Jumat, 03 Oktober 2025

Mitologi: Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dalam Peradaban Manusia

Mitologi

Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dalam Peradaban Manusia


Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.

Motologi Atlantis.


Abstrak

Artikel ini membahas mitologi sebagai fenomena universal yang melintasi sejarah, budaya, dan disiplin ilmu. Mitologi dipahami bukan hanya sebagai narasi kuno yang menjelaskan asal-usul kosmos dan kehidupan, tetapi juga sebagai struktur simbolik yang berperan dalam membentuk identitas, nilai moral, serta orientasi eksistensial manusia. Kajian ini dimulai dari pengertian konseptual mitologi dan pembedaan dengan legenda serta dongeng, kemudian menelusuri perkembangan mitologi sejak peradaban kuno Mesopotamia, Mesir, Yunani, India, hingga Nusantara. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi dimensi filosofis, teologis, sosial, budaya, psikologis, dan estetis dari mitos, sekaligus memperlihatkan relevansinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kritik terhadap mitologi dari perspektif rasionalisme dan sains juga dikaji, diikuti refleksi tentang keterbatasannya dalam menjelaskan realitas empiris. Meski demikian, mitologi tetap memiliki peran vital dalam era kontemporer, baik dalam politik, pendidikan, budaya populer, maupun ranah digital. Sintesis filosofis menegaskan bahwa mitos merupakan warisan simbolik umat manusia yang terus bertransformasi, berfungsi sebagai jembatan antara imajinasi, rasionalitas, dan transendensi. Dengan demikian, mitologi harus dipahami bukan sekadar sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai bagian integral dari dinamika pengetahuan dan budaya manusia.

Kata Kunci: Mitologi; Mitos; Filsafat; Teologi; Budaya; Psikologi; Sastra; Teknologi; Identitas; Imajinasi Kolektif.


PEMBAHASAN

Relevansi Mitologi dalam Ilmu Pengetahuan, Agama, dan Budaya


1.           Pendahuluan

Mitologi merupakan salah satu fenomena intelektual dan kultural yang senantiasa hadir dalam sejarah umat manusia. Sejak masa prasejarah hingga era modern, manusia selalu berusaha memahami alam semesta, asal-usul kehidupan, dan makna keberadaan melalui kisah-kisah simbolis yang kemudian disebut sebagai mitos. Dalam konteks ini, mitologi tidak hanya berfungsi sebagai kumpulan cerita yang bersifat fiksi, tetapi juga sebagai sarana untuk mengartikulasikan pengalaman kolektif, keyakinan religius, serta norma-norma sosial yang mengikat suatu komunitas tertentu.¹

Dalam perkembangannya, mitologi sering kali menjadi fondasi bagi lahirnya sistem kepercayaan, agama, bahkan filsafat. Banyak mitos kosmogoni, misalnya, yang berusaha menjelaskan asal-usul dunia dan manusia, menjadi titik awal refleksi metafisis yang kemudian berkembang ke arah pemikiran filosofis.² Pada saat yang sama, mitos juga berperan penting dalam membangun identitas suatu bangsa atau kelompok etnis. Narasi tentang pahlawan, dewa, atau leluhur menjadi instrumen pengikat solidaritas sosial dan peneguh legitimasi politik.³

Meskipun demikian, pandangan terhadap mitologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada era klasik, mitos diperlakukan sebagai medium yang sah untuk memahami realitas. Namun, sejak masa Pencerahan (Enlightenment), mitologi sering dipandang sebagai bentuk “pralogis” atau “prailmiah” yang harus digantikan oleh pengetahuan rasional dan empiris.⁴ Pandangan ini kemudian dikritik oleh sejumlah pemikir modern seperti Mircea Eliade dan Joseph Campbell, yang justru menekankan relevansi abadi mitos sebagai ekspresi simbolis dari pengalaman eksistensial manusia.⁵

Oleh karena itu, penelitian mengenai mitologi memiliki relevansi yang luas dalam bidang filsafat, teologi, antropologi, sosiologi, psikologi, hingga studi sastra dan seni. Kajian ini tidak hanya menelusuri sejarah lahir dan berkembangnya mitos, melainkan juga mengungkap fungsi, makna, serta transformasinya dalam berbagai konteks sosial dan budaya.⁶ Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemahaman komprehensif mengenai mitologi, mulai dari aspek konseptual, historis, filosofis, hingga relevansinya dalam kehidupan kontemporer.


Footnotes

[1]                Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth (New York: Columbia University Press, 1998), 12.

[2]                Philip Freund, Myths of Creation (New York: Washington Square Press, 1965), 8–10.

[3]                Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 45.

[4]                Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 67.

[5]                Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 31–33; Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 2–4.

[6]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 56–58.


2.           Konsep Dasar Mitologi

Mitologi sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani mythos (μῦθος) yang berarti “cerita, wacana, atau perkataan,” dan logos (λόγος) yang berarti “kajian atau penjelasan.” Secara terminologis, mitologi dapat dipahami sebagai studi mengenai mitos, baik dalam dimensi naratif, simbolik, maupun fungsional.¹ Pada tahap awal, mitos dipandang sebagai kisah sakral yang diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sering kali berkaitan dengan asal-usul dunia, para dewa, pahlawan, maupun fenomena alam. Dalam perkembangannya, mitologi dipelajari tidak hanya sebagai bagian dari sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai refleksi terhadap struktur sosial, identitas budaya, dan dinamika psikologis manusia.²

2.1.       Mitologi dan Pembedaan Konsep

Penting untuk membedakan antara mitos, legenda, dan dongeng. Mitos umumnya berkaitan dengan narasi sakral yang menjelaskan fenomena kosmis, keagamaan, atau moralitas yang mendasar.³ Legenda lebih sering dihubungkan dengan tokoh sejarah atau semi-sejarah yang dibumbui dengan unsur keajaiban, seperti cerita kepahlawanan atau asal-usul tempat tertentu.⁴ Sementara itu, dongeng (folktale) biasanya tidak memiliki muatan sakral, melainkan ditujukan untuk hiburan atau pendidikan moral.⁵ Pembedaan ini krusial untuk menghindari generalisasi, meskipun dalam praktiknya, batas antara mitos, legenda, dan dongeng sering kali kabur karena interaksi dan transformasi dalam tradisi lisan.

2.2.       Fungsi Mitos dalam Kehidupan Manusia

Mitos bukan sekadar cerita imajinatif, tetapi memiliki fungsi sosial, psikologis, dan filosofis yang sangat penting. Mircea Eliade menekankan bahwa mitos berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan realitas transenden, menghadirkan makna yang melampaui pengalaman sehari-hari.⁶ Selain itu, Claude Lévi-Strauss melihat mitos sebagai struktur kognitif yang merefleksikan oposisi biner dalam pikiran manusia, seperti kehidupan dan kematian, alam dan budaya, atau laki-laki dan perempuan.⁷

Secara sosiologis, mitos berfungsi sebagai pengikat solidaritas kolektif dan peneguh norma-norma sosial. Mitos kosmogoni, misalnya, memberi legitimasi pada tatanan politik atau sistem adat tertentu.⁸ Dalam perspektif psikologis, Carl Gustav Jung berpendapat bahwa mitos merupakan ekspresi dari collective unconscious, yaitu lapisan terdalam jiwa manusia yang berisi arketipe-arketipe universal.⁹ Oleh karena itu, mitos tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga menggambarkan pola pengalaman manusia yang terus berulang lintas ruang dan waktu.

2.3.       Mitologi sebagai Ilmu dan Kajian Akademik

Sebagai disiplin kajian, mitologi berkembang pesat sejak abad ke-19 dengan lahirnya antropologi, filologi, dan studi agama perbandingan.¹⁰ Pada masa ini, mitologi tidak lagi dipandang semata sebagai takhayul, tetapi sebagai objek ilmiah yang dapat dianalisis untuk memahami pola pikir manusia dan struktur masyarakat. Pendekatan-pendekatan akademik terhadap mitologi mencakup:

1)                  Pendekatan historis-filologis, yang berfokus pada penelusuran asal-usul teks mitos, bahasa, dan konteks kebudayaannya.

2)                  Pendekatan strukturalis, yang memandang mitos sebagai sistem tanda dengan pola tertentu, sebagaimana diteliti oleh Lévi-Strauss.

3)                  Pendekatan fungsionalis, yang menekankan fungsi mitos dalam mempertahankan keteraturan sosial dan nilai budaya.

4)                  Pendekatan psikologis, yang melihat mitos sebagai refleksi dinamika batin manusia dan simbol arketipal.

5)                  Pendekatan fenomenologis dan hermeneutik, yang berusaha memahami mitos sebagai ekspresi pengalaman religius yang khas.

Berbagai pendekatan ini menunjukkan bahwa mitologi merupakan medan kajian multidisipliner yang kaya, dengan relevansi tidak hanya bagi studi agama dan filsafat, tetapi juga untuk antropologi, sosiologi, psikologi, sastra, dan bahkan ilmu politik.

Penutup

Dengan demikian, konsep dasar mitologi mencakup dimensi definisional, pembedaan dengan narasi rakyat lainnya, fungsi multidimensi, dan statusnya sebagai bidang kajian akademik. Mitologi bukan hanya sekumpulan cerita kuno yang kehilangan relevansi, tetapi tetap hidup dalam kesadaran manusia, baik melalui tradisi lisan maupun bentuk modern seperti film, novel, dan permainan digital. Pemahaman yang komprehensif mengenai konsep dasar ini menjadi landasan penting untuk menelusuri perkembangan historis dan relevansi mitologi dalam peradaban manusia.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 2.

[2]                Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth (New York: Columbia University Press, 1998), 15.

[3]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 6.

[4]                Jan Harold Brunvand, The Study of American Folklore (New York: W.W. Norton, 1998), 25.

[5]                Alan Dundes, Folklore Matters (Knoxville: University of Tennessee Press, 1989), 17.

[6]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York: Harcourt, 1959), 95.

[7]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963), 209.

[8]                Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 52.

[9]                Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious (Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.

[10]             Fritz Graf, Greek Mythology: An Introduction (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 3.


3.           Sejarah dan Perkembangan Mitologi

Mitologi, sebagai bentuk narasi kolektif manusia, memiliki sejarah panjang yang berakar sejak peradaban paling awal. Mitos tidak hanya berfungsi sebagai kisah sakral atau hiburan, tetapi juga sebagai instrumen epistemologis yang dipakai manusia untuk memahami dan mengelola realitas. Perjalanan mitologi dari zaman kuno hingga modern menunjukkan transformasi fungsi dan maknanya, mulai dari penjelasan kosmologis hingga simbolisasi identitas budaya.¹

3.1.       Mitologi Kuno: Mesopotamia dan Mesir

Peradaban Mesopotamia menghasilkan beberapa mitos tertua yang tercatat dalam teks tertulis. Epic of Gilgamesh misalnya, bukan hanya kisah kepahlawanan, tetapi juga refleksi atas kefanaan manusia dan pencarian keabadian.² Mitos-mitos lain, seperti kisah penciptaan dalam Enuma Elish, menekankan tatanan kosmos yang lahir dari kekacauan, serta legitimasi kekuasaan dewa-dewa utama seperti Marduk.³ Sementara itu, peradaban Mesir kuno menempatkan mitos sebagai basis religius dan politik. Kisah dewa Osiris, Isis, dan Horus, misalnya, melambangkan siklus kematian dan kebangkitan, serta legitimasi faraon sebagai wakil ilahi di bumi.⁴

3.2.       Mitologi Yunani dan Romawi

Mitologi Yunani adalah salah satu tradisi yang paling berpengaruh dalam sejarah Barat. Dewa-dewi Olimpus, kisah para pahlawan seperti Herakles, dan tragedi seperti Oidipus, menyajikan narasi yang kaya akan simbolisme filosofis dan moral.⁵ Plato bahkan menggunakan mitos sebagai medium untuk menjelaskan konsep filosofis abstrak, seperti dalam Mitos Er tentang kehidupan setelah mati.⁶ Mitologi Romawi kemudian mewarisi dan memodifikasi mitologi Yunani, menekankan pada fungsi politik dan imperium, seperti tampak dalam Aeneid karya Virgil yang digunakan untuk melegitimasi kejayaan Romawi.⁷

3.3.       Mitologi Timur: India, Cina, dan Jepang

Di India, mitologi berkembang dalam tradisi Weda, Purana, dan epos besar seperti Mahabharata dan Ramayana. Mitos-mitos ini tidak hanya menyampaikan nilai religius, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman etika dan hukum (dharma).⁸ Di Cina, mitologi berhubungan erat dengan kosmologi Tao dan Konfusianisme, misalnya kisah Pangu yang membelah langit dan bumi atau dewi Nüwa yang menciptakan manusia.⁹ Jepang, melalui tradisi Kojiki dan Nihon Shoki, menekankan mitos penciptaan kepulauan Jepang dan silsilah ilahi para kaisar dari dewi matahari Amaterasu.¹⁰

3.4.       Mitologi Nusantara

Mitologi di kepulauan Nusantara memperlihatkan keberagaman yang mencerminkan keragaman etnis dan budaya. Di Jawa, kisah wayang yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana berasimilasi dengan nilai lokal, sehingga melahirkan tokoh-tokoh khas seperti Semar.¹¹ Di wilayah Bugis, Sureq Galigo menghadirkan kosmologi penciptaan dunia dan kisah leluhur yang kompleks.¹² Sementara di Kalimantan dan Papua, mitologi kerap berkaitan dengan alam dan roh nenek moyang, yang berfungsi menjaga keseimbangan ekologi dan struktur sosial masyarakat.¹³

3.5.       Transformasi Mitologi dalam Sejarah Modern

Seiring berkembangnya rasionalisme pada masa Pencerahan, mitos sering dipandang sebagai bentuk takhayul yang harus digantikan oleh ilmu pengetahuan.¹⁴ Namun, pada abad ke-19 dan ke-20, para pemikir seperti Friedrich Max Müller, James George Frazer, dan Bronisław Malinowski kembali mengkaji mitologi sebagai bagian penting dari kebudayaan manusia.¹⁵ Di era kontemporer, mitos tidak lagi terbatas pada cerita tradisional, melainkan hadir dalam bentuk “mitologi modern” seperti narasi nasionalisme, ideologi politik, bahkan figur populer dalam budaya massa.¹⁶

Penutup

Sejarah dan perkembangan mitologi menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan entitas hidup yang senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia dalam memahami realitas. Dari Mesopotamia hingga era digital, mitologi bertransformasi namun tetap memegang fungsi dasarnya: memberi makna, menyatukan komunitas, dan menghadirkan simbolisasi pengalaman eksistensial manusia.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 9.

[2]                Andrew George, The Epic of Gilgamesh (London: Penguin Classics, 1999), 23.

[3]                Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia: Creation, the Flood, Gilgamesh, and Others (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–47.

[4]                Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 32.

[5]                Robert Graves, The Greek Myths (London: Penguin Books, 1992), 11–12.

[6]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), 614b–621d.

[7]                Virgil, The Aeneid, trans. Robert Fitzgerald (New York: Vintage Classics, 1990), Book I.

[8]                R. K. Narayan, The Ramayana (New York: Viking, 1972), 5.

[9]                Anne Birrell, Chinese Mythology: An Introduction (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 20.

[10]             Donald L. Philippi, trans., Kojiki (Tokyo: University of Tokyo Press, 1969), 55.

[11]             Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 87.

[12]             Sirtjo Koolhof, The Bugis Poem of La Galigo (Leiden: KITLV Press, 1995), 14–16.

[13]             James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (Jakarta: Grafiti, 1984), 63.

[14]             Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 70.

[15]             James G. Frazer, The Golden Bough (New York: Macmillan, 1922), 15.

[16]             Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 115.


4.           Dimensi Filosofis dan Teologis

Mitologi tidak hanya hadir sebagai kumpulan narasi imajinatif, tetapi juga menyimpan dimensi filosofis dan teologis yang mendalam. Ia merupakan wadah simbolis bagi manusia untuk mengekspresikan pertanyaan fundamental tentang asal-usul, makna, dan tujuan hidup.¹ Dalam pengertian ini, mitos bukan sekadar cerita tradisional, melainkan representasi konseptual yang mendahului lahirnya filsafat dan teologi formal. Keberadaannya memperlihatkan bahwa manusia senantiasa mencari cara untuk memahami realitas kosmik, transendensi, dan eksistensi melalui bahasa simbol.

4.1.       Mitologi sebagai Cikal Bakal Filsafat

Banyak sejarawan filsafat menempatkan mitos sebagai “pra-filosofis,” yakni bentuk awal dari refleksi rasional yang kemudian dimurnikan oleh filsafat.² Pada masa Yunani kuno, mitos kosmogoni seperti karya Hesiodus dalam Theogonia memaparkan asal-usul dewa-dewa, alam semesta, serta keteraturan kosmos.³ Namun, pemikir seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos mulai menggantikan penjelasan mitologis dengan spekulasi rasional tentang prinsip dasar realitas (arkhē).⁴ Meski demikian, transisi ini tidak memutus kesinambungan; Plato dan Aristoteles masih memanfaatkan mitos sebagai sarana pedagogis untuk menjelaskan konsep abstrak. Dalam Politeia, Plato menghadirkan Mitos Er untuk menjelaskan keabadian jiwa dan tanggung jawab moral manusia.⁵ Dengan demikian, mitologi menjadi jembatan antara imajinasi kolektif dan refleksi rasional.

4.2.       Mitologi dalam Perspektif Teologis

Mitologi juga berperan dalam pembentukan sistem kepercayaan dan pemikiran teologis. Kisah-kisah mitologis sering kali mengandung unsur sakral yang dipandang sebagai wahyu primordial. Mircea Eliade menyebut mitos sebagai “sejarah suci” (sacred history) yang memuat peristiwa-peristiwa arketipal dan menjadi model bagi kehidupan religius manusia.⁶ Dalam tradisi Mesir kuno, misalnya, mitos Osiris tidak hanya narasi kosmogoni, tetapi juga basis teologi tentang kematian dan kebangkitan.⁷ Demikian pula dalam tradisi Hindu, kisah dewa-dewa dalam Purana mengartikulasikan prinsip kosmik dan etika dharma.⁸

Pada saat yang sama, teologi Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) menunjukkan sikap ambivalen terhadap mitos. Di satu sisi, narasi kitab suci memiliki struktur mirip mitos dalam menjelaskan asal-usul dunia dan manusia. Di sisi lain, agama-agama ini sering menegaskan bahwa kisah tersebut adalah wahyu ilahi yang membedakan diri dari “mitos pagan.”⁹ Dalam kajian modern, sejumlah teolog menekankan bahwa mitos tidak identik dengan kepalsuan, tetapi merupakan medium simbolis untuk menyampaikan kebenaran teologis yang melampaui bahasa literal.¹⁰

4.3.       Relasi Filosofi, Teologi, dan Mitologi

Hubungan antara filsafat, teologi, dan mitologi dapat dipahami secara dialektis. Filsafat berusaha mengubah mitos menjadi konsep, sementara teologi menafsirkan mitos dalam kerangka iman dan dogma.¹¹ Namun, keduanya tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari dimensi mitologis, karena simbol dan narasi tetap diperlukan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang melampaui rasio.¹² Ernst Cassirer bahkan menyebut mitos sebagai salah satu bentuk simbolis fundamental yang sejajar dengan bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan.¹³

Penutup

Dengan demikian, dimensi filosofis dan teologis dalam mitologi menegaskan bahwa mitos adalah bagian integral dari sejarah intelektual manusia. Ia tidak hanya menginspirasi filsafat dalam menyusun kerangka rasionalitas, tetapi juga menopang teologi dalam mengartikulasikan iman dan pengalaman religius. Mitos, filsafat, dan teologi saling melengkapi dalam upaya memahami realitas dan transendensi, sekaligus membuktikan bahwa manusia selalu memerlukan simbol untuk menggapai makna terdalam kehidupan.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 33.

[2]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New York: Zone Books, 2006), 21.

[3]                Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge: Harvard University Press, 1914), 115–120.

[4]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45–47.

[5]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), 614b–621d.

[6]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 5.

[7]                Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 32–33.

[8]                R. C. Zaehner, Hinduism (Oxford: Oxford University Press, 1966), 44.

[9]                Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology (London: SCM Press, 1984), 3–4.

[10]             Paul Tillich, Theology of Culture (Oxford: Oxford University Press, 1959), 99.

[11]             Karl Jaspers, The Origin and Goal of History (New Haven: Yale University Press, 1953), 45.

[12]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 351.

[13]             Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.


5.           Mitologi dalam Perspektif Ilmu Sosial dan Budaya

Mitologi, selain berfungsi sebagai narasi kosmogoni atau simbol religius, juga memainkan peran fundamental dalam membentuk struktur sosial dan budaya manusia. Mitos bukanlah sekadar produk imajinasi kolektif, melainkan sarana komunikasi nilai, norma, dan identitas.¹ Ia meneguhkan solidaritas sosial, melestarikan tradisi, sekaligus menjadi instrumen legitimasi dalam hubungan kekuasaan. Dengan demikian, mitologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang paling kuat dalam mengikat manusia sebagai makhluk sosial.

5.1.       Mitos sebagai Instrumen Kohesi Sosial

Dalam masyarakat tradisional, mitos berfungsi sebagai kerangka untuk menjelaskan aturan hidup bersama. Ia mengandung legitimasi normatif yang memberi dasar bagi institusi sosial, seperti hukum adat, sistem kekerabatan, dan ritual kolektif.² Misalnya, mitos penciptaan masyarakat Maori di Selandia Baru, yang menekankan hubungan spiritual antara manusia dan alam, secara efektif memperkuat pola interaksi sosial-ekologis.³ Émile Durkheim menyebut mitos dan ritual sebagai bentuk “kesadaran kolektif” yang mengikat individu dalam solidaritas moral.⁴ Dengan kata lain, mitos berfungsi sebagai “lem sosial” yang menjaga keteraturan masyarakat.

5.2.       Mitologi dan Identitas Budaya

Mitos juga menjadi sarana penting untuk membangun dan mempertahankan identitas budaya. Narasi tentang leluhur, pahlawan, atau dewa-dewi khas suatu komunitas berfungsi memperkuat perasaan memiliki (sense of belonging).⁵ Di Nusantara, misalnya, kisah Tutur Tinular dan mitos Panji bukan hanya dongeng hiburan, melainkan narasi yang meneguhkan kejawen dan identitas Jawa.⁶ Di sisi lain, mitos Dayak tentang roh penjaga hutan tidak hanya mengandung unsur spiritual, tetapi juga menegaskan relasi ekologis dan identitas mereka sebagai penjaga alam.⁷ Identitas kolektif ini menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar cerita, tetapi sekaligus perangkat simbolik untuk menegaskan “siapa kita.”

5.3.       Mitologi dalam Ritual dan Tradisi

Fungsi sosial mitos paling nyata terlihat dalam praktik ritual. Setiap upacara adat, dari kelahiran, perkawinan, hingga kematian, sering kali merujuk pada mitos sebagai sumber legitimasi.⁸ Misalnya, dalam masyarakat Bali, mitos tentang Dewa Siwa dan Dewi Uma menjadi dasar upacara Ngaben, yang melambangkan pelepasan jiwa menuju alam baka.⁹ Ritual semacam ini memperlihatkan bahwa mitos tidak hanya diceritakan, tetapi juga dihidupkan kembali dalam tindakan kolektif. Clifford Geertz menekankan bahwa mitos dalam ritual bukan sekadar narasi, melainkan “model of” dan “model for” realitas, yang membentuk sekaligus menuntun perilaku manusia.¹⁰

5.4.       Mitologi dan Struktur Kekuasaan

Selain sebagai sarana integrasi sosial, mitos sering digunakan untuk menopang struktur kekuasaan. Kisah-kisah tentang legitimasi raja atau penguasa kerap dilandasi narasi mitologis.¹¹ Di Jepang, kaisar dianggap sebagai keturunan langsung dewi matahari Amaterasu, sebuah mitos yang berfungsi memperkuat otoritas politik.¹² Di Eropa Abad Pertengahan, mitos mengenai “hak ilahi raja” (divine right of kings) meneguhkan posisi monarki sebagai wakil Tuhan di bumi.¹³ Dengan demikian, mitos berperan tidak hanya dalam kehidupan religius, tetapi juga dalam arena politik, sebagai ideologi yang melanggengkan hegemoni.

5.5.       Mitologi dalam Dinamika Budaya Kontemporer

Meskipun modernitas sering dipandang sebagai era rasionalisasi, mitos tetap bertahan dalam bentuk baru.¹⁴ Dalam masyarakat kontemporer, mitos hadir dalam narasi nasionalisme, iklan komersial, bahkan budaya populer seperti film Star Wars atau tokoh superhero yang menyimbolkan nilai perjuangan dan keadilan.¹⁵ Roland Barthes menyebut fenomena ini sebagai “mitologi modern,” di mana mitos tidak lagi terkait dengan dewa-dewi kuno, melainkan dengan simbol-simbol ideologis yang membentuk kesadaran sosial.¹⁶ Dengan kata lain, mitos masih menjadi bahasa simbolik yang memengaruhi imajinasi kolektif manusia, meski dalam bentuk yang berbeda.

Penutup

Dalam perspektif ilmu sosial dan budaya, mitologi tampil sebagai narasi simbolik yang membangun kohesi sosial, memperkuat identitas kolektif, melegitimasi kekuasaan, dan menghidupi ritual. Ia juga berevolusi menjadi mitos modern yang tetap berfungsi dalam membentuk kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, mitologi bukan sekadar cerita kuno yang usang, melainkan struktur makna yang terus hadir dan bekerja dalam kehidupan sosial manusia, dari masyarakat tradisional hingga era globalisasi.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 42.

[2]                Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology (London: Kegan Paul, 1926), 13.

[3]                Ranginui Walker, Ka Whawhai Tonu Matou: Struggle Without End (Auckland: Penguin, 1990), 25.

[4]                Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 382.

[5]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 19.

[6]                Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 122.

[7]                James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984), 67.

[8]                Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Chicago: Aldine, 1969), 52.

[9]                Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization (New York: Free Press, 1961), 110.

[10]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 93.

[11]             Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 71.

[12]             Donald L. Philippi, trans., Kojiki (Tokyo: University of Tokyo Press, 1969), 55.

[13]             Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 75.

[14]             Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale University Press, 1946), 9.

[15]             Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 169.

[16]             Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 117.


6.           Mitologi dan Psikologi

Mitologi tidak hanya dapat dipahami dalam kerangka historis, filosofis, dan sosiologis, tetapi juga memiliki kedalaman psikologis yang luar biasa. Mitos mengandung simbol-simbol universal yang mencerminkan pengalaman batin manusia, sehingga relevan untuk ditelaah dalam kaitannya dengan psikologi.¹ Kisah-kisah tentang penciptaan, pahlawan, atau pertarungan kosmik tidak sekadar narasi eksternal, melainkan juga representasi dari konflik, aspirasi, dan dinamika psikis manusia. Dengan demikian, mitologi dapat dipandang sebagai cermin jiwa kolektif sekaligus individu.

6.1.       Mitologi sebagai Ekspresi Ketidaksadaran Kolektif

Carl Gustav Jung, salah satu tokoh utama dalam psikologi analitik, memberikan kontribusi penting dalam memahami mitos. Ia memperkenalkan konsep collective unconscious (ketidaksadaran kolektif), yaitu lapisan terdalam dari psikis manusia yang berisi pola-pola dasar atau archetypes.² Arketipe ini muncul dalam berbagai bentuk simbol dan narasi mitologis yang serupa di berbagai kebudayaan. Misalnya, tokoh pahlawan dalam mitos Yunani, mitologi Hindu, maupun kisah kepahlawanan Nusantara, pada dasarnya mencerminkan pola arketipal tentang perjuangan melawan kekacauan dan pencarian jati diri.³

Dalam kerangka ini, mitos tidak dipahami sebagai fiksi belaka, melainkan sebagai ekspresi psikis yang universal. Kisah dewa pencipta atau dewi kesuburan adalah simbolisasi dari potensi kreatif manusia, sedangkan mitos tentang dunia bawah melambangkan ketakutan eksistensial terhadap kematian.⁴ Oleh karena itu, analisis mitologis dalam psikologi membuka jalan untuk memahami pola-pola terdalam jiwa manusia yang bersifat lintas budaya.

6.2.       Fungsi Psikologis Mitos

Mitos memiliki fungsi terapeutik bagi individu maupun masyarakat. Jung menekankan bahwa mitos menyediakan “peta psikis” yang membantu manusia menavigasi kehidupan.⁵ Kisah arketipal seperti perjalanan pahlawan (hero’s journey) memberi model simbolis bagi individu dalam menghadapi krisis, penderitaan, dan transformasi diri. Joseph Campbell kemudian mengembangkan gagasan ini melalui konsep monomyth, yaitu pola naratif universal di mana seorang tokoh meninggalkan dunia biasa, menghadapi ujian, lalu kembali dengan kebijaksanaan baru.⁶

Selain itu, mitos berfungsi untuk mengintegrasikan konflik internal. Misalnya, pertarungan antara dewa dan raksasa dalam banyak tradisi dapat dipahami sebagai simbolisasi konflik antara dorongan naluriah dengan aspirasi moral.⁷ Dalam terapi, mitos dapat membantu individu memahami pengalaman traumatis melalui simbol-simbol yang lebih mudah diterima ketimbang bahasa rasional semata.

6.3.       Mitologi, Simbol, dan Imajinasi

Psikologi simbolik menegaskan bahwa mitos adalah bahasa imajinasi yang menghubungkan kesadaran dengan ketidaksadaran.⁸ Simbol-simbol mitologis, seperti pohon kosmik, naga, atau cahaya ilahi, menghadirkan pengalaman psikis yang sulit dijelaskan secara literal. Simbol ini menyalurkan energi psikis yang memberi makna dan arah hidup bagi individu. Karenanya, mitos dapat dipahami sebagai “kode psikis” yang memungkinkan manusia menemukan orientasi eksistensial.⁹

Dalam perkembangan modern, pendekatan psikologi naratif juga menekankan peran mitos dalam pembentukan identitas diri.¹⁰ Individu kerap menafsirkan kehidupannya dalam bentuk cerita, dan mitos menyediakan pola naratif yang memberi makna lebih luas terhadap pengalaman pribadi. Dengan demikian, mitos tidak hanya bersifat kolektif, tetapi juga berperan dalam konstruksi identitas personal.

Penutup

Mitologi dalam perspektif psikologi memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara simbol mitologis dengan struktur batin manusia. Ia merupakan ekspresi dari ketidaksadaran kolektif, sekaligus sarana terapeutik yang membantu individu menavigasi konflik internal dan perjalanan hidup. Fungsi simbolik dan imajinatif mitos menjadikannya relevan dalam kajian psikologi klasik maupun kontemporer. Dengan demikian, mitos tidak hanya menyimpan nilai budaya, tetapi juga menyediakan “peta jiwa” yang universal bagi manusia.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 57.

[2]                Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious (Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.

[3]                Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton: Princeton University Press, 1949), 30.

[4]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 91.

[5]                Carl Gustav Jung, Symbols of Transformation (Princeton: Princeton University Press, 1956), 112.

[6]                Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton: Princeton University Press, 1949), 36–38.

[7]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963), 211.

[8]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 5.

[9]                Erich Neumann, The Origins and History of Consciousness (Princeton: Princeton University Press, 1954), 145.

[10]             Dan P. McAdams, The Stories We Live By: Personal Myths and the Making of the Self (New York: Guilford Press, 1993), 12.


7.           Mitologi dalam Sastra dan Seni

Mitologi sejak lama menjadi sumber inspirasi utama bagi ekspresi sastra dan seni di berbagai kebudayaan. Narasi tentang para dewa, pahlawan, maupun kosmogoni memberikan kerangka simbolik yang kaya untuk ditransformasikan ke dalam bentuk epos, drama, lukisan, patung, hingga media populer modern.¹ Dengan demikian, mitologi tidak hanya berfungsi sebagai dokumen religius atau sosial, tetapi juga sebagai reservoir imajinasi yang senantiasa diperbarui oleh seniman dan penulis.

7.1.       Mitologi dalam Sastra Klasik

Sastra klasik dunia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh mitologi. Iliad dan Odyssey karya Homer, misalnya, merepresentasikan mitologi Yunani dalam bentuk epik yang memadukan narasi kepahlawanan dengan tema moral dan religius.² Demikian pula, tragedi karya Sophocles seperti Oedipus Rex memanfaatkan kisah mitologis untuk mengungkap dilema eksistensial dan etika manusia.³ Di India, Mahabharata dan Ramayana bukan sekadar epos religius, tetapi juga karya sastra yang membentuk etos budaya dan nilai-nilai etika masyarakat Hindu.⁴ Bahkan dalam tradisi Arab pra-Islam, unsur mitos hadir dalam puisi-puisi suku yang menyinggung tokoh-tokoh legendaris dan kosmologi lokal.⁵

7.2.       Mitologi dalam Sastra Modern

Mitologi tidak berhenti pada karya klasik, tetapi juga dihidupkan kembali dalam sastra modern. James Joyce, melalui Ulysses, merekonstruksi perjalanan Odysseus ke dalam konteks Dublin modern, memperlihatkan bahwa mitos dapat bertransformasi sesuai dengan kebutuhan zaman.⁶ T. S. Eliot dalam puisinya The Waste Land menggabungkan berbagai simbol mitologis lintas budaya untuk menggambarkan krisis spiritual abad ke-20.⁷ Sementara itu, dalam konteks Indonesia, penulis seperti Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono juga menggunakan mitos Nusantara sebagai perangkat simbolik dalam karya sastra kontemporer.⁸

7.3.       Mitologi dalam Seni Rupa dan Patung

Sejak zaman kuno, mitos menjadi tema dominan dalam seni rupa dan patung. Relief-relief pada kuil Yunani dan Romawi menggambarkan dewa-dewi Olimpus, sedangkan candi-candi di Asia Tenggara seperti Borobudur dan Prambanan menampilkan narasi epos Ramayana dan Mahabharata.⁹ Di Renaisans Eropa, seniman seperti Michelangelo dan Botticelli menghidupkan kembali tema mitologis melalui karya monumental, misalnya The Birth of Venus yang melambangkan harmoni dan keindahan ilahi.¹⁰ Representasi visual mitologi tidak hanya bersifat dekoratif, tetapi juga mendidik, karena menyampaikan nilai-nilai kosmologis dan moral kepada masyarakat.

7.4.       Mitologi dalam Musik dan Pertunjukan

Musik dan pertunjukan juga menjadi medium penting bagi mitologi. Opera Barat banyak mengangkat mitos Yunani dan Romawi, seperti karya Richard Wagner yang menafsirkan mitologi Jermanik dalam siklus Der Ring des Nibelungen.¹¹ Di Nusantara, wayang kulit dan tari tradisional Bali menampilkan mitos Hindu-Jawa dalam bentuk dramatik yang kaya simbolisme.¹² Pertunjukan semacam ini memperlihatkan bahwa mitos adalah sumber daya kreatif yang mampu memadukan seni, agama, dan pendidikan.

7.5.       Mitologi dalam Budaya Populer

Pada era modern, mitos bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer. Film-film seperti Star Wars banyak dipengaruhi oleh pola naratif hero’s journey yang dijelaskan Joseph Campbell.¹³ Demikian pula, kisah-kisah superhero dalam komik Marvel atau DC dapat dipahami sebagai mitologi kontemporer yang mencerminkan nilai perjuangan, keadilan, dan pengorbanan.¹⁴ Dengan kata lain, meskipun wujudnya berubah, mitos tetap menjadi inspirasi utama dalam seni modern dan kontemporer.

Penutup

Mitologi dalam sastra dan seni memperlihatkan bagaimana simbol dan narasi kuno terus hidup melalui transformasi kreatif. Dari epos Homer hingga film Hollywood, mitos senantiasa menghadirkan pola-pola universal yang merefleksikan pengalaman manusia. Dengan demikian, mitologi bukan hanya arsip budaya, tetapi juga sumber daya imajinatif yang membentuk estetika, etika, dan identitas manusia lintas zaman.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 61.

[2]                Homer, The Odyssey, trans. Robert Fagles (New York: Penguin, 1996), xii.

[3]                Sophocles, Oedipus Rex, trans. Robert Fagles (New York: Penguin, 1984), 42–44.

[4]                R. K. Narayan, The Mahabharata (New York: Viking, 1978), 3.

[5]                Michael Sells, Desert Tracings: Six Classic Arabian Odes (Middletown: Wesleyan University Press, 1989), 15.

[6]                James Joyce, Ulysses (New York: Random House, 1986), 5.

[7]                T. S. Eliot, The Waste Land (New York: Boni and Liveright, 1922), 20–22.

[8]                Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), 7; Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 55.

[9]                John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (Singapore: Periplus Editions, 1990), 88.

[10]             Giorgio Vasari, Lives of the Artists (Oxford: Oxford University Press, 1998), 156.

[11]             Richard Wagner, Der Ring des Nibelungen (New York: W. W. Norton, 1989), xviii.

[12]             Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980), 112.

[13]             Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton: Princeton University Press, 1949), 36.

[14]             Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin: MonkeyBrain Books, 2006), 54.


8.           Mitologi dalam Perspektif Ilmiah dan Teknologi

Mitologi sering kali dipandang sebagai warisan masa lalu yang tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Namun, pandangan ini terlalu menyederhanakan fungsi mitos. Dalam kenyataannya, mitos tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan, melainkan mengalami transformasi dan adaptasi dalam berbagai bentuk pengetahuan dan praktik kontemporer.¹ Mitologi dapat dibaca sebagai kerangka epistemologis awal yang berusaha menjelaskan fenomena alam, asal-usul kosmos, dan struktur kehidupan, yang kemudian secara bertahap digantikan oleh metode ilmiah. Akan tetapi, unsur-unsur mitologis tetap bertahan dalam cara manusia memandang realitas, bahkan hingga era digital.

8.1.       Mitologi dan Ilmu Alam

Banyak mitos kuno yang berfungsi sebagai penjelasan awal atas fenomena alam. Kosmogoni Mesopotamia, Yunani, dan Mesir, misalnya, berusaha menggambarkan proses penciptaan dunia dengan bahasa simbolis.² Dalam tradisi Yunani, mitos Gaia (Bumi) dan Uranus (Langit) melukiskan keterhubungan antara fenomena kosmik dan kehidupan manusia.³ Demikian pula dalam mitologi Nusantara, kisah pohon kosmik atau naga dunia melambangkan keteraturan ekologis dan siklus kehidupan.⁴ Dalam perspektif sejarah ilmu, mitos-mitos ini dapat dilihat sebagai langkah awal menuju pengetahuan kosmologi dan astronomi, yang kemudian dikembangkan secara rasional oleh ilmuwan seperti Thales, Pythagoras, hingga Copernicus.⁵

8.2.       Mitologi dalam Antropologi dan Etnografi

Antropologi modern menempatkan mitos sebagai kunci untuk memahami struktur sosial dan pola pikir masyarakat tradisional. Claude Lévi-Strauss memandang mitos sebagai “bahasa” yang mengandung oposisi biner dan struktur universal, sementara Bronisław Malinowski menekankan fungsi praktis mitos dalam menopang institusi sosial.⁶ Dengan demikian, mitos tidak hanya menjadi objek folklor, tetapi juga sarana untuk memahami hubungan manusia dengan lingkungan, identitas kolektif, dan sistem kepercayaan. Etnografi modern bahkan melihat mitos sebagai “arsip ekologis” yang mengandung pengetahuan tentang alam, flora, fauna, dan siklus agraris.⁷

8.3.       Mitologi dan Ilmu Psikologi

Dalam psikologi, mitos dipahami sebagai ekspresi ketidaksadaran kolektif yang termanifestasi dalam simbol-simbol arketipal. Carl Gustav Jung menegaskan bahwa mitos mencerminkan pola universal dalam jiwa manusia.⁸ Perspektif ini membuka ruang bagi pemahaman ilmiah tentang bagaimana narasi mitologis dapat membantu individu menavigasi pengalaman traumatis, krisis eksistensial, dan pencarian makna hidup. Dalam hal ini, mitos bukanlah kebalikan dari ilmu, melainkan medium simbolis yang melengkapi pemahaman rasional.

8.4.       Mitologi dalam Era Teknologi Modern

Era teknologi menghadirkan bentuk baru dari mitologi. Roland Barthes menyebut fenomena ini sebagai “mitologi modern,” di mana produk budaya populer, iklan, dan media massa berfungsi layaknya mitos dengan menciptakan narasi simbolis yang membentuk kesadaran kolektif.⁹ Dalam konteks digital, video game, film fantasi, dan komik superhero telah menciptakan mitos-mitos baru yang menggabungkan unsur tradisional dengan simbol teknologi.¹⁰ Tokoh seperti Superman atau Iron Man dapat dipandang sebagai mitologi kontemporer yang menegaskan nilai-nilai keberanian, pengorbanan, dan inovasi.¹¹

Selain itu, teknologi kecerdasan buatan (AI) dan eksplorasi luar angkasa juga memunculkan narasi mitologis baru. Gagasan tentang “singularity” dalam AI sering diperlakukan seperti mitos eskatologis tentang akhir zaman.¹² Begitu pula pencarian kehidupan di luar bumi melahirkan “mitologi sains” baru yang memperluas horizon imajinasi manusia.¹³ Dengan demikian, mitos tidak hilang dalam era teknologi, melainkan terus direkonstruksi untuk memberi makna pada kemajuan ilmiah.

Penutup

Mitologi dalam perspektif ilmiah dan teknologi memperlihatkan bahwa mitos bukanlah antitesis dari ilmu, melainkan fondasi kultural dan simbolis yang menyertai perkembangan pengetahuan manusia. Dari kosmogoni kuno hingga narasi digital modern, mitos senantiasa berfungsi untuk menjembatani keterbatasan rasionalitas manusia dengan kebutuhan akan makna. Oleh karena itu, mitologi harus dipahami bukan sebagai residu irasionalitas, tetapi sebagai komponen integral dari proses ilmiah dan teknologi yang terus membentuk peradaban.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 73.

[2]                Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5.

[3]                Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge: Harvard University Press, 1914), 116.

[4]                James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984), 66.

[5]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 12.

[6]                Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963), 209; Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology (London: Kegan Paul, 1926), 13.

[7]                Darrell Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity (London: UNEP/Earthscan, 1999), 45.

[8]                Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious (Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.

[9]                Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 115.

[10]             Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 163.

[11]             Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin: MonkeyBrain Books, 2006), 54.

[12]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New York: Viking, 2005), 7.

[13]             Steven J. Dick, The Biological Universe: The Twentieth Century Extraterrestrial Life Debate and the Limits of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 91.


9.           Kritik dan Keterbatasan Mitologi

Mitologi, meskipun kaya akan makna simbolik dan berperan penting dalam membentuk kebudayaan, tidak luput dari kritik. Pandangan kritis terhadap mitos muncul seiring dengan berkembangnya rasionalisme, sains modern, dan filsafat Pencerahan yang menekankan logika serta verifikasi empiris.¹ Kritik tersebut biasanya diarahkan pada status kebenaran mitos, fungsi sosialnya, serta keterbatasannya dalam menjelaskan realitas. Pada bagian ini, pembahasan akan difokuskan pada tiga dimensi utama: kritik rasionalis, kritik ilmiah, serta keterbatasan epistemologis mitos.

9.1.       Kritik Rasionalis dan Pencerahan

Sejak masa Yunani kuno, beberapa filsuf mulai mengkritisi mitos. Xenophanes, misalnya, menolak representasi antropomorfis para dewa dalam mitologi Yunani dan menyatakan bahwa manusia cenderung menciptakan dewa sesuai dengan citra mereka sendiri.² Aristoteles kemudian memandang mitos sebagai “cerita” yang berada di luar domain filsafat dan ilmu pengetahuan, meskipun ia masih mengakui fungsi didaktiknya.³ Kritik yang lebih tajam muncul pada masa Pencerahan, ketika tokoh seperti Voltaire dan David Hume menilai mitos sebagai bentuk takhayul yang menghalangi perkembangan akal budi.⁴ Dalam pandangan mereka, mitologi tidak lebih dari warisan irasional yang harus digantikan oleh filsafat kritis dan sains.

9.2.       Kritik Ilmiah dan Modernitas

Dengan munculnya metode ilmiah pada abad ke-17 dan 18, mitos semakin dipinggirkan. Ilmu astronomi, biologi, dan geologi memberikan penjelasan rasional terhadap fenomena yang sebelumnya ditafsirkan melalui mitos.⁵ Misalnya, kisah banjir besar dalam berbagai mitologi dianggap tidak lebih dari interpretasi pralogis atas bencana alam yang kemudian dapat dijelaskan oleh geologi dan klimatologi.⁶ Auguste Comte bahkan menempatkan mitos dalam “tahap teologis” dalam hukum tiga tahap perkembangan pengetahuan manusia, yang pada akhirnya harus digantikan oleh tahap ilmiah-positif.⁷

Namun demikian, kritik ilmiah ini juga menuai tantangan. Sebagian sarjana modern berpendapat bahwa meskipun mitos tidak dapat diverifikasi secara empiris, ia tetap memiliki kebenaran simbolis dan fungsional. Malinowski, misalnya, menegaskan bahwa mitos berfungsi untuk menopang tatanan sosial dan memberikan legitimasi bagi institusi budaya.⁸ Dengan kata lain, keterbatasan mitos sebagai penjelasan faktual tidak mengurangi nilainya sebagai narasi eksistensial dan sosial.

9.3.       Keterbatasan Epistemologis

Keterbatasan utama mitos terletak pada sifat epistemologisnya. Mitos berbicara dalam bahasa simbol, bukan dalam kategori logis atau empiris.⁹ Hal ini membuatnya sulit dipakai sebagai alat verifikasi kebenaran ilmiah. Selain itu, karena disampaikan melalui tradisi lisan, mitos rentan mengalami perubahan, interpretasi ulang, bahkan manipulasi ideologis.¹⁰ Barthes menunjukkan bahwa mitos modern dalam media massa sering kali berfungsi sebagai ideologi terselubung yang mengukuhkan hegemoni sosial.¹¹ Dengan demikian, mitos dapat menjadi instrumen kekuasaan yang membatasi kebebasan berpikir kritis.

Di sisi lain, keterbatasan mitos juga menyangkut sifat partikularnya. Setiap mitos terkait dengan konteks budaya tertentu, sehingga universalitasnya sering kali bersifat relatif.¹² Apa yang dianggap sakral di satu kebudayaan bisa jadi dipandang sebagai legenda biasa di kebudayaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa mitos, meskipun kaya akan makna, tidak dapat dijadikan dasar pengetahuan universal yang objektif.

Penutup

Kritik dan keterbatasan mitologi menegaskan bahwa mitos bukanlah sarana untuk menjelaskan realitas empiris secara rasional. Ia tidak mampu memenuhi standar verifikasi ilmiah dan cenderung bersifat partikular serta simbolis. Namun, justru dalam keterbatasannya itulah mitos menemukan nilai: ia tetap berfungsi sebagai narasi yang memberi makna, menopang identitas, dan menghadirkan simbolisasi eksistensi manusia. Kritik rasional dan ilmiah memang membatasi ruang mitos, tetapi tidak dapat menghapuskan relevansinya dalam ranah kultural dan simbolis.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 81.

[2]                Xenophanes, fragmen dalam Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin, 1987), 88.

[3]                Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath (London: Penguin, 1996), 1451b.

[4]                David Hume, The Natural History of Religion (London: A. and H. Bradlaugh Bonner, 1889), 21; Voltaire, Philosophical Dictionary (London: Penguin, 2005), 56.

[5]                Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale University Press, 1946), 9.

[6]                Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia (Oxford: Oxford University Press, 2000), 31.

[7]                Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 5.

[8]                Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology (London: Kegan Paul, 1926), 13.

[9]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 12.

[10]             James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984), 77.

[11]             Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 129.

[12]             Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth (New York: Columbia University Press, 1998), 45.


10.       Relevansi Mitologi dalam Konteks Kontemporer

Mitologi, meskipun berakar pada narasi kuno, tidak pernah kehilangan relevansinya dalam kehidupan modern. Dalam konteks kontemporer, mitos terus bertransformasi dan menemukan bentuk baru, baik dalam politik, pendidikan, media massa, maupun budaya global.¹ Kehadirannya tidak lagi terbatas pada ritual keagamaan atau folklor, tetapi juga melekat pada konstruksi identitas nasional, wacana ideologis, dan narasi populer yang mengisi ruang publik. Dengan demikian, mitos tetap menjadi instrumen penting dalam membentuk cara manusia memahami dirinya dan dunia di sekitarnya.

10.1.    Mitologi dan Politik

Mitos sering berperan dalam membangun legitimasi politik. Di banyak negara, narasi tentang “pendiri bangsa,” “pahlawan revolusi,” atau “masa kejayaan” dimobilisasi sebagai mitos politik untuk memperkuat identitas nasional dan menanamkan loyalitas kolektif.² Di Indonesia, misalnya, kisah kepahlawanan tokoh-tokoh kemerdekaan kerap diposisikan dalam kerangka mitologis untuk mempertegas legitimasi moral perjuangan bangsa.³ Demikian pula, di Amerika Serikat, narasi tentang American Dream berfungsi sebagai mitos modern yang membentuk ideologi nasional.⁴ Dengan demikian, mitos berperan sebagai alat ideologis yang mengikat masyarakat dalam simbol kolektif, meski seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.

10.2.    Mitologi dalam Pendidikan dan Psikologi Sosial

Dalam dunia pendidikan, mitos berfungsi sebagai medium pedagogis yang menyampaikan nilai moral, etika, dan identitas budaya.⁵ Kisah-kisah mitologis tetap diajarkan di sekolah, baik dalam bentuk sastra klasik maupun cerita rakyat, karena dianggap mampu menginternalisasikan nilai-nilai universal seperti keberanian, kejujuran, dan pengorbanan.⁶ Dalam ranah psikologi sosial, mitos berfungsi sebagai narasi kolektif yang memberi makna pada pengalaman hidup manusia, khususnya dalam menghadapi krisis. Carl Gustav Jung menegaskan bahwa simbol-simbol mitologis berfungsi sebagai arketipe yang menuntun individu dalam perjalanan eksistensialnya.⁷ Hal ini menjelaskan mengapa mitos terus dipertahankan sebagai sarana terapeutik dan sumber inspirasi dalam masyarakat modern.

10.3.    Mitologi dan Media Populer

Budaya populer adalah salah satu arena utama kelanjutan mitologi. Film, komik, dan serial televisi banyak mengambil struktur naratif mitologis untuk menciptakan kisah yang resonan secara emosional.⁸ Narasi hero’s journey yang dipopulerkan Joseph Campbell menjadi pola dasar bagi banyak film populer, termasuk Star Wars yang telah diakui secara luas sebagai mitos modern.⁹ Demikian pula, kisah-kisah superhero dalam komik Marvel dan DC mencerminkan mitologi baru yang berbicara tentang moralitas, keadilan, dan kekuasaan dalam bingkai kontemporer.¹⁰ Dengan demikian, media populer berfungsi sebagai medium transformasi mitologi, menjadikannya relevan dalam imajinasi masyarakat global.

10.4.    Mitologi dalam Era Globalisasi dan Digital

Globalisasi memperluas jangkauan mitos, menjadikannya lintas budaya dan universal. Simbol-simbol mitologis kini dapat diakses secara instan melalui internet, menjadikan mitos tidak lagi terbatas pada komunitas lokal.¹¹ Bahkan, muncul bentuk “mitologi digital,” di mana narasi dan simbol baru berkembang dalam ruang virtual. Contoh fenomena ini adalah lahirnya mitos seputar teknologi kecerdasan buatan, perjalanan luar angkasa, atau teori konspirasi global yang berfungsi layaknya narasi mitologis bagi sebagian masyarakat.¹² Dalam hal ini, mitos beradaptasi dengan lanskap digital sebagai sarana membentuk realitas sosial baru.

Penutup

Relevansi mitologi dalam konteks kontemporer menegaskan bahwa mitos tidak pernah mati, melainkan senantiasa bertransformasi. Ia hadir dalam politik sebagai legitimasi ideologis, dalam pendidikan sebagai sarana moral, dalam budaya populer sebagai hiburan dan refleksi nilai, serta dalam dunia digital sebagai konstruksi realitas baru. Dengan demikian, mitos tetap menjadi instrumen fundamental dalam dinamika budaya manusia, baik sebagai cermin identitas maupun sebagai pendorong imajinasi kolektif.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 95.

[2]                Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 71.

[3]                Harsya W. Bachtiar, Sejarah dan Mitos dalam Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1983), 22.

[4]                Jim Cullen, The American Dream: A Short History of an Idea that Shaped a Nation (Oxford: Oxford University Press, 2003), 6.

[5]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 19.

[6]                Alan Dundes, Folklore Matters (Knoxville: University of Tennessee Press, 1989), 45.

[7]                Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious (Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.

[8]                T. S. Eliot, On Poetry and Poets (London: Faber & Faber, 1957), 95.

[9]                Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton: Princeton University Press, 1949), 36.

[10]             Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin: MonkeyBrain Books, 2006), 54.

[11]             Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (London: Sage, 1992), 27.

[12]             Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 120.


11.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

Kajian mengenai mitologi dari berbagai dimensi—historis, filosofis, teologis, sosiologis, psikologis, hingga ilmiah—menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar narasi kuno, melainkan struktur simbolik yang senantiasa hadir dalam perjalanan peradaban manusia.¹ Ia berfungsi sebagai sarana untuk memahami kosmos, menafsirkan pengalaman eksistensial, serta membentuk identitas kolektif. Dalam refleksi filosofis, mitologi dapat dipandang sebagai jembatan antara imajinasi dan rasionalitas, antara keterbatasan bahasa manusia dan kerinduan akan makna transendental.²

11.1.    Mitologi sebagai Ekspresi Ontologis

Secara ontologis, mitos merepresentasikan upaya manusia untuk menjawab pertanyaan fundamental tentang asal-usul, eksistensi, dan tujuan.³ Meskipun jawaban yang diberikan bersifat simbolik, mitos menghadirkan kerangka eksistensial yang memungkinkan manusia memposisikan dirinya di antara kosmos dan transendensi. Dengan demikian, mitos dapat dipandang sebagai bentuk awal dari “filsafat hidup,” yakni refleksi tentang keberadaan manusia dalam keterhubungan dengan dunia dan yang sakral.⁴

11.2.    Mitologi dan Epistemologi

Dari sisi epistemologis, mitos menunjukkan keterbatasannya ketika dihadapkan pada tuntutan verifikasi ilmiah. Namun, mitos tetap memiliki nilai kognitif dalam bentuk kebenaran simbolis.⁵ Paul Ricoeur menegaskan bahwa mitos adalah bahasa simbol yang “mengatakan lebih dari yang bisa dikatakan,” yakni menyampaikan realitas yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh konsep rasional.⁶ Dalam kerangka ini, mitos bukan sekadar ilusi, melainkan cara lain manusia memahami dunia melalui narasi dan imajinasi kolektif.

11.3.    Mitologi dalam Dimensi Aksiologis

Pada dimensi aksiologis, mitos memiliki peran penting dalam menanamkan nilai moral, etika, dan spiritual.⁷ Kisah kepahlawanan, pengorbanan, dan pencarian kebenaran dalam mitos berfungsi sebagai teladan normatif yang membentuk perilaku dan etos masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mitos tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga memberi orientasi etis dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, mitos dapat dipandang sebagai sumber inspirasi moral yang memperkaya kehidupan kolektif maupun personal.

11.4.    Dialektika Antara Mitos, Filsafat, dan Sains

Dalam refleksi filosofis, relasi antara mitos, filsafat, dan sains tidak seharusnya dipahami dalam kerangka oposisi mutlak.⁸ Mitos menyediakan horizon simbolik, filsafat mengartikulasikannya secara rasional, dan sains mengujinya melalui metode empiris. Dengan demikian, ketiganya membentuk dialektika yang saling melengkapi. Ernst Cassirer bahkan menyebut mitos, seni, bahasa, agama, dan sains sebagai “bentuk-bentuk simbolis” yang sejajar dalam usaha manusia memahami realitas.⁹ Melalui kerangka ini, mitos tidak dipandang inferior, melainkan sebagai bagian integral dari keragaman epistemologi manusia.

11.5.    Refleksi Akhir: Mitologi dan Makna Hidup

Refleksi filosofis atas mitologi pada akhirnya mengarah pada pemahaman bahwa manusia selalu membutuhkan narasi untuk memberi makna pada hidup. Narasi mitologis memungkinkan manusia menghadapi keterbatasan, penderitaan, dan misteri eksistensi dengan simbol-simbol yang memberi penghiburan sekaligus orientasi.¹⁰ Dalam dunia modern yang semakin dikuasai oleh rasionalitas dan teknologi, mitos tetap hadir dalam bentuk baru—baik dalam politik, pendidikan, budaya populer, maupun dunia digital—untuk menjawab kebutuhan abadi manusia akan makna.¹¹

Penutup

Sintesis ini menunjukkan bahwa mitos bukanlah sekadar artefak masa lalu, tetapi refleksi filosofis yang hidup. Ia mengandung nilai ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang tetap relevan. Dengan demikian, mitologi dapat dipandang sebagai warisan abadi umat manusia, yang terus menuntun perjalanan kita dalam mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 101.

[2]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 12.

[3]                Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth (New York: Columbia University Press, 1998), 17.

[4]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New York: Zone Books, 2006), 33.

[5]                Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale University Press, 1946), 25.

[6]                Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 351.

[7]                Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 109.

[8]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 44.

[9]                Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.

[10]             Carl Gustav Jung, Symbols of Transformation (Princeton: Princeton University Press, 1956), 113.

[11]             Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 125.


12.       Penutup

Kajian mengenai mitologi memperlihatkan betapa luas dan kompleksnya peran mitos dalam kehidupan manusia. Sejak masa prasejarah hingga era digital, mitos senantiasa hadir sebagai instrumen kognitif, simbolik, sosial, dan spiritual yang memberikan makna pada realitas.¹ Ia tidak hanya menjelaskan asal-usul dunia dan kehidupan melalui narasi kosmogoni, tetapi juga membentuk kerangka moral, memperkuat identitas kolektif, serta menyediakan medium refleksi filosofis dan teologis.² Dengan demikian, mitologi bukanlah sekadar warisan masa lalu, melainkan fenomena kultural yang terus hidup dan bertransformasi sesuai dengan dinamika zaman.

Kajian historis menunjukkan bahwa mitologi merupakan bagian integral dari peradaban kuno seperti Mesopotamia, Mesir, Yunani, India, hingga Nusantara.³ Di sisi filosofis dan teologis, mitos tampil sebagai jembatan antara imajinasi dan rasionalitas, menghubungkan manusia dengan realitas transendental.⁴ Dari perspektif sosial dan budaya, mitos berfungsi menjaga kohesi sosial, melestarikan tradisi, dan mengukuhkan struktur kekuasaan.⁵ Sementara itu, psikologi menemukan bahwa mitos mencerminkan arketipe kolektif yang menuntun individu dalam perjalanan eksistensialnya.⁶

Dalam era modern, mitologi tidak lenyap, melainkan hadir dalam bentuk baru. Media populer, politik, pendidikan, bahkan teknologi digital, menjadi wadah bagi kelahiran “mitos kontemporer” yang menggantikan peran narasi tradisional.⁷ Fenomena ini menegaskan bahwa mitos tidak dapat dipisahkan dari cara manusia memberi makna pada dunia. Ia mungkin kehilangan klaim faktualitas empiris, tetapi tetap menyimpan kebenaran simbolis yang mendalam.

Secara filosofis, mitos menyuarakan keterbatasan sekaligus potensi manusia. Ia menunjukkan bahwa akal budi rasional tidak pernah sepenuhnya memadai tanpa simbol dan imajinasi.⁸ Sebaliknya, mitos yang dibiarkan tanpa kritik dapat berubah menjadi ideologi yang mengekang kebebasan berpikir. Oleh karena itu, mitologi harus dipahami dalam keseimbangan: bukan sebagai fakta empiris yang absolut, melainkan sebagai narasi simbolis yang memberi arah, nilai, dan identitas.

Sebagai penutup, mitologi adalah warisan universal umat manusia yang tetap relevan lintas ruang dan waktu. Ia mengajarkan bahwa di balik keragaman narasi dan simbol, terdapat pencarian yang sama: usaha manusia untuk memahami dirinya, kosmos, dan yang transenden.⁹ Dengan demikian, mempelajari mitologi berarti mempelajari hakikat kemanusiaan itu sendiri—sebuah perjalanan tanpa akhir menuju makna.


Footnotes

[1]                Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 101.

[2]                Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row, 1963), 12–15.

[3]                Andrew George, The Epic of Gilgamesh (London: Penguin Classics, 1999), 23; Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 32.

[4]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), 614b–621d.

[5]                Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 382.

[6]                Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious (Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.

[7]                Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 169; Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957), 117.

[8]                Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.

[9]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New York: Zone Books, 2006), 33.


Daftar Pustaka

Barthes, R. (1957). Mythologies. Paris: Éditions du Seuil.

Bachtiar, H. W. (1983). Sejarah dan mitos dalam politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Birrell, A. (1993). Chinese mythology: An introduction. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Bloom, A. (Trans.). (1968). The Republic (Plato). New York: Basic Books.

Brunvand, J. H. (1998). The study of American folklore. New York: W. W. Norton.

Campbell, J. (1949). The hero with a thousand faces. Princeton: Princeton University Press.

Campbell, J. (1988). The power of myth. New York: Doubleday.

Cassirer, E. (1946). The myth of the state. New Haven: Yale University Press.

Cassirer, E. (1955). The philosophy of symbolic forms, Vol. 2: Mythical thought. New Haven: Yale University Press.

Cogan, P. (2006). Superhero: The secret origin of a genre. Austin: MonkeyBrain Books.

Comte, A. (1896). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). London: George Bell.

Cullen, J. (2003). The American dream: A short history of an idea that shaped a nation. Oxford: Oxford University Press.

Dalley, S. (2000). Myths from Mesopotamia: Creation, the flood, Gilgamesh, and others. Oxford: Oxford University Press.

Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Doniger, W. (1998). The implied spider: Politics and theology in myth. New York: Columbia University Press.

Durkheim, É. (1995). The elementary forms of religious life (K. E. Fields, Trans.). New York: Free Press. (Original work published 1912)

Dundes, A. (1989). Folklore matters. Knoxville: University of Tennessee Press.

Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion. New York: Harcourt.

Eliade, M. (1963). Myth and reality. New York: Harper & Row.

Eliot, T. S. (1922). The waste land. New York: Boni and Liveright.

Eliot, T. S. (1957). On poetry and poets. London: Faber & Faber.

Frazer, J. G. (1922). The golden bough. New York: Macmillan.

Freund, P. (1965). Myths of creation. New York: Washington Square Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Geertz, C. (1980). Negara: The theatre state in nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.

Geertz, H. (1961). The Javanese family: A study of kinship and socialization. New York: Free Press.

George, A. (1999). The epic of Gilgamesh. London: Penguin Classics.

Graves, R. (1992). The Greek myths. London: Penguin Books.

Graf, F. (1993). Greek mythology: An introduction. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy: The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press.

Hesiod. (1914). Theogony (H. G. Evelyn-White, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Hume, D. (1889). The natural history of religion. London: A. and H. Bradlaugh Bonner.

Jaspers, K. (1953). The origin and goal of history. New Haven: Yale University Press.

Joyce, J. (1986). Ulysses. New York: Random House.

Jung, C. G. (1956). Symbols of transformation. Princeton: Princeton University Press.

Jung, C. G. (1981). The archetypes and the collective unconscious. Princeton: Princeton University Press.

Kantorowicz, E. H. (1957). The king’s two bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton: Princeton University Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near. New York: Viking.

Levi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology. New York: Basic Books.

Lincoln, B. (1999). Theorizing myth: Narrative, ideology, and scholarship. Chicago: University of Chicago Press.

Magnis-Suseno, F. (1993). Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Malinowski, B. (1926). Myth in primitive psychology. London: Kegan Paul.

McAdams, D. P. (1993). The stories we live by: Personal myths and the making of the self. New York: Guilford Press.

Miksic, J. (1990). Borobudur: Golden tales of the Buddhas. Singapore: Periplus Editions.

Narayan, R. K. (1972). The Ramayana. New York: Viking.

Narayan, R. K. (1978). The Mahabharata. New York: Viking.

Neumann, E. (1954). The origins and history of consciousness. Princeton: Princeton University Press.

Philippi, D. L. (Trans.). (1969). Kojiki. Tokyo: University of Tokyo Press.

Pinch, G. (2004). Egyptian myth: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Posey, D. A. (1999). Cultural and spiritual values of biodiversity. London: UNEP/Earthscan.

Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil. Boston: Beacon Press.

Robertson, R. (1992). Globalization: Social theory and global culture. London: Sage.

Segal, R. A. (2004). Myth: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Sells, M. (1989). Desert tracings: Six classic Arabian odes. Middletown: Wesleyan University Press.

Seno, G. A. (2004). Kitab omong kosong. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Sophocles. (1984). Oedipus Rex (R. Fagles, Trans.). New York: Penguin.

Tillich, P. (1959). Theology of culture. Oxford: Oxford University Press.

Turner, V. (1969). The ritual process: Structure and anti-structure. Chicago: Aldine.

Vasari, G. (1998). Lives of the artists. Oxford: Oxford University Press.

Vernant, J.-P. (2006). Myth and thought among the Greeks. New York: Zone Books.

Virgil. (1990). The Aeneid (R. Fitzgerald, Trans.). New York: Vintage Classics.

Voltaire. (2005). Philosophical dictionary. London: Penguin.

Wagner, R. (1989). Der Ring des Nibelungen. New York: W. W. Norton.

Walker, R. (1990). Ka whawhai tonu matou: Struggle without end. Auckland: Penguin.

Zaehner, R. C. (1966). Hinduism. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar