Sekolah Bukan Pabrik
Menggugat Sistem Pendidikan yang Mencetak Pekerja Patuh
Alihkan ke: Dari Schole ke Sekolah, Madrasah, Pendidikan yang Menjinakkan, Kurikulum Masa Depan, Guru yang Membebaskan, Hak untuk Malas.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis sistem
pendidikan modern yang secara sistematis diarahkan untuk mencetak tenaga kerja
demi memenuhi kebutuhan pasar, alih-alih membentuk manusia merdeka dan berdaya
kritis. Dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis pada tinjauan teoritis
serta referensi ilmiah, tulisan ini mengidentifikasi ciri-ciri utama dari
sistem pendidikan yang berorientasi pada pekerja, mengurai berbagai kritik
terhadapnya, dan menelusuri akar ideologis, historis, serta struktural dari
model pendidikan tersebut. Warisan kolonial, hegemoni neoliberalisme, dan
dominasi paradigma ekonomistik dalam kebijakan pendidikan menjadi faktor-faktor
utama yang melatarbelakangi persoalan ini. Sebagai alternatif, artikel ini
menawarkan paradigma pendidikan emansipatoris yang berpijak pada nilai-nilai
humanistik, demokratis, dan berbasis kebudayaan. Pendidikan yang membebaskan, membentuk
kesadaran kritis, dan memampukan peserta didik menjadi subjek perubahan sosial
dianggap sebagai arah yang lebih beradab dan berkeadilan. Dengan demikian,
pendidikan seharusnya tidak tunduk pada logika pasar, tetapi berpihak pada
kemanusiaan.
Kata Kunci: pendidikan kritis; sistem pendidikan;
neoliberalisme; pekerja; emansipasi; kurikulum; humaniora; pasar kerja.
PEMBAHASAN
Paradigma Pendidikan untuk Kemanusiaan
1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam dekade
terakhir, wacana pendidikan global semakin diwarnai oleh tuntutan pasar tenaga
kerja dan perkembangan industri. Pendidikan, yang sejatinya merupakan proses
pemanusiaan manusia (humanisasi), kini cenderung direduksi menjadi sekadar
sarana untuk mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini tampak jelas dari
arah kebijakan pendidikan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang
lebih menekankan pada pengembangan keterampilan teknis dan kompetensi kerja
daripada penguatan karakter, daya kritis, dan kesadaran sosial peserta didik.
Kecenderungan ini
berakar pada paradigma ekonomi neoliberal yang memandang pendidikan sebagai
instrumen ekonomi dan investasi sumber daya manusia untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional. Dalam pandangan ini, keberhasilan pendidikan diukur dari
seberapa besar kontribusinya dalam mencetak lulusan yang mampu terserap oleh
pasar kerja, bukan dari seberapa besar pendidikan itu mampu membentuk manusia
yang utuh, mandiri, dan visioner.¹
Salah satu bentuk
nyata dari kecenderungan ini adalah penguatan pendidikan vokasional dan
pelatihan kerja (TVET – Technical and Vocational Education and Training)
yang semakin menjadi prioritas dalam sistem pendidikan formal. Meskipun
pendekatan ini memiliki manfaat dalam mengurangi pengangguran dan meningkatkan
keterampilan kerja, pendekatan semacam itu rentan mengabaikan dimensi
humanistik dan transformatif dari pendidikan.² Di sisi lain, lembaga pendidikan
tinggi pun semakin tertekan untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan
industri, dengan mengorbankan mata kuliah-mata kuliah kritis seperti filsafat,
sejarah, dan ilmu sosial yang dianggap tidak “produktif” secara
ekonomi.³
Selain itu, warisan
pendidikan kolonial turut memperkuat konstruksi sistem pendidikan yang
berorientasi pada pencetakan tenaga kerja. Di masa penjajahan, pendidikan
dirancang untuk menghasilkan pegawai rendahan yang loyal kepada penguasa
kolonial, bukan individu merdeka yang mampu berpikir kritis dan memimpin
perubahan.⁴ Meskipun kolonialisme telah lama berakhir, banyak struktur dan
logika sistem pendidikannya masih tertinggal dan diteruskan dalam format baru,
yakni pendidikan yang tunduk pada logika pasar.
Akibat dari semua
ini adalah munculnya generasi lulusan yang secara teknis terampil, namun minim
dalam hal kesadaran historis, daya reflektif, serta kepedulian terhadap
persoalan sosial dan ekologis di sekitarnya. Mereka disiapkan untuk menjadi
roda dalam mesin industri global, namun tidak dibekali dengan keberanian untuk
mempertanyakan sistem yang mereka layani. Dalam situasi seperti ini, pendidikan
telah kehilangan roh pembebasnya dan berubah menjadi alat reproduksi status quo
sosial dan ekonomi yang timpang.⁵
Dengan demikian,
muncul kebutuhan yang mendesak untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah
sistem pendidikan saat ini. Apakah pendidikan hanya akan menjadi pabrik
pencetak pekerja, atau justru menjadi ruang pembentukan manusia merdeka yang
mampu berpikir, merasa, dan bertindak untuk perubahan yang lebih adil dan
berkelanjutan?
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, Neoliberalism's War on
Higher Education (Chicago: Haymarket
Books, 2014), 6–9.
[2]
UNESCO, Revisiting Global
Trends in TVET: Reflections on Theory and Practice (Paris: UNESCO, 2020), 12–15.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not
for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–4.
[4]
S. Nasution, Sejarah Pendidikan
Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), 94–96.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–75.
2.
Ciri-Ciri
Sistem Pendidikan yang Menghasilkan Pekerja
Sistem pendidikan
yang berorientasi pada pencetakan tenaga kerja (worker-producing education
system) memiliki sejumlah ciri khas yang mencerminkan dominasi paradigma
utilitarian dan ekonomi atas nilai-nilai humanistik dan filosofis pendidikan.
Ciri-ciri ini terlihat dalam aspek kurikulum, proses pembelajaran, orientasi
kebijakan, serta struktur relasi antara dunia pendidikan dan pasar kerja.
2.1.
Kurikulum Berbasis Kompetensi Kerja Teknis
Salah satu ciri
utama sistem ini adalah dominasi pendekatan competency-based education (CBE),
yang menekankan pada penguasaan keterampilan teknis yang terukur dan dapat
langsung diterapkan di dunia kerja. Kurikulum disusun dengan kerangka kerja
berbasis standar industri, sementara dimensi filosofis, historis, dan kritis
dari pengetahuan sering kali dikesampingkan.¹
Hal ini tampak jelas
dalam penguatan kebijakan link and match antara pendidikan
dan industri yang dijalankan secara masif di berbagai negara, termasuk
Indonesia.²
2.2.
Pendidikan Vokasional dan Pola Stratifikasi
Sistem ini juga
ditandai oleh penekanan besar terhadap jalur pendidikan vokasional (SMK,
politeknik, pelatihan kerja), terutama untuk peserta didik dari kelompok
sosial-ekonomi menengah ke bawah.³ Dalam praktiknya, ini menciptakan segmentasi
sosial dalam pendidikan: mereka yang berasal dari kelas atas diarahkan ke jalur
akademik dan kepemimpinan, sementara yang lain diarahkan menjadi operator atau
buruh terampil.⁴
2.3.
Penyeragaman Evaluasi dan Minimnya Ruang Kritis
Sistem ini cenderung
menekankan evaluasi berbasis angka, standar, dan akreditasi teknis, yang
seringkali mengabaikan proses berpikir reflektif dan inovatif. Peserta didik
dibiasakan untuk taat pada instruksi, alih-alih mendorong mereka untuk
mempertanyakan dan membangun pemahaman kritis.⁵ Proses pembelajaran lebih
bersifat mekanistik daripada dialogis, dan guru diposisikan sebagai pelatih
keterampilan, bukan sebagai pendidik nilai.
2.4.
Ketergantungan pada Dunia Industri
Orientasi sistem pendidikan pada kebutuhan industri menjadikan lembaga pendidikan tunduk pada
logika ekonomi pasar. Institusi pendidikan diarahkan untuk menghasilkan lulusan
yang "employable", yaitu dapat langsung diserap oleh dunia
kerja, bukan lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja atau mengubah
kondisi sosial.⁶
Hal ini menggeser
fungsi pendidikan dari pembebasan (liberation) menjadi sekadar
pelatihan (training).
2.5.
Marginalisasi Mata Pelajaran Humaniora
Dalam sistem ini,
mata pelajaran seperti filsafat, sejarah, sosiologi, sastra, dan seni sering
kali dianggap tidak relevan karena dianggap tidak memiliki nilai “ekonomis”
langsung. Akibatnya, peserta didik kehilangan kesempatan untuk membangun
kepekaan etis, imajinasi moral, dan pemahaman kontekstual terhadap realitas
sosial dan sejarah.⁷
Padahal,
pengembangan dimensi-dimensi tersebut sangat penting untuk membentuk warga
negara yang bertanggung jawab dan kritis terhadap ketimpangan sosial.
2.6.
Fokus pada Sertifikasi dan “Output Eksternal”
Ciri lainnya adalah
kecenderungan sistem untuk menilai keberhasilan pendidikan dari
indikator-indikator eksternal, seperti angka kelulusan, jumlah sertifikasi,
akreditasi, dan tingkat serapan kerja. Hal ini memicu fenomena "credentialism",
yakni kepercayaan bahwa sertifikat lebih penting daripada kemampuan sejati
individu.⁸
Footnotes
[1]
Philip H. Coombs, The World Educational Crisis: A Systems Analysis
(New York: Oxford University Press, 1968), 71–74.
[2]
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Strategi Link and Match 8+i
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).
[3]
Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 102–105.
[4]
Michael W. Apple, Official Knowledge: Democratic Education in a
Conservative Age (New York: Routledge, 2000), 44–46.
[5]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 15–18.
[6]
Stephen J. Ball, Education, Justice and Democracy: The Struggle
over Ignorance and Knowledge (London: Routledge, 2017), 91–93.
[7]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–10.
[8]
Randall Collins, The Credential Society: An Historical Sociology of
Education and Stratification (New York: Academic Press, 1979), 7–9.
3.
Kritik
terhadap Sistem Ini
Meskipun sistem pendidikan yang berorientasi pada pencetakan tenaga kerja dianggap mampu menjawab
kebutuhan pasar dan mengurangi pengangguran, pendekatan ini menuai berbagai
kritik dari kalangan pendidik, filsuf, dan pemikir kritis. Kritik tersebut
mencakup aspek filosofis, sosiologis, pedagogis, dan politis, yang secara umum
mempertanyakan apakah tujuan utama pendidikan hanyalah untuk mencetak “pekerja”
atau untuk membentuk manusia merdeka dan utuh.
3.1.
Reduksi Makna Pendidikan
Salah satu kritik
paling mendasar adalah bahwa sistem ini mereduksi pendidikan menjadi sekadar
sarana ekonomi. Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai proses pembentukan
manusia seutuhnya (human flourishing), melainkan sebagai proses industrialisasi
manusia demi memenuhi target produktivitas nasional.¹
Padahal, menurut Ki
Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya untuk menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.²
Paradigma pekerja jelas bertentangan dengan filosofi tersebut.
3.2.
Reproduksi Ketimpangan Sosial
Alih-alih menjadi
sarana mobilitas sosial, sistem ini justru memperkuat stratifikasi sosial.
Jalur pendidikan vokasional yang diarahkan kepada kelas bawah menciptakan
pembagian kerja yang kaku dan mendukung pelestarian ketimpangan struktural.³
Michael Apple menyebut ini sebagai bentuk “reproduksi ideologis”, di
mana sekolah mereproduksi ketimpangan kelas dan mendidik kaum buruh untuk tetap
berada di posisinya.⁴
3.3.
Matinya Daya Kritis dan Imajinasi
Ketika pendidikan
terlalu menekankan pada keterampilan teknis, aspek berpikir kritis, reflektif,
dan kreatif menjadi terabaikan. Dalam sistem ini, peserta didik diajarkan “apa
yang harus dikerjakan” tetapi tidak diajak bertanya “mengapa hal itu
harus dilakukan”, atau “siapa yang diuntungkan dari pekerjaan itu”.
Paulo Freire mengkritik model pendidikan semacam ini sebagai “banking
model of education” di mana siswa diposisikan sebagai wadah kosong
yang diisi oleh pengetahuan yang tidak kritis.⁵
3.4.
Tidak Adaptif terhadap Perubahan Teknologi
Ironisnya, meskipun
sistem ini mengklaim menyiapkan lulusan untuk dunia kerja, pendekatannya sering
kali ketinggalan zaman dan tidak adaptif terhadap perubahan teknologi dan
disrupsi digital.⁶ Lulusan dilatih untuk menghadapi dunia kerja masa kini,
bukan untuk menciptakan masa depan yang baru. Ini mengakibatkan ketimpangan
antara output pendidikan dan realitas kebutuhan masa depan.
3.5.
Hilangnya Etika dan Kesadaran Sosial
Sistem pendidikan
yang fokus pada penciptaan pekerja cenderung mengabaikan pendidikan karakter,
moralitas, dan nilai-nilai sosial. Pendidikan tidak lagi mempersiapkan manusia
menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tetapi menjadi pekerja yang patuh
dan tidak banyak bertanya.⁷ Martha Nussbaum menyebut kondisi ini sebagai “krisis
diam-diam dalam pendidikan”, yakni pengabaian terhadap pengembangan
kapasitas etis dan demokratis warga negara.⁸
3.6.
Pendidikan sebagai Alat Ideologis Pasar
Lebih lanjut, banyak
kritik yang melihat bahwa sistem ini menjadikan pendidikan sebagai alat untuk
menanamkan ideologi neoliberal — menormalisasi individualisme, kompetisi, dan
efisiensi ekonomi sebagai nilai-nilai utama. Pendidikan tidak lagi membebaskan,
tetapi justru membentuk subjek-subjek yang tunduk pada logika pasar.⁹ Dalam
kerangka ini, pendidikan telah kehilangan fungsi kritis dan emansipatorisnya.
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, Neoliberalism's War on Higher Education
(Chicago: Haymarket Books, 2014), 11–13.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 16–18.
[3]
Joel Spring, Education and the Rise of the Global Economy
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1998), 106–109.
[4]
Michael W. Apple, Education and Power (New York: Routledge,
1995), 46–49.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 71–73.
[6]
Andreas Schleicher, World Class: How to Build a 21st-Century School
System (Paris: OECD Publishing, 2018), 37–39.
[7]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 20–21.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 1–2.
[9]
Stephen J. Ball, Education, Justice and Democracy: The Struggle
over Ignorance and Knowledge (London: Routledge, 2017), 83–86.
4.
Akar
Masalah
Untuk memahami
mengapa sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung
menghasilkan pekerja daripada manusia merdeka dan berpikir kritis, perlu
dilakukan penelusuran terhadap akar sejarah, ideologi, dan kebijakan yang
membentuk arah pendidikan tersebut. Akar-akar ini bukanlah tunggal, tetapi
merupakan hasil dari interaksi kompleks antara warisan kolonial, tekanan
ekonomi-politik global, serta ideologi dominan yang menguasai wacana pendidikan
modern.
4.1.
Warisan Kolonial dalam Struktur Pendidikan
Salah satu akar
historis dari sistem pendidikan yang mencetak pekerja adalah warisan kolonial.
Di masa penjajahan, pendidikan diatur secara sengaja untuk mencetak tenaga
kerja terampil, rendah kritis, dan loyal kepada kepentingan kolonial.¹
Menurut S. Nasution,
sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda, seperti Sekolah Kelas Dua, Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), dan Ambachtsschool, dirancang untuk
memenuhi kebutuhan administratif dan teknis kolonial, bukan untuk memberdayakan
penduduk pribumi.² Warisan ini masih memengaruhi struktur pendidikan
pasca-kemerdekaan, terutama dalam pemisahan antara jalur akademik dan jalur
vokasional.
4.2.
Dominasi Paradigma Neoliberal dalam Pendidikan
Sejak era 1980-an,
globalisasi ekonomi yang dipimpin oleh negara-negara industri Barat turut
membawa serta ideologi neoliberal ke dalam sistem pendidikan negara-negara
berkembang.³ Dalam kerangka ini, pendidikan diposisikan sebagai instrumen
ekonomi untuk meningkatkan daya saing bangsa, dengan orientasi pada efisiensi,
kompetensi, dan keterukuran hasil.⁴
Giroux menyebut hal
ini sebagai bentuk “kolonisasi ekonomi terhadap pendidikan”, di mana
nilai-nilai pasar menggantikan nilai-nilai sosial, budaya, dan etis dalam
sistem pendidikan.⁵
4.3.
Ketiadaan Visi Pendidikan yang Emansipatoris
Krisis arah dalam
sistem pendidikan juga disebabkan oleh tidak adanya visi pendidikan nasional
yang berpijak pada filosofi emansipatoris. Perumusan kebijakan pendidikan
sering kali lebih responsif terhadap tekanan pasar dan investor daripada
kebutuhan sosial dan kultural masyarakat.⁶
Ki Hadjar Dewantara
telah mengingatkan bahwa pendidikan harus tumbuh dari kebudayaan bangsa
sendiri, bukan hanya ditiru dari sistem luar yang tidak memahami ruh
kebangsaan.⁷ Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan Indonesia lebih banyak
mengadopsi model asing tanpa penyesuaian filosofis yang memadai.
4.4.
Ketergantungan terhadap Indikator dan
Standarisasi Global
Sistem pendidikan
juga mengalami tekanan dari lembaga-lembaga internasional seperti OECD, World
Bank, dan UNESCO, yang mendorong negara-negara untuk mengadopsi sistem evaluasi
global seperti PISA dan indikator employability.⁸
Meskipun
indikator-indikator ini berguna untuk mengukur kualitas teknis, mereka
cenderung mengabaikan konteks lokal dan nilai-nilai kultural yang unik. Hal ini
memperkuat pendidikan yang seragam, kaku, dan tidak partisipatif — serta
menjauh dari pendidikan yang membebaskan.
4.5.
Kurangnya Investasi pada Sektor Humaniora dan
Ilmu Sosial
Fokus besar pada
pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) sebagai
penopang pembangunan ekonomi turut memarginalkan ilmu-ilmu humaniora.⁹
Kurangnya dukungan terhadap studi filsafat, sastra, sosiologi, dan sejarah
menyebabkan minimnya ruang bagi peserta didik untuk memahami realitas sosial
secara mendalam dan kritis. Padahal, tanpa dimensi ini, pendidikan hanya akan
mencetak teknokrat tanpa arah moral dan sosial.
Footnotes
[1]
D. R. Sardjono, Pendidikan Kolonial di Indonesia: Pengaruh dan
Warisannya (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007), 52–55.
[2]
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), 89–92.
[3]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 64–66.
[4]
Stephen J. Ball, The Education Debate (Bristol: Policy Press,
2013), 49–52.
[5]
Henry A. Giroux, Neoliberalism’s War on Higher Education
(Chicago: Haymarket Books, 2014), 17–21.
[6]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Resist
Book, 2004), 25–27.
[7]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 44–47.
[8]
Gita Steiner-Khamsi, The Global Politics of Educational Borrowing
and Lending (New York: Teachers College Press, 2004), 18–20.
[9]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.
5.
Alternatif
Paradigma Pendidikan
Sebagai respons
terhadap sistem pendidikan yang semata-mata mencetak pekerja, berbagai pemikir
dan praktisi pendidikan telah menawarkan alternatif paradigma yang lebih
holistik, membebaskan, dan memanusiakan. Paradigma-paradigma ini menolak
reduksi fungsi pendidikan menjadi sekadar alat produksi ekonomi dan menekankan
bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses transformatif yang membentuk manusia
utuh: yang berpikir kritis, beretika, dan berdaya.
5.1.
Pendidikan sebagai Proses Emansipasi
Paulo Freire, dalam
karya monumentalnya Pedagogy of the Oppressed,
menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses pembebasan, bukan
penyesuaian.¹ Ia mengkritik model pendidikan “gaya bank” (banking
education) yang hanya mengisi siswa dengan pengetahuan tanpa
dialog, dan menekankan pentingnya pedagogi dialogis yang memberdayakan peserta
didik untuk memahami dan mengubah realitasnya. Pendidikan, dalam kerangka ini,
harus menciptakan kesadaran kritis (conscientização) terhadap
ketidakadilan sosial dan membuka ruang bagi tindakan transformatif.
5.2.
Pendidikan Humanistik dan Demokratis
John Dewey
menekankan bahwa pendidikan harus berbasis pengalaman dan berakar pada
kehidupan nyata peserta didik.² Pendidikan bukan hanya untuk mempersiapkan
hidup di masa depan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Dewey, sekolah seharusnya menjadi miniatur demokrasi, tempat peserta
didik belajar berpartisipasi, bekerja sama, dan mengembangkan kemampuan
berpikir reflektif.⁴
Pendidikan
humanistik seperti ini tidak semata menekankan pada keterampilan kerja, tetapi
juga pada pembentukan karakter dan kepribadian yang utuh.
5.3.
Pendidikan Kontekstual dan Berbasis Kebudayaan
Ki Hadjar Dewantara
menegaskan bahwa pendidikan harus berpijak pada kebudayaan bangsa dan tidak
sekadar meniru sistem luar. Pendidikan yang baik adalah yang menuntun anak
sesuai kodrat alam dan zaman, bukan sekadar mendikte atau mengarahkan ke satu
model ekonomi.⁴ Dalam konteks ini, pendekatan pendidikan kontekstual (contextual
teaching and learning) menjadi relevan karena menghubungkan materi
pembelajaran dengan pengalaman nyata dan budaya lokal peserta didik.⁵
5.4.
Pendidikan Integral dan Transdisipliner
Alternatif lain yang
perlu dipertimbangkan adalah paradigma pendidikan integral, yakni pendidikan
yang tidak hanya mengembangkan aspek kognitif, tetapi juga afektif, spiritual,
sosial, dan ekologis. Edgar Morin, tokoh pendidikan integratif asal Prancis,
mengajukan konsep “pensée complexe” (pemikiran
kompleks) dalam pendidikan, yang menghindari pendekatan reduksionis dan
menekankan keterhubungan antara berbagai aspek kehidupan.⁶ Pendidikan tidak
boleh terkotak-kotak dalam mata pelajaran terpisah, melainkan harus menjawab
kompleksitas zaman melalui pendekatan transdisipliner.
5.5.
Pendidikan Kewargaan Kritis (Critical
Citizenship Education)
Dalam masyarakat
demokratis, peserta didik tidak cukup hanya menjadi pekerja yang taat, tetapi
harus dibekali dengan kesadaran politik, keberanian moral, dan kemampuan
berpikir reflektif untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.⁷
Model pendidikan
kewargaan kritis ini melatih siswa untuk memahami isu-isu ketidakadilan, hak
asasi manusia, keberagaman, dan pembangunan berkelanjutan — sebuah pendekatan
yang relevan untuk membentuk warga negara aktif, bukan hanya tenaga kerja
pasif.
5.6.
Reorientasi Tujuan Pendidikan: Dari Ekonomi ke
Etika
Akhirnya, paradigma
pendidikan perlu diarahkan kembali dari orientasi sempit pada pertumbuhan ekonomi
menuju pengembangan nilai-nilai etika, kebijaksanaan, dan kebermaknaan hidup.
Martha Nussbaum menyatakan bahwa demokrasi akan rapuh tanpa pendidikan yang
menumbuhkan empati, imajinasi moral, dan pemikiran kritis — yang semuanya tidak
bisa dikembangkan hanya melalui pelatihan kerja.⁸
Dengan demikian,
pendidikan harus lebih dari sekadar "produksi SDM"; ia harus
menjadi jalan menuju keadaban dan kemanusiaan yang lebih tinggi.
Footnotes
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–75.
[2]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 25–28.
[3]
John Dewey, Experience and Education (New York: Touchstone,
1997), 34–36.
[4]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 12–14.
[5]
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: What It Is and
Why It's Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2002), 45–48.
[6]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future
(Paris: UNESCO Publishing, 1999), 10–13.
[7]
Audrey Osler dan Hugh Starkey, Education for Democratic
Citizenship: A Framework for Teachers (London: Trentham Books, 2006),
21–23.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 3–5.
6.
Rekomendasi
Agar sistem pendidikan tidak semata menjadi mesin pencetak tenaga kerja yang patuh pada
logika pasar, namun dapat mengembangkan manusia utuh yang merdeka, kritis, dan
bertanggung jawab, diperlukan sejumlah langkah strategis dan kebijakan
transformatif. Rekomendasi ini diarahkan untuk membangun paradigma pendidikan
baru yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan
pembangunan berkelanjutan.
6.1.
Reorientasi Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan
harus didefinisikan ulang agar tidak semata-mata menekankan “employability”,
tetapi lebih kepada human flourishing, yakni
pengembangan potensi manusia secara menyeluruh — intelektual, moral, spiritual,
dan sosial.¹ Kebijakan pendidikan perlu mengintegrasikan visi emansipatoris
sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara: “pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat dalam anak agar mereka mencapai keselamatan dan
kebahagiaan.”²
6.2.
Peninjauan Kritis terhadap Kurikulum
Kurikulum harus
dirombak agar tidak sekadar berorientasi pada keterampilan kerja teknis, tetapi
juga memberi ruang bagi penguatan nalar kritis, literasi sosial, dan etika
publik.³ Penguatan mata pelajaran humaniora, seperti filsafat, sosiologi,
sejarah, dan sastra, penting untuk membentuk siswa yang peka terhadap realitas
dan mampu berpikir reflektif.⁴
Dalam hal ini,
pendekatan transdisipliner
perlu dikembangkan untuk menghindari fragmentasi pengetahuan.⁵
6.3.
Reformasi Sistem Evaluasi dan Penilaian
Penilaian
pembelajaran harus lebih menekankan pada proses dan pemahaman mendalam, bukan
sekadar angka, ranking, atau hasil ujian terstandar.⁶ Sistem asesmen autentik
seperti portofolio, studi proyek, dan penilaian berbasis narasi (narrative
assessment) perlu dipertimbangkan untuk mendorong eksplorasi dan refleksi
personal siswa.⁷
6.4.
Penguatan Peran Guru sebagai Agen Transformasi
Guru tidak boleh
diposisikan sebagai pelatih keterampilan teknis semata, melainkan sebagai
fasilitator dan pendamping pertumbuhan manusia. Untuk itu, pelatihan guru harus
mencakup dimensi pedagogi kritis, filsafat pendidikan, dan kesadaran sosial.⁸
Paulo Freire
menekankan pentingnya pendidik-pendidik pembelajar yang
mampu menjadi subjek dalam proses perubahan, bukan sekadar alat kebijakan.⁹
6.5.
Penguatan Demokratisasi dalam Lembaga
Pendidikan
Lembaga pendidikan
harus menjadi ruang demokratis yang memberi ruang partisipasi aktif bagi siswa,
guru, dan masyarakat. Model manajemen pendidikan yang bersifat top-down dan
birokratis perlu digantikan dengan model partisipatoris dan berbasis
komunitas.¹⁰ Hal ini dapat membentuk iklim belajar yang sehat, terbuka, dan
kolaboratif.
6.6.
Kemandirian Pendidikan terhadap Pasar
Pemerintah perlu
menjamin bahwa pendidikan tidak sepenuhnya tunduk pada kepentingan pasar dan
korporasi.¹¹ Kebijakan link and match antara industri dan
pendidikan perlu dikaji ulang agar tidak menjadikan sekolah sebagai
subkontraktor tenaga kerja murah. Pendidikan harus tetap menjadi ruang yang
otonom, kritis, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
6.7.
Pengembangan Pendidikan Kewargaan Kritis
Pendidikan perlu
membekali peserta didik dengan kesadaran politik, pemahaman terhadap hak dan
kewajiban, serta keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan sosial.¹²
Program pendidikan kewargaan yang inklusif, berbasis isu kontemporer, dan
mendorong tindakan sosial perlu diperluas dan diperdalam di semua jenjang
pendidikan.
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury
Academic, 2011), 17–19.
[2]
Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 9–11.
[3]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Resist
Book, 2004), 44–46.
[4]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 12–14.
[5]
Edgar Morin, Seven Complex Lessons in Education for the Future
(Paris: UNESCO Publishing, 1999), 35–37.
[6]
Linda Darling-Hammond et al., Assessment and Teaching of 21st
Century Skills (New York: Springer, 2012), 21–24.
[7]
Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design
(Alexandria: ASCD, 2005), 142–145.
[8]
Peter McLaren, Life in Schools: An Introduction to Critical
Pedagogy in the Foundations of Education (New York: Longman, 2003),
112–114.
[9]
Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic
Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 31–34.
[10]
Andy Hargreaves dan Dennis Shirley, The Fourth Way: The Inspiring
Future for Educational Change (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2009), 59–62.
[11]
Stephen J. Ball, Global Education Inc.: New Policy Networks and the
Neo-Liberal Imaginary (London: Routledge, 2012), 85–87.
[12]
Audrey Osler dan Hugh Starkey, Teachers and Human Rights Education
(Stoke-on-Trent: Trentham Books, 2010), 52–55.
7.
Penutup
Sistem pendidikan
yang berorientasi pada penciptaan tenaga kerja, meskipun memiliki nilai
instrumental dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan menurunkan angka
pengangguran, pada dasarnya menyimpan persoalan filosofis dan sosial yang
mendalam. Dengan menempatkan peserta didik sebagai objek yang harus “diproduksi”
sesuai standar pasar, sistem ini cenderung mengabaikan dimensi kemanusiaan,
etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial yang menjadi esensi sejati dari
pendidikan.¹
Pendidikan,
sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, seharusnya bukan alat domestikasi,
tetapi ruang emansipasi — tempat peserta didik membangun kesadaran kritis
terhadap dunia dan dirinya, serta dibekali keberanian moral untuk mengubah
struktur yang menindas.² Dalam konteks ini, sistem pendidikan yang hanya
mencetak pekerja pada hakikatnya mereproduksi ketimpangan dan ketundukan,
bukannya mendorong pembebasan dan transformasi sosial.
Warisan kolonial,
hegemoni ideologi neoliberal, dan dominasi logika pasar dalam kebijakan
pendidikan menjadi akar dari persoalan ini.³ Karena itu, perubahan tidak bisa
hanya dilakukan di permukaan — seperti pembaruan kurikulum atau pelatihan
keterampilan semata — melainkan harus dimulai dari pergeseran paradigma: dari paradigma
ekonomi menuju paradigma kemanusiaan. Hal ini menuntut keberanian negara,
pendidik, dan masyarakat untuk mendesain ulang arah pendidikan nasional
berdasarkan nilai-nilai filosofis yang membebaskan, berbasis kebudayaan, dan
berorientasi pada keadilan sosial.
Langkah-langkah
transformasi yang ditawarkan — mulai dari reorientasi kurikulum, reformasi
evaluasi, hingga penguatan pendidikan karakter dan kewargaan kritis — merupakan
bagian dari usaha membangun sistem pendidikan yang utuh dan manusiawi. Seperti
yang dikatakan Martha Nussbaum, “Pendidikan untuk demokrasi tidak boleh
hanya menghasilkan mesin produktif, melainkan harus melahirkan warga yang mampu
merasakan penderitaan orang lain, memahami perbedaan, dan berpikir mendalam
tentang keadilan.”⁴
Oleh karena itu,
masa depan pendidikan tidak bisa lagi dikendalikan oleh kepentingan pasar
semata. Ia harus dikembalikan kepada cita-cita luhur: menciptakan manusia
merdeka, kritis, dan bertanggung jawab — bukan sekadar pekerja yang patuh dan
terampil. Inilah panggilan etis bagi setiap pendidik, pengambil kebijakan, dan
seluruh elemen masyarakat yang masih percaya bahwa pendidikan adalah jalan
menuju peradaban yang lebih adil dan beradab.
Footnotes
[1]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Bloomsbury Academic,
2011), 25–27.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 66–70.
[3]
Stephen J. Ball, The Education Debate (Bristol: Policy Press,
2013), 61–63.
[4]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 9–10.
Daftar Pustaka
Apple, M. W. (1995). Education and power.
Routledge.
Apple, M. W. (2000). Official knowledge:
Democratic education in a conservative age (2nd ed.). Routledge.
Ball, S. J. (2013). The education debate
(2nd ed.). Policy Press.
Ball, S. J. (2017). Education, justice and
democracy: The struggle over ignorance and knowledge. Routledge.
Ball, S. J. (2012). Global education Inc.: New
policy networks and the neo-liberal imaginary. Routledge.
Collins, R. (1979). The credential society: An
historical sociology of education and stratification. Academic Press.
Coombs, P. H. (1968). The world educational
crisis: A systems analysis. Oxford University Press.
Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang
memiskinkan. Resist Book.
Darling-Hammond, L., & Adamson, F. (Eds.).
(2012). Assessment and teaching of 21st century skills. Springer.
Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi,
keteladanan, sikap merdeka. Majelis Luhur Taman Siswa.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Dewey, J. (1997). Experience and education.
Touchstone.
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics,
democracy, and civic courage. Rowman & Littlefield.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury Academic.
Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy.
Bloomsbury Academic.
Giroux, H. A. (2014). Neoliberalism’s war on
higher education. Haymarket Books.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Hargreaves, A., & Shirley, D. (2009). The
fourth way: The inspiring future for educational change. Corwin.
Illich, I. (1971). Deschooling society.
Harper & Row.
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and
learning: What it is and why it's here to stay. Corwin Press.
McLaren, P. (2003). Life in schools: An
introduction to critical pedagogy in the foundations of education (4th
ed.). Longman.
Morin, E. (1999). Seven complex lessons in
education for the future. UNESCO Publishing.
Nasution, S. (2008). Sejarah pendidikan
Indonesia. Bumi Aksara.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Osler, A., & Starkey, H. (2006). Education
for democratic citizenship: A framework for teachers. Trentham Books.
Osler, A., & Starkey, H. (2010). Teachers
and human rights education. Trentham Books.
Sardjono, D. R. (2007). Pendidikan kolonial di
Indonesia: Pengaruh dan warisannya. Komunitas Bambu.
Schleicher, A. (2018). World class: How to build
a 21st-century school system. OECD Publishing.
Spring, J. (1998). Education and the rise of the
global economy. Lawrence Erlbaum Associates.
Steiner-Khamsi, G. (2004). The global politics
of educational borrowing and lending. Teachers College Press.
UNESCO. (2020). Revisiting global trends in
TVET: Reflections on theory and practice. United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization.
Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding
by design (Expanded 2nd ed.). ASCD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar