Kamis, 02 Oktober 2025

Post Hoc Ergo Propter Hoc: Analisis Kritis terhadap Kekeliruan Kausalitas dalam Logika Informal

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Analisis Kritis terhadap Kekeliruan Kausalitas dalam Logika Informal


Alihkan ke: Fallacy Informal.


Abstrak

Artikel ini mengkaji salah satu jenis fallacy informal yang dikenal dengan istilah Post Hoc Ergo Propter Hoc atau false cause fallacy, yakni kesalahan berpikir yang menganggap suatu peristiwa sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dahulu dari peristiwa lain. Kajian ini berangkat dari kesadaran bahwa kesalahan kausalitas merupakan fenomena yang tidak hanya merugikan secara logis, tetapi juga berdampak luas dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya kontemporer. Metode yang digunakan bersifat analitis-deskriptif dengan studi literatur, mencakup perspektif logika, epistemologi, psikologi kognitif, serta filsafat ilmu.

Artikel ini membahas secara sistematis: konsep dasar fallacy informal, definisi dan ciri khas Post Hoc Ergo Propter Hoc, sejarah pemikiran tentang kausalitas dari Aristoteles hingga filsafat modern, pola mekanisme kesalahan berpikir, serta contoh-contoh konkret dari kehidupan sehari-hari, politik, media, dan ilmu pengetahuan. Analisis kritis menunjukkan bahwa kesalahan ini bertahan karena ditopang oleh bias kognitif, kebutuhan manusia akan narasi sederhana, serta eksploitasi retoris dalam politik dan media. Strategi untuk menghindarinya mencakup penerapan metode ilmiah, penggunaan data empiris, penguatan keterampilan berpikir kritis, serta literasi logika dalam pendidikan publik.

Secara filosofis, Post Hoc Ergo Propter Hoc mencerminkan keterbatasan sekaligus potensi manusia: ia menyingkap kelemahan rasionalitas, tetapi juga menjadi pemicu berkembangnya tradisi logika, epistemologi, dan etika dalam pencarian kebenaran. Dengan kesadaran kritis atas fallacy ini, masyarakat dapat lebih waspada terhadap manipulasi kausalitas semu dan membangun tradisi berpikir yang lebih rasional, reflektif, dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Fallacy informal, Post Hoc Ergo Propter Hoc, False cause, Kausalitas, Logika informal, Bias kognitif, Pendidikan kritis.


PEMBAHASAN

Kajian Post Hoc Ergo Propter Hoc


1.           Pendahuluan

Dalam kajian logika, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah membedakan antara penalaran yang sahih dan penalaran yang keliru. Kesalahan penalaran atau fallacy sering kali muncul bukan karena lemahnya kecerdasan, melainkan karena kecenderungan alami manusia dalam mencari pola dan sebab-akibat dalam realitas. Di antara beragam jenis fallacy informal, salah satu yang paling menonjol adalah Post Hoc Ergo Propter Hoc, yang secara harfiah berarti “setelah ini, maka karena ini.” Kesalahan ini mengandaikan bahwa suatu peristiwa dianggap sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dahulu dari peristiwa lain, padahal hubungan kausalitas tersebut tidak memiliki dasar yang memadai.¹

Fenomena Post Hoc dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan: mulai dari perdebatan politik, praktik pengobatan tradisional, hingga keyakinan sehari-hari yang sering kali dipengaruhi oleh intuisi dan pengalaman subjektif.² Masyarakat awam kerap terjebak pada pola pikir ini, misalnya dengan menyimpulkan bahwa karena seseorang sembuh setelah meminum ramuan tertentu, maka ramuan itulah penyebab kesembuhannya—padahal faktor lain seperti kekebalan tubuh atau efek psikologis (placebo) mungkin berperan penting.³

Latar belakang perlunya mengkaji fallacy ini bukan hanya terkait dengan upaya akademis memahami kesalahan berpikir, melainkan juga dengan kebutuhan praktis di era modern. Dalam konteks banjir informasi dan maraknya fake news, fallacy seperti Post Hoc digunakan untuk membangun narasi yang menyesatkan publik. Propaganda politik sering kali mengaitkan dua peristiwa secara dangkal demi membentuk persepsi tertentu.⁴ Jika tidak dikaji secara kritis, masyarakat mudah terjebak pada kesalahan logika ini dan mengambil keputusan yang keliru.

Dengan demikian, tujuan dari kajian ini adalah: (1) menjelaskan konsep dasar Post Hoc Ergo Propter Hoc beserta karakteristiknya; (2) menelusuri sejarah dan perkembangan pemikiran tentang relasi kausalitas dalam logika; (3) memberikan contoh konkret dari kehidupan nyata, baik dalam ranah sosial, politik, maupun ilmu pengetahuan; serta (4) menawarkan strategi berpikir kritis untuk menghindari jebakan kesalahan ini. Kajian ini berangkat dari pendekatan interdisipliner, yang memadukan logika, filsafat ilmu, psikologi kognitif, dan analisis kontemporer mengenai media dan politik.

Secara metodologis, artikel ini menggunakan pendekatan analitis-deskriptif dengan studi literatur. Analisis akan dilakukan dengan menguraikan struktur argumen yang salah, mengidentifikasi ciri-cirinya, serta mengaitkannya dengan fenomena sosial yang relevan. Dengan demikian, diharapkan artikel ini dapat berkontribusi pada upaya memperkuat tradisi berpikir kritis dalam masyarakat dan memberikan refleksi filosofis mengenai keterbatasan penalaran manusia dalam membedakan korelasi dari kausalitas sejati.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 123.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 57.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 45–46.

[4]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 89–91.


2.           Konsep Dasar Fallacy Informal

Dalam tradisi logika, fallacy dipahami sebagai bentuk penalaran yang menyesatkan, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Secara umum, fallacy dapat dibedakan menjadi dua kategori besar: fallacy formal dan fallacy informal.¹ Perbedaan utama antara keduanya terletak pada locus kesalahannya. Fallacy formal terjadi ketika terdapat kesalahan dalam struktur logis argumen, sehingga argumen menjadi tidak valid meskipun premis-premisnya benar.² Sebaliknya, fallacy informal tidak selalu bergantung pada struktur formal, melainkan pada konten, konteks, dan cara argumen itu digunakan dalam wacana.³

Konsep fallacy informal sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, karena mayoritas percakapan publik, perdebatan politik, bahkan diskursus akademik sering kali tidak disusun dalam bentuk silogisme formal.⁴ Kesalahan berpikir jenis ini biasanya muncul akibat penggunaan bahasa yang ambigu, asumsi tersembunyi, bias kognitif, atau pengaburan hubungan sebab-akibat. Dengan demikian, fallacy informal lebih sulit dikenali dibandingkan fallacy formal, karena memerlukan kepekaan terhadap makna, konteks, dan relevansi argumen.

Salah satu fungsi penting dari pengkajian fallacy informal adalah meningkatkan kualitas berpikir kritis. Menurut Charles Hamblin, seorang pionir dalam kajian logika informal, keberadaan fallacy bukan hanya menandakan kekeliruan teknis, tetapi juga mengandung dimensi retoris dan pragmatis, karena sering dipakai untuk meyakinkan orang lain walaupun tidak sahih secara logis.⁵ Dengan kata lain, mempelajari fallacy informal memungkinkan kita untuk memahami bukan hanya bagaimana argumen salah, tetapi juga mengapa kesalahan itu tetap bisa memengaruhi orang.

Klasifikasi fallacy informal cukup beragam. Beberapa ahli membaginya ke dalam kategori berdasarkan sifat kesalahannya, seperti: (a) fallacy of relevance (kesalahan relevansi), misalnya ad hominem atau appeal to emotion; (b) fallacy of ambiguity (kesalahan ambiguitas), misalnya equivocation; dan (c) fallacy of presumption (kesalahan asumsi), yang mencakup Post Hoc Ergo Propter Hoc.⁶ Pembagian ini membantu dalam memahami letak kesalahan sekaligus cara mendeteksinya dalam berbagai bentuk diskursus.

Dengan demikian, fallacy informal dapat dipandang sebagai “cermin” dari kelemahan sekaligus kompleksitas berpikir manusia. Ia mengungkap bahwa rasionalitas manusia sering kali bercampur dengan intuisi, emosi, dan konteks sosial. Maka, membedah fallacy informal bukan sekadar latihan logika, tetapi juga usaha untuk memahami dinamika epistemologis dan psikologis di balik argumen yang kita temui sehari-hari.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 132.

[2]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 112–13.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 36.

[4]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 25.

[5]                Charles L. Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970), 12–15.

[6]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 121–23.


3.           Post Hoc Ergo Propter Hoc: Definisi dan Ciri Utama

Salah satu jenis fallacy informal yang paling sering muncul dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam wacana publik adalah Post Hoc Ergo Propter Hoc. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “setelah ini, maka karena ini.” Secara sederhana, fallacy ini mengasumsikan bahwa jika suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain, maka peristiwa pertama tersebut menjadi penyebab bagi peristiwa berikutnya.¹ Kesalahan mendasar dari pola pikir ini adalah pengaburan antara urutan temporal (sequence) dengan hubungan kausal (causation).

3.1.       Definisi

Dalam literatur logika, Post Hoc Ergo Propter Hoc dikategorikan sebagai fallacy of presumption, yakni kesalahan berpikir yang muncul karena adanya asumsi kausalitas tanpa bukti yang memadai.² Argumen yang bersifat post hoc biasanya memiliki struktur sederhana: “A terjadi sebelum B, maka A menyebabkan B.”³ Walaupun tampak meyakinkan, kesimpulan ini cacat karena tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya faktor lain yang memengaruhi atau bahkan menjadi penyebab utama dari peristiwa tersebut.

Contoh klasik dari Post Hoc dapat ditemukan dalam keyakinan bahwa turunnya hujan disebabkan oleh ritual tertentu yang kebetulan dilakukan sebelumnya. Demikian pula, dalam konteks modern, seseorang mungkin berasumsi bahwa kesembuhan pasien disebabkan oleh obat herbal tertentu hanya karena ia dikonsumsi sebelum sembuh, padahal kesembuhan dapat terjadi karena faktor lain, seperti proses biologis alami atau terapi medis yang sedang berlangsung.⁴

3.2.       Ciri Utama

Beberapa ciri khas dari fallacy Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1)                  Asumsi Kausalitas Berdasarkan Urutan Waktu

Kesalahan utama terletak pada anggapan bahwa urutan temporal sudah cukup untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat. Padahal, dua peristiwa yang berurutan tidak selalu memiliki keterkaitan kausal.⁵

2)                  Pengabaian Faktor Alternatif

Argumen post hoc sering mengabaikan kemungkinan adanya penyebab lain yang lebih relevan. Misalnya, dalam bidang ekonomi, kenaikan harga minyak mungkin dikaitkan dengan pidato politik tertentu, padahal sebenarnya dipengaruhi oleh mekanisme pasar global.⁶

3)                  Generalisasi Berlebihan

Ciri lain adalah adanya kecenderungan untuk membuat generalisasi kausal berdasarkan satu atau beberapa contoh kasus. Hal ini menjadikan argumen bersifat simplistis dan menyesatkan.⁷

4)                  Daya Retoris yang Kuat

Walaupun keliru, argumen jenis ini sering memiliki daya persuasif tinggi karena sesuai dengan intuisi manusia dalam mencari pola. Hal ini menjelaskan mengapa post hoc sering dipakai dalam retorika politik atau iklan komersial.⁸

Dengan memahami definisi dan ciri utama dari Post Hoc Ergo Propter Hoc, kita dapat lebih waspada terhadap bentuk kesalahan berpikir ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kajian ini juga menegaskan bahwa membedakan antara korelasi dan kausalitas merupakan keterampilan penting dalam berpikir kritis dan ilmiah.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 124.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 143.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 47.

[5]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 42.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 199–200.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 131.

[8]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 92.


4.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran

Kesalahan penalaran kausal seperti Post Hoc Ergo Propter Hoc memiliki akar panjang dalam tradisi filsafat dan logika. Sejak masa Yunani Kuno, para filsuf telah menyadari kecenderungan manusia untuk menyamakan urutan temporal dengan hubungan sebab-akibat. Aristoteles, dalam karya monumentalnya Organon, menekankan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui pemahaman akan penyebab (aitia) yang sebenarnya, bukan sekadar melalui pengamatan peristiwa yang berurutan.¹ Ia membedakan antara empat jenis sebab—material, formal, efisien, dan final—yang menjadi dasar untuk membedakan analisis kausalitas dari sekadar asosiasi.²

Dalam tradisi skolastik Abad Pertengahan, Thomas Aquinas dan para teolog lainnya memperluas kerangka Aristoteles dalam konteks teologi dan metafisika.³ Meski fokus mereka lebih pada argumen kosmologis tentang sebab pertama (causa prima), diskusi ini tetap berhubungan dengan problematika kausalitas dan logika inferensial. Kesalahan dalam menarik kesimpulan kausal kerap diperingatkan sebagai jebakan berpikir yang dapat menyesatkan dalam perdebatan teologis maupun filsafat alam.

Pada masa modern, problematika kausalitas mendapat perhatian khusus dari filsuf empiris, terutama David Hume. Menurut Hume, hubungan kausal tidak dapat dibuktikan secara a priori, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan pikiran yang terbentuk karena seringnya dua peristiwa muncul secara berurutan.⁴ Dengan demikian, kepercayaan kita terhadap kausalitas sebenarnya lebih merupakan konstruksi psikologis daripada kepastian logis. Perspektif Hume ini memperlihatkan mengapa fallacy post hoc begitu menggoda: manusia cenderung melihat korelasi temporal sebagai bukti kausal, padahal tidak ada landasan rasional yang kuat untuk kesimpulan itu.⁵

Memasuki abad ke-20, filsafat ilmu dan logika modern memberikan alat analisis yang lebih ketat terhadap hubungan sebab-akibat. Karl Popper, misalnya, menekankan pentingnya falsifikasi dalam ilmu pengetahuan, sehingga klaim kausal harus dapat diuji dan dibuktikan salah jika tidak sesuai dengan bukti empiris.⁶ Sementara itu, perkembangan statistika dan metode eksperimental memberikan kerangka metodologis yang jelas untuk membedakan korelasi dari kausalitas. Dengan munculnya disiplin ilmu seperti epidemiologi, ekonomi kuantitatif, dan psikologi eksperimental, fallacy post hoc semakin dapat diidentifikasi dan dikoreksi melalui uji kontrol variabel serta metode empiris.⁷

Dalam konteks kontemporer, pemikiran mengenai kesalahan kausal juga diperkaya oleh kajian kognitif. Daniel Kahneman dan Amos Tversky, melalui penelitian tentang bias heuristik, menunjukkan bahwa manusia cenderung mengandalkan intuisi dalam menilai hubungan antarperistiwa.⁸ Hal ini menjelaskan mengapa fallacy post hoc terus bertahan meski berbagai instrumen analisis ilmiah telah berkembang pesat. Dengan kata lain, sejarah perkembangan pemikiran tentang Post Hoc Ergo Propter Hoc memperlihatkan dialektika antara kecenderungan alami manusia untuk mencari keteraturan dan usaha intelektual untuk membedakan pola sejati dari ilusi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Organon, trans. J. Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1995), 97.

[2]                Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 112.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 53–55.

[5]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 2011), 74.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–35.

[7]                Judea Pearl, Causality: Models, Reasoning, and Inference, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 117.

[8]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 197–98.


5.           Mekanisme dan Pola Kesalahan Berpikir

Fallacy Post Hoc Ergo Propter Hoc bekerja melalui mekanisme penalaran yang tampak logis pada permukaan, tetapi sesungguhnya cacat secara inferensial. Mekanisme ini berakar pada kecenderungan manusia untuk mengaitkan peristiwa yang berurutan dalam waktu sebagai sebab dan akibat.¹ Dengan kata lain, pola dasar dari kesalahan berpikir ini adalah transformasi sederhana: “A terjadi sebelum B, maka A menyebabkan B.” Walaupun pola ini sering kali tampak intuitif, kesalahan terletak pada asumsi bahwa sekuensi temporal identik dengan kausalitas.²

5.1.       Struktur Argumen Post Hoc

Struktur formal dari argumen post hoc dapat digambarkan dalam bentuk berikut:

1)                  Peristiwa X terjadi.

2)                  Kemudian, peristiwa Y terjadi.

3)                  Maka, X menyebabkan Y.³

Kesalahan dalam struktur ini terletak pada “lompatan inferensial” dari premis (1) dan (2) menuju kesimpulan (3). Argumen semacam ini mengabaikan kebutuhan akan bukti tambahan yang memperlihatkan hubungan kausalitas yang sahih.

5.2.       Mekanisme Psikologis

Kecenderungan untuk berpikir post hoc erat kaitannya dengan bias kognitif yang disebut illusory correlation, yakni persepsi adanya hubungan antara dua variabel padahal hubungan itu tidak nyata.⁴ Selain itu, heuristik ketersediaan (availability heuristic) juga memperkuat pola ini: ketika suatu peristiwa mudah diingat karena kedekatan temporal, otak manusia cenderung menilainya sebagai penyebab yang relevan.⁵ Dengan demikian, kesalahan berpikir ini tidak hanya bersifat logis, tetapi juga bersumber dari mekanisme psikologis manusia.

5.3.       Pola Umum Kesalahan

Ada beberapa pola umum yang dapat diidentifikasi dalam Post Hoc Ergo Propter Hoc:

1)                  Kausalitas Spurious (Semuan)

Hubungan antara dua peristiwa sebenarnya dipengaruhi oleh variabel ketiga yang diabaikan. Misalnya, peningkatan konsumsi es krim dihubungkan dengan meningkatnya kasus tenggelam, padahal variabel ketiga, yakni musim panas, merupakan faktor penyebab yang sesungguhnya.⁶

2)                  Kausalitas Terbalik

Kadang-kadang, peristiwa yang dianggap sebagai sebab justru sebenarnya adalah akibat. Dalam penelitian sosial, misalnya, seseorang mungkin berasumsi bahwa tingkat kebahagiaan tinggi menyebabkan pernikahan yang langgeng, padahal pernikahan yang stabil justru bisa meningkatkan kebahagiaan.⁷

3)                  Generalisasi Prematur

Kesalahan juga terjadi ketika satu atau dua kasus digunakan untuk menyimpulkan pola kausal universal. Hal ini lazim ditemukan dalam iklan atau klaim kesehatan alternatif.⁸

5.4.       Daya Retoris dan Dampak Sosial

Pola berpikir post hoc memiliki daya retoris yang besar karena sejalan dengan intuisi manusia dalam mencari keteraturan. Pola ini sering dimanfaatkan dalam retorika politik, iklan, dan bahkan dalam penulisan sejarah yang menekankan hubungan sebab-akibat secara linier.⁹ Dampaknya adalah terbentuknya opini publik yang salah arah dan pengambilan keputusan yang tidak berbasis pada bukti empiris yang memadai.

Dengan memahami mekanisme dan pola kesalahan ini, kita dapat mengembangkan kepekaan kritis terhadap argumen kausal yang tampak meyakinkan di permukaan, tetapi sesungguhnya rapuh secara logis.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 124.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 145.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 68.

[4]                Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of Human Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 33.

[5]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 129.

[6]                Judea Pearl, Causality: Models, Reasoning, and Inference, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 57.

[7]                Richard J. Gelles, Contemporary Families: A Sociological View (London: Sage, 1995), 78.

[8]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 135.

[9]              Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 94.


6.           Contoh-Contoh Kasus

Untuk memahami secara lebih konkret bagaimana Post Hoc Ergo Propter Hoc bekerja, diperlukan ilustrasi dari berbagai bidang kehidupan. Kesalahan berpikir ini tidak hanya muncul dalam diskursus akademik, melainkan juga mewarnai praktik sosial, politik, ekonomi, medis, dan bahkan keyakinan sehari-hari. Melalui contoh-contoh kasus berikut, dapat dilihat betapa kuatnya daya pengaruh fallacy ini dalam membentuk persepsi publik.

6.1.       Contoh dalam Sejarah

Salah satu contoh klasik dapat ditemukan dalam praktik pengobatan kuno. Ketika seorang pasien sembuh setelah menjalani ritual tertentu atau mengonsumsi ramuan herbal, masyarakat tradisional segera menganggap bahwa penyembuhan tersebut terjadi karena ritual atau ramuan itu.¹ Padahal, kesembuhan bisa saja disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang bekerja secara alami. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kesalahan kausalitas terbentuk dari urutan temporal semata.

Contoh lain terdapat dalam sejarah politik. Pada Abad Pertengahan, terjadinya bencana alam sering dihubungkan dengan praktik sihir atau dosa kolektif masyarakat.² Ketika wabah melanda setelah peristiwa tertentu, segera muncul keyakinan bahwa peristiwa itulah penyebabnya, sehingga orang-orang tertentu dijadikan kambing hitam. Ini adalah bentuk post hoc yang berimplikasi tragis, karena mengarah pada penganiayaan sosial dan pembantaian yang tidak berdasar.

6.2.       Contoh dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam kehidupan modern, Post Hoc muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa membawa payung menyebabkan hujan, hanya karena kebetulan setiap kali ia membawa payung, hujan turun.³ Demikian pula, orang sering menganggap bahwa hasil ujian yang baik disebabkan oleh “ritual keberuntungan” yang dilakukan malam sebelumnya, meskipun sesungguhnya faktor persiapan belajar lebih menentukan.⁴

Kesalahan ini juga terlihat dalam praktik kesehatan. Banyak klaim produk kesehatan yang didasarkan pada testimoni: seorang konsumen merasa lebih sehat setelah mengonsumsi produk tertentu, lalu menyimpulkan bahwa produk itulah penyebab perbaikannya. Padahal, faktor lain seperti perubahan pola makan, olahraga, atau bahkan efek placebo mungkin lebih berperan.⁵

6.3.       Contoh dalam Politik dan Media

Dalam politik kontemporer, Post Hoc kerap digunakan secara retoris. Misalnya, seorang politisi mungkin berargumen bahwa sejak ia menjabat, tingkat pengangguran menurun, sehingga penurunannya dianggap hasil langsung dari kebijakan yang ia buat.⁶ Padahal, tren penurunan tersebut bisa jadi merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya atau akibat faktor ekonomi global.

Media juga sering menggunakan pola post hoc dalam pemberitaan. Sebagai contoh, lonjakan harga bahan pokok setelah pernyataan pejabat sering kali diberitakan seolah-olah pernyataan itulah penyebabnya.⁷ Narasi semacam ini membentuk opini publik meskipun analisis ekonomis menunjukkan faktor yang lebih kompleks.

6.4.       Contoh dalam Dunia Sains

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, post hoc pernah menghambat perkembangan teori ilmiah. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa munculnya penyakit disebabkan oleh “miasma” atau udara buruk, hanya karena wabah sering kali bertepatan dengan lingkungan yang berbau busuk.⁸ Baru setelah perkembangan mikrobiologi oleh Louis Pasteur dan Robert Koch, teori kausalitas penyakit melalui mikroorganisme membantah asumsi post hoc tersebut.


Footnotes

[1]                Roy Porter, The Greatest Benefit to Mankind: A Medical History of Humanity (New York: W. W. Norton, 1999), 41.

[2]                Brian Levack, The Witch-Hunt in Early Modern Europe, 4th ed. (London: Routledge, 2016), 97.

[3]                Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of Human Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 23.

[4]                Robert J. Sternberg, Thinking and Reasoning: A Reader’s Guide (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 59.

[5]                Ted J. Kaptchuk, “Effect of Placebo on the Human Mind and Body,” Philosophical Transactions of the Royal Society B 366, no. 1572 (2011): 1780.

[6]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 101.

[7]                Robert Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 56.

[8]                William Bynum, A Little History of Science (New Haven: Yale University Press, 2012), 152.


7.           Analisis Kritis

Kajian kritis terhadap Post Hoc Ergo Propter Hoc mengungkapkan bahwa kesalahan ini bukan sekadar kelemahan logika, melainkan juga cerminan dari keterbatasan epistemologis manusia. Dalam banyak kasus, kekeliruan post hoc bertahan karena memiliki daya persuasif yang tinggi, sekalipun secara rasional rapuh. Analisis kritis berikut menyoroti tiga aspek utama: aspek epistemologis, psikologis, dan sosiopolitik.

7.1.       Aspek Epistemologis

Dari sudut pandang epistemologi, Post Hoc menyingkapkan persoalan mendasar dalam memahami kausalitas. David Hume telah menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dipastikan hanya dari pengamatan berulang, melainkan hanyalah hasil kebiasaan pikiran.¹ Dengan demikian, post hoc sering kali muncul sebagai bentuk overgeneralization dari pengalaman terbatas. Di sini terlihat adanya jarak antara korelasi empiris dan kausalitas sejati. Untuk mengatasi jarak tersebut, ilmu pengetahuan modern menuntut adanya metode eksperimental, verifikasi data, dan kontrol variabel.²

7.2.       Aspek Psikologis

Dari perspektif psikologi kognitif, kesalahan post hoc berakar pada bias dan heuristik manusia. Daniel Kahneman dan Amos Tversky menegaskan bahwa manusia cenderung mengandalkan sistem berpikir cepat (System 1), yang intuitif dan asosiasional, sehingga mudah tertipu oleh korelasi temporal.³ Pola ini juga didukung oleh kecenderungan otak untuk mencari makna dan keteraturan, bahkan di mana hubungan itu tidak ada—fenomena yang dikenal sebagai apophenia.⁴ Oleh karena itu, meskipun logika formal menolak post hoc, mekanisme kognitif manusia justru memperkuat kelangsungan hidup kesalahan ini.

7.3.       Aspek Sosiopolitik

Dalam ranah sosial dan politik, Post Hoc Ergo Propter Hoc sering kali diproduksi secara sengaja untuk kepentingan persuasi. Retorika politik, misalnya, kerap menggunakan klaim kausal yang simplistis: jika sebuah kebijakan diterapkan lalu kondisi ekonomi membaik, maka kebijakan itu dianggap sebagai penyebab tunggal.⁵ Padahal, realitas sosial-politik selalu dipengaruhi oleh banyak faktor kompleks. Media massa turut berperan dalam memperkuat kesalahan ini dengan menyajikan narasi linear yang mudah dicerna publik.⁶ Dengan demikian, post hoc tidak hanya merupakan kelemahan logika individual, tetapi juga instrumen manipulasi kolektif.

7.4.       Kritik Filosofis

Secara filosofis, post hoc menantang klaim rasionalitas manusia. Kecenderungan untuk mengaitkan dua peristiwa secara keliru memperlihatkan keterbatasan manusia dalam membedakan korelasi dari kausalitas. Kritik ini menegaskan perlunya disiplin berpikir kritis yang berbasis pada metodologi ilmiah.⁷ Namun demikian, sebagian filsuf pragmatis berargumen bahwa post hoc kadang berfungsi sebagai “hipotesis awal” yang meskipun keliru, dapat memicu penelitian lebih lanjut.⁸ Dengan kata lain, meskipun berstatus fallacy, pola pikir ini tidak sepenuhnya tidak berguna, tetapi harus ditransformasikan melalui kerangka ilmiah yang ketat.

Secara keseluruhan, analisis kritis memperlihatkan bahwa Post Hoc Ergo Propter Hoc adalah bentuk kesalahan berpikir yang kompleks: ia bertahan bukan hanya karena kesalahan logika, tetapi juga karena ditopang oleh bias psikologis dan praktik sosial. Oleh sebab itu, membongkar fallacy ini membutuhkan pendekatan multidisipliner yang tidak hanya logis, tetapi juga epistemologis, psikologis, dan sosiologis.


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 52–53.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 37.

[3]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–21.

[4]                Klaus Conrad, Die beginnende Schizophrenie (Stuttgart: Thieme, 1958), 46.

[5]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 101.

[6]                Robert Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 59.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 137.

[8]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.623.


8.           Perbandingan dengan Jenis Fallacy Lain

Post Hoc Ergo Propter Hoc merupakan salah satu bentuk fallacy informal yang tergolong dalam kategori fallacy of presumption. Untuk memahami sifat khasnya, penting menempatkannya dalam perbandingan dengan jenis-jenis fallacy lain yang memiliki kemiripan atau sering tertukar. Perbandingan ini menegaskan baik posisi Post Hoc dalam klasifikasi logika informal, maupun keunikan mekanismenya dibandingkan kesalahan berpikir lain.

8.1.       Post Hoc vs. Cum Hoc Ergo Propter Hoc

Sering kali Post Hoc disamakan dengan Cum Hoc Ergo Propter Hoc. Keduanya memang sama-sama merupakan kesalahan dalam penalaran kausal, tetapi memiliki perbedaan mendasar. Post Hoc berasumsi bahwa urutan temporal antara dua peristiwa menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat: A terjadi sebelum B, maka A menyebabkan B.¹ Sebaliknya, Cum Hoc menganggap bahwa dua peristiwa yang terjadi bersamaan pasti memiliki hubungan kausal: A dan B terjadi secara simultan, maka A menyebabkan B (atau sebaliknya).²

Contoh Cum Hoc adalah keyakinan bahwa anak-anak yang banyak menonton televisi memiliki nilai akademik rendah, sehingga televisi dianggap penyebabnya. Padahal, variabel lain seperti lingkungan keluarga atau kondisi sosial-ekonomi mungkin lebih menentukan.³ Dengan demikian, Post Hoc dan Cum Hoc sama-sama merupakan false cause fallacies, tetapi dibedakan oleh kerangka temporal yang digunakan: berurutan versus bersamaan.

8.2.       Post Hoc vs. Slippery Slope

Slippery Slope adalah kesalahan logika yang mengasumsikan bahwa suatu tindakan awal kecil akan memicu rangkaian peristiwa berantai menuju akibat yang ekstrem.⁴ Berbeda dengan Post Hoc, Slippery Slope bukan sekadar menyamakan urutan temporal dengan kausalitas, melainkan mengasumsikan adanya determinisme progresif yang tidak terbukti. Misalnya, argumen bahwa “mengizinkan siswa menggunakan ponsel di sekolah akan berujung pada kehancuran moral generasi muda” adalah bentuk slippery slope.⁵ Jika Post Hoc keliru karena menganggap hubungan kausal hanya dari kedekatan waktu, Slippery Slope keliru karena mengasumsikan rantai kausalitas yang spekulatif dan tak terhentikan.

8.3.       Post Hoc vs. Hasty Generalization

Perbandingan lain dapat dilakukan dengan Hasty Generalization, yaitu kesalahan penalaran yang menarik kesimpulan umum dari bukti yang terlalu sedikit.⁶ Misalnya, jika seseorang mengalami satu kali keracunan setelah makan di restoran tertentu, lalu menyimpulkan bahwa “semua makanan di restoran itu beracun,” ia terjebak dalam hasty generalization. Post Hoc berbeda karena kesalahannya bukan pada jumlah bukti, melainkan pada atribusi kausal yang keliru. Namun demikian, keduanya sering saling melengkapi dalam praktik, ketika seseorang tidak hanya menarik kesimpulan dari kasus terbatas, tetapi juga menganggap kasus tersebut memiliki hubungan sebab-akibat yang salah.⁷

8.4.       Posisi dalam Klasifikasi Logika Informal

Dalam klasifikasi fallacy informal, Post Hoc Ergo Propter Hoc ditempatkan bersama dengan Cum Hoc sebagai bagian dari causal fallacies. Keduanya memperlihatkan kesalahan dalam inferensi kausal, tetapi mekanismenya berbeda dengan fallacy of relevance (misalnya ad hominem) atau fallacy of ambiguity (misalnya equivocation).⁸ Perbandingan ini memperlihatkan bahwa meskipun beragam, fallacy memiliki pola umum: argumen yang tampak rasional, tetapi gagal memenuhi kriteria logis dan epistemologis.

Dengan demikian, Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat dipahami secara lebih jelas melalui komparasi ini: ia unik karena kesalahannya terletak pada penalaran berbasis urutan temporal, berbeda dari Cum Hoc yang berbasis keserentakan, Slippery Slope yang berbasis rantai spekulatif, maupun Hasty Generalization yang berbasis bukti tidak memadai. Pemahaman komparatif ini membantu memperkuat kemampuan analitis dalam membedakan jenis-jenis kesalahan berpikir yang sering bercampur dalam praktik nyata.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 125.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 147.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 72.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 139.

[5]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 61.

[6]                Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 98.

[7]                Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of Human Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 41.

[8]                Charles L. Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970), 34–36.


9.           Strategi Menghindari Post Hoc Fallacy

Kesalahan berpikir Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat diminimalisasi melalui upaya sadar untuk meningkatkan ketelitian dalam penalaran kausal. Strategi pencegahan ini mencakup pendekatan metodologis, epistemologis, serta keterampilan berpikir kritis yang secara sistematis mengarahkan individu untuk membedakan antara korelasi temporal dan hubungan kausal yang sahih.

9.1.       Prinsip Dasar Analisis Kausalitas

Langkah pertama untuk menghindari post hoc adalah memahami prinsip dasar analisis kausalitas. Hubungan sebab-akibat harus dibuktikan dengan lebih dari sekadar urutan temporal; diperlukan bukti empiris, konsistensi, dan keterkaitan mekanistik yang dapat diuji.¹ Dalam ilmu pengetahuan, misalnya, kriteria Bradford Hill sering digunakan untuk menilai apakah suatu korelasi layak dianggap kausal, mencakup kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, dan bukti eksperimental.² Dengan demikian, sekadar “A terjadi sebelum B” tidak pernah cukup untuk menarik kesimpulan kausal.

9.2.       Pentingnya Data Empiris dan Kontrol Variabel

Strategi kedua adalah menekankan pada penggunaan data empiris dan metode eksperimental. Eksperimen terkontrol memungkinkan peneliti untuk memisahkan variabel-variabel yang relevan dari yang tidak relevan, sehingga meminimalisasi kemungkinan atribusi kausal yang salah.³ Misalnya, dalam penelitian medis, kelompok kontrol digunakan untuk membedakan efek nyata obat dari efek placebo. Pendekatan ini mengajarkan bahwa klaim kausal tanpa uji empiris hanyalah spekulasi yang rawan kesalahan post hoc.

9.3.       Teknik Berpikir Kritis

Mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah strategi yang tak kalah penting. Trudy Govier menekankan perlunya skeptisisme sehat dalam mengevaluasi argumen kausal, termasuk dengan mengajukan pertanyaan seperti: Apakah ada penyebab alternatif yang mungkin? Apakah hubungan kausal didukung bukti independen? Apakah peristiwa dapat terjadi tanpa kehadiran sebab yang diasumsikan?⁴ Dengan mengajukan pertanyaan reflektif, individu dapat menghindari jebakan inferensi yang terlalu cepat.

9.4.       Peran Metode Ilmiah

Metode ilmiah menyediakan kerangka yang paling efektif untuk mengatasi post hoc fallacy. Karl Popper menegaskan bahwa klaim kausal harus difalsifikasi, yakni diuji untuk melihat apakah ia dapat terbantahkan oleh data.⁵ Dengan falsifikasi, klaim kausal tidak hanya diverifikasi melalui pengamatan positif, tetapi juga diuji melalui kemungkinan penyangkalan. Dalam praktik ilmiah, hal ini berarti setiap klaim “A menyebabkan B” harus diuji dengan mencari kondisi di mana A hadir tanpa menghasilkan B.

9.5.       Literasi Logika dan Pendidikan Publik

Akhirnya, strategi jangka panjang untuk mengurangi prevalensi post hoc adalah melalui pendidikan publik yang menekankan literasi logika dan metode ilmiah.⁶ Dalam masyarakat demokratis, kemampuan untuk mengidentifikasi kesalahan kausal sangat penting, mengingat narasi politik dan media sering memanfaatkan kesalahan ini untuk membentuk opini. Literasi logika tidak hanya melindungi individu dari manipulasi, tetapi juga memperkuat kapasitas kolektif untuk mengambil keputusan berdasarkan penalaran rasional.

Dengan menggabungkan pendekatan analitis, empiris, kritis, dan edukatif, Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat diantisipasi secara efektif. Strategi-strategi ini membekali individu dan masyarakat untuk tidak terjebak dalam ilusi kausalitas semu, serta mendorong budaya intelektual yang lebih sehat dan kritis.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 127.

[2]                Austin Bradford Hill, “The Environment and Disease: Association or Causation?,” Proceedings of the Royal Society of Medicine 58, no. 5 (1965): 295–300.

[3]                Judea Pearl, Causality: Models, Reasoning, and Inference, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 71.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 142.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 40–41.

[6]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 88.


10.       Relevansi dalam Konteks Kontemporer

Fallacy Post Hoc Ergo Propter Hoc tidak hanya merupakan persoalan klasik dalam tradisi logika, melainkan juga fenomena yang sangat relevan dalam kehidupan kontemporer. Di era informasi dan komunikasi digital, kesalahan kausal ini justru semakin sering muncul, baik dalam wacana politik, pemberitaan media, maupun praktik sehari-hari masyarakat. Relevansinya dapat dilihat dari tiga konteks utama: media digital, politik populis, dan budaya populer.

10.1.    Era Informasi dan Media Digital

Perkembangan teknologi digital mempermudah penyebaran informasi, tetapi sekaligus memperbesar potensi misinformasi. Media sosial, dengan kecepatan distribusi dan keterbatasan ruang narasi, sering kali menyajikan peristiwa dalam kerangka temporal sederhana, sehingga publik tergoda menyimpulkan kausalitas langsung.¹ Misalnya, sebuah unggahan yang mengaitkan bencana alam dengan kebijakan pemerintah tertentu dapat viral meski tidak memiliki basis analisis ilmiah.²

Selain itu, algoritma media sosial memperkuat bias konfirmasi. Ketika pengguna cenderung percaya bahwa suatu peristiwa memiliki hubungan sebab-akibat tertentu, konten serupa akan lebih sering ditampilkan, sehingga memperkuat keyakinan yang keliru.³ Dengan demikian, post hoc tidak hanya menjadi kesalahan logika individual, melainkan juga fenomena kolektif yang diperparah oleh ekosistem digital.

10.2.    Politik Populis dan Retorika Publik

Dalam konteks politik, Post Hoc Ergo Propter Hoc merupakan instrumen retoris yang ampuh. Politisi populis sering memanfaatkan logika kausal semu untuk memperkuat legitimasi. Misalnya, penurunan angka kriminalitas dalam satu periode kekuasaan diklaim sebagai akibat langsung dari kebijakan baru, padahal tren tersebut mungkin sudah berlangsung sejak sebelumnya atau dipengaruhi oleh faktor lain.⁴ Strategi retoris ini berfungsi karena publik lebih mudah menerima narasi sederhana yang menghubungkan dua peristiwa berurutan ketimbang penjelasan kompleks berbasis data.⁵

Fenomena ini juga terlihat dalam kampanye politik digital. Gimmick atau propaganda sering menggunakan peristiwa aktual untuk menanamkan persepsi kausal yang menyesatkan. Hal ini tidak hanya membentuk opini jangka pendek, tetapi juga dapat mengubah orientasi politik masyarakat secara luas.⁶

10.3.    Budaya Populer dan Kehidupan Sehari-Hari

Relevansi post hoc juga tampak dalam budaya populer. Misalnya, dalam dunia olahraga, kemenangan sebuah tim sering dikaitkan dengan ritual tertentu yang dilakukan pemain atau suporter, meskipun tidak ada bukti kausal yang memadai.⁷ Demikian pula, dalam iklan produk kesehatan atau kecantikan, testimoni personal sering dipakai untuk meyakinkan konsumen bahwa hasil positif terjadi karena penggunaan produk, padahal faktor lain dapat berperan.⁸

Fenomena ini memperlihatkan bahwa Post Hoc Ergo Propter Hoc bertahan karena sesuai dengan kebutuhan manusia untuk mencari pola dan makna. Kesalahan berpikir ini bukan sekadar hambatan rasionalitas, melainkan juga bagian dari dinamika sosial dan budaya.


Implikasi Global

Dalam skala global, post hoc memengaruhi cara masyarakat memahami isu-isu besar seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik internasional. Kesimpulan kausal yang salah dapat menghambat kebijakan publik yang efektif.⁹ Oleh karena itu, kemampuan untuk membedakan korelasi dan kausalitas menjadi semakin penting dalam era kompleksitas global.

Secara keseluruhan, Post Hoc Ergo Propter Hoc tetap relevan dalam konteks kontemporer karena ia beroperasi di persimpangan antara logika, psikologi, teknologi, dan politik. Kesadaran akan relevansi ini mempertegas urgensi literasi logika dan pendidikan kritis di masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 85.

[2]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policymaking (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 28.

[3]                Eli Pariser, The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think (New York: Penguin, 2011), 56.

[4]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 103.

[5]                Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press, 2016), 62.

[6]                Yannis Theocharis et al., “The Dynamics of Political Incivility on Twitter,” Social Media + Society 2, no. 3 (2016): 1–17.

[7]                Michael Shermer, The Believing Brain (New York: Times Books, 2011), 92.

[8]                Ted J. Kaptchuk, “Effect of Placebo on the Human Mind and Body,” Philosophical Transactions of the Royal Society B 366, no. 1572 (2011): 1782.

[9]                Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 145.


11.       Sintesis Filosofis

Kajian terhadap Post Hoc Ergo Propter Hoc membuka ruang refleksi yang lebih luas mengenai keterbatasan rasionalitas manusia dan hubungan antara logika, epistemologi, serta etika dalam kehidupan intelektual maupun sosial. Kesalahan kausal ini tidak berdiri sendiri, melainkan mencerminkan dinamika mendasar dalam cara manusia memahami dunia: kecenderungan untuk mencari pola, mengaitkan peristiwa, dan memberikan makna pada realitas. Sintesis filosofis berikut mencoba merangkum dimensi logis, epistemologis, dan etis dari pembahasan sebelumnya.

11.1.    Dimensi Logis

Dari sisi logika, Post Hoc Ergo Propter Hoc memperlihatkan pentingnya distingsi antara korelasi dan kausalitas.¹ Logika formal menuntut konsistensi struktur argumen, sementara logika informal menyoroti konteks dan isi argumen. Dengan demikian, kesalahan post hoc bukan sekadar kelemahan teknis, tetapi juga bentuk kerentanan argumen dalam komunikasi sehari-hari. Logika di sini berfungsi bukan hanya sebagai aturan inferensi, melainkan juga sebagai alat kritis untuk menguji klaim kausal yang tampak intuitif.²

11.2.    Dimensi Epistemologis

Secara epistemologis, post hoc menegaskan keterbatasan manusia dalam memperoleh pengetahuan kausal. Sebagaimana telah ditunjukkan Hume, kausalitas tidak dapat diamati secara langsung, melainkan disimpulkan dari kebiasaan pikiran.³ Pandangan ini memperlihatkan paradoks: di satu sisi, manusia sangat membutuhkan penjelasan kausal untuk memahami dunia; di sisi lain, klaim kausal rentan terhadap kesalahan. Ilmu pengetahuan modern hadir sebagai respon atas paradoks ini, dengan mengembangkan metode verifikasi, falsifikasi, dan eksperimen untuk menyeleksi klaim kausal yang sahih.⁴

11.3.    Dimensi Psikologis dan Antropologis

Dari sudut pandang psikologis dan antropologis, kesalahan post hoc dapat dipahami sebagai ekspresi dari kebutuhan manusia akan keteraturan.⁵ Pola berpikir ini sering memberi rasa aman, karena ia menyediakan narasi sederhana dalam menghadapi kompleksitas dunia. Namun, narasi yang menenangkan tersebut kerap menyesatkan. Filosofi tentang keterbatasan ini sejalan dengan pandangan eksistensialis, yang menekankan bahwa manusia hidup dalam ketidakpastian dan harus menerima keterbatasan dalam memahami dunia.⁶

11.4.    Dimensi Etis dan Sosial

Kesalahan kausal juga memiliki implikasi etis. Dalam masyarakat, penggunaan post hoc untuk manipulasi opini publik, propaganda politik, atau pemasaran komersial menunjukkan bagaimana kelemahan logika manusia dapat dieksploitasi.⁷ Di sini, filsafat etika menuntut adanya tanggung jawab dalam penggunaan argumen. Rasionalitas tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga moral: ia harus diarahkan untuk mencerahkan, bukan menyesatkan.⁸


Sintesis Akhir

Dengan demikian, Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat dipandang sebagai simbol keterbatasan sekaligus potensi manusia. Ia menunjukkan kelemahan rasionalitas, tetapi juga memicu perkembangan disiplin logika, ilmu pengetahuan, dan pendidikan kritis. Filosofisnya, kesalahan ini mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran adalah proses yang tak pernah selesai, di mana klaim kausal harus terus diuji, dikritisi, dan dipertanggungjawabkan.⁹


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 128.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 89.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 56.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 43–44.

[5]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 210.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 141.

[7]                Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 109.

[8]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 52.

[9]                Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 5.311.


12.       Penutup

Kajian mengenai Post Hoc Ergo Propter Hoc menunjukkan bahwa kesalahan berpikir ini bukan hanya masalah logika semata, tetapi juga fenomena epistemologis, psikologis, dan sosial. Sebagai fallacy informal yang menganggap suatu peristiwa sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dahulu, post hoc memperlihatkan kecenderungan manusia untuk mengaburkan batas antara korelasi dan kausalitas.¹

Dari segi historis, kesalahan ini telah diidentifikasi sejak masa filsafat klasik Yunani dan terus menjadi perhatian dalam filsafat modern, khususnya melalui kritik Hume tentang kausalitas.² Perkembangan ilmu pengetahuan modern dengan metode eksperimental, falsifikasi, dan analisis statistik berusaha memberikan perangkat untuk membedakan klaim kausal yang sahih dari ilusi temporal.³ Namun demikian, bias kognitif dan kebutuhan manusia akan narasi sederhana membuat post hoc tetap bertahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam retorika politik dan media.⁴

Secara praktis, strategi untuk menghindari post hoc mencakup penerapan metode ilmiah, penggunaan data empiris yang teruji, serta penguatan literasi logika dalam masyarakat.⁵ Hal ini penting tidak hanya untuk membangun tradisi berpikir kritis, tetapi juga untuk menjaga kesehatan demokrasi dari manipulasi retoris dan propaganda. Dengan demikian, membongkar post hoc tidak hanya merupakan upaya intelektual, tetapi juga sebuah tanggung jawab etis dan sosial.

Akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa kesalahan berpikir seperti Post Hoc Ergo Propter Hoc adalah cermin keterbatasan manusia sekaligus peluang untuk terus memperdalam tradisi rasionalitas. Kesalahan ini mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran adalah proses reflektif yang menuntut kewaspadaan, kerendahan hati intelektual, dan komitmen terhadap kejujuran ilmiah.⁶ Dengan kesadaran kritis tersebut, manusia dapat lebih waspada terhadap jebakan kausalitas semu dan mengarahkan penalarannya menuju pemahaman yang lebih sahih dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 124–25.

[2]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 53.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 42.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 210.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 142.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 57.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aristotle. (1995). Organon (J. Barnes, Trans.). Princeton University Press.

Bynum, W. (2012). A little history of science. Yale University Press.

Conrad, K. (1958). Die beginnende Schizophrenie. Thieme.

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2014). Introduction to logic (14th ed.). Routledge.

Entman, R. (2004). Projections of power: Framing news, public opinion, and U.S. foreign policy. University of Chicago Press.

Gelles, R. J. (1995). Contemporary families: A sociological view. Sage.

Gilovich, T. (1991). How we know what isn’t so: The fallibility of human reason in everyday life. Free Press.

Govier, T. (2010). A practical study of argument (7th ed.). Wadsworth.

Hamblin, C. L. (1970). Fallacies. Methuen.

Hill, A. B. (1965). The environment and disease: Association or causation? Proceedings of the Royal Society of Medicine, 58(5), 295–300.

Hume, D. (2007). An enquiry concerning human understanding. Oxford University Press.

Hurley, P. J. (2017). A concise introduction to logic (13th ed.). Cengage Learning.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kaptchuk, T. J. (2011). Effect of placebo on the human mind and body. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 366(1572), 1780–1783.

Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to understand. Cambridge University Press.

Levack, B. (2016). The witch-hunt in early modern Europe (4th ed.). Routledge.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Moffitt, B. (2016). The global rise of populism: Performance, political style, and representation. Stanford University Press.

Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants of doubt. Bloomsbury Press.

Pariser, E. (2011). The filter bubble: How the new personalized web is changing what we read and how we think. Penguin.

Pearl, J. (2009). Causality: Models, reasoning, and inference (2nd ed.). Cambridge University Press.

Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Harvard University Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge.

Porter, R. (1999). The greatest benefit to mankind: A medical history of humanity. W. W. Norton.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Shermer, M. (2011). The believing brain. Times Books.

Stanley, J. (2015). How propaganda works. Princeton University Press.

Sternberg, R. J. (2012). Thinking and reasoning: A reader’s guide. Cambridge University Press.

Stroud, B. (2011). Hume. Routledge.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Theocharis, Y., Barberá, P., Fazekas, Z., Popa, S. A., & Parnet, O. (2016). The dynamics of political incivility on Twitter. Social Media + Society, 2(3), 1–17.

Toulmin, S. (2003). The uses of argument. Cambridge University Press.

Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic approach (2nd ed.). Cambridge University Press.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policymaking. Council of Europe.

Woods, J. (2013). Errors of reasoning: Naturalizing the logic of inference. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar