Sistem Moneter
Konsep, Sejarah, dan Relevansi
dalam Dinamika Ekonomi Global
Alihkan ke: Sistem Moneter dan Fiskal.
Abstrak
Artikel ini membahas sistem moneter sebagai
salah satu pilar utama dalam perekonomian global, yang mencakup dimensi
historis, teoritis, institusional, hingga refleksi filosofis. Sejarah
perkembangan sistem moneter menunjukkan dinamika adaptifnya, dari barter,
standar emas, sistem Bretton Woods, hingga era nilai tukar mengambang dan
digitalisasi moneter. Kajian teoritis menampilkan beragam perspektif mulai dari
klasik, Keynesian, monetaris, hingga Modern Monetary Theory (MMT), yang
masing-masing memberikan landasan analitis sekaligus memunculkan keterbatasan.
Di sisi praktis, sistem moneter berfungsi
menjaga stabilitas harga, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memelihara
stabilitas keuangan, namun juga menghadapi tantangan kontemporer seperti krisis
global, inflasi, ketergantungan pada dolar, serta transformasi digital. Inovasi
seperti cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) membuka peluang
sekaligus menimbulkan risiko regulasi, etika, dan stabilitas. Artikel ini juga
menguraikan kritik dari perspektif kapitalistik, Islam, dan Marxian, serta
menawarkan reinterpretasi alternatif melalui pendekatan ekonomi solidaritas.
Melalui refleksi filosofis, artikel ini
menegaskan bahwa uang tidak hanya instrumen ekonomi, melainkan juga fenomena
sosial, politik, dan moral yang menentukan distribusi keadilan. Oleh karena
itu, masa depan sistem moneter perlu diarahkan tidak hanya pada efisiensi
teknis, tetapi juga pada keberlanjutan, solidaritas, dan nilai kemanusiaan
dalam menghadapi dinamika global.
Kata Kunci: Sistem
Moneter; Uang; Kebijakan Moneter; Globalisasi; Cryptocurrency; Central Bank
Digital Currency (CBDC); Keadilan Ekonomi.
PEMBAHASAN
Kajian Sistem Moneter
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Sistem moneter merupakan salah satu fondasi utama dalam struktur
perekonomian modern. Ia tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme teknis untuk
mengatur peredaran uang, melainkan juga mencerminkan dinamika sosial, politik,
dan budaya suatu masyarakat. Dalam sejarah peradaban, transformasi dari sistem barter menuju sistem uang logam, lalu ke
sistem moneter berbasis kertas, hingga ke arah digitalisasi moneter,
menunjukkan bahwa aspek moneter selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan manusia.¹
Keberadaan sistem moneter menjadi instrumen penting dalam menjaga
stabilitas harga, mengatur inflasi, serta mendukung pertumbuhan ekonomi. Tanpa
adanya sistem moneter yang kuat dan stabil, sebuah negara akan sulit mencapai
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.² Di tingkat global, sistem moneter juga
berperan dalam menentukan keseimbangan perdagangan internasional, distribusi
kekayaan, dan posisi geopolitik antar negara.³
Namun demikian, sistem moneter tidaklah bebas dari problematika. Krisis
moneter Asia pada tahun 1997–1998, krisis keuangan global tahun 2008, hingga
fenomena inflasi global pasca pandemi COVID-19 merupakan contoh konkret bagaimana sistem moneter dapat menjadi
sumber instabilitas ekonomi jika tidak dikelola dengan baik.⁴ Di sisi lain,
kemunculan inovasi baru seperti cryptocurrency dan Central Bank Digital
Currency (CBDC) menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi sistem moneter
global.⁵
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1)
Bagaimana konsep dasar sistem moneter dan
peranannya dalam perekonomian?
2)
Bagaimana sejarah perkembangan sistem moneter
dari masa ke masa?
3)
Apa saja teori dan instrumen utama yang
membentuk sistem moneter?
4)
Bagaimana tantangan dan kritik terhadap sistem
moneter kontemporer?
5)
Bagaimana relevansi sistem moneter dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masa kini?
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk:
1)
Menguraikan konsep, sejarah, dan teori yang
membentuk sistem moneter.
2)
Menganalisis fungsi, mekanisme, serta
tantangan yang dihadapi sistem moneter modern.
3)
Memberikan refleksi kritis dan filosofis
mengenai peran sistem moneter dalam dinamika ekonomi global.
Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan kontribusi akademik
bagi pengembangan kajian ekonomi dan moneter, sekaligus memberikan wawasan praktis bagi pembuat kebijakan,
akademisi, maupun masyarakat umum dalam memahami kompleksitas sistem moneter.
1.4.
Metode Kajian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
pustaka (library research). Data dikumpulkan dari literatur akademik,
laporan lembaga internasional, serta publikasi terkait sistem moneter. Analisis
dilakukan secara deskriptif-analitis dengan kerangka historis, teoretis, dan filosofis
untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif.
Footnotes
[1]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial
History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 45–67.
[2]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 89.
[3]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 15–20.
[4]
Joseph E. Stiglitz, Freefall: America, Free
Markets, and the Sinking of the World Economy (New York: W.W. Norton,
2010), 56–78.
[5]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 103–127.
2.
Konsep Dasar Sistem Moneter
2.1.
Definisi Sistem
Moneter
Sistem moneter secara umum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan,
lembaga, dan mekanisme yang mengatur peredaran uang dalam suatu perekonomian.¹
Ia mencakup instrumen moneter, otoritas pengendali, serta hubungan antara
sektor keuangan dan sektor riil. Uang sebagai inti dari sistem moneter
berfungsi tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai satuan hitung,
penyimpan nilai, serta standar pembayaran yang ditangguhkan.²
Dalam perspektif ekonomi modern, sistem moneter tidak hanya terbatas
pada ketersediaan uang tunai, melainkan juga mencakup berbagai bentuk
likuiditas, termasuk deposito, kredit, dan instrumen keuangan lainnya.³
Oleh karena itu, sistem moneter memiliki peran strategis dalam menciptakan
stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan.
2.2.
Komponen Utama
Sistem Moneter
1)
Uang
Uang adalah medium fundamental dalam sistem moneter.
Evolusinya, dari uang komoditas hingga uang fiat dan digital, mencerminkan
kebutuhan manusia dalam memperlancar transaksi.⁴ Fungsi uang yang paling
mendasar adalah sebagai medium of exchange, unit of account, store
of value, dan standard of deferred payment.⁵
2)
Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, berfungsi
sebagai penghubung antara pihak yang memiliki surplus dana dan pihak yang
membutuhkan dana.⁶ Mereka menjalankan fungsi intermediasi, pengelolaan risiko,
serta penciptaan likuiditas.
3)
Otoritas Moneter
Bank
sentral sebagai otoritas moneter bertugas menjaga stabilitas harga,
mengendalikan inflasi, dan memastikan kelancaran sistem pembayaran.⁷ Kebijakan
moneter yang diterapkan bank sentral berimplikasi langsung pada kondisi ekonomi makro, termasuk
pertumbuhan, pengangguran, dan stabilitas keuangan.
2.3. Prinsip-Prinsip
Dasar Sistem Moneter
Sistem moneter dibangun atas sejumlah prinsip utama. Pertama, stabilitas
moneter, yaitu menjaga agar nilai uang tetap stabil dan tidak tergerus
inflasi yang berlebihan. Kedua, kepercayaan publik, karena nilai uang
pada hakikatnya didasarkan pada penerimaan sosial. Ketiga, fleksibilitas,
yakni kemampuan sistem moneter untuk beradaptasi dengan dinamika ekonomi
domestik maupun global.⁸
Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa sistem moneter tidak dapat
berjalan hanya dengan aturan teknis, tetapi memerlukan legitimasi politik,
hukum, dan sosial yang mendukung keberlangsungannya.
2.4.
Peran Sistem Moneter
dalam Perekonomian
Sistem moneter memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan
makroekonomi. Melalui kebijakan moneter, otoritas dapat mengendalikan inflasi,
mengatur jumlah uang beredar, serta mempengaruhi tingkat suku bunga.⁹ Selain
itu, sistem moneter turut memengaruhi stabilitas nilai tukar, arus modal, dan
perdagangan internasional.
Dengan demikian, keberadaan sistem moneter bukanlah entitas yang
netral. Ia sarat dengan implikasi sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi
kehidupan sehari-hari masyarakat.¹⁰ Keberhasilan atau kegagalan suatu sistem
moneter akan berkontribusi langsung pada kesejahteraan publik dan daya saing
suatu bangsa dalam percaturan global.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 45.
[2]
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics,
19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 257.
[3]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th
ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 593.
[4]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial
History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 30–47.
[5]
David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics,
10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 341.
[6]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed., 102.
[7]
Charles Goodhart, The Evolution of Central Banks
(Cambridge: MIT Press, 1988), 12–15.
[8]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 5.
[9]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 76–77.
[10]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 43.
3.
Sejarah Perkembangan Sistem Moneter
3.1. Dari
Sistem Barter ke Uang Logam
Perkembangan sistem moneter bermula dari keterbatasan sistem barter.
Kelemahan utama barter terletak pada sulitnya menemukan double coincidence
of wants—yaitu kebutuhan timbal balik yang sama antara pihak-pihak yang
melakukan pertukaran.¹
Sebagai solusi, masyarakat mulai menggunakan komoditas tertentu seperti garam,
kulit hewan, atau bijih logam sebagai alat tukar. Dari sinilah muncul bentuk
awal uang komoditas.
Seiring dengan perkembangan peradaban, logam mulia seperti emas dan
perak digunakan sebagai alat pembayaran yang lebih diterima secara luas karena
sifatnya yang langka, tahan lama, dan memiliki nilai intrinsik.² Uang logam ini
kemudian melahirkan standar moneter awal yang dikenal sebagai metallic
standard.
3.2.
Era Standar Emas
(Gold Standard)
Salah satu tonggak penting dalam
sejarah sistem moneter adalah penerapan standar emas pada abad ke-19.
Dalam sistem ini, nilai mata uang suatu negara dijamin oleh cadangan emas yang
dimilikinya.³ Standar emas memberikan stabilitas nilai tukar antar negara serta
mempermudah perdagangan internasional. Namun, sistem ini juga membatasi fleksibilitas kebijakan moneter karena
jumlah uang beredar bergantung pada ketersediaan emas.⁴
Sistem standar emas runtuh secara bertahap, terutama setelah terjadinya
Perang Dunia I yang membuat banyak negara meninggalkan konvertibilitas emas
untuk membiayai pembiayaan perang.
3.3.
Sistem Bretton Woods
Setelah Perang Dunia II, negara-negara berupaya membangun sistem
moneter internasional yang lebih stabil. Hasilnya adalah terbentuknya sistem
Bretton Woods pada tahun 1944, yang menetapkan dolar Amerika Serikat sebagai
mata uang acuan yang dapat dikonversikan ke emas dengan harga tetap, sementara
mata uang negara lain dikaitkan dengan dolar.⁵
Sistem ini melahirkan lembaga-lembaga internasional seperti
International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berfungsi untuk menjaga
stabilitas moneter dan mendukung pembangunan ekonomi global.⁶ Namun,
ketidakseimbangan neraca pembayaran Amerika Serikat pada akhir 1960-an serta meningkatnya permintaan dolar membuat sistem
ini goyah. Akhirnya, pada tahun 1971 Presiden Richard Nixon secara resmi
mengakhiri konvertibilitas dolar terhadap emas, yang dikenal dengan istilah Nixon
Shock.⁷
3.4.
Pasca Bretton Woods
dan Sistem Moneter Modern
Sejak runtuhnya Bretton Woods, dunia memasuki era sistem nilai tukar
mengambang (floating exchange rate system). Dalam sistem ini, nilai
tukar mata uang ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan permintaan dan
penawaran.⁸ Kebijakan
moneter menjadi lebih fleksibel karena tidak lagi terikat pada cadangan emas.
Namun, sistem ini juga membawa kerentanan baru, seperti volatilitas
nilai tukar, arus modal spekulatif, dan ketergantungan pada dolar Amerika
sebagai mata uang cadangan
dunia.⁹ Krisis keuangan Asia 1997–1998 dan krisis keuangan global 2008
memperlihatkan kelemahan mendasar dari sistem moneter internasional yang
berbasis pada kapitalisme finansial global.¹⁰
3.5.
Dinamika Moneter di
Era Digital
Memasuki abad ke-21, sistem moneter menghadapi tantangan baru dengan
munculnya instrumen digital. Cryptocurrency seperti Bitcoin menawarkan
alternatif sistem pembayaran yang terdesentralisasi dan bebas dari kontrol
otoritas moneter.¹¹ Selain itu, banyak bank sentral sedang mengembangkan Central
Bank Digital Currency (CBDC) sebagai bentuk digital dari mata uang nasional
untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan menjaga kedaulatan
moneter.¹²
Transformasi ini menandai bahwa sejarah sistem moneter selalu bersifat
dinamis: dari barter ke logam mulia, dari standar emas ke Bretton Woods, hingga
ke era mata uang digital. Perubahan ini menunjukkan bahwa moneter tidak hanya
persoalan teknis ekonomi, tetapi juga mencerminkan perubahan struktur sosial,
politik, dan teknologi global.
Footnotes
[1]
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics,
19th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 256–258.
[2]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial
History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 27–33.
[3]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 17–21.
[4]
Charles P. Kindleberger, A Financial History of
Western Europe (New York: Oxford University Press, 1993), 143–147.
[5]
John Maynard Keynes, The Collected Writings of John
Maynard Keynes, Vol. 25: Activities 1940–1944: Shaping the Post-War World: The
Clearing Union (London: Macmillan, 1980), 119–124.
[6]
Harold James, International Monetary Cooperation
since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 34–39.
[7]
Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, eds., A
Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for International Monetary
Reform (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 38.
[8]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 68.
[9]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 62–67.
[10]
Paul Krugman, The Return of Depression Economics
and the Crisis of 2008 (New York: W.W. Norton, 2009), 94–97.
[11]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 49–58.
[12]
International Monetary Fund, Central Bank Digital
Currencies: A New Tool in the Financial Inclusion Toolkit (Washington, DC:
IMF, 2020), 3–7.
4.
Landasan Teoritis Sistem Moneter
4.1.
Teori Klasik Moneter
Teori klasik moneter berpijak pada quantity theory of money yang
dipopulerkan oleh Irving Fisher melalui persamaan MV = PT (Money ×
Velocity = Price × Transactions).¹ Teori ini berasumsi bahwa jumlah uang
beredar memiliki hubungan langsung dengan tingkat harga. Peningkatan jumlah uang
beredar akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya memicu
inflasi.²
Para ekonom klasik menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara
jumlah uang yang beredar dan aktivitas perekonomian riil.³ Pandangan ini kemudian
menjadi dasar bagi kebijakan moneter restriktif yang bertujuan mengendalikan
inflasi melalui pengendalian jumlah uang beredar.
4.2.
Teori Keynesian dan
Post-Keynesian
Kritik terhadap teori klasik datang
dari John Maynard Keynes, terutama dalam karyanya The General Theory of
Employment, Interest, and Money (1936). Keynes menolak pandangan bahwa pasar uang selalu berada dalam
keseimbangan otomatis. Ia memperkenalkan konsep preferensi likuiditas,
yang menjelaskan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh tiga motif: transaksi,
berjaga-jaga, dan spekulasi.⁴
Dalam perspektif Keynesian, kebijakan moneter tidak hanya berperan
mengendalikan inflasi, tetapi juga menjaga lapangan kerja dan pertumbuhan
ekonomi.⁵ Kaum post-Keynesian
kemudian mengembangkan pemikiran ini lebih jauh dengan menekankan peran
institusi keuangan, ekspektasi, serta dinamika ketidakpastian dalam sistem
moneter.⁶
4.3.
Teori Moneter Modern
(Modern Monetary Theory)
Modern Monetary Theory (MMT) menawarkan
perspektif baru yang cukup kontroversial. Teori ini menyatakan bahwa negara
dengan kedaulatan moneter penuh (menerbitkan mata uangnya sendiri) tidak
mungkin bangkrut karena selalu dapat mencetak uang untuk membiayai
pengeluarannya.⁷ Inflasi, bukan defisit anggaran, menjadi batas utama bagi
belanja pemerintah.
MMT menekankan bahwa pengeluaran
pemerintah dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai full employment
dan stabilitas harga melalui desain fiskal-moneter yang terintegrasi.⁸ Namun,
teori ini dikritik karena dinilai dapat mendorong inflasi berlebihan
serta menimbulkan ketidakstabilan jangka panjang apabila tidak diimbangi dengan
disiplin fiskal.⁹
4.4.
Teori Kuantitas Uang
dan Inflasi
Selain Fisher, Milton Friedman melalui mazhab Monetaris memperkuat
teori kuantitas uang. Menurut Friedman, “inflasi selalu dan di mana pun
merupakan fenomena moneter.”¹⁰ Dalam kerangka monetaris, pengendalian jumlah uang
beredar menjadi kunci utama untuk menjaga stabilitas harga.
Monetaris menekankan peran bank sentral dalam mengatur pertumbuhan
jumlah uang beredar secara konsisten sesuai dengan pertumbuhan output riil.¹¹
Walaupun teori ini memberikan landasan bagi kebijakan moneter modern, kenyataan menunjukkan bahwa hubungan antara
jumlah uang beredar dan inflasi tidak selalu linier, terutama dalam konteks
ekonomi global yang kompleks.¹²
4.5. Analisis
Kritis terhadap Teori-Teori Moneter
Berbagai teori moneter memberikan kerangka analitis yang berbeda-beda
dalam memahami peran uang dan sistem moneter. Teori klasik menekankan stabilitas
harga, Keynesian menyoroti peran permintaan agregat, Monetaris menggarisbawahi
kendali jumlah uang beredar, sedangkan MMT menawarkan integrasi moneter dengan
fiskal.
Namun, masing-masing teori memiliki keterbatasan. Teori klasik terlalu
menyederhanakan hubungan antara uang dan harga. Keynesian menghadapi kritik
terkait efektivitas kebijakan
moneter dalam kondisi liquidity trap. Monetaris dianggap kaku dalam
menerapkan aturan pertumbuhan uang, sementara MMT diperdebatkan karena dianggap
berisiko mendorong inflasi tinggi.
Dengan demikian, pemahaman tentang sistem moneter memerlukan pendekatan
multidimensi yang menggabungkan
keunggulan berbagai teori sekaligus mempertimbangkan konteks historis,
institusional, dan global.
Footnotes
[1]
Irving Fisher, The Purchasing Power of Money
(New York: Macmillan, 1911), 37–40.
[2]
Don Patinkin, Money, Interest, and Prices, 2nd
ed. (New York: Harper & Row, 1965), 56.
[3]
David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics,
10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 341–342.
[4]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 166–167.
[5]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 96–97.
[6]
Paul Davidson, Money and the Real World, 2nd
ed. (New York: St. Martin’s Press, 1978), 54–59.
[7]
Stephanie Kelton, The Deficit Myth: Modern Monetary
Theory and the Birth of the People’s Economy (New York: PublicAffairs,
2020), 32–34.
[8]
Randall Wray, Modern Monetary Theory: A Primer on
Macroeconomics for Sovereign Monetary Systems (London: Palgrave Macmillan,
2012), 76–80.
[9]
Kenneth Rogoff, “Modern Monetary Theory and Inflation,”
Project Syndicate, June 2019.
[10]
Milton Friedman, The Counter-Revolution in Monetary
Theory (London: Institute of Economic Affairs, 1970), 17.
[11]
Milton Friedman and Anna J. Schwartz, A Monetary
History of the United States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University
Press, 1963), 34.
[12]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 66–68.
5.
Lembaga dan Instrumen Sistem Moneter
5.1.
Bank Sentral dan
Perannya
Bank sentral merupakan lembaga kunci dalam sistem moneter yang bertugas
mengatur stabilitas keuangan dan menjaga nilai mata uang.¹ Tugas utama bank
sentral mencakup pengendalian inflasi, pengawasan sistem pembayaran, serta
stabilisasi nilai tukar.² Bank sentral juga berperan sebagai lender of last
resort, yakni memberikan pinjaman darurat kepada bank atau lembaga keuangan
yang mengalami krisis likuiditas.³
Di banyak negara, independensi bank sentral menjadi isu penting untuk
menghindari intervensi politik dalam kebijakan moneter. Independensi ini diyakini mampu
meningkatkan kredibilitas moneter dan menekan ekspektasi inflasi.⁴
5.2. Sistem
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya
Selain bank sentral, sistem perbankan komersial berperan besar dalam
penciptaan uang melalui mekanisme fractional reserve banking.⁵ Bank
komersial menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, lalu menyalurkannya
kembali dalam bentuk
pinjaman kepada sektor riil. Proses ini tidak hanya memperlancar arus
likuiditas, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di luar bank, terdapat pula lembaga keuangan non-bank, seperti
perusahaan asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan, yang turut serta
dalam memperluas akses keuangan
dan mengelola risiko.⁶ Keberadaan lembaga-lembaga ini memperkaya instrumen
moneter yang tersedia dalam perekonomian.
5.3.
Instrumen Kebijakan
Moneter
Bank sentral menggunakan berbagai instrumen untuk mengendalikan perekonomian.
Instrumen utama tersebut meliputi:
1)
Operasi Pasar Terbuka
(Open Market Operations – OMO)
Melalui pembelian atau penjualan surat berharga pemerintah,
bank sentral dapat menambah atau mengurangi jumlah uang beredar.⁷
2)
Suku Bunga Acuan (Policy
Rate)
Penetapan
tingkat suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman dan konsumsi masyarakat.
Kenaikan suku bunga biasanya menekan inflasi, sementara penurunan suku bunga mendorong investasi dan
pertumbuhan.⁸
3)
Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement)
Bank
sentral menetapkan persentase tertentu dari simpanan masyarakat yang wajib
disimpan oleh bank komersial sebagai cadangan.⁹ Perubahan kebijakan ini secara langsung memengaruhi
kemampuan bank menyalurkan kredit.
4)
Instrumen Makroprudensial
Termasuk
pengaturan rasio kredit terhadap pendapatan, pembatasan kredit sektor tertentu, serta
kebijakan pengawasan risiko sistemik.¹⁰
5.4.
Peran Lembaga
Internasional
Selain lembaga domestik, terdapat pula lembaga internasional yang
memengaruhi sistem moneter global. International Monetary Fund (IMF) berperan
dalam menjaga stabilitas sistem moneter internasional dengan memberikan
pinjaman darurat kepada negara-negara yang menghadapi krisis neraca
pembayaran.¹¹ Bank Dunia berfokus pada pembangunan jangka panjang, sementara
Bank for International Settlements (BIS) menjadi forum koordinasi kebijakan
moneter antarbank sentral.¹²
Keterlibatan lembaga internasional ini memperlihatkan bahwa sistem
moneter tidak dapat dilepaskan dari interkoneksi global. Stabilitas moneter
suatu negara sering kali terkait erat dengan dinamika ekonomi dan kebijakan
negara lain.
Footnotes
[1]
Charles Goodhart, The Evolution of Central Banks
(Cambridge: MIT Press, 1988), 1–5.
[2]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 89–92.
[3]
Walter Bagehot, Lombard Street: A Description of
the Money Market (London: Henry S. King, 1873), 152–155.
[4]
Alberto Alesina and Lawrence H. Summers, “Central Bank
Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence,” Journal
of Money, Credit and Banking 25, no. 2 (1993): 151–162.
[5]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th
ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 594.
[6]
David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics,
10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 356–360.
[7]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 126–128.
[8]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed., 141–143.
[9]
Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations
of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press,
2003), 64.
[10]
Claudio Borio, “The Macroprudential Approach to
Regulation and Supervision,” Financial Stability Review 13 (2009):
31–41.
[11]
Harold James, International Monetary Cooperation
since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 145–149.
[12]
Bank for International Settlements, Annual Economic
Report 2022 (Basel: BIS, 2022), 12–15.
6.
Fungsi dan Mekanisme Sistem Moneter
6.1.
Fungsi Sistem
Moneter dalam Ekonomi
Sistem moneter memiliki peran fundamental dalam menjaga stabilitas dan
kelancaran aktivitas perekonomian. Fungsi utamanya mencakup:
1)
Menjaga Stabilitas Harga
Melalui
pengendalian inflasi dan deflasi, sistem moneter memastikan nilai uang tetap
stabil sehingga daya beli masyarakat terlindungi.¹ Stabilitas harga ini penting
untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
2)
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Dengan
menyediakan likuiditas yang memadai, sistem moneter mendukung kegiatan produksi, konsumsi, dan
investasi.² Ketersediaan uang yang cukup akan memperlancar transaksi dan
memperkuat perputaran roda ekonomi.
3)
Menjamin Kelancaran Sistem Pembayaran
Sistem
moneter berperan
memastikan bahwa transaksi ekonomi, baik domestik maupun internasional, dapat
berlangsung dengan aman, cepat, dan efisien.³
4)
Menciptakan Stabilitas Keuangan
Melalui
regulasi dan pengawasan, sistem moneter mencegah risiko sistemik yang dapat menyebabkan krisis
perbankan atau keuangan.⁴
6.2. Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral bekerja melalui
serangkaian mekanisme transmisi untuk memengaruhi perekonomian secara luas.
Mekanisme ini melibatkan beberapa saluran:
1)
Saluran Suku Bunga
(Interest Rate Channel)
Perubahan suku bunga acuan memengaruhi biaya pinjaman dan
keputusan investasi. Kenaikan suku bunga biasanya menekan permintaan agregat,
sementara penurunan suku bunga mendorong pertumbuhan ekonomi.⁵
2)
Saluran Kredit (Credit
Channel)
Ketersediaan kredit bagi sektor swasta dipengaruhi oleh
kebijakan cadangan wajib minimum dan regulasi perbankan.⁶ Pembatasan kredit
dapat menekan konsumsi dan investasi, sedangkan pelonggaran kredit meningkatkan
aktivitas ekonomi.
3)
Saluran Nilai Tukar
(Exchange Rate Channel)
Perubahan
kebijakan moneter dapat memengaruhi nilai tukar mata uang. Apresiasi
mata uang cenderung menurunkan ekspor, sedangkan depresiasi meningkatkan daya
saing ekspor.⁷
4)
Saluran Ekspektasi (Expectations Channel)
Kredibilitas
bank sentral dalam menjaga inflasi berpengaruh terhadap ekspektasi pelaku
ekonomi. Jika bank sentral dianggap konsisten, ekspektasi inflasi akan terkendali sehingga
kebijakan moneter lebih efektif.⁸
6.3. Hubungan
Sistem Moneter, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi
Inflasi adalah fenomena moneter yang paling sering dikaitkan dengan
efektivitas sistem moneter. Dalam perspektif monetaris, inflasi terjadi ketika
jumlah uang beredar tumbuh lebih cepat daripada output riil.⁹ Namun, dalam
pandangan Keynesian, inflasi juga dapat dipicu oleh demand-pull inflation
(dorongan permintaan) maupun cost-push inflation (dorongan biaya
produksi).¹⁰
Pertumbuhan ekonomi yang sehat membutuhkan keseimbangan antara jumlah
uang beredar dan kapasitas produksi. Kegagalan menjaga keseimbangan ini akan
berujung pada inflasi tinggi atau resesi ekonomi.¹¹
6.4.
Sistem Moneter dan
Distribusi Kekayaan
Selain aspek makroekonomi, sistem moneter juga berdampak pada
distribusi kekayaan. Kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat menguntungkan
pemilik modal karena menekan inflasi namun memperbesar pengangguran.
Sebaliknya, kebijakan moneter yang longgar dapat mendorong konsumsi masyarakat tetapi berisiko
meningkatkan inflasi yang merugikan kelompok berpendapatan tetap.¹²
Hal ini menunjukkan bahwa sistem moneter bukan hanya mekanisme teknis,
melainkan juga instrumen politik-ekonomi yang menentukan keseimbangan antara
stabilitas dan keadilan sosial.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019), 102.
[2]
N. Gregory Mankiw, Principles of Economics, 9th
ed. (Boston: Cengage Learning, 2021), 596.
[3]
David Begg, Stanley Fischer, and Rudiger Dornbusch, Economics,
10th ed. (London: McGraw-Hill, 2014), 367.
[4]
Claudio Borio, “The Financial Cycle and
Macroeconomics: What Have We Learnt?,” Bank for International Settlements
Working Paper no. 395 (2012): 9–13.
[5]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 134–136.
[6]
Ben S. Bernanke and Mark Gertler, “Inside the Black Box:
The Credit Channel of Monetary Policy Transmission,” Journal of Economic
Perspectives 9, no. 4 (1995): 27–48.
[7]
Rudiger Dornbusch, Open Economy Macroeconomics
(New York: Basic Books, 1980), 76–79.
[8]
Michael Woodford, Interest and Prices: Foundations
of a Theory of Monetary Policy (Princeton: Princeton University Press,
2003), 15–20.
[9]
Milton Friedman, The Counter-Revolution in Monetary
Theory (London: Institute of Economic Affairs, 1970), 21.
[10]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 188–190.
[11]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 72–75.
[12]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 423–425.
7.
Sistem Moneter dalam Perspektif Global
7.1.
Sistem Moneter
Internasional
Sistem moneter tidak dapat dipahami hanya dalam lingkup nasional karena
arus perdagangan, investasi, dan keuangan bersifat lintas batas.¹ Sejak runtuhnya
sistem Bretton Woods, dunia memasuki era nilai tukar mengambang (floating
exchange rate system) yang mengandalkan mekanisme pasar dalam menentukan
kurs.² Namun, sistem ini sering menimbulkan volatilitas nilai tukar yang
berdampak pada stabilitas ekonomi global.
Upaya koordinasi internasional
dilakukan melalui lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF),
Bank Dunia, dan Bank for International Settlements (BIS). Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk menjaga stabilitas
global melalui pinjaman darurat, pengawasan kebijakan, dan forum koordinasi
antarbank sentral.³
7.2.
Peran Dolar AS
sebagai Mata Uang Cadangan Dunia
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dolar Amerika Serikat menjadi mata
uang cadangan utama dunia. Status ini diperkuat melalui sistem Bretton Woods
yang menempatkan dolar sebagai jangkar moneter internasional.⁴ Hingga kini,
sebagian besar
transaksi perdagangan internasional, utang luar negeri, dan cadangan devisa
global masih didominasi oleh dolar.⁵
Namun, dominasi dolar juga menimbulkan ketergantungan tinggi pada
kebijakan moneter Amerika Serikat. Kebijakan suku bunga Federal Reserve, misalnya,
memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi di banyak negara
berkembang.⁶ Fenomena ini dikenal sebagai spillover effect dari
kebijakan moneter AS ke perekonomian global.
7.3.
Munculnya Mata Uang
Alternatif: Euro, Yuan, dan Lainnya
Dominasi dolar mulai ditantang oleh munculnya mata uang alternatif.
Euro, sejak diperkenalkan tahun 1999, berhasil menjadi mata uang cadangan kedua
terbesar di dunia, terutama di kawasan Eropa.⁷ Sementara itu, Tiongkok mendorong internasionalisasi yuan
(renminbi) dengan memperluas penggunaannya dalam perdagangan internasional
serta mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).⁸
Selain itu, perkembangan ekonomi
digital juga membuka peluang bagi munculnya cryptocurrency dan Central
Bank Digital Currency (CBDC) sebagai calon instrumen pembayaran internasional. Walaupun masih menghadapi hambatan
regulasi, tren ini
menunjukkan adanya diversifikasi dalam sistem moneter global.⁹
7.4. Persaingan
dan Kerjasama Moneter Antar Negara
Sistem moneter global tidak lepas dari dinamika geopolitik. Persaingan
mata uang antara dolar, euro, dan yuan mencerminkan perebutan pengaruh
ekonomi-politik di tingkat internasional.¹⁰ Namun, di sisi lain, kerjasama
moneter regional juga semakin berkembang, seperti pembentukan Chiang Mai
Initiative di Asia untuk menghadapi krisis likuiditas, atau mekanisme
stabilisasi eurozone melalui European Stability Mechanism (ESM).¹¹
Kerjasama ini menunjukkan bahwa stabilitas moneter global membutuhkan
mekanisme kolektif, bukan hanya dominasi satu negara atau satu mata uang.
7.5.
Isu Geopolitik dalam
Moneter Global
Sistem moneter global kerap dipengaruhi oleh pertarungan geopolitik.
Sanksi ekonomi yang menggunakan dolar sebagai instrumen, seperti yang dikenakan
pada Iran dan Rusia, memperlihatkan bahwa moneter tidak hanya berfungsi sebagai
instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik.¹²
Selain itu, ketergantungan global pada dolar memicu perdebatan tentang
perlunya sistem moneter multipolar yang lebih adil. Beberapa negara berupaya
membangun sistem pembayaran alternatif yang tidak berbasis dolar, seperti
sistem CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) yang dikembangkan Tiongkok
sebagai alternatif SWIFT.¹³
Footnotes
[1]
Barry Eichengreen, Globalizing Capital: A History
of the International Monetary System, 3rd ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 77–81.
[2]
Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, eds., A
Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for International Monetary
Reform (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 45–48.
[3]
Harold James, International Monetary Cooperation
since Bretton Woods (New York: Oxford University Press, 1996), 112–118.
[4]
John Maynard Keynes, Activities 1940–1944: Shaping
the Post-War World (London: Macmillan, 1980), 154–158.
[5]
International Monetary Fund, Annual Report on
Exchange Arrangements and Exchange Restrictions (Washington, DC: IMF,
2021), 25.
[6]
Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global
Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” Jackson Hole Economic
Policy Symposium Proceedings (2013): 287–333.
[7]
Richard Baldwin and Charles Wyplosz, The Economics
of European Integration, 6th ed. (London: McGraw-Hill, 2019), 213.
[8]
Eswar S. Prasad, Gaining Currency: The Rise of the
Renminbi (Oxford: Oxford University Press, 2016), 62–68.
[9]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 141–147.
[10]
Benjamin J. Cohen, The Future of Money
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 93–95.
[11]
Asian Development Bank, The Chiang Mai Initiative
Multilateralisation: Perspectives from the ASEAN+3 Regional Financing
Arrangement (Manila: ADB, 2020), 12–16.
[12]
Daniel Drezner, The System Worked: How the World
Stopped Another Great Depression (Oxford: Oxford University Press, 2014),
178–183.
[13]
Bank for International Settlements, Annual Economic
Report 2022 (Basel: BIS, 2022), 35–38.
8.
Tantangan Kontemporer Sistem Moneter
8.1.
Krisis Moneter dan
Keuangan Global
Sistem moneter kontemporer menghadapi tantangan serius berupa
kerentanan terhadap krisis keuangan global. Krisis moneter Asia (1997–1998) dan
krisis keuangan global (2008) menjadi bukti rapuhnya sistem moneter
internasional dalam menghadapi arus modal spekulatif dan integrasi pasar
keuangan yang tinggi.¹ Krisis tersebut memperlihatkan bahwa ketidakstabilan di
satu negara dapat menyebar cepat ke berbagai belahan dunia melalui mekanisme
pasar global.²
8.2. Fenomena
Quantitative Easing dan Kebijakan Tidak Konvensional
Sejak krisis 2008, banyak bank sentral menerapkan kebijakan moneter
tidak konvensional, salah satunya quantitative easing (QE), yaitu pembelian
besar-besaran aset keuangan oleh bank sentral untuk menambah likuiditas.³
Meskipun berhasil
menstabilkan sistem keuangan jangka pendek, QE juga menimbulkan konsekuensi
seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi, bubble aset, dan ketergantungan pasar
pada intervensi bank sentral.⁴
Selain QE, instrumen seperti suku bunga negatif dan forward guidance
juga digunakan, menandakan semakin kompleksnya kebijakan moneter di era
kontemporer.⁵
8.3.
Inflasi, Stagflasi,
dan Ketidakpastian Global
Pasca pandemi COVID-19, banyak negara menghadapi lonjakan inflasi
akibat disrupsi rantai pasok, kenaikan harga energi, dan ekspansi fiskal yang
besar.⁶ Beberapa analis bahkan memperingatkan ancaman stagflasi—kombinasi inflasi tinggi
dan pertumbuhan ekonomi rendah—seperti yang terjadi pada 1970-an.⁷ Tantangan
ini memperlihatkan bahwa kebijakan moneter sering kali menghadapi dilema antara
menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
8.4.
Ketimpangan Ekonomi
Global
Sistem moneter internasional saat ini memperlihatkan ketimpangan
struktural. Negara-negara maju memiliki kemampuan mencetak mata uang yang
diakui secara global, sementara negara berkembang sangat bergantung pada cadangan
devisa dalam bentuk dolar atau euro.⁸ Akibatnya, kebijakan moneter di negara
maju sering kali menimbulkan dampak spillover yang merugikan negara
berkembang, terutama melalui volatilitas modal dan nilai tukar.⁹
8.5.
Ketergantungan pada
Dolar dan Pencarian Alternatif
Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia menimbulkan tantangan
tersendiri. Ketergantungan yang tinggi membuat banyak negara rentan terhadap
kebijakan moneter Amerika Serikat.¹⁰ Dalam merespons, beberapa negara berupaya
mengembangkan sistem pembayaran alternatif dan memperkuat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan
bilateral.¹¹
Selain itu, munculnya cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency
(CBDC) menawarkan peluang untuk mengurangi dominasi dolar, meskipun
implementasinya masih
menghadapi tantangan regulasi, kepercayaan publik, dan stabilitas sistem
keuangan.¹²
Footnotes
[1]
Paul Krugman, The Return of Depression Economics
and the Crisis of 2008 (New York: W.W. Norton, 2009), 73–77.
[2]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 91–94.
[3]
Ben S. Bernanke, The Courage to Act: A Memoir of a
Crisis and Its Aftermath (New York: W.W. Norton, 2015), 325–329.
[4]
Adam Tooze, Crashed: How a Decade of Financial
Crises Changed the World (New York: Viking, 2018), 407–412.
[5]
Claudio Borio and Piti Disyatat, “Unconventional
Monetary Policies: An Appraisal,” The Manchester School 78, no. 1
(2010): 53–89.
[6]
International Monetary Fund, World Economic Outlook:
War Sets Back the Global Recovery (Washington, DC: IMF, 2022), 11–15.
[7]
Nouriel Roubini, Megathreats: Ten Dangerous Trends
That Imperil Our Future (New York: Little, Brown, 2022), 142–145.
[8]
Barry Eichengreen, Exorbitant Privilege: The Rise
and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 62–65.
[9]
Hélène Rey, “Dilemma not Trilemma: The Global
Financial Cycle and Monetary Policy Independence,” Jackson Hole Economic
Policy Symposium Proceedings (2013): 293–297.
[10]
Eswar S. Prasad, Gaining Currency: The Rise of the
Renminbi (Oxford: Oxford University Press, 2016), 78–80.
[11]
Asian Development Bank, The Role of Local
Currencies in Regional Trade (Manila: ADB, 2020), 19–23.
[12]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 189–193.
9.
Inovasi dan Masa Depan Sistem Moneter
9.1.
Digitalisasi Sistem
Moneter
Transformasi digital merupakan salah satu inovasi terbesar dalam sistem
moneter abad ke-21. Perkembangan teknologi finansial (fintech)
mempercepat proses transaksi, memperluas akses keuangan, dan meningkatkan efisiensi
sistem pembayaran.¹ Fenomena seperti mobile banking dan e-wallet
telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan uang, dari penggunaan tunai
ke transaksi digital.² Digitalisasi ini bukan hanya tren, melainkan bagian
integral dari inklusi keuangan global.
9.2.
Cryptocurrency dan
Blockchain
Kemunculan cryptocurrency, terutama
Bitcoin pada 2009, menandai era baru dalam sejarah moneter. Cryptocurrency menawarkan sistem pembayaran
terdesentralisasi yang tidak bergantung pada otoritas moneter tradisional.³
Teknologi blockchain yang melandasinya memberikan transparansi,
keamanan, dan efisiensi dalam pencatatan transaksi.⁴
Namun, keberadaan cryptocurrency masih
diperdebatkan. Volatilitas harga yang tinggi, potensi penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal,
serta ketidakpastian regulasi menjadi tantangan utama.⁵ Meski demikian, banyak
analis menilai bahwa blockchain akan tetap menjadi pilar penting bagi inovasi
sistem moneter di masa depan, baik melalui aset kripto maupun aplikasi lain
seperti smart contracts.⁶
9.3.
Central Bank Digital
Currency (CBDC)
CBDC merupakan bentuk digital dari mata uang nasional yang diterbitkan
oleh bank sentral. Inisiatif ini lahir sebagai respons terhadap dominasi cryptocurrency
sekaligus untuk memperkuat kedaulatan moneter.⁷ CBDC berpotensi meningkatkan
efisiensi sistem pembayaran, memperluas inklusi keuangan, serta mengurangi
biaya transaksi lintas negara.⁸
Beberapa negara telah meluncurkan atau menguji coba CBDC, seperti e-CNY
di Tiongkok, e-Naira di Nigeria, dan uji coba digital euro oleh European
Central Bank.⁹ Walaupun demikian, CBDC juga menghadirkan risiko baru, seperti
ancaman terhadap stabilitas sistem perbankan, isu privasi data, serta potensi
penyalahgunaan oleh pemerintah otoriter.¹⁰
9.4.
Potensi Transisi ke
Sistem Moneter Multipolar
Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia semakin dipertanyakan.
Dengan munculnya euro, yuan, dan potensi mata uang digital, dunia berpotensi
menuju sistem moneter multipolar.¹¹ Dalam sistem ini, beberapa mata uang utama
akan berbagi peran dalam perdagangan internasional dan penyimpanan cadangan
devisa.
Meskipun hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada dolar, sistem
multipolar juga berpotensi menimbulkan fragmentasi dan meningkatkan
kompleksitas koordinasi kebijakan global.¹² Oleh karena itu, masa depan sistem
moneter internasional sangat ditentukan oleh keseimbangan antara kompetisi mata
uang dan mekanisme kerjasama internasional.
9.5.
Tantangan Etika dan
Regulasi
Inovasi moneter juga menghadirkan tantangan etika. Cryptocurrency,
misalnya, rentan digunakan untuk pencucian uang dan pembiayaan ilegal.¹³ CBDC
menimbulkan pertanyaan mengenai privasi data dan potensi pengawasan negara yang
terlalu dalam terhadap aktivitas keuangan individu.¹⁴ Regulasi internasional
yang adaptif dan inklusif menjadi kunci untuk memastikan bahwa inovasi moneter
dapat berjalan seiring dengan prinsip keadilan, keamanan, dan transparansi.
Footnotes
[1]
David G. W. Birch, Identity Is the New Money
(London: London Publishing Partnership, 2014), 56–59.
[2]
Jonathan McMillan, The End of Banking: Money,
Credit, and the Digital Revolution (Zurich: Zero/One Economics, 2014),
78–82.
[3]
Satoshi Nakamoto, “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic
Cash System,” White Paper (2008), 1–9.
[4]
Don Tapscott and Alex Tapscott, Blockchain
Revolution: How the Technology Behind Bitcoin and Other Cryptocurrencies Is
Changing the World (New York: Penguin, 2016), 44–49.
[5]
Nouriel Roubini, “The Great Crypto Heist,” Project
Syndicate, February 2019.
[6]
Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain
and the Law: The Rule of Code (Cambridge: Harvard University Press, 2018),
65–69.
[7]
Raphael Auer, Giulio Cornelli, and Jon Frost, “Rise of
the Central Bank Digital Currencies: Drivers, Approaches, and Technologies,” BIS
Working Papers no. 880 (2020): 12–16.
[8]
International Monetary Fund, Central Bank Digital
Currencies: A New Tool in the Financial Inclusion Toolkit (Washington, DC:
IMF, 2020), 5–7.
[9]
European Central Bank, Report on a Digital Euro
(Frankfurt: ECB, 2020), 10–13.
[10]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 211–216.
[11]
Barry Eichengreen, Exorbitant Privilege: The Rise
and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–118.
[12]
Benjamin J. Cohen, The Future of Money
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 143–146.
[13]
Financial Action Task Force (FATF), Guidance for a Risk-Based
Approach to Virtual Assets and Virtual Asset Service Providers (Paris:
FATF, 2019), 3–6.
[14]
Dirk A. Zetzsche, Ross P. Buckley, and Douglas W.
Arner, “Decentralized Finance: On Blockchain- and Smart Contract-Based
Financial Markets,” University of New South Wales Law Research Series 21
(2020): 18–21.
10. Kritik dan
Reinterpretasi
10.1.
Kritik terhadap
Sistem Moneter Kapitalistik
Sistem moneter modern, yang sangat dipengaruhi oleh paradigma
kapitalistik, sering mendapat kritik karena dianggap memperkuat ketimpangan
ekonomi global.¹ Mekanisme penciptaan uang melalui sistem fractional reserve
banking dinilai cenderung menguntungkan pemilik modal besar, sementara
masyarakat berpendapatan rendah justru menghadapi beban inflasi dan utang.²
Lebih jauh, sistem ini dituduh mendorong spekulasi keuangan yang dapat
mengakibatkan krisis berulang.³
Kaum kritikus, termasuk ekonom heterodoks, menyoroti dominasi lembaga
keuangan besar yang dapat memengaruhi arah kebijakan moneter negara. Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana sistem moneter kapitalistik
benar-benar melayani kepentingan publik, atau justru memperkuat hegemoni
oligarki finansial.⁴
10.2. Perspektif
Ekonomi Islam dalam Sistem Moneter
Dalam kerangka ekonomi Islam, sistem moneter modern mendapat kritik
tajam terutama terkait praktik riba (bunga), spekulasi (gharar), dan
ketidakadilan distribusi.⁵ Islam menekankan prinsip keadilan (al-‘adl)
dan keseimbangan (tawazun) dalam aktivitas ekonomi, sehingga sistem
moneter ideal adalah yang bebas dari praktik bunga dan berbasis pada prinsip
bagi hasil.⁶
Instrumen seperti sukuk, zakat, dan waqf dianggap dapat menjadi
alternatif bagi sistem moneter yang lebih etis dan inklusif.⁷ Dengan demikian,
perspektif Islam tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga reinterpretasi
konstruktif untuk membangun sistem moneter yang lebih adil, berkelanjutan, dan
sesuai dengan nilai moral.
10.3.
Kritik Marxian
terhadap Moneter
Dari perspektif Marxian, uang bukanlah entitas netral, melainkan
instrumen yang merefleksikan relasi produksi kapitalistik. Marx melihat uang
sebagai bentuk fetisisme komoditas yang menyembunyikan eksploitasi dalam sistem
kapitalisme.⁸ Sistem moneter modern, dengan peran dominan perbankan dan pasar
keuangan, dianggap memperkuat akumulasi kapital sekaligus memperdalam
ketidaksetaraan kelas.⁹
Krisis moneter dianggap sebagai ekspresi dari kontradiksi internal
kapitalisme, di mana overproduksi dan spekulasi keuangan menghasilkan
instabilitas yang berulang.¹⁰ Kritik Marxian ini mendorong reinterpretasi bahwa
moneter tidak hanya persoalan teknis, melainkan terkait erat dengan struktur
sosial dan politik.
10.4. Pandangan
Alternatif: Ekonomi Solidaritas dan Moneter Komunitas
Selain kritik Islam dan Marxian, muncul pula gagasan ekonomi
solidaritas dan moneter komunitas. Model ini menekankan pada partisipasi
masyarakat, keberlanjutan, dan distribusi yang adil.¹¹ Contoh nyata adalah
penggunaan local currencies atau community exchange systems yang
bertujuan memperkuat ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada sistem
moneter global.¹²
Inovasi ini mereinterpretasi moneter sebagai alat untuk memperkuat
kohesi sosial, bukan semata instrumen profit. Dengan demikian, moneter
dipandang tidak harus seragam secara global, melainkan dapat disesuaikan dengan
nilai, budaya, dan kebutuhan masyarakat tertentu.
Footnotes
[1]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W.W. Norton, 2012),
54–57.
[2]
Richard A. Werner, Princes of the Yen: Japan’s
Central Bankers and the Transformation of the Economy (Armonk, NY: M.E.
Sharpe, 2003), 32–36.
[3]
Hyman P. Minsky, Stabilizing an Unstable Economy
(New Haven: Yale University Press, 1986), 84–87.
[4]
Yanis Varoufakis, And the Weak Suffer What They
Must? Europe’s Crisis and America’s Economic Future (New York: Nation
Books, 2016), 91–93.
[5]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215.
[6]
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Banking Without
Interest (Leicester: Islamic Foundation, 1983), 46–49.
[7]
Abbas Mirakhor and Hossein Askari, Islam and the
Path to Human and Economic Development (New York: Palgrave Macmillan,
2010), 88–91.
[8]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, Volume I (London: Penguin Classics, 1990), 163–165.
[9]
David Harvey, The Limits to Capital (London:
Verso, 2006), 87–89.
[10]
Ernest Mandel, Late Capitalism (London: Verso,
1975), 144–148.
[11]
Jean-Louis Laville, The Solidarity Economy: An
Alternative Development Strategy (London: Zed Books, 2010), 73–75.
[12]
John C. Ralston Saul, The Collapse of Globalism and
the Reinvention of the World (New York: Penguin, 2005), 118–121.
11. Relevansi
Sistem Moneter dalam Kehidupan Kontemporer
11.1.
Peran Sistem Moneter
dalam Pembangunan Nasional
Sistem moneter memiliki posisi sentral dalam mendukung pembangunan
nasional. Kebijakan moneter yang efektif dapat menjaga inflasi pada tingkat
yang terkendali, menyediakan likuiditas bagi sektor produktif, serta mendorong
investasi.¹ Negara-negara berkembang khususnya membutuhkan sistem moneter yang
stabil untuk menghindari gejolak nilai tukar dan arus modal keluar yang dapat
menghambat pembangunan jangka panjang.²
Di Indonesia, misalnya, peran Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
rupiah terbukti penting bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi dan integrasi
keuangan domestik dengan sistem global.³ Hal ini menunjukkan keterkaitan erat
antara sistem moneter, stabilitas makroekonomi, dan agenda pembangunan.
11.2.
Moneter dan
Kesejahteraan Masyarakat
Relevansi sistem moneter juga terlihat pada dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang terkendali melindungi daya beli
masyarakat, sementara kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong penciptaan
lapangan kerja.⁴ Namun, ketidakseimbangan dalam pengelolaan moneter berpotensi
menimbulkan ketimpangan sosial, misalnya ketika kebijakan longgar lebih banyak
menguntungkan sektor keuangan dibandingkan masyarakat umum.⁵
Dengan demikian, efektivitas sistem moneter seharusnya diukur tidak
hanya melalui indikator makroekonomi, tetapi juga melalui kontribusinya
terhadap pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan
kesejahteraan.
11.3.
Moneter dan
Stabilitas Politik
Stabilitas moneter berhubungan erat dengan stabilitas politik. Krisis
moneter sering kali memicu ketidakpuasan sosial yang dapat berujung pada
instabilitas politik.⁶ Contoh nyata adalah krisis moneter Asia tahun 1997–1998
yang berkontribusi terhadap perubahan rezim di Indonesia.⁷ Dengan demikian,
sistem moneter yang efektif tidak hanya menopang ekonomi, tetapi juga menjadi
fondasi bagi legitimasi politik dan kohesi sosial.
11.4.
Relevansi dalam
Menghadapi Tantangan Global
Era kontemporer ditandai dengan berbagai tantangan global seperti
perubahan iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan ekonomi. Sistem moneter memiliki
relevansi strategis dalam merespons tantangan ini. Misalnya, bank sentral dapat
mengintegrasikan kebijakan hijau (green monetary policy) untuk mendukung
transisi energi terbarukan dan keberlanjutan lingkungan.⁸
Selain itu, pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana kebijakan moneter
ekspansif diperlukan untuk menjaga kelangsungan ekonomi di tengah krisis
kesehatan global.⁹ Sistem moneter yang adaptif dan responsif menjadi kunci
untuk menghadapi ketidakpastian global di masa mendatang.
Footnotes
[1]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019),
102–104.
[2]
Joseph E. Stiglitz and Bruce Greenwald, Creating a
Learning Society: A New Approach to Growth, Development, and Social Progress
(New York: Columbia University Press, 2014), 213–215.
[3]
Perry Warjiyo, Central Bank Policy: Theory and
Practice in Sustaining Monetary and Financial Stability (Cheltenham: Edward
Elgar, 2019), 45–47.
[4]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 188–190.
[5]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge: Harvard University Press, 2014), 423–425.
[6]
Charles P. Kindleberger, Manias, Panics, and
Crashes: A History of Financial Crises, 6th ed. (New York: Palgrave
Macmillan, 2011), 56–58.
[7]
Rizal Ramli,
Krisis Ekonomi Indonesia: Analisis, Prospek, dan Strategi Pemulihan
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), 11–13.
[8]
Ulrich Volz, Central Banking and Climate Change
(London: SOAS University of London, 2017), 21–25.
[9]
Adam Tooze, Shutdown: How COVID Shook the World’s
Economy (New York: Viking, 2021), 87–89.
12. Sintesis
dan Refleksi Filosofis
12.1. Sintesis
Teori dan Praktik Sistem Moneter
Kajian sistem moneter memperlihatkan keterkaitan erat antara teori,
institusi, dan praktik ekonomi. Teori klasik menekankan pentingnya pengendalian
jumlah uang beredar, teori Keynesian menyoroti peran permintaan agregat,
monetaris menekankan stabilitas harga melalui kebijakan ketat, sedangkan Modern
Monetary Theory (MMT) mencoba mereinterpretasi hubungan moneter-fiskal secara
lebih radikal.¹
Dalam praktiknya, tidak ada satu teori pun yang dapat diterapkan secara
absolut. Kebijakan moneter di berbagai negara menunjukkan adanya kombinasi
pendekatan sesuai dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi.² Dengan
demikian, sistem moneter merupakan arena dinamis yang memerlukan integrasi
antara teori ekonomi, realitas politik, serta nilai-nilai normatif yang
melandasi kehidupan masyarakat.
12.2. Refleksi
Filosofis tentang Uang dan Nilai
Uang, sebagai inti dari sistem moneter, bukan sekadar instrumen
ekonomi, melainkan juga simbol filosofis. Karl Marx melihat uang sebagai
“komoditas universal” yang mengabstraksikan kerja manusia dan melahirkan
fetisisme.³ Sementara itu, Georg Simmel menekankan bahwa uang membentuk relasi
sosial yang impersonal, menjadikan hubungan ekonomi lebih rasional, tetapi juga
lebih dingin.⁴
Dalam perspektif etika, uang tidak bersifat netral. Ia dapat menjadi
instrumen keadilan apabila digunakan untuk mendukung kesejahteraan sosial,
namun juga bisa menjadi sarana ketidakadilan ketika dikuasai oleh segelintir
elite finansial.⁵ Hal ini menegaskan perlunya pendekatan moral dalam mengatur
sistem moneter, agar keberadaannya tidak semata mengabdi pada akumulasi kapital,
tetapi juga pada keadilan distributif.
12.3. Hubungan
Sistem Moneter dengan Moralitas dan Keadilan
Filosofi politik-ekonomi menegaskan bahwa sistem moneter memiliki
implikasi moral. Aristoteles dalam Politics membedakan antara penggunaan
uang secara alami (oikonomia) dan secara artifisial (chrematistike),
di mana yang terakhir cenderung melahirkan keserakahan.⁶ Kritik ini relevan
untuk meninjau kembali peran moneter dalam kapitalisme global kontemporer.
Dalam Islam, uang dipandang sebagai amanah yang harus digunakan untuk
mendukung kemaslahatan bersama. Prinsip keadilan (al-‘adl) dan
keseimbangan (mizan) menekankan bahwa sistem moneter ideal adalah yang
mampu mencegah penindasan melalui riba dan spekulasi berlebihan.⁷ Perspektif
ini menghadirkan dimensi spiritual dalam refleksi filosofis tentang moneter,
melampaui sekadar efisiensi teknis.
12.4.
Pandangan Lintas
Disiplin
Sistem moneter dapat dipahami melalui lensa multidisipliner. Dari sisi
ekonomi, ia menjelaskan mekanisme distribusi sumber daya; dari sisi politik, ia
merefleksikan kekuasaan dan legitimasi; dari sisi sosiologi, ia membentuk
relasi sosial; dan dari sisi filsafat, ia menyingkap makna uang dalam kehidupan
manusia.⁸
Pendekatan lintas disiplin ini menegaskan bahwa sistem moneter adalah
konstruksi sosial yang terus berubah. Refleksi filosofis diperlukan untuk
memastikan bahwa transformasi moneter, termasuk inovasi digital dan CBDC, tidak
hanya diarahkan oleh efisiensi pasar, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan
keberlanjutan global.⁹
Footnotes
[1]
Irving Fisher, The Purchasing Power of Money
(New York: Macmillan, 1911), 37–40.
[2]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 8th ed. (New
York: Pearson, 2021), 196–199.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, Volume I (London: Penguin Classics, 1990), 163–165.
[4]
Georg Simmel, The Philosophy of Money, 3rd ed.
(London: Routledge, 2011), 211–215.
[5]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality: How
Today’s Divided Society Endangers Our Future (New York: W.W. Norton, 2012),
54–57.
[6]
Aristotle, Politics, trans. H. Rackham
(Cambridge: Harvard University Press, 1932), 1257a–1258a.
[7]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215.
[8]
Benjamin J. Cohen, The Future of Money
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 93–95.
[9]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 211–216.
13. Penutup
13.1.
Kesimpulan Umum
Kajian tentang sistem moneter menunjukkan bahwa ia bukan sekadar
instrumen teknis dalam perekonomian, melainkan juga konstruksi sosial, politik,
dan filosofis yang memengaruhi kehidupan manusia secara mendalam. Sejarah
perkembangan sistem moneter, mulai dari barter, standar emas, Bretton Woods,
hingga era digital, membuktikan sifatnya yang dinamis dan adaptif terhadap
perubahan zaman.¹
Secara teoritis, berbagai pendekatan seperti klasik, Keynesian,
monetaris, dan Modern Monetary Theory (MMT) memberikan perspektif yang berbeda
tentang peran uang dan kebijakan moneter.² Tidak ada satu teori pun yang mampu
menjawab seluruh kompleksitas, sehingga sintesis multidisipliner diperlukan
untuk memahami moneter dalam konteks global.
Di tingkat praktis, sistem moneter terbukti memiliki peran strategis
dalam menjaga stabilitas harga, mendukung pembangunan nasional, mengurangi
risiko krisis, serta memengaruhi kesejahteraan masyarakat.³ Namun, tantangan
kontemporer seperti ketergantungan pada dolar, krisis keuangan global, inflasi,
dan inovasi digital menuntut sistem moneter untuk terus direformasi.⁴
13.2.
Implikasi Penelitian
Hasil kajian ini mengimplikasikan bahwa:
1)
Kebijakan moneter harus dirancang tidak hanya
untuk stabilitas makroekonomi, tetapi juga demi keadilan sosial.
2)
Lembaga moneter, baik nasional maupun
internasional, memerlukan legitimasi politik dan moral untuk menjalankan
fungsinya secara efektif.
3)
Inovasi digital seperti
cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) harus dikelola dengan
prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.⁵
13.3. Rekomendasi
untuk Kajian Lanjut
Kajian lebih lanjut tentang sistem moneter perlu diarahkan pada tiga
dimensi utama:
1)
Dimensi Ekonomi-Politik: bagaimana sistem moneter
membentuk relasi kekuasaan global dan memperkuat atau justru melemahkan
kedaulatan negara.
2)
Dimensi Sosial-Kultural: bagaimana sistem moneter
memengaruhi distribusi kekayaan, pola konsumsi, dan struktur sosial.
3)
Dimensi Filosofis-Etis:
bagaimana konsep uang dapat dipahami tidak hanya sebagai alat transaksi, tetapi
juga sebagai instrumen moral yang menegakkan keadilan.⁶
Dengan demikian, sistem moneter di masa
depan perlu dipandang sebagai entitas multidimensi yang tidak hanya mengabdi
pada efisiensi ekonomi, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas,
dan keberlanjutan global.
Footnotes
[1]
Niall Ferguson, The Ascent of Money: A Financial
History of the World (New York: Penguin Press, 2008), 45–67.
[2]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 166–167; Milton
Friedman, The Counter-Revolution in Monetary Theory (London: Institute
of Economic Affairs, 1970), 17–21.
[3]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 12th ed. (New York: Pearson, 2019),
102–104.
[4]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents Revisited (New York: W.W. Norton, 2017), 72–75.
[5]
Eswar S. Prasad, The Future of Money: How the
Digital Revolution Is Transforming Currencies and Finance (Cambridge:
Harvard University Press, 2021), 211–216.
[6]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 212–215; Georg Simmel, The Philosophy
of Money, 3rd ed. (London: Routledge, 2011), 211–215.
Daftar Pustaka
Alesina, A., & Summers, L. H. (1993). Central bank
independence and macroeconomic performance: Some comparative evidence. Journal
of Money, Credit and Banking, 25(2), 151–162.
Aristotle. (1932). Politics
(H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.
Asian Development Bank. (2020). The
Chiang Mai Initiative Multilateralisation: Perspectives from the ASEAN+3
regional financing arrangement. ADB.
Asian Development Bank. (2020). The
role of local currencies in regional trade. ADB.
Auer, R., Cornelli, G., & Frost,
J. (2020). Rise of the central bank digital currencies: Drivers, approaches,
and technologies. BIS Working Papers, 880, 1–23.
Bagehot, W. (1873). Lombard
street: A description of the money market. Henry S. King.
Baldwin, R., & Wyplosz, C.
(2019). The economics of European integration (6th ed.). McGraw-Hill.
Begg, D., Fischer, S., &
Dornbusch, R. (2014). Economics (10th ed.). McGraw-Hill.
Bernanke, B. S. (2015). The courage
to act: A memoir of a crisis and its aftermath. W.W. Norton.
Bernanke, B. S., & Gertler, M.
(1995). Inside the black box: The credit channel of monetary policy
transmission. Journal of Economic Perspectives, 9(4), 27–48.
Birch, D. G. W. (2014). Identity
is the new money. London Publishing Partnership.
Blanchard, O. (2021). Macroeconomics
(8th ed.). Pearson.
Borio, C. (2009). The macroprudential
approach to regulation and supervision. Financial Stability Review, 13,
31–41.
Borio, C., & Disyatat, P. (2010).
Unconventional monetary policies: An appraisal. The Manchester School, 78(1),
53–89.
Borio, C. (2012). The financial cycle
and macroeconomics: What have we learnt? Bank for International Settlements
Working Paper, 395, 1–33.
Bordo, M. D., & Eichengreen, B.
(Eds.). (1993). A retrospective on the Bretton Woods system: Lessons for
international monetary reform. University of Chicago Press.
Chapra, M. U. (1992). Islam and
the economic challenge. Islamic Foundation.
Cohen, B. J. (2004). The future of
money. Princeton University Press.
Davidson, P. (1978). Money and the
real world (2nd ed.). St. Martin’s Press.
De Filippi, P., & Wright, A.
(2018). Blockchain and the law: The rule of code. Harvard University
Press.
Dornbusch, R. (1980). Open economy
macroeconomics. Basic Books.
Drezner, D. (2014). The system
worked: How the world stopped another great depression. Oxford University
Press.
Eichengreen, B. (2011). Exorbitant
privilege: The rise and fall of the dollar and the future of the international
monetary system. Oxford University Press.
Eichengreen, B. (2019). Globalizing
capital: A history of the international monetary system (3rd ed.).
Princeton University Press.
European Central Bank. (2020). Report
on a digital euro. ECB.
Ferguson, N. (2008). The ascent of
money: A financial history of the world. Penguin Press.
Fisher, I. (1911). The purchasing
power of money. Macmillan.
Financial Action Task Force. (2019). Guidance
for a risk-based approach to virtual assets and virtual asset service providers.
FATF.
Friedman, M. (1970). The
counter-revolution in monetary theory. Institute of Economic Affairs.
Friedman, M., & Schwartz, A. J.
(1963). A monetary history of the United States, 1867–1960. Princeton
University Press.
Goodhart, C. (1988). The evolution
of central banks. MIT Press.
Harvey, D. (2006). The limits to
capital. Verso.
International Monetary Fund. (2020). Central
bank digital currencies: A new tool in the financial inclusion toolkit.
IMF.
International Monetary Fund. (2021). Annual
report on exchange arrangements and exchange restrictions. IMF.
International Monetary Fund. (2022). World
economic outlook: War sets back the global recovery. IMF.
James, H. (1996). International
monetary cooperation since Bretton Woods. Oxford University Press.
James, H. (2019). International
monetary cooperation. Princeton University Press.
Keynes, J. M. (1936). The general
theory of employment, interest, and money. Macmillan.
Keynes, J. M. (1980). Activities
1940–1944: Shaping the post-war world. Macmillan.
Kindleberger, C. P. (1993). A
financial history of Western Europe. Oxford University Press.
Kindleberger, C. P. (2011). Manias,
panics, and crashes: A history of financial crises (6th ed.). Palgrave
Macmillan.
Krugman, P. (2009). The return of
depression economics and the crisis of 2008. W.W. Norton.
Laville, J.-L. (2010). The
solidarity economy: An alternative development strategy. Zed Books.
Mandel, E. (1975). Late capitalism.
Verso.
Mankiw, N. G. (2021). Principles
of economics (9th ed.). Cengage Learning.
Marx, K. (1990). Capital: A
critique of political economy, Volume I. Penguin Classics.
McMillan, J. (2014). The end of
banking: Money, credit, and the digital revolution. Zero/One Economics.
Minsky, H. P. (1986). Stabilizing
an unstable economy. Yale University Press.
Mirakhor, A., & Askari, H.
(2010). Islam and the path to human and economic development. Palgrave
Macmillan.
Mishkin, F. S. (2019). The
economics of money, banking, and financial markets (12th ed.). Pearson.
Nakamoto, S. (2008). Bitcoin: A
peer-to-peer electronic cash system. White Paper.
Patinkin, D. (1965). Money, interest,
and prices (2nd ed.). Harper & Row.
Piketty, T. (2014). Capital in the
twenty-first century. Harvard University Press.
Prasad, E. S. (2016). Gaining
currency: The rise of the renminbi. Oxford University Press.
Prasad, E. S. (2021). The future
of money: How the digital revolution is transforming currencies and finance.
Harvard University Press.
Ralston Saul, J. C. (2005). The
collapse of globalism and the reinvention of the world. Penguin.
Ramli, R. (1999). Krisis ekonomi Indonesia: Analisis, prospek, dan
strategi pemulihan. Pustaka LP3ES.
Rey, H. (2013). Dilemma not trilemma:
The global financial cycle and monetary policy independence. Jackson Hole
Economic Policy Symposium Proceedings, 285–337.
Rogoff, K. (2019). Modern monetary
theory and inflation. Project Syndicate.
Roubini, N. (2019). The great crypto
heist. Project Syndicate.
Roubini, N. (2022). Megathreats:
Ten dangerous trends that imperil our future. Little, Brown.
Samuelson, P. A., & Nordhaus, W.
D. (2010). Economics (19th ed.). McGraw-Hill.
Siddiqi, M. N. (1983). Banking
without interest. Islamic Foundation.
Simmel, G. (2011). The philosophy
of money (3rd ed.). Routledge.
Stiglitz, J. E. (2010). Freefall:
America, free markets, and the sinking of the world economy. W.W. Norton.
Stiglitz, J. E. (2012). The price
of inequality: How today’s divided society endangers our future. W.W.
Norton.
Stiglitz, J. E. (2017). Globalization
and its discontents revisited. W.W. Norton.
Stiglitz, J. E., & Greenwald, B.
(2014). Creating a learning society: A new approach to growth, development,
and social progress. Columbia University Press.
Tapscott, D., & Tapscott, A.
(2016). Blockchain revolution: How the technology behind Bitcoin and other
cryptocurrencies is changing the world. Penguin.
Tooze, A. (2018). Crashed: How a
decade of financial crises changed the world. Viking.
Tooze, A. (2021). Shutdown: How
COVID shook the world’s economy. Viking.
Varoufakis, Y. (2016). And the
weak suffer what they must? Europe’s crisis and America’s economic future.
Nation Books.
Volz, U. (2017). Central banking
and climate change. SOAS University of London.
Warjiyo, P. (2019). Central bank
policy: Theory and practice in sustaining monetary and financial stability.
Edward Elgar.
Werner, R. A. (2003). Princes of
the yen: Japan’s central bankers and the transformation of the economy.
M.E. Sharpe.
Woodford, M. (2003). Interest and
prices: Foundations of a theory of monetary policy. Princeton University
Press.
Wray, R. (2012). Modern monetary
theory: A primer on macroeconomics for sovereign monetary systems. Palgrave
Macmillan.
Zetzsche, D. A., Buckley, R. P.,
& Arner, D. W. (2020). Decentralized finance: On blockchain- and smart
contract-based financial markets. University of New South Wales Law Research
Series, 21, 1–36.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar