Fatalisme
"Konsep, Sejarah, dan Implikasinya dalam Kehidupan Manusia"
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
fatalisme, sebuah konsep yang menyatakan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan
telah ditentukan sebelumnya, sehingga usaha manusia tidak dapat mengubah hasil
akhirnya. Melalui pendekatan multidisipliner, artikel ini mengeksplorasi
asal-usul dan perkembangan fatalisme dalam filsafat Yunani Kuno, tradisi agama,
hingga pemikiran modern. Fatalisme dalam agama dibahas dengan menyoroti
perdebatan teologis, seperti konsep qadha wa qadar dalam Islam dan
predestinasi dalam Kristen. Sementara itu, kritik terhadap fatalisme dikaji
melalui perspektif filsafat eksistensialisme, pragmatisme, dan psikologi
modern, yang menekankan pentingnya kebebasan, tanggung jawab, dan upaya
manusia.
Artikel ini juga menguraikan implikasi fatalisme
dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk psikologis, sosial, politik, dan
ekonomi. Di satu sisi, fatalisme dapat memberikan ketenangan melalui penerimaan
terhadap takdir, tetapi di sisi lain, ia sering dikritik karena dapat mendorong
pasivitas dan menghambat perubahan sosial. Sebagai respons, berbagai alternatif
dikemukakan, seperti konsep amor fati dari Nietzsche, growth mindset
dari Carol Dweck, dan logoterapi dari Viktor Frankl, yang menekankan
keseimbangan antara penerimaan dan tindakan.
Melalui pembahasan ini, artikel bertujuan untuk
memberikan wawasan yang mendalam tentang fatalisme, kritik-kritiknya, dan
alternatifnya, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Dengan demikian,
pembaca diajak untuk memahami fatalisme secara kritis dan mengintegrasikan
pandangan yang lebih seimbang dalam menghadapi tantangan hidup.
Kata Kunci: Fatalisme, takdir, qadha wa qadar,
predestinasi, filsafat, agama, psikologi, eksistensialisme, growth mindset,
amor fati, tanggung jawab, kebebasan, logoterapi, implikasi sosial,
alternatif fatalisme.
1.
Pendahuluan
Fatalisme merupakan salah satu konsep filosofis
yang telah lama menjadi perbincangan dalam berbagai tradisi pemikiran manusia.
Istilah ini berasal dari kata Latin fatum, yang berarti
"takdir" atau "nasib," dan mengacu pada keyakinan bahwa
semua peristiwa dalam kehidupan telah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat
diubah oleh tindakan manusia.¹ Dalam diskursus filsafat, fatalisme seringkali
dikaitkan dengan perdebatan mengenai kebebasan manusia (free will) dan
determinisme, di mana ia menjadi salah satu sudut pandang ekstrem yang
menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi secara tak terelakkan sesuai dengan
hukum kosmik atau kehendak ilahi.²
Relevansi pembahasan tentang fatalisme sangat nyata
dalam kehidupan modern. Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, banyak
individu menghadapi tantangan berupa tekanan hidup, ketidakpastian masa depan,
dan keresahan eksistensial.³ Dalam konteks ini, pemahaman tentang fatalisme
dapat membantu menggambarkan bagaimana keyakinan terhadap nasib yang tak
terhindarkan dapat memengaruhi cara seseorang merespons tantangan tersebut.
Sebagian orang mungkin menemukan kenyamanan dalam gagasan bahwa segala sesuatu
telah diatur oleh kekuatan yang lebih besar, sementara yang lain melihat
fatalisme sebagai penghalang bagi upaya dan tanggung jawab individu.⁴
Sebagai konsep yang melintasi dimensi budaya,
agama, dan filsafat, fatalisme juga memiliki signifikansi dalam memahami
dinamika historis dan sosial. Dalam tradisi filsafat Yunani kuno, fatalisme
menjadi bagian dari doktrin Stoikisme, yang mengajarkan penerimaan terhadap
takdir sebagai bagian dari kehidupan yang bijaksana.⁵ Di sisi lain, dalam
konteks agama-agama Abrahamik seperti Islam dan Kristen, konsep fatalisme
sering kali disandingkan dengan ajaran tentang kebebasan manusia untuk memilih
dan bertindak, yang menggambarkan adanya keseimbangan antara takdir dan
ikhtiar.⁶
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep
fatalisme secara mendalam, mulai dari pengertian, sejarah perkembangan,
kritik-kritik yang muncul, hingga implikasinya dalam kehidupan manusia. Dengan
pendekatan yang sistematis dan referensi yang kredibel, diharapkan pembahasan
ini dapat memberikan wawasan yang kaya dan komprehensif bagi pembaca, serta
membantu mereka memahami bagaimana fatalisme dapat memengaruhi cara pandang dan
tindakan manusia dalam menghadapi kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Oxford English Dictionary, s.v. "Fatalism,"
accessed January 4, 2025, https://www.oed.com/.
[2]
Richard Taylor, Metaphysics (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 55–56.
[3]
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.
[4]
William James, The Will to Believe and Other
Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green & Co., 1897),
145–146.
[5]
Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties,
and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 132–134.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of
Islam (Chicago: ABC International, 2000), 58–61.
2.
Pengertian
Fatalisme
Fatalisme adalah konsep filosofis yang menyatakan
bahwa semua peristiwa dalam kehidupan manusia telah ditentukan sebelumnya dan
berada di luar kendali individu.¹ Secara etimologis, istilah
"fatalisme" berasal dari kata Latin fatum, yang berarti
"nasib" atau "takdir yang telah ditentukan oleh kehendak ilahi
atau kekuatan kosmik."² Dalam terminologi filsafat, fatalisme sering
dipahami sebagai doktrin yang menolak kebebasan kehendak (free will),
dengan menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas tindakan atau hasil
hidup mereka karena semuanya telah ditetapkan sejak awal.³
Fatalisme berbeda dengan determinisme, meskipun
keduanya sering dianggap serupa. Determinisme, dalam pengertian filsafat,
merujuk pada pandangan bahwa setiap peristiwa terjadi karena hubungan
sebab-akibat yang tak terelakkan, tetapi tidak selalu mengesampingkan kebebasan
manusia untuk bertindak dalam batas-batas tertentu.⁴ Sebaliknya, fatalisme
mengasumsikan bahwa hasil akhirnya sudah ditentukan tanpa memedulikan usaha
atau pilihan individu, sehingga peran kehendak manusia menjadi tidak relevan.⁵
Dalam konteks agama, fatalisme seringkali dikaitkan
dengan keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh kehendak Tuhan.
Dalam tradisi Islam, misalnya, ada perdebatan teologis antara konsep qadha
wa qadar (ketentuan dan takdir) dan pandangan ekstrem fatalisme. Islam
mengajarkan keseimbangan antara percaya pada takdir dan pentingnya ikhtiar atau
usaha manusia.⁶ Di sisi lain, dalam tradisi Kristen, doktrin predestinasi
Calvinis cenderung menekankan aspek "nasib yang telah ditetapkan"
tetapi tetap memberikan ruang untuk tindakan manusia sebagai bagian dari
rencana Tuhan.⁷
Fatalisme juga dapat dimengerti melalui konteks
budaya dan sosial. Dalam beberapa masyarakat tradisional, keyakinan fatalistik
muncul sebagai mekanisme psikologis untuk menerima kenyataan hidup yang sulit
diubah, seperti kemiskinan atau bencana alam.⁸ Namun, dalam masyarakat modern,
pandangan fatalistik sering dikritik karena dianggap menghambat kemajuan
individu dan sosial, dengan mengurangi motivasi untuk bertindak atau mengubah
keadaan.⁹
Dengan demikian, pengertian fatalisme mencakup
dimensi filosofis, teologis, dan sosiologis yang saling terkait. Pemahaman yang
mendalam tentang fatalisme membutuhkan analisis terhadap konteks di mana konsep
ini diterapkan, baik dalam ranah pemikiran maupun praktik kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Oxford English Dictionary, s.v. "Fatalism," accessed
January 4, 2025, https://www.oed.com/.
[2]
Richard Taylor, Metaphysics (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 55.
[3]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will
(Oxford: Oxford University Press, 1983), 65–66.
[4]
Ted Honderich, Determinism as True,
Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem
(London: Routledge, 1993), 12–14.
[5]
Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties,
and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 117–118.
[6]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36–38.
[7]
John Calvin, Institutes of the Christian
Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953),
218–220.
[8]
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.
[9]
William James, The Will to Believe and Other
Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green & Co., 1897),
147.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Fatalisme
Fatalisme memiliki akar yang mendalam dalam sejarah
pemikiran manusia, dengan manifestasi yang berbeda di setiap peradaban dan era.
Dalam filsafat klasik, gagasan fatalisme pertama kali muncul dalam pemikiran
Yunani Kuno, khususnya dalam tradisi Stoikisme. Stoikisme, yang didirikan oleh
Zeno dari Citium pada abad ke-3 SM, mengajarkan bahwa segala sesuatu terjadi
sesuai dengan logos (hukum kosmik atau rasionalitas universal).¹ Para
Stoik percaya bahwa hidup yang bijaksana adalah hidup yang selaras dengan
takdir, menerima apa yang tidak dapat diubah, sambil menjalankan tugas moral
sesuai kemampuan individu.²
Pandangan fatalistik juga terlihat dalam
karya-karya tragedi Yunani, seperti Oedipus Rex karya Sophocles, yang
menunjukkan bagaimana manusia tidak dapat menghindari nasib yang telah
ditentukan oleh para dewa.³ Dalam karya ini, fatalisme berfungsi sebagai
pengingat tentang keterbatasan manusia di hadapan kekuatan ilahi yang mengatur
dunia.
Pada era Romawi, gagasan fatalisme semakin
berkembang melalui pemikiran filsuf-filsuf seperti Seneca dan Marcus Aurelius.
Mereka mengintegrasikan pandangan Stoik dengan refleksi moralitas, menekankan
pentingnya penerimaan terhadap nasib sebagai jalan menuju kebahagiaan dan
ketenangan batin.⁴
Di Abad Pertengahan, fatalisme mendapatkan dimensi
religius yang kuat, terutama dalam tradisi Kristen dan Islam. Dalam tradisi
Kristen, doktrin predestinasi yang dipopulerkan oleh Santo Agustinus (354–430
M) menyatakan bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang akan diselamatkan dan
siapa yang akan dihukum, terlepas dari tindakan manusia.⁵ Pandangan ini
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh John Calvin pada abad ke-16 dalam konteks
Reformasi Protestan.⁶
Sementara itu, dalam tradisi Islam, diskursus
tentang qadha wa qadar menjadi salah satu topik teologis yang mendalam.
Beberapa aliran dalam Islam, seperti Jabariyah, mengadopsi pandangan fatalistik
yang ekstrem, dengan menyatakan bahwa manusia sepenuhnya tidak memiliki
kehendak bebas. Namun, pandangan ini ditentang oleh aliran-aliran lain seperti
Muktazilah, yang menekankan kebebasan manusia dalam bertindak.⁷
Pada era modern, fatalisme mulai mengalami
pergeseran makna dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Para
filsuf seperti Arthur Schopenhauer dan Friedrich Nietzsche menantang pandangan
tradisional tentang fatalisme. Schopenhauer, dalam karyanya The World as
Will and Representation, memandang kehidupan manusia sebagai sebuah siklus
yang tak terelakkan, namun menekankan pentingnya pembebasan melalui
penyangkalan keinginan.⁸ Sebaliknya, Nietzsche mengkritik fatalisme pasif dan
memperkenalkan konsep "amor fati" (cinta terhadap
takdir), yang mengajarkan penerimaan penuh terhadap kehidupan tanpa menyerah
pada keputusasaan.⁹
Dalam konteks kontemporer, fatalisme sering
dikaitkan dengan pandangan pesimis terhadap perubahan sosial dan politik.
Keyakinan bahwa "semua usaha sia-sia" telah digunakan sebagai
alat justifikasi untuk pasivitas dan status quo. Namun, kritik terhadap
fatalisme modern juga berkembang, terutama dari perspektif eksistensialisme
yang menekankan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab individu dalam
membentuk hidup mereka sendiri.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties,
and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 12–15.
[2]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 35–36.
[3]
Sophocles, Oedipus Rex, trans. Robert Fagles
(New York: Penguin Classics, 1984), 45–47.
[4]
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin
Campbell (New York: Penguin Classics, 1969), 93.
[5]
Saint Augustine, On Free Choice of the Will,
trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 52.
[6]
John Calvin, Institutes of the Christian
Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953),
218–220.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 43–45.
[8]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and
Representation, trans. E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969),
121–122.
[9]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 353–355.
4.
Fatalisme
dalam Berbagai Tradisi Filsafat
Fatalisme telah
menjadi tema yang berulang dalam berbagai tradisi filsafat, dengan masing-masing tradisi menawarkan pendekatan
dan penafsiran yang unik terhadap konsep ini. Berikut adalah pandangan fatalisme
dalam beberapa tradisi filsafat utama:
4.1. Fatalisme dalam Filsafat
Barat
1)
Stoikisme
Dalam tradisi filsafat Yunani, Stoikisme
memberikan kontribusi besar pada perkembangan fatalisme. Para filsuf Stoik,
seperti Zeno dari Citium dan Chrysippus, percaya bahwa alam semesta diatur oleh
logos (akal universal atau hukum alam), dan segala sesuatu yang
terjadi merupakan bagian dari tatanan kosmik yang tidak dapat dihindari.¹
Mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia terletak pada penerimaan terhadap takdir,
dengan tetap menjalankan kewajiban moral.² Dalam pandangan mereka, meskipun
manusia tidak dapat mengubah takdir, mereka memiliki kebebasan untuk memilih
bagaimana meresponsnya.³
2)
Spinoza
Baruch Spinoza, seorang filsuf abad ke-17,
mengintegrasikan pandangan fatalistik dalam sistem filsafatnya. Dalam karyanya Ethics,
ia menggambarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta terjadi sesuai dengan
kehendak Tuhan, yang ia identifikasikan dengan alam itu sendiri.⁴ Spinoza
menolak konsep kebebasan kehendak manusia, menyatakan bahwa manusia adalah
bagian dari rangkaian sebab-akibat yang tidak dapat dipisahkan. Namun, ia
menekankan pentingnya pemahaman terhadap hukum-hukum alam untuk mencapai
kebahagiaan dan kebebasan emosional.⁵
3)
Nietzsche
Friedrich Nietzsche menawarkan pandangan yang
berbeda terhadap fatalisme melalui konsep amor fati (cinta terhadap
takdir). Ia mendorong manusia untuk tidak hanya menerima nasib mereka, tetapi
juga merangkulnya dengan semangat dan antusiasme.⁶ Nietzsche melihat amor
fati sebagai jalan menuju kehidupan yang autentik, di mana seseorang tidak
terjebak oleh rasa penyesalan atau keinginan untuk mengubah masa lalu.⁷
4.2.
Fatalisme dalam Filsafat Timur
1)
Hindu dan Buddha
Dalam filsafat India, gagasan fatalisme sering
ditemukan dalam ajaran karma, yang menyatakan bahwa tindakan manusia di masa
lalu menentukan nasib mereka di masa depan.⁸ Dalam tradisi Hindu, konsep ini
sering dipadukan dengan kepercayaan pada kehendak ilahi. Namun, ajaran ini
tidak sepenuhnya fatalistik, karena individu tetap memiliki kebebasan untuk
bertindak dan mengubah nasib melalui dharma (tugas moral).⁹ Dalam ajaran
Buddha, pemahaman tentang hukum sebab-akibat (paticcasamuppada) menekankan
bahwa semua peristiwa saling bergantung, tetapi pencerahan spiritual dapat
dicapai melalui usaha sadar.¹⁰
2)
Taoisme
Fatalisme dalam filsafat Taoisme terlihat dalam
konsep wu wei (tidak bertindak secara berlebihan) dan penerimaan
terhadap tatanan alami dunia.¹¹ Laozi, dalam Tao Te Ching,
menggambarkan bahwa harmoni dalam hidup tercapai melalui keselarasan dengan Dao
(jalan alam semesta). Namun, ini bukan bentuk fatalisme pasif, melainkan cara
hidup yang mengalir bersama hukum-hukum alam.¹²
4.3.
Fatalisme dalam Tradisi Islam
Dalam filsafat
Islam, diskursus tentang fatalisme sering kali berpusat pada perdebatan
mengenai qadha wa
qadar (ketentuan dan takdir). Aliran Jabariyah, misalnya,
mengadopsi pandangan fatalistik ekstrem, menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kebebasan untuk bertindak karena segala sesuatu telah ditentukan oleh
Allah.¹³ Sebaliknya, Aliran Muktazilah menolak pandangan ini, dengan menekankan
kebebasan manusia dalam bertindak
sebagai bagian dari keadilan ilahi.¹⁴ Para filsuf seperti Al-Ghazali mencoba
untuk memadukan kedua pandangan ini, dengan menekankan pentingnya tawakkal
(berserah diri) sambil tetap menjalankan ikhtiar.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 21–24.
[2]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays
(New York: Modern Library, 2002), 67.
[3]
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin
Campbell (New York: Penguin Classics, 1969), 55.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), 31.
[5]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 205–208.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 233.
[7]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1969), 258.
[8]
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86.
[9]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (Oxford:
Oxford University Press, 1923), 243.
[10]
Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 152–153.
[11]
Laozi, Tao Te Ching, trans. Stephen
Mitchell (New York: HarperCollins, 1988), 43.
[12]
Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon
Books, 1957), 89.
[13]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 78–80.
[14]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 214–216.
[15]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 46–48.
5.
Fatalisme
dalam Agama dan Spiritualitas
Fatalisme, sebagai
keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, memiliki relevansi yang signifikan dalam
berbagai tradisi agama dan spiritualitas. Konsep ini sering kali dibahas dalam
konteks hubungan antara kehendak ilahi, takdir, dan kebebasan manusia. Meski
masing-masing agama memiliki interpretasi unik, semua berusaha menyeimbangkan
antara keyakinan akan ketentuan Tuhan dan tanggung jawab manusia dalam
kehidupan.
5.1.
Fatalisme dalam Islam
Dalam Islam,
fatalisme sering dikaitkan dengan konsep qadha wa qadar (ketentuan dan
takdir). Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur segala sesuatu
merupakan bagian fundamental dari akidah Islam.¹ Namun, Islam tidak sepenuhnya mendukung pandangan fatalistik yang
pasif. Sebaliknya, konsep tawakkal (berserah diri) menuntut umat Islam untuk
menjalankan ikhtiar (usaha) sambil berserah kepada ketentuan Allah.²
Aliran Jabariyah
dalam sejarah teologi Islam dikenal dengan pandangan fatalistik ekstremnya,
yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas karena segala sesuatu telah ditentukan oleh
Allah.³ Sebaliknya, Muktazilah menolak pandangan ini dengan menekankan tanggung
jawab manusia atas tindakan mereka, yang dianggap penting untuk keadilan
Tuhan.⁴ Al-Ghazali, seorang teolog besar, mencoba memadukan kedua pandangan ini, menegaskan bahwa manusia memiliki
tanggung jawab moral, tetapi segala hasil tetap berada dalam kekuasaan Allah.⁵
5.2.
Fatalisme dalam Kristen
Fatalisme juga
memiliki tempat dalam teologi Kristen, terutama dalam doktrin predestinasi.
Santo Agustinus dan kemudian John Calvin mengembangkan pandangan bahwa Tuhan
telah menentukan sejak awal siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan
dihukum, tanpa mempertimbangkan perbuatan manusia.⁶ Pandangan ini sering
disebut sebagai "predestinasi
ganda"
dan menimbulkan perdebatan panjang di kalangan teolog.⁷
Namun, dalam tradisi Kristen Katolik, terdapat upaya untuk menyeimbangkan
antara rahmat ilahi dan kehendak bebas manusia. Thomas Aquinas, misalnya,
berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih, meskipun kehendak
Tuhan tetap menjadi yang utama.⁸
5.3.
Fatalisme dalam Hindu dan Buddha
Dalam tradisi Hindu,
konsep fatalisme terkait erat dengan ajaran karma, yang menyatakan bahwa
tindakan manusia di masa lalu menentukan nasib mereka di masa kini dan masa depan.⁹
Meskipun demikian, Hindu tidak sepenuhnya fatalistik, karena memberikan ruang
bagi kebebasan manusia untuk melakukan tindakan baik yang dapat mengubah jalan
hidupnya.¹⁰
Dalam ajaran Buddha,
hukum sebab-akibat (paticcasamuppada) menekankan keterkaitan semua peristiwa.¹¹
Meskipun terlihat seperti fatalisme, Buddha menekankan pentingnya usaha sadar
dalam mencapai pencerahan dan melepaskan diri dari siklus kelahiran kembali
(samsara).¹²
5.4.
Fatalisme dalam Agama-agama Timur Lainnya
Dalam Taoisme,
fatalisme tercermin dalam konsep wu wei (tidak bertindak berlebihan)
dan penerimaan terhadap tatanan alami dunia.¹³ Taoisme mengajarkan bahwa
harmoni dapat dicapai dengan hidup selaras dengan Dao (jalan alam semesta).
Namun, ini bukan bentuk fatalisme pasif, melainkan filosofi hidup yang mengalir
bersama hukum alam.¹⁴
Kesimpulan
Fatalisme dalam
agama dan spiritualitas mencerminkan upaya manusia untuk memahami hubungan
antara takdir, kehendak ilahi, dan tanggung jawab pribadi. Meskipun terdapat
elemen fatalistik dalam setiap tradisi, sebagian besar agama menolak pandangan
fatalisme ekstrem, dengan menekankan pentingnya usaha manusia dalam mencapai
tujuan hidup atau spiritual.
Catatan Kaki
[1]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.
[2]
Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya
Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf,
1962), 112.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 110.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 77.
[5]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 46.
[6]
Saint Augustine, On Free Choice of the Will, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 94.
[7]
John Calvin, Institutes of the Christian Religion,
trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q.
109, Art. 1.
[9]
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86.
[10]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (Oxford:
Oxford University Press, 1923), 243.
[11]
Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 75.
[12]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York:
Grove Press, 1974), 43.
[13]
Laozi, Tao Te Ching, trans. Stephen
Mitchell (New York: HarperCollins, 1988), 17.
[14]
Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon
Books, 1957), 57.
6.
Kritik
terhadap Fatalisme
Fatalisme telah
menjadi salah satu konsep yang paling banyak diperdebatkan dalam filsafat,
agama, dan ilmu sosial. Meskipun memiliki daya tarik tersendiri karena
memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak dapat dikendalikan manusia,
fatalisme sering dikritik karena implikasinya yang negatif terhadap tanggung
jawab, kebebasan individu, dan potensi manusia untuk berubah. Kritik terhadap
fatalisme datang dari berbagai perspektif, termasuk agama, filsafat, dan
psikologi modern.
6.1.
Kritik dari Perspektif Agama
1)
Islam
Dalam Islam, fatalisme ekstrem yang meminggirkan
usaha manusia dikritik karena bertentangan dengan prinsip dasar akidah.
Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menegaskan bahwa keimanan pada qadha wa
qadar tidak boleh menghilangkan kewajiban manusia untuk berusaha.¹ Usaha
manusia dianggap sebagai salah satu sebab yang diatur oleh Allah, sehingga
keimanan dan ikhtiar harus berjalan beriringan.² Aliran Jabariyah, yang
menekankan pandangan fatalistik ekstrem, ditolak oleh banyak ulama Sunni karena
dianggap melemahkan tanggung jawab moral manusia.³
2)
Kristen
Dalam tradisi Kristen, doktrin predestinasi ganda
yang diajukan oleh John Calvin dikritik oleh teolog-teolog Katolik dan
Protestan Arminian karena dianggap mengurangi peran kebebasan manusia dalam
keselamatan.⁴ Thomas Aquinas, misalnya, menekankan bahwa rahmat Tuhan bekerja
bersama dengan kehendak manusia, sehingga tanggung jawab manusia tetap
relevan.⁵
6.2.
Kritik dari Perspektif Filsafat
1)
Eksistensialisme
Para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul
Sartre dan Martin Heidegger menolak fatalisme karena dianggap meniadakan
kebebasan dan tanggung jawab manusia. Sartre berpendapat bahwa manusia
sepenuhnya bebas untuk menentukan makna hidup mereka sendiri, dan fatalisme
hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab.⁶ Dalam pandangan ini, fatalisme
dianggap sebagai "penyangkalan kebebasan" yang membuat
individu menyerah pada keadaan tanpa upaya untuk berubah.⁷
2)
Humanisme dan
Pragmatisme
Filsafat humanisme modern, yang berfokus pada
potensi manusia untuk berkembang, juga mengkritik fatalisme karena menghambat
motivasi untuk mencapai tujuan hidup.⁸ John Dewey, seorang pragmatis, menekankan
pentingnya tindakan dan pengalaman sebagai cara untuk mengatasi tantangan
kehidupan, yang bertentangan dengan pasivitas fatalistik.⁹
6.3.
Kritik dari Perspektif Psikologi
1)
Dampak pada Kesehatan
Mental
Psikologi modern menunjukkan bahwa keyakinan
fatalistik dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Orang yang memegang
pandangan fatalistik cenderung memiliki tingkat kecemasan, depresi, dan
ketidakberdayaan yang lebih tinggi.¹⁰ Martin Seligman, dalam teorinya tentang learned
helplessness, menjelaskan bahwa ketika individu merasa bahwa mereka tidak
memiliki kendali atas hasil hidup, mereka menjadi pasif dan kehilangan
motivasi.¹¹
2)
Motivasi dan Efikasi
Diri
Albert Bandura, dengan konsep self-efficacy-nya,
mengkritik fatalisme karena mengurangi rasa percaya diri seseorang terhadap
kemampuan mereka untuk memengaruhi hasil hidup.¹² Dalam pandangan ini,
keyakinan bahwa tindakan memiliki konsekuensi positif adalah dasar dari
motivasi dan keberhasilan individu.
6.4.
Kritik dari Perspektif Sosial
Fatalisme juga dikritik
dalam konteks sosial dan politik. Dalam masyarakat, fatalisme sering digunakan
untuk membenarkan status quo, sehingga menghambat perubahan sosial.¹³ Para
aktivis dan teoretisi perubahan sosial seperti Paulo Freire berpendapat bahwa
fatalisme adalah alat untuk melanggengkan ketidakadilan, karena membuat
individu menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang "tidak terelakkan."¹⁴
Kesimpulan
Kritik terhadap
fatalisme menunjukkan bahwa meskipun konsep ini memberikan kerangka untuk
memahami keterbatasan manusia di hadapan kekuatan besar, ia sering dianggap
tidak memadai dalam mendorong tanggung jawab, kebebasan, dan perubahan.
Pandangan yang lebih seimbang—yang mengakui pentingnya usaha manusia sambil
menerima keterbatasan yang ada—dianggap lebih relevan dalam menghadapi
tantangan kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya
Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf,
1962), 112.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 110.
[4]
John Calvin, Institutes of the Christian Religion,
trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q.
109, Art. 1.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 434.
[8]
Abraham Maslow, Motivation and Personality (New
York: Harper & Row, 1954), 62.
[9]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 158.
[10]
Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf,
1991), 26.
[11]
Martin Seligman, Helplessness: On Depression, Development, and
Death (San Francisco: Freeman, 1975), 19.
[12]
Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control
(New York: W.H. Freeman, 1997), 3.
[13]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Herder and Herder, 1970), 61.
[14]
Paulo Freire, Education for Critical Consciousness
(New York: Continuum, 1974), 75.
7.
Implikasi
Fatalisme dalam Kehidupan
Fatalisme, sebagai
keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, memiliki dampak
yang luas terhadap kehidupan manusia. Implikasinya dapat dilihat dalam berbagai
aspek, mulai dari psikologis, sosial, hingga politik. Meskipun fatalisme dapat
memberikan rasa penerimaan dalam situasi sulit, ia juga sering dianggap
menghambat perkembangan individu dan masyarakat. Berikut adalah beberapa
implikasi fatalisme dalam kehidupan:
7.1.
Implikasi Psikologis
1)
Pengaruh pada Kesehatan
Mental
Fatalisme sering dikaitkan dengan tingkat
kecemasan, stres, dan depresi yang lebih tinggi.¹ Ketika individu percaya bahwa
mereka tidak memiliki kendali atas hasil hidup, mereka cenderung mengalami apa
yang disebut Martin Seligman sebagai learned helplessness—suatu
kondisi di mana seseorang merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi mereka.²
Sikap ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama dalam menghadapi
tantangan hidup seperti kehilangan, kegagalan, atau penyakit.³
2)
Penerimaan dan
Resiliensi
Di sisi lain, fatalisme juga dapat memberikan
rasa ketenangan bagi beberapa individu dengan mendorong penerimaan terhadap
situasi yang tidak dapat diubah.⁴ Dalam konteks spiritual, misalnya, keyakinan
pada takdir dapat menjadi mekanisme koping yang efektif untuk mengurangi kecemasan
terhadap ketidakpastian.⁵ Namun, manfaat ini bergantung pada keseimbangan
antara penerimaan pasif dan usaha aktif untuk menghadapi masalah.⁶
7.2.
Implikasi Sosial
1)
Budaya Pasif dan
Ketidakberdayaan Kolektif
Fatalisme dapat menciptakan budaya pasif di
masyarakat. Dalam beberapa komunitas tradisional, keyakinan bahwa "nasib
tidak dapat diubah" sering digunakan sebagai alasan untuk menerima
ketidakadilan atau ketidaksetaraan.⁷ Pandangan ini dapat menghambat gerakan
sosial dan reformasi yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi kehidupan.⁸
2)
Solidaritas Sosial
Sebaliknya, dalam konteks tertentu, fatalisme
juga dapat memperkuat solidaritas sosial. Misalnya, dalam masyarakat yang
menghadapi bencana alam atau kemiskinan struktural, keyakinan bahwa penderitaan
adalah bagian dari takdir bersama dapat mendorong rasa kebersamaan dan dukungan
antarindividu.⁹
7.3.
Implikasi Politik dan Ekonomi
1)
Apatisme Politik
Fatalisme sering dikaitkan dengan apatisme
politik, di mana individu merasa bahwa tindakan mereka tidak akan berdampak
pada perubahan kebijakan atau struktur kekuasaan.¹⁰ Keyakinan ini dapat
melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, yang pada akhirnya
memperkuat status quo dan menghambat perubahan yang diperlukan.¹¹
2)
Dampak pada Pembangunan
Ekonomi
Dalam konteks ekonomi, fatalisme dapat mengurangi
motivasi individu untuk mengambil risiko atau berinovasi.¹² Misalnya,
masyarakat dengan tingkat fatalisme yang tinggi cenderung memiliki tingkat
kewirausahaan yang rendah, karena mereka percaya bahwa kesuksesan lebih ditentukan
oleh keberuntungan daripada usaha.¹³ Namun, dalam beberapa kasus, keyakinan
fatalistik juga dapat memberikan stabilitas dalam menghadapi kegagalan ekonomi
dengan mengurangi tekanan psikologis pada individu.¹⁴
7.4.
Implikasi Etis dan Moral
Fatalisme juga
memengaruhi pengambilan keputusan etis dan moral. Individu yang menganut
pandangan fatalistik cenderung mengabaikan tanggung jawab moral, dengan alasan
bahwa tindakan mereka tidak akan mengubah hasil akhir.¹⁵ Namun, kritik terhadap
pandangan ini menunjukkan bahwa etika manusia tidak hanya didasarkan pada
hasil, tetapi juga pada niat dan usaha.¹⁶
Kesimpulan
Implikasi fatalisme
dalam kehidupan bersifat ambivalen—dapat memberikan kenyamanan dalam menghadapi
ketidakpastian, tetapi juga berpotensi menghambat kemajuan individu dan
kolektif. Untuk mengatasi dampak negatif fatalisme, penting bagi individu dan
masyarakat untuk menyeimbangkan antara penerimaan terhadap takdir dan upaya
aktif untuk mengubah keadaan, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih
produktif dan bermakna.
Catatan Kaki
[1]
Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf,
1991), 26.
[2]
Martin Seligman, Helplessness: On Depression, Development, and
Death (San Francisco: Freeman, 1975), 19.
[3]
Judith Rodin, Control and Its Loss: Implications for the
Elderly and Institutionalized (New York: Springer, 1986), 45.
[4]
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston:
Beacon Press, 2006), 56.
[5]
Harold G. Koenig, Handbook of Religion and Health
(New York: Oxford University Press, 2001), 214.
[6]
Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya
Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf,
1962), 112.
[7]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Herder and Herder, 1970), 61.
[8]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Alfred A. Knopf, 1999), 156.
[9]
David S. Landes, The Wealth and Poverty of Nations
(New York: W.W. Norton, 1998), 34.
[10]
Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism Problem
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 78.
[11]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 158.
[12]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 43.
[13]
Richard Swedberg, Principles of Economic Sociology
(Princeton: Princeton University Press, 2003), 98.
[14]
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society
in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991),
56.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 71.
[16]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 203.
8.
Alternatif
terhadap Fatalisme
Meskipun fatalisme
sering memberikan penjelasan bagi ketidakpastian dalam kehidupan, ia sering
dianggap membatasi kebebasan, tanggung jawab, dan potensi manusia untuk
mengubah keadaan. Sebagai alternatif, berbagai pendekatan telah dikembangkan
dalam filsafat, agama, dan psikologi untuk memberikan kerangka berpikir yang
lebih konstruktif dan proaktif, tanpa mengesampingkan keterbatasan yang ada
dalam kehidupan manusia.
8.1.
Pendekatan Proaktif dan Optimisme
1)
Optimisme Realistis
Salah satu alternatif utama terhadap fatalisme
adalah pendekatan optimisme realistis, yang menggabungkan kesadaran akan
tantangan dengan keyakinan bahwa usaha manusia dapat membawa perubahan.¹ Viktor
Frankl, dalam konsep logoterapinya, menekankan pentingnya menemukan makna dalam
situasi apa pun, bahkan dalam penderitaan, sebagai cara untuk melampaui rasa
tidak berdaya yang sering dikaitkan dengan fatalisme.²
2)
Growth Mindset
Carol Dweck mengembangkan konsep growth
mindset, yang menekankan bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan
melalui usaha dan pembelajaran.³ Pandangan ini bertolak belakang dengan
fatalisme, karena menyoroti peran aktif individu dalam menentukan hasil hidup
mereka.
8.2.
Pendekatan Religius: Tawakkal dan Ikhtiar
Dalam tradisi agama,
alternatif terhadap fatalisme sering ditemukan dalam konsep keseimbangan antara
tawakkal (berserah diri) dan ikhtiar (usaha). Dalam Islam, misalnya, Al-Ghazali
mengajarkan bahwa meskipun takdir adalah bagian dari kehendak Tuhan, manusia
tetap diwajibkan untuk berusaha sebaik mungkin.⁴ Keyakinan pada takdir tidak
boleh menjadi alasan untuk pasif, tetapi justru menjadi motivasi untuk
menjalani kehidupan dengan tanggung jawab moral.⁵
Dalam tradisi
Kristen, Thomas Aquinas menekankan bahwa rahmat Tuhan bekerja bersama kehendak
bebas manusia, sehingga tindakan manusia tetap memiliki nilai dalam rencana
ilahi.⁶
8.3.
Pendekatan Eksistensialisme
1)
Kebebasan dan Tanggung
Jawab
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis,
menolak fatalisme dengan menegaskan bahwa manusia adalah "penguasa atas
nasib mereka sendiri."⁷ Dalam pandangan ini, manusia memiliki
kebebasan untuk membuat pilihan, meskipun dalam kondisi yang terbatas. Sartre
menyebut kebebasan ini sebagai sumber tanggung jawab individu untuk membentuk
makna hidup mereka sendiri.⁸
2)
Amor Fati (Cinta
terhadap Takdir)
Friedrich Nietzsche mengajukan konsep amor
fati, yaitu penerimaan penuh terhadap takdir tanpa menyerah pada
keputusasaan.⁹ Berbeda dengan fatalisme pasif, amor fati mendorong
individu untuk merangkul setiap aspek kehidupan, termasuk kesulitan, sebagai
bagian dari perjalanan yang bermakna.
8.4.
Pendekatan Psikologi Positif
Psikologi positif
menawarkan pendekatan yang menekankan kekuatan individu untuk mengatasi
tantangan. Martin Seligman, melalui konsep learned optimism, menunjukkan bahwa
keyakinan bahwa tindakan memiliki dampak positif dapat meningkatkan motivasi
dan kesejahteraan mental.¹⁰ Strategi ini mencakup pengembangan rasa syukur,
penguatan hubungan sosial, dan pencarian makna dalam kehidupan sehari-hari.¹¹
8.5.
Pendekatan Pragmatis dan Humanistis
1)
Pragmatisme
John Dewey menolak pandangan fatalistik dengan
menekankan pentingnya tindakan dan pengalaman untuk membentuk masa depan.¹²
Dalam pandangan pragmatis, manusia memiliki kemampuan untuk belajar dari
pengalaman dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, sehingga fatalisme dianggap
tidak relevan dalam proses kehidupan yang dinamis.¹³
2)
Humanisme
Humanisme modern menekankan potensi manusia untuk
berkembang dan menciptakan perubahan positif dalam kehidupan mereka. Abraham
Maslow, melalui teorinya tentang self-actualization, menyoroti pentingnya
usaha individu untuk mencapai potensi penuh mereka sebagai jalan untuk
melampaui keterbatasan.¹⁴
Kesimpulan
Alternatif terhadap
fatalisme menawarkan cara berpikir yang lebih konstruktif dan memberdayakan,
baik melalui usaha individu, penerimaan yang aktif, atau pencarian makna.
Pendekatan-pendekatan ini mendorong manusia untuk menjalani kehidupan dengan
tanggung jawab dan optimisme, sambil tetap menghormati keterbatasan yang ada.
Dalam konteks modern, keseimbangan antara penerimaan dan tindakan menjadi kunci
untuk menghadapi ketidakpastian hidup dengan cara yang lebih bermakna.
Catatan Kaki
[1]
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston:
Beacon Press, 2006), 56.
[2]
Ibid., 67.
[3]
Carol Dweck, Mindset: The New Psychology of Success
(New York: Ballantine Books, 2006), 6.
[4]
Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya
Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf,
1962), 112.
[5]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q.
109, Art. 1.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441.
[8]
Ibid., 450.
[9]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1969), 258.
[10]
Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf,
1991), 26.
[11]
Ibid., 45.
[12]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 158.
[13]
Richard J. Bernstein, Pragmatism, Critique, Judgment
(Cambridge: MIT Press, 2010), 112.
[14]
Abraham Maslow, Motivation and Personality (New
York: Harper & Row, 1954), 62.
9.
Penutup
Fatalisme adalah konsep yang kompleks, merentang di
antara filsafat, agama, dan kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah pandangan
hidup, fatalisme menawarkan kerangka untuk memahami hubungan antara kebebasan
manusia, takdir, dan kekuatan yang lebih besar di luar kendali individu. Namun, seperti yang telah dibahas dalam artikel
ini, fatalisme membawa implikasi yang ambigu: di satu sisi, ia memberikan rasa
ketenangan dalam menghadapi ketidakpastian, tetapi di sisi lain, ia dapat
menghambat tanggung jawab, inisiatif, dan potensi perubahan.
Dari segi sejarah, fatalisme telah menjadi bagian
penting dari pemikiran manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga era modern.¹
Filsuf-filsuf seperti Zeno, Spinoza, dan Nietzsche memberikan perspektif yang
beragam tentang cara memahami dan merespons nasib.² Dalam agama-agama besar
dunia, fatalisme sering kali dirasionalisasi melalui ajaran tentang kehendak
ilahi, seperti dalam konsep qadha wa qadar dalam Islam dan predestinasi
dalam Kristen.³ Meskipun demikian, sebagian besar tradisi keagamaan mendorong
keseimbangan antara keyakinan pada takdir dan usaha manusia.
Kritik terhadap fatalisme datang dari berbagai
bidang, termasuk filsafat eksistensialisme, psikologi positif, dan
pragmatisme.⁴ Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa fatalisme dapat melemahkan
rasa tanggung jawab dan mendorong apatisme dalam kehidupan individu dan
masyarakat. Sebagai alternatif, konsep-konsep seperti amor fati
(Nietzsche), growth mindset (Dweck), dan logoterapi (Frankl) menawarkan pendekatan yang lebih konstruktif, yang
menekankan tanggung jawab, kebebasan, dan kemampuan manusia untuk menemukan
makna dalam hidup mereka.⁵
Dalam kehidupan modern, di mana ketidakpastian
menjadi ciri utama, penting untuk mencari keseimbangan antara penerimaan
terhadap keterbatasan dan upaya aktif untuk menciptakan perubahan. Fatalisme
tidak harus ditolak sepenuhnya, tetapi
perlu ditempatkan dalam kerangka yang memungkinkan manusia untuk tetap
bertindak dengan penuh tanggung jawab dan optimisme.⁶ Dalam hal ini, ajaran
agama, filsafat, dan psikologi memberikan panduan yang dapat membantu individu
untuk menghadapi tantangan hidup tanpa kehilangan harapan atau semangat untuk
berubah.
Kesimpulannya, fatalisme adalah konsep yang
menantang namun relevan untuk dipahami dalam konteks kehidupan manusia. Dengan
pendekatan yang seimbang dan kritis, manusia dapat merespons gagasan ini secara
produktif, mengintegrasikan elemen penerimaan dan usaha ke dalam kehidupan
mereka, sehingga menghasilkan hidup yang lebih bermakna dan penuh tujuan.
Catatan Kaki
[1]
Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties,
and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 21–24.
[2]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258; Baruch Spinoza, Ethics,
trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 31.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36; John Calvin, Institutes of
the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke &
Co., 1953), 218.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441; Martin
Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf, 1991), 26.
[5]
Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 56; Carol Dweck, Mindset: The New Psychology
of Success (New York: Ballantine Books, 2006), 6.
[6]
Alan Watts, The Way of Zen (New York:
Pantheon Books, 1957), 89; Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I-II, Q. 109, Art. 1.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica. (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York:
Benziger Brothers.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy:
The exercise of control. New York: W.H. Freeman.
Bernstein, R. J. (2010). Pragmatism,
critique, judgment. Cambridge, MA: MIT Press.
Calvin, J. (1953). Institutes
of the Christian religion. (H. Beveridge, Trans.). London: James Clarke
& Co.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education. New York: Macmillan.
Dweck, C. (2006). Mindset:
The new psychology of success. New York: Ballantine Books.
Frankl, V. E. (2006). Man's
search for meaning. Boston: Beacon Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy
of the oppressed. (M. B. Ramos, Trans.). New York: Herder and Herder.
Ghazali, A. (1962). The
revival of the religious sciences (Ihya Ulum al-Din). (F. Rahman, Trans.).
Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Giddens, A. (1991). Modernity
and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford, CA:
Stanford University Press.
Inwood, B. (2008). The
Stoic life: Emotions, duties, and fate. Oxford: Oxford University Press.
Koenig, H. G. (2001). Handbook
of religion and health. New York: Oxford University Press.
Landes, D. S. (1998). The
wealth and poverty of nations. New York: W.W. Norton.
MacIntyre, A. (1981). After
virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame
Press.
Maslow, A. (1954). Motivation
and personality. New York: Harper & Row.
Nietzsche, F. (1969). Ecce
homo. (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage Books.
Rahman, F. (1980). Major
themes of the Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.
Rahula, W. (1974). What
the Buddha taught. New York: Grove Press.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian
philosophy (Vol. 1). Oxford: Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1993). Being
and nothingness. (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square
Press.
Seligman, M. (1975). Helplessness:
On depression, development, and death. San Francisco: Freeman.
Seligman, M. (1991). Learned
optimism. New York: Knopf.
Spinoza, B. (1996). Ethics.
(E. Curley, Trans.). London: Penguin Classics.
Swedberg, R. (2003). Principles
of economic sociology. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Watts, A. (1957). The
way of Zen. New York: Pantheon Books.
Weber, M. (1958). The
Protestant ethic and the spirit of capitalism. (T. Parsons, Trans.). New
York: Scribner.
Wolfson, H. A. (1976). The
philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar