Kamis, 10 Juli 2025

Madrasah: Institusi Pendidikan Formal dalam Sejarah dan Konteks Kontemporer

Madrasah

Institusi Pendidikan Formal dalam Sejarah dan Konteks Kontemporer


Alihkan ke: Dari Scholé ke SekolahGuru yang MembebaskanKurikulum Masa Depan, Pendidikan yang Menjinakkan, Sekolah Bukan Pabrik, Hak untuk Malas.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang madrasah sebagai institusi pendidikan formal dalam Islam, baik dalam dimensi historis maupun dalam konteks kontemporer di Indonesia. Kajian dimulai dengan menelusuri akar etimologis dan terminologis madrasah, yang menunjukkan bahwa sejak masa awal Abbasiyah telah tumbuh benih-benih sistem pendidikan Islam melalui majelis-majelis ilmu di masjid. Perkembangan signifikan terjadi pada masa Dinasti Seljuk, terutama dengan pendirian Madrasah Nizamiyah yang menjadi model pendidikan tinggi Islam terorganisasi. Artikel ini kemudian mengeksplorasi sistem pendidikan madrasah, termasuk kurikulum, metode pengajaran, struktur kelembagaan, dan tradisi ilmiah seperti pemberian ijazah dan sanad. Selanjutnya, pembahasan diarahkan pada perkembangan madrasah modern di Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui secara legal dan formal oleh negara. Dalam konteks era modern, madrasah tidak hanya mempertahankan nilai-nilai keislaman, tetapi juga aktif dalam transformasi digital, pendidikan moderasi beragama, dan peningkatan akses bagi masyarakat marginal. Dengan demikian, madrasah terbukti memiliki peran strategis dalam membentuk generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan adaptif terhadap tantangan global.


Kata Kunci: Madrasah, pendidikan Islam, sejarah pendidikan, sistem pendidikan formal, moderasi beragama, Kementerian Agama, pendidikan Indonesia, transformasi digital.


PEMBAHASAN

Madrasah sebagai Institusi Pendidikan Formal dalam Sejarah dan Konteks Kontemporer


1.           Pendahuluan

Madrasah merupakan institusi pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah panjang dalam peradaban Muslim, berperan besar dalam mentransmisikan ilmu, menjaga tradisi keilmuan Islam, dan membentuk intelektual-intelektual besar sejak abad pertengahan. Istilah madrasah berasal dari bahasa Arab darasa – yadrusu – madrasah, yang berarti tempat belajar atau tempat pelaksanaan proses belajar-mengajar secara sistematis. Sejak awal kemunculannya, madrasah tidak sekadar menjadi pusat pengajaran keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana penguatan wacana ilmiah rasional dalam berbagai disiplin seperti logika, matematika, hingga astronomi.¹

Benih-benih lembaga pendidikan ini dapat ditelusuri sejak masa awal Dinasti Abbasiyah, ketika majelis-majelis ilmu mulai terorganisir di masjid-masjid besar seperti Masjid Agung Baghdad. Namun, bentuk kelembagaan madrasah sebagai institusi formal mulai berkembang signifikan pada masa Dinasti Seljuk pada abad ke-11 M, terutama melalui inisiatif Nizam al-Mulk, wazir Seljuk, yang mendirikan Madrasah Nizamiyah di berbagai kota penting seperti Baghdad, Nishapur, dan Balkh.² Nizamiyah menjadi model awal madrasah yang terstruktur, memiliki kurikulum, fasilitas penginapan bagi siswa (ribath), dan pendanaan wakaf.³

Di dalam madrasah, para pelajar tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam, tetapi juga ilmu-ilmu rasional seperti mantiq (logika), hisab (matematika), dan falak (astronomi).⁴ Madrasah menjadi pusat pembentukan ulama dan cendekiawan Muslim, seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, dan al-Juwaini, yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan madrasah. Sistem pendidikan ini mengandalkan kedalaman penguasaan teks klasik dan transmisi keilmuan melalui sanad serta ijazah yang mengesahkan kelayakan murid sebagai penerus ilmu.⁵

Di dunia Islam bagian timur, termasuk Asia Tenggara, model madrasah turut mengalami adaptasi lokal. Di wilayah Nusantara, perkembangan madrasah modern mulai menonjol pada awal abad ke-20 sebagai bentuk respons terhadap kolonialisme dan kebutuhan akan sistem pendidikan Islam yang lebih sistematis. Lahirnya lembaga seperti Madrasah Adabiyah di Padang dan Madrasah Diniyah School di Padang Panjang mencerminkan semangat pembaruan dalam pendidikan Islam yang menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan umum.⁶

Di Indonesia kontemporer, madrasah telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang formal dan berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah merupakan satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam.⁷ Dalam konteks ini, madrasah tidak hanya menjadi tempat transmisi keilmuan Islam, tetapi juga memainkan peran strategis dalam pembangunan karakter, moderasi beragama, dan integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai keislaman.

Mengingat pentingnya posisi madrasah dalam sejarah dan realitas pendidikan Islam, kajian ini bertujuan untuk menelusuri secara komprehensif perjalanan historis madrasah dari masa klasik hingga menjadi institusi pendidikan formal di Indonesia. Dengan pendekatan historis dan analitis, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam memahami dinamika institusi madrasah, serta urgensinya dalam pengembangan sistem pendidikan Islam yang kontekstual dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 128.

[2]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.

[3]                Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 45–46.

[4]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 109–110.

[5]                Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4 (1999): 43–45.

[6]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–61.

[7]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17 ayat (2).


2.           Pengertian Madrasah

2.1.       Etimologi Kata “Madrasah”

Secara etimologis, kata “madrasah” berasal dari bahasa Arab madrasaḥ (مدرسة), yang merupakan bentuk isim makan (kata benda tempat) dari akar kata kerja darasa – yadrusu – darsan (درسيدرسدرسا) yang berarti “belajar” atau “mengkaji”. Dengan demikian, secara harfiah madrasah bermakna “tempat belajar” atau “tempat berlangsungnya kegiatan pengajaran”.¹ Dalam pengertian awalnya, kata ini tidak secara khusus merujuk pada tempat belajar ilmu agama, melainkan lebih umum sebagai tempat proses belajar-mengajar berlangsung. Namun, dalam praktiknya di dunia Islam, madrasah mengalami spesialisasi makna menjadi lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman secara terorganisir.

2.2.       Terminologi dan Definisi Operasional

Dalam kajian akademik, istilah madrasah didefinisikan sebagai institusi pendidikan Islam formal yang muncul pada abad ke-10 dan berkembang pesat pada abad ke-11 M di bawah perlindungan dan pendanaan negara, terutama di wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk dan sesudahnya. George Makdisi menjelaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang memiliki struktur formal, kurikulum yang relatif mapan, serta sistem pembiayaan yang didukung oleh wakaf.² Madrasah berbeda dari bentuk-bentuk awal pendidikan Islam seperti halaqah atau pengajian di masjid yang lebih bersifat informal dan tidak terlembagakan.

Madrasah juga sering dikaitkan dengan transmisi ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti fikih (hukum Islam), ushul fikih (metodologi hukum), tafsir (interpretasi Al-Qur’an), hadis (tradisi Nabi), dan kalam (teologi), serta beberapa cabang ilmu rasional seperti logika (mantiq), matematika (hisab), dan astronomi (falak).³ Oleh karena itu, madrasah menjadi tempat penting dalam perkembangan epistemologi Islam tradisional, serta memainkan peran vital dalam pembentukan ulama dan cendekiawan Muslim.

Dalam konteks kontemporer, terutama di Indonesia, madrasah didefinisikan secara yuridis sebagai satuan pendidikan formal berciri khas Islam yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2013, madrasah adalah satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam di tingkat dasar dan menengah, yaitu mencakup Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).⁴ Definisi ini menekankan fungsi madrasah sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum seperti matematika, sains, dan bahasa, sesuai dengan kurikulum nasional.

Dengan demikian, istilah madrasah mengalami perluasan makna dari sekadar lembaga tradisional keilmuan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang memiliki regulasi, jenjang, kurikulum, dan struktur kelembagaan yang setara dengan sekolah umum. Hal ini mencerminkan proses transformasi dan adaptasi madrasah dari masa klasik ke masa modern dalam menjawab kebutuhan zaman.


Footnotes

[1]                Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan (Ithaca: Spoken Language Services, 1976), 294.

[2]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.

[3]                Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 42–44.

[4]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab I, Pasal 1 Ayat (2).


3.           Sejarah Perkembangan Madrasah

3.1.       Benih Awal pada Masa Abbasiyah

Meskipun madrasah sebagai institusi pendidikan formal belum muncul secara utuh pada masa awal Abbasiyah (abad ke-8 hingga ke-9 M), benih perkembangannya telah tumbuh melalui tradisi keilmuan yang terpusat di masjid-masjid besar seperti Masjid Agung Kufah, Basrah, dan Baghdad. Di tempat-tempat ini, kegiatan belajar berbentuk halaqah mulai terorganisasi, di mana seorang guru (ulama) mengajarkan kitab-kitab tertentu kepada para murid dalam bentuk lingkaran belajar.¹ Pendidikan berlangsung secara informal, dan belum memiliki struktur institusi, kurikulum baku, maupun sistem administrasi. Namun demikian, masa ini melahirkan banyak ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan al-Syafi‘i yang turut memengaruhi kurikulum madrasah kelak.²

Penting untuk dicatat bahwa pada masa ini juga mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya dokumentasi ilmu dalam bentuk kitab, dan tradisi transmisi keilmuan melalui sanad dan ijazah. Hal ini menjadi fondasi epistemologis bagi lahirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang menekankan legitimasi keilmuan melalui jalur guru-murid.³

3.2.       Perkembangan pada Masa Dinasti Seljuk

Lembaga madrasah sebagai institusi pendidikan formal pertama kali muncul secara signifikan pada masa Dinasti Seljuk, khususnya pada abad ke-11 M, ketika Wazir Nizam al-Mulk (w. 1092 M) mendirikan Madrasah Nizamiyah di Baghdad pada tahun 1067 M.⁴ Madrasah ini menjadi prototipe lembaga pendidikan tinggi Islam yang terstruktur, dengan sistem manajemen yang mapan, kurikulum standar, dan pendanaan tetap melalui wakaf. Para pelajar yang belajar di Nizamiyah mendapatkan fasilitas akomodasi, tunjangan makan, dan akses pada perpustakaan—sebuah konsep yang sangat revolusioner pada zamannya.⁵

Madrasah Nizamiyah menjadi model utama dalam membangun madrasah-madrasah lain di berbagai wilayah Islam, seperti di Nishapur, Balkh, Herat, dan Mosul.⁶ Fokus utama kurikulum di madrasah ini adalah ilmu fikih dan ushul fikih mazhab Syafi‘i, meskipun juga diajarkan ilmu-ilmu lain seperti kalam, logika, dan gramatika Arab. Tokoh besar seperti al-Ghazali pernah menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Baghdad, dan kehadirannya menunjukkan tingkat intelektualitas yang tinggi dalam sistem pendidikan madrasah.⁷

3.3.       Perluasan Madrasah di Dunia Islam

Setelah era Seljuk, model madrasah menyebar luas ke seluruh dunia Islam, termasuk di Damaskus, Kairo, Aleppo, dan Fez. Di Kairo, Dinasti Ayyubiyah dan kemudian Mamluk mengembangkan jaringan madrasah yang luas, seperti Madrasah al-Salihiyah dan al-Zahiriyah.⁸ Madrasah tidak hanya berperan sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai alat legitimasi politik dan sosial bagi penguasa Muslim. Keterikatan antara kekuasaan dan pendidikan ini memengaruhi bentuk kurikulum dan kontrol terhadap isi pengajaran.

Pada abad ke-13 hingga ke-15 M, madrasah telah menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat Muslim. Tradisi pemberian ijazah sebagai bukti kompetensi ilmiah murid dalam berbagai bidang keilmuan tetap dijaga, dan madrasah menjadi simbol otoritas keilmuan Islam.⁹

3.4.       Perkembangan Madrasah di Dunia Melayu-Nusantara

Masuknya Islam ke Asia Tenggara membawa pula konsep pendidikan Islam, meskipun pada tahap awal tidak langsung berbentuk madrasah formal. Lembaga pendidikan awal seperti surau dan pesantren berperan sebagai pusat pembelajaran Islam yang bersifat nonformal dan berbasis komunitas. Namun, pada awal abad ke-20, seiring dengan meningkatnya kesadaran reformasi pendidikan Islam dan pengaruh sistem madrasah dari Timur Tengah, muncullah madrasah modern di wilayah ini.

Beberapa madrasah awal yang menonjol antara lain Madrasah Adabiyah (1909) di Padang dan Diniyah School (1915) di Padang Panjang, yang didirikan oleh tokoh-tokoh pembaru seperti Abdullah Ahmad dan Zainuddin Labay El Yunusy.¹⁰ Madrasah-madrasah ini memadukan kurikulum keislaman dengan pelajaran umum seperti matematika, ilmu bumi, dan bahasa asing. Model ini menjadi cikal bakal sistem madrasah nasional di Indonesia yang kemudian diformalisasikan oleh negara setelah kemerdekaan.


Footnotes

[1]                Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 28–30.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 139–140.

[3]                Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4 (1999): 41–46.

[4]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–35.

[5]                Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 175.

[6]                Makdisi, The Rise of Colleges, 49–50.

[7]                W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 45–47.

[8]                Jonathan Bloom and Sheila Blair, Islam: A Thousand Years of Faith and Power (New Haven: Yale University Press, 2000), 112–115.

[9]                Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 98–101.

[10]             Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–65.


4.           Sistem Pendidikan di Madrasah

Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam memiliki sistem pendidikan yang khas dan telah terbentuk sejak masa klasik Islam, dengan struktur yang terus berkembang hingga menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional di berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia. Sistem pendidikan ini mencakup unsur kurikulum, metode pengajaran, dan struktur kelembagaan yang bertumpu pada tradisi keilmuan Islam.

4.1.       Kurikulum dan Disiplin Ilmu

Sejak awal kemunculannya, madrasah mengembangkan kurikulum yang berbasis pada ilmu-ilmu keislaman klasik. Ilmu-ilmu utama yang diajarkan di madrasah meliputi tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, dan kalam, yang bertujuan membekali siswa dengan landasan agama yang kokoh dan kemampuan berpikir hukum secara mendalam.¹ Selain itu, ilmu-ilmu rasional seperti mantiq (logika), hisab (matematika), balaghah (retorika), dan falak (astronomi) juga diajarkan untuk mendukung pengembangan metodologi dan argumentasi.²

Kurikulum ini bersifat fleksibel dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan wilayah. Sebagai contoh, di Madrasah Nizamiyah, kurikulum didominasi oleh fikih mazhab Syafi‘i, namun seiring waktu, madrasah di wilayah lain mengadopsi dan menggabungkan ilmu-ilmu dari berbagai mazhab serta tradisi pemikiran lain.³ Model pendidikan madrasah mencerminkan integrasi antara ilmu agama dan rasionalitas ilmiah, sehingga menciptakan tradisi intelektual yang kuat dalam peradaban Islam.

4.2.       Metodologi Pengajaran

Metode pengajaran dalam madrasah bersifat teacher-centered, tetapi juga sangat interaktif. Guru (mudarris) membacakan teks klasik (kitab) kepada murid, menjelaskan maknanya (syarh), dan memberi ruang diskusi. Proses ini disebut talaqqi, yaitu belajar langsung dari guru secara lisan dan tertulis.⁴ Para pelajar kemudian menghafal, mencatat, dan mengomentari isi kitab tersebut.

Salah satu kekhasan dalam sistem pendidikan madrasah adalah pemberian ijazah, yaitu lisensi keilmuan yang diberikan oleh guru kepada murid setelah dianggap menguasai satu atau beberapa kitab tertentu. Ijazah ini menjadi bukti otoritas ilmiah dan legalitas untuk mengajarkan kembali ilmu tersebut.⁵ Tradisi ini juga memperkuat konsep sanad (rantai transmisi), yang memastikan kesinambungan dan validitas keilmuan dari generasi ke generasi.

Metode evaluasi tidak dilakukan melalui ujian tertulis seperti dalam pendidikan modern, melainkan melalui proses pembuktian kompetensi secara lisan, diskusi terbuka, dan pembacaan ulang materi kepada guru.⁶ Dengan demikian, kualitas keilmuan ditentukan oleh kedalaman pemahaman, adab dalam belajar, dan pengakuan langsung dari guru.

4.3.       Struktur Lembaga dan Peran Guru

Madrasah sebagai lembaga memiliki struktur yang relatif mapan sejak masa Nizamiyah, dengan adanya unsur manajemen seperti pengelola (nazhir), guru tetap (mudarris), dan kadang staf administrasi.⁷ Pendanaan madrasah umumnya bersumber dari wakaf yang disalurkan oleh pemerintah atau individu kaya, yang memastikan keberlangsungan kegiatan belajar dan penyediaan fasilitas siswa.

Guru dalam sistem madrasah bukan sekadar pengajar, melainkan juga menjadi pembimbing spiritual dan moral. Posisi mereka sangat dihormati, dan proses belajar tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga mencakup pembentukan karakter.⁸ Hubungan antara guru dan murid dibangun atas dasar kepercayaan, penghormatan, dan pengabdian, yang menjadikan proses pendidikan di madrasah sarat nilai etis.

4.4.       Transformasi Menuju Sistem Formal

Dengan masuknya pengaruh modernisasi, sistem pendidikan madrasah mengalami transformasi besar, khususnya di abad ke-19 dan ke-20. Di Indonesia, madrasah mulai mengintegrasikan kurikulum umum seperti ilmu pengetahuan alam, matematika, bahasa Indonesia, dan sejarah ke dalam sistem pembelajaran, mengikuti standar pendidikan nasional. Hal ini memungkinkan madrasah diakui secara resmi sebagai lembaga pendidikan formal yang sederajat dengan sekolah umum.⁹

Kurikulum ganda (agama dan umum) yang diterapkan oleh Kementerian Agama menjadikan madrasah unik dibanding lembaga pendidikan formal lainnya.¹⁰ Di satu sisi, madrasah tetap mempertahankan keunggulan dalam ilmu agama, sementara di sisi lain juga memenuhi standar akademik nasional. Implementasi kurikulum ini juga didukung oleh buku teks, pelatihan guru, dan sistem evaluasi nasional (seperti Ujian Madrasah dan Asesmen Nasional Berbasis Komputer/ANBK).

Dengan demikian, sistem pendidikan di madrasah terus berkembang dari lembaga tradisional berbasis kitab klasik menjadi institusi pendidikan formal yang terintegrasi dengan sistem negara, namun tetap menjaga karakteristik keislamannya.


Footnotes

[1]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 41–45.

[2]                Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 92–96.

[3]                Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 48–50.

[4]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 45–46.

[5]                Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4 (1999): 43–45.

[6]                Makdisi, The Rise of Colleges, 52.

[7]                Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 175–176.

[8]                Al-Attas, Islam and Secularism, 147.

[9]                Kementerian Agama RI, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab III.

[10]             Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17.


5.           Madrasah sebagai Institusi Pendidikan Formal di Indonesia

5.1.       Lahirnya Madrasah Modern di Indonesia

Madrasah modern di Indonesia lahir sebagai respons terhadap kondisi sosial-politik pada masa kolonial, sekaligus sebagai bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam. Pendidikan tradisional seperti pesantren pada saat itu mulai dianggap kurang memadai dalam menghadapi tantangan zaman, terutama karena belum terstruktur dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu umum secara sistematis. Dalam konteks ini, madrasah tampil sebagai alternatif yang lebih terorganisasi, dengan sistem pembelajaran kelas, kurikulum, dan mata pelajaran yang lebih beragam.

Beberapa madrasah pertama yang berdiri di Indonesia antara lain Madrasah Adabiyah di Padang (1909), yang didirikan oleh Abdullah Ahmad, serta Diniyah School di Padang Panjang (1915), yang dipelopori oleh Zainuddin Labay El Yunusy.¹ Kedua madrasah ini memadukan pelajaran keagamaan seperti tauhid, fikih, dan Al-Qur'an dengan pelajaran umum seperti ilmu bumi, aritmetika, dan bahasa asing. Pendekatan ini dipengaruhi oleh gagasan pembaruan pendidikan dari Timur Tengah, terutama dari Mesir dan Turki, yang dikenal dengan istilah modernisme Islam.

Di sisi lain, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (didirikan pada 1912) dan Persatuan Islam (Persis) juga turut mendirikan madrasah dengan sistem modern. Lembaga-lembaga ini mengembangkan sekolah-sekolah Islam yang memadukan nilai-nilai keislaman dengan metode pendidikan modern, seperti penggunaan bangku, papan tulis, pembagian kelas, dan sistem ujian.² Dengan demikian, madrasah menjadi wahana penting bagi pengembangan pendidikan Islam yang lebih sistematis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

5.2.       Regulasi dan Integrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional

Setelah Indonesia merdeka, madrasah mengalami proses panjang untuk memperoleh pengakuan formal dalam sistem pendidikan nasional. Pada awalnya, madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan swasta yang berfokus pada pelajaran agama dan berada di luar sistem sekolah umum. Baru pada tahun 1950-an hingga 1970-an, melalui berbagai kebijakan Departemen Agama (kini Kementerian Agama), madrasah mulai memperoleh pengakuan bertahap.

Momentum penting terjadi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, di mana madrasah secara resmi dinyatakan sebagai satuan pendidikan formal yang setara dengan sekolah.³ Pasal 17 UU tersebut menyebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah dapat diselenggarakan dalam bentuk sekolah atau madrasah, menunjukkan posisi legal yang sejajar.

Dalam sistem pendidikan nasional, madrasah memiliki kekhasan sebagai lembaga pendidikan umum yang berbasis Islam. Kurikulumnya mencakup pelajaran-pelajaran umum seperti matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia, sebagaimana sekolah umum, tetapi juga dilengkapi dengan pelajaran agama Islam seperti Al-Qur’an Hadis, Fikih, Akidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam.⁴

5.3.       Peran Kementerian Agama dalam Pengelolaan Madrasah

Secara kelembagaan, madrasah berada di bawah pembinaan Kementerian Agama Republik Indonesia, berbeda dengan sekolah umum yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kementerian Agama bertanggung jawab atas pengembangan kurikulum keagamaan, penyusunan standar nasional pendidikan madrasah, serta pengawasan mutu melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Madrasah di Indonesia terdiri dari empat jenjang:

·                     Raudhatul Athfal (RA) – jenjang prasekolah,

·                     Madrasah Ibtidaiyah (MI) – jenjang sekolah dasar,

·                     Madrasah Tsanawiyah (MTs) – jenjang sekolah menengah pertama,

·                     Madrasah Aliyah (MA) – jenjang sekolah menengah atas.⁵

Setiap jenjang disusun agar memenuhi standar pendidikan nasional serta kebutuhan dasar umat Islam terhadap pemahaman agama yang mendalam. Dalam implementasinya, Kementerian Agama juga menerapkan standar mutu melalui sistem akreditasi BAN-PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah) serta evaluasi berbasis kompetensi dan digitalisasi pendidikan.

5.4.       Perkembangan Terkini dan Tantangan

Dalam beberapa dekade terakhir, madrasah telah menunjukkan perkembangan signifikan, baik dari segi jumlah, kualitas, maupun aksesibilitas. Data Kementerian Agama mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat lebih dari 87 ribu madrasah di seluruh Indonesia, yang mencakup madrasah negeri dan swasta.⁶ Madrasah juga telah masuk dalam program pengembangan mutu seperti Madrasah Reform yang didukung oleh Bank Dunia, serta digitalisasi madrasah untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21.

Namun demikian, madrasah masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:

·                     ketimpangan kualitas antara madrasah negeri dan swasta,

·                     keterbatasan sarana dan prasarana di wilayah terpencil,

·                     kurangnya pelatihan dan kompetensi guru dalam menghadapi pembelajaran berbasis digital.

Selain itu, tantangan ideologis seperti penetrasi radikalisme dan eksklusivisme agama juga menjadi perhatian serius dalam pembinaan madrasah. Untuk itu, program moderasi beragama menjadi agenda utama Kementerian Agama guna menjaga madrasah tetap menjadi tempat pendidikan yang inklusif, toleran, dan kontributif terhadap kebangsaan.⁷

Dengan rekam jejak historis dan struktur kelembagaan yang kuat, madrasah di Indonesia terus memainkan peran penting dalam membentuk generasi Muslim yang berpengetahuan luas, berkarakter Islami, dan siap menghadapi tantangan global.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–65.

[2]                Noorhaidi Hasan, Islamising Formal Education: Integrated Islamic School and a New Trend in Formal Islamic Education in Indonesia, RSIS Working Paper No. 93 (Singapore: Nanyang Technological University, 2006), 3–4.

[3]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17 ayat (2).

[4]                Kementerian Agama RI, Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah, Bab II.

[5]                Kementerian Agama RI, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab I, Pasal 1.

[6]                Kementerian Agama RI, Data Statistik Pendidikan Islam Tahun 2023 (Jakarta: Ditjen Pendis, 2023), 10.

[7]                Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta: Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 12–14.


6.           Relevansi dan Kontribusi Madrasah di Era Modern

Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak hanya penting dalam konteks historis, tetapi juga memainkan peran strategis dalam kehidupan sosial, budaya, dan pendidikan di era modern. Dengan keberadaan yang tersebar luas dan basis peserta didik yang besar, madrasah memiliki posisi unik sebagai jembatan antara nilai-nilai keislaman dan tantangan global kontemporer.

6.1.       Pelestarian Nilai-Nilai Keislaman dan Moralitas

Salah satu kontribusi utama madrasah adalah menjaga dan mentransmisikan warisan intelektual Islam klasik, baik dalam bentuk ilmu-ilmu keagamaan maupun etika sosial. Kurikulum madrasah yang mengajarkan Al-Qur’an, hadis, fikih, akidah, dan akhlak memberikan fondasi moral dan spiritual yang kuat bagi siswa.¹ Dalam masyarakat yang semakin sekuler dan konsumtif, madrasah berfungsi sebagai benteng pelindung nilai-nilai Islam serta karakter bangsa.

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, madrasah turut berkontribusi dalam membentuk kepribadian yang berbudi pekerti, toleran, dan berorientasi pada keadilan sosial.² Nilai-nilai ini sangat penting dalam upaya membangun masyarakat yang damai dan beradab di tengah polarisasi sosial dan krisis moral yang kian marak.

6.2.       Kontribusi terhadap Pendidikan Nasional

Dalam sistem pendidikan Indonesia, madrasah tidak lagi diposisikan sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Perannya setara dengan sekolah umum, baik dari segi legalitas, kurikulum, maupun jenjang kelembagaan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 secara tegas mengakui madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional.³

Madrasah telah membuktikan kontribusinya melalui keterlibatan dalam berbagai program nasional seperti Ujian Nasional, Asesmen Nasional, Kurikulum Merdeka, dan pendidikan inklusif. Bahkan, banyak madrasah kini telah berhasil meraih prestasi akademik tinggi di tingkat daerah, nasional, hingga internasional.⁴ Dengan demikian, madrasah membuktikan bahwa pendidikan berbasis agama dapat bersaing secara sehat dan profesional dalam arena pendidikan global.

6.3.       Peran dalam Moderasi Beragama dan Toleransi Sosial

Dalam konteks kebhinekaan Indonesia, madrasah berperan penting dalam mengajarkan Islam yang moderat, toleran, dan cinta damai. Melalui pendidikan agama yang mengedepankan nilai-nilai wasathiyah (jalan tengah), madrasah menjadi agen penting dalam menanggulangi radikalisme dan ekstremisme berbasis agama.⁵

Kementerian Agama melalui program Moderasi Beragama telah mengarusutamakan nilai-nilai toleransi, cinta tanah air, anti-kekerasan, dan penghormatan terhadap perbedaan dalam kurikulum dan kegiatan kesiswaan di madrasah.⁶ Dengan pendekatan ini, madrasah tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga sarana pembinaan karakter kebangsaan dan perdamaian sosial.

6.4.       Peningkatan Kualitas SDM dan Literasi Digital

Di era Revolusi Industri 4.0 dan transformasi digital, madrasah dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan keterampilan abad ke-21. Kementerian Agama melalui program Madrasah Digital, e-learning madrasah, dan platform RDM (Rapor Digital Madrasah) berupaya mempercepat digitalisasi dalam proses pembelajaran.⁷ Banyak madrasah kini telah menggunakan sistem pembelajaran berbasis TIK dan memperkuat literasi digital siswa dan guru.

Upaya ini memperlihatkan bahwa madrasah tidak stagnan dalam romantisme masa lalu, tetapi justru bersiap menjadi pelaku utama dalam pembangunan pendidikan berbasis teknologi dan inovasi.

6.5.       Akses Pendidikan bagi Kaum Marginal

Madrasah juga memiliki kontribusi sosial yang besar, terutama dalam memberikan akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah dan kelompok marginal. Sebagian besar madrasah swasta berbasis komunitas tetap mempertahankan semangat inklusi dan pelayanan sosial, bahkan dengan dukungan dana yang terbatas.⁸

Dalam hal ini, madrasah berfungsi sebagai agen pemerataan pendidikan dan pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan berbasis nilai. Banyak madrasah di pelosok daerah yang menjadi satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dapat dijangkau masyarakat, dan hal ini menjadikan madrasah relevan secara sosial dan strategis secara nasional.


Simpulan Antara

Relevansi madrasah di era modern tidak hanya terletak pada warisan sejarah dan keilmuannya, tetapi juga pada kemampuannya merespons tantangan kontemporer secara dinamis. Dari pelestarian nilai hingga digitalisasi, dari moderasi beragama hingga inklusi sosial, madrasah terus menunjukkan kontribusi nyata dalam membentuk generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing tinggi.


Footnotes

[1]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 50–55.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 147–149.

[3]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17.

[4]                Kementerian Agama RI, Laporan Kinerja Ditjen Pendis Tahun 2023 (Jakarta: Ditjen Pendidikan Islam, 2024), 23–25.

[5]                Noorhaidi Hasan, “The Making of Public Islam: Piety, Agency, and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere,” Contemporary Islam 3, no. 3 (2009): 229–250.

[6]                Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta: Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 8–12.

[7]                Kementerian Agama RI, Madrasah Digital: Strategi Transformasi Pembelajaran Abad 21 (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2022), 5–8.

[8]                Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 63–66.


7.           Penutup

Madrasah merupakan institusi pendidikan Islam yang tidak hanya berakar kuat dalam sejarah peradaban Muslim, tetapi juga terus menunjukkan relevansi dan kontribusinya dalam konteks pendidikan formal di era modern. Sejak benih awalnya tumbuh pada masa Dinasti Abbasiyah dalam bentuk halaqah ilmiah di masjid-masjid besar, madrasah mengalami perkembangan signifikan terutama pada masa Dinasti Seljuk melalui pendirian Madrasah Nizamiyah yang menjadi model awal pendidikan tinggi Islam yang terorganisasi.¹

Kelembagaan madrasah menandai pergeseran penting dalam sistem transmisi ilmu di dunia Islam, dari sistem pengajaran non-formal menjadi institusi terstruktur yang memiliki kurikulum, pendanaan wakaf, serta sistem pengakuan keilmuan melalui ijazah.² Madrasah tidak hanya mencetak ulama-ulama besar, tetapi juga menjadi pusat pembinaan pemikiran Islam rasional dan spiritual yang mendalam. Dalam perkembangannya, madrasah menyebar luas ke seluruh dunia Islam dan diadopsi secara kontekstual di berbagai wilayah, termasuk di Nusantara.

Di Indonesia, madrasah mulai mengambil bentuk modern sejak awal abad ke-20 sebagai bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam. Seiring berjalannya waktu, melalui berbagai regulasi seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, madrasah kini telah menjadi satuan pendidikan formal yang legal, setara dengan sekolah umum, dan berada di bawah pembinaan Kementerian Agama.³

Kontribusi madrasah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranannya dalam membentuk karakter kebangsaan, memperkuat nilai-nilai Islam yang moderat, serta memberikan akses pendidikan bagi masyarakat di berbagai lapisan, termasuk di daerah terpencil. Madrasah telah terbukti adaptif terhadap perubahan zaman melalui digitalisasi pembelajaran, penguatan kurikulum integratif, dan pelatihan guru berbasis teknologi informasi.⁴ Dengan kurikulum ganda (agama dan umum), madrasah menjembatani kebutuhan akan pendidikan berkualitas yang tetap berakar pada nilai-nilai moral dan spiritual.

Namun demikian, tantangan masih membayangi perkembangan madrasah, seperti kesenjangan mutu antara madrasah negeri dan swasta, keterbatasan sarana prasarana, serta kebutuhan peningkatan kapasitas guru dan tata kelola lembaga. Di samping itu, perlunya penguatan program moderasi beragama menjadi aspek penting agar madrasah tidak terjebak dalam polarisasi ideologis atau eksklusivisme keagamaan.⁵

Melihat perjalanan historis dan dinamika kontemporer madrasah, jelas bahwa lembaga ini memiliki posisi strategis dalam mencetak generasi Muslim yang tidak hanya religius, tetapi juga kompeten, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan global. Oleh karena itu, penting bagi negara, masyarakat, dan dunia pendidikan untuk terus mendorong revitalisasi madrasah melalui kebijakan yang afirmatif, inovasi pedagogis, dan investasi pendidikan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, madrasah bukan hanya peninggalan sejarah, melainkan juga pilar utama pendidikan nasional yang mampu menjawab tantangan masa kini dan masa depan—menjadi pusat pembentukan insan ulul albab yang seimbang antara iman, ilmu, dan amal.


Footnotes

[1]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.

[2]                Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 42–44.

[3]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17; Kementerian Agama RI, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab I.

[4]                Kementerian Agama RI, Madrasah Digital: Strategi Transformasi Pembelajaran Abad 21 (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2022), 5–8.

[5]                Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta: Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 12–14.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Aasi, G. H. (1999). The Sanad tradition and the authority of Islamic knowledge. American Journal of Islamic Social Sciences, 16(4), 41–46.

Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan modernisasi menuju milenium baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Berkey, J. (1992). The transmission of knowledge in medieval Cairo: A social history of Islamic education. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Bloom, J., & Blair, S. (2000). Islam: A thousand years of faith and power. New Haven, CT: Yale University Press.

Hasan, N. (2006). Islamising formal education: Integrated Islamic school and a new trend in formal Islamic education in Indonesia (RSIS Working Paper No. 93). Singapore: Nanyang Technological University.

Hasan, N. (2009). The making of public Islam: Piety, agency, and commodification on the landscape of the Indonesian public sphere. Contemporary Islam, 3(3), 229–250. https://doi.org/10.1007/s11562-009-0096-9

Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Buku saku moderasi beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Madrasah digital: Strategi transformasi pembelajaran abad 21. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2023). Data statistik pendidikan Islam tahun 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2024). Laporan kinerja Ditjen Pendis tahun 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Rosenthal, F. (1970). Knowledge triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Leiden: Brill.

Watt, W. M. (1963). Muslim intellectual: A study of al-Ghazali. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Wehr, H. (1976). A dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Ithaca, NY: Spoken Language Services.


Lampiran: Kutipan Naskah Sejarah Madrasah dari Manuskrip Klasik

‏وَكَانَ الوَزِيرُ نِظَامُ المُلكِ قَد بَنَى مَدَارِسَ عَظِيمَةً فِي البِلَادِ، مِنْهَا المَدْرَسَةُ النِّظَامِيَّةُ بِبَغْدَادَ، وَوَقَفَ عَلَيْهَا أَوْقَافًا جَلِيلَةً، وَأَجْرَى عَلَى مَنْ يَتَعَلَّمُ فِيهَا الأَرْزَاقَ، وَجَعَلَ فِيهَا مُدَرِّسِينَ وَمُرَاقِبِينَ، فَانْتَشَرَ العِلْمُ، وَكَثُرَ الطَّلَبَةُ، وَعَلَتْ هِمَمُ النَّاسِ فِي طَلَبِ العِلْمِ.

“Wakāna al-wazīr Niẓām al-Mulk qad banā madāris ʿaẓīmah fī al-bilād, minhā al-madrasah al-Niẓāmiyyah bi-Baghdād, wa waqafa ʿalayhā awqāfan jalīlah, wa ajrā ʿalā man yataʿallam fīhā al-arzāq, wa jaʿala fīhā mudarrisīn wa murāqibīn, fa-intashara al-ʿilm, wa kathura al-ṭalabah, wa ʿalat himam al-nās fī ṭalab al-ʿilm.”

Terjemahan:

“Wazir Nizām al-Mulk telah membangun madrasah-madrasah besar di berbagai negeri, di antaranya Madrasah Nizāmiyyah di Baghdad. Ia menetapkan wakaf yang besar untuknya, memberikan tunjangan kepada mereka yang belajar di dalamnya, serta mengangkat para guru dan pengawas. Maka ilmu pun tersebar, jumlah penuntut ilmu meningkat, dan semangat masyarakat dalam menuntut ilmu semakin tinggi.”

al-Jawzī, ʿAbd al-Raḥmān ibn ʿAlī. al-Muntaẓam fī Tārīkh al-Mulūk wa al-Umam, Juz 16, hlm. 172.


Keterangan Tambahan:

Naskah ini merupakan salah satu bukti historis penting yang menggambarkan kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan terorganisasi, serta peran negara melalui wazir (menteri) dalam mendanai dan mengelolanya. Nizām al-Mulk (w. 485 H/1092 M), seorang wazir Dinasti Saljuk, dikenal luas sebagai pelopor utama pendirian madrasah sistemik dalam sejarah Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar