Sabtu, 04 Januari 2025

Fatalisme: Konsep, Sejarah, dan Implikasinya dalam Kehidupan Manusia

Fatalisme

"Konsep, Sejarah, dan Implikasinya dalam Kehidupan Manusia"


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang fatalisme, sebuah konsep yang menyatakan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan telah ditentukan sebelumnya, sehingga usaha manusia tidak dapat mengubah hasil akhirnya. Melalui pendekatan multidisipliner, artikel ini mengeksplorasi asal-usul dan perkembangan fatalisme dalam filsafat Yunani Kuno, tradisi agama, hingga pemikiran modern. Fatalisme dalam agama dibahas dengan menyoroti perdebatan teologis, seperti konsep qadha wa qadar dalam Islam dan predestinasi dalam Kristen. Sementara itu, kritik terhadap fatalisme dikaji melalui perspektif filsafat eksistensialisme, pragmatisme, dan psikologi modern, yang menekankan pentingnya kebebasan, tanggung jawab, dan upaya manusia.

Artikel ini juga menguraikan implikasi fatalisme dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk psikologis, sosial, politik, dan ekonomi. Di satu sisi, fatalisme dapat memberikan ketenangan melalui penerimaan terhadap takdir, tetapi di sisi lain, ia sering dikritik karena dapat mendorong pasivitas dan menghambat perubahan sosial. Sebagai respons, berbagai alternatif dikemukakan, seperti konsep amor fati dari Nietzsche, growth mindset dari Carol Dweck, dan logoterapi dari Viktor Frankl, yang menekankan keseimbangan antara penerimaan dan tindakan.

Melalui pembahasan ini, artikel bertujuan untuk memberikan wawasan yang mendalam tentang fatalisme, kritik-kritiknya, dan alternatifnya, serta relevansinya dalam kehidupan modern. Dengan demikian, pembaca diajak untuk memahami fatalisme secara kritis dan mengintegrasikan pandangan yang lebih seimbang dalam menghadapi tantangan hidup.

Kata Kunci: Fatalisme, takdir, qadha wa qadar, predestinasi, filsafat, agama, psikologi, eksistensialisme, growth mindset, amor fati, tanggung jawab, kebebasan, logoterapi, implikasi sosial, alternatif fatalisme.


1.           Pendahuluan

Fatalisme merupakan salah satu konsep filosofis yang telah lama menjadi perbincangan dalam berbagai tradisi pemikiran manusia. Istilah ini berasal dari kata Latin fatum, yang berarti "takdir" atau "nasib," dan mengacu pada keyakinan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan telah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat diubah oleh tindakan manusia.¹ Dalam diskursus filsafat, fatalisme seringkali dikaitkan dengan perdebatan mengenai kebebasan manusia (free will) dan determinisme, di mana ia menjadi salah satu sudut pandang ekstrem yang menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi secara tak terelakkan sesuai dengan hukum kosmik atau kehendak ilahi.²

Relevansi pembahasan tentang fatalisme sangat nyata dalam kehidupan modern. Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, banyak individu menghadapi tantangan berupa tekanan hidup, ketidakpastian masa depan, dan keresahan eksistensial.³ Dalam konteks ini, pemahaman tentang fatalisme dapat membantu menggambarkan bagaimana keyakinan terhadap nasib yang tak terhindarkan dapat memengaruhi cara seseorang merespons tantangan tersebut. Sebagian orang mungkin menemukan kenyamanan dalam gagasan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh kekuatan yang lebih besar, sementara yang lain melihat fatalisme sebagai penghalang bagi upaya dan tanggung jawab individu.⁴

Sebagai konsep yang melintasi dimensi budaya, agama, dan filsafat, fatalisme juga memiliki signifikansi dalam memahami dinamika historis dan sosial. Dalam tradisi filsafat Yunani kuno, fatalisme menjadi bagian dari doktrin Stoikisme, yang mengajarkan penerimaan terhadap takdir sebagai bagian dari kehidupan yang bijaksana.⁵ Di sisi lain, dalam konteks agama-agama Abrahamik seperti Islam dan Kristen, konsep fatalisme sering kali disandingkan dengan ajaran tentang kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak, yang menggambarkan adanya keseimbangan antara takdir dan ikhtiar.⁶

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep fatalisme secara mendalam, mulai dari pengertian, sejarah perkembangan, kritik-kritik yang muncul, hingga implikasinya dalam kehidupan manusia. Dengan pendekatan yang sistematis dan referensi yang kredibel, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan wawasan yang kaya dan komprehensif bagi pembaca, serta membantu mereka memahami bagaimana fatalisme dapat memengaruhi cara pandang dan tindakan manusia dalam menghadapi kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                Oxford English Dictionary, s.v. "Fatalism," accessed January 4, 2025, https://www.oed.com/.

[2]                Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 55–56.

[3]                Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.

[4]                William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green & Co., 1897), 145–146.

[5]                Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 132–134.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Chicago: ABC International, 2000), 58–61.


2.           Pengertian Fatalisme

Fatalisme adalah konsep filosofis yang menyatakan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan manusia telah ditentukan sebelumnya dan berada di luar kendali individu.¹ Secara etimologis, istilah "fatalisme" berasal dari kata Latin fatum, yang berarti "nasib" atau "takdir yang telah ditentukan oleh kehendak ilahi atau kekuatan kosmik."² Dalam terminologi filsafat, fatalisme sering dipahami sebagai doktrin yang menolak kebebasan kehendak (free will), dengan menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas tindakan atau hasil hidup mereka karena semuanya telah ditetapkan sejak awal.³

Fatalisme berbeda dengan determinisme, meskipun keduanya sering dianggap serupa. Determinisme, dalam pengertian filsafat, merujuk pada pandangan bahwa setiap peristiwa terjadi karena hubungan sebab-akibat yang tak terelakkan, tetapi tidak selalu mengesampingkan kebebasan manusia untuk bertindak dalam batas-batas tertentu.⁴ Sebaliknya, fatalisme mengasumsikan bahwa hasil akhirnya sudah ditentukan tanpa memedulikan usaha atau pilihan individu, sehingga peran kehendak manusia menjadi tidak relevan.⁵

Dalam konteks agama, fatalisme seringkali dikaitkan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dalam tradisi Islam, misalnya, ada perdebatan teologis antara konsep qadha wa qadar (ketentuan dan takdir) dan pandangan ekstrem fatalisme. Islam mengajarkan keseimbangan antara percaya pada takdir dan pentingnya ikhtiar atau usaha manusia.⁶ Di sisi lain, dalam tradisi Kristen, doktrin predestinasi Calvinis cenderung menekankan aspek "nasib yang telah ditetapkan" tetapi tetap memberikan ruang untuk tindakan manusia sebagai bagian dari rencana Tuhan.⁷

Fatalisme juga dapat dimengerti melalui konteks budaya dan sosial. Dalam beberapa masyarakat tradisional, keyakinan fatalistik muncul sebagai mekanisme psikologis untuk menerima kenyataan hidup yang sulit diubah, seperti kemiskinan atau bencana alam.⁸ Namun, dalam masyarakat modern, pandangan fatalistik sering dikritik karena dianggap menghambat kemajuan individu dan sosial, dengan mengurangi motivasi untuk bertindak atau mengubah keadaan.⁹

Dengan demikian, pengertian fatalisme mencakup dimensi filosofis, teologis, dan sosiologis yang saling terkait. Pemahaman yang mendalam tentang fatalisme membutuhkan analisis terhadap konteks di mana konsep ini diterapkan, baik dalam ranah pemikiran maupun praktik kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                Oxford English Dictionary, s.v. "Fatalism," accessed January 4, 2025, https://www.oed.com/.

[2]                Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 55.

[3]                Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Oxford University Press, 1983), 65–66.

[4]                Ted Honderich, Determinism as True, Compatibilism and Incompatibilism as Both False, and the Real Problem (London: Routledge, 1993), 12–14.

[5]                Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 117–118.

[6]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36–38.

[7]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218–220.

[8]                Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–105.

[9]                William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green & Co., 1897), 147.


3.           Sejarah dan Perkembangan Fatalisme

Fatalisme memiliki akar yang mendalam dalam sejarah pemikiran manusia, dengan manifestasi yang berbeda di setiap peradaban dan era. Dalam filsafat klasik, gagasan fatalisme pertama kali muncul dalam pemikiran Yunani Kuno, khususnya dalam tradisi Stoikisme. Stoikisme, yang didirikan oleh Zeno dari Citium pada abad ke-3 SM, mengajarkan bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan logos (hukum kosmik atau rasionalitas universal).¹ Para Stoik percaya bahwa hidup yang bijaksana adalah hidup yang selaras dengan takdir, menerima apa yang tidak dapat diubah, sambil menjalankan tugas moral sesuai kemampuan individu.²

Pandangan fatalistik juga terlihat dalam karya-karya tragedi Yunani, seperti Oedipus Rex karya Sophocles, yang menunjukkan bagaimana manusia tidak dapat menghindari nasib yang telah ditentukan oleh para dewa.³ Dalam karya ini, fatalisme berfungsi sebagai pengingat tentang keterbatasan manusia di hadapan kekuatan ilahi yang mengatur dunia.

Pada era Romawi, gagasan fatalisme semakin berkembang melalui pemikiran filsuf-filsuf seperti Seneca dan Marcus Aurelius. Mereka mengintegrasikan pandangan Stoik dengan refleksi moralitas, menekankan pentingnya penerimaan terhadap nasib sebagai jalan menuju kebahagiaan dan ketenangan batin.⁴

Di Abad Pertengahan, fatalisme mendapatkan dimensi religius yang kuat, terutama dalam tradisi Kristen dan Islam. Dalam tradisi Kristen, doktrin predestinasi yang dipopulerkan oleh Santo Agustinus (354–430 M) menyatakan bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum, terlepas dari tindakan manusia.⁵ Pandangan ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh John Calvin pada abad ke-16 dalam konteks Reformasi Protestan.⁶

Sementara itu, dalam tradisi Islam, diskursus tentang qadha wa qadar menjadi salah satu topik teologis yang mendalam. Beberapa aliran dalam Islam, seperti Jabariyah, mengadopsi pandangan fatalistik yang ekstrem, dengan menyatakan bahwa manusia sepenuhnya tidak memiliki kehendak bebas. Namun, pandangan ini ditentang oleh aliran-aliran lain seperti Muktazilah, yang menekankan kebebasan manusia dalam bertindak.⁷

Pada era modern, fatalisme mulai mengalami pergeseran makna dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Para filsuf seperti Arthur Schopenhauer dan Friedrich Nietzsche menantang pandangan tradisional tentang fatalisme. Schopenhauer, dalam karyanya The World as Will and Representation, memandang kehidupan manusia sebagai sebuah siklus yang tak terelakkan, namun menekankan pentingnya pembebasan melalui penyangkalan keinginan.⁸ Sebaliknya, Nietzsche mengkritik fatalisme pasif dan memperkenalkan konsep "amor fati" (cinta terhadap takdir), yang mengajarkan penerimaan penuh terhadap kehidupan tanpa menyerah pada keputusasaan.⁹

Dalam konteks kontemporer, fatalisme sering dikaitkan dengan pandangan pesimis terhadap perubahan sosial dan politik. Keyakinan bahwa "semua usaha sia-sia" telah digunakan sebagai alat justifikasi untuk pasivitas dan status quo. Namun, kritik terhadap fatalisme modern juga berkembang, terutama dari perspektif eksistensialisme yang menekankan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab individu dalam membentuk hidup mereka sendiri.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 12–15.

[2]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 35–36.

[3]                Sophocles, Oedipus Rex, trans. Robert Fagles (New York: Penguin Classics, 1984), 45–47.

[4]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (New York: Penguin Classics, 1969), 93.

[5]                Saint Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 52.

[6]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218–220.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 43–45.

[8]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, trans. E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 121–122.

[9]                Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258.

[10]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 353–355.


4.           Fatalisme dalam Berbagai Tradisi Filsafat

Fatalisme telah menjadi tema yang berulang dalam berbagai tradisi filsafat, dengan masing-masing tradisi menawarkan pendekatan dan penafsiran yang unik terhadap konsep ini. Berikut adalah pandangan fatalisme dalam beberapa tradisi filsafat utama:

4.1.       Fatalisme dalam Filsafat Barat

1)                  Stoikisme

Dalam tradisi filsafat Yunani, Stoikisme memberikan kontribusi besar pada perkembangan fatalisme. Para filsuf Stoik, seperti Zeno dari Citium dan Chrysippus, percaya bahwa alam semesta diatur oleh logos (akal universal atau hukum alam), dan segala sesuatu yang terjadi merupakan bagian dari tatanan kosmik yang tidak dapat dihindari.¹ Mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia terletak pada penerimaan terhadap takdir, dengan tetap menjalankan kewajiban moral.² Dalam pandangan mereka, meskipun manusia tidak dapat mengubah takdir, mereka memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana meresponsnya.³

2)                  Spinoza

Baruch Spinoza, seorang filsuf abad ke-17, mengintegrasikan pandangan fatalistik dalam sistem filsafatnya. Dalam karyanya Ethics, ia menggambarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan, yang ia identifikasikan dengan alam itu sendiri.⁴ Spinoza menolak konsep kebebasan kehendak manusia, menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari rangkaian sebab-akibat yang tidak dapat dipisahkan. Namun, ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap hukum-hukum alam untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan emosional.⁵

3)                  Nietzsche

Friedrich Nietzsche menawarkan pandangan yang berbeda terhadap fatalisme melalui konsep amor fati (cinta terhadap takdir). Ia mendorong manusia untuk tidak hanya menerima nasib mereka, tetapi juga merangkulnya dengan semangat dan antusiasme.⁶ Nietzsche melihat amor fati sebagai jalan menuju kehidupan yang autentik, di mana seseorang tidak terjebak oleh rasa penyesalan atau keinginan untuk mengubah masa lalu.⁷

4.2.       Fatalisme dalam Filsafat Timur

1)                  Hindu dan Buddha

Dalam filsafat India, gagasan fatalisme sering ditemukan dalam ajaran karma, yang menyatakan bahwa tindakan manusia di masa lalu menentukan nasib mereka di masa depan.⁸ Dalam tradisi Hindu, konsep ini sering dipadukan dengan kepercayaan pada kehendak ilahi. Namun, ajaran ini tidak sepenuhnya fatalistik, karena individu tetap memiliki kebebasan untuk bertindak dan mengubah nasib melalui dharma (tugas moral).⁹ Dalam ajaran Buddha, pemahaman tentang hukum sebab-akibat (paticcasamuppada) menekankan bahwa semua peristiwa saling bergantung, tetapi pencerahan spiritual dapat dicapai melalui usaha sadar.¹⁰

2)                  Taoisme

Fatalisme dalam filsafat Taoisme terlihat dalam konsep wu wei (tidak bertindak secara berlebihan) dan penerimaan terhadap tatanan alami dunia.¹¹ Laozi, dalam Tao Te Ching, menggambarkan bahwa harmoni dalam hidup tercapai melalui keselarasan dengan Dao (jalan alam semesta). Namun, ini bukan bentuk fatalisme pasif, melainkan cara hidup yang mengalir bersama hukum-hukum alam.¹²

4.3.       Fatalisme dalam Tradisi Islam

Dalam filsafat Islam, diskursus tentang fatalisme sering kali berpusat pada perdebatan mengenai qadha wa qadar (ketentuan dan takdir). Aliran Jabariyah, misalnya, mengadopsi pandangan fatalistik ekstrem, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk bertindak karena segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah.¹³ Sebaliknya, Aliran Muktazilah menolak pandangan ini, dengan menekankan kebebasan manusia dalam bertindak sebagai bagian dari keadilan ilahi.¹⁴ Para filsuf seperti Al-Ghazali mencoba untuk memadukan kedua pandangan ini, dengan menekankan pentingnya tawakkal (berserah diri) sambil tetap menjalankan ikhtiar.¹⁵


Catatan Kaki

[1]                Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 21–24.

[2]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 67.

[3]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (New York: Penguin Classics, 1969), 55.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 31.

[5]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 205–208.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 233.

[7]                Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258.

[8]                Gavin Flood, An Introduction to Hinduism (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86.

[9]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (Oxford: Oxford University Press, 1923), 243.

[10]             Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism (Oxford: Oxford University Press, 1998), 152–153.

[11]             Laozi, Tao Te Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: HarperCollins, 1988), 43.

[12]             Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 89.

[13]             Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 78–80.

[14]             Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 214–216.

[15]             Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 46–48.


5.           Fatalisme dalam Agama dan Spiritualitas

Fatalisme, sebagai keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, memiliki relevansi yang signifikan dalam berbagai tradisi agama dan spiritualitas. Konsep ini sering kali dibahas dalam konteks hubungan antara kehendak ilahi, takdir, dan kebebasan manusia. Meski masing-masing agama memiliki interpretasi unik, semua berusaha menyeimbangkan antara keyakinan akan ketentuan Tuhan dan tanggung jawab manusia dalam kehidupan.

5.1.       Fatalisme dalam Islam

Dalam Islam, fatalisme sering dikaitkan dengan konsep qadha wa qadar (ketentuan dan takdir). Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur segala sesuatu merupakan bagian fundamental dari akidah Islam.¹ Namun, Islam tidak sepenuhnya mendukung pandangan fatalistik yang pasif. Sebaliknya, konsep tawakkal (berserah diri) menuntut umat Islam untuk menjalankan ikhtiar (usaha) sambil berserah kepada ketentuan Allah.²

Aliran Jabariyah dalam sejarah teologi Islam dikenal dengan pandangan fatalistik ekstremnya, yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas karena segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah.³ Sebaliknya, Muktazilah menolak pandangan ini dengan menekankan tanggung jawab manusia atas tindakan mereka, yang dianggap penting untuk keadilan Tuhan.⁴ Al-Ghazali, seorang teolog besar, mencoba memadukan kedua pandangan ini, menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral, tetapi segala hasil tetap berada dalam kekuasaan Allah.⁵

5.2.       Fatalisme dalam Kristen

Fatalisme juga memiliki tempat dalam teologi Kristen, terutama dalam doktrin predestinasi. Santo Agustinus dan kemudian John Calvin mengembangkan pandangan bahwa Tuhan telah menentukan sejak awal siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum, tanpa mempertimbangkan perbuatan manusia.⁶ Pandangan ini sering disebut sebagai "predestinasi ganda" dan menimbulkan perdebatan panjang di kalangan teolog.⁷

Namun, dalam tradisi Kristen Katolik, terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara rahmat ilahi dan kehendak bebas manusia. Thomas Aquinas, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih, meskipun kehendak Tuhan tetap menjadi yang utama.⁸

5.3.       Fatalisme dalam Hindu dan Buddha

Dalam tradisi Hindu, konsep fatalisme terkait erat dengan ajaran karma, yang menyatakan bahwa tindakan manusia di masa lalu menentukan nasib mereka di masa kini dan masa depan.⁹ Meskipun demikian, Hindu tidak sepenuhnya fatalistik, karena memberikan ruang bagi kebebasan manusia untuk melakukan tindakan baik yang dapat mengubah jalan hidupnya.¹⁰

Dalam ajaran Buddha, hukum sebab-akibat (paticcasamuppada) menekankan keterkaitan semua peristiwa.¹¹ Meskipun terlihat seperti fatalisme, Buddha menekankan pentingnya usaha sadar dalam mencapai pencerahan dan melepaskan diri dari siklus kelahiran kembali (samsara).¹²

5.4.       Fatalisme dalam Agama-agama Timur Lainnya

Dalam Taoisme, fatalisme tercermin dalam konsep wu wei (tidak bertindak berlebihan) dan penerimaan terhadap tatanan alami dunia.¹³ Taoisme mengajarkan bahwa harmoni dapat dicapai dengan hidup selaras dengan Dao (jalan alam semesta). Namun, ini bukan bentuk fatalisme pasif, melainkan filosofi hidup yang mengalir bersama hukum alam.¹⁴


Kesimpulan

Fatalisme dalam agama dan spiritualitas mencerminkan upaya manusia untuk memahami hubungan antara takdir, kehendak ilahi, dan tanggung jawab pribadi. Meskipun terdapat elemen fatalistik dalam setiap tradisi, sebagian besar agama menolak pandangan fatalisme ekstrem, dengan menekankan pentingnya usaha manusia dalam mencapai tujuan hidup atau spiritual.


Catatan Kaki

[1]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.

[2]                Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 112.

[3]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 110.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 77.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 46.

[6]                Saint Augustine, On Free Choice of the Will, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 94.

[7]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q. 109, Art. 1.

[9]                Gavin Flood, An Introduction to Hinduism (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 86.

[10]             Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (Oxford: Oxford University Press, 1923), 243.

[11]             Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism (Oxford: Oxford University Press, 1998), 75.

[12]             Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 43.

[13]             Laozi, Tao Te Ching, trans. Stephen Mitchell (New York: HarperCollins, 1988), 17.

[14]          Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 57.


6.           Kritik terhadap Fatalisme

Fatalisme telah menjadi salah satu konsep yang paling banyak diperdebatkan dalam filsafat, agama, dan ilmu sosial. Meskipun memiliki daya tarik tersendiri karena memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak dapat dikendalikan manusia, fatalisme sering dikritik karena implikasinya yang negatif terhadap tanggung jawab, kebebasan individu, dan potensi manusia untuk berubah. Kritik terhadap fatalisme datang dari berbagai perspektif, termasuk agama, filsafat, dan psikologi modern.

6.1.       Kritik dari Perspektif Agama

1)                  Islam

Dalam Islam, fatalisme ekstrem yang meminggirkan usaha manusia dikritik karena bertentangan dengan prinsip dasar akidah. Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menegaskan bahwa keimanan pada qadha wa qadar tidak boleh menghilangkan kewajiban manusia untuk berusaha.¹ Usaha manusia dianggap sebagai salah satu sebab yang diatur oleh Allah, sehingga keimanan dan ikhtiar harus berjalan beriringan.² Aliran Jabariyah, yang menekankan pandangan fatalistik ekstrem, ditolak oleh banyak ulama Sunni karena dianggap melemahkan tanggung jawab moral manusia.³

2)                  Kristen

Dalam tradisi Kristen, doktrin predestinasi ganda yang diajukan oleh John Calvin dikritik oleh teolog-teolog Katolik dan Protestan Arminian karena dianggap mengurangi peran kebebasan manusia dalam keselamatan.⁴ Thomas Aquinas, misalnya, menekankan bahwa rahmat Tuhan bekerja bersama dengan kehendak manusia, sehingga tanggung jawab manusia tetap relevan.⁵

6.2.       Kritik dari Perspektif Filsafat

1)                      Eksistensialisme

Para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger menolak fatalisme karena dianggap meniadakan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Sartre berpendapat bahwa manusia sepenuhnya bebas untuk menentukan makna hidup mereka sendiri, dan fatalisme hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab.⁶ Dalam pandangan ini, fatalisme dianggap sebagai "penyangkalan kebebasan" yang membuat individu menyerah pada keadaan tanpa upaya untuk berubah.⁷

2)                      Humanisme dan Pragmatisme

Filsafat humanisme modern, yang berfokus pada potensi manusia untuk berkembang, juga mengkritik fatalisme karena menghambat motivasi untuk mencapai tujuan hidup.⁸ John Dewey, seorang pragmatis, menekankan pentingnya tindakan dan pengalaman sebagai cara untuk mengatasi tantangan kehidupan, yang bertentangan dengan pasivitas fatalistik.⁹

6.3.       Kritik dari Perspektif Psikologi

1)                  Dampak pada Kesehatan Mental

Psikologi modern menunjukkan bahwa keyakinan fatalistik dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Orang yang memegang pandangan fatalistik cenderung memiliki tingkat kecemasan, depresi, dan ketidakberdayaan yang lebih tinggi.¹⁰ Martin Seligman, dalam teorinya tentang learned helplessness, menjelaskan bahwa ketika individu merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas hasil hidup, mereka menjadi pasif dan kehilangan motivasi.¹¹

2)                  Motivasi dan Efikasi Diri

Albert Bandura, dengan konsep self-efficacy-nya, mengkritik fatalisme karena mengurangi rasa percaya diri seseorang terhadap kemampuan mereka untuk memengaruhi hasil hidup.¹² Dalam pandangan ini, keyakinan bahwa tindakan memiliki konsekuensi positif adalah dasar dari motivasi dan keberhasilan individu.

6.4.       Kritik dari Perspektif Sosial

Fatalisme juga dikritik dalam konteks sosial dan politik. Dalam masyarakat, fatalisme sering digunakan untuk membenarkan status quo, sehingga menghambat perubahan sosial.¹³ Para aktivis dan teoretisi perubahan sosial seperti Paulo Freire berpendapat bahwa fatalisme adalah alat untuk melanggengkan ketidakadilan, karena membuat individu menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang "tidak terelakkan."¹⁴


Kesimpulan

Kritik terhadap fatalisme menunjukkan bahwa meskipun konsep ini memberikan kerangka untuk memahami keterbatasan manusia di hadapan kekuatan besar, ia sering dianggap tidak memadai dalam mendorong tanggung jawab, kebebasan, dan perubahan. Pandangan yang lebih seimbang—yang mengakui pentingnya usaha manusia sambil menerima keterbatasan yang ada—dianggap lebih relevan dalam menghadapi tantangan kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 112.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.

[3]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 110.

[4]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q. 109, Art. 1.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 434.

[8]                Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 62.

[9]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 158.

[10]             Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf, 1991), 26.

[11]             Martin Seligman, Helplessness: On Depression, Development, and Death (San Francisco: Freeman, 1975), 19.

[12]             Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: W.H. Freeman, 1997), 3.

[13]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Herder and Herder, 1970), 61.

[14]             Paulo Freire, Education for Critical Consciousness (New York: Continuum, 1974), 75.


7.           Implikasi Fatalisme dalam Kehidupan

Fatalisme, sebagai keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, memiliki dampak yang luas terhadap kehidupan manusia. Implikasinya dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari psikologis, sosial, hingga politik. Meskipun fatalisme dapat memberikan rasa penerimaan dalam situasi sulit, ia juga sering dianggap menghambat perkembangan individu dan masyarakat. Berikut adalah beberapa implikasi fatalisme dalam kehidupan:

7.1.       Implikasi Psikologis

1)                  Pengaruh pada Kesehatan Mental

Fatalisme sering dikaitkan dengan tingkat kecemasan, stres, dan depresi yang lebih tinggi.¹ Ketika individu percaya bahwa mereka tidak memiliki kendali atas hasil hidup, mereka cenderung mengalami apa yang disebut Martin Seligman sebagai learned helplessness—suatu kondisi di mana seseorang merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi mereka.² Sikap ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama dalam menghadapi tantangan hidup seperti kehilangan, kegagalan, atau penyakit.³

2)                  Penerimaan dan Resiliensi

Di sisi lain, fatalisme juga dapat memberikan rasa ketenangan bagi beberapa individu dengan mendorong penerimaan terhadap situasi yang tidak dapat diubah.⁴ Dalam konteks spiritual, misalnya, keyakinan pada takdir dapat menjadi mekanisme koping yang efektif untuk mengurangi kecemasan terhadap ketidakpastian.⁵ Namun, manfaat ini bergantung pada keseimbangan antara penerimaan pasif dan usaha aktif untuk menghadapi masalah.⁶

7.2.       Implikasi Sosial

1)                  Budaya Pasif dan Ketidakberdayaan Kolektif

Fatalisme dapat menciptakan budaya pasif di masyarakat. Dalam beberapa komunitas tradisional, keyakinan bahwa "nasib tidak dapat diubah" sering digunakan sebagai alasan untuk menerima ketidakadilan atau ketidaksetaraan.⁷ Pandangan ini dapat menghambat gerakan sosial dan reformasi yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi kehidupan.⁸

2)                  Solidaritas Sosial

Sebaliknya, dalam konteks tertentu, fatalisme juga dapat memperkuat solidaritas sosial. Misalnya, dalam masyarakat yang menghadapi bencana alam atau kemiskinan struktural, keyakinan bahwa penderitaan adalah bagian dari takdir bersama dapat mendorong rasa kebersamaan dan dukungan antarindividu.⁹

7.3.       Implikasi Politik dan Ekonomi

1)                  Apatisme Politik

Fatalisme sering dikaitkan dengan apatisme politik, di mana individu merasa bahwa tindakan mereka tidak akan berdampak pada perubahan kebijakan atau struktur kekuasaan.¹⁰ Keyakinan ini dapat melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, yang pada akhirnya memperkuat status quo dan menghambat perubahan yang diperlukan.¹¹

2)                  Dampak pada Pembangunan Ekonomi

Dalam konteks ekonomi, fatalisme dapat mengurangi motivasi individu untuk mengambil risiko atau berinovasi.¹² Misalnya, masyarakat dengan tingkat fatalisme yang tinggi cenderung memiliki tingkat kewirausahaan yang rendah, karena mereka percaya bahwa kesuksesan lebih ditentukan oleh keberuntungan daripada usaha.¹³ Namun, dalam beberapa kasus, keyakinan fatalistik juga dapat memberikan stabilitas dalam menghadapi kegagalan ekonomi dengan mengurangi tekanan psikologis pada individu.¹⁴

7.4.       Implikasi Etis dan Moral

Fatalisme juga memengaruhi pengambilan keputusan etis dan moral. Individu yang menganut pandangan fatalistik cenderung mengabaikan tanggung jawab moral, dengan alasan bahwa tindakan mereka tidak akan mengubah hasil akhir.¹⁵ Namun, kritik terhadap pandangan ini menunjukkan bahwa etika manusia tidak hanya didasarkan pada hasil, tetapi juga pada niat dan usaha.¹⁶


Kesimpulan

Implikasi fatalisme dalam kehidupan bersifat ambivalen—dapat memberikan kenyamanan dalam menghadapi ketidakpastian, tetapi juga berpotensi menghambat kemajuan individu dan kolektif. Untuk mengatasi dampak negatif fatalisme, penting bagi individu dan masyarakat untuk menyeimbangkan antara penerimaan terhadap takdir dan upaya aktif untuk mengubah keadaan, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih produktif dan bermakna.


Catatan Kaki

[1]                Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf, 1991), 26.

[2]                Martin Seligman, Helplessness: On Depression, Development, and Death (San Francisco: Freeman, 1975), 19.

[3]                Judith Rodin, Control and Its Loss: Implications for the Elderly and Institutionalized (New York: Springer, 1986), 45.

[4]                Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 56.

[5]                Harold G. Koenig, Handbook of Religion and Health (New York: Oxford University Press, 2001), 214.

[6]                Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 112.

[7]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Herder and Herder, 1970), 61.

[8]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 156.

[9]                David S. Landes, The Wealth and Poverty of Nations (New York: W.W. Norton, 1998), 34.

[10]             Ted Honderich, How Free Are You? The Determinism Problem (Oxford: Oxford University Press, 2002), 78.

[11]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 158.

[12]             Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 43.

[13]             Richard Swedberg, Principles of Economic Sociology (Princeton: Princeton University Press, 2003), 98.

[14]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 56.

[15]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 71.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 203.


8.           Alternatif terhadap Fatalisme

Meskipun fatalisme sering memberikan penjelasan bagi ketidakpastian dalam kehidupan, ia sering dianggap membatasi kebebasan, tanggung jawab, dan potensi manusia untuk mengubah keadaan. Sebagai alternatif, berbagai pendekatan telah dikembangkan dalam filsafat, agama, dan psikologi untuk memberikan kerangka berpikir yang lebih konstruktif dan proaktif, tanpa mengesampingkan keterbatasan yang ada dalam kehidupan manusia.

8.1.       Pendekatan Proaktif dan Optimisme

1)                  Optimisme Realistis

Salah satu alternatif utama terhadap fatalisme adalah pendekatan optimisme realistis, yang menggabungkan kesadaran akan tantangan dengan keyakinan bahwa usaha manusia dapat membawa perubahan.¹ Viktor Frankl, dalam konsep logoterapinya, menekankan pentingnya menemukan makna dalam situasi apa pun, bahkan dalam penderitaan, sebagai cara untuk melampaui rasa tidak berdaya yang sering dikaitkan dengan fatalisme.²

2)                  Growth Mindset

Carol Dweck mengembangkan konsep growth mindset, yang menekankan bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan melalui usaha dan pembelajaran.³ Pandangan ini bertolak belakang dengan fatalisme, karena menyoroti peran aktif individu dalam menentukan hasil hidup mereka.

8.2.       Pendekatan Religius: Tawakkal dan Ikhtiar

Dalam tradisi agama, alternatif terhadap fatalisme sering ditemukan dalam konsep keseimbangan antara tawakkal (berserah diri) dan ikhtiar (usaha). Dalam Islam, misalnya, Al-Ghazali mengajarkan bahwa meskipun takdir adalah bagian dari kehendak Tuhan, manusia tetap diwajibkan untuk berusaha sebaik mungkin.⁴ Keyakinan pada takdir tidak boleh menjadi alasan untuk pasif, tetapi justru menjadi motivasi untuk menjalani kehidupan dengan tanggung jawab moral.⁵

Dalam tradisi Kristen, Thomas Aquinas menekankan bahwa rahmat Tuhan bekerja bersama kehendak bebas manusia, sehingga tindakan manusia tetap memiliki nilai dalam rencana ilahi.⁶

8.3.       Pendekatan Eksistensialisme

1)                  Kebebasan dan Tanggung Jawab

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, menolak fatalisme dengan menegaskan bahwa manusia adalah "penguasa atas nasib mereka sendiri."⁷ Dalam pandangan ini, manusia memiliki kebebasan untuk membuat pilihan, meskipun dalam kondisi yang terbatas. Sartre menyebut kebebasan ini sebagai sumber tanggung jawab individu untuk membentuk makna hidup mereka sendiri.⁸

2)                  Amor Fati (Cinta terhadap Takdir)

Friedrich Nietzsche mengajukan konsep amor fati, yaitu penerimaan penuh terhadap takdir tanpa menyerah pada keputusasaan.⁹ Berbeda dengan fatalisme pasif, amor fati mendorong individu untuk merangkul setiap aspek kehidupan, termasuk kesulitan, sebagai bagian dari perjalanan yang bermakna.

8.4.       Pendekatan Psikologi Positif

Psikologi positif menawarkan pendekatan yang menekankan kekuatan individu untuk mengatasi tantangan. Martin Seligman, melalui konsep learned optimism, menunjukkan bahwa keyakinan bahwa tindakan memiliki dampak positif dapat meningkatkan motivasi dan kesejahteraan mental.¹⁰ Strategi ini mencakup pengembangan rasa syukur, penguatan hubungan sosial, dan pencarian makna dalam kehidupan sehari-hari.¹¹

8.5.       Pendekatan Pragmatis dan Humanistis

1)                  Pragmatisme

John Dewey menolak pandangan fatalistik dengan menekankan pentingnya tindakan dan pengalaman untuk membentuk masa depan.¹² Dalam pandangan pragmatis, manusia memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, sehingga fatalisme dianggap tidak relevan dalam proses kehidupan yang dinamis.¹³

2)                  Humanisme

Humanisme modern menekankan potensi manusia untuk berkembang dan menciptakan perubahan positif dalam kehidupan mereka. Abraham Maslow, melalui teorinya tentang self-actualization, menyoroti pentingnya usaha individu untuk mencapai potensi penuh mereka sebagai jalan untuk melampaui keterbatasan.¹⁴


Kesimpulan

Alternatif terhadap fatalisme menawarkan cara berpikir yang lebih konstruktif dan memberdayakan, baik melalui usaha individu, penerimaan yang aktif, atau pencarian makna. Pendekatan-pendekatan ini mendorong manusia untuk menjalani kehidupan dengan tanggung jawab dan optimisme, sambil tetap menghormati keterbatasan yang ada. Dalam konteks modern, keseimbangan antara penerimaan dan tindakan menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian hidup dengan cara yang lebih bermakna.


Catatan Kaki

[1]                Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 56.

[2]                Ibid., 67.

[3]                Carol Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Ballantine Books, 2006), 6.

[4]                Al-Ghazali, The Revival of the Religious Sciences (Ihya Ulum al-Din), trans. Fazlur Rahman (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 112.

[5]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q. 109, Art. 1.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441.

[8]                Ibid., 450.

[9]                Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258.

[10]             Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf, 1991), 26.

[11]             Ibid., 45.

[12]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 158.

[13]             Richard J. Bernstein, Pragmatism, Critique, Judgment (Cambridge: MIT Press, 2010), 112.

[14]             Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 62.


9.           Penutup

Fatalisme adalah konsep yang kompleks, merentang di antara filsafat, agama, dan kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah pandangan hidup, fatalisme menawarkan kerangka untuk memahami hubungan antara kebebasan manusia, takdir, dan kekuatan yang lebih besar di luar kendali individu. Namun, seperti yang telah dibahas dalam artikel ini, fatalisme membawa implikasi yang ambigu: di satu sisi, ia memberikan rasa ketenangan dalam menghadapi ketidakpastian, tetapi di sisi lain, ia dapat menghambat tanggung jawab, inisiatif, dan potensi perubahan.

Dari segi sejarah, fatalisme telah menjadi bagian penting dari pemikiran manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga era modern.¹ Filsuf-filsuf seperti Zeno, Spinoza, dan Nietzsche memberikan perspektif yang beragam tentang cara memahami dan merespons nasib.² Dalam agama-agama besar dunia, fatalisme sering kali dirasionalisasi melalui ajaran tentang kehendak ilahi, seperti dalam konsep qadha wa qadar dalam Islam dan predestinasi dalam Kristen.³ Meskipun demikian, sebagian besar tradisi keagamaan mendorong keseimbangan antara keyakinan pada takdir dan usaha manusia.

Kritik terhadap fatalisme datang dari berbagai bidang, termasuk filsafat eksistensialisme, psikologi positif, dan pragmatisme.⁴ Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa fatalisme dapat melemahkan rasa tanggung jawab dan mendorong apatisme dalam kehidupan individu dan masyarakat. Sebagai alternatif, konsep-konsep seperti amor fati (Nietzsche), growth mindset (Dweck), dan logoterapi (Frankl) menawarkan pendekatan yang lebih konstruktif, yang menekankan tanggung jawab, kebebasan, dan kemampuan manusia untuk menemukan makna dalam hidup mereka.⁵

Dalam kehidupan modern, di mana ketidakpastian menjadi ciri utama, penting untuk mencari keseimbangan antara penerimaan terhadap keterbatasan dan upaya aktif untuk menciptakan perubahan. Fatalisme tidak harus ditolak sepenuhnya, tetapi perlu ditempatkan dalam kerangka yang memungkinkan manusia untuk tetap bertindak dengan penuh tanggung jawab dan optimisme.⁶ Dalam hal ini, ajaran agama, filsafat, dan psikologi memberikan panduan yang dapat membantu individu untuk menghadapi tantangan hidup tanpa kehilangan harapan atau semangat untuk berubah.

Kesimpulannya, fatalisme adalah konsep yang menantang namun relevan untuk dipahami dalam konteks kehidupan manusia. Dengan pendekatan yang seimbang dan kritis, manusia dapat merespons gagasan ini secara produktif, mengintegrasikan elemen penerimaan dan usaha ke dalam kehidupan mereka, sehingga menghasilkan hidup yang lebih bermakna dan penuh tujuan.


Catatan Kaki

[1]                Brad Inwood, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2008), 21–24.

[2]                Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), 258; Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 31.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 36; John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (London: James Clarke & Co., 1953), 218.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 441; Martin Seligman, Learned Optimism (New York: Knopf, 1991), 26.

[5]                Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 56; Carol Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Ballantine Books, 2006), 6.

[6]                Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 89; Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I-II, Q. 109, Art. 1.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica. (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Brothers.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman.

Bernstein, R. J. (2010). Pragmatism, critique, judgment. Cambridge, MA: MIT Press.

Calvin, J. (1953). Institutes of the Christian religion. (H. Beveridge, Trans.). London: James Clarke & Co.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: Macmillan.

Dweck, C. (2006). Mindset: The new psychology of success. New York: Ballantine Books.

Frankl, V. E. (2006). Man's search for meaning. Boston: Beacon Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. (M. B. Ramos, Trans.). New York: Herder and Herder.

Ghazali, A. (1962). The revival of the religious sciences (Ihya Ulum al-Din). (F. Rahman, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford, CA: Stanford University Press.

Inwood, B. (2008). The Stoic life: Emotions, duties, and fate. Oxford: Oxford University Press.

Koenig, H. G. (2001). Handbook of religion and health. New York: Oxford University Press.

Landes, D. S. (1998). The wealth and poverty of nations. New York: W.W. Norton.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Maslow, A. (1954). Motivation and personality. New York: Harper & Row.

Nietzsche, F. (1969). Ecce homo. (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage Books.

Rahman, F. (1980). Major themes of the Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. New York: Grove Press.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy (Vol. 1). Oxford: Oxford University Press.

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness. (H. E. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Seligman, M. (1975). Helplessness: On depression, development, and death. San Francisco: Freeman.

Seligman, M. (1991). Learned optimism. New York: Knopf.

Spinoza, B. (1996). Ethics. (E. Curley, Trans.). London: Penguin Classics.

Swedberg, R. (2003). Principles of economic sociology. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Watts, A. (1957). The way of Zen. New York: Pantheon Books.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism. (T. Parsons, Trans.). New York: Scribner.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the Kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar