Teori Konsensus
Kajian Konseptual, Historis, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas teori konsensus tentang kebenaran sebagai salah
satu perspektif epistemologis yang penting dalam filsafat kontemporer. Berbeda
dengan teori korespondensi yang menekankan kesesuaian proposisi dengan realitas
eksternal, teori koherensi yang menekankan konsistensi logis internal, maupun
teori pragmatis yang menilai kebenaran berdasarkan manfaat praktis, teori konsensus
menempatkan kebenaran sebagai hasil kesepakatan rasional dalam komunitas
komunikasi ideal. Secara historis, teori ini berakar pada pemikiran Charles S.
Peirce tentang komunitas peneliti ideal, kemudian dikembangkan oleh Karl-Otto
Apel melalui etika diskursus, dan diperluas secara sistematis oleh Jürgen
Habermas dalam kerangka teori tindakan komunikatif.
Analisis dalam artikel ini menunjukkan bahwa teori konsensus memiliki
kekuatan epistemologis dan metodologis dalam menekankan intersubjektivitas, rasionalitas
komunikatif, serta keterbukaan terhadap revisi. Namun demikian, kritik
signifikan juga muncul, mulai dari potensi relativisme, kesulitan mewujudkan situasi
bicara ideal, hingga kecenderungan reduksi kebenaran menjadi prosedural.
Meskipun demikian, teori konsensus tetap memiliki relevansi kontemporer yang
kuat, khususnya dalam menghadapi tantangan era post-truth, menguatkan
demokrasi deliberatif, memperkuat epistemologi sains, serta menjadi landasan
dialog etika global. Dengan demikian, teori konsensus tidak hanya penting
sebagai kerangka epistemologis, tetapi juga sebagai orientasi normatif dalam
membangun kehidupan sosial yang lebih adil, rasional, dan inklusif.
Kata Kunci: Kebenaran,
Konsensus, Habermas, Apel, Epistemologi, Rasionalitas Komunikatif, Demokrasi
Deliberatif, Post-Truth.
PEMBAHASAN
Teori Konsensus tentang Kebenaran
1.
Pendahuluan
Persoalan tentang kebenaran merupakan
salah satu tema sentral dalam filsafat sejak masa klasik hingga kontemporer.
Sejarah filsafat menunjukkan adanya beragam teori yang berusaha menjelaskan
hakikat kebenaran, di antaranya teori korespondensi, teori koherensi, teori
pragmatis, teori deflasi, hingga teori konsensus. Masing-masing teori
menawarkan perspektif yang berbeda dalam memahami hubungan antara pikiran,
bahasa, dan realitas. Teori korespondensi menekankan kesesuaian antara
proposisi dengan fakta objektif di dunia luar, teori koherensi melihat
kebenaran sebagai konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan,
sedangkan teori pragmatis menilai kebenaran dari kegunaan praktis suatu
keyakinan dalam kehidupan sehari-hari.¹ Dalam konteks ini, teori konsensus
hadir sebagai alternatif dengan menekankan dimensi intersubjektif dari
kebenaran.
Teori konsensus berpandangan bahwa
kebenaran tidak dapat direduksi semata-mata pada fakta objektif ataupun
koherensi logis internal, melainkan pada kesepakatan yang dicapai melalui
proses diskursus rasional dalam suatu komunitas ideal.² Konsep ini menekankan
bahwa kebenaran bersifat komunikatif dan intersubjektif, sehingga dapat dicapai
melalui interaksi argumentatif yang bebas dari paksaan maupun distorsi.³ Dengan
demikian, teori ini memberikan fondasi epistemologis baru yang menggeser
orientasi pencarian kebenaran dari ranah individual menuju ranah kolektif dan
dialogis.
Secara historis, gagasan tentang
konsensus memiliki akar pada pemikiran filsuf pragmatis Amerika, Charles S.
Peirce, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil akhir dari penyelidikan
yang dilakukan secara terus-menerus oleh komunitas peneliti ideal.⁴ Pemikiran
ini kemudian dikembangkan secara lebih sistematis oleh filsuf Jerman, Jürgen
Habermas, melalui teori tindakan komunikatif dan etika diskursus. Habermas
menegaskan bahwa klaim kebenaran hanya dapat dipertanggungjawabkan dalam
kondisi komunikasi ideal, yakni ketika semua partisipan memiliki kesempatan
setara untuk mengajukan, menolak, atau merevisi argumen tanpa adanya dominasi.⁵
Bersama Karl-Otto Apel, Habermas menjadikan teori konsensus sebagai basis
filsafat komunikasi sekaligus sebagai kritik terhadap positivisme maupun
relativisme.⁶
Dalam konteks filsafat kontemporer,
urgensi teori konsensus semakin menguat di tengah krisis epistemologis yang
ditandai oleh munculnya era “post-truth” atau pasca-kebenaran.⁷ Di era
ini, fakta objektif sering kali terpinggirkan oleh opini, emosi, atau
kepentingan politik, sehingga mekanisme pencarian kebenaran membutuhkan
kerangka yang lebih menekankan rasionalitas komunikatif dan kesepakatan
intersubjektif. Oleh karena itu, teori konsensus tidak hanya penting sebagai
diskursus epistemologis, tetapi juga relevan dalam praktik sosial, politik, dan
etika global.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan
kajian komprehensif mengenai teori konsensus tentang kebenaran dengan
menelusuri aspek konseptual, historis, kritik, serta relevansinya dalam konteks
kontemporer. Pembahasan ini diharapkan dapat memperlihatkan posisi teori
konsensus di antara teori-teori kebenaran lainnya, sekaligus membuka ruang bagi
pemahaman lebih luas tentang bagaimana kebenaran dapat dipahami dan dijalankan
dalam kehidupan masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–30.
[2]
Jürgen Habermas, Truth and Justification
(Cambridge: MIT Press, 2003), 87.
[3]
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen
Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.
[4]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard
University Press, 1931–1958), 5.407.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
[6]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 13–16.
2.
Konsep Dasar Teori
Konsensus
Teori konsensus tentang kebenaran
merupakan salah satu varian teori kebenaran kontemporer yang menekankan dimensi
intersubjektif dalam proses penentuan kebenaran. Berbeda dengan teori
korespondensi yang menilai kebenaran berdasarkan kesesuaian proposisi dengan
fakta objektif, atau teori koherensi yang mengutamakan konsistensi logis dalam
suatu sistem keyakinan, teori konsensus mendasarkan kebenaran pada hasil
kesepakatan rasional yang dicapai melalui proses komunikasi yang bebas dan
setara.¹
2.1.
Definisi Teori
Konsensus
Secara umum, teori konsensus menyatakan
bahwa sebuah pernyataan dianggap benar apabila ia dapat diterima atau
disepakati dalam kondisi komunikasi ideal, yakni ketika para partisipan
diskursus terlibat dalam percakapan yang rasional, terbuka, dan bebas dari
tekanan eksternal maupun dominasi kekuasaan.² Dengan kata lain, kebenaran
bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bersifat objektif atau subjektif, melainkan
hasil proses intersubjektif yang lahir dari interaksi manusia dalam kerangka
rasionalitas komunikatif.³
2.2.
Prinsip Utama:
Diskursus dan Rasionalitas Komunikatif
Fondasi utama teori konsensus adalah
keyakinan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional untuk mencapai kesepakatan
melalui argumentasi. Habermas mengemukakan bahwa setiap klaim kebenaran selalu
disertai dengan “validity claim” (tuntutan kesahihan) yang dapat diuji
melalui diskursus.⁴ Suatu klaim dianggap sahih apabila dapat dipertahankan
secara rasional di hadapan komunitas komunikasi yang ideal, yaitu komunitas di
mana semua pihak memiliki kesempatan setara untuk mengajukan, menolak, dan
merevisi argumen.⁵
Karl-Otto Apel menambahkan bahwa proses
pencarian kebenaran melalui konsensus bukan hanya bersifat pragmatis, tetapi
juga mengandung dimensi etis. Menurutnya, komunikasi yang rasional menuntut
adanya tanggung jawab moral untuk menghargai partisipasi semua individu dalam
diskursus.⁶ Dengan demikian, teori konsensus tidak hanya berkaitan dengan
epistemologi, tetapi juga dengan etika diskursus.
2.3.
Perbedaan dengan
Teori Kebenaran Lain
Jika dibandingkan dengan teori lain,
teori konsensus memiliki keunikan tertentu. Pertama, berbeda dengan teori
korespondensi yang cenderung menekankan relasi kognitif dengan realitas
eksternal, teori konsensus menekankan dimensi sosial-kognitif melalui mekanisme
diskursus.⁷ Kedua, berbeda dengan teori koherensi yang lebih menitikberatkan
pada struktur logis internal, teori konsensus menekankan keterbukaan dan
dinamika argumentatif.⁸ Ketiga, dibandingkan dengan teori pragmatis yang
menilai kebenaran berdasarkan kebermanfaatannya, teori konsensus menegaskan
bahwa manfaat praktis suatu keyakinan tetap harus diuji melalui kesepakatan
rasional kolektif.⁹
2.4.
Implikasi Konseptual
Konsep kebenaran dalam teori konsensus
membawa implikasi penting. Pertama, kebenaran dipandang sebagai proses yang
terus berkembang, bukan entitas statis. Proses diskursus selalu terbuka untuk
revisi ketika argumen baru yang lebih kuat muncul.¹⁰ Kedua, teori konsensus
menekankan pentingnya ruang publik yang demokratis, karena hanya dalam kondisi komunikasi
yang bebas dan setara konsensus yang valid dapat dicapai.¹¹ Ketiga, teori ini
menawarkan alternatif terhadap relativisme, sebab kebenaran tidak semata
ditentukan oleh preferensi individu atau kelompok tertentu, melainkan oleh
prinsip rasionalitas komunikatif yang bersifat universal.¹²
Dengan demikian, teori konsensus
menempatkan kebenaran dalam konteks sosial dan etis, sekaligus memberikan
kerangka konseptual bagi pemahaman yang lebih inklusif, dialogis, dan
demokratis tentang apa yang dapat disebut sebagai “benar.”
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 128–30.
[2]
Jürgen Habermas, Truth and Justification
(Cambridge: MIT Press, 2003), 87.
[3]
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen
Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
[5]
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 285.
[6]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.
[7]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge: Harvard University Press, 1986), 108.
[8]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 55.
[9]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 106.
[10]
Habermas, Truth and Justification, 91.
[11]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections
on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 70.
[12]
Apel, Towards a Transformation of Philosophy,
275.
3.
Landasan Historis
dan Tokoh Utama
3.1.
Akar Pemikiran dalam
Tradisi Filsafat
Konsep kebenaran sebagai hasil
konsensus memiliki akar yang panjang dalam sejarah filsafat modern, terutama
dalam tradisi pragmatisme. Charles S. Peirce, filsuf Amerika yang dikenal
sebagai salah satu pendiri pragmatisme, merupakan tokoh awal yang mengajukan
gagasan bahwa kebenaran adalah “opini yang pada akhirnya akan disetujui oleh
komunitas peneliti” (the opinion which is fated to be ultimately agreed
to by all who investigate).¹ Peirce menegaskan bahwa penyelidikan ilmiah
pada dasarnya adalah proses kolektif yang akan membawa para peneliti menuju
konsensus akhir, meskipun jalannya panjang dan penuh revisi.² Dengan demikian,
Peirce membuka jalan bagi pemahaman bahwa kebenaran bersifat dinamis, historis,
dan hasil dari proses intersubjektif.
3.2.
Perkembangan di Abad
ke-20
Gagasan Peirce tentang komunitas
peneliti ideal kemudian menemukan elaborasi lebih lanjut pada abad ke-20,
khususnya dalam karya para filsuf Jerman seperti Karl-Otto Apel dan Jürgen
Habermas. Apel, melalui filsafat bahasa dan etika diskursusnya, menegaskan
bahwa klaim kebenaran hanya bisa dipertanggungjawabkan dalam kerangka
komunikasi intersubjektif.³ Ia menolak gagasan bahwa kebenaran dapat dipahami
secara absolut tanpa mempertimbangkan kondisi komunikasi, karena setiap
pernyataan selalu diajukan dalam konteks diskursus bersama.⁴
Habermas, murid sekaligus kolega Apel,
mengembangkan teori konsensus lebih komprehensif melalui proyek besar The
Theory of Communicative Action. Ia menekankan bahwa setiap klaim kebenaran
mengandung tuntutan validitas yang hanya bisa diuji melalui proses diskursus
rasional dalam “situasi bicara ideal” (ideal speech situation).⁵
Dalam situasi ini, semua partisipan memiliki kesempatan setara untuk berbicara,
tanpa adanya paksaan, dominasi, atau manipulasi.⁶ Habermas menempatkan
kebenaran sebagai hasil rasionalitas komunikatif yang dapat diuji secara
terbuka, menjadikannya bagian penting dari teori kritis dan fondasi bagi
demokrasi deliberatif.
3.3.
Karl-Otto Apel dan
Etika Diskursus
Apel berperan penting dalam memberikan
landasan etis bagi teori konsensus. Dalam karyanya Towards a Transformation
of Philosophy, ia menegaskan bahwa setiap tindakan komunikasi membawa
praanggapan normatif tertentu, misalnya bahwa semua peserta berhak untuk
didengar dan bahwa argumen harus dipertimbangkan secara setara.⁷ Oleh karena
itu, pencarian kebenaran melalui konsensus bukan hanya persoalan epistemologis,
tetapi juga etis, karena menuntut komitmen terhadap inklusivitas, keadilan, dan
tanggung jawab moral dalam diskursus.⁸
3.4.
Jürgen Habermas dan
Teori Tindakan Komunikatif
Habermas memberikan kontribusi besar
dengan menempatkan teori konsensus dalam kerangka teori tindakan komunikatif.
Baginya, komunikasi manusia tidak semata alat untuk menyampaikan informasi,
tetapi juga sarana untuk mencapai kesepahaman (Verständigung).⁹ Dengan
mengembangkan konsep klaim validitas (kebenaran, kejujuran, dan ketepatan
normatif), Habermas menunjukkan bahwa setiap komunikasi selalu mengandaikan
adanya kemungkinan konsensus yang dapat diuji secara rasional.¹⁰ Melalui
pendekatan ini, Habermas memperluas cakupan teori konsensus tidak hanya dalam
epistemologi, tetapi juga dalam teori sosial dan politik, khususnya gagasan
tentang demokrasi deliberatif.¹¹
3.5.
Tokoh-Tokoh Lain dan
Pengaruh Kontemporer
Selain Peirce, Apel, dan Habermas,
sejumlah tokoh lain juga memberikan kontribusi pada pengembangan teori
konsensus. Seyla Benhabib, misalnya, mengembangkan teori diskursus Habermas
dalam konteks feminisme dan politik transnasional, dengan menekankan pentingnya
partisipasi setara dari kelompok-kelompok yang termarginalisasi.¹² Sementara
itu, Richard Rorty, meskipun lebih dekat dengan pragmatisme, juga menyinggung
pentingnya komunitas dalam menentukan makna kebenaran, meski ia lebih
menekankan pada konsensus sebagai praktik sosial ketimbang sebagai prinsip
normatif.¹³
Dengan demikian, teori konsensus
memiliki fondasi historis yang kokoh dan tokoh-tokoh utama yang memberikan
kerangka epistemologis, etis, dan sosial bagi konsep ini. Dari Peirce yang
menekankan komunitas peneliti ideal, Apel yang memberikan landasan etis, hingga
Habermas yang mengembangkan teori tindakan komunikatif, teori konsensus tentang
kebenaran menunjukkan evolusi yang kaya dan terus berpengaruh dalam wacana
filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard
University Press, 1931–1958), 5.407.
[2]
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A
Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 1991), 45–47.
[3]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.
[4]
David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason
(New Haven: Yale University Press, 1987), 119.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
[6]
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen
Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.
[7]
Apel, Towards a Transformation of Philosophy,
275.
[8]
Karl-Otto Apel, “The A Priori of Communication and the
Foundation of Ethics,” in Towards a Transformation of Philosophy
(London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 278.
[9]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
1:86.
[10]
Jürgen Habermas, Truth and Justification
(Cambridge: MIT Press, 2003), 88–89.
[11]
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 290.
[12]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 54–55.
[13]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.
4.
Analisis
Epistemologis dan Metodologis
4.1.
Dimensi
Epistemologis Teori Konsensus
Secara epistemologis, teori konsensus
menegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipahami semata-mata sebagai hubungan
statis antara pernyataan dan realitas eksternal, sebagaimana dalam teori
korespondensi, atau sebagai konsistensi logis internal sebagaimana dalam teori
koherensi. Sebaliknya, kebenaran harus dipahami sebagai hasil dari proses
intersubjektif yang berlangsung dalam ruang diskursus rasional.¹ Dengan
demikian, kebenaran tidak bersifat “ditemukan” secara individual,
melainkan “dicapai” melalui interaksi argumentatif dalam komunitas
komunikasi yang ideal.²
Habermas menekankan bahwa setiap klaim
kebenaran selalu memuat tuntutan validitas (validity claim) yang harus
dapat dipertanggungjawabkan di hadapan orang lain.³ Hal ini berarti,
pengetahuan yang sahih bukan sekadar hasil observasi empiris atau deduksi
logis, melainkan hasil uji argumentatif yang bersifat publik. Perspektif ini
menggeser epistemologi klasik yang cenderung individualistis menuju
epistemologi dialogis dan komunikatif.⁴
4.2.
Rasionalitas
Komunikatif sebagai Mekanisme Validasi
Epistemologi konsensus didasarkan pada
prinsip rasionalitas komunikatif, yaitu rasionalitas yang berfungsi bukan hanya
untuk menguasai alam atau mencapai tujuan instrumental, tetapi untuk membangun
kesepahaman (Verständigung).⁵ Habermas membedakan rasionalitas
komunikatif dari rasionalitas instrumental dan strategis. Rasionalitas komunikatif
bertumpu pada argumen yang dapat diterima oleh semua partisipan diskursus dalam
kondisi bebas paksaan.⁶ Dengan kata lain, konsensus yang dihasilkan bukan
sekadar kompromi pragmatis, melainkan kesepakatan rasional yang dicapai melalui
pertukaran alasan yang adil dan terbuka.
Karl-Otto Apel menambahkan dimensi etis
pada analisis ini. Menurutnya, setiap tindakan komunikasi mengandaikan norma
dasar: bahwa semua partisipan harus diperlakukan sebagai subjek yang setara.⁷
Implikasi epistemologis dari pandangan ini adalah bahwa kebenaran tidak hanya
menuntut kesahihan argumen, tetapi juga keadilan dalam prosedur komunikasi.
4.3.
Konsep “Situasi
Bicara Ideal”
Habermas memperkenalkan konsep ideal
speech situation atau situasi bicara ideal sebagai syarat metodologis bagi
pencapaian konsensus yang valid. Dalam situasi ini, setiap peserta diskursus:
1)
memiliki kesempatan yang
sama untuk berbicara,
2)
bebas dari paksaan atau
manipulasi,
3)
dapat mengajukan klaim dan
menantang klaim pihak lain, serta
4)
terikat pada kekuatan
argumen terbaik, bukan pada kekuasaan atau otoritas eksternal.⁸
Secara metodologis, situasi ini
berfungsi sebagai prinsip regulatif, bukan kondisi empiris yang mudah
diwujudkan.⁹ Artinya, meskipun komunikasi nyata selalu sarat dengan
ketidakseimbangan kekuasaan, konsep ini tetap diperlukan sebagai standar
normatif untuk mengukur validitas konsensus.¹⁰
4.4.
Metodologi Diskursus
dan Uji Kebenaran
Metodologi teori konsensus dapat
dipahami sebagai metodologi diskursus, di mana klaim kebenaran diuji melalui
argumentasi dalam komunitas. Proses ini berbeda dengan verifikasi empiris atau
pembuktian logis semata; ia melibatkan partisipasi intersubjektif untuk menguji
klaim dari berbagai perspektif.¹¹ Habermas menegaskan bahwa diskursus berfungsi
sebagai prosedur rasional untuk mencapai “kesepakatan bebas dominasi” (herrschaftsfreier
Konsens).¹²
Dari sudut metodologis, teori konsensus
menekankan keterbukaan terhadap revisi. Konsensus yang dicapai pada suatu waktu
bukanlah kebenaran absolut, melainkan kesepakatan sementara yang selalu terbuka
untuk dikritisi dan diperbarui seiring munculnya argumen baru.¹³ Hal ini
menjadikan teori konsensus bersifat fallibilis, namun sekaligus memberikan
mekanisme rasional untuk memperbaiki kesalahan dalam proses pencarian
kebenaran.
4.5.
Implikasi terhadap
Epistemologi Kontemporer
Analisis epistemologis dan metodologis
teori konsensus memberikan kontribusi penting bagi epistemologi kontemporer.
Pertama, ia mengatasi individualisme epistemologi modern dengan menekankan
dimensi sosial dari kebenaran. Kedua, ia mengkritisi relativisme postmodern
dengan memberikan standar normatif berupa rasionalitas komunikatif. Ketiga, ia
memberikan metodologi yang sesuai dengan konteks demokratis, di mana kebenaran
diuji melalui debat publik dan deliberasi yang inklusif.¹⁴
Dengan demikian, teori konsensus tidak
hanya menawarkan kerangka epistemologis baru, tetapi juga memberikan metodologi
yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks—mulai dari sains, etika, hingga
politik—untuk memastikan bahwa klaim kebenaran diuji secara adil, terbuka, dan
rasional.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 55.
[2]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard
University Press, 1931–1958), 5.407.
[3]
Jürgen Habermas, Truth and Justification
(Cambridge: MIT Press, 2003), 87–88.
[4]
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen
Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 312.
[5]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.
[6]
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study
of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 290.
[7]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.
[8]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
1:42–44.
[9]
David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason
(New Haven: Yale University Press, 1987), 121.
[10]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
69–70.
[11]
Habermas, Truth and Justification, 91.
[12]
McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas,
309.
[13]
Cheryl Misak, Truth, Politics, Morality: Pragmatism
and Deliberation (London: Routledge, 2000), 64–65.
[14]
James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative
Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47.
5.
Kritik terhadap
Teori Konsensus
Teori konsensus tentang kebenaran
memberikan sumbangan penting bagi filsafat kontemporer dengan menekankan
dimensi intersubjektif dan komunikatif dalam pencarian kebenaran. Namun
demikian, teori ini juga tidak lepas dari berbagai kritik baik secara internal
maupun eksternal. Kritik-kritik tersebut mencakup potensi relativisme, masalah
dominasi dalam diskursus nyata, reduksi kebenaran pada prosedur komunikasi,
serta keterbatasannya dalam menjelaskan fakta objektif.
5.1.
Kritik Relativisme
dan Kesepakatan Mayoritas
Salah satu kritik utama terhadap teori
konsensus adalah potensi terjerumus ke dalam relativisme. Jika kebenaran
ditentukan oleh konsensus komunitas, maka terdapat risiko bahwa suatu
pernyataan dianggap benar hanya karena mayoritas menyetujuinya, bukan karena ia
memiliki korespondensi dengan realitas.¹ Dalam situasi ini, konsensus dapat
menjadi sekadar bentuk “opini kolektif” yang dipengaruhi oleh budaya,
tradisi, atau kepentingan tertentu, sehingga kebenaran tereduksi menjadi
kesepakatan sosial yang bersifat kontingen.² Hal ini menimbulkan pertanyaan:
apakah sesuatu yang disepakati oleh semua orang secara rasional benar-benar
identik dengan kebenaran itu sendiri?
5.2.
Kritik terhadap
“Situasi Bicara Ideal”
Habermas merumuskan situasi bicara
ideal sebagai syarat normatif bagi tercapainya konsensus yang valid.³
Namun, para kritikus menilai konsep ini terlalu utopis dan sulit diwujudkan
dalam kenyataan.⁴ Dalam praktik sosial dan politik, komunikasi manusia hampir
selalu dipengaruhi oleh asimetri kekuasaan, kepentingan ekonomi, atau dominasi
ideologi.⁵ Dengan demikian, konsensus yang dicapai dalam dunia nyata sering
kali tidak sepenuhnya bebas dari tekanan atau manipulasi. Nancy Fraser,
misalnya, menekankan bahwa teori konsensus Habermas gagal mempertimbangkan
secara memadai struktur ketidaksetaraan sosial yang menghalangi partisipasi
setara dalam diskursus.⁶
5.3.
Reduksi Kebenaran
pada Prosedur Komunikasi
Kritik lain diarahkan pada
kecenderungan teori konsensus mereduksi kebenaran menjadi sekadar hasil dari
prosedur komunikasi. Richard Rorty, meskipun memiliki pandangan pragmatis,
menilai bahwa dengan menekankan kebenaran pada konsensus, Habermas dan Apel
justru menggantikan standar objektivitas dengan proseduralisme normatif.⁷ Hal
ini menimbulkan dilema: apakah kebenaran masih memiliki dimensi independen dari
proses diskursus, ataukah sepenuhnya bergantung pada konsensus yang terbentuk?
Jika kebenaran hanya prosedural, maka kemungkinan adanya klaim kebenaran yang
valid meskipun tidak (atau belum) diakui komunitas, menjadi problematis.
5.4.
Tantangan dari Teori
Kebenaran Lain
Dari perspektif teori korespondensi,
teori konsensus dianggap gagal menjelaskan hubungan klaim kebenaran dengan
realitas eksternal.⁸ Misalnya, fakta-fakta ilmiah tertentu dapat tetap benar
meskipun belum ada konsensus komunitas ilmiah pada saat tertentu. Dari
perspektif teori pragmatis, teori konsensus dinilai terlalu menekankan dimensi
prosedural dan mengabaikan aspek kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.⁹
Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa teori konsensus, meskipun menawarkan
perspektif baru, tidak sepenuhnya mampu menggantikan teori-teori kebenaran
lainnya.
5.5.
Kritik dari
Perspektif Postmodern dan Feminisme
Selain itu, sejumlah kritik datang dari
perspektif postmodern dan feminisme. Lyotard, misalnya, menolak gagasan adanya
kerangka universal seperti situasi bicara ideal, karena menurutnya
narasi besar (grand narratives) yang mengklaim universalitas justru cenderung
menyingkirkan keragaman bahasa dan pengalaman.¹⁰ Dalam perspektif feminis,
Seyla Benhabib mencoba mengembangkan teori Habermas lebih lanjut dengan
menekankan pentingnya pengakuan terhadap pengalaman kelompok marginal.¹¹ Kritik
ini menggarisbawahi bahwa konsensus yang sejati harus memperhitungkan
pluralitas dan kondisi konkret ketidaksetaraan sosial, bukan hanya norma
komunikasi ideal.
Sintesis Kritis
Meskipun berbagai kritik tersebut
menunjukkan keterbatasan teori konsensus, tidak dapat dipungkiri bahwa ia tetap
memberikan kontribusi penting dalam filsafat kebenaran. Teori ini menegaskan
bahwa pencarian kebenaran harus selalu melibatkan partisipasi rasional,
keterbukaan, dan kesetaraan. Kritik-kritik yang ada justru memperkaya diskusi
dengan mendorong pengembangan teori konsensus agar lebih realistis, inklusif,
dan peka terhadap dinamika sosial-politik.
Footnotes
[1]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge: Harvard University Press, 1986), 112.
[2]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 59.
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
[4]
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen
Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 311.
[5]
David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason
(New Haven: Yale University Press, 1987), 121–22.
[6]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
70.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.
[8]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 132.
[9]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old
Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 106.
[10]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984),
xxiv.
[11]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 55.
6.
Relevansi
Kontemporer
6.1.
Teori Konsensus
dalam Demokrasi Deliberatif
Dalam konteks politik kontemporer,
teori konsensus memiliki relevansi besar terutama dalam kerangka demokrasi
deliberatif. Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya dialog publik,
argumentasi rasional, dan partisipasi setara dalam pengambilan keputusan
politik.¹ Habermas sendiri melihat teori konsensus sebagai basis epistemologis
bagi legitimasi demokrasi: keputusan politik yang sah hanya dapat lahir dari
proses diskursus yang melibatkan semua warga negara secara bebas dan setara.²
Dengan demikian, teori konsensus memberikan dasar normatif untuk menilai
kualitas deliberasi politik, bukan sekadar menghitung suara mayoritas.
6.2.
Relevansi di Era
Post-Truth
Krisis epistemologis di era post-truth,
di mana opini, emosi, dan disinformasi sering kali lebih berpengaruh daripada
fakta, memperkuat urgensi teori konsensus.³ Dalam lanskap media digital yang
dipenuhi fake news dan polarisasi opini, kebutuhan akan kerangka
normatif yang menekankan rasionalitas komunikatif menjadi semakin mendesak.⁴
Teori konsensus menawarkan jalan untuk menghadapi tantangan ini dengan
mengedepankan prinsip bahwa klaim kebenaran harus diuji melalui argumen
rasional dan terbuka, bukan melalui dominasi wacana atau manipulasi informasi.
6.3.
Etika Global dan
Dialog Antarbudaya
Dalam ranah etika global, teori
konsensus juga relevan sebagai dasar bagi dialog antarbudaya dan penyelesaian
konflik internasional. Karl-Otto Apel menegaskan bahwa etika diskursus bersifat
transkultural karena didasarkan pada praanggapan universal dari setiap tindakan
komunikasi.⁵ Dengan demikian, nilai-nilai dasar seperti keadilan, kesetaraan,
dan penghormatan dapat dinegosiasikan melalui konsensus global yang dicapai
lewat dialog antarbangsa.⁶ Hal ini penting, misalnya, dalam membangun konsensus
internasional tentang isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan ekonomi,
atau hak asasi manusia.
6.4.
Relevansi dalam Ilmu
Pengetahuan dan Sains
Teori konsensus juga memiliki
signifikansi dalam epistemologi sains. Ilmu pengetahuan modern pada dasarnya
berkembang melalui diskursus komunitas ilmiah, di mana klaim-klaim diuji,
dikritik, dan direvisi hingga tercapai konsensus sementara.⁷ Dengan demikian,
teori konsensus memberikan kerangka filosofis untuk memahami dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan: kebenaran ilmiah tidak absolut, melainkan hasil
kesepakatan kolektif yang selalu terbuka untuk revisi.⁸
6.5.
Peran dalam
Penguatan Ruang Publik Digital
Selain politik dan sains, teori
konsensus dapat diaplikasikan pada penguatan ruang publik digital. Platform
media sosial saat ini sering kali menjadi arena perdebatan yang penuh
polarisasi. Dengan prinsip rasionalitas komunikatif, teori konsensus memberikan
standar normatif untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat, inklusif,
dan dialogis.⁹ Di sini, konsensus bukan berarti semua perbedaan harus
dihapuskan, melainkan bahwa setiap klaim diuji dalam proses komunikasi yang
adil dan setara.¹⁰
Sintesis Kontemporer
Relevansi teori konsensus di era
kontemporer terlihat dalam tiga ranah utama: politik, sains, dan etika global.
Pertama, ia menyediakan landasan epistemologis bagi demokrasi deliberatif.
Kedua, ia memberikan mekanisme untuk menghadapi tantangan era post-truth.
Ketiga, ia berkontribusi pada dialog etis lintas budaya di dunia global. Dengan
demikian, meskipun teori ini menghadapi kritik serius, ia tetap memiliki peran
vital sebagai kerangka normatif yang mendorong pencarian kebenaran secara
kolektif, inklusif, dan rasional.
Footnotes
[1]
James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative
Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47.
[2]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT
Press, 1996), 107–8.
[3]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 13–16.
[4]
Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig,
“Disinformation, Fake News and Influence Campaigns on Twitter,” Political
Science Quarterly 133, no. 2 (2018): 221–39.
[5]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of
Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 278.
[6]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 55.
[7]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard
University Press, 1931–1958), 5.407.
[8]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 170–73.
[9]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A
Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text,
no. 25/26 (1990): 56–80.
[10]
Habermas, Truth and Justification (Cambridge:
MIT Press, 2003), 91.
7.
Penutup
Teori konsensus tentang kebenaran
memberikan kontribusi penting dalam wacana epistemologi modern dan kontemporer
dengan menekankan dimensi intersubjektif serta prosedural dari pencarian
kebenaran. Berbeda dengan teori korespondensi yang menghubungkan kebenaran
dengan realitas objektif, teori koherensi yang menekankannya pada konsistensi
internal, maupun teori pragmatis yang menekankan manfaat praktis, teori
konsensus menghadirkan paradigma baru bahwa kebenaran adalah hasil dari
diskursus rasional dalam komunitas komunikasi yang ideal.¹ Dengan demikian,
teori ini menegaskan bahwa pencarian kebenaran bukanlah usaha individual
semata, melainkan proses kolektif yang menuntut rasionalitas, keterbukaan, dan
kesetaraan partisipasi.
Secara historis, teori konsensus
berakar pada gagasan Charles S. Peirce tentang komunitas peneliti ideal,
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Karl-Otto Apel melalui etika diskursus
dan diperkaya secara sistematis oleh Jürgen Habermas lewat teori tindakan
komunikatif.² Perjalanan historis ini menunjukkan bahwa teori konsensus tidak
muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai hasil evolusi panjang yang
mengintegrasikan dimensi epistemologis, etis, dan sosial dalam memahami
kebenaran.
Namun, kritik terhadap teori ini juga
signifikan. Tantangan utamanya mencakup potensi relativisme, problem dominasi
dalam diskursus nyata, serta kecenderungan reduksi kebenaran menjadi prosedural
semata.³ Kritik dari perspektif postmodern dan feminisme menyoroti bahwa
kerangka normatif Habermas terlalu utopis, kurang memperhatikan pluralitas
bahasa, serta tidak cukup tanggap terhadap ketidaksetaraan sosial yang nyata.⁴
Kritik-kritik ini mengingatkan bahwa meskipun teori konsensus ideal secara
normatif, penerapannya dalam realitas sosial-politik membutuhkan revisi dan
adaptasi agar lebih inklusif dan realistis.
Di sisi lain, relevansi kontemporer
teori konsensus semakin nyata, terutama dalam menghadapi tantangan post-truth,
polarisasi politik, dan disinformasi global.⁵ Teori ini memberikan fondasi
filosofis bagi demokrasi deliberatif, epistemologi sains yang terbuka terhadap
revisi, serta etika global yang memungkinkan dialog antarbudaya.⁶ Dengan
demikian, teori konsensus tetap berperan penting dalam membangun kerangka
normatif untuk kehidupan sosial yang rasional, adil, dan demokratis.
Pada akhirnya, teori konsensus tentang
kebenaran dapat dipahami sebagai proyek filosofis yang berupaya menjembatani
antara klaim objektivitas dan pluralitas pengalaman manusia. Kelebihannya
terletak pada penekanan terhadap rasionalitas komunikatif, sementara
kelemahannya terletak pada keterbatasan penerapannya dalam dunia nyata yang
sarat ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, tugas filsafat kontemporer adalah
melanjutkan proyek ini dengan mengintegrasikan kritik-kritik yang ada, sehingga
teori konsensus tetap relevan dan aplikatif dalam menjawab tantangan
epistemologis, etis, dan politik dunia modern.⁷
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, Truth and Justification
(Cambridge: MIT Press, 2003), 87–89.
[2]
Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles
Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard
University Press, 1931–1958), 5.407; Karl-Otto Apel, Towards a
Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980),
273; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.
[4]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984),
xxiv; Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 55.
[5]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press,
2018), 13–16.
[6]
James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative
Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47;
Karl-Otto Apel, “The A Priori of Communication and the Foundation of Ethics,”
in Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan
Paul, 1980), 278.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997),
70.
Daftar Pustaka
Apel, K.-O. (1980). Towards a
transformation of philosophy. London: Routledge & Kegan Paul.
Apel, K.-O. (1980). The a priori of
communication and the foundation of ethics. In Towards a transformation of
philosophy (pp. 273–291). London: Routledge & Kegan Paul.
Benhabib, S. (1986). Critique,
norm, and utopia: A study of the foundations of critical theory. New York:
Columbia University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the
self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. New York:
Routledge.
Bohman, J., & Rehg, W. (Eds.).
(1997). Deliberative democracy: Essays on reason and politics.
Cambridge, MA: MIT Press.
Fraser, N. (1990). Rethinking the
public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social
Text, (25/26), 56–80.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New
York: Routledge.
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts
and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy.
Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (2003). Truth and
justification. Cambridge, MA: MIT Press.
Ingram, D. (1987). Habermas and
the dialectic of reason. New Haven, CT: Yale University Press.
James, W. (1907). Pragmatism: A
new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.
Jamieson, K. H., & Taussig, D.
(2018). Disinformation, fake news and influence campaigns on Twitter. Political
Science Quarterly, 133(2), 221–239.
Kuhn, T. S. (1970). The structure
of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
McCarthy, T. (1978). The critical
theory of Jürgen Habermas. Cambridge, MA: MIT Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
Cambridge, MA: MIT Press.
Misak, C. (1991). Truth and the
end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford: Oxford University
Press.
Misak, C. (2000). Truth, politics,
morality: Pragmatism and deliberation. London: Routledge.
Peirce, C. S. (1931–1958). Collected
papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rescher, N. (1973). The coherence
theory of truth. Oxford: Clarendon Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and
the mirror of nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems
of philosophy. London: Williams and Norgate.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar