FISKAL
Konsep, Sejarah, Instrumen,
dan Relevansi dalam Perekonomian Kontemporer
Alihkan ke: Sistem Moneter dan Fiskal.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
konsep, sejarah, teori, instrumen, fungsi, implementasi, hingga relevansi
kontemporer dari kebijakan fiskal dalam perspektif nasional maupun global.
Kajian dimulai dengan menelusuri akar konseptual fiskal sebagai instrumen
pengelolaan keuangan publik, perbedaannya dengan moneter, serta keterkaitannya
dengan politik, hukum, dan pembangunan. Secara historis, perkembangan fiskal
dianalisis sejak pemikiran klasik (Adam Smith, David Ricardo) hingga teori
modern (Keynesian, Monetaris, Neoklasik, New Keynesian), termasuk kontribusi
perspektif Islam dan kearifan lokal.
Artikel ini juga membahas instrumen utama
fiskal seperti pajak, belanja negara, subsidi, utang publik, dan transfer ke
daerah, serta fungsi-fungsinya (alokasi, distribusi, stabilisasi, pembangunan,
dan regulasi). Implementasi fiskal di Indonesia dianalisis dalam konteks
reformasi, desentralisasi, serta peran APBN dan APBD dalam pembangunan
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, dibahas pula dinamika
fiskal dalam perspektif global, termasuk peran lembaga internasional (IMF,
World Bank, WTO), fenomena tax competition, serta tantangan negara
berkembang menghadapi globalisasi.
Kritik terhadap sistem fiskal meliputi isu
keadilan pajak, ketergantungan pada utang publik, praktik korupsi, serta
lemahnya dimensi etika dan distribusi. Pada bagian refleksi filosofis, fiskal
dipandang sebagai cermin relasi negara–masyarakat, instrumen keadilan sosial,
sekaligus ruang dialektika antara politik, ekonomi, dan moralitas.
Kesimpulannya, fiskal bukan sekadar instrumen teknokratis, melainkan perangkat
multidimensional yang berfungsi untuk menjaga stabilitas ekonomi, mewujudkan
pemerataan, dan mencapai kesejahteraan bersama sesuai amanat konstitusi dan
nilai-nilai keadilan universal.
Kata Kunci: Fiskal;
Pajak; Belanja Negara; Utang Publik; Keadilan Sosial; Kebijakan Ekonomi;
Globalisasi; Indonesia.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Teori,
Instrumen, Fungsi, Implementasi, hingga Relevansi Kontemporer dari Kebijakan
Fiskal
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Fiskal merupakan salah satu instrumen fundamental dalam mengelola
perekonomian sebuah negara. Dalam konteks ilmu ekonomi, kebijakan fiskal
dipahami sebagai strategi pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan dan
pengeluaran negara guna mencapai tujuan pembangunan, stabilitas ekonomi, dan kesejahteraan sosial.¹
Dengan demikian, fiskal tidak hanya berfungsi sebagai instrumen teknokratis,
tetapi juga sarat dengan dimensi politik, hukum, dan sosial.
Sejarah menunjukkan bahwa sejak era merkantilisme hingga ekonomi
modern, perdebatan mengenai peran fiskal selalu hadir dalam dinamika pemikiran
ekonomi. Adam Smith menekankan pentingnya pungutan pajak yang adil dan
proporsional dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan mendukung pembiayaan
negara.² Sementara itu, teori Keynes menekankan fungsi fiskal sebagai alat
untuk mengendalikan siklus ekonomi melalui intervensi pemerintah pada saat
terjadi resesi maupun inflasi.³ Dalam konteks Indonesia, kebijakan fiskal
menjadi instrumen vital dalam menopang pembangunan, terutama pasca krisis ekonomi
1997/1998 dan pandemi COVID-19.
Lebih jauh, fiskal juga memiliki peran signifikan dalam mewujudkan
keadilan sosial. Pajak, belanja negara, dan transfer fiskal dapat dijadikan
instrumen redistribusi pendapatan untuk mengurangi kesenjangan antara kelompok
masyarakat.⁴ Dengan demikian, pembahasan mengenai fiskal tidak dapat dilepaskan
dari dimensi filosofis dan etis yang menempatkannya sebagai instrumen
pemerataan, bukan semata-mata pengelolaan teknis keuangan negara.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat sejumlah persoalan utama
yang perlu dikaji dalam artikel ini:
1)
Apa konsep dasar fiskal serta perbedaannya
dengan instrumen ekonomi lainnya?
2)
Bagaimana sejarah
perkembangan pemikiran fiskal, baik dalam perspektif global maupun di
Indonesia?
3)
Apa saja teori, fungsi, dan instrumen yang
membentuk kerangka kebijakan fiskal?
4)
Bagaimana implementasi fiskal dalam konteks
nasional dan global, serta tantangan yang dihadapi?
5)
Bagaimana kritik filosofis, etis, dan praktis
terhadap sistem fiskal yang berlaku?
6)
Apa relevansi kebijakan fiskal dalam menjawab
persoalan kontemporer, termasuk isu krisis ekonomi, lingkungan, dan ketimpangan
sosial?
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian
Artikel ini bertujuan untuk:
·
Menguraikan konsep, teori, dan sejarah
perkembangan fiskal.
·
Menganalisis instrumen dan fungsi fiskal dalam
kerangka ekonomi nasional dan global.
·
Mengkritisi kebijakan fiskal dari sudut
pandang keadilan sosial, etika, dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer.
·
Memberikan refleksi filosofis mengenai posisi
fiskal sebagai instrumen kesejahteraan dan pembangunan.
Manfaat kajian ini bersifat ganda. Secara akademis, artikel ini
diharapkan dapat memperkaya literatur mengenai fiskal dengan perspektif
interdisipliner yang menggabungkan analisis ekonomi, politik, hukum, dan
filsafat. Secara
praktis, artikel ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan
fiskal yang lebih adil, transparan, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
literatur. Sumber data berasal dari buku, artikel jurnal ilmiah, dokumen resmi
pemerintah (seperti APBN/APBD), serta laporan lembaga internasional (IMF, World
Bank, OECD). Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis, dengan menekankan
pada keterkaitan historis, teoritis, dan filosofis.
Footnotes
[1]
Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance:
A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 3.
[2]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.
[3]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 378.
[4]
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector,
3rd ed. (New York: W.W. Norton, 2000), 95.
2.
Konsep Dasar Fiskal
2.1. Definisi
Fiskal dalam Perspektif Ekonomi dan Kebijakan Publik
Secara terminologis, istilah fiscal berasal dari bahasa Latin fiscus,
yang berarti keranjang atau tempat penyimpanan uang negara.¹ Dalam perkembangan
modern, fiskal dipahami sebagai keseluruhan kebijakan pemerintah yang
menyangkut penerimaan
(revenue) dan pengeluaran (expenditure) negara, dengan tujuan mengatur
perekonomian serta memenuhi kebutuhan masyarakat.²
Richard A. Musgrave, salah satu tokoh utama dalam teori keuangan
publik, menekankan bahwa kebijakan fiskal tidak hanya menyangkut pengelolaan
keuangan negara secara teknis,
melainkan juga instrumen kebijakan publik untuk mencapai stabilitas ekonomi,
distribusi kesejahteraan, dan pertumbuhan.³ Oleh karena itu, konsep fiskal
memiliki makna yang multidimensional—melibatkan aspek ekonomi, politik, hukum,
dan etika.
2.2.
Perbedaan Fiskal
dengan Moneter
Kebijakan fiskal sering kali disandingkan dengan kebijakan moneter
sebagai dua instrumen utama dalam mengelola makroekonomi. Fiskal berkaitan
dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, sementara moneter
menyangkut pengaturan jumlah uang beredar, suku bunga, dan stabilitas nilai
mata uang yang menjadi kewenangan bank sentral.⁴
Perbedaan mendasar terletak pada pelaku kebijakan: fiskal dijalankan
oleh pemerintah (eksekutif dan legislatif), sedangkan moneter dilaksanakan oleh
otoritas moneter independen (bank sentral).⁵ Namun, keduanya memiliki
keterkaitan erat. Misalnya, defisit fiskal yang tinggi dapat memicu inflasi
jika pembiayaannya dilakukan melalui pencetakan uang baru, sehingga menuntut
koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter.⁶
2.3. Hubungan
Fiskal dengan Politik, Hukum, dan Pembangunan Nasional
Fiskal tidak hanya sekadar urusan teknis ekonomi, tetapi juga merupakan
keputusan politik yang mencerminkan prioritas negara. Besarnya alokasi anggaran
untuk sektor tertentu—misalnya pendidikan, kesehatan, atau
pertahanan—menunjukkan orientasi politik pemerintah.⁷ Dengan demikian, fiskal
menjadi medium perwujudan kontrak sosial antara negara dan rakyat.
Dari sisi hukum, kebijakan fiskal dituangkan dalam undang-undang, seperti
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Indonesia, yang
harus mendapat persetujuan legislatif. Hal ini menunjukkan adanya prinsip
akuntabilitas dan legitimasi hukum dalam pelaksanaan fiskal.⁸
Sementara itu, dalam konteks pembangunan nasional, fiskal berfungsi
sebagai instrumen strategis untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang.
Belanja negara dapat diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
memperbaiki infrastruktur, mengurangi pengangguran, dan menurunkan ketimpangan
sosial.⁹ Dengan demikian, fiskal berperan sebagai jembatan antara teori
ekonomi, kebijakan politik, dan keadilan sosial.
2.4. Fiskal
sebagai Instrumen Stabilitas dan Distribusi
Selain sebagai instrumen pembangunan, fiskal juga berfungsi menjaga
stabilitas perekonomian. Melalui mekanisme automatic stabilizer seperti
pajak progresif dan tunjangan sosial, pemerintah dapat meredam fluktuasi
ekonomi tanpa perlu mengubah
kebijakan secara langsung.¹⁰
Di sisi lain, fungsi distribusi fiskal terwujud dalam upaya pemerataan
pendapatan melalui pajak dan belanja sosial. Pajak progresif memastikan bahwa
kelompok berpendapatan tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pembiayaan negara, sementara belanja publik
dialokasikan untuk kelompok rentan.¹¹ Dengan demikian, fiskal berfungsi tidak
hanya menjaga stabilitas makroekonomi, tetapi juga memastikan tercapainya
keadilan sosial sebagai bagian dari tujuan bernegara.
Footnotes
[1]
Jürgen Backhaus, Handbook of Public Finance
(Boston: Springer, 2005), 15.
[2]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 4.
[3]
Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance:
A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 7.
[4]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 9th ed. (New
York: Worth Publishers, 2016), 467.
[5]
Frederic S. Mishkin, The Economics of Money,
Banking, and Financial Markets, 11th ed. (New York: Pearson, 2018), 345.
[6]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2017), 512.
[7]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality
(New York: W.W. Norton, 2012), 91.
[8]
Bagir Manan,
Hukum Keuangan Negara (Jakarta: FH UII Press, 2005), 22.
[9]
Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 301.
[10]
Alan J. Auerbach and Daniel Feenberg, “The
Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic
Perspectives 14, no. 3 (2000): 37–56.
[11]
Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics
of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 120.
3.
Sejarah Perkembangan Fiskal
3.1. Asal-usul
Pemikiran Fiskal dalam Tradisi Ekonomi Klasik
Pemikiran mengenai fiskal dapat ditelusuri sejak zaman klasik, ketika
negara mulai berperan dalam pengumpulan pajak dan alokasi sumber daya publik.
Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) menekankan empat prinsip
perpajakan yang ideal: kesetaraan, kepastian, kemudahan, dan efisiensi.¹
Prinsip ini menjadi dasar bagi pemikiran fiskal modern, yang menekankan keadilan dalam
pungutan negara dan efisiensi dalam pengeluaran publik.
David Ricardo dan ekonom klasik lainnya menyoroti beban pajak terhadap
distribusi pendapatan dan akumulasi modal.² Bagi mereka, fiskal merupakan
instrumen penting namun rawan menimbulkan distorsi bila tidak dikelola dengan hati-hati. Pemikiran klasik ini
meletakkan fondasi awal bagi teori keuangan publik yang kemudian berkembang di
abad-abad berikutnya.
3.2.
Evolusi Kebijakan
Fiskal di Dunia
Pada abad ke-19, aliran ekonomi laissez-faire cenderung menolak
intervensi negara, termasuk melalui kebijakan fiskal.³ Namun, krisis ekonomi
global tahun 1929-1933 (Great Depression) menunjukkan kelemahan paradigma
tersebut. John Maynard Keynes melalui The General Theory of Employment,
Interest, and Money (1936) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal aktif diperlukan untuk
mengatasi pengangguran massal dan deflasi.⁴
Sejak itu, teori Keynesian mendominasi praktik ekonomi di banyak
negara, khususnya pasca Perang Dunia II. Pemerintah menggunakan belanja publik
sebagai instrumen untuk menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas
ekonomi.⁵ Namun, pada dekade 1970-an, muncul kritik dari kaum monetaris yang
dipelopori Milton Friedman. Mereka berargumen bahwa kebijakan fiskal kurang efektif dalam jangka
panjang, sementara stabilitas moneter lebih penting untuk mengendalikan inflasi.⁶
Perdebatan antara Keynesian dan monetaris melahirkan pendekatan New
Classical dan New Keynesian, yang mengakui pentingnya koordinasi
fiskal dan moneter.⁷ Hingga kini, teori-teori tersebut tetap menjadi acuan
utama dalam perumusan kebijakan ekonomi di berbagai negara.
3.3.
Sejarah Fiskal di
Indonesia
Dalam konteks Indonesia, sejarah fiskal memiliki dinamika yang khas.
Pada masa kolonial, kebijakan fiskal lebih banyak berorientasi pada eksploitasi
sumber daya alam dan penarikan pajak untuk kepentingan pemerintah Belanda.⁸
Sistem pajak tanah (landrent)
dan cultuurstelsel adalah contoh nyata bagaimana fiskal digunakan
sebagai instrumen kolonialisme.
Pasca kemerdekaan (1945), pemerintah Indonesia menghadapi tantangan
besar dalam membangun sistem fiskal nasional. Periode awal ditandai dengan
keterbatasan penerimaan negara dan ketergantungan pada ekspor komoditas
primer.⁹ Pada masa Orde Lama (1950–1965), fiskal kerap digunakan untuk
membiayai proyek politik besar, sehingga menimbulkan inflasi tinggi akibat defisit
yang ditutup dengan pencetakan uang.¹⁰
Memasuki era Orde Baru (1966–1998), kebijakan fiskal difokuskan pada
stabilisasi ekonomi, didukung oleh bantuan internasional serta peningkatan
penerimaan dari minyak bumi.¹¹ Namun, krisis moneter Asia tahun 1997/1998
menghantam perekonomian Indonesia dan menimbulkan beban fiskal berat akibat utang luar negeri dan pelemahan
rupiah.¹²
Era Reformasi membawa perubahan signifikan dengan lahirnya kebijakan
desentralisasi fiskal melalui otonomi daerah (1999).¹³ Transfer fiskal dari
pusat ke daerah menjadi instrumen penting dalam mendukung pembangunan lokal. Di
abad ke-21, fiskal Indonesia terus bertransformasi untuk menghadapi tantangan global, termasuk krisis finansial
2008 dan pandemi COVID-19, yang memaksa pemerintah menerapkan kebijakan fiskal
ekspansif guna menjaga daya beli dan mendorong pemulihan ekonomi.¹⁴
3.4. Pengaruh
Globalisasi terhadap Kebijakan Fiskal Nasional
Globalisasi ekonomi telah mengubah wajah fiskal di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Mobilitas modal yang tinggi membuat negara harus
menyesuaikan kebijakan
pajak agar tetap kompetitif, tanpa mengorbankan penerimaan negara.¹⁵ Selain
itu, integrasi ekonomi global melalui lembaga seperti WTO, IMF, dan World Bank
mendorong harmonisasi fiskal sekaligus membatasi ruang kebijakan domestik.
Di sisi lain, globalisasi membuka peluang kerja sama fiskal
internasional, misalnya dalam memerangi penghindaran pajak (tax avoidance)
dan pengalihan keuntungan (profit shifting) oleh perusahaan
multinasional.¹⁶ Tantangan ini menuntut pemerintah untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan tuntutan
global, sehingga kebijakan fiskal tetap adaptif dalam menghadapi dinamika dunia
yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.
[2]
David Ricardo, On the Principles of Political
Economy and Taxation (London: John Murray, 1817), 201.
[3]
Robert Ekelund and Robert Hébert, A History of
Economic Theory and Method, 6th ed. (Long Grove, IL: Waveland Press, 2014),
223.
[4]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 378.
[5]
Alan S. Blinder, Keynesian Economics (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 56.
[6]
Milton Friedman, A Monetary History of the United
States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University Press, 1963), 52.
[7]
N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, 9th ed. (New
York: Worth Publishers, 2016), 498.
[8]
Anne Booth, The Indonesian Economy in the
Nineteenth and Twentieth Centuries (London: Macmillan, 1998), 67.
[9]
Howard Dick et al., The Emergence of a National
Economy: An Economic History of Indonesia, 1800–2000 (Honolulu: University
of Hawai‘i Press, 2002), 213.
[10]
Thee Kian Wie, Indonesia’s Economy since
Independence (Singapore: ISEAS, 2012), 102.
[11]
Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 303.
[12]
Wing Thye Woo, “The Asian Financial Crisis: Lessons
for Other Emerging Markets,” in Brookings Papers on Economic Activity 2
(2000): 1–90.
[13]
M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized
Indonesia,” in Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002):
319–34.
[14]
Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic
Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.
[15]
Vito Tanzi, Globalization and the Future of Social
Protection (Washington, DC: IMF, 2000), 22.
[16]
OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting
(Paris: OECD Publishing, 2013), 11.
4.
Teori-teori Fiskal
4.1.
Teori Fiskal Klasik
Pemikiran fiskal klasik sangat dipengaruhi oleh gagasan Adam Smith, David
Ricardo, dan John Stuart Mill. Adam Smith menekankan empat asas perpajakan (canons
of taxation): kesetaraan, kepastian, kemudahan, dan efisiensi.¹ Prinsip ini
membentuk dasar moral dan praktis dalam pungutan pajak, dengan tujuan agar
kebijakan fiskal tidak memberatkan rakyat dan tetap mendukung pembangunan
ekonomi.
Ricardo kemudian menambahkan dimensi distribusi, dengan menekankan
bahwa pajak dapat memengaruhi alokasi sumber daya dan akumulasi modal.² Dalam pandangan klasik, peran negara dalam fiskal
bersifat minimalis, sebatas menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan membiayai
infrastruktur publik.³ Pandangan ini selaras dengan semangat laissez-faire, di
mana pasar diyakini mampu mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi berlebihan
dari negara.
4.2.
Teori Keynesian dan
Pasca-Keynesian
Perubahan besar terjadi pada abad ke-20 ketika John Maynard Keynes
memperkenalkan gagasan bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan
keseimbangan secara otomatis. Dalam The General Theory of Employment,
Interest, and Money (1936), Keynes berargumen bahwa kebijakan fiskal aktif
diperlukan untuk mengatasi pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi.⁴
Melalui belanja publik (government expenditure) dan kebijakan pajak,
pemerintah dapat merangsang permintaan agregat sehingga mendorong pertumbuhan
ekonomi.⁵ Teori ini melahirkan era demand management policy, di mana
defisit anggaran
dianggap sah selama dapat memulihkan ekonomi.
Pasca-Keynesian kemudian mengembangkan gagasan Keynes dengan lebih
menekankan pada peran distribusi pendapatan, inflasi biaya (cost-push
inflation), dan pentingnya kebijakan fiskal jangka panjang.⁶ Mereka juga
mengkritik pandangan
neoklasik yang terlalu menekankan keseimbangan pasar tanpa melihat realitas
ketidakpastian dan ketidaksempurnaan struktur ekonomi.
4.3.
Teori Fiskal Modern
Teori fiskal modern lahir dari perdebatan antara monetaris, neoklasik,
dan aliran baru Keynesian. Kaum monetaris, yang dipelopori Milton Friedman,
berargumen bahwa kebijakan
moneter lebih efektif daripada fiskal dalam menjaga stabilitas ekonomi,
terutama dalam mengendalikan inflasi.⁷
Di sisi lain, teori neoklasik menekankan bahwa defisit fiskal yang
dibiayai melalui utang akan membebani generasi mendatang dan mengurangi
tabungan nasional. Hal ini dikenal sebagai Ricardian Equivalence Hypothesis
yang diperkenalkan oleh Robert Barro, yang menyatakan bahwa masyarakat akan menyesuaikan konsumsi mereka
karena menyadari adanya kewajiban pajak di masa depan akibat utang publik.⁸
Sementara itu, aliran New Keynesian
berusaha menjembatani kedua pandangan tersebut. Mereka mengakui pentingnya intervensi fiskal,
tetapi dalam kerangka koordinasi dengan kebijakan moneter.⁹ Dalam konteks
modern, teori fiskal tidak lagi berdiri sendiri, melainkan harus dikaji bersama-sama
dengan dinamika globalisasi, mobilitas modal internasional, dan tantangan
digitalisasi.
4.4. Perspektif
Islam dan Kearifan Lokal dalam Fiskal
Selain teori ekonomi Barat, terdapat pula perspektif Islam yang
memberikan dasar filosofis bagi fiskal. Dalam ekonomi Islam, fiskal tidak hanya
sekadar instrumen teknis, melainkan sarana untuk mencapai keadilan sosial dan
pemerataan kesejahteraan.
Instrumen seperti zakat, kharaj, jizyah, dan wakaf memiliki fungsi serupa
dengan kebijakan fiskal modern, namun berlandaskan pada prinsip syariah.¹⁰
Para pemikir Islam klasik seperti Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj
menekankan bahwa pungutan negara harus adil, proporsional, dan tidak membebani
rakyat kecil.¹¹ Dalam konteks kontemporer, konsep fiskal Islam dianggap relevan
dalam membangun
sistem keuangan publik yang lebih etis, transparan, dan berpihak pada
kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, di Indonesia, kearifan lokal juga berpengaruh pada praktik
fiskal, misalnya tradisi gotong royong dan swadaya masyarakat yang menjadi
bentuk distribusi sumber daya di luar mekanisme formal negara.¹² Hal ini
menunjukkan bahwa teori fiskal tidak hanya bersumber dari tradisi Barat, tetapi
juga memiliki akar kuat dalam tradisi keagamaan dan budaya lokal.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.
[2]
David Ricardo, On the Principles of Political
Economy and Taxation (London: John Murray, 1817), 203.
[3]
John Stuart Mill, Principles of Political Economy
(London: Longmans, Green and Co., 1848), 756.
[4]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 383.
[5]
Alan S. Blinder, Keynesian Economics (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 61.
[6]
Paul Davidson, Post Keynesian Macroeconomic Theory,
2nd ed. (Cheltenham: Edward Elgar, 2011), 49.
[7]
Milton Friedman, A Monetary History of the United
States, 1867–1960 (Princeton: Princeton University Press, 1963), 75.
[8]
Robert J. Barro, “Are Government Bonds Net Wealth?” Journal
of Political Economy 82, no. 6 (1974): 1095–1117.
[9]
N. Gregory Mankiw and David Romer, eds., New
Keynesian Economics (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 112.
[10]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 211.
[11]
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, ed. Ihsan Abbas
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 45.
[12]
Clifford Geertz, Agricultural Involution: The
Processes of Ecological Change in Indonesia (Berkeley: University of
California Press, 1963), 98.
5.
Instrumen Fiskal
5.1.
Kebijakan Pajak (Tax
Policy)
Pajak merupakan instrumen fiskal utama yang menjadi sumber penerimaan
negara. Dalam teori keuangan publik, pajak dipahami sebagai kontribusi wajib
dari masyarakat kepada negara tanpa imbalan langsung, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum.¹ Pajak memiliki peran ganda: sebagai sumber penerimaan dan sebagai instrumen
regulasi untuk memengaruhi perilaku ekonomi.
Terdapat berbagai jenis pajak, seperti pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, serta bea cukai.² Dalam konteks
keadilan fiskal, sistem pajak progresif dianggap ideal karena mampu
mendistribusikan beban lebih besar kepada kelompok berpenghasilan tinggi.³
Namun, implementasinya kerap menghadapi tantangan berupa penghindaran pajak (tax
avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion).
5.2.
Belanja Negara
(Government Expenditure)
Selain penerimaan, pengeluaran negara juga menjadi pilar utama
kebijakan fiskal. Belanja negara dapat dikategorikan menjadi belanja rutin
(operasional pemerintahan) dan belanja pembangunan (investasi jangka panjang).⁴
Teori ekonomi publik menekankan pentingnya efektivitas dan efisiensi
dalam belanja negara. Alokasi anggaran yang tepat pada sektor pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan.⁵ Di Indonesia, belanja negara dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang
setiap tahun disahkan melalui undang-undang.
5.3.
Subsidi dan Insentif
Subsidi merupakan bentuk belanja fiskal yang diberikan pemerintah untuk
menurunkan harga barang atau jasa tertentu agar tetap terjangkau masyarakat.
Contoh klasik adalah subsidi energi, pangan, dan pupuk.⁶ Meskipun memiliki
manfaat sosial,
subsidi sering menuai kritik karena dianggap membebani APBN dan tidak selalu
tepat sasaran.
Sebagai alternatif, pemerintah juga memberikan insentif fiskal, seperti
keringanan pajak atau pembebasan bea masuk, untuk merangsang investasi dan
pertumbuhan sektor strategis.⁷ Instrumen ini banyak digunakan dalam konteks
pembangunan industri nasional dan menarik investasi asing.
5.4.
Defisit, Surplus,
dan Utang Publik
Ketika pengeluaran negara lebih besar dari penerimaan, timbul defisit
anggaran yang biasanya dibiayai melalui utang publik, baik domestik maupun luar
negeri.⁸ Utang publik pada dasarnya adalah instrumen fiskal yang sah, selama
digunakan untuk membiayai investasi produktif dan dikelola secara
berkelanjutan.
Sebaliknya, apabila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, negara
mengalami surplus. Namun, dalam praktik modern, defisit lebih umum terjadi
karena kebutuhan pembangunan
dan belanja sosial yang meningkat.⁹ Tantangan terbesar adalah menjaga agar
utang tidak menimbulkan beban berlebihan bagi generasi mendatang.
5.5.
Transfer Fiskal dan
Dana Perimbangan
Dalam sistem negara kesatuan dengan otonomi daerah seperti Indonesia,
transfer fiskal dari pemerintah pusat ke daerah menjadi instrumen penting.
Skema ini diwujudkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.¹⁰
Tujuan transfer fiskal adalah menciptakan pemerataan pembangunan
antarwilayah serta memperkuat
kapasitas fiskal daerah.¹¹ Dengan demikian, kebijakan fiskal tidak hanya
berorientasi pada skala nasional, tetapi juga memperhatikan keadilan
antarwilayah sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public
Finance in Theory and Practice, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 1989), 210.
[2]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 126.
[3]
Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics
of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 118.
[4]
Alan Peacock and Jack Wiseman, The Growth of Public
Expenditure in the United Kingdom (Princeton: Princeton University Press,
1961), 44.
[5]
Musgrave, The Theory of Public Finance: A Study in
Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 78.
[6]
Vito Tanzi and Ludger Schuknecht, Public Spending
in the 20th Century: A Global Perspective (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 150.
[7]
James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed.
(Boston: Cengage, 2014), 266.
[8]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2017), 512.
[9]
Robert J. Barro, Macroeconomics: A Modern Approach
(Mason, OH: South-Western Cengage, 2008), 203.
[10]
M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized
Indonesia,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002):
319–34.
[11]
Bambang
Brodjonegoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Evaluasi dan Prospek
(Jakarta: LP3ES, 2003), 67.
6.
Fungsi Fiskal
6.1.
Fungsi Alokasi
(Allocation Function)
Fungsi alokasi fiskal berhubungan dengan peran negara dalam menyediakan
barang dan jasa publik yang tidak dapat disediakan secara memadai oleh
mekanisme pasar.¹ Barang publik seperti pertahanan, infrastruktur, pendidikan
dasar, dan pelayanan kesehatan merupakan contoh kebutuhan yang harus didanai
melalui pengeluaran negara.
Richard Musgrave menekankan bahwa fungsi alokasi fiskal bertujuan
mengatasi kegagalan pasar (market failure) yang timbul akibat sifat
barang publik yang non-rivalrous dan non-excludable.² Dengan demikian, belanja
negara diarahkan untuk menjamin tersedianya kebutuhan dasar masyarakat serta mendukung pertumbuhan
ekonomi jangka panjang.
6.2.
Fungsi Distribusi
(Distribution Function)
Fungsi distribusi bertujuan mewujudkan keadilan sosial melalui
redistribusi pendapatan.³
Pajak progresif dan belanja sosial adalah instrumen utama yang digunakan
pemerintah untuk mengurangi kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.
Joseph Stiglitz berargumen bahwa tanpa kebijakan distribusi yang
memadai, sistem ekonomi pasar cenderung memperlebar jurang ketimpangan.⁴ Oleh
karena itu, kebijakan fiskal harus mempertimbangkan dimensi etika dan keadilan, bukan hanya
efisiensi ekonomi. Dalam konteks Indonesia, program-program seperti Bantuan
Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan bentuk
konkret dari fungsi distribusi fiskal.
6.3.
Fungsi Stabilisasi
(Stabilization Function)
Fungsi stabilisasi menjadikan fiskal sebagai instrumen untuk menjaga
stabilitas makroekonomi, khususnya dalam menghadapi fluktuasi siklus bisnis.
Keynes menegaskan
bahwa pemerintah dapat menggunakan belanja publik dan pajak untuk menstabilkan
perekonomian pada saat resesi maupun inflasi.⁵
Instrumen seperti automatic stabilizers—misalnya pajak progresif
yang menurun saat resesi atau program tunjangan sosial—secara otomatis meredam
guncangan ekonomi.⁶ Di Indonesia, kebijakan fiskal ekspansif terbukti memainkan
peran penting
dalam menghadapi krisis finansial global 2008 dan pandemi COVID-19, ketika
belanja negara ditingkatkan untuk menopang konsumsi masyarakat.⁷
6.4.
Fungsi Pembangunan
(Developmental Function)
Selain tiga fungsi klasik di atas, fiskal juga memiliki fungsi
pembangunan, khususnya di negara berkembang. Fiskal diarahkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, serta mendukung sektor-sektor produktif.⁸
Dalam konteks pembangunan nasional, belanja negara bukan hanya untuk
menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi juga sebagai investasi jangka panjang.
Infrastruktur
jalan, pelabuhan, jaringan listrik, dan digitalisasi ekonomi merupakan contoh
alokasi fiskal yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa.⁹
6.5.
Fungsi Kontrol dan
Regulasi
Fiskal juga memiliki fungsi kontrol, yaitu sebagai alat regulasi
terhadap aktivitas ekonomi tertentu. Melalui instrumen pajak dan subsidi,
pemerintah dapat mengarahkan perilaku masyarakat maupun dunia usaha. Pajak
lingkungan (green
tax), misalnya,
digunakan untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong perusahaan beralih pada
energi bersih.¹⁰
Di sisi lain, insentif fiskal seperti keringanan pajak bagi industri
strategis berfungsi mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.¹¹
Dengan demikian, fungsi kontrol fiskal bukan sekadar mengatur penerimaan dan
pengeluaran, tetapi juga membentuk perilaku ekonomi yang sesuai dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Harvey S. Rosen and Ted Gayer, Public Finance,
9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 62.
[2]
Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance:
A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 8.
[3]
Musgrave, The Theory of Public Finance, 17.
[4]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality
(New York: W.W. Norton, 2012), 89.
[5]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 384.
[6]
Alan J. Auerbach and Daniel Feenberg, “The
Significance of Federal Taxes as Automatic Stabilizers,” Journal of Economic
Perspectives 14, no. 3 (2000): 37–56.
[7]
Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic
Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.
[8]
Vito Tanzi and Hamid Davoodi, “Corruption, Growth, and
Public Finances,” IMF Working Paper 97/139 (1997): 12.
[9]
Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 312.
[10]
David Pearce, Blueprint for a Green Economy
(London: Earthscan, 1989), 45.
[11]
James E. Anderson, Public Policymaking, 8th ed.
(Boston: Cengage, 2014), 269.
7.
Implementasi Fiskal dalam Konteks Nasional
7.1. Kebijakan
Fiskal Indonesia dalam Era Reformasi
Era Reformasi sejak 1998 menandai perubahan signifikan dalam praktik
fiskal Indonesia. Krisis moneter Asia 1997/1998 memaksa pemerintah untuk
melakukan reformasi struktural, termasuk di bidang fiskal.¹ Perubahan tersebut
meliputi penguatan kelembagaan fiskal, transparansi anggaran, dan penerapan
disiplin fiskal melalui pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan
Negara.²
Kebijakan fiskal pada periode ini berorientasi pada stabilisasi ekonomi
sekaligus pemerataan pembangunan. Pemerintah mulai memperkuat kerangka fiskal
jangka menengah (Medium-Term Expenditure Framework) untuk mengoptimalkan
perencanaan anggaran.³ Selain itu, transparansi fiskal semakin ditingkatkan
melalui keterbukaan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada
publik.
7.2. Peran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
APBN merupakan instrumen utama implementasi kebijakan fiskal di
Indonesia.⁴ Sebagai dokumen hukum dan politik, APBN tidak hanya mencerminkan
kondisi keuangan negara, tetapi juga arah kebijakan pembangunan nasional.
Struktur APBN mencakup penerimaan (pajak, bea cukai, penerimaan negara
bukan pajak, dan hibah) serta belanja negara (belanja pemerintah pusat dan
transfer ke daerah).⁵ Seiring waktu, belanja negara mengalami pergeseran dari
belanja rutin ke arah belanja pembangunan yang lebih produktif, seperti
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan rendahnya rasio
pajak (tax ratio) terhadap PDB yang menunjukkan keterbatasan basis pajak di
Indonesia.⁶ Upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terus dilakukan,
termasuk melalui digitalisasi sistem perpajakan.
7.3. Peran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Selain APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrumen penting dalam mendukung otonomi daerah. Setelah diberlakukannya
desentralisasi fiskal tahun 2001, pemerintah daerah memperoleh kewenangan lebih
luas dalam mengelola sumber daya fiskal.⁷
APBD mencerminkan prioritas pembangunan di tingkat lokal, dengan
pembiayaan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), transfer dari pusat,
serta pinjaman daerah. Namun, ketergantungan fiskal daerah terhadap dana
transfer dari pusat masih sangat tinggi.⁸ Hal ini menimbulkan tantangan dalam
mewujudkan kemandirian fiskal daerah.
7.4.
Dana Otonomi Daerah
dan Transfer ke Daerah
Kebijakan desentralisasi fiskal diwujudkan melalui berbagai instrumen
transfer fiskal, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana
Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.⁹ DAU dimaksudkan untuk pemerataan kapasitas
fiskal antar daerah, sementara DAK diarahkan untuk mendukung prioritas nasional
di tingkat lokal. DBH memberikan porsi kepada daerah dari penerimaan yang
berasal dari sumber daya alam dan pajak tertentu.
Sejak 2015, Dana Desa menjadi tambahan instrumen penting dalam
mendukung pembangunan di tingkat desa.¹⁰ Meski demikian, efektivitas transfer
fiskal kerap dipertanyakan akibat lemahnya kapasitas perencanaan dan
implementasi di tingkat daerah.¹¹
7.5. Fiskal
dalam Pembangunan Infrastruktur, Pendidikan, dan Kesehatan
Implementasi kebijakan fiskal di Indonesia berfokus pada pembangunan
sektor strategis. Pertama, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas guna
mendukung pertumbuhan ekonomi, mengurangi biaya logistik, dan meningkatkan daya
saing nasional.¹² Kedua, belanja pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan alokasi minimal 20 persen APBN sebagaimana diatur
dalam konstitusi.¹³ Ketiga, sektor kesehatan mendapat perhatian khusus,
terutama setelah pandemi COVID-19, dengan penguatan sistem kesehatan nasional
dan penyediaan jaminan kesehatan melalui BPJS.¹⁴
Ketiga sektor tersebut menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal di
Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai
sarana pencapaian tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum.
Footnotes
[1]
Wing Thye Woo, “The Asian Financial Crisis: Lessons
for Other Emerging Markets,” Brookings Papers on Economic Activity 2
(2000): 1–90.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Pasal 12.
[3]
M. Chatib
Basri, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan di Era Reformasi
(Jakarta: KPG, 2002), 144.
[4]
Badan
Kebijakan Fiskal, APBN Kita 2023 (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2023), 5.
[5]
Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Sustainable
Growth,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2022.
[6]
OECD, Revenue Statistics in Asia and the Pacific
2022 (Paris: OECD Publishing, 2022), 47.
[7]
M. Chatib Basri, “Fiscal Policy in Decentralized
Indonesia,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 38, no. 3 (2002):
319–34.
[8]
Bambang
Brodjonegoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Evaluasi dan Prospek
(Jakarta: LP3ES, 2003), 71.
[9]
Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2021
(Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2021), 12.
[10]
Tjandra Laksmi, “Village Funds and Rural Development
in Indonesia,” Journal of Southeast Asian Economies 36, no. 3 (2019):
287–304.
[11]
World Bank, Indonesia’s Local Government Public
Financial Management Performance Report (Washington, DC: World Bank, 2017),
19.
[12]
Asian Development Bank, Meeting Asia’s
Infrastructure Needs (Manila: ADB, 2017), 211.
[13]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 31 ayat 4.
[14]
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Laporan
Kinerja 2021 (Jakarta: Kemenkes RI, 2022), 33.
8.
Fiskal dalam Perspektif Global dan
Perbandingan
8.1. Perbandingan
Sistem Fiskal Negara Maju dan Berkembang
Sistem fiskal di negara maju umumnya ditandai dengan rasio pajak
terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif tinggi, serta struktur
penerimaan yang lebih beragam.¹ Pajak penghasilan individu, pajak perusahaan,
dan pajak konsumsi berkontribusi signifikan dalam penerimaan negara.
Negara-negara Eropa Barat misalnya, memiliki sistem fiskal yang kuat untuk
mendukung welfare state dengan belanja sosial yang besar.²
Sebaliknya, di banyak negara berkembang, rasio pajak relatif rendah
akibat basis pajak yang sempit, tingginya sektor informal, dan lemahnya
administrasi perpajakan.³ Hal ini menyebabkan ketergantungan pada sumber daya
alam atau utang luar negeri dalam membiayai anggaran negara. Indonesia,
misalnya, masih menghadapi tantangan rendahnya tax ratio yang berkisar
10–12 persen dari PDB dalam dekade terakhir.⁴
8.2. Fiskal
dalam Kerangka Globalisasi dan Integrasi Ekonomi Internasional
Globalisasi telah memperkuat keterkaitan antarnegara dalam hal fiskal.
Persaingan global mendorong negara-negara untuk menyesuaikan tarif pajak
korporasi agar tetap kompetitif menarik investasi asing. Fenomena ini dikenal
sebagai tax competition.⁵
Selain itu, integrasi ekonomi internasional melalui perjanjian
perdagangan bebas (FTA) dan blok regional seperti Uni Eropa, ASEAN, atau NAFTA,
mengharuskan harmonisasi fiskal tertentu.⁶ Meskipun demikian, harmonisasi ini
menimbulkan dilema karena membatasi ruang fiskal negara untuk melaksanakan
kebijakan domestik yang berorientasi pada kepentingan nasional.
8.3.
Fiskal dan
Organisasi Global (IMF, World Bank, WTO)
Lembaga internasional seperti
International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization
(WTO) memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan fiskal negara-negara
berkembang. IMF, misalnya, sering memberikan syarat ketat terkait disiplin fiskal sebagai
prasyarat pemberian pinjaman.⁷ Sementara itu, World Bank mendukung pembangunan
infrastruktur melalui pinjaman jangka panjang, yang pada akhirnya memengaruhi
struktur fiskal negara penerima.
Kritik muncul karena intervensi
lembaga-lembaga ini dianggap membatasi kedaulatan fiskal negara, dengan
mendorong kebijakan pengetatan anggaran (austerity measures) yang sering
berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat.⁸ Namun, di sisi lain, peran
lembaga-lembaga tersebut juga penting dalam memberikan stabilitas global dan
dukungan teknis bagi reformasi fiskal.
8.4. Tantangan
Negara Berkembang dalam Menghadapi Fiskal Global
Negara berkembang menghadapi berbagai tantangan dalam konteks fiskal
global. Pertama, penghindaran pajak dan pengalihan keuntungan (base erosion
and profit shifting, BEPS) oleh perusahaan multinasional mengurangi potensi
penerimaan negara.⁹ Kedua, meningkatnya utang publik akibat kebutuhan
pembiayaan pembangunan seringkali membuat negara berkembang terjebak dalam debt
trap.¹⁰
Selain itu, negara berkembang juga menghadapi tekanan untuk
mengalokasikan belanja publik tidak hanya pada pembangunan domestik, tetapi
juga pada isu global seperti perubahan iklim.¹¹ Oleh karena itu, kolaborasi
internasional menjadi kunci untuk menciptakan sistem fiskal yang lebih adil dan
berkelanjutan, khususnya melalui forum global seperti G20 dan OECD.
Footnotes
[1]
Vito Tanzi and Ludger Schuknecht, Public Spending
in the 20th Century: A Global Perspective (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 67.
[2]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare
Capitalism (Princeton: Princeton University Press, 1990), 22.
[3]
Richard M. Bird and Eric M. Zolt, “Tax Policy in
Emerging Countries,” Environment and Planning C: Government and Policy
26, no. 1 (2008): 73–86.
[4]
OECD, Revenue Statistics in Asia and the Pacific
2022 (Paris: OECD Publishing, 2022), 45.
[5]
Joel Slemrod and John D. Wilson, Tax Competition
with and without Foreign Direct Investment (Cambridge: MIT Press, 2009),
13.
[6]
Michael Keen and Stephen Smith, “VAT Fraud and
Evasion: What Do We Know and What Can Be Done?” National Tax Journal 59,
no. 4 (2006): 861–87.
[7]
International Monetary Fund, Fiscal Monitor:
Balancing Fiscal Policy Risks (Washington, DC: IMF, 2015), 8.
[8]
Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its
Discontents (New York: W.W. Norton, 2002), 54.
[9]
OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting
(Paris: OECD Publishing, 2013), 11.
[10]
Carmen M. Reinhart and Kenneth S. Rogoff, This Time
Is Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton: Princeton
University Press, 2009), 215.
[11]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 153.
9.
Kritik terhadap Sistem Fiskal
9.1. Kelemahan
Kebijakan Pajak dan Masalah Keadilan
Salah satu kritik utama terhadap sistem fiskal adalah ketidakadilan
dalam kebijakan pajak. Pajak progresif yang idealnya mampu mengurangi
ketimpangan sering kali tidak berjalan efektif karena lemahnya basis pajak dan
tingginya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) serta penggelapan
pajak (tax evasion).¹ Perusahaan multinasional dengan mudah memanfaatkan
celah hukum internasional untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif
pajak rendah (tax havens).²
Akibatnya, beban fiskal justru cenderung lebih berat bagi kelompok
menengah ke bawah yang bergantung pada konsumsi dan pendapatan tetap.³ Hal ini
menimbulkan kritik bahwa sistem fiskal dalam praktiknya sering kali bersifat
regresif, alih-alih progresif.
9.2.
Ketergantungan pada
Utang Publik
Banyak negara, termasuk Indonesia, menghadapi ketergantungan pada utang
publik untuk menutupi defisit anggaran.⁴ Meski utang publik dapat menjadi
instrumen pembiayaan pembangunan, kritik muncul karena beban pembayaran bunga
dan cicilan utang berpotensi membatasi ruang fiskal negara di masa depan.
Teori Ricardian Equivalence yang dikemukakan Robert Barro bahkan
menyatakan bahwa utang publik bukanlah solusi nyata, karena masyarakat akan
mengantisipasi pajak lebih tinggi di masa depan untuk menutup utang tersebut.⁵
Dengan demikian, kebijakan fiskal berbasis utang sering dianggap menunda
masalah alih-alih menyelesaikannya.
9.3.
Korupsi dan
Penyalahgunaan Fiskal
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kelemahan sistem
fiskal kerap berkaitan dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran.
Transparency International mencatat bahwa kebocoran anggaran melalui korupsi
fiskal menghambat efektivitas kebijakan publik.⁶
Korupsi dalam pengelolaan fiskal bukan hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga melemahkan legitimasi pemerintah di mata rakyat.⁷ Kritik ini
menekankan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik (good
governance) merupakan syarat mutlak agar sistem fiskal benar-benar dapat
mewujudkan tujuan kesejahteraan.
9.4. Kritik
dari Perspektif Ekonomi Islam dan Etika Ekonomi
Dari perspektif ekonomi Islam, kritik terhadap sistem fiskal modern
muncul karena terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan
keadilan distribusi dan dimensi moral. Sistem perpajakan sering dipandang menekan
kelompok miskin, sementara instrumen distribusi berbasis syariah seperti zakat,
infaq, dan wakaf kurang terintegrasi dalam kerangka fiskal negara.⁸
Selain itu, dalam kerangka etika ekonomi, kebijakan fiskal yang
berorientasi pada austerity measures kerap dikritik karena mengorbankan
kesejahteraan masyarakat miskin demi stabilitas makroekonomi.⁹ Joseph Stiglitz
menekankan bahwa kebijakan fiskal seharusnya menempatkan keadilan sosial
sebagai prinsip utama, bukan sekadar menjaga angka-angka makro.¹⁰
Footnotes
[1]
Richard M. Bird and Eric M. Zolt, “Tax Policy in
Emerging Countries,” Environment and Planning C: Government and Policy
26, no. 1 (2008): 73–86.
[2]
OECD, Addressing Base Erosion and Profit Shifting
(Paris: OECD Publishing, 2013), 11.
[3]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.
[4]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2017), 512.
[5]
Robert J. Barro, “Are Government Bonds Net Wealth?” Journal
of Political Economy 82, no. 6 (1974): 1095–1117.
[6]
Transparency International, Corruption Perceptions
Index 2022 (Berlin: TI, 2022), 17.
[7]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government:
Causes, Consequences, and Reform (Cambridge: Cambridge University Press,
1999), 45.
[8]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 214.
[9]
Mark Blyth, Austerity: The History of a Dangerous
Idea (Oxford: Oxford University Press, 2013), 102.
[10]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality
(New York: W.W. Norton, 2012), 94.
10. Relevansi
Fiskal dalam Kehidupan Kontemporer
10.1. Peran
Fiskal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
Fiskal memiliki peran vital dalam menghadapi krisis ekonomi, baik
krisis global 1997/1998, krisis finansial 2008, maupun pandemi COVID-19. Pada
masa krisis, pemerintah menggunakan kebijakan fiskal ekspansif berupa
peningkatan belanja publik dan pemberian stimulus ekonomi untuk menjaga daya
beli masyarakat.¹
John Maynard Keynes menekankan bahwa kebijakan fiskal adalah instrumen
paling efektif untuk mendorong pemulihan saat permintaan agregat menurun.² Hal
ini terbukti ketika banyak negara, termasuk Indonesia, meningkatkan defisit
anggaran demi membiayai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada masa
pandemi.³
10.2.
Fiskal dan Isu
Lingkungan (Green Fiscal Policy)
Dalam konteks kontemporer, kebijakan fiskal juga relevan untuk menjawab
tantangan lingkungan. Green fiscal policy menekankan penggunaan
instrumen fiskal untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, misalnya melalui
pajak karbon, insentif energi terbarukan, dan penghapusan subsidi bahan bakar
fosil.⁴
Menurut Nicholas Stern, kebijakan fiskal berbasis lingkungan merupakan
kunci untuk mengatasi perubahan iklim tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.⁵ Di
Indonesia, pengenalan pajak karbon pada tahun 2022 menjadi langkah awal menuju
fiskal hijau, meskipun implementasinya masih menghadapi kendala politik dan
ekonomi.⁶
10.3. Fiskal
dalam Era Digitalisasi dan Ekonomi Kreatif
Revolusi digital telah mengubah lanskap ekonomi, termasuk sistem
fiskal. Tantangan utama adalah pengenaan pajak terhadap transaksi digital
lintas negara, seperti layanan over-the-top (OTT), e-commerce, dan
perusahaan teknologi global.⁷ OECD melalui inisiatif Inclusive Framework on
Base Erosion and Profit Shifting berupaya menciptakan mekanisme pajak
digital yang adil dan terkoordinasi.⁸
Di sisi lain, fiskal juga memainkan peran penting dalam mendukung
ekonomi kreatif melalui insentif pajak, dana hibah, dan dukungan infrastruktur
digital.⁹ Dengan demikian, kebijakan fiskal berfungsi adaptif terhadap
perkembangan teknologi yang mengubah struktur ekonomi modern.
10.4. Peran
Fiskal dalam Mengurangi Ketimpangan Sosial
Ketimpangan sosial merupakan isu sentral dalam ekonomi kontemporer.
Thomas Piketty menegaskan bahwa tanpa intervensi kebijakan fiskal yang kuat,
kesenjangan antara kaya dan miskin akan terus melebar.¹⁰
Pajak progresif, belanja sosial, dan transfer fiskal menjadi instrumen
utama untuk mengurangi ketimpangan.¹¹ Dalam konteks Indonesia, program
perlindungan sosial seperti Bantuan Sosial Tunai (BST), Program Keluarga
Harapan (PKH), dan subsidi pendidikan menunjukkan peran fiskal sebagai
instrumen redistribusi yang berorientasi pada keadilan sosial.¹²
Footnotes
[1]
Olivier Blanchard, Macroeconomics, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2017), 514.
[2]
John Maynard Keynes, The General Theory of
Employment, Interest, and Money (London: Macmillan, 1936), 382.
[3]
Sri Mulyani Indrawati, “Fiscal Policy for Pandemic
Recovery,” Ministry of Finance Report, Jakarta, 2021.
[4]
David Pearce, Blueprint for a Green Economy
(London: Earthscan, 1989), 45.
[5]
Nicholas Stern, The Economics of Climate Change:
The Stern Review (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 153.
[6]
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, APBN Kita
2022 (Jakarta: Kemenkeu RI, 2022), 27.
[7]
Arthur Cockfield, Taxing Global Digital Commerce,
2nd ed. (Amsterdam: IBFD, 2019), 12.
[8]
OECD, Tax Challenges Arising from Digitalisation –
Interim Report 2018 (Paris: OECD Publishing, 2018), 9.
[9]
UNCTAD, Creative Economy Outlook 2022 (Geneva:
United Nations, 2022), 31.
[10]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.
[11]
Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics
of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 125.
[12]
World Bank, Indonesia Social Assistance Reform
Program (Washington, DC: World Bank, 2020), 18.
11. Sintesis
dan Refleksi Filosofis
11.1. Fiskal
sebagai Cermin Relasi Negara–Masyarakat
Kebijakan fiskal pada hakikatnya tidak hanya merupakan instrumen
ekonomi, tetapi juga mencerminkan hubungan fundamental antara negara dan
masyarakat. Pajak, misalnya, tidak hanya sekadar sumber penerimaan, melainkan
juga bentuk partisipasi warga negara dalam mendukung kontrak sosial.¹
Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa legitimasi kekuasaan negara terletak
pada kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat, dan fiskal merupakan
manifestasi nyata dari kontrak tersebut.²
Dengan demikian, sistem fiskal dapat dipandang sebagai barometer
kepercayaan publik: semakin transparan dan adil kebijakan fiskal, semakin kuat
pula legitimasi negara di mata masyarakatnya.
11.2.
Dimensi Etika,
Keadilan, dan Kesejahteraan
Fiskal memiliki dimensi etis yang menuntut adanya keadilan dalam
pengelolaan sumber daya publik. Aristoteles dalam Politics menekankan
pentingnya distribusi yang adil agar negara dapat berfungsi sebagai komunitas
moral.³ Dalam konteks modern, prinsip keadilan fiskal menuntut agar pajak tidak
bersifat regresif, sementara belanja negara diarahkan untuk kelompok rentan.
Dari perspektif Islam, fiskal memiliki dimensi spiritual yang
menekankan keadilan distributif melalui instrumen seperti zakat, kharaj, dan
wakaf.⁴ Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj menegaskan bahwa pungutan negara
tidak boleh menzalimi rakyat, melainkan harus dikelola untuk kemaslahatan
umum.⁵ Dengan demikian, refleksi filosofis atas fiskal menempatkannya bukan
semata sebagai perangkat teknokratis, melainkan juga instrumen moral untuk
mencapai kesejahteraan bersama.
11.3. Dialektika
antara Kebijakan Fiskal, Moralitas, dan Politik
Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan fiskal kerap berada di persimpangan
antara moralitas dan politik. Thomas Piketty mengingatkan bahwa distribusi
fiskal tidak netral, melainkan selalu dipengaruhi oleh kekuatan politik dan
ideologi yang dominan.⁶ Di sisi lain, filsuf politik John Rawls menegaskan
bahwa keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam kebijakan publik,
termasuk fiskal.⁷
Dialektika ini memperlihatkan bahwa fiskal tidak dapat dilepaskan dari
arena pertarungan ideologi dan kepentingan. Ia bukan sekadar instrumen teknis,
melainkan juga ruang perdebatan etis tentang apa yang dianggap adil, sah, dan
benar dalam masyarakat.
11.4. Refleksi
Filosofis: Fiskal sebagai Instrumen Keadilan Sosial
Pada akhirnya, fiskal harus dipandang sebagai instrumen yang melampaui
angka-angka makroekonomi. Ia merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita luhur
tentang keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hal ini sejalan dengan gagasan
filsafat politik klasik maupun modern yang menempatkan negara sebagai pengemban
tanggung jawab moral.
Dalam konteks Indonesia, fiskal bukan hanya alat pembangunan ekonomi,
tetapi juga instrumen untuk mewujudkan sila kelima Pancasila: Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.⁸ Dengan demikian, sintesis filosofis
mengenai fiskal menekankan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan,
distribusi, stabilitas, dan nilai-nilai keadilan yang lebih universal.
Footnotes
[1]
Joseph E. Stiglitz and Jay K. Rosengard, Economics
of the Public Sector, 4th ed. (New York: W.W. Norton, 2015), 119.
[2]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract
(London: Penguin, 1968), 72.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Ernest Barker
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 132.
[4]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge
(Leicester: Islamic Foundation, 1992), 214.
[5]
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, ed. Ihsan Abbas
(Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1979), 45.
[6]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 478.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 75.
[8]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pembukaan, alinea keempat.
12. Penutup
12.1.
Kesimpulan
Kajian tentang fiskal menunjukkan bahwa
kebijakan ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai instrumen teknis dalam
mengelola keuangan negara, melainkan juga sebagai refleksi dari relasi sosial,
politik, ekonomi, dan moral antara negara dan masyarakat. Sejak pemikiran klasik Adam Smith hingga teori
modern dan perspektif kontemporer, fiskal senantiasa berperan dalam menjaga
stabilitas, mendorong pertumbuhan, serta mewujudkan distribusi keadilan
sosial.¹
Dalam konteks Indonesia, implementasi fiskal mengalami dinamika yang
panjang: dari masa kolonial yang eksploitatif, Orde Lama yang penuh dengan
defisit dan inflasi, Orde Baru yang bertumpu pada minyak, hingga era Reformasi
yang ditandai dengan desentralisasi fiskal dan transparansi anggaran.²
Perjalanan ini memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal selalu bersifat adaptif
terhadap tantangan zaman, baik dalam menghadapi krisis ekonomi, globalisasi,
maupun tuntutan keadilan sosial.
Fiskal memiliki fungsi yang sangat luas: alokasi, distribusi,
stabilisasi, pembangunan, dan regulasi.³ Fungsi-fungsi ini menegaskan bahwa
kebijakan fiskal adalah sarana penting dalam mewujudkan tujuan bernegara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “mewujudkan kesejahteraan umum.”⁴
12.2.
Implikasi Teoritis
dan Praktis
Secara teoritis, kajian ini menegaskan pentingnya pendekatan
multidisipliner dalam memahami fiskal. Ilmu ekonomi, politik, hukum, dan
filsafat harus dipadukan agar kebijakan fiskal dapat dipahami secara
komprehensif. Teori klasik, Keynesian, monetaris, maupun perspektif Islam dan
kearifan lokal sama-sama memberikan kontribusi berharga untuk memperkaya wacana
fiskal.
Secara praktis, kebijakan fiskal harus dilaksanakan dengan
memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Pajak
progresif, belanja publik yang produktif, serta transfer fiskal yang adil dapat
memperkuat legitimasi negara sekaligus mengurangi ketimpangan sosial. Di era
globalisasi dan digitalisasi, fiskal juga perlu diarahkan untuk menjawab tantangan
kontemporer seperti perubahan iklim, ekonomi digital, dan keberlanjutan
pembangunan.
12.3.
Rekomendasi
Berdasarkan kajian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat
diajukan:
1)
Penguatan basis pajak melalui reformasi perpajakan yang
inklusif dan adaptif terhadap ekonomi digital.
2)
Efisiensi belanja negara dengan fokus pada sektor
produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
3)
Pengelolaan utang publik yang berkelanjutan, dengan memastikan bahwa utang
digunakan untuk investasi jangka panjang, bukan sekadar pembiayaan defisit.
4)
Integrasi fiskal dengan prinsip etika dan
keadilan sosial,
baik melalui perspektif universal maupun nilai-nilai lokal dan agama.
5)
Kolaborasi global dalam menghadapi tantangan fiskal lintas
negara, seperti penghindaran pajak, perubahan iklim, dan digitalisasi.
Dengan demikian, fiskal dapat benar-benar berfungsi sebagai instrumen
keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sekadar angka dalam
laporan keuangan negara.
Footnotes
[1]
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (London: W. Strahan and T. Cadell, 1776), 825.
[2]
Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 301.
[3]
Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance:
A Study in Public Economy (New York: McGraw-Hill, 1959), 8–9.
[4]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pembukaan, alinea keempat.
Daftar Pustaka
Anderson, J. E. (2014). Public policymaking (8th ed.).
Cengage.
Aristotle. (1995). Politics
(E. Barker, Trans.). Oxford University Press.
Asian Development Bank. (2017). Meeting
Asia’s infrastructure needs. ADB.
Auerbach, A. J., & Feenberg, D.
(2000). The significance of federal taxes as automatic stabilizers. Journal
of Economic Perspectives, 14(3), 37–56.
Backhaus, J. (2005). Handbook of
public finance. Springer.
Barro, R. J. (1974). Are government
bonds net wealth? Journal of Political Economy, 82(6), 1095–1117.
Barro, R. J. (2008). Macroeconomics:
A modern approach. South-Western Cengage.
Basri, M. C. (2002). Fiscal policy in
decentralized Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3),
319–334.
Basri, M. C. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan harapan
di era reformasi. KPG.
Bird, R. M., & Zolt, E. M.
(2008). Tax policy in emerging countries. Environment and Planning C:
Government and Policy, 26(1), 73–86.
Blanchard, O. (2017). Macroeconomics
(7th ed.). Pearson.
Blinder, A. S. (2008). Keynesian
economics. Oxford University Press.
Blyth, M. (2013). Austerity: The
history of a dangerous idea. Oxford University Press.
Booth, A. (1998). The Indonesian
economy in the nineteenth and twentieth centuries. Macmillan.
Brodjonegoro, B. (2003). Desentralisasi fiskal di Indonesia:
Evaluasi dan prospek. LP3ES.
Chapra, M. U. (1992). Islam and
the economic challenge. Islamic Foundation.
Cockfield, A. (2019). Taxing
global digital commerce (2nd ed.). IBFD.
Davidson, P. (2011). Post Keynesian
macroeconomic theory (2nd ed.). Edward Elgar.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2021). Transfer ke daerah
dan dana desa 2021. Kementerian Keuangan RI.
Dick, H., Houben, V. J. H., Lindblad,
J. T., & Thee, K. W. (2002). The emergence of a national economy: An
economic history of Indonesia, 1800–2000. University of Hawai‘i Press.
Ekelund, R., & Hébert, R. (2014).
A history of economic theory and method (6th ed.). Waveland Press.
Esping-Andersen, G. (1990). The
three worlds of welfare capitalism. Princeton University Press.
Friedman, M., & Schwartz, A. J.
(1963). A monetary history of the United States, 1867–1960. Princeton
University Press.
Geertz, C. (1963). Agricultural
involution: The processes of ecological change in Indonesia. University of
California Press.
Hill, H. (2000). The Indonesian
economy. Cambridge University Press.
Indrawati, S. M. (2021). Fiscal
policy for pandemic recovery. Ministry of Finance Report.
Indrawati, S. M. (2022). Fiscal
policy for sustainable growth. Ministry of Finance Report.
International Monetary Fund. (2015). Fiscal
monitor: Balancing fiscal policy risks. IMF.
Keen, M., & Smith, S. (2006). VAT
fraud and evasion: What do we know and what can be done? National Tax
Journal, 59(4), 861–887.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. (2022). Laporan kinerja 2021. Kemenkes RI.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. (2022). APBN kita 2022. Kemenkeu RI.
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. (2023). APBN
kita 2023. Kemenkeu RI.
Keynes, J. M. (1936). The general theory of employment,
interest, and money. Macmillan.
Laksmi, T. (2019). Village funds and
rural development in Indonesia. Journal of Southeast Asian Economies, 36(3),
287–304.
Mankiw, N. G. (2016). Macroeconomics
(9th ed.). Worth Publishers.
Mankiw, N. G., & Romer, D.
(1991). New Keynesian economics. MIT Press.
Manan, B. (2005). Hukum keuangan negara. FH UII Press.
Mill, J. S. (1848). Principles of
political economy. Longmans, Green and Co.
Mishkin, F. S. (2018). The
economics of money, banking, and financial markets (11th ed.). Pearson.
Musgrave, R. A. (1959). The theory
of public finance: A study in public economy. McGraw-Hill.
Musgrave, R. A., & Musgrave, P.
B. (1989). Public finance in theory and practice (5th ed.). McGraw-Hill.
OECD. (2013). Addressing base
erosion and profit shifting. OECD Publishing.
OECD. (2018). Tax challenges
arising from digitalisation – Interim report 2018. OECD Publishing.
OECD. (2022). Revenue statistics
in Asia and the Pacific 2022. OECD Publishing.
Peacock, A., & Wiseman, J.
(1961). The growth of public expenditure in the United Kingdom.
Princeton University Press.
Pearce, D. (1989). Blueprint for a
green economy. Earthscan.
Piketty, T. (2014). Capital in the
twenty-first century. Harvard University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of
justice. Harvard University Press.
Reinhart, C. M., & Rogoff, K. S.
(2009). This time is different: Eight centuries of financial folly.
Princeton University Press.
Ricardo, D. (1817). On the
principles of political economy and taxation. John Murray.
Rosen, H. S., & Gayer, T. (2010).
Public finance (9th ed.). McGraw-Hill.
Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption
and government: Causes, consequences, and reform. Cambridge University
Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social
contract. Penguin.
Slemrod, J., & Wilson, J. D.
(2009). Tax competition with and without foreign direct investment. MIT
Press.
Smith, A. (1776). An inquiry into
the nature and causes of the wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.
Stern, N. (2007). The economics of
climate change: The Stern review. Cambridge University Press.
Stiglitz, J. E. (2002). Globalization
and its discontents. W.W. Norton.
Stiglitz, J. E. (2012). The price
of inequality. W.W. Norton.
Stiglitz, J. E., & Rosengard, J. K. (2015). Economics of
the public sector (4th ed.). W.W. Norton.
Tanzi, V. (2000). Globalization
and the future of social protection. IMF.
Tanzi, V., & Davoodi, H. (1997).
Corruption, growth, and public finances. IMF Working Paper 97/139.
Tanzi, V., & Schuknecht, L.
(2000). Public spending in the 20th century: A global perspective. Cambridge
University Press.
Thee, K. W. (2012). Indonesia’s
economy since independence. ISEAS.
Transparency International. (2022). Corruption
perceptions index 2022. Transparency International.
Umer Chapra, M. (1992). Islam and
the economic challenge. Islamic Foundation.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UNCTAD. (2022). Creative economy
outlook 2022. United Nations.
Woo, W. T. (2000). The Asian
financial crisis: Lessons for other emerging markets. Brookings Papers on
Economic Activity, 2, 1–90.
World Bank. (2017). Indonesia’s
local government public financial management performance report. World
Bank.
World Bank. (2020). Indonesia
social assistance reform program. World Bank.
Yusuf, A. (1979). Kitab al-Kharaj
(I. Abbas, Ed.). Dar al-Ma‘rifah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar