Senin, 06 Oktober 2025

Teori Pragmatis: Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi

Teori Pragmatis

Konsep, Sejarah, Kritik, dan Relevansi


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas teori pragmatis tentang kebenaran sebagai salah satu pendekatan penting dalam filsafat modern. Teori ini menempatkan kebenaran bukan sebagai entitas statis yang berdiri terpisah dari manusia, melainkan sebagai hasil dari proses penyelidikan, verifikasi, dan pengalaman praktis. Sejak perumusan awal oleh Charles S. Peirce dengan pragmatic maxim, pragmatisme telah berkembang melalui popularisasi William James yang menekankan dimensi fungsional dan psikologis, serta John Dewey yang memperluasnya ke ranah pendidikan, politik, dan demokrasi dengan pendekatan instrumentalisme.

Pembahasan artikel ini mencakup lima aspek utama. Pertama, konsep dasar teori pragmatis yang menekankan sifat kebenaran yang dinamis, fungsional, intersubjektif, dan fallibilis. Kedua, sejarah perkembangan teori dari Peirce, James, Dewey hingga pengembangan kontemporer oleh Hilary Putnam dan Richard Rorty. Ketiga, landasan filosofis dan epistemologis pragmatisme yang berakar pada pengalaman, tindakan, dan komunitas penyelidikan. Keempat, kritik utama terhadap teori ini, antara lain tuduhan relativisme, problem subjektivitas, dan kesulitan menjelaskan korespondensi dengan realitas eksternal. Kelima, relevansi kontemporer pragmatisme dalam filsafat ilmu, pendidikan abad ke-21, politik demokratis, serta tantangan era digital dan post-truth.

Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun tidak lepas dari kritik, teori pragmatis tetap memiliki kontribusi signifikan dalam memahami kebenaran sebagai konsep yang hidup, terbuka, dan berorientasi pada pemecahan masalah. Dengan menekankan peran komunitas, verifikasi publik, dan fungsi praktis pengetahuan, pragmatisme menawarkan kerangka yang relevan bagi perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial kontemporer.

Kata Kunci: Pragmatisme; Kebenaran; Charles S. Peirce; William James; John Dewey; Epistemologi; Post-truth; Demokrasi.


PEMBAHASAN

Teori Pragmatis tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang apa itu kebenaran merupakan tema pusat filsafat sejak awal tradisi Barat. Beragam teori—korespondensi, koherensi, konsensus, deflasi, dan konstruktivisme—menawarkan kriteria yang berbeda untuk menilai klaim kebenaran. Di dalam lanskap itu, teori pragmatis menonjol karena mengaitkan kebenaran dengan keberhasilan praktis penyelidikan: suatu keyakinan disebut “benar” sejauh ia bekerja—yakni, sejauh ia bertahan dari pengujian, memandu tindakan secara efektif, dan mendukung pemecahan masalah nyata dalam jangka panjang.¹ Orientasi ini tidak sekadar mereduksi kebenaran menjadi “manfaat sesaat”, melainkan menempatkannya dalam proses penyelidikan yang bertanggung jawab yang terbuka terhadap koreksi dan perbaikan seiring pengalaman bertambah.²

Akar historis pragmatisme umumnya dirunut kepada Charles S. Peirce, yang merumuskan pragmatic maxim: arti sebuah gagasan terletak pada konsekuensi praktis yang terbayangkan bagi pengalaman dan tindakan.³ Peirce mengaitkan kebenaran dengan “batas ideal” dari penyelidikan—yakni, keyakinan yang akan disepakati oleh komunitas peneliti yang kompeten pada akhir penyelidikan bila penyelidikan dilanjutkan tanpa batas dengan metode yang tepat.⁴ William James lantas mempopulerkan pragmatisme dengan menekankan dimensi psikologis dan eksistensial dari kepercayaan yang “berfungsi” dalam kehidupan manusia, seraya mempertahankan bahwa kebenaran bersifat verifikasionis-dinamis: klaim menjadi benar sejauh teruji, terkonfirmasi, dan terus menguntungkan praktik.⁵ John Dewey memperluasnya ke pedagogi, politik, dan filsafat ilmu, memandang kebenaran sebagai produk penyelidikan instrumental (inquiry) yang secara berkelanjutan merekonstruksi masalah-masalah manusia—bukan sebagai korespondensi statis dengan “fakta” terlepas dari praktik.⁶

Dalam perkembangan abad ke-20 dan sesudahnya, pragmatisme berinteraksi—kadang bersitegang—dengan arus besar lain seperti realisme ilmiah, positivisme logis, dan analitik pasca-linguistik. Hilary Putnam mengembangkan gagasan realisme internal, berupaya menengahi antara kebertataan dunia dan peran skema konseptual serta praktik penalaran dalam membentuk kebenaran.⁷ Richard Rorty menafsirkan pragmatisme secara anti-fundasionalis, menggeser fokus dari representasi menuju solidaritas dan percakapan budaya, namun pembacaan ini memicu kritik karena diduga menyamarkan perbedaan antara “kebenaran” dan “keberterimaan sosial”.⁸ Di sisi lain, pembela “pragmatisme penyelidikan” menekankan bahwa standar kebenaran tetap normatif: bukti, alasan, dan uji publikitas ilmiah tidak dapat direduksi menjadi preferensi komunitas belaka.⁹

Secara konseptual, teori pragmatis menantang dikotomi tajam antara fakta dan nilai. Dalam sains, misalnya, pilihan model, standar bukti, dan tolok ukur keberhasilan kerap memadukan pertimbangan epistemik (akurasional, prediktif) dengan pertimbangan praktis (keterterapannya untuk intervensi). Kerangka pragmatis menampung dinamika ini dengan memahami kebenaran sebagai hasil kerja bersama antara hipotesis, eksperimen, dan revisi berulang dalam konteks pemecahan masalah.¹⁰ Pandangan ini menyiratkan bahwa evaluasi kebenaran menuntut kita menilai kinerja klaim dalam jaringan praktik: apakah ia mampu menjelaskan, meramalkan, mengintegrasikan bukti baru, dan memandu tindakan yang berhasil dalam jangka panjang.¹¹

Dari sisi metodologis, pendekatan pragmatis menghadirkan dua implikasi. Pertama, kebenaran bersifat fallibilis: selalu mungkin direvisi ketika bukti dan argumen lebih baik tersedia; namun fallibilisme ini tidak identik dengan relativisme, karena revisi dipandu oleh norma penyelidikan yang ketat—keterbukaan terhadap koreksi, pengujian publik, dan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.¹² Kedua, kriteria kebenaran bersifat inter-subjektif: diuji dalam komunitas praktik melalui diskursus dan eksperimen, bukan ditentukan secara privat oleh “intuisi” atau “korespondensi” yang tak teruji.¹³ Dengan begitu, teori pragmatis menyajikan jembatan antara teori kebenaran dan filsafat ilmu, etika profesi pengetahuan, pedagogi, serta teori demokrasi.

Artikel ini bertujuan: (1) memaparkan konsep dasar teori pragmatis tentang kebenaran; (2) menelusuri sejarah perkembangan dari Peirce, James, hingga Dewey, serta pergeseran kontemporernya; (3) mengajukan analisis kritis atas keberatan yang lazim—misalnya tuduhan relativisme, “mengaburkan” korespondensi, atau menyamakan kebenaran dengan utilitas jangka pendek; dan (4) menunjukkan relevansi kontemporer pragmatisme bagi filsafat ilmu, pendidikan, ruang publik demokratis, serta ekologi informasi era digital. Kerangka ini diharapkan memberikan pemahaman yang seimbang: mengakui kekuatan pragmatisme dalam menjelaskan dinamika kebenaran dalam praktik sekaligus menyadari batas-batasnya.¹⁴

Struktur pembahasan—mulai dari konsep, sejarah, landasan epistemologis, kritik utama, hingga aplikasi—dimaksudkan agar pembaca dapat menilai status epistemik teori pragmatis secara utuh. Dengan menempatkan kebenaran dalam horizon penyelidikan yang berorientasi pemecahan masalah dan terbuka terhadap koreksi, artikel ini mengusulkan bahwa sumbangan khas pragmatisme terletak pada cara ia menyatukan norma rasionalitas dengan keberhasilan praktis tanpa jatuh pada utilitarianisme sempit maupun relativisme budaya.¹⁵


Footnotes

[1]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–6; Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge, 1985), 113–20.

[2]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16–22.

[3]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302; lihat juga Nathan Houser dan Christian Kloesel, eds., The Essential Peirce, vol. 1 (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 124–41.

[4]                Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science Monthly 12 (1877): 1–15; Misak, Truth and the End of Inquiry, 78–83.

[5]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), Lecture VI; William James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.

[6]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10, 104–10; John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[7]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94; Susan Haack, “Vulgar Pragmatism: An Unedifying Prospect,” dalam Evidence and Inquiry (Amherst, NY: Prometheus, 1993), 161–80.

[9]                Misak, The American Pragmatists, 180–92; Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.

[10]             Dewey, Logic: The Theory of Inquiry, 150–69; Putnam, Reason, Truth and History, 123–30.

[11]             James, Pragmatism, Lecture II dan VI; Hookway, Peirce, 121–27.

[12]             Peirce, “The Fixation of Belief”; Misak, Truth and the End of Inquiry, 3–5, 90–98.

[13]             Dewey, Democracy and Education, 81–90; Talisse dan Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy, 41–55.

[14]             Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 5–14; Misak, The American Pragmatists, 193–207.

[15]             James, The Meaning of Truth, 104–12; Dewey, Logic: The Theory of Inquiry, 170–77.


2.           Konsep Dasar Teori Pragmatis

Teori pragmatis tentang kebenaran berangkat dari asumsi bahwa makna dan nilai suatu pernyataan terletak pada konsekuensi praktisnya bagi kehidupan manusia. Alih-alih menempatkan kebenaran sebagai korespondensi pasif antara proposisi dan realitas eksternal, pragmatisme mengusulkan bahwa klaim kebenaran harus diuji melalui fungsi praktis dalam pengalaman dan tindakan.¹ Dengan kata lain, kebenaran bukanlah entitas statis, melainkan hasil dari sebuah proses verifikasi yang berlangsung terus-menerus dalam pengalaman empiris dan sosial.²

2.1.       Definisi Kebenaran dalam Perspektif Pragmatis

Dalam kerangka pragmatis, kebenaran dipahami sebagai apa yang “bekerja” (what works) dalam praktik, yakni suatu keyakinan dianggap benar bila mampu memandu tindakan, memecahkan masalah, dan bertahan dari pengujian pengalaman.³ William James menegaskan bahwa kebenaran adalah “apa saja yang terbukti bermanfaat bagi pikiran kita untuk dipercaya.”⁴ Rumusan ini menekankan dimensi instrumental: klaim atau ide dinilai benar bila dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam navigasi kehidupan manusia.

Charles S. Peirce, yang pertama kali merumuskan prinsip pragmatisme (pragmatic maxim), memandang kebenaran sebagai “opini final” yang akan dicapai oleh komunitas peneliti bila penyelidikan dilanjutkan tanpa batas dengan metode yang tepat.⁵ Definisi ini menekankan sifat fallibilis dan komunal dari kebenaran: setiap keyakinan selalu terbuka untuk koreksi, dan validitasnya ditentukan dalam jangka panjang melalui konsensus ilmiah yang dihasilkan oleh penyelidikan kolektif.⁶

2.2.       Karakteristik Utama Teori Pragmatis

Terdapat beberapa ciri mendasar dari teori pragmatis tentang kebenaran:

·                     Kebenaran bersifat dinamis: tidak tetap dan final, melainkan berkembang sesuai dengan pengalaman baru dan penyelidikan yang berkelanjutan.⁷

·                     Kebenaran bersifat fungsional: nilai kebenaran terletak pada kemampuannya memandu tindakan dan menyelesaikan masalah, bukan sekadar mencerminkan realitas secara representasional.⁸

·                     Kebenaran bersifat intersubjektif: klaim kebenaran tidak dapat diverifikasi secara pribadi, melainkan diuji melalui pengalaman bersama dalam komunitas rasional atau ilmiah.⁹

·                     Kebenaran bersifat fallibilis: semua klaim kebenaran selalu terbuka bagi revisi bila ditemukan bukti atau pengalaman yang lebih kuat.¹⁰

Dengan karakteristik tersebut, teori pragmatis menolak gagasan bahwa kebenaran adalah korespondensi absolut atau koherensi internal semata, melainkan hasil dari proses interaksi antara ide, pengalaman, dan tindakan.

2.3.       Perbedaan dengan Teori Lain

Secara konseptual, teori pragmatis menonjol karena mengalihkan fokus dari hubungan representasi ke fungsi praktis. Jika teori korespondensi menilai benar tidaknya proposisi berdasarkan kecocokannya dengan fakta eksternal, dan teori koherensi menekankan konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan, maka teori pragmatis menekankan nilai kegunaan suatu gagasan dalam praktik.¹¹ Dengan demikian, pragmatisme menegaskan bahwa kebenaran adalah produk dari uji coba (trial and error) dalam pengalaman manusia, bukan hasil refleksi murni yang terpisah dari tindakan.

2.4.       Dimensi Epistemologis

Secara epistemologis, teori pragmatis menekankan keterkaitan erat antara pengetahuan dan aksi. John Dewey memandang bahwa pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu merupakan hasil dari aktivitas penyelidikan yang diarahkan pada pemecahan masalah konkret.¹² Oleh karena itu, kebenaran menurut pragmatisme tidak hanya menyangkut “kesesuaian” dengan realitas, tetapi juga “kekuatan transformasional” suatu gagasan dalam mengubah situasi problematis menjadi kondisi yang lebih stabil dan dapat diatur.¹³


Signifikansi Konseptual

Teori pragmatis tentang kebenaran menawarkan pemahaman yang lebih kontekstual dan operasional terhadap realitas epistemik. Alih-alih mencari kebenaran yang absolut dan final, pragmatisme mendorong pencarian kebenaran sebagai proses yang terbuka, eksperimental, dan selalu siap untuk direvisi. Dalam kerangka ini, kebenaran tidak lagi dipahami sebagai tujuan akhir yang dicapai sekali untuk selamanya, melainkan sebagai hasil sementara dari usaha manusia dalam mengelola dunia dan kehidupannya.¹⁴


Footnotes

[1]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 4–7.

[2]                Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford: Blackwell, 1995), 20–23.

[3]                Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge, 1985), 113–20.

[4]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.

[5]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302.

[6]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 78–83.

[7]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 8–10.

[8]                William James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.

[9]                Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–30.

[10]             Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science Monthly 12 (1877): 1–15.

[11]             Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.

[12]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[13]             Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[14]             Misak, The American Pragmatists, 189–93.


3.           Sejarah Perkembangan Teori Pragmatis

Teori pragmatis tentang kebenaran lahir dari tradisi filsafat Pragmatisme Amerika pada akhir abad ke-19. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap rasionalisme yang dianggap terlalu spekulatif, serta empirisme yang dianggap terlalu sempit dalam menilai pengalaman.¹ Dengan menggabungkan penekanan pada pengalaman, tindakan, dan konsekuensi praktis, pragmatisme menawarkan kerangka filsafat yang menilai kebenaran berdasarkan efektivitas ide dalam mengarahkan tindakan dan menyelesaikan masalah.

3.1.       Charles Sanders Peirce: Fondasi Awal

Charles S. Peirce (1839–1914) dianggap sebagai bapak pragmatisme. Dalam esainya “The Fixation of Belief” (1877) dan “How to Make Our Ideas Clear” (1878), Peirce mengemukakan bahwa makna suatu konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dipikirkan dari penerapannya.² Rumusan ini dikenal sebagai pragmatic maxim. Menurut Peirce, kebenaran adalah keyakinan yang akan disepakati oleh komunitas peneliti pada “akhir penyelidikan” bila dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat.³ Dengan demikian, kebenaran memiliki karakter komunal, fallibilis, dan regulatif: ia tidak pernah sepenuhnya tercapai, tetapi berfungsi sebagai tujuan ideal dari penyelidikan rasional.⁴

3.2.       William James: Popularisasi dan Dimensi Psikologis

William James (1842–1910) adalah tokoh yang mempopulerkan istilah “pragmatisme” ke khalayak luas melalui karyanya Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907). James menekankan bahwa kebenaran bersifat dinamis: “Kebenaran adalah apa saja yang terbukti bermanfaat bagi pikiran kita untuk dipercayai.”⁵ Dengan pendekatan ini, James menekankan dimensi psikologis dan eksistensial dari keyakinan. Suatu gagasan disebut benar bukan hanya karena koheren dengan sistem lain, melainkan karena “berfungsi” dalam kehidupan manusia, menolong individu menavigasi pengalaman, dan menghadapi tantangan praktis.⁶

Meskipun pandangan James membantu menyebarluaskan pragmatisme, ia juga menuai kritik karena dianggap terlalu subjektif atau relativistik, seakan-akan kebenaran bisa direduksi menjadi “apa yang berguna bagi seseorang.”⁷ Namun, James sendiri menegaskan bahwa kegunaan yang dimaksud adalah verifikasi dalam pengalaman jangka panjang, bukan sekadar manfaat sesaat.⁸

3.3.       John Dewey: Pragmatisme sebagai Instrumentalisme

John Dewey (1859–1952) mengembangkan pragmatisme menjadi filsafat sosial, politik, dan pendidikan. Dalam Logic: The Theory of Inquiry (1938), Dewey menekankan bahwa kebenaran adalah hasil dari proses penyelidikan (inquiry) yang berfungsi sebagai instrumen untuk memecahkan masalah.⁹ Ia menyebut pendekatannya sebagai instrumentalisme, yakni gagasan bahwa konsep, teori, dan keyakinan adalah alat untuk menata pengalaman dan menciptakan tatanan yang lebih baik.¹⁰

Dalam konteks pendidikan, Dewey menekankan bahwa pengetahuan tidak boleh dipandang sebagai kumpulan fakta statis, melainkan sebagai hasil interaksi aktif antara individu dan lingkungannya.¹¹ Kebenaran, dalam pandangan ini, harus dilihat sebagai produk kolaborasi sosial dan demokratis, sehingga pragmatisme berakar erat dengan nilai-nilai partisipatif dalam masyarakat modern.¹²

3.4.       Perkembangan Abad ke-20 dan Kontemporer

Setelah era klasik Peirce, James, dan Dewey, pragmatisme mengalami revitalisasi pada abad ke-20. C. I. Lewis mengembangkan conceptual pragmatism, menekankan peran kerangka konseptual dalam membentuk pengalaman.¹³ Hilary Putnam kemudian mengusulkan internal realism, suatu usaha mendamaikan antara keberadaan dunia independen dan peran kerangka konseptual dalam memahami kebenaran.¹⁴

Di sisi lain, Richard Rorty mengembangkan “neo-pragmatisme” yang lebih radikal, menolak gagasan kebenaran sebagai representasi realitas. Rorty menekankan solidaritas sosial dan percakapan budaya sebagai pengganti aspirasi tradisional menuju “kebenaran objektif.”¹⁵ Meskipun memicu kritik karena dianggap mengaburkan batas antara kebenaran dan opini, kontribusi Rorty menghidupkan kembali minat terhadap pragmatisme dalam filsafat kontemporer.¹⁶

Dengan demikian, sejarah teori pragmatis tentang kebenaran menunjukkan evolusi yang dinamis: dari fondasi Peirce yang menekankan penyelidikan ilmiah, popularisasi James dengan penekanan pada fungsi praktis keyakinan, hingga instrumentalisme Dewey yang menghubungkan kebenaran dengan demokrasi dan pendidikan, serta pengembangan kontemporer yang membuka ruang dialog dengan filsafat analitik maupun postmodernisme.


Footnotes

[1]                John R. Shook, Pragmatism: An Annotated Bibliography, 1898–1940 (Amsterdam: Rodopi, 1998), xv–xviii.

[2]                Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science Monthly 12 (1877): 1–15; Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302.

[3]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 78–83.

[4]                Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge, 1985), 113–20.

[5]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.

[6]                William James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.

[7]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.

[8]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 166–70.

[9]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.

[10]             John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 14–18.

[11]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[12]             Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.

[13]             Clarence I. Lewis, Mind and the World Order: Outline of a Theory of Knowledge (New York: Dover, 1929), 21–27.

[14]             Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[15]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94.

[16]             Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 180–92.


4.           Landasan Filosofis dan Epistemologis

4.1.       Dasar Ontologis: Realitas, Pengalaman, dan Tindakan

Pragmatisme meletakkan kebenaran dalam kaitan erat dengan pengalaman manusia. Ontologi pragmatis tidak memahami realitas sebagai sesuatu yang sepenuhnya independen dari subjek, tetapi juga tidak jatuh pada konstruktivisme subjektif. Menurut Peirce, realitas adalah “objek akhir dari opini yang akan disepakati” dalam penyelidikan yang tak terbatas, sehingga realitas dipahami sebagai sesuatu yang independent of what you or I may think, tetapi hanya dapat diakses melalui proses kolektif penyelidikan.¹ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak lepas dari keterlibatan manusia dalam proses eksplorasi, percobaan, dan koreksi.

James menambahkan dimensi psikologis-eksistensial: pengalaman manusia merupakan arena tempat gagasan diuji.² Suatu proposisi disebut benar apabila ia “berfungsi” dalam pengalaman itu, artinya, mampu menavigasi problem dan menghasilkan hasil yang memuaskan secara praktis. Dengan demikian, dasar ontologis pragmatisme adalah pandangan bahwa realitas dan ide tidak berdiri dalam oposisi kaku, melainkan saling terikat melalui tindakan manusia di dunia.³

4.2.       Epistemologi Pragmatis: Pengetahuan sebagai Proses Penyelidikan

Pragmatisme menolak pandangan tradisional bahwa pengetahuan adalah representasi statis dari fakta. Bagi Dewey, pengetahuan adalah hasil dari penyelidikan (inquiry) yang bersifat problem-solver: kita berpengetahuan sejauh kita mampu mengatasi situasi problematis dengan alat konseptual dan tindakan eksperimental.⁴ Penyelidikan bukan sekadar kegiatan teoritis, tetapi aktivitas praktis yang melibatkan interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Dengan demikian, kebenaran menurut pragmatisme tidak semata-mata dicapai melalui deduksi logis atau korespondensi langsung dengan fakta, tetapi melalui siklus hipotesis → eksperimen → hasil → revisi.⁵ Mekanisme ini menegaskan bahwa kebenaran bersifat fallibilis: selalu mungkin direvisi jika bukti atau pengalaman baru menuntut perubahan.⁶

4.3.       Dimensi Intersubjektif: Komunitas Peneliti dan Rasionalitas Publik

Pragmatisme menekankan dimensi sosial dari epistemologi. Bagi Peirce, kebenaran adalah hasil yang akan dicapai komunitas penyelidik ilmiah di “akhir penyelidikan.”⁷ Oleh karena itu, klaim kebenaran tidak diverifikasi secara individual, melainkan melalui uji intersubjektif dalam komunitas yang rasional dan terbuka. Hal ini menegaskan bahwa epistemologi pragmatis berakar pada norma publisitas, keterbukaan, dan kritik timbal balik.

Dewey memperluas ide ini dalam konteks demokrasi: kebenaran bukan hanya hasil kerja laboratorium, tetapi juga terwujud dalam komunitas demokratis yang mendorong partisipasi, diskusi, dan refleksi kritis.⁹ Epistemologi pragmatis dengan demikian berhubungan erat dengan filsafat sosial dan politik, karena kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tumbuh melalui komunikasi publik dan kerjasama sosial.

4.4.       Relasi dengan Tradisi Filosofis Lain

Secara filosofis, pragmatisme meminjam dari empirisme (penekanan pada pengalaman), tetapi menolak empirisme pasif yang melihat pikiran sebagai “cermin alam.”¹⁰ Ia juga mengambil pelajaran dari idealisme (peran aktif subjek), tetapi menghindari kecenderungan spekulatif yang menjauh dari praktik.¹¹ Dengan demikian, epistemologi pragmatis merupakan jalan tengah antara empirisme klasik dan idealisme Jerman, sekaligus membuka jalan bagi filsafat analitik maupun post-positivisme.

Hilary Putnam, dalam internal realism, berusaha memperbarui kerangka pragmatis dengan menyatakan bahwa kebenaran adalah “idealized rational acceptability”: klaim benar sejauh ia akan diterima dalam kondisi rasional ideal, bukan sekadar karena korespondensi metafisik.¹² Dengan demikian, pragmatisme tetap berakar pada filsafat klasik tetapi terus diperbarui agar relevan dengan tantangan epistemologi kontemporer.


Signifikansi Landasan Filosofis dan Epistemologis

Landasan filosofis dan epistemologis teori pragmatis menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang final dan absolut, tetapi bersifat prosesual, sosial, dan normatif. Ia tidak hanya menyangkut korespondensi dengan fakta, melainkan juga kapasitas klaim untuk diuji, dikritik, dan dipraktikkan dalam kerangka kolektif manusia. Pemahaman ini menjadikan teori pragmatis relevan dalam menghadapi dunia yang terus berubah, di mana pengetahuan harus selalu terbuka untuk perbaikan dan adaptasi.¹³


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 97–106.

[3]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 16–22.

[4]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 14–18.

[6]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.

[7]                Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science Monthly 12 (1877): 1–15.

[8]                Christopher Hookway, Peirce (London: Routledge, 1985), 113–20.

[9]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[10]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 119–28.

[11]             Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[12]             Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford: Blackwell, 1995), 20–23.

[13]             Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 193–207.


5.           Kritik terhadap Teori Pragmatis

Meskipun teori pragmatis tentang kebenaran memberikan kontribusi penting dalam memperluas horizon filsafat, teori ini tidak lepas dari kritik. Berbagai aliran filsafat—mulai dari teori korespondensi, koherensi, hingga pendekatan realisme kontemporer—menyoroti sejumlah kelemahan konseptual dan implikasi praktis dari pandangan pragmatis. Kritik-kritik ini dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek utama: relativisme, reduksionisme, subjektivisme, dan problem korespondensi.

5.1.       Tuduhan Relativisme

Salah satu kritik paling sering diarahkan kepada pragmatisme adalah tuduhan relativisme. Jika kebenaran diartikan sebagai “apa yang berguna,” maka standar kebenaran akan berbeda bagi setiap individu atau kelompok, bergantung pada kepentingan praktis yang mereka anggap relevan.¹ Hal ini berpotensi menjadikan kebenaran tidak lebih dari preferensi pribadi atau konsensus sementara. Susan Haack menegaskan bahwa pengertian kebenaran dalam pragmatisme Jamesian terlalu elastis sehingga membuka ruang bagi kesalahpahaman bahwa “apa pun bisa dianggap benar selama berguna bagi seseorang.”²

Namun, para pragmatis menanggapi kritik ini dengan menekankan bahwa kegunaan yang dimaksud bukanlah manfaat sesaat, melainkan hasil yang bertahan dalam jangka panjang setelah melalui penyelidikan dan verifikasi yang serius.³ Peirce, misalnya, menolak relativisme murni dengan menegaskan bahwa kebenaran adalah keyakinan yang akan dicapai oleh komunitas peneliti yang kompeten pada akhir penyelidikan tanpa batas.⁴

5.2.       Kritik dari Teori Korespondensi

Pendukung teori korespondensi menilai bahwa pragmatisme gagal menjelaskan hubungan antara proposisi dan realitas eksternal. Menurut mereka, suatu klaim dapat saja “berfungsi” dalam praktik, tetapi tidak berarti klaim itu benar secara ontologis.⁵ Misalnya, keyakinan mitologis tertentu mungkin “berguna” bagi kohesi sosial suatu masyarakat, tetapi tidak koresponden dengan realitas empiris. Kritik ini menunjukkan bahwa pragmatisme berisiko mengaburkan perbedaan antara fakta dan kegunaan sosial.⁶

5.3.       Kritik dari Teori Koherensi

Teori koherensi mengkritik pragmatisme karena dianggap terlalu fokus pada konsekuensi praktis sehingga mengabaikan pentingnya konsistensi logis dalam sistem keyakinan.⁷ Bagi para koherensian, sebuah gagasan bisa saja tampak berguna dalam jangka pendek, tetapi tanpa konsistensi internal dalam sistem pengetahuan, ia tidak bisa dipertahankan sebagai “kebenaran” yang sahih. Hal ini dianggap sebagai kelemahan pragmatisme yang cenderung menomorduakan peran struktur rasional dalam pengetahuan.⁸

5.4.       Problem Subjektivitas dan Psikologisme

Dimensi psikologis yang ditekankan William James dalam memaknai kebenaran juga menuai kritik. Bertrand Russell, misalnya, berpendapat bahwa pemahaman James membuat kebenaran seakan-akan bergantung pada perasaan puas atau manfaat psikologis dari sebuah keyakinan, alih-alih pada kesesuaian dengan fakta.⁹ Russell menilai bahwa pendekatan ini rentan jatuh pada psikologisme, di mana kebenaran direduksi menjadi pengalaman subjektif individu.¹⁰

5.5.       Kritik dari Perspektif Realisme Kontemporer

Dalam filsafat analitik kontemporer, Hilary Putnam dan lain-lain menilai bahwa pragmatisme berisiko melunturkan objektivitas kebenaran.¹¹ Jika kebenaran hanya dilihat sebagai apa yang “akan diterima” dalam komunitas tertentu, maka muncul pertanyaan: bagaimana membedakan antara klaim yang benar dan klaim yang sekadar diterima karena dominasi sosial, politik, atau retorika?¹² Kritik ini relevan dalam konteks post-truth, di mana klaim populer atau “berguna” secara politis kerap disamakan dengan kebenaran.

5.6.       Tanggapan Pragmatistis

Para pembela pragmatisme berusaha menjawab kritik-kritik tersebut. Pertama, mereka menegaskan bahwa pragmatisme tidak identik dengan relativisme, karena tetap menuntut uji publik, rasionalitas, dan verifikasi empiris.¹³ Kedua, pragmatisme tidak menolak korespondensi atau koherensi, melainkan menafsirkannya dalam kerangka yang lebih dinamis: korespondensi dan koherensi adalah aspek yang diuji dalam pengalaman praktis.¹⁴ Ketiga, pragmatisme mengingatkan bahwa kebenaran bukan sekadar deskripsi statis tentang realitas, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsi pengetahuan dalam memecahkan masalah manusia.¹⁵


Signifikansi Kritik

Kritik-kritik tersebut penting karena menunjukkan bahwa pragmatisme bukan teori yang sempurna dan bebas masalah. Namun, perdebatan ini justru menegaskan vitalitas teori pragmatis: ia terus memicu diskusi tentang sifat kebenaran, hubungan antara fakta dan nilai, serta peran komunitas ilmiah dalam membentuk pengetahuan. Pada titik ini, pragmatisme dapat dipandang bukan sebagai pengganti total teori lain, melainkan sebagai perspektif korektif yang memperkaya perdebatan filosofis.¹⁶


Footnotes

[1]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 166–70.

[2]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.

[3]                William James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.

[4]                Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” Popular Science Monthly 12 (1877): 1–15.

[5]                Bertrand Russell, Philosophical Essays (London: Longmans, Green and Co., 1910), 134–38.

[6]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.

[7]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 55–60.

[8]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 91–95.

[9]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 812–14.

[10]             Russell, Philosophical Essays, 136.

[11]             Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[12]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 357–94.

[13]             Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 189–93.

[14]             John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 170–77.

[15]             James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 106.

[16]             Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 25–40.


6.           Relevansi Kontemporer

6.1.       Teori Pragmatis dalam Filsafat Ilmu

Dalam filsafat ilmu kontemporer, teori pragmatis kembali mendapatkan perhatian karena menawarkan kerangka yang sesuai dengan praktik ilmiah modern. Ilmu pengetahuan kini dipandang bukan sebagai sistem proposisi yang benar secara absolut, tetapi sebagai proses penyelidikan yang bersifat fallibilis dan terbuka bagi revisi.¹ Pandangan ini selaras dengan konsep pragmatis bahwa kebenaran harus diverifikasi melalui eksperimen, publikasi, kritik, dan replikasi.² Hilary Putnam menekankan bahwa kebenaran dalam sains sebaiknya dipahami sebagai “idealized rational acceptability”—yakni klaim yang akan diterima di bawah kondisi penyelidikan rasional yang ideal.³ Dengan demikian, pragmatisme membantu memosisikan sains bukan sekadar pencarian representasi pasif atas dunia, melainkan sebagai aktivitas eksperimental yang memadukan teori dan praktik.

6.2.       Relevansi dalam Pendidikan

Pemikiran John Dewey tentang kebenaran sebagai hasil proses inquiry memberi pengaruh besar dalam teori pendidikan kontemporer. Dewey mengusulkan bahwa belajar bukanlah transmisi pengetahuan statis, melainkan aktivitas partisipatif di mana siswa berperan aktif dalam menyelidiki, menguji, dan merevisi pemahaman mereka.⁴ Prinsip “learning by doing” yang dikembangkan Dewey tetap menjadi landasan pedagogis dalam berbagai sistem pendidikan modern.⁵ Dalam konteks Kurikulum abad ke-21 yang menekankan kreativitas, kolaborasi, berpikir kritis, dan komunikasi, pragmatisme memberi dasar filosofis bagi pembelajaran berbasis proyek, penelitian, dan pemecahan masalah nyata.⁶

6.3.       Relevansi dalam Politik dan Demokrasi

Pragmatisme juga memiliki relevansi dalam teori politik dan demokrasi. Dewey menghubungkan kebenaran dengan kehidupan demokratis melalui konsep “public inquiry.”⁷ Dalam masyarakat yang sehat, klaim kebenaran tidak ditentukan oleh otoritas tunggal, melainkan diuji melalui diskursus publik, partisipasi warga, dan musyawarah demokratis.⁸ Pandangan ini sangat penting dalam era kontemporer, di mana pluralitas pandangan dan akses informasi yang luas menuntut adanya norma publik dalam menguji klaim kebenaran. Robert Talisse menekankan bahwa demokrasi berfungsi sebagai “laboratorium sosial” di mana klaim pengetahuan diuji melalui debat rasional.⁹

6.4.       Teori Pragmatis dalam Era Digital dan Post-Truth

Di tengah fenomena “post-truth” dan disinformasi digital, teori pragmatis menghadirkan kerangka kritis. Dalam ruang publik yang dipenuhi berita palsu, teori pragmatis mengingatkan bahwa klaim kebenaran tidak cukup dinilai dari popularitas atau daya tarik emosionalnya, tetapi dari daya uji publik dan ketahanannya dalam jangka panjang terhadap verifikasi kolektif.¹⁰ Cheryl Misak menegaskan bahwa pragmatisme menolak menyamakan kebenaran dengan sekadar penerimaan sosial, karena standar kebenaran tetap harus normatif: diuji dengan alasan, bukti, dan metode penyelidikan yang sah.¹¹ Dalam konteks digital, ini berarti mengedepankan literasi kritis, verifikasi faktual, dan diskusi terbuka sebagai sarana melawan manipulasi informasi.

6.5.       Dimensi Etis dan Sosial

Pragmatisme juga relevan dalam ranah etika kontemporer. Dengan menekankan hubungan erat antara pengetahuan dan tindakan, teori pragmatis menyoroti bahwa setiap klaim kebenaran membawa implikasi etis dan sosial.¹² Dalam konteks bioetika, lingkungan, dan keadilan sosial, kebenaran pragmatis menuntut kita untuk menilai apakah klaim tertentu benar-benar berfungsi memajukan kehidupan manusia, memperkuat solidaritas, serta menjaga keberlanjutan dunia.¹³ Dengan demikian, pragmatisme memberi jembatan antara epistemologi, etika, dan praksis sosial.


Refleksi Kontemporer

Relevansi teori pragmatis pada era kontemporer terletak pada kemampuannya mengintegrasikan dimensi epistemik dan praktis. Ia menawarkan alternatif terhadap absolutisme epistemologis di satu sisi, dan relativisme postmodern di sisi lain.¹⁴ Dengan menekankan penyelidikan terbuka, keterlibatan komunitas, dan orientasi pemecahan masalah, pragmatisme tetap menjadi teori kebenaran yang hidup, yang mampu menjawab tantangan pendidikan, politik, sains, dan masyarakat digital.¹⁵


Footnotes

[1]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 189–93.

[2]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.

[3]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[5]                Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 33–42.

[6]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 82–88.

[7]                John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1927), 66–72.

[8]                Robert B. Talisse, Democracy and Moral Conflict (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 22–29.

[9]                Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 41–55.

[10]             Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 15–22.

[11]             Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.

[12]             James Campbell, Understanding John Dewey (Peru, IL: Open Court, 1995), 117–25.

[13]             Larry A. Hickman, John Dewey’s Pragmatic Technology (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 146–55.

[14]             Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin, 1999), 22–29.

[15]             Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 191–97.


7.           Penutup

Teori pragmatis tentang kebenaran menegaskan bahwa kebenaran bukanlah entitas statis yang ada di luar jangkauan manusia, melainkan hasil dari proses penyelidikan, verifikasi, dan praktik yang berkelanjutan. Sejak perumusan awal oleh Charles S. Peirce melalui pragmatic maxim, pragmatisme telah berupaya memposisikan kebenaran sebagai tujuan regulatif dari komunitas penyelidik yang rasional.¹ William James kemudian mempopulerkannya dengan menekankan dimensi praktis dan eksistensial dari keyakinan, sementara John Dewey memperluas cakupan pragmatisme hingga ranah sosial, politik, dan pendidikan melalui instrumentalisme.²

Dari tinjauan konseptual, teori ini menyoroti empat ciri utama: kebenaran bersifat dinamis, fungsional, intersubjektif, dan fallibilis.³ Aspek-aspek tersebut membedakannya dari teori lain—seperti korespondensi yang menekankan kesesuaian proposisi dengan fakta, atau koherensi yang menekankan konsistensi internal. Kritik yang datang dari berbagai arah—mulai dari tuduhan relativisme, problem subjektivitas, hingga kesulitan menjelaskan korespondensi dengan realitas eksternal—menunjukkan kompleksitas sekaligus keterbatasan pragmatisme.⁴ Namun, tanggapan para pragmatis menekankan bahwa kegunaan yang dimaksud tidak bersifat seketika atau semata-mata individual, melainkan kegunaan jangka panjang yang telah diuji secara publik dan rasional.⁵

Secara historis dan filosofis, pragmatisme berhasil memberikan alternatif terhadap dikotomi kaku antara empirisme dan idealisme. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya merepresentasikan realitas, melainkan juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah kondisi problematis menjadi lebih teratur.⁶ Dengan demikian, pragmatisme menampilkan epistemologi yang bersifat praksis, yang mengintegrasikan teori dan tindakan.

Relevansi kontemporer teori ini semakin nyata dalam berbagai ranah. Dalam filsafat ilmu, pragmatisme meneguhkan sifat fallibilis dari sains dan membuka ruang bagi revisi terus-menerus.⁷ Dalam pendidikan, prinsip learning by doing yang dipelopori Dewey masih menjadi pilar penting dalam pembelajaran abad ke-21.⁸ Dalam ranah politik dan demokrasi, pragmatisme menggarisbawahi pentingnya diskursus publik dan partisipasi warga dalam menguji klaim kebenaran.⁹ Bahkan dalam konteks era digital yang ditandai fenomena “post-truth”, pragmatisme mengingatkan bahwa kebenaran tetap harus diuji dengan norma publik, bukti, dan verifikasi kolektif, bukan sekadar popularitas atau kepentingan politik sesaat.¹⁰

Akhirnya, meskipun tidak bebas dari kelemahan, teori pragmatis tentang kebenaran tetap memiliki nilai filosofis dan praktis yang signifikan. Ia membantu memahami kebenaran sebagai konsep yang hidup—bukan hanya sekadar korespondensi dengan fakta, melainkan juga instrumen bagi kehidupan manusia untuk berkembang.¹¹ Dengan karakter terbuka, fallibilis, dan dialogis, pragmatisme tetap relevan sebagai fondasi epistemologis dalam menghadapi kompleksitas zaman, sekaligus menawarkan jembatan antara teori dan praksis, antara pengetahuan dan kehidupan.¹²


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” Popular Science Monthly 12 (1878): 286–302.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907; Indianapolis: Hackett, 1981), 97–106; John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (1938; Carbondale: Southern Illinois University Press, 1991), 1–10.

[3]                Cheryl Misak, The American Pragmatists (Oxford: Oxford University Press, 2013), 4–7.

[4]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: A Pragmatist Reconstruction of Epistemology, 2nd ed. (Amherst, NY: Prometheus, 2009), 12–16.

[5]                James, The Meaning of Truth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 42–49.

[6]                Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 14–18.

[7]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 54–79.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 144–58.

[9]                Robert B. Talisse, Democracy and Moral Conflict (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 22–29.

[10]             Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90–93.

[11]             Richard Rorty, Philosophy and Social Hope (London: Penguin, 1999), 22–29.

[12]             Robert B. Talisse dan Scott Aikin, Pragmatism, Pluralism, and the Nature of Philosophy (New York: Routledge, 2012), 41–55.


Daftar Pustaka

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

Campbell, J. (1995). Understanding John Dewey. Open Court.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Southern Illinois University Press.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.

Dewey, J. (1927). The public and its problems. Swallow Press.

Feldman, R. (2003). Epistemology. Prentice Hall.

Haack, S. (2009). Evidence and inquiry: A pragmatist reconstruction of epistemology (2nd ed.). Prometheus.

Haack, S. (1993). Vulgar pragmatism: An unedifying prospect. In Evidence and inquiry (pp. 161–180). Prometheus.

Hickman, L. A. (1990). John Dewey’s pragmatic technology. Indiana University Press.

Hookway, C. (1985). Peirce. Routledge.

James, W. (1975). The meaning of truth. Harvard University Press.

James, W. (1981). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Hackett. (Original work published 1907)

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Lewis, C. I. (1929). Mind and the world order: Outline of a theory of knowledge. Dover.

Misak, C. (2004). Truth and the end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford University Press.

Misak, C. (2013). The American pragmatists. Oxford University Press.

Noddings, N. (2016). Philosophy of education (4th ed.). Westview Press.

Peirce, C. S. (1877). The fixation of belief. Popular Science Monthly, 12, 1–15.

Peirce, C. S. (1878). How to make our ideas clear. Popular Science Monthly, 12, 286–302.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Putnam, H. (1995). Pragmatism: An open question. Blackwell.

Rescher, N. (1973). The coherence theory of truth. Clarendon Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1999). Philosophy and social hope. Penguin.

Russell, B. (1910). Philosophical essays. Longmans, Green and Co.

Russell, B. (1945). A history of Western philosophy. Simon & Schuster.

Shook, J. R. (1998). Pragmatism: An annotated bibliography, 1898–1940. Rodopi.

Talisse, R. B. (2009). Democracy and moral conflict. Cambridge University Press.

Talisse, R. B., & Aikin, S. (2012). Pragmatism, pluralism, and the nature of philosophy. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar