Madrasah
Institusi Pendidikan Formal dalam Sejarah dan Konteks
Kontemporer
Alihkan ke: Dari
Scholé ke Sekolah,
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
madrasah sebagai institusi pendidikan formal dalam Islam, baik dalam dimensi
historis maupun dalam konteks kontemporer di Indonesia. Kajian dimulai dengan
menelusuri akar etimologis dan terminologis madrasah, yang menunjukkan bahwa sejak
masa awal Abbasiyah telah tumbuh benih-benih sistem pendidikan Islam melalui
majelis-majelis ilmu di masjid. Perkembangan signifikan terjadi pada masa
Dinasti Seljuk, terutama dengan pendirian Madrasah Nizamiyah yang menjadi model
pendidikan tinggi Islam terorganisasi. Artikel ini kemudian mengeksplorasi
sistem pendidikan madrasah, termasuk kurikulum, metode pengajaran, struktur
kelembagaan, dan tradisi ilmiah seperti pemberian ijazah dan sanad.
Selanjutnya, pembahasan diarahkan pada perkembangan madrasah modern di
Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga menjadi bagian dari sistem pendidikan
nasional yang diakui secara legal dan formal oleh negara. Dalam konteks era
modern, madrasah tidak hanya mempertahankan nilai-nilai keislaman, tetapi juga
aktif dalam transformasi digital, pendidikan moderasi beragama, dan peningkatan
akses bagi masyarakat marginal. Dengan demikian, madrasah terbukti memiliki
peran strategis dalam membentuk generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan
adaptif terhadap tantangan global.
Kata Kunci: Madrasah, pendidikan Islam, sejarah pendidikan,
sistem pendidikan formal, moderasi beragama, Kementerian Agama, pendidikan
Indonesia, transformasi digital.
PEMBAHASAN
Madrasah sebagai Institusi Pendidikan Formal dalam
Sejarah dan Konteks Kontemporer
1.
Pendahuluan
Madrasah merupakan
institusi pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah panjang dalam peradaban
Muslim, berperan besar dalam mentransmisikan ilmu, menjaga tradisi keilmuan
Islam, dan membentuk intelektual-intelektual besar sejak abad pertengahan.
Istilah madrasah
berasal dari bahasa Arab darasa – yadrusu – madrasah, yang
berarti tempat belajar atau tempat pelaksanaan proses belajar-mengajar secara
sistematis. Sejak awal kemunculannya, madrasah tidak sekadar menjadi pusat
pengajaran keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana penguatan wacana
ilmiah rasional dalam berbagai disiplin seperti logika, matematika, hingga
astronomi.¹
Benih-benih lembaga
pendidikan ini dapat ditelusuri sejak masa awal Dinasti Abbasiyah, ketika
majelis-majelis ilmu mulai terorganisir di masjid-masjid besar seperti Masjid
Agung Baghdad. Namun, bentuk kelembagaan madrasah sebagai institusi formal
mulai berkembang signifikan pada masa Dinasti Seljuk pada abad ke-11 M,
terutama melalui inisiatif Nizam al-Mulk, wazir Seljuk, yang mendirikan
Madrasah Nizamiyah di berbagai kota penting seperti Baghdad, Nishapur, dan
Balkh.² Nizamiyah menjadi model awal madrasah yang terstruktur, memiliki
kurikulum, fasilitas penginapan bagi siswa (ribath), dan pendanaan wakaf.³
Di dalam madrasah,
para pelajar tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis,
fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam, tetapi juga ilmu-ilmu rasional seperti
mantiq (logika), hisab (matematika), dan falak (astronomi).⁴ Madrasah menjadi
pusat pembentukan ulama dan cendekiawan Muslim, seperti al-Ghazali, Fakhruddin
al-Razi, dan al-Juwaini, yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan
madrasah. Sistem pendidikan ini mengandalkan kedalaman penguasaan teks klasik
dan transmisi keilmuan melalui sanad serta ijazah yang mengesahkan kelayakan
murid sebagai penerus ilmu.⁵
Di dunia Islam
bagian timur, termasuk Asia Tenggara, model madrasah turut mengalami adaptasi
lokal. Di wilayah Nusantara, perkembangan madrasah modern mulai menonjol pada
awal abad ke-20 sebagai bentuk respons terhadap kolonialisme dan kebutuhan akan
sistem pendidikan Islam yang lebih sistematis. Lahirnya lembaga seperti
Madrasah Adabiyah di Padang dan Madrasah Diniyah School di Padang Panjang
mencerminkan semangat pembaruan dalam pendidikan Islam yang menggabungkan ilmu
agama dan pengetahuan umum.⁶
Di Indonesia
kontemporer, madrasah telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional yang formal dan berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
madrasah merupakan satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam.⁷ Dalam konteks ini, madrasah tidak hanya
menjadi tempat transmisi keilmuan Islam, tetapi juga memainkan peran strategis
dalam pembangunan karakter, moderasi beragama, dan integrasi ilmu pengetahuan
dengan nilai-nilai keislaman.
Mengingat pentingnya
posisi madrasah dalam sejarah dan realitas pendidikan Islam, kajian ini bertujuan
untuk menelusuri secara komprehensif perjalanan historis madrasah dari masa
klasik hingga menjadi institusi pendidikan formal di Indonesia. Dengan
pendekatan historis dan analitis, tulisan ini diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam memahami dinamika institusi madrasah, serta urgensinya dalam
pengembangan sistem pendidikan Islam yang kontekstual dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 128.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.
[3]
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A
Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University
Press, 1992), 45–46.
[4]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 109–110.
[5]
Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic
Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4
(1999): 43–45.
[6]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–61.
[7]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17 ayat (2).
2.
Pengertian Madrasah
2.1.
Etimologi Kata “Madrasah”
Secara etimologis,
kata “madrasah” berasal dari bahasa Arab madrasaḥ (مدرسة), yang merupakan bentuk isim makan (kata
benda tempat) dari akar kata kerja darasa – yadrusu – darsan (درس – يدرس – درسا)
yang berarti “belajar” atau “mengkaji”. Dengan demikian, secara harfiah
madrasah bermakna “tempat belajar” atau “tempat berlangsungnya
kegiatan pengajaran”.¹ Dalam pengertian awalnya, kata ini tidak secara
khusus merujuk pada tempat belajar ilmu agama, melainkan lebih umum sebagai
tempat proses belajar-mengajar berlangsung. Namun, dalam praktiknya di dunia
Islam, madrasah mengalami spesialisasi makna menjadi lembaga pendidikan yang
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman secara terorganisir.
2.2.
Terminologi dan Definisi Operasional
Dalam kajian
akademik, istilah madrasah didefinisikan sebagai institusi pendidikan Islam
formal yang muncul pada abad ke-10 dan berkembang pesat pada abad ke-11 M di
bawah perlindungan dan pendanaan negara, terutama di wilayah kekuasaan Dinasti
Seljuk dan sesudahnya. George Makdisi menjelaskan bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan tinggi Islam yang memiliki struktur formal, kurikulum yang relatif
mapan, serta sistem pembiayaan yang didukung oleh wakaf.² Madrasah berbeda dari
bentuk-bentuk awal pendidikan Islam seperti halaqah atau pengajian di masjid
yang lebih bersifat informal dan tidak terlembagakan.
Madrasah juga sering
dikaitkan dengan transmisi ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti fikih (hukum
Islam), ushul fikih (metodologi hukum), tafsir (interpretasi Al-Qur’an), hadis
(tradisi Nabi), dan kalam (teologi), serta beberapa cabang ilmu rasional
seperti logika (mantiq), matematika (hisab), dan astronomi (falak).³ Oleh
karena itu, madrasah menjadi tempat penting dalam perkembangan epistemologi Islam tradisional, serta memainkan peran vital dalam pembentukan ulama dan
cendekiawan Muslim.
Dalam konteks
kontemporer, terutama di Indonesia, madrasah didefinisikan secara yuridis
sebagai satuan pendidikan formal berciri khas Islam yang berada di bawah
pembinaan Kementerian Agama. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 90 Tahun 2013, madrasah adalah satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam di tingkat dasar
dan menengah, yaitu mencakup Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).⁴ Definisi ini menekankan
fungsi madrasah sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum seperti matematika, sains, dan
bahasa, sesuai dengan kurikulum nasional.
Dengan demikian,
istilah madrasah mengalami perluasan makna dari sekadar lembaga tradisional
keilmuan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang memiliki
regulasi, jenjang, kurikulum, dan struktur kelembagaan yang setara dengan
sekolah umum. Hal ini mencerminkan proses transformasi dan adaptasi madrasah
dari masa klasik ke masa modern dalam menjawab kebutuhan zaman.
Footnotes
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J.
Milton Cowan (Ithaca: Spoken Language Services, 1976), 294.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.
[3]
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A
Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University
Press, 1992), 42–44.
[4]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Nomor
90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab I, Pasal 1
Ayat (2).
3.
Sejarah Perkembangan Madrasah
3.1.
Benih Awal pada Masa Abbasiyah
Meskipun madrasah
sebagai institusi pendidikan formal belum muncul secara utuh pada masa awal
Abbasiyah (abad ke-8 hingga ke-9 M), benih perkembangannya telah tumbuh melalui
tradisi keilmuan yang terpusat di masjid-masjid besar seperti Masjid Agung
Kufah, Basrah, dan Baghdad. Di tempat-tempat ini, kegiatan belajar berbentuk halaqah
mulai terorganisasi, di mana seorang guru (ulama) mengajarkan kitab-kitab
tertentu kepada para murid dalam bentuk lingkaran belajar.¹ Pendidikan
berlangsung secara informal, dan belum memiliki struktur institusi, kurikulum
baku, maupun sistem administrasi. Namun demikian, masa ini melahirkan banyak
ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan al-Syafi‘i yang turut
memengaruhi kurikulum madrasah kelak.²
Penting untuk dicatat
bahwa pada masa ini juga mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya dokumentasi
ilmu dalam bentuk kitab, dan tradisi transmisi keilmuan melalui sanad
dan ijazah.
Hal ini menjadi fondasi epistemologis bagi lahirnya madrasah sebagai lembaga
pendidikan formal yang menekankan legitimasi keilmuan melalui jalur
guru-murid.³
3.2.
Perkembangan pada Masa Dinasti Seljuk
Lembaga madrasah
sebagai institusi pendidikan formal pertama kali muncul secara signifikan pada
masa Dinasti Seljuk, khususnya pada abad ke-11 M, ketika Wazir Nizam al-Mulk
(w. 1092 M) mendirikan Madrasah Nizamiyah di Baghdad pada tahun 1067 M.⁴
Madrasah ini menjadi prototipe lembaga pendidikan tinggi Islam yang
terstruktur, dengan sistem manajemen yang mapan, kurikulum standar, dan
pendanaan tetap melalui wakaf. Para pelajar yang belajar di Nizamiyah
mendapatkan fasilitas akomodasi, tunjangan makan, dan akses pada
perpustakaan—sebuah konsep yang sangat revolusioner pada zamannya.⁵
Madrasah Nizamiyah
menjadi model utama dalam membangun madrasah-madrasah lain di berbagai wilayah
Islam, seperti di Nishapur, Balkh, Herat, dan Mosul.⁶ Fokus utama kurikulum di
madrasah ini adalah ilmu fikih dan ushul fikih mazhab Syafi‘i, meskipun juga
diajarkan ilmu-ilmu lain seperti kalam, logika, dan gramatika Arab. Tokoh besar
seperti al-Ghazali pernah menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Baghdad, dan
kehadirannya menunjukkan tingkat intelektualitas yang tinggi dalam sistem pendidikan
madrasah.⁷
3.3.
Perluasan Madrasah di Dunia Islam
Setelah era Seljuk,
model madrasah menyebar luas ke seluruh dunia Islam, termasuk di Damaskus,
Kairo, Aleppo, dan Fez. Di Kairo, Dinasti Ayyubiyah dan kemudian Mamluk
mengembangkan jaringan madrasah yang luas, seperti Madrasah al-Salihiyah dan
al-Zahiriyah.⁸ Madrasah tidak hanya berperan sebagai pusat pendidikan, tetapi
juga sebagai alat legitimasi politik dan sosial bagi penguasa Muslim.
Keterikatan antara kekuasaan dan pendidikan ini memengaruhi bentuk kurikulum
dan kontrol terhadap isi pengajaran.
Pada abad ke-13
hingga ke-15 M, madrasah telah menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan
dan sosial masyarakat Muslim. Tradisi pemberian ijazah sebagai bukti kompetensi
ilmiah murid dalam berbagai bidang keilmuan tetap dijaga, dan madrasah menjadi
simbol otoritas keilmuan Islam.⁹
3.4.
Perkembangan Madrasah di Dunia Melayu-Nusantara
Masuknya Islam ke
Asia Tenggara membawa pula konsep pendidikan Islam, meskipun pada tahap awal
tidak langsung berbentuk madrasah formal. Lembaga pendidikan awal seperti surau
dan pesantren
berperan sebagai pusat pembelajaran Islam yang bersifat nonformal dan berbasis
komunitas. Namun, pada awal abad ke-20, seiring dengan meningkatnya kesadaran
reformasi pendidikan Islam dan pengaruh sistem madrasah dari Timur Tengah,
muncullah madrasah modern di wilayah ini.
Beberapa madrasah
awal yang menonjol antara lain Madrasah Adabiyah (1909) di Padang dan Diniyah
School (1915) di Padang Panjang, yang didirikan oleh tokoh-tokoh pembaru seperti
Abdullah Ahmad dan Zainuddin Labay El Yunusy.¹⁰ Madrasah-madrasah ini memadukan
kurikulum keislaman dengan pelajaran umum seperti matematika, ilmu bumi, dan
bahasa asing. Model ini menjadi cikal bakal sistem madrasah nasional di
Indonesia yang kemudian diformalisasikan oleh negara setelah kemerdekaan.
Footnotes
[1]
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A
Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press,
1992), 28–30.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 139–140.
[3]
Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic
Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4
(1999): 41–46.
[4]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–35.
[5]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 175.
[6]
Makdisi, The Rise of Colleges, 49–50.
[7]
W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963), 45–47.
[8]
Jonathan Bloom and Sheila Blair, Islam: A Thousand Years of Faith
and Power (New Haven: Yale University Press, 2000), 112–115.
[9]
Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 98–101.
[10]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–65.
4.
Sistem Pendidikan di Madrasah
Madrasah sebagai
institusi pendidikan Islam memiliki sistem pendidikan yang khas dan telah
terbentuk sejak masa klasik Islam, dengan struktur yang terus berkembang hingga
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional di berbagai negara Muslim,
termasuk Indonesia. Sistem pendidikan ini mencakup unsur kurikulum, metode
pengajaran, dan struktur kelembagaan yang bertumpu pada tradisi keilmuan Islam.
4.1.
Kurikulum dan Disiplin Ilmu
Sejak awal kemunculannya,
madrasah mengembangkan kurikulum yang berbasis pada ilmu-ilmu keislaman klasik.
Ilmu-ilmu utama yang diajarkan di madrasah meliputi tafsir,
hadis,
fikih,
ushul
fikih, dan kalam, yang bertujuan membekali
siswa dengan landasan agama yang kokoh dan kemampuan berpikir hukum secara
mendalam.¹ Selain itu, ilmu-ilmu rasional seperti mantiq
(logika), hisab (matematika), balaghah
(retorika), dan falak (astronomi) juga
diajarkan untuk mendukung pengembangan metodologi dan argumentasi.²
Kurikulum ini bersifat
fleksibel dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan wilayah. Sebagai
contoh, di Madrasah Nizamiyah, kurikulum didominasi oleh fikih mazhab Syafi‘i,
namun seiring waktu, madrasah di wilayah lain mengadopsi dan menggabungkan
ilmu-ilmu dari berbagai mazhab serta tradisi pemikiran lain.³ Model pendidikan
madrasah mencerminkan integrasi antara ilmu agama dan rasionalitas ilmiah,
sehingga menciptakan tradisi intelektual yang kuat dalam peradaban Islam.
4.2.
Metodologi Pengajaran
Metode pengajaran
dalam madrasah bersifat teacher-centered, tetapi juga
sangat interaktif. Guru (mudarris) membacakan teks klasik (kitab)
kepada murid, menjelaskan maknanya (syarh), dan memberi ruang diskusi. Proses
ini disebut talaqqi, yaitu belajar langsung
dari guru secara lisan dan tertulis.⁴ Para pelajar kemudian menghafal,
mencatat, dan mengomentari isi kitab tersebut.
Salah satu kekhasan
dalam sistem pendidikan madrasah adalah pemberian ijazah, yaitu lisensi
keilmuan yang diberikan oleh guru kepada murid setelah dianggap menguasai satu
atau beberapa kitab tertentu. Ijazah ini menjadi bukti otoritas ilmiah dan
legalitas untuk mengajarkan kembali ilmu tersebut.⁵ Tradisi ini juga memperkuat
konsep sanad
(rantai transmisi), yang memastikan kesinambungan dan validitas keilmuan dari
generasi ke generasi.
Metode evaluasi
tidak dilakukan melalui ujian tertulis seperti dalam pendidikan modern,
melainkan melalui proses pembuktian kompetensi secara lisan, diskusi terbuka,
dan pembacaan ulang materi kepada guru.⁶ Dengan demikian, kualitas keilmuan
ditentukan oleh kedalaman pemahaman, adab dalam belajar, dan pengakuan langsung
dari guru.
4.3.
Struktur Lembaga dan Peran Guru
Madrasah sebagai
lembaga memiliki struktur yang relatif mapan sejak masa Nizamiyah, dengan
adanya unsur manajemen seperti pengelola (nazhir), guru tetap (mudarris), dan
kadang staf administrasi.⁷ Pendanaan madrasah umumnya bersumber dari wakaf yang
disalurkan oleh pemerintah atau individu kaya, yang memastikan keberlangsungan
kegiatan belajar dan penyediaan fasilitas siswa.
Guru dalam sistem
madrasah bukan sekadar pengajar, melainkan juga menjadi pembimbing spiritual
dan moral. Posisi mereka sangat dihormati, dan proses belajar tidak hanya
bersifat intelektual tetapi juga mencakup pembentukan karakter.⁸ Hubungan
antara guru dan murid dibangun atas dasar kepercayaan, penghormatan, dan
pengabdian, yang menjadikan proses pendidikan di madrasah sarat nilai etis.
4.4.
Transformasi Menuju Sistem Formal
Dengan masuknya
pengaruh modernisasi, sistem pendidikan madrasah mengalami transformasi besar,
khususnya di abad ke-19 dan ke-20. Di Indonesia, madrasah mulai
mengintegrasikan kurikulum umum seperti ilmu
pengetahuan alam, matematika, bahasa Indonesia, dan sejarah ke dalam sistem
pembelajaran, mengikuti standar pendidikan nasional. Hal ini memungkinkan
madrasah diakui secara resmi sebagai lembaga pendidikan formal yang
sederajat dengan sekolah umum.⁹
Kurikulum ganda
(agama dan umum) yang diterapkan oleh Kementerian Agama menjadikan madrasah
unik dibanding lembaga pendidikan formal lainnya.¹⁰ Di satu sisi, madrasah
tetap mempertahankan keunggulan dalam ilmu agama, sementara di sisi lain juga
memenuhi standar akademik nasional. Implementasi kurikulum ini juga didukung
oleh buku teks, pelatihan guru, dan sistem evaluasi nasional (seperti Ujian
Madrasah dan Asesmen Nasional Berbasis Komputer/ANBK).
Dengan demikian,
sistem pendidikan di madrasah terus berkembang dari lembaga tradisional
berbasis kitab klasik menjadi institusi pendidikan formal yang terintegrasi
dengan sistem negara, namun tetap menjaga karakteristik keislamannya.
Footnotes
[1]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 41–45.
[2]
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden: Brill, 1970), 92–96.
[3]
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A
Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University
Press, 1992), 48–50.
[4]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 45–46.
[5]
Ghulam Haider Aasi, “The Sanad Tradition and the Authority of Islamic
Knowledge,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no. 4
(1999): 43–45.
[6]
Makdisi, The Rise of Colleges, 52.
[7]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 175–176.
[8]
Al-Attas, Islam and Secularism, 147.
[9]
Kementerian Agama RI, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab III.
[10]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17.
5.
Madrasah sebagai Institusi Pendidikan Formal di
Indonesia
5.1.
Lahirnya Madrasah Modern di Indonesia
Madrasah modern di
Indonesia lahir sebagai respons terhadap kondisi sosial-politik pada masa
kolonial, sekaligus sebagai bagian dari gerakan reformasi pendidikan Islam.
Pendidikan tradisional seperti pesantren pada saat itu mulai dianggap kurang
memadai dalam menghadapi tantangan zaman, terutama karena belum terstruktur dan
tidak mengajarkan ilmu-ilmu umum secara sistematis. Dalam konteks ini, madrasah
tampil sebagai alternatif yang lebih terorganisasi, dengan sistem pembelajaran
kelas, kurikulum, dan mata pelajaran yang lebih beragam.
Beberapa madrasah
pertama yang berdiri di Indonesia antara lain Madrasah Adabiyah di Padang
(1909), yang didirikan oleh Abdullah Ahmad, serta Diniyah
School di Padang Panjang (1915), yang dipelopori oleh Zainuddin
Labay El Yunusy.¹ Kedua madrasah ini memadukan pelajaran keagamaan seperti
tauhid, fikih, dan Al-Qur'an dengan pelajaran umum seperti ilmu bumi,
aritmetika, dan bahasa asing. Pendekatan ini dipengaruhi oleh gagasan pembaruan
pendidikan dari Timur Tengah, terutama dari Mesir dan Turki, yang dikenal
dengan istilah modernisme Islam.
Di sisi lain,
organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (didirikan pada
1912) dan Persatuan Islam (Persis) juga
turut mendirikan madrasah dengan sistem modern. Lembaga-lembaga ini
mengembangkan sekolah-sekolah Islam yang memadukan nilai-nilai keislaman dengan
metode pendidikan modern, seperti penggunaan bangku, papan tulis, pembagian
kelas, dan sistem ujian.² Dengan demikian, madrasah menjadi wahana penting bagi
pengembangan pendidikan Islam yang lebih sistematis dan adaptif terhadap
perkembangan zaman.
5.2.
Regulasi dan Integrasi dalam Sistem Pendidikan
Nasional
Setelah Indonesia
merdeka, madrasah mengalami proses panjang untuk memperoleh pengakuan formal
dalam sistem pendidikan nasional. Pada awalnya, madrasah dipandang sebagai
lembaga pendidikan swasta yang berfokus pada pelajaran agama dan berada di luar
sistem sekolah umum. Baru pada tahun 1950-an hingga 1970-an, melalui berbagai
kebijakan Departemen Agama (kini Kementerian Agama), madrasah mulai memperoleh
pengakuan bertahap.
Momentum penting
terjadi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003, di mana madrasah secara resmi dinyatakan
sebagai satuan pendidikan formal yang
setara dengan sekolah.³ Pasal 17 UU tersebut menyebutkan bahwa pendidikan dasar
dan menengah dapat diselenggarakan dalam bentuk sekolah atau madrasah,
menunjukkan posisi legal yang sejajar.
Dalam sistem
pendidikan nasional, madrasah memiliki kekhasan sebagai lembaga pendidikan umum
yang berbasis Islam. Kurikulumnya mencakup pelajaran-pelajaran umum seperti
matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia, sebagaimana sekolah umum, tetapi
juga dilengkapi dengan pelajaran agama Islam seperti Al-Qur’an Hadis, Fikih,
Akidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam.⁴
5.3.
Peran Kementerian Agama dalam Pengelolaan
Madrasah
Secara kelembagaan,
madrasah berada di bawah pembinaan Kementerian Agama Republik Indonesia,
berbeda dengan sekolah umum yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek). Kementerian Agama bertanggung
jawab atas pengembangan kurikulum keagamaan, penyusunan standar nasional
pendidikan madrasah, serta pengawasan mutu melalui Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam.
Madrasah di
Indonesia terdiri dari empat jenjang:
·
Raudhatul Athfal
(RA) – jenjang prasekolah,
·
Madrasah Ibtidaiyah
(MI) – jenjang sekolah dasar,
·
Madrasah Tsanawiyah
(MTs) – jenjang sekolah menengah pertama,
·
Madrasah Aliyah
(MA) – jenjang sekolah menengah atas.⁵
Setiap jenjang
disusun agar memenuhi standar pendidikan nasional serta kebutuhan dasar umat
Islam terhadap pemahaman agama yang mendalam. Dalam implementasinya,
Kementerian Agama juga menerapkan standar mutu melalui sistem akreditasi
BAN-PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah)
serta evaluasi berbasis kompetensi dan digitalisasi pendidikan.
5.4.
Perkembangan Terkini dan Tantangan
Dalam beberapa
dekade terakhir, madrasah telah menunjukkan perkembangan signifikan, baik dari
segi jumlah, kualitas, maupun aksesibilitas. Data Kementerian Agama mencatat
bahwa pada tahun 2023 terdapat lebih dari 87 ribu madrasah di seluruh
Indonesia, yang mencakup madrasah negeri dan swasta.⁶ Madrasah juga telah masuk
dalam program pengembangan mutu seperti Madrasah Reform yang didukung
oleh Bank Dunia, serta digitalisasi madrasah untuk
menjawab tantangan pendidikan abad ke-21.
Namun demikian,
madrasah masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
·
ketimpangan kualitas antara
madrasah negeri dan swasta,
·
keterbatasan sarana dan
prasarana di wilayah terpencil,
·
kurangnya pelatihan dan
kompetensi guru dalam menghadapi pembelajaran berbasis digital.
Selain itu,
tantangan ideologis seperti penetrasi radikalisme dan eksklusivisme agama juga
menjadi perhatian serius dalam pembinaan madrasah. Untuk itu, program moderasi beragama menjadi agenda utama Kementerian Agama guna menjaga
madrasah tetap menjadi tempat pendidikan yang inklusif, toleran, dan
kontributif terhadap kebangsaan.⁷
Dengan rekam jejak
historis dan struktur kelembagaan yang kuat, madrasah di Indonesia terus
memainkan peran penting dalam membentuk generasi Muslim yang berpengetahuan
luas, berkarakter Islami, dan siap menghadapi tantangan global.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58–65.
[2]
Noorhaidi Hasan, Islamising Formal Education: Integrated Islamic
School and a New Trend in Formal Islamic Education in Indonesia, RSIS
Working Paper No. 93 (Singapore: Nanyang Technological University, 2006), 3–4.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17 ayat (2).
[4]
Kementerian Agama RI, Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019
tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah, Bab II.
[5]
Kementerian Agama RI, Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, Bab I, Pasal 1.
[6]
Kementerian Agama RI, Data Statistik Pendidikan Islam Tahun 2023
(Jakarta: Ditjen Pendis, 2023), 10.
[7]
Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta:
Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 12–14.
6.
Relevansi dan Kontribusi Madrasah di Era Modern
Madrasah sebagai
institusi pendidikan Islam tidak hanya penting dalam konteks historis, tetapi
juga memainkan peran strategis dalam kehidupan sosial, budaya, dan pendidikan
di era modern. Dengan keberadaan yang tersebar luas dan basis peserta didik
yang besar, madrasah memiliki posisi unik sebagai jembatan antara nilai-nilai
keislaman dan tantangan global kontemporer.
6.1.
Pelestarian Nilai-Nilai Keislaman dan Moralitas
Salah satu
kontribusi utama madrasah adalah menjaga dan mentransmisikan warisan
intelektual Islam klasik, baik dalam bentuk ilmu-ilmu keagamaan maupun etika
sosial. Kurikulum madrasah yang mengajarkan Al-Qur’an, hadis, fikih, akidah,
dan akhlak memberikan fondasi moral dan spiritual yang kuat bagi siswa.¹ Dalam
masyarakat yang semakin sekuler dan konsumtif, madrasah berfungsi sebagai
benteng pelindung nilai-nilai Islam serta karakter bangsa.
Sebagai lembaga
pendidikan berbasis agama, madrasah turut berkontribusi dalam membentuk
kepribadian yang berbudi pekerti, toleran, dan berorientasi pada keadilan
sosial.² Nilai-nilai ini sangat penting dalam upaya membangun masyarakat yang
damai dan beradab di tengah polarisasi sosial dan krisis moral yang kian marak.
6.2.
Kontribusi terhadap Pendidikan Nasional
Dalam sistem
pendidikan Indonesia, madrasah tidak lagi diposisikan sebagai lembaga
pendidikan kelas dua. Perannya setara dengan sekolah umum, baik dari segi
legalitas, kurikulum, maupun jenjang kelembagaan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 secara tegas mengakui madrasah sebagai bagian integral dari sistem
pendidikan nasional.³
Madrasah telah
membuktikan kontribusinya melalui keterlibatan dalam berbagai program nasional
seperti Ujian Nasional, Asesmen Nasional, Kurikulum Merdeka, dan pendidikan
inklusif. Bahkan, banyak madrasah kini telah berhasil meraih prestasi akademik
tinggi di tingkat daerah, nasional, hingga internasional.⁴ Dengan demikian,
madrasah membuktikan bahwa pendidikan berbasis agama dapat bersaing secara
sehat dan profesional dalam arena pendidikan global.
6.3.
Peran dalam Moderasi Beragama dan Toleransi
Sosial
Dalam konteks
kebhinekaan Indonesia, madrasah berperan penting dalam mengajarkan Islam yang
moderat, toleran, dan cinta damai. Melalui pendidikan agama yang mengedepankan
nilai-nilai wasathiyah (jalan tengah), madrasah menjadi agen penting dalam
menanggulangi radikalisme dan ekstremisme berbasis agama.⁵
Kementerian Agama
melalui program Moderasi Beragama telah
mengarusutamakan nilai-nilai toleransi, cinta tanah air, anti-kekerasan, dan
penghormatan terhadap perbedaan dalam kurikulum dan kegiatan kesiswaan di madrasah.⁶
Dengan pendekatan ini, madrasah tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi
juga sarana pembinaan karakter kebangsaan dan perdamaian sosial.
6.4.
Peningkatan Kualitas SDM dan Literasi Digital
Di era Revolusi
Industri 4.0 dan transformasi digital, madrasah dituntut untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) dan keterampilan abad ke-21. Kementerian
Agama melalui program Madrasah Digital, e-learning
madrasah, dan platform RDM (Rapor Digital Madrasah)
berupaya mempercepat digitalisasi dalam proses pembelajaran.⁷ Banyak madrasah
kini telah menggunakan sistem pembelajaran berbasis TIK dan memperkuat literasi
digital siswa dan guru.
Upaya ini
memperlihatkan bahwa madrasah tidak stagnan dalam romantisme masa lalu, tetapi
justru bersiap menjadi pelaku utama dalam pembangunan pendidikan berbasis
teknologi dan inovasi.
6.5.
Akses Pendidikan bagi Kaum Marginal
Madrasah juga
memiliki kontribusi sosial yang besar, terutama dalam memberikan akses pendidikan
bagi masyarakat ekonomi lemah dan kelompok marginal. Sebagian besar madrasah
swasta berbasis komunitas tetap mempertahankan semangat inklusi dan pelayanan
sosial, bahkan dengan dukungan dana yang terbatas.⁸
Dalam hal ini,
madrasah berfungsi sebagai agen pemerataan pendidikan dan pengentasan
kemiskinan melalui jalur pendidikan berbasis nilai. Banyak madrasah di pelosok
daerah yang menjadi satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dapat dijangkau
masyarakat, dan hal ini menjadikan madrasah relevan secara sosial dan strategis
secara nasional.
Simpulan Antara
Relevansi madrasah
di era modern tidak hanya terletak pada warisan sejarah dan keilmuannya, tetapi
juga pada kemampuannya merespons tantangan kontemporer secara dinamis. Dari
pelestarian nilai hingga digitalisasi, dari moderasi beragama hingga inklusi
sosial, madrasah terus menunjukkan kontribusi nyata dalam membentuk generasi
Muslim yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing tinggi.
Footnotes
[1]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 50–55.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 147–149.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17.
[4]
Kementerian Agama RI, Laporan Kinerja Ditjen Pendis Tahun 2023
(Jakarta: Ditjen Pendidikan Islam, 2024), 23–25.
[5]
Noorhaidi Hasan, “The Making of Public Islam: Piety, Agency, and
Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere,” Contemporary
Islam 3, no. 3 (2009): 229–250.
[6]
Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta:
Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 8–12.
[7]
Kementerian Agama RI, Madrasah Digital: Strategi Transformasi
Pembelajaran Abad 21 (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2022), 5–8.
[8]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 63–66.
7.
Penutup
Madrasah merupakan
institusi pendidikan Islam yang tidak hanya berakar kuat dalam sejarah
peradaban Muslim, tetapi juga terus menunjukkan relevansi dan kontribusinya
dalam konteks pendidikan formal di era modern. Sejak benih awalnya tumbuh pada
masa Dinasti Abbasiyah dalam bentuk halaqah ilmiah di masjid-masjid besar,
madrasah mengalami perkembangan signifikan terutama pada masa Dinasti Seljuk
melalui pendirian Madrasah Nizamiyah yang menjadi model awal pendidikan tinggi
Islam yang terorganisasi.¹
Kelembagaan madrasah
menandai pergeseran penting dalam sistem transmisi ilmu di dunia Islam, dari
sistem pengajaran non-formal menjadi institusi terstruktur yang memiliki
kurikulum, pendanaan wakaf, serta sistem pengakuan keilmuan melalui ijazah.²
Madrasah tidak hanya mencetak ulama-ulama besar, tetapi juga menjadi pusat
pembinaan pemikiran Islam rasional dan spiritual yang mendalam. Dalam
perkembangannya, madrasah menyebar luas ke seluruh dunia Islam dan diadopsi secara
kontekstual di berbagai wilayah, termasuk di Nusantara.
Di Indonesia,
madrasah mulai mengambil bentuk modern sejak awal abad ke-20 sebagai bagian
dari gerakan reformasi pendidikan Islam. Seiring berjalannya waktu, melalui
berbagai regulasi seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Madrasah, madrasah kini telah menjadi satuan pendidikan formal yang
legal, setara dengan sekolah umum, dan berada di bawah pembinaan Kementerian
Agama.³
Kontribusi madrasah
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranannya dalam membentuk karakter
kebangsaan, memperkuat nilai-nilai Islam yang moderat, serta memberikan akses
pendidikan bagi masyarakat di berbagai lapisan, termasuk di daerah terpencil.
Madrasah telah terbukti adaptif terhadap perubahan zaman melalui digitalisasi
pembelajaran, penguatan kurikulum integratif, dan pelatihan guru berbasis
teknologi informasi.⁴ Dengan kurikulum ganda (agama dan umum), madrasah
menjembatani kebutuhan akan pendidikan berkualitas yang tetap berakar pada
nilai-nilai moral dan spiritual.
Namun demikian,
tantangan masih membayangi perkembangan madrasah, seperti kesenjangan mutu
antara madrasah negeri dan swasta, keterbatasan sarana prasarana, serta
kebutuhan peningkatan kapasitas guru dan tata kelola lembaga. Di samping itu,
perlunya penguatan program moderasi beragama menjadi aspek penting agar
madrasah tidak terjebak dalam polarisasi ideologis atau eksklusivisme
keagamaan.⁵
Melihat perjalanan
historis dan dinamika kontemporer madrasah, jelas bahwa lembaga ini memiliki
posisi strategis dalam mencetak generasi Muslim yang tidak hanya religius,
tetapi juga kompeten, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan global. Oleh
karena itu, penting bagi negara, masyarakat, dan dunia pendidikan untuk terus
mendorong revitalisasi madrasah melalui kebijakan yang afirmatif, inovasi
pedagogis, dan investasi pendidikan yang berkelanjutan.
Dengan demikian,
madrasah bukan hanya peninggalan sejarah, melainkan juga pilar utama pendidikan
nasional yang mampu menjawab tantangan masa kini dan masa depan—menjadi pusat
pembentukan insan ulul albab yang seimbang antara
iman, ilmu, dan amal.
Footnotes
[1]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–31.
[2]
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A
Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University
Press, 1992), 42–44.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 17; Kementerian Agama RI, Peraturan
Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah,
Bab I.
[4]
Kementerian Agama RI, Madrasah Digital: Strategi Transformasi
Pembelajaran Abad 21 (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2022), 5–8.
[5]
Kementerian Agama RI, Buku Saku Moderasi Beragama (Jakarta:
Balitbang Diklat Kemenag, 2019), 12–14.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam
and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC).
Aasi, G. H. (1999). The
Sanad tradition and the authority of Islamic knowledge. American Journal of
Islamic Social Sciences, 16(4), 41–46.
Azra, A. (1999). Pendidikan
Islam: Tradisi dan modernisasi menuju milenium baru. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Berkey, J. (1992). The
transmission of knowledge in medieval Cairo: A social history of Islamic
education. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Bloom, J., & Blair, S.
(2000). Islam: A thousand years of faith and power. New Haven, CT:
Yale University Press.
Hasan, N. (2006). Islamising
formal education: Integrated Islamic school and a new trend in formal Islamic
education in Indonesia (RSIS Working Paper No. 93). Singapore: Nanyang
Technological University.
Hasan, N. (2009). The
making of public Islam: Piety, agency, and commodification on the landscape of
the Indonesian public sphere. Contemporary Islam, 3(3), 229–250. https://doi.org/10.1007/s11562-009-0096-9
Indonesia. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2019). Buku saku moderasi beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2019). Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 tentang
Kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2022). Madrasah digital: Strategi transformasi pembelajaran
abad 21. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2023). Data statistik pendidikan Islam tahun 2023.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Kementerian Agama Republik
Indonesia. (2024). Laporan kinerja Ditjen Pendis tahun 2023. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Lapidus, I. M. (2002). A
history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Makdisi, G. (1981). The
rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Rosenthal, F. (1970). Knowledge
triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Leiden: Brill.
Watt, W. M. (1963). Muslim
intellectual: A study of al-Ghazali. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Wehr, H. (1976). A
dictionary of modern written Arabic (J. M. Cowan, Ed.). Ithaca, NY: Spoken
Language Services.
Lampiran: Kutipan Naskah Sejarah Madrasah dari Manuskrip Klasik
وَكَانَ الوَزِيرُ نِظَامُ المُلكِ قَد
بَنَى مَدَارِسَ عَظِيمَةً فِي البِلَادِ، مِنْهَا المَدْرَسَةُ النِّظَامِيَّةُ
بِبَغْدَادَ، وَوَقَفَ عَلَيْهَا أَوْقَافًا جَلِيلَةً، وَأَجْرَى عَلَى مَنْ
يَتَعَلَّمُ فِيهَا الأَرْزَاقَ، وَجَعَلَ فِيهَا مُدَرِّسِينَ وَمُرَاقِبِينَ،
فَانْتَشَرَ العِلْمُ، وَكَثُرَ الطَّلَبَةُ، وَعَلَتْ هِمَمُ النَّاسِ فِي طَلَبِ
العِلْمِ.
“Wakāna al-wazīr Niẓām al-Mulk qad banā madāris ʿaẓīmah fī al-bilād,
minhā al-madrasah al-Niẓāmiyyah bi-Baghdād, wa waqafa ʿalayhā awqāfan jalīlah,
wa ajrā ʿalā man yataʿallam fīhā al-arzāq, wa jaʿala fīhā mudarrisīn wa
murāqibīn, fa-intashara al-ʿilm, wa kathura al-ṭalabah, wa ʿalat himam al-nās
fī ṭalab al-ʿilm.”
Terjemahan:
“Wazir Nizām al-Mulk telah membangun madrasah-madrasah besar di berbagai
negeri, di antaranya Madrasah Nizāmiyyah di Baghdad. Ia menetapkan wakaf yang
besar untuknya, memberikan tunjangan kepada mereka yang belajar di dalamnya,
serta mengangkat para guru dan pengawas. Maka ilmu pun tersebar, jumlah
penuntut ilmu meningkat, dan semangat masyarakat dalam menuntut ilmu semakin
tinggi.”
— al-Jawzī, ʿAbd al-Raḥmān ibn ʿAlī. al-Muntaẓam fī Tārīkh
al-Mulūk wa al-Umam, Juz 16, hlm. 172.
Keterangan Tambahan:
Naskah ini merupakan salah satu bukti historis
penting yang menggambarkan kemunculan madrasah sebagai lembaga pendidikan
terorganisasi, serta peran negara melalui wazir (menteri) dalam mendanai dan
mengelolanya. Nizām al-Mulk (w. 485 H/1092 M), seorang wazir Dinasti Saljuk,
dikenal luas sebagai pelopor utama pendirian madrasah sistemik dalam sejarah
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar