Teori Pragmatis
Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas teori pragmatis tentang kebenaran sebagai salah
satu pendekatan penting dalam filsafat modern. Teori ini menempatkan kebenaran
bukan sebagai entitas statis yang berdiri terpisah dari manusia, melainkan
sebagai hasil dari proses penyelidikan, verifikasi, dan pengalaman praktis.
Sejak perumusan awal oleh Charles S. Peirce dengan pragmatic maxim,
pragmatisme telah berkembang melalui popularisasi William James yang menekankan
dimensi fungsional dan psikologis, serta John Dewey yang memperluasnya ke ranah
pendidikan, politik, dan demokrasi dengan pendekatan instrumentalisme.
Pembahasan artikel ini mencakup lima aspek utama. Pertama, konsep dasar
teori pragmatis yang menekankan sifat kebenaran yang dinamis, fungsional,
intersubjektif, dan fallibilis. Kedua, sejarah perkembangan teori dari Peirce,
James, Dewey hingga pengembangan kontemporer oleh Hilary Putnam dan Richard
Rorty. Ketiga, landasan filosofis dan epistemologis pragmatisme yang berakar
pada pengalaman, tindakan, dan komunitas penyelidikan. Keempat, kritik utama
terhadap teori ini, antara lain tuduhan relativisme, problem subjektivitas, dan
kesulitan menjelaskan korespondensi dengan realitas eksternal. Kelima,
relevansi kontemporer pragmatisme dalam filsafat ilmu, pendidikan abad ke-21,
politik demokratis, serta tantangan era digital dan post-truth.
Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun tidak lepas dari kritik, teori
pragmatis tetap memiliki kontribusi signifikan dalam memahami kebenaran sebagai
konsep yang hidup, terbuka, dan berorientasi pada pemecahan masalah. Dengan
menekankan peran komunitas, verifikasi publik, dan fungsi praktis pengetahuan,
pragmatisme menawarkan kerangka yang relevan bagi perkembangan filsafat, ilmu
pengetahuan, dan kehidupan sosial kontemporer.
Kata Kunci: Pragmatisme;
Kebenaran; Charles S. Peirce; William James; John Dewey; Epistemologi;
Post-truth; Demokrasi.
PEMBAHASAN
Teori Pragmatis tentang Kebenaran
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan tentang apa itu kebenaran
merupakan tema pusat filsafat sejak awal tradisi Barat. Beragam
teori—korespondensi, koherensi, konsensus, deflasi, dan
konstruktivisme—menawarkan kriteria yang berbeda untuk menilai klaim kebenaran.
Di dalam lanskap itu, teori pragmatis menonjol karena mengaitkan
kebenaran dengan keberhasilan praktis penyelidikan: suatu keyakinan
disebut “benar” sejauh ia bekerja—yakni, sejauh ia bertahan dari
pengujian, memandu tindakan secara efektif, dan mendukung pemecahan masalah nyata
dalam jangka panjang.¹ Orientasi ini tidak sekadar mereduksi kebenaran menjadi
“manfaat sesaat”, melainkan menempatkannya dalam proses penyelidikan
yang bertanggung jawab yang terbuka terhadap koreksi dan perbaikan seiring
pengalaman bertambah.²
Akar historis pragmatisme umumnya
dirunut kepada Charles S. Peirce, yang merumuskan pragmatic maxim:
arti sebuah gagasan terletak pada konsekuensi praktis yang terbayangkan bagi
pengalaman dan tindakan.³ Peirce mengaitkan kebenaran dengan “batas ideal”
dari penyelidikan—yakni, keyakinan yang akan disepakati oleh komunitas peneliti
yang kompeten pada akhir penyelidikan bila penyelidikan dilanjutkan
tanpa batas dengan metode yang tepat.⁴ William James lantas
mempopulerkan pragmatisme dengan menekankan dimensi psikologis dan eksistensial
dari kepercayaan yang “berfungsi” dalam kehidupan manusia, seraya
mempertahankan bahwa kebenaran bersifat verifikasionis-dinamis: klaim
menjadi benar sejauh teruji, terkonfirmasi, dan terus menguntungkan praktik.⁵ John
Dewey memperluasnya ke pedagogi, politik, dan filsafat ilmu, memandang
kebenaran sebagai produk penyelidikan instrumental (inquiry) yang
secara berkelanjutan merekonstruksi masalah-masalah manusia—bukan sebagai
korespondensi statis dengan “fakta” terlepas dari praktik.⁶
Dalam perkembangan abad ke-20 dan
sesudahnya, pragmatisme berinteraksi—kadang bersitegang—dengan arus besar lain
seperti realisme ilmiah, positivisme logis, dan analitik pasca-linguistik. Hilary
Putnam mengembangkan gagasan realisme internal, berupaya menengahi
antara kebertataan dunia dan peran skema konseptual serta praktik penalaran
dalam membentuk kebenaran.⁷ Richard Rorty menafsirkan pragmatisme secara
anti-fundasionalis, menggeser fokus dari representasi menuju solidaritas dan
percakapan budaya, namun pembacaan ini memicu kritik karena diduga menyamarkan
perbedaan antara “kebenaran” dan “keberterimaan sosial”.⁸ Di sisi
lain, pembela “pragmatisme penyelidikan” menekankan bahwa standar
kebenaran tetap normatif: bukti, alasan, dan uji publikitas ilmiah tidak
dapat direduksi menjadi preferensi komunitas belaka.⁹
Secara konseptual, teori pragmatis
menantang dikotomi tajam antara fakta dan nilai. Dalam sains,
misalnya, pilihan model, standar bukti, dan tolok ukur keberhasilan kerap
memadukan pertimbangan epistemik (akurasional, prediktif) dengan pertimbangan
praktis (keterterapannya untuk intervensi). Kerangka pragmatis menampung
dinamika ini dengan memahami kebenaran sebagai hasil kerja bersama
antara hipotesis, eksperimen, dan revisi berulang dalam konteks pemecahan
masalah.¹⁰ Pandangan ini menyiratkan bahwa evaluasi kebenaran menuntut kita
menilai kinerja klaim dalam jaringan praktik: apakah ia mampu
menjelaskan, meramalkan, mengintegrasikan bukti baru, dan memandu tindakan yang
berhasil dalam jangka panjang.¹¹
Dari sisi metodologis, pendekatan
pragmatis menghadirkan dua implikasi. Pertama, kebenaran bersifat fallibilis:
selalu mungkin direvisi ketika bukti dan argumen lebih baik tersedia; namun
fallibilisme ini tidak identik dengan relativisme, karena revisi dipandu oleh
norma penyelidikan yang ketat—keterbukaan terhadap koreksi, pengujian publik,
dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.¹² Kedua, kriteria kebenaran
bersifat inter-subjektif: diuji dalam komunitas praktik melalui
diskursus dan eksperimen, bukan ditentukan secara privat oleh “intuisi”
atau “korespondensi” yang tak teruji.¹³ Dengan begitu, teori pragmatis
menyajikan jembatan antara teori kebenaran dan filsafat ilmu, etika profesi
pengetahuan, pedagogi, serta teori demokrasi.
Artikel ini bertujuan: (1) memaparkan konsep
dasar teori pragmatis tentang kebenaran; (2) menelusuri sejarah
perkembangan dari Peirce, James, hingga Dewey, serta pergeseran
kontemporernya; (3) mengajukan analisis kritis atas keberatan yang
lazim—misalnya tuduhan relativisme, “mengaburkan” korespondensi, atau
menyamakan kebenaran dengan utilitas jangka pendek; dan (4) menunjukkan relevansi
kontemporer pragmatisme bagi filsafat ilmu, pendidikan, ruang publik
demokratis, serta ekologi informasi era digital. Kerangka ini diharapkan
memberikan pemahaman yang seimbang: mengakui kekuatan pragmatisme dalam
menjelaskan dinamika kebenaran dalam praktik sekaligus menyadari
batas-batasnya.¹⁴
Struktur pembahasan—mulai dari konsep,
sejarah, landasan epistemologis, kritik utama, hingga aplikasi—dimaksudkan agar
pembaca dapat menilai status epistemik teori pragmatis secara utuh.
Dengan menempatkan kebenaran dalam horizon penyelidikan yang berorientasi
pemecahan masalah dan terbuka terhadap koreksi, artikel ini
mengusulkan bahwa sumbangan khas pragmatisme terletak pada cara ia menyatukan norma
rasionalitas dengan keberhasilan praktis tanpa jatuh pada
utilitarianisme sempit maupun relativisme budaya.¹⁵
Footnotes
[1]               
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 1–6; Christopher Hookway, Peirce
(London: Routledge, 1985), 113–20.
[2]               
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16–22.
[3]               
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular
Science Monthly 12 (1878): 286–302; lihat juga Nathan Houser dan Christian
Kloesel, eds., The Essential Peirce, vol. 1 (Bloomington: Indiana
University Press, 1992), 124–41.
[4]               
Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science
Monthly 12 (1877): 1–15; Misak, Truth and the End of Inquiry, 78–83.
[5]               
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), Lecture VI; William
James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1975), 42–49.
[6]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10, 104–10; John Dewey,
Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.
[7]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[8]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94; Susan Haack, “Vulgar
Pragmatism: An Unedifying Prospect,” dalam Evidence and Inquiry
(Amherst, NY: Prometheus, 1993), 161–80.
[9]               
Misak, The American Pragmatists, 180–92; Robert
B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of
Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.
[10]            
Dewey, Logic: The Theory of Inquiry, 150–69;
Putnam, Reason, Truth and History, 123–30.
[11]            
James, Pragmatism, Lecture II dan VI; Hookway, Peirce,
121–27.
[12]            
Peirce, “The Fixation of Belief”; Misak, Truth and
the End of Inquiry, 3–5, 90–98.
[13]            
Dewey, Democracy and Education, 81–90; Talisse
dan Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy, 41–55.
[14]            
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
5–14; Misak, The American Pragmatists, 193–207.
[15]            
James, The Meaning of Truth, 104–12; Dewey, Logic:
The Theory of Inquiry, 170–77.
2.          
Konsep Dasar Teori
Pragmatis
Teori pragmatis tentang kebenaran
berangkat dari asumsi bahwa makna dan nilai suatu pernyataan terletak pada
konsekuensi praktisnya bagi kehidupan manusia. Alih-alih menempatkan kebenaran
sebagai korespondensi pasif antara proposisi dan realitas eksternal, pragmatisme
mengusulkan bahwa klaim kebenaran harus diuji melalui fungsi praktis
dalam pengalaman dan tindakan.¹ Dengan kata lain, kebenaran bukanlah entitas
statis, melainkan hasil dari sebuah proses verifikasi yang berlangsung
terus-menerus dalam pengalaman empiris dan sosial.²
2.1.      
Definisi Kebenaran
dalam Perspektif Pragmatis
Dalam kerangka pragmatis, kebenaran
dipahami sebagai apa yang “bekerja” (what works) dalam praktik,
yakni suatu keyakinan dianggap benar bila mampu memandu tindakan, memecahkan
masalah, dan bertahan dari pengujian pengalaman.³ William James menegaskan
bahwa kebenaran adalah “apa saja yang terbukti bermanfaat bagi pikiran kita
untuk dipercaya.”⁴ Rumusan ini menekankan dimensi instrumental:
klaim atau ide dinilai benar bila dapat berfungsi sebagai instrumen yang
efektif dalam navigasi kehidupan manusia.
Charles S. Peirce, yang pertama kali
merumuskan prinsip pragmatisme (pragmatic maxim), memandang kebenaran
sebagai “opini final” yang akan dicapai oleh komunitas peneliti bila
penyelidikan dilanjutkan tanpa batas dengan metode yang tepat.⁵ Definisi ini
menekankan sifat fallibilis dan komunal dari kebenaran: setiap
keyakinan selalu terbuka untuk koreksi, dan validitasnya ditentukan dalam
jangka panjang melalui konsensus ilmiah yang dihasilkan oleh penyelidikan
kolektif.⁶
2.2.      
Karakteristik Utama
Teori Pragmatis
Terdapat beberapa ciri mendasar dari
teori pragmatis tentang kebenaran:
·                    
Kebenaran bersifat
dinamis: tidak tetap dan final, melainkan berkembang sesuai dengan
pengalaman baru dan penyelidikan yang berkelanjutan.⁷
·                    
Kebenaran bersifat
fungsional: nilai kebenaran terletak pada kemampuannya memandu tindakan dan
menyelesaikan masalah, bukan sekadar mencerminkan realitas secara
representasional.⁸
·                    
Kebenaran bersifat
intersubjektif: klaim kebenaran tidak dapat diverifikasi secara pribadi,
melainkan diuji melalui pengalaman bersama dalam komunitas rasional atau
ilmiah.⁹
·                    
Kebenaran bersifat
fallibilis: semua klaim kebenaran selalu terbuka bagi revisi bila ditemukan
bukti atau pengalaman yang lebih kuat.¹⁰
Dengan karakteristik tersebut, teori
pragmatis menolak gagasan bahwa kebenaran adalah korespondensi absolut atau
koherensi internal semata, melainkan hasil dari proses interaksi antara ide,
pengalaman, dan tindakan.
2.3.      
Perbedaan dengan
Teori Lain
Secara konseptual, teori pragmatis
menonjol karena mengalihkan fokus dari hubungan representasi ke fungsi
praktis. Jika teori korespondensi menilai benar tidaknya proposisi
berdasarkan kecocokannya dengan fakta eksternal, dan teori koherensi menekankan
konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan, maka teori pragmatis
menekankan nilai kegunaan suatu gagasan dalam praktik.¹¹ Dengan
demikian, pragmatisme menegaskan bahwa kebenaran adalah produk dari uji coba
(trial and error) dalam pengalaman manusia, bukan hasil refleksi murni yang
terpisah dari tindakan.
2.4.      
Dimensi
Epistemologis
Secara epistemologis, teori pragmatis
menekankan keterkaitan erat antara pengetahuan dan aksi. John
Dewey memandang bahwa pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu merupakan
hasil dari aktivitas penyelidikan yang diarahkan pada pemecahan masalah
konkret.¹² Oleh karena itu, kebenaran menurut pragmatisme tidak hanya
menyangkut “kesesuaian” dengan realitas, tetapi juga “kekuatan
transformasional” suatu gagasan dalam mengubah situasi problematis menjadi
kondisi yang lebih stabil dan dapat diatur.¹³
Signifikansi Konseptual
Teori pragmatis tentang kebenaran
menawarkan pemahaman yang lebih kontekstual dan operasional
terhadap realitas epistemik. Alih-alih mencari kebenaran yang absolut dan
final, pragmatisme mendorong pencarian kebenaran sebagai proses yang terbuka,
eksperimental, dan selalu siap untuk direvisi. Dalam kerangka ini, kebenaran
tidak lagi dipahami sebagai tujuan akhir yang dicapai sekali untuk selamanya,
melainkan sebagai hasil sementara dari usaha manusia dalam mengelola dunia dan
kehidupannya.¹⁴
Footnotes
[1]               
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 4–7.
[2]               
Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question
(Oxford: Blackwell, 1995), 20–23.
[3]               
Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge,
1985), 113–20.
[4]               
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.
[5]               
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular
Science Monthly 12 (1878): 286–302.
[6]               
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 78–83.
[7]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 8–10.
[8]               
William James, The Meaning of Truth (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.
[9]               
Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism,
Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–30.
[10]            
Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science
Monthly 12 (1877): 1–15.
[11]            
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
12–16.
[12]            
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 144–58.
[13]            
Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[14]            
Misak, The American Pragmatists, 189–93.
3.          
Sejarah Perkembangan
Teori Pragmatis
Teori pragmatis tentang kebenaran lahir
dari tradisi filsafat Pragmatisme Amerika pada akhir abad ke-19. Aliran
ini muncul sebagai reaksi terhadap rasionalisme yang dianggap terlalu
spekulatif, serta empirisme yang dianggap terlalu sempit dalam menilai
pengalaman.¹ Dengan menggabungkan penekanan pada pengalaman, tindakan, dan
konsekuensi praktis, pragmatisme menawarkan kerangka filsafat yang menilai
kebenaran berdasarkan efektivitas ide dalam mengarahkan tindakan dan
menyelesaikan masalah.
3.1.      
Charles Sanders
Peirce: Fondasi Awal
Charles S. Peirce (1839–1914) dianggap
sebagai bapak pragmatisme. Dalam esainya “The Fixation of Belief” (1877)
dan “How to Make Our Ideas Clear” (1878), Peirce mengemukakan bahwa
makna suatu konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dipikirkan dari
penerapannya.² Rumusan ini dikenal sebagai pragmatic maxim. Menurut
Peirce, kebenaran adalah keyakinan yang akan disepakati oleh komunitas peneliti
pada “akhir penyelidikan” bila dilakukan dengan metode ilmiah yang
tepat.³ Dengan demikian, kebenaran memiliki karakter komunal, fallibilis,
dan regulatif: ia tidak pernah sepenuhnya tercapai, tetapi berfungsi
sebagai tujuan ideal dari penyelidikan rasional.⁴
3.2.      
William James:
Popularisasi dan Dimensi Psikologis
William James (1842–1910) adalah tokoh
yang mempopulerkan istilah “pragmatisme” ke khalayak luas melalui karyanya Pragmatism:
A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907). James menekankan bahwa
kebenaran bersifat dinamis: “Kebenaran adalah apa saja yang terbukti
bermanfaat bagi pikiran kita untuk dipercayai.”⁵ Dengan pendekatan ini,
James menekankan dimensi psikologis dan eksistensial dari keyakinan. Suatu
gagasan disebut benar bukan hanya karena koheren dengan sistem lain, melainkan
karena “berfungsi” dalam kehidupan manusia, menolong individu menavigasi
pengalaman, dan menghadapi tantangan praktis.⁶
Meskipun pandangan James membantu
menyebarluaskan pragmatisme, ia juga menuai kritik karena dianggap terlalu
subjektif atau relativistik, seakan-akan kebenaran bisa direduksi menjadi “apa
yang berguna bagi seseorang.”⁷ Namun, James sendiri menegaskan bahwa
kegunaan yang dimaksud adalah verifikasi dalam pengalaman jangka panjang,
bukan sekadar manfaat sesaat.⁸
3.3.      
John Dewey:
Pragmatisme sebagai Instrumentalisme
John Dewey (1859–1952) mengembangkan
pragmatisme menjadi filsafat sosial, politik, dan pendidikan. Dalam Logic:
The Theory of Inquiry (1938), Dewey menekankan bahwa kebenaran adalah hasil
dari proses penyelidikan (inquiry) yang berfungsi sebagai instrumen
untuk memecahkan masalah.⁹ Ia menyebut pendekatannya sebagai instrumentalisme,
yakni gagasan bahwa konsep, teori, dan keyakinan adalah alat untuk menata
pengalaman dan menciptakan tatanan yang lebih baik.¹⁰
Dalam konteks pendidikan, Dewey
menekankan bahwa pengetahuan tidak boleh dipandang sebagai kumpulan fakta
statis, melainkan sebagai hasil interaksi aktif antara individu dan
lingkungannya.¹¹ Kebenaran, dalam pandangan ini, harus dilihat sebagai produk
kolaborasi sosial dan demokratis, sehingga pragmatisme berakar erat dengan
nilai-nilai partisipatif dalam masyarakat modern.¹²
3.4.      
Perkembangan Abad
ke-20 dan Kontemporer
Setelah era klasik Peirce, James, dan
Dewey, pragmatisme mengalami revitalisasi pada abad ke-20. C. I. Lewis
mengembangkan conceptual pragmatism, menekankan peran kerangka
konseptual dalam membentuk pengalaman.¹³ Hilary Putnam kemudian
mengusulkan internal realism, suatu usaha mendamaikan antara keberadaan
dunia independen dan peran kerangka konseptual dalam memahami kebenaran.¹⁴
Di sisi lain, Richard Rorty
mengembangkan “neo-pragmatisme” yang lebih radikal, menolak gagasan
kebenaran sebagai representasi realitas. Rorty menekankan solidaritas sosial
dan percakapan budaya sebagai pengganti aspirasi tradisional menuju “kebenaran
objektif.”¹⁵ Meskipun memicu kritik karena dianggap mengaburkan batas
antara kebenaran dan opini, kontribusi Rorty menghidupkan kembali minat
terhadap pragmatisme dalam filsafat kontemporer.¹⁶
Dengan demikian, sejarah teori
pragmatis tentang kebenaran menunjukkan evolusi yang dinamis: dari fondasi
Peirce yang menekankan penyelidikan ilmiah, popularisasi James dengan penekanan
pada fungsi praktis keyakinan, hingga instrumentalisme Dewey yang menghubungkan
kebenaran dengan demokrasi dan pendidikan, serta pengembangan kontemporer yang
membuka ruang dialog dengan filsafat analitik maupun postmodernisme.
Footnotes
[1]               
John R. Shook, Pragmatism: An Annotated
Bibliography, 1898–1940 (Amsterdam: Rodopi, 1998), xv–xviii.
[2]               
Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular
Science Monthly 12 (1877): 1–15; Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas
Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302.
[3]               
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 78–83.
[4]               
Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge,
1985), 113–20.
[5]               
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.
[6]               
William James, The Meaning of Truth (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.
[7]               
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.
[8]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 166–70.
[9]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.
[10]            
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 14–18.
[11]            
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 144–58.
[12]            
Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism,
Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.
[13]            
Clarence I. Lewis, Mind and the World Order: Outline
of a Theory of Knowledge (New York: Dover, 1929), 21–27.
[14]            
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[15]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94.
[16]            
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 180–92.
4.          
Landasan Filosofis
dan Epistemologis
4.1.      
Dasar Ontologis:
Realitas, Pengalaman, dan Tindakan
Pragmatisme meletakkan kebenaran dalam
kaitan erat dengan pengalaman manusia. Ontologi pragmatis tidak memahami
realitas sebagai sesuatu yang sepenuhnya independen dari subjek, tetapi juga
tidak jatuh pada konstruktivisme subjektif. Menurut Peirce, realitas adalah “objek
akhir dari opini yang akan disepakati” dalam penyelidikan yang tak
terbatas, sehingga realitas dipahami sebagai sesuatu yang independent of
what you or I may think, tetapi hanya dapat diakses melalui proses kolektif
penyelidikan.¹ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak lepas dari keterlibatan
manusia dalam proses eksplorasi, percobaan, dan koreksi.
James menambahkan dimensi
psikologis-eksistensial: pengalaman manusia merupakan arena tempat gagasan
diuji.² Suatu proposisi disebut benar apabila ia “berfungsi” dalam
pengalaman itu, artinya, mampu menavigasi problem dan menghasilkan hasil yang
memuaskan secara praktis. Dengan demikian, dasar ontologis pragmatisme adalah
pandangan bahwa realitas dan ide tidak berdiri dalam oposisi kaku, melainkan
saling terikat melalui tindakan manusia di dunia.³
4.2.      
Epistemologi
Pragmatis: Pengetahuan sebagai Proses Penyelidikan
Pragmatisme menolak pandangan
tradisional bahwa pengetahuan adalah representasi statis dari fakta. Bagi
Dewey, pengetahuan adalah hasil dari penyelidikan (inquiry) yang
bersifat problem-solver: kita berpengetahuan sejauh kita mampu mengatasi
situasi problematis dengan alat konseptual dan tindakan eksperimental.⁴
Penyelidikan bukan sekadar kegiatan teoritis, tetapi aktivitas praktis yang
melibatkan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Dengan demikian, kebenaran menurut
pragmatisme tidak semata-mata dicapai melalui deduksi logis atau korespondensi
langsung dengan fakta, tetapi melalui siklus hipotesis → eksperimen → hasil
→ revisi.⁵ Mekanisme ini menegaskan bahwa kebenaran bersifat fallibilis:
selalu mungkin direvisi jika bukti atau pengalaman baru menuntut perubahan.⁶
4.3.      
Dimensi
Intersubjektif: Komunitas Peneliti dan Rasionalitas Publik
Pragmatisme menekankan dimensi sosial
dari epistemologi. Bagi Peirce, kebenaran adalah hasil yang akan dicapai komunitas
penyelidik ilmiah di “akhir penyelidikan.”⁷ Oleh karena itu, klaim
kebenaran tidak diverifikasi secara individual, melainkan melalui uji
intersubjektif dalam komunitas yang rasional dan terbuka. Hal ini
menegaskan bahwa epistemologi pragmatis berakar pada norma publisitas,
keterbukaan, dan kritik timbal balik.⁸
Dewey memperluas ide ini dalam konteks
demokrasi: kebenaran bukan hanya hasil kerja laboratorium, tetapi juga terwujud
dalam komunitas demokratis yang mendorong partisipasi, diskusi, dan
refleksi kritis.⁹ Epistemologi pragmatis dengan demikian berhubungan erat
dengan filsafat sosial dan politik, karena kebenaran dipandang sebagai sesuatu
yang tumbuh melalui komunikasi publik dan kerjasama sosial.
4.4.      
Relasi dengan
Tradisi Filosofis Lain
Secara filosofis, pragmatisme meminjam
dari empirisme (penekanan pada pengalaman), tetapi menolak empirisme pasif yang
melihat pikiran sebagai “cermin alam.”¹⁰ Ia juga mengambil pelajaran
dari idealisme (peran aktif subjek), tetapi menghindari kecenderungan
spekulatif yang menjauh dari praktik.¹¹ Dengan demikian, epistemologi pragmatis
merupakan jalan tengah antara empirisme klasik dan idealisme Jerman, sekaligus
membuka jalan bagi filsafat analitik maupun post-positivisme.
Hilary Putnam, dalam internal
realism, berusaha memperbarui kerangka pragmatis dengan menyatakan bahwa
kebenaran adalah “idealized rational acceptability”: klaim benar sejauh
ia akan diterima dalam kondisi rasional ideal, bukan sekadar karena
korespondensi metafisik.¹² Dengan demikian, pragmatisme tetap berakar pada
filsafat klasik tetapi terus diperbarui agar relevan dengan tantangan
epistemologi kontemporer.
Signifikansi Landasan Filosofis dan Epistemologis
Landasan filosofis dan epistemologis
teori pragmatis menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang final dan
absolut, tetapi bersifat prosesual, sosial, dan normatif. Ia tidak hanya
menyangkut korespondensi dengan fakta, melainkan juga kapasitas klaim untuk
diuji, dikritik, dan dipraktikkan dalam kerangka kolektif manusia. Pemahaman
ini menjadikan teori pragmatis relevan dalam menghadapi dunia yang terus
berubah, di mana pengetahuan harus selalu terbuka untuk perbaikan dan
adaptasi.¹³
Footnotes
[1]               
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular
Science Monthly 12 (1878): 286–302.
[2]               
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 97–106.
[3]               
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean
Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16–22.
[4]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.
[5]               
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 14–18.
[6]               
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
12–16.
[7]               
Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science
Monthly 12 (1877): 1–15.
[8]               
Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge,
1985), 113–20.
[9]               
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 144–58.
[10]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 119–28.
[11]            
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[12]            
Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question
(Oxford: Blackwell, 1995), 20–23.
[13]            
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 193–207.
5.          
Kritik terhadap
Teori Pragmatis
Meskipun teori pragmatis tentang
kebenaran memberikan kontribusi penting dalam memperluas horizon filsafat,
teori ini tidak lepas dari kritik. Berbagai aliran filsafat—mulai dari teori
korespondensi, koherensi, hingga pendekatan realisme kontemporer—menyoroti
sejumlah kelemahan konseptual dan implikasi praktis dari pandangan pragmatis.
Kritik-kritik ini dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek utama: relativisme,
reduksionisme, subjektivisme, dan problem korespondensi.
5.1.      
Tuduhan Relativisme
Salah satu kritik paling sering
diarahkan kepada pragmatisme adalah tuduhan relativisme. Jika kebenaran
diartikan sebagai “apa yang berguna,” maka standar kebenaran akan
berbeda bagi setiap individu atau kelompok, bergantung pada kepentingan praktis
yang mereka anggap relevan.¹ Hal ini berpotensi menjadikan kebenaran tidak
lebih dari preferensi pribadi atau konsensus sementara. Susan Haack menegaskan
bahwa pengertian kebenaran dalam pragmatisme Jamesian terlalu elastis sehingga
membuka ruang bagi kesalahpahaman bahwa “apa pun bisa dianggap benar selama berguna
bagi seseorang.”²
Namun, para pragmatis menanggapi kritik
ini dengan menekankan bahwa kegunaan yang dimaksud bukanlah manfaat sesaat,
melainkan hasil yang bertahan dalam jangka panjang setelah melalui penyelidikan
dan verifikasi yang serius.³ Peirce, misalnya, menolak relativisme murni dengan
menegaskan bahwa kebenaran adalah keyakinan yang akan dicapai oleh
komunitas peneliti yang kompeten pada akhir penyelidikan tanpa batas.⁴
5.2.      
Kritik dari Teori
Korespondensi
Pendukung teori korespondensi menilai
bahwa pragmatisme gagal menjelaskan hubungan antara proposisi dan realitas
eksternal. Menurut mereka, suatu klaim dapat saja “berfungsi” dalam
praktik, tetapi tidak berarti klaim itu benar secara ontologis.⁵ Misalnya, keyakinan
mitologis tertentu mungkin “berguna” bagi kohesi sosial suatu
masyarakat, tetapi tidak koresponden dengan realitas empiris. Kritik ini
menunjukkan bahwa pragmatisme berisiko mengaburkan perbedaan antara fakta
dan kegunaan sosial.⁶
5.3.      
Kritik dari Teori
Koherensi
Teori koherensi mengkritik pragmatisme
karena dianggap terlalu fokus pada konsekuensi praktis sehingga mengabaikan
pentingnya konsistensi logis dalam sistem keyakinan.⁷ Bagi para koherensian,
sebuah gagasan bisa saja tampak berguna dalam jangka pendek, tetapi tanpa
konsistensi internal dalam sistem pengetahuan, ia tidak bisa dipertahankan
sebagai “kebenaran” yang sahih. Hal ini dianggap sebagai kelemahan
pragmatisme yang cenderung menomorduakan peran struktur rasional dalam
pengetahuan.⁸
5.4.      
Problem
Subjektivitas dan Psikologisme
Dimensi psikologis yang ditekankan
William James dalam memaknai kebenaran juga menuai kritik. Bertrand Russell,
misalnya, berpendapat bahwa pemahaman James membuat kebenaran seakan-akan
bergantung pada perasaan puas atau manfaat psikologis dari sebuah keyakinan,
alih-alih pada kesesuaian dengan fakta.⁹ Russell menilai bahwa pendekatan ini
rentan jatuh pada psikologisme, di mana kebenaran direduksi menjadi
pengalaman subjektif individu.¹⁰
5.5.      
Kritik dari
Perspektif Realisme Kontemporer
Dalam filsafat analitik kontemporer,
Hilary Putnam dan lain-lain menilai bahwa pragmatisme berisiko melunturkan
objektivitas kebenaran.¹¹ Jika kebenaran hanya dilihat sebagai apa yang “akan
diterima” dalam komunitas tertentu, maka muncul pertanyaan: bagaimana
membedakan antara klaim yang benar dan klaim yang sekadar diterima karena
dominasi sosial, politik, atau retorika?¹² Kritik ini relevan dalam konteks
post-truth, di mana klaim populer atau “berguna” secara politis kerap
disamakan dengan kebenaran.
5.6.      
Tanggapan
Pragmatistis
Para pembela pragmatisme berusaha
menjawab kritik-kritik tersebut. Pertama, mereka menegaskan bahwa pragmatisme
tidak identik dengan relativisme, karena tetap menuntut uji publik,
rasionalitas, dan verifikasi empiris.¹³ Kedua, pragmatisme tidak menolak
korespondensi atau koherensi, melainkan menafsirkannya dalam kerangka yang
lebih dinamis: korespondensi dan koherensi adalah aspek yang diuji dalam
pengalaman praktis.¹⁴ Ketiga, pragmatisme mengingatkan bahwa kebenaran bukan
sekadar deskripsi statis tentang realitas, tetapi harus dipahami dalam
kaitannya dengan fungsi pengetahuan dalam memecahkan masalah manusia.¹⁵
Signifikansi Kritik
Kritik-kritik tersebut penting karena
menunjukkan bahwa pragmatisme bukan teori yang sempurna dan bebas masalah.
Namun, perdebatan ini justru menegaskan vitalitas teori pragmatis: ia terus
memicu diskusi tentang sifat kebenaran, hubungan antara fakta dan nilai, serta
peran komunitas ilmiah dalam membentuk pengetahuan. Pada titik ini, pragmatisme
dapat dipandang bukan sebagai pengganti total teori lain, melainkan sebagai
perspektif korektif yang memperkaya perdebatan filosofis.¹⁶
Footnotes
[1]               
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 166–70.
[2]               
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
12–16.
[3]               
William James, The Meaning of Truth (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.
[4]               
Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular
Science Monthly 12 (1877): 1–15.
[5]               
Bertrand Russell, Philosophical Essays (London:
Longmans, Green and Co., 1910), 134–38.
[6]               
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.
[7]               
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 55–60.
[8]               
Laurence BonJour, The Structure of Empirical
Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 91–95.
[9]               
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), 812–14.
[10]            
Russell, Philosophical Essays, 136.
[11]            
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[12]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94.
[13]            
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 189–93.
[14]            
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 170–77.
[15]            
James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of
Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.
[16]            
Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism,
Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.
6.          
Relevansi
Kontemporer
6.1.      
Teori Pragmatis
dalam Filsafat Ilmu
Dalam filsafat ilmu kontemporer, teori
pragmatis kembali mendapatkan perhatian karena menawarkan kerangka yang sesuai
dengan praktik ilmiah modern. Ilmu pengetahuan kini dipandang bukan sebagai
sistem proposisi yang benar secara absolut, tetapi sebagai proses
penyelidikan yang bersifat fallibilis dan terbuka bagi revisi.¹ Pandangan
ini selaras dengan konsep pragmatis bahwa kebenaran harus diverifikasi melalui
eksperimen, publikasi, kritik, dan replikasi.² Hilary Putnam menekankan bahwa
kebenaran dalam sains sebaiknya dipahami sebagai “idealized rational
acceptability”—yakni klaim yang akan diterima di bawah kondisi penyelidikan
rasional yang ideal.³ Dengan demikian, pragmatisme membantu memosisikan sains
bukan sekadar pencarian representasi pasif atas dunia, melainkan sebagai
aktivitas eksperimental yang memadukan teori dan praktik.
6.2.      
Relevansi dalam
Pendidikan
Pemikiran John Dewey tentang kebenaran
sebagai hasil proses inquiry memberi pengaruh besar dalam teori
pendidikan kontemporer. Dewey mengusulkan bahwa belajar bukanlah transmisi
pengetahuan statis, melainkan aktivitas partisipatif di mana siswa berperan
aktif dalam menyelidiki, menguji, dan merevisi pemahaman mereka.⁴ Prinsip “learning
by doing” yang dikembangkan Dewey tetap menjadi landasan pedagogis dalam
berbagai sistem pendidikan modern.⁵ Dalam konteks Kurikulum abad ke-21 yang
menekankan kreativitas, kolaborasi, berpikir kritis, dan komunikasi, pragmatisme
memberi dasar filosofis bagi pembelajaran berbasis proyek, penelitian, dan
pemecahan masalah nyata.⁶
6.3.      
Relevansi dalam
Politik dan Demokrasi
Pragmatisme juga memiliki relevansi
dalam teori politik dan demokrasi. Dewey menghubungkan kebenaran dengan kehidupan
demokratis melalui konsep “public inquiry.”⁷ Dalam masyarakat yang
sehat, klaim kebenaran tidak ditentukan oleh otoritas tunggal, melainkan diuji
melalui diskursus publik, partisipasi warga, dan musyawarah demokratis.⁸
Pandangan ini sangat penting dalam era kontemporer, di mana pluralitas
pandangan dan akses informasi yang luas menuntut adanya norma publik dalam
menguji klaim kebenaran. Robert Talisse menekankan bahwa demokrasi berfungsi
sebagai “laboratorium sosial” di mana klaim pengetahuan diuji melalui
debat rasional.⁹
6.4.      
Teori Pragmatis
dalam Era Digital dan Post-Truth
Di tengah fenomena “post-truth”
dan disinformasi digital, teori pragmatis menghadirkan kerangka kritis. Dalam
ruang publik yang dipenuhi berita palsu, teori pragmatis mengingatkan bahwa
klaim kebenaran tidak cukup dinilai dari popularitas atau daya tarik
emosionalnya, tetapi dari daya uji publik dan ketahanannya dalam jangka
panjang terhadap verifikasi kolektif.¹⁰ Cheryl Misak menegaskan bahwa
pragmatisme menolak menyamakan kebenaran dengan sekadar penerimaan sosial,
karena standar kebenaran tetap harus normatif: diuji dengan alasan, bukti, dan
metode penyelidikan yang sah.¹¹ Dalam konteks digital, ini berarti
mengedepankan literasi kritis, verifikasi faktual, dan diskusi terbuka sebagai
sarana melawan manipulasi informasi.
6.5.      
Dimensi Etis dan
Sosial
Pragmatisme juga relevan dalam ranah
etika kontemporer. Dengan menekankan hubungan erat antara pengetahuan dan
tindakan, teori pragmatis menyoroti bahwa setiap klaim kebenaran membawa
implikasi etis dan sosial.¹² Dalam konteks bioetika, lingkungan, dan keadilan
sosial, kebenaran pragmatis menuntut kita untuk menilai apakah klaim tertentu
benar-benar berfungsi memajukan kehidupan manusia, memperkuat solidaritas,
serta menjaga keberlanjutan dunia.¹³ Dengan demikian, pragmatisme memberi
jembatan antara epistemologi, etika, dan praksis sosial.
Refleksi Kontemporer
Relevansi teori pragmatis pada era
kontemporer terletak pada kemampuannya mengintegrasikan dimensi epistemik
dan praktis. Ia menawarkan alternatif terhadap absolutisme epistemologis di
satu sisi, dan relativisme postmodern di sisi lain.¹⁴ Dengan menekankan
penyelidikan terbuka, keterlibatan komunitas, dan orientasi pemecahan masalah,
pragmatisme tetap menjadi teori kebenaran yang hidup, yang mampu menjawab
tantangan pendidikan, politik, sains, dan masyarakat digital.¹⁵
Footnotes
[1]               
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 189–93.
[2]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938;
Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.
[3]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[4]               
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 144–58.
[5]               
Dewey, Experience and Education (New York:
Macmillan, 1938), 33–42.
[6]               
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2016), 82–88.
[7]               
John Dewey, The Public and Its Problems
(Chicago: Swallow Press, 1927), 66–72.
[8]               
Robert B. Talisse, Democracy and Moral Conflict
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 22–29.
[9]               
Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and
the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 41–55.
[10]            
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and
Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 15–22.
[11]            
Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean
Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.
[12]            
James Campbell, Understanding John Dewey (Peru,
IL: Open Court, 1995), 117–25.
[13]            
Larry A. Hickman, John Dewey’s Pragmatic Technology
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 146–55.
[14]            
Richard Rorty, Philosophy and Social Hope
(London: Penguin, 1999), 22–29.
[15]            
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
191–97.
7.          
Penutup
Teori pragmatis tentang kebenaran
menegaskan bahwa kebenaran bukanlah entitas statis yang ada di luar jangkauan
manusia, melainkan hasil dari proses penyelidikan, verifikasi, dan praktik yang
berkelanjutan. Sejak perumusan awal oleh Charles S. Peirce melalui pragmatic
maxim, pragmatisme telah berupaya memposisikan kebenaran sebagai tujuan
regulatif dari komunitas penyelidik yang rasional.¹ William James kemudian
mempopulerkannya dengan menekankan dimensi praktis dan eksistensial dari
keyakinan, sementara John Dewey memperluas cakupan pragmatisme hingga ranah
sosial, politik, dan pendidikan melalui instrumentalisme.²
Dari tinjauan konseptual, teori ini
menyoroti empat ciri utama: kebenaran bersifat dinamis, fungsional,
intersubjektif, dan fallibilis.³ Aspek-aspek tersebut membedakannya dari teori
lain—seperti korespondensi yang menekankan kesesuaian proposisi dengan fakta,
atau koherensi yang menekankan konsistensi internal. Kritik yang datang dari
berbagai arah—mulai dari tuduhan relativisme, problem subjektivitas, hingga
kesulitan menjelaskan korespondensi dengan realitas eksternal—menunjukkan
kompleksitas sekaligus keterbatasan pragmatisme.⁴ Namun, tanggapan para
pragmatis menekankan bahwa kegunaan yang dimaksud tidak bersifat seketika atau
semata-mata individual, melainkan kegunaan jangka panjang yang telah diuji
secara publik dan rasional.⁵
Secara historis dan filosofis,
pragmatisme berhasil memberikan alternatif terhadap dikotomi kaku antara
empirisme dan idealisme. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya
merepresentasikan realitas, melainkan juga berfungsi sebagai alat untuk
mengubah kondisi problematis menjadi lebih teratur.⁶ Dengan demikian,
pragmatisme menampilkan epistemologi yang bersifat praksis, yang
mengintegrasikan teori dan tindakan.
Relevansi kontemporer teori ini semakin
nyata dalam berbagai ranah. Dalam filsafat ilmu, pragmatisme meneguhkan sifat
fallibilis dari sains dan membuka ruang bagi revisi terus-menerus.⁷ Dalam
pendidikan, prinsip learning by doing yang dipelopori Dewey masih
menjadi pilar penting dalam pembelajaran abad ke-21.⁸ Dalam ranah politik dan
demokrasi, pragmatisme menggarisbawahi pentingnya diskursus publik dan
partisipasi warga dalam menguji klaim kebenaran.⁹ Bahkan dalam konteks era
digital yang ditandai fenomena “post-truth”, pragmatisme mengingatkan
bahwa kebenaran tetap harus diuji dengan norma publik, bukti, dan verifikasi
kolektif, bukan sekadar popularitas atau kepentingan politik sesaat.¹⁰
Akhirnya, meskipun tidak bebas dari
kelemahan, teori pragmatis tentang kebenaran tetap memiliki nilai filosofis dan
praktis yang signifikan. Ia membantu memahami kebenaran sebagai konsep yang
hidup—bukan hanya sekadar korespondensi dengan fakta, melainkan juga instrumen
bagi kehidupan manusia untuk berkembang.¹¹ Dengan karakter terbuka, fallibilis,
dan dialogis, pragmatisme tetap relevan sebagai fondasi epistemologis dalam
menghadapi kompleksitas zaman, sekaligus menawarkan jembatan antara teori dan
praksis, antara pengetahuan dan kehidupan.¹²
Footnotes
[1]               
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular
Science Monthly 12 (1878): 286–302.
[2]               
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 97–106; John Dewey, Logic:
The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University
Press, 1991), 1–10.
[3]               
Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 4–7.
[4]               
Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist
Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009),
12–16.
[5]               
James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 42–49.
[6]               
Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open
Court, 1925), 14–18.
[7]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.
[8]               
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 144–58.
[9]               
Robert B. Talisse, Democracy and Moral Conflict
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 22–29.
[10]            
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.
[11]            
Richard Rorty, Philosophy and Social Hope
(London: Penguin, 1999), 22–29.
[12]            
Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism,
Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 41–55.
Daftar Pustaka
BonJour, L. (1985). The structure
of empirical knowledge. Harvard University Press.
Campbell, J. (1995). Understanding
John Dewey. Open Court.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education. Macmillan.
Dewey, J. (1925). Experience and
nature. Open Court.
Dewey, J. (1938). Logic: The
theory of inquiry. Southern Illinois University Press.
Dewey, J. (1938). Experience and
education. Macmillan.
Dewey, J. (1927). The public and
its problems. Swallow Press.
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Haack, S. (2009). Evidence and
inquiry: A pragmatist reconstruction of epistemology (2nd ed.). Prometheus.
Haack, S. (1993). Vulgar pragmatism:
An unedifying prospect. In Evidence and inquiry (pp. 161–180).
Prometheus.
Hickman, L. A. (1990). John
Dewey’s pragmatic technology. Indiana University Press.
Hookway, C. (1985). Peirce.
Routledge.
James, W. (1975). The meaning of
truth. Harvard University Press.
James, W. (1981). Pragmatism: A
new name for some old ways of thinking. Hackett. (Original work published
1907)
Keyes, R. (2004). The post-truth
era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.
Lewis, C. I. (1929). Mind and the
world order: Outline of a theory of knowledge. Dover.
Misak, C. (2004). Truth and the
end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford University Press.
Misak, C. (2013). The American
pragmatists. Oxford University Press.
Noddings, N. (2016). Philosophy of
education (4th ed.). Westview Press.
Peirce, C. S. (1877). The fixation of
belief. Popular Science Monthly, 12, 1–15.
Peirce, C. S. (1878). How to make our
ideas clear. Popular Science Monthly, 12, 286–302.
Putnam, H. (1981). Reason, truth
and history. Cambridge University Press.
Putnam, H. (1995). Pragmatism: An
open question. Blackwell.
Rescher, N. (1973). The coherence
theory of truth. Clarendon Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and
the mirror of nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1999). Philosophy and
social hope. Penguin.
Russell, B. (1910). Philosophical
essays. Longmans, Green and Co.
Russell, B. (1945). A history of
Western philosophy. Simon & Schuster.
Shook, J. R. (1998). Pragmatism:
An annotated bibliography, 1898–1940. Rodopi.
Talisse, R. B. (2009). Democracy
and moral conflict. Cambridge University Press.
Talisse, R. B., & Aikin, S.
(2012). Pragmatism, pluralism, and the nature of philosophy. Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar