Teori Korespondensi
Kajian Konseptual, Historis, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas teori korespondensi tentang kebenaran sebagai salah
satu teori paling berpengaruh dalam sejarah filsafat. Teori ini berangkat dari
gagasan sederhana bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara proposisi dengan
realitas atau fakta. Kajian dimulai dengan penelusuran landasan historis sejak
pemikiran Plato dan Aristoteles, pengembangan teologis pada Abad Pertengahan
oleh Agustinus dan Thomas Aquinas, hingga formulasi modern oleh Descartes,
Locke, serta penyempurnaan analitik oleh Russell dan Tarski. Selanjutnya,
artikel ini menelaah unsur-unsur utama teori korespondensi—proposisi, fakta,
dan relasi kesesuaian—beserta mekanisme yang menjadikannya dasar penilaian
kebenaran.
Artikel ini juga menguraikan kritik yang dialamatkan terhadap teori
korespondensi, antara lain masalah hakikat fakta, keterbatasan bahasa sebagai
representasi realitas, serta tantangan dari teori koherensi, pragmatisme, dan
pemikiran postmodern. Meskipun demikian, teori korespondensi tetap relevan
dalam konteks kontemporer, terutama dalam ilmu pengetahuan, filsafat analitik,
hukum, pendidikan, serta dalam menghadapi fenomena post-truth yang
ditandai dengan disinformasi dan relativisme kebenaran. Artikel ini
menyimpulkan bahwa teori korespondensi memiliki nilai ganda: sebagai warisan
historis yang membentuk fondasi epistemologi Barat dan sebagai kerangka
konseptual yang tetap signifikan untuk menjaga standar objektivitas dalam
masyarakat modern.
Kata Kunci: Kebenaran;
Teori Korespondensi; Fakta; Realitas; Epistemologi; Post-truth.
PEMBAHASAN
Teori Korespondensi tentang Kebenaran
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan mengenai hakikat kebenaran
telah menjadi salah satu tema sentral dalam filsafat sejak zaman Yunani Kuno.
Di antara berbagai teori yang lahir untuk menjelaskan kebenaran, teori
korespondensi menempati posisi yang sangat fundamental karena berangkat dari
prinsip yang sederhana namun intuitif: sebuah pernyataan dianggap benar jika
sesuai atau berkorespondensi dengan realitas atau fakta yang ada.¹ Teori ini
sering dianggap sebagai teori kebenaran yang paling “alami,” karena
mendasarkan klaim kebenaran pada adanya kesesuaian antara bahasa, pikiran, dan
dunia luar.²
Gagasan dasar ini dapat ditelusuri
kembali kepada Plato dan Aristoteles. Aristoteles dalam Metafisika
menyatakan bahwa mengatakan sesuatu “yang ada itu ada” dan “yang
tidak ada itu tidak ada” adalah benar, sedangkan mengatakan sebaliknya
adalah salah.³ Pernyataan ini kemudian menjadi fondasi bagi teori korespondensi
yang menekankan hubungan langsung antara proposisi dan realitas. Pada Abad
Pertengahan, pemikir seperti Thomas Aquinas melanjutkan gagasan tersebut dengan
mengaitkan kebenaran pada keteraturan ciptaan Tuhan, sehingga kebenaran
dipahami sebagai adaequatio rei et intellectus—kesesuaian antara objek
dan akal budi.⁴
Memasuki era modern, teori
korespondensi tetap mendapat tempat penting dalam filsafat, terutama dalam
diskusi epistemologi dan filsafat analitik. Bertrand Russell, misalnya,
menegaskan bahwa sebuah proposisi benar bila ia “berhubungan dengan
fakta-fakta” dalam struktur yang sesuai.⁵ Alfred Tarski kemudian
mengembangkan teori semantik tentang kebenaran dengan formulanya yang terkenal:
“‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju itu putih.”⁶
Upaya ini memperlihatkan bahwa teori korespondensi tidak hanya bernilai
historis, tetapi juga tetap relevan dalam ranah logika dan filsafat bahasa
kontemporer.
Meskipun demikian, teori ini tidak
lepas dari kritik. Sebagian filsuf menilai bahwa konsep “fakta” sering
kali problematis dan tidak mudah ditentukan secara independen dari bahasa atau
sistem keyakinan.⁷ Di sisi lain, era kontemporer yang ditandai oleh fenomena post-truth
menimbulkan tantangan baru: bagaimana teori korespondensi dapat menegaskan
standar kebenaran di tengah derasnya misinformasi dan relativisme kebenaran
dalam ruang publik.⁸
Dengan demikian, pembahasan mengenai
teori korespondensi tidak hanya penting dari sudut pandang historis, tetapi
juga relevan untuk memahami problem epistemologi modern, perkembangan ilmu
pengetahuan, serta dinamika sosial-politik saat ini. Artikel ini akan
menguraikan secara sistematis konsep dasar teori korespondensi, perkembangannya
dalam sejarah filsafat, kritik-kritik yang dialamatkan kepadanya, serta
relevansinya dalam konteks kontemporer.
Footnotes
[1]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition), ed. Edward N.
Zalta, truth-correspondence.
[2]               
Simon Blackburn, Truth: A Guide (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 15–16.
[3]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.7, 1011b25.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.
16, Art. 1.
[5]               
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–29.
[6]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy
and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–76.
[7]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 160–61.
[8]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 5–7.
2.          
Konsep Dasar Teori
Korespondensi
Teori korespondensi tentang kebenaran
berangkat dari gagasan sederhana namun fundamental: sebuah pernyataan atau
proposisi dianggap benar apabila berkorespondensi, atau sesuai, dengan
kenyataan atau fakta yang ada di dunia.¹ Kebenaran, dalam perspektif ini,
bukanlah hasil kesepakatan sosial, bukan pula sekadar koherensi dalam sistem
keyakinan, melainkan hubungan langsung antara bahasa atau pikiran dengan
realitas eksternal.²
Secara formal, teori ini menyatakan
bahwa “P adalah benar jika dan hanya jika P sesuai dengan fakta.”
Formulasi ini menegaskan dua hal: pertama, adanya proposisi atau pernyataan (statement);
kedua, adanya realitas atau keadaan-keadaan (states of affairs) yang
menjadi acuan.³ Dengan demikian, teori korespondensi memiliki dua komponen
pokok—representasi dan referensi. Representasi diwujudkan dalam bentuk bahasa
atau pikiran, sedangkan referensi menunjuk pada realitas di luar bahasa.⁴
Kekuatan utama teori ini terletak pada
sifat intuitifnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita secara spontan memahami
kebenaran dalam kerangka korespondensi. Ketika seseorang mengatakan, “hujan
sedang turun di luar,” maka kebenaran dari pernyataan itu dapat
diverifikasi dengan mengecek apakah memang hujan benar-benar turun di luar.⁵
Sifat praktis inilah yang membuat teori korespondensi sering dianggap sebagai
teori “alami” tentang kebenaran.
Namun, meskipun tampak sederhana, teori
korespondensi melibatkan problematika konseptual yang mendalam. Salah satunya
adalah pertanyaan tentang hakikat “fakta” itu sendiri. Apakah fakta
merupakan entitas independen di luar bahasa, ataukah ia terbentuk melalui
struktur linguistik dan konseptual manusia?⁶ Filsuf analitik seperti Bertrand
Russell dan G. E. Moore berusaha menegaskan bahwa fakta adalah entitas objektif
yang dapat dianalisis secara logis, sedangkan kritik postmodern cenderung
mempertanyakan objektivitas tersebut.⁷
Selain itu, teori korespondensi juga
memiliki implikasi epistemologis yang penting. Teori ini menuntut adanya cara
untuk mengakses realitas secara memadai agar kesesuaian dapat ditentukan. Hal
ini menimbulkan perdebatan tentang sejauh mana manusia mampu mengetahui
realitas “sebagaimana adanya,” tanpa terdistorsi oleh bahasa, budaya,
atau kerangka konseptual tertentu.⁸
Dengan demikian, konsep dasar teori
korespondensi tidak hanya membicarakan tentang kesesuaian pernyataan dengan
realitas, tetapi juga melibatkan persoalan tentang sifat realitas, peran
bahasa, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Kesederhanaannya dalam
menjelaskan kebenaran membuat teori ini tetap menjadi salah satu teori
kebenaran yang paling berpengaruh dan terus menjadi bahan diskusi filosofis
hingga hari ini.
Footnotes
[1]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition), ed. Edward N.
Zalta, entries/truth-correspondence.
[2]               
Simon Blackburn, Truth: A Guide (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 15.
[3]               
William P. Alston, “A Realist Conception of Truth,” in
Truth, ed. Simon Blackburn and Keith Simmons (Oxford: Oxford University
Press, 1999), 43–45.
[4]               
Paul Horwich, Truth (Oxford: Clarendon Press,
1990), 101–103.
[5]               
Michael Glanzberg, “Truth,” The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[6]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 160.
[7]               
Bertrand Russell, An Inquiry into Meaning and Truth
(London: Allen & Unwin, 1940), 117–120.
[8]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 50–55.
3.          
Landasan Historis
dan Filosofis
Teori korespondensi tentang kebenaran
memiliki akar yang panjang dalam sejarah filsafat, dimulai dari filsafat Yunani
Kuno hingga perdebatan filsafat analitik modern. Landasan historis dan
filosofis ini menunjukkan bahwa gagasan tentang kebenaran sebagai kesesuaian
antara pikiran atau bahasa dengan realitas bukanlah konstruksi baru, melainkan
telah menjadi salah satu pilar utama dalam tradisi epistemologis Barat.
3.1.      
Filsafat Yunani
Kuno: Plato dan Aristoteles
Plato dalam dialog Cratylus dan Theaetetus
menyinggung gagasan bahwa kebenaran erat kaitannya dengan kesesuaian antara
pengetahuan dan realitas.¹ Namun, Aristoteles-lah yang memberikan rumusan
paling jelas dalam Metafisika: “Untuk mengatakan tentang yang ada
bahwa ia tidak ada, atau tentang yang tidak ada bahwa ia ada, adalah salah;
sedangkan untuk mengatakan tentang yang ada bahwa ia ada, dan tentang yang
tidak ada bahwa ia tidak ada, adalah benar.”² Rumusan ini sering dianggap
sebagai formulasi klasik teori korespondensi, yang menekankan adanya relasi
antara proposisi dan keadaan faktual di dunia.
3.2.      
Abad Pertengahan:
Integrasi Teologis
Pada Abad Pertengahan, teori
korespondensi dipadukan dengan kerangka teologis. Augustinus menegaskan bahwa
kebenaran pada dasarnya bersumber dari Tuhan sebagai veritas aeterna
(kebenaran kekal).³ Thomas Aquinas kemudian memperhalusnya dengan konsep adaequatio
rei et intellectus—bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara objek
(realitas) dengan intelek (akal budi).⁴ Dengan demikian, kebenaran tidak hanya
dilihat dari hubungan linguistik antara pernyataan dan fakta, tetapi juga dari
kesesuaian antara ciptaan dengan tatanan ilahi.
3.3.      
Era Modern:
Rasionalisme dan Empirisme
Memasuki era modern, teori
korespondensi menghadapi tantangan baru dari rasionalisme dan empirisme. René
Descartes menganggap bahwa kepastian kebenaran dapat dijamin melalui ide-ide
yang jelas dan terpilah (clear and distinct ideas), namun ia tetap
mengakui bahwa kebenaran mengacu pada kesesuaian antara ide dan realitas.⁵ John
Locke, dari sisi empirisme, menekankan bahwa pengetahuan adalah persepsi atas
kesesuaian antara ide-ide dengan realitas eksternal.⁶ Pandangan ini semakin
memperkuat korespondensi sebagai landasan epistemologis, meskipun menimbulkan
problem tentang bagaimana manusia dapat mengakses realitas secara langsung.
3.4.      
Filsafat Analitik:
Russell, Moore, dan Tarski
Pada abad ke-20, teori korespondensi
mendapat artikulasi baru dalam filsafat analitik. Bertrand Russell menegaskan
bahwa kebenaran adalah hubungan antara proposisi dengan fakta-fakta atomis
dalam dunia.⁷ G. E. Moore juga mengadopsi pandangan serupa, dengan menekankan
bahwa kebenaran bersifat obyektif dan dapat dianalisis melalui bahasa.⁸
Selanjutnya, Alfred Tarski mengembangkan teori semantik kebenaran yang terkenal
dengan formula: “‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju
itu putih.”⁹ Rumusan ini memberikan presisi logis terhadap gagasan
korespondensi, dengan menekankan hubungan antara bahasa formal dan kondisi
kebenaran dalam realitas.
3.5.      
Perdebatan
Kontemporer
Pada abad ke-20 dan 21, teori
korespondensi terus diperdebatkan, terutama oleh para filsuf pragmatis dan postmodernis.
Richard Rorty, misalnya, menolak gagasan “fakta independen” di luar
bahasa, dan melihat kebenaran sebagai produk wacana sosial.¹⁰ Namun, banyak
filsuf lain tetap mempertahankan relevansi teori korespondensi, khususnya dalam
logika, ilmu pengetahuan, dan kajian semantik.¹¹
Dengan demikian, sejarah teori
korespondensi menunjukkan adanya kontinuitas sekaligus transformasi: dari
formulasi klasik Aristoteles, integrasi teologis Aquinas, pembaruan modern oleh
Descartes dan Locke, hingga penyempurnaan analitik oleh Russell dan Tarski.
Evolusi ini menegaskan bahwa teori korespondensi tidak hanya bertahan sebagai
warisan historis, tetapi juga menjadi kerangka epistemologis yang dinamis dalam
diskursus filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]               
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett, 1992), 186a–200d.
[2]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.7, 1011b25.
[3]               
Augustine, On Free Choice of the Will, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), II.12.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.
16, Art. 1.
[5]               
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
Meditation III.
[6]               
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding
(London: Thomas Basset, 1690), Book IV, Ch. 4.
[7]               
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–29.
[8]               
G. E. Moore, “The Nature of Judgment,” Mind 8,
no. 30 (1899): 176–193.
[9]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy
and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–76.
[10]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 159–162.
[11]            
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition), ed. Edward N.
Zalta, truth-correspondence.
4.          
Unsur dan Mekanisme
Teori Korespondensi
Teori korespondensi tentang kebenaran
tidak hanya berhenti pada pernyataan umum bahwa kebenaran adalah kesesuaian
antara pernyataan dan realitas, tetapi juga memerlukan pemahaman yang lebih
rinci mengenai unsur-unsur yang terlibat serta mekanisme bagaimana relasi itu
bekerja. Unsur-unsur tersebut mencakup proposisi atau pernyataan (statement),
fakta atau keadaan (states of affairs), serta relasi kesesuaian (correspondence
relation) yang menghubungkan keduanya.
4.1.      
Proposisi atau
Pernyataan
Proposisi merupakan bentuk representasi
bahasa atau pikiran yang dapat dinilai benar atau salah.¹ Tidak semua ungkapan
bahasa bersifat proposisional, karena hanya kalimat deklaratiflah yang memiliki
nilai kebenaran. Misalnya, kalimat “Salju itu putih” adalah proposisi
karena dapat diuji kesesuaiannya dengan realitas, sedangkan kalimat perintah
atau seruan tidak termasuk dalam kategori ini.² Proposisi dipandang sebagai
struktur representasional yang menunjuk pada realitas, sehingga menjadi titik
awal dalam mekanisme korespondensi.
4.2.      
Fakta atau Keadaan
Unsur kedua adalah fakta, yang dipahami
sebagai keadaan di dunia yang membuat suatu proposisi benar. Bertrand Russell
membedakan antara “fakta” dan “benda”: benda adalah entitas
individual, sedangkan fakta adalah relasi atau struktur yang melibatkan
benda-benda tersebut.³ Misalnya, fakta bahwa “Salju itu putih” terdiri
atas entitas “salju” dan kualitas “putih” yang membentuk keadaan
tertentu di dunia. Fakta inilah yang menjadi acuan dalam menentukan kebenaran
proposisi.
4.3.      
Relasi Korespondensi
Relasi kesesuaian adalah inti dari
teori korespondensi. Relasi ini menjelaskan bagaimana proposisi mencerminkan
atau sesuai dengan fakta. Alfred Tarski merumuskan prinsip ini dalam teori
semantiknya: “‘Salju itu putih’ adalah benar jika dan hanya jika salju itu
putih.”⁴ Dengan rumusan ini, Tarski menekankan bahwa mekanisme
korespondensi adalah hubungan formal antara bahasa (sebagai sistem simbol) dan
dunia (sebagai himpunan fakta atau keadaan).
Namun, perdebatan muncul mengenai sifat
relasi ini. Apakah korespondensi merupakan relasi struktural yang ketat—yakni
kesesuaian bentuk antara proposisi dan fakta—atau sekadar relasi
representasional yang lebih longgar?⁵ Russell, misalnya, menekankan adanya
korespondensi struktural antara proposisi atomis dan fakta atomis, sedangkan
filsuf lain seperti Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus
berargumen bahwa bahasa membentuk “gambar” (picture theory)
tentang realitas melalui isomorfisme logis.⁶
4.4.      
Kriteria Kebenaran
dalam Mekanisme Korespondensi
Mekanisme korespondensi memberikan
kriteria yang relatif jelas untuk menentukan kebenaran: sebuah proposisi adalah
benar jika faktanya memang demikian.⁷ Namun, kriteria ini memunculkan tantangan
epistemologis: bagaimana memastikan bahwa kita benar-benar mengetahui fakta di
luar bahasa? Pertanyaan ini memunculkan perdebatan lebih lanjut antara
realisme—yang meyakini adanya fakta independen dari pikiran—dan
konstruktivisme—yang menekankan peran bahasa dan kerangka konseptual dalam
membentuk fakta.⁸
4.5.      
Perbandingan dengan
Teori Lain
Dalam konteks mekanisme penentuan
kebenaran, teori korespondensi berbeda dengan teori koherensi maupun pragmatis.
Teori koherensi menilai kebenaran dari konsistensi internal dalam suatu sistem
keyakinan, sementara teori pragmatis menekankan kegunaan praktis suatu
proposisi.⁹ Teori korespondensi, sebaliknya, tetap bertahan pada prinsip bahwa
kebenaran terletak pada relasi eksternal antara proposisi dan dunia nyata.
Kesimpulan Sementara
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur utama teori korespondensi terdiri atas proposisi, fakta, dan
relasi kesesuaian. Mekanisme korespondensi bekerja dengan cara menghubungkan
representasi linguistik atau mental dengan realitas eksternal, sehingga
menghasilkan kriteria kebenaran yang dapat diuji. Meski sederhana dalam
formulasi, teori ini menyimpan problem filosofis yang kompleks terkait hakikat
fakta, sifat relasi representasi, dan kemampuan manusia dalam mengakses
realitas.
Footnotes
[1]               
William P. Alston, “A Realist Conception of Truth,”
dalam Truth, ed. Simon Blackburn dan Keith Simmons (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 43.
[2]               
Michael Glanzberg, “Truth,” The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), ed. Edward N. Zalta, truth.
[3]               
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–130.
[4]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy
and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–76.
[5]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition), ed. Edward N.
Zalta, truth-correspondence.
[6]               
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 1922), Proposition
2.1–2.2.
[7]               
Simon Blackburn, Truth: A Guide (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 15–16.
[8]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 50–55.
[9]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 160–162.
5.          
Kritik terhadap
Teori Korespondensi
Meskipun teori korespondensi sering
dianggap sebagai teori kebenaran yang paling intuitif dan “alami,” teori
ini tidak luput dari kritik yang mendalam sepanjang sejarah filsafat.
Kritik-kritik tersebut muncul dari berbagai aliran pemikiran, mulai dari teori
koherensi, pragmatisme, hingga pemikiran postmodern, yang menyoroti problem
konseptual maupun epistemologis dari gagasan kesesuaian antara proposisi dan
realitas.
5.1.      
Kritik tentang
Hakikat Fakta
Salah satu keberatan utama terhadap
teori korespondensi adalah masalah definisi dan status “fakta.” Para
pengkritik mempertanyakan apa yang dimaksud dengan fakta: apakah fakta
merupakan entitas yang benar-benar ada secara independen dari bahasa, ataukah
fakta selalu dipahami melalui konstruksi linguistik dan konseptual?¹ Jika fakta
dipahami sebagai entitas independen, maka manusia berhadapan dengan kesulitan
epistemologis dalam mengaksesnya secara langsung. Namun, jika fakta dipandang
sebagai konstruksi linguistik, maka teori korespondensi kehilangan klaim
objektifitasnya.²
5.2.      
Kritik dari Teori
Koherensi
Kaum koherensian berpendapat bahwa
kebenaran tidak bisa hanya diukur dari korespondensi dengan fakta, sebab “fakta”
itu sendiri tidak dapat ditentukan tanpa kerangka keyakinan yang koheren.³
Menurut mereka, yang lebih fundamental adalah konsistensi internal dari suatu
sistem proposisi. Dalam kerangka ini, teori korespondensi dianggap gagal
memberikan kriteria kebenaran yang memadai, karena konsep fakta selalu dibaca
melalui lensa teori atau bahasa yang digunakan.⁴
5.3.      
Kritik dari Teori
Pragmatis
Dari sudut pandang pragmatis, teori
korespondensi dianggap tidak cukup memperhatikan aspek kegunaan praktis dari
suatu proposisi. William James, misalnya, menekankan bahwa kebenaran bukanlah
semata kesesuaian dengan realitas eksternal, tetapi lebih kepada “apa yang
terbukti berguna untuk diyakini.”⁵ Dengan demikian, suatu pernyataan bisa
dinilai “benar” sejauh ia mampu berfungsi secara efektif dalam praktik
kehidupan, bukan hanya karena ia sesuai dengan fakta yang diklaim objektif.
Kritik ini menunjukkan keterbatasan teori korespondensi dalam menjelaskan
dinamika kebenaran yang bersifat kontekstual dan fungsional.
5.4.      
Kritik Bahasa dan
Representasi
Filsuf analitik juga memberikan kritik
penting terkait hubungan bahasa dan realitas. Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus memang mengadopsi teori gambar (picture theory) yang
dekat dengan korespondensi, namun dalam karya selanjutnya ia justru menolak
pandangan itu dengan menyatakan bahwa makna bahasa tidak bersandar pada
representasi realitas, melainkan pada penggunaannya dalam praktik kehidupan
sehari-hari (language games).⁶ Kritik ini menunjukkan bahwa teori
korespondensi terlalu menyederhanakan hubungan kompleks antara bahasa dan
dunia.
5.5.      
Kritik Postmodern
dan Relativis
Pemikir postmodern seperti Richard
Rorty menolak gagasan adanya kebenaran objektif yang ditentukan oleh kesesuaian
proposisi dengan realitas. Menurutnya, konsep kebenaran adalah produk wacana
sosial dan budaya, sehingga apa yang disebut “fakta” tidak pernah
benar-benar netral.⁷ Dalam kerangka ini, teori korespondensi dianggap
mengabaikan peran kekuasaan, ideologi, dan konstruksi sosial dalam menentukan
apa yang diakui sebagai “benar.” Kritik ini menjadi semakin relevan
dalam era kontemporer yang ditandai dengan pergeseran ke arah relativisme dan
fenomena post-truth.⁸
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik di atas memperlihatkan
bahwa meskipun teori korespondensi menawarkan kerangka yang kuat dan intuitif
dalam menjelaskan kebenaran, teori ini juga menghadapi sejumlah keterbatasan
konseptual dan praktis. Pertanyaan mengenai hakikat fakta, keterhubungan bahasa
dengan realitas, serta peran praksis dan wacana sosial menjadi tantangan yang
perlu direspon. Kendati demikian, teori korespondensi tetap bertahan sebagai
salah satu teori kebenaran yang paling berpengaruh karena mampu memberikan
dasar objektif dalam menilai klaim kebenaran, meskipun harus selalu
dikontekstualisasikan dengan kritik-kritik yang ada.
Footnotes
[1]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 Edition), ed. Edward N.
Zalta, truth-correspondence.
[2]               
Hilary Putnam, Reason, Truth and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 50–55.
[3]               
Harold H. Joachim, The Nature of Truth (Oxford:
Clarendon Press, 1906), 66–70.
[4]               
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 17–19.
[5]               
William James, Pragmatism (New York: Longmans,
Green, and Co., 1907), 106–107.
[6]               
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.
[7]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 159–162.
[8]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 5–7.
6.          
Relevansi
Kontemporer
Meskipun telah mendapat banyak kritik,
teori korespondensi tetap memiliki relevansi yang kuat dalam diskursus filsafat
kontemporer, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial. Keberlanjutan teori ini
terutama disebabkan oleh kemampuannya memberikan dasar objektif bagi klaim
kebenaran, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam era modern yang diwarnai oleh
pluralitas pandangan, perkembangan teknologi, serta fenomena post-truth.
6.1.      
Relevansi dalam Ilmu
Pengetahuan dan Metodologi Sains
Dalam ilmu pengetahuan modern, teori
korespondensi tetap menjadi salah satu landasan epistemologis. Kebenaran ilmiah
sering dipahami sebagai kesesuaian antara teori dengan realitas empiris. Karl
Popper, meskipun menekankan falsifikasi, tetap mengasumsikan adanya realitas
objektif yang menjadi rujukan pengujian hipotesis.¹ Demikian pula, dalam sains
kontemporer, eksperimen dan observasi dipandang sebagai cara untuk menguji
apakah proposisi ilmiah “berkorespondensi” dengan fakta yang dapat
diamati.² Tanpa kerangka korespondensi, sains kehilangan basis objektif dalam
menjustifikasi klaim-klaimnya.
6.2.      
Relevansi dalam
Filsafat Analitik dan Logika
Pengaruh teori korespondensi juga nyata
dalam filsafat analitik, khususnya melalui karya Alfred Tarski. Teori semantik
tentang kebenaran yang ia kembangkan memperlihatkan bahwa prinsip korespondensi
dapat diformalkan dalam kerangka logis.³ Hal ini penting dalam pengembangan
logika modern, teori bahasa, dan filsafat matematika. Dengan demikian, teori
korespondensi tidak hanya berfungsi secara intuitif, tetapi juga memiliki
formulasi teknis yang mendukung perkembangan filsafat bahasa dan logika formal.
6.3.      
Relevansi dalam Era
Digital dan Post-Truth
Fenomena post-truth, di mana
opini publik lebih dipengaruhi oleh emosi dan kepercayaan subjektif daripada
fakta objektif, memperlihatkan pentingnya mempertahankan teori korespondensi.⁴
Di tengah arus disinformasi, hoaks, dan manipulasi media, standar kebenaran
sebagai kesesuaian dengan realitas menjadi kriteria yang krusial untuk melawan
relativisme. Lee McIntyre menegaskan bahwa dalam menghadapi era post-truth,
pemahaman filosofis mengenai kebenaran objektif harus dipertahankan untuk
menjaga integritas demokrasi dan sains.⁵
6.4.      
Relevansi dalam
Diskursus Publik dan Pendidikan
Dalam ranah diskursus publik, teori
korespondensi menjadi fondasi bagi upaya verifikasi fakta (fact-checking)
yang semakin penting dalam komunikasi politik, jurnalisme, dan media sosial.⁶
Prinsip bahwa klaim harus sesuai dengan fakta konkret berfungsi sebagai standar
etis untuk mencegah manipulasi wacana. Selain itu, dalam pendidikan, pengajaran
tentang teori korespondensi membantu siswa memahami perbedaan antara opini
subjektif dan kebenaran faktual, sehingga mendukung pembentukan pemikiran
kritis.⁷
6.5.      
Relevansi dalam
Etika dan Hukum
Dalam bidang hukum, teori korespondensi
juga memainkan peran signifikan. Putusan hukum sering bergantung pada
kesesuaian antara klaim dan bukti faktual yang dapat diverifikasi.⁸ Demikian
pula dalam etika, kebenaran sebagai korespondensi membantu membedakan antara
klaim normatif yang sahih dengan sekadar opini tanpa dasar faktual.
Kesimpulan Sementara
Relevansi kontemporer teori
korespondensi terletak pada kemampuannya menyediakan kerangka objektif bagi
klaim kebenaran dalam berbagai bidang: sains, logika, hukum, politik, hingga
pendidikan. Meskipun menghadapi kritik serius, teori ini tetap esensial untuk
menjaga standar rasionalitas di era yang ditandai oleh relativisme dan post-truth.
Dengan kata lain, teori korespondensi tidak hanya penting secara filosofis,
tetapi juga memiliki implikasi praktis yang luas dalam kehidupan modern.
Footnotes
[1]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 273–74.
[2]               
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 67–70.
[3]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy
and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–76.
[4]               
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and
Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 15–18.
[5]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 7–9.
[6]               
William L. Bennett dan Steven Livingston, The
Disinformation Age: Politics, Technology, and Disruptive Communication in the
United States (Cambridge: Cambridge University Press, 2020), 25–27.
[7]               
Harvey Siegel, Educating Reason: Rationality,
Critical Thinking, and Education (New York: Routledge, 1988), 44–46.
[8]               
Susan Haack, Evidence Matters: Science, Proof, and
Truth in the Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 21–24.
7.          
Penutup
Teori korespondensi tentang kebenaran
tetap menjadi salah satu kerangka epistemologis paling berpengaruh dalam
sejarah filsafat. Sejak formulasi klasik Aristoteles hingga penyempurnaan
semantik oleh Alfred Tarski, teori ini berusaha mempertahankan prinsip
sederhana namun fundamental: kebenaran adalah kesesuaian antara proposisi dan
realitas.¹ Prinsip ini memberikan daya tarik yang kuat karena bersifat intuitif
dan mudah dipahami, sekaligus menyediakan dasar objektif bagi klaim kebenaran
di berbagai bidang kehidupan.²
Dari perspektif historis, perjalanan
teori korespondensi menunjukkan adanya kontinuitas dan transformasi. Plato dan
Aristoteles meletakkan dasar awal, Aquinas menambahkan dimensi teologis melalui
konsep adaequatio rei et intellectus, sedangkan pemikir modern seperti
Descartes dan Locke menekankan hubungan ide dengan realitas empiris.³ Dalam
filsafat analitik, teori ini menemukan artikulasi baru melalui Russell, Moore,
dan Tarski yang memberikan presisi logis terhadap relasi antara bahasa dan
fakta.⁴
Namun demikian, teori korespondensi
tidak luput dari kritik. Pertanyaan mengenai hakikat fakta, sifat relasi
representasi, serta keterbatasan bahasa dalam mencerminkan realitas menjadi
tantangan serius. Teori koherensi menekankan konsistensi internal sistem
kepercayaan, pragmatisme menyoroti dimensi kegunaan praktis, sementara
postmodernisme dan relativisme menggugat klaim objektivitas dengan menekankan
konstruksi sosial dan wacana kekuasaan.⁵ Kritik-kritik ini memperlihatkan bahwa
teori korespondensi, meski kuat, bukanlah jawaban tunggal atas problem
kebenaran.
Dalam konteks kontemporer, teori
korespondensi tetap relevan, khususnya dalam menghadapi tantangan era post-truth.
Standar kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas menjadi penting untuk
melawan arus disinformasi, relativisme, dan manipulasi fakta.⁶ Di samping itu,
dalam ilmu pengetahuan, hukum, etika, maupun pendidikan, teori korespondensi
masih memberikan fondasi normatif yang kokoh bagi penilaian klaim kebenaran.⁷
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa teori korespondensi memiliki nilai ganda: sebagai warisan historis yang
membentuk fondasi filsafat kebenaran, dan sebagai kerangka kontemporer yang
tetap relevan untuk menjaga standar objektif dalam ilmu pengetahuan, diskursus
publik, serta kehidupan sosial. Teori ini tidak sempurna dan perlu
dikontekstualisasikan dengan kritik-kritik yang ada, namun justru dalam dialog
dengan teori lainlah, korespondensi menemukan kekuatan dan keberlanjutannya.
Footnotes
[1]               
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.7, 1011b25; Alfred Tarski, “The Semantic
Conception of Truth,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3
(1944): 341–76.
[2]               
Simon Blackburn, Truth: A Guide (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 15–16.
[3]               
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.
16, Art. 1; René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation III; John
Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset,
1690), Book IV, Ch. 4.
[4]               
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–30; G. E. Moore, “The Nature of
Judgment,” Mind 8, no. 30 (1899): 176–193.
[5]               
Harold H. Joachim, The Nature of Truth (Oxford:
Clarendon Press, 1906), 66–70; William James, Pragmatism (New York:
Longmans, Green, and Co., 1907), 106–07; Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 159–62.
[6]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 5–9.
[7]               
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 273–74; Susan Haack, Evidence Matters: Science,
Proof, and Truth in the Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2014),
21–24.
Daftar Pustaka
Alston, W. P. (1999). A realist
conception of truth. In S. Blackburn & K. Simmons (Eds.), Truth (pp.
43–45). Oxford University Press.
Aquinas, T. (n.d.). Summa
Theologica (Part I, Q. 16, Art. 1).
Aristotle. (1924). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Augustine. (1993). On free choice
of the will (T. Williams, Trans.). Hackett.
Blackburn, S. (2005). Truth: A
guide. Oxford University Press.
Bennett, W. L., & Livingston, S. (2020).
The disinformation age: Politics, technology, and disruptive communication
in the United States. Cambridge University Press.
David, M. (2020). The correspondence
theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Spring 2020 ed.). Stanford University. truth-correspondence
Descartes, R. (1996). Meditations
on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Glanzberg, M. (2021). Truth. In E. N.
Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2021 ed.).
Stanford University. truth
Haack, S. (2014). Evidence
matters: Science, proof, and truth in the law. Cambridge University Press.
James, W. (1907). Pragmatism.
Longmans, Green, and Co.
Joachim, H. H. (1906). The nature
of truth. Clarendon Press.
Keyes, R. (2004). The post-truth
era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.
Locke, J. (1690). An essay
concerning human understanding. Thomas Basset.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Moore, G. E. (1899). The nature of
judgment. Mind, 8(30), 176–193.
Plato. (1992). Theaetetus (M.
J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett.
Popper, K. (1959). The logic of
scientific discovery. Routledge.
Putnam, H. (1981). Reason, truth
and history. Cambridge University Press.
Rescher, N. (1973). The coherence
theory of truth. Clarendon Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and
the mirror of nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems
of philosophy. Williams and Norgate.
Russell, B. (1940). An inquiry
into meaning and truth. Allen & Unwin.
Siegel, H. (1988). Educating reason:
Rationality, critical thinking, and education. Routledge.
Tarski, A. (1944). The semantic
conception of truth. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3),
341–376.
van Fraassen, B. C. (1980). The
scientific image. Clarendon Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar