Jumat, 03 Oktober 2025

Sistem Moneter: Konsep, Sejarah, dan Relevansi dalam Dinamika Ekonomi Global

Sistem Moneter

Konsep, Sejarah, dan Relevansi dalam Dinamika Ekonomi Global


Alihkan ke: Sistem Moneter dan Fiskal.

Uang, Fiskal, IHSG.


Abstrak

Artikel ini membahas sistem moneter sebagai salah satu pilar utama dalam perekonomian global, yang mencakup dimensi historis, teoritis, institusional, hingga refleksi filosofis. Sejarah perkembangan sistem moneter menunjukkan dinamika adaptifnya, dari barter, standar emas, sistem Bretton Woods, hingga era nilai tukar mengambang dan digitalisasi moneter. Kajian teoritis menampilkan beragam perspektif mulai dari klasik, Keynesian, monetaris, hingga Modern Monetary Theory (MMT), yang masing-masing memberikan landasan analitis sekaligus memunculkan keterbatasan.

Di sisi praktis, sistem moneter berfungsi menjaga stabilitas harga, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memelihara stabilitas keuangan, namun juga menghadapi tantangan kontemporer seperti krisis global, inflasi, ketergantungan pada dolar, serta transformasi digital. Inovasi seperti cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) membuka peluang sekaligus menimbulkan risiko regulasi, etika, dan stabilitas. Artikel ini juga menguraikan kritik dari perspektif kapitalistik, Islam, dan Marxian, serta menawarkan reinterpretasi alternatif melalui pendekatan ekonomi solidaritas.

Melalui refleksi filosofis, artikel ini menegaskan bahwa uang tidak hanya instrumen ekonomi, melainkan juga fenomena sosial, politik, dan moral yang menentukan distribusi keadilan. Oleh karena itu, masa depan sistem moneter perlu diarahkan tidak hanya pada efisiensi teknis, tetapi juga pada keberlanjutan, solidaritas, dan nilai kemanusiaan dalam menghadapi dinamika global.

Kata Kunci: Sistem Moneter; Uang; Kebijakan Moneter; Globalisasi; Cryptocurrency; Central Bank Digital Currency (CBDC); Keadilan Ekonomi.


PEMBAHASAN

Kajian Sistem Moneter


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Sistem moneter merupakan salah satu fondasi utama dalam struktur perekonomian modern. Ia tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme teknis untuk mengatur peredaran uang, melainkan juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan budaya suatu masyarakat. Dalam sejarah peradaban, transformasi dari sistem barter menuju sistem uang logam, lalu ke sistem moneter berbasis kertas, hingga ke arah digitalisasi moneter, menunjukkan bahwa aspek moneter selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.¹

Keberadaan sistem moneter menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas harga, mengatur inflasi, serta mendukung pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya sistem moneter yang kuat dan stabil, sebuah negara akan sulit mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.² Di tingkat global, sistem moneter juga berperan dalam menentukan keseimbangan perdagangan internasional, distribusi kekayaan, dan posisi geopolitik antar negara.³

Namun demikian, sistem moneter tidaklah bebas dari problematika. Krisis moneter Asia pada tahun 1997–1998, krisis keuangan global tahun 2008, hingga fenomena inflasi global pasca pandemi COVID-19 merupakan contoh konkret bagaimana sistem moneter dapat menjadi sumber instabilitas ekonomi jika tidak dikelola dengan baik.⁴ Di sisi lain, kemunculan inovasi baru seperti cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi sistem moneter global.⁵

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1)                  Bagaimana konsep dasar sistem moneter dan peranannya dalam perekonomian?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan sistem moneter dari masa ke masa?

3)                  Apa saja teori dan instrumen utama yang membentuk sistem moneter?

4)                  Bagaimana tantangan dan kritik terhadap sistem moneter kontemporer?

5)                  Bagaimana relevansi sistem moneter dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masa kini?

1.3.       Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan konsep, sejarah, dan teori yang membentuk sistem moneter.

2)                  Menganalisis fungsi, mekanisme, serta tantangan yang dihadapi sistem moneter modern.

3)                  Memberikan refleksi kritis dan filosofis mengenai peran sistem moneter dalam dinamika ekonomi global.

Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan kajian ekonomi dan moneter, sekaligus memberikan wawasan praktis bagi pembuat kebijakan, akademisi, maupun masyarakat umum dalam memahami kompleksitas sistem moneter.

1.4.       Metode Kajian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research). Data dikumpulkan dari literatur akademik, laporan lembaga internasional, serta publikasi terkait sistem moneter. Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis dengan kerangka historis, teoretis, dan filosofis untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif.


Footnotes

[1]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 45–67.

[2]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 89.

[3]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 15–20.

[4]                Joseph E. Stiglitz, Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy (New York: W.W. Norton, 2010), 56–78.

[5]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 103–127.


2.           Konsep Dasar Sistem Moneter

2.1.       Definisi Sistem Moneter

Sistem moneter secara umum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang mengatur peredaran uang dalam suatu perekonomian.¹ Ia mencakup instrumen moneter, otoritas pengendali, serta hubungan antara sektor keuangan dan sektor riil. Uang sebagai inti dari sistem moneter berfungsi tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, serta standar pembayaran yang ditangguhkan.²

Dalam perspektif ekonomi modern, sistem moneter tidak hanya terbatas pada ketersediaan uang tunai, melainkan juga mencakup berbagai bentuk likuiditas, termasuk deposito, kredit, dan instrumen keuangan lainnya.³ Oleh karena itu, sistem moneter memiliki peran strategis dalam menciptakan stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan.

2.2.       Komponen Utama Sistem Moneter

1)                  Uang

Uang adalah medium fundamental dalam sistem moneter. Evolusinya, dari uang komoditas hingga uang fiat dan digital, mencerminkan kebutuhan manusia dalam memperlancar transaksi.⁴ Fungsi uang yang paling mendasar adalah sebagai medium of exchange, unit of account, store of value, dan standard of deferred payment.⁵

2)                  Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, berfungsi sebagai penghubung antara pihak yang memiliki surplus dana dan pihak yang membutuhkan dana.⁶ Mereka menjalankan fungsi intermediasi, pengelolaan risiko, serta penciptaan likuiditas.

3)                  Otoritas Moneter

Bank sentral sebagai otoritas moneter bertugas menjaga stabilitas harga, mengendalikan inflasi, dan memastikan kelancaran sistem pembayaran.⁷ Kebijakan moneter yang diterapkan bank sentral berimplikasi langsung pada kondisi ekonomi makro, termasuk pertumbuhan, pengangguran, dan stabilitas keuangan.

2.3.       Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Moneter

Sistem moneter dibangun atas sejumlah prinsip utama. Pertama, stabilitas moneter, yaitu menjaga agar nilai uang tetap stabil dan tidak tergerus inflasi yang berlebihan. Kedua, kepercayaan publik, karena nilai uang pada hakikatnya didasarkan pada penerimaan sosial. Ketiga, fleksibilitas, yakni kemampuan sistem moneter untuk beradaptasi dengan dinamika ekonomi domestik maupun global.⁸

Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa sistem moneter tidak dapat berjalan hanya dengan aturan teknis, tetapi memerlukan legitimasi politik, hukum, dan sosial yang mendukung keberlangsungannya.

2.4.       Peran Sistem Moneter dalam Perekonomian

Sistem moneter memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan makroekonomi. Melalui kebijakan moneter, otoritas dapat mengendalikan inflasi, mengatur jumlah uang beredar, serta mempengaruhi tingkat suku bunga.⁹ Selain itu, sistem moneter turut memengaruhi stabilitas nilai tukar, arus modal, dan perdagangan internasional.

Dengan demikian, keberadaan sistem moneter bukanlah entitas yang netral. Ia sarat dengan implikasi sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat.¹⁰ Keberhasilan atau kegagalan suatu sistem moneter akan berkontribusi langsung pada kesejahteraan publik dan daya saing suatu bangsa dalam percaturan global.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 45.

[2]                Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 257.

[3]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 593.

[4]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 30–47.

[5]                David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics, 10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 341.

[6]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed., 102.

[7]                Charles Goodhart, The Evolution of Central Banks (Cambridge: MIT Press, 1988), 12–15.

[8]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 5.

[9]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 76–77.

[10]             Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 43.


3.           Sejarah Perkembangan Sistem Moneter

3.1.       Dari Sistem Barter ke Uang Logam

Perkembangan sistem moneter bermula dari keterbatasan sistem barter. Kelemahan utama barter terletak pada sulitnya menemukan double coincidence of wants—yaitu kebutuhan timbal balik yang sama antara pihak-pihak yang melakukan pertukaran.¹ Sebagai solusi, masyarakat mulai menggunakan komoditas tertentu seperti garam, kulit hewan, atau bijih logam sebagai alat tukar. Dari sinilah muncul bentuk awal uang komoditas.

Seiring dengan perkembangan peradaban, logam mulia seperti emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran yang lebih diterima secara luas karena sifatnya yang langka, tahan lama, dan memiliki nilai intrinsik.² Uang logam ini kemudian melahirkan standar moneter awal yang dikenal sebagai metallic standard.

3.2.       Era Standar Emas (Gold Standard)

Salah satu tonggak penting dalam sejarah sistem moneter adalah penerapan standar emas pada abad ke-19. Dalam sistem ini, nilai mata uang suatu negara dijamin oleh cadangan emas yang dimilikinya.³ Standar emas memberikan stabilitas nilai tukar antar negara serta mempermudah perdagangan internasional. Namun, sistem ini juga membatasi fleksibilitas kebijakan moneter karena jumlah uang beredar bergantung pada ketersediaan emas.⁴

Sistem standar emas runtuh secara bertahap, terutama setelah terjadinya Perang Dunia I yang membuat banyak negara meninggalkan konvertibilitas emas untuk membiayai pembiayaan perang.

3.3.       Sistem Bretton Woods

Setelah Perang Dunia II, negara-negara berupaya membangun sistem moneter internasional yang lebih stabil. Hasilnya adalah terbentuknya sistem Bretton Woods pada tahun 1944, yang menetapkan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang acuan yang dapat dikonversikan ke emas dengan harga tetap, sementara mata uang negara lain dikaitkan dengan dolar.⁵

Sistem ini melahirkan lembaga-lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berfungsi untuk menjaga stabilitas moneter dan mendukung pembangunan ekonomi global.⁶ Namun, ketidakseimbangan neraca pembayaran Amerika Serikat pada akhir 1960-an serta meningkatnya permintaan dolar membuat sistem ini goyah. Akhirnya, pada tahun 1971 Presiden Richard Nixon secara resmi mengakhiri konvertibilitas dolar terhadap emas, yang dikenal dengan istilah Nixon Shock.⁷

3.4.       Pasca Bretton Woods dan Sistem Moneter Modern

Sejak runtuhnya Bretton Woods, dunia memasuki era sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system). Dalam sistem ini, nilai tukar mata uang ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan permintaan dan penawaran.⁸ Kebijakan moneter menjadi lebih fleksibel karena tidak lagi terikat pada cadangan emas.

Namun, sistem ini juga membawa kerentanan baru, seperti volatilitas nilai tukar, arus modal spekulatif, dan ketergantungan pada dolar Amerika sebagai mata uang cadangan dunia.⁹ Krisis keuangan Asia 1997–1998 dan krisis keuangan global 2008 memperlihatkan kelemahan mendasar dari sistem moneter internasional yang berbasis pada kapitalisme finansial global.¹⁰

3.5.       Dinamika Moneter di Era Digital

Memasuki abad ke-21, sistem moneter menghadapi tantangan baru dengan munculnya instrumen digital. Cryptocurrency seperti Bitcoin menawarkan alternatif sistem pembayaran yang terdesentralisasi dan bebas dari kontrol otoritas moneter.¹¹ Selain itu, banyak bank sentral sedang mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai bentuk digital dari mata uang nasional untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan menjaga kedaulatan moneter.¹²

Transformasi ini menandai bahwa sejarah sistem moneter selalu bersifat dinamis: dari barter ke logam mulia, dari standar emas ke Bretton Woods, hingga ke era mata uang digital. Perubahan ini menunjukkan bahwa moneter tidak hanya persoalan teknis ekonomi, tetapi juga mencerminkan perubahan struktur sosial, politik, dan teknologi global.


Footnotes

[1]                Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, 19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 256–258.

[2]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 27–33.

[3]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 17–21.

[4]                Charles P. Kindleberger, A Financial History of Western Europe (New York: Oxford University Press, 1993), 143–147.

[5]                John Maynard Keynes, The Collected Writings of John Maynard Keynes, Vol. 25: Activities 1940–1944: Shaping the Post-War World: The Clearing Union (London: Macmillan, 1980), 119–124.

[6]                Harold James, International Monetary Cooperation since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 34–39.

[7]                Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, eds., A Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for International Monetary Reform (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 38.

[8]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 68.

[9]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 62–67.

[10]             Paul Krugman, The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008 (New York: W.W. Norton, 2009), 94–97.

[11]             Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 49–58.

[12]             International Monetary Fund, Central Bank Digital Currencies: A New Tool in the Financial Inclusion Toolkit (Washington, DC: IMF, 2020), 3–7.


4.           Landasan Teoritis Sistem Moneter

4.1.       Teori Klasik Moneter

Teori klasik moneter berpijak pada quantity theory of money yang dipopulerkan oleh Irving Fisher melalui persamaan MV = PT (Money × Velocity = Price × Transactions).¹ Teori ini berasumsi bahwa jumlah uang beredar memiliki hubungan langsung dengan tingkat harga. Peningkatan jumlah uang beredar akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya memicu inflasi.²

Para ekonom klasik menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara jumlah uang yang beredar dan aktivitas perekonomian riil.³ Pandangan ini kemudian menjadi dasar bagi kebijakan moneter restriktif yang bertujuan mengendalikan inflasi melalui pengendalian jumlah uang beredar.

4.2.       Teori Keynesian dan Post-Keynesian

Kritik terhadap teori klasik datang dari John Maynard Keynes, terutama dalam karyanya The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936). Keynes menolak pandangan bahwa pasar uang selalu berada dalam keseimbangan otomatis. Ia memperkenalkan konsep preferensi likuiditas, yang menjelaskan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh tiga motif: transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.⁴

Dalam perspektif Keynesian, kebijakan moneter tidak hanya berperan mengendalikan inflasi, tetapi juga menjaga lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.⁵ Kaum post-Keynesian kemudian mengembangkan pemikiran ini lebih jauh dengan menekankan peran institusi keuangan, ekspektasi, serta dinamika ketidakpastian dalam sistem moneter.⁶

4.3.       Teori Moneter Modern (Modern Monetary Theory)

Modern Monetary Theory (MMT) menawarkan perspektif baru yang cukup kontroversial. Teori ini menyatakan bahwa negara dengan kedaulatan moneter penuh (menerbitkan mata uangnya sendiri) tidak mungkin bangkrut karena selalu dapat mencetak uang untuk membiayai pengeluarannya.⁷ Inflasi, bukan defisit anggaran, menjadi batas utama bagi belanja pemerintah.

MMT menekankan bahwa pengeluaran pemerintah dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai full employment dan stabilitas harga melalui desain fiskal-moneter yang terintegrasi.⁸ Namun, teori ini dikritik karena dinilai dapat mendorong inflasi berlebihan serta menimbulkan ketidakstabilan jangka panjang apabila tidak diimbangi dengan disiplin fiskal.⁹

4.4.       Teori Kuantitas Uang dan Inflasi

Selain Fisher, Milton Friedman melalui mazhab Monetaris memperkuat teori kuantitas uang. Menurut Friedman, “inflasi selalu dan di mana pun merupakan fenomena moneter.”¹⁰ Dalam kerangka monetaris, pengendalian jumlah uang beredar menjadi kunci utama untuk menjaga stabilitas harga.

Monetaris menekankan peran bank sentral dalam mengatur pertumbuhan jumlah uang beredar secara konsisten sesuai dengan pertumbuhan output riil.¹¹ Walaupun teori ini memberikan landasan bagi kebijakan moneter modern, kenyataan menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah uang beredar dan inflasi tidak selalu linier, terutama dalam konteks ekonomi global yang kompleks.¹²

4.5.       Analisis Kritis terhadap Teori-Teori Moneter

Berbagai teori moneter memberikan kerangka analitis yang berbeda-beda dalam memahami peran uang dan sistem moneter. Teori klasik menekankan stabilitas harga, Keynesian menyoroti peran permintaan agregat, Monetaris menggarisbawahi kendali jumlah uang beredar, sedangkan MMT menawarkan integrasi moneter dengan fiskal.

Namun, masing-masing teori memiliki keterbatasan. Teori klasik terlalu menyederhanakan hubungan antara uang dan harga. Keynesian menghadapi kritik terkait efektivitas kebijakan moneter dalam kondisi liquidity trap. Monetaris dianggap kaku dalam menerapkan aturan pertumbuhan uang, sementara MMT diperdebatkan karena dianggap berisiko mendorong inflasi tinggi.

Dengan demikian, pemahaman tentang sistem moneter memerlukan pendekatan multidimensi yang menggabungkan keunggulan berbagai teori sekaligus mempertimbangkan konteks historis, institusional, dan global.


Footnotes

[1]                Irving Fisher, The Purchasing Power of Money (New York: Macmillan, 1911), 37–40.

[2]                Don Patinkin, Money, Interest, and Prices, 2nd ed. (New York: Harper & Row, 1965), 56.

[3]                David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics, 10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 341–342.

[4]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 166–167.

[5]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 96–97.

[6]                Paul Davidson, Money and the Real World, 2nd ed. (New York: St. Martin’s Press, 1978), 54–59.

[7]                Stephanie Kelton, The Deficit Myth: Modern Monetary Theory and the Birth of the People’s Economy (New York: PublicAffairs, 2020), 32–34.

[8]                Randall Wray, Modern Monetary Theory: A Primer on Macroeconomics for Sovereign Monetary Systems (London: Palgrave Macmillan, 2012), 76–80.

[9]                Kenneth Rogoff, “Modern Monetary Theory and Inflation,” Project Syndicate, June 2019.

[10]             Milton Friedman, The Counter-Revolution in Monetary Theory (London: Institute of Economic Affairs, 1970), 17.

[11]             Milton Friedman and Anna J. Schwartz, A Monetary History of the United States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University Press, 1963), 34.

[12]             Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 66–68.


5.           Lembaga dan Instrumen Sistem Moneter

5.1.       Bank Sentral dan Perannya

Bank sentral merupakan lembaga kunci dalam sistem moneter yang bertugas mengatur stabilitas keuangan dan menjaga nilai mata uang.¹ Tugas utama bank sentral mencakup pengendalian inflasi, pengawasan sistem pembayaran, serta stabilisasi nilai tukar.² Bank sentral juga berperan sebagai lender of last resort, yakni memberikan pinjaman darurat kepada bank atau lembaga keuangan yang mengalami krisis likuiditas.³

Di banyak negara, independensi bank sentral menjadi isu penting untuk menghindari intervensi politik dalam kebijakan moneter. Independensi ini diyakini mampu meningkatkan kredibilitas moneter dan menekan ekspektasi inflasi.⁴

5.2.       Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya

Selain bank sentral, sistem perbankan komersial berperan besar dalam penciptaan uang melalui mekanisme fractional reserve banking.⁵ Bank komersial menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, lalu menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman kepada sektor riil. Proses ini tidak hanya memperlancar arus likuiditas, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di luar bank, terdapat pula lembaga keuangan non-bank, seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan, yang turut serta dalam memperluas akses keuangan dan mengelola risiko.⁶ Keberadaan lembaga-lembaga ini memperkaya instrumen moneter yang tersedia dalam perekonomian.

5.3.       Instrumen Kebijakan Moneter

Bank sentral menggunakan berbagai instrumen untuk mengendalikan perekonomian. Instrumen utama tersebut meliputi:

1)                  Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operations – OMO)

Melalui pembelian atau penjualan surat berharga pemerintah, bank sentral dapat menambah atau mengurangi jumlah uang beredar.⁷

2)                  Suku Bunga Acuan (Policy Rate)

Penetapan tingkat suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman dan konsumsi masyarakat. Kenaikan suku bunga biasanya menekan inflasi, sementara penurunan suku bunga mendorong investasi dan pertumbuhan.⁸

3)                  Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Bank sentral menetapkan persentase tertentu dari simpanan masyarakat yang wajib disimpan oleh bank komersial sebagai cadangan.⁹ Perubahan kebijakan ini secara langsung memengaruhi kemampuan bank menyalurkan kredit.

4)                  Instrumen Makroprudensial

Termasuk pengaturan rasio kredit terhadap pendapatan, pembatasan kredit sektor tertentu, serta kebijakan pengawasan risiko sistemik.¹⁰

5.4.       Peran Lembaga Internasional

Selain lembaga domestik, terdapat pula lembaga internasional yang memengaruhi sistem moneter global. International Monetary Fund (IMF) berperan dalam menjaga stabilitas sistem moneter internasional dengan memberikan pinjaman darurat kepada negara-negara yang menghadapi krisis neraca pembayaran.¹¹ Bank Dunia berfokus pada pembangunan jangka panjang, sementara Bank for International Settlements (BIS) menjadi forum koordinasi kebijakan moneter antarbank sentral.¹²

Keterlibatan lembaga internasional ini memperlihatkan bahwa sistem moneter tidak dapat dilepaskan dari interkoneksi global. Stabilitas moneter suatu negara sering kali terkait erat dengan dinamika ekonomi dan kebijakan negara lain.


Footnotes

[1]                Charles Goodhart, The Evolution of Central Banks (Cambridge: MIT Press, 1988), 1–5.

[2]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 89–92.

[3]                Walter Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market (London: Henry S. King, 1873), 152–155.

[4]                Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 151–162.

[5]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 594.

[6]                David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics, 10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 356–360.

[7]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 126–128.

[8]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed., 141–143.

[9]                Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press, 2003), 64.

[10]             Claudio Borio, “The Macroprudential Approach to Regulation and Supervision,” Financial Stability Review 13 (2009): 31–41.

[11]             Harold James, International Monetary Cooperation since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 145–149.

[12]             Bank for International Settlements, Annual Economic Report 2022 (Basel: BIS, 2022), 12–15.


6.           Fungsi dan Mekanisme Sistem Moneter

6.1.       Fungsi Sistem Moneter dalam Ekonomi

Sistem moneter memiliki peran fundamental dalam menjaga stabilitas dan kelancaran aktivitas perekonomian. Fungsi utamanya mencakup:

1)                  Menjaga Stabilitas Harga

Melalui pengendalian inflasi dan deflasi, sistem moneter memastikan nilai uang tetap stabil sehingga daya beli masyarakat terlindungi.¹ Stabilitas harga ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

2)                  Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Dengan menyediakan likuiditas yang memadai, sistem moneter mendukung kegiatan produksi, konsumsi, dan investasi.² Ketersediaan uang yang cukup akan memperlancar transaksi dan memperkuat perputaran roda ekonomi.

3)                  Menjamin Kelancaran Sistem Pembayaran

Sistem moneter berperan memastikan bahwa transaksi ekonomi, baik domestik maupun internasional, dapat berlangsung dengan aman, cepat, dan efisien.³

4)                  Menciptakan Stabilitas Keuangan

Melalui regulasi dan pengawasan, sistem moneter mencegah risiko sistemik yang dapat menyebabkan krisis perbankan atau keuangan.⁴

6.2.       Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral bekerja melalui serangkaian mekanisme transmisi untuk memengaruhi perekonomian secara luas. Mekanisme ini melibatkan beberapa saluran:

1)                  Saluran Suku Bunga (Interest Rate Channel)

Perubahan suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman dan keputusan investasi. Kenaikan suku bunga biasanya menekan permintaan agregat, sementara penurunan suku bunga mendorong pertumbuhan ekonomi.⁵

2)                  Saluran Kredit (Credit Channel)

Ketersediaan kredit bagi sektor swasta dipengaruhi oleh kebijakan cadangan wajib minimum dan regulasi perbankan.⁶ Pembatasan kredit dapat menekan konsumsi dan investasi, sedangkan pelonggaran kredit meningkatkan aktivitas ekonomi.

3)                  Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)

Perubahan kebijakan moneter dapat memengaruhi nilai tukar mata uang. Apresiasi mata uang cenderung menurunkan ekspor, sedangkan depresiasi meningkatkan daya saing ekspor.⁷

4)                  Saluran Ekspektasi (Expectations Channel)

Kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi berpengaruh terhadap ekspektasi pelaku ekonomi. Jika bank sentral dianggap konsisten, ekspektasi inflasi akan terkendali sehingga kebijakan moneter lebih efektif.⁸

6.3.       Hubungan Sistem Moneter, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Inflasi adalah fenomena moneter yang paling sering dikaitkan dengan efektivitas sistem moneter. Dalam perspektif monetaris, inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar tumbuh lebih cepat daripada output riil.⁹ Namun, dalam pandangan Keynesian, inflasi juga dapat dipicu oleh demand-pull inflation (dorongan permintaan) maupun cost-push inflation (dorongan biaya produksi).¹⁰

Pertumbuhan ekonomi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara jumlah uang beredar dan kapasitas produksi. Kegagalan menjaga keseimbangan ini akan berujung pada inflasi tinggi atau resesi ekonomi.¹¹

6.4.       Sistem Moneter dan Distribusi Kekayaan

Selain aspek makroekonomi, sistem moneter juga berdampak pada distribusi kekayaan. Kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat menguntungkan pemilik modal karena menekan inflasi namun memperbesar pengangguran. Sebaliknya, kebijakan moneter yang longgar dapat mendorong konsumsi masyarakat tetapi berisiko meningkatkan inflasi yang merugikan kelompok berpendapatan tetap.¹²

Hal ini menunjukkan bahwa sistem moneter bukan hanya mekanisme teknis, melainkan juga instrumen politik-ekonomi yang menentukan keseimbangan antara stabilitas dan keadilan sosial.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 102.

[2]                N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 596.

[3]                David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics, 10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 367.

[4]                Claudio Borio, “The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?,” Bank for International Settlements Working Paper no. 395 (2012): 9–13.

[5]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 134–136.

[6]                Ben S. Bernanke and Mark Gertler, “Inside the Black Box: The Credit Channel of Monetary Policy Transmission,” Journal of Economic Perspectives 9, no. 4 (1995): 27–48.

[7]                Rudiger Dornbusch, Open Economy Macroeconomics (New York: Basic Books, 1980), 76–79.

[8]                Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press, 2003), 15–20.

[9]                Milton Friedman, The Counter-Revolution in Monetary Theory (London: Institute of Economic Affairs, 1970), 21.

[10]             John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 188–190.

[11]             Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 72–75.

[12]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 423–425.


7.           Sistem Moneter dalam Perspektif Global

7.1.       Sistem Moneter Internasional

Sistem moneter tidak dapat dipahami hanya dalam lingkup nasional karena arus perdagangan, investasi, dan keuangan bersifat lintas batas.¹ Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods, dunia memasuki era nilai tukar mengambang (floating exchange rate system) yang mengandalkan mekanisme pasar dalam menentukan kurs.² Namun, sistem ini sering menimbulkan volatilitas nilai tukar yang berdampak pada stabilitas ekonomi global.

Upaya koordinasi internasional dilakukan melalui lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Bank for International Settlements (BIS). Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk menjaga stabilitas global melalui pinjaman darurat, pengawasan kebijakan, dan forum koordinasi antarbank sentral.³

7.2.       Peran Dolar AS sebagai Mata Uang Cadangan Dunia

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dolar Amerika Serikat menjadi mata uang cadangan utama dunia. Status ini diperkuat melalui sistem Bretton Woods yang menempatkan dolar sebagai jangkar moneter internasional.⁴ Hingga kini, sebagian besar transaksi perdagangan internasional, utang luar negeri, dan cadangan devisa global masih didominasi oleh dolar.⁵

Namun, dominasi dolar juga menimbulkan ketergantungan tinggi pada kebijakan moneter Amerika Serikat. Kebijakan suku bunga Federal Reserve, misalnya, memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi di banyak negara berkembang.⁶ Fenomena ini dikenal sebagai spillover effect dari kebijakan moneter AS ke perekonomian global.

7.3.       Munculnya Mata Uang Alternatif: Euro, Yuan, dan Lainnya

Dominasi dolar mulai ditantang oleh munculnya mata uang alternatif. Euro, sejak diperkenalkan tahun 1999, berhasil menjadi mata uang cadangan kedua terbesar di dunia, terutama di kawasan Eropa.⁷ Sementara itu, Tiongkok mendorong internasionalisasi yuan (renminbi) dengan memperluas penggunaannya dalam perdagangan internasional serta mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).⁸

Selain itu, perkembangan ekonomi digital juga membuka peluang bagi munculnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai calon instrumen pembayaran internasional. Walaupun masih menghadapi hambatan regulasi, tren ini menunjukkan adanya diversifikasi dalam sistem moneter global.⁹

7.4.       Persaingan dan Kerjasama Moneter Antar Negara

Sistem moneter global tidak lepas dari dinamika geopolitik. Persaingan mata uang antara dolar, euro, dan yuan mencerminkan perebutan pengaruh ekonomi-politik di tingkat internasional.¹⁰ Namun, di sisi lain, kerjasama moneter regional juga semakin berkembang, seperti pembentukan Chiang Mai Initiative di Asia untuk menghadapi krisis likuiditas, atau mekanisme stabilisasi eurozone melalui European Stability Mechanism (ESM).¹¹

Kerjasama ini menunjukkan bahwa stabilitas moneter global membutuhkan mekanisme kolektif, bukan hanya dominasi satu negara atau satu mata uang.

7.5.       Isu Geopolitik dalam Moneter Global

Sistem moneter global kerap dipengaruhi oleh pertarungan geopolitik. Sanksi ekonomi yang menggunakan dolar sebagai instrumen, seperti yang dikenakan pada Iran dan Rusia, memperlihatkan bahwa moneter tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik.¹²

Selain itu, ketergantungan global pada dolar memicu perdebatan tentang perlunya sistem moneter multipolar yang lebih adil. Beberapa negara berupaya membangun sistem pembayaran alternatif yang tidak berbasis dolar, seperti sistem CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) yang dikembangkan Tiongkok sebagai alternatif SWIFT.¹³


Footnotes

[1]                Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton University Press, 2019), 77–81.

[2]                Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, eds., A Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for International Monetary Reform (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 45–48.

[3]                Harold James, International Monetary Cooperation since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 112–118.

[4]                John Maynard Keynes, Activities 1940–1944: Shaping the Post-War World (London: Macmillan, 1980), 154–158.

[5]                International Monetary Fund, Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions (Washington, DC: IMF, 2021), 25.

[6]                Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” Jackson Hole Economic Policy Symposium Proceedings (2013): 287–333.

[7]                Richard Baldwin and Charles Wyplosz, The Economics of European Integration, 6th ed. (London: McGraw-Hill, 2019), 213.

[8]                Eswar S. Prasad, Gaining Currency: The Rise of the Renminbi (Oxford: Oxford University Press, 2016), 62–68.

[9]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 141–147.

[10]             Benjamin J. Cohen, The Future of Money (Princeton: Princeton University Press, 2004), 93–95.

[11]             Asian Development Bank, The Chiang Mai Initiative Multilateralisation: Perspectives from the ASEAN+3 Regional Financing Arrangement (Manila: ADB, 2020), 12–16.

[12]             Daniel Drezner, The System Worked: How the World Stopped Another Great Depression (Oxford: Oxford University Press, 2014), 178–183.

[13]             Bank for International Settlements, Annual Economic Report 2022 (Basel: BIS, 2022), 35–38.


8.           Tantangan Kontemporer Sistem Moneter

8.1.       Krisis Moneter dan Keuangan Global

Sistem moneter kontemporer menghadapi tantangan serius berupa kerentanan terhadap krisis keuangan global. Krisis moneter Asia (1997–1998) dan krisis keuangan global (2008) menjadi bukti rapuhnya sistem moneter internasional dalam menghadapi arus modal spekulatif dan integrasi pasar keuangan yang tinggi.¹ Krisis tersebut memperlihatkan bahwa ketidakstabilan di satu negara dapat menyebar cepat ke berbagai belahan dunia melalui mekanisme pasar global.²

8.2.       Fenomena Quantitative Easing dan Kebijakan Tidak Konvensional

Sejak krisis 2008, banyak bank sentral menerapkan kebijakan moneter tidak konvensional, salah satunya quantitative easing (QE), yaitu pembelian besar-besaran aset keuangan oleh bank sentral untuk menambah likuiditas.³ Meskipun berhasil menstabilkan sistem keuangan jangka pendek, QE juga menimbulkan konsekuensi seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi, bubble aset, dan ketergantungan pasar pada intervensi bank sentral.⁴

Selain QE, instrumen seperti suku bunga negatif dan forward guidance juga digunakan, menandakan semakin kompleksnya kebijakan moneter di era kontemporer.⁵

8.3.       Inflasi, Stagflasi, dan Ketidakpastian Global

Pasca pandemi COVID-19, banyak negara menghadapi lonjakan inflasi akibat disrupsi rantai pasok, kenaikan harga energi, dan ekspansi fiskal yang besar.⁶ Beberapa analis bahkan memperingatkan ancaman stagflasi—kombinasi inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi rendah—seperti yang terjadi pada 1970-an.⁷ Tantangan ini memperlihatkan bahwa kebijakan moneter sering kali menghadapi dilema antara menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

8.4.       Ketimpangan Ekonomi Global

Sistem moneter internasional saat ini memperlihatkan ketimpangan struktural. Negara-negara maju memiliki kemampuan mencetak mata uang yang diakui secara global, sementara negara berkembang sangat bergantung pada cadangan devisa dalam bentuk dolar atau euro.⁸ Akibatnya, kebijakan moneter di negara maju sering kali menimbulkan dampak spillover yang merugikan negara berkembang, terutama melalui volatilitas modal dan nilai tukar.⁹

8.5.       Ketergantungan pada Dolar dan Pencarian Alternatif

Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia menimbulkan tantangan tersendiri. Ketergantungan yang tinggi membuat banyak negara rentan terhadap kebijakan moneter Amerika Serikat.¹⁰ Dalam merespons, beberapa negara berupaya mengembangkan sistem pembayaran alternatif dan memperkuat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral.¹¹

Selain itu, munculnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) menawarkan peluang untuk mengurangi dominasi dolar, meskipun implementasinya masih menghadapi tantangan regulasi, kepercayaan publik, dan stabilitas sistem keuangan.¹²


Footnotes

[1]                Paul Krugman, The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008 (New York: W.W. Norton, 2009), 73–77.

[2]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 91–94.

[3]                Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath (New York: W.W. Norton, 2015), 325–329.

[4]                Adam Tooze, Crashed: How a Decade of Financial Crises Changed the World (New York: Viking, 2018), 407–412.

[5]                Claudio Borio and Piti Disyatat, “Unconventional Monetary Policies: An Appraisal,” The Manchester School 78, no. 1 (2010): 53–89.

[6]                International Monetary Fund, World Economic Outlook: War Sets Back the Global Recovery (Washington, DC: IMF, 2022), 11–15.

[7]                Nouriel Roubini, Megathreats: Ten Dangerous Trends That Imperil Our Future (New York: Little, Brown, 2022), 142–145.

[8]                Barry Eichengreen, Exorbitant Privilege: The Rise and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System (Oxford: Oxford University Press, 2011), 62–65.

[9]                Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” Jackson Hole Economic Policy Symposium Proceedings (2013): 293–297.

[10]             Eswar S. Prasad, Gaining Currency: The Rise of the Renminbi (Oxford: Oxford University Press, 2016), 78–80.

[11]             Asian Development Bank, The Role of Local Currencies in Regional Trade (Manila: ADB, 2020), 19–23.

[12]             Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 189–193.


9.           Inovasi dan Masa Depan Sistem Moneter

9.1.       Digitalisasi Sistem Moneter

Transformasi digital merupakan salah satu inovasi terbesar dalam sistem moneter abad ke-21. Perkembangan teknologi finansial (fintech) mempercepat proses transaksi, memperluas akses keuangan, dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran.¹ Fenomena seperti mobile banking dan e-wallet telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan uang, dari penggunaan tunai ke transaksi digital.² Digitalisasi ini bukan hanya tren, melainkan bagian integral dari inklusi keuangan global.

9.2.       Cryptocurrency dan Blockchain

Kemunculan cryptocurrency, terutama Bitcoin pada 2009, menandai era baru dalam sejarah moneter. Cryptocurrency menawarkan sistem pembayaran terdesentralisasi yang tidak bergantung pada otoritas moneter tradisional.³ Teknologi blockchain yang melandasinya memberikan transparansi, keamanan, dan efisiensi dalam pencatatan transaksi.⁴

Namun, keberadaan cryptocurrency masih diperdebatkan. Volatilitas harga yang tinggi, potensi penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal, serta ketidakpastian regulasi menjadi tantangan utama.⁵ Meski demikian, banyak analis menilai bahwa blockchain akan tetap menjadi pilar penting bagi inovasi sistem moneter di masa depan, baik melalui aset kripto maupun aplikasi lain seperti smart contracts.⁶

9.3.       Central Bank Digital Currency (CBDC)

CBDC merupakan bentuk digital dari mata uang nasional yang diterbitkan oleh bank sentral. Inisiatif ini lahir sebagai respons terhadap dominasi cryptocurrency sekaligus untuk memperkuat kedaulatan moneter.⁷ CBDC berpotensi meningkatkan efisiensi sistem pembayaran, memperluas inklusi keuangan, serta mengurangi biaya transaksi lintas negara.⁸

Beberapa negara telah meluncurkan atau menguji coba CBDC, seperti e-CNY di Tiongkok, e-Naira di Nigeria, dan uji coba digital euro oleh European Central Bank.⁹ Walaupun demikian, CBDC juga menghadirkan risiko baru, seperti ancaman terhadap stabilitas sistem perbankan, isu privasi data, serta potensi penyalahgunaan oleh pemerintah otoriter.¹⁰

9.4.       Potensi Transisi ke Sistem Moneter Multipolar

Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia semakin dipertanyakan. Dengan munculnya euro, yuan, dan potensi mata uang digital, dunia berpotensi menuju sistem moneter multipolar.¹¹ Dalam sistem ini, beberapa mata uang utama akan berbagi peran dalam perdagangan internasional dan penyimpanan cadangan devisa.

Meskipun hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada dolar, sistem multipolar juga berpotensi menimbulkan fragmentasi dan meningkatkan kompleksitas koordinasi kebijakan global.¹² Oleh karena itu, masa depan sistem moneter internasional sangat ditentukan oleh keseimbangan antara kompetisi mata uang dan mekanisme kerjasama internasional.

9.5.       Tantangan Etika dan Regulasi

Inovasi moneter juga menghadirkan tantangan etika. Cryptocurrency, misalnya, rentan digunakan untuk pencucian uang dan pembiayaan ilegal.¹³ CBDC menimbulkan pertanyaan mengenai privasi data dan potensi pengawasan negara yang terlalu dalam terhadap aktivitas keuangan individu.¹⁴ Regulasi internasional yang adaptif dan inklusif menjadi kunci untuk memastikan bahwa inovasi moneter dapat berjalan seiring dengan prinsip keadilan, keamanan, dan transparansi.


Footnotes

[1]                David G. W. Birch, Identity Is the New Money (London: London Publishing Partnership, 2014), 56–59.

[2]                Jonathan McMillan, The End of Banking: Money, Credit, and the Digital Revolution (Zurich: Zero/One Economics, 2014), 78–82.

[3]                Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System,” White Paper (2008), 1–9.

[4]                Don Tapscott and Alex Tapscott, Blockchain Revolution: How the Technology Behind Bitcoin and Other Cryptocurrencies Is Changing the World (New York: Penguin, 2016), 44–49.

[5]                Nouriel Roubini, “The Great Crypto Heist,” Project Syndicate, February 2019.

[6]                Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain and the Law: The Rule of Code (Cambridge: Harvard University Press, 2018), 65–69.

[7]                Raphael Auer, Giulio Cornelli, and Jon Frost, “Rise of the Central Bank Digital Currencies: Drivers, Approaches, and Technologies,” BIS Working Papers no. 880 (2020): 12–16.

[8]                International Monetary Fund, Central Bank Digital Currencies: A New Tool in the Financial Inclusion Toolkit (Washington, DC: IMF, 2020), 5–7.

[9]                European Central Bank, Report on a Digital Euro (Frankfurt: ECB, 2020), 10–13.

[10]             Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 211–216.

[11]             Barry Eichengreen, Exorbitant Privilege: The Rise and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System (Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–118.

[12]             Benjamin J. Cohen, The Future of Money (Princeton: Princeton University Press, 2004), 143–146.

[13]             Financial Action Task Force (FATF), Guidance for a Risk-Based Approach to Virtual Assets and Virtual Asset Service Providers (Paris: FATF, 2019), 3–6.

[14]             Dirk A. Zetzsche, Ross P. Buckley, and Douglas W. Arner, “Decentralized Finance: On Blockchain- and Smart Contract-Based Financial Markets,” University of New South Wales Law Research Series 21 (2020): 18–21.


10.       Kritik dan Reinterpretasi

10.1.    Kritik terhadap Sistem Moneter Kapitalistik

Sistem moneter modern, yang sangat dipengaruhi oleh paradigma kapitalistik, sering mendapat kritik karena dianggap memperkuat ketimpangan ekonomi global.¹ Mekanisme penciptaan uang melalui sistem fractional reserve banking dinilai cenderung menguntungkan pemilik modal besar, sementara masyarakat berpendapatan rendah justru menghadapi beban inflasi dan utang.² Lebih jauh, sistem ini dituduh mendorong spekulasi keuangan yang dapat mengakibatkan krisis berulang.³

Kaum kritikus, termasuk ekonom heterodoks, menyoroti dominasi lembaga keuangan besar yang dapat memengaruhi arah kebijakan moneter negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana sistem moneter kapitalistik benar-benar melayani kepentingan publik, atau justru memperkuat hegemoni oligarki finansial.⁴

10.2.    Perspektif Ekonomi Islam dalam Sistem Moneter

Dalam kerangka ekonomi Islam, sistem moneter modern mendapat kritik tajam terutama terkait praktik riba (bunga), spekulasi (gharar), dan ketidakadilan distribusi.⁵ Islam menekankan prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (tawazun) dalam aktivitas ekonomi, sehingga sistem moneter ideal adalah yang bebas dari praktik bunga dan berbasis pada prinsip bagi hasil.⁶

Instrumen seperti sukuk, zakat, dan waqf dianggap dapat menjadi alternatif bagi sistem moneter yang lebih etis dan inklusif.⁷ Dengan demikian, perspektif Islam tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga reinterpretasi konstruktif untuk membangun sistem moneter yang lebih adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai moral.

10.3.    Kritik Marxian terhadap Moneter

Dari perspektif Marxian, uang bukanlah entitas netral, melainkan instrumen yang merefleksikan relasi produksi kapitalistik. Marx melihat uang sebagai bentuk fetisisme komoditas yang menyembunyikan eksploitasi dalam sistem kapitalisme.⁸ Sistem moneter modern, dengan peran dominan perbankan dan pasar keuangan, dianggap memperkuat akumulasi kapital sekaligus memperdalam ketidaksetaraan kelas.⁹

Krisis moneter dianggap sebagai ekspresi dari kontradiksi internal kapitalisme, di mana overproduksi dan spekulasi keuangan menghasilkan instabilitas yang berulang.¹⁰ Kritik Marxian ini mendorong reinterpretasi bahwa moneter tidak hanya persoalan teknis, melainkan terkait erat dengan struktur sosial dan politik.

10.4.    Pandangan Alternatif: Ekonomi Solidaritas dan Moneter Komunitas

Selain kritik Islam dan Marxian, muncul pula gagasan ekonomi solidaritas dan moneter komunitas. Model ini menekankan pada partisipasi masyarakat, keberlanjutan, dan distribusi yang adil.¹¹ Contoh nyata adalah penggunaan local currencies atau community exchange systems yang bertujuan memperkuat ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada sistem moneter global.¹²

Inovasi ini mereinterpretasi moneter sebagai alat untuk memperkuat kohesi sosial, bukan semata instrumen profit. Dengan demikian, moneter dipandang tidak harus seragam secara global, melainkan dapat disesuaikan dengan nilai, budaya, dan kebutuhan masyarakat tertentu.


Footnotes

[1]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W.W. Norton, 2012), 54–57.

[2]                Richard A. Werner, Princes of the Yen: Japan’s Central Bankers and the Transformation of the Economy (Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2003), 32–36.

[3]                Hyman P. Minsky, Stabilizing an Unstable Economy (New Haven: Yale University Press, 1986), 84–87.

[4]                Yanis Varoufakis, And the Weak Suffer What They Must? Europe’s Crisis and America’s Economic Future (New York: Nation Books, 2016), 91–93.

[5]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215.

[6]                Muhammad Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Leicester: Islamic Foundation, 1983), 46–49.

[7]                Abbas Mirakhor and Hossein Askari, Islam and the Path to Human and Economic Development (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 88–91.

[8]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I (London: Penguin Classics, 1990), 163–165.

[9]                David Harvey, The Limits to Capital (London: Verso, 2006), 87–89.

[10]             Ernest Mandel, Late Capitalism (London: Verso, 1975), 144–148.

[11]             Jean-Louis Laville, The Solidarity Economy: An Alternative Development Strategy (London: Zed Books, 2010), 73–75.

[12]             John C. Ralston Saul, The Collapse of Globalism and the Reinvention of the World (New York: Penguin, 2005), 118–121.


11.       Relevansi Sistem Moneter dalam Kehidupan Kontemporer

11.1.    Peran Sistem Moneter dalam Pembangunan Nasional

Sistem moneter memiliki posisi sentral dalam mendukung pembangunan nasional. Kebijakan moneter yang efektif dapat menjaga inflasi pada tingkat yang terkendali, menyediakan likuiditas bagi sektor produktif, serta mendorong investasi.¹ Negara-negara berkembang khususnya membutuhkan sistem moneter yang stabil untuk menghindari gejolak nilai tukar dan arus modal keluar yang dapat menghambat pembangunan jangka panjang.²

Di Indonesia, misalnya, peran Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah terbukti penting bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi dan integrasi keuangan domestik dengan sistem global.³ Hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara sistem moneter, stabilitas makroekonomi, dan agenda pembangunan.

11.2.    Moneter dan Kesejahteraan Masyarakat

Relevansi sistem moneter juga terlihat pada dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang terkendali melindungi daya beli masyarakat, sementara kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong penciptaan lapangan kerja.⁴ Namun, ketidakseimbangan dalam pengelolaan moneter berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial, misalnya ketika kebijakan longgar lebih banyak menguntungkan sektor keuangan dibandingkan masyarakat umum.⁵

Dengan demikian, efektivitas sistem moneter seharusnya diukur tidak hanya melalui indikator makroekonomi, tetapi juga melalui kontribusinya terhadap pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan kesejahteraan.

11.3.    Moneter dan Stabilitas Politik

Stabilitas moneter berhubungan erat dengan stabilitas politik. Krisis moneter sering kali memicu ketidakpuasan sosial yang dapat berujung pada instabilitas politik.⁶ Contoh nyata adalah krisis moneter Asia tahun 1997–1998 yang berkontribusi terhadap perubahan rezim di Indonesia.⁷ Dengan demikian, sistem moneter yang efektif tidak hanya menopang ekonomi, tetapi juga menjadi fondasi bagi legitimasi politik dan kohesi sosial.

11.4.    Relevansi dalam Menghadapi Tantangan Global

Era kontemporer ditandai dengan berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan ekonomi. Sistem moneter memiliki relevansi strategis dalam merespons tantangan ini. Misalnya, bank sentral dapat mengintegrasikan kebijakan hijau (green monetary policy) untuk mendukung transisi energi terbarukan dan keberlanjutan lingkungan.⁸

Selain itu, pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana kebijakan moneter ekspansif diperlukan untuk menjaga kelangsungan ekonomi di tengah krisis kesehatan global.⁹ Sistem moneter yang adaptif dan responsif menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian global di masa mendatang.


Footnotes

[1]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 102–104.

[2]                Joseph E. Stiglitz and Bruce Greenwald, Creating a Learning Society: A New Approach to Growth, Development, and Social Progress (New York: Columbia University Press, 2014), 213–215.

[3]                Perry Warjiyo, Central Bank Policy: Theory and Practice in Sustaining Monetary and Financial Stability (Cheltenham: Edward Elgar, 2019), 45–47.

[4]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 188–190.

[5]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 423–425.

[6]                Charles P. Kindleberger, Manias, Panics, and Crashes: A History of Financial Crises, 6th ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 56–58.

[7]                Rizal Ramli, Krisis Ekonomi Indonesia: Analisis, Prospek, dan Strategi Pemulihan (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), 11–13.

[8]                Ulrich Volz, Central Banking and Climate Change (London: SOAS University of London, 2017), 21–25.

[9]                Adam Tooze, Shutdown: How COVID Shook the World’s Economy (New York: Viking, 2021), 87–89.


12.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

12.1.    Sintesis Teori dan Praktik Sistem Moneter

Kajian sistem moneter memperlihatkan keterkaitan erat antara teori, institusi, dan praktik ekonomi. Teori klasik menekankan pentingnya pengendalian jumlah uang beredar, teori Keynesian menyoroti peran permintaan agregat, monetaris menekankan stabilitas harga melalui kebijakan ketat, sedangkan Modern Monetary Theory (MMT) mencoba mereinterpretasi hubungan moneter-fiskal secara lebih radikal.¹

Dalam praktiknya, tidak ada satu teori pun yang dapat diterapkan secara absolut. Kebijakan moneter di berbagai negara menunjukkan adanya kombinasi pendekatan sesuai dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi.² Dengan demikian, sistem moneter merupakan arena dinamis yang memerlukan integrasi antara teori ekonomi, realitas politik, serta nilai-nilai normatif yang melandasi kehidupan masyarakat.

12.2.    Refleksi Filosofis tentang Uang dan Nilai

Uang, sebagai inti dari sistem moneter, bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan juga simbol filosofis. Karl Marx melihat uang sebagai “komoditas universal” yang mengabstraksikan kerja manusia dan melahirkan fetisisme.³ Sementara itu, Georg Simmel menekankan bahwa uang membentuk relasi sosial yang impersonal, menjadikan hubungan ekonomi lebih rasional, tetapi juga lebih dingin.⁴

Dalam perspektif etika, uang tidak bersifat netral. Ia dapat menjadi instrumen keadilan apabila digunakan untuk mendukung kesejahteraan sosial, namun juga bisa menjadi sarana ketidakadilan ketika dikuasai oleh segelintir elite finansial.⁵ Hal ini menegaskan perlunya pendekatan moral dalam mengatur sistem moneter, agar keberadaannya tidak semata mengabdi pada akumulasi kapital, tetapi juga pada keadilan distributif.

12.3.    Hubungan Sistem Moneter dengan Moralitas dan Keadilan

Filosofi politik-ekonomi menegaskan bahwa sistem moneter memiliki implikasi moral. Aristoteles dalam Politics membedakan antara penggunaan uang secara alami (oikonomia) dan secara artifisial (chrematistike), di mana yang terakhir cenderung melahirkan keserakahan.⁶ Kritik ini relevan untuk meninjau kembali peran moneter dalam kapitalisme global kontemporer.

Dalam Islam, uang dipandang sebagai amanah yang harus digunakan untuk mendukung kemaslahatan bersama. Prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (mizan) menekankan bahwa sistem moneter ideal adalah yang mampu mencegah penindasan melalui riba dan spekulasi berlebihan.⁷ Perspektif ini menghadirkan dimensi spiritual dalam refleksi filosofis tentang moneter, melampaui sekadar efisiensi teknis.

12.4.    Pandangan Lintas Disiplin

Sistem moneter dapat dipahami melalui lensa multidisipliner. Dari sisi ekonomi, ia menjelaskan mekanisme distribusi sumber daya; dari sisi politik, ia merefleksikan kekuasaan dan legitimasi; dari sisi sosiologi, ia membentuk relasi sosial; dan dari sisi filsafat, ia menyingkap makna uang dalam kehidupan manusia.⁸

Pendekatan lintas disiplin ini menegaskan bahwa sistem moneter adalah konstruksi sosial yang terus berubah. Refleksi filosofis diperlukan untuk memastikan bahwa transformasi moneter, termasuk inovasi digital dan CBDC, tidak hanya diarahkan oleh efisiensi pasar, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan global.⁹


Footnotes

[1]                Irving Fisher, The Purchasing Power of Money (New York: Macmillan, 1911), 37–40.

[2]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New York: Pearson, 2021), 196–199.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I (London: Penguin Classics, 1990), 163–165.

[4]                Georg Simmel, The Philosophy of Money, 3rd ed. (London: Routledge, 2011), 211–215.

[5]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W.W. Norton, 2012), 54–57.

[6]                Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge: Harvard University Press, 1932), 1257a–1258a.

[7]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215.

[8]                Benjamin J. Cohen, The Future of Money (Princeton: Princeton University Press, 2004), 93–95.

[9]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 211–216.


13.       Penutup

13.1.    Kesimpulan Umum

Kajian tentang sistem moneter menunjukkan bahwa ia bukan sekadar instrumen teknis dalam perekonomian, melainkan juga konstruksi sosial, politik, dan filosofis yang memengaruhi kehidupan manusia secara mendalam. Sejarah perkembangan sistem moneter, mulai dari barter, standar emas, Bretton Woods, hingga era digital, membuktikan sifatnya yang dinamis dan adaptif terhadap perubahan zaman.¹

Secara teoritis, berbagai pendekatan seperti klasik, Keynesian, monetaris, dan Modern Monetary Theory (MMT) memberikan perspektif yang berbeda tentang peran uang dan kebijakan moneter.² Tidak ada satu teori pun yang mampu menjawab seluruh kompleksitas, sehingga sintesis multidisipliner diperlukan untuk memahami moneter dalam konteks global.

Di tingkat praktis, sistem moneter terbukti memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas harga, mendukung pembangunan nasional, mengurangi risiko krisis, serta memengaruhi kesejahteraan masyarakat.³ Namun, tantangan kontemporer seperti ketergantungan pada dolar, krisis keuangan global, inflasi, dan inovasi digital menuntut sistem moneter untuk terus direformasi.⁴

13.2.    Implikasi Penelitian

Hasil kajian ini mengimplikasikan bahwa:

1)                  Kebijakan moneter harus dirancang tidak hanya untuk stabilitas makroekonomi, tetapi juga demi keadilan sosial.

2)                  Lembaga moneter, baik nasional maupun internasional, memerlukan legitimasi politik dan moral untuk menjalankan fungsinya secara efektif.

3)                  Inovasi digital seperti cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) harus dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.⁵

13.3.    Rekomendasi untuk Kajian Lanjut

Kajian lebih lanjut tentang sistem moneter perlu diarahkan pada tiga dimensi utama:

1)                  Dimensi Ekonomi-Politik: bagaimana sistem moneter membentuk relasi kekuasaan global dan memperkuat atau justru melemahkan kedaulatan negara.

2)                  Dimensi Sosial-Kultural: bagaimana sistem moneter memengaruhi distribusi kekayaan, pola konsumsi, dan struktur sosial.

3)                  Dimensi Filosofis-Etis: bagaimana konsep uang dapat dipahami tidak hanya sebagai alat transaksi, tetapi juga sebagai instrumen moral yang menegakkan keadilan.⁶

Dengan demikian, sistem moneter di masa depan perlu dipandang sebagai entitas multidimensi yang tidak hanya mengabdi pada efisiensi ekonomi, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan keberlanjutan global.


Footnotes

[1]                Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 45–67.

[2]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 166–167; Milton Friedman, The Counter-Revolution in Monetary Theory (London: Institute of Economic Affairs, 1970), 17–21.

[3]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 102–104.

[4]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 72–75.

[5]                Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge: Harvard University Press, 2021), 211–216.

[6]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215; Georg Simmel, The Philosophy of Money, 3rd ed. (London: Routledge, 2011), 211–215.


Daftar Pustaka

Alesina, A., & Summers, L. H. (1993). Central bank independence and macroeconomic performance: Some comparative evidence. Journal of Money, Credit and Banking, 25(2), 151–162.

Aristotle. (1932). Politics (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Asian Development Bank. (2020). The Chiang Mai Initiative Multilateralisation: Perspectives from the ASEAN+3 regional financing arrangement. ADB.

Asian Development Bank. (2020). The role of local currencies in regional trade. ADB.

Auer, R., Cornelli, G., & Frost, J. (2020). Rise of the central bank digital currencies: Drivers, approaches, and technologies. BIS Working Papers, 880, 1–23.

Bagehot, W. (1873). Lombard street: A description of the money market. Henry S. King.

Baldwin, R., & Wyplosz, C. (2019). The economics of European integration (6th ed.). McGraw-Hill.

Begg, D., Fischer, S., & Dornbusch, R. (2014). Economics (10th ed.). McGraw-Hill.

Bernanke, B. S. (2015). The courage to act: A memoir of a crisis and its aftermath. W.W. Norton.

Bernanke, B. S., & Gertler, M. (1995). Inside the black box: The credit channel of monetary policy transmission. Journal of Economic Perspectives, 9(4), 27–48.

Birch, D. G. W. (2014). Identity is the new money. London Publishing Partnership.

Blanchard, O. (2021). Macroeconomics (8th ed.). Pearson.

Borio, C. (2009). The macroprudential approach to regulation and supervision. Financial Stability Review, 13, 31–41.

Borio, C., & Disyatat, P. (2010). Unconventional monetary policies: An appraisal. The Manchester School, 78(1), 53–89.

Borio, C. (2012). The financial cycle and macroeconomics: What have we learnt? Bank for International Settlements Working Paper, 395, 1–33.

Bordo, M. D., & Eichengreen, B. (Eds.). (1993). A retrospective on the Bretton Woods system: Lessons for international monetary reform. University of Chicago Press.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Islamic Foundation.

Cohen, B. J. (2004). The future of money. Princeton University Press.

Davidson, P. (1978). Money and the real world (2nd ed.). St. Martin’s Press.

De Filippi, P., & Wright, A. (2018). Blockchain and the law: The rule of code. Harvard University Press.

Dornbusch, R. (1980). Open economy macroeconomics. Basic Books.

Drezner, D. (2014). The system worked: How the world stopped another great depression. Oxford University Press.

Eichengreen, B. (2011). Exorbitant privilege: The rise and fall of the dollar and the future of the international monetary system. Oxford University Press.

Eichengreen, B. (2019). Globalizing capital: A history of the international monetary system (3rd ed.). Princeton University Press.

European Central Bank. (2020). Report on a digital euro. ECB.

Ferguson, N. (2008). The ascent of money: A financial history of the world. Penguin Press.

Fisher, I. (1911). The purchasing power of money. Macmillan.

Financial Action Task Force. (2019). Guidance for a risk-based approach to virtual assets and virtual asset service providers. FATF.

Friedman, M. (1970). The counter-revolution in monetary theory. Institute of Economic Affairs.

Friedman, M., & Schwartz, A. J. (1963). A monetary history of the United States, 1867–1960. Princeton University Press.

Goodhart, C. (1988). The evolution of central banks. MIT Press.

Harvey, D. (2006). The limits to capital. Verso.

International Monetary Fund. (2020). Central bank digital currencies: A new tool in the financial inclusion toolkit. IMF.

International Monetary Fund. (2021). Annual report on exchange arrangements and exchange restrictions. IMF.

International Monetary Fund. (2022). World economic outlook: War sets back the global recovery. IMF.

James, H. (1996). International monetary cooperation since Bretton Woods. Oxford University Press.

James, H. (2019). International monetary cooperation. Princeton University Press.

Keynes, J. M. (1936). The general theory of employment, interest, and money. Macmillan.

Keynes, J. M. (1980). Activities 1940–1944: Shaping the post-war world. Macmillan.

Kindleberger, C. P. (1993). A financial history of Western Europe. Oxford University Press.

Kindleberger, C. P. (2011). Manias, panics, and crashes: A history of financial crises (6th ed.). Palgrave Macmillan.

Krugman, P. (2009). The return of depression economics and the crisis of 2008. W.W. Norton.

Laville, J.-L. (2010). The solidarity economy: An alternative development strategy. Zed Books.

Mandel, E. (1975). Late capitalism. Verso.

Mankiw, N. G. (2021). Principles of economics (9th ed.). Cengage Learning.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy, Volume I. Penguin Classics.

McMillan, J. (2014). The end of banking: Money, credit, and the digital revolution. Zero/One Economics.

Minsky, H. P. (1986). Stabilizing an unstable economy. Yale University Press.

Mirakhor, A., & Askari, H. (2010). Islam and the path to human and economic development. Palgrave Macmillan.

Mishkin, F. S. (2019). The economics of money, banking, and financial markets (12th ed.). Pearson.

Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A peer-to-peer electronic cash system. White Paper.

Patinkin, D. (1965). Money, interest, and prices (2nd ed.). Harper & Row.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Harvard University Press.

Prasad, E. S. (2016). Gaining currency: The rise of the renminbi. Oxford University Press.

Prasad, E. S. (2021). The future of money: How the digital revolution is transforming currencies and finance. Harvard University Press.

Ralston Saul, J. C. (2005). The collapse of globalism and the reinvention of the world. Penguin.

Ramli, R. (1999). Krisis ekonomi Indonesia: Analisis, prospek, dan strategi pemulihan. Pustaka LP3ES.

Rey, H. (2013). Dilemma not trilemma: The global financial cycle and monetary policy independence. Jackson Hole Economic Policy Symposium Proceedings, 285–337.

Rogoff, K. (2019). Modern monetary theory and inflation. Project Syndicate.

Roubini, N. (2019). The great crypto heist. Project Syndicate.

Roubini, N. (2022). Megathreats: Ten dangerous trends that imperil our future. Little, Brown.

Samuelson, P. A., & Nordhaus, W. D. (2010). Economics (19th ed.). McGraw-Hill.

Siddiqi, M. N. (1983). Banking without interest. Islamic Foundation.

Simmel, G. (2011). The philosophy of money (3rd ed.). Routledge.

Stiglitz, J. E. (2010). Freefall: America, free markets, and the sinking of the world economy. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality: How today’s divided society endangers our future. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E. (2017). Globalization and its discontents revisited. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E., & Greenwald, B. (2014). Creating a learning society: A new approach to growth, development, and social progress. Columbia University Press.

Tapscott, D., & Tapscott, A. (2016). Blockchain revolution: How the technology behind Bitcoin and other cryptocurrencies is changing the world. Penguin.

Tooze, A. (2018). Crashed: How a decade of financial crises changed the world. Viking.

Tooze, A. (2021). Shutdown: How COVID shook the world’s economy. Viking.

Varoufakis, Y. (2016). And the weak suffer what they must? Europe’s crisis and America’s economic future. Nation Books.

Volz, U. (2017). Central banking and climate change. SOAS University of London.

Warjiyo, P. (2019). Central bank policy: Theory and practice in sustaining monetary and financial stability. Edward Elgar.

Werner, R. A. (2003). Princes of the yen: Japan’s central bankers and the transformation of the economy. M.E. Sharpe.

Woodford, M. (2003). Interest and prices: Foundations of a theory of monetary policy. Princeton University Press.

Wray, R. (2012). Modern monetary theory: A primer on macroeconomics for sovereign monetary systems. Palgrave Macmillan.

Zetzsche, D. A., Buckley, R. P., & Arner, D. W. (2020). Decentralized finance: On blockchain- and smart contract-based financial markets. University of New South Wales Law Research Series, 21, 1–36.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar