Prasangka Baik
Melalui Kerangka Etis,
Epistemologis, Ontologis, dan Sosial
Alihkan ke: Prinsip-Prinsip
Berpikir Filosofis.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep prasangka baik
sebagai kategori filosofis yang multidimensional, mencakup dimensi etis,
epistemologis, ontologis, dan sosial. Kajian dilakukan secara komparatif dengan
menelusuri akar historis prasangka baik sejak filsafat Barat klasik (Sokrates,
Plato, Aristoteles, Stoa), filsafat modern (Rasionalisme, Empirisme, Kant,
Schleiermacher), hingga filsafat kontemporer (fenomenologi Husserl-Heidegger,
eksistensialisme Marcel-Sartre-Levinas, filsafat analitik Davidson-Quine,
hermeneutika Gadamer-Ricoeur). Di samping itu, artikel ini juga mengeksplorasi
perspektif filsafat Timur, khususnya Konfusianisme (ren), Taoisme (wu
wei), Buddhisme (mettā dan karuṇā), serta Islam (ḥusn
al-ẓann).
Pembahasan diperluas dengan melihat relevansi
prasangka baik dalam teori sosial (Luhmann, Giddens), filsafat politik
(Habermas, Rawls), serta psikologi moral dan sains kognitif (Haidt, Tomasello).
Artikel ini juga memuat kritik terhadap prasangka baik, mulai dari risiko
naivitas dan manipulasi, skeptisisme epistemologis, hingga kritik Nietzschean atas
moralitas belas kasih.
Sintesis filosofis yang ditawarkan menegaskan bahwa
prasangka baik merupakan nilai universal yang melintasi tradisi, sekaligus
prinsip dialektis yang menuntut keseimbangan antara keterbukaan dan kritisisme.
Dalam konteks kontemporer—baik dalam etika global, ruang digital, maupun
pendidikan—prasangka baik relevan sebagai fondasi moral, epistemologis, dan
sosial yang memungkinkan terciptanya kehidupan bersama yang lebih adil,
inklusif, dan manusiawi.
Kata Kunci: Prasangka baik; prinsip charity; hermeneutika; kepercayaan sosial; etika
global; fenomenologi; epistemologi; etika Timur; filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Prasangka Baik dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah
filsafat, manusia selalu dipandang sebagai makhluk penafsir yang tidak hanya
hidup di dunia fakta, melainkan juga di dunia makna. Dalam relasi sosial maupun
dalam memahami teks dan realitas, manusia kerap jatuh pada prasangka—baik
positif maupun negatif. Prasangka baik (husn al-dhann dalam tradisi Islam, principle
of charity dalam tradisi hermeneutika Barat) menjadi suatu sikap
filosofis yang berfungsi menahan kecenderungan untuk menghakimi secara tergesa-gesa, sekaligus
membuka ruang bagi pemahaman yang lebih adil dan konstruktif.¹
Fenomena sosial
kontemporer menunjukkan betapa pentingnya sikap ini. Di era digital,
misinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi politik semakin mengikis
kepercayaan publik.² Dalam situasi demikian, filsafat dapat berkontribusi
dengan menawarkan kerangka konseptual tentang prasangka baik, bukan sekadar sebagai sikap moral, tetapi
juga sebagai prasyarat epistemologis untuk dialog dan koeksistensi.³
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut,
terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diajukan:
1)
Apa yang dimaksud dengan
“prasangka baik” dalam perspektif filsafat?
2)
Bagaimana konsep prasangka baik
berkembang dalam berbagai tradisi filsafat, baik Barat maupun Timur?
3)
Apa tantangan dan kritik yang
muncul terhadap sikap prasangka baik?
4)
Bagaimana relevansi prasangka baik
dalam konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Kajian ini bertujuan
untuk:
1)
Menguraikan konsep dasar prasangka
baik dalam filsafat, baik dalam dimensi etis, epistemologis, maupun sosial.
2)
Menelusuri perkembangan historis
gagasan prasangka baik dalam filsafat klasik, modern, dan kontemporer.
3)
Membandingkan pemahaman prasangka
baik dalam filsafat Barat dan Timur.
4)
Menawarkan reinterpretasi dan
relevansi prasangka baik dalam konteks global dan dunia digital saat ini.
Adapun manfaat yang diharapkan adalah
sebagai berikut:
·
Secara
teoretis, memperkaya khazanah filsafat moral dan hermeneutika
dengan memberikan analisis komprehensif atas konsep prasangka baik.
·
Secara
praktis, memberikan landasan filosofis bagi pengembangan sikap
sosial yang lebih toleran, adil, dan konstruktif di tengah tantangan
kontemporer.
1.4.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode kajian literatur (library
research). Sumber yang digunakan mencakup teks-teks filsafat klasik
(Plato, Aristoteles, Stoa), filsafat modern (Kant, Schleiermacher, Gadamer),
filsafat kontemporer (Levinas, Davidson), serta filsafat Timur (Konfusianisme,
Buddhisme, dan Islam). Analisis dilakukan melalui pendekatan hermeneutika filosofis, dengan mengutamakan
prinsip interpretasi yang adil dan komparatif.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 295–300.
[2]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 45–48.
[3]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–28.
2.
Konsep Dasar Prasangka
Baik
2.1.
Etimologi dan Terminologi
Secara etimologis,
istilah “prasangka” dalam bahasa Indonesia berakar pada kata “sangka” yang
berarti dugaan atau perkiraan. Penambahan awalan “pra-” mengisyaratkan bahwa
dugaan itu hadir sebelum adanya bukti yang cukup.¹ Dalam bahasa Inggris,
istilah yang sepadan adalah prejudice (dari bahasa Latin praejudicium,
artinya “putusan awal”), yang dapat bernuansa positif maupun negatif.² Adapun
istilah “baik” mengarah pada sesuatu yang bernilai positif, etis, atau
konstruktif. Dalam tradisi filsafat analitik, istilah yang dekat dengan konsep
ini adalah principle
of charity, yakni prinsip menafsirkan ucapan atau tindakan orang
lain dengan cara yang paling rasional dan benar sebelum menganggapnya keliru.³
Dalam tradisi Islam,
konsep ini dikenal dengan istilah ḥusn al-ẓann, yaitu berprasangka
baik terhadap sesama maupun terhadap Tuhan.⁴ Sementara dalam Buddhisme dan
Hindu, konsep serupa dapat ditemukan dalam mettā (cinta kasih) dan karuṇā
(belas kasih), yang mengandaikan niat untuk melihat orang lain secara positif dan penuh welas
asih.⁵
2.2.
Dimensi Etis
Secara etis,
prasangka baik merupakan sikap moral yang mendasari hubungan antarmanusia.
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menekankan
pentingnya philia
(persahabatan) yang berlandaskan kepercayaan dan kebaikan sebagai prasyarat
kehidupan politik dan etika yang sehat.⁶ Prasangka baik dalam ranah etika dapat
dipandang sebagai langkah awal menuju keadilan, karena tanpa sikap dasar
mempercayai niat baik orang lain, hubungan sosial akan didominasi kecurigaan
dan permusuhan.⁷
2.3.
Dimensi Epistemologis
Dari sisi
epistemologi, prasangka baik bukan hanya sikap moral, tetapi juga metode untuk
memahami realitas. Gadamer menekankan bahwa dalam hermeneutika, seseorang tidak
mungkin bebas dari prasangka (Vorurteil), tetapi prasangka ini
tidak selalu bersifat negatif.⁸ Prasangka baik justru membantu pembaca atau
penafsir untuk membuka diri terhadap makna yang terkandung dalam teks atau
ucapan orang lain. Donald Davidson kemudian merumuskan principle
of charity dalam logika dan filsafat bahasa: untuk memahami lawan
bicara, kita perlu menganggap bahwa sebagian besar ucapannya benar dan
rasional, baru kemudian mengidentifikasi kesalahannya.⁹
Dengan demikian,
prasangka baik dalam epistemologi berarti suatu pra-komitmen untuk menganggap dunia dan orang lain dapat
dimengerti secara rasional, bukan sekadar sumber kekeliruan atau ancaman.
2.4.
Dimensi Ontologis dan Relasional
Selain etis dan
epistemologis, prasangka baik memiliki dimensi ontologis yang terkait dengan
cara manusia hadir di dunia. Heidegger menyebut manusia sebagai Mitsein
(ada-bersama), yaitu eksistensi yang selalu berada dalam relasi dengan yang
lain.¹⁰ Dalam kerangka ini, prasangka baik adalah kondisi ontologis yang
memungkinkan keberadaan bersama menjadi mungkin. Tanpa prasangka baik,
eksistensi manusia akan selalu terjebak dalam “ketakutan terhadap yang lain,”
yang berujung pada keterasingan eksistensial.
Levinas melanjutkan
gagasan ini dengan menekankan bahwa wajah orang lain (le
visage de l’Autre) menuntut tanggung jawab etis tanpa syarat.¹¹ Prasangka baik,
dalam konteks ini, adalah pengakuan ontologis sekaligus etis bahwa keberadaan
manusia senantiasa terikat dalam relasi keterbukaan dan tanggung jawab terhadap
yang lain.
Kesimpulan Sementara
Konsep prasangka
baik memiliki
kompleksitas terminologis dan multidimensi:
1)
Etimologis:
berkaitan dengan prasangka yang bernilai positif.
2)
Etis:
sikap moral yang memungkinkan keadilan dan kepercayaan sosial.
3)
Epistemologis:
prinsip penafsiran yang adil dalam memahami teks, ucapan, dan realitas.
4)
Ontologis:
kondisi dasar eksistensi manusia sebagai makhluk yang selalu ada-bersama dengan
yang lain.
Dengan kerangka ini,
prasangka baik dapat dipahami bukan hanya sebagai sikap psikologis atau moral,
tetapi sebagai kategori filosofis yang fundamental dalam memahami manusia dan
dunia.
Footnotes
[1]
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), 1123.
[2]
Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society
(New York: Oxford University Press, 1983), 243.
[3]
Donald Davidson, “On the Very Idea of a Conceptual Scheme,” Proceedings
and Addresses of the American Philosophical Association 47 (1973–1974):
5–20.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.
[5]
Peter Harvey, An Introduction to Buddhism: Teachings, History and
Practices (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 102–104.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.
[7]
Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 327–330.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 271–280.
[9]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–28.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168.
[11]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.
3.
Prasangka Baik dalam
Filsafat Barat Klasik
3.1.
Sokrates: Kepercayaan pada Rasionalitas
Dialogis
Sokrates dikenal
dengan metode dialektiknya yang disebut elenchus, yaitu cara berdialog
untuk menguji kebenaran suatu pendapat.¹ Metode ini berangkat dari keyakinan
bahwa setiap manusia memiliki kapasitas rasional untuk menemukan kebenaran
apabila diberikan kesempatan berdialog dengan jujur dan terbuka.² Dalam konteks ini, sikap Sokrates
mencerminkan bentuk prasangka baik: ia tidak serta-merta menolak pendapat lawan
bicara, tetapi terlebih dahulu mengajaknya menelusuri argumen sampai ditemukan
kontradiksi atau kebenaran yang lebih mendasar.³
Prasangka baik
Sokrates bukanlah bentuk naivitas, melainkan sebuah pra-komitmen pada rasionalitas
manusia sebagai sarana mencapai kebaikan hidup (eudaimonia).
3.2.
Plato: Prasangka Baik dan Dunia Ide
Plato, murid
Sokrates, melanjutkan semangat dialogis gurunya. Dalam Republic,
ia menyampaikan gagasan bahwa manusia sering terjebak dalam bayangan realitas
(dalam alegori gua), tetapi tetap memiliki potensi untuk mencapai dunia ide
yang lebih tinggi.⁴ Pandangan ini menyiratkan prasangka baik terhadap kemampuan
jiwa manusia untuk beranjak dari kebodohan menuju pengetahuan sejati.
Plato menekankan
bahwa pendidikan adalah sarana untuk menuntun jiwa keluar dari kegelapan menuju
cahaya kebenaran.⁵ Dengan demikian, prasangka baik di sini diwujudkan dalam
keyakinan bahwa manusia, meskipun awalnya terikat pada ilusi, pada dasarnya
mampu mengenali kebenaran universal apabila diarahkan dengan benar.
3.3.
Aristoteles: Philia dan Kepercayaan
Sosial
Berbeda dengan Plato
yang lebih menekankan dunia ide, Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk
sosial (zoon
politikon) yang hidup dalam polis.⁶ Dalam Nicomachean
Ethics, ia menempatkan philia (persahabatan) sebagai dasar
moralitas dan stabilitas sosial.⁷ Persahabatan, menurutnya, tidak mungkin terjadi tanpa adanya prasangka
baik: kita percaya pada niat baik sahabat kita, bahkan sebelum ada bukti
empiris yang lengkap.⁸
Prasangka baik dalam
pandangan Aristoteles bersifat etis dan teleologis. Etis, karena ia mendasari
hubungan sosial yang adil; teleologis, karena ia mengarahkan manusia kepada
tujuan hidup yang baik (eudaimonia) melalui keutamaan
moral.⁹
3.4.
Stoa: Kosmopolitanisme dan Welas Asih Universal
Kaum Stoa
(Stoikisme) seperti Zeno, Seneca, dan Marcus Aurelius memperluas gagasan
prasangka baik ke ranah kosmopolitan. Bagi mereka, semua manusia adalah warga kosmos,
sehingga relasi antarmanusia harus didasari oleh sympatheia (kesalinghubungan) dan
belas kasih universal.¹⁰
Marcus Aurelius
dalam Meditations
menekankan bahwa ketika orang lain berbuat salah, hal itu terjadi karena
ketidaktahuan, bukan niat jahat.¹¹ Oleh karena itu, sikap bijaksana adalah
berprasangka baik terhadap mereka, dengan menerima bahwa kesalahan manusia
adalah bagian dari kodratnya, sembari tetap mengupayakan kebaikan bersama.¹²
Dalam Stoisisme,
prasangka baik berakar pada rasionalitas kosmik (logos), yang mempersatukan seluruh
realitas. Dengan demikian, berprasangka baik berarti hidup selaras dengan
tatanan alam semesta dan mengakui martabat semua manusia.¹³
Kesimpulan Sementara
Tradisi filsafat
Barat klasik memberikan
fondasi penting bagi pemahaman prasangka baik:
·
Sokrates:
prasangka baik sebagai keyakinan pada rasionalitas dialogis.
·
Plato:
prasangka baik sebagai keyakinan terhadap potensi jiwa mencapai dunia ide.
·
Aristoteles:
prasangka baik sebagai dasar philia dan stabilitas sosial.
·
Stoa:
prasangka baik sebagai sikap kosmopolitan yang berlandaskan welas asih
universal.
Keempat kerangka ini
menunjukkan bahwa sejak zaman klasik, filsafat Barat telah menempatkan
prasangka baik bukan sekadar sebagai sikap psikologis, tetapi sebagai prinsip
ontologis, epistemologis, dan etis yang menopang kehidupan manusia bersama.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca:
Cornell University Press, 1991), 39–45.
[2]
C.C.W. Taylor, Socrates: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 57–60.
[3]
Debra Nails, The People of Plato: A Prosopography of Plato and
Other Socratics (Indianapolis: Hackett, 2002), 25–27.
[4]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1992), 514a–517a.
[5]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford:
Clarendon Press, 1981), 252–255.
[6]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
1998), 1253a.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.
[8]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton:
Princeton University Press, 1989), 154–158.
[9]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
2001), 317–320.
[10]
Brad Inwood, The Cambridge Companion to the Stoics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 273–275.
[11]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002), II.1–II.3.
[12]
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius,
trans. Michael Chase (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 129–133.
[13]
A.A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 347–350.
4.
Prasangka Baik dalam
Filsafat Modern
4.1.
Rasionalisme: Kepercayaan pada Rasio Universal
Era modern ditandai
dengan munculnya keyakinan pada rasio sebagai fondasi pengetahuan yang pasti.
René Descartes, meskipun dikenal dengan metode skeptisnya, sebenarnya
mengandaikan prasangka baik terhadap rasio manusia. Ia meragukan segala hal,
tetapi tidak pernah meragukan kapasitas akal untuk menemukan kepastian melalui
ide-ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct ideas).¹ Sikap
ini merupakan bentuk kepercayaan mendasar bahwa rasio adalah sarana yang dapat
dipercaya dalam membangun pengetahuan.
Baruch Spinoza
melanjutkan optimisme rasional ini dengan menekankan bahwa segala sesuatu
adalah ekspresi dari substansi tunggal (Deus sive Natura), dan manusia dapat memahami
keteraturan alam melalui nalar.² Dalam kerangka ini, prasangka baik terletak
pada keyakinan bahwa realitas bersifat rasional dan dapat dipahami, sehingga
manusia tidak hidup dalam kekacauan, melainkan dalam tatanan yang penuh makna.³
4.2.
Empirisme: Antara Skeptisisme dan Kepercayaan
Berbeda dengan
rasionalis, kaum empiris seperti John Locke dan David Hume menekankan
pentingnya pengalaman sebagai dasar pengetahuan. Locke masih menaruh prasangka
baik pada kapasitas indra manusia untuk memberikan data yang relatif dapat
dipercaya, meskipun memerlukan refleksi kritis untuk mencapai pengetahuan yang
lebih stabil.⁴
Namun, Hume lebih
skeptis. Ia menekankan bahwa banyak keyakinan manusia, seperti kausalitas,
bukanlah hasil pengetahuan rasional, melainkan kebiasaan psikologis.⁵ Meskipun
demikian, di balik skeptisisme Hume tetap terdapat suatu prasangka baik yang
halus: ia menerima bahwa meskipun akal terbatas, manusia masih bisa hidup
secara praktis dengan mengandalkan kebiasaan, rasa percaya, dan kepercayaan
sosial.⁶ Dengan kata lain, prasangka baik dalam empirisme modern muncul bukan
dalam bentuk optimisme rasional, melainkan dalam pengakuan bahwa keterbatasan
manusia tetap bisa menopang kehidupan sehari-hari.
4.3.
Immanuel Kant: Good Will dan Kepercayaan
Moral
Immanuel Kant
memadukan warisan rasionalisme dan empirisme dengan filsafat kritisnya. Dalam Critique
of Pure Reason, ia menegaskan bahwa pengetahuan manusia terbatas
pada fenomena, tetapi dalam ranah moral, manusia memiliki good
will (kemauan baik) sebagai dasar tindakan etis.⁷ Dalam Groundwork
of the Metaphysics of Morals, Kant menegaskan bahwa tindakan
bermoral hanya mungkin bila didasarkan pada prinsip kewajiban yang universal,
bukan sekadar pada kepentingan atau konsekuensi.⁸
Dengan demikian,
prasangka baik dalam pemikiran Kant hadir dalam dua bentuk: (1) kepercayaan
epistemologis bahwa realitas dapat dipahami melalui kategori-kategori akal
budi, dan (2) kepercayaan etis bahwa manusia, sebagai makhluk rasional,
memiliki kapasitas untuk bertindak sesuai dengan hukum moral universal.⁹ Kant
menunjukkan bahwa moralitas memerlukan kepercayaan fundamental terhadap
rasionalitas dan kebebasan manusia.
4.4.
Hermeneutika Awal: Schleiermacher dan Prinsip
Pemahaman
Friedrich
Schleiermacher, sebagai perintis hermeneutika modern, menekankan pentingnya
pemahaman sebagai proses rekonstruksi maksud penulis dan konteksnya.¹⁰ Ia menegaskan bahwa seorang
penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi penulis, dengan asumsi bahwa
ucapan atau teks pada dasarnya masuk akal. Inilah cikal bakal principle
of charity dalam hermeneutika modern.¹¹
Schleiermacher
memandang prasangka baik sebagai prasyarat epistemologis: tanpa keyakinan bahwa
teks dan penulisnya dapat dipahami secara rasional, dialog antara pembaca dan
teks tidak akan pernah terjadi. Hermeneutika modern kemudian menjadi fondasi
bagi berkembangnya tradisi hermeneutika filosofis yang lebih matang pada
Gadamer dan Ricoeur.
Kesimpulan Sementara
Filsafat modern memperlihatkan beragam bentuk
prasangka baik:
·
Rasionalisme:
prasangka baik terhadap rasio dan keteraturan kosmik.
·
Empirisme:
prasangka baik dalam pengakuan atas keterbatasan, tetapi tetap percaya pada
pengalaman dan kebiasaan.
·
Kantianisme:
prasangka baik terhadap kapasitas rasional manusia dalam pengetahuan dan
moralitas.
·
Hermeneutika
awal: prasangka baik sebagai prasyarat pemahaman dalam
penafsiran teks.
Dari sini terlihat
bahwa meskipun era modern ditandai dengan kritisisme dan skeptisisme, filsafat
tetap tidak lepas dari kebutuhan akan prasangka baik sebagai dasar etis dan
epistemologis dalam memahami realitas.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23.
[2]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin,
1996), 45–50.
[3]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 215–218.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 104–109.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 60–65.
[6]
Don Garrett, Cognition and Commitment in Hume’s Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 82–85.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A246–A250.
[8]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:397–403.
[9]
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 112–118.
[10]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other
Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 14–18.
[11]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 34–36.
5.
Prasangka Baik dalam
Filsafat Kontemporer
5.1.
Fenomenologi: Husserl dan Heidegger
Fenomenologi Edmund
Husserl berangkat dari gagasan zurück zu den Sachen selbst
(“kembali kepada benda-benda itu sendiri”), yang mengandaikan bahwa fenomena
dapat diungkap secara murni melalui penangguhan prasangka (epoché).¹
Namun, epoché
bukanlah penghapusan semua prasangka,
melainkan pengendalian agar subjektivitas peneliti tidak menghalangi terbukanya
makna fenomena. Dengan demikian, prasangka baik hadir sebagai sikap
metodologis: keyakinan bahwa realitas dapat menyingkap dirinya sendiri apabila
manusia menahan penilaian negatif yang terburu-buru.²
Martin Heidegger,
murid Husserl, memperluas perspektif fenomenologi ke arah ontologis. Dalam Being
and Time, ia menyebut manusia sebagai Mitsein (ada-bersama), yang berarti
eksistensi manusia selalu terbuka pada yang lain.³ Prasangka baik, dalam
kerangka ini, bukan sekadar pilihan moral, melainkan kondisi ontologis yang
melekat pada keberadaan manusia. Manusia hidup dalam dunia yang dipenuhi
“kehadiran orang lain” (das Man), dan keterbukaan pada
orang lain menuntut sikap dasar yang dapat ditafsirkan sebagai prasangka baik.⁴
5.2.
Eksistensialisme: Marcel, Sartre, dan Levinas
Gabriel Marcel
menekankan konsep availability (disponibilité),
yakni kesediaan seseorang untuk hadir bagi orang lain.⁵ Dalam perspektif ini,
prasangka baik muncul sebagai
sikap keterbukaan eksistensial, yaitu keyakinan bahwa orang lain layak
dipercaya dan direspon dengan kehadiran yang otentik.
Jean-Paul Sartre,
sebaliknya, lebih pesimis. Dalam Being and Nothingness, ia melihat
“tatapan” (le
regard) orang lain sebagai ancaman yang mengobjektifikasi subjek.⁶
Meski demikian, kritik Sartre membuka ruang refleksi bahwa prasangka baik tidak selalu mudah, karena
hubungan antarmanusia sering diwarnai konflik dan dominasi.
Emmanuel Levinas
menawarkan jawaban berbeda dengan menekankan etika wajah (le
visage de l’Autre). Menurutnya, wajah orang lain adalah panggilan
etis yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.⁷ Prasangka baik, dalam
pandangan Levinas, berarti menerima bahwa orang lain memiliki hak eksistensial yang mendahului kebebasan
saya.⁸ Inilah reinterpretasi radikal atas etika: prasangka baik menjadi fondasi
bagi tanggung jawab manusia terhadap sesama.
5.3.
Filsafat Analitik: Prinsip Charity dan
Interpretasi
Dalam filsafat
analitik, Donald Davidson mengembangkan principle of charity sebagai dasar
interpretasi bahasa. Prinsip ini menyatakan bahwa agar dapat memahami pembicara, kita harus
menganggap bahwa sebagian besar pernyataannya benar dan konsisten dengan
rasionalitas umum.⁹ Prinsip ini bukan hanya strategi linguistik, tetapi juga
refleksi epistemologis bahwa pemahaman hanya mungkin terjadi bila terdapat
prasangka baik terhadap orang lain.
W.V.O. Quine
sebelumnya telah menekankan bahwa penerjemahan radikal memerlukan asumsi bahwa
lawan bicara berbagi dunia rasional yang sama dengan kita.¹⁰ Dengan demikian, dalam tradisi analitik,
prasangka baik berfungsi sebagai pra-komitmen epistemologis yang
memungkinkan komunikasi lintas bahasa dan budaya.
5.4.
Hermeneutika Filosofis: Gadamer dan Ricoeur
Hans-Georg Gadamer
dalam Truth
and Method menyatakan bahwa prasangka (Vorurteil) tidak bisa dihapuskan,
melainkan harus diarahkan secara produktif.¹¹ Prasangka baik dalam hermeneutika
berarti keterbukaan dialogis untuk memahami tradisi, teks, atau orang lain
secara adil. Pemahaman sejati, menurut Gadamer, terjadi melalui “fusi
cakrawala” (Horizontverschmelzung),
yang hanya mungkin bila kita berprasangka baik terhadap makna yang dibawa oleh
yang lain.¹²
Paul Ricoeur
menambahkan dimensi lain dengan membedakan antara hermeneutics of trust (hermeneutika
kepercayaan) dan hermeneutics of suspicion
(hermeneutika kecurigaan).¹³ Ricoeur menegaskan bahwa filsafat modern sering
didominasi oleh kecurigaan (Marx, Nietzsche, Freud), tetapi hermeneutika juga
memerlukan kepercayaan sebagai syarat awal interpretasi. Dengan demikian,
prasangka baik menjadi unsur dialektis yang menyeimbangkan antara kritik dan
keterbukaan.¹⁴
Kesimpulan Sementara
Dalam filsafat
kontemporer, prasangka baik mendapatkan bentuk yang lebih kompleks dan multidimensi:
·
Fenomenologi:
prasangka baik sebagai sikap metodologis (Husserl) dan ontologis (Heidegger).
·
Eksistensialisme:
keterbukaan eksistensial (Marcel), tantangan konflik (Sartre), dan etika wajah
(Levinas).
·
Analitik:
prinsip interpretasi yang menuntut asumsi rasionalitas bersama (Quine,
Davidson).
·
Hermeneutika:
keterbukaan dialogis (Gadamer) dan keseimbangan antara kepercayaan dan
kecurigaan (Ricoeur).
Semua ini
menunjukkan bahwa filsafat kontemporer, meskipun beragam aliran, tetap
memandang prasangka baik sebagai syarat etis dan epistemologis yang mendasar
bagi pemahaman manusia terhadap diri, sesama, dan dunia.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 59–64.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 152–156.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168.
[4]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge: MIT Press, 1991), 35–38.
[5]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser
(South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 96–99.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 252–255.
[7]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–201.
[8]
Simon Critchley, The Ethics of Deconstruction: Derrida and Levinas
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992), 112–115.
[9]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–28.
[10]
W.V.O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960),
26–31.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 271–280.
[12]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 192–195.
[13]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.
[14]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John
B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 63–66.
6.
Prasangka Baik dalam
Filsafat Timur
6.1.
Konfusianisme: Ren dan Empati Moral
Dalam filsafat
Konfusianisme, prinsip ren (仁)
menjadi inti etika kemanusiaan. Ren berarti sikap penuh welas asih,
empati, dan cinta kasih terhadap sesama.¹ Bagi Konfusius, hubungan sosial hanya
dapat berlangsung sehat bila setiap orang berasumsi bahwa yang lain memiliki
kapasitas moral untuk berbuat baik.² Prasangka baik di sini tampak dalam
keyakinan bahwa manusia pada dasarnya dapat diarahkan menuju kebaikan melalui
pendidikan moral dan keteladanan.³
Dengan kata lain, ren
menuntut sikap mempercayai orang lain bukan dengan kecurigaan, melainkan dengan
keterbukaan hati. Hal ini menjadikan prasangka baik sebagai landasan kosmologis
sekaligus sosial dalam ajaran Konfusianisme.
6.2.
Taoisme: Harmoni dan Kesederhanaan
Taoisme, melalui
ajaran Laozi dan Dao De Jing, menekankan bahwa
segala sesuatu berjalan sesuai dengan Dao (Jalan).⁴ Prasangka baik muncul
dalam bentuk penerimaan dan harmoni terhadap alam dan sesama manusia. Sikap wu wei
(无为),
yakni “tidak
memaksakan kehendak,”
mengandaikan prasangka baik
terhadap keteraturan alam semesta.⁵
Bagi Zhuangzi,
kehidupan yang harmonis hanya mungkin bila manusia berhenti mencurigai atau
menundukkan yang lain, dan sebaliknya mempercayai spontanitas hidup.⁶ Prasangka
baik dalam Taoisme berarti membiarkan hal-hal berkembang sesuai kodratnya,
dengan kepercayaan bahwa alam semesta memiliki kebijaksanaannya sendiri.
6.3.
Buddhisme: Mettā dan Karuṇā
Dalam tradisi
Buddhis, sikap prasangka baik erat kaitannya dengan praktik mettā
(cinta kasih universal) dan karuṇā (belas kasih). Mettā
mendorong individu untuk mengembangkan cinta kasih tanpa diskriminasi kepada
semua makhluk, sementara karuṇā menuntun manusia untuk
memahami penderitaan orang lain dan meresponsnya dengan welas asih.⁷
Ajaran ini
mengandaikan prasangka baik dalam dua dimensi. Pertama, secara ontologis:
setiap makhluk dipandang memiliki potensi untuk mencapai pencerahan. Kedua,
secara etis: sikap penuh kebaikan terhadap orang lain dipandang sebagai jalan
menuju pelepasan diri dari kebencian dan penderitaan.⁸ Dengan demikian, prasangka baik dalam Buddhisme bukan
hanya strategi sosial, tetapi juga praktik spiritual menuju Nirwana.
6.4.
Filsafat Islam: Husn al-Ẓann dan Etika
Qur’ani
Dalam tradisi Islam,
konsep ḥusn al-ẓann
(berprasangka baik) memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Al-Qur’an memperingatkan agar kaum beriman menjauhi prasangka buruk, karena sebagian
prasangka adalah dosa (QS. al-Ḥujurāt [49]:12).⁹ Dalam hadis, Nabi Muhammad Saw menekankan
pentingnya ḥusn al-ẓann
kepada Allah dan sesama manusia sebagai bagian dari iman.¹⁰
Al-Ghazālī
menegaskan bahwa ḥusn al-ẓann adalah fondasi penting
dalam menjaga ukhuwah Islamiyah dan mencegah fitnah.¹¹ Dalam tasawuf, prasangka
baik dipandang sebagai bentuk pembersihan hati yang memungkinkan manusia
mendekatkan diri kepada Allah dan sesama.¹² Dengan demikian, prasangka baik dalam
Islam memiliki dua aspek: transendental (hubungan dengan Tuhan) dan sosial
(hubungan dengan manusia).
Kesimpulan Sementara
Filsafat Timur menawarkan ragam perspektif
tentang prasangka baik yang memperkaya tradisi filsafat global:
·
Konfusianisme:
prasangka baik sebagai empati moral (ren).
·
Taoisme:
prasangka baik sebagai kepercayaan pada harmoni kosmik (Dao) dan
spontanitas hidup.
·
Buddhisme:
prasangka baik sebagai praktik cinta kasih (mettā) dan belas kasih (karuṇā).
·
Islam:
prasangka baik (ḥusn al-ẓann) sebagai etika Qur’ani yang berakar pada
iman dan moralitas sosial.
Keempat tradisi ini menunjukkan bahwa
prasangka baik bukanlah sekadar fenomena Barat, melainkan nilai universal yang
ditemukan di berbagai tradisi kebijaksanaan Timur, baik dalam kerangka etis,
epistemologis, maupun spiritual.
Footnotes
[1]
Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland
(Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22.
[2]
Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early
Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 68–70.
[3]
Herbert Fingarette, Confucius: The Secular as Sacred (Long
Grove: Waveland Press, 1998), 45–49.
[4]
Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin, 1963),
ch. 25.
[5]
Alan Chan, Two Visions of the Way: A Study of the Wang Pi and the
Ho-shang Kung Commentaries on the Laozi (Albany: SUNY Press, 1991),
102–105.
[6]
Zhuangzi, Basic Writings, trans. Burton Watson (New York:
Columbia University Press, 2003), 27–29.
[7]
Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold Path: Way to the End of
Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society, 1984), 86–90.
[8]
Peter Harvey, An Introduction to Buddhism: Teachings, History and
Practices (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 102–104.
[9]
Al-Qur’an, QS. al-Ḥujurāt [49]:12.
[10]
Imam al-Nawawī, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn (Beirut: Dār al-Ma‘rifah,
1990), 345.
[11]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.
[12]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 112–115.
7.
Prasangka Baik dalam
Konteks Sosial dan Politik
7.1.
Teori Sosial Modern: Kepercayaan sebagai Modal
Sosial
Dalam sosiologi
modern, kepercayaan (trust) dipandang sebagai prasyarat
utama kehidupan sosial. Niklas Luhmann menekankan bahwa tanpa kepercayaan,
kompleksitas masyarakat modern akan melumpuhkan interaksi sosial karena setiap
tindakan akan dipenuhi kecurigaan.¹ Kepercayaan, dalam arti ini, adalah bentuk prasangka baik yang
mempersingkat proses pengambilan keputusan dan memungkinkan manusia bertindak
tanpa harus memverifikasi semua hal secara empiris.²
Anthony Giddens juga
menyoroti pentingnya “kepercayaan abstrak” (abstract trust) dalam sistem modern,
misalnya kepercayaan kepada lembaga keuangan, teknologi, atau sistem politik.³
Kepercayaan tersebut pada dasarnya bersifat normatif dan didorong oleh asumsi
bahwa institusi modern berfungsi sesuai aturan, bukan semata berdasarkan
pengalaman langsung. Dengan demikian, dalam teori sosial, prasangka baik
dipandang sebagai modal sosial yang menopang stabilitas masyarakat.
7.2.
Filsafat Politik: Prasangka Baik dan Deliberasi
Demokratis
Dalam ranah filsafat
politik, prasangka baik menjadi fondasi dialog deliberatif. Jürgen Habermas
dalam Theory
of Communicative Action menegaskan bahwa komunikasi yang rasional
hanya mungkin bila para peserta dialog saling mengandaikan kejujuran dan niat
baik.⁴ Ini dikenal dengan istilah ideal speech situation, di mana
semua pihak memberikan prasangka baik terhadap kesungguhan lawan bicara.
John Rawls, dalam Political
Liberalism, juga menekankan pentingnya “reasonableness” sebagai
sikap dasar dalam demokrasi.⁵ Reasonableness berarti kesiapan untuk memberikan
prasangka baik terhadap warga lain sebagai subjek rasional yang setara,
meskipun memiliki pandangan hidup berbeda. Dengan demikian, prasangka baik
tidak hanya menjadi sikap moral individual, tetapi juga prinsip politik yang
menjamin keberlangsungan deliberasi demokratis.
7.3.
Psikologi Moral dan Sains Kognitif: Perspektif
Empiris
Kajian psikologi
moral dan ilmu kognitif menunjukkan bahwa prasangka baik memiliki basis empiris
dalam perkembangan moral manusia. Penelitian Jonathan Haidt, misalnya,
menekankan bahwa manusia memiliki intuisi moral yang didasarkan pada empati,
keadilan, dan saling percaya.⁶ Empati ini memungkinkan manusia untuk lebih
mudah memberikan prasangka baik dalam hubungan sosial.
Sementara itu, studi
dalam ilmu kognitif menunjukkan bahwa kepercayaan adalah mekanisme adaptif yang memfasilitasi kerjasama
dalam kelompok.⁷ Michael Tomasello, misalnya, berargumen bahwa kepercayaan dan
niat baik merupakan fondasi evolusioner bagi kolaborasi manusia.⁸ Secara
empiris, ini menunjukkan bahwa prasangka baik bukan sekadar konstruksi
filosofis, tetapi juga bagian integral dari psikologi dan biologi manusia.
Kesimpulan Sementara
Prasangka baik dalam
konteks sosial dan politik memiliki dimensi yang luas:
·
Dalam
teori sosial modern, ia hadir sebagai modal sosial yang
memungkinkan masyarakat kompleks berfungsi (Luhmann, Giddens).
·
Dalam
filsafat politik, ia menjadi syarat dialog deliberatif dan
demokrasi yang sehat (Habermas, Rawls).
·
Dalam
psikologi moral dan sains kognitif, ia terbukti sebagai
mekanisme evolusioner yang menopang empati, kerjasama, dan stabilitas sosial.
Dengan demikian,
prasangka baik tidak hanya penting pada level etis-individual, tetapi juga
merupakan fondasi sosial-politik yang memungkinkan manusia hidup bersama dalam
masyarakat yang adil, demokratis, dan stabil.
Footnotes
[1]
Niklas Luhmann, Trust and Power, trans. Howard Davis et al.
(Chichester: Wiley, 1979), 4–7.
[2]
Russell Hardin, Trust and Trustworthiness (New York: Russell
Sage Foundation, 2002), 9–12.
[3]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford:
Stanford University Press, 1990), 80–83.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason
and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon
Press, 1984), 86–88.
[5]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 48–54.
[6]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 37–41.
[7]
Paul Bloom, Just Babies: The Origins of Good and Evil (New
York: Crown, 2013), 102–105.
[8]
Michael Tomasello, A Natural History of Human Morality
(Cambridge: Harvard University Press, 2016), 45–49.
8.
Kritik terhadap
Prasangka Baik
8.1.
Bahaya Naivitas dan Manipulasi
Salah satu kritik
utama terhadap prasangka baik adalah potensi naivitas yang dapat dimanfaatkan
oleh pihak lain. Dalam kehidupan sosial, sikap terlalu percaya tanpa
kehati-hatian dapat membuka ruang bagi manipulasi, penipuan, bahkan
eksploitasi.¹ Niccolò Machiavelli, dalam The Prince, secara tegas
menunjukkan bahwa penguasa yang terlalu percaya pada kebaikan manusia berisiko kehilangan kekuasaan karena
lawan politiknya sering kali bertindak dengan kelicikan.² Dalam perspektif ini,
prasangka baik dianggap perlu diseimbangkan dengan realisme politik yang lebih
berhati-hati.
8.2.
Skeptisisme Epistemologis
Secara
epistemologis, prasangka baik dapat dipandang sebagai penghalang bagi
objektivitas. Para skeptis menegaskan bahwa kepercayaan terlalu cepat pada
ucapan atau tindakan orang lain bisa membuat penafsir mengabaikan bukti-bukti
kritis.³ Dalam tradisi hermeneutika modern, Paul Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman seharusnya
tidak hanya berlandaskan pada “hermeneutika kepercayaan,” tetapi juga
memerlukan “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion), yakni
sikap kritis terhadap kemungkinan adanya ideologi, ilusi, atau penipuan dalam
teks maupun wacana.⁴ Dengan demikian, prasangka baik tidak boleh berdiri
sendiri, melainkan harus dilengkapi dengan sikap kritis agar tidak jatuh pada
dogmatisme.
8.3.
Kritik Nietzschean: Moralitas Belas Kasih
sebagai Kelemahan
Friedrich Nietzsche
menawarkan kritik radikal terhadap sikap belas kasih dan prasangka baik dalam
moralitas tradisional. Dalam On the Genealogy of Morals, ia
menyebut moralitas belas kasih sebagai bentuk “moralitas budak” (slave
morality) yang lahir dari kelemahan dan ressentiment.⁵ Menurut
Nietzsche, prasangka baik terhadap orang lain justru dapat menghambat
perkembangan manusia yang kuat (Übermensch), karena membatasi
dorongan kreatif dan kehendak untuk berkuasa (will to power).⁶ Dalam perspektif
ini, prasangka baik dilihat bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai mekanisme yang mengekang
vitalitas manusia.
Kritik Nietzsche
memaksa filsafat untuk
merefleksikan kembali: apakah prasangka baik selalu identik dengan kebajikan,
ataukah dalam kondisi tertentu ia dapat menjadi alat pengekangan diri yang
menghalangi kebebasan dan afirmasi kehidupan?
8.4.
Realisme Kritis: Antara Kepercayaan dan
Kehati-hatian
Kritik lainnya
datang dari perspektif realisme kritis yang menekankan keseimbangan antara
kepercayaan dan skeptisisme. Karl Popper, misalnya, menekankan prinsip
falsifikasi dalam ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya bertumpu pada sikap
skeptis terhadap klaim kebenaran.⁷ Namun, sains juga memerlukan tingkat
kepercayaan dasar terhadap rasionalitas ilmiah dan kejujuran komunitas
peneliti.⁸ Dengan demikian, dalam konteks pengetahuan, prasangka baik harus
dipadukan dengan mekanisme korektif agar tetap produktif.
Dalam ranah sosial,
pendekatan realis menegaskan bahwa prasangka baik tidak dapat dilepaskan dari
konteks kekuasaan, ekonomi, dan politik. Kepercayaan yang buta justru dapat
mengukuhkan dominasi dan ketidakadilan struktural.⁹
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
prasangka baik
dapat dirangkum dalam beberapa poin utama:
·
Naivitas
praktis: prasangka baik berisiko dimanfaatkan oleh pihak yang
manipulatif.
·
Skeptisisme
epistemologis: prasangka baik harus diseimbangkan dengan sikap
kritis agar tidak jatuh pada dogma.
·
Kritik
Nietzschean: moralitas belas kasih bisa dianggap sebagai bentuk
kelemahan yang membatasi vitalitas manusia.
·
Realisme
kritis: prasangka baik harus dilengkapi dengan mekanisme
korektif dalam sains maupun kehidupan sosial.
Dengan demikian,
meskipun prasangka baik memiliki peran penting secara etis dan sosial, ia
bukanlah konsep yang tanpa cela. Kritik-kritik ini menegaskan perlunya memahami prasangka baik
secara dialektis—sebagai kekuatan yang bermanfaat bila disertai kehati-hatian,
namun berbahaya bila jatuh pada naivitas atau absolutisasi.
Footnotes
[1]
Russell Hardin, Trust and Trustworthiness (New York: Russell
Sage Foundation, 2002), 56–59.
[2]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 70–72.
[3]
Richard Kearney, Strangers, Gods and Monsters: Interpreting
Otherness (London: Routledge, 2003), 101–103.
[4]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.
[5]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), 36–39.
[6]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J.
Hollingdale (London: Penguin, 1969), 108–112.
[7]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 33–36.
[8]
Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 48–51.
[9]
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in
the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 122–124.
9.
Reinterpretasi dan
Relevansi Kontemporer
9.1.
Prasangka Baik dalam Etika Global
Dalam era
globalisasi, interaksi lintas budaya dan agama semakin intensif. Hal ini
menuntut adanya fondasi etika global yang dapat menopang koeksistensi damai.
Hans Küng dalam Global Responsibility menekankan
perlunya global
ethic yang berpijak pada nilai universal seperti keadilan, tanggung
jawab, dan kepercayaan.¹ Prasangka baik dapat dipandang sebagai salah satu
prinsip kunci dari etika global tersebut.
Dalam konteks
pluralisme agama, prasangka baik berarti mengandaikan bahwa setiap tradisi
memiliki niat untuk mencari kebenaran dan kebaikan, meskipun berbeda dalam
ekspresi.² Sikap ini membuka ruang dialog antaragama yang konstruktif, di mana
lawan dialog tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra dalam
pencarian kebenaran.³
9.2.
Prasangka Baik dalam Dunia Digital dan Media
Sosial
Transformasi digital
membawa tantangan baru bagi konsep prasangka baik. Media sosial mempercepat
arus informasi, tetapi sekaligus memperbesar potensi misinformasi, polarisasi,
dan ujaran kebencian.⁴ Dalam ruang digital, prasangka buruk sering kali lebih
dominan karena interaksi yang anonim dan cepat.
Namun demikian,
prinsip prasangka
baik tetap relevan sebagai etika bermedia. Howard Rheingold menyebut perlunya digital
literacy yang tidak hanya teknis, tetapi juga etis—termasuk
kemampuan untuk memberikan kepercayaan dasar pada sumber informasi sambil tetap
kritis.⁵ Di sini, prasangka baik bukan berarti menerima semua informasi tanpa
verifikasi, tetapi memandang lawan bicara daring sebagai manusia yang layak
diperlakukan dengan hormat, bukan sebagai sekadar akun anonim.⁶
9.3.
Prasangka Baik dalam Pendidikan dan Pembinaan
Karakter
Pendidikan
kontemporer semakin menekankan pentingnya pembentukan karakter, bukan hanya
transfer pengetahuan. Thomas Lickona dalam Educating for Character menekankan bahwa sekolah dan
keluarga perlu menumbuhkan sikap saling percaya, empati, dan kebaikan hati.⁷
Prasangka baik dapat menjadi fondasi pedagogis yang mendorong siswa untuk
menghargai perbedaan dan mengembangkan sikap inklusif.
Dalam konteks pendidikan
multikultural, prasangka baik mengajarkan siswa untuk tidak menilai orang lain
hanya berdasarkan stereotip, tetapi membuka diri pada perbedaan budaya.⁸
Pendidikan semacam ini sejalan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia,
di mana setiap individu dilihat dengan penuh martabat.⁹
9.4.
Tantangan dan Reinterpretasi
Meskipun relevan,
prasangka baik perlu direinterpretasi agar sesuai dengan tantangan kontemporer.
Pertama, prasangka baik tidak boleh jatuh pada naivitas yang buta; ia harus
berjalan seiring dengan kritisisme dan verifikasi.¹⁰ Kedua, prasangka baik
harus ditempatkan dalam kerangka institusional—yakni sebagai nilai yang
didukung oleh hukum, kebijakan, dan norma sosial. Tanpa kerangka tersebut,
prasangka baik hanya menjadi ideal moral yang rapuh.
Dengan
reinterpretasi ini, prasangka baik dapat dipahami sebagai virtue
epistemology sekaligus virtue ethics yang relevan dengan
dunia global, digital, dan multikultural.¹¹
Kesimpulan Sementara
Relevansi
kontemporer prasangka
baik dapat dirangkum dalam tiga poin utama:
·
Dalam
etika global, ia menopang dialog lintas budaya dan agama.
·
Dalam
dunia digital, ia menjadi etika komunikasi untuk melawan
polarisasi dan ujaran kebencian.
·
Dalam
pendidikan, ia membentuk karakter yang inklusif dan empatik.
Dengan demikian,
prasangka baik tidak hanya warisan klasik, tetapi juga prinsip yang perlu direinterpretasi agar tetap
hidup dalam dinamika masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic
(New York: Crossroad, 1991), 22–25.
[2]
Leonard Swidler, Dialogue for Interreligious Understanding:
Strategies for the Transformation of Culture-Shaping Institutions (New
York: Palgrave Macmillan, 2014), 40–43.
[3]
Catherine Cornille, The Im-possibility of Interreligious Dialogue
(New York: Crossroad, 2008), 58–61.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 155–160.
[5]
Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge:
MIT Press, 2012), 72–74.
[6]
danah boyd, It’s Complicated: The Social Lives of Networked Teens
(New Haven: Yale University Press, 2014), 112–115.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991), 45–47.
[8]
James A. Banks, An Introduction to Multicultural Education,
5th ed. (Boston: Pearson, 2014), 65–67.
[9]
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to
Character Education (New York: Teachers College Press, 2002), 88–90.
[10]
Richard Kearney, On Stories (London: Routledge, 2002),
132–134.
[11]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 212–215.
10.
Sintesis dan Refleksi
Filosofis
10.1.
Harmonisasi Perspektif Barat dan Timur
Kajian tentang
prasangka baik menunjukkan bahwa tradisi filsafat Barat dan Timur memiliki
titik temu yang signifikan. Dalam filsafat Barat, prasangka baik diekspresikan
melalui prinsip rasionalitas dialogis (Sokrates), philia (Aristoteles), welas asih
kosmopolitan (Stoa), hingga prinsip interpretasi (principle of charity) dalam
hermeneutika dan filsafat analitik.¹ Sementara itu, dalam tradisi Timur,
prasangka baik termanifestasi dalam bentuk ren (Konfusianisme), wu wei
(Taoisme), mettā
dan karuṇā
(Buddhisme), serta ḥusn al-ẓann (Islam).²
Meskipun berbeda
konteks historis dan kultural, kedua tradisi menekankan bahwa prasangka baik
bukan sekadar strategi sosial, melainkan fondasi moral dan spiritual yang
memungkinkan kehidupan bersama. Hal ini menunjukkan adanya nilai universal yang
melintasi batas geografis dan tradisi.³
10.2.
Antara Etika, Epistemologi, dan Ontologi
Prasangka baik tidak
hanya relevan sebagai kategori etis, tetapi juga epistemologis dan ontologis. Secara etis, ia menuntut
sikap moral berupa empati, keterbukaan, dan penghargaan terhadap sesama.⁴
Secara epistemologis, ia hadir sebagai prasyarat penafsiran, di mana pemahaman
hanya mungkin bila kita mengandaikan rasionalitas dan niat baik lawan bicara
atau teks.⁵ Secara ontologis, seperti ditunjukkan Heidegger dan Levinas,
prasangka baik melekat dalam kondisi eksistensial manusia yang selalu “ada bersama” (Mitsein)
dan bertanggung jawab terhadap yang lain.⁶
Dengan demikian,
prasangka baik memiliki karakter multidimensional yang menghubungkan cara
berpikir, cara hidup, dan cara hadir manusia dalam dunia.
10.3.
Dialektika antara Kepercayaan dan Kritik
Refleksi filosofis
atas prasangka baik juga menuntut dialektika dengan sikap kritis. Kritik
Machiavelli, Nietzsche, dan tradisi hermeneutika kecurigaan (Ricoeur)
menunjukkan bahwa prasangka baik yang absolut dapat berbahaya: ia berisiko
jatuh pada naivitas, manipulasi, atau bahkan menjadi mekanisme ideologis yang
mengekang kebebasan manusia.⁷ Oleh karena itu, prasangka baik harus dipahami
dalam kerangka dialektis, di mana kepercayaan berjalan seiring dengan kehati-hatian, dan
keterbukaan dilengkapi dengan verifikasi kritis.⁸
Dalam pengertian
ini, prasangka baik dapat dilihat sebagai virtue epistemology: ia merupakan
kebajikan intelektual yang melatih manusia untuk tetap terbuka terhadap orang
lain, namun tidak kehilangan nalar kritisnya.⁹
10.4.
Prasangka Baik sebagai Jalan Menuju
Kebijaksanaan
Refleksi terakhir
dapat ditarik bahwa prasangka baik merupakan bagian integral dari filsafat
kebijaksanaan (philosophia sebagai cinta akan
kebijaksanaan). Menjadi bijak berarti mampu melihat kebaikan yang tersembunyi
dalam diri orang lain maupun dalam situasi yang penuh ketidakpastian, tanpa
terjebak dalam ilusi.¹⁰ Kebijaksanaan yang demikian menuntut keseimbangan antara kepercayaan dan kritik,
antara keterbukaan dan kehati-hatian.
Dalam dunia
kontemporer yang ditandai oleh polarisasi, prasangka buruk, dan krisis
kepercayaan, sikap filosofis ini dapat berfungsi sebagai jembatan menuju
kehidupan yang lebih manusiawi, demokratis, dan bermakna.¹¹ Dengan kata lain,
prasangka baik bukan hanya tema akademis, melainkan juga praksis eksistensial
yang menuntun manusia menuju kehidupan yang selaras dengan akal, hati, dan
keberadaannya di dunia.
Kesimpulan Sementara
Bab ini menegaskan bahwa prasangka baik dapat
dipandang sebagai:
1)
Nilai universal yang hadir dalam
tradisi Barat maupun Timur.
2)
Konsep multidimensi yang mencakup
etika, epistemologi, dan ontologi.
3)
Prinsip dialektis yang harus
seimbang antara keterbukaan dan kritisisme.
4)
Jalan menuju kebijaksanaan yang
relevan dengan tantangan kontemporer.
Dengan demikian,
sintesis filosofis tentang prasangka baik memperlihatkan bahwa ia bukan hanya
sikap moral, melainkan juga horizon eksistensial dan intelektual yang mendasari hubungan manusia dengan
sesama, dengan pengetahuan, dan dengan realitas itu sendiri.
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 42–45; Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London:
Bloomsbury, 2013), 295–300.
[2]
Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland
(Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22; Laozi, Dao De Jing, trans. D.C.
Lau (London: Penguin, 1963), ch. 25; Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold
Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society,
1984), 86–90; Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.
[3]
Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early
Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 68–70.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.
[5]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–28.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 163–168; Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh:
Duquesne University Press, 1969), 194–201.
[7]
Niccolò Machiavelli, The Prince, trans. Harvey C. Mansfield
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 70–72; Friedrich Nietzsche, On
the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989),
36–39; Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 33–36.
[9]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 212–215.
[10]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I. Davidson,
trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 81–85.
[11]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 155–160.
11.
Penutup
11.1.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai
prasangka baik dalam filsafat menunjukkan bahwa konsep ini memiliki dimensi
yang sangat luas—etis, epistemologis, ontologis, dan sosial. Sejak filsafat
klasik, prasangka baik telah hadir dalam keyakinan Sokrates pada rasionalitas
dialogis, konsep philia Aristoteles, serta kosmopolitanisme
Stoa.¹ Pada era modern, ia berkembang dalam bentuk kepercayaan pada rasio (Descartes, Spinoza),
pengakuan akan keterbatasan pengalaman (Hume), hingga etika kewajiban Kant.²
Dalam filsafat
kontemporer, prasangka baik memperoleh elaborasi lebih lanjut: fenomenologi
menekankan keterbukaan terhadap fenomena (Husserl, Heidegger), eksistensialisme
menggarisbawahi tanggung jawab etis terhadap wajah orang lain (Levinas),
filsafat analitik menekankan prinsip interpretasi (Quine, Davidson), dan hermeneutika
filosofis menempatkan prasangka baik sebagai syarat dialog (Gadamer, Ricoeur).³
Tradisi Timur pun memperlihatkan paralel yang kaya, mulai dari ren
Konfusianisme, wu wei Taoisme, mettā
Buddhisme, hingga ḥusn al-ẓann dalam Islam.⁴
11.2.
Implikasi Praktis
Relevansi prasangka
baik dalam dunia kontemporer sangat signifikan. Dalam ranah sosial-politik, ia
menjadi modal sosial yang memungkinkan masyarakat modern berfungsi secara
stabil (Luhmann, Giddens).⁵ Dalam politik demokratis, prasangka baik adalah syarat deliberasi yang sehat
(Habermas, Rawls).⁶ Dalam pendidikan, ia menjadi fondasi pembentukan karakter
yang inklusif (Lickona, Banks).⁷ Bahkan dalam dunia digital, prasangka baik
dibutuhkan untuk melawan polarisasi dan ujaran kebencian, meskipun tetap harus
berjalan seiring dengan literasi kritis.⁸
Dengan demikian,
prasangka baik tidak hanya bernilai teoretis, tetapi juga praktis: ia dapat
membentuk masyarakat yang lebih adil, toleran, dan beradab.
11.3.
Arah Penelitian Lanjutan
Meskipun artikel ini
telah menyoroti berbagai dimensi prasangka baik, masih terdapat ruang untuk
pengembangan. Pertama, kajian interdisipliner antara filsafat, psikologi moral,
dan ilmu kognitif perlu diperluas untuk memahami bagaimana prasangka baik
terbentuk dalam otak dan perilaku sosial manusia. Kedua, dalam era kecerdasan
buatan, penting untuk meneliti bagaimana prinsip prasangka baik dapat
diintegrasikan dalam desain etika teknologi, misalnya dalam algoritme media
sosial atau sistem pengambilan
keputusan berbasis AI.⁹ Ketiga, penelitian lanjutan dapat mengeksplorasi
bagaimana prasangka baik dapat menjadi strategi resolusi konflik dalam
masyarakat multikultural dan pascakolonial.
11.4.
Refleksi Akhir
Prasangka baik, bila
dipahami secara dialektis, bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang memungkinkan
manusia membangun pemahaman, kerjasama, dan perdamaian. Ia menuntut
keseimbangan: antara keterbukaan dan kritisisme, antara empati dan
kehati-hatian. Pada akhirnya, prasangka baik merupakan ekspresi filsafat
sebagai philosophia—cinta
kebijaksanaan—yang menuntun manusia untuk hidup tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi juga
dengan hati yang terbuka.¹⁰
Footnotes
[1]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 42–45; Aristotle, Nicomachean
Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155a–1156a.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–23; David Hume, An
Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 60–65; Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 4:397–403.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 59–64; Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on
Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University
Press, 1969), 194–201; Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica
27, no. 3–4 (1973): 313–28; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013),
271–280.
[4]
Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland
(Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22; Laozi, Dao De Jing, trans. D.C.
Lau (London: Penguin, 1963), ch. 25; Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold
Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication Society,
1984), 86–90; Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 125–130.
[5]
Niklas Luhmann, Trust and Power, trans. Howard Davis et al.
(Chichester: Wiley, 1979), 4–7; Anthony Giddens, The Consequences of
Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 80–83.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason
and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon
Press, 1984), 86–88; John Rawls, Political Liberalism (New York:
Columbia University Press, 1993), 48–54.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991), 45–47; James A.
Banks, An Introduction to Multicultural Education, 5th ed. (Boston:
Pearson, 2014), 65–67.
[8]
Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge:
MIT Press, 2012), 72–74.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 122–125.
[10]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, ed. Arnold I.
Davidson, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 81–85.
Daftar
Pustaka
Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s
Republic. Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Indianapolis: Hackett.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Banks, J. A. (2014). An introduction to
multicultural education (5th ed.). Boston: Pearson.
Bhikkhu, B. (1984). The noble eightfold path: Way
to the end of suffering. Kandy: Buddhist Publication Society.
Bloom, P. (2013). Just babies: The origins of good
and evil. New York: Crown.
Bodhi, B. (2013). An introduction to Buddhism:
Teachings, history and practices (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University
Press.
boyd, d. (2014). It’s complicated: The social lives
of networked teens. New Haven: Yale University Press.
Chan, A. (1991). Two visions of the way: A study of
the Wang Pi and the Ho-shang Kung commentaries on the Laozi. Albany: SUNY
Press.
Confucius. (2003). The analects (E.
Slingerland, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Cornille, C. (2008). The im-possibility of
interreligious dialogue. New York: Crossroad.
Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica,
27(3–4), 313–328.
Davidson, D. (1973–1974). On the very idea of a
conceptual scheme. Proceedings and Addresses of the American Philosophical
Association, 47, 5–20.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. Cambridge: MIT Press.
Fingarette, H. (1998). Confucius: The secular as
sacred. Long Grove: Waveland Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury.
Garrett, D. (1997). Cognition and commitment in
Hume’s philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Giddens, A. (1990). The consequences of modernity.
Stanford: Stanford University Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity:
Self and society in the late modern age. Stanford: Stanford University
Press.
Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical
hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life
(A. I. Davidson, Ed.; M. Chase, Trans.). Oxford: Blackwell.
Hadot, P. (1998). The inner citadel: The
Meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Cambridge: Harvard
University Press.
Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good
people are divided by politics and religion. New York: Pantheon.
Hardin, R. (2002). Trust and trustworthiness.
New York: Russell Sage Foundation.
Harvey, P. (2013). An introduction to Buddhism: Teachings,
history and practices (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague: Martinus Nijhoff.
Inwood, B. (Ed.). (2003). The Cambridge companion
to the Stoics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of
morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kearney, R. (2002). On stories. London:
Routledge.
Kearney, R. (2003). Strangers, gods and monsters:
Interpreting otherness. London: Routledge.
Kraus, R. (1989). Aristotle on the human good.
Princeton: Princeton University Press.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In search
of a new world ethic. New York: Crossroad.
Laozi. (1963). Dao De Jing (D. C. Lau, Trans.).
London: Penguin.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay
on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How
our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers. Cambridge: Cambridge University Press.
Luhmann, N. (1979). Trust and power (H. Davis,
J. Raffan, & K. Rooney, Trans.). Chichester: Wiley.
Machiavelli, N. (1998). The prince (H. C.
Mansfield, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Marcel, G. (2001). The mystery of being (G. S.
Fraser, Trans.). South Bend: St. Augustine’s Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays,
Trans.). New York: Modern Library.
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
London: Routledge.
Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nails, D. (2002). The people of Plato: A
prosopography of Plato and other Socratics. Indianapolis: Hackett.
Nietzsche, F. (1969). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). London: Penguin.
Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
Noddings, N. (2002). Educating moral people: A
caring alternative to character education. New York: Teachers College Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The
intelligence of emotions. Cambridge: Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2001). The fragility of goodness:
Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University
Press.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation
theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston:
Northwestern University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Indianapolis: Hackett.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Rawls, J. (1993). Political liberalism. New
York: Columbia University Press.
Rheingold, H. (2012). Net smart: How to thrive
online. Cambridge: MIT Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay
on interpretation (D. Savage, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human
sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam.
Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism and other writings (A. Bowie, Ed. & Trans.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.).
London: Penguin.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton: Princeton University
Press.
Swidler, L. (2014). Dialogue for interreligious
understanding: Strategies for the transformation of culture-shaping institutions.
New York: Palgrave Macmillan.
Taylor, C. C. W. (1998). Socrates: A very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Tomasello, M. (2016). A natural history of human
morality. Cambridge: Harvard University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. New York: Basic Books.
Van Norden, B. W. (2007). Virtue ethics and
consequentialism in early Chinese philosophy. Cambridge: Cambridge
University Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral
philosopher. Ithaca: Cornell University Press.
Watson, B. (Trans.). (2003). Zhuangzi: Basic
writings. New York: Columbia University Press.
Williams, R. (1983). Keywords: A vocabulary of
culture and society. New York: Oxford University Press.
Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought.
Cambridge: Cambridge University Press.
Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An
inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge.
Cambridge: Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar