Jumat, 03 Oktober 2025

FISKAL: Konsep, Sejarah, Instrumen, dan Relevansi dalam Perekonomian Kontemporer

FISKAL

Konsep, Sejarah, Instrumen, dan Relevansi dalam Perekonomian Kontemporer


Alihkan ke: Sistem Moneter dan Fiskal.

Uang, Sistem Moneter, IHSG.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep, sejarah, teori, instrumen, fungsi, implementasi, hingga relevansi kontemporer dari kebijakan fiskal dalam perspektif nasional maupun global. Kajian dimulai dengan menelusuri akar konseptual fiskal sebagai instrumen pengelolaan keuangan publik, perbedaannya dengan moneter, serta keterkaitannya dengan politik, hukum, dan pembangunan. Secara historis, perkembangan fiskal dianalisis sejak pemikiran klasik (Adam Smith, David Ricardo) hingga teori modern (Keynesian, Monetaris, Neoklasik, New Keynesian), termasuk kontribusi perspektif Islam dan kearifan lokal.

Artikel ini juga membahas instrumen utama fiskal seperti pajak, belanja negara, subsidi, utang publik, dan transfer ke daerah, serta fungsi-fungsinya (alokasi, distribusi, stabilisasi, pembangunan, dan regulasi). Implementasi fiskal di Indonesia dianalisis dalam konteks reformasi, desentralisasi, serta peran APBN dan APBD dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, dibahas pula dinamika fiskal dalam perspektif global, termasuk peran lembaga internasional (IMF, World Bank, WTO), fenomena tax competition, serta tantangan negara berkembang menghadapi globalisasi.

Kritik terhadap sistem fiskal meliputi isu keadilan pajak, ketergantungan pada utang publik, praktik korupsi, serta lemahnya dimensi etika dan distribusi. Pada bagian refleksi filosofis, fiskal dipandang sebagai cermin relasi negara–masyarakat, instrumen keadilan sosial, sekaligus ruang dialektika antara politik, ekonomi, dan moralitas. Kesimpulannya, fiskal bukan sekadar instrumen teknokratis, melainkan perangkat multidimensional yang berfungsi untuk menjaga stabilitas ekonomi, mewujudkan pemerataan, dan mencapai kesejahteraan bersama sesuai amanat konstitusi dan nilai-nilai keadilan universal.

Kata Kunci: Fiskal; Pajak; Belanja Negara; Utang Publik; Keadilan Sosial; Kebijakan Ekonomi; Globalisasi; Indonesia.


PEMBAHASAN

Konsep, Sejarah, Teori, Instrumen, Fungsi, Implementasi, hingga Relevansi Kontemporer dari Kebijakan Fiskal


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Fiskal merupakan salah satu instrumen fundamental dalam mengelola perekonomian sebuah negara. Dalam konteks ilmu ekonomi, kebijakan fiskal dipahami sebagai strategi pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran negara guna mencapai tujuan pembangunan, stabilitas ekonomi, dan kesejahteraan sosial.¹ Dengan demikian, fiskal tidak hanya berfungsi sebagai instrumen teknokratis, tetapi juga sarat dengan dimensi politik, hukum, dan sosial.

Sejarah menunjukkan bahwa sejak era merkantilisme hingga ekonomi modern, perdebatan mengenai peran fiskal selalu hadir dalam dinamika pemikiran ekonomi. Adam Smith menekankan pentingnya pungutan pajak yang adil dan proporsional dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan mendukung pembiayaan negara.² Sementara itu, teori Keynes menekankan fungsi fiskal sebagai alat untuk mengendalikan siklus ekonomi melalui intervensi pemerintah pada saat terjadi resesi maupun inflasi.³ Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal menjadi instrumen vital dalam menopang pembangunan, terutama pasca krisis ekonomi 1997/1998 dan pandemi COVID-19.

Lebih jauh, fiskal juga memiliki peran signifikan dalam mewujudkan keadilan sosial. Pajak, belanja negara, dan transfer fiskal dapat dijadikan instrumen redistribusi pendapatan untuk mengurangi kesenjangan antara kelompok masyarakat.⁴ Dengan demikian, pembahasan mengenai fiskal tidak dapat dilepaskan dari dimensi filosofis dan etis yang menempatkannya sebagai instrumen pemerataan, bukan semata-mata pengelolaan teknis keuangan negara.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat sejumlah persoalan utama yang perlu dikaji dalam artikel ini:

1)                  Apa konsep dasar fiskal serta perbedaannya dengan instrumen ekonomi lainnya?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan pemikiran fiskal, baik dalam perspektif global maupun di Indonesia?

3)                  Apa saja teori, fungsi, dan instrumen yang membentuk kerangka kebijakan fiskal?

4)                  Bagaimana implementasi fiskal dalam konteks nasional dan global, serta tantangan yang dihadapi?

5)                  Bagaimana kritik filosofis, etis, dan praktis terhadap sistem fiskal yang berlaku?

6)                  Apa relevansi kebijakan fiskal dalam menjawab persoalan kontemporer, termasuk isu krisis ekonomi, lingkungan, dan ketimpangan sosial?

1.3.       Tujuan dan Manfaat Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

·                     Menguraikan konsep, teori, dan sejarah perkembangan fiskal.

·                     Menganalisis instrumen dan fungsi fiskal dalam kerangka ekonomi nasional dan global.

·                     Mengkritisi kebijakan fiskal dari sudut pandang keadilan sosial, etika, dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer.

·                     Memberikan refleksi filosofis mengenai posisi fiskal sebagai instrumen kesejahteraan dan pembangunan.

Manfaat kajian ini bersifat ganda. Secara akademis, artikel ini diharapkan dapat memperkaya literatur mengenai fiskal dengan perspektif interdisipliner yang menggabungkan analisis ekonomi, politik, hukum, dan filsafat. Secara praktis, artikel ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan fiskal yang lebih adil, transparan, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur. Sumber data berasal dari buku, artikel jurnal ilmiah, dokumen resmi pemerintah (seperti APBN/APBD), serta laporan lembaga internasional (IMF, World Bank, OECD). Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis, dengan menekankan pada keterkaitan historis, teoritis, dan filosofis.


Footnotes

[1]                Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 3.

[2]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.

[3]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 378.

[4]                Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 3rd ed. (New York: W.W. Norton, 2000), 95.


2.           Konsep Dasar Fiskal

2.1.       Definisi Fiskal dalam Perspektif Ekonomi dan Kebijakan Publik

Secara terminologis, istilah fiscal berasal dari bahasa Latin fiscus, yang berarti keranjang atau tempat penyimpanan uang negara.¹ Dalam perkembangan modern, fiskal dipahami sebagai keseluruhan kebijakan pemerintah yang menyangkut penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure) negara, dengan tujuan mengatur perekonomian serta memenuhi kebutuhan masyarakat.²

Richard A. Musgrave, salah satu tokoh utama dalam teori keuangan publik, menekankan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya menyangkut pengelolaan keuangan negara secara teknis, melainkan juga instrumen kebijakan publik untuk mencapai stabilitas ekonomi, distribusi kesejahteraan, dan pertumbuhan.³ Oleh karena itu, konsep fiskal memiliki makna yang multidimensional—melibatkan aspek ekonomi, politik, hukum, dan etika.

2.2.       Perbedaan Fiskal dengan Moneter

Kebijakan fiskal sering kali disandingkan dengan kebijakan moneter sebagai dua instrumen utama dalam mengelola makroekonomi. Fiskal berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, sementara moneter menyangkut pengaturan jumlah uang beredar, suku bunga, dan stabilitas nilai mata uang yang menjadi kewenangan bank sentral.⁴

Perbedaan mendasar terletak pada pelaku kebijakan: fiskal dijalankan oleh pemerintah (eksekutif dan legislatif), sedangkan moneter dilaksanakan oleh otoritas moneter independen (bank sentral).⁵ Namun, keduanya memiliki keterkaitan erat. Misalnya, defisit fiskal yang tinggi dapat memicu inflasi jika pembiayaannya dilakukan melalui pencetakan uang baru, sehingga menuntut koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter.⁶

2.3.       Hubungan Fiskal dengan Politik, Hukum, dan Pembangunan Nasional

Fiskal tidak hanya sekadar urusan teknis ekonomi, tetapi juga merupakan keputusan politik yang mencerminkan prioritas negara. Besarnya alokasi anggaran untuk sektor tertentu—misalnya pendidikan, kesehatan, atau pertahanan—menunjukkan orientasi politik pemerintah.⁷ Dengan demikian, fiskal menjadi medium perwujudan kontrak sosial antara negara dan rakyat.

Dari sisi hukum, kebijakan fiskal dituangkan dalam undang-undang, seperti Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Indonesia, yang harus mendapat persetujuan legislatif. Hal ini menunjukkan adanya prinsip akuntabilitas dan legitimasi hukum dalam pelaksanaan fiskal.⁸

Sementara itu, dalam konteks pembangunan nasional, fiskal berfungsi sebagai instrumen strategis untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang. Belanja negara dapat diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbaiki infrastruktur, mengurangi pengangguran, dan menurunkan ketimpangan sosial.⁹ Dengan demikian, fiskal berperan sebagai jembatan antara teori ekonomi, kebijakan politik, dan keadilan sosial.

2.4.       Fiskal sebagai Instrumen Stabilitas dan Distribusi

Selain sebagai instrumen pembangunan, fiskal juga berfungsi menjaga stabilitas perekonomian. Melalui mekanisme automatic stabilizer seperti pajak progresif dan tunjangan sosial, pemerintah dapat meredam fluktuasi ekonomi tanpa perlu mengubah kebijakan secara langsung.¹⁰

Di sisi lain, fungsi distribusi fiskal terwujud dalam upaya pemerataan pendapatan melalui pajak dan belanja sosial. Pajak progresif memastikan bahwa kelompok berpendapatan tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pembiayaan negara, sementara belanja publik dialokasikan untuk kelompok rentan.¹¹ Dengan demikian, fiskal berfungsi tidak hanya menjaga stabilitas makroekonomi, tetapi juga memastikan tercapainya keadilan sosial sebagai bagian dari tujuan bernegara.


Footnotes

[1]                Jürgen Backhaus, Handbook of Public Finance (Boston: Springer, 2005), 15.

[2]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 4.

[3]                Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 7.

[4]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 9th ed. (New York: Worth Publishers, 2016), 467.

[5]                Frederic S. Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2018), 345.

[6]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed. (Boston: Pearson, 2017), 512.

[7]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality (New York: W.W. Norton, 2012), 91.

[8]                Bagir Manan, Hukum Keuangan Negara (Jakarta: FH UII Press, 2005), 22.

[9]                Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 301.

[10]             Alan J. Auerbach and Daniel Feenberg, “The Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic Perspectives 14, no. 3 (2000): 37–56.

[11]             Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 120.


3.           Sejarah Perkembangan Fiskal

3.1.       Asal-usul Pemikiran Fiskal dalam Tradisi Ekonomi Klasik

Pemikiran mengenai fiskal dapat ditelusuri sejak zaman klasik, ketika negara mulai berperan dalam pengumpulan pajak dan alokasi sumber daya publik. Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) menekankan empat prinsip perpajakan yang ideal: kesetaraan, kepastian, kemudahan, dan efisiensi.¹ Prinsip ini menjadi dasar bagi pemikiran fiskal modern, yang menekankan keadilan dalam pungutan negara dan efisiensi dalam pengeluaran publik.

David Ricardo dan ekonom klasik lainnya menyoroti beban pajak terhadap distribusi pendapatan dan akumulasi modal.² Bagi mereka, fiskal merupakan instrumen penting namun rawan menimbulkan distorsi bila tidak dikelola dengan hati-hati. Pemikiran klasik ini meletakkan fondasi awal bagi teori keuangan publik yang kemudian berkembang di abad-abad berikutnya.

3.2.       Evolusi Kebijakan Fiskal di Dunia

Pada abad ke-19, aliran ekonomi laissez-faire cenderung menolak intervensi negara, termasuk melalui kebijakan fiskal.³ Namun, krisis ekonomi global tahun 1929-1933 (Great Depression) menunjukkan kelemahan paradigma tersebut. John Maynard Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal aktif diperlukan untuk mengatasi pengangguran massal dan deflasi.⁴

Sejak itu, teori Keynesian mendominasi praktik ekonomi di banyak negara, khususnya pasca Perang Dunia II. Pemerintah menggunakan belanja publik sebagai instrumen untuk menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas ekonomi.⁵ Namun, pada dekade 1970-an, muncul kritik dari kaum monetaris yang dipelopori Milton Friedman. Mereka berargumen bahwa kebijakan fiskal kurang efektif dalam jangka panjang, sementara stabilitas moneter lebih penting untuk mengendalikan inflasi.⁶

Perdebatan antara Keynesian dan monetaris melahirkan pendekatan New Classical dan New Keynesian, yang mengakui pentingnya koordinasi fiskal dan moneter.⁷ Hingga kini, teori-teori tersebut tetap menjadi acuan utama dalam perumusan kebijakan ekonomi di berbagai negara.

3.3.       Sejarah Fiskal di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, sejarah fiskal memiliki dinamika yang khas. Pada masa kolonial, kebijakan fiskal lebih banyak berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan penarikan pajak untuk kepentingan pemerintah Belanda.⁸ Sistem pajak tanah (landrent) dan cultuurstelsel adalah contoh nyata bagaimana fiskal digunakan sebagai instrumen kolonialisme.

Pasca kemerdekaan (1945), pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem fiskal nasional. Periode awal ditandai dengan keterbatasan penerimaan negara dan ketergantungan pada ekspor komoditas primer.⁹ Pada masa Orde Lama (1950–1965), fiskal kerap digunakan untuk membiayai proyek politik besar, sehingga menimbulkan inflasi tinggi akibat defisit yang ditutup dengan pencetakan uang.¹⁰

Memasuki era Orde Baru (1966–1998), kebijakan fiskal difokuskan pada stabilisasi ekonomi, didukung oleh bantuan internasional serta peningkatan penerimaan dari minyak bumi.¹¹ Namun, krisis moneter Asia tahun 1997/1998 menghantam perekonomian Indonesia dan menimbulkan beban fiskal berat akibat utang luar negeri dan pelemahan rupiah.¹²

Era Reformasi membawa perubahan signifikan dengan lahirnya kebijakan desentralisasi fiskal melalui otonomi daerah (1999).¹³ Transfer fiskal dari pusat ke daerah menjadi instrumen penting dalam mendukung pembangunan lokal. Di abad ke-21, fiskal Indonesia terus bertransformasi untuk menghadapi tantangan global, termasuk krisis finansial 2008 dan pandemi COVID-19, yang memaksa pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif guna menjaga daya beli dan mendorong pemulihan ekonomi.¹⁴

3.4.       Pengaruh Globalisasi terhadap Kebijakan Fiskal Nasional

Globalisasi ekonomi telah mengubah wajah fiskal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mobilitas modal yang tinggi membuat negara harus menyesuaikan kebijakan pajak agar tetap kompetitif, tanpa mengorbankan penerimaan negara.¹⁵ Selain itu, integrasi ekonomi global melalui lembaga seperti WTO, IMF, dan World Bank mendorong harmonisasi fiskal sekaligus membatasi ruang kebijakan domestik.

Di sisi lain, globalisasi membuka peluang kerja sama fiskal internasional, misalnya dalam memerangi penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengalihan keuntungan (profit shifting) oleh perusahaan multinasional.¹⁶ Tantangan ini menuntut pemerintah untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan tuntutan global, sehingga kebijakan fiskal tetap adaptif dalam menghadapi dinamika dunia yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.

[2]                David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation (London: John Murray, 1817), 201.

[3]                Robert Ekelund and Robert Hébert, A History of Economic Theory and Method, 6th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2014), 223.

[4]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 378.

[5]                Alan S. Blinder, Keynesian Economics (Oxford: Oxford University Press, 2008), 56.

[6]                Milton Friedman, A Monetary History of the United States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University Press, 1963), 52.

[7]                N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 9th ed. (New York: Worth Publishers, 2016), 498.

[8]                Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries (London: Macmillan, 1998), 67.

[9]                Howard Dick et al., The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800–2000 (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2002), 213.

[10]             Thee Kian Wie, Indonesia’s Economy since Independence (Singapore: ISEAS, 2012), 102.

[11]             Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 303.

[12]             Wing Thye Woo, “The Asian Financial Crisis: Lessons for Other Emerging Markets,” in Brookings Papers on Economic Activity 2 (2000): 1–90.

[13]             M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized Indonesia,” in Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002): 319–34.

[14]             Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.

[15]             Vito Tanzi, Globalization and the Future of Social Protection (Washington, DC: IMF, 2000), 22.

[16]             OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting (Paris: OECD Publishing, 2013), 11.


4.           Teori-teori Fiskal

4.1.       Teori Fiskal Klasik

Pemikiran fiskal klasik sangat dipengaruhi oleh gagasan Adam Smith, David Ricardo, dan John Stuart Mill. Adam Smith menekankan empat asas perpajakan (canons of taxation): kesetaraan, kepastian, kemudahan, dan efisiensi.¹ Prinsip ini membentuk dasar moral dan praktis dalam pungutan pajak, dengan tujuan agar kebijakan fiskal tidak memberatkan rakyat dan tetap mendukung pembangunan ekonomi.

Ricardo kemudian menambahkan dimensi distribusi, dengan menekankan bahwa pajak dapat memengaruhi alokasi sumber daya dan akumulasi modal.² Dalam pandangan klasik, peran negara dalam fiskal bersifat minimalis, sebatas menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan membiayai infrastruktur publik.³ Pandangan ini selaras dengan semangat laissez-faire, di mana pasar diyakini mampu mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi berlebihan dari negara.

4.2.       Teori Keynesian dan Pasca-Keynesian

Perubahan besar terjadi pada abad ke-20 ketika John Maynard Keynes memperkenalkan gagasan bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan secara otomatis. Dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936), Keynes berargumen bahwa kebijakan fiskal aktif diperlukan untuk mengatasi pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi.⁴

Melalui belanja publik (government expenditure) dan kebijakan pajak, pemerintah dapat merangsang permintaan agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.⁵ Teori ini melahirkan era demand management policy, di mana defisit anggaran dianggap sah selama dapat memulihkan ekonomi.

Pasca-Keynesian kemudian mengembangkan gagasan Keynes dengan lebih menekankan pada peran distribusi pendapatan, inflasi biaya (cost-push inflation), dan pentingnya kebijakan fiskal jangka panjang.⁶ Mereka juga mengkritik pandangan neoklasik yang terlalu menekankan keseimbangan pasar tanpa melihat realitas ketidakpastian dan ketidaksempurnaan struktur ekonomi.

4.3.       Teori Fiskal Modern

Teori fiskal modern lahir dari perdebatan antara monetaris, neoklasik, dan aliran baru Keynesian. Kaum monetaris, yang dipelopori Milton Friedman, berargumen bahwa kebijakan moneter lebih efektif daripada fiskal dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama dalam mengendalikan inflasi.⁷

Di sisi lain, teori neoklasik menekankan bahwa defisit fiskal yang dibiayai melalui utang akan membebani generasi mendatang dan mengurangi tabungan nasional. Hal ini dikenal sebagai Ricardian Equivalence Hypothesis yang diperkenalkan oleh Robert Barro, yang menyatakan bahwa masyarakat akan menyesuaikan konsumsi mereka karena menyadari adanya kewajiban pajak di masa depan akibat utang publik.⁸

Sementara itu, aliran New Keynesian berusaha menjembatani kedua pandangan tersebut. Mereka mengakui pentingnya intervensi fiskal, tetapi dalam kerangka koordinasi dengan kebijakan moneter.⁹ Dalam konteks modern, teori fiskal tidak lagi berdiri sendiri, melainkan harus dikaji bersama-sama dengan dinamika globalisasi, mobilitas modal internasional, dan tantangan digitalisasi.

4.4.       Perspektif Islam dan Kearifan Lokal dalam Fiskal

Selain teori ekonomi Barat, terdapat pula perspektif Islam yang memberikan dasar filosofis bagi fiskal. Dalam ekonomi Islam, fiskal tidak hanya sekadar instrumen teknis, melainkan sarana untuk mencapai keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Instrumen seperti zakat, kharaj, jizyah, dan wakaf memiliki fungsi serupa dengan kebijakan fiskal modern, namun berlandaskan pada prinsip syariah.¹⁰

Para pemikir Islam klasik seperti Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menekankan bahwa pungutan negara harus adil, proporsional, dan tidak membebani rakyat kecil.¹¹ Dalam konteks kontemporer, konsep fiskal Islam dianggap relevan dalam membangun sistem keuangan publik yang lebih etis, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Selain itu, di Indonesia, kearifan lokal juga berpengaruh pada praktik fiskal, misalnya tradisi gotong royong dan swadaya masyarakat yang menjadi bentuk distribusi sumber daya di luar mekanisme formal negara.¹² Hal ini menunjukkan bahwa teori fiskal tidak hanya bersumber dari tradisi Barat, tetapi juga memiliki akar kuat dalam tradisi keagamaan dan budaya lokal.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.

[2]                David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation (London: John Murray, 1817), 203.

[3]                John Stuart Mill, Principles of Political Economy (London: Longmans, Green and Co., 1848), 756.

[4]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 383.

[5]                Alan S. Blinder, Keynesian Economics (Oxford: Oxford University Press, 2008), 61.

[6]                Paul Davidson, Post Keynesian Macroeconomic Theory, 2nd ed. (Cheltenham: Edward Elgar, 2011), 49.

[7]                Milton Friedman, A Monetary History of the United States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University Press, 1963), 75.

[8]                Robert J. Barro, “Are Government Bonds Net Wealth?” Journal of Political Economy 82, no. 6 (1974): 1095–1117.

[9]                N. Gregory Mankiw and David Romer, eds., New Keynesian Economics (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 112.

[10]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 211.

[11]             Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, ed. Ihsan Abbas (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 45.

[12]             Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1963), 98.


5.           Instrumen Fiskal

5.1.       Kebijakan Pajak (Tax Policy)

Pajak merupakan instrumen fiskal utama yang menjadi sumber penerimaan negara. Dalam teori keuangan publik, pajak dipahami sebagai kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara tanpa imbalan langsung, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.¹ Pajak memiliki peran ganda: sebagai sumber penerimaan dan sebagai instrumen regulasi untuk memengaruhi perilaku ekonomi.

Terdapat berbagai jenis pajak, seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, serta bea cukai.² Dalam konteks keadilan fiskal, sistem pajak progresif dianggap ideal karena mampu mendistribusikan beban lebih besar kepada kelompok berpenghasilan tinggi.³ Namun, implementasinya kerap menghadapi tantangan berupa penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion).

5.2.       Belanja Negara (Government Expenditure)

Selain penerimaan, pengeluaran negara juga menjadi pilar utama kebijakan fiskal. Belanja negara dapat dikategorikan menjadi belanja rutin (operasional pemerintahan) dan belanja pembangunan (investasi jangka panjang).⁴

Teori ekonomi publik menekankan pentingnya efektivitas dan efisiensi dalam belanja negara. Alokasi anggaran yang tepat pada sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.⁵ Di Indonesia, belanja negara dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang setiap tahun disahkan melalui undang-undang.

5.3.       Subsidi dan Insentif

Subsidi merupakan bentuk belanja fiskal yang diberikan pemerintah untuk menurunkan harga barang atau jasa tertentu agar tetap terjangkau masyarakat. Contoh klasik adalah subsidi energi, pangan, dan pupuk.⁶ Meskipun memiliki manfaat sosial, subsidi sering menuai kritik karena dianggap membebani APBN dan tidak selalu tepat sasaran.

Sebagai alternatif, pemerintah juga memberikan insentif fiskal, seperti keringanan pajak atau pembebasan bea masuk, untuk merangsang investasi dan pertumbuhan sektor strategis.⁷ Instrumen ini banyak digunakan dalam konteks pembangunan industri nasional dan menarik investasi asing.

5.4.       Defisit, Surplus, dan Utang Publik

Ketika pengeluaran negara lebih besar dari penerimaan, timbul defisit anggaran yang biasanya dibiayai melalui utang publik, baik domestik maupun luar negeri.⁸ Utang publik pada dasarnya adalah instrumen fiskal yang sah, selama digunakan untuk membiayai investasi produktif dan dikelola secara berkelanjutan.

Sebaliknya, apabila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, negara mengalami surplus. Namun, dalam praktik modern, defisit lebih umum terjadi karena kebutuhan pembangunan dan belanja sosial yang meningkat.⁹ Tantangan terbesar adalah menjaga agar utang tidak menimbulkan beban berlebihan bagi generasi mendatang.

5.5.       Transfer Fiskal dan Dana Perimbangan

Dalam sistem negara kesatuan dengan otonomi daerah seperti Indonesia, transfer fiskal dari pemerintah pusat ke daerah menjadi instrumen penting. Skema ini diwujudkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.¹⁰

Tujuan transfer fiskal adalah menciptakan pemerataan pembangunan antarwilayah serta memperkuat kapasitas fiskal daerah.¹¹ Dengan demikian, kebijakan fiskal tidak hanya berorientasi pada skala nasional, tetapi juga memperhatikan keadilan antarwilayah sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 210.

[2]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 126.

[3]                Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 118.

[4]                Alan Peacock and Jack Wiseman, The Growth of Public Expenditure in the United Kingdom (Princeton: Princeton University Press, 1961), 44.

[5]                Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 78.

[6]                Vito Tanzi and Ludger Schuknecht, Public Spending in the 20th Century: A Global Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 150.

[7]                James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston: Cengage, 2014), 266.

[8]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed. (Boston: Pearson, 2017), 512.

[9]                Robert J. Barro, Macroeconomics: A Modern Approach (Mason, OH: South-Western Cengage, 2008), 203.

[10]             M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized Indonesia,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002): 319–34.

[11]             Bambang Brodjonegoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Evaluasi dan Prospek (Jakarta: LP3ES, 2003), 67.


6.           Fungsi Fiskal

6.1.       Fungsi Alokasi (Allocation Function)

Fungsi alokasi fiskal berhubungan dengan peran negara dalam menyediakan barang dan jasa publik yang tidak dapat disediakan secara memadai oleh mekanisme pasar.¹ Barang publik seperti pertahanan, infrastruktur, pendidikan dasar, dan pelayanan kesehatan merupakan contoh kebutuhan yang harus didanai melalui pengeluaran negara.

Richard Musgrave menekankan bahwa fungsi alokasi fiskal bertujuan mengatasi kegagalan pasar (market failure) yang timbul akibat sifat barang publik yang non-rivalrous dan non-excludable.² Dengan demikian, belanja negara diarahkan untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

6.2.       Fungsi Distribusi (Distribution Function)

Fungsi distribusi bertujuan mewujudkan keadilan sosial melalui redistribusi pendapatan.³ Pajak progresif dan belanja sosial adalah instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.

Joseph Stiglitz berargumen bahwa tanpa kebijakan distribusi yang memadai, sistem ekonomi pasar cenderung memperlebar jurang ketimpangan.⁴ Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus mempertimbangkan dimensi etika dan keadilan, bukan hanya efisiensi ekonomi. Dalam konteks Indonesia, program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan bentuk konkret dari fungsi distribusi fiskal.

6.3.       Fungsi Stabilisasi (Stabilization Function)

Fungsi stabilisasi menjadikan fiskal sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya dalam menghadapi fluktuasi siklus bisnis. Keynes menegaskan bahwa pemerintah dapat menggunakan belanja publik dan pajak untuk menstabilkan perekonomian pada saat resesi maupun inflasi.⁵

Instrumen seperti automatic stabilizers—misalnya pajak progresif yang menurun saat resesi atau program tunjangan sosial—secara otomatis meredam guncangan ekonomi.⁶ Di Indonesia, kebijakan fiskal ekspansif terbukti memainkan peran penting dalam menghadapi krisis finansial global 2008 dan pandemi COVID-19, ketika belanja negara ditingkatkan untuk menopang konsumsi masyarakat.⁷

6.4.       Fungsi Pembangunan (Developmental Function)

Selain tiga fungsi klasik di atas, fiskal juga memiliki fungsi pembangunan, khususnya di negara berkembang. Fiskal diarahkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mendukung sektor-sektor produktif.⁸

Dalam konteks pembangunan nasional, belanja negara bukan hanya untuk menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi juga sebagai investasi jangka panjang. Infrastruktur jalan, pelabuhan, jaringan listrik, dan digitalisasi ekonomi merupakan contoh alokasi fiskal yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa.⁹

6.5.       Fungsi Kontrol dan Regulasi

Fiskal juga memiliki fungsi kontrol, yaitu sebagai alat regulasi terhadap aktivitas ekonomi tertentu. Melalui instrumen pajak dan subsidi, pemerintah dapat mengarahkan perilaku masyarakat maupun dunia usaha. Pajak lingkungan (green tax), misalnya, digunakan untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong perusahaan beralih pada energi bersih.¹⁰

Di sisi lain, insentif fiskal seperti keringanan pajak bagi industri strategis berfungsi mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.¹¹ Dengan demikian, fungsi kontrol fiskal bukan sekadar mengatur penerimaan dan pengeluaran, tetapi juga membentuk perilaku ekonomi yang sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 62.

[2]                Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 8.

[3]                Musgrave, The Theory of Public Finance, 17.

[4]                Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality (New York: W.W. Norton, 2012), 89.

[5]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 384.

[6]                Alan J. Auerbach and Daniel Feenberg, “The Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic Perspectives 14, no. 3 (2000): 37–56.

[7]                Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.

[8]                Vito Tanzi and Hamid Davoodi, “Corruption, Growth, and Public Finances,” IMF Working Paper 97/139 (1997): 12.

[9]                Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 312.

[10]             David Pearce, Blueprint for a Green Economy (London: Earthscan, 1989), 45.

[11]             James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed. (Boston: Cengage, 2014), 269.


7.           Implementasi Fiskal dalam Konteks Nasional

7.1.       Kebijakan Fiskal Indonesia dalam Era Reformasi

Era Reformasi sejak 1998 menandai perubahan signifikan dalam praktik fiskal Indonesia. Krisis moneter Asia 1997/1998 memaksa pemerintah untuk melakukan reformasi struktural, termasuk di bidang fiskal.¹ Perubahan tersebut meliputi penguatan kelembagaan fiskal, transparansi anggaran, dan penerapan disiplin fiskal melalui pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.²

Kebijakan fiskal pada periode ini berorientasi pada stabilisasi ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan. Pemerintah mulai memperkuat kerangka fiskal jangka menengah (Medium-Term Expenditure Framework) untuk mengoptimalkan perencanaan anggaran.³ Selain itu, transparansi fiskal semakin ditingkatkan melalui keterbukaan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada publik.

7.2.       Peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

APBN merupakan instrumen utama implementasi kebijakan fiskal di Indonesia.⁴ Sebagai dokumen hukum dan politik, APBN tidak hanya mencerminkan kondisi keuangan negara, tetapi juga arah kebijakan pembangunan nasional.

Struktur APBN mencakup penerimaan (pajak, bea cukai, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah) serta belanja negara (belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah).⁵ Seiring waktu, belanja negara mengalami pergeseran dari belanja rutin ke arah belanja pembangunan yang lebih produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan rendahnya rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB yang menunjukkan keterbatasan basis pajak di Indonesia.⁶ Upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terus dilakukan, termasuk melalui digitalisasi sistem perpajakan.

7.3.       Peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Selain APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen penting dalam mendukung otonomi daerah. Setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal tahun 2001, pemerintah daerah memperoleh kewenangan lebih luas dalam mengelola sumber daya fiskal.⁷

APBD mencerminkan prioritas pembangunan di tingkat lokal, dengan pembiayaan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), transfer dari pusat, serta pinjaman daerah. Namun, ketergantungan fiskal daerah terhadap dana transfer dari pusat masih sangat tinggi.⁸ Hal ini menimbulkan tantangan dalam mewujudkan kemandirian fiskal daerah.

7.4.       Dana Otonomi Daerah dan Transfer ke Daerah

Kebijakan desentralisasi fiskal diwujudkan melalui berbagai instrumen transfer fiskal, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.⁹ DAU dimaksudkan untuk pemerataan kapasitas fiskal antar daerah, sementara DAK diarahkan untuk mendukung prioritas nasional di tingkat lokal. DBH memberikan porsi kepada daerah dari penerimaan yang berasal dari sumber daya alam dan pajak tertentu.

Sejak 2015, Dana Desa menjadi tambahan instrumen penting dalam mendukung pembangunan di tingkat desa.¹⁰ Meski demikian, efektivitas transfer fiskal kerap dipertanyakan akibat lemahnya kapasitas perencanaan dan implementasi di tingkat daerah.¹¹

7.5.       Fiskal dalam Pembangunan Infrastruktur, Pendidikan, dan Kesehatan

Implementasi kebijakan fiskal di Indonesia berfokus pada pembangunan sektor strategis. Pertama, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas guna mendukung pertumbuhan ekonomi, mengurangi biaya logistik, dan meningkatkan daya saing nasional.¹² Kedua, belanja pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan alokasi minimal 20 persen APBN sebagaimana diatur dalam konstitusi.¹³ Ketiga, sektor kesehatan mendapat perhatian khusus, terutama setelah pandemi COVID-19, dengan penguatan sistem kesehatan nasional dan penyediaan jaminan kesehatan melalui BPJS.¹⁴

Ketiga sektor tersebut menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pencapaian tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum.


Footnotes

[1]                Wing Thye Woo, “The Asian Financial Crisis: Lessons for Other Emerging Markets,” Brookings Papers on Economic Activity 2 (2000): 1–90.

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 12.

[3]                M. Chatib Basri, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan di Era Reformasi (Jakarta: KPG, 2002), 144.

[4]                Badan Kebijakan Fiskal, APBN Kita 2023 (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2023), 5.

[5]                Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Sustainable Growth,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2022.

[6]                OECD, Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022 (Paris: OECD Publishing, 2022), 47.

[7]                M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized Indonesia,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002): 319–34.

[8]                Bambang Brodjonegoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Evaluasi dan Prospek (Jakarta: LP3ES, 2003), 71.

[9]                Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2021 (Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2021), 12.

[10]             Tjandra Laksmi, “Village Funds and Rural Development in Indonesia,” Journal of Southeast Asian Economies 36, no. 3 (2019): 287–304.

[11]             World Bank, Indonesia’s Local Government Public Financial Management Performance Report (Washington, DC: World Bank, 2017), 19.

[12]             Asian Development Bank, Meeting Asia’s Infrastructure Needs (Manila: ADB, 2017), 211.

[13]             Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31 ayat 4.

[14]             Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Laporan Kinerja 2021 (Jakarta: Kemenkes RI, 2022), 33.


8.           Fiskal dalam Perspektif Global dan Perbandingan

8.1.       Perbandingan Sistem Fiskal Negara Maju dan Berkembang

Sistem fiskal di negara maju umumnya ditandai dengan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif tinggi, serta struktur penerimaan yang lebih beragam.¹ Pajak penghasilan individu, pajak perusahaan, dan pajak konsumsi berkontribusi signifikan dalam penerimaan negara. Negara-negara Eropa Barat misalnya, memiliki sistem fiskal yang kuat untuk mendukung welfare state dengan belanja sosial yang besar.²

Sebaliknya, di banyak negara berkembang, rasio pajak relatif rendah akibat basis pajak yang sempit, tingginya sektor informal, dan lemahnya administrasi perpajakan.³ Hal ini menyebabkan ketergantungan pada sumber daya alam atau utang luar negeri dalam membiayai anggaran negara. Indonesia, misalnya, masih menghadapi tantangan rendahnya tax ratio yang berkisar 10–12 persen dari PDB dalam dekade terakhir.⁴

8.2.       Fiskal dalam Kerangka Globalisasi dan Integrasi Ekonomi Internasional

Globalisasi telah memperkuat keterkaitan antarnegara dalam hal fiskal. Persaingan global mendorong negara-negara untuk menyesuaikan tarif pajak korporasi agar tetap kompetitif menarik investasi asing. Fenomena ini dikenal sebagai tax competition.⁵

Selain itu, integrasi ekonomi internasional melalui perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan blok regional seperti Uni Eropa, ASEAN, atau NAFTA, mengharuskan harmonisasi fiskal tertentu.⁶ Meskipun demikian, harmonisasi ini menimbulkan dilema karena membatasi ruang fiskal negara untuk melaksanakan kebijakan domestik yang berorientasi pada kepentingan nasional.

8.3.       Fiskal dan Organisasi Global (IMF, World Bank, WTO)

Lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO) memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan fiskal negara-negara berkembang. IMF, misalnya, sering memberikan syarat ketat terkait disiplin fiskal sebagai prasyarat pemberian pinjaman.⁷ Sementara itu, World Bank mendukung pembangunan infrastruktur melalui pinjaman jangka panjang, yang pada akhirnya memengaruhi struktur fiskal negara penerima.

Kritik muncul karena intervensi lembaga-lembaga ini dianggap membatasi kedaulatan fiskal negara, dengan mendorong kebijakan pengetatan anggaran (austerity measures) yang sering berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat.⁸ Namun, di sisi lain, peran lembaga-lembaga tersebut juga penting dalam memberikan stabilitas global dan dukungan teknis bagi reformasi fiskal.

8.4.       Tantangan Negara Berkembang dalam Menghadapi Fiskal Global

Negara berkembang menghadapi berbagai tantangan dalam konteks fiskal global. Pertama, penghindaran pajak dan pengalihan keuntungan (base erosion and profit shifting, BEPS) oleh perusahaan multinasional mengurangi potensi penerimaan negara.⁹ Kedua, meningkatnya utang publik akibat kebutuhan pembiayaan pembangunan seringkali membuat negara berkembang terjebak dalam debt trap.¹⁰

Selain itu, negara berkembang juga menghadapi tekanan untuk mengalokasikan belanja publik tidak hanya pada pembangunan domestik, tetapi juga pada isu global seperti perubahan iklim.¹¹ Oleh karena itu, kolaborasi internasional menjadi kunci untuk menciptakan sistem fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan, khususnya melalui forum global seperti G20 dan OECD.


Footnotes

[1]                Vito Tanzi and Ludger Schuknecht, Public Spending in the 20th Century: A Global Perspective (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 67.

[2]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton: Princeton University Press, 1990), 22.

[3]                Richard M. Bird and Eric M. Zolt, “Tax Policy in Emerging Countries,” Environment and Planning C: Government and Policy 26, no. 1 (2008): 73–86.

[4]                OECD, Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022 (Paris: OECD Publishing, 2022), 45.

[5]                Joel Slemrod and John D. Wilson, Tax Competition with and without Foreign Direct Investment (Cambridge: MIT Press, 2009), 13.

[6]                Michael Keen and Stephen Smith, “VAT Fraud and Evasion: What Do We Know and What Can Be Done?” National Tax Journal 59, no. 4 (2006): 861–87.

[7]                International Monetary Fund, Fiscal Monitor: Balancing Fiscal Policy Risks (Washington, DC: IMF, 2015), 8.

[8]                Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents (New York: W.W. Norton, 2002), 54.

[9]                OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting (Paris: OECD Publishing, 2013), 11.

[10]             Carmen M. Reinhart and Kenneth S. Rogoff, This Time Is Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton University Press, 2009), 215.

[11]             Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 153.


9.           Kritik terhadap Sistem Fiskal

9.1.       Kelemahan Kebijakan Pajak dan Masalah Keadilan

Salah satu kritik utama terhadap sistem fiskal adalah ketidakadilan dalam kebijakan pajak. Pajak progresif yang idealnya mampu mengurangi ketimpangan sering kali tidak berjalan efektif karena lemahnya basis pajak dan tingginya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) serta penggelapan pajak (tax evasion).¹ Perusahaan multinasional dengan mudah memanfaatkan celah hukum internasional untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah (tax havens).²

Akibatnya, beban fiskal justru cenderung lebih berat bagi kelompok menengah ke bawah yang bergantung pada konsumsi dan pendapatan tetap.³ Hal ini menimbulkan kritik bahwa sistem fiskal dalam praktiknya sering kali bersifat regresif, alih-alih progresif.

9.2.       Ketergantungan pada Utang Publik

Banyak negara, termasuk Indonesia, menghadapi ketergantungan pada utang publik untuk menutupi defisit anggaran.⁴ Meski utang publik dapat menjadi instrumen pembiayaan pembangunan, kritik muncul karena beban pembayaran bunga dan cicilan utang berpotensi membatasi ruang fiskal negara di masa depan.

Teori Ricardian Equivalence yang dikemukakan Robert Barro bahkan menyatakan bahwa utang publik bukanlah solusi nyata, karena masyarakat akan mengantisipasi pajak lebih tinggi di masa depan untuk menutup utang tersebut.⁵ Dengan demikian, kebijakan fiskal berbasis utang sering dianggap menunda masalah alih-alih menyelesaikannya.

9.3.       Korupsi dan Penyalahgunaan Fiskal

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kelemahan sistem fiskal kerap berkaitan dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Transparency International mencatat bahwa kebocoran anggaran melalui korupsi fiskal menghambat efektivitas kebijakan publik.⁶

Korupsi dalam pengelolaan fiskal bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melemahkan legitimasi pemerintah di mata rakyat.⁷ Kritik ini menekankan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik (good governance) merupakan syarat mutlak agar sistem fiskal benar-benar dapat mewujudkan tujuan kesejahteraan.

9.4.       Kritik dari Perspektif Ekonomi Islam dan Etika Ekonomi

Dari perspektif ekonomi Islam, kritik terhadap sistem fiskal modern muncul karena terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keadilan distribusi dan dimensi moral. Sistem perpajakan sering dipandang menekan kelompok miskin, sementara instrumen distribusi berbasis syariah seperti zakat, infaq, dan wakaf kurang terintegrasi dalam kerangka fiskal negara.⁸

Selain itu, dalam kerangka etika ekonomi, kebijakan fiskal yang berorientasi pada austerity measures kerap dikritik karena mengorbankan kesejahteraan masyarakat miskin demi stabilitas makroekonomi.⁹ Joseph Stiglitz menekankan bahwa kebijakan fiskal seharusnya menempatkan keadilan sosial sebagai prinsip utama, bukan sekadar menjaga angka-angka makro.¹⁰


Footnotes

[1]                Richard M. Bird and Eric M. Zolt, “Tax Policy in Emerging Countries,” Environment and Planning C: Government and Policy 26, no. 1 (2008): 73–86.

[2]                OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting (Paris: OECD Publishing, 2013), 11.

[3]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.

[4]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed. (Boston: Pearson, 2017), 512.

[5]                Robert J. Barro, “Are Government Bonds Net Wealth?” Journal of Political Economy 82, no. 6 (1974): 1095–1117.

[6]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: TI, 2022), 17.

[7]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 45.

[8]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 214.

[9]                Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 102.

[10]             Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality (New York: W.W. Norton, 2012), 94.


10.       Relevansi Fiskal dalam Kehidupan Kontemporer

10.1.    Peran Fiskal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi

Fiskal memiliki peran vital dalam menghadapi krisis ekonomi, baik krisis global 1997/1998, krisis finansial 2008, maupun pandemi COVID-19. Pada masa krisis, pemerintah menggunakan kebijakan fiskal ekspansif berupa peningkatan belanja publik dan pemberian stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat.¹

John Maynard Keynes menekankan bahwa kebijakan fiskal adalah instrumen paling efektif untuk mendorong pemulihan saat permintaan agregat menurun.² Hal ini terbukti ketika banyak negara, termasuk Indonesia, meningkatkan defisit anggaran demi membiayai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada masa pandemi.³

10.2.    Fiskal dan Isu Lingkungan (Green Fiscal Policy)

Dalam konteks kontemporer, kebijakan fiskal juga relevan untuk menjawab tantangan lingkungan. Green fiscal policy menekankan penggunaan instrumen fiskal untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, misalnya melalui pajak karbon, insentif energi terbarukan, dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil.⁴

Menurut Nicholas Stern, kebijakan fiskal berbasis lingkungan merupakan kunci untuk mengatasi perubahan iklim tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.⁵ Di Indonesia, pengenalan pajak karbon pada tahun 2022 menjadi langkah awal menuju fiskal hijau, meskipun implementasinya masih menghadapi kendala politik dan ekonomi.⁶

10.3.    Fiskal dalam Era Digitalisasi dan Ekonomi Kreatif

Revolusi digital telah mengubah lanskap ekonomi, termasuk sistem fiskal. Tantangan utama adalah pengenaan pajak terhadap transaksi digital lintas negara, seperti layanan over-the-top (OTT), e-commerce, dan perusahaan teknologi global.⁷ OECD melalui inisiatif Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting berupaya menciptakan mekanisme pajak digital yang adil dan terkoordinasi.⁸

Di sisi lain, fiskal juga memainkan peran penting dalam mendukung ekonomi kreatif melalui insentif pajak, dana hibah, dan dukungan infrastruktur digital.⁹ Dengan demikian, kebijakan fiskal berfungsi adaptif terhadap perkembangan teknologi yang mengubah struktur ekonomi modern.

10.4.    Peran Fiskal dalam Mengurangi Ketimpangan Sosial

Ketimpangan sosial merupakan isu sentral dalam ekonomi kontemporer. Thomas Piketty menegaskan bahwa tanpa intervensi kebijakan fiskal yang kuat, kesenjangan antara kaya dan miskin akan terus melebar.¹⁰

Pajak progresif, belanja sosial, dan transfer fiskal menjadi instrumen utama untuk mengurangi ketimpangan.¹¹ Dalam konteks Indonesia, program perlindungan sosial seperti Bantuan Sosial Tunai (BST), Program Keluarga Harapan (PKH), dan subsidi pendidikan menunjukkan peran fiskal sebagai instrumen redistribusi yang berorientasi pada keadilan sosial.¹²


Footnotes

[1]                Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed. (Boston: Pearson, 2017), 514.

[2]                John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 382.

[3]                Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.

[4]                David Pearce, Blueprint for a Green Economy (London: Earthscan, 1989), 45.

[5]                Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 153.

[6]                Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN Kita 2022 (Jakarta: Kemenkeu RI, 2022), 27.

[7]                Arthur Cockfield, Taxing Global Digital Commerce, 2nd ed. (Amsterdam: IBFD, 2019), 12.

[8]                OECD, Tax Challenges Arising from Digitalisation – Interim Report 2018 (Paris: OECD Publishing, 2018), 9.

[9]                UNCTAD, Creative Economy Outlook 2022 (Geneva: United Nations, 2022), 31.

[10]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.

[11]             Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 125.

[12]             World Bank, Indonesia Social Assistance Reform Program (Washington, DC: World Bank, 2020), 18.


11.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.    Fiskal sebagai Cermin Relasi Negara–Masyarakat

Kebijakan fiskal pada hakikatnya tidak hanya merupakan instrumen ekonomi, tetapi juga mencerminkan hubungan fundamental antara negara dan masyarakat. Pajak, misalnya, tidak hanya sekadar sumber penerimaan, melainkan juga bentuk partisipasi warga negara dalam mendukung kontrak sosial.¹ Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa legitimasi kekuasaan negara terletak pada kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat, dan fiskal merupakan manifestasi nyata dari kontrak tersebut.²

Dengan demikian, sistem fiskal dapat dipandang sebagai barometer kepercayaan publik: semakin transparan dan adil kebijakan fiskal, semakin kuat pula legitimasi negara di mata masyarakatnya.

11.2.    Dimensi Etika, Keadilan, dan Kesejahteraan

Fiskal memiliki dimensi etis yang menuntut adanya keadilan dalam pengelolaan sumber daya publik. Aristoteles dalam Politics menekankan pentingnya distribusi yang adil agar negara dapat berfungsi sebagai komunitas moral.³ Dalam konteks modern, prinsip keadilan fiskal menuntut agar pajak tidak bersifat regresif, sementara belanja negara diarahkan untuk kelompok rentan.

Dari perspektif Islam, fiskal memiliki dimensi spiritual yang menekankan keadilan distributif melalui instrumen seperti zakat, kharaj, dan wakaf.⁴ Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menegaskan bahwa pungutan negara tidak boleh menzalimi rakyat, melainkan harus dikelola untuk kemaslahatan umum.⁵ Dengan demikian, refleksi filosofis atas fiskal menempatkannya bukan semata sebagai perangkat teknokratis, melainkan juga instrumen moral untuk mencapai kesejahteraan bersama.

11.3.    Dialektika antara Kebijakan Fiskal, Moralitas, dan Politik

Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan fiskal kerap berada di persimpangan antara moralitas dan politik. Thomas Piketty mengingatkan bahwa distribusi fiskal tidak netral, melainkan selalu dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ideologi yang dominan.⁶ Di sisi lain, filsuf politik John Rawls menegaskan bahwa keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam kebijakan publik, termasuk fiskal.⁷

Dialektika ini memperlihatkan bahwa fiskal tidak dapat dilepaskan dari arena pertarungan ideologi dan kepentingan. Ia bukan sekadar instrumen teknis, melainkan juga ruang perdebatan etis tentang apa yang dianggap adil, sah, dan benar dalam masyarakat.

11.4.    Refleksi Filosofis: Fiskal sebagai Instrumen Keadilan Sosial

Pada akhirnya, fiskal harus dipandang sebagai instrumen yang melampaui angka-angka makroekonomi. Ia merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita luhur tentang keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hal ini sejalan dengan gagasan filsafat politik klasik maupun modern yang menempatkan negara sebagai pengemban tanggung jawab moral.

Dalam konteks Indonesia, fiskal bukan hanya alat pembangunan ekonomi, tetapi juga instrumen untuk mewujudkan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.⁸ Dengan demikian, sintesis filosofis mengenai fiskal menekankan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan, distribusi, stabilitas, dan nilai-nilai keadilan yang lebih universal.


Footnotes

[1]                Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 119.

[2]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London: Penguin, 1968), 72.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker (Oxford: Oxford University Press, 1995), 132.

[4]                M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 214.

[5]                Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, ed. Ihsan Abbas (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 45.

[6]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 75.

[8]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan, alinea keempat.


12.       Penutup

12.1.    Kesimpulan

Kajian tentang fiskal menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai instrumen teknis dalam mengelola keuangan negara, melainkan juga sebagai refleksi dari relasi sosial, politik, ekonomi, dan moral antara negara dan masyarakat. Sejak pemikiran klasik Adam Smith hingga teori modern dan perspektif kontemporer, fiskal senantiasa berperan dalam menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan, serta mewujudkan distribusi keadilan sosial.¹

Dalam konteks Indonesia, implementasi fiskal mengalami dinamika yang panjang: dari masa kolonial yang eksploitatif, Orde Lama yang penuh dengan defisit dan inflasi, Orde Baru yang bertumpu pada minyak, hingga era Reformasi yang ditandai dengan desentralisasi fiskal dan transparansi anggaran.² Perjalanan ini memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal selalu bersifat adaptif terhadap tantangan zaman, baik dalam menghadapi krisis ekonomi, globalisasi, maupun tuntutan keadilan sosial.

Fiskal memiliki fungsi yang sangat luas: alokasi, distribusi, stabilisasi, pembangunan, dan regulasi.³ Fungsi-fungsi ini menegaskan bahwa kebijakan fiskal adalah sarana penting dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “mewujudkan kesejahteraan umum.”⁴

12.2.    Implikasi Teoritis dan Praktis

Secara teoritis, kajian ini menegaskan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam memahami fiskal. Ilmu ekonomi, politik, hukum, dan filsafat harus dipadukan agar kebijakan fiskal dapat dipahami secara komprehensif. Teori klasik, Keynesian, monetaris, maupun perspektif Islam dan kearifan lokal sama-sama memberikan kontribusi berharga untuk memperkaya wacana fiskal.

Secara praktis, kebijakan fiskal harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Pajak progresif, belanja publik yang produktif, serta transfer fiskal yang adil dapat memperkuat legitimasi negara sekaligus mengurangi ketimpangan sosial. Di era globalisasi dan digitalisasi, fiskal juga perlu diarahkan untuk menjawab tantangan kontemporer seperti perubahan iklim, ekonomi digital, dan keberlanjutan pembangunan.

12.3.    Rekomendasi

Berdasarkan kajian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diajukan:

1)                  Penguatan basis pajak melalui reformasi perpajakan yang inklusif dan adaptif terhadap ekonomi digital.

2)                  Efisiensi belanja negara dengan fokus pada sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

3)                  Pengelolaan utang publik yang berkelanjutan, dengan memastikan bahwa utang digunakan untuk investasi jangka panjang, bukan sekadar pembiayaan defisit.

4)                  Integrasi fiskal dengan prinsip etika dan keadilan sosial, baik melalui perspektif universal maupun nilai-nilai lokal dan agama.

5)                  Kolaborasi global dalam menghadapi tantangan fiskal lintas negara, seperti penghindaran pajak, perubahan iklim, dan digitalisasi.

Dengan demikian, fiskal dapat benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sekadar angka dalam laporan keuangan negara.


Footnotes

[1]                Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.

[2]                Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 301.

[3]                Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 8–9.

[4]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan, alinea keempat.


Daftar Pustaka

Anderson, J. E. (2014). Public policymaking (8th ed.). Cengage.

Aristotle. (1995). Politics (E. Barker, Trans.). Oxford University Press.

Asian Development Bank. (2017). Meeting Asia’s infrastructure needs. ADB.

Auerbach, A. J., & Feenberg, D. (2000). The significance of federal taxes as automatic stabilizers. Journal of Economic Perspectives, 14(3), 37–56.

Backhaus, J. (2005). Handbook of public finance. Springer.

Barro, R. J. (1974). Are government bonds net wealth? Journal of Political Economy, 82(6), 1095–1117.

Barro, R. J. (2008). Macroeconomics: A modern approach. South-Western Cengage.

Basri, M. C. (2002). Fiscal policy in decentralized Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3), 319–334.

Basri, M. C. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan harapan di era reformasi. KPG.

Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2008). Tax policy in emerging countries. Environment and Planning C: Government and Policy, 26(1), 73–86.

Blanchard, O. (2017). Macroeconomics (7th ed.). Pearson.

Blinder, A. S. (2008). Keynesian economics. Oxford University Press.

Blyth, M. (2013). Austerity: The history of a dangerous idea. Oxford University Press.

Booth, A. (1998). The Indonesian economy in the nineteenth and twentieth centuries. Macmillan.

Brodjonegoro, B. (2003). Desentralisasi fiskal di Indonesia: Evaluasi dan prospek. LP3ES.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Islamic Foundation.

Cockfield, A. (2019). Taxing global digital commerce (2nd ed.). IBFD.

Davidson, P. (2011). Post Keynesian macroeconomic theory (2nd ed.). Edward Elgar.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2021). Transfer ke daerah dan dana desa 2021. Kementerian Keuangan RI.

Dick, H., Houben, V. J. H., Lindblad, J. T., & Thee, K. W. (2002). The emergence of a national economy: An economic history of Indonesia, 1800–2000. University of Hawai‘i Press.

Ekelund, R., & Hébert, R. (2014). A history of economic theory and method (6th ed.). Waveland Press.

Esping-Andersen, G. (1990). The three worlds of welfare capitalism. Princeton University Press.

Friedman, M., & Schwartz, A. J. (1963). A monetary history of the United States, 1867–1960. Princeton University Press.

Geertz, C. (1963). Agricultural involution: The processes of ecological change in Indonesia. University of California Press.

Hill, H. (2000). The Indonesian economy. Cambridge University Press.

Indrawati, S. M. (2021). Fiscal policy for pandemic recovery. Ministry of Finance Report.

Indrawati, S. M. (2022). Fiscal policy for sustainable growth. Ministry of Finance Report.

International Monetary Fund. (2015). Fiscal monitor: Balancing fiscal policy risks. IMF.

Keen, M., & Smith, S. (2006). VAT fraud and evasion: What do we know and what can be done? National Tax Journal, 59(4), 861–887.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Laporan kinerja 2021. Kemenkes RI.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). APBN kita 2022. Kemenkeu RI.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). APBN kita 2023. Kemenkeu RI.

Keynes, J. M. (1936). The general theory of employment, interest, and money. Macmillan.

Laksmi, T. (2019). Village funds and rural development in Indonesia. Journal of Southeast Asian Economies, 36(3), 287–304.

Mankiw, N. G. (2016). Macroeconomics (9th ed.). Worth Publishers.

Mankiw, N. G., & Romer, D. (1991). New Keynesian economics. MIT Press.

Manan, B. (2005). Hukum keuangan negara. FH UII Press.

Mill, J. S. (1848). Principles of political economy. Longmans, Green and Co.

Mishkin, F. S. (2018). The economics of money, banking, and financial markets (11th ed.). Pearson.

Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance: A study in public economy. McGraw-Hill.

Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public finance in theory and practice (5th ed.). McGraw-Hill.

OECD. (2013). Addressing base erosion and profit shifting. OECD Publishing.

OECD. (2018). Tax challenges arising from digitalisation – Interim report 2018. OECD Publishing.

OECD. (2022). Revenue statistics in Asia and the Pacific 2022. OECD Publishing.

Peacock, A., & Wiseman, J. (1961). The growth of public expenditure in the United Kingdom. Princeton University Press.

Pearce, D. (1989). Blueprint for a green economy. Earthscan.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Harvard University Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Reinhart, C. M., & Rogoff, K. S. (2009). This time is different: Eight centuries of financial folly. Princeton University Press.

Ricardo, D. (1817). On the principles of political economy and taxation. John Murray.

Rosen, H. S., & Gayer, T. (2010). Public finance (9th ed.). McGraw-Hill.

Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and government: Causes, consequences, and reform. Cambridge University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract. Penguin.

Slemrod, J., & Wilson, J. D. (2009). Tax competition with and without foreign direct investment. MIT Press.

Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.

Stern, N. (2007). The economics of climate change: The Stern review. Cambridge University Press.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E., & Rosengard, J. K. (2015). Economics of the public sector (4th ed.). W.W. Norton.

Tanzi, V. (2000). Globalization and the future of social protection. IMF.

Tanzi, V., & Davoodi, H. (1997). Corruption, growth, and public finances. IMF Working Paper 97/139.

Tanzi, V., & Schuknecht, L. (2000). Public spending in the 20th century: A global perspective. Cambridge University Press.

Thee, K. W. (2012). Indonesia’s economy since independence. ISEAS.

Transparency International. (2022). Corruption perceptions index 2022. Transparency International.

Umer Chapra, M. (1992). Islam and the economic challenge. Islamic Foundation.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

UNCTAD. (2022). Creative economy outlook 2022. United Nations.

Woo, W. T. (2000). The Asian financial crisis: Lessons for other emerging markets. Brookings Papers on Economic Activity, 2, 1–90.

World Bank. (2017). Indonesia’s local government public financial management performance report. World Bank.

World Bank. (2020). Indonesia social assistance reform program. World Bank.

Yusuf, A. (1979). Kitab al-Kharaj (I. Abbas, Ed.). Dar al-Ma‘rifah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar