Jumat, 03 Oktober 2025

Prasangka Baik: Melalui Kerangka Etis, Epistemologis, Ontologis, dan Sosial

Prasangka Baik

Melalui Kerangka Etis, Epistemologis, Ontologis, dan Sosial


Alihkan ke: Prinsip-Prinsip Berpikir Filosofis.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep prasangka baik sebagai kategori filosofis yang multidimensional, mencakup dimensi etis, epistemologis, ontologis, dan sosial. Kajian dilakukan secara komparatif dengan menelusuri akar historis prasangka baik sejak filsafat Barat klasik (Sokrates, Plato, Aristoteles, Stoa), filsafat modern (Rasionalisme, Empirisme, Kant, Schleiermacher), hingga filsafat kontemporer (fenomenologi Husserl-Heidegger, eksistensialisme Marcel-Sartre-Levinas, filsafat analitik Davidson-Quine, hermeneutika Gadamer-Ricoeur). Di samping itu, artikel ini juga mengeksplorasi perspektif filsafat Timur, khususnya Konfusianisme (ren), Taoisme (wu wei), Buddhisme (mettā dan karuṇā), serta Islam (ḥusn al-ẓann).

Pembahasan diperluas dengan melihat relevansi prasangka baik dalam teori sosial (Luhmann, Giddens), filsafat politik (Habermas, Rawls), serta psikologi moral dan sains kognitif (Haidt, Tomasello). Artikel ini juga memuat kritik terhadap prasangka baik, mulai dari risiko naivitas dan manipulasi, skeptisisme epistemologis, hingga kritik Nietzschean atas moralitas belas kasih.

Sintesis filosofis yang ditawarkan menegaskan bahwa prasangka baik merupakan nilai universal yang melintasi tradisi, sekaligus prinsip dialektis yang menuntut keseimbangan antara keterbukaan dan kritisisme. Dalam konteks kontemporer—baik dalam etika global, ruang digital, maupun pendidikan—prasangka baik relevan sebagai fondasi moral, epistemologis, dan sosial yang memungkinkan terciptanya kehidupan bersama yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.

Kata Kunci: Prasangka baik; prinsip charity; hermeneutika; kepercayaan sosial; etika global; fenomenologi; epistemologi; etika Timur; filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Prasangka Baik dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah filsafat, manusia selalu dipandang sebagai makhluk penafsir yang tidak hanya hidup di dunia fakta, melainkan juga di dunia makna. Dalam relasi sosial maupun dalam memahami teks dan realitas, manusia kerap jatuh pada prasangka—baik positif maupun negatif. Prasangka baik (husn al-dhann dalam tradisi Islam, principle of charity dalam tradisi hermeneutika Barat) menjadi suatu sikap filosofis yang berfungsi menahan kecenderungan untuk menghakimi secara tergesa-gesa, sekaligus membuka ruang bagi pemahaman yang lebih adil dan konstruktif.¹

Fenomena sosial kontemporer menunjukkan betapa pentingnya sikap ini. Di era digital, misinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi politik semakin mengikis kepercayaan publik.² Dalam situasi demikian, filsafat dapat berkontribusi dengan menawarkan kerangka konseptual tentang prasangka baik, bukan sekadar sebagai sikap moral, tetapi juga sebagai prasyarat epistemologis untuk dialog dan koeksistensi.³

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diajukan:

1)                  Apa yang dimaksud dengan “prasangka baik” dalam perspektif filsafat?

2)                  Bagaimana konsep prasangka baik berkembang dalam berbagai tradisi filsafat, baik Barat maupun Timur?

3)                  Apa tantangan dan kritik yang muncul terhadap sikap prasangka baik?

4)                  Bagaimana relevansi prasangka baik dalam konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Penelitian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan konsep dasar prasangka baik dalam filsafat, baik dalam dimensi etis, epistemologis, maupun sosial.

2)                  Menelusuri perkembangan historis gagasan prasangka baik dalam filsafat klasik, modern, dan kontemporer.

3)                  Membandingkan pemahaman prasangka baik dalam filsafat Barat dan Timur.

4)                  Menawarkan reinterpretasi dan relevansi prasangka baik dalam konteks global dan dunia digital saat ini.

Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

·                     Secara teoretis, memperkaya khazanah filsafat moral dan hermeneutika dengan memberikan analisis komprehensif atas konsep prasangka baik.

·                     Secara praktis, memberikan landasan filosofis bagi pengembangan sikap sosial yang lebih toleran, adil, dan konstruktif di tengah tantangan kontemporer.

1.4.       Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode kajian literatur (library research). Sumber yang digunakan mencakup teks-teks filsafat klasik (Plato, Aristoteles, Stoa), filsafat modern (Kant, Schleiermacher, Gadamer), filsafat kontemporer (Levinas, Davidson), serta filsafat Timur (Konfusianisme, Buddhisme, dan Islam). Analisis dilakukan melalui pendekatan hermeneutika filosofis, dengan mengutamakan prinsip interpretasi yang adil dan komparatif.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 295–300.

[2]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 45–48.

[3]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–28.


2.           Konsep Dasar Prasangka Baik

2.1.       Etimologi dan Terminologi

Secara etimologis, istilah “prasangka” dalam bahasa Indonesia berakar pada kata “sangka” yang berarti dugaan atau perkiraan. Penambahan awalan “pra-” mengisyaratkan bahwa dugaan itu hadir sebelum adanya bukti yang cukup.¹ Dalam bahasa Inggris, istilah yang sepadan adalah prejudice (dari bahasa Latin praejudicium, artinya “putusan awal”), yang dapat bernuansa positif maupun negatif.² Adapun istilah “baik” mengarah pada sesuatu yang bernilai positif, etis, atau konstruktif. Dalam tradisi filsafat analitik, istilah yang dekat dengan konsep ini adalah principle of charity, yakni prinsip menafsirkan ucapan atau tindakan orang lain dengan cara yang paling rasional dan benar sebelum menganggapnya keliru.³

Dalam tradisi Islam, konsep ini dikenal dengan istilah ḥusn al-ẓann, yaitu berprasangka baik terhadap sesama maupun terhadap Tuhan.⁴ Sementara dalam Buddhisme dan Hindu, konsep serupa dapat ditemukan dalam mettā (cinta kasih) dan karuṇā (belas kasih), yang mengandaikan niat untuk melihat orang lain secara positif dan penuh welas asih.⁵

2.2.       Dimensi Etis

Secara etis, prasangka baik merupakan sikap moral yang mendasari hubungan antarmanusia. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menekankan pentingnya philia (persahabatan) yang berlandaskan kepercayaan dan kebaikan sebagai prasyarat kehidupan politik dan etika yang sehat.⁶ Prasangka baik dalam ranah etika dapat dipandang sebagai langkah awal menuju keadilan, karena tanpa sikap dasar mempercayai niat baik orang lain, hubungan sosial akan didominasi kecurigaan dan permusuhan.⁷

2.3.       Dimensi Epistemologis

Dari sisi epistemologi, prasangka baik bukan hanya sikap moral, tetapi juga metode untuk memahami realitas. Gadamer menekankan bahwa dalam hermeneutika, seseorang tidak mungkin bebas dari prasangka (Vorurteil), tetapi prasangka ini tidak selalu bersifat negatif.⁸ Prasangka baik justru membantu pembaca atau penafsir untuk membuka diri terhadap makna yang terkandung dalam teks atau ucapan orang lain. Donald Davidson kemudian merumuskan principle of charity dalam logika dan filsafat bahasa: untuk memahami lawan bicara, kita perlu menganggap bahwa sebagian besar ucapannya benar dan rasional, baru kemudian mengidentifikasi kesalahannya.⁹

Dengan demikian, prasangka baik dalam epistemologi berarti suatu pra-komitmen untuk menganggap dunia dan orang lain dapat dimengerti secara rasional, bukan sekadar sumber kekeliruan atau ancaman.

2.4.       Dimensi Ontologis dan Relasional

Selain etis dan epistemologis, prasangka baik memiliki dimensi ontologis yang terkait dengan cara manusia hadir di dunia. Heidegger menyebut manusia sebagai Mitsein (ada-bersama), yaitu eksistensi yang selalu berada dalam relasi dengan yang lain.¹⁰ Dalam kerangka ini, prasangka baik adalah kondisi ontologis yang memungkinkan keberadaan bersama menjadi mungkin. Tanpa prasangka baik, eksistensi manusia akan selalu terjebak dalam “ketakutan terhadap yang lain,” yang berujung pada keterasingan eksistensial.

Levinas melanjutkan gagasan ini dengan menekankan bahwa wajah orang lain (le visage de l’Autre) menuntut tanggung jawab etis tanpa syarat.¹¹ Prasangka baik, dalam konteks ini, adalah pengakuan ontologis sekaligus etis bahwa keberadaan manusia senantiasa terikat dalam relasi keterbukaan dan tanggung jawab terhadap yang lain.


Kesimpulan Sementara

Konsep prasangka baik memiliki kompleksitas terminologis dan multidimensi:

1)                  Etimologis: berkaitan dengan prasangka yang bernilai positif.

2)                  Etis: sikap moral yang memungkinkan keadilan dan kepercayaan sosial.

3)                  Epistemologis: prinsip penafsiran yang adil dalam memahami teks, ucapan, dan realitas.

4)                  Ontologis: kondisi dasar eksistensi manusia sebagai makhluk yang selalu ada-bersama dengan yang lain.

Dengan kerangka ini, prasangka baik dapat dipahami bukan hanya sebagai sikap psikologis atau moral, tetapi sebagai kategori filosofis yang fundamental dalam memahami manusia dan dunia.


Footnotes

[1]                Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 1123.

[2]                Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1983), 243.

[3]                Donald Davidson, “On the Very Idea of a Conceptual Scheme,” Proceedings and Addresses of the American Philosophical Association 47 (1973–1974): 5–20.

[4]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.

[5]                Peter Harvey, An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 102–104.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.

[7]                Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 327–330.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 271–280.

[9]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–28.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168.

[11]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.


3.           Prasangka Baik dalam Filsafat Barat Klasik

3.1.       Sokrates: Kepercayaan pada Rasionalitas Dialogis

Sokrates dikenal dengan metode dialektiknya yang disebut elenchus, yaitu cara berdialog untuk menguji kebenaran suatu pendapat.¹ Metode ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia memiliki kapasitas rasional untuk menemukan kebenaran apabila diberikan kesempatan berdialog dengan jujur dan terbuka.² Dalam konteks ini, sikap Sokrates mencerminkan bentuk prasangka baik: ia tidak serta-merta menolak pendapat lawan bicara, tetapi terlebih dahulu mengajaknya menelusuri argumen sampai ditemukan kontradiksi atau kebenaran yang lebih mendasar.³

Prasangka baik Sokrates bukanlah bentuk naivitas, melainkan sebuah pra-komitmen pada rasionalitas manusia sebagai sarana mencapai kebaikan hidup (eudaimonia).

3.2.       Plato: Prasangka Baik dan Dunia Ide

Plato, murid Sokrates, melanjutkan semangat dialogis gurunya. Dalam Republic, ia menyampaikan gagasan bahwa manusia sering terjebak dalam bayangan realitas (dalam alegori gua), tetapi tetap memiliki potensi untuk mencapai dunia ide yang lebih tinggi.⁴ Pandangan ini menyiratkan prasangka baik terhadap kemampuan jiwa manusia untuk beranjak dari kebodohan menuju pengetahuan sejati.

Plato menekankan bahwa pendidikan adalah sarana untuk menuntun jiwa keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.⁵ Dengan demikian, prasangka baik di sini diwujudkan dalam keyakinan bahwa manusia, meskipun awalnya terikat pada ilusi, pada dasarnya mampu mengenali kebenaran universal apabila diarahkan dengan benar.

3.3.       Aristoteles: Philia dan Kepercayaan Sosial

Berbeda dengan Plato yang lebih menekankan dunia ide, Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk sosial (zoon politikon) yang hidup dalam polis.⁶ Dalam Nicomachean Ethics, ia menempatkan philia (persahabatan) sebagai dasar moralitas dan stabilitas sosial.⁷ Persahabatan, menurutnya, tidak mungkin terjadi tanpa adanya prasangka baik: kita percaya pada niat baik sahabat kita, bahkan sebelum ada bukti empiris yang lengkap.⁸

Prasangka baik dalam pandangan Aristoteles bersifat etis dan teleologis. Etis, karena ia mendasari hubungan sosial yang adil; teleologis, karena ia mengarahkan manusia kepada tujuan hidup yang baik (eudaimonia) melalui keutamaan moral.⁹

3.4.       Stoa: Kosmopolitanisme dan Welas Asih Universal

Kaum Stoa (Stoikisme) seperti Zeno, Seneca, dan Marcus Aurelius memperluas gagasan prasangka baik ke ranah kosmopolitan. Bagi mereka, semua manusia adalah warga kosmos, sehingga relasi antarmanusia harus didasari oleh sympatheia (kesalinghubungan) dan belas kasih universal.¹⁰

Marcus Aurelius dalam Meditations menekankan bahwa ketika orang lain berbuat salah, hal itu terjadi karena ketidaktahuan, bukan niat jahat.¹¹ Oleh karena itu, sikap bijaksana adalah berprasangka baik terhadap mereka, dengan menerima bahwa kesalahan manusia adalah bagian dari kodratnya, sembari tetap mengupayakan kebaikan bersama.¹²

Dalam Stoisisme, prasangka baik berakar pada rasionalitas kosmik (logos), yang mempersatukan seluruh realitas. Dengan demikian, berprasangka baik berarti hidup selaras dengan tatanan alam semesta dan mengakui martabat semua manusia.¹³


Kesimpulan Sementara

Tradisi filsafat Barat klasik memberikan fondasi penting bagi pemahaman prasangka baik:

·                     Sokrates: prasangka baik sebagai keyakinan pada rasionalitas dialogis.

·                     Plato: prasangka baik sebagai keyakinan terhadap potensi jiwa mencapai dunia ide.

·                     Aristoteles: prasangka baik sebagai dasar philia dan stabilitas sosial.

·                     Stoa: prasangka baik sebagai sikap kosmopolitan yang berlandaskan welas asih universal.

Keempat kerangka ini menunjukkan bahwa sejak zaman klasik, filsafat Barat telah menempatkan prasangka baik bukan sekadar sebagai sikap psikologis, tetapi sebagai prinsip ontologis, epistemologis, dan etis yang menopang kehidupan manusia bersama.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 39–45.

[2]                C.C.W. Taylor, Socrates: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1998), 57–60.

[3]                Debra Nails, The People of Plato: A Prosopography of Plato and Other Socratics (Indianapolis: Hackett, 2002), 25–27.

[4]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 514a–517a.

[5]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 252–255.

[6]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), 1253a.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.

[8]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 154–158.

[9]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 317–320.

[10]             Brad Inwood, The Cambridge Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 273–275.

[11]             Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), II.1–II.3.

[12]             Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 129–133.

[13]             A.A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 347–350.


4.           Prasangka Baik dalam Filsafat Modern

4.1.       Rasionalisme: Kepercayaan pada Rasio Universal

Era modern ditandai dengan munculnya keyakinan pada rasio sebagai fondasi pengetahuan yang pasti. René Descartes, meskipun dikenal dengan metode skeptisnya, sebenarnya mengandaikan prasangka baik terhadap rasio manusia. Ia meragukan segala hal, tetapi tidak pernah meragukan kapasitas akal untuk menemukan kepastian melalui ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct ideas).¹ Sikap ini merupakan bentuk kepercayaan mendasar bahwa rasio adalah sarana yang dapat dipercaya dalam membangun pengetahuan.

Baruch Spinoza melanjutkan optimisme rasional ini dengan menekankan bahwa segala sesuatu adalah ekspresi dari substansi tunggal (Deus sive Natura), dan manusia dapat memahami keteraturan alam melalui nalar.² Dalam kerangka ini, prasangka baik terletak pada keyakinan bahwa realitas bersifat rasional dan dapat dipahami, sehingga manusia tidak hidup dalam kekacauan, melainkan dalam tatanan yang penuh makna.³

4.2.       Empirisme: Antara Skeptisisme dan Kepercayaan

Berbeda dengan rasionalis, kaum empiris seperti John Locke dan David Hume menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar pengetahuan. Locke masih menaruh prasangka baik pada kapasitas indra manusia untuk memberikan data yang relatif dapat dipercaya, meskipun memerlukan refleksi kritis untuk mencapai pengetahuan yang lebih stabil.⁴

Namun, Hume lebih skeptis. Ia menekankan bahwa banyak keyakinan manusia, seperti kausalitas, bukanlah hasil pengetahuan rasional, melainkan kebiasaan psikologis.⁵ Meskipun demikian, di balik skeptisisme Hume tetap terdapat suatu prasangka baik yang halus: ia menerima bahwa meskipun akal terbatas, manusia masih bisa hidup secara praktis dengan mengandalkan kebiasaan, rasa percaya, dan kepercayaan sosial.⁶ Dengan kata lain, prasangka baik dalam empirisme modern muncul bukan dalam bentuk optimisme rasional, melainkan dalam pengakuan bahwa keterbatasan manusia tetap bisa menopang kehidupan sehari-hari.

4.3.       Immanuel Kant: Good Will dan Kepercayaan Moral

Immanuel Kant memadukan warisan rasionalisme dan empirisme dengan filsafat kritisnya. Dalam Critique of Pure Reason, ia menegaskan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada fenomena, tetapi dalam ranah moral, manusia memiliki good will (kemauan baik) sebagai dasar tindakan etis.⁷ Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant menegaskan bahwa tindakan bermoral hanya mungkin bila didasarkan pada prinsip kewajiban yang universal, bukan sekadar pada kepentingan atau konsekuensi.⁸

Dengan demikian, prasangka baik dalam pemikiran Kant hadir dalam dua bentuk: (1) kepercayaan epistemologis bahwa realitas dapat dipahami melalui kategori-kategori akal budi, dan (2) kepercayaan etis bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki kapasitas untuk bertindak sesuai dengan hukum moral universal.⁹ Kant menunjukkan bahwa moralitas memerlukan kepercayaan fundamental terhadap rasionalitas dan kebebasan manusia.

4.4.       Hermeneutika Awal: Schleiermacher dan Prinsip Pemahaman

Friedrich Schleiermacher, sebagai perintis hermeneutika modern, menekankan pentingnya pemahaman sebagai proses rekonstruksi maksud penulis dan konteksnya.¹⁰ Ia menegaskan bahwa seorang penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi penulis, dengan asumsi bahwa ucapan atau teks pada dasarnya masuk akal. Inilah cikal bakal principle of charity dalam hermeneutika modern.¹¹

Schleiermacher memandang prasangka baik sebagai prasyarat epistemologis: tanpa keyakinan bahwa teks dan penulisnya dapat dipahami secara rasional, dialog antara pembaca dan teks tidak akan pernah terjadi. Hermeneutika modern kemudian menjadi fondasi bagi berkembangnya tradisi hermeneutika filosofis yang lebih matang pada Gadamer dan Ricoeur.


Kesimpulan Sementara

Filsafat modern memperlihatkan beragam bentuk prasangka baik:

·                     Rasionalisme: prasangka baik terhadap rasio dan keteraturan kosmik.

·                     Empirisme: prasangka baik dalam pengakuan atas keterbatasan, tetapi tetap percaya pada pengalaman dan kebiasaan.

·                     Kantianisme: prasangka baik terhadap kapasitas rasional manusia dalam pengetahuan dan moralitas.

·                     Hermeneutika awal: prasangka baik sebagai prasyarat pemahaman dalam penafsiran teks.

Dari sini terlihat bahwa meskipun era modern ditandai dengan kritisisme dan skeptisisme, filsafat tetap tidak lepas dari kebutuhan akan prasangka baik sebagai dasar etis dan epistemologis dalam memahami realitas.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23.

[2]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), 45–50.

[3]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 215–218.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–109.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 60–65.

[6]                Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 82–85.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A246–A250.

[8]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:397–403.

[9]                Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 112–118.

[10]             Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 14–18.

[11]             Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 34–36.


5.           Prasangka Baik dalam Filsafat Kontemporer

5.1.       Fenomenologi: Husserl dan Heidegger

Fenomenologi Edmund Husserl berangkat dari gagasan zurück zu den Sachen selbst (“kembali kepada benda-benda itu sendiri”), yang mengandaikan bahwa fenomena dapat diungkap secara murni melalui penangguhan prasangka (epoché).¹ Namun, epoché bukanlah penghapusan semua prasangka, melainkan pengendalian agar subjektivitas peneliti tidak menghalangi terbukanya makna fenomena. Dengan demikian, prasangka baik hadir sebagai sikap metodologis: keyakinan bahwa realitas dapat menyingkap dirinya sendiri apabila manusia menahan penilaian negatif yang terburu-buru.²

Martin Heidegger, murid Husserl, memperluas perspektif fenomenologi ke arah ontologis. Dalam Being and Time, ia menyebut manusia sebagai Mitsein (ada-bersama), yang berarti eksistensi manusia selalu terbuka pada yang lain.³ Prasangka baik, dalam kerangka ini, bukan sekadar pilihan moral, melainkan kondisi ontologis yang melekat pada keberadaan manusia. Manusia hidup dalam dunia yang dipenuhi “kehadiran orang lain” (das Man), dan keterbukaan pada orang lain menuntut sikap dasar yang dapat ditafsirkan sebagai prasangka baik.⁴

5.2.       Eksistensialisme: Marcel, Sartre, dan Levinas

Gabriel Marcel menekankan konsep availability (disponibilité), yakni kesediaan seseorang untuk hadir bagi orang lain.⁵ Dalam perspektif ini, prasangka baik muncul sebagai sikap keterbukaan eksistensial, yaitu keyakinan bahwa orang lain layak dipercaya dan direspon dengan kehadiran yang otentik.

Jean-Paul Sartre, sebaliknya, lebih pesimis. Dalam Being and Nothingness, ia melihat “tatapan” (le regard) orang lain sebagai ancaman yang mengobjektifikasi subjek.⁶ Meski demikian, kritik Sartre membuka ruang refleksi bahwa prasangka baik tidak selalu mudah, karena hubungan antarmanusia sering diwarnai konflik dan dominasi.

Emmanuel Levinas menawarkan jawaban berbeda dengan menekankan etika wajah (le visage de l’Autre). Menurutnya, wajah orang lain adalah panggilan etis yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.⁷ Prasangka baik, dalam pandangan Levinas, berarti menerima bahwa orang lain memiliki hak eksistensial yang mendahului kebebasan saya.⁸ Inilah reinterpretasi radikal atas etika: prasangka baik menjadi fondasi bagi tanggung jawab manusia terhadap sesama.

5.3.       Filsafat Analitik: Prinsip Charity dan Interpretasi

Dalam filsafat analitik, Donald Davidson mengembangkan principle of charity sebagai dasar interpretasi bahasa. Prinsip ini menyatakan bahwa agar dapat memahami pembicara, kita harus menganggap bahwa sebagian besar pernyataannya benar dan konsisten dengan rasionalitas umum.⁹ Prinsip ini bukan hanya strategi linguistik, tetapi juga refleksi epistemologis bahwa pemahaman hanya mungkin terjadi bila terdapat prasangka baik terhadap orang lain.

W.V.O. Quine sebelumnya telah menekankan bahwa penerjemahan radikal memerlukan asumsi bahwa lawan bicara berbagi dunia rasional yang sama dengan kita.¹⁰ Dengan demikian, dalam tradisi analitik, prasangka baik berfungsi sebagai pra-komitmen epistemologis yang memungkinkan komunikasi lintas bahasa dan budaya.

5.4.       Hermeneutika Filosofis: Gadamer dan Ricoeur

Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method menyatakan bahwa prasangka (Vorurteil) tidak bisa dihapuskan, melainkan harus diarahkan secara produktif.¹¹ Prasangka baik dalam hermeneutika berarti keterbukaan dialogis untuk memahami tradisi, teks, atau orang lain secara adil. Pemahaman sejati, menurut Gadamer, terjadi melalui “fusi cakrawala” (Horizontverschmelzung), yang hanya mungkin bila kita berprasangka baik terhadap makna yang dibawa oleh yang lain.¹²

Paul Ricoeur menambahkan dimensi lain dengan membedakan antara hermeneutics of trust (hermeneutika kepercayaan) dan hermeneutics of suspicion (hermeneutika kecurigaan).¹³ Ricoeur menegaskan bahwa filsafat modern sering didominasi oleh kecurigaan (Marx, Nietzsche, Freud), tetapi hermeneutika juga memerlukan kepercayaan sebagai syarat awal interpretasi. Dengan demikian, prasangka baik menjadi unsur dialektis yang menyeimbangkan antara kritik dan keterbukaan.¹⁴


Kesimpulan Sementara

Dalam filsafat kontemporer, prasangka baik mendapatkan bentuk yang lebih kompleks dan multidimensi:

·                     Fenomenologi: prasangka baik sebagai sikap metodologis (Husserl) dan ontologis (Heidegger).

·                     Eksistensialisme: keterbukaan eksistensial (Marcel), tantangan konflik (Sartre), dan etika wajah (Levinas).

·                     Analitik: prinsip interpretasi yang menuntut asumsi rasionalitas bersama (Quine, Davidson).

·                     Hermeneutika: keterbukaan dialogis (Gadamer) dan keseimbangan antara kepercayaan dan kecurigaan (Ricoeur).

Semua ini menunjukkan bahwa filsafat kontemporer, meskipun beragam aliran, tetap memandang prasangka baik sebagai syarat etis dan epistemologis yang mendasar bagi pemahaman manusia terhadap diri, sesama, dan dunia.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 59–64.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 152–156.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168.

[4]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge: MIT Press, 1991), 35–38.

[5]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 96–99.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 252–255.

[7]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.

[8]                Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992), 112–115.

[9]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–28.

[10]             W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 26–31.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 271–280.

[12]             Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 192–195.

[13]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.

[14]             Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 63–66.


6.           Prasangka Baik dalam Filsafat Timur

6.1.       Konfusianisme: Ren dan Empati Moral

Dalam filsafat Konfusianisme, prinsip ren () menjadi inti etika kemanusiaan. Ren berarti sikap penuh welas asih, empati, dan cinta kasih terhadap sesama.¹ Bagi Konfusius, hubungan sosial hanya dapat berlangsung sehat bila setiap orang berasumsi bahwa yang lain memiliki kapasitas moral untuk berbuat baik.² Prasangka baik di sini tampak dalam keyakinan bahwa manusia pada dasarnya dapat diarahkan menuju kebaikan melalui pendidikan moral dan keteladanan.³

Dengan kata lain, ren menuntut sikap mempercayai orang lain bukan dengan kecurigaan, melainkan dengan keterbukaan hati. Hal ini menjadikan prasangka baik sebagai landasan kosmologis sekaligus sosial dalam ajaran Konfusianisme.

6.2.       Taoisme: Harmoni dan Kesederhanaan

Taoisme, melalui ajaran Laozi dan Dao De Jing, menekankan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan Dao (Jalan).⁴ Prasangka baik muncul dalam bentuk penerimaan dan harmoni terhadap alam dan sesama manusia. Sikap wu wei (), yakni tidak memaksakan kehendak, mengandaikan prasangka baik terhadap keteraturan alam semesta.⁵

Bagi Zhuangzi, kehidupan yang harmonis hanya mungkin bila manusia berhenti mencurigai atau menundukkan yang lain, dan sebaliknya mempercayai spontanitas hidup.⁶ Prasangka baik dalam Taoisme berarti membiarkan hal-hal berkembang sesuai kodratnya, dengan kepercayaan bahwa alam semesta memiliki kebijaksanaannya sendiri.

6.3.       Buddhisme: Mettā dan Karuṇā

Dalam tradisi Buddhis, sikap prasangka baik erat kaitannya dengan praktik mettā (cinta kasih universal) dan karuṇā (belas kasih). Mettā mendorong individu untuk mengembangkan cinta kasih tanpa diskriminasi kepada semua makhluk, sementara karuṇā menuntun manusia untuk memahami penderitaan orang lain dan meresponsnya dengan welas asih.⁷

Ajaran ini mengandaikan prasangka baik dalam dua dimensi. Pertama, secara ontologis: setiap makhluk dipandang memiliki potensi untuk mencapai pencerahan. Kedua, secara etis: sikap penuh kebaikan terhadap orang lain dipandang sebagai jalan menuju pelepasan diri dari kebencian dan penderitaan.⁸ Dengan demikian, prasangka baik dalam Buddhisme bukan hanya strategi sosial, tetapi juga praktik spiritual menuju Nirwana.

6.4.       Filsafat Islam: Husn al-Ẓann dan Etika Qur’ani

Dalam tradisi Islam, konsep ḥusn al-ẓann (berprasangka baik) memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an memperingatkan agar kaum beriman menjauhi prasangka buruk, karena sebagian prasangka adalah dosa (QS. al-Ḥujurāt [49]:12).⁹ Dalam hadis, Nabi Muhammad Saw menekankan pentingnya ḥusn al-ẓann kepada Allah dan sesama manusia sebagai bagian dari iman.¹⁰

Al-Ghazālī menegaskan bahwa ḥusn al-ẓann adalah fondasi penting dalam menjaga ukhuwah Islamiyah dan mencegah fitnah.¹¹ Dalam tasawuf, prasangka baik dipandang sebagai bentuk pembersihan hati yang memungkinkan manusia mendekatkan diri kepada Allah dan sesama.¹² Dengan demikian, prasangka baik dalam Islam memiliki dua aspek: transendental (hubungan dengan Tuhan) dan sosial (hubungan dengan manusia).


Kesimpulan Sementara

Filsafat Timur menawarkan ragam perspektif tentang prasangka baik yang memperkaya tradisi filsafat global:

·                     Konfusianisme: prasangka baik sebagai empati moral (ren).

·                     Taoisme: prasangka baik sebagai kepercayaan pada harmoni kosmik (Dao) dan spontanitas hidup.

·                     Buddhisme: prasangka baik sebagai praktik cinta kasih (mettā) dan belas kasih (karuṇā).

·                     Islam: prasangka baik (ḥusn al-ẓann) sebagai etika Qur’ani yang berakar pada iman dan moralitas sosial.

Keempat tradisi ini menunjukkan bahwa prasangka baik bukanlah sekadar fenomena Barat, melainkan nilai universal yang ditemukan di berbagai tradisi kebijaksanaan Timur, baik dalam kerangka etis, epistemologis, maupun spiritual.


Footnotes

[1]                Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22.

[2]                Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 68–70.

[3]                Herbert Fingarette, Confucius: The Secular as Sacred (Long Grove: Waveland Press, 1998), 45–49.

[4]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin, 1963), ch. 25.

[5]                Alan Chan, Two Visions of the Way: A Study of the Wang Pi and the Ho-shang Kung Commentaries on the Laozi (Albany: SUNY Press, 1991), 102–105.

[6]                Zhuangzi, Basic Writings, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 2003), 27–29.

[7]                Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society, 1984), 86–90.

[8]                Peter Harvey, An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 102–104.

[9]                Al-Qur’an, QS. al-Ḥujurāt [49]:12.

[10]             Imam al-Nawawī, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1990), 345.

[11]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.

[12]             Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 112–115.


7.           Prasangka Baik dalam Konteks Sosial dan Politik

7.1.       Teori Sosial Modern: Kepercayaan sebagai Modal Sosial

Dalam sosiologi modern, kepercayaan (trust) dipandang sebagai prasyarat utama kehidupan sosial. Niklas Luhmann menekankan bahwa tanpa kepercayaan, kompleksitas masyarakat modern akan melumpuhkan interaksi sosial karena setiap tindakan akan dipenuhi kecurigaan.¹ Kepercayaan, dalam arti ini, adalah bentuk prasangka baik yang mempersingkat proses pengambilan keputusan dan memungkinkan manusia bertindak tanpa harus memverifikasi semua hal secara empiris.²

Anthony Giddens juga menyoroti pentingnya “kepercayaan abstrak” (abstract trust) dalam sistem modern, misalnya kepercayaan kepada lembaga keuangan, teknologi, atau sistem politik.³ Kepercayaan tersebut pada dasarnya bersifat normatif dan didorong oleh asumsi bahwa institusi modern berfungsi sesuai aturan, bukan semata berdasarkan pengalaman langsung. Dengan demikian, dalam teori sosial, prasangka baik dipandang sebagai modal sosial yang menopang stabilitas masyarakat.

7.2.       Filsafat Politik: Prasangka Baik dan Deliberasi Demokratis

Dalam ranah filsafat politik, prasangka baik menjadi fondasi dialog deliberatif. Jürgen Habermas dalam Theory of Communicative Action menegaskan bahwa komunikasi yang rasional hanya mungkin bila para peserta dialog saling mengandaikan kejujuran dan niat baik.⁴ Ini dikenal dengan istilah ideal speech situation, di mana semua pihak memberikan prasangka baik terhadap kesungguhan lawan bicara.

John Rawls, dalam Political Liberalism, juga menekankan pentingnya “reasonableness” sebagai sikap dasar dalam demokrasi.⁵ Reasonableness berarti kesiapan untuk memberikan prasangka baik terhadap warga lain sebagai subjek rasional yang setara, meskipun memiliki pandangan hidup berbeda. Dengan demikian, prasangka baik tidak hanya menjadi sikap moral individual, tetapi juga prinsip politik yang menjamin keberlangsungan deliberasi demokratis.

7.3.       Psikologi Moral dan Sains Kognitif: Perspektif Empiris

Kajian psikologi moral dan ilmu kognitif menunjukkan bahwa prasangka baik memiliki basis empiris dalam perkembangan moral manusia. Penelitian Jonathan Haidt, misalnya, menekankan bahwa manusia memiliki intuisi moral yang didasarkan pada empati, keadilan, dan saling percaya.⁶ Empati ini memungkinkan manusia untuk lebih mudah memberikan prasangka baik dalam hubungan sosial.

Sementara itu, studi dalam ilmu kognitif menunjukkan bahwa kepercayaan adalah mekanisme adaptif yang memfasilitasi kerjasama dalam kelompok.⁷ Michael Tomasello, misalnya, berargumen bahwa kepercayaan dan niat baik merupakan fondasi evolusioner bagi kolaborasi manusia.⁸ Secara empiris, ini menunjukkan bahwa prasangka baik bukan sekadar konstruksi filosofis, tetapi juga bagian integral dari psikologi dan biologi manusia.


Kesimpulan Sementara

Prasangka baik dalam konteks sosial dan politik memiliki dimensi yang luas:

·                     Dalam teori sosial modern, ia hadir sebagai modal sosial yang memungkinkan masyarakat kompleks berfungsi (Luhmann, Giddens).

·                     Dalam filsafat politik, ia menjadi syarat dialog deliberatif dan demokrasi yang sehat (Habermas, Rawls).

·                     Dalam psikologi moral dan sains kognitif, ia terbukti sebagai mekanisme evolusioner yang menopang empati, kerjasama, dan stabilitas sosial.

Dengan demikian, prasangka baik tidak hanya penting pada level etis-individual, tetapi juga merupakan fondasi sosial-politik yang memungkinkan manusia hidup bersama dalam masyarakat yang adil, demokratis, dan stabil.


Footnotes

[1]                Niklas Luhmann, Trust and Power, trans. Howard Davis et al. (Chichester: Wiley, 1979), 4–7.

[2]                Russell Hardin, Trust and Trustworthiness (New York: Russell Sage Foundation, 2002), 9–12.

[3]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 80–83.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[5]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 48–54.

[6]                Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 37–41.

[7]                Paul Bloom, Just Babies: The Origins of Good and Evil (New York: Crown, 2013), 102–105.

[8]                Michael Tomasello, A Natural History of Human Morality (Cambridge: Harvard University Press, 2016), 45–49.


8.           Kritik terhadap Prasangka Baik

8.1.       Bahaya Naivitas dan Manipulasi

Salah satu kritik utama terhadap prasangka baik adalah potensi naivitas yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain. Dalam kehidupan sosial, sikap terlalu percaya tanpa kehati-hatian dapat membuka ruang bagi manipulasi, penipuan, bahkan eksploitasi.¹ Niccolò Machiavelli, dalam The Prince, secara tegas menunjukkan bahwa penguasa yang terlalu percaya pada kebaikan manusia berisiko kehilangan kekuasaan karena lawan politiknya sering kali bertindak dengan kelicikan.² Dalam perspektif ini, prasangka baik dianggap perlu diseimbangkan dengan realisme politik yang lebih berhati-hati.

8.2.       Skeptisisme Epistemologis

Secara epistemologis, prasangka baik dapat dipandang sebagai penghalang bagi objektivitas. Para skeptis menegaskan bahwa kepercayaan terlalu cepat pada ucapan atau tindakan orang lain bisa membuat penafsir mengabaikan bukti-bukti kritis.³ Dalam tradisi hermeneutika modern, Paul Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman seharusnya tidak hanya berlandaskan pada “hermeneutika kepercayaan,” tetapi juga memerlukan “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion), yakni sikap kritis terhadap kemungkinan adanya ideologi, ilusi, atau penipuan dalam teks maupun wacana.⁴ Dengan demikian, prasangka baik tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus dilengkapi dengan sikap kritis agar tidak jatuh pada dogmatisme.

8.3.       Kritik Nietzschean: Moralitas Belas Kasih sebagai Kelemahan

Friedrich Nietzsche menawarkan kritik radikal terhadap sikap belas kasih dan prasangka baik dalam moralitas tradisional. Dalam On the Genealogy of Morals, ia menyebut moralitas belas kasih sebagai bentuk “moralitas budak” (slave morality) yang lahir dari kelemahan dan ressentiment.⁵ Menurut Nietzsche, prasangka baik terhadap orang lain justru dapat menghambat perkembangan manusia yang kuat (Übermensch), karena membatasi dorongan kreatif dan kehendak untuk berkuasa (will to power).⁶ Dalam perspektif ini, prasangka baik dilihat bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai mekanisme yang mengekang vitalitas manusia.

Kritik Nietzsche memaksa filsafat untuk merefleksikan kembali: apakah prasangka baik selalu identik dengan kebajikan, ataukah dalam kondisi tertentu ia dapat menjadi alat pengekangan diri yang menghalangi kebebasan dan afirmasi kehidupan?

8.4.       Realisme Kritis: Antara Kepercayaan dan Kehati-hatian

Kritik lainnya datang dari perspektif realisme kritis yang menekankan keseimbangan antara kepercayaan dan skeptisisme. Karl Popper, misalnya, menekankan prinsip falsifikasi dalam ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya bertumpu pada sikap skeptis terhadap klaim kebenaran.⁷ Namun, sains juga memerlukan tingkat kepercayaan dasar terhadap rasionalitas ilmiah dan kejujuran komunitas peneliti.⁸ Dengan demikian, dalam konteks pengetahuan, prasangka baik harus dipadukan dengan mekanisme korektif agar tetap produktif.

Dalam ranah sosial, pendekatan realis menegaskan bahwa prasangka baik tidak dapat dilepaskan dari konteks kekuasaan, ekonomi, dan politik. Kepercayaan yang buta justru dapat mengukuhkan dominasi dan ketidakadilan struktural.⁹


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap prasangka baik dapat dirangkum dalam beberapa poin utama:

·                     Naivitas praktis: prasangka baik berisiko dimanfaatkan oleh pihak yang manipulatif.

·                     Skeptisisme epistemologis: prasangka baik harus diseimbangkan dengan sikap kritis agar tidak jatuh pada dogma.

·                     Kritik Nietzschean: moralitas belas kasih bisa dianggap sebagai bentuk kelemahan yang membatasi vitalitas manusia.

·                     Realisme kritis: prasangka baik harus dilengkapi dengan mekanisme korektif dalam sains maupun kehidupan sosial.

Dengan demikian, meskipun prasangka baik memiliki peran penting secara etis dan sosial, ia bukanlah konsep yang tanpa cela. Kritik-kritik ini menegaskan perlunya memahami prasangka baik secara dialektis—sebagai kekuatan yang bermanfaat bila disertai kehati-hatian, namun berbahaya bila jatuh pada naivitas atau absolutisasi.


Footnotes

[1]                Russell Hardin, Trust and Trustworthiness (New York: Russell Sage Foundation, 2002), 56–59.

[2]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 70–72.

[3]                Richard Kearney, Strangers, Gods and Monsters: Interpreting Otherness (London: Routledge, 2003), 101–103.

[4]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.

[5]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 36–39.

[6]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin, 1969), 108–112.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–36.

[8]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 48–51.

[9]                Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 122–124.


9.           Reinterpretasi dan Relevansi Kontemporer

9.1.       Prasangka Baik dalam Etika Global

Dalam era globalisasi, interaksi lintas budaya dan agama semakin intensif. Hal ini menuntut adanya fondasi etika global yang dapat menopang koeksistensi damai. Hans Küng dalam Global Responsibility menekankan perlunya global ethic yang berpijak pada nilai universal seperti keadilan, tanggung jawab, dan kepercayaan.¹ Prasangka baik dapat dipandang sebagai salah satu prinsip kunci dari etika global tersebut.

Dalam konteks pluralisme agama, prasangka baik berarti mengandaikan bahwa setiap tradisi memiliki niat untuk mencari kebenaran dan kebaikan, meskipun berbeda dalam ekspresi.² Sikap ini membuka ruang dialog antaragama yang konstruktif, di mana lawan dialog tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra dalam pencarian kebenaran.³

9.2.       Prasangka Baik dalam Dunia Digital dan Media Sosial

Transformasi digital membawa tantangan baru bagi konsep prasangka baik. Media sosial mempercepat arus informasi, tetapi sekaligus memperbesar potensi misinformasi, polarisasi, dan ujaran kebencian.⁴ Dalam ruang digital, prasangka buruk sering kali lebih dominan karena interaksi yang anonim dan cepat.

Namun demikian, prinsip prasangka baik tetap relevan sebagai etika bermedia. Howard Rheingold menyebut perlunya digital literacy yang tidak hanya teknis, tetapi juga etis—termasuk kemampuan untuk memberikan kepercayaan dasar pada sumber informasi sambil tetap kritis.⁵ Di sini, prasangka baik bukan berarti menerima semua informasi tanpa verifikasi, tetapi memandang lawan bicara daring sebagai manusia yang layak diperlakukan dengan hormat, bukan sebagai sekadar akun anonim.⁶

9.3.       Prasangka Baik dalam Pendidikan dan Pembinaan Karakter

Pendidikan kontemporer semakin menekankan pentingnya pembentukan karakter, bukan hanya transfer pengetahuan. Thomas Lickona dalam Educating for Character menekankan bahwa sekolah dan keluarga perlu menumbuhkan sikap saling percaya, empati, dan kebaikan hati.⁷ Prasangka baik dapat menjadi fondasi pedagogis yang mendorong siswa untuk menghargai perbedaan dan mengembangkan sikap inklusif.

Dalam konteks pendidikan multikultural, prasangka baik mengajarkan siswa untuk tidak menilai orang lain hanya berdasarkan stereotip, tetapi membuka diri pada perbedaan budaya.⁸ Pendidikan semacam ini sejalan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia, di mana setiap individu dilihat dengan penuh martabat.⁹

9.4.       Tantangan dan Reinterpretasi

Meskipun relevan, prasangka baik perlu direinterpretasi agar sesuai dengan tantangan kontemporer. Pertama, prasangka baik tidak boleh jatuh pada naivitas yang buta; ia harus berjalan seiring dengan kritisisme dan verifikasi.¹⁰ Kedua, prasangka baik harus ditempatkan dalam kerangka institusional—yakni sebagai nilai yang didukung oleh hukum, kebijakan, dan norma sosial. Tanpa kerangka tersebut, prasangka baik hanya menjadi ideal moral yang rapuh.

Dengan reinterpretasi ini, prasangka baik dapat dipahami sebagai virtue epistemology sekaligus virtue ethics yang relevan dengan dunia global, digital, dan multikultural.¹¹


Kesimpulan Sementara

Relevansi kontemporer prasangka baik dapat dirangkum dalam tiga poin utama:

·                     Dalam etika global, ia menopang dialog lintas budaya dan agama.

·                     Dalam dunia digital, ia menjadi etika komunikasi untuk melawan polarisasi dan ujaran kebencian.

·                     Dalam pendidikan, ia membentuk karakter yang inklusif dan empatik.

Dengan demikian, prasangka baik tidak hanya warisan klasik, tetapi juga prinsip yang perlu direinterpretasi agar tetap hidup dalam dinamika masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 22–25.

[2]                Leonard Swidler, Dialogue for Interreligious Understanding: Strategies for the Transformation of Culture-Shaping Institutions (New York: Palgrave Macmillan, 2014), 40–43.

[3]                Catherine Cornille, The Im-possibility of Interreligious Dialogue (New York: Crossroad, 2008), 58–61.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 155–160.

[5]                Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge: MIT Press, 2012), 72–74.

[6]                danah boyd, It’s Complicated: The Social Lives of Networked Teens (New Haven: Yale University Press, 2014), 112–115.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991), 45–47.

[8]                James A. Banks, An Introduction to Multicultural Education, 5th ed. (Boston: Pearson, 2014), 65–67.

[9]                Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education (New York: Teachers College Press, 2002), 88–90.

[10]             Richard Kearney, On Stories (London: Routledge, 2002), 132–134.

[11]             Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 212–215.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.    Harmonisasi Perspektif Barat dan Timur

Kajian tentang prasangka baik menunjukkan bahwa tradisi filsafat Barat dan Timur memiliki titik temu yang signifikan. Dalam filsafat Barat, prasangka baik diekspresikan melalui prinsip rasionalitas dialogis (Sokrates), philia (Aristoteles), welas asih kosmopolitan (Stoa), hingga prinsip interpretasi (principle of charity) dalam hermeneutika dan filsafat analitik.¹ Sementara itu, dalam tradisi Timur, prasangka baik termanifestasi dalam bentuk ren (Konfusianisme), wu wei (Taoisme), mettā dan karuṇā (Buddhisme), serta ḥusn al-ẓann (Islam).²

Meskipun berbeda konteks historis dan kultural, kedua tradisi menekankan bahwa prasangka baik bukan sekadar strategi sosial, melainkan fondasi moral dan spiritual yang memungkinkan kehidupan bersama. Hal ini menunjukkan adanya nilai universal yang melintasi batas geografis dan tradisi.³

10.2.    Antara Etika, Epistemologi, dan Ontologi

Prasangka baik tidak hanya relevan sebagai kategori etis, tetapi juga epistemologis dan ontologis. Secara etis, ia menuntut sikap moral berupa empati, keterbukaan, dan penghargaan terhadap sesama.⁴ Secara epistemologis, ia hadir sebagai prasyarat penafsiran, di mana pemahaman hanya mungkin bila kita mengandaikan rasionalitas dan niat baik lawan bicara atau teks.⁵ Secara ontologis, seperti ditunjukkan Heidegger dan Levinas, prasangka baik melekat dalam kondisi eksistensial manusia yang selalu “ada bersama” (Mitsein) dan bertanggung jawab terhadap yang lain.⁶

Dengan demikian, prasangka baik memiliki karakter multidimensional yang menghubungkan cara berpikir, cara hidup, dan cara hadir manusia dalam dunia.

10.3.    Dialektika antara Kepercayaan dan Kritik

Refleksi filosofis atas prasangka baik juga menuntut dialektika dengan sikap kritis. Kritik Machiavelli, Nietzsche, dan tradisi hermeneutika kecurigaan (Ricoeur) menunjukkan bahwa prasangka baik yang absolut dapat berbahaya: ia berisiko jatuh pada naivitas, manipulasi, atau bahkan menjadi mekanisme ideologis yang mengekang kebebasan manusia.⁷ Oleh karena itu, prasangka baik harus dipahami dalam kerangka dialektis, di mana kepercayaan berjalan seiring dengan kehati-hatian, dan keterbukaan dilengkapi dengan verifikasi kritis.⁸

Dalam pengertian ini, prasangka baik dapat dilihat sebagai virtue epistemology: ia merupakan kebajikan intelektual yang melatih manusia untuk tetap terbuka terhadap orang lain, namun tidak kehilangan nalar kritisnya.⁹

10.4.    Prasangka Baik sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan

Refleksi terakhir dapat ditarik bahwa prasangka baik merupakan bagian integral dari filsafat kebijaksanaan (philosophia sebagai cinta akan kebijaksanaan). Menjadi bijak berarti mampu melihat kebaikan yang tersembunyi dalam diri orang lain maupun dalam situasi yang penuh ketidakpastian, tanpa terjebak dalam ilusi.¹⁰ Kebijaksanaan yang demikian menuntut keseimbangan antara kepercayaan dan kritik, antara keterbukaan dan kehati-hatian.

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh polarisasi, prasangka buruk, dan krisis kepercayaan, sikap filosofis ini dapat berfungsi sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih manusiawi, demokratis, dan bermakna.¹¹ Dengan kata lain, prasangka baik bukan hanya tema akademis, melainkan juga praksis eksistensial yang menuntun manusia menuju kehidupan yang selaras dengan akal, hati, dan keberadaannya di dunia.


Kesimpulan Sementara

Bab ini menegaskan bahwa prasangka baik dapat dipandang sebagai:

1)                      Nilai universal yang hadir dalam tradisi Barat maupun Timur.

2)                      Konsep multidimensi yang mencakup etika, epistemologi, dan ontologi.

3)                      Prinsip dialektis yang harus seimbang antara keterbukaan dan kritisisme.

4)                      Jalan menuju kebijaksanaan yang relevan dengan tantangan kontemporer.

Dengan demikian, sintesis filosofis tentang prasangka baik memperlihatkan bahwa ia bukan hanya sikap moral, melainkan juga horizon eksistensial dan intelektual yang mendasari hubungan manusia dengan sesama, dengan pengetahuan, dan dengan realitas itu sendiri.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 42–45; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 295–300.

[2]                Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22; Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin, 1963), ch. 25; Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society, 1984), 86–90; Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.

[3]                Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 68–70.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.

[5]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–28.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168; Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.

[7]                Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 70–72; Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 36–39; Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–36.

[9]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 212–215.

[10]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 81–85.

[11]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 155–160.


11.       Penutup

11.1.    Kesimpulan

Pembahasan mengenai prasangka baik dalam filsafat menunjukkan bahwa konsep ini memiliki dimensi yang sangat luas—etis, epistemologis, ontologis, dan sosial. Sejak filsafat klasik, prasangka baik telah hadir dalam keyakinan Sokrates pada rasionalitas dialogis, konsep philia Aristoteles, serta kosmopolitanisme Stoa.¹ Pada era modern, ia berkembang dalam bentuk kepercayaan pada rasio (Descartes, Spinoza), pengakuan akan keterbatasan pengalaman (Hume), hingga etika kewajiban Kant.²

Dalam filsafat kontemporer, prasangka baik memperoleh elaborasi lebih lanjut: fenomenologi menekankan keterbukaan terhadap fenomena (Husserl, Heidegger), eksistensialisme menggarisbawahi tanggung jawab etis terhadap wajah orang lain (Levinas), filsafat analitik menekankan prinsip interpretasi (Quine, Davidson), dan hermeneutika filosofis menempatkan prasangka baik sebagai syarat dialog (Gadamer, Ricoeur).³ Tradisi Timur pun memperlihatkan paralel yang kaya, mulai dari ren Konfusianisme, wu wei Taoisme, mettā Buddhisme, hingga ḥusn al-ẓann dalam Islam.⁴

11.2.    Implikasi Praktis

Relevansi prasangka baik dalam dunia kontemporer sangat signifikan. Dalam ranah sosial-politik, ia menjadi modal sosial yang memungkinkan masyarakat modern berfungsi secara stabil (Luhmann, Giddens).⁵ Dalam politik demokratis, prasangka baik adalah syarat deliberasi yang sehat (Habermas, Rawls).⁶ Dalam pendidikan, ia menjadi fondasi pembentukan karakter yang inklusif (Lickona, Banks).⁷ Bahkan dalam dunia digital, prasangka baik dibutuhkan untuk melawan polarisasi dan ujaran kebencian, meskipun tetap harus berjalan seiring dengan literasi kritis.⁸

Dengan demikian, prasangka baik tidak hanya bernilai teoretis, tetapi juga praktis: ia dapat membentuk masyarakat yang lebih adil, toleran, dan beradab.

11.3.    Arah Penelitian Lanjutan

Meskipun artikel ini telah menyoroti berbagai dimensi prasangka baik, masih terdapat ruang untuk pengembangan. Pertama, kajian interdisipliner antara filsafat, psikologi moral, dan ilmu kognitif perlu diperluas untuk memahami bagaimana prasangka baik terbentuk dalam otak dan perilaku sosial manusia. Kedua, dalam era kecerdasan buatan, penting untuk meneliti bagaimana prinsip prasangka baik dapat diintegrasikan dalam desain etika teknologi, misalnya dalam algoritme media sosial atau sistem pengambilan keputusan berbasis AI.⁹ Ketiga, penelitian lanjutan dapat mengeksplorasi bagaimana prasangka baik dapat menjadi strategi resolusi konflik dalam masyarakat multikultural dan pascakolonial.

11.4.    Refleksi Akhir

Prasangka baik, bila dipahami secara dialektis, bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang memungkinkan manusia membangun pemahaman, kerjasama, dan perdamaian. Ia menuntut keseimbangan: antara keterbukaan dan kritisisme, antara empati dan kehati-hatian. Pada akhirnya, prasangka baik merupakan ekspresi filsafat sebagai philosophia—cinta kebijaksanaan—yang menuntun manusia untuk hidup tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan hati yang terbuka.¹⁰


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 42–45; Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23; David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 60–65; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:397–403.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 59–64; Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201; Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–28; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 271–280.

[4]                Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22; Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin, 1963), ch. 25; Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society, 1984), 86–90; Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.

[5]                Niklas Luhmann, Trust and Power, trans. Howard Davis et al. (Chichester: Wiley, 1979), 4–7; Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 80–83.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88; John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 48–54.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991), 45–47; James A. Banks, An Introduction to Multicultural Education, 5th ed. (Boston: Pearson, 2014), 65–67.

[8]                Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge: MIT Press, 2012), 72–74.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 122–125.

[10]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I. Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 81–85.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Banks, J. A. (2014). An introduction to multicultural education (5th ed.). Boston: Pearson.

Bhikkhu, B. (1984). The noble eightfold path: Way to the end of suffering. Kandy: Buddhist Publication Society.

Bloom, P. (2013). Just babies: The origins of good and evil. New York: Crown.

Bodhi, B. (2013). An introduction to Buddhism: Teachings, history and practices (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

boyd, d. (2014). It’s complicated: The social lives of networked teens. New Haven: Yale University Press.

Chan, A. (1991). Two visions of the way: A study of the Wang Pi and the Ho-shang Kung commentaries on the Laozi. Albany: SUNY Press.

Confucius. (2003). The analects (E. Slingerland, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Cornille, C. (2008). The im-possibility of interreligious dialogue. New York: Crossroad.

Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica, 27(3–4), 313–328.

Davidson, D. (1973–1974). On the very idea of a conceptual scheme. Proceedings and Addresses of the American Philosophical Association, 47, 5–20.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. Cambridge: MIT Press.

Fingarette, H. (1998). Confucius: The secular as sacred. Long Grove: Waveland Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury.

Garrett, D. (1997). Cognition and commitment in Hume’s philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford: Stanford University Press.

Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford: Stanford University Press.

Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (A. I. Davidson, Ed.; M. Chase, Trans.). Oxford: Blackwell.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The Meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. New York: Pantheon.

Hardin, R. (2002). Trust and trustworthiness. New York: Russell Sage Foundation.

Harvey, P. (2013). An introduction to Buddhism: Teachings, history and practices (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.

Inwood, B. (Ed.). (2003). The Cambridge companion to the Stoics. Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kearney, R. (2002). On stories. London: Routledge.

Kearney, R. (2003). Strangers, gods and monsters: Interpreting otherness. London: Routledge.

Kraus, R. (1989). Aristotle on the human good. Princeton: Princeton University Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Laozi. (1963). Dao De Jing (D. C. Lau, Trans.). London: Penguin.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers. Cambridge: Cambridge University Press.

Luhmann, N. (1979). Trust and power (H. Davis, J. Raffan, & K. Rooney, Trans.). Chichester: Wiley.

Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C. Mansfield, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Marcel, G. (2001). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). New York: Modern Library.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. London: Routledge.

Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge: Cambridge University Press.

Nails, D. (2002). The people of Plato: A prosopography of Plato and other Socratics. Indianapolis: Hackett.

Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). London: Penguin.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.

Noddings, N. (2002). Educating moral people: A caring alternative to character education. New York: Teachers College Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Indianapolis: Hackett.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. New York: Columbia University Press.

Rheingold, H. (2012). Net smart: How to thrive online. Cambridge: MIT Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism and other writings (A. Bowie, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton: Princeton University Press.

Swidler, L. (2014). Dialogue for interreligious understanding: Strategies for the transformation of culture-shaping institutions. New York: Palgrave Macmillan.

Taylor, C. C. W. (1998). Socrates: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Tomasello, M. (2016). A natural history of human morality. Cambridge: Harvard University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

Van Norden, B. W. (2007). Virtue ethics and consequentialism in early Chinese philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Ithaca: Cornell University Press.

Watson, B. (Trans.). (2003). Zhuangzi: Basic writings. New York: Columbia University Press.

Williams, R. (1983). Keywords: A vocabulary of culture and society. New York: Oxford University Press.

Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar