Pemikiran Thomas Samuel Kuhn
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Revolusi Sains
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan, sejarawan, dan filsuf sains asal Amerika
Serikat yang dikenal melalui karya monumentalnya The Structure of Scientific
Revolutions (1962). Fokus kajian diarahkan pada biografi intelektual Kuhn,
konsep paradigma, struktur revolusi ilmiah, perbandingan pemikirannya dengan
tokoh lain seperti Karl Popper, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend, serta kritik
yang dialamatkan kepadanya. Artikel ini juga mengulas relevansi pemikiran Kuhn
dalam ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya dalam menghadapi dinamika
interdisipliner, revolusi digital, dan pluralisme epistemologis. Selain itu,
dibahas pula kebaruan (novelty) yang ditawarkan Kuhn serta warisan
intelektualnya yang meluas hingga ke ilmu sosial, humaniora, dan wacana publik.
Melalui analisis kritis dan historis, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran
Kuhn merupakan titik balik penting dalam filsafat sains modern, karena mampu
menggeser pandangan tradisional yang linear dan kumulatif menuju pemahaman yang
lebih historis, sosiologis, dan dinamis tentang perkembangan ilmu pengetahuan.
Kata kunci: Thomas
S. Kuhn, paradigma, revolusi ilmiah, filsafat sains, sejarah sains,
incommensurability, pergeseran paradigma.
PEMBAHASAN
Kajian atas Pemikiran Thomas Samuel Kuhn
1.          
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan modern tidak pernah
lepas dari perdebatan filosofis mengenai hakikat sains, metode, dan proses
perubahan dalam tradisi ilmiah. Salah satu tokoh penting yang memberikan
sumbangan besar terhadap pemahaman dinamika ilmu pengetahuan adalah Thomas
Samuel Kuhn, seorang fisikawan, sejarawan sains, sekaligus filsuf yang karya
monumentalnya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), telah
merevolusi cara pandang terhadap sejarah dan filsafat sains. Buku tersebut
memperkenalkan istilah “paradigma” serta menekankan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan tidak bersifat linear dan kumulatif semata, melainkan
mengalami lompatan revolusioner melalui pergeseran paradigma yang mendasar.¹
Sebelum kehadiran Kuhn, filsafat sains cenderung
didominasi oleh pendekatan positivisme logis dan falsifikasionisme Karl Popper.
Kaum positivis logis berupaya menekankan kepastian metodologis dengan logika
verifikasi, sementara Popper menolak hal tersebut dan menekankan pentingnya
falsifikasi sebagai mekanisme koreksi ilmu.² Dalam konteks ini, Kuhn muncul
dengan pendekatan yang berbeda: ia melihat sejarah sains bukan sekadar sebagai
rangkaian hipotesis yang disaring melalui verifikasi atau falsifikasi,
melainkan sebagai proses sosio-historis yang sarat dengan konflik, anomali,
krisis, dan revolusi.³ Dengan demikian, gagasan Kuhn tidak hanya menantang
paradigma dominan saat itu, tetapi juga membuka jalan bagi interpretasi baru
tentang hubungan antara teori ilmiah, praktik komunitas ilmuwan, dan dinamika
sosial-budaya.
Konsep paradigma dalam pandangan Kuhn menjadi kunci
untuk memahami praktik sains sehari-hari, yang ia sebut sebagai normal
science. Menurutnya, normal science bukanlah aktivitas kreatif
radikal, tetapi suatu kerja pemecahan teka-teki dalam kerangka paradigma yang
telah diterima komunitas ilmiah.⁴ Akan tetapi, ketika akumulasi anomali tidak
dapat lagi dijelaskan dalam paradigma lama, terjadilah krisis yang membuka
jalan bagi revolusi ilmiah dan kelahiran paradigma baru.⁵ Model siklus ini
menolak pandangan evolusi kumulatif pengetahuan yang sebelumnya dominan,
sehingga menegaskan bahwa perubahan ilmu lebih menyerupai pergantian kerangka
konseptual secara drastis ketimbang sekadar penambahan data baru.
Pendahuluan ini bertujuan memberikan kerangka dasar
untuk memahami pemikiran Thomas S. Kuhn sebagai salah satu titik balik penting
dalam filsafat sains. Kajian ini tidak hanya menyoroti isi dan gagasan utama
Kuhn, tetapi juga menempatkan pemikirannya dalam konteks historis-filosofis,
serta mengidentifikasi kontribusi, kritik, dan relevansinya dalam perkembangan
ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan demikian, pembahasan selanjutnya
diharapkan mampu menampilkan pemahaman yang komprehensif dan analitis mengenai
pengaruh besar pemikiran Kuhn terhadap cara pandang kita terhadap sains.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962).
[2]               
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson, 1959).
[3]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 45–50.
[4]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
23–34.
[5]               
Ibid., 66–76.
2.          
Biografi Intelektual
Thomas Samuel Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di
Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, dalam keluarga dengan latar belakang
akademik dan intelektual yang cukup kuat. Ayahnya, Samuel L. Kuhn, merupakan
seorang insinyur industri, sedangkan ibunya, Minette Stroock Kuhn, adalah
seorang penulis dan penyunting. Lingkungan keluarga yang terbuka terhadap
gagasan progresif memberikan fondasi awal bagi Kuhn untuk menekuni dunia
intelektual sejak usia dini.¹
Kuhn memulai pendidikan tingginya di Harvard University
dengan jurusan fisika pada tahun 1940-an. Selama Perang Dunia II, ia terlibat
dalam proyek penelitian radar, yang semakin memperkaya pemahamannya terhadap
praktik ilmiah dalam konteks teknologi dan militer. Setelah perang usai, ia
melanjutkan studi doktoralnya di bidang fisika teori dan berhasil meraih gelar
Ph.D. pada tahun 1949.² Meskipun latar belakang akademiknya berakar pada
fisika, minatnya kemudian beralih ke bidang sejarah dan filsafat sains.
Pergeseran ini terjadi ketika ia diminta untuk mengajar mata kuliah sejarah
sains bagi mahasiswa non-sains di Harvard. Pada titik inilah Kuhn mulai
mendalami karya-karya tokoh klasik, seperti Aristoteles dan Newton, dan
menyadari bahwa sains berkembang melalui dinamika historis yang kompleks, bukan
semata-mata melalui akumulasi pengetahuan.³
Karier akademik Kuhn berlanjut di berbagai
institusi bergengsi. Setelah mengajar di Harvard hingga awal 1950-an, ia
kemudian pindah ke University of California, Berkeley, pada 1956. Di Berkeley,
ia menjabat sebagai dosen sejarah sains dan filsafat sains, sekaligus
memantapkan reputasinya sebagai pemikir multidisipliner.⁴ Pada masa inilah Kuhn
mulai merumuskan gagasan-gagasannya mengenai paradigma, normal science, dan
revolusi ilmiah yang kelak dikembangkan dalam The Structure of Scientific
Revolutions (1962). Buku ini pertama kali diterbitkan sebagai bagian dari International
Encyclopedia of Unified Science yang disponsori oleh University of Chicago
Press dan dengan cepat menimbulkan perdebatan luas di kalangan ilmuwan maupun
filsuf.⁵
Pada tahun 1964, Kuhn pindah ke Princeton
University, di mana ia mengajar di Department of History and Philosophy of
Science. Reputasinya semakin menguat, terutama setelah karyanya memicu diskusi
lintas disiplin antara sains, filsafat, dan sosiologi pengetahuan. Kemudian,
pada 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT)
sebagai Profesor Filsafat, di mana ia mengajar hingga pensiun.⁶
Secara intelektual, perjalanan Kuhn dapat dipahami
sebagai peralihan dari fisika murni menuju filsafat dan sejarah sains, dengan
ciri khas menekankan aspek historis, sosiologis, dan bahkan psikologis dalam
perkembangan ilmu. Pemikirannya menandai pergeseran paradigma dalam kajian
filsafat sains, dari model normatif-rasional ke arah yang lebih kontekstual dan
historis. Dengan demikian, biografi intelektualnya mencerminkan perpaduan unik
antara disiplin eksakta dan humaniora yang kemudian melahirkan sebuah
perspektif orisinal mengenai dinamika ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific
Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1993), 12–14.
[2]               
James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An
Historical Philosophy of Science (London: Continuum, 2005), 20–23.
[3]               
Kuhn sendiri menyinggung pengalaman ini dalam
pengantar edisi kedua The Structure of Scientific Revolutions (1970).
[4]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 57–61.
[5]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962).
[6]               
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham:
Acumen, 2000), 34–39.
3.          
Konsep Paradigma
dalam Ilmu Pengetahuan
Salah satu sumbangan paling signifikan Thomas S.
Kuhn dalam filsafat sains adalah gagasan mengenai paradigma. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan dalam The Structure of Scientific Revolutions
(1962) dan segera menjadi pusat perdebatan di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Paradigma, menurut Kuhn, adalah seperangkat keyakinan, nilai, teknik, dan model
yang dibagikan oleh suatu komunitas ilmiah tertentu, sehingga berfungsi sebagai
kerangka acuan dalam aktivitas ilmiah.¹ Paradigma bukan hanya sekadar teori
atau hipotesis tunggal, melainkan mencakup seluruh cara pandang yang mendasari
apa yang disebut Kuhn sebagai normal science.
Dalam kerangka normal science, para ilmuwan
bekerja di bawah konsensus paradigma dengan berfokus pada pemecahan “teka-teki”
(puzzle-solving).² Hal ini berarti penelitian ilmiah sehari-hari tidak
diarahkan pada penemuan yang mengguncang dasar ilmu, melainkan pada
penyempurnaan teori yang sudah mapan. Paradigma berfungsi memberikan aturan
main yang stabil bagi komunitas ilmiah, sehingga mereka dapat melakukan
penelitian yang koheren dan terorganisasi.³ Dengan demikian, paradigma menjadi
syarat utama keberlangsungan tradisi ilmiah.
Akan tetapi, paradigma tidak bersifat abadi. Kuhn
menekankan bahwa akumulasi anomali—temuan yang tidak dapat dijelaskan oleh
paradigma dominan—akan menimbulkan ketegangan. Ketika anomali ini semakin
menumpuk dan tidak lagi dapat diabaikan, maka muncullah krisis ilmiah.⁴ Dalam
situasi krisis, paradigma lama kehilangan legitimasi dan terbuka kemungkinan
bagi lahirnya paradigma baru. Proses ini disebut Kuhn sebagai “revolusi
ilmiah,” yang ditandai oleh pergeseran mendasar dalam kerangka konseptual.⁵
Salah satu aspek paling kontroversial dari konsep
paradigma adalah ide tentang inkomensurabilitas (incommensurability).
Kuhn berpendapat bahwa paradigma-paradigma yang berbeda tidak dapat dibandingkan
secara langsung dengan ukuran yang sama, karena masing-masing memiliki
kategori, bahasa, dan asumsi dasar yang berbeda.⁶ Pandangan ini menantang
keyakinan tradisional bahwa ilmu berkembang secara kumulatif dan objektif,
serta menimbulkan perdebatan panjang mengenai relativisme dalam sains.
Meskipun istilah paradigma kerap dikritik karena
dianggap terlalu luas dan ambigu, gagasan ini tetap menjadi salah satu konsep
paling berpengaruh dalam studi filsafat dan sejarah sains. Bahkan, penggunaannya
kemudian meluas ke berbagai bidang lain, termasuk ilmu sosial, pendidikan,
politik, dan budaya, yang menggunakan istilah “pergeseran paradigma”
(paradigm shift) untuk menggambarkan perubahan mendasar dalam pola pikir dan
praktik.⁷ Dengan demikian, konsep paradigma Kuhn telah melampaui batas-batas
filsafat sains dan menjadi istilah universal dalam wacana intelektual
kontemporer.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–11.
[2]               
Ibid., 35–42.
[3]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific
Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1993), 20–23.
[4]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
66–71.
[5]               
Ibid., 92–110.
[6]               
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham:
Acumen, 2000), 75–80.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
101–106.
4.          
Struktur Revolusi
Ilmiah
Konsep revolusi ilmiah yang dikemukakan oleh Thomas
S. Kuhn merupakan salah satu pilar utama dalam karyanya The Structure of
Scientific Revolutions (1962). Kuhn menolak pandangan tradisional yang
melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai proses linear dan kumulatif, di
mana teori baru sekadar menambahkan pengetahuan pada teori lama. Sebaliknya, ia
berargumen bahwa perkembangan ilmu terjadi melalui serangkaian fase yang
terstruktur, melibatkan stabilitas, krisis, dan perubahan paradigma.¹
Tahap pertama dalam struktur revolusi ilmiah adalah
fase pra-paradigma. Pada tahap ini, suatu bidang ilmu belum memiliki
kerangka teori yang dominan sehingga ditandai oleh keragaman pendekatan,
perdebatan metodologis, dan ketiadaan konsensus ilmiah.² Setelah komunitas
ilmiah mulai menyepakati kerangka konseptual tertentu, muncullah fase normal
science. Dalam fase ini, ilmuwan bekerja dalam kerangka paradigma dominan
dengan fokus pada pemecahan teka-teki ilmiah (puzzle-solving) sesuai
aturan main yang diterima bersama.³
Namun, dalam proses normal science selalu terdapat
anomali, yaitu fenomena atau data yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma
yang berlaku. Pada awalnya, anomali dianggap sebagai kesalahan teknis atau
masalah minor yang dapat diatasi. Tetapi, jika akumulasi anomali semakin besar
dan mengganggu kredibilitas paradigma, maka muncullah fase krisis.⁴
Krisis ini menjadi momen penting karena mengguncang keyakinan komunitas ilmiah
terhadap paradigma lama.
Fase berikutnya adalah revolusi ilmiah,
yakni periode pergeseran paradigma secara mendasar. Dalam fase ini, paradigma
lama ditinggalkan dan digantikan oleh paradigma baru yang mampu menjelaskan
anomali sebelumnya. Proses transisi ini tidak bersifat gradual, melainkan
diskontinu dan revolusioner. Kuhn menggambarkan hal ini dengan analogi “pergeseran
gestalt,” di mana cara pandang ilmuwan berubah secara radikal, seolah-olah
melihat dunia dengan kacamata baru.⁵
Salah satu ciri khas revolusi ilmiah menurut Kuhn
adalah inkomensurabilitas (incommensurability) antarparadigma. Paradigma
lama dan baru tidak dapat dibandingkan dengan ukuran yang sama karena
masing-masing memiliki terminologi, metodologi, serta landasan konseptual yang
berbeda.⁶ Dengan demikian, pemilihan paradigma baru tidak hanya ditentukan oleh
logika empiris, tetapi juga melibatkan faktor psikologis, sosiologis, dan
bahkan politik ilmiah.
Struktur revolusi ilmiah yang ditawarkan Kuhn ini
telah mengguncang pemahaman tradisional dalam filsafat sains. Ia menekankan
bahwa perubahan ilmiah lebih bersifat revolusioner daripada evolusioner, serta
menempatkan komunitas ilmiah dan dinamika sosial sebagai faktor penting dalam
perkembangan pengetahuan.⁷ Dengan demikian, pemikiran Kuhn membuka jalan bagi
perspektif baru yang menekankan sejarah, budaya, dan praktik ilmiah dalam
memahami ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.
[2]               
James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An
Historical Philosophy of Science (London: Continuum, 2005), 30–34.
[3]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
35–42.
[4]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific
Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1993), 55–58.
[5]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
111–135.
[6]               
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham:
Acumen, 2000), 90–95.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
115–121.
5.          
Perbandingan
Pemikiran Kuhn dengan Tokoh Filsafat Sains Lain
Pemikiran Thomas S.
Kuhn mengenai paradigma dan revolusi ilmiah tidak lahir dalam ruang hampa,
melainkan dalam dialog—bahkan perdebatan—dengan tradisi filsafat sains
sebelumnya. Untuk memahami posisi gagasannya, penting membandingkan pemikiran
Kuhn dengan beberapa tokoh besar lain dalam filsafat sains, terutama Karl
Popper, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend.
5.1.      
Kuhn dan Karl Popper
Karl Popper
menekankan falsifikasionisme sebagai inti metodologi sains. Menurut Popper,
teori ilmiah tidak pernah dapat dibuktikan secara pasti, tetapi hanya dapat diuji
dan digugurkan melalui pengamatan empiris yang bertentangan.¹ Sains, dengan
demikian, berkembang melalui proses conjectures and refutations. Kuhn,
sebaliknya, berargumen bahwa ilmuwan dalam praktik sehari-hari tidak bekerja
dengan terus-menerus mencoba menggugurkan teori, melainkan beroperasi dalam
kerangka normal
science, yaitu memecahkan teka-teki dalam batas paradigma yang
diterima.² Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa Popper menekankan
rasionalitas kritis, sementara Kuhn menyoroti faktor historis dan sosiologis
dalam perkembangan ilmu.
5.2.      
Kuhn dan Imre Lakatos
Imre Lakatos mencoba
menengahi perbedaan antara Popper dan Kuhn melalui konsep research
programmes.³ Menurut Lakatos, ilmu tidak berkembang melalui
falsifikasi tunggal (Popper) atau melalui revolusi total (Kuhn), melainkan
melalui program riset yang memiliki “inti keras” (hard
core) dan “sabuk pelindung” (protective belt). Program riset
dapat dianggap progresif bila menghasilkan prediksi baru yang dapat
diverifikasi, dan dianggap degeneratif bila gagal melakukannya.⁴ Jika
dibandingkan dengan Kuhn, Lakatos tetap mempertahankan dimensi rasional dalam
pergantian teori, sedangkan Kuhn lebih menekankan ketidakterhindaran krisis dan
ketidakkomensurabilitas antarparadigma.
5.3.      
Kuhn dan Paul Feyerabend
Paul Feyerabend,
tokoh anarkisme metodologis, melangkah lebih jauh dibanding Kuhn. Dalam
karyanya Against
Method (1975), Feyerabend berargumen bahwa tidak ada metodologi
sains universal yang berlaku; prinsip “apa saja boleh” (anything
goes) menjadi semboyan utamanya.⁵ Jika Kuhn masih mengakui adanya
periode normal
science dengan aturan yang mengikat komunitas ilmiah, Feyerabend
menolak segala bentuk aturan baku dalam sains. Baginya, perkembangan ilmu lebih
bersifat pluralistik dan bahkan kacau.⁶ Dengan demikian, meskipun keduanya
menolak pandangan kumulatif-linear tentang sains, Feyerabend lebih radikal
daripada Kuhn dalam menolak rasionalitas metodologis.
5.4.      
Sintesis Perbandingan
Dari perbandingan
ini, tampak bahwa posisi Kuhn berada di antara rasionalisme kritis Popper dan
anarkisme metodologis Feyerabend. Kuhn mengakui pentingnya kerangka kerja
ilmiah (paradigma), tetapi menekankan bahwa perubahan paradigma tidak hanya
ditentukan oleh logika empiris, melainkan juga oleh faktor sosiologis,
historis, dan psikologis. Sementara Lakatos mencoba membangun kompromi antara
Popper dan Kuhn, pemikiran Kuhn tetap berpengaruh karena memberikan penekanan
pada dimensi komunitas ilmiah dan sejarah sebagai faktor kunci dalam
perkembangan pengetahuan.⁷
Footnotes
[1]               
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Hutchinson, 1959), 33–39.
[2]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 35–42.
[3]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–12.
[4]               
Ibid., 48–52.
[5]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 23–25.
[6]               
Ibid., 160–166.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 143–150.
6.          
Kritik terhadap
Pemikiran Kuhn
Sejak diterbitkannya
The
Structure of Scientific Revolutions (1962), gagasan Thomas S. Kuhn
menuai respons yang sangat luas, baik berupa apresiasi maupun kritik tajam.
Konsep paradigma, normal science, dan revolusi ilmiah yang ditawarkannya
dianggap berhasil membuka perspektif baru dalam filsafat sains, namun sekaligus
memunculkan kontroversi serius yang memicu perdebatan panjang. Kritik terhadap
pemikiran Kuhn dapat dikategorikan dalam beberapa aspek: epistemologis,
metodologis, historis, dan sosiologis.
6.1.      
Kritik Epistemologis
Salah satu kritik
utama datang dari tuduhan relativisme epistemologis. Dengan menekankan inkomensurabilitas
antarparadigma, Kuhn dianggap mengaburkan kemungkinan adanya kriteria objektif
untuk membandingkan teori ilmiah.¹ Jika paradigma-paradigma berbeda tidak dapat
diukur dengan standar yang sama, maka pilihan paradigma baru seakan lebih
ditentukan oleh faktor subjektif atau sosial daripada oleh bukti empiris. Karl
Popper, misalnya, menilai bahwa pandangan Kuhn berpotensi merelatifkan
kebenaran ilmiah karena melemahkan peran falsifikasi sebagai penentu
rasionalitas ilmu.²
6.2.      
Kritik Metodologis
Dari segi
metodologi, konsep paradigma Kuhn sering dianggap terlalu luas dan ambigu. Imre
Lakatos menyebut bahwa istilah paradigma digunakan Kuhn dalam berbagai
arti—kadang sebagai teori, kadang sebagai model, bahkan sebagai keseluruhan
tradisi ilmiah—sehingga menyulitkan untuk dijadikan alat analisis yang
konsisten.³ Selain itu, Kuhn tidak memberikan kriteria jelas tentang bagaimana
komunitas ilmiah menentukan titik transisi dari krisis menuju revolusi,
sehingga proses pergeseran paradigma terkesan lebih bersifat sosiologis
daripada logis.⁴
6.3.      
Kritik Historis
Sejumlah sejarawan
sains mengkritik selektivitas Kuhn dalam membaca sejarah. Kuhn kerap dianggap
memilih contoh-contoh revolusi ilmiah yang cocok dengan kerangka teorinya,
seperti Revolusi Kopernikan atau teori relativitas Einstein, sambil mengabaikan
periode lain yang menunjukkan kesinambungan evolusioner.⁵ Kritik ini menegaskan
bahwa tidak semua perkembangan ilmu bersifat revolusioner; sebagian besar
justru berkembang secara bertahap melalui akumulasi pengetahuan. Dengan
demikian, model Kuhn dinilai terlalu menekankan diskontinuitas.
6.4.      
Kritik Sosiologis
Dari perspektif
sosiologi ilmu, kritik diarahkan pada klaim Kuhn bahwa pemilihan paradigma baru
melibatkan konsensus komunitas ilmiah.⁶ Hal ini memunculkan pertanyaan: sejauh
mana konsensus tersebut bersifat ilmiah dan rasional, dan sejauh mana ia dipengaruhi
oleh faktor non-ilmiah seperti politik, ekonomi, atau budaya? Beberapa
kalangan, seperti Steve Fuller, bahkan menilai bahwa teori Kuhn membuka ruang
bagi relativisme sosial dalam sains, di mana kebenaran ilmiah lebih dipandang
sebagai hasil konstruksi komunitas ketimbang realitas objektif.⁷
6.5.      
Sintesis Kritik
Secara keseluruhan,
kritik terhadap Kuhn menunjukkan bahwa meskipun pemikirannya inovatif, ia
menyisakan banyak persoalan konseptual. Kuhn berhasil menggeser fokus filsafat
sains dari logika formal ke dinamika historis dan komunitas ilmiah, namun dalam
melakukannya ia dituduh mengorbankan kejelasan metodologis dan kepastian
epistemologis. Meski demikian, justru karena kritik-kritik inilah, pemikiran
Kuhn tetap relevan: ia memaksa filsafat sains untuk terus mempertanyakan
dasar-dasarnya sendiri, serta membuka ruang bagi kajian interdisipliner antara
filsafat, sejarah, dan sosiologi ilmu.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 148–150.
[2]               
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 52–55.
[3]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 178–182.
[4]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas
S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press,
1993), 84–87.
[5]               
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 213–215.
[6]               
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 175–180.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 155–160.
7.          
Relevansi Pemikiran
Kuhn dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Pemikiran Thomas S.
Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions (1962) tetap memiliki relevansi
besar dalam kajian filsafat sains dan praktik ilmu pengetahuan kontemporer.
Konsep paradigma, normal science, dan revolusi ilmiah tidak hanya memberikan
kerangka analisis untuk memahami perkembangan sains di masa lalu, tetapi juga
berfungsi sebagai lensa kritis untuk menafsirkan dinamika ilmu pengetahuan
modern yang semakin kompleks.
7.1.      
Paradigma dan Dinamika Ilmu
Kontemporer
Dalam konteks sains
modern, paradigma masih berperan sebagai kerangka kerja yang memungkinkan
komunitas ilmiah menjaga konsistensi metodologis. Misalnya, dalam penelitian
fisika partikel, paradigma Standard Model telah menjadi acuan
utama meskipun kini menghadapi anomali dari temuan seperti neutrino mass dan
dark matter.¹ Fenomena ini mencerminkan tesis Kuhn bahwa paradigma lama tetap
dipertahankan hingga tekanan anomali menuntut kemungkinan lahirnya revolusi
ilmiah baru. Demikian pula dalam biologi molekuler, paradigma DNA sebagai pusat
informasi kehidupan kini mulai ditantang oleh studi epigenetika, yang
memperluas horizon tentang mekanisme pewarisan sifat.²
7.2.      
Interdisiplinaritas dan
Pergeseran Paradigma
Ilmu kontemporer
ditandai oleh meningkatnya penelitian interdisipliner, seperti bioinformatika,
kecerdasan buatan, dan ilmu lingkungan. Kuhn relevan karena menunjukkan bahwa
pergeseran paradigma sering terjadi ketika disiplin ilmu berinteraksi dan
melahirkan kerangka konseptual baru.³ Contoh konkret adalah integrasi biologi
dan ilmu komputer dalam genomics, yang telah mengubah cara
ilmuwan memahami makhluk hidup dan memicu “revolusi genomik.”⁴
7.3.      
Inkomensurabilitas dan
Pluralisme Ilmiah
Konsep inkomensurabilitas
Kuhn juga beresonansi dengan pluralisme epistemologis kontemporer. Dalam ilmu
sosial, misalnya, perdebatan antara pendekatan positivistik dan
konstruktivistik menunjukkan adanya paradigma yang berbeda dan sulit
disejajarkan dengan standar tunggal.⁵ Hal ini memperkuat relevansi pandangan
Kuhn bahwa komunikasi lintas paradigma tidak selalu netral, melainkan
dipengaruhi oleh bahasa, nilai, dan konteks masing-masing komunitas ilmiah.
7.4.      
Teknologi, Politik, dan
Sains Global
Konteks kontemporer
juga menunjukkan bagaimana sains tidak dapat dilepaskan dari politik, ekonomi,
dan teknologi. Revolusi digital dan perkembangan kecerdasan buatan
memperlihatkan pergeseran paradigma dalam memahami pengetahuan, di mana data
besar (big data)
menjadi fondasi baru bagi metode ilmiah.⁶ Pemikiran Kuhn tetap relevan karena
menegaskan bahwa perubahan paradigma bukan hanya peristiwa intelektual, tetapi
juga sosial dan institusional.
7.5.      
Relevansi Filosofis dan
Sosial
Akhirnya, relevansi
pemikiran Kuhn juga tampak dalam wacana filsafat sains mutakhir yang lebih
menekankan dimensi historis dan sosiologis ilmu.⁷ Pandangannya membuka jalan
bagi studi ilmu sebagai praktik manusia yang dipengaruhi oleh budaya, politik,
dan nilai. Dengan demikian, Kuhn tidak hanya memberi kerangka analisis bagi
sejarah sains, tetapi juga mempengaruhi cara masyarakat memahami peran ilmu
pengetahuan dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]               
Steven Weinberg, Dreams of a Final Theory (New York: Pantheon,
1992), 125–128.
[2]               
Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2000), 75–80.
[3]               
Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking
Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge:
Polity, 2001), 48–52.
[4]               
Eric D. Green et al., “Charting a Course for Genomic Medicine from Base
Pairs to Bedside,” Nature 470, no. 7333 (2011): 204–213.
[5]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 150–160.
[6]               
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 87–90.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 201–208.
8.          
Kebaruan (Novelty)
dan Warisan Intelektual Kuhn
Pemikiran Thomas S.
Kuhn menghadirkan kebaruan radikal dalam cara memahami sains, sekaligus
meninggalkan warisan intelektual yang sangat luas pengaruhnya. Sebelum
kehadiran The
Structure of Scientific Revolutions (1962), filsafat sains
didominasi oleh positivisme logis yang menekankan akumulasi pengetahuan secara
linear dan objektif.¹ Kuhn memutus tradisi tersebut dengan menegaskan bahwa
ilmu pengetahuan berkembang melalui fase-fase yang ditandai oleh krisis dan
revolusi, bukan sekadar melalui verifikasi atau falsifikasi teori. Dengan
demikian, kebaruan pemikiran Kuhn terletak pada pengenalan dimensi historis,
sosiologis, dan psikologis dalam perkembangan sains.
8.1.      
Kebaruan Pemikiran Kuhn
Kebaruan utama yang
ditawarkan Kuhn adalah konsep paradigma sebagai kerangka kerja
yang membentuk praktik ilmiah. Paradigma tidak hanya mengarahkan metode
penelitian, tetapi juga mempengaruhi cara ilmuwan melihat realitas.² Hal ini
menandai pergeseran dari filsafat sains normatif menuju filsafat sains
deskriptif-historis. Selain itu, gagasan tentang inkomensurabilitas memperkenalkan
pemahaman bahwa perbandingan antarparadigma tidak dapat dilakukan dengan
kriteria universal, sehingga menantang anggapan klasik mengenai objektivitas
mutlak dalam sains.³
8.2.      
Warisan Intelektual Kuhn
Warisan intelektual
Kuhn dapat ditelusuri dalam beberapa bidang. Pertama, dalam filsafat sains,
gagasannya mendorong munculnya diskusi baru tentang relativisme, pluralisme
epistemologis, dan peran komunitas ilmiah dalam pembentukan kebenaran ilmiah.⁴
Kedua, dalam sosiologi pengetahuan, Kuhn membuka jalan bagi pendekatan
konstruktivis yang memandang ilmu sebagai produk sosial yang dipengaruhi oleh
konteks budaya dan institusional.⁵ Ketiga, dalam ilmu sosial dan humaniora,
istilah “pergeseran paradigma” (paradigm shift) menjadi metafora
universal untuk menggambarkan perubahan mendasar dalam pola pikir, mulai dari
studi literatur hingga politik.⁶
8.3.      
Pengaruh Jangka Panjang
Warisan Kuhn juga
terlihat dalam munculnya generasi pemikir yang berusaha mengembangkan atau
mengkritisi kerangka teorinya, seperti Imre Lakatos dengan research
programmes atau Paul Feyerabend dengan anarkisme metodologis.⁷
Lebih jauh, dalam konteks abad ke-21, pemikiran Kuhn masih relevan untuk
menafsirkan perubahan besar dalam ilmu pengetahuan, misalnya revolusi digital,
genomik, dan kecerdasan buatan, yang menuntut kerangka konseptual baru di luar
paradigma lama. Dengan demikian, kebaruan pemikiran Kuhn bukan hanya bersifat
historis, tetapi juga terus-menerus beresonansi dengan perkembangan
kontemporer.
Secara keseluruhan,
kebaruan dan warisan intelektual Kuhn terletak pada kemampuannya mengubah cara
kita memahami ilmu pengetahuan: dari sesuatu yang dianggap netral, linear, dan
objektif, menjadi proses yang historis, dinamis, dan sarat dengan pergulatan
sosial. Warisan inilah yang menjadikan Kuhn sebagai salah satu tokoh paling
berpengaruh dalam sejarah filsafat sains modern.
Footnotes
[1]               
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Hutchinson, 1959), 15–20.
[2]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–11.
[3]               
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen, 2000), 95–99.
[4]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas
S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press,
1993), 110–115.
[5]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times
(Chicago: University of Chicago Press, 2000), 155–160.
[6]               
David J. Chalmers, What Is This Thing Called Science?
(Maidenhead: Open University Press, 1999), 105–108.
[7]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 180–185.
9.          
Kesimpulan
Pemikiran Thomas S. Kuhn melalui karya
monumentalnya The Structure of Scientific Revolutions (1962) telah
membawa perubahan mendasar dalam cara kita memahami dinamika ilmu pengetahuan.
Kuhn menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung secara linear dan
kumulatif sebagaimana diasumsikan oleh positivisme logis, melainkan melalui
fase-fase pra-paradigma, normal science, krisis, dan revolusi
ilmiah.¹ Dengan memperkenalkan konsep paradigma, Kuhn menekankan bahwa ilmu
pengetahuan beroperasi dalam kerangka keyakinan bersama yang membentuk metode,
teori, dan praktik ilmiah suatu komunitas.²
Kesimpulan penting dari pemikiran Kuhn adalah bahwa
ilmu pengetahuan bersifat historis, sosial, dan bahkan psikologis. Pergeseran
paradigma tidak sekadar ditentukan oleh logika empiris, tetapi juga oleh
konsensus komunitas ilmiah, sehingga menantang klaim objektivitas absolut yang sebelumnya
dipegang oleh tradisi positivisme.³ Hal ini membuka jalan bagi pemahaman baru
tentang sains sebagai aktivitas manusia yang selalu berada dalam konteks
budaya, politik, dan institusional tertentu.
Meski demikian, pemikiran Kuhn tidak luput dari kritik.
Tuduhan relativisme epistemologis, ambiguitas konsep paradigma, serta
selektivitas dalam membaca sejarah sains menunjukkan keterbatasan teorinya.⁴
Namun, kritik-kritik ini justru memperkaya wacana filsafat sains dan mendorong
lahirnya pemikiran alternatif dari tokoh seperti Imre Lakatos dengan research
programmes dan Paul Feyerabend dengan anarkisme metodologis.⁵
Relevansi gagasan Kuhn terus terasa hingga kini.
Konsep “pergeseran paradigma” tidak hanya digunakan untuk menganalisis
perubahan dalam ilmu alam, tetapi juga diadopsi dalam ilmu sosial, humaniora,
bahkan diskursus politik dan budaya.⁶ Dengan demikian, warisan intelektual Kuhn
bukan hanya terbatas pada filsafat sains, tetapi juga berpengaruh luas dalam
cara masyarakat memahami perubahan pengetahuan dan praktik intelektual.
Akhirnya, pemikiran Kuhn dapat disimpulkan sebagai
titik balik penting dalam sejarah filsafat sains. Ia menggeser fokus dari
logika normatif ke sejarah praksis ilmiah, dari objektivitas mutlak ke dinamika
komunitas, dan dari linearitas ke diskontinuitas. Kebaruan dan pengaruh
pemikirannya menjadikan Kuhn sebagai salah satu filsuf sains paling berpengaruh
pada abad ke-20, yang terus menjadi rujukan utama dalam diskusi mengenai
hakikat dan perkembangan ilmu pengetahuan.⁷
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.
[2]               
Ibid., 10–11.
[3]               
Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific
Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of
Chicago Press, 1993), 22–25.
[4]               
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 178–182.
[5]               
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 160–166.
[6]               
David J. Chalmers, What Is This Thing Called Science?
(Maidenhead: Open University Press, 1999), 106–110.
[7]               
Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical
History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
201–208.
Daftar Pustaka
Bird, A. (2000). Thomas
Kuhn. Acumen.
Chalmers, D. J. (1999). What
is this thing called science? (3rd ed.). Open University Press.
Feyerabend, P. (1975). Against
method. Verso.
Floridi, L. (2014). The
fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford
University Press.
Fuller, S. (2000). Thomas
Kuhn: A philosophical history for our times. University of Chicago Press.
Green, E. D., Guyer, M. S.,
& National Human Genome Research Institute. (2011). Charting a course for
genomic medicine from base pairs to bedside. Nature,
470(7333), 204–213.
Hoyningen-Huene, P. (1993).
Reconstructing scientific revolutions: Thomas S. Kuhn’s philosophy of
science. University of Chicago Press.
Keller, E. F. (2000). The
century of the gene. Harvard University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The
structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The
methodology of scientific research programmes. Cambridge University Press.
Losee, J. (2001). A
historical introduction to the philosophy of science (4th ed.). Oxford
University Press.
Marcum, J. A. (2005). Thomas
Kuhn’s revolution: An historical philosophy of science. Continuum.
Nowotny, H., Scott, P.,
& Gibbons, M. (2001). Re-thinking science: Knowledge and the public in
an age of uncertainty. Polity.
Popper, K. R. (1959). The
logic of scientific discovery. Hutchinson.
Popper, K. R. (1963). Conjectures
and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Weinberg, S. (1992). Dreams
of a final theory. Pantheon.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar