Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa yang ada?
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ontologi, sebagai salah satu cabang utama filsafat,
memiliki perhatian mendalam terhadap hakikat keberadaan (being) dan
realitas (reality). Pertanyaan mendasar "Apa yang ada?"
bukan hanya menjadi perdebatan di ranah filsafat klasik, tetapi juga relevan
dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern. Dalam tradisi
filsafat Yunani kuno, Parmenides menyatakan bahwa "yang ada itu ada,
dan yang tiada itu tidak ada," yang menjadi titik awal dalam
perdebatan tentang keberadaan dan non-keberadaan. Plato dan Aristoteles
kemudian memperluas diskursus ini, dengan Plato berfokus pada dunia ide sebagai
realitas hakiki, sedangkan Aristoteles mengusulkan teori substansi yang
mengutamakan eksistensi konkret sebagai dasar segala sesuatu.¹
Di era modern, René Descartes dengan dualisme
substansinya (res cogitans dan res extensa) memperkenalkan
pendekatan baru untuk memahami realitas, sementara Immanuel Kant membedakan
antara fenomena (dunia sebagaimana kita mengalaminya) dan noumena
(dunia sebagaimana adanya).² Dalam filsafat kontemporer, Martin Heidegger
menggeser fokus ontologi dari "apa yang ada" menjadi "bagaimana
ada itu dipahami," yang memberikan dimensi eksistensial
dalam memahami keberadaan.³ Dengan demikian, pertanyaan "Apa yang ada?"
tetap menjadi inti dari refleksi filsafat sepanjang sejarah.
1.2. Rumusan Masalah
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan inti: Bagaimana
filsafat, melalui berbagai aliran dan pendekatannya, menjawab pertanyaan
ontologis "Apa yang ada?". Pertanyaan ini melibatkan eksplorasi
konsep keberadaan, baik dari perspektif metafisika klasik maupun filsafat
kontemporer, serta bagaimana implikasi jawaban tersebut berdampak pada
pemahaman manusia tentang realitas.
1.3. Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menyajikan kajian komprehensif mengenai bagaimana pertanyaan ontologi
"Apa yang ada?" dijawab oleh berbagai aliran filsafat dari masa ke
masa.
2)
Mengidentifikasi perdebatan utama dalam ontologi terkait konsep
keberadaan.
3)
Menggali relevansi kajian ontologi dalam konteks ilmu pengetahuan modern
dan kehidupan kontemporer.
1.4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
berbasis studi literatur (library research). Sumber utama terdiri dari
karya-karya klasik, seperti Metaphysics karya Aristoteles, The
Republic karya Plato, serta karya filsafat modern dan kontemporer, seperti Being
and Time karya Martin Heidegger dan On What There Is karya Willard
Van Orman Quine. Kajian ini juga melibatkan analisis kritis terhadap artikel
jurnal dan literatur sekunder untuk menyusun pembahasan yang mendalam dan
valid.⁴
Catatan Kaki
[1]
Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.),
The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 130-135.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31; Immanuel Kant, Critique of
Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm.
27-35.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie &
Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-30.
[4]
Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical
Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
2.
Landasan
Teoretis
2.1.
Definisi Ontologi
Ontologi berasal
dari bahasa Yunani, ontos yang berarti "keberadaan"
dan logos
yang berarti "ilmu"
atau "kajian." Sebagai cabang filsafat, ontologi berfokus pada
studi tentang apa yang ada (what exists), hakikat keberadaan (nature of being),
dan kategori eksistensi.¹ Dalam pemikiran Aristoteles, ontologi dikenal sebagai
metafisika, yakni studi tentang prinsip-prinsip pertama keberadaan yang
mendasari segala sesuatu.² Di era kontemporer, Willard Van Orman Quine
mendefinisikan ontologi sebagai upaya menjawab pertanyaan "Apa yang ada?"
melalui analisis logis dan linguistik.³
2.2.
Sejarah Pertanyaan Ontologi
2.2.1.
Ontologi dalam Filsafat Yunani Kuno
Filsafat Yunani kuno
menjadi fondasi utama kajian ontologi. Parmenides, seorang filsuf pra-Sokrates,
menyatakan bahwa keberadaan adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Ia
berpendapat, "Yang ada itu ada, dan yang tidak ada itu tidak ada,"
sehingga menolak keberadaan perubahan atau kekosongan.⁴ Plato kemudian
membedakan antara dunia ide yang sempurna dan dunia nyata yang penuh perubahan,
di mana keberadaan sejati hanya dapat ditemukan dalam dunia ide.⁵ Aristoteles,
berbeda dari Plato, memusatkan perhatian pada substansi sebagai inti
keberadaan. Menurutnya, substansi adalah entitas yang menjadi dasar eksistensi
segala sesuatu.⁶
2.2.2.
Ontologi di Era Modern
Pada era modern,
Descartes memperkenalkan dualisme substansi, yaitu res cogitans (substansi
berpikir) dan res extensa (substansi material), yang berusaha menjelaskan
keberadaan manusia dan dunia material secara terpisah.⁷ Immanuel Kant
memperluas diskursus ini dengan membedakan fenomena (realitas sebagaimana yang kita persepsikan) dan noumena (realitas
sebagaimana adanya). Bagi Kant, kita tidak pernah bisa memahami noumena
sepenuhnya, karena keterbatasan indra dan akal manusia.⁸
2.2.3.
Ontologi Kontemporer
Di era kontemporer,
Martin Heidegger menggeser fokus kajian ontologi dengan meneliti hakikat "Being"
(keberadaan) itu sendiri. Dalam Being and Time, ia berpendapat
bahwa pertanyaan tentang keberadaan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman
manusia sebagai makhluk yang berada di dunia (Dasein).⁹ Sementara itu, Quine
melalui esainya, On What There Is, mengajukan
pendekatan empiris terhadap ontologi,
dengan menyatakan bahwa keberadaan sesuatu ditentukan oleh kebutuhan kita untuk
memasukkannya dalam teori ilmiah yang koheren.¹⁰
2.3.
Dimensi Ontologi
2.3.1.
Realisme vs. Nominalisme
Realisme ontologis
menyatakan bahwa keberadaan sesuatu bersifat objektif dan independen dari
pikiran manusia. Sebaliknya, nominalisme menolak keberadaan universal dan hanya mengakui entitas konkret
sebagai sesuatu yang benar-benar ada.¹¹
2.3.2.
Materialisme vs. Idealisme
Materialisme
memandang bahwa hanya entitas material yang ada, sedangkan idealisme berpendapat bahwa realitas sepenuhnya
bergantung pada pikiran atau ide.¹²
2.3.3.
Substansi, Relasi, dan Atribut
Aristoteles
memperkenalkan konsep substansi sebagai esensi keberadaan, sementara relasi dan
atribut adalah sifat-sifat
yang melekat pada substansi tersebut.¹³ Konsep ini menjadi dasar dalam kajian
ontologi hingga era modern.
Catatan Kaki
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics
(Boulder: Westview Press, 2002), hlm. 13-14.
[2]
Aristoteles, Metaphysics,
terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku IV, hlm. 1012b.
[3]
Willard Van Orman Quine,
“On What There Is,” dalam From a Logical Point of View
(Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
[4]
Parmenides, Fragments
of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The
Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 132.
[5]
Plato, The
Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968),
Buku VII, hlm. 514-521.
[6]
Aristoteles, Metaphysics,
Buku VII, hlm. 1041a.
[7]
René Descartes, Meditations
on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
hlm. 23-31.
[8]
Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan,
1929), hlm. 27-35.
[9]
Martin Heidegger, Being and
Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford:
Blackwell, 1962), hlm. 25-30.
[10]
Willard Van Orman Quine,
“On What There Is,” dalam From a Logical Point of View
(Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
[11]
Peter Abelard, Dialectica,
dalam John Marenbon (ed.), The Philosophy of Peter Abelard
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 132-135.
[12]
George Berkeley, Principles
of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm.
25-30.
[13]
Aristoteles, Metaphysics,
Buku V, hlm. 1017a.
3.
Pembahasan
3.1.
Berbagai Pendekatan untuk Menjawab "Apa
yang Ada?"
3.1.1.
Metafisika Klasik
Dalam metafisika
klasik, filsuf Yunani kuno memberikan jawaban mendasar atas pertanyaan
ontologis "Apa yang ada?" dengan berbagai pendekatan.
1)
Parmenides
Parmenides adalah filsuf pertama yang menyatakan
bahwa keberadaan bersifat mutlak. Dalam pandangannya, "yang ada itu ada,
dan yang tiada itu tidak ada."¹ Parmenides menolak perubahan dan
pluralitas sebagai ilusi, menyatakan bahwa keberadaan bersifat tetap dan abadi.
Konsep ini menimbulkan kritik dari Herakleitos, yang justru memandang
keberadaan sebagai proses perubahan yang dinamis.²
2)
Plato
Plato mengembangkan pandangan Parmenides dalam
teorinya tentang dunia ide (Theory of Forms). Ia berpendapat bahwa
keberadaan sejati (true being) berada di dunia ide, yang tidak dapat
diakses melalui indra tetapi hanya melalui akal. Dunia fisik hanyalah bayangan
atau refleksi dari dunia ide.³
3)
Aristoteles
Berbeda dengan Plato, Aristoteles menempatkan
substansi (ousia) sebagai inti keberadaan. Dalam Metaphysics,
ia mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang dapat berdiri sendiri dan
menjadi dasar eksistensi bagi sifat atau atribut.⁴ Aristoteles juga
memperkenalkan kategori ontologi, termasuk substansi, kuantitas, kualitas,
relasi, waktu, dan tempat.⁵
3.1.2.
Ontologi Modern
Pada era modern, filsuf seperti Descartes dan Kant memberikan
pendekatan baru dalam menjawab pertanyaan ontologi.
1)
René Descartes
Descartes memperkenalkan dualisme substansi,
yaitu res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa
(substansi material). Ia memandang bahwa keberadaan manusia melibatkan
keberadaan pikiran yang tidak dapat direduksi menjadi materi.⁶
2)
Immanuel Kant
Kant mengkritik metafisika klasik dengan
membedakan antara fenomena (realitas yang tampak kepada kita melalui pengalaman
indrawi) dan noumena (realitas yang ada di luar kemampuan indra manusia). Ia
berpendapat bahwa manusia tidak pernah dapat memahami keberadaan noumena secara
langsung karena keterbatasan akal budi.⁷
3.1.3.
Ontologi Kontemporer
Di era kontemporer,
filsuf seperti Martin Heidegger dan Willard Van Orman Quine memperluas diskusi ontologi dengan fokus
yang berbeda.
1)
Martin Heidegger
Heidegger memusatkan perhatian pada "Being"
(Sein), bukan hanya entitas yang ada. Dalam Being and Time,
ia menyatakan bahwa manusia sebagai Dasein (ada-di-dunia) memiliki
hubungan eksistensial dengan keberadaan.⁸ Heidegger menegaskan pentingnya
memahami makna keberadaan sebelum membahas kategori spesifik tentang "apa
yang ada."⁹
2)
Willard Van Orman Quine
Quine, dalam esainya "On What There Is,"
menyatakan bahwa keberadaan sesuatu dapat ditentukan melalui kebutuhan teoretis.
Ia menolak dikotomi antara analitik dan sintetis, mengusulkan bahwa ontologi
harus ditentukan melalui logika dan koherensi teoretis.¹⁰
3.2.
Debat Utama dalam Ontologi
1)
Realisme vs. Nominalisme
Perdebatan ini berkaitan dengan status universal.
Realisme menyatakan bahwa universal (seperti konsep "merah")
memiliki keberadaan nyata, sementara nominalisme memandang bahwa hanya
individu-individu konkret yang ada.¹¹
2)
Materialisme vs. Idealisme
Materialisme berpendapat bahwa keberadaan
terbatas pada materi fisik, sementara idealisme, seperti yang diusung oleh
George Berkeley, menyatakan bahwa keberadaan sepenuhnya bergantung pada
persepsi dan pikiran.¹²
3)
Eksistensi Entitas Abstrak
Apakah entitas seperti angka, konsep, atau
kategori memiliki keberadaan independen? Para filsuf seperti Frege dan Russell
mendukung eksistensi entitas abstrak sebagai elemen penting dalam logika dan
matematika.¹³
3.3.
Implikasi Jawaban Ontologi
1)
Dalam Ilmu Pengetahuan
Pendekatan ontologi berdampak pada cara ilmu
pengetahuan mendefinisikan realitas. Contohnya, teori kuantum memaksa kita
mempertimbangkan ulang kategori ontologis, seperti partikel subatomik yang
eksistensinya bergantung pada pengamatan.¹⁴
2)
Dalam Etika dan Nilai
Pemahaman tentang apa yang ada berkontribusi pada
kerangka nilai dan etika. Sebagai contoh, keberadaan manusia sebagai entitas
rasional menjadi dasar hak asasi manusia dalam filsafat politik modern.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Parmenides, Fragments
of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.), The
Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 132-133.
[2]
Herakleitos, Fragments
of Heraclitus, dalam Philip Wheelwright (ed.), The
Presocratics (New York: Macmillan, 1966), hlm. 50.
[3]
Plato, The
Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968),
Buku VII, hlm. 514-520.
[4]
Aristoteles, Metaphysics,
terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.
[5]
Aristoteles, Metaphysics,
Buku V, hlm. 1017a.
[6]
René Descartes, Meditations
on First Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
hlm. 23-31.
[7]
Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan,
1929), hlm. 27-35.
[8]
Martin Heidegger, Being
and Time, terjemahan John Macquarrie & Edward Robinson (Oxford:
Blackwell, 1962), hlm. 25-35.
[9]
Ibid., hlm. 50.
[10]
Willard Van Orman Quine,
“On What There Is,” dalam From a Logical Point of View
(Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
[11]
Peter Abelard, Dialectica,
dalam John Marenbon (ed.), The Philosophy of Peter Abelard
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 132-135.
[12]
George Berkeley, Principles
of Human Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm.
25-30.
[13]
Gottlob Frege, The
Foundations of Arithmetic (Oxford: Blackwell, 1953), hlm. 3-10.
[14]
Werner Heisenberg, Physics
and Philosophy (London: Penguin, 1958), hlm. 125-135.
[15]
John Rawls, A Theory
of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm.
513-520.
4.
Analisis
Kritis
4.1.
Perbandingan
Jawaban Ontologis
Jawaban atas pertanyaan ontologi “Apa yang ada?”
telah berkembang dalam berbagai kerangka berpikir, masing-masing dengan
kekuatan dan kelemahannya. Analisis ini akan membandingkan tiga pendekatan
utama: metafisika klasik, filsafat modern, dan filsafat kontemporer.
1)
Metafisika Klasik
Filsafat
Yunani kuno, seperti yang diusung oleh Parmenides, Plato, dan Aristoteles,
menekankan konsep universalitas dan ketetapan. Pandangan Parmenides tentang
keberadaan sebagai sesuatu yang statis dianggap terlalu idealistik karena
mengabaikan perubahan yang jelas terjadi di dunia nyata.¹ Plato, dengan
teorinya tentang dunia ide, memberikan pandangan yang lebih transendental,
tetapi dikritik karena memisahkan dunia fisik dari realitas sejati.²
Sebaliknya, Aristoteles menawarkan pendekatan yang lebih membumi dengan teori
substansi, tetapi konsep substansi ini sering dianggap terlalu rigid untuk
memahami realitas yang dinamis.³
2)
Filsafat Modern
Dualisme
Descartes memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan keberadaan manusia
sebagai kombinasi pikiran dan materi, tetapi dikritik karena menciptakan
dualitas yang sulit dijelaskan, yaitu bagaimana pikiran dan tubuh saling
berinteraksi.⁴ Kant, dengan distingsi fenomena dan noumena, berhasil menjembatani
metafisika klasik dengan epistemologi, tetapi pendekatannya dianggap terlalu
subjektif karena membatasi akses manusia pada realitas yang sebenarnya.⁵
3)
Filsafat Kontemporer
Heidegger
menggantikan fokus dari "apa yang ada" menjadi "bagaimana
keberadaan itu dipahami," memberikan pendekatan eksistensial terhadap
pertanyaan ontologi. Pendekatannya relevan dalam memahami pengalaman manusia,
tetapi kritik sering muncul karena gaya penulisannya yang kompleks dan sulit
diakses.⁶ Quine, di sisi lain, membawa ontologi ke ranah logika dan sains,
tetapi pandangannya yang terlalu bergantung pada empirisme sering dianggap
mengabaikan dimensi metafisis dari keberadaan.⁷
4.2.
Kontribusi
Ontologi bagi Ilmu Pengetahuan Modern
1)
Ontologi dan Fisika
Ontologi
klasik memberikan dasar bagi perkembangan konsep substansi dalam fisika modern,
misalnya dalam memahami massa dan energi sebagai aspek fundamental keberadaan.⁸
Di era kontemporer, teori kuantum menantang pandangan ontologis klasik dengan
menunjukkan bahwa partikel subatomik tidak memiliki eksistensi tetap, melainkan
bergantung pada pengamatan.⁹
2)
Ontologi dan Biologi
Dalam
biologi, perdebatan ontologi muncul dalam diskusi tentang esensi kehidupan.
Apakah kehidupan merupakan keberadaan materi murni (materialisme) atau melibatkan
aspek non-materi, seperti kesadaran atau jiwa (idealisme)? Pendekatan ontologis
ini menjadi penting dalam etika medis, seperti debat tentang euthanasia dan hak
embrio.¹⁰
4.3.
Kontekstualisasi
dengan Kehidupan Modern
1)
Identitas dan Teknologi
Dalam era
teknologi modern, pertanyaan ontologi menjadi relevan dalam mendefinisikan
entitas digital seperti data, kecerdasan buatan, dan realitas virtual. Apakah
keberadaan digital memiliki esensi yang sama dengan entitas fisik? Pertanyaan
ini penting dalam isu-isu hak cipta dan etika teknologi.¹¹
2)
Keberlanjutan dan Ekologi
Dalam
konteks krisis lingkungan, ontologi membantu menjawab pertanyaan tentang status
keberadaan alam. Apakah alam hanya merupakan sumber daya bagi manusia (antropo-sentrisme)
atau memiliki nilai keberadaan yang intrinsik? Pendekatan ini relevan dalam
filsafat lingkungan dan gerakan keberlanjutan.¹²
4.4.
Kritik
terhadap Pendekatan Ontologi
1)
Keterbatasan Ontologi Klasik
Fokus pada
entitas universal sering kali mengabaikan keberadaan individu atau partikular
yang nyata. Sebagai contoh, Aristoteles memprioritaskan substansi atas relasi,
padahal relasi juga merupakan elemen penting keberadaan.¹³
2)
Kritik terhadap Ontologi Modern
Pendekatan
Kantian yang membatasi realitas pada fenomena dianggap mengurangi dimensi
metafisika, sehingga filsafat modern sering dianggap terlalu fokus pada
epistemologi dibandingkan keberadaan itu sendiri.¹⁴
3)
Kritik terhadap Ontologi Kontemporer
Pendekatan
eksistensial Heidegger menghadapi kritik karena sulit diterapkan dalam konteks
ilmu pengetahuan yang membutuhkan jawaban yang lebih konkret. Sementara itu,
pendekatan Quine yang terlalu berbasis empirisme mengabaikan dimensi spiritual
atau metafisis yang menjadi bagian penting dari keberadaan manusia.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.),
The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 132-133.
[2]
Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom (New York: Basic
Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-520.
[3]
Aristoteles, Metaphysics, terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terjemahan Norman Kemp
Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm. 27-35.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie
& Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-35.
[7]
Willard Van Orman Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical
Point of View (Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
[8]
Isaac Newton, Principia Mathematica (London: Royal Society,
1687), Buku I, hlm. 55.
[9]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin,
1958), hlm. 135-140.
[10]
James Watson, DNA: The Secret of Life (New York: Alfred A. Knopf,
2003), hlm. 217-220.
[11]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm.
85-90.
[12]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), hlm. 75-80.
[13]
Aristoteles, Metaphysics, Buku V, hlm. 1017a.
[14]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 45-50.
[15]
Martin Heidegger, Being and Time, hlm. 60.
5.
Penutup
5.1. Kesimpulan
Kajian ontologi tentang pertanyaan "Apa
yang ada?" telah menjadi inti dari diskursus filsafat sejak zaman
Yunani kuno hingga era kontemporer. Dalam tradisi klasik, Parmenides, Plato,
dan Aristoteles memberikan pandangan yang mendasar tentang keberadaan, dari
keberadaan sebagai sesuatu yang statis hingga konsep substansi sebagai inti
eksistensi.¹ Di era modern, pemikiran Descartes dan Kant memperluas pemahaman
ini dengan mengintegrasikan dualisme dan keterbatasan epistemologi manusia
terhadap realitas.² Sementara itu, filsafat kontemporer, seperti yang diusung
Heidegger dan Quine, menggeser fokus ke dimensi eksistensial dan empiris,
memberikan pendekatan baru untuk memahami keberadaan dalam konteks ilmu
pengetahuan dan kehidupan manusia.³
Secara keseluruhan, ontologi tidak hanya membahas
entitas fisik, tetapi juga melibatkan aspek abstrak seperti ide, angka, dan
konsep, serta implikasinya terhadap nilai dan etika. Perdebatan antara
realisme, nominalisme, materialisme, dan idealisme menunjukkan kompleksitas pertanyaan
ini. Jawaban atas "Apa yang ada?" bergantung pada kerangka
konseptual yang digunakan, baik metafisis, epistemologis, maupun empiris.
5.2. Rekomendasi
Penelitian lanjutan diperlukan untuk menjawab
tantangan ontologis yang muncul di era modern, terutama terkait perkembangan
teknologi dan sains. Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah:
1)
Integrasi Ontologi dengan Ilmu Pengetahuan Modern
Pendekatan
multidisiplin diperlukan untuk menjembatani ontologi dengan sains, terutama
dalam fisika kuantum, biologi molekuler, dan teknologi kecerdasan buatan.⁴
Studi tentang keberadaan entitas digital, seperti data dan algoritma, menjadi
relevan untuk menjawab pertanyaan ontologis dalam konteks dunia virtual.⁵
2)
Pengembangan Filsafat Lingkungan
Kajian
ontologi tentang keberadaan alam dapat memberikan kontribusi penting dalam
filsafat lingkungan. Pandangan ontologis yang mengakui nilai intrinsik alam,
seperti yang diajukan oleh Arne Naess dalam ekologi mendalam, dapat menjadi
dasar etika lingkungan yang lebih holistik.⁶
3)
Peningkatan Pemahaman Ontologi dalam Pendidikan
Pendidikan
filsafat di berbagai tingkatan perlu mengintegrasikan kajian ontologi agar
peserta didik dapat memahami konsep keberadaan secara mendalam dan kritis. Ini
penting untuk membangun fondasi berpikir yang kokoh dalam menghadapi tantangan
global.
5.3. Imbauan
Kajian ontologi tidak boleh dilihat sebagai wacana
abstrak yang jauh dari kehidupan praktis. Sebaliknya, pemahaman yang mendalam
tentang "apa yang ada" memiliki implikasi signifikan dalam
cara manusia memahami dirinya sendiri, dunia di sekitarnya, dan hubungan
antarkeduanya. Ontologi yang komprehensif dapat membantu menciptakan pandangan
dunia yang lebih inklusif, rasional, dan etis, yang relevan untuk menjawab
tantangan zaman.
Catatan Kaki
[1]
Parmenides, Fragments of Parmenides, dalam Jonathan Barnes (ed.),
The Presocratics: Philosophical Fragments (Oxford: Oxford University
Press, 1987), hlm. 132-133; Plato, The Republic, terjemahan Allan Bloom
(New York: Basic Books, 1968), Buku VII, hlm. 514-520; Aristoteles, Metaphysics,
terjemahan W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), Buku VII, hlm. 1041a.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), hlm. 23-31; Immanuel Kant, Critique of
Pure Reason, terjemahan Norman Kemp Smith (New York: Macmillan, 1929), hlm.
27-35.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, terjemahan John Macquarrie
& Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), hlm. 25-35; Willard Van Orman
Quine, “On What There Is,” dalam From a Logical Point of View
(Cambridge: Harvard University Press, 1953), hlm. 1-19.
[4]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (London: Penguin,
1958), hlm. 135-140.
[5]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm.
85-90.
[6]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), hlm. 75-80.
Daftar Pustaka (APA Style)
Abelard, P. (1999). Dialectica.
Dalam J. Marenbon (Ed.), The philosophy of Peter Abelard (hlm.
132–135). Cambridge: Cambridge University Press.
Aristoteles. (1908). Metaphysics.
(W. D. Ross, Terj.). Oxford: Clarendon Press.
Berkeley, G. (1998). Principles
of human knowledge. Oxford: Oxford University Press.
Barnes, J. (Ed.). (1987). The
Presocratics: Philosophical fragments. Oxford: Oxford University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Floridi, L. (2014). The
fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford:
Oxford University Press.
Frege, G. (1953). The
foundations of arithmetic. Oxford: Blackwell.
Heisenberg, W. (1958). Physics
and philosophy. London: Penguin.
Heidegger, M. (1962). Being
and time. (J. Macquarrie & E. Robinson, Terj.). Oxford: Blackwell.
Kant, I. (1929). Critique
of pure reason. (N. Kemp Smith, Terj.). New York: Macmillan.
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle. Cambridge: Cambridge University Press.
Newton, I. (1687). Principia
mathematica. London: Royal Society.
Plato. (1968). The
republic. (A. Bloom, Terj.). New York: Basic Books.
Quine, W. V. O. (1953). On
what there is. Dalam From a logical point of view (hlm. 1–19).
Cambridge: Harvard University Press.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Cambridge: Harvard University Press.
Watson, J. (2003). DNA:
The secret of life. New York: Alfred A. Knopf.
Lampiran 1:
Tabel Perbandingan Teori Ontologi
No |
Aspek |
Metafisika Klasik |
Ontologi Modern |
Ontologi Kontemporer |
1. |
Konsep Utama |
Universalitas, ketetapan, substansi |
Dualisme substansi, fenomena vs.
noumena |
Being, empirisme logis |
2. |
Fokus Utama |
Realitas absolut (statis atau dinamis) |
Hubungan antara realitas dan persepsi
manusia |
Dimensi eksistensial dan koherensi
teori ilmiah |
3. |
Contoh Filsuf |
Parmenides, Plato, Aristoteles |
René Descartes, Immanuel Kant |
Martin Heidegger, Willard Van Orman
Quine |
4. |
Keunggulan |
Memberikan dasar bagi pemikiran
filosofis selanjutnya |
Menjembatani metafisika dengan
epistemologi |
Mengintegrasikan ontologi dengan ilmu
pengetahuan dan eksistensialisme |
5. |
Kritik Utama |
Terlalu idealistik atau rigid untuk
realitas dinamis |
Menciptakan dikotomi yang sulit
dijelaskan (Descartes) atau terlalu subjektif (Kant) |
Terlalu abstrak (Heidegger) atau
terlalu empiris (Quine) |
Berikut adalah penjelasan isi tabel Perbandingan
Teori Ontologi:
1.
Konsep
Utama
Metafisika klasik berfokus pada konsep
universalitas, ketetapan, dan substansi. Filsuf seperti Parmenides menekankan
sifat tetap dari keberadaan, sementara Aristoteles mendasarkan ontologi pada
substansi sebagai elemen dasar realitas. Di era modern, konsep dualisme
substansi yang dikembangkan oleh René Descartes dan distingsi fenomena-noumena
oleh Kant memperkenalkan ide bahwa keberadaan dapat dibagi antara realitas
material dan realitas mental. Sementara itu, filsafat kontemporer, seperti
pandangan Heidegger dan Quine, memindahkan fokus pada makna being
(keberadaan itu sendiri) serta pendekatan empirisme logis untuk menjelaskan
keberadaan dalam konteks ilmu pengetahuan.
2.
Fokus
Utama
Metafisika klasik menyoroti realitas absolut, baik
yang statis (seperti yang diusulkan Parmenides) maupun dinamis (seperti
Aristoteles yang mengakui perubahan sebagai bagian dari keberadaan). Filsafat
modern bergeser ke relasi antara realitas dan persepsi manusia, dengan Kant
yang membatasi realitas pada fenomena yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Sebaliknya, filsafat kontemporer lebih menekankan pada dimensi eksistensial
(seperti dalam pemikiran Heidegger) atau koherensi teori ilmiah (seperti dalam
pandangan Quine).
3.
Contoh
Filsuf
Metafisika klasik diwakili oleh Parmenides, Plato,
dan Aristoteles, yang masing-masing menawarkan pandangan mendasar tentang
keberadaan. Pada era modern, pemikiran René Descartes dan Immanuel Kant menjadi
landasan baru dalam memahami hubungan antara keberadaan dan pemikiran manusia.
Di era kontemporer, Martin Heidegger dengan pendekatan eksistensialisme dan
Willard Van Orman Quine dengan analisis empirisme logis menjadi dua tokoh utama
dalam pengembangan teori ontologi.
4.
Keunggulan
Metafisika klasik memberikan dasar bagi pemikiran
filosofis selanjutnya, dengan konsep-konsep seperti substansi dan universalitas
yang tetap relevan dalam berbagai diskusi filsafat. Ontologi modern
berkontribusi dalam menjembatani metafisika dengan epistemologi, khususnya
melalui gagasan Kant tentang batas kemampuan manusia dalam memahami realitas.
Ontologi kontemporer unggul dalam mengintegrasikan kajian keberadaan dengan
ilmu pengetahuan dan eksistensialisme, memberikan relevansi pada persoalan modern
seperti keberadaan dalam dunia digital dan kecerdasan buatan.
5.
Kritik
Utama
Metafisika klasik sering dikritik karena terlalu
idealistik atau rigid untuk menjelaskan realitas dinamis. Pandangan Parmenides,
misalnya, mengabaikan perubahan sebagai bagian dari keberadaan. Ontologi modern
menghadapi kritik karena menciptakan dikotomi yang sulit dijelaskan (seperti
dualisme Descartes) atau terlalu subjektif dalam memahami realitas (seperti
pada Kant). Di sisi lain, filsafat kontemporer terkadang dianggap terlalu
abstrak (Heidegger) atau terlalu empiris (Quine), sehingga kehilangan elemen
metafisik yang menjadi dasar ontologi tradisional.
Dengan memahami perbandingan ini, pembaca dapat
melihat evolusi gagasan ontologi dari metafisika klasik hingga filsafat
kontemporer serta tantangan yang dihadapi masing-masing pendekatan dalam
menjawab pertanyaan fundamental "Apa yang ada?"
Lampiran 2:
Berikut adalah beberapa kutipan langsung dari
sumber-sumber utama yang relevan dengan kajian ontologi tentang pertanyaan
"Apa yang ada?":
1.
Metafisika
Klasik
Parmenides
"What is, is; what is not, is not. You cannot know what is not—that
is impossible—nor utter it; for it is the same thing that can be thought and
that can be."
(Parmenides, dalam Barnes, J. The Presocratics:
Philosophical Fragments, Oxford University Press, 1987, hlm. 132-133).
Plato
"This entire allegory, I said, you may now append, dear Glaucon, to
the previous argument; the prison-house is the world of sight, the light of the
fire is the sun, and you will not misapprehend me if you interpret the journey
upwards to be the ascent of the soul into the intellectual world."
(Plato, The Republic, Buku VII, terj. A.
Bloom, Basic Books, 1968, hlm. 514-520).
Aristoteles
"Substance is the primary category of being. It is that which
exists in itself and not in another, the bearer of attributes, and the ultimate
subject of predication."
(Aristoteles, Metaphysics, Buku VII, terj.
W.D. Ross, Clarendon Press, 1908, hlm. 1041a).
2.
Ontologi
Modern
René Descartes
"I think, therefore I am (Cogito, ergo sum). From this principle, I
conclude that the thinking self is distinct from the body, which belongs to the
extended realm of matter."
(Descartes, R., Meditations on First Philosophy,
Cambridge University Press, 1996, hlm. 23-31).
Immanuel Kant
"Appearances are to be regarded as being, one and all,
representations only, and not things in themselves; and in the absence of this
distinction, we are left with absurd conclusions."
(Kant, I., Critique of Pure Reason, terj. N.
Kemp Smith, Macmillan, 1929, hlm. 27-35).
3.
Ontologi
Kontemporer
Martin Heidegger
"The question of Being is the most fundamental of all questions,
yet it has been forgotten by the tradition of Western philosophy. We must
retrieve this question and clarify what it means to be."
(Heidegger, M., Being and Time, terj. J.
Macquarrie & E. Robinson, Blackwell, 1962, hlm. 25-35).
Willard Van Orman Quine
"A curious thing about the ontological problem is its simplicity.
It can be put in three Anglo-Saxon monosyllables: What is there? Everything.
Why bother?"
(Quine, W. V. O., "On What There Is,"
dalam From a Logical Point of View, Harvard University Press, 1953, hlm.
1-19).
4.
Implikasi
Ontologi
George Berkeley
"To be is to be perceived (Esse est percipi). Nothing exists
outside of the mind perceiving it. This denies the existence of material
substance independent of perception."
(Berkeley, G., Principles of Human Knowledge,
Oxford University Press, 1998, hlm. 25-30).
Werner Heisenberg
"What we observe is not nature itself, but nature exposed to our
method of questioning. The very act of observation changes the phenomenon being
observed."
(Heisenberg, W., Physics and Philosophy,
Penguin, 1958, hlm. 135-140).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar