakan moneter dan fiskal dalam dilema: menekan inflasi dengan risiko
memperdalam resesi atau mendorong pertumbuhan dengan risiko memperburuk
inflasi.
8.2.
Utang Publik dan
Keberlanjutan Fiskal
Meningkatnya kebutuhan belanja negara, terutama untuk kesehatan,
infrastruktur, dan subsidi sosial, menyebabkan utang publik global melonjak
signifikan. Data IMF menunjukkan bahwa rasio utang publik global terhadap PDB
mencapai level tertinggi sejak Perang Dunia II.⁴ Meski utang dapat menjadi
instrumen penting pembiayaan pembangunan, keberlanjutan fiskal (fiscal
sustainability) menjadi isu serius, terutama bagi negara berkembang yang rentan terhadap perubahan suku
bunga global dan fluktuasi nilai tukar.⁵
Fenomena debt trap atau jebakan utang juga menjadi peringatan,
di mana negara-negara dengan beban utang besar kehilangan ruang fiskal untuk
pembangunan, bahkan berisiko pada krisis fiskal berkepanjangan.⁶
8.3.
Digitalisasi
Keuangan dan Disrupsi Teknologi
Munculnya cryptocurrency, fintech, dan central bank
digital currency (CBDC) membawa tantangan baru bagi sistem moneter.⁷ Di
satu sisi, digitalisasi keuangan meningkatkan efisiensi transaksi dan
memperluas inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, ia menimbulkan risiko
stabilitas, termasuk potensi pelarian modal, penghindaran pajak, dan lemahnya
pengawasan otoritas moneter.⁸
Bagi fiskal, teknologi digital membuka peluang optimalisasi penerimaan
melalui sistem perpajakan berbasis digital. Akan tetapi, ia juga menimbulkan
tantangan dalam regulasi, terutama terhadap transaksi lintas batas yang sulit
dipantau.⁹
8.4.
Ketidaksetaraan
Ekonomi dan Distribusi Fiskal
Ketidaksetaraan pendapatan global semakin melebar dalam dua dekade
terakhir, meski pertumbuhan ekonomi global relatif positif.¹⁰ Sistem fiskal di
banyak negara kerap gagal menjalankan fungsi redistribusi, sehingga memperburuk
kesenjangan sosial.¹¹ Ketika kebijakan moneter terlalu fokus pada stabilitas
harga tanpa
memperhatikan dampak sosial, risiko ketidakadilan ekonomi semakin besar.
Oleh karena itu, banyak ekonom mendorong reformasi fiskal yang lebih
progresif, termasuk pajak kekayaan, pajak karbon, dan peningkatan belanja sosial
untuk mengurangi kesenjangan.¹²
8.5.
Tantangan Geopolitik
dan Perubahan Iklim
Ketegangan geopolitik, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan
Tiongkok atau konflik di Eropa Timur, berimplikasi langsung terhadap stabilitas
moneter dan fiskal global.¹³ Gangguan rantai pasokan dan kenaikan harga energi memperumit pengelolaan inflasi dan menekan
anggaran fiskal negara importir energi.
Selain itu, perubahan iklim menjadi tantangan struktural yang menuntut adaptasi
kebijakan fiskal melalui pengalokasian anggaran untuk mitigasi dan adaptasi,
serta instrumen pajak karbon untuk mengurangi emisi.¹⁴ Dari sisi moneter,
transisi menuju ekonomi hijau memerlukan inovasi kebijakan dalam mendukung
pembiayaan ramah lingkungan.¹⁵
Footnotes
[1]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 280.
[2]
International Monetary Fund (IMF), World Economic
Outlook: Countering the Cost-of-Living Crisis (Washington, DC: IMF, 2022),
14.
[3]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 202.
[4]
IMF, Fiscal Monitor: Managing Public Wealth
(Washington, DC: IMF, 2018), 7.
[5]
Carmen M. Reinhart and Kenneth Rogoff, This Time Is
Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 156–158.
[6]
Joshua Aizenman and Nancy Marion, “Using Inflation to
Erode the U.S. Public Debt,” Journal of Macroeconomics 31, no. 4 (2009):
522–523.
[7]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 137.
[8]
Raphael Auer et al., “The Technology of Retail Central
Bank Digital Currency,” BIS Quarterly Review, March 2020, 85–86.
[9]
Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing
Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011),
132.
[10]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 375–378.
[11]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton &
Company, 2012), 88–89.
[12]
Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy:
Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 26–27.
[13]
Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global
Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” NBER Working Paper
No. 21162 (2015): 5–7.
[14]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 41–42.
[15]
Mark Carney, “Breaking the Tragedy of the Horizon:
Climate Change and Financial Stability,” Speech at Lloyd’s of London,
September 29, 2015, 8–9.
9.
Kritik dan
Reinterpretasi
9.1.
Kritik terhadap
Pendekatan Ortodoks
Pendekatan ortodoks dalam moneter dan fiskal sering dianggap terlalu
mekanistik dan reduksionis. Dalam perspektif moneter, fokus yang berlebihan
pada stabilitas harga melalui kebijakan suku bunga atau pengendalian jumlah
uang beredar sering kali
mengabaikan aspek distribusi dan keadilan sosial.¹ Milton Friedman, misalnya,
menekankan bahwa inflasi adalah fenomena moneter murni, tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa inflasi juga berkaitan dengan faktor struktural seperti
ketimpangan produksi dan ketidakstabilan geopolitik.²
Di sisi fiskal, kritik diarahkan pada keterbatasan pemerintah dalam
mengelola defisit dan utang.³ Banyak ekonom menilai bahwa aturan fiskal ketat (fiscal
rules) justru membatasi ruang gerak negara dalam menghadapi krisis, sebagaimana
terlihat pada kebijakan austerity di Eropa pascakrisis 2008 yang
memperlambat pemulihan ekonomi.⁴ Dengan demikian, baik moneter maupun fiskal
dalam kerangka ortodoks sering dinilai gagal memberikan solusi komprehensif
bagi persoalan kompleks ekonomi global kontemporer.
9.2.
Reinterpretasi dalam
Kerangka Ekonomi Hijau
Dalam dua dekade terakhir, muncul reinterpretasi kebijakan moneter dan
fiskal dalam kerangka ekonomi hijau (green economy). Kebijakan fiskal
mulai diarahkan untuk mendorong keberlanjutan lingkungan melalui instrumen
seperti pajak karbon, penghapusan subsidi energi fosil, serta pembiayaan proyek
ramah lingkungan.⁵ Sementara itu, otoritas moneter mulai mengintegrasikan risiko iklim ke dalam kerangka
stabilitas keuangan, termasuk melalui dorongan pembiayaan hijau (green
finance).⁶
Reinterpretasi ini merepresentasikan pergeseran paradigma dari sekadar mengejar
pertumbuhan ekonomi menuju pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan
keadilan antargenerasi. Dengan kata lain, kebijakan moneter dan fiskal kini
dipandang bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga instrumen etis yang berorientasi
pada kelestarian alam dan kesejahteraan sosial.⁷
9.3.
Perspektif Ekonomi
Islam
Ekonomi Islam menawarkan kritik sekaligus alternatif terhadap paradigma
konvensional sistem moneter dan fiskal. Sistem moneter berbasis bunga dinilai
tidak adil karena menciptakan eksploitasi dan spekulasi. Sebagai gantinya,
Islam menekankan sistem keuangan berbasis bagi hasil (profit and loss
sharing) yang mendorong keadilan distributif.⁸
Dalam aspek fiskal, Islam memiliki instrumen khas seperti zakat,
kharaj, dan jizyah yang berfungsi sebagai alat redistribusi dan stabilisasi
sosial.⁹ Zakat, misalnya, tidak hanya mengurangi kesenjangan, tetapi juga
memperkuat solidaritas sosial dan stabilitas ekonomi.¹⁰ Dengan demikian,
reinterpretasi dalam perspektif Islam menekankan pentingnya nilai moral,
keadilan, dan tanggung jawab sosial dalam pengelolaan moneter dan fiskal.
9.4.
Implikasi Filosofis
dan Etis
Kritik dan reinterpretasi di atas menegaskan bahwa sistem moneter dan
fiskal bukanlah entitas netral, melainkan sarat nilai (value-laden).¹¹
Kebijakan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari dimensi etika, moral, dan
keadilan sosial. Oleh karena itu, reinterpretasi sistem moneter dan fiskal
menuntut kerangka filsafat politik dan ekonomi yang lebih luas, mencakup aspek
keberlanjutan, keadilan antar-generasi, serta kesejahteraan kolektif.¹²
Dengan demikian, sistem moneter dan fiskal di era kontemporer perlu
dipahami bukan hanya sebagai instrumen teknokratis, tetapi juga sebagai arena
perumusan norma keadilan dan
arah pembangunan peradaban.
Footnotes
[1]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 288.
[2]
Milton Friedman, A Monetary History of the United
States, 1867–1960, with Anna Jacobson Schwartz (Princeton: Princeton
University Press, 1963), 690.
[3]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton &
Company, 2012), 90–91.
[4]
Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous
Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 75–77.
[5]
Anil Markandya et al., Green Fiscal Policy:
Reforming Energy Subsidies and Taxes (Geneva: UNEP, 2015), 24–25.
[6]
Mark Carney, “Breaking the Tragedy of the Horizon:
Climate Change and Financial Stability,” Speech at Lloyd’s of London,
September 29, 2015, 6.
[7]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 42–44.
[8]
Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic
Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 110–112.
[9]
M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the
Economy: An Islamic Perspective (Leicester: Islamic Foundation, 1996),
77–78.
[10]
Monzer Kahf, Islamic Economics: Analytical Study of
the Functioning of the Islamic Economic System (Plainfield, IN: Muslim
Students Association, 1978), 55–56.
[11]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Knopf, 1999), 88.
[12]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement
(Cambridge: Harvard University Press, 2001), 45–46.
10. Relevansi
Sistem Moneter dan Fiskal dalam Kehidupan Kontemporer
10.1.
Implikasi bagi
Pembangunan Nasional
Sistem moneter dan fiskal memiliki peran vital dalam menentukan arah
pembangunan nasional. Kebijakan moneter yang kredibel menjaga stabilitas
inflasi, mendorong investasi, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif.¹
Sementara itu, kebijakan fiskal berfungsi sebagai alat distribusi dan
penyediaan barang publik yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar.²
Kombinasi keduanya menjadi syarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Di Indonesia, relevansi ini tampak pada kebijakan moneter Bank
Indonesia yang menjaga stabilitas nilai rupiah, bersinergi dengan kebijakan fiskal
pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan, bantuan sosial, dan
subsidi strategis.³
10.2. Peran
dalam Stabilitas Sosial dan Politik
Kebijakan moneter dan fiskal bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga
instrumen sosial dan politik. Inflasi tinggi, misalnya, dapat menggerus daya
beli masyarakat, menimbulkan keresahan sosial, dan mengancam legitimasi politik
pemerintah.⁴ Begitu pula dengan kebijakan fiskal yang bias kepentingan elit
berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial serta memperlebar jurang
ketimpangan.⁵
Dalam konteks ini, sistem moneter dan fiskal yang efektif berperan
sebagai “penyangga sosial” dengan menjaga stabilitas harga, membuka lapangan
kerja, serta mendukung pemerataan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa
keberhasilan ekonomi sering kali beriringan dengan stabilitas politik dan
sosial.⁶
10.3.
Dampak terhadap
Kesejahteraan Masyarakat
Relevansi sistem moneter dan fiskal paling nyata terlihat dalam
keseharian masyarakat. Ketika inflasi terkendali, harga kebutuhan pokok lebih
stabil, dan daya beli masyarakat meningkat.⁷ Sementara itu, kebijakan fiskal
yang tepat sasaran, seperti
subsidi pendidikan, kesehatan, dan transfer sosial, dapat mengurangi kemiskinan
dan memperluas akses terhadap layanan publik.⁸
Dalam jangka panjang, kombinasi moneter dan fiskal yang sehat
menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih inklusif, di mana kesejahteraan tidak hanya
dinikmati oleh segelintir elit, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat luas.⁹
10.4. Relevansi
di Era Globalisasi dan Transformasi Digital
Era globalisasi dan transformasi digital menambah dimensi baru bagi
relevansi sistem moneter dan fiskal. Pertama, globalisasi membuat stabilitas
moneter nasional semakin terkait dengan dinamika internasional, sehingga
koordinasi kebijakan dengan negara lain menjadi kebutuhan strategis.¹⁰ Kedua,
transformasi digital menuntut adaptasi fiskal melalui perpajakan digital dan
dukungan terhadap inovasi ekonomi berbasis teknologi.¹¹
Selain itu, kemunculan central bank
digital currency (CBDC) menegaskan peran baru otoritas moneter dalam
menghadapi revolusi keuangan digital.¹² Sementara kebijakan fiskal dituntut
lebih adaptif untuk menjawab tantangan ketidaksetaraan digital dan pembiayaan
infrastruktur teknologi.¹³
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 310.
[2]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 5.
[3]
Perry Warjiyo, Bank Indonesia: Kebijakan Moneter
dan Stabilitas Keuangan (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2021), 42–43.
[4]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 288.
[5]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton &
Company, 2012), 90.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Knopf, 1999), 95–96.
[7]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 11th ed.
(New York: Worth Publishers, 2023), 175.
[8]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
10th ed. (New York: McGraw-Hill, 2014), 121.
[9]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 375.
[10]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 196.
[11]
Vito Tanzi, Government Versus Markets: The Changing
Economic Role of the State (Cambridge: Cambridge University Press, 2011),
132.
[12]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 142.
[13]
International Monetary Fund (IMF), Taxing the
Digital Economy (Washington, DC: IMF, 2021), 18–19.
11.
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
11.1.
Integrasi Teori dan
Praktik
Kajian mengenai sistem moneter dan fiskal memperlihatkan bahwa keduanya
bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan dua instrumen yang saling berkelindan
dalam mengarahkan perekonomian.¹ Teori moneter yang menekankan stabilitas harga
dan kontrol inflasi, serta teori fiskal yang menekankan peran pemerintah dalam
distribusi dan stabilisasi, hanya dapat berjalan efektif apabila diintegrasikan
dalam praktik kebijakan yang sinergis.² Dalam konteks ini, sejarah krisis
finansial global menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang longgar tanpa
disiplin fiskal justru menciptakan kerentanan baru, sementara kebijakan fiskal
ekspansif tanpa dukungan moneter berisiko kehilangan efektivitas.³
11.2. Refleksi
Filosofis tentang Keadilan dan Stabilitas
Dari sudut pandang filosofis, sistem moneter dan fiskal tidak hanya
berfungsi sebagai instrumen teknis, melainkan juga sebagai instrumen moral.
Pemikiran John Rawls, misalnya, menegaskan bahwa keadilan harus menjadi
kerangka dasar dalam merancang institusi ekonomi.⁴ Dengan demikian, kebijakan
fiskal progresif yang mengurangi ketimpangan dan kebijakan moneter yang menjaga
stabilitas harga sejatinya merupakan manifestasi dari prinsip keadilan
distributif.
Sementara itu, Amartya Sen menekankan pentingnya kebebasan substantif
dalam pembangunan.⁵ Dalam kerangka ini, sistem moneter dan fiskal tidak hanya
mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga perlu mendukung terciptanya kesempatan
yang adil bagi semua warga negara untuk hidup bermartabat.
11.3.
Dimensi Etis dalam
Pengelolaan Ekonomi
Dimensi etis semakin penting dalam era kontemporer. Sistem moneter yang
terlalu berorientasi pada kepentingan pasar berpotensi mengabaikan
kesejahteraan masyarakat.⁶ Begitu pula, kebijakan fiskal yang bias terhadap
kepentingan elit berpotensi
menimbulkan eksklusi sosial. Oleh karena itu, reinterpretasi sistem moneter dan
fiskal harus berlandaskan etika publik: transparansi, akuntabilitas, dan
keadilan.⁷
Dalam tradisi Islam, nilai-nilai etis ini sangat ditekankan melalui
konsep maqashid al-shariah, yang mengaitkan kebijakan ekonomi dengan
tujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁸ Dengan demikian,
pengelolaan moneter dan fiskal yang sesuai nilai moral tidak hanya menjaga
stabilitas ekonomi, tetapi juga memperkokoh fondasi sosial dan spiritual suatu
bangsa.
11.4.
Mewujudkan Ekonomi
Berkelanjutan dan Inklusif
Sintesis dari berbagai perspektif menunjukkan bahwa relevansi moneter
dan fiskal di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjawab tantangan
keberlanjutan dan inklusivitas. Transisi menuju ekonomi hijau, misalnya,
memerlukan kombinasi kebijakan fiskal berupa pajak karbon dengan dukungan
moneter berupa pembiayaan ramah lingkungan.⁹ Begitu pula, penguatan inklusi
keuangan menuntut koordinasi antara moneter dan fiskal agar kelompok marginal
dapat mengakses pembiayaan dan perlindungan sosial.
Dengan demikian, refleksi filosofis menegaskan bahwa sistem moneter dan
fiskal harus diarahkan tidak hanya pada tujuan teknis (stabilitas harga, pertumbuhan
ekonomi), tetapi juga pada tujuan normatif: keadilan sosial, keberlanjutan
lingkungan, dan martabat manusia.¹⁰
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021),
310–311.
[2]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 278–280.
[3]
Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a
Crisis and Its Aftermath (New York: W. W. Norton & Company, 2015),
329–330.
[4]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement
(Cambridge: Harvard University Press, 2001), 45–46.
[5]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Knopf, 1999), 88–89.
[6]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W. W. Norton &
Company, 2012), 92.
[7]
Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous
Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 105.
[8]
Muhammad Umer Chapra, Islam and the Economic
Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 112–113.
[9]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 41–42.
[10]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 377.
12.
Penutup
12.1.
Kesimpulan Umum
Kajian mengenai sistem moneter dan fiskal menunjukkan bahwa keduanya
merupakan fondasi utama dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sistem moneter, dengan instrumen seperti suku bunga, cadangan wajib minimum,
dan operasi pasar terbuka, berfungsi mengendalikan inflasi dan menjaga
kestabilan nilai mata uang.¹ Sementara itu, sistem fiskal, melalui pajak, belanja publik, dan pengelolaan
defisit, berperan dalam distribusi kesejahteraan, penyediaan barang publik,
serta stabilisasi siklus ekonomi.²
Sejarah perkembangan keduanya, mulai dari sistem barter, gold
standard, hingga era uang fiat dan digital, memperlihatkan fleksibilitas
dalam merespons tantangan global.³ Demikian pula, dinamika kebijakan fiskal dari
merkantilisme hingga welfare state menegaskan pentingnya peran negara
dalam mengarahkan pembangunan dan keadilan sosial.⁴
12.2.
Rekomendasi
Kebijakan
Dalam konteks kontemporer, terdapat beberapa rekomendasi penting:
1)
Penguatan koordinasi moneter-fiskal.
Sinergi
kebijakan perlu diperkuat untuk menghadapi tantangan inflasi, resesi, dan
ketidakpastian global.⁵
2)
Reformasi fiskal progresif.
Pajak
yang lebih adil, penghapusan subsidi yang tidak produktif, serta penguatan belanja sosial dapat meningkatkan
keadilan distributif.⁶
3)
Inovasi moneter.
Otoritas moneter perlu mengantisipasi digitalisasi keuangan
melalui pengembangan central bank digital currency (CBDC) dan regulasi
yang adaptif.⁷
4)
Integrasi aspek
keberlanjutan.
Kebijakan moneter dan fiskal harus diarahkan untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk mitigasi perubahan iklim melalui
pajak karbon dan pembiayaan hijau.⁸
12.3.
Implikasi Akademik
dan Praktis
Dari sisi akademik, studi ini memperkaya literatur tentang interaksi
moneter dan fiskal dalam perspektif historis, teoritis, dan filosofis. Kajian ini menegaskan
bahwa ekonomi bukanlah ilmu yang netral, tetapi sarat nilai, sehingga perlu
dipahami melalui lensa etika dan keadilan.⁹
Dari sisi praktis, kebijakan moneter dan fiskal yang baik dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat, memperkuat stabilitas sosial-politik,
serta mendorong tercapainya kesejahteraan yang lebih inklusif.¹⁰ Dengan
demikian, relevansi moneter dan fiskal melampaui aspek teknokratis dan
menyentuh ranah normatif serta humanistik.
12.4.
D. Penutup
Akhirnya, sistem moneter dan fiskal harus dipandang sebagai instrumen
strategis dalam membangun peradaban ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan
bermartabat. Integrasi keduanya bukan hanya soal teknis kebijakan, melainkan
juga refleksi atas visi kolektif manusia dalam mewujudkan kesejahteraan bersama
di tengah kompleksitas global.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2021), 65.
[2]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 7.
[3]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 202.
[4]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 128–129.
[5]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 278.
[6]
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector,
4th ed. (New York: W. W. Norton & Company, 2015), 88–89.
[7]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 143–144.
[8]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 42–43.
[9]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Knopf, 1999), 90.
[10]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 377.
Daftar Pustaka
Aizenman,
J., & Marion, N. (2009). Using inflation to erode the U.S. public debt. Journal
of Macroeconomics, 31(4), 519–530. https://doi.org/10.1016/j.jmacro.2008.09.001
Alesina,
A., & Summers, L. H. (1993). Central bank independence and macroeconomic
performance: Some comparative evidence. Journal of Money, Credit and
Banking, 25(2), 151–162. https://doi.org/10.2307/2077833
Auer, R.,
& Böhme, R. (2020, March). The technology of retail central bank digital
currency. BIS Quarterly Review, 85–100.
Auer, R.,
Cornelli, G., & Frost, J. (2021). The rise of digital money. Annual
Review of Financial Economics, 13(1), 161–181. annurev-financial
Auerbach,
A. J., & Feenberg, D. R. (2000). The significance of federal taxes as
automatic stabilizers. Journal of Economic Perspectives, 14(3), 37–56. jep
Basri, C.
(2013). A tale of two crises: Indonesia’s political economy. Singapore:
ISEAS Publishing.
Bernanke,
B. S. (2015). The courage to act: A memoir of a crisis and its aftermath.
New York, NY: W. W. Norton & Company.
Blyth, M.
(2013). Austerity: The history of a dangerous idea. Oxford: Oxford
University Press.
Blanchard,
O. (2021). Macroeconomics (8th ed.). New York, NY: Pearson.
Carney, M.
(2015, September 29). Breaking the tragedy of the horizon: Climate change and
financial stability. Speech at Lloyd’s of London.
Chapra, M.
U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: Islamic
Foundation.
De Grauwe,
P. (2020). Economics of monetary union (13th ed.). Oxford: Oxford
University Press.
Eichengreen,
B. (1992). Golden fetters: The gold standard and the Great Depression,
1919–1939. New York, NY: Oxford University Press.
Eichengreen,
B. (2019). Globalizing capital: A history of the international monetary
system (3rd ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Ferguson,
N. (2008). The ascent of money: A financial history of the world. New
York, NY: Penguin Press.
Fischer, S.
(1994). Modern central banking. In F. Capie, C. A. E. Goodhart, S. Fischer,
& N. Schnadt (Eds.), The future of central banking: The tercentenary
symposium of the Bank of England (pp. 262–308). Cambridge: Cambridge
University Press.
Fischer, S.
(2021). Central bank independence revisited. American Economic Review, 111(5),
159–163. aer
Friedman,
M., & Schwartz, A. J. (1963). A monetary history of the United States,
1867–1960. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Hill, H.
(1996). The Indonesian economy since 1966: Southeast Asia’s emerging giant.
Cambridge: Cambridge University Press.
International
Monetary Fund. (2018). Fiscal monitor: Managing public wealth.
Washington, DC: IMF.
International
Monetary Fund. (2020). Fiscal monitor: Policies to support people during the
COVID-19 pandemic. Washington, DC: IMF.
International
Monetary Fund. (2021). Taxing the digital economy. Washington, DC: IMF.
International
Monetary Fund. (2022). Articles of agreement of the International Monetary
Fund. Washington, DC: IMF.
International
Monetary Fund. (2022). World economic outlook: Countering the cost-of-living
crisis. Washington, DC: IMF.
Issing, O.
(2008). The birth of the euro. Cambridge: Cambridge University Press.
Jackson, J.
H. (1997). The world trading system: Law and policy of international
economic relations (2nd ed.). Cambridge, MA: MIT Press.
Kahf, M.
(1978). Islamic economics: Analytical study of the functioning of the
Islamic economic system. Plainfield, IN: Muslim Students Association.
Keynes, J.
M. (1936). The general theory of employment, interest, and money.
London: Macmillan.
Kindleberger,
C. P. (1993). A financial history of Western Europe (2nd ed.). Oxford:
Oxford University Press.
Leuchtenburg,
W. E. (1963). Franklin D. Roosevelt and the New Deal, 1932–1940. New
York, NY: Harper & Row.
Magnusson,
L. (2015). The political economy of mercantilism. London: Routledge.
Mankiw, N.
G. (2023). Macroeconomics (11th ed.). New York, NY: Worth Publishers.
Markandya,
A., et al. (2015). Green fiscal policy: Reforming energy subsidies and taxes.
Geneva: UNEP.
Mishkin, F.
S. (1999). Monetary policy strategy. Cambridge, MA: MIT Press.
Mishkin, F.
S. (2021). The economics of money, banking, and financial markets (11th
ed.). New York, NY: Pearson.
Musgrave,
R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public finance in theory and practice
(5th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Obstfeld,
M., & Rogoff, K. (1996). Foundations of international macroeconomics.
Cambridge, MA: MIT Press.
Piketty, T.
(2014). Capital in the twenty-first century. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Prasad, E.
S. (2021). The future of money: How the digital revolution is transforming
currencies and finance. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rawls, J.
(2001). Justice as fairness: A restatement. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Reinhart,
C. M., & Rogoff, K. (2009). This time is different: Eight centuries of
financial folly. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Rey, H.
(2015). Dilemma not trilemma: The global financial cycle and monetary policy
independence. NBER Working Paper No. 21162. w21162
Rogoff, K.
(2016). The curse of cash. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Romer, D.
(2019). Advanced macroeconomics (6th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Rosen, H. S., & Gayer, T.
(2014). Public finance (10th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Sen, A.
(1999). Development as freedom. New York, NY: Knopf.
Sheng, A.
(2009). From Asian to global financial crisis. Cambridge: Cambridge
University Press.
Siddiqi, M.
N. (1996). Role of the state in the economy: An Islamic perspective.
Leicester: Islamic Foundation.
Smith, A.
(1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations.
London: W. Strahan and T. Cadell.
Stern, N.
(2007). The economics of climate change: The Stern review. Cambridge:
Cambridge University Press.
Stiglitz,
J. E. (2012). The price of inequality: How today’s divided society endangers
our future. New York, NY: W. W. Norton & Company.
Stiglitz,
J. E. (2015). Economics of the public sector (4th ed.). New York, NY: W.
W. Norton & Company.
Stiglitz,
J. E. (2018). Globalization and its discontents revisited:
Anti-globalization in the era of Trump. New York, NY: W. W. Norton &
Company.
Tanzi, V.
(2011). Government versus markets: The changing economic role of the state.
Cambridge: Cambridge University Press.
Volcker,
P., & Gyohten, T. (1992). Changing fortunes: The world’s money and the
threat to American leadership. New York, NY: Times Books.
Warjiyo, P.
(2021). Bank Indonesia: Kebijakan moneter dan stabilitas keuangan.
Jakarta: Bank Indonesia Institute.
Woodford,
M. (2003). Interest and prices: Foundations of a theory of monetary policy.
Princeton, NJ: Princeton University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar