Kamis, 10 Juli 2025

Pendidikan dalam Bayang-Bayang Kapital: Kritik terhadap Sistem Produksi Tenaga Kerja

Sekolah Bukan Pabrik

Menggugat Sistem Pendidikan yang Mencetak Pekerja Patuh


Alihkan ke: Dari Schole ke SekolahMadrasahPendidikan yang MenjinakkanKurikulum Masa DepanGuru yang Membebaskan, Hak untuk Malas.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis sistem pendidikan modern yang secara sistematis diarahkan untuk mencetak tenaga kerja demi memenuhi kebutuhan pasar, alih-alih membentuk manusia merdeka dan berdaya kritis. Dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis pada tinjauan teoritis serta referensi ilmiah, tulisan ini mengidentifikasi ciri-ciri utama dari sistem pendidikan yang berorientasi pada pekerja, mengurai berbagai kritik terhadapnya, dan menelusuri akar ideologis, historis, serta struktural dari model pendidikan tersebut. Warisan kolonial, hegemoni neoliberalisme, dan dominasi paradigma ekonomistik dalam kebijakan pendidikan menjadi faktor-faktor utama yang melatarbelakangi persoalan ini. Sebagai alternatif, artikel ini menawarkan paradigma pendidikan emansipatoris yang berpijak pada nilai-nilai humanistik, demokratis, dan berbasis kebudayaan. Pendidikan yang membebaskan, membentuk kesadaran kritis, dan memampukan peserta didik menjadi subjek perubahan sosial dianggap sebagai arah yang lebih beradab dan berkeadilan. Dengan demikian, pendidikan seharusnya tidak tunduk pada logika pasar, tetapi berpihak pada kemanusiaan.

Kata Kunci: pendidikan kritis; sistem pendidikan; neoliberalisme; pekerja; emansipasi; kurikulum; humaniora; pasar kerja.


PEMBAHASAN

Paradigma Pendidikan untuk Kemanusiaan


1.           Latar Belakang Masalah

Dalam dekade terakhir, wacana pendidikan global semakin diwarnai oleh tuntutan pasar tenaga kerja dan perkembangan industri. Pendidikan, yang sejatinya merupakan proses pemanusiaan manusia (humanisasi), kini cenderung direduksi menjadi sekadar sarana untuk mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini tampak jelas dari arah kebijakan pendidikan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang lebih menekankan pada pengembangan keterampilan teknis dan kompetensi kerja daripada penguatan karakter, daya kritis, dan kesadaran sosial peserta didik.

Kecenderungan ini berakar pada paradigma ekonomi neoliberal yang memandang pendidikan sebagai instrumen ekonomi dan investasi sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam pandangan ini, keberhasilan pendidikan diukur dari seberapa besar kontribusinya dalam mencetak lulusan yang mampu terserap oleh pasar kerja, bukan dari seberapa besar pendidikan itu mampu membentuk manusia yang utuh, mandiri, dan visioner.¹

Salah satu bentuk nyata dari kecenderungan ini adalah penguatan pendidikan vokasional dan pelatihan kerja (TVET – Technical and Vocational Education and Training) yang semakin menjadi prioritas dalam sistem pendidikan formal. Meskipun pendekatan ini memiliki manfaat dalam mengurangi pengangguran dan meningkatkan keterampilan kerja, pendekatan semacam itu rentan mengabaikan dimensi humanistik dan transformatif dari pendidikan.² Di sisi lain, lembaga pendidikan tinggi pun semakin tertekan untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan industri, dengan mengorbankan mata kuliah-mata kuliah kritis seperti filsafat, sejarah, dan ilmu sosial yang dianggap tidak “produktif” secara ekonomi.³

Selain itu, warisan pendidikan kolonial turut memperkuat konstruksi sistem pendidikan yang berorientasi pada pencetakan tenaga kerja. Di masa penjajahan, pendidikan dirancang untuk menghasilkan pegawai rendahan yang loyal kepada penguasa kolonial, bukan individu merdeka yang mampu berpikir kritis dan memimpin perubahan.⁴ Meskipun kolonialisme telah lama berakhir, banyak struktur dan logika sistem pendidikannya masih tertinggal dan diteruskan dalam format baru, yakni pendidikan yang tunduk pada logika pasar.

Akibat dari semua ini adalah munculnya generasi lulusan yang secara teknis terampil, namun minim dalam hal kesadaran historis, daya reflektif, serta kepedulian terhadap persoalan sosial dan ekologis di sekitarnya. Mereka disiapkan untuk menjadi roda dalam mesin industri global, namun tidak dibekali dengan keberanian untuk mempertanyakan sistem yang mereka layani. Dalam situasi seperti ini, pendidikan telah kehilangan roh pembebasnya dan berubah menjadi alat reproduksi status quo sosial dan ekonomi yang timpang.⁵

Dengan demikian, muncul kebutuhan yang mendesak untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah sistem pendidikan saat ini. Apakah pendidikan hanya akan menjadi pabrik pencetak pekerja, atau justru menjadi ruang pembentukan manusia merdeka yang mampu berpikir, merasa, dan bertindak untuk perubahan yang lebih adil dan berkelanjutan?


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, Neoliberalism's War on Higher Education (Chicago: Haymarket Books, 2014), 6–9.

[2]                UNESCO, Revisiting Global Trends in TVET: Reflections on Theory and Practice (Paris: UNESCO, 2020), 12–15.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–4.

[4]                S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 94–96.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–75.


2.           Ciri-Ciri Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja

Sistem pendidikan yang berorientasi pada pencetakan tenaga kerja (worker-producing education system) memiliki sejumlah ciri khas yang mencerminkan dominasi paradigma utilitarian dan ekonomi atas nilai-nilai humanistik dan filosofis pendidikan. Ciri-ciri ini terlihat dalam aspek kurikulum, proses pembelajaran, orientasi kebijakan, serta struktur relasi antara dunia pendidikan dan pasar kerja.

2.1.       Kurikulum Berbasis Kompetensi Kerja Teknis

Salah satu ciri utama sistem ini adalah dominasi pendekatan competency-based education (CBE), yang menekankan pada penguasaan keterampilan teknis yang terukur dan dapat langsung diterapkan di dunia kerja. Kurikulum disusun dengan kerangka kerja berbasis standar industri, sementara dimensi filosofis, historis, dan kritis dari pengetahuan sering kali dikesampingkan.¹

Hal ini tampak jelas dalam penguatan kebijakan link and match antara pendidikan dan industri yang dijalankan secara masif di berbagai negara, termasuk Indonesia.²

2.2.       Pendidikan Vokasional dan Pola Stratifikasi

Sistem ini juga ditandai oleh penekanan besar terhadap jalur pendidikan vokasional (SMK, politeknik, pelatihan kerja), terutama untuk peserta didik dari kelompok sosial-ekonomi menengah ke bawah.³ Dalam praktiknya, ini menciptakan segmentasi sosial dalam pendidikan: mereka yang berasal dari kelas atas diarahkan ke jalur akademik dan kepemimpinan, sementara yang lain diarahkan menjadi operator atau buruh terampil.⁴

2.3.       Penyeragaman Evaluasi dan Minimnya Ruang Kritis

Sistem ini cenderung menekankan evaluasi berbasis angka, standar, dan akreditasi teknis, yang seringkali mengabaikan proses berpikir reflektif dan inovatif. Peserta didik dibiasakan untuk taat pada instruksi, alih-alih mendorong mereka untuk mempertanyakan dan membangun pemahaman kritis.⁵ Proses pembelajaran lebih bersifat mekanistik daripada dialogis, dan guru diposisikan sebagai pelatih keterampilan, bukan sebagai pendidik nilai.

2.4.       Ketergantungan pada Dunia Industri

Orientasi sistem pendidikan pada kebutuhan industri menjadikan lembaga pendidikan tunduk pada logika ekonomi pasar. Institusi pendidikan diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang "employable", yaitu dapat langsung diserap oleh dunia kerja, bukan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja atau mengubah kondisi sosial.⁶

Hal ini menggeser fungsi pendidikan dari pembebasan (liberation) menjadi sekadar pelatihan (training).

2.5.       Marginalisasi Mata Pelajaran Humaniora

Dalam sistem ini, mata pelajaran seperti filsafat, sejarah, sosiologi, sastra, dan seni sering kali dianggap tidak relevan karena dianggap tidak memiliki nilai “ekonomis” langsung. Akibatnya, peserta didik kehilangan kesempatan untuk membangun kepekaan etis, imajinasi moral, dan pemahaman kontekstual terhadap realitas sosial dan sejarah.⁷

Padahal, pengembangan dimensi-dimensi tersebut sangat penting untuk membentuk warga negara yang bertanggung jawab dan kritis terhadap ketimpangan sosial.

2.6.       Fokus pada Sertifikasi dan “Output Eksternal”

Ciri lainnya adalah kecenderungan sistem untuk menilai keberhasilan pendidikan dari indikator-indikator eksternal, seperti angka kelulusan, jumlah sertifikasi, akreditasi, dan tingkat serapan kerja. Hal ini memicu fenomena "credentialism", yakni kepercayaan bahwa sertifikat lebih penting daripada kemampuan sejati individu.⁸


Footnotes

[1]                Philip H. Coombs, The World Educational Crisis: A Systems Analysis (New York: Oxford University Press, 1968), 71–74.

[2]                Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Strategi Link and Match 8+i (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).

[3]                Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 102–105.

[4]                Michael W. Apple, Official Knowledge: Democratic Education in a Conservative Age (New York: Routledge, 2000), 44–46.

[5]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 15–18.

[6]                Stephen J. Ball, Education, Justice and Democracy: The Struggle over Ignorance and Knowledge (London: Routledge, 2017), 91–93.

[7]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–10.

[8]                Randall Collins, The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification (New York: Academic Press, 1979), 7–9.


3.           Kritik terhadap Sistem Ini

Meskipun sistem pendidikan yang berorientasi pada pencetakan tenaga kerja dianggap mampu menjawab kebutuhan pasar dan mengurangi pengangguran, pendekatan ini menuai berbagai kritik dari kalangan pendidik, filsuf, dan pemikir kritis. Kritik tersebut mencakup aspek filosofis, sosiologis, pedagogis, dan politis, yang secara umum mempertanyakan apakah tujuan utama pendidikan hanyalah untuk mencetak “pekerja” atau untuk membentuk manusia merdeka dan utuh.

3.1.       Reduksi Makna Pendidikan

Salah satu kritik paling mendasar adalah bahwa sistem ini mereduksi pendidikan menjadi sekadar sarana ekonomi. Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya (human flourishing), melainkan sebagai proses industrialisasi manusia demi memenuhi target produktivitas nasional.¹

Padahal, menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.² Paradigma pekerja jelas bertentangan dengan filosofi tersebut.

3.2.       Reproduksi Ketimpangan Sosial

Alih-alih menjadi sarana mobilitas sosial, sistem ini justru memperkuat stratifikasi sosial. Jalur pendidikan vokasional yang diarahkan kepada kelas bawah menciptakan pembagian kerja yang kaku dan mendukung pelestarian ketimpangan struktural.³ Michael Apple menyebut ini sebagai bentuk “reproduksi ideologis”, di mana sekolah mereproduksi ketimpangan kelas dan mendidik kaum buruh untuk tetap berada di posisinya.⁴

3.3.       Matinya Daya Kritis dan Imajinasi

Ketika pendidikan terlalu menekankan pada keterampilan teknis, aspek berpikir kritis, reflektif, dan kreatif menjadi terabaikan. Dalam sistem ini, peserta didik diajarkan “apa yang harus dikerjakan” tetapi tidak diajak bertanya “mengapa hal itu harus dilakukan”, atau “siapa yang diuntungkan dari pekerjaan itu”. Paulo Freire mengkritik model pendidikan semacam ini sebagai “banking model of education” di mana siswa diposisikan sebagai wadah kosong yang diisi oleh pengetahuan yang tidak kritis.⁵

3.4.       Tidak Adaptif terhadap Perubahan Teknologi

Ironisnya, meskipun sistem ini mengklaim menyiapkan lulusan untuk dunia kerja, pendekatannya sering kali ketinggalan zaman dan tidak adaptif terhadap perubahan teknologi dan disrupsi digital.⁶ Lulusan dilatih untuk menghadapi dunia kerja masa kini, bukan untuk menciptakan masa depan yang baru. Ini mengakibatkan ketimpangan antara output pendidikan dan realitas kebutuhan masa depan.

3.5.       Hilangnya Etika dan Kesadaran Sosial

Sistem pendidikan yang fokus pada penciptaan pekerja cenderung mengabaikan pendidikan karakter, moralitas, dan nilai-nilai sosial. Pendidikan tidak lagi mempersiapkan manusia menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tetapi menjadi pekerja yang patuh dan tidak banyak bertanya.⁷ Martha Nussbaum menyebut kondisi ini sebagai “krisis diam-diam dalam pendidikan”, yakni pengabaian terhadap pengembangan kapasitas etis dan demokratis warga negara.⁸

3.6.       Pendidikan sebagai Alat Ideologis Pasar

Lebih lanjut, banyak kritik yang melihat bahwa sistem ini menjadikan pendidikan sebagai alat untuk menanamkan ideologi neoliberal — menormalisasi individualisme, kompetisi, dan efisiensi ekonomi sebagai nilai-nilai utama. Pendidikan tidak lagi membebaskan, tetapi justru membentuk subjek-subjek yang tunduk pada logika pasar.⁹ Dalam kerangka ini, pendidikan telah kehilangan fungsi kritis dan emansipatorisnya.


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, Neoliberalism's War on Higher Education (Chicago: Haymarket Books, 2014), 11–13.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 16–18.

[3]                Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 106–109.

[4]                Michael W. Apple, Education and Power (New York: Routledge, 1995), 46–49.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 71–73.

[6]                Andreas Schleicher, World Class: How to Build a 21st-Century School System (Paris: OECD Publishing, 2018), 37–39.

[7]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 20–21.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–2.

[9]                Stephen J. Ball, Education, Justice and Democracy: The Struggle over Ignorance and Knowledge (London: Routledge, 2017), 83–86.


4.           Akar Masalah

Untuk memahami mengapa sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung menghasilkan pekerja daripada manusia merdeka dan berpikir kritis, perlu dilakukan penelusuran terhadap akar sejarah, ideologi, dan kebijakan yang membentuk arah pendidikan tersebut. Akar-akar ini bukanlah tunggal, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks antara warisan kolonial, tekanan ekonomi-politik global, serta ideologi dominan yang menguasai wacana pendidikan modern.

4.1.       Warisan Kolonial dalam Struktur Pendidikan

Salah satu akar historis dari sistem pendidikan yang mencetak pekerja adalah warisan kolonial. Di masa penjajahan, pendidikan diatur secara sengaja untuk mencetak tenaga kerja terampil, rendah kritis, dan loyal kepada kepentingan kolonial.¹

Menurut S. Nasution, sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda, seperti Sekolah Kelas Dua, Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan Ambachtsschool, dirancang untuk memenuhi kebutuhan administratif dan teknis kolonial, bukan untuk memberdayakan penduduk pribumi.² Warisan ini masih memengaruhi struktur pendidikan pasca-kemerdekaan, terutama dalam pemisahan antara jalur akademik dan jalur vokasional.

4.2.       Dominasi Paradigma Neoliberal dalam Pendidikan

Sejak era 1980-an, globalisasi ekonomi yang dipimpin oleh negara-negara industri Barat turut membawa serta ideologi neoliberal ke dalam sistem pendidikan negara-negara berkembang.³ Dalam kerangka ini, pendidikan diposisikan sebagai instrumen ekonomi untuk meningkatkan daya saing bangsa, dengan orientasi pada efisiensi, kompetensi, dan keterukuran hasil.⁴

Giroux menyebut hal ini sebagai bentuk “kolonisasi ekonomi terhadap pendidikan”, di mana nilai-nilai pasar menggantikan nilai-nilai sosial, budaya, dan etis dalam sistem pendidikan.⁵

4.3.       Ketiadaan Visi Pendidikan yang Emansipatoris

Krisis arah dalam sistem pendidikan juga disebabkan oleh tidak adanya visi pendidikan nasional yang berpijak pada filosofi emansipatoris. Perumusan kebijakan pendidikan sering kali lebih responsif terhadap tekanan pasar dan investor daripada kebutuhan sosial dan kultural masyarakat.⁶

Ki Hadjar Dewantara telah mengingatkan bahwa pendidikan harus tumbuh dari kebudayaan bangsa sendiri, bukan hanya ditiru dari sistem luar yang tidak memahami ruh kebangsaan.⁷ Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan Indonesia lebih banyak mengadopsi model asing tanpa penyesuaian filosofis yang memadai.

4.4.       Ketergantungan terhadap Indikator dan Standarisasi Global

Sistem pendidikan juga mengalami tekanan dari lembaga-lembaga internasional seperti OECD, World Bank, dan UNESCO, yang mendorong negara-negara untuk mengadopsi sistem evaluasi global seperti PISA dan indikator employability.⁸

Meskipun indikator-indikator ini berguna untuk mengukur kualitas teknis, mereka cenderung mengabaikan konteks lokal dan nilai-nilai kultural yang unik. Hal ini memperkuat pendidikan yang seragam, kaku, dan tidak partisipatif — serta menjauh dari pendidikan yang membebaskan.

4.5.       Kurangnya Investasi pada Sektor Humaniora dan Ilmu Sosial

Fokus besar pada pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) sebagai penopang pembangunan ekonomi turut memarginalkan ilmu-ilmu humaniora.⁹ Kurangnya dukungan terhadap studi filsafat, sastra, sosiologi, dan sejarah menyebabkan minimnya ruang bagi peserta didik untuk memahami realitas sosial secara mendalam dan kritis. Padahal, tanpa dimensi ini, pendidikan hanya akan mencetak teknokrat tanpa arah moral dan sosial.


Footnotes

[1]                D. R. Sardjono, Pendidikan Kolonial di Indonesia: Pengaruh dan Warisannya (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007), 52–55.

[2]                S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 89–92.

[3]                David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 64–66.

[4]                Stephen J. Ball, The Education Debate (Bristol: Policy Press, 2013), 49–52.

[5]                Henry A. Giroux, Neoliberalism’s War on Higher Education (Chicago: Haymarket Books, 2014), 17–21.

[6]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 25–27.

[7]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 44–47.

[8]                Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 18–20.

[9]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.


5.           Alternatif Paradigma Pendidikan

Sebagai respons terhadap sistem pendidikan yang semata-mata mencetak pekerja, berbagai pemikir dan praktisi pendidikan telah menawarkan alternatif paradigma yang lebih holistik, membebaskan, dan memanusiakan. Paradigma-paradigma ini menolak reduksi fungsi pendidikan menjadi sekadar alat produksi ekonomi dan menekankan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses transformatif yang membentuk manusia utuh: yang berpikir kritis, beretika, dan berdaya.

5.1.       Pendidikan sebagai Proses Emansipasi

Paulo Freire, dalam karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed, menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses pembebasan, bukan penyesuaian.¹ Ia mengkritik model pendidikan “gaya bank” (banking education) yang hanya mengisi siswa dengan pengetahuan tanpa dialog, dan menekankan pentingnya pedagogi dialogis yang memberdayakan peserta didik untuk memahami dan mengubah realitasnya. Pendidikan, dalam kerangka ini, harus menciptakan kesadaran kritis (conscientização) terhadap ketidakadilan sosial dan membuka ruang bagi tindakan transformatif.

5.2.       Pendidikan Humanistik dan Demokratis

John Dewey menekankan bahwa pendidikan harus berbasis pengalaman dan berakar pada kehidupan nyata peserta didik.² Pendidikan bukan hanya untuk mempersiapkan hidup di masa depan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Menurut Dewey, sekolah seharusnya menjadi miniatur demokrasi, tempat peserta didik belajar berpartisipasi, bekerja sama, dan mengembangkan kemampuan berpikir reflektif.⁴

Pendidikan humanistik seperti ini tidak semata menekankan pada keterampilan kerja, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepribadian yang utuh.

5.3.       Pendidikan Kontekstual dan Berbasis Kebudayaan

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus berpijak pada kebudayaan bangsa dan tidak sekadar meniru sistem luar. Pendidikan yang baik adalah yang menuntun anak sesuai kodrat alam dan zaman, bukan sekadar mendikte atau mengarahkan ke satu model ekonomi.⁴ Dalam konteks ini, pendekatan pendidikan kontekstual (contextual teaching and learning) menjadi relevan karena menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman nyata dan budaya lokal peserta didik.⁵

5.4.       Pendidikan Integral dan Transdisipliner

Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah paradigma pendidikan integral, yakni pendidikan yang tidak hanya mengembangkan aspek kognitif, tetapi juga afektif, spiritual, sosial, dan ekologis. Edgar Morin, tokoh pendidikan integratif asal Prancis, mengajukan konsep “pensée complexe” (pemikiran kompleks) dalam pendidikan, yang menghindari pendekatan reduksionis dan menekankan keterhubungan antara berbagai aspek kehidupan.⁶ Pendidikan tidak boleh terkotak-kotak dalam mata pelajaran terpisah, melainkan harus menjawab kompleksitas zaman melalui pendekatan transdisipliner.

5.5.       Pendidikan Kewargaan Kritis (Critical Citizenship Education)

Dalam masyarakat demokratis, peserta didik tidak cukup hanya menjadi pekerja yang taat, tetapi harus dibekali dengan kesadaran politik, keberanian moral, dan kemampuan berpikir reflektif untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.⁷

Model pendidikan kewargaan kritis ini melatih siswa untuk memahami isu-isu ketidakadilan, hak asasi manusia, keberagaman, dan pembangunan berkelanjutan — sebuah pendekatan yang relevan untuk membentuk warga negara aktif, bukan hanya tenaga kerja pasif.

5.6.       Reorientasi Tujuan Pendidikan: Dari Ekonomi ke Etika

Akhirnya, paradigma pendidikan perlu diarahkan kembali dari orientasi sempit pada pertumbuhan ekonomi menuju pengembangan nilai-nilai etika, kebijaksanaan, dan kebermaknaan hidup. Martha Nussbaum menyatakan bahwa demokrasi akan rapuh tanpa pendidikan yang menumbuhkan empati, imajinasi moral, dan pemikiran kritis — yang semuanya tidak bisa dikembangkan hanya melalui pelatihan kerja.⁸

Dengan demikian, pendidikan harus lebih dari sekadar "produksi SDM"; ia harus menjadi jalan menuju keadaban dan kemanusiaan yang lebih tinggi.


Footnotes

[1]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–75.

[2]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 25–28.

[3]                John Dewey, Experience and Education (New York: Touchstone, 1997), 34–36.

[4]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 12–14.

[5]                Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It's Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2002), 45–48.

[6]                Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO Publishing, 1999), 10–13.

[7]                Audrey Osler dan Hugh Starkey, Education for Democratic Citizenship: A Framework for Teachers (London: Trentham Books, 2006), 21–23.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 3–5.


6.           Rekomendasi

Agar sistem pendidikan tidak semata menjadi mesin pencetak tenaga kerja yang patuh pada logika pasar, namun dapat mengembangkan manusia utuh yang merdeka, kritis, dan bertanggung jawab, diperlukan sejumlah langkah strategis dan kebijakan transformatif. Rekomendasi ini diarahkan untuk membangun paradigma pendidikan baru yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan.

6.1.       Reorientasi Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan harus didefinisikan ulang agar tidak semata-mata menekankan “employability”, tetapi lebih kepada human flourishing, yakni pengembangan potensi manusia secara menyeluruh — intelektual, moral, spiritual, dan sosial.¹ Kebijakan pendidikan perlu mengintegrasikan visi emansipatoris sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara: “pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat dalam anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan.”²

6.2.       Peninjauan Kritis terhadap Kurikulum

Kurikulum harus dirombak agar tidak sekadar berorientasi pada keterampilan kerja teknis, tetapi juga memberi ruang bagi penguatan nalar kritis, literasi sosial, dan etika publik.³ Penguatan mata pelajaran humaniora, seperti filsafat, sosiologi, sejarah, dan sastra, penting untuk membentuk siswa yang peka terhadap realitas dan mampu berpikir reflektif.⁴

Dalam hal ini, pendekatan transdisipliner perlu dikembangkan untuk menghindari fragmentasi pengetahuan.⁵

6.3.       Reformasi Sistem Evaluasi dan Penilaian

Penilaian pembelajaran harus lebih menekankan pada proses dan pemahaman mendalam, bukan sekadar angka, ranking, atau hasil ujian terstandar.⁶ Sistem asesmen autentik seperti portofolio, studi proyek, dan penilaian berbasis narasi (narrative assessment) perlu dipertimbangkan untuk mendorong eksplorasi dan refleksi personal siswa.⁷

6.4.       Penguatan Peran Guru sebagai Agen Transformasi

Guru tidak boleh diposisikan sebagai pelatih keterampilan teknis semata, melainkan sebagai fasilitator dan pendamping pertumbuhan manusia. Untuk itu, pelatihan guru harus mencakup dimensi pedagogi kritis, filsafat pendidikan, dan kesadaran sosial.⁸

Paulo Freire menekankan pentingnya pendidik-pendidik pembelajar yang mampu menjadi subjek dalam proses perubahan, bukan sekadar alat kebijakan.⁹

6.5.       Penguatan Demokratisasi dalam Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan harus menjadi ruang demokratis yang memberi ruang partisipasi aktif bagi siswa, guru, dan masyarakat. Model manajemen pendidikan yang bersifat top-down dan birokratis perlu digantikan dengan model partisipatoris dan berbasis komunitas.¹⁰ Hal ini dapat membentuk iklim belajar yang sehat, terbuka, dan kolaboratif.

6.6.       Kemandirian Pendidikan terhadap Pasar

Pemerintah perlu menjamin bahwa pendidikan tidak sepenuhnya tunduk pada kepentingan pasar dan korporasi.¹¹ Kebijakan link and match antara industri dan pendidikan perlu dikaji ulang agar tidak menjadikan sekolah sebagai subkontraktor tenaga kerja murah. Pendidikan harus tetap menjadi ruang yang otonom, kritis, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

6.7.       Pengembangan Pendidikan Kewargaan Kritis

Pendidikan perlu membekali peserta didik dengan kesadaran politik, pemahaman terhadap hak dan kewajiban, serta keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan sosial.¹² Program pendidikan kewargaan yang inklusif, berbasis isu kontemporer, dan mendorong tindakan sosial perlu diperluas dan diperdalam di semua jenjang pendidikan.


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury Academic, 2011), 17–19.

[2]                Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 9–11.

[3]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 44–46.

[4]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 12–14.

[5]                Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future (Paris: UNESCO Publishing, 1999), 35–37.

[6]                Linda Darling-Hammond et al., Assessment and Teaching of 21st Century Skills (New York: Springer, 2012), 21–24.

[7]                Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design (Alexandria: ASCD, 2005), 142–145.

[8]                Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 2003), 112–114.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 31–34.

[10]             Andy Hargreaves dan Dennis Shirley, The Fourth Way: The Inspiring Future for Educational Change (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2009), 59–62.

[11]             Stephen J. Ball, Global Education Inc.: New Policy Networks and the Neo-Liberal Imaginary (London: Routledge, 2012), 85–87.

[12]             Audrey Osler dan Hugh Starkey, Teachers and Human Rights Education (Stoke-on-Trent: Trentham Books, 2010), 52–55.


7.           Penutup

Sistem pendidikan yang berorientasi pada penciptaan tenaga kerja, meskipun memiliki nilai instrumental dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan menurunkan angka pengangguran, pada dasarnya menyimpan persoalan filosofis dan sosial yang mendalam. Dengan menempatkan peserta didik sebagai objek yang harus “diproduksi” sesuai standar pasar, sistem ini cenderung mengabaikan dimensi kemanusiaan, etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial yang menjadi esensi sejati dari pendidikan.¹

Pendidikan, sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, seharusnya bukan alat domestikasi, tetapi ruang emansipasi — tempat peserta didik membangun kesadaran kritis terhadap dunia dan dirinya, serta dibekali keberanian moral untuk mengubah struktur yang menindas.² Dalam konteks ini, sistem pendidikan yang hanya mencetak pekerja pada hakikatnya mereproduksi ketimpangan dan ketundukan, bukannya mendorong pembebasan dan transformasi sosial.

Warisan kolonial, hegemoni ideologi neoliberal, dan dominasi logika pasar dalam kebijakan pendidikan menjadi akar dari persoalan ini.³ Karena itu, perubahan tidak bisa hanya dilakukan di permukaan — seperti pembaruan kurikulum atau pelatihan keterampilan semata — melainkan harus dimulai dari pergeseran paradigma: dari paradigma ekonomi menuju paradigma kemanusiaan. Hal ini menuntut keberanian negara, pendidik, dan masyarakat untuk mendesain ulang arah pendidikan nasional berdasarkan nilai-nilai filosofis yang membebaskan, berbasis kebudayaan, dan berorientasi pada keadilan sosial.

Langkah-langkah transformasi yang ditawarkan — mulai dari reorientasi kurikulum, reformasi evaluasi, hingga penguatan pendidikan karakter dan kewargaan kritis — merupakan bagian dari usaha membangun sistem pendidikan yang utuh dan manusiawi. Seperti yang dikatakan Martha Nussbaum, “Pendidikan untuk demokrasi tidak boleh hanya menghasilkan mesin produktif, melainkan harus melahirkan warga yang mampu merasakan penderitaan orang lain, memahami perbedaan, dan berpikir mendalam tentang keadilan.”⁴

Oleh karena itu, masa depan pendidikan tidak bisa lagi dikendalikan oleh kepentingan pasar semata. Ia harus dikembalikan kepada cita-cita luhur: menciptakan manusia merdeka, kritis, dan bertanggung jawab — bukan sekadar pekerja yang patuh dan terampil. Inilah panggilan etis bagi setiap pendidik, pengambil kebijakan, dan seluruh elemen masyarakat yang masih percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju peradaban yang lebih adil dan beradab.


Footnotes

[1]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury Academic, 2011), 25–27.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 66–70.

[3]                Stephen J. Ball, The Education Debate (Bristol: Policy Press, 2013), 61–63.

[4]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 9–10.


Daftar Pustaka

Apple, M. W. (1995). Education and power. Routledge.

Apple, M. W. (2000). Official knowledge: Democratic education in a conservative age (2nd ed.). Routledge.

Ball, S. J. (2013). The education debate (2nd ed.). Policy Press.

Ball, S. J. (2017). Education, justice and democracy: The struggle over ignorance and knowledge. Routledge.

Ball, S. J. (2012). Global education Inc.: New policy networks and the neo-liberal imaginary. Routledge.

Collins, R. (1979). The credential society: An historical sociology of education and stratification. Academic Press.

Coombs, P. H. (1968). The world educational crisis: A systems analysis. Oxford University Press.

Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang memiskinkan. Resist Book.

Darling-Hammond, L., & Adamson, F. (Eds.). (2012). Assessment and teaching of 21st century skills. Springer.

Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Majelis Luhur Taman Siswa.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1997). Experience and education. Touchstone.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Rowman & Littlefield.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury Academic.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. Bloomsbury Academic.

Giroux, H. A. (2014). Neoliberalism’s war on higher education. Haymarket Books.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Hargreaves, A., & Shirley, D. (2009). The fourth way: The inspiring future for educational change. Corwin.

Illich, I. (1971). Deschooling society. Harper & Row.

Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning: What it is and why it's here to stay. Corwin Press.

McLaren, P. (2003). Life in schools: An introduction to critical pedagogy in the foundations of education (4th ed.). Longman.

Morin, E. (1999). Seven complex lessons in education for the future. UNESCO Publishing.

Nasution, S. (2008). Sejarah pendidikan Indonesia. Bumi Aksara.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Osler, A., & Starkey, H. (2006). Education for democratic citizenship: A framework for teachers. Trentham Books.

Osler, A., & Starkey, H. (2010). Teachers and human rights education. Trentham Books.

Sardjono, D. R. (2007). Pendidikan kolonial di Indonesia: Pengaruh dan warisannya. Komunitas Bambu.

Schleicher, A. (2018). World class: How to build a 21st-century school system. OECD Publishing.

Spring, J. (1998). Education and the rise of the global economy. Lawrence Erlbaum Associates.

Steiner-Khamsi, G. (2004). The global politics of educational borrowing and lending. Teachers College Press.

UNESCO. (2020). Revisiting global trends in TVET: Reflections on theory and practice. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (Expanded 2nd ed.). ASCD.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar