Senin, 29 September 2025

Pemikiran Thomas Samuel Kuhn: Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Revolusi Sains

Pemikiran Thomas Samuel Kuhn

Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Revolusi Sains


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan, sejarawan, dan filsuf sains asal Amerika Serikat yang dikenal melalui karya monumentalnya The Structure of Scientific Revolutions (1962). Fokus kajian diarahkan pada biografi intelektual Kuhn, konsep paradigma, struktur revolusi ilmiah, perbandingan pemikirannya dengan tokoh lain seperti Karl Popper, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend, serta kritik yang dialamatkan kepadanya. Artikel ini juga mengulas relevansi pemikiran Kuhn dalam ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya dalam menghadapi dinamika interdisipliner, revolusi digital, dan pluralisme epistemologis. Selain itu, dibahas pula kebaruan (novelty) yang ditawarkan Kuhn serta warisan intelektualnya yang meluas hingga ke ilmu sosial, humaniora, dan wacana publik. Melalui analisis kritis dan historis, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Kuhn merupakan titik balik penting dalam filsafat sains modern, karena mampu menggeser pandangan tradisional yang linear dan kumulatif menuju pemahaman yang lebih historis, sosiologis, dan dinamis tentang perkembangan ilmu pengetahuan.

Kata kunci: Thomas S. Kuhn, paradigma, revolusi ilmiah, filsafat sains, sejarah sains, incommensurability, pergeseran paradigma.


PEMBAHASAN

Kajian atas Pemikiran Thomas Samuel Kuhn


1.           Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan modern tidak pernah lepas dari perdebatan filosofis mengenai hakikat sains, metode, dan proses perubahan dalam tradisi ilmiah. Salah satu tokoh penting yang memberikan sumbangan besar terhadap pemahaman dinamika ilmu pengetahuan adalah Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan, sejarawan sains, sekaligus filsuf yang karya monumentalnya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), telah merevolusi cara pandang terhadap sejarah dan filsafat sains. Buku tersebut memperkenalkan istilah “paradigma” serta menekankan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak bersifat linear dan kumulatif semata, melainkan mengalami lompatan revolusioner melalui pergeseran paradigma yang mendasar.¹

Sebelum kehadiran Kuhn, filsafat sains cenderung didominasi oleh pendekatan positivisme logis dan falsifikasionisme Karl Popper. Kaum positivis logis berupaya menekankan kepastian metodologis dengan logika verifikasi, sementara Popper menolak hal tersebut dan menekankan pentingnya falsifikasi sebagai mekanisme koreksi ilmu.² Dalam konteks ini, Kuhn muncul dengan pendekatan yang berbeda: ia melihat sejarah sains bukan sekadar sebagai rangkaian hipotesis yang disaring melalui verifikasi atau falsifikasi, melainkan sebagai proses sosio-historis yang sarat dengan konflik, anomali, krisis, dan revolusi.³ Dengan demikian, gagasan Kuhn tidak hanya menantang paradigma dominan saat itu, tetapi juga membuka jalan bagi interpretasi baru tentang hubungan antara teori ilmiah, praktik komunitas ilmuwan, dan dinamika sosial-budaya.

Konsep paradigma dalam pandangan Kuhn menjadi kunci untuk memahami praktik sains sehari-hari, yang ia sebut sebagai normal science. Menurutnya, normal science bukanlah aktivitas kreatif radikal, tetapi suatu kerja pemecahan teka-teki dalam kerangka paradigma yang telah diterima komunitas ilmiah.⁴ Akan tetapi, ketika akumulasi anomali tidak dapat lagi dijelaskan dalam paradigma lama, terjadilah krisis yang membuka jalan bagi revolusi ilmiah dan kelahiran paradigma baru.⁵ Model siklus ini menolak pandangan evolusi kumulatif pengetahuan yang sebelumnya dominan, sehingga menegaskan bahwa perubahan ilmu lebih menyerupai pergantian kerangka konseptual secara drastis ketimbang sekadar penambahan data baru.

Pendahuluan ini bertujuan memberikan kerangka dasar untuk memahami pemikiran Thomas S. Kuhn sebagai salah satu titik balik penting dalam filsafat sains. Kajian ini tidak hanya menyoroti isi dan gagasan utama Kuhn, tetapi juga menempatkan pemikirannya dalam konteks historis-filosofis, serta mengidentifikasi kontribusi, kritik, dan relevansinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan demikian, pembahasan selanjutnya diharapkan mampu menampilkan pemahaman yang komprehensif dan analitis mengenai pengaruh besar pemikiran Kuhn terhadap cara pandang kita terhadap sains.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962).

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959).

[3]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 45–50.

[4]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 23–34.

[5]                Ibid., 66–76.


2.           Biografi Intelektual Thomas Samuel Kuhn

Thomas Samuel Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, dalam keluarga dengan latar belakang akademik dan intelektual yang cukup kuat. Ayahnya, Samuel L. Kuhn, merupakan seorang insinyur industri, sedangkan ibunya, Minette Stroock Kuhn, adalah seorang penulis dan penyunting. Lingkungan keluarga yang terbuka terhadap gagasan progresif memberikan fondasi awal bagi Kuhn untuk menekuni dunia intelektual sejak usia dini.¹

Kuhn memulai pendidikan tingginya di Harvard University dengan jurusan fisika pada tahun 1940-an. Selama Perang Dunia II, ia terlibat dalam proyek penelitian radar, yang semakin memperkaya pemahamannya terhadap praktik ilmiah dalam konteks teknologi dan militer. Setelah perang usai, ia melanjutkan studi doktoralnya di bidang fisika teori dan berhasil meraih gelar Ph.D. pada tahun 1949.² Meskipun latar belakang akademiknya berakar pada fisika, minatnya kemudian beralih ke bidang sejarah dan filsafat sains. Pergeseran ini terjadi ketika ia diminta untuk mengajar mata kuliah sejarah sains bagi mahasiswa non-sains di Harvard. Pada titik inilah Kuhn mulai mendalami karya-karya tokoh klasik, seperti Aristoteles dan Newton, dan menyadari bahwa sains berkembang melalui dinamika historis yang kompleks, bukan semata-mata melalui akumulasi pengetahuan.³

Karier akademik Kuhn berlanjut di berbagai institusi bergengsi. Setelah mengajar di Harvard hingga awal 1950-an, ia kemudian pindah ke University of California, Berkeley, pada 1956. Di Berkeley, ia menjabat sebagai dosen sejarah sains dan filsafat sains, sekaligus memantapkan reputasinya sebagai pemikir multidisipliner.⁴ Pada masa inilah Kuhn mulai merumuskan gagasan-gagasannya mengenai paradigma, normal science, dan revolusi ilmiah yang kelak dikembangkan dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962). Buku ini pertama kali diterbitkan sebagai bagian dari International Encyclopedia of Unified Science yang disponsori oleh University of Chicago Press dan dengan cepat menimbulkan perdebatan luas di kalangan ilmuwan maupun filsuf.⁵

Pada tahun 1964, Kuhn pindah ke Princeton University, di mana ia mengajar di Department of History and Philosophy of Science. Reputasinya semakin menguat, terutama setelah karyanya memicu diskusi lintas disiplin antara sains, filsafat, dan sosiologi pengetahuan. Kemudian, pada 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai Profesor Filsafat, di mana ia mengajar hingga pensiun.⁶

Secara intelektual, perjalanan Kuhn dapat dipahami sebagai peralihan dari fisika murni menuju filsafat dan sejarah sains, dengan ciri khas menekankan aspek historis, sosiologis, dan bahkan psikologis dalam perkembangan ilmu. Pemikirannya menandai pergeseran paradigma dalam kajian filsafat sains, dari model normatif-rasional ke arah yang lebih kontekstual dan historis. Dengan demikian, biografi intelektualnya mencerminkan perpaduan unik antara disiplin eksakta dan humaniora yang kemudian melahirkan sebuah perspektif orisinal mengenai dinamika ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 12–14.

[2]                James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical Philosophy of Science (London: Continuum, 2005), 20–23.

[3]                Kuhn sendiri menyinggung pengalaman ini dalam pengantar edisi kedua The Structure of Scientific Revolutions (1970).

[4]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 57–61.

[5]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962).

[6]                Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen, 2000), 34–39.


3.           Konsep Paradigma dalam Ilmu Pengetahuan

Salah satu sumbangan paling signifikan Thomas S. Kuhn dalam filsafat sains adalah gagasan mengenai paradigma. Istilah ini pertama kali dipopulerkan dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) dan segera menjadi pusat perdebatan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Paradigma, menurut Kuhn, adalah seperangkat keyakinan, nilai, teknik, dan model yang dibagikan oleh suatu komunitas ilmiah tertentu, sehingga berfungsi sebagai kerangka acuan dalam aktivitas ilmiah.¹ Paradigma bukan hanya sekadar teori atau hipotesis tunggal, melainkan mencakup seluruh cara pandang yang mendasari apa yang disebut Kuhn sebagai normal science.

Dalam kerangka normal science, para ilmuwan bekerja di bawah konsensus paradigma dengan berfokus pada pemecahan “teka-teki” (puzzle-solving).² Hal ini berarti penelitian ilmiah sehari-hari tidak diarahkan pada penemuan yang mengguncang dasar ilmu, melainkan pada penyempurnaan teori yang sudah mapan. Paradigma berfungsi memberikan aturan main yang stabil bagi komunitas ilmiah, sehingga mereka dapat melakukan penelitian yang koheren dan terorganisasi.³ Dengan demikian, paradigma menjadi syarat utama keberlangsungan tradisi ilmiah.

Akan tetapi, paradigma tidak bersifat abadi. Kuhn menekankan bahwa akumulasi anomali—temuan yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma dominan—akan menimbulkan ketegangan. Ketika anomali ini semakin menumpuk dan tidak lagi dapat diabaikan, maka muncullah krisis ilmiah.⁴ Dalam situasi krisis, paradigma lama kehilangan legitimasi dan terbuka kemungkinan bagi lahirnya paradigma baru. Proses ini disebut Kuhn sebagai “revolusi ilmiah,” yang ditandai oleh pergeseran mendasar dalam kerangka konseptual.⁵

Salah satu aspek paling kontroversial dari konsep paradigma adalah ide tentang inkomensurabilitas (incommensurability). Kuhn berpendapat bahwa paradigma-paradigma yang berbeda tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan ukuran yang sama, karena masing-masing memiliki kategori, bahasa, dan asumsi dasar yang berbeda.⁶ Pandangan ini menantang keyakinan tradisional bahwa ilmu berkembang secara kumulatif dan objektif, serta menimbulkan perdebatan panjang mengenai relativisme dalam sains.

Meskipun istilah paradigma kerap dikritik karena dianggap terlalu luas dan ambigu, gagasan ini tetap menjadi salah satu konsep paling berpengaruh dalam studi filsafat dan sejarah sains. Bahkan, penggunaannya kemudian meluas ke berbagai bidang lain, termasuk ilmu sosial, pendidikan, politik, dan budaya, yang menggunakan istilah “pergeseran paradigma” (paradigm shift) untuk menggambarkan perubahan mendasar dalam pola pikir dan praktik.⁷ Dengan demikian, konsep paradigma Kuhn telah melampaui batas-batas filsafat sains dan menjadi istilah universal dalam wacana intelektual kontemporer.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–11.

[2]                Ibid., 35–42.

[3]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 20–23.

[4]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 66–71.

[5]                Ibid., 92–110.

[6]                Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen, 2000), 75–80.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 101–106.


4.           Struktur Revolusi Ilmiah

Konsep revolusi ilmiah yang dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn merupakan salah satu pilar utama dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962). Kuhn menolak pandangan tradisional yang melihat perkembangan ilmu pengetahuan sebagai proses linear dan kumulatif, di mana teori baru sekadar menambahkan pengetahuan pada teori lama. Sebaliknya, ia berargumen bahwa perkembangan ilmu terjadi melalui serangkaian fase yang terstruktur, melibatkan stabilitas, krisis, dan perubahan paradigma.¹

Tahap pertama dalam struktur revolusi ilmiah adalah fase pra-paradigma. Pada tahap ini, suatu bidang ilmu belum memiliki kerangka teori yang dominan sehingga ditandai oleh keragaman pendekatan, perdebatan metodologis, dan ketiadaan konsensus ilmiah.² Setelah komunitas ilmiah mulai menyepakati kerangka konseptual tertentu, muncullah fase normal science. Dalam fase ini, ilmuwan bekerja dalam kerangka paradigma dominan dengan fokus pada pemecahan teka-teki ilmiah (puzzle-solving) sesuai aturan main yang diterima bersama.³

Namun, dalam proses normal science selalu terdapat anomali, yaitu fenomena atau data yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma yang berlaku. Pada awalnya, anomali dianggap sebagai kesalahan teknis atau masalah minor yang dapat diatasi. Tetapi, jika akumulasi anomali semakin besar dan mengganggu kredibilitas paradigma, maka muncullah fase krisis.⁴ Krisis ini menjadi momen penting karena mengguncang keyakinan komunitas ilmiah terhadap paradigma lama.

Fase berikutnya adalah revolusi ilmiah, yakni periode pergeseran paradigma secara mendasar. Dalam fase ini, paradigma lama ditinggalkan dan digantikan oleh paradigma baru yang mampu menjelaskan anomali sebelumnya. Proses transisi ini tidak bersifat gradual, melainkan diskontinu dan revolusioner. Kuhn menggambarkan hal ini dengan analogi “pergeseran gestalt,” di mana cara pandang ilmuwan berubah secara radikal, seolah-olah melihat dunia dengan kacamata baru.⁵

Salah satu ciri khas revolusi ilmiah menurut Kuhn adalah inkomensurabilitas (incommensurability) antarparadigma. Paradigma lama dan baru tidak dapat dibandingkan dengan ukuran yang sama karena masing-masing memiliki terminologi, metodologi, serta landasan konseptual yang berbeda.⁶ Dengan demikian, pemilihan paradigma baru tidak hanya ditentukan oleh logika empiris, tetapi juga melibatkan faktor psikologis, sosiologis, dan bahkan politik ilmiah.

Struktur revolusi ilmiah yang ditawarkan Kuhn ini telah mengguncang pemahaman tradisional dalam filsafat sains. Ia menekankan bahwa perubahan ilmiah lebih bersifat revolusioner daripada evolusioner, serta menempatkan komunitas ilmiah dan dinamika sosial sebagai faktor penting dalam perkembangan pengetahuan.⁷ Dengan demikian, pemikiran Kuhn membuka jalan bagi perspektif baru yang menekankan sejarah, budaya, dan praktik ilmiah dalam memahami ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.

[2]                James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical Philosophy of Science (London: Continuum, 2005), 30–34.

[3]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 35–42.

[4]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 55–58.

[5]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 111–135.

[6]                Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen, 2000), 90–95.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 115–121.


5.           Perbandingan Pemikiran Kuhn dengan Tokoh Filsafat Sains Lain

Pemikiran Thomas S. Kuhn mengenai paradigma dan revolusi ilmiah tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dalam dialog—bahkan perdebatan—dengan tradisi filsafat sains sebelumnya. Untuk memahami posisi gagasannya, penting membandingkan pemikiran Kuhn dengan beberapa tokoh besar lain dalam filsafat sains, terutama Karl Popper, Imre Lakatos, dan Paul Feyerabend.

5.1.       Kuhn dan Karl Popper

Karl Popper menekankan falsifikasionisme sebagai inti metodologi sains. Menurut Popper, teori ilmiah tidak pernah dapat dibuktikan secara pasti, tetapi hanya dapat diuji dan digugurkan melalui pengamatan empiris yang bertentangan.¹ Sains, dengan demikian, berkembang melalui proses conjectures and refutations. Kuhn, sebaliknya, berargumen bahwa ilmuwan dalam praktik sehari-hari tidak bekerja dengan terus-menerus mencoba menggugurkan teori, melainkan beroperasi dalam kerangka normal science, yaitu memecahkan teka-teki dalam batas paradigma yang diterima.² Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa Popper menekankan rasionalitas kritis, sementara Kuhn menyoroti faktor historis dan sosiologis dalam perkembangan ilmu.

5.2.       Kuhn dan Imre Lakatos

Imre Lakatos mencoba menengahi perbedaan antara Popper dan Kuhn melalui konsep research programmes.³ Menurut Lakatos, ilmu tidak berkembang melalui falsifikasi tunggal (Popper) atau melalui revolusi total (Kuhn), melainkan melalui program riset yang memiliki “inti keras” (hard core) dan “sabuk pelindung” (protective belt). Program riset dapat dianggap progresif bila menghasilkan prediksi baru yang dapat diverifikasi, dan dianggap degeneratif bila gagal melakukannya.⁴ Jika dibandingkan dengan Kuhn, Lakatos tetap mempertahankan dimensi rasional dalam pergantian teori, sedangkan Kuhn lebih menekankan ketidakterhindaran krisis dan ketidakkomensurabilitas antarparadigma.

5.3.       Kuhn dan Paul Feyerabend

Paul Feyerabend, tokoh anarkisme metodologis, melangkah lebih jauh dibanding Kuhn. Dalam karyanya Against Method (1975), Feyerabend berargumen bahwa tidak ada metodologi sains universal yang berlaku; prinsip “apa saja boleh” (anything goes) menjadi semboyan utamanya.⁵ Jika Kuhn masih mengakui adanya periode normal science dengan aturan yang mengikat komunitas ilmiah, Feyerabend menolak segala bentuk aturan baku dalam sains. Baginya, perkembangan ilmu lebih bersifat pluralistik dan bahkan kacau.⁶ Dengan demikian, meskipun keduanya menolak pandangan kumulatif-linear tentang sains, Feyerabend lebih radikal daripada Kuhn dalam menolak rasionalitas metodologis.

5.4.       Sintesis Perbandingan

Dari perbandingan ini, tampak bahwa posisi Kuhn berada di antara rasionalisme kritis Popper dan anarkisme metodologis Feyerabend. Kuhn mengakui pentingnya kerangka kerja ilmiah (paradigma), tetapi menekankan bahwa perubahan paradigma tidak hanya ditentukan oleh logika empiris, melainkan juga oleh faktor sosiologis, historis, dan psikologis. Sementara Lakatos mencoba membangun kompromi antara Popper dan Kuhn, pemikiran Kuhn tetap berpengaruh karena memberikan penekanan pada dimensi komunitas ilmiah dan sejarah sebagai faktor kunci dalam perkembangan pengetahuan.⁷


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 33–39.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 35–42.

[3]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–12.

[4]                Ibid., 48–52.

[5]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 23–25.

[6]                Ibid., 160–166.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 143–150.


6.           Kritik terhadap Pemikiran Kuhn

Sejak diterbitkannya The Structure of Scientific Revolutions (1962), gagasan Thomas S. Kuhn menuai respons yang sangat luas, baik berupa apresiasi maupun kritik tajam. Konsep paradigma, normal science, dan revolusi ilmiah yang ditawarkannya dianggap berhasil membuka perspektif baru dalam filsafat sains, namun sekaligus memunculkan kontroversi serius yang memicu perdebatan panjang. Kritik terhadap pemikiran Kuhn dapat dikategorikan dalam beberapa aspek: epistemologis, metodologis, historis, dan sosiologis.

6.1.       Kritik Epistemologis

Salah satu kritik utama datang dari tuduhan relativisme epistemologis. Dengan menekankan inkomensurabilitas antarparadigma, Kuhn dianggap mengaburkan kemungkinan adanya kriteria objektif untuk membandingkan teori ilmiah.¹ Jika paradigma-paradigma berbeda tidak dapat diukur dengan standar yang sama, maka pilihan paradigma baru seakan lebih ditentukan oleh faktor subjektif atau sosial daripada oleh bukti empiris. Karl Popper, misalnya, menilai bahwa pandangan Kuhn berpotensi merelatifkan kebenaran ilmiah karena melemahkan peran falsifikasi sebagai penentu rasionalitas ilmu.²

6.2.       Kritik Metodologis

Dari segi metodologi, konsep paradigma Kuhn sering dianggap terlalu luas dan ambigu. Imre Lakatos menyebut bahwa istilah paradigma digunakan Kuhn dalam berbagai arti—kadang sebagai teori, kadang sebagai model, bahkan sebagai keseluruhan tradisi ilmiah—sehingga menyulitkan untuk dijadikan alat analisis yang konsisten.³ Selain itu, Kuhn tidak memberikan kriteria jelas tentang bagaimana komunitas ilmiah menentukan titik transisi dari krisis menuju revolusi, sehingga proses pergeseran paradigma terkesan lebih bersifat sosiologis daripada logis.⁴

6.3.       Kritik Historis

Sejumlah sejarawan sains mengkritik selektivitas Kuhn dalam membaca sejarah. Kuhn kerap dianggap memilih contoh-contoh revolusi ilmiah yang cocok dengan kerangka teorinya, seperti Revolusi Kopernikan atau teori relativitas Einstein, sambil mengabaikan periode lain yang menunjukkan kesinambungan evolusioner.⁵ Kritik ini menegaskan bahwa tidak semua perkembangan ilmu bersifat revolusioner; sebagian besar justru berkembang secara bertahap melalui akumulasi pengetahuan. Dengan demikian, model Kuhn dinilai terlalu menekankan diskontinuitas.

6.4.       Kritik Sosiologis

Dari perspektif sosiologi ilmu, kritik diarahkan pada klaim Kuhn bahwa pemilihan paradigma baru melibatkan konsensus komunitas ilmiah.⁶ Hal ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana konsensus tersebut bersifat ilmiah dan rasional, dan sejauh mana ia dipengaruhi oleh faktor non-ilmiah seperti politik, ekonomi, atau budaya? Beberapa kalangan, seperti Steve Fuller, bahkan menilai bahwa teori Kuhn membuka ruang bagi relativisme sosial dalam sains, di mana kebenaran ilmiah lebih dipandang sebagai hasil konstruksi komunitas ketimbang realitas objektif.⁷

6.5.       Sintesis Kritik

Secara keseluruhan, kritik terhadap Kuhn menunjukkan bahwa meskipun pemikirannya inovatif, ia menyisakan banyak persoalan konseptual. Kuhn berhasil menggeser fokus filsafat sains dari logika formal ke dinamika historis dan komunitas ilmiah, namun dalam melakukannya ia dituduh mengorbankan kejelasan metodologis dan kepastian epistemologis. Meski demikian, justru karena kritik-kritik inilah, pemikiran Kuhn tetap relevan: ia memaksa filsafat sains untuk terus mempertanyakan dasar-dasarnya sendiri, serta membuka ruang bagi kajian interdisipliner antara filsafat, sejarah, dan sosiologi ilmu.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 148–150.

[2]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 52–55.

[3]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 178–182.

[4]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 84–87.

[5]                John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (Oxford: Oxford University Press, 2001), 213–215.

[6]                Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 175–180.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 155–160.


7.           Relevansi Pemikiran Kuhn dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Pemikiran Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) tetap memiliki relevansi besar dalam kajian filsafat sains dan praktik ilmu pengetahuan kontemporer. Konsep paradigma, normal science, dan revolusi ilmiah tidak hanya memberikan kerangka analisis untuk memahami perkembangan sains di masa lalu, tetapi juga berfungsi sebagai lensa kritis untuk menafsirkan dinamika ilmu pengetahuan modern yang semakin kompleks.

7.1.       Paradigma dan Dinamika Ilmu Kontemporer

Dalam konteks sains modern, paradigma masih berperan sebagai kerangka kerja yang memungkinkan komunitas ilmiah menjaga konsistensi metodologis. Misalnya, dalam penelitian fisika partikel, paradigma Standard Model telah menjadi acuan utama meskipun kini menghadapi anomali dari temuan seperti neutrino mass dan dark matter.¹ Fenomena ini mencerminkan tesis Kuhn bahwa paradigma lama tetap dipertahankan hingga tekanan anomali menuntut kemungkinan lahirnya revolusi ilmiah baru. Demikian pula dalam biologi molekuler, paradigma DNA sebagai pusat informasi kehidupan kini mulai ditantang oleh studi epigenetika, yang memperluas horizon tentang mekanisme pewarisan sifat.²

7.2.       Interdisiplinaritas dan Pergeseran Paradigma

Ilmu kontemporer ditandai oleh meningkatnya penelitian interdisipliner, seperti bioinformatika, kecerdasan buatan, dan ilmu lingkungan. Kuhn relevan karena menunjukkan bahwa pergeseran paradigma sering terjadi ketika disiplin ilmu berinteraksi dan melahirkan kerangka konseptual baru.³ Contoh konkret adalah integrasi biologi dan ilmu komputer dalam genomics, yang telah mengubah cara ilmuwan memahami makhluk hidup dan memicu “revolusi genomik.”⁴

7.3.       Inkomensurabilitas dan Pluralisme Ilmiah

Konsep inkomensurabilitas Kuhn juga beresonansi dengan pluralisme epistemologis kontemporer. Dalam ilmu sosial, misalnya, perdebatan antara pendekatan positivistik dan konstruktivistik menunjukkan adanya paradigma yang berbeda dan sulit disejajarkan dengan standar tunggal.⁵ Hal ini memperkuat relevansi pandangan Kuhn bahwa komunikasi lintas paradigma tidak selalu netral, melainkan dipengaruhi oleh bahasa, nilai, dan konteks masing-masing komunitas ilmiah.

7.4.       Teknologi, Politik, dan Sains Global

Konteks kontemporer juga menunjukkan bagaimana sains tidak dapat dilepaskan dari politik, ekonomi, dan teknologi. Revolusi digital dan perkembangan kecerdasan buatan memperlihatkan pergeseran paradigma dalam memahami pengetahuan, di mana data besar (big data) menjadi fondasi baru bagi metode ilmiah.⁶ Pemikiran Kuhn tetap relevan karena menegaskan bahwa perubahan paradigma bukan hanya peristiwa intelektual, tetapi juga sosial dan institusional.

7.5.       Relevansi Filosofis dan Sosial

Akhirnya, relevansi pemikiran Kuhn juga tampak dalam wacana filsafat sains mutakhir yang lebih menekankan dimensi historis dan sosiologis ilmu.⁷ Pandangannya membuka jalan bagi studi ilmu sebagai praktik manusia yang dipengaruhi oleh budaya, politik, dan nilai. Dengan demikian, Kuhn tidak hanya memberi kerangka analisis bagi sejarah sains, tetapi juga mempengaruhi cara masyarakat memahami peran ilmu pengetahuan dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Steven Weinberg, Dreams of a Final Theory (New York: Pantheon, 1992), 125–128.

[2]                Evelyn Fox Keller, The Century of the Gene (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 75–80.

[3]                Helga Nowotny, Peter Scott, dan Michael Gibbons, Re-Thinking Science: Knowledge and the Public in an Age of Uncertainty (Cambridge: Polity, 2001), 48–52.

[4]                Eric D. Green et al., “Charting a Course for Genomic Medicine from Base Pairs to Bedside,” Nature 470, no. 7333 (2011): 204–213.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 150–160.

[6]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 87–90.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 201–208.


8.           Kebaruan (Novelty) dan Warisan Intelektual Kuhn

Pemikiran Thomas S. Kuhn menghadirkan kebaruan radikal dalam cara memahami sains, sekaligus meninggalkan warisan intelektual yang sangat luas pengaruhnya. Sebelum kehadiran The Structure of Scientific Revolutions (1962), filsafat sains didominasi oleh positivisme logis yang menekankan akumulasi pengetahuan secara linear dan objektif.¹ Kuhn memutus tradisi tersebut dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui fase-fase yang ditandai oleh krisis dan revolusi, bukan sekadar melalui verifikasi atau falsifikasi teori. Dengan demikian, kebaruan pemikiran Kuhn terletak pada pengenalan dimensi historis, sosiologis, dan psikologis dalam perkembangan sains.

8.1.       Kebaruan Pemikiran Kuhn

Kebaruan utama yang ditawarkan Kuhn adalah konsep paradigma sebagai kerangka kerja yang membentuk praktik ilmiah. Paradigma tidak hanya mengarahkan metode penelitian, tetapi juga mempengaruhi cara ilmuwan melihat realitas.² Hal ini menandai pergeseran dari filsafat sains normatif menuju filsafat sains deskriptif-historis. Selain itu, gagasan tentang inkomensurabilitas memperkenalkan pemahaman bahwa perbandingan antarparadigma tidak dapat dilakukan dengan kriteria universal, sehingga menantang anggapan klasik mengenai objektivitas mutlak dalam sains.³

8.2.       Warisan Intelektual Kuhn

Warisan intelektual Kuhn dapat ditelusuri dalam beberapa bidang. Pertama, dalam filsafat sains, gagasannya mendorong munculnya diskusi baru tentang relativisme, pluralisme epistemologis, dan peran komunitas ilmiah dalam pembentukan kebenaran ilmiah.⁴ Kedua, dalam sosiologi pengetahuan, Kuhn membuka jalan bagi pendekatan konstruktivis yang memandang ilmu sebagai produk sosial yang dipengaruhi oleh konteks budaya dan institusional.⁵ Ketiga, dalam ilmu sosial dan humaniora, istilah “pergeseran paradigma” (paradigm shift) menjadi metafora universal untuk menggambarkan perubahan mendasar dalam pola pikir, mulai dari studi literatur hingga politik.⁶

8.3.       Pengaruh Jangka Panjang

Warisan Kuhn juga terlihat dalam munculnya generasi pemikir yang berusaha mengembangkan atau mengkritisi kerangka teorinya, seperti Imre Lakatos dengan research programmes atau Paul Feyerabend dengan anarkisme metodologis.⁷ Lebih jauh, dalam konteks abad ke-21, pemikiran Kuhn masih relevan untuk menafsirkan perubahan besar dalam ilmu pengetahuan, misalnya revolusi digital, genomik, dan kecerdasan buatan, yang menuntut kerangka konseptual baru di luar paradigma lama. Dengan demikian, kebaruan pemikiran Kuhn bukan hanya bersifat historis, tetapi juga terus-menerus beresonansi dengan perkembangan kontemporer.

Secara keseluruhan, kebaruan dan warisan intelektual Kuhn terletak pada kemampuannya mengubah cara kita memahami ilmu pengetahuan: dari sesuatu yang dianggap netral, linear, dan objektif, menjadi proses yang historis, dinamis, dan sarat dengan pergulatan sosial. Warisan inilah yang menjadikan Kuhn sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat sains modern.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 15–20.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–11.

[3]                Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen, 2000), 95–99.

[4]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 110–115.

[5]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 155–160.

[6]                David J. Chalmers, What Is This Thing Called Science? (Maidenhead: Open University Press, 1999), 105–108.

[7]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 180–185.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Thomas S. Kuhn melalui karya monumentalnya The Structure of Scientific Revolutions (1962) telah membawa perubahan mendasar dalam cara kita memahami dinamika ilmu pengetahuan. Kuhn menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung secara linear dan kumulatif sebagaimana diasumsikan oleh positivisme logis, melainkan melalui fase-fase pra-paradigma, normal science, krisis, dan revolusi ilmiah.¹ Dengan memperkenalkan konsep paradigma, Kuhn menekankan bahwa ilmu pengetahuan beroperasi dalam kerangka keyakinan bersama yang membentuk metode, teori, dan praktik ilmiah suatu komunitas.²

Kesimpulan penting dari pemikiran Kuhn adalah bahwa ilmu pengetahuan bersifat historis, sosial, dan bahkan psikologis. Pergeseran paradigma tidak sekadar ditentukan oleh logika empiris, tetapi juga oleh konsensus komunitas ilmiah, sehingga menantang klaim objektivitas absolut yang sebelumnya dipegang oleh tradisi positivisme.³ Hal ini membuka jalan bagi pemahaman baru tentang sains sebagai aktivitas manusia yang selalu berada dalam konteks budaya, politik, dan institusional tertentu.

Meski demikian, pemikiran Kuhn tidak luput dari kritik. Tuduhan relativisme epistemologis, ambiguitas konsep paradigma, serta selektivitas dalam membaca sejarah sains menunjukkan keterbatasan teorinya.⁴ Namun, kritik-kritik ini justru memperkaya wacana filsafat sains dan mendorong lahirnya pemikiran alternatif dari tokoh seperti Imre Lakatos dengan research programmes dan Paul Feyerabend dengan anarkisme metodologis.⁵

Relevansi gagasan Kuhn terus terasa hingga kini. Konsep “pergeseran paradigma” tidak hanya digunakan untuk menganalisis perubahan dalam ilmu alam, tetapi juga diadopsi dalam ilmu sosial, humaniora, bahkan diskursus politik dan budaya.⁶ Dengan demikian, warisan intelektual Kuhn bukan hanya terbatas pada filsafat sains, tetapi juga berpengaruh luas dalam cara masyarakat memahami perubahan pengetahuan dan praktik intelektual.

Akhirnya, pemikiran Kuhn dapat disimpulkan sebagai titik balik penting dalam sejarah filsafat sains. Ia menggeser fokus dari logika normatif ke sejarah praksis ilmiah, dari objektivitas mutlak ke dinamika komunitas, dan dari linearitas ke diskontinuitas. Kebaruan dan pengaruh pemikirannya menjadikan Kuhn sebagai salah satu filsuf sains paling berpengaruh pada abad ke-20, yang terus menjadi rujukan utama dalam diskusi mengenai hakikat dan perkembangan ilmu pengetahuan.⁷


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–9.

[2]                Ibid., 10–11.

[3]                Paul Hoyningen-Huene, Reconstructing Scientific Revolutions: Thomas S. Kuhn’s Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 22–25.

[4]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 178–182.

[5]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 160–166.

[6]                David J. Chalmers, What Is This Thing Called Science? (Maidenhead: Open University Press, 1999), 106–110.

[7]                Steve Fuller, Thomas Kuhn: A Philosophical History for Our Times (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 201–208.


Daftar Pustaka

Bird, A. (2000). Thomas Kuhn. Acumen.

Chalmers, D. J. (1999). What is this thing called science? (3rd ed.). Open University Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford University Press.

Fuller, S. (2000). Thomas Kuhn: A philosophical history for our times. University of Chicago Press.

Green, E. D., Guyer, M. S., & National Human Genome Research Institute. (2011). Charting a course for genomic medicine from base pairs to bedside. Nature, 470(7333), 204–213.

Hoyningen-Huene, P. (1993). Reconstructing scientific revolutions: Thomas S. Kuhn’s philosophy of science. University of Chicago Press.

Keller, E. F. (2000). The century of the gene. Harvard University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes. Cambridge University Press.

Losee, J. (2001). A historical introduction to the philosophy of science (4th ed.). Oxford University Press.

Marcum, J. A. (2005). Thomas Kuhn’s revolution: An historical philosophy of science. Continuum.

Nowotny, H., Scott, P., & Gibbons, M. (2001). Re-thinking science: Knowledge and the public in an age of uncertainty. Polity.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Popper, K. R. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Weinberg, S. (1992). Dreams of a final theory. Pantheon.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar