Senin, 06 Oktober 2025

Teori Konsensus: Kajian Konseptual, Historis, Kritik, dan Relevansi Kontemporer

Teori Konsensus

Kajian Konseptual, Historis, Kritik, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas teori konsensus tentang kebenaran sebagai salah satu perspektif epistemologis yang penting dalam filsafat kontemporer. Berbeda dengan teori korespondensi yang menekankan kesesuaian proposisi dengan realitas eksternal, teori koherensi yang menekankan konsistensi logis internal, maupun teori pragmatis yang menilai kebenaran berdasarkan manfaat praktis, teori konsensus menempatkan kebenaran sebagai hasil kesepakatan rasional dalam komunitas komunikasi ideal. Secara historis, teori ini berakar pada pemikiran Charles S. Peirce tentang komunitas peneliti ideal, kemudian dikembangkan oleh Karl-Otto Apel melalui etika diskursus, dan diperluas secara sistematis oleh Jürgen Habermas dalam kerangka teori tindakan komunikatif.

Analisis dalam artikel ini menunjukkan bahwa teori konsensus memiliki kekuatan epistemologis dan metodologis dalam menekankan intersubjektivitas, rasionalitas komunikatif, serta keterbukaan terhadap revisi. Namun demikian, kritik signifikan juga muncul, mulai dari potensi relativisme, kesulitan mewujudkan situasi bicara ideal, hingga kecenderungan reduksi kebenaran menjadi prosedural. Meskipun demikian, teori konsensus tetap memiliki relevansi kontemporer yang kuat, khususnya dalam menghadapi tantangan era post-truth, menguatkan demokrasi deliberatif, memperkuat epistemologi sains, serta menjadi landasan dialog etika global. Dengan demikian, teori konsensus tidak hanya penting sebagai kerangka epistemologis, tetapi juga sebagai orientasi normatif dalam membangun kehidupan sosial yang lebih adil, rasional, dan inklusif.

Kata Kunci: Kebenaran, Konsensus, Habermas, Apel, Epistemologi, Rasionalitas Komunikatif, Demokrasi Deliberatif, Post-Truth.


PEMBAHASAN

Teori Konsensus tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Persoalan tentang kebenaran merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat sejak masa klasik hingga kontemporer. Sejarah filsafat menunjukkan adanya beragam teori yang berusaha menjelaskan hakikat kebenaran, di antaranya teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis, teori deflasi, hingga teori konsensus. Masing-masing teori menawarkan perspektif yang berbeda dalam memahami hubungan antara pikiran, bahasa, dan realitas. Teori korespondensi menekankan kesesuaian antara proposisi dengan fakta objektif di dunia luar, teori koherensi melihat kebenaran sebagai konsistensi internal dalam suatu sistem kepercayaan, sedangkan teori pragmatis menilai kebenaran dari kegunaan praktis suatu keyakinan dalam kehidupan sehari-hari.¹ Dalam konteks ini, teori konsensus hadir sebagai alternatif dengan menekankan dimensi intersubjektif dari kebenaran.

Teori konsensus berpandangan bahwa kebenaran tidak dapat direduksi semata-mata pada fakta objektif ataupun koherensi logis internal, melainkan pada kesepakatan yang dicapai melalui proses diskursus rasional dalam suatu komunitas ideal.² Konsep ini menekankan bahwa kebenaran bersifat komunikatif dan intersubjektif, sehingga dapat dicapai melalui interaksi argumentatif yang bebas dari paksaan maupun distorsi.³ Dengan demikian, teori ini memberikan fondasi epistemologis baru yang menggeser orientasi pencarian kebenaran dari ranah individual menuju ranah kolektif dan dialogis.

Secara historis, gagasan tentang konsensus memiliki akar pada pemikiran filsuf pragmatis Amerika, Charles S. Peirce, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil akhir dari penyelidikan yang dilakukan secara terus-menerus oleh komunitas peneliti ideal.⁴ Pemikiran ini kemudian dikembangkan secara lebih sistematis oleh filsuf Jerman, Jürgen Habermas, melalui teori tindakan komunikatif dan etika diskursus. Habermas menegaskan bahwa klaim kebenaran hanya dapat dipertanggungjawabkan dalam kondisi komunikasi ideal, yakni ketika semua partisipan memiliki kesempatan setara untuk mengajukan, menolak, atau merevisi argumen tanpa adanya dominasi.⁵ Bersama Karl-Otto Apel, Habermas menjadikan teori konsensus sebagai basis filsafat komunikasi sekaligus sebagai kritik terhadap positivisme maupun relativisme.⁶

Dalam konteks filsafat kontemporer, urgensi teori konsensus semakin menguat di tengah krisis epistemologis yang ditandai oleh munculnya era “post-truth” atau pasca-kebenaran.⁷ Di era ini, fakta objektif sering kali terpinggirkan oleh opini, emosi, atau kepentingan politik, sehingga mekanisme pencarian kebenaran membutuhkan kerangka yang lebih menekankan rasionalitas komunikatif dan kesepakatan intersubjektif. Oleh karena itu, teori konsensus tidak hanya penting sebagai diskursus epistemologis, tetapi juga relevan dalam praktik sosial, politik, dan etika global.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian komprehensif mengenai teori konsensus tentang kebenaran dengan menelusuri aspek konseptual, historis, kritik, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Pembahasan ini diharapkan dapat memperlihatkan posisi teori konsensus di antara teori-teori kebenaran lainnya, sekaligus membuka ruang bagi pemahaman lebih luas tentang bagaimana kebenaran dapat dipahami dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 128–30.

[2]                Jürgen Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 87.

[3]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.

[4]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard University Press, 1931–1958), 5.407.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.

[6]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.

[7]              Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 13–16.


2.           Konsep Dasar Teori Konsensus

Teori konsensus tentang kebenaran merupakan salah satu varian teori kebenaran kontemporer yang menekankan dimensi intersubjektif dalam proses penentuan kebenaran. Berbeda dengan teori korespondensi yang menilai kebenaran berdasarkan kesesuaian proposisi dengan fakta objektif, atau teori koherensi yang mengutamakan konsistensi logis dalam suatu sistem keyakinan, teori konsensus mendasarkan kebenaran pada hasil kesepakatan rasional yang dicapai melalui proses komunikasi yang bebas dan setara.¹

2.1.       Definisi Teori Konsensus

Secara umum, teori konsensus menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar apabila ia dapat diterima atau disepakati dalam kondisi komunikasi ideal, yakni ketika para partisipan diskursus terlibat dalam percakapan yang rasional, terbuka, dan bebas dari tekanan eksternal maupun dominasi kekuasaan.² Dengan kata lain, kebenaran bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bersifat objektif atau subjektif, melainkan hasil proses intersubjektif yang lahir dari interaksi manusia dalam kerangka rasionalitas komunikatif.³

2.2.       Prinsip Utama: Diskursus dan Rasionalitas Komunikatif

Fondasi utama teori konsensus adalah keyakinan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional untuk mencapai kesepakatan melalui argumentasi. Habermas mengemukakan bahwa setiap klaim kebenaran selalu disertai dengan “validity claim” (tuntutan kesahihan) yang dapat diuji melalui diskursus.⁴ Suatu klaim dianggap sahih apabila dapat dipertahankan secara rasional di hadapan komunitas komunikasi yang ideal, yaitu komunitas di mana semua pihak memiliki kesempatan setara untuk mengajukan, menolak, dan merevisi argumen.⁵

Karl-Otto Apel menambahkan bahwa proses pencarian kebenaran melalui konsensus bukan hanya bersifat pragmatis, tetapi juga mengandung dimensi etis. Menurutnya, komunikasi yang rasional menuntut adanya tanggung jawab moral untuk menghargai partisipasi semua individu dalam diskursus.⁶ Dengan demikian, teori konsensus tidak hanya berkaitan dengan epistemologi, tetapi juga dengan etika diskursus.

2.3.       Perbedaan dengan Teori Kebenaran Lain

Jika dibandingkan dengan teori lain, teori konsensus memiliki keunikan tertentu. Pertama, berbeda dengan teori korespondensi yang cenderung menekankan relasi kognitif dengan realitas eksternal, teori konsensus menekankan dimensi sosial-kognitif melalui mekanisme diskursus.⁷ Kedua, berbeda dengan teori koherensi yang lebih menitikberatkan pada struktur logis internal, teori konsensus menekankan keterbukaan dan dinamika argumentatif.⁸ Ketiga, dibandingkan dengan teori pragmatis yang menilai kebenaran berdasarkan kebermanfaatannya, teori konsensus menegaskan bahwa manfaat praktis suatu keyakinan tetap harus diuji melalui kesepakatan rasional kolektif.⁹

2.4.       Implikasi Konseptual

Konsep kebenaran dalam teori konsensus membawa implikasi penting. Pertama, kebenaran dipandang sebagai proses yang terus berkembang, bukan entitas statis. Proses diskursus selalu terbuka untuk revisi ketika argumen baru yang lebih kuat muncul.¹⁰ Kedua, teori konsensus menekankan pentingnya ruang publik yang demokratis, karena hanya dalam kondisi komunikasi yang bebas dan setara konsensus yang valid dapat dicapai.¹¹ Ketiga, teori ini menawarkan alternatif terhadap relativisme, sebab kebenaran tidak semata ditentukan oleh preferensi individu atau kelompok tertentu, melainkan oleh prinsip rasionalitas komunikatif yang bersifat universal.¹²

Dengan demikian, teori konsensus menempatkan kebenaran dalam konteks sosial dan etis, sekaligus memberikan kerangka konseptual bagi pemahaman yang lebih inklusif, dialogis, dan demokratis tentang apa yang dapat disebut sebagai “benar.”


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 128–30.

[2]                Jürgen Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 87.

[3]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.

[5]                Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 285.

[6]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.

[7]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 108.

[8]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 55.

[9]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 106.

[10]             Habermas, Truth and Justification, 91.

[11]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 70.

[12]             Apel, Towards a Transformation of Philosophy, 275.


3.           Landasan Historis dan Tokoh Utama

3.1.       Akar Pemikiran dalam Tradisi Filsafat

Konsep kebenaran sebagai hasil konsensus memiliki akar yang panjang dalam sejarah filsafat modern, terutama dalam tradisi pragmatisme. Charles S. Peirce, filsuf Amerika yang dikenal sebagai salah satu pendiri pragmatisme, merupakan tokoh awal yang mengajukan gagasan bahwa kebenaran adalah “opini yang pada akhirnya akan disetujui oleh komunitas peneliti” (the opinion which is fated to be ultimately agreed to by all who investigate).¹ Peirce menegaskan bahwa penyelidikan ilmiah pada dasarnya adalah proses kolektif yang akan membawa para peneliti menuju konsensus akhir, meskipun jalannya panjang dan penuh revisi.² Dengan demikian, Peirce membuka jalan bagi pemahaman bahwa kebenaran bersifat dinamis, historis, dan hasil dari proses intersubjektif.

3.2.       Perkembangan di Abad ke-20

Gagasan Peirce tentang komunitas peneliti ideal kemudian menemukan elaborasi lebih lanjut pada abad ke-20, khususnya dalam karya para filsuf Jerman seperti Karl-Otto Apel dan Jürgen Habermas. Apel, melalui filsafat bahasa dan etika diskursusnya, menegaskan bahwa klaim kebenaran hanya bisa dipertanggungjawabkan dalam kerangka komunikasi intersubjektif.³ Ia menolak gagasan bahwa kebenaran dapat dipahami secara absolut tanpa mempertimbangkan kondisi komunikasi, karena setiap pernyataan selalu diajukan dalam konteks diskursus bersama.⁴

Habermas, murid sekaligus kolega Apel, mengembangkan teori konsensus lebih komprehensif melalui proyek besar The Theory of Communicative Action. Ia menekankan bahwa setiap klaim kebenaran mengandung tuntutan validitas yang hanya bisa diuji melalui proses diskursus rasional dalam “situasi bicara ideal” (ideal speech situation).⁵ Dalam situasi ini, semua partisipan memiliki kesempatan setara untuk berbicara, tanpa adanya paksaan, dominasi, atau manipulasi.⁶ Habermas menempatkan kebenaran sebagai hasil rasionalitas komunikatif yang dapat diuji secara terbuka, menjadikannya bagian penting dari teori kritis dan fondasi bagi demokrasi deliberatif.

3.3.       Karl-Otto Apel dan Etika Diskursus

Apel berperan penting dalam memberikan landasan etis bagi teori konsensus. Dalam karyanya Towards a Transformation of Philosophy, ia menegaskan bahwa setiap tindakan komunikasi membawa praanggapan normatif tertentu, misalnya bahwa semua peserta berhak untuk didengar dan bahwa argumen harus dipertimbangkan secara setara.⁷ Oleh karena itu, pencarian kebenaran melalui konsensus bukan hanya persoalan epistemologis, tetapi juga etis, karena menuntut komitmen terhadap inklusivitas, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam diskursus.⁸

3.4.       Jürgen Habermas dan Teori Tindakan Komunikatif

Habermas memberikan kontribusi besar dengan menempatkan teori konsensus dalam kerangka teori tindakan komunikatif. Baginya, komunikasi manusia tidak semata alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga sarana untuk mencapai kesepahaman (Verständigung).⁹ Dengan mengembangkan konsep klaim validitas (kebenaran, kejujuran, dan ketepatan normatif), Habermas menunjukkan bahwa setiap komunikasi selalu mengandaikan adanya kemungkinan konsensus yang dapat diuji secara rasional.¹⁰ Melalui pendekatan ini, Habermas memperluas cakupan teori konsensus tidak hanya dalam epistemologi, tetapi juga dalam teori sosial dan politik, khususnya gagasan tentang demokrasi deliberatif.¹¹

3.5.       Tokoh-Tokoh Lain dan Pengaruh Kontemporer

Selain Peirce, Apel, dan Habermas, sejumlah tokoh lain juga memberikan kontribusi pada pengembangan teori konsensus. Seyla Benhabib, misalnya, mengembangkan teori diskursus Habermas dalam konteks feminisme dan politik transnasional, dengan menekankan pentingnya partisipasi setara dari kelompok-kelompok yang termarginalisasi.¹² Sementara itu, Richard Rorty, meskipun lebih dekat dengan pragmatisme, juga menyinggung pentingnya komunitas dalam menentukan makna kebenaran, meski ia lebih menekankan pada konsensus sebagai praktik sosial ketimbang sebagai prinsip normatif.¹³

Dengan demikian, teori konsensus memiliki fondasi historis yang kokoh dan tokoh-tokoh utama yang memberikan kerangka epistemologis, etis, dan sosial bagi konsep ini. Dari Peirce yang menekankan komunitas peneliti ideal, Apel yang memberikan landasan etis, hingga Habermas yang mengembangkan teori tindakan komunikatif, teori konsensus tentang kebenaran menunjukkan evolusi yang kaya dan terus berpengaruh dalam wacana filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard University Press, 1931–1958), 5.407.

[2]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Oxford University Press, 1991), 45–47.

[3]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.

[4]                David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 119.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.

[6]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 308.

[7]                Apel, Towards a Transformation of Philosophy, 275.

[8]                Karl-Otto Apel, “The A Priori of Communication and the Foundation of Ethics,” in Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 278.

[9]                Habermas, The Theory of Communicative Action, 1:86.

[10]             Jürgen Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 88–89.

[11]             Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 290.

[12]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 54–55.

[13]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.


4.           Analisis Epistemologis dan Metodologis

4.1.       Dimensi Epistemologis Teori Konsensus

Secara epistemologis, teori konsensus menegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipahami semata-mata sebagai hubungan statis antara pernyataan dan realitas eksternal, sebagaimana dalam teori korespondensi, atau sebagai konsistensi logis internal sebagaimana dalam teori koherensi. Sebaliknya, kebenaran harus dipahami sebagai hasil dari proses intersubjektif yang berlangsung dalam ruang diskursus rasional.¹ Dengan demikian, kebenaran tidak bersifat “ditemukan” secara individual, melainkan “dicapai” melalui interaksi argumentatif dalam komunitas komunikasi yang ideal.²

Habermas menekankan bahwa setiap klaim kebenaran selalu memuat tuntutan validitas (validity claim) yang harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan orang lain.³ Hal ini berarti, pengetahuan yang sahih bukan sekadar hasil observasi empiris atau deduksi logis, melainkan hasil uji argumentatif yang bersifat publik. Perspektif ini menggeser epistemologi klasik yang cenderung individualistis menuju epistemologi dialogis dan komunikatif.⁴

4.2.       Rasionalitas Komunikatif sebagai Mekanisme Validasi

Epistemologi konsensus didasarkan pada prinsip rasionalitas komunikatif, yaitu rasionalitas yang berfungsi bukan hanya untuk menguasai alam atau mencapai tujuan instrumental, tetapi untuk membangun kesepahaman (Verständigung).⁵ Habermas membedakan rasionalitas komunikatif dari rasionalitas instrumental dan strategis. Rasionalitas komunikatif bertumpu pada argumen yang dapat diterima oleh semua partisipan diskursus dalam kondisi bebas paksaan.⁶ Dengan kata lain, konsensus yang dihasilkan bukan sekadar kompromi pragmatis, melainkan kesepakatan rasional yang dicapai melalui pertukaran alasan yang adil dan terbuka.

Karl-Otto Apel menambahkan dimensi etis pada analisis ini. Menurutnya, setiap tindakan komunikasi mengandaikan norma dasar: bahwa semua partisipan harus diperlakukan sebagai subjek yang setara.⁷ Implikasi epistemologis dari pandangan ini adalah bahwa kebenaran tidak hanya menuntut kesahihan argumen, tetapi juga keadilan dalam prosedur komunikasi.

4.3.       Konsep “Situasi Bicara Ideal

Habermas memperkenalkan konsep ideal speech situation atau situasi bicara ideal sebagai syarat metodologis bagi pencapaian konsensus yang valid. Dalam situasi ini, setiap peserta diskursus:

1)                  memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara,

2)                  bebas dari paksaan atau manipulasi,

3)                  dapat mengajukan klaim dan menantang klaim pihak lain, serta

4)                  terikat pada kekuatan argumen terbaik, bukan pada kekuasaan atau otoritas eksternal.⁸

Secara metodologis, situasi ini berfungsi sebagai prinsip regulatif, bukan kondisi empiris yang mudah diwujudkan.⁹ Artinya, meskipun komunikasi nyata selalu sarat dengan ketidakseimbangan kekuasaan, konsep ini tetap diperlukan sebagai standar normatif untuk mengukur validitas konsensus.¹⁰

4.4.       Metodologi Diskursus dan Uji Kebenaran

Metodologi teori konsensus dapat dipahami sebagai metodologi diskursus, di mana klaim kebenaran diuji melalui argumentasi dalam komunitas. Proses ini berbeda dengan verifikasi empiris atau pembuktian logis semata; ia melibatkan partisipasi intersubjektif untuk menguji klaim dari berbagai perspektif.¹¹ Habermas menegaskan bahwa diskursus berfungsi sebagai prosedur rasional untuk mencapai “kesepakatan bebas dominasi” (herrschaftsfreier Konsens).¹²

Dari sudut metodologis, teori konsensus menekankan keterbukaan terhadap revisi. Konsensus yang dicapai pada suatu waktu bukanlah kebenaran absolut, melainkan kesepakatan sementara yang selalu terbuka untuk dikritisi dan diperbarui seiring munculnya argumen baru.¹³ Hal ini menjadikan teori konsensus bersifat fallibilis, namun sekaligus memberikan mekanisme rasional untuk memperbaiki kesalahan dalam proses pencarian kebenaran.

4.5.       Implikasi terhadap Epistemologi Kontemporer

Analisis epistemologis dan metodologis teori konsensus memberikan kontribusi penting bagi epistemologi kontemporer. Pertama, ia mengatasi individualisme epistemologi modern dengan menekankan dimensi sosial dari kebenaran. Kedua, ia mengkritisi relativisme postmodern dengan memberikan standar normatif berupa rasionalitas komunikatif. Ketiga, ia memberikan metodologi yang sesuai dengan konteks demokratis, di mana kebenaran diuji melalui debat publik dan deliberasi yang inklusif.¹⁴

Dengan demikian, teori konsensus tidak hanya menawarkan kerangka epistemologis baru, tetapi juga memberikan metodologi yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks—mulai dari sains, etika, hingga politik—untuk memastikan bahwa klaim kebenaran diuji secara adil, terbuka, dan rasional.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 55.

[2]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard University Press, 1931–1958), 5.407.

[3]                Jürgen Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 87–88.

[4]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 312.

[5]                Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86.

[6]                Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 290.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273.

[8]                Habermas, The Theory of Communicative Action, 1:42–44.

[9]                David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 121.

[10]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 69–70.

[11]             Habermas, Truth and Justification, 91.

[12]             McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas, 309.

[13]             Cheryl Misak, Truth, Politics, Morality: Pragmatism and Deliberation (London: Routledge, 2000), 64–65.

[14]             James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47.


5.           Kritik terhadap Teori Konsensus

Teori konsensus tentang kebenaran memberikan sumbangan penting bagi filsafat kontemporer dengan menekankan dimensi intersubjektif dan komunikatif dalam pencarian kebenaran. Namun demikian, teori ini juga tidak lepas dari berbagai kritik baik secara internal maupun eksternal. Kritik-kritik tersebut mencakup potensi relativisme, masalah dominasi dalam diskursus nyata, reduksi kebenaran pada prosedur komunikasi, serta keterbatasannya dalam menjelaskan fakta objektif.

5.1.       Kritik Relativisme dan Kesepakatan Mayoritas

Salah satu kritik utama terhadap teori konsensus adalah potensi terjerumus ke dalam relativisme. Jika kebenaran ditentukan oleh konsensus komunitas, maka terdapat risiko bahwa suatu pernyataan dianggap benar hanya karena mayoritas menyetujuinya, bukan karena ia memiliki korespondensi dengan realitas.¹ Dalam situasi ini, konsensus dapat menjadi sekadar bentuk “opini kolektif” yang dipengaruhi oleh budaya, tradisi, atau kepentingan tertentu, sehingga kebenaran tereduksi menjadi kesepakatan sosial yang bersifat kontingen.² Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sesuatu yang disepakati oleh semua orang secara rasional benar-benar identik dengan kebenaran itu sendiri?

5.2.       Kritik terhadap “Situasi Bicara Ideal”

Habermas merumuskan situasi bicara ideal sebagai syarat normatif bagi tercapainya konsensus yang valid.³ Namun, para kritikus menilai konsep ini terlalu utopis dan sulit diwujudkan dalam kenyataan.⁴ Dalam praktik sosial dan politik, komunikasi manusia hampir selalu dipengaruhi oleh asimetri kekuasaan, kepentingan ekonomi, atau dominasi ideologi.⁵ Dengan demikian, konsensus yang dicapai dalam dunia nyata sering kali tidak sepenuhnya bebas dari tekanan atau manipulasi. Nancy Fraser, misalnya, menekankan bahwa teori konsensus Habermas gagal mempertimbangkan secara memadai struktur ketidaksetaraan sosial yang menghalangi partisipasi setara dalam diskursus.⁶

5.3.       Reduksi Kebenaran pada Prosedur Komunikasi

Kritik lain diarahkan pada kecenderungan teori konsensus mereduksi kebenaran menjadi sekadar hasil dari prosedur komunikasi. Richard Rorty, meskipun memiliki pandangan pragmatis, menilai bahwa dengan menekankan kebenaran pada konsensus, Habermas dan Apel justru menggantikan standar objektivitas dengan proseduralisme normatif.⁷ Hal ini menimbulkan dilema: apakah kebenaran masih memiliki dimensi independen dari proses diskursus, ataukah sepenuhnya bergantung pada konsensus yang terbentuk? Jika kebenaran hanya prosedural, maka kemungkinan adanya klaim kebenaran yang valid meskipun tidak (atau belum) diakui komunitas, menjadi problematis.

5.4.       Tantangan dari Teori Kebenaran Lain

Dari perspektif teori korespondensi, teori konsensus dianggap gagal menjelaskan hubungan klaim kebenaran dengan realitas eksternal.⁸ Misalnya, fakta-fakta ilmiah tertentu dapat tetap benar meskipun belum ada konsensus komunitas ilmiah pada saat tertentu. Dari perspektif teori pragmatis, teori konsensus dinilai terlalu menekankan dimensi prosedural dan mengabaikan aspek kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.⁹ Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa teori konsensus, meskipun menawarkan perspektif baru, tidak sepenuhnya mampu menggantikan teori-teori kebenaran lainnya.

5.5.       Kritik dari Perspektif Postmodern dan Feminisme

Selain itu, sejumlah kritik datang dari perspektif postmodern dan feminisme. Lyotard, misalnya, menolak gagasan adanya kerangka universal seperti situasi bicara ideal, karena menurutnya narasi besar (grand narratives) yang mengklaim universalitas justru cenderung menyingkirkan keragaman bahasa dan pengalaman.¹⁰ Dalam perspektif feminis, Seyla Benhabib mencoba mengembangkan teori Habermas lebih lanjut dengan menekankan pentingnya pengakuan terhadap pengalaman kelompok marginal.¹¹ Kritik ini menggarisbawahi bahwa konsensus yang sejati harus memperhitungkan pluralitas dan kondisi konkret ketidaksetaraan sosial, bukan hanya norma komunikasi ideal.


Sintesis Kritis

Meskipun berbagai kritik tersebut menunjukkan keterbatasan teori konsensus, tidak dapat dipungkiri bahwa ia tetap memberikan kontribusi penting dalam filsafat kebenaran. Teori ini menegaskan bahwa pencarian kebenaran harus selalu melibatkan partisipasi rasional, keterbukaan, dan kesetaraan. Kritik-kritik yang ada justru memperkaya diskusi dengan mendorong pengembangan teori konsensus agar lebih realistis, inklusif, dan peka terhadap dinamika sosial-politik.


Footnotes

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 112.

[2]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 59.

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.

[4]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge: MIT Press, 1978), 311.

[5]                David Ingram, Habermas and the Dialectic of Reason (New Haven: Yale University Press, 1987), 121–22.

[6]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 70.

[7]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.

[8]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 132.

[9]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 106.

[10]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[11]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 55.


6.           Relevansi Kontemporer

6.1.       Teori Konsensus dalam Demokrasi Deliberatif

Dalam konteks politik kontemporer, teori konsensus memiliki relevansi besar terutama dalam kerangka demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya dialog publik, argumentasi rasional, dan partisipasi setara dalam pengambilan keputusan politik.¹ Habermas sendiri melihat teori konsensus sebagai basis epistemologis bagi legitimasi demokrasi: keputusan politik yang sah hanya dapat lahir dari proses diskursus yang melibatkan semua warga negara secara bebas dan setara.² Dengan demikian, teori konsensus memberikan dasar normatif untuk menilai kualitas deliberasi politik, bukan sekadar menghitung suara mayoritas.

6.2.       Relevansi di Era Post-Truth

Krisis epistemologis di era post-truth, di mana opini, emosi, dan disinformasi sering kali lebih berpengaruh daripada fakta, memperkuat urgensi teori konsensus.³ Dalam lanskap media digital yang dipenuhi fake news dan polarisasi opini, kebutuhan akan kerangka normatif yang menekankan rasionalitas komunikatif menjadi semakin mendesak.⁴ Teori konsensus menawarkan jalan untuk menghadapi tantangan ini dengan mengedepankan prinsip bahwa klaim kebenaran harus diuji melalui argumen rasional dan terbuka, bukan melalui dominasi wacana atau manipulasi informasi.

6.3.       Etika Global dan Dialog Antarbudaya

Dalam ranah etika global, teori konsensus juga relevan sebagai dasar bagi dialog antarbudaya dan penyelesaian konflik internasional. Karl-Otto Apel menegaskan bahwa etika diskursus bersifat transkultural karena didasarkan pada praanggapan universal dari setiap tindakan komunikasi.⁵ Dengan demikian, nilai-nilai dasar seperti keadilan, kesetaraan, dan penghormatan dapat dinegosiasikan melalui konsensus global yang dicapai lewat dialog antarbangsa.⁶ Hal ini penting, misalnya, dalam membangun konsensus internasional tentang isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan ekonomi, atau hak asasi manusia.

6.4.       Relevansi dalam Ilmu Pengetahuan dan Sains

Teori konsensus juga memiliki signifikansi dalam epistemologi sains. Ilmu pengetahuan modern pada dasarnya berkembang melalui diskursus komunitas ilmiah, di mana klaim-klaim diuji, dikritik, dan direvisi hingga tercapai konsensus sementara.⁷ Dengan demikian, teori konsensus memberikan kerangka filosofis untuk memahami dinamika perkembangan ilmu pengetahuan: kebenaran ilmiah tidak absolut, melainkan hasil kesepakatan kolektif yang selalu terbuka untuk revisi.⁸

6.5.       Peran dalam Penguatan Ruang Publik Digital

Selain politik dan sains, teori konsensus dapat diaplikasikan pada penguatan ruang publik digital. Platform media sosial saat ini sering kali menjadi arena perdebatan yang penuh polarisasi. Dengan prinsip rasionalitas komunikatif, teori konsensus memberikan standar normatif untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat, inklusif, dan dialogis.⁹ Di sini, konsensus bukan berarti semua perbedaan harus dihapuskan, melainkan bahwa setiap klaim diuji dalam proses komunikasi yang adil dan setara.¹⁰


Sintesis Kontemporer

Relevansi teori konsensus di era kontemporer terlihat dalam tiga ranah utama: politik, sains, dan etika global. Pertama, ia menyediakan landasan epistemologis bagi demokrasi deliberatif. Kedua, ia memberikan mekanisme untuk menghadapi tantangan era post-truth. Ketiga, ia berkontribusi pada dialog etis lintas budaya di dunia global. Dengan demikian, meskipun teori ini menghadapi kritik serius, ia tetap memiliki peran vital sebagai kerangka normatif yang mendorong pencarian kebenaran secara kolektif, inklusif, dan rasional.


Footnotes

[1]                James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47.

[2]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–8.

[3]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 13–16.

[4]                Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig, “Disinformation, Fake News and Influence Campaigns on Twitter,” Political Science Quarterly 133, no. 2 (2018): 221–39.

[5]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 278.

[6]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 55.

[7]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard University Press, 1931–1958), 5.407.

[8]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 170–73.

[9]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text, no. 25/26 (1990): 56–80.

[10]             Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 91.


7.           Penutup

Teori konsensus tentang kebenaran memberikan kontribusi penting dalam wacana epistemologi modern dan kontemporer dengan menekankan dimensi intersubjektif serta prosedural dari pencarian kebenaran. Berbeda dengan teori korespondensi yang menghubungkan kebenaran dengan realitas objektif, teori koherensi yang menekankannya pada konsistensi internal, maupun teori pragmatis yang menekankan manfaat praktis, teori konsensus menghadirkan paradigma baru bahwa kebenaran adalah hasil dari diskursus rasional dalam komunitas komunikasi yang ideal.¹ Dengan demikian, teori ini menegaskan bahwa pencarian kebenaran bukanlah usaha individual semata, melainkan proses kolektif yang menuntut rasionalitas, keterbukaan, dan kesetaraan partisipasi.

Secara historis, teori konsensus berakar pada gagasan Charles S. Peirce tentang komunitas peneliti ideal, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Karl-Otto Apel melalui etika diskursus dan diperkaya secara sistematis oleh Jürgen Habermas lewat teori tindakan komunikatif.² Perjalanan historis ini menunjukkan bahwa teori konsensus tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai hasil evolusi panjang yang mengintegrasikan dimensi epistemologis, etis, dan sosial dalam memahami kebenaran.

Namun, kritik terhadap teori ini juga signifikan. Tantangan utamanya mencakup potensi relativisme, problem dominasi dalam diskursus nyata, serta kecenderungan reduksi kebenaran menjadi prosedural semata.³ Kritik dari perspektif postmodern dan feminisme menyoroti bahwa kerangka normatif Habermas terlalu utopis, kurang memperhatikan pluralitas bahasa, serta tidak cukup tanggap terhadap ketidaksetaraan sosial yang nyata.⁴ Kritik-kritik ini mengingatkan bahwa meskipun teori konsensus ideal secara normatif, penerapannya dalam realitas sosial-politik membutuhkan revisi dan adaptasi agar lebih inklusif dan realistis.

Di sisi lain, relevansi kontemporer teori konsensus semakin nyata, terutama dalam menghadapi tantangan post-truth, polarisasi politik, dan disinformasi global.⁵ Teori ini memberikan fondasi filosofis bagi demokrasi deliberatif, epistemologi sains yang terbuka terhadap revisi, serta etika global yang memungkinkan dialog antarbudaya.⁶ Dengan demikian, teori konsensus tetap berperan penting dalam membangun kerangka normatif untuk kehidupan sosial yang rasional, adil, dan demokratis.

Pada akhirnya, teori konsensus tentang kebenaran dapat dipahami sebagai proyek filosofis yang berupaya menjembatani antara klaim objektivitas dan pluralitas pengalaman manusia. Kelebihannya terletak pada penekanan terhadap rasionalitas komunikatif, sementara kelemahannya terletak pada keterbatasan penerapannya dalam dunia nyata yang sarat ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, tugas filsafat kontemporer adalah melanjutkan proyek ini dengan mengintegrasikan kritik-kritik yang ada, sehingga teori konsensus tetap relevan dan aplikatif dalam menjawab tantangan epistemologis, etis, dan politik dunia modern.⁷


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Truth and Justification (Cambridge: MIT Press, 2003), 87–89.

[2]                Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge: Harvard University Press, 1931–1958), 5.407; Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 273; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–77.

[4]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv; Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 55.

[5]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 13–16.

[6]                James Bohman and William Rehg, eds., Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics (Cambridge: MIT Press, 1997), 47; Karl-Otto Apel, “The A Priori of Communication and the Foundation of Ethics,” in Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 278.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 70.


Daftar Pustaka

Apel, K.-O. (1980). Towards a transformation of philosophy. London: Routledge & Kegan Paul.

Apel, K.-O. (1980). The a priori of communication and the foundation of ethics. In Towards a transformation of philosophy (pp. 273–291). London: Routledge & Kegan Paul.

Benhabib, S. (1986). Critique, norm, and utopia: A study of the foundations of critical theory. New York: Columbia University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. New York: Routledge.

Bohman, J., & Rehg, W. (Eds.). (1997). Deliberative democracy: Essays on reason and politics. Cambridge, MA: MIT Press.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text, (25/26), 56–80.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New York: Routledge.

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (2003). Truth and justification. Cambridge, MA: MIT Press.

Ingram, D. (1987). Habermas and the dialectic of reason. New Haven, CT: Yale University Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.

Jamieson, K. H., & Taussig, D. (2018). Disinformation, fake news and influence campaigns on Twitter. Political Science Quarterly, 133(2), 221–239.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.

McCarthy, T. (1978). The critical theory of Jürgen Habermas. Cambridge, MA: MIT Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. Cambridge, MA: MIT Press.

Misak, C. (1991). Truth and the end of inquiry: A Peircean account of truth. Oxford: Oxford University Press.

Misak, C. (2000). Truth, politics, morality: Pragmatism and deliberation. London: Routledge.

Peirce, C. S. (1931–1958). Collected papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rescher, N. (1973). The coherence theory of truth. Oxford: Clarendon Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. London: Williams and Norgate.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar