Pendidikan yang Menjinakkan
Analisis Kritis terhadap Sistem Pendidikan yang
Menghasilkan Pekerja
Alihkan ke: Dari Schole ke Sekolah, Madrasah, Sekolah Bukan Pabrik,
Abstrak
Artikel ini menyajikan analisis kritis terhadap
sistem pendidikan modern yang lebih berfungsi sebagai alat penjinakan daripada
sebagai sarana pembebasan manusia. Dengan menggunakan pendekatan teori kritis
dari Paulo Freire, Henry Giroux, Louis Althusser, dan pemikir lainnya, artikel
ini mengungkap bagaimana pendidikan telah direduksi menjadi instrumen produksi tenaga
kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, mengabaikan dimensi humanistik,
reflektif, dan sosial dari peserta didik. Analisis historis menelusuri akar
kolonial dan industrial dari model pendidikan teknokratis, sementara telaah
konseptual menunjukkan ciri-ciri utama sistem pendidikan yang menjinakkan,
seperti kurikulum sempit, penilaian seragam, serta penguatan ketimpangan
sosial. Artikel ini juga mengeksplorasi dampak sistem tersebut terhadap
individu dan masyarakat — termasuk dehumanisasi, hilangnya daya kritis, dan
reproduksi ketidakadilan — serta menawarkan paradigma alternatif berupa
pendidikan pembebasan. Dengan mengusulkan orientasi baru dalam tujuan,
kurikulum, peran guru, dan partisipasi sosial, artikel ini menekankan bahwa
pendidikan harus menjadi alat transformasi dan emansipasi, bukan sekadar pabrik
pekerja.
Kata Kunci: pendidikan kritis; penjinakan; Paulo Freire;
neoliberalisme; pendidikan pembebasan; reproduksi sosial; pendidikan
teknokratis.
PEMBAHASAN
Analisis Kritis terhadap Sistem Pendidikan yang
Menghasilkan Pekerja
1.
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan formal
di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan pasar kerja. Sekolah dan universitas diminta untuk menyiapkan lulusan
yang “siap pakai” dan “sesuai dengan kebutuhan industri.” Dalam dokumen resmi
pemerintah, bahkan sering disebutkan bahwa pendidikan harus menyesuaikan diri
dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) agar tercipta sinergi antara dunia
pendidikan dan pasar tenaga kerja.¹ Fenomena ini mencerminkan transformasi
pendidikan menjadi instrumen reproduksi tenaga kerja, bukan pembebasan manusia.
Sistem pendidikan semacam ini sangat dipengaruhi
oleh paradigma ekonomi kapitalistik, di mana individu dilihat sebagai sumber
daya manusia (SDM) yang perlu dikembangkan demi produktivitas dan efisiensi.²
Alhasil, orientasi pendidikan bergeser dari pembangunan manusia seutuhnya
menuju pembentukan manusia-manusia yang fungsional secara ekonomi, tetapi
sering kali teralienasi secara moral, sosial, dan spiritual.
Pergeseran ini bukan tanpa akibat. Lembaga
pendidikan yang semestinya menjadi ruang emansipasi dan pembebasan justru
menjelma menjadi institusi penjinakan.³ Peserta didik dibentuk menjadi patuh,
terstandarisasi, dan kompetitif, namun kehilangan daya kritis dan orientasi
etik dalam memahami realitas sosial. Dalam istilah Paulo Freire, pendidikan
semacam ini bersifat “banking concept of education” — yaitu pendidikan yang
memperlakukan siswa sebagai tabungan kosong yang perlu diisi informasi demi
kepentingan sistem yang mapan.⁴
Masalah ini semakin mengemuka ketika kita menyadari
bahwa krisis-krisis kemanusiaan modern — seperti ketimpangan sosial, kerusakan
lingkungan, dan dekadensi moral — justru tidak bisa dipecahkan oleh generasi
yang hanya dididik untuk bekerja dan patuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan
analisis kritis terhadap sistem pendidikan yang berperan besar dalam membentuk
pola pikir dan karakter generasi muda.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis
akar historis, karakteristik, dan dampak dari sistem pendidikan yang
berorientasi pada penciptaan pekerja, serta menawarkan alternatif paradigma
pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan. Dengan demikian, artikel ini
tidak sekadar mendiagnosis persoalan, tetapi juga merintis jalan menuju
transformasi pendidikan yang lebih humanistik dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Rencana Strategis Kemendikbud 2020–2024 (Jakarta:
Kemendikbud, 2020), 11.
[2]
Noam Chomsky, Profit over People: Neoliberalism
and Global Order (New York: Seven Stories Press, 1999), 45–47.
[3]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New
York: Continuum, 2011), 12.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
2.
Landasan Teoretis dan Kerangka Konseptual
Untuk memahami
sistem pendidikan yang berorientasi pada produksi pekerja, diperlukan kerangka
teoretis yang mampu mengungkap hubungan antara pendidikan, kekuasaan, dan
struktur sosial. Pendekatan kritis dalam filsafat pendidikan menjadi alat
analisis yang relevan untuk menyingkap ideologi yang tersembunyi di balik
praktik pendidikan modern.
2.1.
Pendidikan dalam
Dimensi Ideologis
Pendidikan bukanlah
institusi yang netral. Ia selalu terikat pada konteks historis, sosial, dan
ideologis tertentu. Louis Althusser, seorang pemikir Marxis, menyatakan bahwa
sekolah merupakan bagian dari Ideological State Apparatuses
(ISA), yaitu lembaga-lembaga yang berfungsi mereproduksi ideologi dominan dalam
masyarakat kapitalistik.¹ Sekolah tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi
juga membentuk subjek yang taat terhadap struktur sosial yang mapan.
Dalam perspektif
ini, sistem pendidikan modern bukan sekadar sarana pemberdayaan, tetapi juga
alat pelestarian status quo. Kurikulum, metode pengajaran, bahkan cara menilai
siswa, mencerminkan nilai-nilai dominasi dan kepatuhan.² Oleh karena itu,
sistem pendidikan yang mengutamakan keterampilan kerja dan kepatuhan dapat
dipahami sebagai hasil dari logika produksi kapitalistik yang menuntut pekerja
efisien dan mudah diatur.
2.2.
Teori Pendidikan
Kritis
Tokoh utama dalam
tradisi pendidikan kritis adalah Paulo Freire, yang mengecam model pendidikan
konvensional sebagai bentuk penindasan kultural. Freire menyebutnya sebagai banking
education, yakni proses di mana guru “menyimpan” informasi ke dalam
diri siswa tanpa melibatkan nalar kritis mereka.³ Ia menawarkan pendekatan problem-posing
education sebagai alternatif, yakni pendidikan yang dialogis,
membebaskan, dan membangkitkan kesadaran kritis (conscientização).
Henry Giroux
memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa sekolah harus menjadi site of
resistance, yaitu ruang perlawanan terhadap dominasi budaya dan
ekonomi. Menurutnya, guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi, tetapi juga
bertanggung jawab membentuk warga negara kritis yang sadar akan ketidakadilan
sosial.⁴ Pendidikan harus memampukan siswa untuk bertanya: “Mengapa dunia ini
seperti ini?” dan “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya?”
2.3.
Konsep Hidden
Curriculum dan Reproduksi Sosial
Selain kurikulum
formal, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai terselubung yang disebut hidden
curriculum — seperti kedisiplinan, kepatuhan terhadap otoritas,
kompetisi, dan penyeragaman.⁵ Menurut Michael Apple, hidden curriculum berperan
besar dalam mereproduksi struktur sosial yang timpang, karena siswa dari kelas
bawah sering kali dipersiapkan untuk pekerjaan yang menuntut ketaatan, bukan
kreativitas.⁶
Pierre Bourdieu
menambahkan bahwa sekolah mereproduksi habitus dan modal
budaya yang menguntungkan kelas dominan. Dengan mekanisme evaluasi
yang tampak netral, sekolah sebenarnya melegitimasi ketimpangan dan menjadikan
dominasi sosial seolah-olah wajar dan “alami.”⁷
2.4.
Pendidikan dalam
Logika Kapitalisme Neoliberal
Sejak akhir abad
ke-20, pendidikan semakin dikooptasi oleh logika neoliberal, yang menekankan
efisiensi, kompetisi, dan pasar bebas.⁸ Pendidikan diperlakukan sebagai
komoditas, bukan hak publik. Lembaga pendidikan didorong untuk mengadopsi
manajemen ala korporasi, dan siswa diposisikan sebagai “produk” yang harus
memiliki “nilai jual.”⁹
Neoliberalisme
menjadikan pendidikan sebagai arena investasi ekonomi, bukan pengembangan
kepribadian atau kesadaran sosial. Hal ini menimbulkan krisis orientasi
pendidikan: apakah pendidikan bertujuan mencetak manusia utuh, atau sekadar
mencetak tenaga kerja?
Footnotes
[1]
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 85–87.
[2]
Bowles, Samuel, and Herbert Gintis. Schooling in Capitalist
America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New
York: Basic Books, 1976), 129–131.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–73.
[4]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical
Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 35–39.
[5]
Philip W. Jackson, Life in Classrooms (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1968), 33–36.
[6]
Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York:
Routledge, 2004), 97–100.
[7]
Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in
Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage
Publications, 1990), 32–35.
[8]
Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector
Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 11–14.
[9]
Diane Ravitch, The Death and Life of the Great American School
System: How Testing and Choice Are Undermining Education (New York: Basic
Books, 2010), 56–58.
3.
Akar Historis Pendidikan sebagai Alat Produksi
Pekerja
Untuk memahami
bagaimana pendidikan modern dikonstruksi sebagai alat produksi pekerja, perlu
ditelusuri akar historisnya. Sejarah pendidikan formal, terutama sejak era
Revolusi Industri, menunjukkan keterkaitan yang erat antara desain sistem
pendidikan dengan kebutuhan ekonomi dan struktur kekuasaan yang dominan.
3.1.
Revolusi Industri
dan Lahirnya Pendidikan Massal
Revolusi Industri
pada abad ke-18 dan ke-19 menjadi titik balik dalam sejarah sosial dan ekonomi
Eropa. Peralihan dari ekonomi agraris ke ekonomi industri menciptakan kebutuhan
besar akan tenaga kerja yang disiplin, terampil, dan patuh.¹ Dalam konteks ini,
pendidikan formal muncul sebagai sarana pelatihan dan pembentukan karakter
kerja massal.
Sistem sekolah
dirancang menyerupai pabrik: jam belajar yang ketat, sistem kelas berjenjang,
kurikulum standar, dan pengawasan yang ketat terhadap siswa.² Tujuannya adalah
untuk membiasakan anak-anak sejak dini dengan rutinitas, kepatuhan terhadap
otoritas, dan ketaatan terhadap aturan — karakteristik yang sangat dibutuhkan
oleh industri manufaktur.
3.2.
Pendidikan sebagai
Mekanisme Sosial untuk Reproduksi Kelas
Di awal abad ke-20,
para pemikir kritis mulai mengamati bahwa pendidikan tidak netral, melainkan
menjadi sarana untuk mempertahankan struktur kelas. Salah satunya adalah John Dewey, yang mengkritik sistem pendidikan yang hanya menyiapkan anak untuk
kehidupan kerja tanpa memberdayakan nalar dan partisipasi sosial mereka.³ Dalam
perspektif ini, sekolah menjadi wahana domestikasi kelas pekerja —
mempersiapkan mereka untuk menerima posisi sosial tertentu, bukan menantangnya.
Samuel Bowles dan
Herbert Gintis dalam studi klasiknya Schooling in Capitalist America
menyatakan bahwa sekolah merefleksikan struktur dan nilai-nilai tempat kerja
kapitalis: adanya hierarki, insentif berbasis nilai, dan kompetisi antar
individu.⁴ Sekolah, dengan demikian, menjadi “pabrik sosial” yang menghasilkan
pekerja sesuai kebutuhan sistem produksi kapitalistik.
3.3.
Warisan Pendidikan
Kolonial: Produksi Pegawai, Bukan Pemikir
Dalam konteks dunia
non-Barat, termasuk Indonesia, sistem pendidikan modern diperkenalkan oleh
kekuatan kolonial. Pendidikan dirancang bukan untuk mencerdaskan rakyat, tetapi
untuk menciptakan pegawai rendahan yang dapat menjalankan administrasi
kolonial.⁵
Di Hindia Belanda,
misalnya, pendidikan dijalankan dalam sistem berjenjang dan sangat terbatas
aksesnya. Hanya segelintir pribumi yang diberi kesempatan sekolah, dan itupun
dibatasi pada keterampilan administratif dan bahasa Belanda, bukan pengembangan
pemikiran kritis atau kemerdekaan berpikir.⁶ Dampak warisan ini masih terasa
hingga kini, ketika orientasi pendidikan masih cenderung menghasilkan pegawai
dan buruh, bukan wirausahawan visioner atau intelektual transformatif.
3.4.
Sekolah Modern dan
Proyek Standarisasi Global
Memasuki abad ke-20
dan 21, pendidikan semakin tersentralisasi dan distandarkan secara global.
Lembaga-lembaga seperti OECD melalui program PISA (Programme for International
Student Assessment) menetapkan parameter-parameter global dalam menilai
kualitas pendidikan, yang sering kali mengabaikan konteks sosial-budaya lokal.⁷
Dalam sistem ini,
negara-negara berkembang sering merasa terpaksa menyesuaikan diri demi
peringkat internasional, meskipun kurikulum dan sistem pengajaran tidak sesuai
dengan kebutuhan dan nilai lokal. Proses ini memperkuat pola “pendidikan
sebagai mesin produksi” yang seragam, terukur, dan dikendalikan oleh logika
kompetisi pasar global.⁸
Footnotes
[1]
E.P. Thompson, The Making of the English Working Class (New
York: Vintage Books, 1966), 339–342.
[2]
Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 25–28.
[3]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 125–128.
[4]
Samuel Bowles and Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America:
Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New York:
Basic Books, 1976), 101–104.
[5]
Benedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures
in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 137–139.
[6]
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912–1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), 45–46.
[7]
Heinz-Dieter Meyer and Aaron Benavot, eds., PISA, Power, and
Policy: The Emergence of Global Educational Governance (Oxford: Symposium
Books, 2013), 9–11.
[8]
Stephen J. Ball, Global Education Inc.: New Policy Networks and the
Neoliberal Imaginary (New York: Routledge, 2012), 34–36.
4.
Ciri-ciri Sistem Pendidikan yang Menghasilkan
Pekerja
Sistem pendidikan
yang berorientasi pada penciptaan tenaga kerja memiliki karakteristik yang
khas, baik dalam struktur kurikulum, praktik pedagogis, hingga budaya
kelembagaan yang berkembang di dalamnya. Ciri-ciri ini mencerminkan arah
ideologis pendidikan yang tidak lagi memanusiakan, tetapi mereduksi peserta
didik menjadi komponen dalam mesin ekonomi. Berikut adalah beberapa ciri utama
dari sistem pendidikan semacam itu:
4.1.
Kurikulum yang
Menekankan Keterampilan Teknis dan Kompetensi Kerja
Salah satu ciri
paling mencolok adalah kurikulum yang sangat fokus pada pengembangan
keterampilan teknis (technical skills) dan kompetensi kerja (employability
skills), sering kali dengan mengabaikan pengembangan aspek moral, sosial, dan
filosofis dari peserta didik.¹ Pendidikan dipersempit menjadi pelatihan (training),
dan peserta didik dipandang sebagai “modal manusia” yang harus ditingkatkan
efisiensinya.²
Program keahlian di
sekolah kejuruan, misalnya, cenderung diformulasikan berdasarkan kebutuhan
pasar tenaga kerja sesaat, bukan kebutuhan masyarakat yang lebih luas.³
Pendidikan karakter, filsafat, seni, atau ilmu sosial seringkali dipinggirkan
karena dianggap “tidak produktif” secara ekonomi.
4.2.
Penilaian Berbasis
Kepatuhan dan Produktivitas
Sistem evaluasi
dalam pendidikan pekerja lebih menekankan pada disiplin, kehadiran, ketepatan
waktu, dan kemampuan mengikuti instruksi — bukan pada kreativitas, refleksi
kritis, atau inisiatif personal.⁴ Dengan kata lain, yang dihargai adalah
perilaku yang dapat dengan mudah diserap ke dalam sistem kerja birokratis dan
industri.
Dalam konteks ini,
ujian standar nasional atau internasional tidak hanya menjadi alat ukur
akademik, tetapi juga alat kontrol sosial yang mendisiplinkan peserta didik
agar patuh pada norma-norma sistemik.⁵ Evaluasi menjadi sarana pembinaan
perilaku, bukan pengembangan pemikiran.
4.3.
Sekolah sebagai
Lembaga Penyeragaman dan Pengendalian Sosial
Sistem pendidikan
pekerja sangat mengutamakan keseragaman. Kurikulum bersifat nasional, waktu
belajar ditentukan secara seragam, seragam sekolah digunakan untuk menghapus
perbedaan identitas, dan ruang kelas diatur seperti lini produksi.⁶ Tujuannya
adalah untuk membentuk peserta didik yang homogen, mudah dikontrol, dan tidak
banyak bertanya.
Michel Foucault
menyebut sekolah sebagai bagian dari “institusi disipliner” modern, sejajar
dengan barak militer, rumah sakit, dan penjara.⁷ Di dalamnya terdapat mekanisme
pengawasan, klasifikasi, dan pelatihan tubuh yang dirancang untuk menundukkan
individu kepada sistem kekuasaan.
4.4.
Orientasi pada
Sertifikasi dan Akreditasi, Bukan pada Substansi Pembelajaran
Dalam sistem ini,
pendidikan lebih dihargai dari segi dokumen: ijazah, sertifikat kompetensi, dan
akreditasi kelembagaan.⁸ Nilai-nilai intrinsik seperti pemahaman mendalam,
kecintaan pada ilmu, atau kesadaran sosial menjadi kurang penting dibandingkan
“pembuktian administratif” berupa kelulusan atau gelar.
Bahkan pada jenjang
pendidikan tinggi, orientasi terhadap pasar kerja mendorong universitas
mengubah dirinya menjadi “pabrik gelar” (degree mills), dengan kurikulum yang
kian disesuaikan dengan tuntutan korporasi dan bukan kebutuhan kritis
masyarakat.⁹
4.5.
Pendidikan yang
Terputus dari Realitas Sosial dan Ekologis
Sistem pendidikan
pekerja cenderung mencabut peserta didik dari realitas sosial dan ekologis
tempat mereka hidup. Masalah ketimpangan, kerusakan lingkungan, kemiskinan,
atau konflik sosial sering kali tidak menjadi bagian dari pembelajaran.
Pendidikan menjadi terisolasi, steril, dan ahistoris.¹⁰
Dengan demikian,
peserta didik tidak didorong untuk menjadi subjek sosial yang aktif, tetapi
hanya sebagai objek pelatihan yang disiapkan untuk mengisi slot dalam struktur
ekonomi yang sudah ada.
Footnotes
[1]
Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York:
Routledge, 2004), 78–80.
[2]
Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and
the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 61–63.
[3]
Suyanto and Jihad, “Vocational Education in Indonesia: History,
Development, and Challenges,” International Journal of Educational Development
69 (2019): 48–49.
[4]
Philip W. Jackson, Life in Classrooms (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1968), 47–48.
[5]
Alfie Kohn, The Case Against Standardized Testing: Raising the
Scores, Ruining the Schools (Portsmouth: Heinemann, 2000), 25–27.
[6]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 9–11.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 141–143.
[8]
Diane Ravitch, The Death and Life of the Great American School
System (New York: Basic Books, 2010), 84–86.
[9]
Stanley Aronowitz, The Knowledge Factory: Dismantling the Corporate
University and Creating True Higher Learning (Boston: Beacon Press, 2000),
39–41.
[10]
Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical
Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 1998),
112–114.
5.
Dampak Sistem Pendidikan Tersebut terhadap
Individu dan Masyarakat
Sistem pendidikan
yang dirancang untuk memproduksi pekerja memiliki dampak yang luas dan
mendalam, tidak hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga terhadap
struktur sosial, budaya, dan bahkan peradaban secara keseluruhan. Pendidikan
yang hanya berorientasi pada kepatuhan, efisiensi, dan keterampilan teknis pada
akhirnya melahirkan krisis kemanusiaan yang kompleks.
5.1.
Dehumanisasi
Individu dalam Proses Pendidikan
Salah satu dampak
paling nyata dari sistem ini adalah dehumanisasi peserta didik.
Proses pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pertumbuhan kepribadian,
kesadaran diri, dan nilai-nilai kemanusiaan justru berubah menjadi proses
teknokratis yang mereduksi manusia menjadi mesin produktif.¹ Dalam kerangka
ini, manusia diperlakukan sebagai instrumen, bukan sebagai subjek yang otonom
dan reflektif.
Paulo Freire
menyebut kondisi ini sebagai bentuk “penindasan kultural” karena siswa tidak
diajak berpikir, tetapi hanya menerima dan mereproduksi pengetahuan yang
dibentuk oleh kekuasaan.² Akibatnya, peserta didik kehilangan relasi kreatif
dengan realitas dan dirinya sendiri.
5.2.
Hilangnya Daya Pikir
Kritis dan Nalar Etis
Pendidikan yang
mengabaikan aspek filsafat, etika, dan keterlibatan sosial cenderung
melumpuhkan kemampuan berpikir kritis.³ Siswa diajarkan untuk menerima
perintah, mengikuti prosedur, dan mengejar nilai, bukan untuk bertanya,
menafsirkan, atau membayangkan kemungkinan lain dalam hidup.
Dalam jangka
panjang, hal ini melahirkan generasi yang “pintar secara teknis” tetapi rapuh
dalam mengambil keputusan yang bermoral dan bertanggung jawab secara sosial.⁴
Mereka menjadi bagian dari sistem tanpa memahami — apalagi mempertanyakan —
struktur ketidakadilan yang mereka jalani.
5.3.
Terbentuknya Manusia
Fungsional, Bukan Manusia Utuh
Sistem pendidikan
pekerja membentuk manusia fungsional, yaitu individu yang hanya berfungsi dalam
sistem ekonomi tertentu, tanpa visi hidup yang luas dan mendalam.⁵ Pendidikan
semacam ini gagal menumbuhkan kesadaran historis, kepekaan sosial, dan tanggung
jawab ekologis.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum, ketika pendidikan hanya berfokus pada
pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pembelajaran humaniora, maka masyarakat
kehilangan kemampuan untuk berempati, berpikir mandiri, dan memahami orang lain
sebagai sesama manusia.⁶ Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teknologis
tetapi tidak berperikemanusiaan.
5.4.
Penguatan
Ketimpangan dan Reproduksi Kelas Sosial
Alih-alih menjadi
alat mobilitas sosial, pendidikan yang terstandarisasi dan bernuansa
teknokratis justru sering memperkuat ketimpangan sosial. Siswa dari kelas
ekonomi bawah diarahkan pada pendidikan vokasional dengan keterampilan rendah,
sementara kelompok elit mendapatkan akses ke pendidikan reflektif dan
kepemimpinan.⁷
Seperti dijelaskan
oleh Pierre Bourdieu, sekolah bukan tempat kompetisi netral, melainkan
institusi yang mereproduksi kapital budaya dan simbolik milik kelas dominan.⁸
Dengan demikian, pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menjadi
mekanisme yang memperkokoh status quo.
5.5.
Reduksi Peran
Sekolah dalam Pembentukan Warga Negara
Dalam masyarakat
demokratis, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara yang
aktif, kritis, dan bertanggung jawab. Namun, sistem pendidikan yang
berorientasi pada pasar kerja justru mereduksi peran ini. Sekolah tidak lagi
menciptakan warga negara (citizens), tetapi karyawan (employees).⁹
Akhirnya, generasi
muda tumbuh tanpa kepekaan terhadap persoalan publik, kehilangan kemampuan
untuk berdialog lintas perbedaan, dan tidak memiliki keberanian untuk terlibat
dalam perubahan sosial. Demokrasi melemah ketika pendidikan gagal membentuk
kesadaran kewargaan.
Footnotes
[1]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 24–25.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.
[3]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury Academic,
2011), 18–20.
[4]
Nel Noddings, Educating for Intelligent Belief or Unbelief
(New York: Teachers College Press, 1993), 35–36.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 10–13.
[6]
Ibid., 14–16.
[7]
Michael W. Apple, Education and Power (New York: Routledge,
1995), 121–123.
[8]
Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in
Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage
Publications, 1990), 153–157.
[9]
Joel Spring, Political Agendas for Education: From the Christian
Coalition to the Green Party (New York: Routledge, 2005), 102–104.
6.
Analisis Kritis: Pendidikan atau Penjinakan?
Pada titik ini,
pertanyaan fundamental perlu diajukan: apakah yang selama ini kita sebut sebagai
“pendidikan” benar-benar mendidik, atau justru menjinakkan manusia agar tunduk
pada tatanan yang tidak adil? Apakah sekolah membebaskan atau justru
menundukkan? Analisis kritis terhadap sistem pendidikan kontemporer menyingkap
bahwa fungsi pembebasan yang diidealkan dalam pendidikan justru sering kali
tergantikan oleh fungsi penjinakan dan reproduksi sosial.
6.1.
Pendidikan sebagai
Proyek Ideologis
Sistem pendidikan
tidak pernah netral; ia selalu menjadi bagian dari proyek ideologis yang
dijalankan oleh kekuasaan. Louis Althusser telah menyatakan bahwa sekolah
merupakan Ideological
State Apparatus yang digunakan oleh negara untuk mereproduksi
ideologi dominan — dalam hal ini, ideologi kapitalisme dan kepatuhan terhadap
struktur sosial yang mapan.¹
Ketika sekolah hanya
mengajarkan keterampilan kerja, membatasi ruang berpikir kritis, dan
mengabaikan dimensi moral serta spiritual, maka ia tidak lagi mencerdaskan,
melainkan mengkondisikan individu agar kompatibel dengan sistem yang ada.²
Dengan kata lain, pendidikan bukan lagi tentang pemberdayaan manusia, melainkan
domestikasi manusia agar menjadi “manusia-manusia yang berguna” bagi sistem,
bukan bagi kemanusiaan.
6.2.
Paradoks antara
Tujuan Pendidikan dan Praktiknya
Secara normatif,
pendidikan sering disebut sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,
membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun dalam
praktiknya, sistem pendidikan lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar
kerja dan logika ekonomi industri.³ Terjadi paradoks antara tujuan luhur
pendidikan dan implementasi kebijakannya yang teknokratis dan pragmatis.
Kurikulum
dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan pembentukan karakter warga negara
kritis, melainkan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).⁴ Bahkan
dalam berbagai dokumen perencanaan pendidikan, istilah “daya saing” dan “link
and match” lebih menonjol daripada istilah “kebebasan berpikir” atau “keadilan
sosial.”
6.3.
Pendidikan dan Rezim
Neoliberal
Neoliberalisme telah
membawa pendidikan ke dalam orbit pasar bebas. Dalam logika ini, sekolah dan
universitas dianggap sebagai institusi layanan, peserta didik sebagai konsumen,
dan pengetahuan sebagai komoditas.⁵ Sistem pendidikan dijalankan seperti
perusahaan, dengan indikator keberhasilan yang diukur berdasarkan output ekonomi,
bukan transformasi sosial.
Henry A. Giroux
menyebut fenomena ini sebagai neoliberal pedagogy of repression —
yaitu bentuk pedagogi yang tidak membebaskan, melainkan menyesuaikan individu
agar berfungsi dalam tatanan neoliberal yang eksploitatif dan anti-demokratis.⁶
Sekolah dalam kerangka ini bukan tempat membentuk warga negara, melainkan
mencetak “pekerja fleksibel” untuk pasar global.
6.4.
Pendidikan atau
Penjinakan?
Pertanyaan
“pendidikan atau penjinakan?” menjadi refleksi atas arah dan praktik pendidikan
kita. Jika pendidikan tidak mendorong siswa untuk bertanya, mempertanyakan
ketimpangan, menumbuhkan solidaritas, dan menyadari posisinya sebagai subjek
sejarah, maka yang terjadi bukan pendidikan, melainkan penjinakan.⁷
Penjinakan ini tidak
selalu bersifat kasar atau otoriter. Ia justru berlangsung secara halus —
melalui kurikulum yang dibingkai sedemikian rupa, sistem evaluasi yang
menstandarkan cara berpikir, serta budaya sekolah yang menghargai kepatuhan
lebih dari keberanian moral. Dalam konteks ini, Ivan Illich menyebut sekolah
sebagai institusi yang memproduksi kebutuhan akan sekolah itu sendiri —
menciptakan ketergantungan pada sistem, bukan kebebasan dari sistem.⁸
Footnotes
[1]
Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans.
Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 132–134.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 74–75.
[3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Rencana
Strategis Kemendikbud 2020–2024 (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 10–12.
[5]
Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector
Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 15–18.
[6]
Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and
the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 67–70.
[7]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 18–19.
[8]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 17–19.
7.
Alternatif Paradigma: Menuju Pendidikan
Pembebasan
Jika sistem
pendidikan yang ada saat ini lebih berfungsi sebagai alat penjinakan, maka
tantangan ke depan adalah membangun paradigma pendidikan alternatif yang mampu
membebaskan manusia — secara intelektual, sosial, dan spiritual. Pendidikan
pembebasan menolak pandangan bahwa peserta didik adalah objek pasif dari proses
pelatihan teknis, dan sebaliknya memandang mereka sebagai subjek aktif dalam
proses transformasi diri dan masyarakat.
7.1.
Pendidikan sebagai
Proses Humanisasi
Paulo Freire
menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses humanisasi,
yaitu upaya membebaskan manusia dari penindasan struktural dan kultural.¹ Dalam
Pedagogy
of the Oppressed, ia mengajukan konsep problem-posing education yang
bersifat dialogis, partisipatif, dan kritis. Peserta didik tidak sekadar
menerima pengetahuan, tetapi diajak untuk mempertanyakan, menafsirkan, dan
mengubah realitas sosialnya.
Humanisasi dalam
pendidikan bukan hanya mengembangkan kapasitas kognitif, tetapi juga dimensi
moral, estetika, dan spiritual manusia.² Pendidikan yang membebaskan menolak
segmentasi antara “pendidikan kerja” dan “pendidikan nilai” karena keduanya
harus menyatu dalam membentuk manusia utuh.
7.2.
Reorientasi Tujuan
dan Fungsi Pendidikan
Paradigma pembebasan
menuntut redefinisi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan bukan untuk
menyesuaikan individu dengan sistem ekonomi yang ada, melainkan untuk mengembangkan
kesadaran kritis (critical consciousness atau conscientização)
dan membentuk warga negara yang aktif, adil, dan bertanggung jawab.³
Dalam kerangka ini,
sekolah dan universitas seharusnya menjadi ruang politik — bukan dalam
arti partisan, tetapi dalam arti tempat artikulasi nilai, debat publik, dan
perumusan masa depan bersama.⁴ Pendidikan yang membebaskan menumbuhkan
keberanian moral untuk berkata tidak terhadap ketidakadilan, serta kemampuan
untuk merumuskan alternatif yang adil dan manusiawi.
7.3.
Kurikulum Kritis dan
Kontekstual
Pendidikan
pembebasan memerlukan kurikulum kritis dan kontekstual
— yaitu kurikulum yang lahir dari realitas sosial peserta didik, bukan
kurikulum yang diimpor dari atas atau dari pasar global.⁵ Materi pembelajaran
harus membuka ruang refleksi terhadap sejarah lokal, isu sosial, dan pengalaman
sehari-hari siswa.
Dengan kurikulum
semacam ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga
belajar untuk mengubah dunia.⁶ Pendidikan
bukan hanya tentang “apa yang ada,” melainkan juga tentang “apa yang mungkin.”
7.4.
Peran Guru sebagai
Fasilitator Kesadaran
Dalam paradigma
pembebasan, guru tidak lagi bertindak sebagai otoritas absolut dalam kelas,
melainkan sebagai fasilitator kesadaran. Guru
adalah rekan dialog yang membantu siswa membaca realitas, menggugat struktur
yang menindas, dan menemukan kekuatan untuk bertindak.⁷
Henry Giroux
menekankan bahwa guru adalah transformative intellectuals —
intelektual yang tidak hanya mengajar, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial.
Mereka harus menghubungkan pengetahuan dengan perjuangan hidup sehari-hari
masyarakat, serta menumbuhkan etika solidaritas dan tanggung jawab kolektif.⁸
7.5.
Pendidikan sebagai
Gerakan Sosial
Pendidikan
pembebasan tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus menjadi bagian dari gerakan
sosial yang lebih luas untuk keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan.⁹ Sekolah dan universitas perlu membangun kemitraan dengan
komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan gerakan rakyat, sehingga pendidikan
tidak terisolasi dari dinamika sosial di sekitarnya.
Pendidikan semacam
ini bukan sekadar reformasi kebijakan, tetapi transformasi nilai. Ia bertumpu
pada semangat bahwa manusia dapat berubah — dan bahwa pendidikan adalah salah
satu sarana terpenting untuk perubahan itu.
Footnotes
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[2]
Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the
Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–26.
[3]
Paulo Freire, Education for Critical Consciousness (New York:
Bloomsbury Academic, 2021), 17–19.
[4]
Henry A. Giroux, Schooling and the Struggle for Public Life:
Democracy's Promise and Education's Challenge (Boulder: Paradigm
Publishers, 2005), 42–44.
[5]
Peter McLaren and Joe L. Kincheloe, eds., Critical Pedagogy: Where
Are We Now? (New York: Peter Lang, 2007), 33–36.
[6]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of
Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.
[7]
Paulo Freire, Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who
Dare Teach (Boulder: Westview Press, 1998), 45–47.
[8]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical
Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 104–106.
[9]
Antonia Darder, The Student Guide to Freire’s Pedagogy of the
Oppressed (London: Bloomsbury Academic, 2018), 87–89.
8.
Kesimpulan dan Rekomendasi
8.1.
Kesimpulan
Analisis kritis
terhadap sistem pendidikan kontemporer menunjukkan bahwa alih-alih menjadi
sarana pembebasan dan pembentukan manusia utuh, pendidikan sering kali
berfungsi sebagai alat penjinakan — sebuah proses institusional yang secara
sistematis membentuk individu agar patuh, fungsional, dan siap mengisi
peran-peran tertentu dalam struktur ekonomi kapitalistik.
Melalui kurikulum
yang teknis, sistem evaluasi yang menstandarkan perilaku, dan budaya sekolah
yang menekankan kepatuhan daripada kreativitas, pendidikan menjauh dari
nilai-nilai emansipatoris yang menjadi ruh utamanya.¹ Institusi pendidikan
telah bergeser dari arena pembentukan warga negara menuju arena produksi tenaga
kerja yang siap pakai.²
Warisan kolonial,
pengaruh industrialisasi, serta hegemoni neoliberalisme memperkuat watak
pendidikan sebagai instrumen reproduksi sosial.³ Dalam kerangka ini, peserta
didik diposisikan bukan sebagai subjek yang mampu mengubah realitas, tetapi
sebagai objek yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Namun demikian,
pendidikan tidak harus — dan tidak boleh — berakhir sebagai alat domestikasi.
Ia dapat menjadi kekuatan transformatif bila dijalankan dengan orientasi
kritis, kontekstual, dan humanistik. Gagasan-gagasan dari tokoh seperti Paulo
Freire, Henry Giroux, bell hooks, dan lainnya membuktikan bahwa pendidikan
dapat menjadi jalan pembebasan, bukan penundukan.⁴
8.2.
Rekomendasi
Sebagai respons
terhadap krisis penjinakan dalam pendidikan, maka diperlukan serangkaian
langkah strategis dan paradigmatik:
1)
Revisi Tujuan
Pendidikan
Pendidikan nasional harus kembali didefinisikan
berdasarkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan sosial, bukan semata-mata logika
pasar. Tujuan pendidikan perlu menekankan pembentukan manusia yang merdeka,
berpikir kritis, dan bertanggung jawab secara sosial.⁵
2)
Desain Kurikulum
Kontekstual dan Kritis
Kurikulum harus dirancang berdasarkan kebutuhan
lokal dan pengalaman nyata peserta didik, bukan hanya berdasarkan standar
global atau permintaan pasar tenaga kerja.⁶ Kurikulum juga harus mencakup
studi-studi kritis, seperti filsafat, sejarah, dan ekologi sosial.
3)
Transformasi Peran Guru
Guru perlu dilatih dan difasilitasi untuk
berperan sebagai fasilitator kesadaran dan bukan sekadar teknisi
kurikulum. Pendidikan guru perlu memuat dimensi pedagogi kritis dan
pembelajaran berbasis keadilan sosial.⁷
4)
Pendidikan Sebagai
Gerakan Sosial
Perubahan pendidikan tidak hanya bisa dilakukan
melalui kebijakan formal, tetapi harus melibatkan gerakan masyarakat sipil,
komunitas lokal, dan inisiatif akar rumput. Pendidikan pembebasan harus
dibangun dari bawah, dengan semangat kolektif.⁸
5)
Evaluasi Holistik dan
Demokratis
Sistem penilaian harus mempertimbangkan dimensi
afektif, reflektif, dan sosial, bukan hanya aspek kognitif dan keterampilan
kerja. Penilaian yang membebaskan harus membuka ruang apresiasi terhadap
keberagaman cara berpikir dan keberanian moral.⁹
Dengan
langkah-langkah tersebut, pendidikan dapat direposisi sebagai medan perjuangan
kemanusiaan — bukan sekadar instrumen pembangunan ekonomi. Pendidikan yang
membebaskan bukanlah utopia, melainkan keharusan moral dalam dunia yang penuh
ketimpangan.
Footnotes
[1]
Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York:
Routledge, 2004), 88–90.
[2]
Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and
the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 65–68.
[3]
Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 34–36.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–84; bell hooks, Teaching to
Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge,
1994), 21–22.
[5]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[6]
Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical
Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 1998),
115–117.
[7]
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical
Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 110–112.
[8]
Antonia Darder, Culture and Power in the Classroom: Educational
Foundations for the Schooling of Bicultural Students (Boulder: Westview
Press, 1991), 144–146.
[9]
Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 59–61.
Daftar Pustaka
Althusser, L. (2001). Lenin
and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review
Press. (Original work published 1971)
Anderson, B. (1990). Language
and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University
Press.
Apple, M. W. (1995). Education
and power (2nd ed.). Routledge.
Apple, M. W. (2004). Ideology
and curriculum (3rd ed.). Routledge.
Aronowitz, S. (2000). The
knowledge factory: Dismantling the corporate university and creating true
higher learning. Beacon Press.
Ball, S. J. (2007). Education
plc: Understanding private sector participation in public sector education.
Routledge.
Ball, S. J. (2012). Global
education inc.: New policy networks and the neoliberal imaginary.
Routledge.
Bourdieu, P., &
Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture
(R. Nice, Trans.). Sage Publications. (Original work published 1970)
Darder, A. (1991). Culture
and power in the classroom: Educational foundations for the schooling of
bicultural students. Westview Press.
Darder, A. (2018). The
student guide to Freire’s Pedagogy of the oppressed. Bloomsbury Academic.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education. Macmillan.
Freire, P. (1998). Teachers
as cultural workers: Letters to those who dare teach (D. Macedo, D. Koike,
& A. Oliveira, Trans.). Westview Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work
published 1970)
Freire, P. (2021). Education
for critical consciousness. Bloomsbury Academic. (Original work published
1974)
Giroux, H. A. (1988). Teachers
as intellectuals: Toward a critical pedagogy of learning. Bergin &
Garvey.
Giroux, H. A. (2004). The
terror of neoliberalism: Authoritarianism and the eclipse of democracy.
Paradigm Publishers.
Giroux, H. A. (2005). Schooling
and the struggle for public life: Democracy’s promise and education’s challenge
(2nd ed.). Paradigm Publishers.
Giroux, H. A. (2011). On
critical pedagogy. Bloomsbury Academic.
Greene, M. (1995). Releasing
the imagination: Essays on education, the arts, and social change.
Jossey-Bass.
hooks, b. (1994). Teaching
to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.
Illich, I. (1971). Deschooling
society. Harper & Row.
Jackson, P. W. (1968). Life
in classrooms. Holt, Rinehart and Winston.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Rencana strategis Kemendikbud
2020–2024. https://www.kemdikbud.go.id
Kohn, A. (2000). The
case against standardized testing: Raising the scores, ruining the schools.
Heinemann.
McLaren, P. (1998). Life
in schools: An introduction to critical pedagogy in the foundations of
education (3rd ed.). Longman.
McLaren, P., &
Kincheloe, J. L. (Eds.). (2007). Critical pedagogy: Where are we now?
Peter Lang.
Meyer, H.-D., &
Benavot, A. (Eds.). (2013). PISA, power, and policy: The emergence of
global educational governance. Symposium Books.
Noddings, N. (1993). Educating
for intelligent belief or unbelief. Teachers College Press.
Noddings, N. (2003). Happiness
and education. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Ravitch, D. (2010). The
death and life of the great American school system: How testing and choice are
undermining education. Basic Books.
Shiraishi, T. (1997). Zaman
bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926 (F. S. Nugroho, Trans.).
Pustaka Utama Grafiti.
Spring, J. (1998). Education
and the rise of the global economy. Lawrence Erlbaum Associates.
Spring, J. (2005). Political
agendas for education: From the Christian Coalition to the Green Party
(2nd ed.). Routledge.
Suyanto, & Jihad, A.
(2019). Vocational education in Indonesia: History, development, and
challenges. International Journal of Educational Development, 69,
48–56. https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2019.05.007
Thompson, E. P. (1966). The
making of the English working class. Vintage Books.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar