Jumat, 11 Juli 2025

Pendidikan yang Menjinakkan: Analisis Kritis terhadap Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja

Pendidikan yang Menjinakkan

Analisis Kritis terhadap Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja


Alihkan ke: Dari Schole ke Sekolah, MadrasahSekolah Bukan PabrikKurikulum Masa Depan, Guru yang MembebaskanHak untuk Malas.


Abstrak

Artikel ini menyajikan analisis kritis terhadap sistem pendidikan modern yang lebih berfungsi sebagai alat penjinakan daripada sebagai sarana pembebasan manusia. Dengan menggunakan pendekatan teori kritis dari Paulo Freire, Henry Giroux, Louis Althusser, dan pemikir lainnya, artikel ini mengungkap bagaimana pendidikan telah direduksi menjadi instrumen produksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar, mengabaikan dimensi humanistik, reflektif, dan sosial dari peserta didik. Analisis historis menelusuri akar kolonial dan industrial dari model pendidikan teknokratis, sementara telaah konseptual menunjukkan ciri-ciri utama sistem pendidikan yang menjinakkan, seperti kurikulum sempit, penilaian seragam, serta penguatan ketimpangan sosial. Artikel ini juga mengeksplorasi dampak sistem tersebut terhadap individu dan masyarakat — termasuk dehumanisasi, hilangnya daya kritis, dan reproduksi ketidakadilan — serta menawarkan paradigma alternatif berupa pendidikan pembebasan. Dengan mengusulkan orientasi baru dalam tujuan, kurikulum, peran guru, dan partisipasi sosial, artikel ini menekankan bahwa pendidikan harus menjadi alat transformasi dan emansipasi, bukan sekadar pabrik pekerja.

Kata Kunci: pendidikan kritis; penjinakan; Paulo Freire; neoliberalisme; pendidikan pembebasan; reproduksi sosial; pendidikan teknokratis.


PEMBAHASAN

Analisis Kritis terhadap Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja


1.           Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan formal di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Sekolah dan universitas diminta untuk menyiapkan lulusan yang “siap pakai” dan “sesuai dengan kebutuhan industri.” Dalam dokumen resmi pemerintah, bahkan sering disebutkan bahwa pendidikan harus menyesuaikan diri dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) agar tercipta sinergi antara dunia pendidikan dan pasar tenaga kerja.¹ Fenomena ini mencerminkan transformasi pendidikan menjadi instrumen reproduksi tenaga kerja, bukan pembebasan manusia.

Sistem pendidikan semacam ini sangat dipengaruhi oleh paradigma ekonomi kapitalistik, di mana individu dilihat sebagai sumber daya manusia (SDM) yang perlu dikembangkan demi produktivitas dan efisiensi.² Alhasil, orientasi pendidikan bergeser dari pembangunan manusia seutuhnya menuju pembentukan manusia-manusia yang fungsional secara ekonomi, tetapi sering kali teralienasi secara moral, sosial, dan spiritual.

Pergeseran ini bukan tanpa akibat. Lembaga pendidikan yang semestinya menjadi ruang emansipasi dan pembebasan justru menjelma menjadi institusi penjinakan.³ Peserta didik dibentuk menjadi patuh, terstandarisasi, dan kompetitif, namun kehilangan daya kritis dan orientasi etik dalam memahami realitas sosial. Dalam istilah Paulo Freire, pendidikan semacam ini bersifat “banking concept of education” — yaitu pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai tabungan kosong yang perlu diisi informasi demi kepentingan sistem yang mapan.⁴

Masalah ini semakin mengemuka ketika kita menyadari bahwa krisis-krisis kemanusiaan modern — seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan dekadensi moral — justru tidak bisa dipecahkan oleh generasi yang hanya dididik untuk bekerja dan patuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kritis terhadap sistem pendidikan yang berperan besar dalam membentuk pola pikir dan karakter generasi muda.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis akar historis, karakteristik, dan dampak dari sistem pendidikan yang berorientasi pada penciptaan pekerja, serta menawarkan alternatif paradigma pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan. Dengan demikian, artikel ini tidak sekadar mendiagnosis persoalan, tetapi juga merintis jalan menuju transformasi pendidikan yang lebih humanistik dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Rencana Strategis Kemendikbud 2020–2024 (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 11.

[2]                Noam Chomsky, Profit over People: Neoliberalism and Global Order (New York: Seven Stories Press, 1999), 45–47.

[3]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Continuum, 2011), 12.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.


2.           Landasan Teoretis dan Kerangka Konseptual

Untuk memahami sistem pendidikan yang berorientasi pada produksi pekerja, diperlukan kerangka teoretis yang mampu mengungkap hubungan antara pendidikan, kekuasaan, dan struktur sosial. Pendekatan kritis dalam filsafat pendidikan menjadi alat analisis yang relevan untuk menyingkap ideologi yang tersembunyi di balik praktik pendidikan modern.

2.1.       Pendidikan dalam Dimensi Ideologis

Pendidikan bukanlah institusi yang netral. Ia selalu terikat pada konteks historis, sosial, dan ideologis tertentu. Louis Althusser, seorang pemikir Marxis, menyatakan bahwa sekolah merupakan bagian dari Ideological State Apparatuses (ISA), yaitu lembaga-lembaga yang berfungsi mereproduksi ideologi dominan dalam masyarakat kapitalistik.¹ Sekolah tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk subjek yang taat terhadap struktur sosial yang mapan.

Dalam perspektif ini, sistem pendidikan modern bukan sekadar sarana pemberdayaan, tetapi juga alat pelestarian status quo. Kurikulum, metode pengajaran, bahkan cara menilai siswa, mencerminkan nilai-nilai dominasi dan kepatuhan.² Oleh karena itu, sistem pendidikan yang mengutamakan keterampilan kerja dan kepatuhan dapat dipahami sebagai hasil dari logika produksi kapitalistik yang menuntut pekerja efisien dan mudah diatur.

2.2.       Teori Pendidikan Kritis

Tokoh utama dalam tradisi pendidikan kritis adalah Paulo Freire, yang mengecam model pendidikan konvensional sebagai bentuk penindasan kultural. Freire menyebutnya sebagai banking education, yakni proses di mana guru “menyimpan” informasi ke dalam diri siswa tanpa melibatkan nalar kritis mereka.³ Ia menawarkan pendekatan problem-posing education sebagai alternatif, yakni pendidikan yang dialogis, membebaskan, dan membangkitkan kesadaran kritis (conscientização).

Henry Giroux memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa sekolah harus menjadi site of resistance, yaitu ruang perlawanan terhadap dominasi budaya dan ekonomi. Menurutnya, guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi, tetapi juga bertanggung jawab membentuk warga negara kritis yang sadar akan ketidakadilan sosial.⁴ Pendidikan harus memampukan siswa untuk bertanya: “Mengapa dunia ini seperti ini?” dan “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya?”

2.3.       Konsep Hidden Curriculum dan Reproduksi Sosial

Selain kurikulum formal, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai terselubung yang disebut hidden curriculum — seperti kedisiplinan, kepatuhan terhadap otoritas, kompetisi, dan penyeragaman.⁵ Menurut Michael Apple, hidden curriculum berperan besar dalam mereproduksi struktur sosial yang timpang, karena siswa dari kelas bawah sering kali dipersiapkan untuk pekerjaan yang menuntut ketaatan, bukan kreativitas.⁶

Pierre Bourdieu menambahkan bahwa sekolah mereproduksi habitus dan modal budaya yang menguntungkan kelas dominan. Dengan mekanisme evaluasi yang tampak netral, sekolah sebenarnya melegitimasi ketimpangan dan menjadikan dominasi sosial seolah-olah wajar dan “alami.”⁷

2.4.       Pendidikan dalam Logika Kapitalisme Neoliberal

Sejak akhir abad ke-20, pendidikan semakin dikooptasi oleh logika neoliberal, yang menekankan efisiensi, kompetisi, dan pasar bebas.⁸ Pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, bukan hak publik. Lembaga pendidikan didorong untuk mengadopsi manajemen ala korporasi, dan siswa diposisikan sebagai “produk” yang harus memiliki “nilai jual.”⁹

Neoliberalisme menjadikan pendidikan sebagai arena investasi ekonomi, bukan pengembangan kepribadian atau kesadaran sosial. Hal ini menimbulkan krisis orientasi pendidikan: apakah pendidikan bertujuan mencetak manusia utuh, atau sekadar mencetak tenaga kerja?


Footnotes

[1]                Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 85–87.

[2]                Bowles, Samuel, and Herbert Gintis. Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New York: Basic Books, 1976), 129–131.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 71–73.

[4]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 35–39.

[5]                Philip W. Jackson, Life in Classrooms (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 33–36.

[6]                Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York: Routledge, 2004), 97–100.

[7]                Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage Publications, 1990), 32–35.

[8]                Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 11–14.

[9]                Diane Ravitch, The Death and Life of the Great American School System: How Testing and Choice Are Undermining Education (New York: Basic Books, 2010), 56–58.


3.           Akar Historis Pendidikan sebagai Alat Produksi Pekerja

Untuk memahami bagaimana pendidikan modern dikonstruksi sebagai alat produksi pekerja, perlu ditelusuri akar historisnya. Sejarah pendidikan formal, terutama sejak era Revolusi Industri, menunjukkan keterkaitan yang erat antara desain sistem pendidikan dengan kebutuhan ekonomi dan struktur kekuasaan yang dominan.

3.1.       Revolusi Industri dan Lahirnya Pendidikan Massal

Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19 menjadi titik balik dalam sejarah sosial dan ekonomi Eropa. Peralihan dari ekonomi agraris ke ekonomi industri menciptakan kebutuhan besar akan tenaga kerja yang disiplin, terampil, dan patuh.¹ Dalam konteks ini, pendidikan formal muncul sebagai sarana pelatihan dan pembentukan karakter kerja massal.

Sistem sekolah dirancang menyerupai pabrik: jam belajar yang ketat, sistem kelas berjenjang, kurikulum standar, dan pengawasan yang ketat terhadap siswa.² Tujuannya adalah untuk membiasakan anak-anak sejak dini dengan rutinitas, kepatuhan terhadap otoritas, dan ketaatan terhadap aturan — karakteristik yang sangat dibutuhkan oleh industri manufaktur.

3.2.       Pendidikan sebagai Mekanisme Sosial untuk Reproduksi Kelas

Di awal abad ke-20, para pemikir kritis mulai mengamati bahwa pendidikan tidak netral, melainkan menjadi sarana untuk mempertahankan struktur kelas. Salah satunya adalah John Dewey, yang mengkritik sistem pendidikan yang hanya menyiapkan anak untuk kehidupan kerja tanpa memberdayakan nalar dan partisipasi sosial mereka.³ Dalam perspektif ini, sekolah menjadi wahana domestikasi kelas pekerja — mempersiapkan mereka untuk menerima posisi sosial tertentu, bukan menantangnya.

Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam studi klasiknya Schooling in Capitalist America menyatakan bahwa sekolah merefleksikan struktur dan nilai-nilai tempat kerja kapitalis: adanya hierarki, insentif berbasis nilai, dan kompetisi antar individu.⁴ Sekolah, dengan demikian, menjadi “pabrik sosial” yang menghasilkan pekerja sesuai kebutuhan sistem produksi kapitalistik.

3.3.       Warisan Pendidikan Kolonial: Produksi Pegawai, Bukan Pemikir

Dalam konteks dunia non-Barat, termasuk Indonesia, sistem pendidikan modern diperkenalkan oleh kekuatan kolonial. Pendidikan dirancang bukan untuk mencerdaskan rakyat, tetapi untuk menciptakan pegawai rendahan yang dapat menjalankan administrasi kolonial.⁵

Di Hindia Belanda, misalnya, pendidikan dijalankan dalam sistem berjenjang dan sangat terbatas aksesnya. Hanya segelintir pribumi yang diberi kesempatan sekolah, dan itupun dibatasi pada keterampilan administratif dan bahasa Belanda, bukan pengembangan pemikiran kritis atau kemerdekaan berpikir.⁶ Dampak warisan ini masih terasa hingga kini, ketika orientasi pendidikan masih cenderung menghasilkan pegawai dan buruh, bukan wirausahawan visioner atau intelektual transformatif.

3.4.       Sekolah Modern dan Proyek Standarisasi Global

Memasuki abad ke-20 dan 21, pendidikan semakin tersentralisasi dan distandarkan secara global. Lembaga-lembaga seperti OECD melalui program PISA (Programme for International Student Assessment) menetapkan parameter-parameter global dalam menilai kualitas pendidikan, yang sering kali mengabaikan konteks sosial-budaya lokal.⁷

Dalam sistem ini, negara-negara berkembang sering merasa terpaksa menyesuaikan diri demi peringkat internasional, meskipun kurikulum dan sistem pengajaran tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai lokal. Proses ini memperkuat pola “pendidikan sebagai mesin produksi” yang seragam, terukur, dan dikendalikan oleh logika kompetisi pasar global.⁸


Footnotes

[1]                E.P. Thompson, The Making of the English Working Class (New York: Vintage Books, 1966), 339–342.

[2]                Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 25–28.

[3]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 125–128.

[4]                Samuel Bowles and Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New York: Basic Books, 1976), 101–104.

[5]                Benedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 137–139.

[6]                Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), 45–46.

[7]                Heinz-Dieter Meyer and Aaron Benavot, eds., PISA, Power, and Policy: The Emergence of Global Educational Governance (Oxford: Symposium Books, 2013), 9–11.

[8]                Stephen J. Ball, Global Education Inc.: New Policy Networks and the Neoliberal Imaginary (New York: Routledge, 2012), 34–36.


4.           Ciri-ciri Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja

Sistem pendidikan yang berorientasi pada penciptaan tenaga kerja memiliki karakteristik yang khas, baik dalam struktur kurikulum, praktik pedagogis, hingga budaya kelembagaan yang berkembang di dalamnya. Ciri-ciri ini mencerminkan arah ideologis pendidikan yang tidak lagi memanusiakan, tetapi mereduksi peserta didik menjadi komponen dalam mesin ekonomi. Berikut adalah beberapa ciri utama dari sistem pendidikan semacam itu:

4.1.       Kurikulum yang Menekankan Keterampilan Teknis dan Kompetensi Kerja

Salah satu ciri paling mencolok adalah kurikulum yang sangat fokus pada pengembangan keterampilan teknis (technical skills) dan kompetensi kerja (employability skills), sering kali dengan mengabaikan pengembangan aspek moral, sosial, dan filosofis dari peserta didik.¹ Pendidikan dipersempit menjadi pelatihan (training), dan peserta didik dipandang sebagai “modal manusia” yang harus ditingkatkan efisiensinya.²

Program keahlian di sekolah kejuruan, misalnya, cenderung diformulasikan berdasarkan kebutuhan pasar tenaga kerja sesaat, bukan kebutuhan masyarakat yang lebih luas.³ Pendidikan karakter, filsafat, seni, atau ilmu sosial seringkali dipinggirkan karena dianggap “tidak produktif” secara ekonomi.

4.2.       Penilaian Berbasis Kepatuhan dan Produktivitas

Sistem evaluasi dalam pendidikan pekerja lebih menekankan pada disiplin, kehadiran, ketepatan waktu, dan kemampuan mengikuti instruksi — bukan pada kreativitas, refleksi kritis, atau inisiatif personal.⁴ Dengan kata lain, yang dihargai adalah perilaku yang dapat dengan mudah diserap ke dalam sistem kerja birokratis dan industri.

Dalam konteks ini, ujian standar nasional atau internasional tidak hanya menjadi alat ukur akademik, tetapi juga alat kontrol sosial yang mendisiplinkan peserta didik agar patuh pada norma-norma sistemik.⁵ Evaluasi menjadi sarana pembinaan perilaku, bukan pengembangan pemikiran.

4.3.       Sekolah sebagai Lembaga Penyeragaman dan Pengendalian Sosial

Sistem pendidikan pekerja sangat mengutamakan keseragaman. Kurikulum bersifat nasional, waktu belajar ditentukan secara seragam, seragam sekolah digunakan untuk menghapus perbedaan identitas, dan ruang kelas diatur seperti lini produksi.⁶ Tujuannya adalah untuk membentuk peserta didik yang homogen, mudah dikontrol, dan tidak banyak bertanya.

Michel Foucault menyebut sekolah sebagai bagian dari “institusi disipliner” modern, sejajar dengan barak militer, rumah sakit, dan penjara.⁷ Di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan, klasifikasi, dan pelatihan tubuh yang dirancang untuk menundukkan individu kepada sistem kekuasaan.

4.4.       Orientasi pada Sertifikasi dan Akreditasi, Bukan pada Substansi Pembelajaran

Dalam sistem ini, pendidikan lebih dihargai dari segi dokumen: ijazah, sertifikat kompetensi, dan akreditasi kelembagaan.⁸ Nilai-nilai intrinsik seperti pemahaman mendalam, kecintaan pada ilmu, atau kesadaran sosial menjadi kurang penting dibandingkan “pembuktian administratif” berupa kelulusan atau gelar.

Bahkan pada jenjang pendidikan tinggi, orientasi terhadap pasar kerja mendorong universitas mengubah dirinya menjadi “pabrik gelar” (degree mills), dengan kurikulum yang kian disesuaikan dengan tuntutan korporasi dan bukan kebutuhan kritis masyarakat.⁹

4.5.       Pendidikan yang Terputus dari Realitas Sosial dan Ekologis

Sistem pendidikan pekerja cenderung mencabut peserta didik dari realitas sosial dan ekologis tempat mereka hidup. Masalah ketimpangan, kerusakan lingkungan, kemiskinan, atau konflik sosial sering kali tidak menjadi bagian dari pembelajaran. Pendidikan menjadi terisolasi, steril, dan ahistoris.¹⁰

Dengan demikian, peserta didik tidak didorong untuk menjadi subjek sosial yang aktif, tetapi hanya sebagai objek pelatihan yang disiapkan untuk mengisi slot dalam struktur ekonomi yang sudah ada.


Footnotes

[1]                Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York: Routledge, 2004), 78–80.

[2]                Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 61–63.

[3]                Suyanto and Jihad, “Vocational Education in Indonesia: History, Development, and Challenges,” International Journal of Educational Development 69 (2019): 48–49.

[4]                Philip W. Jackson, Life in Classrooms (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 47–48.

[5]                Alfie Kohn, The Case Against Standardized Testing: Raising the Scores, Ruining the Schools (Portsmouth: Heinemann, 2000), 25–27.

[6]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 9–11.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 141–143.

[8]                Diane Ravitch, The Death and Life of the Great American School System (New York: Basic Books, 2010), 84–86.

[9]                Stanley Aronowitz, The Knowledge Factory: Dismantling the Corporate University and Creating True Higher Learning (Boston: Beacon Press, 2000), 39–41.

[10]             Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 1998), 112–114.


5.           Dampak Sistem Pendidikan Tersebut terhadap Individu dan Masyarakat

Sistem pendidikan yang dirancang untuk memproduksi pekerja memiliki dampak yang luas dan mendalam, tidak hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga terhadap struktur sosial, budaya, dan bahkan peradaban secara keseluruhan. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kepatuhan, efisiensi, dan keterampilan teknis pada akhirnya melahirkan krisis kemanusiaan yang kompleks.

5.1.       Dehumanisasi Individu dalam Proses Pendidikan

Salah satu dampak paling nyata dari sistem ini adalah dehumanisasi peserta didik. Proses pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pertumbuhan kepribadian, kesadaran diri, dan nilai-nilai kemanusiaan justru berubah menjadi proses teknokratis yang mereduksi manusia menjadi mesin produktif.¹ Dalam kerangka ini, manusia diperlakukan sebagai instrumen, bukan sebagai subjek yang otonom dan reflektif.

Paulo Freire menyebut kondisi ini sebagai bentuk “penindasan kultural” karena siswa tidak diajak berpikir, tetapi hanya menerima dan mereproduksi pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan.² Akibatnya, peserta didik kehilangan relasi kreatif dengan realitas dan dirinya sendiri.

5.2.       Hilangnya Daya Pikir Kritis dan Nalar Etis

Pendidikan yang mengabaikan aspek filsafat, etika, dan keterlibatan sosial cenderung melumpuhkan kemampuan berpikir kritis.³ Siswa diajarkan untuk menerima perintah, mengikuti prosedur, dan mengejar nilai, bukan untuk bertanya, menafsirkan, atau membayangkan kemungkinan lain dalam hidup.

Dalam jangka panjang, hal ini melahirkan generasi yang “pintar secara teknis” tetapi rapuh dalam mengambil keputusan yang bermoral dan bertanggung jawab secara sosial.⁴ Mereka menjadi bagian dari sistem tanpa memahami — apalagi mempertanyakan — struktur ketidakadilan yang mereka jalani.

5.3.       Terbentuknya Manusia Fungsional, Bukan Manusia Utuh

Sistem pendidikan pekerja membentuk manusia fungsional, yaitu individu yang hanya berfungsi dalam sistem ekonomi tertentu, tanpa visi hidup yang luas dan mendalam.⁵ Pendidikan semacam ini gagal menumbuhkan kesadaran historis, kepekaan sosial, dan tanggung jawab ekologis.

Sebagaimana dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum, ketika pendidikan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pembelajaran humaniora, maka masyarakat kehilangan kemampuan untuk berempati, berpikir mandiri, dan memahami orang lain sebagai sesama manusia.⁶ Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teknologis tetapi tidak berperikemanusiaan.

5.4.       Penguatan Ketimpangan dan Reproduksi Kelas Sosial

Alih-alih menjadi alat mobilitas sosial, pendidikan yang terstandarisasi dan bernuansa teknokratis justru sering memperkuat ketimpangan sosial. Siswa dari kelas ekonomi bawah diarahkan pada pendidikan vokasional dengan keterampilan rendah, sementara kelompok elit mendapatkan akses ke pendidikan reflektif dan kepemimpinan.⁷

Seperti dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, sekolah bukan tempat kompetisi netral, melainkan institusi yang mereproduksi kapital budaya dan simbolik milik kelas dominan.⁸ Dengan demikian, pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menjadi mekanisme yang memperkokoh status quo.

5.5.       Reduksi Peran Sekolah dalam Pembentukan Warga Negara

Dalam masyarakat demokratis, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk warga negara yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab. Namun, sistem pendidikan yang berorientasi pada pasar kerja justru mereduksi peran ini. Sekolah tidak lagi menciptakan warga negara (citizens), tetapi karyawan (employees).⁹

Akhirnya, generasi muda tumbuh tanpa kepekaan terhadap persoalan publik, kehilangan kemampuan untuk berdialog lintas perbedaan, dan tidak memiliki keberanian untuk terlibat dalam perubahan sosial. Demokrasi melemah ketika pendidikan gagal membentuk kesadaran kewargaan.


Footnotes

[1]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 24–25.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.

[3]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury Academic, 2011), 18–20.

[4]                Nel Noddings, Educating for Intelligent Belief or Unbelief (New York: Teachers College Press, 1993), 35–36.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 10–13.

[6]                Ibid., 14–16.

[7]                Michael W. Apple, Education and Power (New York: Routledge, 1995), 121–123.

[8]                Pierre Bourdieu and Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture, trans. Richard Nice (London: Sage Publications, 1990), 153–157.

[9]                Joel Spring, Political Agendas for Education: From the Christian Coalition to the Green Party (New York: Routledge, 2005), 102–104.


6.           Analisis Kritis: Pendidikan atau Penjinakan?

Pada titik ini, pertanyaan fundamental perlu diajukan: apakah yang selama ini kita sebut sebagai “pendidikan” benar-benar mendidik, atau justru menjinakkan manusia agar tunduk pada tatanan yang tidak adil? Apakah sekolah membebaskan atau justru menundukkan? Analisis kritis terhadap sistem pendidikan kontemporer menyingkap bahwa fungsi pembebasan yang diidealkan dalam pendidikan justru sering kali tergantikan oleh fungsi penjinakan dan reproduksi sosial.

6.1.       Pendidikan sebagai Proyek Ideologis

Sistem pendidikan tidak pernah netral; ia selalu menjadi bagian dari proyek ideologis yang dijalankan oleh kekuasaan. Louis Althusser telah menyatakan bahwa sekolah merupakan Ideological State Apparatus yang digunakan oleh negara untuk mereproduksi ideologi dominan — dalam hal ini, ideologi kapitalisme dan kepatuhan terhadap struktur sosial yang mapan.¹

Ketika sekolah hanya mengajarkan keterampilan kerja, membatasi ruang berpikir kritis, dan mengabaikan dimensi moral serta spiritual, maka ia tidak lagi mencerdaskan, melainkan mengkondisikan individu agar kompatibel dengan sistem yang ada.² Dengan kata lain, pendidikan bukan lagi tentang pemberdayaan manusia, melainkan domestikasi manusia agar menjadi “manusia-manusia yang berguna” bagi sistem, bukan bagi kemanusiaan.

6.2.       Paradoks antara Tujuan Pendidikan dan Praktiknya

Secara normatif, pendidikan sering disebut sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar kerja dan logika ekonomi industri.³ Terjadi paradoks antara tujuan luhur pendidikan dan implementasi kebijakannya yang teknokratis dan pragmatis.

Kurikulum dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan pembentukan karakter warga negara kritis, melainkan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).⁴ Bahkan dalam berbagai dokumen perencanaan pendidikan, istilah “daya saing” dan “link and match” lebih menonjol daripada istilah “kebebasan berpikir” atau “keadilan sosial.”

6.3.       Pendidikan dan Rezim Neoliberal

Neoliberalisme telah membawa pendidikan ke dalam orbit pasar bebas. Dalam logika ini, sekolah dan universitas dianggap sebagai institusi layanan, peserta didik sebagai konsumen, dan pengetahuan sebagai komoditas.⁵ Sistem pendidikan dijalankan seperti perusahaan, dengan indikator keberhasilan yang diukur berdasarkan output ekonomi, bukan transformasi sosial.

Henry A. Giroux menyebut fenomena ini sebagai neoliberal pedagogy of repression — yaitu bentuk pedagogi yang tidak membebaskan, melainkan menyesuaikan individu agar berfungsi dalam tatanan neoliberal yang eksploitatif dan anti-demokratis.⁶ Sekolah dalam kerangka ini bukan tempat membentuk warga negara, melainkan mencetak “pekerja fleksibel” untuk pasar global.

6.4.       Pendidikan atau Penjinakan?

Pertanyaan “pendidikan atau penjinakan?” menjadi refleksi atas arah dan praktik pendidikan kita. Jika pendidikan tidak mendorong siswa untuk bertanya, mempertanyakan ketimpangan, menumbuhkan solidaritas, dan menyadari posisinya sebagai subjek sejarah, maka yang terjadi bukan pendidikan, melainkan penjinakan.⁷

Penjinakan ini tidak selalu bersifat kasar atau otoriter. Ia justru berlangsung secara halus — melalui kurikulum yang dibingkai sedemikian rupa, sistem evaluasi yang menstandarkan cara berpikir, serta budaya sekolah yang menghargai kepatuhan lebih dari keberanian moral. Dalam konteks ini, Ivan Illich menyebut sekolah sebagai institusi yang memproduksi kebutuhan akan sekolah itu sendiri — menciptakan ketergantungan pada sistem, bukan kebebasan dari sistem.⁸


Footnotes

[1]                Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, trans. Ben Brewster (New York: Monthly Review Press, 2001), 132–134.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 74–75.

[3]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Rencana Strategis Kemendikbud 2020–2024 (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 10–12.

[5]                Stephen J. Ball, Education plc: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 15–18.

[6]                Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 67–70.

[7]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 18–19.

[8]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 17–19.


7.           Alternatif Paradigma: Menuju Pendidikan Pembebasan

Jika sistem pendidikan yang ada saat ini lebih berfungsi sebagai alat penjinakan, maka tantangan ke depan adalah membangun paradigma pendidikan alternatif yang mampu membebaskan manusia — secara intelektual, sosial, dan spiritual. Pendidikan pembebasan menolak pandangan bahwa peserta didik adalah objek pasif dari proses pelatihan teknis, dan sebaliknya memandang mereka sebagai subjek aktif dalam proses transformasi diri dan masyarakat.

7.1.       Pendidikan sebagai Proses Humanisasi

Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses humanisasi, yaitu upaya membebaskan manusia dari penindasan struktural dan kultural.¹ Dalam Pedagogy of the Oppressed, ia mengajukan konsep problem-posing education yang bersifat dialogis, partisipatif, dan kritis. Peserta didik tidak sekadar menerima pengetahuan, tetapi diajak untuk mempertanyakan, menafsirkan, dan mengubah realitas sosialnya.

Humanisasi dalam pendidikan bukan hanya mengembangkan kapasitas kognitif, tetapi juga dimensi moral, estetika, dan spiritual manusia.² Pendidikan yang membebaskan menolak segmentasi antara “pendidikan kerja” dan “pendidikan nilai” karena keduanya harus menyatu dalam membentuk manusia utuh.

7.2.       Reorientasi Tujuan dan Fungsi Pendidikan

Paradigma pembebasan menuntut redefinisi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan bukan untuk menyesuaikan individu dengan sistem ekonomi yang ada, melainkan untuk mengembangkan kesadaran kritis (critical consciousness atau conscientização) dan membentuk warga negara yang aktif, adil, dan bertanggung jawab.³

Dalam kerangka ini, sekolah dan universitas seharusnya menjadi ruang politik — bukan dalam arti partisan, tetapi dalam arti tempat artikulasi nilai, debat publik, dan perumusan masa depan bersama.⁴ Pendidikan yang membebaskan menumbuhkan keberanian moral untuk berkata tidak terhadap ketidakadilan, serta kemampuan untuk merumuskan alternatif yang adil dan manusiawi.

7.3.       Kurikulum Kritis dan Kontekstual

Pendidikan pembebasan memerlukan kurikulum kritis dan kontekstual — yaitu kurikulum yang lahir dari realitas sosial peserta didik, bukan kurikulum yang diimpor dari atas atau dari pasar global.⁵ Materi pembelajaran harus membuka ruang refleksi terhadap sejarah lokal, isu sosial, dan pengalaman sehari-hari siswa.

Dengan kurikulum semacam ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga belajar untuk mengubah dunia.⁶ Pendidikan bukan hanya tentang “apa yang ada,” melainkan juga tentang “apa yang mungkin.”

7.4.       Peran Guru sebagai Fasilitator Kesadaran

Dalam paradigma pembebasan, guru tidak lagi bertindak sebagai otoritas absolut dalam kelas, melainkan sebagai fasilitator kesadaran. Guru adalah rekan dialog yang membantu siswa membaca realitas, menggugat struktur yang menindas, dan menemukan kekuatan untuk bertindak.⁷

Henry Giroux menekankan bahwa guru adalah transformative intellectuals — intelektual yang tidak hanya mengajar, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial. Mereka harus menghubungkan pengetahuan dengan perjuangan hidup sehari-hari masyarakat, serta menumbuhkan etika solidaritas dan tanggung jawab kolektif.⁸

7.5.       Pendidikan sebagai Gerakan Sosial

Pendidikan pembebasan tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus menjadi bagian dari gerakan sosial yang lebih luas untuk keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan.⁹ Sekolah dan universitas perlu membangun kemitraan dengan komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan gerakan rakyat, sehingga pendidikan tidak terisolasi dari dinamika sosial di sekitarnya.

Pendidikan semacam ini bukan sekadar reformasi kebijakan, tetapi transformasi nilai. Ia bertumpu pada semangat bahwa manusia dapat berubah — dan bahwa pendidikan adalah salah satu sarana terpenting untuk perubahan itu.


Footnotes

[1]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[2]                Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–26.

[3]                Paulo Freire, Education for Critical Consciousness (New York: Bloomsbury Academic, 2021), 17–19.

[4]                Henry A. Giroux, Schooling and the Struggle for Public Life: Democracy's Promise and Education's Challenge (Boulder: Paradigm Publishers, 2005), 42–44.

[5]                Peter McLaren and Joe L. Kincheloe, eds., Critical Pedagogy: Where Are We Now? (New York: Peter Lang, 2007), 33–36.

[6]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.

[7]                Paulo Freire, Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who Dare Teach (Boulder: Westview Press, 1998), 45–47.

[8]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 104–106.

[9]                Antonia Darder, The Student Guide to Freire’s Pedagogy of the Oppressed (London: Bloomsbury Academic, 2018), 87–89.


8.           Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1.       Kesimpulan

Analisis kritis terhadap sistem pendidikan kontemporer menunjukkan bahwa alih-alih menjadi sarana pembebasan dan pembentukan manusia utuh, pendidikan sering kali berfungsi sebagai alat penjinakan — sebuah proses institusional yang secara sistematis membentuk individu agar patuh, fungsional, dan siap mengisi peran-peran tertentu dalam struktur ekonomi kapitalistik.

Melalui kurikulum yang teknis, sistem evaluasi yang menstandarkan perilaku, dan budaya sekolah yang menekankan kepatuhan daripada kreativitas, pendidikan menjauh dari nilai-nilai emansipatoris yang menjadi ruh utamanya.¹ Institusi pendidikan telah bergeser dari arena pembentukan warga negara menuju arena produksi tenaga kerja yang siap pakai.²

Warisan kolonial, pengaruh industrialisasi, serta hegemoni neoliberalisme memperkuat watak pendidikan sebagai instrumen reproduksi sosial.³ Dalam kerangka ini, peserta didik diposisikan bukan sebagai subjek yang mampu mengubah realitas, tetapi sebagai objek yang harus menyesuaikan diri dengannya.

Namun demikian, pendidikan tidak harus — dan tidak boleh — berakhir sebagai alat domestikasi. Ia dapat menjadi kekuatan transformatif bila dijalankan dengan orientasi kritis, kontekstual, dan humanistik. Gagasan-gagasan dari tokoh seperti Paulo Freire, Henry Giroux, bell hooks, dan lainnya membuktikan bahwa pendidikan dapat menjadi jalan pembebasan, bukan penundukan.⁴

8.2.       Rekomendasi

Sebagai respons terhadap krisis penjinakan dalam pendidikan, maka diperlukan serangkaian langkah strategis dan paradigmatik:

1)                  Revisi Tujuan Pendidikan

Pendidikan nasional harus kembali didefinisikan berdasarkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan sosial, bukan semata-mata logika pasar. Tujuan pendidikan perlu menekankan pembentukan manusia yang merdeka, berpikir kritis, dan bertanggung jawab secara sosial.⁵

2)                  Desain Kurikulum Kontekstual dan Kritis

Kurikulum harus dirancang berdasarkan kebutuhan lokal dan pengalaman nyata peserta didik, bukan hanya berdasarkan standar global atau permintaan pasar tenaga kerja.⁶ Kurikulum juga harus mencakup studi-studi kritis, seperti filsafat, sejarah, dan ekologi sosial.

3)                  Transformasi Peran Guru

Guru perlu dilatih dan difasilitasi untuk berperan sebagai fasilitator kesadaran dan bukan sekadar teknisi kurikulum. Pendidikan guru perlu memuat dimensi pedagogi kritis dan pembelajaran berbasis keadilan sosial.⁷

4)                  Pendidikan Sebagai Gerakan Sosial

Perubahan pendidikan tidak hanya bisa dilakukan melalui kebijakan formal, tetapi harus melibatkan gerakan masyarakat sipil, komunitas lokal, dan inisiatif akar rumput. Pendidikan pembebasan harus dibangun dari bawah, dengan semangat kolektif.⁸

5)                  Evaluasi Holistik dan Demokratis

Sistem penilaian harus mempertimbangkan dimensi afektif, reflektif, dan sosial, bukan hanya aspek kognitif dan keterampilan kerja. Penilaian yang membebaskan harus membuka ruang apresiasi terhadap keberagaman cara berpikir dan keberanian moral.⁹

Dengan langkah-langkah tersebut, pendidikan dapat direposisi sebagai medan perjuangan kemanusiaan — bukan sekadar instrumen pembangunan ekonomi. Pendidikan yang membebaskan bukanlah utopia, melainkan keharusan moral dalam dunia yang penuh ketimpangan.


Footnotes

[1]                Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York: Routledge, 2004), 88–90.

[2]                Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 65–68.

[3]                Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 34–36.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–84; bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 21–22.

[5]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[6]                Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 1998), 115–117.

[7]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 110–112.

[8]                Antonia Darder, Culture and Power in the Classroom: Educational Foundations for the Schooling of Bicultural Students (Boulder: Westview Press, 1991), 144–146.

[9]                Nel Noddings, Happiness and Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 59–61.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (2001). Lenin and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press. (Original work published 1971)

Anderson, B. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Apple, M. W. (1995). Education and power (2nd ed.). Routledge.

Apple, M. W. (2004). Ideology and curriculum (3rd ed.). Routledge.

Aronowitz, S. (2000). The knowledge factory: Dismantling the corporate university and creating true higher learning. Beacon Press.

Ball, S. J. (2007). Education plc: Understanding private sector participation in public sector education. Routledge.

Ball, S. J. (2012). Global education inc.: New policy networks and the neoliberal imaginary. Routledge.

Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture (R. Nice, Trans.). Sage Publications. (Original work published 1970)

Darder, A. (1991). Culture and power in the classroom: Educational foundations for the schooling of bicultural students. Westview Press.

Darder, A. (2018). The student guide to Freire’s Pedagogy of the oppressed. Bloomsbury Academic.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Freire, P. (1998). Teachers as cultural workers: Letters to those who dare teach (D. Macedo, D. Koike, & A. Oliveira, Trans.). Westview Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Freire, P. (2021). Education for critical consciousness. Bloomsbury Academic. (Original work published 1974)

Giroux, H. A. (1988). Teachers as intellectuals: Toward a critical pedagogy of learning. Bergin & Garvey.

Giroux, H. A. (2004). The terror of neoliberalism: Authoritarianism and the eclipse of democracy. Paradigm Publishers.

Giroux, H. A. (2005). Schooling and the struggle for public life: Democracy’s promise and education’s challenge (2nd ed.). Paradigm Publishers.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. Bloomsbury Academic.

Greene, M. (1995). Releasing the imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.

Illich, I. (1971). Deschooling society. Harper & Row.

Jackson, P. W. (1968). Life in classrooms. Holt, Rinehart and Winston.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2020). Rencana strategis Kemendikbud 2020–2024. https://www.kemdikbud.go.id

Kohn, A. (2000). The case against standardized testing: Raising the scores, ruining the schools. Heinemann.

McLaren, P. (1998). Life in schools: An introduction to critical pedagogy in the foundations of education (3rd ed.). Longman.

McLaren, P., & Kincheloe, J. L. (Eds.). (2007). Critical pedagogy: Where are we now? Peter Lang.

Meyer, H.-D., & Benavot, A. (Eds.). (2013). PISA, power, and policy: The emergence of global educational governance. Symposium Books.

Noddings, N. (1993). Educating for intelligent belief or unbelief. Teachers College Press.

Noddings, N. (2003). Happiness and education. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Ravitch, D. (2010). The death and life of the great American school system: How testing and choice are undermining education. Basic Books.

Shiraishi, T. (1997). Zaman bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912–1926 (F. S. Nugroho, Trans.). Pustaka Utama Grafiti.

Spring, J. (1998). Education and the rise of the global economy. Lawrence Erlbaum Associates.

Spring, J. (2005). Political agendas for education: From the Christian Coalition to the Green Party (2nd ed.). Routledge.

Suyanto, & Jihad, A. (2019). Vocational education in Indonesia: History, development, and challenges. International Journal of Educational Development, 69, 48–56. https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2019.05.007

Thompson, E. P. (1966). The making of the English working class. Vintage Books.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar