Selasa, 30 September 2025

Pemikiran Jürgen Habermas: Rasionalitas, Komunikasi, dan Kritik Sosial dalam Tradisi Filsafat Kontemporer

Pemikiran Jürgen Habermas

Rasionalitas, Komunikasi, dan Kritik Sosial dalam Tradisi Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman yang menjadi tokoh utama generasi kedua Teori Kritis Frankfurt School. Fokus utama pembahasan meliputi biografi intelektualnya, landasan teoretis, teori tindakan komunikatif, konsep ruang publik, serta kontribusinya terhadap demokrasi deliberatif. Habermas berusaha merehabilitasi proyek Pencerahan melalui pengembangan rasionalitas komunikatif sebagai alternatif dari dominasi rasionalitas instrumental. Konsep ruang publik yang ia kembangkan menunjukkan bagaimana diskursus rasional-kritis menjadi dasar bagi pembentukan opini publik yang berfungsi menjaga legitimasi demokrasi. Selanjutnya, model demokrasi deliberatif Habermas menekankan pentingnya partisipasi warga negara dalam proses diskursus politik yang bebas dominasi, terbuka, dan inklusif. Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap Habermas, baik dari postmodernisme, feminisme, maupun teori poskolonial, yang menyoroti keterbatasan universalisme rasionalitas komunikatif. Namun, justru melalui kritik-kritik tersebut, pemikiran Habermas semakin diperkaya dan tetap relevan, terutama dalam menjawab persoalan kontemporer seperti krisis demokrasi, disinformasi digital, pluralisme budaya, dan tantangan globalisasi. Dengan demikian, pemikiran Habermas bukan hanya memiliki nilai filosofis, tetapi juga menawarkan kerangka normatif untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.

Kata kunci: Jürgen Habermas, teori tindakan komunikatif, ruang publik, demokrasi deliberatif, teori kritis, rasionalitas komunikatif.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Jürgen Habermas


1.           Pendahuluan

Jürgen Habermas merupakan salah satu filsuf dan sosiolog terkemuka dari Jerman yang dikenal luas karena kontribusinya dalam teori kritis generasi kedua, terutama melalui pengembangan konsep rasionalitas komunikatif dan ruang publik. Pemikiran Habermas tidak hanya menjadi kelanjutan dari tradisi Mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, tetapi juga sebuah upaya pembaruan terhadap krisis modernitas yang ditandai oleh dominasi rasionalitas instrumental dan komodifikasi ruang sosial.¹

Habermas menolak reduksi ilmu pengetahuan pada pendekatan positivistik semata, yang cenderung melihat pengetahuan hanya dari segi teknis dan empiris. Sebaliknya, ia menawarkan model rasionalitas yang lebih inklusif dengan menekankan pada dimensi komunikasi antar-subjek yang berlandaskan konsensus.² Dengan demikian, filsafat Habermas memiliki orientasi emansipatoris yang bertujuan membebaskan manusia dari distorsi komunikasi dan dominasi struktural yang menghalangi tercapainya diskursus yang adil.³

Selain itu, gagasan Habermas tentang ruang publik (public sphere) menjadi salah satu kontribusi terpenting dalam analisis sosial dan politik kontemporer. Melalui karyanya Strukturwandel der Öffentlichkeit (The Structural Transformation of the Public Sphere), ia menunjukkan bagaimana ruang diskusi publik dapat berfungsi sebagai arena rasional-kritis bagi warga negara dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan.⁴ Konsep ini kemudian menjadi pijakan penting dalam memahami demokrasi deliberatif dan peran partisipasi masyarakat dalam pembentukan legitimasi politik.

Dalam konteks global saat ini, ketika demokrasi menghadapi tantangan serius akibat populisme, disinformasi digital, dan melemahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, pemikiran Habermas kembali memperoleh relevansi. Pemahamannya tentang komunikasi rasional dan ruang publik memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk menganalisis serta mencari solusi bagi persoalan krisis demokrasi modern.⁵

Dengan demikian, kajian terhadap pemikiran Jürgen Habermas tidak hanya penting dalam ranah filsafat dan sosiologi, melainkan juga memiliki implikasi nyata bagi praktik politik, hukum, serta kehidupan sosial kontemporer. Artikel ini bertujuan menguraikan secara sistematis biografi intelektual, landasan teoritis, gagasan utama, kritik, serta relevansi pemikiran Habermas dalam wacana ilmiah dan praksis sosial-politik.


Footnotes

[1]                Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).

[2]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, terj. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971).

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984).

[4]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas Burger (Cambridge: MIT Press, 1989).

[5]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992).


2.           Biografi Intelektual Jürgen Habermas

Jürgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Düsseldorf, Jerman, dan tumbuh pada masa penuh gejolak akibat Perang Dunia II serta pengalaman langsung terhadap kehancuran sosial-politik Jerman pasca-Nazi.¹ Kondisi historis ini membentuk kesadaran kritisnya terhadap hubungan antara rasionalitas, ideologi, dan legitimasi politik. Pada masa kecil, Habermas mengalami cacat bicara berupa celah langit-langit (cleft palate) yang membuatnya sulit berbicara dengan jelas.² Hambatan fisik ini mendorongnya untuk mengembangkan kepekaan khusus terhadap bahasa dan komunikasi, yang kelak menjadi inti dari seluruh proyek filosofisnya.

Habermas menempuh pendidikan filsafat, sejarah, psikologi, dan kesusastraan di Universitas Göttingen, Zürich, dan Bonn.³ Pada tahun 1954 ia menyelesaikan disertasi doktoralnya tentang pemikiran Friedrich Schelling.⁴ Namun, minat intelektualnya berkembang ke arah kritik sosial dan teori kritis, terutama setelah berinteraksi dengan para pemikir generasi pertama Frankfurt School. Sejak akhir 1950-an, Habermas bekerja di bawah pengaruh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno di Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), Frankfurt, yang dikenal sebagai pusat Teori Kritis.⁵

Meskipun demikian, hubungan Habermas dengan Horkheimer dan Adorno tidak selalu harmonis. Habermas menilai pendekatan para pendahulunya terlalu pesimis terhadap proyek Pencerahan, khususnya dalam Dialectic of Enlightenment.⁶ Ia berusaha merehabilitasi rasionalitas modern melalui bentuk rasionalitas komunikatif, bukan menolaknya sepenuhnya. Dari sinilah ia mulai dikenal sebagai tokoh generasi kedua Teori Kritis, yang tetap berakar pada kritik Marxian tetapi lebih terbuka pada tradisi filsafat analitik, hermeneutika, dan pragmatisme.

Secara akademis, Habermas menempati berbagai posisi penting di universitas-universitas Jerman. Setelah menyelesaikan habilitasi tentang filsafat sejarah dan teori sosial di bawah bimbingan Wolfgang Abendroth di Universitas Marburg pada 1961, ia diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas Heidelberg.⁷ Pada tahun 1964, Habermas kembali ke Frankfurt untuk menggantikan Horkheimer sebagai profesor filsafat dan sosiologi. Karier akademiknya semakin mengukuhkan reputasinya sebagai penerus tradisi Frankfurt yang membawa teori kritis ke arah lebih normatif dan konstruktif.

Habermas juga memiliki keterlibatan politik yang kuat. Pada 1960-an, ia aktif mendukung gerakan mahasiswa Jerman, meskipun pada saat bersamaan ia mengkritik kecenderungan radikal yang anti-demokratis.⁸ Ia menekankan pentingnya demokrasi deliberatif sebagai jalan transformasi sosial-politik yang tidak jatuh ke dalam otoritarianisme baru. Pada 1971, Habermas diangkat menjadi direktur Max Planck Institute for the Study of the Scientific-Technical World di Starnberg, di mana ia banyak menulis mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat.⁹ Setelah kembali ke Frankfurt pada 1983, ia meneruskan pengembangan teorinya dalam karya besar The Theory of Communicative Action yang menjadikannya salah satu filsuf sosial paling berpengaruh di dunia.

Dalam perkembangan intelektualnya, Habermas banyak dipengaruhi oleh beragam tradisi filsafat: hermeneutika Hans-Georg Gadamer, pragmatisme Amerika (John Dewey, George Herbert Mead), serta teori tindakan Max Weber.¹⁰ Namun, ia tidak menerima pengaruh tersebut secara pasif, melainkan mengintegrasikannya ke dalam proyek filsafat komunikatif yang khas. Habermas juga dikenal sebagai salah satu pemikir yang paling vokal dalam perdebatan publik di Jerman, mulai dari isu reunifikasi Jerman, memori Holocaust, hingga tantangan demokrasi Eropa kontemporer.¹¹

Warisan intelektual Habermas tidak hanya terbatas pada dunia filsafat dan teori sosial, melainkan juga memengaruhi hukum, ilmu politik, etika, dan bahkan studi komunikasi.¹² Sebagai pemikir yang menekankan pentingnya bahasa, diskursus, dan ruang publik, biografi intelektualnya mencerminkan perjalanan panjang dari seorang intelektual yang berangkat dari trauma sejarah Jerman menuju perumusan teori sosial yang bersifat universal dan normatif, dengan orientasi emansipatoris yang kuat.


Footnotes

[1]                Matthew G. Specter, Habermas: An Intellectual Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 12–15.

[2]                James Gordon Finlayson, Habermas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3.

[3]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 21.

[4]                Jürgen Habermas, Das Absolute und die Geschichte: Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Bonn: D. Lempertz, 1954).

[5]                Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 24–26.

[6]                Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, terj. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).

[7]                William Outhwaite, Habermas: A Critical Introduction (Cambridge: Polity Press, 1994), 17.

[8]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 10–12.

[9]                Jürgen Habermas, Toward a Rational Society: Student Protest, Science, and Politics, terj. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1970).

[10]             Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 33–36.

[11]             Jürgen Habermas, The Past as Future, terj. Max Pensky (Cambridge: Polity Press, 1994).

[12]             Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy (Stanford: Stanford University Press, 2011), 4–6.


3.           Landasan Teoretis Pemikiran Habermas

Pemikiran Jürgen Habermas berakar pada tradisi Teori Kritis Frankfurt School, namun ia mengembangkannya dengan arah baru yang lebih normatif, konstruktif, dan berorientasi pada komunikasi. Sebagai penerus generasi kedua Mazhab Frankfurt, Habermas mewarisi semangat emansipatoris dari Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, tetapi ia menolak pesimisme mereka terhadap rasionalitas modern.¹ Jika Adorno dan Horkheimer menilai rasionalitas Pencerahan telah terjebak dalam dominasi instrumental dan menghasilkan patologi modernitas, Habermas berusaha merehabilitasi Pencerahan dengan membedakan antara rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif

Landasan filosofis pemikiran Habermas juga sangat dipengaruhi oleh Max Weber dan kritiknya terhadap modernitas. Weber memandang modernisasi sebagai proses rasionalisasi yang menghasilkan birokrasi dan hukum formal, tetapi sekaligus membawa bahaya "kandang besi" (iron cage).³ Habermas menerima analisis Weber, namun menolak reduksi rasionalitas pada dimensi teknis dan strategis semata. Ia menegaskan adanya dimensi lain dari rasionalitas—yakni rasionalitas komunikatif—yang memungkinkan konsensus intersubjektif melalui bahasa.⁴

Selain Weber, Habermas juga dipengaruhi oleh tradisi hermeneutika, khususnya Hans-Georg Gadamer. Gadamer menekankan pentingnya bahasa dan pemahaman historis dalam interpretasi. Habermas menerima pentingnya hermeneutika, tetapi ia mengkritik kecenderungan Gadamer yang terlalu menekankan tradisi tanpa memberikan ruang bagi kritik ideologis.⁵ Dalam konteks ini, Habermas mengembangkan teori komunikasi yang tidak hanya berfungsi sebagai medium pemahaman, melainkan juga sebagai alat untuk membongkar distorsi sistemik dalam masyarakat modern.

Pengaruh lain yang signifikan datang dari pragmatisme Amerika, terutama pemikiran John Dewey dan George Herbert Mead. Mead dengan teori interaksionisme simbolik menegaskan bahwa identitas diri terbentuk melalui interaksi sosial berbasis bahasa.⁶ Habermas mengadopsi gagasan ini untuk menegaskan bahwa komunikasi merupakan fondasi pembentukan kesadaran diri dan solidaritas sosial. Sementara itu, pragmatisme Dewey memperkuat orientasi Habermas pada demokrasi deliberatif sebagai proses diskursif yang terbuka dan partisipatif.⁷

Habermas juga mengembangkan hubungan erat dengan filsafat bahasa analitik, khususnya filsafat tindak tutur dari J. L. Austin dan John Searle.⁸ Teori tindak tutur memberikan kerangka konseptual bagi Habermas untuk menjelaskan bagaimana pernyataan bahasa tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan sosial (misalnya berjanji, memerintah, atau menyepakati sesuatu). Konsep ini sangat penting dalam perumusan teori tindakan komunikatif, di mana keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh keakuratan proposisi, tetapi juga oleh pengakuan timbal balik antarpartisipan dalam diskursus.

Dari semua pengaruh tersebut, Habermas membangun sebuah proyek filsafat yang berciri interdisipliner, memadukan filsafat, sosiologi, linguistik, dan ilmu politik.⁹ Landasan teoretisnya bertujuan untuk mengatasi krisis legitimasi dalam masyarakat modern dengan menawarkan model komunikasi yang bebas dominasi, rasional, dan terbuka. Dengan demikian, pemikiran Habermas bukan hanya sebuah refleksi filosofis, tetapi juga kerangka normatif untuk menganalisis dan memperbaiki struktur sosial-politik kontemporer.


Footnotes

[1]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 5–8.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[3]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth dan Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 956–958.

[4]                Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 40–42.

[5]                Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, terj. Shierry Weber Nicholsen dan Jerry A. Stark (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 162–166.

[6]                George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934), 135–140.

[7]                John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press, 1954), 208–210.

[8]                J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Oxford University Press, 1962); John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969).

[9]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 18–22.


4.           Teori Tindakan Komunikatif

Salah satu kontribusi paling monumental dari Jürgen Habermas adalah pengembangan teori tindakan komunikatif (Theory of Communicative Action), yang diterbitkan dalam dua jilid pada tahun 1981.¹ Teori ini merupakan puncak dari upaya panjang Habermas untuk merekonstruksi rasionalitas modern dengan menempatkan komunikasi intersubjektif sebagai pusat kehidupan sosial. Berbeda dengan teori sosial yang menekankan dominasi sistem atau kekuasaan, Habermas menekankan bahwa basis kehidupan sosial manusia adalah komunikasi yang berorientasi pada pemahaman (Verständigung).²

Dalam kerangka ini, Habermas membedakan secara tegas antara tindakan instrumental/strategis dan tindakan komunikatif. Tindakan instrumental ditujukan untuk mengendalikan dunia objektif atau mencapai tujuan tertentu, sementara tindakan strategis berorientasi pada pengaruh dan manipulasi orang lain.³ Sebaliknya, tindakan komunikatif berfokus pada pencapaian konsensus yang rasional melalui bahasa, di mana partisipan diskursus saling mengakui klaim kebenaran, ketepatan normatif, dan ketulusan sebagai syarat komunikasi yang sah.⁴ Dengan demikian, komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan sarana membangun legitimasi sosial melalui rasionalitas intersubjektif.

Teori tindakan komunikatif berangkat dari analisis Habermas tentang dunia kehidupan (lifeworld) dan sistem. Dunia kehidupan adalah ruang interaksi sosial sehari-hari yang diwarnai oleh tradisi, norma, dan komunikasi.⁵ Sementara itu, sistem merujuk pada struktur sosial yang diatur oleh uang dan kekuasaan, seperti pasar dan birokrasi. Habermas menilai bahwa modernitas membawa risiko “kolonisasi dunia kehidupan” oleh sistem, ketika logika uang dan kekuasaan menggantikan komunikasi rasional.⁶ Maka, teori tindakan komunikatif dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan otonomi dunia kehidupan melalui penguatan rasionalitas komunikatif.

Aspek penting lain dari teori ini adalah konsep klaim validitas universal (universal validity claims). Menurut Habermas, setiap tindakan komunikatif secara implisit mengandung klaim validitas: (1) klaim kebenaran (truth) terkait dunia objektif, (2) klaim ketepatan normatif (rightness) terkait dunia sosial, dan (3) klaim ketulusan (sincerity) terkait dunia subjektif.⁷ Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang memungkinkan klaim-klaim ini diuji secara terbuka dalam diskursus, tanpa paksaan, dan dengan peluang yang sama bagi semua partisipan.⁸

Teori tindakan komunikatif juga memiliki dimensi praktis dan politis. Habermas menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat berfungsi secara sehat bila praktik deliberatif yang berbasis pada rasionalitas komunikatif dijaga dan diperluas.⁹ Artinya, partisipasi warga dalam ruang publik tidak boleh direduksi menjadi sekadar voting atau representasi formal, tetapi harus melibatkan diskursus rasional di mana argumen diuji berdasarkan kekuatan rasio, bukan kekuasaan.¹⁰ Dengan cara ini, teori tindakan komunikatif bukan hanya sebuah teori filsafat, tetapi juga kerangka normatif untuk menata masyarakat modern yang lebih demokratis, inklusif, dan bebas dominasi.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984).

[2]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 273–276.

[3]                Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 52–55.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume Two: Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 120–124.

[5]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 29–32.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 356–360.

[7]                Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 45–48.

[8]                James Gordon Finlayson, Habermas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 53–55.

[9]                Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 102–106.

[10]             Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy (Stanford: Stanford University Press, 2011), 66–70.


5.           Konsep Ruang Publik (Public Sphere)

Konsep ruang publik (Öffentlichkeit atau public sphere) merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dari Jürgen Habermas yang pertama kali ia rumuskan dalam karya klasiknya Strukturwandel der Öffentlichkeit (The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962).¹ Ruang publik dipahami sebagai arena sosial di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam diskursus rasional-kritis untuk membahas isu-isu bersama, mengawasi kekuasaan, serta membentuk opini publik yang memiliki legitimasi politik.²

Habermas menelusuri asal-usul historis ruang publik ke Eropa abad ke-18, khususnya melalui perkembangan kafe, salon, dan pers borjuis, di mana diskusi tentang sastra, seni, dan politik menjadi medium pembentukan opini kolektif.³ Bagi Habermas, ruang publik pada masa itu memungkinkan munculnya bentuk baru partisipasi warga negara yang relatif independen dari negara maupun pasar.⁴ Namun, dalam perkembangannya, ruang publik mengalami transformasi mendasar akibat komersialisasi media massa, birokratisasi negara, serta dominasi kepentingan kapitalis. Hal ini, menurut Habermas, mengarah pada “kemunduran ruang publik borjuis” karena diskursus rasional-kritis digantikan oleh opini yang dibentuk melalui propaganda dan konsumsi pasif.⁵

Inti teoritis dari gagasan ruang publik adalah bahwa legitimasi politik tidak dapat hanya bertumpu pada prosedur formal negara, tetapi juga pada proses deliberatif yang berlangsung di antara warga negara. Ruang publik yang sehat memungkinkan pertukaran argumen tanpa dominasi, sehingga keputusan politik memiliki dasar rasionalitas komunikatif.⁶ Dengan demikian, ruang publik menjadi penghubung antara masyarakat sipil (civil society) dan negara, serta menjadi sarana artikulasi kepentingan publik dalam sistem demokrasi.

Habermas menekankan bahwa ruang publik bukanlah entitas institusional yang tetap, melainkan arena diskursif yang dinamis. Ia terbuka bagi partisipasi luas, tetapi juga rentan terhadap distorsi akibat ketimpangan ekonomi, politik, dan kultural.⁷ Dalam kerangka teori tindakan komunikatif, ruang publik berfungsi sebagai medium di mana klaim validitas diuji, argumen diuji kebenarannya, dan legitimasi normatif dipertaruhkan.⁸

Dalam konteks kontemporer, relevansi teori ruang publik semakin menonjol. Era digital menghadirkan bentuk baru ruang publik melalui media sosial dan jaringan online. Di satu sisi, perkembangan ini memperluas akses partisipasi politik dan mempercepat arus informasi. Namun di sisi lain, fragmentasi ruang publik, penyebaran disinformasi, dan polarisasi opini menimbulkan tantangan serius bagi rasionalitas komunikatif yang menjadi ideal Habermas.⁹ Hal ini memunculkan diskusi lanjutan mengenai apakah ruang publik digital mampu mempertahankan prinsip inklusivitas, keterbukaan, dan rasionalitas deliberatif yang diidealkan Habermas.¹⁰

Dengan demikian, konsep ruang publik bukan hanya analisis historis, tetapi juga kerangka normatif yang terus relevan dalam menilai kualitas demokrasi. Habermas melalui gagasan ini menegaskan bahwa keberlangsungan demokrasi deliberatif hanya mungkin jika ruang publik dijaga sebagai arena komunikasi bebas dominasi, di mana warga negara dapat bertindak sebagai subjek politik yang aktif dan kritis.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989).

[2]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 1–5.

[3]                Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, 29–43.

[4]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 124–127.

[5]                Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, 181–195.

[6]                Seyla Benhabib, Democracy and Difference: Contesting the Boundaries of the Political (Princeton: Princeton University Press, 1996), 70–72.

[7]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public Sphere, ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.

[8]                Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume Two: Lifeworld and System, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 320–325.

[9]                Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 148–150.

[10]             Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 23–26.


6.           Habermas dan Demokrasi Deliberatif

Kontribusi besar Jürgen Habermas terhadap teori politik modern terletak pada gagasannya tentang demokrasi deliberatif, yang berakar pada teori tindakan komunikatif dan konsep ruang publik. Demokrasi deliberatif, menurut Habermas, bukan sekadar prosedur formal pemungutan suara atau representasi politik, melainkan sebuah proses diskursus rasional di mana warga negara terlibat secara aktif dalam perdebatan publik untuk mencapai konsensus yang berlandaskan argumen, bukan kekuasaan.¹

Dalam karyanya Between Facts and Norms (1992), Habermas menjelaskan bahwa legitimasi politik dalam masyarakat modern hanya dapat dicapai apabila keputusan politik didasarkan pada proses deliberasi publik yang inklusif, terbuka, dan bebas dominasi.² Hukum, bagi Habermas, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kekuasaan, tetapi juga sebagai media integrasi sosial yang menghubungkan fakta sosial dengan norma moral.³ Oleh karena itu, hukum memperoleh legitimasi bukan dari otoritas semata, melainkan dari proses diskursus demokratis yang melibatkan seluruh warga negara.

Model demokrasi deliberatif Habermas mengandaikan adanya ruang publik yang sehat, di mana warga negara dapat menguji klaim-klaim normatif dan rasionalitas keputusan politik.⁴ Hal ini berbeda dengan model demokrasi liberal yang menekankan agregasi preferensi individu melalui mekanisme pemilihan umum, maupun dengan model demokrasi republikan yang menekankan pada kehendak kolektif.⁵ Habermas berupaya memadukan keduanya dengan menempatkan deliberasi sebagai inti proses demokrasi.

Habermas juga menggarisbawahi prinsip inklusivitas dan kesetaraan partisipasi. Semua warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya, harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.⁶ Demokrasi deliberatif dengan demikian berfungsi sebagai mekanisme korektif terhadap distorsi komunikasi yang muncul akibat ketimpangan kekuasaan dan pengaruh pasar dalam ruang publik modern.

Lebih jauh, teori demokrasi deliberatif Habermas memiliki implikasi praktis yang luas. Dalam konteks Eropa, ia menekankan perlunya membangun masyarakat kosmopolitan di mana deliberasi transnasional dapat memperkuat legitimasi demokrasi di tingkat supranasional, seperti Uni Eropa.⁷ Dalam konteks global, ia juga melihat demokrasi deliberatif sebagai jawaban atas krisis kepercayaan terhadap institusi politik, meningkatnya populisme, serta tantangan pluralisme budaya di masyarakat modern.⁸

Dengan demikian, demokrasi deliberatif dalam perspektif Habermas bukan hanya teori normatif, tetapi juga sebuah kerangka praktis untuk mengatasi krisis legitimasi demokrasi kontemporer. Intinya, demokrasi hanya akan bertahan apabila warga negara dapat bertindak sebagai aktor komunikatif yang mampu berdialog secara rasional dan kritis dalam ruang publik yang terbuka.


Footnotes

[1]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 287–290.

[2]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–115.

[3]                Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy (Stanford: Stanford University Press, 2011), 45–47.

[4]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 73–75.

[5]                Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 23–25.

[6]                Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 9–12.

[7]                Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays, terj. Max Pensky (Cambridge: MIT Press, 2001), 76–80.

[8]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 34–36.


7.           Kritik terhadap Habermas

Meskipun Jürgen Habermas dianggap sebagai salah satu filsuf dan sosiolog paling berpengaruh pada abad ke-20, pemikirannya tidak luput dari berbagai kritik. Kritik tersebut datang dari beragam aliran, mulai dari postmodernisme, feminisme, teori poskolonial, hingga perdebatan internal dalam teori kritis. Kritik ini memperkaya diskusi filosofis sekaligus menyoroti keterbatasan konseptual dari teori Habermas.

Salah satu kritik paling menonjol datang dari Jean-François Lyotard, tokoh postmodernis yang menilai bahwa proyek Habermas terlalu menekankan pada narasi besar tentang rasionalitas dan konsensus universal.¹ Lyotard berpendapat bahwa modernitas justru ditandai oleh pluralitas “permainan bahasa” (language games) yang tidak dapat direduksi ke dalam satu bentuk rasionalitas komunikatif.² Dengan demikian, klaim Habermas mengenai universalitas diskursus dianggap mengabaikan keragaman bentuk kehidupan sosial dan politik.

Selain itu, Michel Foucault juga memberikan kritik penting terhadap Habermas. Bagi Foucault, relasi kekuasaan tidak pernah sepenuhnya dapat dinegasikan dalam komunikasi.³ Diskursus selalu berkelindan dengan praktik kekuasaan, sehingga gagasan Habermas tentang komunikasi bebas dominasi dinilai utopis.⁴ Kritik Foucault ini menyoroti blind spot dalam teori tindakan komunikatif, yakni asumsi bahwa komunikasi rasional dapat berlangsung tanpa distorsi struktural.

Dari perspektif feminis, tokoh seperti Nancy Fraser menilai bahwa konsep ruang publik Habermas bersifat eksklusif karena berakar pada pengalaman borjuis Eropa abad ke-18.⁵ Fraser menunjukkan bahwa kelompok-kelompok marjinal, seperti perempuan dan kelas pekerja, sering kali dikecualikan dari ruang publik tersebut. Oleh karena itu, ia mengusulkan konsep counterpublics, yaitu ruang publik alternatif tempat kelompok tertindas dapat mengekspresikan kepentingan dan identitas mereka.⁶ Kritik feminis ini menyoroti kurangnya sensitivitas Habermas terhadap isu gender dan ketidaksetaraan sosial dalam ruang publik.

Dalam konteks teori poskolonial, Habermas dikritik karena mengusung model universalitas rasional yang dianggap berakar pada tradisi Eropa Barat. Pemikir seperti Gayatri Chakravorty Spivak berpendapat bahwa universalisme Habermas berpotensi mengabaikan pengalaman dunia non-Barat yang memiliki sejarah kolonialisme, dominasi budaya, dan perlawanan yang berbeda.⁷ Dengan demikian, teori komunikasi Habermas dituduh masih bersifat euro-sentris.

Bahkan dalam lingkaran teori kritis sendiri, Habermas dikritik oleh murid-murid dan koleganya. Axel Honneth, misalnya, menilai bahwa fokus Habermas pada rasionalitas komunikatif kurang memberi perhatian pada dimensi afektif dan pengakuan sosial.⁸ Menurut Honneth, pengalaman ketidakadilan sering kali tidak hanya terletak pada distorsi komunikasi, melainkan juga pada kurangnya pengakuan (recognition) terhadap identitas individu dan kelompok.

Terlepas dari berbagai kritik tersebut, gagasan Habermas tetap memiliki pengaruh luas. Kritik-kritik tersebut lebih sering dipahami sebagai bentuk dialog intelektual yang memperluas horizon teori kritis, daripada sebagai penolakan total. Kritik dari postmodernisme, feminisme, dan teori poskolonial justru memperkaya teori Habermas dengan menekankan dimensi pluralitas, inklusivitas, dan sensitivitas terhadap perbedaan.


Footnotes

[1]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[2]                Ibid., 60–65.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 78–82.

[4]                Nancy Fraser, “What’s Critical about Critical Theory? The Case of Habermas and Gender,” New German Critique 35 (Spring–Summer 1985): 97–131.

[5]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public Sphere, ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.

[6]                Ibid., 123–124.

[7]                Gayatri Chakravorty Spivak, A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 357–360.

[8]                Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, terj. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 92–95.


8.           Relevansi dan Pengaruh Pemikiran Habermas

Pemikiran Jürgen Habermas memiliki pengaruh yang sangat luas, baik dalam bidang filsafat, sosiologi, ilmu politik, hukum, maupun studi komunikasi. Ia tidak hanya dipandang sebagai penerus Mazhab Frankfurt, tetapi juga sebagai pemikir yang berhasil memberikan fondasi teoritis baru bagi demokrasi, hukum, dan masyarakat modern. Relevansi pemikirannya semakin menonjol dalam konteks krisis demokrasi kontemporer, disinformasi digital, serta tantangan pluralisme global.

Pertama, dalam ranah filsafat sosial, Habermas memberikan sumbangan penting melalui teori tindakan komunikatif yang menjadi alternatif terhadap dominasi rasionalitas instrumental.¹ Dengan menekankan pada rasionalitas komunikatif, Habermas menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana konsensus sosial dapat dibangun melalui argumentasi, bukan melalui kekuasaan atau dominasi. Teori ini berpengaruh luas pada diskursus filsafat kontemporer, terutama dalam perdebatan mengenai modernitas, postmodernitas, dan legitimasi sosial.²

Kedua, dalam bidang politik dan demokrasi, gagasan Habermas tentang ruang publik dan demokrasi deliberatif menjadi salah satu rujukan utama dalam teori politik modern.³ Konsep ini memengaruhi perkembangan teori demokrasi deliberatif di kalangan pemikir seperti Joshua Cohen, Amy Gutmann, dan Dennis Thompson, yang menekankan pentingnya diskursus publik dalam proses pengambilan keputusan politik.⁴ Lebih jauh, teori Habermas digunakan dalam studi tata kelola global, misalnya dalam diskusi tentang legitimasi Uni Eropa dan mekanisme deliberasi transnasional.⁵

Ketiga, dalam bidang hukum dan etika, karya Habermas Between Facts and Norms menawarkan kerangka normatif untuk memahami hubungan antara hukum dan demokrasi.⁶ Ia menekankan bahwa hukum memperoleh legitimasi hanya jika dibentuk melalui prosedur deliberatif yang partisipatif. Pemikiran ini berpengaruh pada teori hukum kontemporer, terutama dalam diskusi mengenai konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan keadilan prosedural.⁷

Selain itu, Habermas juga memiliki pengaruh signifikan dalam studi komunikasi. Teorinya mengenai klaim validitas dan tindak tutur menjadi pijakan penting bagi kajian komunikasi publik, media, dan demokrasi digital.⁸ Para peneliti komunikasi politik menggunakan konsep ruang publik Habermas untuk menganalisis peran media massa dan media sosial dalam membentuk opini publik. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Habermas tetap relevan dalam era informasi dan globalisasi.

Namun, pengaruh Habermas tidak hanya terbatas pada ranah akademis. Ia juga terlibat aktif dalam perdebatan publik di Jerman dan Eropa, memberikan pandangan kritis terhadap isu-isu kontemporer seperti reunifikasi Jerman, memori Holocaust, hingga tantangan integrasi Uni Eropa.⁹ Dengan demikian, Habermas tidak hanya seorang filsuf teoretis, tetapi juga intelektual publik yang berusaha menghubungkan teori dengan praktik sosial-politik.

Secara keseluruhan, relevansi pemikiran Habermas terletak pada kemampuannya menawarkan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami dan memperbaiki struktur masyarakat modern. Pengaruhnya terus meluas, baik melalui penerapan teorinya di berbagai disiplin ilmu maupun melalui perdebatan kritis yang ia timbulkan. Kritik dari postmodernisme, feminisme, dan teori poskolonial justru menunjukkan bahwa pemikiran Habermas menjadi titik rujukan penting dalam dialog intelektual global.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984).

[2]                Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 73–75.

[3]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 1–3.

[4]                Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 17–34; Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 7–10.

[5]                Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays, terj. Max Pensky (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 76–82.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996).

[7]                Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy (Stanford: Stanford University Press, 2011), 54–58.

[8]                Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 102–104.

[9]                Jürgen Habermas, The Past as Future, terj. Max Pensky (Cambridge: Polity Press, 1994), 22–25.


9.           Relevansi Pemikiran Habermas pada Konteks Kontemporer

Pemikiran Jürgen Habermas tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menganalisis persoalan sosial, politik, hukum, dan komunikasi pada era kontemporer. Teorinya mengenai rasionalitas komunikatif, ruang publik, dan demokrasi deliberatif memberikan kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan global saat ini, termasuk krisis demokrasi, disinformasi digital, pluralisme budaya, serta perubahan struktur masyarakat global akibat globalisasi.

Pertama, dalam konteks krisis demokrasi modern, pemikiran Habermas menawarkan jawaban atas melemahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik, meningkatnya populisme, serta polarisasi opini publik.¹ Konsep demokrasi deliberatif yang menekankan pada diskursus rasional memberi dasar normatif untuk menghidupkan kembali ruang publik sebagai arena komunikasi yang bebas dominasi. Hal ini sangat penting ketika praktik politik kontemporer sering kali tereduksi menjadi sekadar strategi elektoral dan manipulasi media.²

Kedua, dalam era digital dan media sosial, gagasan Habermas mengenai ruang publik menemukan aktualisasinya sekaligus tantangan baru. Di satu sisi, teknologi digital memperluas akses partisipasi politik dan memungkinkan demokratisasi informasi. Namun, di sisi lain, muncul fenomena disinformasi, ujaran kebencian, serta fragmentasi ruang publik yang berlawanan dengan ideal komunikasi rasional.³ Dengan kerangka Habermas, para peneliti dapat menganalisis apakah ruang publik digital mampu mempertahankan prinsip inklusivitas, keterbukaan, dan rasionalitas deliberatif.⁴

Ketiga, dalam konteks pluralisme budaya dan masyarakat multikultural, teori diskursus Habermas memberikan basis etis untuk membangun konsensus di tengah perbedaan.⁵ Melalui gagasan mengenai klaim validitas universal, Habermas menunjukkan bahwa perbedaan pandangan budaya tidak harus berujung pada relativisme, tetapi dapat dipertemukan melalui proses komunikasi yang rasional dan inklusif. Pemikiran ini relevan dalam menghadapi persoalan multikulturalisme, konflik identitas, dan isu migrasi di Eropa maupun global.⁶

Keempat, pada level globalisasi dan tata kelola internasional, Habermas menekankan pentingnya membangun struktur deliberatif transnasional yang mampu menyeimbangkan kepentingan negara-bangsa dengan tuntutan solidaritas global.⁷ Ia mengusulkan pembentukan ruang publik kosmopolitan di mana isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidakadilan ekonomi, dan hak asasi manusia dapat dibicarakan secara rasional lintas batas negara.⁸

Akhirnya, relevansi Habermas juga tampak dalam kajian etika dan bioetika kontemporer. Dalam diskusi mengenai teknologi genetika, biomedis, dan isu-isu lingkungan, prinsip komunikasi bebas dominasi yang ia ajukan menjadi pijakan normatif untuk membangun konsensus publik mengenai batasan moral atas perkembangan ilmu pengetahuan.⁹

Dengan demikian, pemikiran Habermas tetap penting bukan hanya sebagai refleksi filosofis, melainkan juga sebagai instrumen kritis untuk memahami tantangan masyarakat kontemporer. Ia menawarkan visi bahwa demokrasi, hukum, dan ruang publik hanya dapat bertahan jika berlandaskan komunikasi yang rasional, inklusif, dan deliberatif—sebuah ideal yang semakin mendesak di tengah kompleksitas dunia modern.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 356–360.

[2]                Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 34–36.

[3]                Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 148–152.

[4]                Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 23–26.

[5]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 117–119.

[6]                James Bohman, Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 82–85.

[7]                Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays, terj. Max Pensky (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 76–82.

[8]                David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995), 272–276.

[9]                Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, terj. Hella Beister dan William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 40–43.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Jürgen Habermas menempati posisi penting dalam lanskap filsafat dan ilmu sosial kontemporer, terutama melalui kontribusinya dalam mengembangkan teori tindakan komunikatif, konsep ruang publik, serta model demokrasi deliberatif. Habermas berhasil merekonstruksi tradisi Teori Kritis dengan menekankan pentingnya komunikasi intersubjektif sebagai fondasi kehidupan sosial, sekaligus menghadirkan alternatif terhadap reduksionisme rasionalitas instrumental yang mendominasi modernitas.¹ Dengan menekankan rasionalitas komunikatif, Habermas menegaskan bahwa legitimasi sosial dan politik hanya dapat dicapai melalui diskursus yang bebas dominasi, rasional, dan inklusif.²

Kesimpulan utama dari pemikirannya adalah bahwa demokrasi, hukum, dan masyarakat modern tidak bisa hanya bertumpu pada mekanisme formal atau logika sistem, melainkan harus dikaitkan dengan praktik komunikasi yang terbuka dan deliberatif.³ Dalam perspektif Habermas, ruang publik yang sehat menjadi syarat penting bagi keberlangsungan demokrasi, karena di situlah warga negara dapat berpartisipasi secara kritis dalam membentuk opini dan kehendak kolektif.⁴ Hal ini memberikan dasar normatif yang kuat bagi konsep demokrasi deliberatif sebagai koreksi terhadap model demokrasi liberal yang terlalu menekankan agregasi preferensi, maupun demokrasi republikan yang menekankan kehendak kolektif.⁵

Meskipun pemikirannya mendapat kritik dari berbagai arah—postmodernisme, feminisme, dan teori poskolonial—Habermas tetap berhasil menghadirkan kerangka teoritis yang menjadi titik rujukan penting dalam diskursus global. Kritik-kritik tersebut tidak serta merta meniadakan nilai teorinya, tetapi justru memperluas horizon penerapannya dalam konteks pluralisme, keadilan sosial, dan globalisasi.⁶

Relevansi pemikiran Habermas semakin nyata di era kontemporer, ketika masyarakat menghadapi tantangan besar berupa krisis legitimasi demokrasi, disinformasi digital, polarisasi politik, serta kompleksitas globalisasi.⁷ Dalam situasi tersebut, visi Habermas tentang komunikasi rasional, ruang publik inklusif, dan demokrasi deliberatif menawarkan kerangka kritis sekaligus normatif untuk menjaga dan memperkuat fondasi demokrasi.

Dengan demikian, warisan intelektual Habermas tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga praktis. Ia mengajarkan bahwa rasionalitas manusia tidak semata-mata teknis atau strategis, melainkan komunikatif; dan bahwa masa depan demokrasi bergantung pada kemampuan warga negara untuk terlibat dalam diskursus rasional yang melampaui kepentingan sempit menuju kepentingan bersama.⁸ Pemikiran Habermas, karenanya, tetap relevan sebagai kompas intelektual bagi pencarian masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.


Footnotes

[1]                Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 273–276.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–115.

[4]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 181–195.

[5]                Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 23–25.

[6]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public Sphere, ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.

[7]                Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 148–150.

[8]                Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 102–106.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)

Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson, Ed.). Oxford University Press.

Baxter, H. (2011). Habermas: The discourse theory of law and democracy. Stanford University Press.

Benhabib, S. (1986). Critique, norm, and utopia: A study of the foundations of critical theory. Columbia University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Benhabib, S. (1996). Democracy and difference: Contesting the boundaries of the political. Princeton University Press.

Bohman, J. (1996). Public deliberation: Pluralism, complexity, and democracy. MIT Press.

Calhoun, C. (Ed.). (1992). Habermas and the public sphere. MIT Press.

Cohen, J. (1989). Deliberation and democratic legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The good polity: Normative analysis of the state (pp. 17–34). Blackwell.

Cooke, M. (1994). Language and reason: A study of Habermas’s pragmatics. MIT Press.

Dahlgren, P. (2005). The internet, public spheres, and political communication: Dispersion and deliberation. Cambridge University Press.

Dewey, J. (1954). The public and its problems. Swallow Press. (Original work published 1927)

Finlayson, J. G. (2005). Habermas: A very short introduction. Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Fraser, N. (1985). What’s critical about critical theory? The case of Habermas and gender. New German Critique, 35(Spring–Summer), 97–131.

Fraser, N. (1992). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. In C. Calhoun (Ed.), Habermas and the public sphere (pp. 109–142). MIT Press.

Geuss, R. (1981). The idea of a critical theory: Habermas and the Frankfurt School. Cambridge University Press.

Gutmann, A., & Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University Press.

Habermas, J. (1954). Das Absolute und die Geschichte: Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken. D. Lempertz.

Habermas, J. (1970). Toward a rational society: Student protest, science, and politics (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, volume one: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action, volume two: Lifeworld and system: A critique of functionalist reason (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1988). On the logic of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger, Trans.). MIT Press. (Original work published 1962)

Habermas, J. (1994). The past as future (M. Pensky, Trans.). Polity Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (2001). The postnational constellation: Political essays (M. Pensky, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (2003). The future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.

Held, D. (1995). Democracy and the global order: From the modern state to cosmopolitan governance. Stanford University Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). Polity Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

McCarthy, T. (1978). The critical theory of Jürgen Habermas. MIT Press.

Mead, G. H. (1934). Mind, self, and society. University of Chicago Press.

Outhwaite, W. (1994). Habermas: A critical introduction. Polity Press.

Papacharissi, Z. (2010). A private sphere: Democracy in a digital age. Polity Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Specter, M. G. (2010). Habermas: An intellectual biography. Cambridge University Press.

Spivak, G. C. (1999). A critique of postcolonial reason: Toward a history of the vanishing present. Harvard University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar