Mitologi
Sejarah, Konsep, dan
Relevansinya dalam Peradaban Manusia
Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas mitologi sebagai fenomena
universal yang melintasi sejarah, budaya, dan disiplin ilmu. Mitologi dipahami
bukan hanya sebagai narasi kuno yang menjelaskan asal-usul kosmos dan
kehidupan, tetapi juga sebagai struktur simbolik yang berperan dalam membentuk
identitas, nilai moral, serta orientasi eksistensial manusia. Kajian ini
dimulai dari pengertian konseptual mitologi dan pembedaan dengan legenda serta
dongeng, kemudian menelusuri perkembangan mitologi sejak peradaban kuno
Mesopotamia, Mesir, Yunani, India, hingga Nusantara. Selanjutnya, artikel ini
mengeksplorasi dimensi filosofis, teologis, sosial, budaya, psikologis, dan
estetis dari mitos, sekaligus memperlihatkan relevansinya dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Kritik terhadap mitologi dari perspektif
rasionalisme dan sains juga dikaji, diikuti refleksi tentang keterbatasannya
dalam menjelaskan realitas empiris. Meski demikian, mitologi tetap memiliki
peran vital dalam era kontemporer, baik dalam politik, pendidikan, budaya
populer, maupun ranah digital. Sintesis filosofis menegaskan bahwa mitos
merupakan warisan simbolik umat manusia yang terus bertransformasi, berfungsi
sebagai jembatan antara imajinasi, rasionalitas, dan transendensi. Dengan
demikian, mitologi harus dipahami bukan sekadar sebagai peninggalan masa lalu,
tetapi sebagai bagian integral dari dinamika pengetahuan dan budaya manusia.
Kata Kunci: Mitologi; Mitos; Filsafat; Teologi; Budaya;
Psikologi; Sastra; Teknologi; Identitas; Imajinasi Kolektif.
PEMBAHASAN
Relevansi Mitologi dalam Ilmu
Pengetahuan, Agama, dan Budaya
1.
Pendahuluan
Mitologi merupakan
salah satu fenomena intelektual dan kultural yang senantiasa hadir dalam
sejarah umat manusia. Sejak masa prasejarah hingga era modern, manusia selalu
berusaha memahami alam semesta, asal-usul kehidupan, dan makna keberadaan
melalui kisah-kisah simbolis yang kemudian disebut sebagai mitos. Dalam konteks
ini, mitologi tidak hanya berfungsi sebagai kumpulan cerita yang bersifat
fiksi, tetapi juga sebagai sarana untuk mengartikulasikan pengalaman kolektif,
keyakinan religius, serta norma-norma
sosial yang mengikat suatu komunitas tertentu.¹
Dalam
perkembangannya, mitologi sering kali menjadi fondasi bagi lahirnya sistem
kepercayaan, agama, bahkan filsafat. Banyak mitos kosmogoni, misalnya, yang
berusaha menjelaskan asal-usul dunia dan manusia, menjadi titik awal refleksi metafisis yang kemudian berkembang
ke arah pemikiran filosofis.² Pada saat yang sama, mitos juga berperan penting
dalam membangun identitas suatu bangsa atau kelompok etnis. Narasi tentang
pahlawan, dewa, atau leluhur menjadi instrumen pengikat solidaritas sosial dan
peneguh legitimasi politik.³
Meskipun demikian,
pandangan terhadap mitologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada era
klasik, mitos diperlakukan sebagai medium yang sah untuk memahami realitas.
Namun, sejak masa Pencerahan (Enlightenment), mitologi sering dipandang sebagai
bentuk “pralogis” atau “prailmiah”
yang harus digantikan oleh pengetahuan rasional dan empiris.⁴ Pandangan ini
kemudian dikritik oleh sejumlah pemikir modern seperti Mircea Eliade dan Joseph
Campbell, yang justru menekankan relevansi
abadi mitos sebagai ekspresi simbolis dari pengalaman eksistensial manusia.⁵
Oleh karena itu,
penelitian mengenai mitologi memiliki relevansi yang luas dalam bidang
filsafat, teologi, antropologi, sosiologi, psikologi, hingga studi sastra dan
seni. Kajian ini tidak hanya menelusuri sejarah lahir dan berkembangnya mitos,
melainkan juga mengungkap fungsi, makna, serta transformasinya dalam berbagai konteks sosial dan budaya.⁶
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemahaman komprehensif mengenai
mitologi, mulai dari aspek konseptual, historis, filosofis, hingga relevansinya
dalam kehidupan kontemporer.
Footnotes
[1]
Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth
(New York: Columbia University Press, 1998), 12.
[2]
Philip Freund, Myths of Creation (New York: Washington Square
Press, 1965), 8–10.
[3]
Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and
Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 45.
[4]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical
Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 67.
[5]
Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday,
1988), 31–33; Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper &
Row, 1963), 2–4.
[6]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 56–58.
2.
Konsep Dasar Mitologi
Mitologi sebagai
sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani mythos (μῦθος) yang berarti
“cerita, wacana, atau perkataan,” dan logos (λόγος) yang berarti “kajian
atau penjelasan.” Secara terminologis, mitologi dapat dipahami sebagai studi
mengenai mitos, baik dalam dimensi naratif, simbolik, maupun fungsional.¹ Pada
tahap awal, mitos dipandang sebagai kisah sakral yang diturunkan secara lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, sering kali berkaitan dengan asal-usul dunia, para dewa,
pahlawan, maupun fenomena alam. Dalam perkembangannya, mitologi dipelajari
tidak hanya sebagai bagian dari sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai
refleksi terhadap struktur sosial, identitas budaya, dan dinamika psikologis
manusia.²
2.1.
Mitologi dan
Pembedaan Konsep
Penting untuk
membedakan antara mitos, legenda, dan dongeng. Mitos umumnya berkaitan dengan
narasi sakral yang menjelaskan fenomena kosmis, keagamaan, atau moralitas yang
mendasar.³ Legenda lebih sering dihubungkan dengan tokoh sejarah atau
semi-sejarah yang dibumbui dengan unsur keajaiban, seperti cerita kepahlawanan
atau asal-usul tempat tertentu.⁴ Sementara itu, dongeng (folktale)
biasanya tidak memiliki muatan sakral, melainkan ditujukan untuk hiburan atau
pendidikan moral.⁵ Pembedaan
ini krusial untuk menghindari generalisasi, meskipun dalam praktiknya, batas
antara mitos, legenda, dan dongeng sering kali kabur karena interaksi dan
transformasi dalam tradisi lisan.
2.2.
Fungsi Mitos dalam
Kehidupan Manusia
Mitos bukan sekadar
cerita imajinatif, tetapi memiliki fungsi sosial, psikologis, dan filosofis
yang sangat penting. Mircea Eliade menekankan bahwa mitos berfungsi untuk
menghubungkan manusia dengan realitas transenden, menghadirkan makna yang
melampaui pengalaman sehari-hari.⁶ Selain itu, Claude Lévi-Strauss melihat
mitos sebagai struktur kognitif
yang merefleksikan oposisi biner dalam pikiran manusia, seperti kehidupan dan
kematian, alam dan budaya, atau laki-laki dan perempuan.⁷
Secara sosiologis,
mitos berfungsi sebagai pengikat solidaritas kolektif dan peneguh norma-norma
sosial. Mitos kosmogoni, misalnya, memberi legitimasi pada tatanan politik atau
sistem adat tertentu.⁸ Dalam perspektif psikologis, Carl Gustav Jung
berpendapat bahwa mitos merupakan ekspresi dari collective unconscious, yaitu
lapisan terdalam jiwa manusia
yang berisi arketipe-arketipe universal.⁹ Oleh karena itu, mitos tidak hanya
berbicara tentang masa lalu, tetapi juga menggambarkan pola pengalaman manusia
yang terus berulang lintas ruang dan waktu.
2.3.
Mitologi sebagai
Ilmu dan Kajian Akademik
Sebagai disiplin
kajian, mitologi berkembang pesat sejak abad ke-19 dengan lahirnya antropologi,
filologi, dan studi agama perbandingan.¹⁰ Pada masa ini, mitologi tidak lagi
dipandang semata sebagai takhayul, tetapi sebagai objek ilmiah yang dapat dianalisis untuk memahami pola pikir
manusia dan struktur masyarakat. Pendekatan-pendekatan akademik terhadap
mitologi mencakup:
1)
Pendekatan
historis-filologis, yang berfokus pada penelusuran asal-usul
teks mitos, bahasa, dan konteks kebudayaannya.
2)
Pendekatan strukturalis,
yang memandang mitos sebagai sistem tanda dengan pola tertentu, sebagaimana
diteliti oleh Lévi-Strauss.
3)
Pendekatan fungsionalis,
yang menekankan fungsi mitos dalam mempertahankan keteraturan sosial dan nilai
budaya.
4)
Pendekatan psikologis,
yang melihat mitos sebagai refleksi dinamika batin manusia dan simbol
arketipal.
5)
Pendekatan
fenomenologis dan hermeneutik, yang berusaha memahami mitos
sebagai ekspresi pengalaman religius yang khas.
Berbagai pendekatan
ini menunjukkan bahwa mitologi merupakan medan kajian multidisipliner yang
kaya, dengan relevansi tidak hanya bagi studi agama dan filsafat, tetapi juga
untuk antropologi, sosiologi, psikologi, sastra, dan bahkan ilmu politik.
Penutup
Dengan demikian,
konsep dasar mitologi mencakup dimensi definisional, pembedaan dengan narasi
rakyat lainnya, fungsi multidimensi, dan statusnya sebagai bidang kajian
akademik. Mitologi bukan hanya sekumpulan cerita kuno yang kehilangan relevansi,
tetapi tetap hidup dalam kesadaran manusia, baik melalui tradisi lisan maupun
bentuk modern seperti film, novel, dan permainan digital. Pemahaman yang
komprehensif mengenai konsep dasar ini
menjadi landasan penting untuk menelusuri perkembangan historis dan relevansi
mitologi dalam peradaban manusia.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 2.
[2]
Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth
(New York: Columbia University Press, 1998), 15.
[3]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 6.
[4]
Jan Harold Brunvand, The Study of American Folklore (New York:
W.W. Norton, 1998), 25.
[5]
Alan Dundes, Folklore Matters (Knoxville: University of
Tennessee Press, 1989), 17.
[6]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion
(New York: Harcourt, 1959), 95.
[7]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic
Books, 1963), 209.
[8]
Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and
Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 52.
[9]
Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.
[10]
Fritz Graf, Greek Mythology: An Introduction (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1993), 3.
3.
Sejarah dan Perkembangan Mitologi
Mitologi, sebagai
bentuk narasi kolektif manusia, memiliki sejarah panjang yang berakar sejak
peradaban paling awal. Mitos tidak hanya berfungsi sebagai kisah sakral atau
hiburan, tetapi juga sebagai instrumen epistemologis yang dipakai manusia untuk
memahami dan mengelola realitas. Perjalanan mitologi dari zaman kuno hingga
modern menunjukkan transformasi fungsi dan maknanya, mulai dari penjelasan
kosmologis hingga simbolisasi identitas budaya.¹
3.1.
Mitologi Kuno:
Mesopotamia dan Mesir
Peradaban
Mesopotamia menghasilkan beberapa mitos tertua yang tercatat dalam teks
tertulis. Epic of
Gilgamesh misalnya, bukan hanya kisah kepahlawanan, tetapi juga
refleksi atas kefanaan manusia dan pencarian keabadian.² Mitos-mitos lain,
seperti kisah penciptaan dalam Enuma Elish, menekankan tatanan
kosmos yang lahir dari kekacauan, serta legitimasi kekuasaan dewa-dewa utama seperti Marduk.³ Sementara itu,
peradaban Mesir kuno menempatkan mitos sebagai basis religius dan politik.
Kisah dewa Osiris, Isis, dan Horus, misalnya, melambangkan siklus kematian dan
kebangkitan, serta legitimasi faraon sebagai wakil ilahi di bumi.⁴
3.2.
Mitologi Yunani dan
Romawi
Mitologi Yunani
adalah salah satu tradisi yang paling berpengaruh dalam sejarah Barat.
Dewa-dewi Olimpus, kisah para pahlawan seperti Herakles, dan tragedi seperti
Oidipus, menyajikan narasi yang kaya akan simbolisme filosofis dan moral.⁵
Plato bahkan menggunakan mitos sebagai medium untuk menjelaskan konsep filosofis abstrak, seperti dalam Mitos Er
tentang kehidupan setelah mati.⁶ Mitologi Romawi kemudian mewarisi dan
memodifikasi mitologi Yunani, menekankan pada fungsi politik dan imperium,
seperti tampak dalam Aeneid karya Virgil yang digunakan
untuk melegitimasi kejayaan Romawi.⁷
3.3.
Mitologi Timur:
India, Cina, dan Jepang
Di India, mitologi
berkembang dalam tradisi Weda, Purana, dan epos besar seperti Mahabharata
dan Ramayana.
Mitos-mitos ini tidak hanya menyampaikan nilai religius, tetapi juga berfungsi
sebagai pedoman etika dan hukum (dharma).⁸ Di Cina, mitologi berhubungan erat
dengan kosmologi Tao dan Konfusianisme, misalnya kisah Pangu yang membelah
langit dan bumi atau dewi Nüwa yang menciptakan manusia.⁹ Jepang, melalui
tradisi Kojiki
dan Nihon
Shoki, menekankan mitos penciptaan kepulauan Jepang dan silsilah
ilahi para kaisar dari dewi matahari Amaterasu.¹⁰
3.4.
Mitologi Nusantara
Mitologi di
kepulauan Nusantara memperlihatkan keberagaman yang mencerminkan keragaman
etnis dan budaya. Di Jawa, kisah wayang yang bersumber dari Mahabharata
dan Ramayana
berasimilasi dengan nilai lokal, sehingga melahirkan tokoh-tokoh khas seperti
Semar.¹¹ Di wilayah Bugis, Sureq Galigo menghadirkan kosmologi
penciptaan dunia dan kisah leluhur
yang kompleks.¹² Sementara di Kalimantan dan Papua, mitologi kerap berkaitan
dengan alam dan roh nenek moyang, yang berfungsi menjaga keseimbangan ekologi
dan struktur sosial masyarakat.¹³
3.5.
Transformasi
Mitologi dalam Sejarah Modern
Seiring
berkembangnya rasionalisme pada masa Pencerahan, mitos sering dipandang sebagai
bentuk takhayul yang harus digantikan oleh ilmu pengetahuan.¹⁴ Namun, pada abad
ke-19 dan ke-20, para pemikir seperti Friedrich Max Müller, James George
Frazer, dan Bronisław Malinowski kembali mengkaji mitologi sebagai bagian
penting dari kebudayaan manusia.¹⁵ Di era kontemporer, mitos tidak lagi
terbatas pada cerita tradisional, melainkan hadir dalam bentuk “mitologi
modern” seperti narasi nasionalisme, ideologi politik, bahkan figur populer
dalam budaya massa.¹⁶
Penutup
Sejarah dan
perkembangan mitologi menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar warisan masa lalu,
melainkan entitas hidup yang senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan
manusia dalam memahami realitas. Dari Mesopotamia hingga era digital, mitologi
bertransformasi namun tetap memegang fungsi
dasarnya: memberi makna, menyatukan komunitas, dan menghadirkan simbolisasi
pengalaman eksistensial manusia.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 9.
[2]
Andrew George, The Epic of Gilgamesh (London: Penguin
Classics, 1999), 23.
[3]
Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia: Creation, the Flood,
Gilgamesh, and Others (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–47.
[4]
Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 32.
[5]
Robert Graves, The Greek Myths (London: Penguin Books, 1992),
11–12.
[6]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic
Books, 1968), 614b–621d.
[7]
Virgil, The Aeneid, trans. Robert Fitzgerald (New York:
Vintage Classics, 1990), Book I.
[8]
R. K. Narayan, The Ramayana (New York: Viking, 1972), 5.
[9]
Anne Birrell, Chinese Mythology: An Introduction (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1993), 20.
[10]
Donald L. Philippi, trans., Kojiki (Tokyo: University of Tokyo
Press, 1969), 55.
[11]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993), 87.
[12]
Sirtjo Koolhof, The Bugis Poem of La Galigo (Leiden: KITLV
Press, 1995), 14–16.
[13]
James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain (Jakarta: Grafiti, 1984), 63.
[14]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical
Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 70.
[15]
James G. Frazer, The Golden Bough (New York: Macmillan, 1922),
15.
[16]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
115.
4.
Dimensi Filosofis dan Teologis
Mitologi tidak hanya
hadir sebagai kumpulan narasi imajinatif, tetapi juga menyimpan dimensi
filosofis dan teologis yang mendalam. Ia merupakan wadah simbolis bagi manusia
untuk mengekspresikan pertanyaan fundamental tentang asal-usul, makna, dan
tujuan hidup.¹ Dalam pengertian ini, mitos bukan sekadar cerita tradisional,
melainkan representasi konseptual yang mendahului lahirnya filsafat dan teologi
formal. Keberadaannya memperlihatkan
bahwa manusia senantiasa mencari cara untuk memahami realitas kosmik,
transendensi, dan eksistensi melalui bahasa simbol.
4.1.
Mitologi sebagai
Cikal Bakal Filsafat
Banyak sejarawan
filsafat menempatkan mitos sebagai “pra-filosofis,” yakni bentuk awal dari
refleksi rasional yang kemudian dimurnikan oleh filsafat.² Pada masa Yunani
kuno, mitos kosmogoni seperti karya Hesiodus dalam Theogonia memaparkan asal-usul
dewa-dewa, alam semesta, serta keteraturan kosmos.³ Namun, pemikir seperti
Thales, Anaximandros, dan Herakleitos mulai menggantikan penjelasan mitologis
dengan spekulasi rasional tentang prinsip dasar realitas (arkhē).⁴ Meski
demikian, transisi ini tidak memutus kesinambungan; Plato dan Aristoteles masih
memanfaatkan mitos sebagai sarana pedagogis untuk menjelaskan konsep abstrak.
Dalam Politeia,
Plato menghadirkan Mitos Er untuk menjelaskan
keabadian jiwa dan tanggung jawab moral manusia.⁵ Dengan demikian, mitologi
menjadi jembatan antara imajinasi kolektif dan refleksi rasional.
4.2.
Mitologi dalam
Perspektif Teologis
Mitologi juga
berperan dalam pembentukan sistem kepercayaan dan pemikiran teologis.
Kisah-kisah mitologis sering kali mengandung unsur sakral yang dipandang
sebagai wahyu primordial. Mircea Eliade menyebut mitos sebagai “sejarah suci” (sacred
history) yang memuat peristiwa-peristiwa arketipal dan menjadi
model bagi kehidupan religius manusia.⁶ Dalam tradisi Mesir kuno, misalnya,
mitos Osiris tidak hanya narasi kosmogoni, tetapi juga basis teologi tentang
kematian dan kebangkitan.⁷ Demikian pula dalam tradisi Hindu, kisah dewa-dewa
dalam Purana
mengartikulasikan prinsip kosmik dan etika dharma.⁸
Pada saat yang sama,
teologi Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) menunjukkan sikap ambivalen terhadap
mitos. Di satu sisi, narasi kitab suci memiliki struktur mirip mitos dalam
menjelaskan asal-usul dunia dan manusia. Di sisi lain, agama-agama ini sering
menegaskan bahwa kisah tersebut adalah wahyu ilahi yang membedakan diri dari
“mitos pagan.”⁹ Dalam kajian modern, sejumlah teolog menekankan bahwa mitos
tidak identik dengan kepalsuan, tetapi merupakan medium simbolis untuk
menyampaikan kebenaran teologis yang melampaui bahasa literal.¹⁰
4.3.
Relasi Filosofi,
Teologi, dan Mitologi
Hubungan antara
filsafat, teologi, dan mitologi dapat dipahami secara dialektis. Filsafat
berusaha mengubah mitos menjadi konsep, sementara teologi menafsirkan mitos
dalam kerangka iman dan dogma.¹¹ Namun, keduanya tidak bisa sepenuhnya
melepaskan diri dari dimensi mitologis, karena simbol dan narasi tetap
diperlukan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang melampaui rasio.¹² Ernst
Cassirer bahkan menyebut mitos sebagai salah satu bentuk simbolis fundamental
yang sejajar dengan bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan.¹³
Penutup
Dengan demikian,
dimensi filosofis dan teologis dalam mitologi menegaskan bahwa mitos adalah
bagian integral dari sejarah intelektual manusia. Ia tidak hanya menginspirasi
filsafat dalam menyusun kerangka rasionalitas, tetapi juga menopang teologi
dalam mengartikulasikan iman dan pengalaman religius. Mitos, filsafat, dan
teologi saling melengkapi dalam upaya memahami realitas dan transendensi,
sekaligus membuktikan bahwa manusia selalu memerlukan simbol untuk menggapai
makna terdalam kehidupan.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 33.
[2]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New
York: Zone Books, 2006), 21.
[3]
Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge:
Harvard University Press, 1914), 115–120.
[4]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: The Earlier
Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press,
1962), 45–47.
[5]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic
Books, 1968), 614b–621d.
[6]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 5.
[7]
Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 32–33.
[8]
R. C. Zaehner, Hinduism (Oxford: Oxford University Press,
1966), 44.
[9]
Rudolf Bultmann, New Testament and Mythology (London: SCM
Press, 1984), 3–4.
[10]
Paul Tillich, Theology of Culture (Oxford: Oxford University
Press, 1959), 99.
[11]
Karl Jaspers, The Origin and Goal of History (New Haven: Yale
University Press, 1953), 45.
[12]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press,
1967), 351.
[13]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical
Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.
5.
Mitologi dalam Perspektif Ilmu
Sosial dan Budaya
Mitologi, selain
berfungsi sebagai narasi kosmogoni atau simbol religius, juga memainkan peran
fundamental dalam membentuk struktur sosial dan budaya manusia. Mitos bukanlah
sekadar produk imajinasi kolektif, melainkan sarana komunikasi nilai, norma,
dan identitas.¹ Ia meneguhkan solidaritas sosial, melestarikan tradisi,
sekaligus menjadi instrumen legitimasi dalam hubungan kekuasaan. Dengan
demikian, mitologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang
paling kuat dalam mengikat manusia sebagai makhluk sosial.
5.1.
Mitos sebagai Instrumen
Kohesi Sosial
Dalam masyarakat
tradisional, mitos berfungsi sebagai kerangka untuk menjelaskan aturan hidup
bersama. Ia mengandung legitimasi normatif yang memberi dasar bagi institusi
sosial, seperti hukum adat, sistem kekerabatan, dan ritual kolektif.² Misalnya,
mitos penciptaan masyarakat Maori di Selandia Baru, yang menekankan hubungan
spiritual antara manusia dan alam, secara efektif memperkuat pola interaksi
sosial-ekologis.³ Émile Durkheim menyebut mitos dan ritual sebagai bentuk
“kesadaran kolektif” yang mengikat individu dalam solidaritas moral.⁴ Dengan
kata lain, mitos berfungsi sebagai “lem sosial” yang menjaga keteraturan
masyarakat.
5.2.
Mitologi dan
Identitas Budaya
Mitos juga menjadi
sarana penting untuk membangun dan mempertahankan identitas budaya. Narasi
tentang leluhur, pahlawan, atau dewa-dewi khas suatu komunitas berfungsi
memperkuat perasaan memiliki (sense of belonging).⁵ Di Nusantara,
misalnya, kisah Tutur Tinular dan mitos Panji bukan
hanya dongeng hiburan, melainkan narasi yang meneguhkan kejawen dan identitas
Jawa.⁶ Di sisi lain, mitos Dayak tentang roh penjaga hutan tidak hanya
mengandung unsur spiritual, tetapi juga menegaskan relasi ekologis dan
identitas mereka sebagai penjaga alam.⁷ Identitas kolektif ini menunjukkan
bahwa mitos bukan sekadar cerita, tetapi sekaligus perangkat simbolik untuk
menegaskan “siapa kita.”
5.3.
Mitologi dalam
Ritual dan Tradisi
Fungsi sosial mitos
paling nyata terlihat dalam praktik ritual. Setiap upacara adat, dari
kelahiran, perkawinan, hingga kematian, sering kali merujuk pada mitos sebagai
sumber legitimasi.⁸ Misalnya, dalam masyarakat Bali, mitos tentang Dewa Siwa
dan Dewi Uma menjadi dasar upacara Ngaben, yang melambangkan pelepasan
jiwa menuju alam baka.⁹ Ritual semacam ini memperlihatkan bahwa mitos tidak
hanya diceritakan, tetapi juga dihidupkan kembali dalam tindakan kolektif.
Clifford Geertz menekankan bahwa mitos dalam ritual bukan sekadar narasi,
melainkan “model of” dan “model for” realitas, yang membentuk sekaligus
menuntun perilaku manusia.¹⁰
5.4.
Mitologi dan
Struktur Kekuasaan
Selain sebagai
sarana integrasi sosial, mitos sering digunakan untuk menopang struktur
kekuasaan. Kisah-kisah tentang legitimasi raja atau penguasa kerap dilandasi
narasi mitologis.¹¹ Di Jepang, kaisar dianggap sebagai keturunan langsung dewi
matahari Amaterasu, sebuah mitos yang berfungsi memperkuat otoritas politik.¹²
Di Eropa Abad Pertengahan, mitos mengenai “hak ilahi raja” (divine
right of kings) meneguhkan posisi monarki sebagai wakil Tuhan di
bumi.¹³ Dengan demikian, mitos berperan tidak hanya dalam kehidupan religius,
tetapi juga dalam arena politik, sebagai ideologi yang melanggengkan hegemoni.
5.5.
Mitologi dalam
Dinamika Budaya Kontemporer
Meskipun modernitas
sering dipandang sebagai era rasionalisasi, mitos tetap bertahan dalam bentuk
baru.¹⁴ Dalam masyarakat kontemporer, mitos hadir dalam narasi nasionalisme,
iklan komersial, bahkan budaya populer seperti film Star Wars atau tokoh superhero yang
menyimbolkan nilai perjuangan dan keadilan.¹⁵ Roland Barthes menyebut fenomena
ini sebagai “mitologi modern,” di mana mitos tidak lagi terkait dengan
dewa-dewi kuno, melainkan dengan simbol-simbol ideologis yang membentuk
kesadaran sosial.¹⁶ Dengan kata lain, mitos masih menjadi bahasa simbolik yang
memengaruhi imajinasi kolektif manusia, meski dalam bentuk yang berbeda.
Penutup
Dalam perspektif
ilmu sosial dan budaya, mitologi tampil sebagai narasi simbolik yang membangun
kohesi sosial, memperkuat identitas kolektif, melegitimasi kekuasaan, dan
menghidupi ritual. Ia juga berevolusi menjadi mitos modern yang tetap berfungsi
dalam membentuk kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, mitologi bukan sekadar
cerita kuno yang usang, melainkan struktur makna yang terus hadir dan bekerja
dalam kehidupan sosial manusia, dari masyarakat tradisional hingga era
globalisasi.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 42.
[2]
Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology (London:
Kegan Paul, 1926), 13.
[3]
Ranginui Walker, Ka Whawhai Tonu Matou: Struggle Without End
(Auckland: Penguin, 1990), 25.
[4]
Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New
York: Free Press, 1995), 382.
[5]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 19.
[6]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia, 1993),
122.
[7]
James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984),
67.
[8]
Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure
(Chicago: Aldine, 1969), 52.
[9]
Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization
(New York: Free Press, 1961), 110.
[10]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 93.
[11]
Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and
Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 71.
[12]
Donald L. Philippi, trans., Kojiki (Tokyo: University of Tokyo
Press, 1969), 55.
[13]
Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval
Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 75.
[14]
Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale
University Press, 1946), 9.
[15]
Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday,
1988), 169.
[16]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
117.
6.
Mitologi dan Psikologi
Mitologi tidak hanya
dapat dipahami dalam kerangka historis, filosofis, dan sosiologis, tetapi juga
memiliki kedalaman psikologis yang luar biasa. Mitos mengandung simbol-simbol
universal yang mencerminkan pengalaman batin manusia, sehingga relevan untuk
ditelaah dalam kaitannya dengan psikologi.¹ Kisah-kisah tentang penciptaan,
pahlawan, atau pertarungan kosmik tidak sekadar narasi eksternal, melainkan
juga representasi dari konflik, aspirasi, dan dinamika psikis manusia. Dengan
demikian, mitologi dapat dipandang sebagai cermin jiwa kolektif sekaligus individu.
6.1.
Mitologi sebagai
Ekspresi Ketidaksadaran Kolektif
Carl Gustav Jung,
salah satu tokoh utama dalam psikologi analitik, memberikan kontribusi penting
dalam memahami mitos. Ia memperkenalkan konsep collective unconscious
(ketidaksadaran kolektif), yaitu lapisan terdalam dari psikis manusia yang
berisi pola-pola dasar atau archetypes.² Arketipe ini muncul
dalam berbagai bentuk simbol dan narasi mitologis yang serupa di berbagai
kebudayaan. Misalnya, tokoh pahlawan dalam mitos Yunani, mitologi Hindu, maupun
kisah kepahlawanan Nusantara, pada dasarnya mencerminkan pola arketipal tentang
perjuangan melawan kekacauan dan pencarian jati diri.³
Dalam kerangka ini,
mitos tidak dipahami sebagai fiksi belaka, melainkan sebagai ekspresi psikis
yang universal. Kisah dewa pencipta atau dewi kesuburan adalah simbolisasi dari
potensi kreatif manusia, sedangkan mitos tentang dunia bawah melambangkan
ketakutan eksistensial terhadap kematian.⁴ Oleh karena itu, analisis mitologis
dalam psikologi membuka jalan untuk memahami pola-pola terdalam jiwa manusia
yang bersifat lintas budaya.
6.2.
Fungsi Psikologis
Mitos
Mitos memiliki
fungsi terapeutik bagi individu maupun masyarakat. Jung menekankan bahwa mitos
menyediakan “peta psikis” yang membantu manusia menavigasi kehidupan.⁵ Kisah arketipal
seperti perjalanan pahlawan (hero’s journey) memberi model
simbolis bagi individu dalam menghadapi krisis, penderitaan, dan transformasi
diri. Joseph Campbell kemudian mengembangkan gagasan ini melalui konsep monomyth,
yaitu pola naratif universal di mana seorang tokoh meninggalkan dunia biasa,
menghadapi ujian, lalu kembali dengan kebijaksanaan baru.⁶
Selain itu, mitos
berfungsi untuk mengintegrasikan konflik internal. Misalnya, pertarungan antara
dewa dan raksasa dalam banyak tradisi dapat dipahami sebagai simbolisasi
konflik antara dorongan naluriah dengan aspirasi moral.⁷ Dalam terapi, mitos
dapat membantu individu memahami pengalaman traumatis melalui simbol-simbol
yang lebih mudah diterima ketimbang bahasa rasional semata.
6.3.
Mitologi, Simbol, dan
Imajinasi
Psikologi simbolik
menegaskan bahwa mitos adalah bahasa imajinasi yang menghubungkan kesadaran
dengan ketidaksadaran.⁸ Simbol-simbol mitologis, seperti pohon kosmik, naga,
atau cahaya ilahi, menghadirkan pengalaman psikis yang sulit dijelaskan secara
literal. Simbol ini menyalurkan energi psikis yang memberi makna dan arah hidup
bagi individu. Karenanya, mitos dapat dipahami sebagai “kode psikis” yang
memungkinkan manusia menemukan orientasi eksistensial.⁹
Dalam perkembangan
modern, pendekatan psikologi naratif juga menekankan peran mitos dalam
pembentukan identitas diri.¹⁰ Individu kerap menafsirkan kehidupannya dalam
bentuk cerita, dan mitos menyediakan pola naratif yang memberi makna lebih luas
terhadap pengalaman pribadi. Dengan demikian, mitos tidak hanya bersifat
kolektif, tetapi juga berperan dalam konstruksi identitas personal.
Penutup
Mitologi dalam
perspektif psikologi memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara simbol
mitologis dengan struktur batin manusia. Ia merupakan ekspresi dari
ketidaksadaran kolektif, sekaligus sarana terapeutik yang membantu individu
menavigasi konflik internal dan perjalanan hidup. Fungsi simbolik dan
imajinatif mitos menjadikannya relevan dalam kajian psikologi klasik maupun
kontemporer. Dengan demikian, mitos tidak hanya menyimpan nilai budaya, tetapi
juga menyediakan “peta jiwa” yang universal bagi manusia.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 57.
[2]
Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.
[3]
Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton:
Princeton University Press, 1949), 30.
[4]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 91.
[5]
Carl Gustav Jung, Symbols of Transformation (Princeton:
Princeton University Press, 1956), 112.
[6]
Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton:
Princeton University Press, 1949), 36–38.
[7]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic
Books, 1963), 211.
[8]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press,
1967), 5.
[9]
Erich Neumann, The Origins and History of Consciousness
(Princeton: Princeton University Press, 1954), 145.
[10]
Dan P. McAdams, The Stories We Live By: Personal Myths and the
Making of the Self (New York: Guilford Press, 1993), 12.
7.
Mitologi dalam Sastra dan Seni
Mitologi sejak lama
menjadi sumber inspirasi utama bagi ekspresi sastra dan seni di berbagai
kebudayaan. Narasi tentang para dewa, pahlawan, maupun kosmogoni memberikan
kerangka simbolik yang kaya untuk ditransformasikan ke dalam bentuk epos,
drama, lukisan, patung, hingga media populer modern.¹ Dengan demikian, mitologi
tidak hanya berfungsi sebagai dokumen religius atau sosial, tetapi juga sebagai
reservoir imajinasi yang senantiasa diperbarui oleh seniman dan penulis.
7.1.
Mitologi dalam
Sastra Klasik
Sastra klasik dunia
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh mitologi. Iliad dan Odyssey
karya Homer, misalnya, merepresentasikan mitologi Yunani dalam bentuk epik yang
memadukan narasi kepahlawanan dengan tema moral dan religius.² Demikian pula,
tragedi karya Sophocles seperti Oedipus Rex memanfaatkan kisah
mitologis untuk mengungkap dilema eksistensial dan etika manusia.³ Di India, Mahabharata
dan Ramayana
bukan sekadar epos religius, tetapi juga karya sastra yang membentuk etos
budaya dan nilai-nilai etika masyarakat Hindu.⁴ Bahkan dalam tradisi Arab
pra-Islam, unsur mitos hadir dalam puisi-puisi suku yang menyinggung
tokoh-tokoh legendaris dan kosmologi lokal.⁵
7.2.
Mitologi dalam
Sastra Modern
Mitologi tidak
berhenti pada karya klasik, tetapi juga dihidupkan kembali dalam sastra modern.
James Joyce, melalui Ulysses, merekonstruksi perjalanan
Odysseus ke dalam konteks Dublin modern, memperlihatkan bahwa mitos dapat
bertransformasi sesuai dengan kebutuhan zaman.⁶ T. S. Eliot dalam puisinya The
Waste Land menggabungkan berbagai simbol mitologis lintas budaya
untuk menggambarkan krisis spiritual abad ke-20.⁷ Sementara itu, dalam konteks
Indonesia, penulis seperti Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono juga
menggunakan mitos Nusantara sebagai perangkat simbolik dalam karya sastra
kontemporer.⁸
7.3.
Mitologi dalam Seni
Rupa dan Patung
Sejak zaman kuno,
mitos menjadi tema dominan dalam seni rupa dan patung. Relief-relief pada kuil
Yunani dan Romawi menggambarkan dewa-dewi Olimpus, sedangkan candi-candi di
Asia Tenggara seperti Borobudur dan Prambanan menampilkan narasi epos Ramayana
dan Mahabharata.⁹
Di Renaisans Eropa, seniman seperti Michelangelo dan Botticelli menghidupkan
kembali tema mitologis melalui karya monumental, misalnya The
Birth of Venus yang melambangkan harmoni dan keindahan ilahi.¹⁰
Representasi visual mitologi tidak hanya bersifat dekoratif, tetapi juga
mendidik, karena menyampaikan nilai-nilai kosmologis dan moral kepada masyarakat.
7.4.
Mitologi dalam Musik
dan Pertunjukan
Musik dan
pertunjukan juga menjadi medium penting bagi mitologi. Opera Barat banyak
mengangkat mitos Yunani dan Romawi, seperti karya Richard Wagner yang
menafsirkan mitologi Jermanik dalam siklus Der Ring des Nibelungen.¹¹ Di
Nusantara, wayang kulit dan tari tradisional Bali menampilkan mitos Hindu-Jawa
dalam bentuk dramatik yang kaya simbolisme.¹² Pertunjukan semacam ini
memperlihatkan bahwa mitos adalah sumber daya kreatif yang mampu memadukan seni,
agama, dan pendidikan.
7.5.
Mitologi dalam
Budaya Populer
Pada era modern,
mitos bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer. Film-film seperti Star
Wars banyak dipengaruhi oleh pola naratif hero’s
journey yang dijelaskan Joseph Campbell.¹³ Demikian pula,
kisah-kisah superhero dalam komik Marvel atau DC dapat dipahami sebagai
mitologi kontemporer yang mencerminkan nilai perjuangan, keadilan, dan
pengorbanan.¹⁴ Dengan kata lain, meskipun wujudnya berubah, mitos tetap menjadi
inspirasi utama dalam seni modern dan kontemporer.
Penutup
Mitologi dalam
sastra dan seni memperlihatkan bagaimana simbol dan narasi kuno terus hidup
melalui transformasi kreatif. Dari epos Homer hingga film Hollywood, mitos
senantiasa menghadirkan pola-pola universal yang merefleksikan pengalaman
manusia. Dengan demikian, mitologi bukan hanya arsip budaya, tetapi juga sumber
daya imajinatif yang membentuk estetika, etika, dan identitas manusia lintas
zaman.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 61.
[2]
Homer, The Odyssey, trans. Robert Fagles (New York: Penguin,
1996), xii.
[3]
Sophocles, Oedipus Rex, trans. Robert Fagles (New York:
Penguin, 1984), 42–44.
[4]
R. K. Narayan, The Mahabharata (New York: Viking, 1978), 3.
[5]
Michael Sells, Desert Tracings: Six Classic Arabian Odes
(Middletown: Wesleyan University Press, 1989), 15.
[6]
James Joyce, Ulysses (New York: Random House, 1986), 5.
[7]
T. S. Eliot, The Waste Land (New York: Boni and Liveright,
1922), 20–22.
[8]
Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2004), 7; Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 55.
[9]
John Miksic, Borobudur: Golden Tales of the Buddhas
(Singapore: Periplus Editions, 1990), 88.
[10]
Giorgio Vasari, Lives of the Artists (Oxford: Oxford
University Press, 1998), 156.
[11]
Richard Wagner, Der Ring des Nibelungen (New York: W. W.
Norton, 1989), xviii.
[12]
Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century
Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980), 112.
[13]
Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton:
Princeton University Press, 1949), 36.
[14]
Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin:
MonkeyBrain Books, 2006), 54.
8.
Mitologi dalam Perspektif Ilmiah dan
Teknologi
Mitologi sering kali
dipandang sebagai warisan masa lalu yang tidak relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Namun, pandangan ini terlalu menyederhanakan
fungsi mitos. Dalam kenyataannya, mitos tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan,
melainkan mengalami transformasi dan adaptasi dalam berbagai bentuk pengetahuan
dan praktik kontemporer.¹ Mitologi dapat dibaca sebagai kerangka epistemologis
awal yang berusaha menjelaskan fenomena alam, asal-usul kosmos, dan struktur
kehidupan, yang kemudian secara bertahap digantikan oleh metode ilmiah. Akan
tetapi, unsur-unsur mitologis tetap bertahan dalam cara manusia memandang
realitas, bahkan hingga era digital.
8.1.
Mitologi dan Ilmu
Alam
Banyak mitos kuno
yang berfungsi sebagai penjelasan awal atas fenomena alam. Kosmogoni
Mesopotamia, Yunani, dan Mesir, misalnya, berusaha menggambarkan proses
penciptaan dunia dengan bahasa simbolis.² Dalam tradisi Yunani, mitos Gaia
(Bumi) dan Uranus (Langit) melukiskan keterhubungan antara fenomena kosmik dan
kehidupan manusia.³ Demikian pula dalam mitologi Nusantara, kisah pohon kosmik
atau naga dunia melambangkan keteraturan ekologis dan siklus kehidupan.⁴ Dalam
perspektif sejarah ilmu, mitos-mitos ini dapat dilihat sebagai langkah awal
menuju pengetahuan kosmologi dan astronomi, yang kemudian dikembangkan secara
rasional oleh ilmuwan seperti Thales, Pythagoras, hingga Copernicus.⁵
8.2.
Mitologi dalam
Antropologi dan Etnografi
Antropologi modern
menempatkan mitos sebagai kunci untuk memahami struktur sosial dan pola pikir
masyarakat tradisional. Claude Lévi-Strauss memandang mitos sebagai “bahasa”
yang mengandung oposisi biner dan struktur universal, sementara Bronisław
Malinowski menekankan fungsi praktis mitos dalam menopang institusi sosial.⁶
Dengan demikian, mitos tidak hanya menjadi objek folklor, tetapi juga sarana
untuk memahami hubungan manusia dengan lingkungan, identitas kolektif, dan
sistem kepercayaan. Etnografi modern bahkan melihat mitos sebagai “arsip
ekologis” yang mengandung pengetahuan tentang alam, flora, fauna, dan siklus
agraris.⁷
8.3.
Mitologi dan Ilmu
Psikologi
Dalam psikologi,
mitos dipahami sebagai ekspresi ketidaksadaran kolektif yang termanifestasi
dalam simbol-simbol arketipal. Carl Gustav Jung menegaskan bahwa mitos
mencerminkan pola universal dalam jiwa manusia.⁸ Perspektif ini membuka ruang
bagi pemahaman ilmiah tentang bagaimana narasi mitologis dapat membantu
individu menavigasi pengalaman traumatis, krisis eksistensial, dan pencarian
makna hidup. Dalam hal ini, mitos bukanlah kebalikan dari ilmu, melainkan
medium simbolis yang melengkapi pemahaman rasional.
8.4.
Mitologi dalam Era
Teknologi Modern
Era teknologi
menghadirkan bentuk baru dari mitologi. Roland Barthes menyebut fenomena ini
sebagai “mitologi modern,” di mana produk budaya populer, iklan, dan media
massa berfungsi layaknya mitos dengan menciptakan narasi simbolis yang
membentuk kesadaran kolektif.⁹ Dalam konteks digital, video game, film fantasi,
dan komik superhero telah menciptakan mitos-mitos baru yang menggabungkan unsur
tradisional dengan simbol teknologi.¹⁰ Tokoh seperti Superman atau Iron Man
dapat dipandang sebagai mitologi kontemporer yang menegaskan nilai-nilai
keberanian, pengorbanan, dan inovasi.¹¹
Selain itu,
teknologi kecerdasan buatan (AI) dan eksplorasi luar angkasa juga memunculkan
narasi mitologis baru. Gagasan tentang “singularity” dalam AI sering
diperlakukan seperti mitos eskatologis tentang akhir zaman.¹² Begitu pula
pencarian kehidupan di luar bumi melahirkan “mitologi sains” baru yang
memperluas horizon imajinasi manusia.¹³ Dengan demikian, mitos tidak hilang
dalam era teknologi, melainkan terus direkonstruksi untuk memberi makna pada
kemajuan ilmiah.
Penutup
Mitologi dalam
perspektif ilmiah dan teknologi memperlihatkan bahwa mitos bukanlah antitesis
dari ilmu, melainkan fondasi kultural dan simbolis yang menyertai perkembangan
pengetahuan manusia. Dari kosmogoni kuno hingga narasi digital modern, mitos
senantiasa berfungsi untuk menjembatani keterbatasan rasionalitas manusia
dengan kebutuhan akan makna. Oleh karena itu, mitologi harus dipahami bukan
sebagai residu irasionalitas, tetapi sebagai komponen integral dari proses
ilmiah dan teknologi yang terus membentuk peradaban.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 73.
[2]
Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 5.
[3]
Hesiod, Theogony, trans. Hugh G. Evelyn-White (Cambridge:
Harvard University Press, 1914), 116.
[4]
James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984),
66.
[5]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1962), 12.
[6]
Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic
Books, 1963), 209; Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology
(London: Kegan Paul, 1926), 13.
[7]
Darrell Posey, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity
(London: UNEP/Earthscan, 1999), 45.
[8]
Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.
[9]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
115.
[10]
Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday,
1988), 163.
[11]
Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin:
MonkeyBrain Books, 2006), 54.
[12]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New York: Viking,
2005), 7.
[13]
Steven J. Dick, The Biological Universe: The Twentieth Century
Extraterrestrial Life Debate and the Limits of Science (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 91.
9.
Kritik dan Keterbatasan Mitologi
Mitologi, meskipun
kaya akan makna simbolik dan berperan penting dalam membentuk kebudayaan, tidak
luput dari kritik. Pandangan kritis terhadap mitos muncul seiring dengan
berkembangnya rasionalisme, sains modern, dan filsafat Pencerahan yang
menekankan logika serta verifikasi empiris.¹ Kritik tersebut biasanya diarahkan
pada status kebenaran mitos, fungsi sosialnya, serta keterbatasannya dalam
menjelaskan realitas. Pada bagian ini, pembahasan akan difokuskan pada tiga
dimensi utama: kritik rasionalis, kritik ilmiah, serta keterbatasan
epistemologis mitos.
9.1.
Kritik Rasionalis
dan Pencerahan
Sejak masa Yunani
kuno, beberapa filsuf mulai mengkritisi mitos. Xenophanes, misalnya, menolak
representasi antropomorfis para dewa dalam mitologi Yunani dan menyatakan bahwa
manusia cenderung menciptakan dewa sesuai dengan citra mereka sendiri.²
Aristoteles kemudian memandang mitos sebagai “cerita” yang berada di luar
domain filsafat dan ilmu pengetahuan, meskipun ia masih mengakui fungsi
didaktiknya.³ Kritik yang lebih tajam muncul pada masa Pencerahan, ketika tokoh
seperti Voltaire dan David Hume menilai mitos sebagai bentuk takhayul yang
menghalangi perkembangan akal budi.⁴ Dalam pandangan mereka, mitologi tidak
lebih dari warisan irasional yang harus digantikan oleh filsafat kritis dan
sains.
9.2.
Kritik Ilmiah dan
Modernitas
Dengan munculnya
metode ilmiah pada abad ke-17 dan 18, mitos semakin dipinggirkan. Ilmu
astronomi, biologi, dan geologi memberikan penjelasan rasional terhadap
fenomena yang sebelumnya ditafsirkan melalui mitos.⁵ Misalnya, kisah banjir
besar dalam berbagai mitologi dianggap tidak lebih dari interpretasi pralogis
atas bencana alam yang kemudian dapat dijelaskan oleh geologi dan klimatologi.⁶
Auguste Comte bahkan menempatkan mitos dalam “tahap teologis” dalam hukum tiga
tahap perkembangan pengetahuan manusia, yang pada akhirnya harus digantikan
oleh tahap ilmiah-positif.⁷
Namun demikian,
kritik ilmiah ini juga menuai tantangan. Sebagian sarjana modern berpendapat
bahwa meskipun mitos tidak dapat diverifikasi secara empiris, ia tetap memiliki
kebenaran simbolis dan fungsional. Malinowski, misalnya, menegaskan bahwa mitos
berfungsi untuk menopang tatanan sosial dan memberikan legitimasi bagi
institusi budaya.⁸ Dengan kata lain, keterbatasan mitos sebagai penjelasan faktual
tidak mengurangi nilainya sebagai narasi eksistensial dan sosial.
9.3.
Keterbatasan
Epistemologis
Keterbatasan utama
mitos terletak pada sifat epistemologisnya. Mitos berbicara dalam bahasa
simbol, bukan dalam kategori logis atau empiris.⁹ Hal ini membuatnya sulit
dipakai sebagai alat verifikasi kebenaran ilmiah. Selain itu, karena
disampaikan melalui tradisi lisan, mitos rentan mengalami perubahan,
interpretasi ulang, bahkan manipulasi ideologis.¹⁰ Barthes menunjukkan bahwa
mitos modern dalam media massa sering kali berfungsi sebagai ideologi
terselubung yang mengukuhkan hegemoni sosial.¹¹ Dengan demikian, mitos dapat
menjadi instrumen kekuasaan yang membatasi kebebasan berpikir kritis.
Di sisi lain,
keterbatasan mitos juga menyangkut sifat partikularnya. Setiap mitos terkait
dengan konteks budaya tertentu, sehingga universalitasnya sering kali bersifat
relatif.¹² Apa yang dianggap sakral di satu kebudayaan bisa jadi dipandang
sebagai legenda biasa di kebudayaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa mitos,
meskipun kaya akan makna, tidak dapat dijadikan dasar pengetahuan universal
yang objektif.
Penutup
Kritik dan
keterbatasan mitologi menegaskan bahwa mitos bukanlah sarana untuk menjelaskan
realitas empiris secara rasional. Ia tidak mampu memenuhi standar verifikasi
ilmiah dan cenderung bersifat partikular serta simbolis. Namun, justru dalam
keterbatasannya itulah mitos menemukan nilai: ia tetap berfungsi sebagai narasi
yang memberi makna, menopang identitas, dan menghadirkan simbolisasi eksistensi
manusia. Kritik rasional dan ilmiah memang membatasi ruang mitos, tetapi tidak
dapat menghapuskan relevansinya dalam ranah kultural dan simbolis.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 81.
[2]
Xenophanes, fragmen dalam Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy
(London: Penguin, 1987), 88.
[3]
Aristotle, Poetics, trans. Malcolm Heath (London: Penguin,
1996), 1451b.
[4]
David Hume, The Natural History of Religion (London: A. and H.
Bradlaugh Bonner, 1889), 21; Voltaire, Philosophical Dictionary
(London: Penguin, 2005), 56.
[5]
Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale
University Press, 1946), 9.
[6]
Stephanie Dalley, Myths from Mesopotamia (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 31.
[7]
Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet
Martineau (London: George Bell, 1896), 5.
[8]
Bronisław Malinowski, Myth in Primitive Psychology (London:
Kegan Paul, 1926), 13.
[9]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 12.
[10]
James Danandjaja, Folklor Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1984),
77.
[11]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
129.
[12]
Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth
(New York: Columbia University Press, 1998), 45.
10.
Relevansi Mitologi dalam Konteks
Kontemporer
Mitologi, meskipun
berakar pada narasi kuno, tidak pernah kehilangan relevansinya dalam kehidupan
modern. Dalam konteks kontemporer, mitos terus bertransformasi dan menemukan
bentuk baru, baik dalam politik, pendidikan, media massa, maupun budaya
global.¹ Kehadirannya tidak lagi terbatas pada ritual keagamaan atau folklor,
tetapi juga melekat pada konstruksi identitas nasional, wacana ideologis, dan
narasi populer yang mengisi ruang publik. Dengan demikian, mitos tetap menjadi
instrumen penting dalam membentuk cara manusia memahami dirinya dan dunia di
sekitarnya.
10.1.
Mitologi dan Politik
Mitos sering
berperan dalam membangun legitimasi politik. Di banyak negara, narasi tentang
“pendiri bangsa,” “pahlawan revolusi,” atau “masa kejayaan” dimobilisasi
sebagai mitos politik untuk memperkuat identitas nasional dan menanamkan
loyalitas kolektif.² Di Indonesia, misalnya, kisah kepahlawanan tokoh-tokoh
kemerdekaan kerap diposisikan dalam kerangka mitologis untuk mempertegas
legitimasi moral perjuangan bangsa.³ Demikian pula, di Amerika Serikat, narasi
tentang American
Dream berfungsi sebagai mitos modern yang membentuk ideologi
nasional.⁴ Dengan demikian, mitos berperan sebagai alat ideologis yang mengikat
masyarakat dalam simbol kolektif, meski seringkali dimanfaatkan untuk
kepentingan kekuasaan.
10.2.
Mitologi dalam
Pendidikan dan Psikologi Sosial
Dalam dunia
pendidikan, mitos berfungsi sebagai medium pedagogis yang menyampaikan nilai
moral, etika, dan identitas budaya.⁵ Kisah-kisah mitologis tetap diajarkan di
sekolah, baik dalam bentuk sastra klasik maupun cerita rakyat, karena dianggap
mampu menginternalisasikan nilai-nilai universal seperti keberanian, kejujuran,
dan pengorbanan.⁶ Dalam ranah psikologi sosial, mitos berfungsi sebagai narasi
kolektif yang memberi makna pada pengalaman hidup manusia, khususnya dalam
menghadapi krisis. Carl Gustav Jung menegaskan bahwa simbol-simbol mitologis
berfungsi sebagai arketipe yang menuntun individu dalam perjalanan
eksistensialnya.⁷ Hal ini menjelaskan mengapa mitos terus dipertahankan sebagai
sarana terapeutik dan sumber inspirasi dalam masyarakat modern.
10.3.
Mitologi dan Media
Populer
Budaya populer
adalah salah satu arena utama kelanjutan mitologi. Film, komik, dan serial
televisi banyak mengambil struktur naratif mitologis untuk menciptakan kisah
yang resonan secara emosional.⁸ Narasi hero’s journey yang dipopulerkan
Joseph Campbell menjadi pola dasar bagi banyak film populer, termasuk Star
Wars yang telah diakui secara luas sebagai mitos modern.⁹ Demikian
pula, kisah-kisah superhero dalam komik Marvel dan DC mencerminkan mitologi
baru yang berbicara tentang moralitas, keadilan, dan kekuasaan dalam bingkai
kontemporer.¹⁰ Dengan demikian, media populer berfungsi sebagai medium
transformasi mitologi, menjadikannya relevan dalam imajinasi masyarakat global.
10.4.
Mitologi dalam Era
Globalisasi dan Digital
Globalisasi
memperluas jangkauan mitos, menjadikannya lintas budaya dan universal.
Simbol-simbol mitologis kini dapat diakses secara instan melalui internet,
menjadikan mitos tidak lagi terbatas pada komunitas lokal.¹¹ Bahkan, muncul
bentuk “mitologi digital,” di mana narasi dan simbol baru berkembang dalam
ruang virtual. Contoh fenomena ini adalah lahirnya mitos seputar teknologi
kecerdasan buatan, perjalanan luar angkasa, atau teori konspirasi global yang
berfungsi layaknya narasi mitologis bagi sebagian masyarakat.¹² Dalam hal ini,
mitos beradaptasi dengan lanskap digital sebagai sarana membentuk realitas
sosial baru.
Penutup
Relevansi mitologi
dalam konteks kontemporer menegaskan bahwa mitos tidak pernah mati, melainkan
senantiasa bertransformasi. Ia hadir dalam politik sebagai legitimasi
ideologis, dalam pendidikan sebagai sarana moral, dalam budaya populer sebagai
hiburan dan refleksi nilai, serta dalam dunia digital sebagai konstruksi
realitas baru. Dengan demikian, mitos tetap menjadi instrumen fundamental dalam
dinamika budaya manusia, baik sebagai cermin identitas maupun sebagai pendorong
imajinasi kolektif.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 95.
[2]
Bruce Lincoln, Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and
Scholarship (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 71.
[3]
Harsya W. Bachtiar, Sejarah dan Mitos dalam Politik Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1983), 22.
[4]
Jim Cullen, The American Dream: A Short History of an Idea that
Shaped a Nation (Oxford: Oxford University Press, 2003), 6.
[5]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 19.
[6]
Alan Dundes, Folklore Matters (Knoxville: University of
Tennessee Press, 1989), 45.
[7]
Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.
[8]
T. S. Eliot, On Poetry and Poets (London: Faber & Faber,
1957), 95.
[9]
Joseph Campbell, The Hero with a Thousand Faces (Princeton:
Princeton University Press, 1949), 36.
[10]
Peter Coogan, Superhero: The Secret Origin of a Genre (Austin:
MonkeyBrain Books, 2006), 54.
[11]
Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture
(London: Sage, 1992), 27.
[12]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
120.
11.
Sintesis dan Refleksi Filosofis
Kajian mengenai
mitologi dari berbagai dimensi—historis, filosofis, teologis, sosiologis,
psikologis, hingga ilmiah—menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar narasi kuno,
melainkan struktur simbolik yang senantiasa hadir dalam perjalanan peradaban
manusia.¹ Ia berfungsi sebagai sarana untuk memahami kosmos, menafsirkan
pengalaman eksistensial, serta membentuk identitas kolektif. Dalam refleksi
filosofis, mitologi dapat dipandang sebagai jembatan antara imajinasi dan
rasionalitas, antara keterbatasan bahasa manusia dan kerinduan akan makna
transendental.²
11.1.
Mitologi sebagai
Ekspresi Ontologis
Secara ontologis,
mitos merepresentasikan upaya manusia untuk menjawab pertanyaan fundamental
tentang asal-usul, eksistensi, dan tujuan.³ Meskipun jawaban yang diberikan
bersifat simbolik, mitos menghadirkan kerangka eksistensial yang memungkinkan
manusia memposisikan dirinya di antara kosmos dan transendensi. Dengan
demikian, mitos dapat dipandang sebagai bentuk awal dari “filsafat hidup,”
yakni refleksi tentang keberadaan manusia dalam keterhubungan dengan dunia dan
yang sakral.⁴
11.2.
Mitologi dan
Epistemologi
Dari sisi
epistemologis, mitos menunjukkan keterbatasannya ketika dihadapkan pada
tuntutan verifikasi ilmiah. Namun, mitos tetap memiliki nilai kognitif dalam
bentuk kebenaran simbolis.⁵ Paul Ricoeur menegaskan bahwa mitos adalah bahasa
simbol yang “mengatakan lebih dari yang bisa dikatakan,” yakni menyampaikan
realitas yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh konsep rasional.⁶ Dalam
kerangka ini, mitos bukan sekadar ilusi, melainkan cara lain manusia memahami
dunia melalui narasi dan imajinasi kolektif.
11.3.
Mitologi dalam
Dimensi Aksiologis
Pada dimensi
aksiologis, mitos memiliki peran penting dalam menanamkan nilai moral, etika,
dan spiritual.⁷ Kisah kepahlawanan, pengorbanan, dan pencarian kebenaran dalam
mitos berfungsi sebagai teladan normatif yang membentuk perilaku dan etos
masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mitos tidak hanya menjelaskan dunia,
tetapi juga memberi orientasi etis dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, mitos
dapat dipandang sebagai sumber inspirasi moral yang memperkaya kehidupan
kolektif maupun personal.
11.4.
Dialektika Antara
Mitos, Filsafat, dan Sains
Dalam refleksi
filosofis, relasi antara mitos, filsafat, dan sains tidak seharusnya dipahami
dalam kerangka oposisi mutlak.⁸ Mitos menyediakan horizon simbolik, filsafat
mengartikulasikannya secara rasional, dan sains mengujinya melalui metode
empiris. Dengan demikian, ketiganya membentuk dialektika yang saling
melengkapi. Ernst Cassirer bahkan menyebut mitos, seni, bahasa, agama, dan
sains sebagai “bentuk-bentuk simbolis” yang sejajar dalam usaha manusia
memahami realitas.⁹ Melalui kerangka ini, mitos tidak dipandang inferior,
melainkan sebagai bagian integral dari keragaman epistemologi manusia.
11.5.
Refleksi Akhir: Mitologi
dan Makna Hidup
Refleksi filosofis
atas mitologi pada akhirnya mengarah pada pemahaman bahwa manusia selalu
membutuhkan narasi untuk memberi makna pada hidup. Narasi mitologis
memungkinkan manusia menghadapi keterbatasan, penderitaan, dan misteri eksistensi
dengan simbol-simbol yang memberi penghiburan sekaligus orientasi.¹⁰ Dalam
dunia modern yang semakin dikuasai oleh rasionalitas dan teknologi, mitos tetap
hadir dalam bentuk baru—baik dalam politik, pendidikan, budaya populer, maupun
dunia digital—untuk menjawab kebutuhan abadi manusia akan makna.¹¹
Penutup
Sintesis ini
menunjukkan bahwa mitos bukanlah sekadar artefak masa lalu, tetapi refleksi
filosofis yang hidup. Ia mengandung nilai ontologis, epistemologis, dan
aksiologis yang tetap relevan. Dengan demikian, mitologi dapat dipandang
sebagai warisan abadi umat manusia, yang terus menuntun perjalanan kita dalam
mencari kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 101.
[2]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 12.
[3]
Wendy Doniger, The Implied Spider: Politics and Theology in Myth
(New York: Columbia University Press, 1998), 17.
[4]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New York:
Zone Books, 2006), 33.
[5]
Ernst Cassirer, The Myth of the State (New Haven: Yale
University Press, 1946), 25.
[6]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press,
1967), 351.
[7]
Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday,
1988), 109.
[8]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1962), 44.
[9]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical
Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.
[10]
Carl Gustav Jung, Symbols of Transformation (Princeton:
Princeton University Press, 1956), 113.
[11]
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil, 1957),
125.
12.
Penutup
Kajian mengenai
mitologi memperlihatkan betapa luas dan kompleksnya peran mitos dalam kehidupan
manusia. Sejak masa prasejarah hingga era digital, mitos senantiasa hadir
sebagai instrumen kognitif, simbolik, sosial, dan spiritual yang memberikan
makna pada realitas.¹ Ia tidak hanya menjelaskan asal-usul dunia dan kehidupan
melalui narasi kosmogoni, tetapi juga membentuk kerangka moral, memperkuat
identitas kolektif, serta menyediakan medium refleksi filosofis dan teologis.²
Dengan demikian, mitologi bukanlah sekadar warisan masa lalu, melainkan
fenomena kultural yang terus hidup dan bertransformasi sesuai dengan dinamika
zaman.
Kajian historis
menunjukkan bahwa mitologi merupakan bagian integral dari peradaban kuno
seperti Mesopotamia, Mesir, Yunani, India, hingga Nusantara.³ Di sisi filosofis
dan teologis, mitos tampil sebagai jembatan antara imajinasi dan rasionalitas,
menghubungkan manusia dengan realitas transendental.⁴ Dari perspektif sosial
dan budaya, mitos berfungsi menjaga kohesi sosial, melestarikan tradisi, dan
mengukuhkan struktur kekuasaan.⁵ Sementara itu, psikologi menemukan bahwa mitos
mencerminkan arketipe kolektif yang menuntun individu dalam perjalanan
eksistensialnya.⁶
Dalam era modern,
mitologi tidak lenyap, melainkan hadir dalam bentuk baru. Media populer,
politik, pendidikan, bahkan teknologi digital, menjadi wadah bagi kelahiran
“mitos kontemporer” yang menggantikan peran narasi tradisional.⁷ Fenomena ini
menegaskan bahwa mitos tidak dapat dipisahkan dari cara manusia memberi makna
pada dunia. Ia mungkin kehilangan klaim faktualitas empiris, tetapi tetap
menyimpan kebenaran simbolis yang mendalam.
Secara filosofis,
mitos menyuarakan keterbatasan sekaligus potensi manusia. Ia menunjukkan bahwa
akal budi rasional tidak pernah sepenuhnya memadai tanpa simbol dan imajinasi.⁸
Sebaliknya, mitos yang dibiarkan tanpa kritik dapat berubah menjadi ideologi
yang mengekang kebebasan berpikir. Oleh karena itu, mitologi harus dipahami
dalam keseimbangan: bukan sebagai fakta empiris yang absolut, melainkan sebagai
narasi simbolis yang memberi arah, nilai, dan identitas.
Sebagai penutup,
mitologi adalah warisan universal umat manusia yang tetap relevan lintas ruang
dan waktu. Ia mengajarkan bahwa di balik keragaman narasi dan simbol, terdapat
pencarian yang sama: usaha manusia untuk memahami dirinya, kosmos, dan yang
transenden.⁹ Dengan demikian, mempelajari mitologi berarti mempelajari hakikat
kemanusiaan itu sendiri—sebuah perjalanan tanpa akhir menuju makna.
Footnotes
[1]
Robert A. Segal, Myth: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 101.
[2]
Mircea Eliade, Myth and Reality (New York: Harper & Row,
1963), 12–15.
[3]
Andrew George, The Epic of Gilgamesh (London: Penguin
Classics, 1999), 23; Geraldine Pinch, Egyptian Myth: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 32.
[4]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic
Books, 1968), 614b–621d.
[5]
Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New
York: Free Press, 1995), 382.
[6]
Carl Gustav Jung, The Archetypes and the Collective Unconscious
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 42.
[7]
Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday,
1988), 169; Roland Barthes, Mythologies (Paris: Éditions du Seuil,
1957), 117.
[8]
Ernst Cassirer, The Philosophy of Symbolic Forms, Vol. 2: Mythical
Thought (New Haven: Yale University Press, 1955), 78.
[9]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Thought among the Greeks (New
York: Zone Books, 2006), 33.
Daftar
Pustaka
Barthes, R. (1957). Mythologies. Paris:
Éditions du Seuil.
Bachtiar, H. W. (1983). Sejarah dan mitos dalam
politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Birrell, A. (1993). Chinese mythology: An
introduction. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Bloom, A. (Trans.). (1968). The Republic
(Plato). New York: Basic Books.
Brunvand, J. H. (1998). The study of American
folklore. New York: W. W. Norton.
Campbell, J. (1949). The hero with a thousand
faces. Princeton: Princeton University Press.
Campbell, J. (1988). The power of myth. New
York: Doubleday.
Cassirer, E. (1946). The myth of the state.
New Haven: Yale University Press.
Cassirer, E. (1955). The philosophy of symbolic
forms, Vol. 2: Mythical thought. New Haven: Yale University Press.
Cogan, P. (2006). Superhero: The secret origin
of a genre. Austin: MonkeyBrain Books.
Comte, A. (1896). The positive philosophy
(H. Martineau, Trans.). London: George Bell.
Cullen, J. (2003). The American dream: A short
history of an idea that shaped a nation. Oxford: Oxford University Press.
Dalley, S. (2000). Myths from Mesopotamia:
Creation, the flood, Gilgamesh, and others. Oxford: Oxford University
Press.
Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia: Ilmu
gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Doniger, W. (1998). The implied spider: Politics
and theology in myth. New York: Columbia University Press.
Durkheim, É. (1995). The elementary forms of
religious life (K. E. Fields, Trans.). New York: Free Press. (Original work
published 1912)
Dundes, A. (1989). Folklore matters.
Knoxville: University of Tennessee Press.
Eliade, M. (1959). The sacred and the profane:
The nature of religion. New York: Harcourt.
Eliade, M. (1963). Myth and reality. New
York: Harper & Row.
Eliot, T. S. (1922). The waste land. New
York: Boni and Liveright.
Eliot, T. S. (1957). On poetry and poets.
London: Faber & Faber.
Frazer, J. G. (1922). The golden bough. New York:
Macmillan.
Freund, P. (1965). Myths of creation. New
York: Washington Square Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. New York: Basic Books.
Geertz, C. (1980). Negara: The theatre state in
nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.
Geertz, H. (1961). The Javanese family: A study
of kinship and socialization. New York: Free Press.
George, A. (1999). The epic of Gilgamesh.
London: Penguin Classics.
Graves, R. (1992). The Greek myths. London:
Penguin Books.
Graf, F. (1993). Greek mythology: An
introduction. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy: The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hesiod. (1914). Theogony (H. G.
Evelyn-White, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.
Hume, D. (1889). The natural history of religion.
London: A. and H. Bradlaugh Bonner.
Jaspers, K. (1953). The origin and goal of
history. New Haven: Yale University Press.
Joyce, J. (1986). Ulysses. New York: Random
House.
Jung, C. G. (1956). Symbols of transformation.
Princeton: Princeton University Press.
Jung, C. G. (1981). The archetypes and the
collective unconscious. Princeton: Princeton University Press.
Kantorowicz, E. H. (1957). The king’s two
bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton: Princeton
University Press.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near.
New York: Viking.
Levi-Strauss, C. (1963). Structural anthropology.
New York: Basic Books.
Lincoln, B. (1999). Theorizing myth: Narrative,
ideology, and scholarship. Chicago: University of Chicago Press.
Magnis-Suseno, F. (1993). Etika Jawa.
Jakarta: Gramedia.
Malinowski, B. (1926). Myth in primitive
psychology. London: Kegan Paul.
McAdams, D. P. (1993). The stories we live by:
Personal myths and the making of the self. New York: Guilford Press.
Miksic, J. (1990). Borobudur: Golden tales of
the Buddhas. Singapore: Periplus Editions.
Narayan, R. K. (1972). The Ramayana. New
York: Viking.
Narayan, R. K. (1978). The Mahabharata. New
York: Viking.
Neumann, E. (1954). The origins and history of
consciousness. Princeton: Princeton University Press.
Philippi, D. L. (Trans.). (1969). Kojiki.
Tokyo: University of Tokyo Press.
Pinch, G. (2004). Egyptian myth: A very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Posey, D. A. (1999). Cultural and spiritual
values of biodiversity. London: UNEP/Earthscan.
Ricoeur, P. (1967). The symbolism of evil.
Boston: Beacon Press.
Robertson, R. (1992). Globalization: Social theory
and global culture. London: Sage.
Segal, R. A. (2004). Myth: A very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Sells, M. (1989). Desert tracings: Six classic
Arabian odes. Middletown: Wesleyan University Press.
Seno, G. A. (2004). Kitab omong kosong.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sophocles. (1984). Oedipus Rex (R. Fagles,
Trans.). New York: Penguin.
Tillich, P. (1959). Theology of culture.
Oxford: Oxford University Press.
Turner, V. (1969). The ritual process: Structure
and anti-structure. Chicago: Aldine.
Vasari, G. (1998). Lives of the artists.
Oxford: Oxford University Press.
Vernant, J.-P. (2006). Myth and thought among
the Greeks. New York: Zone Books.
Virgil. (1990). The Aeneid (R. Fitzgerald,
Trans.). New York: Vintage Classics.
Voltaire. (2005). Philosophical dictionary.
London: Penguin.
Wagner, R. (1989). Der Ring des Nibelungen.
New York: W. W. Norton.
Walker, R. (1990). Ka whawhai tonu matou:
Struggle without end. Auckland: Penguin.
Zaehner, R. C. (1966). Hinduism. Oxford: Oxford
University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar