Teori Koherensi
Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Abstrak
Artikel ini membahas teori koherensi tentang kebenaran sebagai salah
satu kerangka filosofis penting dalam wacana filsafat kebenaran. Teori
koherensi menekankan bahwa proposisi dinyatakan benar apabila konsisten dan
terpadu dalam suatu sistem keyakinan, berbeda dengan teori korespondensi yang
mengacu pada relasi proposisi dengan fakta eksternal. Kajian ini diawali dengan
penelusuran konseptual dasar teori koherensi yang menekankan konsistensi logis,
integrasi sistemik, dan komprehensivitas. Selanjutnya dipaparkan konteks
historis perkembangannya, mulai dari akar dalam filsafat Yunani, elaborasi
idealisme Jerman, formulasi klasik oleh F. H. Bradley, hingga reformulasi
modern oleh Brand Blanshard dan Nicholas Rescher. Artikel ini juga menyoroti
argumen filosofis yang mendukung teori ini, seperti holisme epistemik dan
kekuatan eksplanatoris sistem pengetahuan, serta kritik mendasar yang diarahkan
padanya, termasuk masalah relativisme, koherensi ganda, sirkularitas, dan
keterputusan dari realitas empiris. Meskipun menghadapi kelemahan, teori
koherensi tetap relevan dalam wacana kontemporer, terutama dalam filsafat ilmu,
hermeneutika, epistemologi, etika, hukum, dan teori postmodern. Dengan
demikian, teori ini tidak lagi dipandang sebagai definisi tunggal kebenaran,
melainkan sebagai kerangka metodologis dan epistemologis yang melengkapi
teori-teori kebenaran lainnya.
Kata Kunci: Teori
Koherensi; Kebenaran; Epistemologi; Holisme; Bradley; Blanshard; Rescher;
Filsafat Ilmu; Hermeneutika; Postmodernisme.
PEMBAHASAN
Teori Koherensi tentang Kebenaran
1.
Pendahuluan
Pertanyaan “apa itu kebenaran?”
merupakan titik tolak klasik dalam filsafat, dengan beragam jawaban yang
membentuk lanskap teori kebenaran modern—terutama korespondensi, koherensi,
pragmatis, dan deflasi. Dalam gambaran umum, teori korespondensi
menafsirkan kebenaran sebagai kecocokan antara proposisi dan fakta
dunia, sementara teori koherensi menempatkan kebenaran pada keterjalinan
internal di antara proposisi dalam suatu
sistem keyakinan. Distingsi awal ini penting agar pembaca memahami bahwa
koherensi tidak sekadar “uji praktis” bagi pengetahuan, melainkan—dalam
formulasi klasik—sebuah teori hakikat kebenaran yang bersaing langsung
dengan korespondensi.¹
Secara konseptual, teori koherensi
tentang kebenaran (coherence theory of truth) menyatakan bahwa sebuah
proposisi itu benar bila dan hanya bila proposisi tersebut koheren
dengan himpunan proposisi lain dalam suatu sistem total keyakinan. Koherensi di
sini biasanya dipahami mencakup konsistensi logis, kekuatan
eksplanatoris, serta dukungan inferensial (induktif) di dalam
jejaring keyakinan.² Model ini menekankan sifat holistik penilaian kognitif: kebenaran sebuah klaim tidak
berdiri sendiri, melainkan dinilai melalui keterpaduannya dengan keseluruhan
sistem yang saling menopang.³
Secara historis, pembelaan koherensi
sebagai ciri hakiki kebenaran berakar kuat dalam tradisi idealisme, terutama
pada F. H. Bradley yang memformulasikan pernyataan klasik tentang
koherensi dalam Essays on Truth and Reality (1914). Bradley menolak
gagasan “penyalinan” realitas sebagai model kebenaran, dan lebih memilih
gambaran bahwa kebenaran menyangkut kesesuaian internal menyeluruh dalam
tatanan konseptual.⁴ Jejak ini dilanjutkan dan diperdalam oleh Brand Blanshard, yang berargumentasi bahwa
menerima koherensi sebagai uji kebenaran secara rasional mendorong kita—melalui
eliminasi alternatif—untuk menerima koherensi sebagai hakikat kebenaran
itu sendiri.⁵ Di abad ke-20, Nicholas Rescher menyusun versi koherensian
yang lebih “beraturan” dan operasional, dengan kriteria yang
memperhitungkan konsekuensi sistem keyakinan dan cara sistem tersebut mencapai
stabilitas serta daya jelaskan terbaik.⁶
Dari sisi motivasi filosofis,
koherensian menawarkan dua keunggulan normatif. Pertama, ia berupaya
menjelaskan rasionalitas dan justifikasi secara holistik: sebuah keyakinan
beralasan karena bertempat dalam jaring keyakinan yang saling menopang,
dibanding bergantung pada “fakta atomis” yang sulit diakses. Kedua,
koherensi mengubah fokus dari relasi dua tempat (proposisi–fakta) ke relasi banyak tempat (proposisi–proposisi),
sehingga cocok untuk menjelaskan praktik penalaran teoritis di ilmu pengetahuan
yang bertumpu pada kesaling-dukung model, teori, dan data dalam keseluruhan
program riset.⁷ Meski demikian, literatur mutakhir mengingatkan agar membedakan
koherensian kebenaran dari koherensian justifikasi
(epistemologis): yang pertama membahas apa itu kebenaran, sementara yang
kedua membahas kapan kita berhak menyatakan suatu keyakinan benar-benar
beralasan.⁸ Distingsi ini krusial agar pembahasan tidak “terselip” menjadi
teori pembenaran semata.
Namun, teori koherensi tidak tanpa tantangan
mendasar. Kritikus menunjuk masalah “koherensi ganda”: dua (atau
lebih) sistem keyakinan yang inkompatibel bisa saja masing-masing
koheren secara internal—maka apa yang memastikan kebenaran non-relatif? Terkait ini, pembela koherensi kontemporer
mengembangkan kriteria tambahan—misalnya memperkuat syarat kekuatan
eksplanatoris dan keluasan cakupan (comprehensiveness)—agar
koherensi tidak runtuh menjadi relativisme.⁹ Selain itu, korespondensian
menilai bahwa apa pun keunggulan koherensi sebagai metode penilaian
teoritis, hakikat kebenaran tetap memerlukan rujukan ke “dunia”
non-proposisional; jika tidak, penjelasan kebenaran menjadi “terlalu
internal” dan kehilangan kaitan representasional.¹⁰ Debat inilah yang akan
dibedah secara sistematis dalam artikel ini.
Berdasarkan latar konseptual dan
historis di atas, artikel ini memiliki tujuan: (1) merumuskan kembali
tesis inti teori koherensi tentang kebenaran berikut ragam formulasi klasik dan
kontemporernya; (2) memetakan argumen pendukung serta menjelaskan bagaimana
koherensi berpretensi menjawab problem kebenaran dan rasionalitas secara
holistik; (3) menginventaris kritik-kritik utama dari teori saingan (terutama
korespondensi dan pragmatisme) beserta tanggapan koherensian; dan (4)
mengevaluasi relevansi kontemporer koherensi dalam konteks ilmu
pengetahuan, hermeneutika, konstruktivisme, dan perdebatan pascamodern tentang kebenaran. Dengan demikian, kontribusi
artikel ini bersifat ganda: menawarkan klarifikasi terminologis antara
kebenaran dan justifikasi, serta menyediakan peta argumentatif yang memadai
untuk menilai daya jelaskan (explanatory power) teori koherensi di lanskap
epistemologi dan metafisika saat ini.¹¹
Footnotes
[1]
Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29
Agustus 2025; The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2024
Edition), diakses 29 Agustus 2025.
[2]
Peter Murphy, “Coherentism,” PhilPapers (2006),
ringkasan; serta The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia
of Philosophy (Fall 2024).
[3]
Ibid. (tentang holisme koherensian).
[4]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality
(Oxford: Clarendon Press, 1914), khususnya Bab “On Truth and Coherence”; versi
digital Cambridge (2012) dan Internet Archive, diakses 29 Agustus 2025.
[5]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), ch. XXVI; pratinjau digital, diakses
29 Agustus 2025.
[6]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973); tinjauan A. C. Michalos, “Nicholas Rescher.
The Coherence Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974):
563–64.
[7]
Lihat, misalnya, elaborasi kriteria koherensi
(konsistensi, eksplanasi, dan dukungan induktif) pada ringkasan literatur epistemologi
koherensian.
[8]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev.
2017), menegaskan pembedaan koherensi sebagai teori justifikasi vs teori
kebenaran.
[9]
Diskusi kritis mengenai tantangan relativisme dan “multiple
coherent systems,” lihat N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence
Theory of Truth,” dalam Theories of Truth (Palgrave Macmillan,
2013).
[10]
Untuk tekanan representasional dari korespondensi,
lihat Glanzberg, “Truth,” SEP (bagian asal-usul korespondensi).
[11]
Untuk gambaran umum tesis inti dan medan perdebatan
kontemporer, lihat The Coherence Theory of Truth, SEP (Fall 2024)
dan Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification.”
2.
Konsep Dasar Teori
Koherensi
2.1.
Definisi Teori Koherensi
Teori koherensi tentang kebenaran
menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar apabila proposisi tersebut koheren—yakni
konsisten dan sesuai—dengan kumpulan proposisi lain dalam suatu sistem
keyakinan atau pengetahuan.¹ Tidak seperti
teori korespondensi yang mendasarkan kebenaran pada hubungan antara proposisi
dan fakta eksternal, teori koherensi berfokus pada hubungan internal
antar-proposisi.² Dengan demikian, kebenaran dipahami sebagai hasil dari
keterpaduan, bukan sekadar pencerminan realitas.
Dalam formulasi klasiknya, teori
koherensi menekankan tiga elemen pokok: (a) konsistensi logis (proposisi
tidak saling bertentangan), (b) integrasi sistemik (proposisi terhubung
dalam struktur yang saling mendukung), dan (c) kelengkapan atau komprehensivitas (sistem keyakinan mampu
mengakomodasi pengalaman baru tanpa kontradiksi fundamental).³
2.2.
Distingsi dengan
Teori Kebenaran Lain
Teori koherensi sering dibandingkan
dengan teori korespondensi. Pada teori korespondensi, proposisi “Salju itu
putih” benar karena ada fakta eksternal—yakni kenyataan bahwa salju
berwarna putih—yang sesuai dengan proposisi tersebut.⁴ Sebaliknya, dalam teori koherensi, proposisi “Salju itu
putih” dianggap benar apabila proposisi itu sesuai dengan sistem keyakinan
kita yang mencakup pengetahuan lain, seperti kondisi optik manusia, pengalaman
empiris tentang salju, serta teori fisika cahaya.⁵
Dengan demikian, kebenaran dalam
kerangka koherensi tidak ditentukan oleh dunia eksternal yang independen,
melainkan oleh posisi proposisi dalam jaringan keyakinan. Perbedaan ini
menempatkan teori koherensi lebih dekat dengan tradisi idealisme dan rasionalisme,
dibandingkan dengan realisme metafisik yang mendasari teori korespondensi.⁶
2.3.
Karakteristik Utama
Teori Koherensi
Teori koherensi memiliki sejumlah
karakteristik konseptual yang membedakannya:
·
Holisme epistemik:
kebenaran tidak dapat ditentukan oleh proposisi tunggal, melainkan oleh
kesesuaiannya dengan keseluruhan sistem keyakinan.⁷
·
Relasionalitas proposisi:
kebenaran ditentukan melalui relasi antar-proposisi, bukan oleh hubungan
langsung dengan realitas eksternal.⁸
·
Stabilitas sistemik:
semakin sistem keyakinan dapat menahan kritik, menjelaskan fenomena baru, dan
tetap konsisten secara internal, semakin tinggi pula klaim kebenaran proposisi
di dalamnya.⁹
·
Penekanan rasionalitas:
kebenaran dipandang sebagai bagian dari proses berpikir rasional, di mana
proposisi memperoleh status “benar” melalui keterhubungannya dengan
sistem pengetahuan yang masuk akal.¹⁰
2.4.
Kritik Awal terhadap
Konsep Dasar
Meski menawarkan pemahaman yang
menarik, teori koherensi sejak awal menghadapi kritik mendasar. Salah satu
masalah utama adalah “koherensi ganda”, yaitu kemungkinan adanya lebih
dari satu sistem keyakinan yang koheren, tetapi saling bertentangan.¹¹ Selain
itu, teori ini dianggap berisiko jatuh ke dalam relativisme epistemik,
karena koherensi dalam suatu komunitas pengetahuan belum tentu mencerminkan
realitas objektif.¹²
Relevansi Konseptual
Kendati demikian, teori koherensi tetap
memiliki relevansi tinggi dalam menjelaskan dinamika pengetahuan modern. Ia
membantu kita memahami bahwa teori ilmiah, misalnya, seringkali tidak
diverifikasi secara langsung oleh fakta tunggal, tetapi melalui koherensi
keseluruhan teori dengan data, model, dan prinsip ilmiah lainnya.¹³ Hal ini
menjadikan teori koherensi tidak hanya sebagai model metafisik tentang
kebenaran, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis yang menekankan
pentingnya konsistensi dan keterpaduan dalam pengetahuan.
Footnotes
[1]
The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2024
Edition), diakses 29 Agustus 2025.
[2]
Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29
Agustus 2025.
[3]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.
[4]
Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics
(Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.
[5]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality
(Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.
[6]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.
[7]
Peter Murphy, “Coherentism,” PhilPapers (2006),
ringkasan.
[8]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017).
[9]
Rescher, The Coherence Theory of Truth, 23–29.
[10]
Blanshard, The Nature of Thought, 290–95.
[11]
N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of
Truth,” dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013),
77–92.
[12]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical
Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 102–6.
[13]
Rescher, The Coherence Theory of Truth, 40–46.
3.
Konteks Historis
Perkembangan Teori Koherensi
3.1.
Akar dalam Filsafat
Klasik
Meskipun istilah coherence theory of
truth baru dikenal pada era modern, akar konseptualnya dapat ditelusuri
sejak filsafat Yunani klasik. Plato, misalnya, mengaitkan kebenaran
dengan keteraturan dan harmoni dunia ide, sehingga proposisi yang benar harus
konsisten dengan struktur ideal yang utuh.¹ Sementara itu, Aristoteles,
meskipun lebih dikenal dengan cikal bakal teori korespondensi, juga menyadari
pentingnya konsistensi logis dalam sistem pengetahuan—suatu prinsip yang kemudian
menjadi fondasi penting bagi pemikiran koherensian.²
3.2.
Tradisi Skolastik
dan Rasionalisme Awal
Dalam filsafat abad pertengahan, Thomas
Aquinas menekankan korespondensi kebenaran dengan realitas eksternal,
tetapi pemikiran rasionalis awal seperti Spinoza (1632–1677) menekankan
pentingnya keteraturan internal sistem pengetahuan.³ Menurut Spinoza, kebenaran
suatu ide dipastikan melalui “kejelasan dan distingsi” ide itu dalam
kaitannya dengan keseluruhan sistem pemikiran, suatu gagasan yang
memperlihatkan ciri koherensian.⁴
3.3.
Idealisme Jerman dan
Konsolidasi Koherensi
Puncak perkembangan awal teori
koherensi tampak pada idealisme Jerman abad ke-18 dan 19. Hegel
(1770–1831) memahami kebenaran sebagai hasil dari perkembangan dialektis Roh (Geist)
yang menyingkap totalitas realitas.⁵ Dalam kerangka Hegelian, proposisi yang
benar bukanlah sekadar kesesuaian dengan fakta partikular, tetapi konsistensi
proposisi itu dengan keseluruhan struktur rasional sejarah.⁶ Pandangan ini
menginspirasi para pemikir kemudian yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang
melekat pada sistem pemikiran total.
3.4.
F.H. Bradley dan
Formulasi Klasik
Teori koherensi memperoleh bentuk
filosofis modern terutama melalui F.H. Bradley (1846–1924), tokoh
idealisme Inggris. Dalam Essays on Truth and Reality (1914), Bradley
menolak teori korespondensi yang ia nilai gagal menjelaskan relasi proposisi
dengan fakta yang non-proposisional.⁷ Sebagai gantinya, ia menyatakan bahwa
kebenaran harus dipahami sebagai kesesuaian internal dalam tatanan konseptual
yang menyeluruh.⁸ Dengan demikian, Bradley menempatkan koherensi sebagai hakikat
kebenaran, bukan hanya kriterianya.
3.5.
Brand Blanshard dan
Elaborasi Abad ke-20
Pada abad ke-20, Brand Blanshard
(1892–1987) mengembangkan teori koherensi lebih sistematis dalam karyanya The
Nature of Thought (1939). Blanshard berargumen bahwa koherensi bukan
sekadar uji pragmatis, melainkan definisi substansial kebenaran.⁹ Baginya,
proposisi yang benar adalah proposisi yang secara logis dan eksplanatoris
terintegrasi dalam jaringan keyakinan yang luas dan konsisten.¹⁰ Blanshard juga
menegaskan bahwa teori ini menjawab kebutuhan filsafat modern untuk menghindari
reduksi kebenaran pada fakta atomis yang tidak terhubung.
3.6.
Nicholas Rescher dan
Reformulasi Kontemporer
Upaya membarui teori koherensi
dilakukan oleh Nicholas Rescher melalui bukunya The Coherence Theory
of Truth (1973). Rescher menambahkan kriteria praktis bagi koherensi,
termasuk konsistensi, kekuatan eksplanatoris, dan komprehensivitas sistem.¹¹ Ia
menekankan bahwa meskipun mungkin terdapat sistem keyakinan yang berbeda,
sistem yang paling koheren adalah yang paling luas cakupannya, paling
konsisten, dan paling mampu menjelaskan fenomena.¹² Reformulasi Rescher
memungkinkan teori koherensi tetap relevan dalam diskursus filsafat analitik
kontemporer.
Koherensi dalam Diskursus Mutakhir
Dalam perkembangan lebih lanjut, teori
koherensi menjadi bahan perdebatan dalam epistemologi dan filsafat ilmu.
Beberapa filsuf, seperti Erik J. Olsson, menekankan pentingnya
membedakan antara koherensi sebagai teori kebenaran dan koherensi sebagai teori
justifikasi.¹³ Sementara itu, pemikiran postmodern menafsirkan koherensi dalam
konteks pluralitas narasi dan sistem makna, sehingga memperluas cakrawala
aplikasinya di luar metafisika tradisional.¹⁴
Footnotes
[1]
Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 508–509.
[2]
Aristotle, Metaphysics, ed. dan terj. W. D.
Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.7, 1011b.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 16, a.
1–2.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley
(London: Penguin, 1996), Part II, Proposition 43.
[5]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terj.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–15.
[6]
Ibid., 23–24.
[7]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality
(Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.
[8]
Ibid., 118–22.
[9]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.
[10]
Ibid., 280–85.
[11]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.
[12]
A. C. Michalos, “Nicholas Rescher. The Coherence
Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974): 563–64.
[13]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.
[14]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical
Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.
4.
Argumen dan Landasan
Filosofis Teori Koherensi
4.1.
Argumen Ontologis:
Kebenaran sebagai Keterpaduan Realitas
Salah satu dasar filosofis teori
koherensi adalah gagasan bahwa realitas itu sendiri merupakan suatu kesatuan
rasional yang teratur dan saling terhubung. Dalam kerangka ini, kebenaran
tidak dapat dipahami sebagai hubungan sederhana antara proposisi dan fakta
terisolasi, melainkan harus dipahami sebagai korespondensi internal dengan
totalitas realitas. F. H. Bradley, misalnya, menegaskan bahwa “realitas
yang sejati bersifat koheren,” sehingga kebenaran proposisi ditentukan oleh
sejauh mana proposisi itu menyatu dalam struktur menyeluruh tersebut.¹
Pandangan ini menegaskan bahwa koherensi bukan hanya kriteria epistemologis,
melainkan juga ciri ontologis dari kenyataan itu sendiri.²
4.2.
Argumen
Epistemologis: Holisme Pengetahuan
Teori koherensi juga didasarkan pada
prinsip epistemologis bahwa pengetahuan manusia bersifat holistik.
Menurut Brand Blanshard, proposisi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan
memperoleh maknanya melalui keterhubungan dengan proposisi lain dalam suatu
sistem keyakinan.³ Oleh karena itu, kebenaran suatu proposisi harus diukur dari
seberapa jauh ia berintegrasi dalam jaringan tersebut. Argumen ini menolak
gagasan atomisme epistemik yang diasumsikan teori korespondensi, di mana
proposisi bisa diverifikasi secara terpisah dengan membandingkannya dengan
fakta tunggal.⁴
4.3.
Rasionalitas dan
Kekuatan Eksplanatoris
Landasan lain dari teori koherensi
adalah klaim bahwa sistem keyakinan yang koheren lebih rasional dan
memiliki kekuatan eksplanatoris lebih besar dibanding sistem yang
inkonsisten. Nicholas Rescher, dalam reformulasinya, menekankan bahwa koherensi
menuntut bukan hanya konsistensi logis, tetapi juga komprehensivitas dan
kemampuan menjelaskan fenomena.⁵ Sistem keyakinan yang lebih koheren
adalah sistem yang mampu menjawab lebih banyak pertanyaan, menyingkirkan
kontradiksi, dan menjelaskan data empiris dengan integrasi yang baik.⁶ Dengan
demikian, kebenaran dipandang tidak sekadar “cocok” dengan fakta, tetapi
sebagai bagian dari sistem pengetahuan yang rasional dan stabil.
4.4.
Kritik terhadap
Teori Korespondensi
Sebagian besar argumen untuk teori
koherensi berakar pada kritik terhadap teori korespondensi. Pertama, teori
korespondensi menghadapi masalah dalam menjelaskan hakikat fakta: apa
yang dimaksud dengan “fakta” sebagai sesuatu yang non-proposisional
namun bisa dijadikan pembanding bagi proposisi?⁷ Bradley menyebut hal ini
sebagai “incoherence” dari teori korespondensi, karena tidak jelas
bagaimana proposisi (entitas linguistik) bisa berhubungan langsung dengan fakta
yang non-linguistik.⁸ Kedua, teori korespondensi cenderung reduksionis karena
mengisolasi proposisi dari sistem pengetahuan yang lebih luas, padahal
pengetahuan manusia senantiasa diproses dalam kerangka keseluruhan.⁹
4.5.
Kelebihan Koherensi
dibandingkan Teori Lain
Dibanding teori korespondensi,
koherensi menawarkan keunggulan metodologis: ia mampu menjelaskan
praktik nyata ilmu pengetahuan yang bekerja dengan sistem teori, bukan dengan
verifikasi atomistik terhadap fakta individual.¹⁰ Selain itu, dibanding teori
pragmatis, koherensi menghindari penyempitan kebenaran pada kegunaan praktis
semata, dengan menekankan dimensi rasional dan sistemik.¹¹ Dengan kata lain,
koherensi berupaya menunjukkan bahwa kebenaran bukan hanya tentang “berfungsi”
atau “bermanfaat,” melainkan tentang keterpaduan rasional dalam sistem
keyakinan yang komprehensif.
4.6.
Tantangan dan Upaya
Penegasan Ulang
Meski demikian, teori koherensi juga
diakui memiliki keterbatasan, terutama terkait kemungkinan munculnya sistem
keyakinan ganda yang koheren. Untuk menjawab masalah ini, para filsuf
koherensian seperti Rescher menambahkan kriteria tambahan seperti kesederhanaan,
luas cakupan, dan daya jelaskan untuk membedakan sistem yang
lebih unggul.¹² Upaya ini memperlihatkan bahwa teori koherensi terus berkembang
sebagai teori yang bukan hanya metafisik, tetapi juga metodologis, yang
berusaha menjelaskan bagaimana pengetahuan manusia dapat mencapai kebenaran
secara lebih rasional dan menyeluruh.
Footnotes
[1]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality
(Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.
[2]
Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29
Agustus 2025.
[3]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.
[4]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical
Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 98–100.
[5]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.
[6]
A. C. Michalos, “Nicholas Rescher. The Coherence
Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974): 563–64.
[7]
Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics
(Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.
[8]
Bradley, Essays on Truth and Reality, 118–22.
[9]
Blanshard, The Nature of Thought, 280–85.
[10]
Rescher, The Coherence Theory of Truth, 40–46.
[11]
William James, Pragmatism (Indianapolis:
Hackett, 1981), 95–99.
[12]
Rescher, The Coherence Theory of Truth, 50–55.
5.
Kritik terhadap
Teori Koherensi
5.1.
Masalah Multiple
Coherence (Koherensi Ganda)
Salah satu kritik paling fundamental
terhadap teori koherensi adalah kemungkinan adanya lebih dari satu sistem
keyakinan yang koheren. Jika kebenaran ditentukan hanya oleh koherensi
internal suatu sistem, maka dua sistem yang sama-sama konsisten, tetapi saling
bertentangan, bisa dianggap benar secara bersamaan.¹ Hal ini menimbulkan risiko
relativisme epistemik, sebab kebenaran tidak lagi bersifat universal, melainkan
relatif terhadap sistem keyakinan tertentu.² Nicholas Rescher mencoba menjawab
keberatan ini dengan menambahkan kriteria seperti komprehensivitas dan kekuatan
eksplanatoris, tetapi kritik tersebut tetap menjadi titik lemah yang sulit
diatasi sepenuhnya.³
5.2.
Kekhawatiran
Relativisme dan Subjektivisme
Teori koherensi juga sering dituduh
membuka jalan bagi relativisme kebenaran, karena apa yang koheren bagi
satu komunitas pengetahuan bisa jadi tidak koheren bagi komunitas lain.⁴ Dalam
kerangka ini, kebenaran menjadi sesuatu yang relatif terhadap paradigma atau
tradisi tertentu, tanpa landasan objektif yang bisa mengikat semua sistem
keyakinan. Richard Kirkham menegaskan bahwa jika koherensi diterima begitu saja
sebagai hakikat kebenaran, maka “kebenaran tidak lebih dari konsensus
internal sebuah komunitas,” sebuah kesimpulan yang problematis secara
filosofis.⁵
5.3.
Kritik dari Teori
Korespondensi
Para pendukung teori korespondensi
menilai bahwa teori koherensi gagal menjelaskan hubungan representasional
antara proposisi dan dunia eksternal. Menurut Alfred Tarski, kebenaran harus
berkaitan dengan kondisi realitas—misalnya proposisi “Salju putih” benar karena
salju memang putih.⁶ Teori koherensi, dengan menekankan relasi antar-proposisi,
justru memutus hubungan antara bahasa dan dunia.⁷ Tanpa referensi ke realitas
eksternal, teori koherensi dianggap tidak dapat menjelaskan mengapa sistem
keyakinan tertentu lebih tepat daripada yang lain.
5.4.
Kritik dari Teori
Pragmatism
Dari perspektif pragmatisme, teori
koherensi terlalu abstrak dan mengabaikan dimensi praktis dari kebenaran.
William James, misalnya, menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang “berfungsi”
dan “memuaskan” dalam pengalaman praktis.⁸ Sistem keyakinan yang koheren tetapi
tidak dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dianggap tidak memiliki nilai
kebenaran.⁹ Kritik ini menyoroti keterputusan teori koherensi dari praktik
pengetahuan dan problem nyata manusia.
5.5.
Masalah Circularity
(Sirkularitas)
Kritik lain menyatakan bahwa teori
koherensi bersifat sirkular. Koherensi menuntut bahwa proposisi benar
jika sesuai dengan sistem keyakinan, tetapi validitas sistem itu sendiri hanya
dijustifikasi oleh koherensinya.¹⁰ Dengan demikian, teori koherensi berisiko
jatuh dalam lingkaran logis, di mana justifikasi kebenaran tidak pernah
melampaui sistem itu sendiri.¹¹ Erik Olsson bahkan menyebut bahwa koherensi
lebih cocok diposisikan sebagai teori justifikasi (epistemologi), bukan teori
kebenaran (metafisika).¹²
5.6.
Kritik dari
Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam konteks filsafat ilmu, teori
koherensi dianggap tidak mampu menjelaskan hubungan empiris antara teori
dan data. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa meskipun paradigma ilmiah sering
bersifat koheren secara internal, pergeseran paradigma tetap terjadi ketika
paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali.¹³ Hal ini menunjukkan
bahwa koherensi internal saja tidak cukup; ilmu pengetahuan juga menuntut
keterhubungan dengan realitas empiris.¹⁴
Evaluasi Kritis
Kritik-kritik di atas memperlihatkan
bahwa teori koherensi menghadapi tantangan serius sebagai teori kebenaran.
Meski berhasil menekankan pentingnya konsistensi dan keterpaduan sistem
pengetahuan, teori ini gagal memberikan jawaban tuntas terhadap pertanyaan: apa
yang membuat satu sistem keyakinan benar, sementara sistem lain yang sama-sama
koheren ternyata salah? Oleh karena itu, banyak filsuf kontemporer
menganggap teori koherensi lebih tepat dipahami sebagai kriteria pembenaran
epistemik daripada sebagai definisi metafisik tentang kebenaran.¹⁵
Footnotes
[1]
N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of
Truth,” dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013),
77–92.
[2]
Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29
Agustus 2025.
[3]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 50–55.
[4]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical
Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.
[5]
Ibid., 112.
[6]
Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics
(Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.
[7]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality
(Oxford: Clarendon Press, 1914), 118–22.
[8]
William James, Pragmatism (Indianapolis:
Hackett, 1981), 95–99.
[9]
Ibid., 101–103.
[10]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), 280–85.
[11]
Ibid., 286.
[12]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.
[13]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 66–90.
[14]
Ibid., 92–110.
[15]
Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” SEP.
6.
Relevansi Kontemporer
Teori Koherensi
6.1.
Penerapan dalam Ilmu
Pengetahuan Modern
Dalam filsafat ilmu, teori koherensi
memiliki relevansi penting untuk menjelaskan bagaimana teori ilmiah
diverifikasi. Alih-alih diuji melalui satu fakta tunggal, teori-teori ilmiah
umumnya dikonfirmasi melalui keterpaduannya dengan data, hukum, dan
model yang sudah mapan.¹ Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Quine sebagai confirmation
holism, yakni bahwa hipotesis ilmiah tidak dapat diuji secara terisolasi,
melainkan bersama-sama dengan jaringan teori lain.² Dengan demikian, koherensi
memberikan kerangka filosofis untuk memahami dinamika ilmu pengetahuan yang
bersifat sistemik dan kumulatif.
6.2.
Hubungan dengan
Teori Sistem dan Hermeneutika
Teori koherensi juga relevan dalam
kerangka teori sistem dan hermeneutika. Dalam teori sistem,
kebenaran dipahami sebagai hasil dari keteraturan dan keterhubungan
antar-komponen dalam suatu jaringan kompleks.³ Sementara itu, dalam
hermeneutika kontemporer, khususnya menurut Hans-Georg Gadamer, pemahaman
dianggap sahih bila interpretasi baru dapat menyatu secara koheren dengan
horizon makna yang lebih luas.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa koherensi bukan hanya
soal konsistensi logis, tetapi juga kesesuaian makna dalam konteks
budaya, sejarah, dan bahasa.
6.3.
Relevansi dalam
Epistemologi Kontemporer
Dalam epistemologi modern, koherensi
tetap digunakan untuk menjelaskan justifikasi keyakinan. Erik J. Olsson
menekankan bahwa meskipun koherensi tidak memadai sebagai definisi metafisik
kebenaran, ia memiliki peran vital sebagai mekanisme justifikasi:
keyakinan yang benar adalah keyakinan yang memiliki dukungan inferensial kuat
dari keyakinan lain.⁵ Dengan demikian, koherensi menawarkan kerangka epistemik
yang membantu menilai rasionalitas klaim pengetahuan, terutama dalam konteks di
mana akses langsung ke “fakta” eksternal tidak selalu tersedia.
6.4.
Relevansi dalam
Diskursus Postmodern
Dalam wacana postmodern, kebenaran
dipandang plural, terfragmentasi, dan bergantung pada narasi. Jean-François
Lyotard, misalnya, menolak “metanarasi” tunggal dan menekankan bahwa legitimasi
pengetahuan diperoleh melalui koherensi dalam lingkup permainan bahasa
tertentu.⁶ Dengan perspektif ini, teori koherensi tetap relevan karena ia mampu
menjelaskan bagaimana suatu narasi atau sistem makna memperoleh otoritas
internal, meskipun tidak bersandar pada kebenaran absolut.
6.5.
Aplikasi dalam Etika
dan Hukum
Teori koherensi juga memiliki implikasi
dalam bidang etika dan hukum. Dalam etika, teori koherensi digunakan untuk
menguji konsistensi prinsip moral dalam kerangka reflective equilibrium
yang diperkenalkan oleh John Rawls.⁷ Dalam hukum, teori ini diterapkan melalui
model coherentism yang menekankan bahwa keputusan yuridis harus selaras
dengan prinsip, preseden, dan norma hukum yang berlaku, sehingga menghasilkan
putusan yang koheren secara sistemik.⁸
Evaluasi Relevansi
Meski menghadapi berbagai kritik, teori
koherensi tetap memiliki signifikansi kontemporer. Dalam ilmu pengetahuan, ia
menjelaskan sifat sistemik teori; dalam hermeneutika, ia menekankan
keterhubungan makna; dalam epistemologi, ia berperan sebagai kriteria justifikasi;
dan dalam postmodernisme, ia membantu memahami pluralitas narasi. Oleh karena
itu, teori koherensi, meski tidak lagi dipandang sebagai definisi tunggal
kebenaran, tetap relevan sebagai kerangka konseptual yang fleksibel
untuk memahami dinamika pengetahuan, makna, dan rasionalitas di era modern.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 40–46.
[2]
W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA:
MIT Press, 1960), 41–43.
[3]
Ludwig von Bertalanffy, General System Theory:
Foundations, Development, Applications (New York: George Braziller, 1968),
55–60.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj.
Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 302–308.
[5]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.
[6]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 20–21.
[8]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 225–28.
7.
Penutup
Kajian mengenai teori koherensi
tentang kebenaran memperlihatkan bahwa teori ini bukan sekadar salah satu
alternatif dari teori korespondensi atau pragmatisme, melainkan menawarkan kerangka
konseptual yang unik dalam memahami hakikat kebenaran. Secara konseptual,
koherensi menekankan bahwa kebenaran bukanlah relasi sederhana antara proposisi
dan fakta atomis, melainkan keterpaduan internal dalam suatu sistem keyakinan.¹
Dengan demikian, teori ini menghadirkan sebuah model kebenaran yang menekankan holisme
epistemik dan konsistensi logis.²
Dari segi sejarah, teori
koherensi telah berkembang melalui perjalanan panjang: mulai dari gagasan
harmoni dan totalitas dalam filsafat Yunani, berkembang dalam idealisme Jerman
(Hegel), hingga memperoleh formulasi modern dari Bradley dan elaborasi
sistematis dari Blanshard.³ Upaya kontemporer oleh Rescher bahkan menunjukkan
bahwa teori ini dapat dimodifikasi dengan kriteria tambahan, seperti
komprehensivitas dan kekuatan eksplanatoris, agar lebih tangguh menghadapi
kritik.⁴
Namun demikian, kritik-kritik utama
terhadap teori koherensi tetap relevan untuk diperhatikan. Masalah multiple
coherent systems menunjukkan bahwa koherensi internal saja tidak cukup
untuk menjamin objektivitas kebenaran.⁵ Begitu juga dengan tuduhan relativisme
dan sirkularitas, yang mengingatkan bahwa koherensi berisiko menjadikan
kebenaran bergantung pada konsensus internal sebuah sistem tanpa kaitan
representasional dengan dunia eksternal.⁶ Kritik dari teori korespondensi
menegaskan pentingnya hubungan proposisi dengan realitas non-linguistik, sementara
kritik pragmatis menekankan aspek kegunaan praktis yang sering diabaikan
koherensi.⁷
Meskipun demikian, relevansi
kontemporer teori koherensi tidak dapat dipandang remeh. Dalam filsafat
ilmu, koherensi membantu menjelaskan sifat sistemik teori ilmiah yang
diverifikasi melalui jaringan data dan model, bukan fakta tunggal.⁸ Dalam
hermeneutika, ia berfungsi sebagai dasar keterpaduan makna, sedangkan dalam
epistemologi, ia tetap dipakai sebagai kerangka justifikasi keyakinan.⁹ Bahkan
dalam wacana postmodern, koherensi memiliki signifikansi untuk menjelaskan
legitimasi pluralitas narasi.¹⁰
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa teori koherensi, meskipun tidak memadai sebagai definisi tunggal
kebenaran, tetap berperan penting sebagai kerangka metodologis dan epistemologis.
Ia memperkaya perdebatan filosofis tentang kebenaran dengan menekankan
keterhubungan sistemik, rasionalitas, dan stabilitas teori.¹¹ Ke depan,
tantangan utama bagi teori ini adalah bagaimana mengintegrasikan keunggulan
koherensi dengan dimensi representasional (korespondensi) dan dimensi praktis
(pragmatisme), sehingga mampu menghadirkan model kebenaran yang lebih
komprehensif, seimbang, dan relevan dengan dinamika pengetahuan modern.¹²
Footnotes
[1]
F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford:
Clarendon Press, 1914), 107–12.
[2]
Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2
(London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.
[3]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terj.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–15; Bradley, Essays
on Truth and Reality, 118–22.
[4]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth
(Oxford: Clarendon Press, 1973), 40–55.
[5]
N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of Truth,”
dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013), 77–92.
[6]
Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical
Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.
[7]
Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics
(Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60; William James, Pragmatism
(Indianapolis: Hackett, 1981), 95–103.
[8]
W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA:
MIT Press, 1960), 41–43.
[9]
Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic
Justification,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.
[10]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[11]
Rescher, The Coherence Theory of Truth, 8–15.
[12]
Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29
Agustus 2025.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics
(W. D. Ross, Ed. & Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Blanshard, B. (1939). The nature
of thought (Vol. 2). London: George Allen & Unwin.
Bradley, F. H. (1914). Essays on
truth and reality. Oxford: Clarendon Press.
Bertalanffy, L. von. (1968). General
system theory: Foundations, development, applications. New York: George
Braziller.
Damnjanovic, N. (2013). The myth of
the coherence theory of truth. In N. Damnjanovic & M. Lynch (Eds.), Theories
of truth (pp. 77–92). London: Palgrave Macmillan.
Dworkin, R. (1986). Law’s empire.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and
method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury.
Glanzberg, M. (2024). Truth. In E. N.
Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia
of philosophy (Summer 2024 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford
University.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology
of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
James, W. (1981). Pragmatism.
Indianapolis: Hackett.
Kirkham, R. (1992). Theories of
truth: A critical introduction. Cambridge, MA: MIT Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure
of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.
Michalos, A. C. (1974). Review of The
coherence theory of truth, by N. Rescher. Philosophy of Science, 41(4),
563–564.
Murphy, P. (2006). Coherentism. PhilPapers.
Olsson, E. J. (2017). Coherentist
theories of epistemic justification. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2017 Edition). Metaphysics Research
Lab, Stanford University.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Quine, W. V. O. (1960). Word and
object. Cambridge, MA: MIT Press.
Rawls, J. (1971). A theory of
justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Rescher, N. (1973). The coherence
theory of truth. Oxford: Clarendon Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E.
Curley, Trans.). London: Penguin.
Stanford Encyclopedia of Philosophy.
(2024). The coherence theory of truth. In E. N. Zalta & U. Nodelman
(Eds.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2024 Edition). Metaphysics
Research Lab, Stanford University.
Tarski, A. (1983). Logic,
semantics, metamathematics. Indianapolis: Hackett.
Thomas Aquinas. (n.d.). Summa
Theologiae.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar