Senin, 06 Oktober 2025

Teori Koherensi: Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer

Teori Koherensi

Kajian Konseptual, Historis, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kebenaran.


Abstrak

Artikel ini membahas teori koherensi tentang kebenaran sebagai salah satu kerangka filosofis penting dalam wacana filsafat kebenaran. Teori koherensi menekankan bahwa proposisi dinyatakan benar apabila konsisten dan terpadu dalam suatu sistem keyakinan, berbeda dengan teori korespondensi yang mengacu pada relasi proposisi dengan fakta eksternal. Kajian ini diawali dengan penelusuran konseptual dasar teori koherensi yang menekankan konsistensi logis, integrasi sistemik, dan komprehensivitas. Selanjutnya dipaparkan konteks historis perkembangannya, mulai dari akar dalam filsafat Yunani, elaborasi idealisme Jerman, formulasi klasik oleh F. H. Bradley, hingga reformulasi modern oleh Brand Blanshard dan Nicholas Rescher. Artikel ini juga menyoroti argumen filosofis yang mendukung teori ini, seperti holisme epistemik dan kekuatan eksplanatoris sistem pengetahuan, serta kritik mendasar yang diarahkan padanya, termasuk masalah relativisme, koherensi ganda, sirkularitas, dan keterputusan dari realitas empiris. Meskipun menghadapi kelemahan, teori koherensi tetap relevan dalam wacana kontemporer, terutama dalam filsafat ilmu, hermeneutika, epistemologi, etika, hukum, dan teori postmodern. Dengan demikian, teori ini tidak lagi dipandang sebagai definisi tunggal kebenaran, melainkan sebagai kerangka metodologis dan epistemologis yang melengkapi teori-teori kebenaran lainnya.

Kata Kunci: Teori Koherensi; Kebenaran; Epistemologi; Holisme; Bradley; Blanshard; Rescher; Filsafat Ilmu; Hermeneutika; Postmodernisme.


PEMBAHASAN

Teori Koherensi tentang Kebenaran


1.           Pendahuluan

Pertanyaan “apa itu kebenaran?” merupakan titik tolak klasik dalam filsafat, dengan beragam jawaban yang membentuk lanskap teori kebenaran modern—terutama korespondensi, koherensi, pragmatis, dan deflasi. Dalam gambaran umum, teori korespondensi menafsirkan kebenaran sebagai kecocokan antara proposisi dan fakta dunia, sementara teori koherensi menempatkan kebenaran pada keterjalinan internal di antara proposisi dalam suatu sistem keyakinan. Distingsi awal ini penting agar pembaca memahami bahwa koherensi tidak sekadar “uji praktis” bagi pengetahuan, melainkan—dalam formulasi klasik—sebuah teori hakikat kebenaran yang bersaing langsung dengan korespondensi.¹

Secara konseptual, teori koherensi tentang kebenaran (coherence theory of truth) menyatakan bahwa sebuah proposisi itu benar bila dan hanya bila proposisi tersebut koheren dengan himpunan proposisi lain dalam suatu sistem total keyakinan. Koherensi di sini biasanya dipahami mencakup konsistensi logis, kekuatan eksplanatoris, serta dukungan inferensial (induktif) di dalam jejaring keyakinan.² Model ini menekankan sifat holistik penilaian kognitif: kebenaran sebuah klaim tidak berdiri sendiri, melainkan dinilai melalui keterpaduannya dengan keseluruhan sistem yang saling menopang.³

Secara historis, pembelaan koherensi sebagai ciri hakiki kebenaran berakar kuat dalam tradisi idealisme, terutama pada F. H. Bradley yang memformulasikan pernyataan klasik tentang koherensi dalam Essays on Truth and Reality (1914). Bradley menolak gagasan “penyalinan” realitas sebagai model kebenaran, dan lebih memilih gambaran bahwa kebenaran menyangkut kesesuaian internal menyeluruh dalam tatanan konseptual.⁴ Jejak ini dilanjutkan dan diperdalam oleh Brand Blanshard, yang berargumentasi bahwa menerima koherensi sebagai uji kebenaran secara rasional mendorong kita—melalui eliminasi alternatif—untuk menerima koherensi sebagai hakikat kebenaran itu sendiri.⁵ Di abad ke-20, Nicholas Rescher menyusun versi koherensian yang lebih “beraturan” dan operasional, dengan kriteria yang memperhitungkan konsekuensi sistem keyakinan dan cara sistem tersebut mencapai stabilitas serta daya jelaskan terbaik.⁶

Dari sisi motivasi filosofis, koherensian menawarkan dua keunggulan normatif. Pertama, ia berupaya menjelaskan rasionalitas dan justifikasi secara holistik: sebuah keyakinan beralasan karena bertempat dalam jaring keyakinan yang saling menopang, dibanding bergantung pada “fakta atomis” yang sulit diakses. Kedua, koherensi mengubah fokus dari relasi dua tempat (proposisi–fakta) ke relasi banyak tempat (proposisi–proposisi), sehingga cocok untuk menjelaskan praktik penalaran teoritis di ilmu pengetahuan yang bertumpu pada kesaling-dukung model, teori, dan data dalam keseluruhan program riset.⁷ Meski demikian, literatur mutakhir mengingatkan agar membedakan koherensian kebenaran dari koherensian justifikasi (epistemologis): yang pertama membahas apa itu kebenaran, sementara yang kedua membahas kapan kita berhak menyatakan suatu keyakinan benar-benar beralasan.⁸ Distingsi ini krusial agar pembahasan tidak “terselip” menjadi teori pembenaran semata.

Namun, teori koherensi tidak tanpa tantangan mendasar. Kritikus menunjuk masalah “koherensi ganda”: dua (atau lebih) sistem keyakinan yang inkompatibel bisa saja masing-masing koheren secara internal—maka apa yang memastikan kebenaran non-relatif? Terkait ini, pembela koherensi kontemporer mengembangkan kriteria tambahan—misalnya memperkuat syarat kekuatan eksplanatoris dan keluasan cakupan (comprehensiveness)—agar koherensi tidak runtuh menjadi relativisme.⁹ Selain itu, korespondensian menilai bahwa apa pun keunggulan koherensi sebagai metode penilaian teoritis, hakikat kebenaran tetap memerlukan rujukan ke “dunia” non-proposisional; jika tidak, penjelasan kebenaran menjadi “terlalu internal” dan kehilangan kaitan representasional.¹⁰ Debat inilah yang akan dibedah secara sistematis dalam artikel ini.

Berdasarkan latar konseptual dan historis di atas, artikel ini memiliki tujuan: (1) merumuskan kembali tesis inti teori koherensi tentang kebenaran berikut ragam formulasi klasik dan kontemporernya; (2) memetakan argumen pendukung serta menjelaskan bagaimana koherensi berpretensi menjawab problem kebenaran dan rasionalitas secara holistik; (3) menginventaris kritik-kritik utama dari teori saingan (terutama korespondensi dan pragmatisme) beserta tanggapan koherensian; dan (4) mengevaluasi relevansi kontemporer koherensi dalam konteks ilmu pengetahuan, hermeneutika, konstruktivisme, dan perdebatan pascamodern tentang kebenaran. Dengan demikian, kontribusi artikel ini bersifat ganda: menawarkan klarifikasi terminologis antara kebenaran dan justifikasi, serta menyediakan peta argumentatif yang memadai untuk menilai daya jelaskan (explanatory power) teori koherensi di lanskap epistemologi dan metafisika saat ini.¹¹


Footnotes

[1]                Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29 Agustus 2025; The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2024 Edition), diakses 29 Agustus 2025.

[2]                Peter Murphy, “Coherentism,” PhilPapers (2006), ringkasan; serta The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2024).

[3]                Ibid. (tentang holisme koherensian).

[4]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), khususnya Bab “On Truth and Coherence”; versi digital Cambridge (2012) dan Internet Archive, diakses 29 Agustus 2025.

[5]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), ch. XXVI; pratinjau digital, diakses 29 Agustus 2025.

[6]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973); tinjauan A. C. Michalos, “Nicholas Rescher. The Coherence Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974): 563–64.

[7]                Lihat, misalnya, elaborasi kriteria koherensi (konsistensi, eksplanasi, dan dukungan induktif) pada ringkasan literatur epistemologi koherensian.

[8]                Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), menegaskan pembedaan koherensi sebagai teori justifikasi vs teori kebenaran.

[9]                Diskusi kritis mengenai tantangan relativisme dan “multiple coherent systems,” lihat N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of Truth,” dalam Theories of Truth (Palgrave Macmillan, 2013).

[10]             Untuk tekanan representasional dari korespondensi, lihat Glanzberg, “Truth,” SEP (bagian asal-usul korespondensi).

[11]             Untuk gambaran umum tesis inti dan medan perdebatan kontemporer, lihat The Coherence Theory of Truth, SEP (Fall 2024) dan Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification.


2.           Konsep Dasar Teori Koherensi

2.1.       Definisi Teori Koherensi

Teori koherensi tentang kebenaran menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar apabila proposisi tersebut koheren—yakni konsisten dan sesuai—dengan kumpulan proposisi lain dalam suatu sistem keyakinan atau pengetahuan.¹ Tidak seperti teori korespondensi yang mendasarkan kebenaran pada hubungan antara proposisi dan fakta eksternal, teori koherensi berfokus pada hubungan internal antar-proposisi.² Dengan demikian, kebenaran dipahami sebagai hasil dari keterpaduan, bukan sekadar pencerminan realitas.

Dalam formulasi klasiknya, teori koherensi menekankan tiga elemen pokok: (a) konsistensi logis (proposisi tidak saling bertentangan), (b) integrasi sistemik (proposisi terhubung dalam struktur yang saling mendukung), dan (c) kelengkapan atau komprehensivitas (sistem keyakinan mampu mengakomodasi pengalaman baru tanpa kontradiksi fundamental).³

2.2.       Distingsi dengan Teori Kebenaran Lain

Teori koherensi sering dibandingkan dengan teori korespondensi. Pada teori korespondensi, proposisi “Salju itu putih” benar karena ada fakta eksternal—yakni kenyataan bahwa salju berwarna putih—yang sesuai dengan proposisi tersebut.⁴ Sebaliknya, dalam teori koherensi, proposisi “Salju itu putih” dianggap benar apabila proposisi itu sesuai dengan sistem keyakinan kita yang mencakup pengetahuan lain, seperti kondisi optik manusia, pengalaman empiris tentang salju, serta teori fisika cahaya.⁵

Dengan demikian, kebenaran dalam kerangka koherensi tidak ditentukan oleh dunia eksternal yang independen, melainkan oleh posisi proposisi dalam jaringan keyakinan. Perbedaan ini menempatkan teori koherensi lebih dekat dengan tradisi idealisme dan rasionalisme, dibandingkan dengan realisme metafisik yang mendasari teori korespondensi.⁶

2.3.       Karakteristik Utama Teori Koherensi

Teori koherensi memiliki sejumlah karakteristik konseptual yang membedakannya:

·                     Holisme epistemik: kebenaran tidak dapat ditentukan oleh proposisi tunggal, melainkan oleh kesesuaiannya dengan keseluruhan sistem keyakinan.⁷

·                     Relasionalitas proposisi: kebenaran ditentukan melalui relasi antar-proposisi, bukan oleh hubungan langsung dengan realitas eksternal.⁸

·                     Stabilitas sistemik: semakin sistem keyakinan dapat menahan kritik, menjelaskan fenomena baru, dan tetap konsisten secara internal, semakin tinggi pula klaim kebenaran proposisi di dalamnya.⁹

·                     Penekanan rasionalitas: kebenaran dipandang sebagai bagian dari proses berpikir rasional, di mana proposisi memperoleh status “benar” melalui keterhubungannya dengan sistem pengetahuan yang masuk akal.¹⁰

2.4.       Kritik Awal terhadap Konsep Dasar

Meski menawarkan pemahaman yang menarik, teori koherensi sejak awal menghadapi kritik mendasar. Salah satu masalah utama adalah “koherensi ganda”, yaitu kemungkinan adanya lebih dari satu sistem keyakinan yang koheren, tetapi saling bertentangan.¹¹ Selain itu, teori ini dianggap berisiko jatuh ke dalam relativisme epistemik, karena koherensi dalam suatu komunitas pengetahuan belum tentu mencerminkan realitas objektif.¹²


Relevansi Konseptual

Kendati demikian, teori koherensi tetap memiliki relevansi tinggi dalam menjelaskan dinamika pengetahuan modern. Ia membantu kita memahami bahwa teori ilmiah, misalnya, seringkali tidak diverifikasi secara langsung oleh fakta tunggal, tetapi melalui koherensi keseluruhan teori dengan data, model, dan prinsip ilmiah lainnya.¹³ Hal ini menjadikan teori koherensi tidak hanya sebagai model metafisik tentang kebenaran, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis yang menekankan pentingnya konsistensi dan keterpaduan dalam pengetahuan.


Footnotes

[1]                The Coherence Theory of Truth, Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2024 Edition), diakses 29 Agustus 2025.

[2]                Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29 Agustus 2025.

[3]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.

[4]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics (Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.

[5]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.

[6]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.

[7]                Peter Murphy, “Coherentism,” PhilPapers (2006), ringkasan.

[8]                Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017).

[9]                Rescher, The Coherence Theory of Truth, 23–29.

[10]             Blanshard, The Nature of Thought, 290–95.

[11]             N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of Truth,” dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013), 77–92.

[12]             Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 102–6.

[13]             Rescher, The Coherence Theory of Truth, 40–46.


3.           Konteks Historis Perkembangan Teori Koherensi

3.1.       Akar dalam Filsafat Klasik

Meskipun istilah coherence theory of truth baru dikenal pada era modern, akar konseptualnya dapat ditelusuri sejak filsafat Yunani klasik. Plato, misalnya, mengaitkan kebenaran dengan keteraturan dan harmoni dunia ide, sehingga proposisi yang benar harus konsisten dengan struktur ideal yang utuh.¹ Sementara itu, Aristoteles, meskipun lebih dikenal dengan cikal bakal teori korespondensi, juga menyadari pentingnya konsistensi logis dalam sistem pengetahuan—suatu prinsip yang kemudian menjadi fondasi penting bagi pemikiran koherensian.²

3.2.       Tradisi Skolastik dan Rasionalisme Awal

Dalam filsafat abad pertengahan, Thomas Aquinas menekankan korespondensi kebenaran dengan realitas eksternal, tetapi pemikiran rasionalis awal seperti Spinoza (1632–1677) menekankan pentingnya keteraturan internal sistem pengetahuan.³ Menurut Spinoza, kebenaran suatu ide dipastikan melalui “kejelasan dan distingsi” ide itu dalam kaitannya dengan keseluruhan sistem pemikiran, suatu gagasan yang memperlihatkan ciri koherensian.⁴

3.3.       Idealisme Jerman dan Konsolidasi Koherensi

Puncak perkembangan awal teori koherensi tampak pada idealisme Jerman abad ke-18 dan 19. Hegel (1770–1831) memahami kebenaran sebagai hasil dari perkembangan dialektis Roh (Geist) yang menyingkap totalitas realitas.⁵ Dalam kerangka Hegelian, proposisi yang benar bukanlah sekadar kesesuaian dengan fakta partikular, tetapi konsistensi proposisi itu dengan keseluruhan struktur rasional sejarah.⁶ Pandangan ini menginspirasi para pemikir kemudian yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang melekat pada sistem pemikiran total.

3.4.       F.H. Bradley dan Formulasi Klasik

Teori koherensi memperoleh bentuk filosofis modern terutama melalui F.H. Bradley (1846–1924), tokoh idealisme Inggris. Dalam Essays on Truth and Reality (1914), Bradley menolak teori korespondensi yang ia nilai gagal menjelaskan relasi proposisi dengan fakta yang non-proposisional.⁷ Sebagai gantinya, ia menyatakan bahwa kebenaran harus dipahami sebagai kesesuaian internal dalam tatanan konseptual yang menyeluruh.⁸ Dengan demikian, Bradley menempatkan koherensi sebagai hakikat kebenaran, bukan hanya kriterianya.

3.5.       Brand Blanshard dan Elaborasi Abad ke-20

Pada abad ke-20, Brand Blanshard (1892–1987) mengembangkan teori koherensi lebih sistematis dalam karyanya The Nature of Thought (1939). Blanshard berargumen bahwa koherensi bukan sekadar uji pragmatis, melainkan definisi substansial kebenaran.⁹ Baginya, proposisi yang benar adalah proposisi yang secara logis dan eksplanatoris terintegrasi dalam jaringan keyakinan yang luas dan konsisten.¹⁰ Blanshard juga menegaskan bahwa teori ini menjawab kebutuhan filsafat modern untuk menghindari reduksi kebenaran pada fakta atomis yang tidak terhubung.

3.6.       Nicholas Rescher dan Reformulasi Kontemporer

Upaya membarui teori koherensi dilakukan oleh Nicholas Rescher melalui bukunya The Coherence Theory of Truth (1973). Rescher menambahkan kriteria praktis bagi koherensi, termasuk konsistensi, kekuatan eksplanatoris, dan komprehensivitas sistem.¹¹ Ia menekankan bahwa meskipun mungkin terdapat sistem keyakinan yang berbeda, sistem yang paling koheren adalah yang paling luas cakupannya, paling konsisten, dan paling mampu menjelaskan fenomena.¹² Reformulasi Rescher memungkinkan teori koherensi tetap relevan dalam diskursus filsafat analitik kontemporer.


Koherensi dalam Diskursus Mutakhir

Dalam perkembangan lebih lanjut, teori koherensi menjadi bahan perdebatan dalam epistemologi dan filsafat ilmu. Beberapa filsuf, seperti Erik J. Olsson, menekankan pentingnya membedakan antara koherensi sebagai teori kebenaran dan koherensi sebagai teori justifikasi.¹³ Sementara itu, pemikiran postmodern menafsirkan koherensi dalam konteks pluralitas narasi dan sistem makna, sehingga memperluas cakrawala aplikasinya di luar metafisika tradisional.¹⁴


Footnotes

[1]                Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 508–509.

[2]                Aristotle, Metaphysics, ed. dan terj. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.7, 1011b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 16, a. 1–2.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part II, Proposition 43.

[5]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terj. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–15.

[6]                Ibid., 23–24.

[7]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.

[8]                Ibid., 118–22.

[9]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.

[10]             Ibid., 280–85.

[11]             Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.

[12]             A. C. Michalos, “Nicholas Rescher. The Coherence Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974): 563–64.

[13]             Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.

[14]             Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.


4.           Argumen dan Landasan Filosofis Teori Koherensi

4.1.       Argumen Ontologis: Kebenaran sebagai Keterpaduan Realitas

Salah satu dasar filosofis teori koherensi adalah gagasan bahwa realitas itu sendiri merupakan suatu kesatuan rasional yang teratur dan saling terhubung. Dalam kerangka ini, kebenaran tidak dapat dipahami sebagai hubungan sederhana antara proposisi dan fakta terisolasi, melainkan harus dipahami sebagai korespondensi internal dengan totalitas realitas. F. H. Bradley, misalnya, menegaskan bahwa “realitas yang sejati bersifat koheren,” sehingga kebenaran proposisi ditentukan oleh sejauh mana proposisi itu menyatu dalam struktur menyeluruh tersebut.¹ Pandangan ini menegaskan bahwa koherensi bukan hanya kriteria epistemologis, melainkan juga ciri ontologis dari kenyataan itu sendiri.²

4.2.       Argumen Epistemologis: Holisme Pengetahuan

Teori koherensi juga didasarkan pada prinsip epistemologis bahwa pengetahuan manusia bersifat holistik. Menurut Brand Blanshard, proposisi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan memperoleh maknanya melalui keterhubungan dengan proposisi lain dalam suatu sistem keyakinan.³ Oleh karena itu, kebenaran suatu proposisi harus diukur dari seberapa jauh ia berintegrasi dalam jaringan tersebut. Argumen ini menolak gagasan atomisme epistemik yang diasumsikan teori korespondensi, di mana proposisi bisa diverifikasi secara terpisah dengan membandingkannya dengan fakta tunggal.⁴

4.3.       Rasionalitas dan Kekuatan Eksplanatoris

Landasan lain dari teori koherensi adalah klaim bahwa sistem keyakinan yang koheren lebih rasional dan memiliki kekuatan eksplanatoris lebih besar dibanding sistem yang inkonsisten. Nicholas Rescher, dalam reformulasinya, menekankan bahwa koherensi menuntut bukan hanya konsistensi logis, tetapi juga komprehensivitas dan kemampuan menjelaskan fenomena.⁵ Sistem keyakinan yang lebih koheren adalah sistem yang mampu menjawab lebih banyak pertanyaan, menyingkirkan kontradiksi, dan menjelaskan data empiris dengan integrasi yang baik.⁶ Dengan demikian, kebenaran dipandang tidak sekadar “cocok” dengan fakta, tetapi sebagai bagian dari sistem pengetahuan yang rasional dan stabil.

4.4.       Kritik terhadap Teori Korespondensi

Sebagian besar argumen untuk teori koherensi berakar pada kritik terhadap teori korespondensi. Pertama, teori korespondensi menghadapi masalah dalam menjelaskan hakikat fakta: apa yang dimaksud dengan “fakta” sebagai sesuatu yang non-proposisional namun bisa dijadikan pembanding bagi proposisi?⁷ Bradley menyebut hal ini sebagai “incoherence” dari teori korespondensi, karena tidak jelas bagaimana proposisi (entitas linguistik) bisa berhubungan langsung dengan fakta yang non-linguistik.⁸ Kedua, teori korespondensi cenderung reduksionis karena mengisolasi proposisi dari sistem pengetahuan yang lebih luas, padahal pengetahuan manusia senantiasa diproses dalam kerangka keseluruhan.⁹

4.5.       Kelebihan Koherensi dibandingkan Teori Lain

Dibanding teori korespondensi, koherensi menawarkan keunggulan metodologis: ia mampu menjelaskan praktik nyata ilmu pengetahuan yang bekerja dengan sistem teori, bukan dengan verifikasi atomistik terhadap fakta individual.¹⁰ Selain itu, dibanding teori pragmatis, koherensi menghindari penyempitan kebenaran pada kegunaan praktis semata, dengan menekankan dimensi rasional dan sistemik.¹¹ Dengan kata lain, koherensi berupaya menunjukkan bahwa kebenaran bukan hanya tentang “berfungsi” atau “bermanfaat,” melainkan tentang keterpaduan rasional dalam sistem keyakinan yang komprehensif.

4.6.       Tantangan dan Upaya Penegasan Ulang

Meski demikian, teori koherensi juga diakui memiliki keterbatasan, terutama terkait kemungkinan munculnya sistem keyakinan ganda yang koheren. Untuk menjawab masalah ini, para filsuf koherensian seperti Rescher menambahkan kriteria tambahan seperti kesederhanaan, luas cakupan, dan daya jelaskan untuk membedakan sistem yang lebih unggul.¹² Upaya ini memperlihatkan bahwa teori koherensi terus berkembang sebagai teori yang bukan hanya metafisik, tetapi juga metodologis, yang berusaha menjelaskan bagaimana pengetahuan manusia dapat mencapai kebenaran secara lebih rasional dan menyeluruh.


Footnotes

[1]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.

[2]                Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29 Agustus 2025.

[3]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.

[4]                Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 98–100.

[5]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 8–15.

[6]                A. C. Michalos, “Nicholas Rescher. The Coherence Theory of Truth,” Philosophy of Science 41, no. 4 (1974): 563–64.

[7]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics (Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.

[8]                Bradley, Essays on Truth and Reality, 118–22.

[9]                Blanshard, The Nature of Thought, 280–85.

[10]             Rescher, The Coherence Theory of Truth, 40–46.

[11]             William James, Pragmatism (Indianapolis: Hackett, 1981), 95–99.

[12]             Rescher, The Coherence Theory of Truth, 50–55.


5.           Kritik terhadap Teori Koherensi

5.1.       Masalah Multiple Coherence (Koherensi Ganda)

Salah satu kritik paling fundamental terhadap teori koherensi adalah kemungkinan adanya lebih dari satu sistem keyakinan yang koheren. Jika kebenaran ditentukan hanya oleh koherensi internal suatu sistem, maka dua sistem yang sama-sama konsisten, tetapi saling bertentangan, bisa dianggap benar secara bersamaan.¹ Hal ini menimbulkan risiko relativisme epistemik, sebab kebenaran tidak lagi bersifat universal, melainkan relatif terhadap sistem keyakinan tertentu.² Nicholas Rescher mencoba menjawab keberatan ini dengan menambahkan kriteria seperti komprehensivitas dan kekuatan eksplanatoris, tetapi kritik tersebut tetap menjadi titik lemah yang sulit diatasi sepenuhnya.³

5.2.       Kekhawatiran Relativisme dan Subjektivisme

Teori koherensi juga sering dituduh membuka jalan bagi relativisme kebenaran, karena apa yang koheren bagi satu komunitas pengetahuan bisa jadi tidak koheren bagi komunitas lain.⁴ Dalam kerangka ini, kebenaran menjadi sesuatu yang relatif terhadap paradigma atau tradisi tertentu, tanpa landasan objektif yang bisa mengikat semua sistem keyakinan. Richard Kirkham menegaskan bahwa jika koherensi diterima begitu saja sebagai hakikat kebenaran, maka “kebenaran tidak lebih dari konsensus internal sebuah komunitas,” sebuah kesimpulan yang problematis secara filosofis.⁵

5.3.       Kritik dari Teori Korespondensi

Para pendukung teori korespondensi menilai bahwa teori koherensi gagal menjelaskan hubungan representasional antara proposisi dan dunia eksternal. Menurut Alfred Tarski, kebenaran harus berkaitan dengan kondisi realitas—misalnya proposisi “Salju putih” benar karena salju memang putih.⁶ Teori koherensi, dengan menekankan relasi antar-proposisi, justru memutus hubungan antara bahasa dan dunia.⁷ Tanpa referensi ke realitas eksternal, teori koherensi dianggap tidak dapat menjelaskan mengapa sistem keyakinan tertentu lebih tepat daripada yang lain.

5.4.       Kritik dari Teori Pragmatism

Dari perspektif pragmatisme, teori koherensi terlalu abstrak dan mengabaikan dimensi praktis dari kebenaran. William James, misalnya, menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang “berfungsi” dan “memuaskan” dalam pengalaman praktis.⁸ Sistem keyakinan yang koheren tetapi tidak dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dianggap tidak memiliki nilai kebenaran.⁹ Kritik ini menyoroti keterputusan teori koherensi dari praktik pengetahuan dan problem nyata manusia.

5.5.       Masalah Circularity (Sirkularitas)

Kritik lain menyatakan bahwa teori koherensi bersifat sirkular. Koherensi menuntut bahwa proposisi benar jika sesuai dengan sistem keyakinan, tetapi validitas sistem itu sendiri hanya dijustifikasi oleh koherensinya.¹⁰ Dengan demikian, teori koherensi berisiko jatuh dalam lingkaran logis, di mana justifikasi kebenaran tidak pernah melampaui sistem itu sendiri.¹¹ Erik Olsson bahkan menyebut bahwa koherensi lebih cocok diposisikan sebagai teori justifikasi (epistemologi), bukan teori kebenaran (metafisika).¹²

5.6.       Kritik dari Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam konteks filsafat ilmu, teori koherensi dianggap tidak mampu menjelaskan hubungan empiris antara teori dan data. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa meskipun paradigma ilmiah sering bersifat koheren secara internal, pergeseran paradigma tetap terjadi ketika paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali.¹³ Hal ini menunjukkan bahwa koherensi internal saja tidak cukup; ilmu pengetahuan juga menuntut keterhubungan dengan realitas empiris.¹⁴


Evaluasi Kritis

Kritik-kritik di atas memperlihatkan bahwa teori koherensi menghadapi tantangan serius sebagai teori kebenaran. Meski berhasil menekankan pentingnya konsistensi dan keterpaduan sistem pengetahuan, teori ini gagal memberikan jawaban tuntas terhadap pertanyaan: apa yang membuat satu sistem keyakinan benar, sementara sistem lain yang sama-sama koheren ternyata salah? Oleh karena itu, banyak filsuf kontemporer menganggap teori koherensi lebih tepat dipahami sebagai kriteria pembenaran epistemik daripada sebagai definisi metafisik tentang kebenaran.¹⁵


Footnotes

[1]                N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of Truth,” dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013), 77–92.

[2]                Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29 Agustus 2025.

[3]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 50–55.

[4]                Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.

[5]                Ibid., 112.

[6]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics (Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60.

[7]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), 118–22.

[8]                William James, Pragmatism (Indianapolis: Hackett, 1981), 95–99.

[9]                Ibid., 101–103.

[10]             Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), 280–85.

[11]             Ibid., 286.

[12]             Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.

[13]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 66–90.

[14]             Ibid., 92–110.

[15]             Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” SEP.


6.           Relevansi Kontemporer Teori Koherensi

6.1.       Penerapan dalam Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam filsafat ilmu, teori koherensi memiliki relevansi penting untuk menjelaskan bagaimana teori ilmiah diverifikasi. Alih-alih diuji melalui satu fakta tunggal, teori-teori ilmiah umumnya dikonfirmasi melalui keterpaduannya dengan data, hukum, dan model yang sudah mapan.¹ Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Quine sebagai confirmation holism, yakni bahwa hipotesis ilmiah tidak dapat diuji secara terisolasi, melainkan bersama-sama dengan jaringan teori lain.² Dengan demikian, koherensi memberikan kerangka filosofis untuk memahami dinamika ilmu pengetahuan yang bersifat sistemik dan kumulatif.

6.2.       Hubungan dengan Teori Sistem dan Hermeneutika

Teori koherensi juga relevan dalam kerangka teori sistem dan hermeneutika. Dalam teori sistem, kebenaran dipahami sebagai hasil dari keteraturan dan keterhubungan antar-komponen dalam suatu jaringan kompleks.³ Sementara itu, dalam hermeneutika kontemporer, khususnya menurut Hans-Georg Gadamer, pemahaman dianggap sahih bila interpretasi baru dapat menyatu secara koheren dengan horizon makna yang lebih luas.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa koherensi bukan hanya soal konsistensi logis, tetapi juga kesesuaian makna dalam konteks budaya, sejarah, dan bahasa.

6.3.       Relevansi dalam Epistemologi Kontemporer

Dalam epistemologi modern, koherensi tetap digunakan untuk menjelaskan justifikasi keyakinan. Erik J. Olsson menekankan bahwa meskipun koherensi tidak memadai sebagai definisi metafisik kebenaran, ia memiliki peran vital sebagai mekanisme justifikasi: keyakinan yang benar adalah keyakinan yang memiliki dukungan inferensial kuat dari keyakinan lain.⁵ Dengan demikian, koherensi menawarkan kerangka epistemik yang membantu menilai rasionalitas klaim pengetahuan, terutama dalam konteks di mana akses langsung ke “fakta” eksternal tidak selalu tersedia.

6.4.       Relevansi dalam Diskursus Postmodern

Dalam wacana postmodern, kebenaran dipandang plural, terfragmentasi, dan bergantung pada narasi. Jean-François Lyotard, misalnya, menolak “metanarasi” tunggal dan menekankan bahwa legitimasi pengetahuan diperoleh melalui koherensi dalam lingkup permainan bahasa tertentu.⁶ Dengan perspektif ini, teori koherensi tetap relevan karena ia mampu menjelaskan bagaimana suatu narasi atau sistem makna memperoleh otoritas internal, meskipun tidak bersandar pada kebenaran absolut.

6.5.       Aplikasi dalam Etika dan Hukum

Teori koherensi juga memiliki implikasi dalam bidang etika dan hukum. Dalam etika, teori koherensi digunakan untuk menguji konsistensi prinsip moral dalam kerangka reflective equilibrium yang diperkenalkan oleh John Rawls.⁷ Dalam hukum, teori ini diterapkan melalui model coherentism yang menekankan bahwa keputusan yuridis harus selaras dengan prinsip, preseden, dan norma hukum yang berlaku, sehingga menghasilkan putusan yang koheren secara sistemik.⁸


Evaluasi Relevansi

Meski menghadapi berbagai kritik, teori koherensi tetap memiliki signifikansi kontemporer. Dalam ilmu pengetahuan, ia menjelaskan sifat sistemik teori; dalam hermeneutika, ia menekankan keterhubungan makna; dalam epistemologi, ia berperan sebagai kriteria justifikasi; dan dalam postmodernisme, ia membantu memahami pluralitas narasi. Oleh karena itu, teori koherensi, meski tidak lagi dipandang sebagai definisi tunggal kebenaran, tetap relevan sebagai kerangka konseptual yang fleksibel untuk memahami dinamika pengetahuan, makna, dan rasionalitas di era modern.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 40–46.

[2]                W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 41–43.

[3]                Ludwig von Bertalanffy, General System Theory: Foundations, Development, Applications (New York: George Braziller, 1968), 55–60.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 302–308.

[5]                Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.

[6]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 20–21.

[8]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 225–28.


7.           Penutup

Kajian mengenai teori koherensi tentang kebenaran memperlihatkan bahwa teori ini bukan sekadar salah satu alternatif dari teori korespondensi atau pragmatisme, melainkan menawarkan kerangka konseptual yang unik dalam memahami hakikat kebenaran. Secara konseptual, koherensi menekankan bahwa kebenaran bukanlah relasi sederhana antara proposisi dan fakta atomis, melainkan keterpaduan internal dalam suatu sistem keyakinan.¹ Dengan demikian, teori ini menghadirkan sebuah model kebenaran yang menekankan holisme epistemik dan konsistensi logis.²

Dari segi sejarah, teori koherensi telah berkembang melalui perjalanan panjang: mulai dari gagasan harmoni dan totalitas dalam filsafat Yunani, berkembang dalam idealisme Jerman (Hegel), hingga memperoleh formulasi modern dari Bradley dan elaborasi sistematis dari Blanshard.³ Upaya kontemporer oleh Rescher bahkan menunjukkan bahwa teori ini dapat dimodifikasi dengan kriteria tambahan, seperti komprehensivitas dan kekuatan eksplanatoris, agar lebih tangguh menghadapi kritik.⁴

Namun demikian, kritik-kritik utama terhadap teori koherensi tetap relevan untuk diperhatikan. Masalah multiple coherent systems menunjukkan bahwa koherensi internal saja tidak cukup untuk menjamin objektivitas kebenaran.⁵ Begitu juga dengan tuduhan relativisme dan sirkularitas, yang mengingatkan bahwa koherensi berisiko menjadikan kebenaran bergantung pada konsensus internal sebuah sistem tanpa kaitan representasional dengan dunia eksternal.⁶ Kritik dari teori korespondensi menegaskan pentingnya hubungan proposisi dengan realitas non-linguistik, sementara kritik pragmatis menekankan aspek kegunaan praktis yang sering diabaikan koherensi.⁷

Meskipun demikian, relevansi kontemporer teori koherensi tidak dapat dipandang remeh. Dalam filsafat ilmu, koherensi membantu menjelaskan sifat sistemik teori ilmiah yang diverifikasi melalui jaringan data dan model, bukan fakta tunggal.⁸ Dalam hermeneutika, ia berfungsi sebagai dasar keterpaduan makna, sedangkan dalam epistemologi, ia tetap dipakai sebagai kerangka justifikasi keyakinan.⁹ Bahkan dalam wacana postmodern, koherensi memiliki signifikansi untuk menjelaskan legitimasi pluralitas narasi.¹⁰

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori koherensi, meskipun tidak memadai sebagai definisi tunggal kebenaran, tetap berperan penting sebagai kerangka metodologis dan epistemologis. Ia memperkaya perdebatan filosofis tentang kebenaran dengan menekankan keterhubungan sistemik, rasionalitas, dan stabilitas teori.¹¹ Ke depan, tantangan utama bagi teori ini adalah bagaimana mengintegrasikan keunggulan koherensi dengan dimensi representasional (korespondensi) dan dimensi praktis (pragmatisme), sehingga mampu menghadirkan model kebenaran yang lebih komprehensif, seimbang, dan relevan dengan dinamika pengetahuan modern.¹²


Footnotes

[1]                F. H. Bradley, Essays on Truth and Reality (Oxford: Clarendon Press, 1914), 107–12.

[2]                Brand Blanshard, The Nature of Thought, vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1939), 257–65.

[3]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terj. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11–15; Bradley, Essays on Truth and Reality, 118–22.

[4]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 40–55.

[5]                N. Damnjanovic, “The Myth of the Coherence Theory of Truth,” dalam Theories of Truth (London: Palgrave Macmillan, 2013), 77–92.

[6]                Richard Kirkham, Theories of Truth: A Critical Introduction (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–13.

[7]                Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics (Indianapolis: Hackett, 1983), 155–60; William James, Pragmatism (Indianapolis: Hackett, 1981), 95–103.

[8]                W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 41–43.

[9]                Erik J. Olsson, “Coherentist Theories of Epistemic Justification,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2003; rev. 2017), diakses 29 Agustus 2025.

[10]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[11]             Rescher, The Coherence Theory of Truth, 8–15.

[12]             Michael Glanzberg, “Truth,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024), diakses 29 Agustus 2025.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Ed. & Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Blanshard, B. (1939). The nature of thought (Vol. 2). London: George Allen & Unwin.

Bradley, F. H. (1914). Essays on truth and reality. Oxford: Clarendon Press.

Bertalanffy, L. von. (1968). General system theory: Foundations, development, applications. New York: George Braziller.

Damnjanovic, N. (2013). The myth of the coherence theory of truth. In N. Damnjanovic & M. Lynch (Eds.), Theories of truth (pp. 77–92). London: Palgrave Macmillan.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Bloomsbury.

Glanzberg, M. (2024). Truth. In E. N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2024 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

James, W. (1981). Pragmatism. Indianapolis: Hackett.

Kirkham, R. (1992). Theories of truth: A critical introduction. Cambridge, MA: MIT Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Michalos, A. C. (1974). Review of The coherence theory of truth, by N. Rescher. Philosophy of Science, 41(4), 563–564.

Murphy, P. (2006). Coherentism. PhilPapers.

Olsson, E. J. (2017). Coherentist theories of epistemic justification. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2017 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. Cambridge, MA: MIT Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rescher, N. (1973). The coherence theory of truth. Oxford: Clarendon Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin.

Stanford Encyclopedia of Philosophy. (2024). The coherence theory of truth. In E. N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2024 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Tarski, A. (1983). Logic, semantics, metamathematics. Indianapolis: Hackett.

Thomas Aquinas. (n.d.). Summa Theologiae.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar