Post Hoc Ergo
Propter Hoc
Analisis Kritis terhadap
Kekeliruan Kausalitas dalam Logika Informal
Alihkan ke: Fallacy Informal.
Abstrak
Artikel ini mengkaji salah satu jenis fallacy
informal yang dikenal dengan istilah Post Hoc Ergo Propter Hoc atau false
cause fallacy, yakni kesalahan berpikir yang menganggap suatu peristiwa
sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dahulu dari peristiwa lain. Kajian ini berangkat dari kesadaran
bahwa kesalahan kausalitas merupakan fenomena yang tidak hanya merugikan secara
logis, tetapi juga berdampak luas dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya
kontemporer. Metode yang digunakan bersifat analitis-deskriptif dengan studi
literatur, mencakup perspektif logika, epistemologi, psikologi kognitif, serta
filsafat ilmu.
Artikel ini membahas secara sistematis: konsep dasar fallacy
informal, definisi dan ciri khas Post Hoc Ergo Propter Hoc, sejarah
pemikiran tentang kausalitas dari Aristoteles hingga filsafat modern, pola
mekanisme kesalahan berpikir, serta contoh-contoh konkret dari kehidupan
sehari-hari, politik, media, dan ilmu pengetahuan. Analisis kritis menunjukkan
bahwa kesalahan ini bertahan karena ditopang oleh bias kognitif, kebutuhan
manusia akan narasi sederhana, serta eksploitasi retoris dalam politik dan
media. Strategi untuk menghindarinya mencakup penerapan metode ilmiah,
penggunaan data empiris, penguatan keterampilan berpikir kritis, serta literasi
logika dalam pendidikan publik.
Secara filosofis, Post Hoc Ergo Propter Hoc
mencerminkan keterbatasan sekaligus potensi manusia: ia menyingkap kelemahan
rasionalitas, tetapi juga menjadi pemicu berkembangnya tradisi logika,
epistemologi, dan etika dalam pencarian kebenaran. Dengan kesadaran kritis atas
fallacy ini, masyarakat dapat lebih waspada terhadap manipulasi kausalitas semu
dan membangun tradisi berpikir yang lebih rasional, reflektif, dan bertanggung
jawab.
Kata Kunci: Fallacy informal, Post Hoc Ergo Propter Hoc, False cause, Kausalitas, Logika
informal, Bias kognitif, Pendidikan kritis.
PEMBAHASAN
Kajian Post Hoc Ergo Propter
Hoc
1.
Pendahuluan
Dalam kajian logika, salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi manusia adalah membedakan antara penalaran yang sahih dan
penalaran yang keliru. Kesalahan penalaran atau fallacy sering kali
muncul bukan karena lemahnya kecerdasan, melainkan karena kecenderungan alami
manusia dalam mencari pola dan sebab-akibat dalam realitas. Di antara beragam
jenis fallacy informal, salah satu yang paling menonjol adalah Post
Hoc Ergo Propter Hoc, yang secara harfiah berarti “setelah ini, maka
karena ini.” Kesalahan ini mengandaikan bahwa suatu peristiwa dianggap
sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dahulu dari peristiwa lain, padahal
hubungan kausalitas tersebut tidak memiliki dasar yang memadai.¹
Fenomena Post Hoc dapat ditemukan dalam
berbagai bidang kehidupan: mulai dari perdebatan politik, praktik pengobatan
tradisional, hingga keyakinan sehari-hari yang sering kali dipengaruhi oleh
intuisi dan pengalaman subjektif.² Masyarakat awam kerap terjebak pada pola
pikir ini, misalnya dengan menyimpulkan bahwa karena seseorang sembuh setelah
meminum ramuan tertentu, maka ramuan itulah penyebab kesembuhannya—padahal
faktor lain seperti kekebalan tubuh atau efek psikologis (placebo) mungkin
berperan penting.³
Latar belakang perlunya mengkaji fallacy ini
bukan hanya terkait dengan upaya akademis memahami kesalahan berpikir,
melainkan juga dengan kebutuhan praktis di era modern. Dalam konteks banjir
informasi dan maraknya fake news, fallacy seperti Post Hoc
digunakan untuk membangun narasi yang menyesatkan publik. Propaganda politik
sering kali mengaitkan dua peristiwa secara dangkal demi membentuk persepsi
tertentu.⁴ Jika tidak dikaji secara kritis, masyarakat mudah terjebak pada
kesalahan logika ini dan mengambil keputusan yang keliru.
Dengan demikian, tujuan dari kajian ini adalah: (1)
menjelaskan konsep dasar Post Hoc Ergo Propter Hoc beserta
karakteristiknya; (2) menelusuri sejarah dan perkembangan pemikiran tentang
relasi kausalitas dalam logika; (3) memberikan contoh konkret dari kehidupan
nyata, baik dalam ranah sosial, politik, maupun ilmu pengetahuan; serta (4)
menawarkan strategi berpikir kritis untuk menghindari jebakan kesalahan ini.
Kajian ini berangkat dari pendekatan interdisipliner, yang memadukan logika,
filsafat ilmu, psikologi kognitif, dan analisis kontemporer mengenai media dan
politik.
Secara metodologis, artikel ini menggunakan pendekatan
analitis-deskriptif dengan studi literatur. Analisis akan dilakukan dengan
menguraikan struktur argumen yang salah, mengidentifikasi ciri-cirinya, serta
mengaitkannya dengan fenomena sosial yang relevan. Dengan demikian, diharapkan
artikel ini dapat berkontribusi pada upaya memperkuat tradisi berpikir kritis
dalam masyarakat dan memberikan refleksi filosofis mengenai keterbatasan
penalaran manusia dalam membedakan korelasi dari kausalitas sejati.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 123.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A
Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008),
57.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 45–46.
[4]
Jason Stanley, How Propaganda
Works (Princeton: Princeton University Press, 2015), 89–91.
2.
Konsep Dasar Fallacy
Informal
Dalam tradisi logika, fallacy dipahami sebagai
bentuk penalaran yang menyesatkan, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.
Secara umum, fallacy dapat dibedakan menjadi dua kategori besar: fallacy
formal dan fallacy informal.¹ Perbedaan utama antara keduanya
terletak pada locus kesalahannya. Fallacy formal terjadi ketika terdapat
kesalahan dalam struktur logis argumen, sehingga argumen menjadi tidak valid
meskipun premis-premisnya benar.² Sebaliknya, fallacy informal tidak
selalu bergantung pada struktur formal, melainkan pada konten, konteks, dan
cara argumen itu digunakan dalam wacana.³
Konsep fallacy informal sangat relevan dalam
kehidupan sehari-hari, karena mayoritas percakapan publik, perdebatan politik,
bahkan diskursus akademik sering kali tidak disusun dalam bentuk silogisme
formal.⁴ Kesalahan berpikir jenis ini biasanya muncul akibat penggunaan bahasa
yang ambigu, asumsi tersembunyi, bias kognitif, atau pengaburan hubungan
sebab-akibat. Dengan demikian, fallacy informal lebih sulit dikenali dibandingkan
fallacy formal, karena memerlukan kepekaan terhadap makna, konteks, dan
relevansi argumen.
Salah satu fungsi penting dari pengkajian fallacy
informal adalah meningkatkan kualitas berpikir kritis. Menurut Charles
Hamblin, seorang pionir dalam kajian logika informal, keberadaan fallacy
bukan hanya menandakan kekeliruan teknis, tetapi juga mengandung dimensi
retoris dan pragmatis, karena sering dipakai untuk meyakinkan orang lain
walaupun tidak sahih secara logis.⁵ Dengan kata lain, mempelajari fallacy
informal memungkinkan kita untuk memahami bukan hanya bagaimana
argumen salah, tetapi juga mengapa kesalahan itu tetap bisa memengaruhi
orang.
Klasifikasi fallacy informal cukup beragam.
Beberapa ahli membaginya ke dalam kategori berdasarkan sifat kesalahannya,
seperti: (a) fallacy of relevance (kesalahan relevansi), misalnya ad
hominem atau appeal to emotion; (b) fallacy of ambiguity
(kesalahan ambiguitas), misalnya equivocation; dan (c) fallacy of
presumption (kesalahan asumsi), yang mencakup Post Hoc Ergo Propter Hoc.⁶
Pembagian ini membantu dalam memahami letak kesalahan sekaligus cara
mendeteksinya dalam berbagai bentuk diskursus.
Dengan demikian, fallacy informal dapat
dipandang sebagai “cermin” dari kelemahan sekaligus kompleksitas berpikir
manusia. Ia mengungkap bahwa rasionalitas manusia sering kali bercampur dengan
intuisi, emosi, dan konteks sosial. Maka, membedah fallacy informal
bukan sekadar latihan logika, tetapi juga usaha untuk memahami dinamika
epistemologis dan psikologis di balik argumen yang kita temui sehari-hari.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise
Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 132.
[2]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and
Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge,
2014), 112–13.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A
Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008),
36.
[4]
John Woods, Errors of Reasoning:
Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 25.
[5]
Charles L. Hamblin, Fallacies
(London: Methuen, 1970), 12–15.
[6]
Trudy Govier, A Practical Study
of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 121–23.
3.
Post Hoc Ergo Propter
Hoc: Definisi dan Ciri Utama
Salah satu jenis fallacy
informal yang paling sering muncul dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam wacana publik adalah Post Hoc Ergo Propter Hoc. Istilah
ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “setelah ini, maka karena ini.”
Secara sederhana, fallacy ini mengasumsikan bahwa jika suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa
lain, maka peristiwa pertama tersebut menjadi penyebab bagi peristiwa
berikutnya.¹ Kesalahan mendasar dari pola pikir ini adalah pengaburan antara
urutan temporal (sequence) dengan hubungan kausal (causation).
3.1.
Definisi
Dalam literatur
logika, Post Hoc
Ergo Propter Hoc dikategorikan sebagai fallacy of presumption, yakni
kesalahan berpikir yang muncul karena adanya asumsi kausalitas tanpa bukti yang
memadai.² Argumen yang bersifat post hoc biasanya memiliki struktur sederhana: “A
terjadi sebelum B, maka A menyebabkan B.”³ Walaupun tampak meyakinkan,
kesimpulan ini cacat karena tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya faktor
lain yang memengaruhi atau bahkan menjadi penyebab utama dari peristiwa
tersebut.
Contoh klasik dari Post Hoc
dapat ditemukan dalam keyakinan bahwa turunnya hujan disebabkan oleh ritual
tertentu yang kebetulan dilakukan sebelumnya. Demikian pula, dalam konteks
modern, seseorang mungkin berasumsi bahwa kesembuhan pasien disebabkan oleh
obat herbal tertentu hanya karena ia dikonsumsi sebelum sembuh, padahal
kesembuhan dapat terjadi karena faktor lain, seperti proses biologis alami atau
terapi medis yang sedang berlangsung.⁴
3.2.
Ciri Utama
Beberapa ciri khas
dari fallacy Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1)
Asumsi Kausalitas
Berdasarkan Urutan Waktu
Kesalahan utama terletak pada anggapan bahwa
urutan temporal sudah cukup untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat. Padahal,
dua peristiwa yang berurutan tidak selalu memiliki keterkaitan kausal.⁵
2)
Pengabaian Faktor
Alternatif
Argumen post hoc sering mengabaikan
kemungkinan adanya penyebab lain yang lebih relevan. Misalnya, dalam bidang
ekonomi, kenaikan harga minyak mungkin dikaitkan dengan pidato politik
tertentu, padahal sebenarnya dipengaruhi oleh mekanisme pasar global.⁶
3)
Generalisasi Berlebihan
Ciri lain adalah adanya kecenderungan untuk
membuat generalisasi kausal berdasarkan satu atau beberapa contoh kasus. Hal
ini menjadikan argumen bersifat simplistis dan menyesatkan.⁷
4)
Daya Retoris yang Kuat
Walaupun keliru, argumen jenis ini sering
memiliki daya persuasif tinggi karena sesuai dengan intuisi manusia dalam
mencari pola. Hal ini menjelaskan mengapa post hoc sering dipakai
dalam retorika politik atau iklan komersial.⁸
Dengan memahami
definisi dan ciri utama dari Post Hoc Ergo Propter Hoc, kita
dapat lebih waspada terhadap bentuk kesalahan berpikir ini, baik dalam wacana
akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kajian ini juga menegaskan bahwa membedakan antara korelasi dan
kausalitas merupakan keterampilan penting dalam berpikir kritis dan ilmiah.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 124.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2017), 143.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 47.
[5]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 42.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 199–200.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont,
CA: Wadsworth, 2010), 131.
[8]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 92.
4.
Sejarah dan
Perkembangan Pemikiran
Kesalahan penalaran kausal seperti Post Hoc Ergo
Propter Hoc memiliki akar panjang dalam tradisi filsafat dan logika. Sejak
masa Yunani Kuno, para filsuf telah menyadari kecenderungan manusia untuk
menyamakan urutan temporal dengan hubungan sebab-akibat. Aristoteles, dalam
karya monumentalnya Organon, menekankan bahwa pengetahuan sejati
diperoleh melalui pemahaman akan penyebab (aitia) yang sebenarnya, bukan
sekadar melalui pengamatan peristiwa yang berurutan.¹ Ia membedakan antara
empat jenis sebab—material, formal, efisien, dan final—yang menjadi dasar untuk
membedakan analisis kausalitas dari sekadar asosiasi.²
Dalam tradisi skolastik Abad Pertengahan, Thomas
Aquinas dan para teolog lainnya memperluas kerangka Aristoteles dalam konteks
teologi dan metafisika.³ Meski fokus mereka lebih pada argumen kosmologis tentang
sebab pertama (causa prima), diskusi ini tetap berhubungan dengan
problematika kausalitas dan logika inferensial. Kesalahan dalam menarik
kesimpulan kausal kerap diperingatkan sebagai jebakan berpikir yang dapat
menyesatkan dalam perdebatan teologis maupun filsafat alam.
Pada masa modern, problematika kausalitas mendapat
perhatian khusus dari filsuf empiris, terutama David Hume. Menurut Hume,
hubungan kausal tidak dapat dibuktikan secara a priori, melainkan hanya
didasarkan pada kebiasaan pikiran yang terbentuk karena seringnya dua peristiwa
muncul secara berurutan.⁴ Dengan demikian, kepercayaan kita terhadap kausalitas
sebenarnya lebih merupakan konstruksi psikologis daripada kepastian logis.
Perspektif Hume ini memperlihatkan mengapa fallacy post hoc begitu
menggoda: manusia cenderung melihat korelasi temporal sebagai bukti kausal,
padahal tidak ada landasan rasional yang kuat untuk kesimpulan itu.⁵
Memasuki abad ke-20, filsafat ilmu dan logika modern
memberikan alat analisis yang lebih ketat terhadap hubungan sebab-akibat. Karl
Popper, misalnya, menekankan pentingnya falsifikasi dalam ilmu pengetahuan,
sehingga klaim kausal harus dapat diuji dan dibuktikan salah jika tidak sesuai
dengan bukti empiris.⁶ Sementara itu, perkembangan statistika dan metode
eksperimental memberikan kerangka metodologis yang jelas untuk membedakan
korelasi dari kausalitas. Dengan munculnya disiplin ilmu seperti epidemiologi,
ekonomi kuantitatif, dan psikologi eksperimental, fallacy post hoc
semakin dapat diidentifikasi dan dikoreksi melalui uji kontrol variabel serta
metode empiris.⁷
Dalam konteks kontemporer, pemikiran mengenai
kesalahan kausal juga diperkaya oleh kajian kognitif. Daniel Kahneman dan Amos
Tversky, melalui penelitian tentang bias heuristik, menunjukkan bahwa manusia
cenderung mengandalkan intuisi dalam menilai hubungan antarperistiwa.⁸ Hal ini
menjelaskan mengapa fallacy post hoc terus bertahan meski berbagai
instrumen analisis ilmiah telah berkembang pesat. Dengan kata lain, sejarah
perkembangan pemikiran tentang Post Hoc Ergo Propter Hoc memperlihatkan
dialektika antara kecenderungan alami manusia untuk mencari keteraturan dan
usaha intelektual untuk membedakan pola sejati dari ilusi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Organon, trans. J.
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1995), 97.
[2]
Jonathan Lear, Aristotle: The
Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 112.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947), I, q.2, a.3.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 53–55.
[5]
Barry Stroud, Hume (London:
Routledge, 2011), 74.
[6]
Karl Popper, The Logic of
Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–35.
[7]
Judea Pearl, Causality: Models,
Reasoning, and Inference, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 117.
[8]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast
and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 197–98.
5.
Mekanisme dan Pola
Kesalahan Berpikir
Fallacy Post Hoc
Ergo Propter Hoc bekerja melalui mekanisme penalaran yang tampak
logis pada permukaan, tetapi sesungguhnya cacat secara inferensial. Mekanisme
ini berakar pada kecenderungan manusia untuk mengaitkan peristiwa yang
berurutan dalam waktu sebagai sebab dan akibat.¹ Dengan kata lain, pola dasar
dari kesalahan berpikir ini adalah transformasi sederhana: “A terjadi
sebelum B, maka A menyebabkan B.” Walaupun pola ini sering kali tampak
intuitif, kesalahan terletak pada asumsi bahwa sekuensi temporal identik dengan
kausalitas.²
5.1.
Struktur Argumen Post
Hoc
Struktur formal dari
argumen post hoc dapat digambarkan
dalam bentuk berikut:
1)
Peristiwa X terjadi.
2)
Kemudian, peristiwa Y terjadi.
3)
Maka, X menyebabkan Y.³
Kesalahan dalam
struktur ini terletak pada “lompatan inferensial” dari premis (1) dan (2)
menuju kesimpulan
(3). Argumen semacam ini mengabaikan kebutuhan akan bukti tambahan yang
memperlihatkan hubungan kausalitas yang sahih.
5.2.
Mekanisme Psikologis
Kecenderungan untuk
berpikir post hoc
erat kaitannya dengan bias kognitif yang disebut illusory correlation, yakni
persepsi adanya hubungan antara dua variabel padahal hubungan itu tidak nyata.⁴
Selain itu, heuristik ketersediaan (availability heuristic) juga
memperkuat pola ini: ketika suatu peristiwa mudah diingat karena kedekatan
temporal, otak manusia cenderung menilainya sebagai penyebab yang relevan.⁵
Dengan demikian, kesalahan berpikir
ini tidak hanya bersifat logis, tetapi juga bersumber dari mekanisme psikologis
manusia.
5.3.
Pola Umum Kesalahan
Ada beberapa pola
umum yang dapat
diidentifikasi dalam Post Hoc Ergo Propter Hoc:
1)
Kausalitas Spurious
(Semuan)
Hubungan antara dua peristiwa sebenarnya
dipengaruhi oleh variabel ketiga yang diabaikan. Misalnya, peningkatan konsumsi
es krim dihubungkan dengan meningkatnya kasus tenggelam, padahal variabel
ketiga, yakni musim panas, merupakan faktor penyebab yang sesungguhnya.⁶
2)
Kausalitas Terbalik
Kadang-kadang, peristiwa yang dianggap sebagai
sebab justru sebenarnya adalah akibat. Dalam penelitian sosial, misalnya,
seseorang mungkin berasumsi bahwa tingkat kebahagiaan tinggi menyebabkan
pernikahan yang langgeng, padahal pernikahan yang stabil justru bisa
meningkatkan kebahagiaan.⁷
3)
Generalisasi Prematur
Kesalahan juga terjadi ketika satu atau dua kasus
digunakan untuk menyimpulkan pola kausal universal. Hal ini lazim ditemukan
dalam iklan atau klaim kesehatan alternatif.⁸
5.4.
Daya Retoris dan
Dampak Sosial
Pola berpikir post hoc
memiliki daya retoris yang besar karena sejalan dengan intuisi manusia dalam mencari keteraturan. Pola ini
sering dimanfaatkan dalam retorika politik, iklan, dan bahkan dalam penulisan
sejarah yang menekankan hubungan sebab-akibat secara linier.⁹ Dampaknya adalah
terbentuknya opini publik yang salah arah dan pengambilan keputusan yang tidak
berbasis pada bukti empiris yang memadai.
Dengan memahami
mekanisme dan pola kesalahan ini, kita dapat mengembangkan kepekaan kritis terhadap argumen kausal yang tampak
meyakinkan di permukaan, tetapi sesungguhnya rapuh secara
logis.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 124.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2017), 145.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 68.
[4]
Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of
Human Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 33.
[5]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 129.
[6]
Judea Pearl, Causality: Models, Reasoning, and Inference, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 57.
[7]
Richard J. Gelles, Contemporary Families: A Sociological View
(London: Sage, 1995), 78.
[8]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont,
CA: Wadsworth, 2010), 135.
[9]
Jason
Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton University
Press, 2015), 94.
6.
Contoh-Contoh Kasus
Untuk memahami
secara lebih konkret bagaimana Post Hoc Ergo Propter Hoc bekerja,
diperlukan ilustrasi dari berbagai bidang kehidupan. Kesalahan berpikir ini
tidak hanya muncul dalam diskursus akademik, melainkan juga mewarnai praktik
sosial, politik, ekonomi, medis, dan bahkan keyakinan sehari-hari. Melalui
contoh-contoh kasus berikut, dapat dilihat betapa kuatnya daya pengaruh fallacy ini dalam membentuk
persepsi publik.
6.1.
Contoh dalam Sejarah
Salah satu contoh
klasik dapat ditemukan dalam praktik pengobatan kuno. Ketika seorang pasien
sembuh setelah menjalani ritual tertentu atau mengonsumsi ramuan herbal,
masyarakat tradisional segera menganggap bahwa penyembuhan tersebut terjadi karena
ritual atau ramuan itu.¹ Padahal, kesembuhan bisa saja disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang bekerja
secara alami. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kesalahan kausalitas
terbentuk dari urutan temporal semata.
Contoh lain terdapat
dalam sejarah politik. Pada Abad Pertengahan, terjadinya bencana alam sering
dihubungkan dengan praktik sihir atau dosa kolektif masyarakat.² Ketika wabah
melanda setelah peristiwa tertentu, segera muncul keyakinan bahwa peristiwa
itulah penyebabnya, sehingga orang-orang tertentu dijadikan kambing hitam. Ini
adalah bentuk post hoc yang berimplikasi tragis, karena mengarah pada
penganiayaan sosial dan pembantaian yang tidak berdasar.
6.2.
Contoh dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Dalam kehidupan
modern, Post Hoc
muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa membawa
payung menyebabkan hujan, hanya karena kebetulan setiap kali ia membawa payung, hujan turun.³ Demikian
pula, orang sering menganggap bahwa hasil ujian yang baik disebabkan oleh “ritual
keberuntungan” yang dilakukan malam sebelumnya, meskipun sesungguhnya
faktor persiapan belajar lebih menentukan.⁴
Kesalahan ini juga
terlihat dalam praktik kesehatan. Banyak klaim produk kesehatan yang didasarkan
pada testimoni: seorang konsumen merasa lebih sehat setelah mengonsumsi produk
tertentu, lalu menyimpulkan bahwa produk itulah penyebab perbaikannya. Padahal,
faktor lain seperti perubahan pola makan, olahraga, atau bahkan efek placebo mungkin lebih
berperan.⁵
6.3.
Contoh dalam Politik
dan Media
Dalam politik
kontemporer, Post Hoc kerap digunakan secara
retoris. Misalnya, seorang politisi mungkin berargumen bahwa sejak ia menjabat,
tingkat pengangguran menurun,
sehingga penurunannya dianggap hasil langsung dari kebijakan yang ia buat.⁶
Padahal, tren penurunan tersebut bisa jadi merupakan kelanjutan dari kebijakan
pemerintah sebelumnya atau akibat faktor ekonomi global.
Media juga sering
menggunakan pola post hoc dalam pemberitaan. Sebagai
contoh, lonjakan harga bahan pokok setelah pernyataan pejabat sering kali
diberitakan seolah-olah pernyataan
itulah penyebabnya.⁷ Narasi semacam ini membentuk opini publik meskipun
analisis ekonomis menunjukkan faktor yang lebih kompleks.
6.4.
Contoh dalam Dunia
Sains
Dalam sejarah ilmu
pengetahuan, post hoc pernah menghambat
perkembangan teori ilmiah. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa
munculnya penyakit disebabkan
oleh “miasma” atau udara buruk, hanya karena wabah sering kali bertepatan
dengan lingkungan yang berbau busuk.⁸ Baru setelah perkembangan mikrobiologi
oleh Louis Pasteur dan Robert Koch, teori kausalitas penyakit melalui
mikroorganisme membantah asumsi post hoc tersebut.
Footnotes
[1]
Roy Porter, The Greatest Benefit to Mankind: A Medical History of
Humanity (New York: W. W. Norton, 1999), 41.
[2]
Brian Levack, The Witch-Hunt in Early Modern Europe, 4th ed.
(London: Routledge, 2016), 97.
[3]
Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of
Human Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 23.
[4]
Robert J. Sternberg, Thinking and Reasoning: A Reader’s Guide
(Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 59.
[5]
Ted J. Kaptchuk, “Effect of Placebo on the Human Mind and Body,” Philosophical
Transactions of the Royal Society B 366, no. 1572 (2011): 1780.
[6]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 101.
[7]
Robert Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion,
and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 56.
[8]
William Bynum, A Little History of Science (New Haven: Yale
University Press, 2012), 152.
7.
Analisis Kritis
Kajian kritis
terhadap Post Hoc
Ergo Propter Hoc mengungkapkan bahwa kesalahan ini bukan sekadar
kelemahan logika, melainkan juga cerminan dari keterbatasan epistemologis
manusia. Dalam banyak kasus, kekeliruan post hoc bertahan karena memiliki
daya persuasif yang tinggi, sekalipun secara rasional rapuh. Analisis kritis berikut menyoroti tiga aspek
utama: aspek epistemologis, psikologis, dan sosiopolitik.
7.1.
Aspek Epistemologis
Dari sudut pandang
epistemologi, Post Hoc menyingkapkan persoalan
mendasar dalam memahami kausalitas.
David Hume telah menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dipastikan
hanya dari pengamatan berulang, melainkan hanyalah hasil kebiasaan pikiran.¹
Dengan demikian, post hoc sering kali muncul sebagai
bentuk overgeneralization
dari pengalaman terbatas. Di sini terlihat adanya jarak antara korelasi empiris
dan kausalitas sejati. Untuk mengatasi jarak tersebut, ilmu pengetahuan modern
menuntut adanya metode eksperimental, verifikasi data, dan kontrol variabel.²
7.2.
Aspek Psikologis
Dari perspektif
psikologi kognitif, kesalahan post hoc berakar pada bias dan
heuristik manusia. Daniel Kahneman
dan Amos Tversky menegaskan bahwa manusia cenderung mengandalkan sistem
berpikir cepat (System 1), yang intuitif dan
asosiasional, sehingga mudah tertipu oleh korelasi temporal.³ Pola ini juga
didukung oleh kecenderungan otak untuk mencari makna dan keteraturan, bahkan di
mana hubungan itu tidak ada—fenomena yang dikenal sebagai apophenia.⁴
Oleh karena itu, meskipun logika formal menolak post hoc, mekanisme kognitif
manusia justru memperkuat kelangsungan hidup kesalahan ini.
7.3.
Aspek Sosiopolitik
Dalam ranah sosial
dan politik, Post Hoc Ergo Propter Hoc sering
kali diproduksi secara sengaja untuk kepentingan persuasi. Retorika politik, misalnya, kerap
menggunakan klaim kausal yang simplistis: jika sebuah kebijakan diterapkan lalu
kondisi ekonomi membaik, maka kebijakan itu dianggap sebagai penyebab tunggal.⁵
Padahal, realitas sosial-politik selalu dipengaruhi oleh banyak faktor
kompleks. Media massa turut berperan dalam memperkuat kesalahan ini dengan
menyajikan narasi linear yang mudah dicerna publik.⁶ Dengan demikian, post hoc
tidak hanya merupakan kelemahan logika individual, tetapi juga instrumen
manipulasi kolektif.
7.4.
Kritik Filosofis
Secara filosofis, post hoc
menantang klaim rasionalitas manusia. Kecenderungan untuk mengaitkan dua
peristiwa secara keliru memperlihatkan keterbatasan manusia dalam membedakan
korelasi dari kausalitas. Kritik ini menegaskan perlunya disiplin berpikir
kritis yang berbasis pada metodologi ilmiah.⁷ Namun demikian, sebagian filsuf
pragmatis berargumen bahwa post hoc kadang berfungsi sebagai “hipotesis
awal” yang meskipun keliru, dapat memicu penelitian lebih lanjut.⁸ Dengan
kata lain, meskipun berstatus fallacy, pola pikir ini tidak
sepenuhnya tidak berguna, tetapi harus ditransformasikan melalui kerangka
ilmiah yang ketat.
Secara keseluruhan,
analisis kritis memperlihatkan bahwa Post Hoc Ergo Propter Hoc adalah
bentuk kesalahan berpikir yang kompleks: ia bertahan bukan hanya karena
kesalahan logika, tetapi juga karena ditopang oleh bias psikologis dan praktik sosial. Oleh sebab
itu, membongkar fallacy ini membutuhkan pendekatan multidisipliner yang tidak
hanya logis, tetapi juga epistemologis, psikologis, dan sosiologis.
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 52–53.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 37.
[3]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 20–21.
[4]
Klaus Conrad, Die beginnende Schizophrenie (Stuttgart: Thieme,
1958), 46.
[5]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 101.
[6]
Robert Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion,
and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 59.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont,
CA: Wadsworth, 2010), 137.
[8]
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 2.623.
8.
Perbandingan dengan
Jenis Fallacy Lain
Post Hoc
Ergo Propter Hoc merupakan salah satu bentuk fallacy
informal yang tergolong dalam kategori fallacy of presumption. Untuk
memahami sifat khasnya, penting menempatkannya dalam perbandingan dengan
jenis-jenis fallacy lain yang memiliki
kemiripan atau sering tertukar. Perbandingan ini menegaskan baik posisi Post Hoc
dalam klasifikasi logika informal, maupun keunikan mekanismenya dibandingkan kesalahan berpikir
lain.
8.1.
Post Hoc vs. Cum Hoc
Ergo Propter Hoc
Sering kali Post Hoc
disamakan dengan Cum Hoc Ergo Propter Hoc. Keduanya
memang sama-sama merupakan kesalahan dalam penalaran kausal, tetapi memiliki
perbedaan mendasar. Post Hoc berasumsi bahwa urutan
temporal antara dua peristiwa menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat: A
terjadi sebelum B, maka A menyebabkan B.¹ Sebaliknya, Cum Hoc
menganggap bahwa dua peristiwa yang terjadi bersamaan pasti memiliki hubungan
kausal: A dan B terjadi secara simultan, maka A menyebabkan B (atau
sebaliknya).²
Contoh Cum Hoc
adalah keyakinan bahwa anak-anak yang banyak menonton televisi memiliki nilai akademik rendah, sehingga
televisi dianggap penyebabnya. Padahal, variabel lain seperti lingkungan keluarga atau
kondisi sosial-ekonomi mungkin lebih menentukan.³ Dengan demikian, Post Hoc
dan Cum Hoc
sama-sama merupakan false cause fallacies, tetapi
dibedakan oleh kerangka temporal yang digunakan: berurutan versus bersamaan.
8.2.
Post Hoc vs. Slippery
Slope
Slippery
Slope adalah kesalahan logika yang mengasumsikan bahwa suatu
tindakan awal kecil akan memicu rangkaian peristiwa berantai menuju akibat yang
ekstrem.⁴ Berbeda dengan Post Hoc, Slippery
Slope bukan sekadar menyamakan urutan temporal dengan kausalitas,
melainkan mengasumsikan adanya determinisme progresif yang tidak terbukti.
Misalnya, argumen bahwa “mengizinkan siswa menggunakan ponsel di sekolah
akan berujung pada kehancuran moral generasi muda” adalah bentuk slippery
slope.⁵ Jika Post Hoc keliru karena menganggap
hubungan kausal hanya dari kedekatan waktu, Slippery Slope keliru karena
mengasumsikan rantai kausalitas yang spekulatif dan tak terhentikan.
8.3.
Post Hoc vs. Hasty
Generalization
Perbandingan lain
dapat dilakukan dengan Hasty Generalization, yaitu
kesalahan penalaran yang menarik kesimpulan umum dari bukti yang terlalu
sedikit.⁶ Misalnya, jika seseorang mengalami satu kali keracunan setelah makan
di restoran tertentu, lalu
menyimpulkan bahwa “semua makanan di restoran itu beracun,” ia terjebak
dalam hasty
generalization. Post Hoc berbeda karena
kesalahannya bukan pada jumlah bukti, melainkan pada atribusi kausal yang
keliru. Namun demikian, keduanya sering saling melengkapi dalam praktik, ketika
seseorang tidak hanya menarik kesimpulan dari kasus terbatas, tetapi juga
menganggap kasus tersebut memiliki hubungan sebab-akibat yang salah.⁷
8.4.
Posisi dalam
Klasifikasi Logika Informal
Dalam klasifikasi fallacy
informal, Post Hoc Ergo Propter Hoc
ditempatkan bersama dengan Cum Hoc sebagai bagian dari causal
fallacies. Keduanya memperlihatkan kesalahan dalam inferensi
kausal, tetapi mekanismenya berbeda dengan fallacy of relevance (misalnya ad
hominem) atau fallacy of ambiguity (misalnya equivocation).⁸
Perbandingan ini memperlihatkan bahwa meskipun beragam, fallacy
memiliki pola umum: argumen yang tampak rasional, tetapi gagal memenuhi
kriteria logis dan epistemologis.
Dengan demikian, Post Hoc
Ergo Propter Hoc dapat dipahami secara lebih jelas melalui
komparasi ini: ia unik karena kesalahannya terletak pada penalaran berbasis
urutan temporal, berbeda dari Cum Hoc yang berbasis keserentakan,
Slippery
Slope yang berbasis rantai spekulatif, maupun Hasty
Generalization yang berbasis bukti tidak memadai. Pemahaman
komparatif ini membantu
memperkuat kemampuan analitis dalam membedakan jenis-jenis kesalahan berpikir
yang sering bercampur dalam praktik nyata.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 125.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2017), 147.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 72.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont,
CA: Wadsworth, 2010), 139.
[5]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 61.
[6]
Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 98.
[7]
Thomas Gilovich, How We Know What Isn’t So: The Fallibility of Human
Reason in Everyday Life (New York: Free Press, 1991), 41.
[8]
Charles L. Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970), 34–36.
9.
Strategi Menghindari
Post Hoc Fallacy
Kesalahan berpikir Post Hoc
Ergo Propter Hoc dapat diminimalisasi melalui upaya sadar untuk meningkatkan
ketelitian dalam penalaran kausal. Strategi pencegahan ini mencakup pendekatan
metodologis, epistemologis, serta keterampilan berpikir kritis yang secara
sistematis mengarahkan individu untuk membedakan antara korelasi temporal dan
hubungan kausal yang sahih.
9.1.
Prinsip Dasar Analisis
Kausalitas
Langkah pertama
untuk menghindari post hoc adalah memahami prinsip
dasar analisis kausalitas. Hubungan sebab-akibat harus dibuktikan dengan lebih
dari sekadar
urutan temporal; diperlukan bukti empiris, konsistensi, dan keterkaitan
mekanistik yang dapat diuji.¹ Dalam ilmu pengetahuan, misalnya, kriteria
Bradford Hill sering digunakan untuk menilai apakah suatu korelasi layak
dianggap kausal, mencakup kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, dan
bukti eksperimental.² Dengan demikian, sekadar “A terjadi sebelum B” tidak pernah cukup untuk
menarik kesimpulan kausal.
9.2.
Pentingnya Data
Empiris dan Kontrol Variabel
Strategi kedua
adalah menekankan pada penggunaan data empiris dan metode eksperimental. Eksperimen
terkontrol memungkinkan peneliti untuk memisahkan variabel-variabel yang relevan dari yang tidak relevan,
sehingga meminimalisasi kemungkinan atribusi kausal yang salah.³ Misalnya,
dalam penelitian medis, kelompok kontrol digunakan untuk membedakan efek nyata
obat dari efek placebo. Pendekatan ini mengajarkan bahwa klaim kausal tanpa uji
empiris hanyalah spekulasi yang rawan kesalahan post hoc.
9.3.
Teknik Berpikir Kritis
Mengembangkan
keterampilan berpikir kritis adalah strategi yang tak kalah penting. Trudy
Govier menekankan
perlunya skeptisisme sehat dalam mengevaluasi argumen kausal, termasuk dengan
mengajukan pertanyaan seperti: Apakah ada penyebab alternatif yang mungkin?
Apakah hubungan kausal didukung bukti independen? Apakah peristiwa dapat terjadi
tanpa kehadiran sebab yang diasumsikan?⁴ Dengan mengajukan pertanyaan
reflektif, individu dapat menghindari jebakan inferensi yang terlalu cepat.
9.4.
Peran Metode Ilmiah
Metode ilmiah
menyediakan kerangka yang paling efektif untuk mengatasi post hoc
fallacy. Karl Popper menegaskan bahwa klaim kausal harus
difalsifikasi, yakni diuji untuk melihat apakah ia dapat terbantahkan oleh
data.⁵ Dengan falsifikasi,
klaim kausal tidak hanya diverifikasi melalui pengamatan positif, tetapi juga
diuji melalui kemungkinan penyangkalan. Dalam praktik ilmiah, hal ini berarti
setiap klaim “A menyebabkan B” harus diuji dengan mencari kondisi di
mana A hadir tanpa menghasilkan B.
9.5.
Literasi Logika dan
Pendidikan Publik
Akhirnya, strategi
jangka panjang untuk mengurangi prevalensi post hoc adalah melalui pendidikan
publik yang menekankan literasi logika dan metode ilmiah.⁶ Dalam masyarakat demokratis,
kemampuan untuk mengidentifikasi kesalahan kausal sangat penting, mengingat
narasi politik dan media sering memanfaatkan kesalahan ini untuk membentuk
opini. Literasi logika tidak hanya melindungi individu dari manipulasi, tetapi
juga memperkuat kapasitas kolektif untuk mengambil keputusan berdasarkan
penalaran rasional.
Dengan menggabungkan
pendekatan analitis, empiris, kritis, dan edukatif, Post Hoc Ergo Propter Hoc dapat
diantisipasi secara efektif. Strategi-strategi ini membekali individu dan
masyarakat untuk tidak terjebak dalam ilusi kausalitas semu, serta mendorong
budaya intelektual yang lebih sehat dan kritis.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 127.
[2]
Austin Bradford Hill, “The Environment and Disease: Association or
Causation?,” Proceedings of the Royal Society of Medicine 58, no. 5
(1965): 295–300.
[3]
Judea Pearl, Causality: Models, Reasoning, and Inference, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 71.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont,
CA: Wadsworth, 2010), 142.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 40–41.
[6]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 88.
10.
Relevansi dalam
Konteks Kontemporer
Fallacy Post Hoc
Ergo Propter Hoc tidak hanya merupakan persoalan klasik dalam
tradisi logika, melainkan juga fenomena yang sangat relevan dalam kehidupan
kontemporer. Di era informasi dan komunikasi digital, kesalahan kausal ini
justru semakin sering muncul, baik dalam wacana politik, pemberitaan media, maupun praktik sehari-hari
masyarakat. Relevansinya dapat dilihat dari tiga konteks utama: media digital,
politik populis, dan budaya populer.
10.1.
Era Informasi dan
Media Digital
Perkembangan
teknologi digital mempermudah penyebaran informasi, tetapi sekaligus
memperbesar potensi misinformasi. Media sosial, dengan kecepatan distribusi dan
keterbatasan ruang narasi, sering kali menyajikan peristiwa dalam kerangka
temporal sederhana, sehingga publik tergoda menyimpulkan kausalitas langsung.¹
Misalnya, sebuah unggahan yang mengaitkan bencana alam dengan kebijakan
pemerintah tertentu dapat viral meski tidak memiliki basis analisis ilmiah.²
Selain itu,
algoritma media sosial memperkuat bias konfirmasi. Ketika pengguna cenderung
percaya bahwa suatu peristiwa memiliki hubungan sebab-akibat tertentu, konten
serupa akan lebih sering ditampilkan, sehingga memperkuat keyakinan yang
keliru.³ Dengan demikian, post hoc tidak hanya menjadi
kesalahan logika individual, melainkan juga fenomena kolektif yang diperparah
oleh ekosistem digital.
10.2.
Politik Populis dan
Retorika Publik
Dalam konteks
politik, Post Hoc
Ergo Propter Hoc merupakan instrumen retoris yang ampuh. Politisi
populis sering memanfaatkan logika kausal semu untuk memperkuat legitimasi. Misalnya, penurunan
angka kriminalitas dalam satu periode kekuasaan diklaim sebagai akibat langsung
dari kebijakan baru, padahal tren tersebut mungkin sudah berlangsung sejak
sebelumnya atau dipengaruhi oleh faktor lain.⁴ Strategi retoris ini berfungsi
karena publik lebih mudah menerima narasi sederhana yang menghubungkan dua
peristiwa berurutan ketimbang penjelasan kompleks berbasis data.⁵
Fenomena ini juga
terlihat dalam kampanye politik digital. Gimmick atau propaganda sering
menggunakan peristiwa aktual untuk menanamkan persepsi kausal yang menyesatkan.
Hal ini tidak hanya membentuk opini jangka pendek, tetapi juga dapat mengubah
orientasi politik masyarakat secara luas.⁶
10.3.
Budaya Populer dan
Kehidupan Sehari-Hari
Relevansi post hoc
juga tampak dalam budaya populer. Misalnya, dalam dunia olahraga, kemenangan
sebuah tim sering dikaitkan dengan ritual tertentu yang dilakukan pemain atau
suporter, meskipun tidak ada bukti kausal yang memadai.⁷ Demikian pula, dalam
iklan produk kesehatan atau kecantikan, testimoni personal sering dipakai untuk meyakinkan konsumen bahwa
hasil positif terjadi karena penggunaan produk, padahal faktor lain dapat
berperan.⁸
Fenomena ini
memperlihatkan bahwa Post Hoc Ergo Propter Hoc bertahan
karena sesuai dengan kebutuhan manusia untuk mencari pola dan makna. Kesalahan
berpikir ini
bukan sekadar hambatan rasionalitas, melainkan juga bagian dari dinamika sosial
dan budaya.
Implikasi
Global
Dalam skala global, post hoc
memengaruhi cara masyarakat memahami isu-isu besar seperti perubahan iklim,
pandemi, dan konflik internasional. Kesimpulan kausal yang salah dapat
menghambat kebijakan publik yang efektif.⁹ Oleh karena itu, kemampuan untuk
membedakan korelasi dan kausalitas menjadi semakin penting dalam era
kompleksitas global.
Secara keseluruhan, Post Hoc
Ergo Propter Hoc tetap relevan dalam konteks kontemporer karena ia
beroperasi di persimpangan antara logika, psikologi, teknologi, dan politik. Kesadaran akan
relevansi ini mempertegas urgensi literasi logika dan pendidikan kritis di
masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 85.
[2]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policymaking (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 28.
[3]
Eli Pariser, The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is
Changing What We Read and How We Think (New York: Penguin, 2011), 56.
[4]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 103.
[5]
Benjamin Moffitt, The Global Rise of Populism: Performance,
Political Style, and Representation (Stanford: Stanford University Press,
2016), 62.
[6]
Yannis Theocharis et al., “The Dynamics of Political Incivility on
Twitter,” Social Media + Society 2, no. 3 (2016): 1–17.
[7]
Michael Shermer, The Believing Brain (New York: Times Books,
2011), 92.
[8]
Ted J. Kaptchuk, “Effect of Placebo on the Human Mind and Body,” Philosophical
Transactions of the Royal Society B 366, no. 1572 (2011): 1782.
[9]
Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New
York: Bloomsbury Press, 2010), 145.
11.
Sintesis Filosofis
Kajian terhadap Post Hoc
Ergo Propter Hoc membuka ruang refleksi yang lebih luas mengenai
keterbatasan rasionalitas manusia dan hubungan antara logika, epistemologi,
serta etika dalam kehidupan intelektual maupun sosial. Kesalahan kausal ini
tidak berdiri sendiri, melainkan mencerminkan dinamika mendasar dalam cara manusia memahami
dunia: kecenderungan untuk mencari pola, mengaitkan peristiwa, dan memberikan
makna pada realitas. Sintesis filosofis berikut mencoba merangkum dimensi
logis, epistemologis, dan etis dari pembahasan sebelumnya.
11.1.
Dimensi Logis
Dari sisi logika, Post Hoc
Ergo Propter Hoc memperlihatkan pentingnya distingsi antara korelasi
dan kausalitas.¹ Logika formal menuntut konsistensi struktur argumen, sementara
logika informal menyoroti konteks dan isi argumen. Dengan demikian, kesalahan post hoc
bukan sekadar kelemahan teknis, tetapi juga bentuk kerentanan argumen dalam
komunikasi sehari-hari.
Logika di sini berfungsi bukan hanya sebagai aturan inferensi, melainkan juga
sebagai alat kritis untuk menguji klaim kausal yang tampak intuitif.²
11.2.
Dimensi Epistemologis
Secara
epistemologis, post hoc menegaskan keterbatasan
manusia dalam memperoleh pengetahuan kausal. Sebagaimana telah ditunjukkan
Hume, kausalitas tidak dapat diamati secara langsung, melainkan disimpulkan
dari kebiasaan pikiran.³ Pandangan ini memperlihatkan paradoks: di satu sisi,
manusia sangat membutuhkan penjelasan kausal untuk memahami dunia; di sisi
lain, klaim kausal rentan terhadap kesalahan. Ilmu pengetahuan modern hadir sebagai respon
atas paradoks ini, dengan mengembangkan metode verifikasi, falsifikasi, dan
eksperimen untuk menyeleksi klaim kausal yang sahih.⁴
11.3.
Dimensi Psikologis dan
Antropologis
Dari sudut pandang
psikologis dan antropologis, kesalahan post hoc dapat dipahami sebagai
ekspresi dari kebutuhan manusia akan keteraturan.⁵ Pola berpikir ini sering
memberi rasa aman, karena ia menyediakan narasi sederhana dalam menghadapi
kompleksitas dunia. Namun, narasi yang menenangkan tersebut kerap menyesatkan.
Filosofi tentang keterbatasan ini sejalan dengan pandangan eksistensialis, yang
menekankan bahwa manusia hidup
dalam ketidakpastian dan harus menerima keterbatasan dalam memahami dunia.⁶
11.4.
Dimensi Etis dan
Sosial
Kesalahan kausal
juga memiliki implikasi etis. Dalam masyarakat, penggunaan post hoc
untuk manipulasi opini publik, propaganda politik, atau pemasaran komersial
menunjukkan bagaimana kelemahan logika manusia dapat dieksploitasi.⁷ Di sini,
filsafat etika menuntut adanya tanggung jawab dalam penggunaan argumen.
Rasionalitas tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga moral: ia harus diarahkan
untuk mencerahkan, bukan menyesatkan.⁸
Sintesis
Akhir
Dengan demikian, Post Hoc
Ergo Propter Hoc dapat dipandang sebagai simbol keterbatasan
sekaligus potensi manusia. Ia menunjukkan kelemahan rasionalitas, tetapi juga
memicu perkembangan disiplin logika, ilmu pengetahuan, dan pendidikan kritis.
Filosofisnya, kesalahan ini mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran adalah
proses yang tak pernah selesai, di mana klaim kausal harus terus diuji,
dikritisi, dan dipertanggungjawabkan.⁹
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 128.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 89.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 56.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 43–44.
[5]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 210.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Washington Square Press, 1992), 141.
[7]
Jason Stanley, How Propaganda Works (Princeton: Princeton
University Press, 2015), 109.
[8]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 52.
[9]
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 5.311.
12.
Penutup
Kajian mengenai Post Hoc Ergo Propter Hoc
menunjukkan bahwa kesalahan berpikir ini bukan hanya masalah logika semata,
tetapi juga fenomena epistemologis, psikologis, dan sosial. Sebagai fallacy
informal yang menganggap suatu peristiwa sebagai penyebab hanya karena
terjadi lebih dahulu, post hoc memperlihatkan kecenderungan manusia
untuk mengaburkan batas antara korelasi dan kausalitas.¹
Dari segi historis, kesalahan ini telah diidentifikasi
sejak masa filsafat klasik Yunani dan terus menjadi perhatian dalam filsafat
modern, khususnya melalui kritik Hume tentang kausalitas.² Perkembangan ilmu
pengetahuan modern dengan metode eksperimental, falsifikasi, dan analisis
statistik berusaha memberikan perangkat untuk membedakan klaim kausal yang
sahih dari ilusi temporal.³ Namun demikian, bias kognitif dan kebutuhan manusia
akan narasi sederhana membuat post hoc tetap bertahan, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam retorika politik dan media.⁴
Secara praktis, strategi untuk menghindari post hoc
mencakup penerapan metode ilmiah, penggunaan data empiris yang teruji, serta
penguatan literasi logika dalam masyarakat.⁵ Hal ini penting tidak hanya untuk
membangun tradisi berpikir kritis, tetapi juga untuk menjaga kesehatan
demokrasi dari manipulasi retoris dan propaganda. Dengan demikian, membongkar post
hoc tidak hanya merupakan upaya intelektual, tetapi juga sebuah tanggung
jawab etis dan sosial.
Akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa kesalahan
berpikir seperti Post Hoc Ergo Propter Hoc adalah cermin keterbatasan
manusia sekaligus peluang untuk terus memperdalam tradisi rasionalitas. Kesalahan
ini mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran adalah proses reflektif yang
menuntut kewaspadaan, kerendahan hati intelektual, dan komitmen terhadap
kejujuran ilmiah.⁶ Dengan kesadaran kritis tersebut, manusia dapat lebih
waspada terhadap jebakan kausalitas semu dan mengarahkan penalarannya menuju
pemahaman yang lebih sahih dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and
Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge,
2014), 124–25.
[2]
David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 53.
[3]
Karl Popper, The Logic of
Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 42.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast
and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 210.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study
of Argument, 7th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2010), 142.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 57.
Daftar
Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers
of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Aristotle. (1995). Organon (J. Barnes, Trans.).
Princeton University Press.
Bynum, W. (2012). A little history of science.
Yale University Press.
Conrad, K. (1958). Die beginnende Schizophrenie.
Thieme.
Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2014). Introduction
to logic (14th ed.). Routledge.
Entman, R. (2004). Projections of power: Framing
news, public opinion, and U.S. foreign policy. University of Chicago Press.
Gelles, R. J. (1995). Contemporary families: A
sociological view. Sage.
Gilovich, T. (1991). How we know what isn’t so: The
fallibility of human reason in everyday life. Free Press.
Govier, T. (2010). A practical study of argument
(7th ed.). Wadsworth.
Hamblin, C. L. (1970). Fallacies. Methuen.
Hill, A. B. (1965). The environment and disease:
Association or causation? Proceedings of the Royal Society of Medicine, 58(5),
295–300.
Hume, D. (2007). An enquiry concerning human
understanding. Oxford University Press.
Hurley, P. J. (2017). A concise introduction to
logic (13th ed.). Cengage Learning.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kaptchuk, T. J. (2011). Effect of placebo on the human
mind and body. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological
Sciences, 366(1572), 1780–1783.
Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to
understand. Cambridge University Press.
Levack, B. (2016). The witch-hunt in early modern
Europe (4th ed.). Routledge.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. University
of Notre Dame Press.
Moffitt, B. (2016). The global rise of populism:
Performance, political style, and representation. Stanford University
Press.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of doubt. Bloomsbury Press.
Pariser, E. (2011). The filter bubble: How the new
personalized web is changing what we read and how we think. Penguin.
Pearl, J. (2009). Causality: Models, reasoning, and
inference (2nd ed.). Cambridge University Press.
Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles
Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Harvard University
Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Porter, R. (1999). The greatest benefit to mankind:
A medical history of humanity. W. W. Norton.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H.
Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Shermer, M. (2011). The believing brain. Times
Books.
Stanley, J. (2015). How propaganda works.
Princeton University Press.
Sternberg, R. J. (2012). Thinking and reasoning: A
reader’s guide. Cambridge University Press.
Stroud, B. (2011). Hume. Routledge.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Theocharis, Y., Barberá, P., Fazekas, Z., Popa, S. A.,
& Parnet, O. (2016). The dynamics of political incivility on Twitter. Social
Media + Society, 2(3), 1–17.
Toulmin, S. (2003). The uses of argument.
Cambridge University Press.
Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic
approach (2nd ed.). Cambridge University Press.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policymaking.
Council of Europe.
Woods, J. (2013). Errors of reasoning: Naturalizing
the logic of inference. Routledge.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar