Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa esensi dari realitas?
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ontologi, sebagai cabang filsafat, mengajukan
pertanyaan mendasar tentang keberadaan dan realitas. Salah satu pertanyaan inti
dalam diskursus ini adalah: Apa esensi dari realitas? Pertanyaan ini
telah menjadi topik perdebatan yang panjang sejak masa Yunani Kuno hingga era
kontemporer. Di dunia Barat, filsuf seperti Plato dan Aristoteles memelopori
pembahasan esensi realitas, sementara tradisi filsafat Timur dan Islam juga
memberikan kontribusi signifikan dengan pendekatan metafisika yang khas.
Diskursus ini tidak hanya relevan dalam filsafat murni tetapi juga memiliki
implikasi terhadap epistemologi, etika, bahkan ilmu pengetahuan modern. Sebagai
contoh, konsep tentang realitas mendasari perkembangan teori kuantum,
kecerdasan buatan, dan bioteknologi dalam abad ke-21.
Pemahaman yang mendalam tentang esensi realitas
juga memiliki dampak langsung terhadap cara manusia memandang dirinya sendiri
dan lingkungannya. Sebagai makhluk yang terus-menerus mencari makna, manusia
bergantung pada jawaban pertanyaan ini untuk membentuk prinsip hidup yang lebih
terarah. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan menggali berbagai pandangan
filsafat tentang esensi realitas, baik dalam tradisi Barat, Timur, maupun
Islam, untuk memberikan jawaban yang menyeluruh dan seimbang.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam kajian ini, beberapa pertanyaan mendasar
dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas:
1)
Apa yang dimaksud dengan realitas, dan bagaimana konsep ini dipahami
dalam filsafat klasik dan modern?
2)
Bagaimana filsuf dalam berbagai tradisi menjelaskan esensi realitas,
baik dalam perspektif material maupun immaterial?
3)
Apa relevansi konsep-konsep ontologis ini dalam konteks ilmu pengetahuan
dan kehidupan kontemporer?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan utama artikel ini adalah:
1)
Menguraikan pengertian
esensi realitas dari perspektif filsafat secara mendalam.
2)
Membandingkan pandangan
dari tradisi Barat, Timur, dan Islam untuk menemukan benang merah atau
perbedaannya.
3)
Menghubungkan temuan ontologis
dengan relevansi praktis di dunia modern, termasuk dalam perkembangan sains dan
teknologi.
1.4. Metode Kajian
Artikel ini menggunakan pendekatan studi literatur
dengan menganalisis sumber-sumber primer seperti Republic karya Plato, Metaphysics
karya Aristoteles, dan Asfar Arba'ah karya Mulla Sadra, serta sumber
sekunder berupa buku dan jurnal akademik filsafat kontemporer. Pendekatan
kritis dan komparatif digunakan untuk menggali hubungan antar-teori dan
mengidentifikasi relevansi teorinya dengan konteks modern.
Catatan Kaki
[1]
Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.
[2]
Aristoteles, Metaphysics, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), Buku Zeta.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(Cambridge: World Wisdom, 2007), hlm. 45–67.
[4]
Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm.
12–34.
[5]
Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah
al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.
2.
Esensi
dan Realitas dalam Perspektif Ontologi
2.1.
Definisi Ontologi
Ontologi, sebagai
cabang filsafat, berfokus pada studi tentang keberadaan (being)
dan realitas (reality). Istilah ini berasal dari
kata Yunani ontos (berada) dan logos
(studi atau diskursus). Dalam pengertian luas, ontologi mengkaji apa yang ada, bagaimana sesuatu itu ada, dan
dalam bentuk apa ia ada. Martin Heidegger mendeskripsikan ontologi sebagai
kajian mendalam terhadap "pertanyaan tentang makna keberadaan" (Seinsfrage),
yang ia pandang sebagai inti dari seluruh filsafat.¹
Ontologi tidak
berdiri sendiri; ia berhubungan erat dengan epistemologi, yang membahas
bagaimana manusia mengetahui sesuatu, dan metafisika, yang membahas
prinsip-prinsip dasar di balik kenyataan. Sebagai landasan filsafat, ontologi
mempersoalkan realitas sebagai keseluruhan, baik yang bersifat konkret (fisik)
maupun abstrak (immaterial).²
2.2.
Definisi Esensi dan Realitas
2.2.1.
Esensi (Essentia)
Esensi secara
etimologis berasal dari kata Latin essentia, yang berarti "inti"
atau "sifat dasar" dari sesuatu. Dalam tradisi filsafat Barat,
Plato memandang esensi sebagai sesuatu yang bersifat kekal dan terletak dalam
dunia ide (realm of
forms). Dalam pandangan ini, esensi adalah "hakikat
sejati" yang ada di luar dunia fisik.³ Aristoteles, berbeda dari gurunya,
mengartikan esensi sebagai substansi (ousia), yaitu inti yang menjadikan
sesuatu itu ada dan dapat dikenali.⁴
Dalam filsafat
Islam, Ibn Sina menekankan perbedaan antara mahiyyah (esensi) dan wujud
(eksistensi). Esensi adalah
apa yang mendefinisikan sesuatu, sedangkan eksistensi adalah realitas
keberadaannya di dunia.⁵
2.2.2.
Realitas (Reality)
Realitas mengacu
pada apa yang benar-benar ada, baik
secara fisik maupun metafisik. Pandangan realitas terbagi menjadi dua kategori
utama:
1)
Materialisme:
Menyatakan bahwa realitas hanya terdiri dari materi fisik.
2)
Idealime:
Menganggap realitas sebagai produk dari pikiran atau konsep abstrak.
Dalam tradisi Timur,
seperti Buddhisme, realitas sering dipahami sebagai ilusi atau maya,
dengan inti realitas yang
bersifat kosong (sunyata).⁶
2.3.
Hubungan Antara Esensi dan Realitas
Dalam filsafat,
hubungan antara esensi
dan realitas sering kali diperdebatkan:
·
Plato
melihat esensi sebagai lebih nyata daripada dunia material yang dianggap
sebagai bayangan dari dunia ide.⁷
·
Aristoteles,
sebaliknya, menyatakan bahwa esensi dan eksistensi tidak dapat dipisahkan,
dengan dunia fisik sebagai tempat manifestasi esensi.⁸
·
Dalam filsafat Islam, Mulla
Sadra mengembangkan konsep wujud al-wujud (kesatuan
keberadaan), di mana realitas dipahami sebagai spektrum keberadaan dengan
esensi sebagai aspek fundamentalnya.⁹
Relevansi hubungan
ini masih dipertahankan dalam filsafat kontemporer. Sebagai contoh, teori
fisika kuantum memperdebatkan apakah partikel subatomik memiliki "esensi"
sebelum diamati, mencerminkan konsep dualitas antara eksistensi dan
pengamatan.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), hlm. 21–25.
[2]
Karen Gloy, The
History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 10–15.
[3]
Plato, The
Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), Bab VII.
[4]
Aristoteles, Metaphysics,
ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.
[5]
Ibn Sina, Kitab
al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 45–57.
[6]
D. T. Suzuki, Introduction
to Zen Buddhism (New York: Grove Press, 1964), hlm. 23–35.
[7]
Plato, The
Republic, Bab X.
[8]
Aristoteles, Metaphysics,
Buku Delta.
[9]
Mulla Sadra, Al-Hikmat
al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran:
Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.
[10]
Werner Heisenberg, Physics
and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper
& Brothers, 1958), hlm. 72–84.
3.
Pendekatan
Filosofis terhadap Esensi Realitas
3.1. Tradisi Barat
3.1.1.
Platonisme
Plato mendefinisikan
esensi realitas melalui konsep dunia ide (realm of forms). Baginya, dunia
fisik hanyalah bayangan dari realitas sejati yang ada di dunia ide. Esensi
realitas adalah bentuk-bentuk
sempurna yang tidak berubah, seperti keadilan, kebaikan, dan keindahan. Dalam The
Republic, ia menjelaskan metafora gua, di mana manusia hanya
melihat bayangan realitas sejati.¹ Dalam pandangan Platonis, realitas material
bersifat sementara dan tidak sempurna, sedangkan esensi adalah kekal dan
universal.²
3.1.2.
Aristotelianisme
Aristoteles, berbeda
dari Plato, menyatakan bahwa esensi tidak berada di luar dunia fisik tetapi
melekat dalam substansi (ousia). Dalam Metaphysics,
ia menjelaskan bahwa esensi adalah apa yang mendefinisikan sesuatu dan
membuatnya menjadi seperti itu.³ Misalnya, esensi manusia adalah rasionalitas.
Aristoteles juga memperkenalkan konsep hylomorphism, yaitu kesatuan antara
materi (hyle)
dan bentuk (morphe), sebagai dasar realitas.⁴
3.1.3.
Filsafat Modern
Pada era modern, pandangan tentang esensi realitas mengalami
pergeseran signifikan:
·
Descartes
memandang realitas sebagai dualisme antara pikiran (res cogitans) dan materi (res
extensa), dengan pikiran sebagai esensi yang mendasari keberadaan
manusia.⁵
·
Kant
menekankan bahwa realitas sejati (noumenon) tidak dapat diketahui
secara langsung, melainkan hanya dapat dipahami melalui fenomena yang dapat
diindera.⁶
·
Spinoza
mengusulkan monisme substansial, di mana Tuhan atau alam adalah esensi tunggal
dari semua realitas.⁷
3.1.4.
Eksistensialisme
Eksistensialisme,
yang berkembang pada abad ke-20, menolak esensi universal. Filsuf seperti
Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi,"
artinya manusia menciptakan esensinya
sendiri melalui tindakan dan pilihan.⁸ Heidegger, sebaliknya, melihat realitas
sebagai "keberadaan" (Being) yang melampaui kategori
esensi dan eksistensi.⁹
3.2.
Tradisi Timur
3.2.1.
Hindu dan Buddhisme
Dalam Hindu, esensi
realitas adalah Brahman, entitas yang tidak berubah
dan meliputi segalanya. Dunia material dianggap sebagai maya,
ilusi yang menutupi realitas
sejati.¹⁰ Dalam Buddhisme, konsep sunyata (kekosongan) menjelaskan
bahwa segala sesuatu tidak memiliki esensi tetap, dan realitas adalah
interdependensi antara fenomena.¹¹
3.2.2.
Taoisme dan Konfusianisme
Dalam Taoisme,
esensi realitas adalah Tao, prinsip yang mengatur alam
semesta. Tao tidak dapat dijelaskan
secara rasional tetapi hanya dapat dialami melalui keharmonisan dengan alam.¹²
Konfusianisme, meskipun lebih bersifat praktis, juga menekankan harmoni sebagai
inti dari realitas sosial dan moral.¹³
3.3.
Tradisi Islam
3.3.1.
Ibn Sina (Avicenna)
Ibn Sina membedakan
antara mahiyyah
(esensi) dan wujud (eksistensi). Ia menyatakan
bahwa esensi suatu objek tidak menjamin
eksistensinya kecuali diaktualisasikan oleh penyebab eksternal, yaitu Tuhan.¹⁴
Esensi Tuhan, menurut Ibn Sina, adalah keberadaan-Nya sendiri (wajib
al-wujud).¹⁵
3.3.2.
Al-Ghazali
Al-Ghazali
mengkritik filsafat rasional dalam mendefinisikan esensi realitas dan menekankan
pengalaman mistis untuk
memahami hakikat realitas.¹⁶
3.3.3.
Mulla Sadra
Mulla Sadra
menawarkan pendekatan metafisik yang dikenal sebagai transcendent
philosophy. Ia mengembangkan konsep wujud al-wujud, yaitu kesatuan
eksistensi di mana segala
sesuatu adalah manifestasi dari keberadaan Tuhan.¹⁷ Dalam pandangan Sadra,
esensi adalah aspek sekunder dari keberadaan yang bersifat dinamis.¹⁸
Catatan Kaki
[1]
Plato, The
Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), Bab VII.
[2]
Karen Gloy, The
History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 15–20.
[3]
Aristoteles, Metaphysics,
ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.
[4]
Jonathan Barnes, Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1982), hlm. 154–160.
[5]
René Descartes, Meditations
on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett,
1993), Meditasi Kedua.
[6]
Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
Bagian Transendental Aesthetics.
[7]
Benedict de Spinoza, Ethics,
trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Bagian I.
[8]
Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington
Square Press, 1992), hlm. 15–25.
[9]
Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), hlm. 19–23.
[10]
S. Radhakrishnan, The
Principal Upanishads (New Delhi: HarperCollins, 1992), hlm. 56–67.
[11]
D. T. Suzuki, The
Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 34–39.
[12]
Lao Tzu, Tao Te
Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: Harper & Row, 1988),
Bab 1.
[13]
Confucius, The
Analects, trans. Arthur Waley (New York: Vintage Books, 1938), Buku
IV.
[14]
Ibn Sina, Kitab
al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Science: An Illustrated Study (Cambridge: World Wisdom, 2007), hlm.
90–95.
[16]
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifa, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University
Press, 2000), hlm. 31–42.
[17]
Mulla Sadra, Al-Hikmat
al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran:
Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.
[18]
Ibrahim Kalin, Knowledge
in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition
(Oxford: Oxford University Press, 2010), hlm. 45–58.
4.
Diskusi
dan Analisis Komparatif
4.1. Persamaan dalam Pemahaman
Esensi Realitas
Meskipun terdapat
beragam pandangan filosofis mengenai esensi realitas, terdapat beberapa persamaan mendasar yang dapat
diidentifikasi di berbagai tradisi:
4.1.1.
Fokus pada Hubungan Antara Keberadaan dan Makna
Baik dalam tradisi
Barat, Timur, maupun Islam, terdapat konsensus bahwa realitas tidak hanya
dilihat dari aspek keberadaannya (existence) tetapi juga dari
maknanya (essence).
Plato, misalnya, menganggap dunia ide sebagai inti dari makna realitas,
sementara Aristoteles mengaitkan keberadaan dengan substansi sebagai penggerak
utama.¹ Tradisi Timur, seperti Hindu dan Buddhisme, menyoroti realitas sebagai
fenomena yang terkait dengan makna transendental, seperti Brahman
atau sunyata.²
Dalam Islam, Ibn Sina dan Mulla Sadra memandang bahwa wujud (existence)
adalah esensi fundamental dari realitas, dengan Tuhan sebagai sumber utamanya.³
4.1.2.
Kesadaran akan Dualitas atau Kompleksitas
Realitas
Sebagian besar
filsafat mengakui dualitas dalam realitas, baik itu material vs immaterial,
tetap vs berubah, atau fenomena vs noumena. Dalam filsafat Barat, dualitas ini
terwujud dalam pandangan Descartes tentang pikiran dan materi, atau dalam teori Kant tentang fenomena dan noumenon.⁴
Demikian pula, dalam Buddhisme, dunia material dianggap sebagai maya
yang menutupi realitas sejati yang bersifat kosong.⁵
4.2.
Perbedaan dalam Pemahaman Esensi Realitas
4.2.1.
Ontologi Objektif vs Subjektif
Filsafat Barat
cenderung memisahkan antara subjek (pengamat) dan objek (realitas). Dalam
pandangan Kant, realitas sejati tidak dapat diketahui oleh manusia karena terbatasnya kapasitas persepsi
manusia.⁶ Sebaliknya, tradisi Timur seperti Taoisme dan Buddhisme lebih
menekankan kesatuan antara subjek dan objek, di mana realitas sejati hanya
dapat dialami melalui harmoni atau meditasi.⁷
4.2.2.
Esensi Universal vs Esensi Individual
Dalam tradisi Barat,
terutama Platonisme dan Aristotelianisme, esensi dianggap bersifat universal
dan berlaku untuk semua individu dalam kategori tertentu.⁸ Sebaliknya,
eksistensialisme menekankan esensi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh individu melalui tindakan dan kebebasan mereka,
sehingga bersifat personal dan tidak universal.⁹
4.2.3.
Pemahaman Tuhan dalam Esensi Realitas
Dalam filsafatIslam, Tuhan dipandang sebagai esensi tertinggi dan sumber dari semua
keberadaan. Ibn Sina dan Mulla Sadra mengembangkan konsep wajib al-wujud (keberadaan yang
niscaya) untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan realitas.¹⁰ Sebaliknya,
dalam tradisi Timur seperti Buddhisme, tidak ada pengakuan terhadap Tuhan
sebagai entitas personal; realitas lebih didefinisikan sebagai kekosongan atau
ketiadaan esensi tetap.¹¹
4.3.
Relevansi Konsep-konsep Klasik dalam Konteks
Modern
4.3.1.
Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan
Filsafat ontologis
memiliki relevansi langsung terhadap pengembangan ilmu pengetahuan modern, seperti fisika kuantum. Konsep
tentang "realitas yang tidak teramati" dalam fisika kuantum,
misalnya, menyerupai gagasan Kant tentang noumenon dan pandangan Platonis
tentang dunia ide.¹² Dalam biologi, konsep dualitas material dan immaterial
relevan dengan diskusi tentang kesadaran dan kecerdasan buatan.
4.3.2.
Relevansi Etika dan Sosial
Pandangan ontologis
juga memengaruhi etika dan pemahaman manusia tentang makna hidup.
Eksistensialisme, misalnya, menekankan tanggung jawab individu untuk menciptakan makna hidupnya sendiri, yang
relevan dalam dunia modern yang sering diwarnai oleh alienasi dan relativisme
moral.¹³ Di sisi lain, tradisi Islam menawarkan harmoni antara individu dan
masyarakat dengan menempatkan Tuhan sebagai pusat esensi realitas.¹⁴
4.4.
Sintesis dan Konvergensi
Meskipun terdapat
perbedaan yang signifikan, pandangan filosofis dari berbagai tradisi
menunjukkan konvergensi dalam memahami esensi realitas sebagai sesuatu yang
melampaui dunia material. Dalam pandangan modern, pendekatan multidisipliner
dapat menggabungkan wawasan dari filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama untuk
memahami realitas secara lebih utuh.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Plato, The
Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), Bab VII.
[2]
S. Radhakrishnan, The
Principal Upanishads (New Delhi: HarperCollins, 1992), hlm.
120–125.
[3]
Mulla Sadra, Al-Hikmat
al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran:
Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.
[4]
Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
Bagian Transendental Dialectics.
[5]
D. T. Suzuki, The
Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 56–64.
[6]
Kant, Critique
of Pure Reason, Bagian Analitika Transendental.
[7]
Lao Tzu, Tao Te
Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: Harper & Row, 1988),
Bab 1.
[8]
Aristoteles, Metaphysics,
Buku Zeta.
[9]
Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1992), hlm. 12–20.
[10]
Ibn Sina, Kitab
al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.
[11]
Suzuki, The
Essence of Buddhism, hlm. 40–50.
[12]
Werner Heisenberg, Physics
and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper
& Brothers, 1958), hlm. 72–84.
[13]
Sartre, Being
and Nothingness, hlm. 34–45.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco:
HarperOne, 2002), hlm. 90–110.
[15]
Karen Gloy, The
History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 150–165.
5.
Kesimpulan
5.1.
Sintesis Jawaban terhadap Pertanyaan Ontologi:
Apa Esensi dari Realitas?
Pembahasan ontologis
tentang esensi realitas menunjukkan bahwa pemahaman tentang keberadaan dan
esensi memiliki keragaman perspektif yang mencerminkan kekayaan intelektual
dari berbagai tradisi filsafat.
5.1.1.
Realitas sebagai Dualitas atau Kesatuan
Tradisi filsafat
Barat, seperti Platonisme, memandang esensi sebagai dunia ide yang kekal dan
tidak berubah, yang berbeda dari realitas material.¹ Sebaliknya, Aristoteles menyatakan bahwa esensi terintegrasi dengan
substansi dalam dunia fisik.² Di sisi lain, tradisi Islam, melalui konsep wujud
al-wujud yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, mengedepankan realitas
sebagai kesatuan keberadaan yang mengalir dari Tuhan sebagai esensi tertinggi.³
Tradisi Timur seperti Buddhisme menganggap realitas sebagai ilusi (maya)
dan menekankan ketiadaan esensi tetap dalam segala sesuatu, menunjukkan sifat
interdependen dari fenomena.⁴
5.1.2.
Keberadaan dan Makna
Secara umum,
filsafat dari berbagai tradisi sepakat bahwa realitas bukan sekadar eksistensi
fisik, melainkan mengandung dimensi makna yang lebih mendalam. Dalam filsafat
Islam, Tuhan dipandang sebagai sumber makna tertinggi bagi semua eksistensi.⁵ Dalam eksistensialisme Barat, manusia
memiliki tanggung jawab untuk menciptakan makna hidupnya sendiri melalui
tindakan dan kebebasan, sebuah pandangan yang menawarkan jawaban berbeda
terhadap pertanyaan tentang esensi realitas.⁶
5.1.3.
Materialisme vs Immaterialisme
Diskusi filsafat
juga menunjukkan ketegangan antara pandangan materialistik, yang menekankan realitas fisik sebagai esensi
utama, dan pandangan immaterialistik, yang melihat realitas sebagai sesuatu
yang melampaui dimensi fisik. Pandangan dualistik seperti dalam filsafat
Descartes, yang memisahkan pikiran dan tubuh, tetap menjadi dasar banyak
diskusi tentang esensi realitas hingga era kontemporer.⁷
5.2.
Relevansi dan Implikasi Kontekstual
5.2.1.
Relevansi Ilmu Pengetahuan
Ontologi memiliki
relevansi signifikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam fisika kuantum, konsep seperti
superposisi dan pengamatan sebagai faktor yang menentukan realitas fisik
menyerupai pandangan filsafat tentang hubungan antara subjek dan objek.⁸ Teori
ini menunjukkan bagaimana konsep realitas material dapat bergantung pada
pengamatan manusia, yang mengacu pada perspektif epistemologis dan ontologis
Kantian.⁹
5.2.2.
Impak Etis dan Sosial
Diskursus tentang
esensi realitas memiliki implikasi penting bagi etika dan kehidupan sosial.
Tradisi Islam dan Konfusianisme, misalnya, menekankan harmoni dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia,
sebagai refleksi dari esensi realitas.¹⁰ Eksistensialisme, di sisi lain,
menekankan kebebasan individu untuk menentukan esensi hidupnya sendiri, yang
relevan dengan dunia modern yang semakin pluralistik dan otonom.¹¹
5.3.
Rekomendasi untuk Kajian Lanjutan
Kajian tentang esensi realitas masih relevan untuk
dijelajahi lebih lanjut dalam beberapa aspek berikut:
1)
Integrasi
Filsafat dan Sains Modern: Pendalaman hubungan antara filsafat
ontologi dan teori ilmiah kontemporer seperti fisika kuantum, bioteknologi, dan
kecerdasan buatan.
2)
Komparasi
Tradisi Filosofis: Studi yang lebih mendalam tentang persamaan
dan perbedaan pandangan ontologis antara tradisi Barat, Timur, dan Islam.
3)
Aplikasi
dalam Konteks Modern: Analisis tentang bagaimana pemahaman
ontologis dapat memberikan solusi untuk masalah eksistensial dalam kehidupan
manusia, seperti alienasi, krisis identitas, dan pencarian makna hidup.
Catatan Kaki
[1]
Plato, The
Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), Bab VII.
[2]
Aristoteles, Metaphysics,
ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.
[3]
Mulla Sadra, Al-Hikmat
al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran:
Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.
[4]
D. T. Suzuki, The
Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 56–64.
[5]
Ibn Sina, Kitab
al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington
Square Press, 1992), hlm. 12–20.
[7]
René Descartes, Meditations
on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett,
1993), Meditasi Kedua.
[8]
Werner Heisenberg, Physics
and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper
& Brothers, 1958), hlm. 72–84.
[9]
Karen Gloy, The
History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 150–165.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco:
HarperOne, 2002), hlm. 90–110.
[11]
Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), hlm. 19–23.
Daftar Pustaka
Aristoteles. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Descartes, R. (1993). Meditations on First
Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Gloy, K. (2011). The History of Ontology.
Frankfurt: Lang.
Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy:
The Revolution in Modern Science. New York: Harper & Brothers.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Ibn Sina. (2001). Kitab al-Shifa (G.
Dimitri, Trans.). Leiden: Brill.
Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N.
Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.
Lao Tzu. (1988). Tao Te Ching (S. Mitchell,
Trans.). New York: Harper & Row.
Mulla Sadra. (1999). Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi
al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah. Tehran: Institute of Islamic Studies.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.
Plato. (2000). The Republic (G. R. F.
Ferrari, Ed.; T. Griffith, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Radhakrishnan, S. (1992). The Principal
Upanishads. New Delhi: HarperCollins.
Sartre, J.-P. (1992). Being and Nothingness (H.
E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.
Suzuki, D. T. (1956). The Essence of Buddhism.
New York: Random House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar