Senin, 06 Oktober 2025

Teori Konstruktivisme: Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer

Teori Konstruktivisme

Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif teori konstruktivisme tentang kebenaran, mulai dari fondasi konseptual, perkembangan historis, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Konstruktivisme dipahami sebagai pandangan yang menegaskan bahwa kebenaran tidak hadir sebagai entitas absolut yang sepenuhnya independen dari manusia, melainkan dibentuk melalui aktivitas kognitif dan interaksi sosial. Secara historis, konstruktivisme berakar pada filsafat Immanuel Kant yang menekankan peran struktur apriori akal budi, kemudian berkembang melalui konstruktivisme kognitif (Jean Piaget), konstruktivisme radikal (Ernst von Glasersfeld), dan konstruktivisme sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, John Searle). Dalam filsafat ilmu, konstruktivisme mendapat penguatan dari teori paradigma Thomas Kuhn serta studi sosiologi ilmu oleh Bruno Latour dan Steve Woolgar yang menunjukkan bahwa fakta ilmiah adalah hasil produksi sosial.

Artikel ini juga menyoroti kritik terhadap konstruktivisme, terutama dari perspektif realisme, teori korespondensi, dan pragmatisme, yang menuduhnya berpotensi jatuh dalam relativisme epistemik. Namun, konstruktivisme kontemporer menegaskan bahwa konstruksi kebenaran bersifat domain-specific, terutama dalam ranah sosial, tanpa meniadakan eksistensi realitas material. Dalam konteks mutakhir, konstruktivisme terbukti relevan untuk menganalisis fenomena post-truth dan disinformasi, dinamika media digital, pluralitas budaya, pendidikan kritis, serta politik global dan sains kontemporer. Dengan demikian, konstruktivisme tidak hanya berfungsi sebagai teori filsafat, tetapi juga sebagai kerangka kritis yang adaptif dan reflektif dalam menghadapi tantangan epistemologis dan sosial pada era modern.

Kata Kunci: Konstruktivisme; teori kebenaran; epistemologi; realitas sosial; post-truth; sosiologi pengetahuan; filsafat ilmu; pendidikan kritis.


PEMBAHASAN

Teori Konstruktivisme tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang kebenaran menempati jantung filsafat sejak awal—dengan beragam teori seperti korespondensi (kebenaran sebagai korespondensi dengan fakta), koherensi (kebenaran sebagai keterpaduan dalam suatu sistem keyakinan), dan pragmatisme (kebenaran terkait praktik penyelidikan dan kebermanfaatan). Di antara spektrum ini, konstruktivisme menawarkan sudut pandang berbeda: kebenaran (dan sering kali objek-objek sosial tempat klaim kebenaran itu beroperasi) dipahami sebagai hasil konstruksi—melibatkan skema kognitif, bahasa, institusi, dan interaksi sosial.¹ Dengan demikian, konstruktivisme bukan sekadar variasi relativisme yang meniadakan realitas, melainkan upaya menjelaskan bagaimana kondisi-kondisi manusiawi (kognitif dan sosial) ikut membentuk horizon “yang kita sebut benar”.

Akar teknis gagasan ini dapat ditarik, secara longgar, ke proyek transendental Immanuel Kant: pengetahuan tidak sekadar “mencerminkan” dunia, melainkan dibentuk oleh bentuk-bentuk apriori intuisi dan kategori akal budi yang menyusun pengalaman; dengan kata lain, apa yang kita sebut “objek pengalaman” selalu sudah terstruktur oleh syarat-syarat kognitif subjek.² Di abad ke-20, garis ini berkembang ke konstruktivisme radikal (Ernst von Glasersfeld) yang menekankan “kecocokan pengalaman” (experiential fit) alih-alih akses ke “realitas metafisis”, serta ke konstruktivisme sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann) yang menguraikan proses eksternalisasi-institusionalisasi-internalisasi dalam pembentukan realitas sosial.³

Dari sisi psikologi dan pendidikan, Vygotsky menunjukkan bahwa perkembangan kognitif berlangsung melalui mediasi budaya-bahasa dan interaksi dengan “more knowledgeable other” dalam Zona Perkembangan Proksimal; konstruksi pengetahuan sejak awal bersifat sosial. Temuan ini menyokong pembacaan konstruktivis bahwa klaim kebenaran peserta didik (dan komunitas ilmiah) tumbuh dalam jejaring praktik, alat, dan diskursus yang dibagikan.⁴ Di ranah studi sains dan teknologi, Latour & Woolgar memperlihatkan bagaimana “fakta ilmiah” terbangun melalui praktik laboratorium, teks, dan jaringan otoritas—mendorong refleksi kritis atas bagaimana komunitas memproduksi status “benar” secara bertahap dan institusional.⁵

Namun konstruktivisme kerap disalahpahami. Di satu sisi, ia dituduh merelatifkan semuanya; di sisi lain, ia dijadikan pembenaran ringan bagi klaim “kebenaran itu apa pun yang kita sepakati”. Literatur kontemporer—misalnya Searle tentang “fakta institusional” yang bergantung pada konvensi linguistik-normatif tetapi dibedakan dari “fakta kasar” (brute facts)—menawarkan klarifikasi ontologis: tidak semua domain sama-sama “terkonstruksi”, dan perbedaan domain memerlukan kriteria pembenaran yang berbeda.⁶ Hacking pun mengingatkan agar selalu menanyakan “konstruksi atas apa?” (fakta, konsep, kategori, atau praktik) sebelum menilai cakupan klaim konstruksionis.⁷

Konteks sosial-politik mutakhir—yang kerap disebut “era pasca-kebenaran”—membuat agenda konstruktivisme kian mendesak. Alih-alih melegitimasi “fakta alternatif”, konstruktivisme yang cermat justru membantu membedakan antara (a) ranah-ranah yang memang bergantung pada institusi dan konvensi (misalnya uang, jabatan, atau status hukum) dan (b) klaim faktual tentang dunia yang tetap menuntut evidensi intersubjektif dan prosedur penelaahan yang ketat. Kerangka ini relevan untuk memahami penyebaran disinformasi dan untuk merancang praktik literasi informasi yang menghormati proses sosial pembentukan kebenaran tanpa menyerah pada nihilisme epistemik.⁸

Artikel ini bertujuan (1) memetakan konsep, tipe, dan asumsi epistemologis-ontologis konstruktivisme; (2) menelusuri sejarah perkembangannya dari Kant hingga varian radikal dan sosial, termasuk implikasi dalam pendidikan serta studi sains; (3) menimbang kritik utama—terutama dari realisme, korespondensi, dan pragmatisme—serta merumuskan tanggapan konstruktivis yang tepat; dan (4) menunjukkan relevansinya dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti polarisasi informasi. Secara metodologis, artikel menggabungkan telaah konseptual atas literatur utama dengan pembacaan historis-kritis dan contoh kasus dari praktik ilmiah dan pendidikan. Hasil yang diharapkan adalah pembedaan yang lebih tajam antara klaim deskriptif (bagaimana kebenaran diproduksi dan diakui) dan klaim normatif (bagaimana seharusnya kita menilai dan membenarkan klaim kebenaran) dalam domain yang berbeda—serta kriteria kehati-hatian agar konstruktivisme tidak tergelincir menjadi relativisme tak terarah.⁹


Footnotes

[1]                Lihat ringkasan historis dan tipologi teori kebenaran pada: “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP). Juga “The Coherence Theory of Truth” dan “The Pragmatic Theory of Truth,” SEP. (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998). (cpb-us-w2.wpmucdn.com)

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism (London: Routledge, 1995/2013); Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966). (Taylor & Francis, Internet Archive)

[4]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978). (JSTOR)

[5]                Bruno Latour & Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986). (JSTOR)

[6]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995). Bandingkan dengan diskusi terbaru dalam “Social Ontology,” SEP. (Google Buku, Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[7]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999). (JSTOR)

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018). (MIT Press)

[9]                Untuk pijakan konseptual komparatif antara korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, lihat entri-entri SEP yang relevan. (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[10]             Kerangka struktur mengikuti pembedaan konseptual-historis-aplikatif sebagaimana lazim dalam literatur teori kebenaran dan konstruksi sosial; lihat, misalnya, Hacking (1999) dan Searle (1995). (JSTOR, Google Buku)


2.           Konsep Dasar Teori Konstruktivisme

2.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Secara umum, konstruktivisme adalah posisi yang menyatakan bahwa apa yang kita sebut kebenaran—dan sering kali juga objek-objek tempat klaim kebenaran itu beroperasi—terbentuk melalui proses konstruksi kognitif dan/atau konstruksi sosial. Dengan kata lain, kebenaran bukan sekadar cerminan pasif realitas yang “ada di luar sana”, melainkan hasil dari kerja skema konseptual, praktik bahasa, institusi, dan interaksi antarmanusia.¹ Entri-entri rujukan mutakhir menegaskan keluasan istilah “konstruksi” (construction/ constructivism/ constructionism) yang diterapkan pada beragam domain—mulai dari emosi dan ras hingga fakta ilmiah dan kebenaran—sehingga penting sejak awal membedakan apa yang diklaim terkonstruksi (fakta, konsep, kategori, atau praktik).²

2.2.       Akar Epistemologis: Dari Kant ke Konstruktivisme Radikal

Akar filosofis konstruktivisme dapat ditarik ke proyek transendental Immanuel Kant: pengalaman tidak sekadar “menerima” dunia, melainkan disintesis oleh bentuk-bentuk apriori intuisi (ruang-waktu) dan kategori akal budi; objek pengalaman selalu sudah terstruktur oleh syarat-syarat kognitif subjek.³ Konstruksi ini bersifat epistemik (menyangkut syarat kemungkinan pengetahuan), bukan sekadar psikologis.

Pada abad ke-20, Ernst von Glasersfeld mengembangkan konstruktivisme radikal. Alih-alih mengejar korespondensi dengan “realitas metafisis”, pengetahuan dianggap layak sejauh cocok (experiential fit) dengan pengalaman dan memungkinkan kita berhasil bertindak di dunia.⁴ Dalam kerangka ini, “kebenaran” tidak diartikan sebagai kemiripan gambar-cermin dengan benda, melainkan sebagai kecocokan skema yang stabil, dapat diandalkan, dan terus direvisi dalam pengalaman.⁵

2.3.       Konstruktivisme Sosial: Institusi, Bahasa, dan Realitas Bersama

Berbeda dari penekanan Glasersfeld pada konstruksi kognitif, konstruktivisme sosial menyoroti bagaimana realitas sosial (dan status “benar” dalamnya) terbentuk melalui eksternalisasi—institusionalisasi—internalisasi di tengah praktik dan bahasa bersama. Karya klasik Peter L. Berger & Thomas Luckmann menggambarkan bagaimana kebiasaan, peran, dan pengetahuan sehari-hari dinaturalisasi menjadi “kenyataan taken-for-granted”.⁶

Sejalan, John Searle membedakan “fakta kasar” (brute facts)—yang tidak bergantung pada institusi manusia—dengan “fakta institusional”, yang eksistensinya memerlukan aturan konstitutif (“X dihitung sebagai Y dalam konteks C”) dan penerimaan kolektif.⁷ Pembedaan ini krusial bagi konstruktivisme: tidak semua hal “dikonstruksi” dalam cara yang sama, dan domain sosial memiliki kondisi kebenaran yang bergantung pada praktik institusional serta bahasa normatif.⁸

2.4.       Dimensi Psikologis-Sosial: Pembelajaran, Mediasi Budaya, dan Intersubjektivitas

Dalam psikologi pendidikan, Lev Vygotsky menunjukkan bahwa perkembangan kognitif bersifat sosiokultural: berlangsung melalui mediasi bahasa dan bimbingan more knowledgeable other dalam Zona Perkembangan Proksimal (ZPD).⁹ Ini mendukung klaim konstruktivis bahwa pembentukan pengetahuan—karena itu juga penerimaan klaim kebenaran—terjadi dalam jejaring interaksi dan alat budaya yang dibagikan, bukan murni proses individual.

2.5.       Bahasa, Paradigma, dan Produksi “Fakta” Ilmiah

Literatur sosiologi sains memperlihatkan bahwa status “faktual” dalam ilmu tidak muncul sekaligus, melainkan diproduksi, distabilisasi, dan dinegosiasikan melalui praktik laboratorium, retorika ilmiah, dan jaringan otoritas. Kajian Bruno Latour & Steve Woolgar atas kultur laboratorium menunjukkan bagaimana klaim awal dipadatkan menjadi “fakta” melalui siklus publikasi, sitiran, dan pemakaian instrumen.¹⁰ Terkait itu, Thomas S. Kuhn menekankan peran paradigma dan normal science—kerangka konseptual-metodologis yang membentuk apa yang dianggap problem bermakna, metode sah, dan bukti yang meneguhkan.¹¹ Perspektif ini tidak meniadakan realitas, tetapi menyoroti perantara konseptual dan praktik komunitas dalam penetapan kebenaran ilmiah.

2.6.       Variasi dan Tipologi: Kognitif vs. Sosial, Moderat vs. Radikal

Secara tipologis, kita dapat membedakan:

·                     Konstruktivisme kognitif (berbasis skema/penalaran, dari Kant ke Glasersfeld): kebenaran sebagai kecocokan skema-pengalaman dan keberhasilan operasional.¹²

·                     Konstruktivisme sosial (Berger–Luckmann; Searle; Hacking): kebenaran sebagai status yang diakui dalam praktik institusional dan bahasa kolektif; fokus pada domain sosial dan kategori (mis. uang, jabatan, ras, gender).¹³

·                     Varian moderat vs. radikal: varian moderat menerima keberagaman domain (sebagian fakta institusional, sebagian “kasar”), sedangkan varian radikal menekankan ketakterjangkauan realitas “di luar skema” dan memusat pada viability.¹⁴

Entri rujukan kontemporer juga membedakan konstruktivisme metafisis (bagaimana objek atau kategori ada karena konstruksi) dari konstruktivisme normatif/ epistemik (bagaimana alasan atau standar pembenaran ditentukan secara konstruktif).¹⁵ Pembedaan ini membantu mencegah over-reach: klaim konstruksi atas kategori sosial tidak otomatis meluas menjadi klaim bahwa semua fakta fisik “dibuat” oleh masyarakat.

2.7.       Konstruktivisme, Relativisme, dan Intersubjektivitas

Kritik umum menyamakan konstruktivisme dengan relativisme total. Namun literatur utama menolak reduksi ini. Hacking mengingatkan agar selalu bertanya “konstruksi atas apa?” untuk menilai cakupan klaim konstruksionis; banyak konstruksi bersifat lokal-historis dan terbatas domain.¹⁶ Searle menegaskan bahwa meski fakta institusional bergantung pada konvensi, kriteria kebenaran dalam domain tersebut tetap intersubjektif dan terikat aturan.¹⁷ Sementara konstruktivisme radikal mengganti korespondensi dengan viability, ia tetap menuntut konsistensi dan keberhasilan tindakan sebagai uji yang publik-terbuka dalam komunitas praktik.¹⁸

2.8.       Rumusan Kerja: Apa Itu “Kebenaran” dalam Konstruktivisme?

Merangkum pembahasan di atas, kebenaran dalam konstruktivisme dapat dipahami sebagai berikut:

1)                  Dalam domain sosial, kebenaran adalah status penilaian yang mengikuti aturan institusional dan praktik linguistik (misalnya, “A sah sebagai wali” benar jika dan hanya jika memenuhi aturan hukum yang berlaku).¹⁹

2)                  Dalam domain pengetahuan empiris, kebenaran bergantung pada kerangka konseptual-metodologis yang memandu apa yang dihitung sebagai bukti; status “benardinegosiasikan melalui prosedur komunitas (peer review, replikasi, standar).²⁰

3)                  Dalam ranah kognitif individual, kebenaran diartikan sebagai kecocokan skema-pengalaman yang stabil dan fungsional, selalu terbuka untuk revisi.²¹

Dengan konfigurasi ini, konstruktivisme bukan lisensi bagi “apa pun boleh”, melainkan undangan untuk menganalisis syarat-syarat (kognitif, sosial, institusional) yang memungkinkan klaim kebenaran diakui dan dipertanggungjawabkan—sekaligus menjaga pembedaan domain agar tidak tergelincir ke relativisme menyeluruh.


Footnotes

[1]                Lihat pengantar umum teori-teori kebenaran di Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP), “Truth.” (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[2]                Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social Construction,” SEP (substantive revision 2008). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998). (cpb-us-w2.wpmucdn.com)

[4]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995). (files.eric.ed.gov)

[5]                Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical Constructivism,” naskah akses terbuka. (app.nova.edu)

[6]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966). (amstudugm.files.wordpress.com)

[7]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995). Untuk ringkasan/scan, lihat materi kuliah yang memuat pembedaan “brute” vs “institutional facts.” (epistemh.pbworks.com)

[8]                Brian Epstein, “Social Ontology,” SEP (substantive revision 2024). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[9]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), bab tentang ZPD. (home.fau.edu)

[10]             Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986). (BPB)

[11]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed. 50-tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012). (columbia.edu)

[12]             Glasersfeld, Radical Constructivism, khususnya gagasan experiential fit. (files.eric.ed.gov)

[13]             Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999). (Larval Subjects)

[14]             Perbandingan varian dapat dilihat pada von Glasersfeld (radikal) dan Searle (institusional); bandingkan juga ulasan ensiklopedis. (app.nova.edu, epistemh.pbworks.com, Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[15]             “Constructivism in Metaphysics,” Internet Encyclopedia of Philosophy (IEP), memetakan variasi konstruktivisme metafisis vs normatif. (Ensiklopedia Filsafat Internet)

[16]             Hacking, The Social Construction of What?, bab pengantar (pertanyaan “construction of what?”). (Larval Subjects)

[17]             Searle, The Construction of Social Reality, tentang aturan konstitutif dan penerimaan kolektif. (epistemh.pbworks.com)

[18]             Von Glasersfeld, “An Introduction to Radical Constructivism,” tentang viability sebagai kriteria. (app.nova.edu)

[19]             Epstein, “Social Ontology,” SEP (contoh analisis entitas sosial dan syarat keberlakuannya). (Ensiklopedia Filosofi Stanford)

[20]             Latour & Woolgar, Laboratory Life; Kuhn, Structure of Scientific Revolutions. (BPB, columbia.edu)

[21]             Von Glasersfeld, Radical Constructivism; juga ringkasan pedagogisnya di naskah pengantar. (files.eric.ed.gov, app.nova.edu)


3.           Landasan Epistemologis dan Ontologis

3.1.       Epistemologi Konstruktivisme: Pengetahuan sebagai Hasil Konstruksi

Secara epistemologis, konstruktivisme berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan bukan sekadar representasi pasif dari realitas, melainkan hasil dari aktivitas subjek dalam membangun skema konseptual.¹ Immanuel Kant menegaskan bahwa pengalaman inderawi hanya mungkin dipahami melalui bentuk-bentuk apriori (ruang, waktu) dan kategori-kategori akal budi.² Dengan demikian, realitas yang kita pahami selalu sudah “dibentuk” oleh struktur kognitif manusia.

Dalam konstruktivisme radikal Ernst von Glasersfeld, pengetahuan dipandang sebagai alat adaptif, bukan cermin dari dunia.³ Kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi dengan realitas eksternal, tetapi sebagai viability—yakni sejauh mana suatu konsep berfungsi secara konsisten dalam pengalaman dan mendukung tindakan yang berhasil.⁴ Perspektif ini menolak klaim absolut tentang realitas “sebagaimana adanya” (the world-in-itself), dan menekankan keterbatasan pengetahuan pada dunia pengalaman.

Dari sisi konstruktivisme sosial, epistemologi menekankan peran bahasa, interaksi, dan institusi dalam membentuk klaim kebenaran. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa pengetahuan sehari-hari diproduksi, dilembagakan, dan diwariskan melalui proses sosial hingga menjadi taken for granted reality.⁵ Pengetahuan tidak netral, melainkan berakar pada konteks budaya, praktik diskursif, dan relasi kekuasaan yang mendasarinya.

3.2.       Ontologi Konstruktivisme: Realitas sebagai Terbentuk dan Terberi

Secara ontologis, konstruktivisme menolak dikotomi sederhana antara realitas obyektif dan representasi subyektif. Ia mengusulkan pandangan bahwa realitas yang kita akses selalu merupakan hasil konstruksi bersama antara kondisi material dengan kerangka konseptual-sosial.⁶

John R. Searle menguraikan perbedaan antara fakta kasar (brute facts) yang tidak bergantung pada institusi manusia (misalnya gunung, gravitasi), dan fakta institusional (institutional facts) yang ada karena aturan dan pengakuan kolektif (misalnya uang, perkawinan, jabatan politik).⁷ Dengan kerangka ini, ontologi konstruktivis menegaskan bahwa sebagian besar fenomena sosial tidak “ditemukan”, melainkan diciptakan melalui aturan konstitutif dan dijaga oleh konsensus intersubjektif.

Ian Hacking menambahkan nuansa dengan menekankan bahwa ketika kita mengatakan “X adalah konstruksi sosial”, pertanyaan penting adalah apa yang dikonstruksi—apakah fakta, kategori, atau praktik.⁸ Misalnya, “penyakit mental” mungkin memiliki dasar biologis (fakta kasar), tetapi kategorisasi dan perlakuannya jelas merupakan hasil konstruksi sosial. Dengan demikian, konstruktivisme tidak berarti menolak realitas sama sekali, tetapi menekankan bahwa ontologi sosial bergantung pada praktik simbolik dan institusional manusia.

3.3.       Perbandingan dengan Realisme dan Relativisme

Secara epistemologis, konstruktivisme berbeda dengan realisme naif yang memandang pengetahuan sebagai salinan langsung realitas.⁹ Sebaliknya, ia mengakui peran aktif subjek dan struktur sosial dalam membentuk apa yang dianggap benar.

Namun, konstruktivisme juga berjarak dari relativisme radikal. Meskipun menekankan bahwa klaim kebenaran diproduksi dalam konteks tertentu, konstruktivisme tetap mengakui adanya kriteria intersubjektif (misalnya konsistensi, keberfungsian, kesepakatan institusional) yang membedakan klaim yang sah dari klaim sembarangan.¹⁰ Dengan kata lain, konstruktivisme menolak klaim universal-absolut, tetapi tidak jatuh pada nihilisme epistemik.

3.4.       Kontribusi Tokoh-tokoh Kunci

·                     Immanuel Kant: pengetahuan sebagai hasil sintesis subjek-transendental.¹¹

·                     Ernst von Glasersfeld: konstruktivisme radikal dengan penekanan pada viability.¹²

·                     Peter L. Berger & Thomas Luckmann: konstruksi sosial realitas melalui proses eksternalisasi, institusionalisasi, internalisasi.¹³

·                     John R. Searle: konsep fakta institusional yang bergantung pada aturan konstitutif dan penerimaan kolektif.¹⁴

·                     Ian Hacking: analisis kritis atas klaim “konstruksi sosial” dengan pembedaan tingkat dan objek konstruksi.¹⁵

Tokoh-tokoh ini memberikan fondasi epistemologis dan ontologis bagi teori konstruktivisme, sekaligus membedakannya dari tradisi epistemologi klasik maupun teori kebenaran tradisional.

3.5.       Implikasi Epistemologis dan Ontologis

Dengan fondasi di atas, konstruktivisme memandang bahwa:

1)                  Pengetahuan bersifat aktif: dibentuk melalui aktivitas kognitif, bukan sekadar pasif menerima realitas.

2)                  Kebenaran bersifat kontekstual: bergantung pada kerangka konseptual, sosial, dan historis.

3)                  Realitas sosial bersifat institusional: ada karena aturan dan pengakuan bersama, bukan semata fakta material.

4)                  Ontologi terbagi dua: realitas fisik yang relatif independen, dan realitas sosial yang secara mendasar konstruktif.

5)                  Kriteria kebenaran: bukan korespondensi mutlak, melainkan viability, intersubjektivitas, dan konsistensi dalam praktik sosial.

Dengan demikian, konstruktivisme menegaskan bahwa epistemologi dan ontologi tidak dapat dipisahkan: apa yang kita sebut “realitas” selalu sudah terstruktur oleh cara kita mengenalnya, dan klaim kebenaran selalu lahir dalam interaksi antara subjek, bahasa, dan institusi.


Footnotes

[1]                Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995).

[4]                Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical Constructivism,” naskah akses terbuka.

[5]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).

[6]                Brian Epstein, “Social Ontology,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2024).

[7]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995).

[8]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).

[9]                David Papineau, “Naturalism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2020), untuk ringkasan tentang realisme naif.

[10]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), bab 2.

[11]             Kant, Critique of Pure Reason.

[12]             Glasersfeld, Radical Constructivism.

[13]             Berger & Luckmann, The Social Construction of Reality.

[14]             Searle, The Construction of Social Reality.

[15]             Hacking, The Social Construction of What?.


4.           Sejarah dan Perkembangan Teori Konstruktivisme

4.1.       Akar Filsafat: Dari Kant hingga Idealisme Jerman

Sejarah konstruktivisme dapat ditelusuri ke Immanuel Kant (1724–1804), yang merumuskan gagasan bahwa pengalaman manusia tidak semata-mata menerima realitas, melainkan terbentuk melalui struktur apriori akal budi.¹ Pengetahuan, menurut Kant, bukan refleksi pasif, melainkan hasil sintesis aktif antara data inderawi dan kategori rasional.² Prinsip ini memberi fondasi awal bahwa kebenaran bukanlah given secara obyektif, tetapi selalu melalui konstruksi subjek.

Setelah Kant, aliran Idealisme Jerman (Fichte, Schelling, Hegel) melanjutkan gagasan konstruksi pengetahuan melalui aktivitas kesadaran.³ Dalam filsafat Hegel, misalnya, kebenaran dipahami sebagai hasil dari dialektika historis—proses konstruktif yang melibatkan subjek dan sejarah.

4.2.       Abad ke-20: Konstruktivisme Radikal

Pada abad ke-20, konstruktivisme berkembang dengan tokoh-tokoh seperti Jean Piaget dan Ernst von Glasersfeld.

·                     Jean Piaget (1896–1980) memperkenalkan teori perkembangan kognitif yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk melalui interaksi aktif antara individu dan lingkungannya.⁴ Proses asimilasi dan akomodasi menjadi mekanisme utama dalam konstruksi pengetahuan.

·                     Ernst von Glasersfeld (1917–2010) kemudian mengembangkan konstruktivisme radikal, yang menolak gagasan kebenaran sebagai korespondensi dengan realitas eksternal.⁵ Menurutnya, pengetahuan tidak dapat diverifikasi dengan realitas obyektif, tetapi diuji melalui viability—yakni sejauh mana konsep-konsep yang dibangun dapat berfungsi dalam pengalaman.⁶

Gagasan Glasersfeld menegaskan bahwa realitas “sebagaimana adanya” tidak dapat diakses langsung, melainkan selalu dimediasi oleh skema kognitif manusia.

4.3.       Konstruktivisme Sosial: Berger–Luckmann dan Searle

Di sisi lain, berkembang pula konstruktivisme sosial yang menekankan dimensi intersubjektif dalam pembentukan kebenaran.

·                     Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui karyanya The Social Construction of Reality (1966) menegaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui proses eksternalisasi, institusionalisasi, dan internalisasi.⁷ Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hasil refleksi individual murni, melainkan diproduksi dan dilembagakan secara sosial.

·                     John R. Searle kemudian menyumbangkan kerangka ontologi sosial dengan membedakan fakta kasar (brute facts) dan fakta institusional.⁸ Fakta institusional, seperti uang atau jabatan, ada karena adanya aturan konstitutif dan pengakuan kolektif. Pandangan ini menegaskan bahwa sebagian besar kebenaran sosial bersifat konstruktif.

4.4.       Perkembangan dalam Sosiologi Pengetahuan dan Ilmu

Konstruktivisme juga berkembang dalam studi sains dan teknologi. Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) menunjukkan bahwa ilmu tidak berkembang secara linear, melainkan melalui pergeseran paradigma.⁹ Apa yang dianggap benar dalam sains bergantung pada paradigma dominan yang dipegang komunitas ilmiah.

Lebih lanjut, Bruno Latour dan Steve Woolgar dalam Laboratory Life (1979) mendemonstrasikan bagaimana fakta ilmiah “diproduksi” melalui praktik laboratorium, retorika, dan jaringan sosial.¹⁰ Ini memperkuat klaim konstruktivis bahwa kebenaran ilmiah tidak pernah murni “ditemukan”, tetapi dikonstruksi secara sosial.

4.5.       Gelombang Postmodernisme dan Kritik

Pada paruh akhir abad ke-20, konstruktivisme mendapat dorongan dari wacana postmodernisme. Tokoh-tokoh seperti Michel Foucault menekankan peran relasi kuasa dalam pembentukan pengetahuan.¹¹ Di sini, konstruktivisme sering dikaitkan dengan kritik terhadap klaim universalitas kebenaran.

Namun, gelombang ini juga memunculkan kritik. Sejumlah filsuf menilai konstruktivisme postmodern terlalu relativistik dan berisiko meniadakan landasan obyektif bagi ilmu pengetahuan.¹² Kritik ini mendorong lahirnya varian konstruktivisme yang lebih moderat, yang tetap menegaskan konstruksi sosial pengetahuan namun mengakui adanya batas realitas material.

4.6.       Perkembangan Kontemporer

Dalam perkembangannya, konstruktivisme kini diaplikasikan di berbagai bidang:

·                     Pendidikan: teori belajar konstruktivis menekankan peran aktif siswa dalam membangun pengetahuan melalui interaksi sosial dan pengalaman.¹³

·                     Ilmu sosial: konstruktivisme digunakan untuk menganalisis konstruksi identitas, norma, dan budaya.¹⁴

·                     Kajian media dan politik: konstruktivisme menjadi kerangka untuk memahami pembentukan “narasi kebenaran” dalam era post-truth.¹⁵

Dengan demikian, konstruktivisme telah berevolusi dari gagasan epistemologis Kantian hingga menjadi paradigma lintas-disiplin yang memengaruhi filsafat, sosiologi, ilmu pengetahuan, dan pendidikan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

[2]                Sebastian Gardner, Routledge Philosophy Guidebook to Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999).

[3]                Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002).

[4]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952).

[5]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Falmer/Routledge, 1995).

[6]                Ernst von Glasersfeld, “An Introduction to Radical Constructivism,” dalam The Invented Reality, ed. Paul Watzlawick (New York: Norton, 1984).

[7]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).

[8]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995).

[9]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012).

[10]             Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986).

[11]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980).

[12]             Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).

[13]             Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978).

[14]             Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).

[15]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018).


5.           Konstruktivisme dalam Ranah Ilmu Pengetahuan

5.1.       Epistemologi Ilmu dan Peran Paradigma

Dalam filsafat ilmu, konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah berdiri di atas landasan obyektif murni, melainkan selalu terbentuk melalui kerangka konseptual, metode, dan konsensus komunitas ilmiah. Thomas S. Kuhn melalui The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa ilmu berkembang melalui pergeseran paradigma, bukan hanya akumulasi fakta.¹ Paradigma menentukan apa yang dianggap sebagai masalah ilmiah sah, metode yang sah digunakan, serta kriteria bukti yang valid.² Dengan demikian, kebenaran ilmiah dalam perspektif konstruktivis dipahami sebagai hasil dari proses historis dan sosial yang melekat pada komunitas ilmiah.

5.2.       Fakta Ilmiah sebagai Konstruksi Sosial

Sosiologi ilmu memperlihatkan bahwa “fakta ilmiah” tidak muncul begitu saja, melainkan diproduksi melalui praktik laboratorium, publikasi, dan interaksi sosial. Bruno Latour dan Steve Woolgar, dalam etnografi klasik mereka Laboratory Life, menunjukkan bahwa klaim-klaim ilmiah pada awalnya berbentuk hipotesis yang secara bertahap “dipadatkan” menjadi fakta melalui siklus kutipan, pembuktian, dan pengakuan komunitas.³ Fakta ilmiah, dalam hal ini, adalah produk sosial yang mendapatkan stabilitas melalui jaringan otoritas, retorika, dan perangkat teknis.⁴

Hal ini sejalan dengan perspektif aktor-jaringan (actor-network theory) yang menekankan bahwa pengetahuan ilmiah lahir dari interaksi manusia, instrumen, teks, dan institusi.⁵ Dengan demikian, status “benar” dalam ilmu pengetahuan bukan sekadar cerminan realitas obyektif, tetapi hasil dari proses konstruksi kompleks dalam jaringan ilmiah.

5.3.       Dimensi Pendidikan dan Psikologi Belajar

Dalam ranah pendidikan, konstruktivisme telah menjadi salah satu teori dominan tentang belajar. Jean Piaget menegaskan bahwa perkembangan kognitif siswa terjadi melalui proses asimilasi (mengintegrasikan informasi baru ke dalam skema yang ada) dan akomodasi (menyesuaikan skema untuk mengakomodasi informasi baru).⁶ Pengetahuan dibangun secara aktif oleh siswa, bukan ditransfer secara pasif dari guru.

Lev Vygotsky melengkapi perspektif ini dengan konstruktivisme sosial yang menekankan peran bahasa, budaya, dan interaksi sosial dalam perkembangan kognitif.⁷ Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) menegaskan bahwa kemampuan belajar siswa dipengaruhi oleh dukungan dari orang lain (scaffolding). Hal ini menjadikan proses belajar sebagai arena konstruksi sosial pengetahuan, di mana kebenaran diproduksi dalam interaksi antarindividu dan komunitas belajar.

5.4.       Implikasi dalam Metodologi Ilmu Pengetahuan

Konstruktivisme juga memiliki implikasi metodologis yang signifikan:

·                     Kebenaran bersifat intersubjektif: validasi ilmiah dilakukan melalui peer review, replikasi eksperimen, dan kesepakatan komunitas.⁸

·                     Pengetahuan bersifat kontekstual: klaim ilmiah hanya sah dalam kerangka metodologis tertentu; fakta ilmiah tidak dapat dipisahkan dari teori yang memuatnya (theory-ladenness of observation).⁹

·                     Pluralitas penafsiran: data ilmiah dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda, tergantung pada paradigma dan kerangka konseptual.¹⁰

Dengan demikian, konstruktivisme mendorong kesadaran kritis bahwa metodologi ilmiah bukan sekadar prosedur teknis, tetapi juga praktik sosial yang membentuk apa yang diakui sebagai kebenaran.

5.5.       Relevansi dalam Era Sains Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, konstruktivisme menjadi kerangka penting untuk memahami fenomena seperti:

·                     Kontroversi ilmiah: perdebatan tentang perubahan iklim, vaksin, atau kecerdasan buatan dapat dipahami sebagai medan konstruksi sosial di mana aktor-aktor berkompetisi membentuk klaim kebenaran.¹¹

·                     Interdisiplinaritas: konstruktivisme menekankan bahwa ilmu tidak berkembang secara isolatif, tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya.¹²

·                     Era post-truth: konstruktivisme menolong kita membedakan antara fakta ilmiah yang dikonstruksi melalui prosedur sah komunitas ilmiah, dan klaim pseudo-ilmiah yang dibangun tanpa dasar metodologis yang kuat.¹³


Kesimpulan Sementara

Dengan menempatkan ilmu sebagai proses konstruksi, konstruktivisme memperluas pemahaman kita tentang kebenaran ilmiah. Ia menolak reduksi ilmu menjadi sekadar “cermin realitas,” tetapi juga menolak nihilisme relativistik. Dalam pandangan ini, kebenaran ilmiah adalah hasil interaksi antara realitas material, kerangka konseptual, dan praktik sosial komunitas ilmiah. Perspektif ini tidak melemahkan legitimasi sains, melainkan menegaskan bahwa otoritas sains berasal dari mekanisme sosial yang ketat yang menjaga validitas klaim kebenaran.


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 10–11.

[2]                Ibid., 43–51.

[3]                Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986), 69–72.

[4]                Karin Knorr-Cetina, Epistemic Cultures: How the Sciences Make Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).

[5]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987).

[6]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952), 7–15.

[7]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–91.

[8]                Robert K. Merton, “The Normative Structure of Science,” dalam The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–78.

[9]                Norwood R. Hanson, Patterns of Discovery (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 19–20.

[10]             Helen Longino, The Fate of Knowledge (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 115–17.

[11]             Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury, 2010).

[12]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004).

[13]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 33–40.


6.           Kritik terhadap Teori Konstruktivisme

6.1.       Kritik dari Perspektif Realisme

Salah satu kritik utama terhadap konstruktivisme datang dari perspektif realisme ilmiah yang menegaskan bahwa kebenaran ilmiah harus merujuk pada realitas obyektif yang ada secara independen dari pikiran dan bahasa manusia.¹ Kaum realis berpendapat bahwa konstruktivisme, terutama dalam bentuk radikalnya, terjebak dalam relativisme epistemik yang meniadakan perbedaan antara klaim benar dan klaim salah.² Menurut Richard Boyd, sains memiliki keberhasilan prediktif justru karena teorinya menangkap aspek nyata dunia, bukan sekadar konstruksi sosial.³

Bagi realisme, argumen konstruktivisme bahwa pengetahuan hanyalah viable (dapat digunakan) terlalu lemah, karena kegunaan praktis tidak identik dengan kebenaran obyektif.⁴ Dengan kata lain, jika kebenaran hanya dipahami sebagai “cocok untuk digunakan,” maka ia kehilangan kekuatan normatif untuk membedakan fakta dari fiksi.

6.2.       Kritik dari Teori Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi menilai konstruktivisme gagal memberikan kriteria obyektif untuk mengukur validitas klaim kebenaran.⁵ Menurut pandangan ini, suatu pernyataan benar jika sesuai (corresponds) dengan keadaan dunia. Alfred Tarski, misalnya, menekankan bahwa konsep kebenaran dapat diformalkan melalui semantik yang netral dan obyektif.⁶

Dari sudut pandang ini, konstruktivisme dianggap mengaburkan fakta obyektif dengan konstruksi sosial, sehingga membuka peluang bahwa kebenaran hanyalah hasil kesepakatan mayoritas atau konsensus budaya.⁷ Kritikus memperingatkan bahwa hal ini berisiko merelatifkan sains menjadi setara dengan mitos atau opini populer, jika semua klaim dianggap sama-sama “konstruksi.”

6.3.       Kritik dari Perspektif Pragmatisme

Dari sudut pragmatisme, konstruktivisme dinilai terlalu menekankan pada aspek sosial dan kognitif tanpa cukup memperhatikan dimensi praktik. William James dan John Dewey berpendapat bahwa kebenaran harus diukur berdasarkan konsekuensi praktis dan kemanfaatannya dalam tindakan.⁸ Meskipun konstruktivisme berbagi pandangan bahwa kebenaran tidak absolut, pragmatisme lebih menekankan pada eksperimentasi dan perubahan dinamis daripada sekadar konstruksi konseptual atau sosial.⁹

Dengan kata lain, pragmatisme menilai konstruktivisme berisiko terjebak pada analisis diskursif tanpa cukup memperhatikan trial and error praktis yang membentuk validitas klaim.

6.4.       Tuduhan Relativisme dan Nihilisme Epistemik

Kritik paling populer terhadap konstruktivisme adalah tuduhan bahwa ia mengarah pada relativisme total: jika semua kebenaran merupakan konstruksi, maka tidak ada dasar untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah yang sah dengan klaim pseudo-ilmiah atau bahkan teori konspirasi.¹⁰ Paul Boghossian menilai konstruktivisme sosial sebagai bentuk “relativisme epistemik” yang melemahkan otoritas sains.¹¹

Kritik ini sangat relevan dalam era post-truth, di mana konstruktivisme sering disalahpahami sebagai pembenaran untuk menyatakan bahwa “setiap klaim sama benarnya.” Padahal, menurut Ian Hacking, klaim “semua hal terkonstruksi” terlalu berlebihan; konstruksi sosial bersifat domain-specific, terbatas pada kategori sosial atau institusional, bukan pada fakta alamiah yang bersifat brute.¹²

6.5.       Kritik Internal: Ambiguitas Konsep

Bahkan dari kalangan internal, konstruktivisme dikritik karena ambigu dalam penggunaan istilah. Misalnya, terdapat perbedaan besar antara konstruktivisme radikal (Glasersfeld) dan konstruktivisme sosial (Berger–Luckmann, Searle).¹³ Sering kali istilah “konstruksi sosial” digunakan tanpa kejelasan apakah yang dimaksud adalah fakta, konsep, atau praktik.¹⁴ Akibatnya, konstruktivisme menghadapi risiko menjadi slogan teoritis yang kabur ketimbang kerangka analitis yang tajam.

6.6.       Tanggapan Konstruktivis terhadap Kritik

Meski menghadapi berbagai kritik, para konstruktivis memberikan beberapa tanggapan penting:

1)                  Terhadap realisme, konstruktivis menegaskan bahwa mereka tidak menolak adanya realitas material, tetapi menyoroti keterkaitan epistemik: pengetahuan tentang realitas selalu dimediasi oleh kerangka konseptual dan sosial.¹⁵

2)                  Terhadap teori korespondensi, konstruktivis menyatakan bahwa konsep “korespondensi obyektif” sendiri tidak bebas teori; observasi selalu terikat teori (theory-ladenness of observation).¹⁶

3)                  Terhadap pragmatisme, konstruktivisme menekankan bahwa praktik sosial justru merupakan arena di mana kebenaran dinegosiasikan dan diuji. Dengan demikian, konstruktivisme kompatibel dengan orientasi pragmatis.¹⁷

4)                  Terhadap tuduhan relativisme, konstruktivis seperti Searle dan Hacking menekankan bahwa tidak semua hal bersifat konstruktif; perlu dibedakan antara fakta institusional dan fakta kasar, serta antara konstruksi epistemik dan konstruksi ontologis.¹⁸

Dengan demikian, konstruktivisme mempertahankan relevansinya dengan menolak klaim absolut tanpa jatuh ke dalam relativisme total.


Kesimpulan Sementara

Bab ini menunjukkan bahwa konstruktivisme, meskipun kaya secara konseptual, tidak lepas dari kritik serius baik dari perspektif realisme, teori korespondensi, maupun pragmatisme. Kritik tersebut terutama menyoroti bahaya relativisme dan kelemahan kriteria kebenaran dalam konstruktivisme. Namun, tanggapan konstruktivis menegaskan bahwa teori ini bukanlah penolakan terhadap realitas, melainkan analisis kritis tentang kondisi epistemik dan sosial yang membentuk klaim kebenaran. Dengan demikian, konstruktivisme tetap memberi kontribusi penting sebagai teori reflektif, sekaligus perlu dikembangkan lebih hati-hati untuk menghindari generalisasi berlebihan.


Footnotes

[1]                Richard Boyd, “Scientific Realism,” dalam The Philosophy of Science, ed. David Papineau (Oxford: Oxford University Press, 1996), 45–70.

[2]                Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus, 2003), 102–4.

[3]                Boyd, “Scientific Realism,” 56–58.

[4]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995), 25–27.

[5]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2016).

[6]                Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth and the Foundations of Semantics,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–76.

[7]                Paul A. Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 24–26.

[8]                William James, Pragmatism (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 106–8.

[9]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Holt, 1938), 15–20.

[10]             Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 82–83.

[11]             Boghossian, Fear of Knowledge, 1–4.

[12]             Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 21–23.

[13]             Glasersfeld, Radical Constructivism, 3–6.

[14]             Berger dan Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966), 15–20.

[15]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 7–8.

[16]             Norwood R. Hanson, Patterns of Discovery (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 19–22.

[17]             James, Pragmatism, 114–16.

[18]             Hacking, The Social Construction of What?, 35–36; Searle, The Construction of Social Reality, 11–13.


7.           Relevansi Kontemporer

7.1.       Konstruktivisme dan Era Post-Truth

Salah satu relevansi paling signifikan dari konstruktivisme hari ini adalah kemampuannya membantu kita memahami dinamika era post-truth, yaitu masa ketika fakta obyektif sering kali kalah pengaruh dibandingkan emosi dan opini pribadi dalam membentuk opini publik.¹ Lee McIntyre menekankan bahwa post-truth bukan sekadar “kebohongan,” melainkan kondisi sosial-politik di mana otoritas epistemik sains dan fakta dilemahkan.² Dalam konteks ini, konstruktivisme dapat digunakan secara kritis untuk menelusuri mekanisme sosial dan politik yang membentuk klaim kebenaran, sekaligus membedakan antara proses konstruksi yang sah (misalnya peer review, konsensus ilmiah) dengan klaim pseudo-ilmiah yang sengaja diproduksi untuk tujuan ideologis.³

7.2.       Media Digital, Disinformasi, dan Algoritma

Di era digital, konstruktivisme semakin relevan dalam menganalisis bagaimana media sosial dan algoritma membentuk realitas sosial. Fakta dan kebenaran kini banyak “dikonstruksi” melalui platform digital yang mengatur aliran informasi berdasarkan preferensi, klik, dan interaksi pengguna.⁴ Menurut Zeynep Tufekci, algoritma media sosial tidak netral, melainkan memediasi apa yang dianggap penting dan benar bagi komunitas daring.⁵ Dengan demikian, konstruktivisme menolong kita memahami bahwa kebenaran digital bukanlah refleksi obyektif, tetapi hasil konstruksi kompleks dari interaksi teknologi, ekonomi, dan budaya.

7.3.       Multikulturalisme, Relativisme Budaya, dan Dialog Intersubjektif

Dalam dunia yang semakin plural, konstruktivisme berperan penting untuk menegaskan bahwa kebenaran sering kali bersifat relatif terhadap konteks budaya. Clifford Geertz menunjukkan bahwa makna (dan karenanya klaim kebenaran) selalu berakar dalam simbol dan praktik budaya tertentu.⁶ Pandangan ini memperkaya diskursus multikulturalisme, karena membuka ruang bagi pengakuan pluralitas epistemik.

Namun, konstruktivisme kontemporer juga menegaskan bahwa pluralitas tidak identik dengan relativisme absolut. Habermas, misalnya, mengajukan konsep rasionalitas komunikatif yang berupaya menemukan dasar intersubjektif dalam dialog lintas-budaya.⁷ Dengan demikian, konstruktivisme membantu membangun kerangka dialog interkultural di mana klaim kebenaran dinegosiasikan melalui argumentasi rasional dalam konteks plural.

7.4.       Politik Global dan Hubungan Internasional

Dalam hubungan internasional, konstruktivisme menjadi salah satu teori utama untuk memahami bagaimana norma, identitas, dan kebenaran politik dibentuk secara sosial. Alexander Wendt menekankan bahwa “anarki adalah apa yang dibuat negara-negara darinya” (anarchy is what states make of it), artinya realitas politik internasional bukan sesuatu yang given, melainkan hasil konstruksi sosial antarnegara.⁸ Dengan kerangka ini, konstruktivisme memungkinkan analisis bahwa kebenaran politik—misalnya mengenai keamanan, ancaman, atau norma HAM—dibentuk melalui interaksi diplomatik, institusi global, dan wacana politik.

7.5.       Relevansi dalam Pendidikan dan Literasi Kritis

Dalam ranah pendidikan, konstruktivisme kontemporer relevan sebagai dasar pendidikan literasi kritis. Henry Giroux menekankan bahwa pendidikan harus memampukan siswa memahami bagaimana kebenaran dan pengetahuan dibentuk dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik.⁹ Dengan pendekatan konstruktivis, siswa tidak hanya menerima informasi sebagai “fakta tetap,” tetapi dilatih untuk mengajukan pertanyaan kritis: siapa yang memproduksi pengetahuan, dalam konteks apa, dan dengan kepentingan apa.¹⁰

7.6.       Sains, Teknologi, dan Etika Kontemporer

Dalam sains kontemporer, konstruktivisme memberikan kerangka untuk memahami perdebatan mengenai bioteknologi, kecerdasan buatan, dan perubahan iklim. Sheila Jasanoff menekankan bahwa ilmu pengetahuan modern selalu merupakan hasil co-production antara sains dan tatanan sosial.¹¹ Hal ini berarti bahwa klaim kebenaran ilmiah tidak hanya dibentuk oleh eksperimen, tetapi juga oleh nilai, kebijakan, dan struktur kekuasaan.

Dengan demikian, konstruktivisme memberi landasan etis untuk menuntut transparansi, partisipasi publik, dan tanggung jawab sosial dalam produksi sains dan teknologi.¹²


Kesimpulan

Relevansi kontemporer konstruktivisme dapat dilihat dalam tiga ranah utama: (1) membantu menganalisis tantangan era post-truth dan disinformasi, (2) memperkaya dialog multikultural dengan menekankan pluralitas epistemik tanpa jatuh ke relativisme nihilistik, dan (3) memberikan kerangka kritis bagi pendidikan, politik global, dan sains kontemporer. Dengan demikian, konstruktivisme tetap relevan sebagai teori yang tidak hanya menjelaskan bagaimana kebenaran dibentuk, tetapi juga sebagai landasan normatif untuk memperjuangkan kebenaran yang bertanggung jawab di era modern.


Footnotes

[1]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 12–14.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 25–29.

[3]                Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University Press, 2019), 44–47.

[4]                dan 5. Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 143–49.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.

[7]                Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,” International Organization 46, no. 2 (1992): 391–425.

[8]                Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988), 127–29.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.

[10]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004), 3–6.

[11]             Brian Wynne, “Public Engagement as a Means of Restoring Public Trust in Science—Hitting the Notes, but Missing the Music?,” Community Genetics 9, no. 3 (2006): 211–20.


8.           Penutup

Pembahasan mengenai Teori Konstruktivisme tentang Kebenaran memperlihatkan bahwa konstruktivisme merupakan salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam filsafat kontemporer, sosiologi pengetahuan, dan teori pendidikan. Ia berangkat dari premis dasar bahwa kebenaran tidak hadir sebagai entitas absolut dan statis, melainkan sebagai hasil konstruksi kognitif maupun sosial yang dibentuk melalui interaksi subjek, bahasa, institusi, dan konteks historis.¹

Secara historis, konstruktivisme berakar pada pemikiran Kant yang menekankan bahwa pengetahuan selalu dibentuk oleh struktur apriori kesadaran.² Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitif, Glasersfeld dengan konstruktivisme radikal, serta Berger dan Luckmann dengan konstruktivisme sosial.³ Dalam filsafat ilmu, konstruktivisme diperkaya oleh pemikiran Kuhn tentang pergeseran paradigma dan Latour mengenai produksi fakta ilmiah di laboratorium.⁴ Deretan tokoh dan teori ini menegaskan bahwa kebenaran selalu terikat pada kerangka konseptual, praktik sosial, dan institusional yang melingkupinya.

Meski demikian, konstruktivisme tidak luput dari kritik. Dari perspektif realisme, ia dituduh melemahkan klaim obyektivitas ilmu.⁵ Dari sudut pandang teori korespondensi, ia dinilai gagal menyediakan kriteria obyektif bagi kebenaran.⁶ Sementara dari pragmatisme, konstruktivisme dianggap terlalu fokus pada aspek sosial tanpa cukup menekankan dimensi praksis.⁷ Tuduhan relativisme bahkan membuat konstruktivisme sering dipandang sebagai jalan menuju nihilisme epistemik.⁸ Namun, tanggapan konstruktivis seperti Searle dan Hacking menegaskan bahwa konstruksi kebenaran selalu domain-specific—terbatas pada ranah sosial dan institusional—tanpa meniadakan realitas material (brute facts).⁹ Dengan demikian, konstruktivisme tetap menjaga jarak dari relativisme total.

Dalam konteks kontemporer, konstruktivisme menunjukkan relevansi yang besar. Ia membantu memahami fenomena post-truth dan disinformasi dengan cara menelusuri mekanisme sosial, politik, dan teknologi yang membentuk klaim kebenaran.¹⁰ Dalam ranah pendidikan, konstruktivisme menjadi dasar bagi model pembelajaran aktif dan literasi kritis yang melatih peserta didik untuk mempertanyakan asal-usul, konteks, dan kepentingan di balik pengetahuan.¹¹ Dalam politik global, konstruktivisme menjelaskan bagaimana norma internasional dan identitas negara terbentuk sebagai konstruksi sosial.¹² Dan dalam sains kontemporer, konstruktivisme menjadi kerangka penting untuk memahami co-production antara ilmu pengetahuan dan tatanan sosial.¹³

Dari seluruh uraian ini, dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme memberikan kontribusi penting dalam memperluas pemahaman kita tentang hakikat kebenaran. Ia menolak absolutisme sekaligus menghindari relativisme total, dengan menekankan bahwa klaim kebenaran senantiasa lahir dari interaksi kompleks antara manusia, bahasa, institusi, dan realitas material. Teori ini bukan hanya alat konseptual untuk menafsirkan sejarah perkembangan pengetahuan, melainkan juga sebuah kerangka kritis yang relevan untuk membaca tantangan epistemik di era modern. Dengan demikian, konstruktivisme layak ditempatkan sebagai salah satu teori kebenaran yang paling adaptif, reflektif, dan relevan bagi kebutuhan kontemporer.¹⁴


Footnotes

[1]                Ron Mallon, “Naturalistic Approaches to Social Construction,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008).

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer & Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

[3]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952); Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995); Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (Garden City, NY: Doubleday, 1966).

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed. 50 tahun (Chicago: University of Chicago Press, 2012); Bruno Latour dan Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986).

[5]                Richard Boyd, “Scientific Realism,” dalam The Philosophy of Science, ed. David Papineau (Oxford: Oxford University Press, 1996).

[6]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2016).

[7]                William James, Pragmatism (New York: Longmans, Green, and Co., 1907).

[8]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006).

[9]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995); Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999).

[10]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018).

[11]             Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978); Henry A. Giroux, Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1988).

[12]             Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,” International Organization 46, no. 2 (1992): 391–425.

[13]             Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004).

[14]             Ian Hacking, The Social Construction of What?, 35–37.


Daftar Pustaka

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Doubleday.

Boghossian, P. A. (2006). Fear of knowledge: Against relativism and constructivism. Oxford University Press.

Boyd, R. (1996). Scientific realism. In D. Papineau (Ed.), The philosophy of science (pp. 45–70). Oxford University Press.

David, M. (2016). The correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2016 ed.). Stanford University.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Holt.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Gardner, S. (1999). Routledge philosophy guidebook to Kant and the Critique of Pure Reason. Routledge.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Giroux, H. A. (1988). Teachers as intellectuals: Toward a critical pedagogy of learning. Bergin & Garvey.

Glasersfeld, E. von. (1984). An introduction to radical constructivism. In P. Watzlawick (Ed.), The invented reality: How do we know what we believe we know? (pp. 17–40). Norton.

Glasersfeld, E. von. (1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Hanson, N. R. (1958). Patterns of discovery. Cambridge University Press.

James, W. (1907). Pragmatism. Longmans, Green, and Co.

Jasanoff, S. (2004). States of knowledge: The co-production of science and the social order. Routledge.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Knorr-Cetina, K. (1999). Epistemic cultures: How the sciences make knowledge. Harvard University Press.

Kuhn, T. S. (2012). The structure of scientific revolutions (50th anniversary ed.). University of Chicago Press.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts (2nd ed.). Princeton University Press.

Longino, H. (2002). The fate of knowledge. Princeton University Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Merton, R. K. (1973). The normative structure of science. In R. K. Merton, The sociology of science: Theoretical and empirical investigations (pp. 267–278). University of Chicago Press.

Oreskes, N. (2019). Why trust science? Princeton University Press.

Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants of doubt. Bloomsbury Press.

Papineau, D. (2020). Naturalism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 ed.). Stanford University.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children. International Universities Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. Free Press.

Tarski, A. (1944). The semantic conception of truth and the foundations of semantics. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: The social construction of power politics. International Organization, 46(2), 391–425.

Wynne, B. (2006). Public engagement as a means of restoring public trust in science—Hitting the notes, but missing the music? Community Genetics, 9(3), 211–220.

Zalta, E. N. (Ed.). (2024). Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2024 ed.). Stanford University.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar