Teori Konstruktivisme
Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori konstruktivisme tentang
kebenaran, mulai dari fondasi konseptual, perkembangan historis, hingga
relevansinya dalam konteks kontemporer. Konstruktivisme dipahami sebagai
pandangan yang menegaskan bahwa kebenaran tidak hadir sebagai entitas absolut
yang sepenuhnya independen dari manusia, melainkan dibentuk melalui aktivitas
kognitif dan interaksi sosial. Secara historis, konstruktivisme berakar pada
filsafat Immanuel Kant yang menekankan peran struktur apriori akal budi,
kemudian berkembang melalui konstruktivisme kognitif (Jean Piaget),
konstruktivisme radikal (Ernst von Glasersfeld), dan konstruktivisme sosial
(Peter L. Berger & Thomas Luckmann, John Searle). Dalam filsafat ilmu,
konstruktivisme mendapat penguatan dari teori paradigma Thomas Kuhn serta studi
sosiologi ilmu oleh Bruno Latour dan Steve Woolgar yang menunjukkan bahwa fakta
ilmiah adalah hasil produksi sosial.
Artikel ini juga menyoroti kritik terhadap konstruktivisme, terutama
dari perspektif realisme, teori korespondensi, dan pragmatisme, yang menuduhnya
berpotensi jatuh dalam relativisme epistemik. Namun, konstruktivisme
kontemporer menegaskan bahwa konstruksi kebenaran bersifat domain-specific,
terutama dalam ranah sosial, tanpa meniadakan eksistensi realitas material.
Dalam konteks mutakhir, konstruktivisme terbukti relevan untuk menganalisis
fenomena post-truth dan disinformasi, dinamika media digital, pluralitas
budaya, pendidikan kritis, serta politik global dan sains kontemporer. Dengan
demikian, konstruktivisme tidak hanya berfungsi sebagai teori filsafat, tetapi
juga sebagai kerangka kritis yang adaptif dan reflektif dalam menghadapi
tantangan epistemologis dan sosial pada era modern.
Kata Kunci: Konstruktivisme;
teori kebenaran; epistemologi; realitas sosial; post-truth; sosiologi
pengetahuan; filsafat ilmu; pendidikan kritis.
PEMBAHASAN
Teori Konstruktivisme tentang Kebenaran
1.          
Pendahuluan
Pertanyaan tentang kebenaran menempati
jantung filsafat sejak awal—dengan beragam teori seperti korespondensi
(kebenaran sebagai korespondensi dengan fakta), koherensi (kebenaran sebagai
keterpaduan dalam suatu sistem keyakinan), dan pragmatisme (kebenaran terkait
praktik penyelidikan dan kebermanfaatan). Di antara spektrum ini,
konstruktivisme menawarkan sudut pandang berbeda: kebenaran (dan sering kali
objek-objek sosial tempat klaim kebenaran itu beroperasi) dipahami sebagai
hasil konstruksi—melibatkan skema kognitif, bahasa, institusi, dan interaksi
sosial.¹ Dengan demikian, konstruktivisme bukan sekadar variasi relativisme
yang meniadakan realitas, melainkan upaya menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi
manusiawi (kognitif dan sosial) ikut membentuk horizon “yang kita sebut
benar”.
Akar teknis gagasan ini dapat ditarik,
secara longgar, ke proyek transendental Immanuel Kant: pengetahuan tidak
sekadar “mencerminkan” dunia, melainkan dibentuk oleh bentuk-bentuk
apriori intuisi dan kategori akal budi yang menyusun pengalaman; dengan kata
lain, apa yang kita sebut “objek pengalaman” selalu sudah terstruktur
oleh syarat-syarat kognitif subjek.² Di abad ke-20, garis ini berkembang ke
konstruktivisme radikal (Ernst von Glasersfeld) yang menekankan “kecocokan
pengalaman” (experiential fit) alih-alih akses ke “realitas metafisis”,
serta ke konstruktivisme sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann) yang
menguraikan proses eksternalisasi-institusionalisasi-internalisasi dalam pembentukan
realitas sosial.³
Dari sisi psikologi dan pendidikan,
Vygotsky menunjukkan bahwa perkembangan kognitif berlangsung melalui mediasi
budaya-bahasa dan interaksi dengan “more knowledgeable other” dalam Zona
Perkembangan Proksimal; konstruksi pengetahuan sejak awal bersifat sosial.
Temuan ini menyokong pembacaan konstruktivis bahwa klaim kebenaran peserta
didik (dan komunitas ilmiah) tumbuh dalam jejaring praktik, alat, dan diskursus
yang dibagikan.⁴ Di ranah studi sains dan teknologi, Latour & Woolgar memperlihatkan
bagaimana “fakta ilmiah” terbangun melalui praktik laboratorium, teks,
dan jaringan otoritas—mendorong refleksi kritis atas bagaimana komunitas
memproduksi status “benar” secara bertahap dan institusional.⁵
Namun konstruktivisme kerap disalahpahami.
Di satu sisi, ia dituduh merelatifkan semuanya; di sisi lain, ia dijadikan
pembenaran ringan bagi klaim “kebenaran itu apa pun yang kita sepakati”.
Literatur kontemporer—misalnya Searle tentang “fakta institusional” yang
bergantung pada konvensi linguistik-normatif tetapi dibedakan dari “fakta
kasar” (brute facts)—menawarkan klarifikasi ontologis: tidak semua domain
sama-sama “terkonstruksi”, dan perbedaan domain memerlukan kriteria
pembenaran yang berbeda.⁶ Hacking pun mengingatkan agar selalu menanyakan “konstruksi
atas apa?” (fakta, konsep, kategori, atau praktik) sebelum menilai cakupan
klaim konstruksionis.⁷
Konteks sosial-politik mutakhir—yang
kerap disebut “era pasca-kebenaran”—membuat agenda konstruktivisme kian
mendesak. Alih-alih melegitimasi “fakta alternatif”, konstruktivisme
yang cermat justru membantu membedakan antara (a) ranah-ranah yang memang
bergantung pada institusi dan konvensi (misalnya uang, jabatan, atau status
hukum) dan (b) klaim faktual tentang dunia yang tetap menuntut evidensi
intersubjektif dan prosedur penelaahan yang ketat. Kerangka ini relevan untuk
memahami penyebaran disinformasi dan untuk merancang praktik literasi informasi
yang menghormati proses sosial pembentukan kebenaran tanpa menyerah pada
nihilisme epistemik.⁸
Artikel ini bertujuan (1) memetakan
konsep, tipe, dan asumsi epistemologis-ontologis konstruktivisme; (2)
menelusuri sejarah perkembangannya dari Kant hingga varian radikal dan sosial,
termasuk implikasi dalam pendidikan serta studi sains; (3) menimbang kritik
utama—terutama dari realisme, korespondensi, dan pragmatisme—serta merumuskan
tanggapan konstruktivis yang tepat; dan (4) menunjukkan relevansinya dalam
menghadapi tantangan kontemporer seperti polarisasi informasi. Secara
metodologis, artikel menggabungkan telaah konseptual atas literatur utama
dengan pembacaan historis-kritis dan contoh kasus dari praktik ilmiah dan
pendidikan. Hasil yang diharapkan adalah pembedaan yang lebih tajam antara
klaim deskriptif (bagaimana kebenaran diproduksi dan diakui) dan klaim normatif
(bagaimana seharusnya kita menilai dan membenarkan klaim kebenaran) dalam
domain yang berbeda—serta kriteria kehati-hatian agar konstruktivisme tidak
tergelincir menjadi relativisme tak terarah.⁹
Footnotes
[1]               
Lihat ringkasan historis dan tipologi teori kebenaran
pada: “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP). Juga “The
Coherence Theory of Truth” dan “The Pragmatic Theory of Truth,” SEP. (Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[2]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998). (cpb-us-w2.wpmucdn.com)
[3]               
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism
(London: Routledge, 1995/2013); Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The
Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966). (Taylor & Francis, Internet Archive)
[4]               
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1978). (JSTOR)
[5]               
Bruno Latour & Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1986). (JSTOR)
[6]               
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995). Bandingkan dengan diskusi terbaru dalam “Social
Ontology,” SEP. (Google Buku, Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[7]               
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999). (JSTOR)
[8]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018). (MIT
Press)
[9]               
Untuk pijakan konseptual komparatif antara
korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, lihat entri-entri SEP yang relevan.
(Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[10]            
Kerangka struktur mengikuti pembedaan
konseptual-historis-aplikatif sebagaimana lazim dalam literatur teori kebenaran
dan konstruksi sosial; lihat, misalnya, Hacking (1999) dan Searle (1995). (JSTOR, Google Buku)
2.          
Konsep Dasar Teori
Konstruktivisme
2.1.      
Definisi dan Ruang
Lingkup
Secara umum, konstruktivisme
adalah posisi yang menyatakan bahwa apa yang kita sebut kebenaran—dan
sering kali juga objek-objek tempat klaim kebenaran itu beroperasi—terbentuk
melalui proses konstruksi kognitif dan/atau konstruksi sosial.
Dengan kata lain, kebenaran bukan sekadar cerminan pasif realitas yang “ada
di luar sana”, melainkan hasil dari kerja skema konseptual, praktik bahasa,
institusi, dan interaksi antarmanusia.¹ Entri-entri rujukan mutakhir menegaskan
keluasan istilah “konstruksi” (construction/ constructivism/ constructionism)
yang diterapkan pada beragam domain—mulai dari emosi dan ras hingga fakta
ilmiah dan kebenaran—sehingga penting sejak awal membedakan apa yang
diklaim terkonstruksi (fakta, konsep, kategori, atau praktik).²
2.2.      
Akar Epistemologis:
Dari Kant ke Konstruktivisme Radikal
Akar filosofis konstruktivisme dapat
ditarik ke proyek transendental Immanuel Kant: pengalaman tidak sekadar
“menerima” dunia, melainkan disintesis oleh bentuk-bentuk apriori
intuisi (ruang-waktu) dan kategori akal budi; objek pengalaman selalu
sudah terstruktur oleh syarat-syarat kognitif subjek.³ Konstruksi ini bersifat epistemik
(menyangkut syarat kemungkinan pengetahuan), bukan sekadar psikologis.
Pada abad ke-20, Ernst von
Glasersfeld mengembangkan konstruktivisme radikal. Alih-alih mengejar
korespondensi dengan “realitas metafisis”, pengetahuan dianggap layak
sejauh cocok (experiential fit) dengan pengalaman dan memungkinkan kita berhasil
bertindak di dunia.⁴ Dalam kerangka ini, “kebenaran” tidak diartikan
sebagai kemiripan gambar-cermin dengan benda, melainkan sebagai kecocokan
skema yang stabil, dapat diandalkan, dan terus direvisi dalam pengalaman.⁵
2.3.      
Konstruktivisme
Sosial: Institusi, Bahasa, dan Realitas Bersama
Berbeda dari penekanan Glasersfeld pada
konstruksi kognitif, konstruktivisme sosial menyoroti bagaimana realitas
sosial (dan status “benar” dalamnya) terbentuk melalui eksternalisasi—institusionalisasi—internalisasi
di tengah praktik dan bahasa bersama. Karya klasik Peter L. Berger &
Thomas Luckmann menggambarkan bagaimana kebiasaan, peran, dan pengetahuan
sehari-hari dinaturalisasi menjadi “kenyataan taken-for-granted”.⁶
Sejalan, John Searle membedakan “fakta
kasar” (brute facts)—yang tidak bergantung pada institusi manusia—dengan “fakta
institusional”, yang eksistensinya memerlukan aturan konstitutif (“X
dihitung sebagai Y dalam konteks C”) dan penerimaan kolektif.⁷
Pembedaan ini krusial bagi konstruktivisme: tidak semua hal “dikonstruksi”
dalam cara yang sama, dan domain sosial memiliki kondisi kebenaran yang
bergantung pada praktik institusional serta bahasa normatif.⁸
2.4.      
Dimensi
Psikologis-Sosial: Pembelajaran, Mediasi Budaya, dan Intersubjektivitas
Dalam psikologi pendidikan, Lev
Vygotsky menunjukkan bahwa perkembangan kognitif bersifat sosiokultural:
berlangsung melalui mediasi bahasa dan bimbingan more knowledgeable
other dalam Zona Perkembangan Proksimal (ZPD).⁹ Ini mendukung klaim
konstruktivis bahwa pembentukan pengetahuan—karena itu juga penerimaan
klaim kebenaran—terjadi dalam jejaring interaksi dan alat budaya
yang dibagikan, bukan murni proses individual.
2.5.      
Bahasa, Paradigma,
dan Produksi “Fakta” Ilmiah
Literatur sosiologi sains
memperlihatkan bahwa status “faktual” dalam ilmu tidak muncul sekaligus,
melainkan diproduksi, distabilisasi, dan dinegosiasikan melalui praktik
laboratorium, retorika ilmiah, dan jaringan otoritas. Kajian Bruno Latour
& Steve Woolgar atas kultur laboratorium menunjukkan bagaimana klaim
awal dipadatkan menjadi “fakta” melalui siklus publikasi, sitiran, dan
pemakaian instrumen.¹⁰ Terkait itu, Thomas S. Kuhn menekankan peran paradigma
dan normal science—kerangka konseptual-metodologis yang membentuk apa
yang dianggap problem bermakna, metode sah, dan bukti yang meneguhkan.¹¹
Perspektif ini tidak meniadakan realitas, tetapi menyoroti perantara
konseptual dan praktik komunitas dalam penetapan kebenaran ilmiah.
2.6.      
Variasi dan
Tipologi: Kognitif vs. Sosial, Moderat vs. Radikal
Secara tipologis, kita dapat
membedakan:
·                    
Konstruktivisme kognitif
(berbasis skema/penalaran, dari Kant ke Glasersfeld): kebenaran sebagai kecocokan
skema-pengalaman dan keberhasilan operasional.¹²
·                    
Konstruktivisme sosial
(Berger–Luckmann; Searle; Hacking): kebenaran sebagai status yang diakui
dalam praktik institusional dan bahasa kolektif; fokus pada domain sosial
dan kategori (mis. uang, jabatan, ras, gender).¹³
·                    
Varian moderat vs.
radikal: varian moderat menerima keberagaman domain (sebagian
fakta institusional, sebagian “kasar”), sedangkan varian radikal
menekankan ketakterjangkauan realitas “di luar skema” dan memusat
pada viability.¹⁴
Entri rujukan kontemporer juga
membedakan konstruktivisme metafisis (bagaimana objek atau kategori
ada karena konstruksi) dari konstruktivisme normatif/ epistemik
(bagaimana alasan atau standar pembenaran ditentukan secara
konstruktif).¹⁵ Pembedaan ini membantu mencegah over-reach: klaim
konstruksi atas kategori sosial tidak otomatis meluas menjadi klaim
bahwa semua fakta fisik “dibuat” oleh masyarakat.
2.7.      
Konstruktivisme,
Relativisme, dan Intersubjektivitas
Kritik umum menyamakan konstruktivisme
dengan relativisme total. Namun literatur utama menolak reduksi ini. Hacking
mengingatkan agar selalu bertanya “konstruksi atas apa?” untuk menilai cakupan
klaim konstruksionis; banyak konstruksi bersifat lokal-historis dan terbatas
domain.¹⁶ Searle menegaskan bahwa meski fakta institusional
bergantung pada konvensi, kriteria kebenaran dalam domain tersebut tetap
intersubjektif dan terikat aturan.¹⁷ Sementara konstruktivisme
radikal mengganti korespondensi dengan viability, ia tetap menuntut konsistensi
dan keberhasilan tindakan sebagai uji yang publik-terbuka dalam
komunitas praktik.¹⁸
2.8.      
Rumusan Kerja: Apa
Itu “Kebenaran” dalam Konstruktivisme?
Merangkum pembahasan di atas, kebenaran
dalam konstruktivisme dapat dipahami sebagai berikut:
1)                 
Dalam domain sosial,
kebenaran adalah status penilaian yang mengikuti aturan institusional
dan praktik linguistik (misalnya, “A sah sebagai wali” benar jika
dan hanya jika memenuhi aturan hukum yang berlaku).¹⁹
2)                 
Dalam domain pengetahuan
empiris, kebenaran bergantung pada kerangka konseptual-metodologis
yang memandu apa yang dihitung sebagai bukti; status “benar” dinegosiasikan
melalui prosedur komunitas (peer review, replikasi, standar).²⁰
3)                 
Dalam ranah kognitif
individual, kebenaran diartikan sebagai kecocokan skema-pengalaman
yang stabil dan fungsional, selalu terbuka untuk revisi.²¹
Dengan konfigurasi ini, konstruktivisme
bukan lisensi bagi “apa pun boleh”, melainkan undangan untuk menganalisis
syarat-syarat (kognitif, sosial, institusional) yang memungkinkan klaim
kebenaran diakui dan dipertanggungjawabkan—sekaligus menjaga pembedaan domain
agar tidak tergelincir ke relativisme menyeluruh.
Footnotes
[1]               
Lihat pengantar umum teori-teori kebenaran di Stanford
Encyclopedia of Philosophy (SEP), “Truth.” (Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[2]               
Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social
Construction,” SEP (substantive revision 2008). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[3]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998). (cpb-us-w2.wpmucdn.com)
[4]               
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995). (files.eric.ed.gov)
[5]               
Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical
Constructivism,” naskah akses terbuka. (app.nova.edu)
[6]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966). (amstudugm.files.wordpress.com)
[7]               
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995). Untuk ringkasan/scan, lihat materi kuliah yang
memuat pembedaan “brute” vs “institutional facts.” (epistemh.pbworks.com)
[8]               
Brian Epstein, “Social Ontology,” SEP
(substantive revision 2024). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[9]               
Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1978), bab tentang ZPD. (home.fau.edu)
[10]            
Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts, edisi revisi (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1986). (BPB)
[11]            
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, ed. 50-tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012). (columbia.edu)
[12]            
Glasersfeld, Radical Constructivism, khususnya
gagasan experiential fit. (files.eric.ed.gov)
[13]            
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999). (Larval Subjects)
[14]            
Perbandingan varian dapat dilihat pada von Glasersfeld
(radikal) dan Searle (institusional); bandingkan juga ulasan ensiklopedis. (app.nova.edu, epistemh.pbworks.com, Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[15]            
“Constructivism in Metaphysics,” Internet
Encyclopedia of Philosophy (IEP), memetakan variasi konstruktivisme
metafisis vs normatif. (Ensiklopedia Filsafat Internet)
[16]            
Hacking, The Social Construction of What?, bab
pengantar (pertanyaan “construction of what?”). (Larval Subjects)
[17]            
Searle, The Construction of Social Reality,
tentang aturan konstitutif dan penerimaan kolektif. (epistemh.pbworks.com)
[18]            
Von Glasersfeld, “An Introduction to Radical
Constructivism,” tentang viability sebagai kriteria. (app.nova.edu)
[19]            
Epstein, “Social Ontology,” SEP (contoh
analisis entitas sosial dan syarat keberlakuannya). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)
[20]            
Latour & Woolgar, Laboratory Life; Kuhn, Structure
of Scientific Revolutions. (BPB, columbia.edu)
[21]            
Von Glasersfeld, Radical Constructivism; juga
ringkasan pedagogisnya di naskah pengantar. (files.eric.ed.gov, app.nova.edu)
3.          
Landasan
Epistemologis dan Ontologis
3.1.      
Epistemologi
Konstruktivisme: Pengetahuan sebagai Hasil Konstruksi
Secara epistemologis, konstruktivisme
berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan bukan sekadar representasi pasif
dari realitas, melainkan hasil dari aktivitas subjek dalam membangun
skema konseptual.¹ Immanuel Kant menegaskan bahwa pengalaman inderawi hanya
mungkin dipahami melalui bentuk-bentuk apriori (ruang, waktu) dan
kategori-kategori akal budi.² Dengan demikian, realitas yang kita pahami selalu
sudah “dibentuk” oleh struktur kognitif manusia.
Dalam konstruktivisme radikal Ernst von
Glasersfeld, pengetahuan dipandang sebagai alat adaptif, bukan cermin
dari dunia.³ Kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi dengan realitas
eksternal, tetapi sebagai viability—yakni sejauh mana suatu konsep
berfungsi secara konsisten dalam pengalaman dan mendukung tindakan yang
berhasil.⁴ Perspektif ini menolak klaim absolut tentang realitas “sebagaimana
adanya” (the world-in-itself), dan menekankan keterbatasan
pengetahuan pada dunia pengalaman.
Dari sisi konstruktivisme sosial,
epistemologi menekankan peran bahasa, interaksi, dan institusi dalam
membentuk klaim kebenaran. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa
pengetahuan sehari-hari diproduksi, dilembagakan, dan diwariskan melalui proses
sosial hingga menjadi taken for granted reality.⁵ Pengetahuan tidak
netral, melainkan berakar pada konteks budaya, praktik diskursif, dan relasi
kekuasaan yang mendasarinya.
3.2.      
Ontologi Konstruktivisme:
Realitas sebagai Terbentuk dan Terberi
Secara ontologis, konstruktivisme
menolak dikotomi sederhana antara realitas obyektif dan representasi
subyektif. Ia mengusulkan pandangan bahwa realitas yang kita akses selalu
merupakan hasil konstruksi bersama antara kondisi material dengan
kerangka konseptual-sosial.⁶
John R. Searle menguraikan perbedaan
antara fakta kasar (brute facts) yang tidak bergantung pada
institusi manusia (misalnya gunung, gravitasi), dan fakta institusional
(institutional facts) yang ada karena aturan dan pengakuan kolektif
(misalnya uang, perkawinan, jabatan politik).⁷ Dengan kerangka ini, ontologi
konstruktivis menegaskan bahwa sebagian besar fenomena sosial tidak “ditemukan”,
melainkan diciptakan melalui aturan konstitutif dan dijaga oleh
konsensus intersubjektif.
Ian Hacking menambahkan nuansa dengan
menekankan bahwa ketika kita mengatakan “X adalah konstruksi sosial”,
pertanyaan penting adalah apa yang dikonstruksi—apakah fakta, kategori,
atau praktik.⁸ Misalnya, “penyakit mental” mungkin memiliki dasar
biologis (fakta kasar), tetapi kategorisasi dan perlakuannya jelas merupakan
hasil konstruksi sosial. Dengan demikian, konstruktivisme tidak berarti menolak
realitas sama sekali, tetapi menekankan bahwa ontologi sosial bergantung
pada praktik simbolik dan institusional manusia.
3.3.      
Perbandingan dengan
Realisme dan Relativisme
Secara epistemologis, konstruktivisme
berbeda dengan realisme naif yang memandang pengetahuan sebagai salinan
langsung realitas.⁹ Sebaliknya, ia mengakui peran aktif subjek dan struktur
sosial dalam membentuk apa yang dianggap benar.
Namun, konstruktivisme juga berjarak
dari relativisme radikal. Meskipun menekankan bahwa klaim kebenaran
diproduksi dalam konteks tertentu, konstruktivisme tetap mengakui adanya kriteria
intersubjektif (misalnya konsistensi, keberfungsian, kesepakatan
institusional) yang membedakan klaim yang sah dari klaim sembarangan.¹⁰ Dengan
kata lain, konstruktivisme menolak klaim universal-absolut, tetapi tidak jatuh
pada nihilisme epistemik.
3.4.      
Kontribusi
Tokoh-tokoh Kunci
·                    
Immanuel Kant:
pengetahuan sebagai hasil sintesis subjek-transendental.¹¹
·                    
Ernst von Glasersfeld:
konstruktivisme radikal dengan penekanan pada viability.¹²
·                    
Peter L. Berger &
Thomas Luckmann: konstruksi sosial realitas melalui proses eksternalisasi,
institusionalisasi, internalisasi.¹³
·                    
John R. Searle:
konsep fakta institusional yang bergantung pada aturan konstitutif dan
penerimaan kolektif.¹⁴
·                    
Ian Hacking:
analisis kritis atas klaim “konstruksi sosial” dengan pembedaan tingkat
dan objek konstruksi.¹⁵
Tokoh-tokoh ini memberikan fondasi
epistemologis dan ontologis bagi teori konstruktivisme, sekaligus membedakannya
dari tradisi epistemologi klasik maupun teori kebenaran tradisional.
3.5.      
Implikasi
Epistemologis dan Ontologis
Dengan fondasi di atas, konstruktivisme
memandang bahwa:
1)                 
Pengetahuan bersifat
aktif: dibentuk melalui aktivitas kognitif, bukan sekadar pasif menerima
realitas.
2)                 
Kebenaran bersifat
kontekstual: bergantung pada kerangka konseptual, sosial, dan historis.
3)                 
Realitas sosial bersifat
institusional: ada karena aturan dan pengakuan bersama, bukan semata fakta
material.
4)                 
Ontologi terbagi dua:
realitas fisik yang relatif independen, dan realitas sosial yang secara
mendasar konstruktif.
5)                 
Kriteria kebenaran:
bukan korespondensi mutlak, melainkan viability, intersubjektivitas, dan
konsistensi dalam praktik sosial.
Dengan demikian, konstruktivisme
menegaskan bahwa epistemologi dan ontologi tidak dapat dipisahkan: apa yang
kita sebut “realitas” selalu sudah terstruktur oleh cara kita
mengenalnya, dan klaim kebenaran selalu lahir dalam interaksi antara subjek,
bahasa, dan institusi.
Footnotes
[1]               
Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social
Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).
[2]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[3]               
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995).
[4]               
Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical
Constructivism,” naskah akses terbuka.
[5]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).
[6]               
Brian Epstein, “Social Ontology,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2024).
[7]               
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995).
[8]               
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).
[9]               
David Papineau, “Naturalism,” Stanford Encyclopedia
of Philosophy (2020), untuk ringkasan tentang realisme naif.
[10]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), bab 2.
[11]            
Kant, Critique of Pure Reason.
[12]            
Glasersfeld, Radical Constructivism.
[13]            
Berger & Luckmann, The Social Construction of
Reality.
[14]            
Searle, The Construction of Social Reality.
[15]            
Hacking, The Social Construction of What?.
4.          
Sejarah dan
Perkembangan Teori Konstruktivisme
4.1.      
Akar Filsafat: Dari
Kant hingga Idealisme Jerman
Sejarah konstruktivisme dapat
ditelusuri ke Immanuel Kant (1724–1804), yang merumuskan gagasan bahwa
pengalaman manusia tidak semata-mata menerima realitas, melainkan terbentuk
melalui struktur apriori akal budi.¹ Pengetahuan, menurut Kant, bukan
refleksi pasif, melainkan hasil sintesis aktif antara data inderawi dan
kategori rasional.² Prinsip ini memberi fondasi awal bahwa kebenaran bukanlah given
secara obyektif, tetapi selalu melalui konstruksi subjek.
Setelah Kant, aliran Idealisme
Jerman (Fichte, Schelling, Hegel) melanjutkan gagasan konstruksi
pengetahuan melalui aktivitas kesadaran.³ Dalam filsafat Hegel, misalnya,
kebenaran dipahami sebagai hasil dari dialektika historis—proses
konstruktif yang melibatkan subjek dan sejarah.
4.2.      
Abad ke-20:
Konstruktivisme Radikal
Pada abad ke-20, konstruktivisme
berkembang dengan tokoh-tokoh seperti Jean Piaget dan Ernst von
Glasersfeld.
·                    
Jean Piaget
(1896–1980) memperkenalkan teori perkembangan kognitif yang menekankan bahwa
pengetahuan dibentuk melalui interaksi aktif antara individu dan
lingkungannya.⁴ Proses asimilasi dan akomodasi menjadi mekanisme utama dalam
konstruksi pengetahuan.
·                    
Ernst von Glasersfeld
(1917–2010) kemudian mengembangkan konstruktivisme radikal, yang menolak
gagasan kebenaran sebagai korespondensi dengan realitas eksternal.⁵ Menurutnya,
pengetahuan tidak dapat diverifikasi dengan realitas obyektif, tetapi diuji
melalui viability—yakni sejauh mana konsep-konsep yang dibangun dapat
berfungsi dalam pengalaman.⁶
Gagasan Glasersfeld menegaskan bahwa
realitas “sebagaimana adanya” tidak dapat diakses langsung, melainkan selalu
dimediasi oleh skema kognitif manusia.
4.3.      
Konstruktivisme
Sosial: Berger–Luckmann dan Searle
Di sisi lain, berkembang pula konstruktivisme
sosial yang menekankan dimensi intersubjektif dalam pembentukan kebenaran.
·                    
Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann melalui karyanya The Social Construction of Reality
(1966) menegaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui proses eksternalisasi,
institusionalisasi, dan internalisasi.⁷ Pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari bukanlah hasil refleksi individual murni, melainkan diproduksi dan
dilembagakan secara sosial.
·                    
John R. Searle
kemudian menyumbangkan kerangka ontologi sosial dengan membedakan fakta
kasar (brute facts) dan fakta institusional.⁸ Fakta
institusional, seperti uang atau jabatan, ada karena adanya aturan konstitutif
dan pengakuan kolektif. Pandangan ini menegaskan bahwa sebagian besar kebenaran
sosial bersifat konstruktif.
4.4.      
Perkembangan dalam
Sosiologi Pengetahuan dan Ilmu
Konstruktivisme juga berkembang dalam
studi sains dan teknologi. Thomas S. Kuhn dalam The Structure of
Scientific Revolutions (1962) menunjukkan bahwa ilmu tidak berkembang
secara linear, melainkan melalui pergeseran paradigma.⁹ Apa yang
dianggap benar dalam sains bergantung pada paradigma dominan yang dipegang
komunitas ilmiah.
Lebih lanjut, Bruno Latour dan Steve
Woolgar dalam Laboratory Life (1979) mendemonstrasikan bagaimana
fakta ilmiah “diproduksi” melalui praktik laboratorium, retorika, dan
jaringan sosial.¹⁰ Ini memperkuat klaim konstruktivis bahwa kebenaran ilmiah
tidak pernah murni “ditemukan”, tetapi dikonstruksi secara sosial.
4.5.      
Gelombang
Postmodernisme dan Kritik
Pada paruh akhir abad ke-20,
konstruktivisme mendapat dorongan dari wacana postmodernisme.
Tokoh-tokoh seperti Michel Foucault menekankan peran relasi kuasa dalam
pembentukan pengetahuan.¹¹ Di sini, konstruktivisme sering dikaitkan dengan
kritik terhadap klaim universalitas kebenaran.
Namun, gelombang ini juga memunculkan
kritik. Sejumlah filsuf menilai konstruktivisme postmodern terlalu relativistik
dan berisiko meniadakan landasan obyektif bagi ilmu pengetahuan.¹² Kritik ini
mendorong lahirnya varian konstruktivisme yang lebih moderat, yang tetap
menegaskan konstruksi sosial pengetahuan namun mengakui adanya batas realitas
material.
4.6.      
Perkembangan
Kontemporer
Dalam perkembangannya, konstruktivisme
kini diaplikasikan di berbagai bidang:
·                    
Pendidikan: teori
belajar konstruktivis menekankan peran aktif siswa dalam membangun pengetahuan
melalui interaksi sosial dan pengalaman.¹³
·                    
Ilmu sosial:
konstruktivisme digunakan untuk menganalisis konstruksi identitas, norma, dan
budaya.¹⁴
·                    
Kajian media dan politik:
konstruktivisme menjadi kerangka untuk memahami pembentukan “narasi
kebenaran” dalam era post-truth.¹⁵
Dengan demikian, konstruktivisme telah
berevolusi dari gagasan epistemologis Kantian hingga menjadi paradigma
lintas-disiplin yang memengaruhi filsafat, sosiologi, ilmu pengetahuan, dan
pendidikan.
Footnotes
[1]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[2]               
Sebastian Gardner, Routledge Philosophy Guidebook
to Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999).
[3]               
Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle
against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2002).
[4]               
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in
Children (New York: International Universities Press, 1952).
[5]               
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995).
[6]               
Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical
Constructivism,” dalam The Invented Reality, ed. Paul Watzlawick (New
York: Norton, 1984).
[7]               
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).
[8]               
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995).
[9]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012).
[10]            
Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 1986).
[11]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon, 1980).
[12]            
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).
[13]            
Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1978).
[14]            
Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social
Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).
[15]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018).
5.          
Konstruktivisme
dalam Ranah Ilmu Pengetahuan
5.1.      
Epistemologi Ilmu
dan Peran Paradigma
Dalam filsafat ilmu, konstruktivisme
menekankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah berdiri di atas landasan
obyektif murni, melainkan selalu terbentuk melalui kerangka konseptual,
metode, dan konsensus komunitas ilmiah. Thomas S. Kuhn melalui The
Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa ilmu berkembang
melalui pergeseran paradigma, bukan hanya akumulasi fakta.¹ Paradigma
menentukan apa yang dianggap sebagai masalah ilmiah sah, metode yang sah
digunakan, serta kriteria bukti yang valid.² Dengan demikian, kebenaran ilmiah
dalam perspektif konstruktivis dipahami sebagai hasil dari proses historis
dan sosial yang melekat pada komunitas ilmiah.
5.2.      
Fakta Ilmiah sebagai
Konstruksi Sosial
Sosiologi ilmu memperlihatkan bahwa
“fakta ilmiah” tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi melalui
praktik laboratorium, publikasi, dan interaksi sosial. Bruno Latour dan
Steve Woolgar, dalam etnografi klasik mereka Laboratory Life,
menunjukkan bahwa klaim-klaim ilmiah pada awalnya berbentuk hipotesis yang
secara bertahap “dipadatkan” menjadi fakta melalui siklus kutipan, pembuktian,
dan pengakuan komunitas.³ Fakta ilmiah, dalam hal ini, adalah produk sosial
yang mendapatkan stabilitas melalui jaringan otoritas, retorika, dan perangkat
teknis.⁴
Hal ini sejalan dengan perspektif aktor-jaringan
(actor-network theory) yang menekankan bahwa pengetahuan ilmiah lahir dari interaksi
manusia, instrumen, teks, dan institusi.⁵ Dengan demikian, status “benar”
dalam ilmu pengetahuan bukan sekadar cerminan realitas obyektif, tetapi hasil
dari proses konstruksi kompleks dalam jaringan ilmiah.
5.3.      
Dimensi Pendidikan
dan Psikologi Belajar
Dalam ranah pendidikan, konstruktivisme
telah menjadi salah satu teori dominan tentang belajar. Jean Piaget menegaskan
bahwa perkembangan kognitif siswa terjadi melalui proses asimilasi
(mengintegrasikan informasi baru ke dalam skema yang ada) dan akomodasi
(menyesuaikan skema untuk mengakomodasi informasi baru).⁶ Pengetahuan dibangun
secara aktif oleh siswa, bukan ditransfer secara pasif dari guru.
Lev Vygotsky melengkapi perspektif ini
dengan konstruktivisme sosial yang menekankan peran bahasa, budaya,
dan interaksi sosial dalam perkembangan kognitif.⁷ Konsep Zona
Perkembangan Proksimal (ZPD) menegaskan bahwa kemampuan belajar siswa
dipengaruhi oleh dukungan dari orang lain (scaffolding). Hal ini menjadikan
proses belajar sebagai arena konstruksi sosial pengetahuan, di mana
kebenaran diproduksi dalam interaksi antarindividu dan komunitas belajar.
5.4.      
Implikasi dalam
Metodologi Ilmu Pengetahuan
Konstruktivisme juga memiliki implikasi
metodologis yang signifikan:
·                    
Kebenaran bersifat
intersubjektif: validasi ilmiah dilakukan melalui peer review, replikasi
eksperimen, dan kesepakatan komunitas.⁸
·                    
Pengetahuan bersifat
kontekstual: klaim ilmiah hanya sah dalam kerangka metodologis tertentu;
fakta ilmiah tidak dapat dipisahkan dari teori yang memuatnya (theory-ladenness
of observation).⁹
·                    
Pluralitas penafsiran:
data ilmiah dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda, tergantung pada
paradigma dan kerangka konseptual.¹⁰
Dengan demikian, konstruktivisme
mendorong kesadaran kritis bahwa metodologi ilmiah bukan sekadar prosedur
teknis, tetapi juga praktik sosial yang membentuk apa yang diakui sebagai
kebenaran.
5.5.      
Relevansi dalam Era
Sains Kontemporer
Dalam konteks kontemporer,
konstruktivisme menjadi kerangka penting untuk memahami fenomena seperti:
·                    
Kontroversi ilmiah:
perdebatan tentang perubahan iklim, vaksin, atau kecerdasan buatan dapat
dipahami sebagai medan konstruksi sosial di mana aktor-aktor berkompetisi
membentuk klaim kebenaran.¹¹
·                    
Interdisiplinaritas:
konstruktivisme menekankan bahwa ilmu tidak berkembang secara isolatif, tetapi
dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya.¹²
·                    
Era post-truth:
konstruktivisme menolong kita membedakan antara fakta ilmiah yang dikonstruksi
melalui prosedur sah komunitas ilmiah, dan klaim pseudo-ilmiah yang dibangun
tanpa dasar metodologis yang kuat.¹³
Kesimpulan Sementara
Dengan menempatkan ilmu sebagai proses
konstruksi, konstruktivisme memperluas pemahaman kita tentang kebenaran ilmiah.
Ia menolak reduksi ilmu menjadi sekadar “cermin realitas,” tetapi juga menolak
nihilisme relativistik. Dalam pandangan ini, kebenaran ilmiah adalah hasil
interaksi antara realitas material, kerangka konseptual, dan praktik sosial
komunitas ilmiah. Perspektif ini tidak melemahkan legitimasi sains,
melainkan menegaskan bahwa otoritas sains berasal dari mekanisme sosial yang
ketat yang menjaga validitas klaim kebenaran.
Footnotes
[1]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 10–11.
[2]               
Ibid., 43–51.
[3]               
Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life:
The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1986), 69–72.
[4]               
Karin Knorr-Cetina, Epistemic Cultures: How the
Sciences Make Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).
[5]               
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow
Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1987).
[6]               
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in
Children (New York: International Universities Press, 1952), 7–15.
[7]               
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1978), 84–91.
[8]               
Robert K. Merton, “The Normative Structure of
Science,” dalam The Sociology of Science: Theoretical and Empirical
Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–78.
[9]               
Norwood R. Hanson, Patterns of Discovery
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 19–20.
[10]            
Helen Longino, The Fate of Knowledge
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 115–17.
[11]            
Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of
Doubt (New York: Bloomsbury, 2010).
[12]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The
Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004).
[13]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 33–40.
6.          
Kritik terhadap
Teori Konstruktivisme
6.1.      
Kritik dari
Perspektif Realisme
Salah satu kritik utama terhadap
konstruktivisme datang dari perspektif realisme ilmiah yang menegaskan
bahwa kebenaran ilmiah harus merujuk pada realitas obyektif yang ada secara
independen dari pikiran dan bahasa manusia.¹ Kaum realis berpendapat bahwa konstruktivisme,
terutama dalam bentuk radikalnya, terjebak dalam relativisme epistemik
yang meniadakan perbedaan antara klaim benar dan klaim salah.² Menurut Richard
Boyd, sains memiliki keberhasilan prediktif justru karena teorinya menangkap
aspek nyata dunia, bukan sekadar konstruksi sosial.³
Bagi realisme, argumen konstruktivisme
bahwa pengetahuan hanyalah viable (dapat digunakan) terlalu lemah,
karena kegunaan praktis tidak identik dengan kebenaran obyektif.⁴ Dengan kata
lain, jika kebenaran hanya dipahami sebagai “cocok untuk digunakan,”
maka ia kehilangan kekuatan normatif untuk membedakan fakta dari fiksi.
6.2.      
Kritik dari Teori
Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi menilai
konstruktivisme gagal memberikan kriteria obyektif untuk mengukur
validitas klaim kebenaran.⁵ Menurut pandangan ini, suatu pernyataan benar jika
sesuai (corresponds) dengan keadaan dunia. Alfred Tarski, misalnya,
menekankan bahwa konsep kebenaran dapat diformalkan melalui semantik yang
netral dan obyektif.⁶
Dari sudut pandang ini, konstruktivisme
dianggap mengaburkan fakta obyektif dengan konstruksi sosial, sehingga membuka
peluang bahwa kebenaran hanyalah hasil kesepakatan mayoritas atau konsensus
budaya.⁷ Kritikus memperingatkan bahwa hal ini berisiko merelatifkan sains
menjadi setara dengan mitos atau opini populer, jika semua klaim dianggap
sama-sama “konstruksi.”
6.3.      
Kritik dari
Perspektif Pragmatisme
Dari sudut pragmatisme, konstruktivisme
dinilai terlalu menekankan pada aspek sosial dan kognitif tanpa cukup
memperhatikan dimensi praktik. William James dan John Dewey berpendapat
bahwa kebenaran harus diukur berdasarkan konsekuensi praktis dan kemanfaatannya
dalam tindakan.⁸ Meskipun konstruktivisme berbagi pandangan bahwa kebenaran
tidak absolut, pragmatisme lebih menekankan pada eksperimentasi dan perubahan
dinamis daripada sekadar konstruksi konseptual atau sosial.⁹
Dengan kata lain, pragmatisme menilai
konstruktivisme berisiko terjebak pada analisis diskursif tanpa cukup
memperhatikan trial and error praktis yang membentuk validitas klaim.
6.4.      
Tuduhan Relativisme
dan Nihilisme Epistemik
Kritik paling populer terhadap
konstruktivisme adalah tuduhan bahwa ia mengarah pada relativisme total:
jika semua kebenaran merupakan konstruksi, maka tidak ada dasar untuk
membedakan antara pengetahuan ilmiah yang sah dengan klaim pseudo-ilmiah atau
bahkan teori konspirasi.¹⁰ Paul Boghossian menilai konstruktivisme sosial
sebagai bentuk “relativisme epistemik” yang melemahkan otoritas sains.¹¹
Kritik ini sangat relevan dalam era post-truth,
di mana konstruktivisme sering disalahpahami sebagai pembenaran untuk
menyatakan bahwa “setiap klaim sama benarnya.” Padahal, menurut Ian
Hacking, klaim “semua hal terkonstruksi” terlalu berlebihan; konstruksi
sosial bersifat domain-specific, terbatas pada kategori sosial atau
institusional, bukan pada fakta alamiah yang bersifat brute.¹²
6.5.      
Kritik Internal:
Ambiguitas Konsep
Bahkan dari kalangan internal,
konstruktivisme dikritik karena ambigu dalam penggunaan istilah.
Misalnya, terdapat perbedaan besar antara konstruktivisme radikal (Glasersfeld)
dan konstruktivisme sosial (Berger–Luckmann, Searle).¹³ Sering kali istilah “konstruksi
sosial” digunakan tanpa kejelasan apakah yang dimaksud adalah fakta,
konsep, atau praktik.¹⁴ Akibatnya, konstruktivisme menghadapi risiko menjadi
slogan teoritis yang kabur ketimbang kerangka analitis yang tajam.
6.6.      
Tanggapan
Konstruktivis terhadap Kritik
Meski menghadapi berbagai kritik, para
konstruktivis memberikan beberapa tanggapan penting:
1)                 
Terhadap realisme,
konstruktivis menegaskan bahwa mereka tidak menolak adanya realitas material,
tetapi menyoroti keterkaitan epistemik: pengetahuan tentang realitas
selalu dimediasi oleh kerangka konseptual dan sosial.¹⁵
2)                 
Terhadap teori
korespondensi, konstruktivis menyatakan bahwa konsep “korespondensi
obyektif” sendiri tidak bebas teori; observasi selalu terikat teori (theory-ladenness
of observation).¹⁶
3)                 
Terhadap pragmatisme,
konstruktivisme menekankan bahwa praktik sosial justru merupakan arena di mana
kebenaran dinegosiasikan dan diuji. Dengan demikian, konstruktivisme kompatibel
dengan orientasi pragmatis.¹⁷
4)                 
Terhadap tuduhan
relativisme, konstruktivis seperti Searle dan Hacking menekankan bahwa
tidak semua hal bersifat konstruktif; perlu dibedakan antara fakta
institusional dan fakta kasar, serta antara konstruksi epistemik
dan konstruksi ontologis.¹⁸
Dengan demikian, konstruktivisme
mempertahankan relevansinya dengan menolak klaim absolut tanpa jatuh ke dalam
relativisme total.
Kesimpulan Sementara
Bab ini menunjukkan bahwa
konstruktivisme, meskipun kaya secara konseptual, tidak lepas dari kritik
serius baik dari perspektif realisme, teori korespondensi, maupun pragmatisme.
Kritik tersebut terutama menyoroti bahaya relativisme dan kelemahan kriteria kebenaran
dalam konstruktivisme. Namun, tanggapan konstruktivis menegaskan bahwa teori
ini bukanlah penolakan terhadap realitas, melainkan analisis kritis tentang
kondisi epistemik dan sosial yang membentuk klaim kebenaran. Dengan
demikian, konstruktivisme tetap memberi kontribusi penting sebagai teori
reflektif, sekaligus perlu dikembangkan lebih hati-hati untuk menghindari
generalisasi berlebihan.
Footnotes
[1]               
Richard Boyd, “Scientific Realism,” dalam The
Philosophy of Science, ed. David Papineau (Oxford: Oxford University Press,
1996), 45–70.
[2]               
Susan Haack, Defending Science—Within Reason:
Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus, 2003), 102–4.
[3]               
Boyd, “Scientific Realism,” 56–58.
[4]               
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A
Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995), 25–27.
[5]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2016).
[6]               
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and
the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research
4, no. 3 (1944): 341–76.
[7]               
Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against
Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006),
24–26.
[8]               
William James, Pragmatism (New York: Longmans,
Green, and Co., 1907), 106–8.
[9]               
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New
York: Holt, 1938), 15–20.
[10]            
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate
(Chicago: University of Chicago Press, 1998), 82–83.
[11]            
Boghossian, Fear of Knowledge, 1–4.
[12]            
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 21–23.
[13]            
Glasersfeld, Radical Constructivism, 3–6.
[14]            
Berger dan Luckmann, The Social Construction of
Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966), 15–20.
[15]            
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995), 7–8.
[16]            
Norwood R. Hanson, Patterns of Discovery
(Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 19–22.
[17]            
James, Pragmatism, 114–16.
[18]            
Hacking, The Social Construction of What?,
35–36; Searle, The Construction of Social Reality, 11–13.
7.          
Relevansi Kontemporer
7.1.      
Konstruktivisme dan
Era Post-Truth
Salah satu relevansi paling signifikan
dari konstruktivisme hari ini adalah kemampuannya membantu kita memahami
dinamika era post-truth, yaitu masa ketika fakta obyektif sering
kali kalah pengaruh dibandingkan emosi dan opini pribadi dalam membentuk opini publik.¹
Lee McIntyre menekankan bahwa post-truth bukan sekadar “kebohongan,”
melainkan kondisi sosial-politik di mana otoritas epistemik sains dan fakta
dilemahkan.² Dalam konteks ini, konstruktivisme dapat digunakan secara kritis
untuk menelusuri mekanisme sosial dan politik yang membentuk klaim
kebenaran, sekaligus membedakan antara proses konstruksi yang sah
(misalnya peer review, konsensus ilmiah) dengan klaim pseudo-ilmiah yang
sengaja diproduksi untuk tujuan ideologis.³
7.2.      
Media Digital,
Disinformasi, dan Algoritma
Di era digital, konstruktivisme semakin
relevan dalam menganalisis bagaimana media sosial dan algoritma membentuk
realitas sosial. Fakta dan kebenaran kini banyak “dikonstruksi” melalui platform
digital yang mengatur aliran informasi berdasarkan preferensi, klik, dan
interaksi pengguna.⁴ Menurut Zeynep Tufekci, algoritma media sosial tidak
netral, melainkan memediasi apa yang dianggap penting dan benar bagi komunitas
daring.⁵ Dengan demikian, konstruktivisme menolong kita memahami bahwa
kebenaran digital bukanlah refleksi obyektif, tetapi hasil konstruksi kompleks
dari interaksi teknologi, ekonomi, dan budaya.
7.3.      
Multikulturalisme,
Relativisme Budaya, dan Dialog Intersubjektif
Dalam dunia yang semakin plural,
konstruktivisme berperan penting untuk menegaskan bahwa kebenaran sering kali
bersifat relatif terhadap konteks budaya. Clifford Geertz menunjukkan
bahwa makna (dan karenanya klaim kebenaran) selalu berakar dalam simbol dan
praktik budaya tertentu.⁶ Pandangan ini memperkaya diskursus multikulturalisme,
karena membuka ruang bagi pengakuan pluralitas epistemik.
Namun, konstruktivisme kontemporer juga
menegaskan bahwa pluralitas tidak identik dengan relativisme absolut. Habermas,
misalnya, mengajukan konsep rasionalitas komunikatif yang berupaya
menemukan dasar intersubjektif dalam dialog lintas-budaya.⁷ Dengan demikian,
konstruktivisme membantu membangun kerangka dialog interkultural di mana
klaim kebenaran dinegosiasikan melalui argumentasi rasional dalam konteks
plural.
7.4.      
Politik Global dan
Hubungan Internasional
Dalam hubungan internasional,
konstruktivisme menjadi salah satu teori utama untuk memahami bagaimana norma,
identitas, dan kebenaran politik dibentuk secara sosial. Alexander Wendt
menekankan bahwa “anarki adalah apa yang dibuat negara-negara darinya” (anarchy
is what states make of it), artinya realitas politik internasional bukan
sesuatu yang given, melainkan hasil konstruksi sosial antarnegara.⁸ Dengan
kerangka ini, konstruktivisme memungkinkan analisis bahwa kebenaran
politik—misalnya mengenai keamanan, ancaman, atau norma HAM—dibentuk melalui
interaksi diplomatik, institusi global, dan wacana politik.
7.5.      
Relevansi dalam
Pendidikan dan Literasi Kritis
Dalam ranah pendidikan, konstruktivisme
kontemporer relevan sebagai dasar pendidikan literasi kritis. Henry
Giroux menekankan bahwa pendidikan harus memampukan siswa memahami bagaimana
kebenaran dan pengetahuan dibentuk dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik.⁹
Dengan pendekatan konstruktivis, siswa tidak hanya menerima informasi sebagai “fakta
tetap,” tetapi dilatih untuk mengajukan pertanyaan kritis: siapa
yang memproduksi pengetahuan, dalam konteks apa, dan dengan kepentingan apa.¹⁰
7.6.      
Sains, Teknologi,
dan Etika Kontemporer
Dalam sains kontemporer,
konstruktivisme memberikan kerangka untuk memahami perdebatan mengenai
bioteknologi, kecerdasan buatan, dan perubahan iklim. Sheila Jasanoff
menekankan bahwa ilmu pengetahuan modern selalu merupakan hasil co-production
antara sains dan tatanan sosial.¹¹ Hal ini berarti bahwa klaim kebenaran ilmiah
tidak hanya dibentuk oleh eksperimen, tetapi juga oleh nilai, kebijakan, dan
struktur kekuasaan.
Dengan demikian, konstruktivisme
memberi landasan etis untuk menuntut transparansi, partisipasi publik, dan
tanggung jawab sosial dalam produksi sains dan teknologi.¹²
Kesimpulan
Relevansi kontemporer konstruktivisme
dapat dilihat dalam tiga ranah utama: (1) membantu menganalisis tantangan era post-truth
dan disinformasi, (2) memperkaya dialog multikultural dengan menekankan
pluralitas epistemik tanpa jatuh ke relativisme nihilistik, dan (3) memberikan
kerangka kritis bagi pendidikan, politik global, dan sains kontemporer. Dengan
demikian, konstruktivisme tetap relevan sebagai teori yang tidak hanya
menjelaskan bagaimana kebenaran dibentuk, tetapi juga sebagai landasan normatif
untuk memperjuangkan kebenaran yang bertanggung jawab di era modern.
Footnotes
[1]               
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and
Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 12–14.
[2]               
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 25–29.
[3]               
Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton:
Princeton University Press, 2019), 44–47.
[4]               
dan 5. Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power
and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press,
2017), 143–49.
[5]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–90.
[6]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.
[7]               
Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It:
The Social Construction of Power Politics,” International Organization
46, no. 2 (1992): 391–425.
[8]               
Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward
a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988),
127–29.
[9]               
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.
[10]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The
Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004),
3–6.
[11]            
Brian Wynne, “Public Engagement as a Means of
Restoring Public Trust in Science—Hitting the Notes, but Missing the Music?,” Community
Genetics 9, no. 3 (2006): 211–20.
8.          
Penutup
Pembahasan mengenai Teori
Konstruktivisme tentang Kebenaran memperlihatkan bahwa konstruktivisme
merupakan salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam filsafat kontemporer,
sosiologi pengetahuan, dan teori pendidikan. Ia berangkat dari premis dasar
bahwa kebenaran tidak hadir sebagai entitas absolut dan statis, melainkan
sebagai hasil konstruksi kognitif maupun sosial yang dibentuk melalui
interaksi subjek, bahasa, institusi, dan konteks historis.¹
Secara historis, konstruktivisme
berakar pada pemikiran Kant yang menekankan bahwa pengetahuan selalu dibentuk
oleh struktur apriori kesadaran.² Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh
Piaget dengan teori perkembangan kognitif, Glasersfeld dengan konstruktivisme
radikal, serta Berger dan Luckmann dengan konstruktivisme sosial.³ Dalam
filsafat ilmu, konstruktivisme diperkaya oleh pemikiran Kuhn tentang pergeseran
paradigma dan Latour mengenai produksi fakta ilmiah di laboratorium.⁴ Deretan
tokoh dan teori ini menegaskan bahwa kebenaran selalu terikat pada kerangka
konseptual, praktik sosial, dan institusional yang melingkupinya.
Meski demikian, konstruktivisme tidak
luput dari kritik. Dari perspektif realisme, ia dituduh melemahkan klaim
obyektivitas ilmu.⁵ Dari sudut pandang teori korespondensi, ia dinilai gagal
menyediakan kriteria obyektif bagi kebenaran.⁶ Sementara dari pragmatisme,
konstruktivisme dianggap terlalu fokus pada aspek sosial tanpa cukup menekankan
dimensi praksis.⁷ Tuduhan relativisme bahkan membuat konstruktivisme sering
dipandang sebagai jalan menuju nihilisme epistemik.⁸ Namun, tanggapan
konstruktivis seperti Searle dan Hacking menegaskan bahwa konstruksi kebenaran
selalu domain-specific—terbatas pada ranah sosial dan institusional—tanpa
meniadakan realitas material (brute facts).⁹ Dengan demikian, konstruktivisme
tetap menjaga jarak dari relativisme total.
Dalam konteks kontemporer,
konstruktivisme menunjukkan relevansi yang besar. Ia membantu memahami fenomena
post-truth dan disinformasi dengan cara menelusuri mekanisme sosial,
politik, dan teknologi yang membentuk klaim kebenaran.¹⁰ Dalam ranah
pendidikan, konstruktivisme menjadi dasar bagi model pembelajaran aktif dan
literasi kritis yang melatih peserta didik untuk mempertanyakan asal-usul,
konteks, dan kepentingan di balik pengetahuan.¹¹ Dalam politik global,
konstruktivisme menjelaskan bagaimana norma internasional dan identitas negara
terbentuk sebagai konstruksi sosial.¹² Dan dalam sains kontemporer,
konstruktivisme menjadi kerangka penting untuk memahami co-production antara
ilmu pengetahuan dan tatanan sosial.¹³
Dari seluruh uraian ini, dapat
disimpulkan bahwa konstruktivisme memberikan kontribusi penting dalam
memperluas pemahaman kita tentang hakikat kebenaran. Ia menolak absolutisme
sekaligus menghindari relativisme total, dengan menekankan bahwa klaim
kebenaran senantiasa lahir dari interaksi kompleks antara manusia, bahasa,
institusi, dan realitas material. Teori ini bukan hanya alat konseptual untuk
menafsirkan sejarah perkembangan pengetahuan, melainkan juga sebuah kerangka
kritis yang relevan untuk membaca tantangan epistemik di era modern. Dengan
demikian, konstruktivisme layak ditempatkan sebagai salah satu teori kebenaran
yang paling adaptif, reflektif, dan relevan bagi kebutuhan kontemporer.¹⁴
Footnotes
[1]               
Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social
Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).
[2]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[3]               
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in
Children (New York: International Universities Press, 1952); Ernst von
Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning
(London: Routledge, 1995); Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).
[4]               
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012);
Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of
Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press,
1986).
[5]               
Richard Boyd, “Scientific Realism,” dalam The
Philosophy of Science, ed. David Papineau (Oxford: Oxford University Press,
1996).
[6]               
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2016).
[7]               
William James, Pragmatism (New York: Longmans,
Green, and Co., 1907).
[8]               
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against
Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006).
[9]               
John R. Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995); Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).
[10]            
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018).
[11]            
Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1978); Henry A. Giroux, Teachers as
Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin
& Garvey, 1988).
[12]            
Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It:
The Social Construction of Power Politics,” International Organization
46, no. 2 (1992): 391–425.
[13]            
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The
Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004).
[14]            
Ian Hacking, The Social Construction of What?,
35–37.
Daftar Pustaka 
Beiser, F. C. (2002). German
idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University
Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T.
(1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of
knowledge. Doubleday.
Boghossian, P. A. (2006). Fear of
knowledge: Against relativism and constructivism. Oxford University Press.
Boyd, R. (1996). Scientific realism.
In D. Papineau (Ed.), The philosophy of science (pp. 45–70). Oxford
University Press.
David, M. (2016). The correspondence
theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2016 ed.). Stanford University.
Dewey, J. (1938). Logic: The
theory of inquiry. Holt.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon.
Gardner, S. (1999). Routledge
philosophy guidebook to Kant and the Critique of Pure Reason. Routledge.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Giroux, H. A. (1988). Teachers as intellectuals:
Toward a critical pedagogy of learning. Bergin & Garvey.
Glasersfeld, E. von. (1984). An
introduction to radical constructivism. In P. Watzlawick (Ed.), The invented
reality: How do we know what we believe we know? (pp. 17–40). Norton.
Glasersfeld, E. von. (1995). Radical
constructivism: A way of knowing and learning. Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action (Vol. 1). Beacon Press.
Hacking, I. (1999). The social
construction of what? Harvard University Press.
Hanson, N. R. (1958). Patterns of
discovery. Cambridge University Press.
James, W. (1907). Pragmatism.
Longmans, Green, and Co.
Jasanoff, S. (2004). States of
knowledge: The co-production of science and the social order. Routledge.
Kant, I. (1998). Critique of pure
reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1781/1787)
Keyes, R. (2004). The post-truth
era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.
Knorr-Cetina, K. (1999). Epistemic
cultures: How the sciences make knowledge. Harvard University Press.
Kuhn, T. S. (2012). The structure
of scientific revolutions (50th anniversary ed.). University of Chicago
Press.
Latour, B. (1987). Science in
action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard
University Press.
Latour, B., & Woolgar, S. (1986).
Laboratory life: The construction of scientific facts (2nd ed.).
Princeton University Press.
Longino, H. (2002). The fate of
knowledge. Princeton University Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Merton, R. K. (1973). The normative
structure of science. In R. K. Merton, The sociology of science: Theoretical
and empirical investigations (pp. 267–278). University of Chicago Press.
Oreskes, N. (2019). Why trust
science? Princeton University Press.
Oreskes, N., & Conway, E. M.
(2010). Merchants of doubt. Bloomsbury Press.
Papineau, D. (2020). Naturalism. In
E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 ed.). Stanford
University.
Piaget, J. (1952). The origins of
intelligence in children. International Universities Press.
Searle, J. R. (1995). The
construction of social reality. Free Press.
Tarski, A. (1944). The semantic
conception of truth and the foundations of semantics. Philosophy and
Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and
tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University
Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in
society: The development of higher psychological processes. Harvard
University Press.
Wendt, A. (1992). Anarchy is what
states make of it: The social construction of power politics. International Organization,
46(2), 391–425.
Wynne, B. (2006). Public engagement
as a means of restoring public trust in science—Hitting the notes, but missing
the music? Community Genetics,
9(3), 211–220.
Zalta, E. N. (Ed.). (2024). Stanford encyclopedia
of philosophy (Fall 2024 ed.). Stanford University.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar