Sabtu, 14 Desember 2024

Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa esensi dari realitas?

 Kajian Filsafat – Pertanyaan Ontologi: Apa esensi dari realitas?


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Ontologi, sebagai cabang filsafat, mengajukan pertanyaan mendasar tentang keberadaan dan realitas. Salah satu pertanyaan inti dalam diskursus ini adalah: Apa esensi dari realitas? Pertanyaan ini telah menjadi topik perdebatan yang panjang sejak masa Yunani Kuno hingga era kontemporer. Di dunia Barat, filsuf seperti Plato dan Aristoteles memelopori pembahasan esensi realitas, sementara tradisi filsafat Timur dan Islam juga memberikan kontribusi signifikan dengan pendekatan metafisika yang khas. Diskursus ini tidak hanya relevan dalam filsafat murni tetapi juga memiliki implikasi terhadap epistemologi, etika, bahkan ilmu pengetahuan modern. Sebagai contoh, konsep tentang realitas mendasari perkembangan teori kuantum, kecerdasan buatan, dan bioteknologi dalam abad ke-21.

Pemahaman yang mendalam tentang esensi realitas juga memiliki dampak langsung terhadap cara manusia memandang dirinya sendiri dan lingkungannya. Sebagai makhluk yang terus-menerus mencari makna, manusia bergantung pada jawaban pertanyaan ini untuk membentuk prinsip hidup yang lebih terarah. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan menggali berbagai pandangan filsafat tentang esensi realitas, baik dalam tradisi Barat, Timur, maupun Islam, untuk memberikan jawaban yang menyeluruh dan seimbang.


1.2.       Rumusan Masalah

Dalam kajian ini, beberapa pertanyaan mendasar dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas:

1)                  Apa yang dimaksud dengan realitas, dan bagaimana konsep ini dipahami dalam filsafat klasik dan modern?

2)                  Bagaimana filsuf dalam berbagai tradisi menjelaskan esensi realitas, baik dalam perspektif material maupun immaterial?

3)                  Apa relevansi konsep-konsep ontologis ini dalam konteks ilmu pengetahuan dan kehidupan kontemporer?


1.3.       Tujuan Penulisan

Tujuan utama artikel ini adalah:

1)                  Menguraikan pengertian esensi realitas dari perspektif filsafat secara mendalam.

2)                  Membandingkan pandangan dari tradisi Barat, Timur, dan Islam untuk menemukan benang merah atau perbedaannya.

3)                  Menghubungkan temuan ontologis dengan relevansi praktis di dunia modern, termasuk dalam perkembangan sains dan teknologi.


1.4.       Metode Kajian

Artikel ini menggunakan pendekatan studi literatur dengan menganalisis sumber-sumber primer seperti Republic karya Plato, Metaphysics karya Aristoteles, dan Asfar Arba'ah karya Mulla Sadra, serta sumber sekunder berupa buku dan jurnal akademik filsafat kontemporer. Pendekatan kritis dan komparatif digunakan untuk menggali hubungan antar-teori dan mengidentifikasi relevansi teorinya dengan konteks modern.


Catatan Kaki

[1]              Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.

[2]              Aristoteles, Metaphysics, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.

[3]              Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Cambridge: World Wisdom, 2007), hlm. 45–67.

[4]              Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 12–34.

[5]              Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.


2.           Esensi dan Realitas dalam Perspektif Ontologi

2.1.       Definisi Ontologi

Ontologi, sebagai cabang filsafat, berfokus pada studi tentang keberadaan (being) dan realitas (reality). Istilah ini berasal dari kata Yunani ontos (berada) dan logos (studi atau diskursus). Dalam pengertian luas, ontologi mengkaji apa yang ada, bagaimana sesuatu itu ada, dan dalam bentuk apa ia ada. Martin Heidegger mendeskripsikan ontologi sebagai kajian mendalam terhadap "pertanyaan tentang makna keberadaan" (Seinsfrage), yang ia pandang sebagai inti dari seluruh filsafat.¹

Ontologi tidak berdiri sendiri; ia berhubungan erat dengan epistemologi, yang membahas bagaimana manusia mengetahui sesuatu, dan metafisika, yang membahas prinsip-prinsip dasar di balik kenyataan. Sebagai landasan filsafat, ontologi mempersoalkan realitas sebagai keseluruhan, baik yang bersifat konkret (fisik) maupun abstrak (immaterial).²


2.2.       Definisi Esensi dan Realitas

2.2.1.    Esensi (Essentia)

Esensi secara etimologis berasal dari kata Latin essentia, yang berarti "inti" atau "sifat dasar" dari sesuatu. Dalam tradisi filsafat Barat, Plato memandang esensi sebagai sesuatu yang bersifat kekal dan terletak dalam dunia ide (realm of forms). Dalam pandangan ini, esensi adalah "hakikat sejati" yang ada di luar dunia fisik.³ Aristoteles, berbeda dari gurunya, mengartikan esensi sebagai substansi (ousia), yaitu inti yang menjadikan sesuatu itu ada dan dapat dikenali.⁴

Dalam filsafat Islam, Ibn Sina menekankan perbedaan antara mahiyyah (esensi) dan wujud (eksistensi). Esensi adalah apa yang mendefinisikan sesuatu, sedangkan eksistensi adalah realitas keberadaannya di dunia.⁵

2.2.2.    Realitas (Reality)

Realitas mengacu pada apa yang benar-benar ada, baik secara fisik maupun metafisik. Pandangan realitas terbagi menjadi dua kategori utama:

1)                  Materialisme: Menyatakan bahwa realitas hanya terdiri dari materi fisik.

2)                  Idealime: Menganggap realitas sebagai produk dari pikiran atau konsep abstrak.

Dalam tradisi Timur, seperti Buddhisme, realitas sering dipahami sebagai ilusi atau maya, dengan inti realitas yang bersifat kosong (sunyata).⁶


2.3.       Hubungan Antara Esensi dan Realitas

Dalam filsafat, hubungan antara esensi dan realitas sering kali diperdebatkan:

·                     Plato melihat esensi sebagai lebih nyata daripada dunia material yang dianggap sebagai bayangan dari dunia ide.⁷

·                     Aristoteles, sebaliknya, menyatakan bahwa esensi dan eksistensi tidak dapat dipisahkan, dengan dunia fisik sebagai tempat manifestasi esensi.⁸

·                     Dalam filsafat Islam, Mulla Sadra mengembangkan konsep wujud al-wujud (kesatuan keberadaan), di mana realitas dipahami sebagai spektrum keberadaan dengan esensi sebagai aspek fundamentalnya.⁹

Relevansi hubungan ini masih dipertahankan dalam filsafat kontemporer. Sebagai contoh, teori fisika kuantum memperdebatkan apakah partikel subatomik memiliki "esensi" sebelum diamati, mencerminkan konsep dualitas antara eksistensi dan pengamatan.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 21–25.

[2]              Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 10–15.

[3]              Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.

[4]              Aristoteles, Metaphysics, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.

[5]              Ibn Sina, Kitab al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 45–57.

[6]              D. T. Suzuki, Introduction to Zen Buddhism (New York: Grove Press, 1964), hlm. 23–35.

[7]              Plato, The Republic, Bab X.

[8]              Aristoteles, Metaphysics, Buku Delta.

[9]              Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.

[10]          Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), hlm. 72–84.


3.           Pendekatan Filosofis terhadap Esensi Realitas

3.1.       Tradisi Barat

3.1.1.    Platonisme

Plato mendefinisikan esensi realitas melalui konsep dunia ide (realm of forms). Baginya, dunia fisik hanyalah bayangan dari realitas sejati yang ada di dunia ide. Esensi realitas adalah bentuk-bentuk sempurna yang tidak berubah, seperti keadilan, kebaikan, dan keindahan. Dalam The Republic, ia menjelaskan metafora gua, di mana manusia hanya melihat bayangan realitas sejati.¹ Dalam pandangan Platonis, realitas material bersifat sementara dan tidak sempurna, sedangkan esensi adalah kekal dan universal.²

3.1.2.    Aristotelianisme

Aristoteles, berbeda dari Plato, menyatakan bahwa esensi tidak berada di luar dunia fisik tetapi melekat dalam substansi (ousia). Dalam Metaphysics, ia menjelaskan bahwa esensi adalah apa yang mendefinisikan sesuatu dan membuatnya menjadi seperti itu.³ Misalnya, esensi manusia adalah rasionalitas. Aristoteles juga memperkenalkan konsep hylomorphism, yaitu kesatuan antara materi (hyle) dan bentuk (morphe), sebagai dasar realitas.⁴

3.1.3.    Filsafat Modern

Pada era modern, pandangan tentang esensi realitas mengalami pergeseran signifikan:

·                     Descartes memandang realitas sebagai dualisme antara pikiran (res cogitans) dan materi (res extensa), dengan pikiran sebagai esensi yang mendasari keberadaan manusia.⁵

·                     Kant menekankan bahwa realitas sejati (noumenon) tidak dapat diketahui secara langsung, melainkan hanya dapat dipahami melalui fenomena yang dapat diindera.⁶

·                     Spinoza mengusulkan monisme substansial, di mana Tuhan atau alam adalah esensi tunggal dari semua realitas.⁷

3.1.4.    Eksistensialisme

Eksistensialisme, yang berkembang pada abad ke-20, menolak esensi universal. Filsuf seperti Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," artinya manusia menciptakan esensinya sendiri melalui tindakan dan pilihan.⁸ Heidegger, sebaliknya, melihat realitas sebagai "keberadaan" (Being) yang melampaui kategori esensi dan eksistensi.⁹


3.2.       Tradisi Timur

3.2.1.    Hindu dan Buddhisme

Dalam Hindu, esensi realitas adalah Brahman, entitas yang tidak berubah dan meliputi segalanya. Dunia material dianggap sebagai maya, ilusi yang menutupi realitas sejati.¹⁰ Dalam Buddhisme, konsep sunyata (kekosongan) menjelaskan bahwa segala sesuatu tidak memiliki esensi tetap, dan realitas adalah interdependensi antara fenomena.¹¹

3.2.2.    Taoisme dan Konfusianisme

Dalam Taoisme, esensi realitas adalah Tao, prinsip yang mengatur alam semesta. Tao tidak dapat dijelaskan secara rasional tetapi hanya dapat dialami melalui keharmonisan dengan alam.¹² Konfusianisme, meskipun lebih bersifat praktis, juga menekankan harmoni sebagai inti dari realitas sosial dan moral.¹³


3.3.       Tradisi Islam

3.3.1.    Ibn Sina (Avicenna)

Ibn Sina membedakan antara mahiyyah (esensi) dan wujud (eksistensi). Ia menyatakan bahwa esensi suatu objek tidak menjamin eksistensinya kecuali diaktualisasikan oleh penyebab eksternal, yaitu Tuhan.¹⁴ Esensi Tuhan, menurut Ibn Sina, adalah keberadaan-Nya sendiri (wajib al-wujud).¹⁵

3.3.2.    Al-Ghazali

Al-Ghazali mengkritik filsafat rasional dalam mendefinisikan esensi realitas dan menekankan pengalaman mistis untuk memahami hakikat realitas.¹⁶

3.3.3.    Mulla Sadra

Mulla Sadra menawarkan pendekatan metafisik yang dikenal sebagai transcendent philosophy. Ia mengembangkan konsep wujud al-wujud, yaitu kesatuan eksistensi di mana segala sesuatu adalah manifestasi dari keberadaan Tuhan.¹⁷ Dalam pandangan Sadra, esensi adalah aspek sekunder dari keberadaan yang bersifat dinamis.¹⁸


Catatan Kaki

[1]              Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.

[2]              Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 15–20.

[3]              Aristoteles, Metaphysics, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.

[4]              Jonathan Barnes, Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1982), hlm. 154–160.

[5]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditasi Kedua.

[6]              Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), Bagian Transendental Aesthetics.

[7]              Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Bagian I.

[8]              Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), hlm. 15–25.

[9]              Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 19–23.

[10]          S. Radhakrishnan, The Principal Upanishads (New Delhi: HarperCollins, 1992), hlm. 56–67.

[11]          D. T. Suzuki, The Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 34–39.

[12]          Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: Harper & Row, 1988), Bab 1.

[13]          Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley (New York: Vintage Books, 1938), Buku IV.

[14]          Ibn Sina, Kitab al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.

[15]          Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Cambridge: World Wisdom, 2007), hlm. 90–95.

[16]          Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa, ed. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 31–42.

[17]          Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.

[18]          Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), hlm. 45–58.


4.           Diskusi dan Analisis Komparatif

4.1.       Persamaan dalam Pemahaman Esensi Realitas

Meskipun terdapat beragam pandangan filosofis mengenai esensi realitas, terdapat beberapa persamaan mendasar yang dapat diidentifikasi di berbagai tradisi:

4.1.1.    Fokus pada Hubungan Antara Keberadaan dan Makna

Baik dalam tradisi Barat, Timur, maupun Islam, terdapat konsensus bahwa realitas tidak hanya dilihat dari aspek keberadaannya (existence) tetapi juga dari maknanya (essence). Plato, misalnya, menganggap dunia ide sebagai inti dari makna realitas, sementara Aristoteles mengaitkan keberadaan dengan substansi sebagai penggerak utama.¹ Tradisi Timur, seperti Hindu dan Buddhisme, menyoroti realitas sebagai fenomena yang terkait dengan makna transendental, seperti Brahman atau sunyata.² Dalam Islam, Ibn Sina dan Mulla Sadra memandang bahwa wujud (existence) adalah esensi fundamental dari realitas, dengan Tuhan sebagai sumber utamanya.³

4.1.2.    Kesadaran akan Dualitas atau Kompleksitas Realitas

Sebagian besar filsafat mengakui dualitas dalam realitas, baik itu material vs immaterial, tetap vs berubah, atau fenomena vs noumena. Dalam filsafat Barat, dualitas ini terwujud dalam pandangan Descartes tentang pikiran dan materi, atau dalam teori Kant tentang fenomena dan noumenon.⁴ Demikian pula, dalam Buddhisme, dunia material dianggap sebagai maya yang menutupi realitas sejati yang bersifat kosong.⁵


4.2.       Perbedaan dalam Pemahaman Esensi Realitas

4.2.1.    Ontologi Objektif vs Subjektif

Filsafat Barat cenderung memisahkan antara subjek (pengamat) dan objek (realitas). Dalam pandangan Kant, realitas sejati tidak dapat diketahui oleh manusia karena terbatasnya kapasitas persepsi manusia.⁶ Sebaliknya, tradisi Timur seperti Taoisme dan Buddhisme lebih menekankan kesatuan antara subjek dan objek, di mana realitas sejati hanya dapat dialami melalui harmoni atau meditasi.⁷

4.2.2.    Esensi Universal vs Esensi Individual

Dalam tradisi Barat, terutama Platonisme dan Aristotelianisme, esensi dianggap bersifat universal dan berlaku untuk semua individu dalam kategori tertentu.⁸ Sebaliknya, eksistensialisme menekankan esensi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh individu melalui tindakan dan kebebasan mereka, sehingga bersifat personal dan tidak universal.⁹

4.2.3.    Pemahaman Tuhan dalam Esensi Realitas

Dalam filsafatIslam, Tuhan dipandang sebagai esensi tertinggi dan sumber dari semua keberadaan. Ibn Sina dan Mulla Sadra mengembangkan konsep wajib al-wujud (keberadaan yang niscaya) untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan realitas.¹⁰ Sebaliknya, dalam tradisi Timur seperti Buddhisme, tidak ada pengakuan terhadap Tuhan sebagai entitas personal; realitas lebih didefinisikan sebagai kekosongan atau ketiadaan esensi tetap.¹¹


4.3.       Relevansi Konsep-konsep Klasik dalam Konteks Modern

4.3.1.    Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan

Filsafat ontologis memiliki relevansi langsung terhadap pengembangan ilmu pengetahuan modern, seperti fisika kuantum. Konsep tentang "realitas yang tidak teramati" dalam fisika kuantum, misalnya, menyerupai gagasan Kant tentang noumenon dan pandangan Platonis tentang dunia ide.¹² Dalam biologi, konsep dualitas material dan immaterial relevan dengan diskusi tentang kesadaran dan kecerdasan buatan.

4.3.2.    Relevansi Etika dan Sosial

Pandangan ontologis juga memengaruhi etika dan pemahaman manusia tentang makna hidup. Eksistensialisme, misalnya, menekankan tanggung jawab individu untuk menciptakan makna hidupnya sendiri, yang relevan dalam dunia modern yang sering diwarnai oleh alienasi dan relativisme moral.¹³ Di sisi lain, tradisi Islam menawarkan harmoni antara individu dan masyarakat dengan menempatkan Tuhan sebagai pusat esensi realitas.¹⁴


4.4.       Sintesis dan Konvergensi

Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan, pandangan filosofis dari berbagai tradisi menunjukkan konvergensi dalam memahami esensi realitas sebagai sesuatu yang melampaui dunia material. Dalam pandangan modern, pendekatan multidisipliner dapat menggabungkan wawasan dari filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama untuk memahami realitas secara lebih utuh.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.

[2]              S. Radhakrishnan, The Principal Upanishads (New Delhi: HarperCollins, 1992), hlm. 120–125.

[3]              Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.

[4]              Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), Bagian Transendental Dialectics.

[5]              D. T. Suzuki, The Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 56–64.

[6]              Kant, Critique of Pure Reason, Bagian Analitika Transendental.

[7]              Lao Tzu, Tao Te Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: Harper & Row, 1988), Bab 1.

[8]              Aristoteles, Metaphysics, Buku Zeta.

[9]              Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), hlm. 12–20.

[10]          Ibn Sina, Kitab al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.

[11]          Suzuki, The Essence of Buddhism, hlm. 40–50.

[12]          Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), hlm. 72–84.

[13]          Sartre, Being and Nothingness, hlm. 34–45.

[14]          Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2002), hlm. 90–110.

[15]          Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 150–165.


5.           Kesimpulan

5.1.       Sintesis Jawaban terhadap Pertanyaan Ontologi: Apa Esensi dari Realitas?

Pembahasan ontologis tentang esensi realitas menunjukkan bahwa pemahaman tentang keberadaan dan esensi memiliki keragaman perspektif yang mencerminkan kekayaan intelektual dari berbagai tradisi filsafat.

5.1.1.    Realitas sebagai Dualitas atau Kesatuan

Tradisi filsafat Barat, seperti Platonisme, memandang esensi sebagai dunia ide yang kekal dan tidak berubah, yang berbeda dari realitas material.¹ Sebaliknya, Aristoteles menyatakan bahwa esensi terintegrasi dengan substansi dalam dunia fisik.² Di sisi lain, tradisi Islam, melalui konsep wujud al-wujud yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, mengedepankan realitas sebagai kesatuan keberadaan yang mengalir dari Tuhan sebagai esensi tertinggi.³ Tradisi Timur seperti Buddhisme menganggap realitas sebagai ilusi (maya) dan menekankan ketiadaan esensi tetap dalam segala sesuatu, menunjukkan sifat interdependen dari fenomena.⁴

5.1.2.    Keberadaan dan Makna

Secara umum, filsafat dari berbagai tradisi sepakat bahwa realitas bukan sekadar eksistensi fisik, melainkan mengandung dimensi makna yang lebih mendalam. Dalam filsafat Islam, Tuhan dipandang sebagai sumber makna tertinggi bagi semua eksistensi.⁵ Dalam eksistensialisme Barat, manusia memiliki tanggung jawab untuk menciptakan makna hidupnya sendiri melalui tindakan dan kebebasan, sebuah pandangan yang menawarkan jawaban berbeda terhadap pertanyaan tentang esensi realitas.⁶

5.1.3.    Materialisme vs Immaterialisme

Diskusi filsafat juga menunjukkan ketegangan antara pandangan materialistik, yang menekankan realitas fisik sebagai esensi utama, dan pandangan immaterialistik, yang melihat realitas sebagai sesuatu yang melampaui dimensi fisik. Pandangan dualistik seperti dalam filsafat Descartes, yang memisahkan pikiran dan tubuh, tetap menjadi dasar banyak diskusi tentang esensi realitas hingga era kontemporer.⁷


5.2.       Relevansi dan Implikasi Kontekstual

5.2.1.    Relevansi Ilmu Pengetahuan

Ontologi memiliki relevansi signifikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam fisika kuantum, konsep seperti superposisi dan pengamatan sebagai faktor yang menentukan realitas fisik menyerupai pandangan filsafat tentang hubungan antara subjek dan objek.⁸ Teori ini menunjukkan bagaimana konsep realitas material dapat bergantung pada pengamatan manusia, yang mengacu pada perspektif epistemologis dan ontologis Kantian.⁹

5.2.2.    Impak Etis dan Sosial

Diskursus tentang esensi realitas memiliki implikasi penting bagi etika dan kehidupan sosial. Tradisi Islam dan Konfusianisme, misalnya, menekankan harmoni dalam hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia, sebagai refleksi dari esensi realitas.¹⁰ Eksistensialisme, di sisi lain, menekankan kebebasan individu untuk menentukan esensi hidupnya sendiri, yang relevan dengan dunia modern yang semakin pluralistik dan otonom.¹¹


5.3.       Rekomendasi untuk Kajian Lanjutan

Kajian tentang esensi realitas masih relevan untuk dijelajahi lebih lanjut dalam beberapa aspek berikut:

1)                  Integrasi Filsafat dan Sains Modern: Pendalaman hubungan antara filsafat ontologi dan teori ilmiah kontemporer seperti fisika kuantum, bioteknologi, dan kecerdasan buatan.

2)                  Komparasi Tradisi Filosofis: Studi yang lebih mendalam tentang persamaan dan perbedaan pandangan ontologis antara tradisi Barat, Timur, dan Islam.

3)                  Aplikasi dalam Konteks Modern: Analisis tentang bagaimana pemahaman ontologis dapat memberikan solusi untuk masalah eksistensial dalam kehidupan manusia, seperti alienasi, krisis identitas, dan pencarian makna hidup.


Catatan Kaki

[1]              Plato, The Republic, ed. G. R. F. Ferrari, trans. Tom Griffith (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Bab VII.

[2]              Aristoteles, Metaphysics, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Buku Zeta.

[3]              Mulla Sadra, Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1999), Juz I.

[4]              D. T. Suzuki, The Essence of Buddhism (New York: Random House, 1956), hlm. 56–64.

[5]              Ibn Sina, Kitab al-Shifa, trans. Gutas Dimitri (Leiden: Brill, 2001), hlm. 60–75.

[6]              Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), hlm. 12–20.

[7]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), Meditasi Kedua.

[8]              Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Brothers, 1958), hlm. 72–84.

[9]              Karen Gloy, The History of Ontology (Frankfurt: Lang, 2011), hlm. 150–165.

[10]          Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2002), hlm. 90–110.

[11]          Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 19–23.


Daftar Pustaka

Aristoteles. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on First Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Gloy, K. (2011). The History of Ontology. Frankfurt: Lang.

Heisenberg, W. (1958). Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science. New York: Harper & Brothers.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Ibn Sina. (2001). Kitab al-Shifa (G. Dimitri, Trans.). Leiden: Brill.

Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Lao Tzu. (1988). Tao Te Ching (S. Mitchell, Trans.). New York: Harper & Row.

Mulla Sadra. (1999). Al-Hikmat al-Muta'aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah. Tehran: Institute of Islamic Studies.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.

Plato. (2000). The Republic (G. R. F. Ferrari, Ed.; T. Griffith, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Radhakrishnan, S. (1992). The Principal Upanishads. New Delhi: HarperCollins.

Sartre, J.-P. (1992). Being and Nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Suzuki, D. T. (1956). The Essence of Buddhism. New York: Random House.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar