Jumat, 13 Desember 2024

Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa yang ada?

 Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa yang ada?


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Ontologi, sebagai salah satu cabang utama filsafat, memiliki perhatian mendalam terhadap hakikat keberadaan (being) dan realitas (reality). Pertanyaan mendasar "Apa yang ada?" bukan hanya menjadi perdebatan di ranah filsafat klasik, tetapi juga relevan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern. Dalam tradisi filsafat Yunani kuno, Parmenides menyatakan bahwa "yang ada itu ada, dan yang tiada itu tidak ada," yang menjadi titik awal dalam perdebatan tentang keberadaan dan non-keberadaan. Plato dan Aristoteles kemudian memperluas diskursus ini, dengan Plato berfokus pada dunia ide sebagai realitas hakiki, sedangkan Aristoteles mengusulkan teori substansi yang mengutamakan eksistensi konkret sebagai dasar segala sesuatu.¹

Di era modern, René Descartes dengan dualisme substansinya (res cogitans dan res extensa) memperkenalkan pendekatan baru untuk memahami realitas, sementara Immanuel Kant membedakan antara fenomena (dunia sebagaimana kita mengalaminya) dan noumena (dunia sebagaimana adanya).² Dalam filsafat kontemporer, Martin Heidegger menggeser fokus ontologi dari "apa yang ada" menjadi "bagaimana ada itu dipahami," yang memberikan dimensi eksistensial dalam memahami keberadaan.³ Dengan demikian, pertanyaan "Apa yang ada?" tetap menjadi inti dari refleksi filsafat sepanjang sejarah.

1.2.       Rumusan Masalah

Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan inti: Bagaimana filsafat, melalui berbagai aliran dan pendekatannya, menjawab pertanyaan ontologis "Apa yang ada?". Pertanyaan ini melibatkan eksplorasi konsep keberadaan, baik dari perspektif metafisika klasik maupun filsafat kontemporer, serta bagaimana implikasi jawaban tersebut berdampak pada pemahaman manusia tentang realitas.

1.3.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Menyajikan kajian komprehensif mengenai bagaimana pertanyaan ontologi "Apa yang ada?" dijawab oleh berbagai aliran filsafat dari masa ke masa.

2)                  Mengidentifikasi perdebatan utama dalam ontologi terkait konsep keberadaan.

3)                  Menggali relevansi kajian ontologi dalam konteks ilmu pengetahuan modern dan kehidupan kontemporer.

1.4.       Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berbasis studi literatur (library research). Sumber utama terdiri dari karya-karya klasik, seperti Metaphysics karya Aristoteles, The Republic karya Plato, serta karya filsafat modern dan kontemporer, seperti Being and Time karya Martin Heidegger dan On What There Is karya Willard Van Orman Quine. Kajian ini juga melibatkan analisis kritis terhadap artikel jurnal dan literatur sekunder untuk menyusun pembahasan yang mendalam dan valid.⁴


Catatan Kaki

[1]              Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 130-135.

[2]              René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.

[3]              Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-30.

[4]              Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.


2.           Landasan Teoretis

2.1.       Definisi Ontologi

Ontologi berasal dari bahasa Yunani, ontos yang berarti "keberadaan" dan logos yang berarti "ilmu" atau "kajian." Sebagai cabang filsafat, ontologi berfokus pada studi tentang apa yang ada (what exists), hakikat keberadaan (nature of being), dan kategori eksistensi.¹ Dalam pemikiran Aristoteles, ontologi dikenal sebagai metafisika, yakni studi tentang prinsip-prinsip pertama keberadaan yang mendasari segala sesuatu.² Di era kontemporer, Willard Van Orman Quine mendefinisikan ontologi sebagai upaya menjawab pertanyaan "Apa yang ada?" melalui analisis logis dan linguistik.³

2.2.       Sejarah Pertanyaan Ontologi

2.2.1.    Ontologi dalam Filsafat Yunani Kuno

Filsafat Yunani kuno menjadi fondasi utama kajian ontologi. Parmenides, seorang filsuf pra-Sokrates, menyatakan bahwa keberadaan adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Ia berpendapat, "Yang ada itu ada, dan yang tidak ada itu tidak ada," sehingga menolak keberadaan perubahan atau kekosongan.⁴ Plato kemudian membedakan antara dunia ide yang sempurna dan dunia nyata yang penuh perubahan, di mana keberadaan sejati hanya dapat ditemukan dalam dunia ide.⁵ Aristoteles, berbeda dari Plato, memusatkan perhatian pada substansi sebagai inti keberadaan. Menurutnya, substansi adalah entitas yang menjadi dasar eksistensi segala sesuatu.⁶

2.2.2.    Ontologi di Era Modern

Pada era modern, Descartes memperkenalkan dualisme substansi, yaitu res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi material), yang berusaha menjelaskan keberadaan manusia dan dunia material secara terpisah.⁷ Immanuel Kant memperluas diskursus ini dengan membedakan fenomena (realitas sebagaimana yang kita persepsikan) dan noumena (realitas sebagaimana adanya). Bagi Kant, kita tidak pernah bisa memahami noumena sepenuhnya, karena keterbatasan indra dan akal manusia.⁸

2.2.3.    Ontologi Kontemporer

Di era kontemporer, Martin Heidegger menggeser fokus kajian ontologi dengan meneliti hakikat "Being" (keberadaan) itu sendiri. Dalam Being and Time, ia berpendapat bahwa pertanyaan tentang keberadaan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman manusia sebagai makhluk yang berada di dunia (Dasein).⁹ Sementara itu, Quine melalui esainya, On What There Is, mengajukan pendekatan empiris terhadap ontologi, dengan menyatakan bahwa keberadaan sesuatu ditentukan oleh kebutuhan kita untuk memasukkannya dalam teori ilmiah yang koheren.¹⁰

2.3.       Dimensi Ontologi

2.3.1.    Realisme vs. Nominalisme

Realisme ontologis menyatakan bahwa keberadaan sesuatu bersifat objektif dan independen dari pikiran manusia. Sebaliknya, nominalisme menolak keberadaan universal dan hanya mengakui entitas konkret sebagai sesuatu yang benar-benar ada.¹¹

2.3.2.    Materialisme vs. Idealisme

Materialisme memandang bahwa hanya entitas material yang ada, sedangkan idealisme berpendapat bahwa realitas sepenuhnya bergantung pada pikiran atau ide.¹²

2.3.3.    Substansi, Relasi, dan Atribut

Aristoteles memperkenalkan konsep substansi sebagai esensi keberadaan, sementara relasi dan atribut adalah sifat-sifat yang melekat pada substansi tersebut.¹³ Konsep ini menjadi dasar dalam kajian ontologi hingga era modern.


Catatan Kaki

[1]              Peter van Inwagen, Metaphysics (Boulder: Westview Press, 2002), hlm. 13-14.

[2]              Aristoteles, Metaphysics, terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku IV, hlm. 1012b.

[3]              Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.

[4]              Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 132.

[5]              Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-521.

[6]              Aristoteles, Metaphysics, Buku VII, hlm. 1041a.

[7]              René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31.

[8]              Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.

[9]              Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-30.

[10]          Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.

[11]          Peter Abelard, Dialectica, dalam John Marenbon (ed.), The Philosophy of Peter Abelard (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 132-135.

[12]          George Berkeley, Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 25-30.

[13]          Aristoteles, Metaphysics, Buku V, hlm. 1017a.


3.           Pembahasan

3.1.       Berbagai Pendekatan untuk Menjawab "Apa yang Ada?"

3.1.1.    Metafisika Klasik

Dalam metafisika klasik, filsuf Yunani kuno memberikan jawaban mendasar atas pertanyaan ontologis "Apa yang ada?" dengan berbagai pendekatan.

1)                  Parmenides

Parmenides adalah filsuf pertama yang menyatakan bahwa keberadaan bersifat mutlak. Dalam pandangannya, "yang ada itu ada, dan yang tiada itu tidak ada."¹ Parmenides menolak perubahan dan pluralitas sebagai ilusi, menyatakan bahwa keberadaan bersifat tetap dan abadi. Konsep ini menimbulkan kritik dari Herakleitos, yang justru memandang keberadaan sebagai proses perubahan yang dinamis.²

2)                  Plato

Plato mengembangkan pandangan Parmenides dalam teorinya tentang dunia ide (Theory of Forms). Ia berpendapat bahwa keberadaan sejati (true being) berada di dunia ide, yang tidak dapat diakses melalui indra tetapi hanya melalui akal. Dunia fisik hanyalah bayangan atau refleksi dari dunia ide.³

3)                  Aristoteles

Berbeda dengan Plato, Aristoteles menempatkan substansi (ousia) sebagai inti keberadaan. Dalam Metaphysics, ia mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang dapat berdiri sendiri dan menjadi dasar eksistensi bagi sifat atau atribut.⁴ Aristoteles juga memperkenalkan kategori ontologi, termasuk substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, dan tempat.⁵

3.1.2.    Ontologi Modern

Pada era modern, filsuf seperti Descartes dan Kant memberikan pendekatan baru dalam menjawab pertanyaan ontologi.

1)                  René Descartes

Descartes memperkenalkan dualisme substansi, yaitu res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi material). Ia memandang bahwa keberadaan manusia melibatkan keberadaan pikiran yang tidak dapat direduksi menjadi materi.⁶

2)                  Immanuel Kant

Kant mengkritik metafisika klasik dengan membedakan antara fenomena (realitas yang tampak kepada kita melalui pengalaman indrawi) dan noumena (realitas yang ada di luar kemampuan indra manusia). Ia berpendapat bahwa manusia tidak pernah dapat memahami keberadaan noumena secara langsung karena keterbatasan akal budi.⁷

3.1.3.    Ontologi Kontemporer

Di era kontemporer, filsuf seperti Martin Heidegger dan Willard Van Orman Quine memperluas diskusi ontologi dengan fokus yang berbeda.

1)                  Martin Heidegger

Heidegger memusatkan perhatian pada "Being" (Sein), bukan hanya entitas yang ada. Dalam Being and Time, ia menyatakan bahwa manusia sebagai Dasein (ada-di-dunia) memiliki hubungan eksistensial dengan keberadaan.⁸ Heidegger menegaskan pentingnya memahami makna keberadaan sebelum membahas kategori spesifik tentang "apa yang ada."⁹

2)                  Willard Van Orman Quine

Quine, dalam esainya "On What There Is," menyatakan bahwa keberadaan sesuatu dapat ditentukan melalui kebutuhan teoretis. Ia menolak dikotomi antara analitik dan sintetis, mengusulkan bahwa ontologi harus ditentukan melalui logika dan koherensi teoretis.¹⁰

3.2.       Debat Utama dalam Ontologi

1)                  Realisme vs. Nominalisme

Perdebatan ini berkaitan dengan status universal. Realisme menyatakan bahwa universal (seperti konsep "merah") memiliki keberadaan nyata, sementara nominalisme memandang bahwa hanya individu-individu konkret yang ada.¹¹

2)                  Materialisme vs. Idealisme

Materialisme berpendapat bahwa keberadaan terbatas pada materi fisik, sementara idealisme, seperti yang diusung oleh George Berkeley, menyatakan bahwa keberadaan sepenuhnya bergantung pada persepsi dan pikiran.¹²

3)                  Eksistensi Entitas Abstrak

Apakah entitas seperti angka, konsep, atau kategori memiliki keberadaan independen? Para filsuf seperti Frege dan Russell mendukung eksistensi entitas abstrak sebagai elemen penting dalam logika dan matematika.¹³

3.3.       Implikasi Jawaban Ontologi

1)                  Dalam Ilmu Pengetahuan

Pendekatan ontologi berdampak pada cara ilmu pengetahuan mendefinisikan realitas. Contohnya, teori kuantum memaksa kita mempertimbangkan ulang kategori ontologis, seperti partikel subatomik yang eksistensinya bergantung pada pengamatan.¹⁴

2)                  Dalam Etika dan Nilai

Pemahaman tentang apa yang ada berkontribusi pada kerangka nilai dan etika. Sebagai contoh, keberadaan manusia sebagai entitas rasional menjadi dasar hak asasi manusia dalam filsafat politik modern.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 132-133.

[2]              Herakleitos, Fragments of Heraclitus, dalam Philip Wheelwright (ed.), The Presocratics (New York: Macmillan, 1966), hlm. 50.

[3]              Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-520.

[4]              Aristoteles, Metaphysics, terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.

[5]              Aristoteles, Metaphysics, Buku V, hlm. 1017a.

[6]              René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31.

[7]              Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.

[8]              Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-35.

[9]              Ibid., hlm. 50.

[10]          Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.

[11]          Peter Abelard, Dialectica, dalam John Marenbon (ed.), The Philosophy of Peter Abelard (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 132-135.

[12]          George Berkeley, Principles of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 25-30.

[13]          Gottlob Frege, The Foundations of Arithmetic (Oxford: Blackwell, 1953), hlm. 3-10.

[14]          Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin, 1958), hlm. 125-135.

[15]          John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 513-520.


4.           Analisis Kritis

4.1.        Perbandingan Jawaban Ontologis

Jawaban atas pertanyaan ontologi “Apa yang ada?” telah berkembang dalam berbagai kerangka berpikir, masing-masing dengan kekuatan dan kelemahannya. Analisis ini akan membandingkan tiga pendekatan utama: metafisika klasik, filsafat modern, dan filsafat kontemporer.

1)                  Metafisika Klasik

Filsafat Yunani kuno, seperti yang diusung oleh Parmenides, Plato, dan Aristoteles, menekankan konsep universalitas dan ketetapan. Pandangan Parmenides tentang keberadaan sebagai sesuatu yang statis dianggap terlalu idealistik karena mengabaikan perubahan yang jelas terjadi di dunia nyata.¹ Plato, dengan teorinya tentang dunia ide, memberikan pandangan yang lebih transendental, tetapi dikritik karena memisahkan dunia fisik dari realitas sejati.² Sebaliknya, Aristoteles menawarkan pendekatan yang lebih membumi dengan teori substansi, tetapi konsep substansi ini sering dianggap terlalu rigid untuk memahami realitas yang dinamis.³

2)                  Filsafat Modern

Dualisme Descartes memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan keberadaan manusia sebagai kombinasi pikiran dan materi, tetapi dikritik karena menciptakan dualitas yang sulit dijelaskan, yaitu bagaimana pikiran dan tubuh saling berinteraksi.⁴ Kant, dengan distingsi fenomena dan noumena, berhasil menjembatani metafisika klasik dengan epistemologi, tetapi pendekatannya dianggap terlalu subjektif karena membatasi akses manusia pada realitas yang sebenarnya.⁵

3)                  Filsafat Kontemporer

Heidegger menggantikan fokus dari "apa yang ada" menjadi "bagaimana keberadaan itu dipahami," memberikan pendekatan eksistensial terhadap pertanyaan ontologi. Pendekatannya relevan dalam memahami pengalaman manusia, tetapi kritik sering muncul karena gaya penulisannya yang kompleks dan sulit diakses.⁶ Quine, di sisi lain, membawa ontologi ke ranah logika dan sains, tetapi pandangannya yang terlalu bergantung pada empirisme sering dianggap mengabaikan dimensi metafisis dari keberadaan.⁷

4.2.        Kontribusi Ontologi bagi Ilmu Pengetahuan Modern

1)                  Ontologi dan Fisika

Ontologi klasik memberikan dasar bagi perkembangan konsep substansi dalam fisika modern, misalnya dalam memahami massa dan energi sebagai aspek fundamental keberadaan.⁸ Di era kontemporer, teori kuantum menantang pandangan ontologis klasik dengan menunjukkan bahwa partikel subatomik tidak memiliki eksistensi tetap, melainkan bergantung pada pengamatan.⁹

2)                  Ontologi dan Biologi

Dalam biologi, perdebatan ontologi muncul dalam diskusi tentang esensi kehidupan. Apakah kehidupan merupakan keberadaan materi murni (materialisme) atau melibatkan aspek non-materi, seperti kesadaran atau jiwa (idealisme)? Pendekatan ontologis ini menjadi penting dalam etika medis, seperti debat tentang euthanasia dan hak embrio.¹⁰

4.3.        Kontekstualisasi dengan Kehidupan Modern

1)                  Identitas dan Teknologi

Dalam era teknologi modern, pertanyaan ontologi menjadi relevan dalam mendefinisikan entitas digital seperti data, kecerdasan buatan, dan realitas virtual. Apakah keberadaan digital memiliki esensi yang sama dengan entitas fisik? Pertanyaan ini penting dalam isu-isu hak cipta dan etika teknologi.¹¹

2)                  Keberlanjutan dan Ekologi

Dalam konteks krisis lingkungan, ontologi membantu menjawab pertanyaan tentang status keberadaan alam. Apakah alam hanya merupakan sumber daya bagi manusia (antropo-sentrisme) atau memiliki nilai keberadaan yang intrinsik? Pendekatan ini relevan dalam filsafat lingkungan dan gerakan keberlanjutan.¹²

4.4.        Kritik terhadap Pendekatan Ontologi

1)                  Keterbatasan Ontologi Klasik

Fokus pada entitas universal sering kali mengabaikan keberadaan individu atau partikular yang nyata. Sebagai contoh, Aristoteles memprioritaskan substansi atas relasi, padahal relasi juga merupakan elemen penting keberadaan.¹³

2)                  Kritik terhadap Ontologi Modern

Pendekatan Kantian yang membatasi realitas pada fenomena dianggap mengurangi dimensi metafisika, sehingga filsafat modern sering dianggap terlalu fokus pada epistemologi dibandingkan keberadaan itu sendiri.¹⁴

3)                  Kritik terhadap Ontologi Kontemporer

Pendekatan eksistensial Heidegger menghadapi kritik karena sulit diterapkan dalam konteks ilmu pengetahuan yang membutuhkan jawaban yang lebih konkret. Sementara itu, pendekatan Quine yang terlalu berbasis empirisme mengabaikan dimensi spiritual atau metafisis yang menjadi bagian penting dari keberadaan manusia.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 132-133.

[2]              Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-520.

[3]              Aristoteles, Metaphysics, terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.

[4]              René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31.

[5]              Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.

[6]              Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-35.

[7]              Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.

[8]              Isaac Newton, Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), Buku I, hlm. 55.

[9]              Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin, 1958), hlm. 135-140.

[10]          James Watson, DNA: The Secret of Life (New York: Alfred A. Knopf, 2003), hlm. 217-220.

[11]          Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 85-90.

[12]          Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), hlm. 75-80.

[13]          Aristoteles, Metaphysics, Buku V, hlm. 1017a.

[14]          Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 45-50.

[15]          Martin Heidegger, Being and Time, hlm. 60.


5.           Penutup

5.1.       Kesimpulan

Kajian ontologi tentang pertanyaan "Apa yang ada?" telah menjadi inti dari diskursus filsafat sejak zaman Yunani kuno hingga era kontemporer. Dalam tradisi klasik, Parmenides, Plato, dan Aristoteles memberikan pandangan yang mendasar tentang keberadaan, dari keberadaan sebagai sesuatu yang statis hingga konsep substansi sebagai inti eksistensi.¹ Di era modern, pemikiran Descartes dan Kant memperluas pemahaman ini dengan mengintegrasikan dualisme dan keterbatasan epistemologi manusia terhadap realitas.² Sementara itu, filsafat kontemporer, seperti yang diusung Heidegger dan Quine, menggeser fokus ke dimensi eksistensial dan empiris, memberikan pendekatan baru untuk memahami keberadaan dalam konteks ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia.³

Secara keseluruhan, ontologi tidak hanya membahas entitas fisik, tetapi juga melibatkan aspek abstrak seperti ide, angka, dan konsep, serta implikasinya terhadap nilai dan etika. Perdebatan antara realisme, nominalisme, materialisme, dan idealisme menunjukkan kompleksitas pertanyaan ini. Jawaban atas "Apa yang ada?" bergantung pada kerangka konseptual yang digunakan, baik metafisis, epistemologis, maupun empiris.

5.2.       Rekomendasi

Penelitian lanjutan diperlukan untuk menjawab tantangan ontologis yang muncul di era modern, terutama terkait perkembangan teknologi dan sains. Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah:

1)                  Integrasi Ontologi dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Pendekatan multidisiplin diperlukan untuk menjembatani ontologi dengan sains, terutama dalam fisika kuantum, biologi molekuler, dan teknologi kecerdasan buatan.⁴ Studi tentang keberadaan entitas digital, seperti data dan algoritma, menjadi relevan untuk menjawab pertanyaan ontologis dalam konteks dunia virtual.⁵

2)                  Pengembangan Filsafat Lingkungan

Kajian ontologi tentang keberadaan alam dapat memberikan kontribusi penting dalam filsafat lingkungan. Pandangan ontologis yang mengakui nilai intrinsik alam, seperti yang diajukan oleh Arne Naess dalam ekologi mendalam, dapat menjadi dasar etika lingkungan yang lebih holistik.⁶

3)                  Peningkatan Pemahaman Ontologi dalam Pendidikan

Pendidikan filsafat di berbagai tingkatan perlu mengintegrasikan kajian ontologi agar peserta didik dapat memahami konsep keberadaan secara mendalam dan kritis. Ini penting untuk membangun fondasi berpikir yang kokoh dalam menghadapi tantangan global.

5.3.       Imbauan

Kajian ontologi tidak boleh dilihat sebagai wacana abstrak yang jauh dari kehidupan praktis. Sebaliknya, pemahaman yang mendalam tentang "apa yang ada" memiliki implikasi signifikan dalam cara manusia memahami dirinya sendiri, dunia di sekitarnya, dan hubungan antarkeduanya. Ontologi yang komprehensif dapat membantu menciptakan pandangan dunia yang lebih inklusif, rasional, dan etis, yang relevan untuk menjawab tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]              Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 132-133; Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-520; Aristoteles, Metaphysics, terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.

[2]              René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.

[3]              Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-35; Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.

[4]              Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin, 1958), hlm. 135-140.

[5]              Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 85-90.

[6]              Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), hlm. 75-80.


Daftar Pustaka (APA Style)

Abelard, P. (1999). Dialectica. Dalam J. Marenbon (Ed.), The philosophy of Peter Abelard (hlm. 132–135). Cambridge: Cambridge University Press.

Aristoteles. (1908). Metaphysics. (W. D. Ross, Terj.). Oxford: Clarendon Press.

Berkeley, G. (1998). Principles of human knowledge. Oxford: Oxford University Press.

Barnes, J. (Ed.). (1987). The Presocratics: Philosophical fragments. Oxford: Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford: Oxford University Press.

Frege, G. (1953). The foundations of arithmetic. Oxford: Blackwell.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy. London: Penguin.

Heidegger, M. (1962). Being and time. (J. Macquarrie & E. Robinson, Terj.). Oxford: Blackwell.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason. (N. Kemp Smith, Terj.). New York: Macmillan.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle. Cambridge: Cambridge University Press.

Newton, I. (1687). Principia mathematica. London: Royal Society.

Plato. (1968). The republic. (A. Bloom, Terj.). New York: Basic Books.

Quine, W. V. O. (1953). On what there is. Dalam From a logical point of view (hlm. 1–19). Cambridge: Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard University Press.

Watson, J. (2003). DNA: The secret of life. New York: Alfred A. Knopf.


Lampiran 1:

Tabel Perbandingan Teori Ontologi

No

Aspek

Metafisika Klasik

Ontologi Modern

Ontologi Kontemporer

1.

Konsep Utama

Universalitas, ketetapan, substansi

Dualisme substansi, fenomena vs. noumena

Being, empirisme logis

2.

Fokus Utama

Realitas absolut (statis atau dinamis)

Hubungan antara realitas dan persepsi manusia

Dimensi eksistensial dan koherensi teori ilmiah

3.

Contoh Filsuf

Parmenides, Plato, Aristoteles

René Descartes, Immanuel Kant

Martin Heidegger, Willard Van Orman Quine

4.

Keunggulan

Memberikan dasar bagi pemikiran filosofis selanjutnya

Menjembatani metafisika dengan epistemologi

Mengintegrasikan ontologi dengan ilmu pengetahuan dan eksistensialisme

5.

Kritik Utama

Terlalu idealistik atau rigid untuk realitas dinamis

Menciptakan dikotomi yang sulit dijelaskan (Descartes) atau terlalu subjektif (Kant)

Terlalu abstrak (Heidegger) atau terlalu empiris (Quine)


Berikut adalah penjelasan isi tabel Perbandingan Teori Ontologi:

1.            Konsep Utama

Metafisika klasik berfokus pada konsep universalitas, ketetapan, dan substansi. Filsuf seperti Parmenides menekankan sifat tetap dari keberadaan, sementara Aristoteles mendasarkan ontologi pada substansi sebagai elemen dasar realitas. Di era modern, konsep dualisme substansi yang dikembangkan oleh René Descartes dan distingsi fenomena-noumena oleh Kant memperkenalkan ide bahwa keberadaan dapat dibagi antara realitas material dan realitas mental. Sementara itu, filsafat kontemporer, seperti pandangan Heidegger dan Quine, memindahkan fokus pada makna being (keberadaan itu sendiri) serta pendekatan empirisme logis untuk menjelaskan keberadaan dalam konteks ilmu pengetahuan.


2.            Fokus Utama

Metafisika klasik menyoroti realitas absolut, baik yang statis (seperti yang diusulkan Parmenides) maupun dinamis (seperti Aristoteles yang mengakui perubahan sebagai bagian dari keberadaan). Filsafat modern bergeser ke relasi antara realitas dan persepsi manusia, dengan Kant yang membatasi realitas pada fenomena yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Sebaliknya, filsafat kontemporer lebih menekankan pada dimensi eksistensial (seperti dalam pemikiran Heidegger) atau koherensi teori ilmiah (seperti dalam pandangan Quine).


3.            Contoh Filsuf

Metafisika klasik diwakili oleh Parmenides, Plato, dan Aristoteles, yang masing-masing menawarkan pandangan mendasar tentang keberadaan. Pada era modern, pemikiran René Descartes dan Immanuel Kant menjadi landasan baru dalam memahami hubungan antara keberadaan dan pemikiran manusia. Di era kontemporer, Martin Heidegger dengan pendekatan eksistensialisme dan Willard Van Orman Quine dengan analisis empirisme logis menjadi dua tokoh utama dalam pengembangan teori ontologi.


4.            Keunggulan

Metafisika klasik memberikan dasar bagi pemikiran filosofis selanjutnya, dengan konsep-konsep seperti substansi dan universalitas yang tetap relevan dalam berbagai diskusi filsafat. Ontologi modern berkontribusi dalam menjembatani metafisika dengan epistemologi, khususnya melalui gagasan Kant tentang batas kemampuan manusia dalam memahami realitas. Ontologi kontemporer unggul dalam mengintegrasikan kajian keberadaan dengan ilmu pengetahuan dan eksistensialisme, memberikan relevansi pada persoalan modern seperti keberadaan dalam dunia digital dan kecerdasan buatan.


5.            Kritik Utama

Metafisika klasik sering dikritik karena terlalu idealistik atau rigid untuk menjelaskan realitas dinamis. Pandangan Parmenides, misalnya, mengabaikan perubahan sebagai bagian dari keberadaan. Ontologi modern menghadapi kritik karena menciptakan dikotomi yang sulit dijelaskan (seperti dualisme Descartes) atau terlalu subjektif dalam memahami realitas (seperti pada Kant). Di sisi lain, filsafat kontemporer terkadang dianggap terlalu abstrak (Heidegger) atau terlalu empiris (Quine), sehingga kehilangan elemen metafisik yang menjadi dasar ontologi tradisional.


Dengan memahami perbandingan ini, pembaca dapat melihat evolusi gagasan ontologi dari metafisika klasik hingga filsafat kontemporer serta tantangan yang dihadapi masing-masing pendekatan dalam menjawab pertanyaan fundamental "Apa yang ada?"


Lampiran 2:

Berikut adalah beberapa kutipan langsung dari sumber-sumber utama yang relevan dengan kajian ontologi tentang pertanyaan "Apa yang ada?":

1.            Metafisika Klasik

Parmenides

"What is, is; what is not, is not. You cannot know what is not—that is impossible—nor utter it; for it is the same thing that can be thought and that can be."

(Parmenides, dalam Barnes, J. The Presocratics: Philosophical Fragments, Oxford University Press, 1987, hlm. 132-133).

Plato

"This entire allegory, I said, you may now append, dear Glaucon, to the previous argument; the prison-house is the world of sight, the light of the fire is the sun, and you will not misapprehend me if you interpret the journey upwards to be the ascent of the soul into the intellectual world."

(Plato, The Republic, Buku VII, terj. A. Bloom, Basic Books, 1968, hlm. 514-520).

Aristoteles

"Substance is the primary category of being. It is that which exists in itself and not in another, the bearer of attributes, and the ultimate subject of predication."

(Aristoteles, Metaphysics, Buku VII, terj. W.D. Ross, Clarendon Press, 1908, hlm. 1041a).


2.            Ontologi Modern

René Descartes

"I think, therefore I am (Cogito, ergo sum). From this principle, I conclude that the thinking self is distinct from the body, which belongs to the extended realm of matter."

(Descartes, R., Meditations on First Philosophy, Cambridge University Press, 1996, hlm. 23-31).

Immanuel Kant

"Appearances are to be regarded as being, one and all, representations only, and not things in themselves; and in the absence of this distinction, we are left with absurd conclusions."

(Kant, I., Critique of Pure Reason, terj. N. Kemp Smith, Macmillan, 1929, hlm. 27-35).


3.            Ontologi Kontemporer

Martin Heidegger

"The question of Being is the most fundamental of all questions, yet it has been forgotten by the tradition of Western philosophy. We must retrieve this question and clarify what it means to be."

(Heidegger, M., Being and Time, terj. J. Macquarrie & E. Robinson, Blackwell, 1962, hlm. 25-35).

Willard Van Orman Quine

"A curious thing about the ontological problem is its simplicity. It can be put in three Anglo-Saxon monosyllables: What is there? Everything. Why bother?"

(Quine, W. V. O., "On What There Is," dalam From a Logical Point of View, Harvard University Press, 1953, hlm. 1-19).


4.            Implikasi Ontologi

George Berkeley

"To be is to be perceived (Esse est percipi). Nothing exists outside of the mind perceiving it. This denies the existence of material substance independent of perception."

(Berkeley, G., Principles of Human Knowledge, Oxford University Press, 1998, hlm. 25-30).

Werner Heisenberg

"What we observe is not nature itself, but nature exposed to our method of questioning. The very act of observation changes the phenomenon being observed."

(Heisenberg, W., Physics and Philosophy, Penguin, 1958, hlm. 135-140).


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar