Pemikiran Jürgen Habermas
Rasionalitas, Komunikasi, dan Kritik Sosial dalam
Tradisi Filsafat Kontemporer
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman yang menjadi tokoh utama
generasi kedua Teori Kritis Frankfurt School. Fokus utama pembahasan meliputi
biografi intelektualnya, landasan teoretis, teori tindakan komunikatif, konsep
ruang publik, serta kontribusinya terhadap demokrasi deliberatif. Habermas
berusaha merehabilitasi proyek Pencerahan melalui pengembangan rasionalitas
komunikatif sebagai alternatif dari dominasi rasionalitas instrumental.
Konsep ruang publik yang ia kembangkan menunjukkan bagaimana diskursus
rasional-kritis menjadi dasar bagi pembentukan opini publik yang berfungsi
menjaga legitimasi demokrasi. Selanjutnya, model demokrasi deliberatif Habermas
menekankan pentingnya partisipasi warga negara dalam proses diskursus politik
yang bebas dominasi, terbuka, dan inklusif. Artikel ini juga mengulas berbagai
kritik terhadap Habermas, baik dari postmodernisme, feminisme, maupun teori
poskolonial, yang menyoroti keterbatasan universalisme rasionalitas
komunikatif. Namun, justru melalui kritik-kritik tersebut, pemikiran Habermas
semakin diperkaya dan tetap relevan, terutama dalam menjawab persoalan
kontemporer seperti krisis demokrasi, disinformasi digital, pluralisme budaya,
dan tantangan globalisasi. Dengan demikian, pemikiran Habermas bukan hanya
memiliki nilai filosofis, tetapi juga menawarkan kerangka normatif untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.
Kata kunci: Jürgen
Habermas, teori tindakan komunikatif, ruang publik, demokrasi deliberatif,
teori kritis, rasionalitas komunikatif.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Jürgen Habermas
1.          
Pendahuluan
Jürgen Habermas
merupakan salah satu filsuf dan sosiolog terkemuka dari Jerman yang dikenal
luas karena kontribusinya dalam teori kritis generasi kedua, terutama melalui
pengembangan konsep rasionalitas komunikatif dan ruang
publik. Pemikiran Habermas tidak hanya menjadi kelanjutan dari
tradisi Mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor
Adorno, tetapi juga sebuah upaya pembaruan terhadap krisis modernitas yang
ditandai oleh dominasi rasionalitas instrumental dan komodifikasi ruang
sosial.¹
Habermas menolak
reduksi ilmu pengetahuan pada pendekatan positivistik semata, yang cenderung
melihat pengetahuan hanya dari segi teknis dan empiris. Sebaliknya, ia
menawarkan model rasionalitas yang lebih inklusif dengan menekankan pada
dimensi komunikasi antar-subjek yang berlandaskan konsensus.² Dengan demikian,
filsafat Habermas memiliki orientasi emansipatoris yang bertujuan membebaskan
manusia dari distorsi komunikasi dan dominasi struktural yang menghalangi
tercapainya diskursus yang adil.³
Selain itu, gagasan
Habermas tentang ruang publik (public
sphere) menjadi salah satu kontribusi terpenting dalam analisis
sosial dan politik kontemporer. Melalui karyanya Strukturwandel der Öffentlichkeit (The
Structural Transformation of the Public Sphere), ia menunjukkan
bagaimana ruang diskusi publik dapat berfungsi sebagai arena rasional-kritis
bagi warga negara dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan.⁴ Konsep ini
kemudian menjadi pijakan penting dalam memahami demokrasi deliberatif dan peran
partisipasi masyarakat dalam pembentukan legitimasi politik.
Dalam konteks global
saat ini, ketika demokrasi menghadapi tantangan serius akibat populisme,
disinformasi digital, dan melemahnya kepercayaan publik terhadap institusi
politik, pemikiran Habermas kembali memperoleh relevansi. Pemahamannya tentang
komunikasi rasional dan ruang publik memberikan kerangka konseptual yang kuat
untuk menganalisis serta mencari solusi bagi persoalan krisis demokrasi
modern.⁵
Dengan demikian,
kajian terhadap pemikiran Jürgen Habermas tidak hanya penting dalam ranah
filsafat dan sosiologi, melainkan juga memiliki implikasi nyata bagi praktik
politik, hukum, serta kehidupan sosial kontemporer. Artikel ini bertujuan
menguraikan secara sistematis biografi intelektual, landasan teoritis, gagasan
utama, kritik, serta relevansi pemikiran Habermas dalam wacana ilmiah dan
praksis sosial-politik.
Footnotes
[1]               
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
terj. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).
[2]               
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, terj. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971).
[3]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984).
[4]               
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas
Burger (Cambridge: MIT Press, 1989).
[5]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992).
2.          
Biografi
Intelektual Jürgen Habermas
Jürgen Habermas
lahir pada 18 Juni 1929 di Düsseldorf, Jerman, dan tumbuh pada masa penuh
gejolak akibat Perang Dunia II serta pengalaman langsung terhadap kehancuran
sosial-politik Jerman pasca-Nazi.¹ Kondisi historis ini membentuk kesadaran
kritisnya terhadap hubungan antara rasionalitas, ideologi, dan legitimasi politik.
Pada masa kecil, Habermas mengalami cacat bicara berupa celah langit-langit
(cleft palate) yang membuatnya sulit berbicara dengan jelas.² Hambatan fisik
ini mendorongnya untuk mengembangkan kepekaan khusus terhadap bahasa dan
komunikasi, yang kelak menjadi inti dari seluruh proyek filosofisnya.
Habermas menempuh
pendidikan filsafat, sejarah, psikologi, dan kesusastraan di Universitas
Göttingen, Zürich, dan Bonn.³ Pada tahun 1954 ia menyelesaikan disertasi
doktoralnya tentang pemikiran Friedrich Schelling.⁴ Namun, minat intelektualnya
berkembang ke arah kritik sosial dan teori kritis, terutama setelah
berinteraksi dengan para pemikir generasi pertama Frankfurt School. Sejak akhir
1950-an, Habermas bekerja di bawah pengaruh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno
di Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), Frankfurt, yang
dikenal sebagai pusat Teori Kritis.⁵
Meskipun demikian,
hubungan Habermas dengan Horkheimer dan Adorno tidak selalu harmonis. Habermas
menilai pendekatan para pendahulunya terlalu pesimis terhadap proyek
Pencerahan, khususnya dalam Dialectic of Enlightenment.⁶ Ia
berusaha merehabilitasi rasionalitas modern melalui bentuk rasionalitas
komunikatif, bukan menolaknya sepenuhnya. Dari sinilah ia mulai dikenal sebagai
tokoh generasi kedua Teori Kritis, yang tetap berakar pada kritik Marxian
tetapi lebih terbuka pada tradisi filsafat analitik, hermeneutika, dan
pragmatisme.
Secara akademis,
Habermas menempati berbagai posisi penting di universitas-universitas Jerman.
Setelah menyelesaikan habilitasi tentang filsafat sejarah dan teori sosial di
bawah bimbingan Wolfgang Abendroth di Universitas Marburg pada 1961, ia
diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas Heidelberg.⁷ Pada tahun 1964,
Habermas kembali ke Frankfurt untuk menggantikan Horkheimer sebagai profesor
filsafat dan sosiologi. Karier akademiknya semakin mengukuhkan reputasinya
sebagai penerus tradisi Frankfurt yang membawa teori kritis ke arah lebih
normatif dan konstruktif.
Habermas juga
memiliki keterlibatan politik yang kuat. Pada 1960-an, ia aktif mendukung
gerakan mahasiswa Jerman, meskipun pada saat bersamaan ia mengkritik
kecenderungan radikal yang anti-demokratis.⁸ Ia menekankan pentingnya demokrasi
deliberatif sebagai jalan transformasi sosial-politik yang tidak jatuh ke dalam
otoritarianisme baru. Pada 1971, Habermas diangkat menjadi direktur Max Planck
Institute for the Study of the Scientific-Technical World di Starnberg, di mana
ia banyak menulis mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat.⁹
Setelah kembali ke Frankfurt pada 1983, ia meneruskan pengembangan teorinya
dalam karya besar The Theory of Communicative Action
yang menjadikannya salah satu filsuf sosial paling berpengaruh di dunia.
Dalam perkembangan
intelektualnya, Habermas banyak dipengaruhi oleh beragam tradisi filsafat:
hermeneutika Hans-Georg Gadamer, pragmatisme Amerika (John Dewey, George
Herbert Mead), serta teori tindakan Max Weber.¹⁰ Namun, ia tidak menerima
pengaruh tersebut secara pasif, melainkan mengintegrasikannya ke dalam proyek
filsafat komunikatif yang khas. Habermas juga dikenal sebagai salah satu
pemikir yang paling vokal dalam perdebatan publik di Jerman, mulai dari isu
reunifikasi Jerman, memori Holocaust, hingga tantangan demokrasi Eropa
kontemporer.¹¹
Warisan intelektual
Habermas tidak hanya terbatas pada dunia filsafat dan teori sosial, melainkan
juga memengaruhi hukum, ilmu politik, etika, dan bahkan studi komunikasi.¹²
Sebagai pemikir yang menekankan pentingnya bahasa, diskursus, dan ruang publik,
biografi intelektualnya mencerminkan perjalanan panjang dari seorang
intelektual yang berangkat dari trauma sejarah Jerman menuju perumusan teori
sosial yang bersifat universal dan normatif, dengan orientasi emansipatoris
yang kuat.
Footnotes
[1]               
Matthew G. Specter, Habermas: An Intellectual Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 12–15.
[2]               
James Gordon Finlayson, Habermas: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 3.
[3]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas
(Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 21.
[4]               
Jürgen Habermas, Das Absolute und die Geschichte: Von der
Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Bonn: D. Lempertz, 1954).
[5]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the
Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 24–26.
[6]               
Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment,
terj. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).
[7]               
William Outhwaite, Habermas: A Critical Introduction
(Cambridge: Polity Press, 1994), 17.
[8]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 10–12.
[9]               
Jürgen Habermas, Toward a Rational Society: Student Protest,
Science, and Politics, terj. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press,
1970).
[10]            
Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 33–36.
[11]            
Jürgen Habermas, The Past as Future, terj. Max Pensky
(Cambridge: Polity Press, 1994).
[12]            
Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy
(Stanford: Stanford University Press, 2011), 4–6.
3.          
Landasan
Teoretis Pemikiran Habermas
Pemikiran Jürgen
Habermas berakar pada tradisi Teori Kritis Frankfurt School,
namun ia mengembangkannya dengan arah baru yang lebih normatif, konstruktif,
dan berorientasi pada komunikasi. Sebagai penerus generasi kedua Mazhab
Frankfurt, Habermas mewarisi semangat emansipatoris dari Max Horkheimer dan
Theodor W. Adorno, tetapi ia menolak pesimisme mereka terhadap rasionalitas
modern.¹ Jika Adorno dan Horkheimer menilai rasionalitas Pencerahan telah
terjebak dalam dominasi instrumental dan menghasilkan patologi modernitas,
Habermas berusaha merehabilitasi Pencerahan dengan membedakan antara rasionalitas
instrumental dan rasionalitas komunikatif.²
Landasan filosofis
pemikiran Habermas juga sangat dipengaruhi oleh Max Weber dan kritiknya
terhadap modernitas. Weber memandang modernisasi sebagai proses rasionalisasi
yang menghasilkan birokrasi dan hukum formal, tetapi sekaligus membawa bahaya
"kandang besi" (iron cage).³ Habermas menerima analisis Weber, namun
menolak reduksi rasionalitas pada dimensi teknis dan strategis semata. Ia
menegaskan adanya dimensi lain dari rasionalitas—yakni rasionalitas
komunikatif—yang memungkinkan konsensus intersubjektif melalui bahasa.⁴
Selain Weber, Habermas
juga dipengaruhi oleh tradisi hermeneutika, khususnya
Hans-Georg Gadamer. Gadamer menekankan pentingnya bahasa dan pemahaman historis
dalam interpretasi. Habermas menerima pentingnya hermeneutika, tetapi ia
mengkritik kecenderungan Gadamer yang terlalu menekankan tradisi tanpa
memberikan ruang bagi kritik ideologis.⁵ Dalam konteks ini, Habermas
mengembangkan teori komunikasi yang tidak hanya berfungsi sebagai medium
pemahaman, melainkan juga sebagai alat untuk membongkar distorsi sistemik dalam
masyarakat modern.
Pengaruh lain yang
signifikan datang dari pragmatisme Amerika, terutama
pemikiran John Dewey dan George Herbert Mead. Mead dengan teori interaksionisme
simbolik menegaskan bahwa identitas diri terbentuk melalui interaksi sosial berbasis
bahasa.⁶ Habermas mengadopsi gagasan ini untuk menegaskan bahwa komunikasi
merupakan fondasi pembentukan kesadaran diri dan solidaritas sosial. Sementara
itu, pragmatisme Dewey memperkuat orientasi Habermas pada demokrasi deliberatif
sebagai proses diskursif yang terbuka dan partisipatif.⁷
Habermas juga
mengembangkan hubungan erat dengan filsafat bahasa analitik, khususnya filsafat
tindak tutur dari J. L. Austin dan John Searle.⁸ Teori tindak tutur memberikan
kerangka konseptual bagi Habermas untuk menjelaskan bagaimana pernyataan bahasa
tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan sosial
(misalnya berjanji, memerintah, atau menyepakati sesuatu). Konsep ini sangat
penting dalam perumusan teori tindakan komunikatif, di
mana keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh keakuratan proposisi,
tetapi juga oleh pengakuan timbal balik antarpartisipan dalam diskursus.
Dari semua pengaruh
tersebut, Habermas membangun sebuah proyek filsafat yang berciri interdisipliner,
memadukan filsafat, sosiologi, linguistik, dan ilmu politik.⁹ Landasan
teoretisnya bertujuan untuk mengatasi krisis legitimasi dalam masyarakat modern
dengan menawarkan model komunikasi yang bebas dominasi, rasional, dan terbuka.
Dengan demikian, pemikiran Habermas bukan hanya sebuah refleksi filosofis,
tetapi juga kerangka normatif untuk menganalisis dan memperbaiki struktur
sosial-politik kontemporer.
Footnotes
[1]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas
(Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 5–8.
[2]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 285–289.
[3]               
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth dan Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 956–958.
[4]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the
Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 40–42.
[5]               
Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, terj.
Shierry Weber Nicholsen dan Jerry A. Stark (Cambridge, MA: MIT Press, 1988),
162–166.
[6]               
George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago:
University of Chicago Press, 1934), 135–140.
[7]               
John Dewey, The Public and Its Problems (Chicago: Swallow Press,
1954), 208–210.
[8]               
J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson
(Oxford: Oxford University Press, 1962); John R. Searle, Speech Acts: An
Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University
Press, 1969).
[9]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 18–22.
4.          
Teori
Tindakan Komunikatif
Salah satu
kontribusi paling monumental dari Jürgen Habermas adalah pengembangan teori
tindakan komunikatif (Theory of Communicative Action),
yang diterbitkan dalam dua jilid pada tahun 1981.¹ Teori ini merupakan puncak
dari upaya panjang Habermas untuk merekonstruksi rasionalitas modern dengan
menempatkan komunikasi intersubjektif
sebagai pusat kehidupan sosial. Berbeda dengan teori sosial yang menekankan
dominasi sistem atau kekuasaan, Habermas menekankan bahwa basis kehidupan
sosial manusia adalah komunikasi yang berorientasi pada pemahaman (Verständigung).²
Dalam kerangka ini,
Habermas membedakan secara tegas antara tindakan instrumental/strategis
dan tindakan
komunikatif. Tindakan instrumental ditujukan untuk
mengendalikan dunia objektif atau mencapai tujuan tertentu, sementara tindakan
strategis berorientasi pada pengaruh dan manipulasi orang lain.³ Sebaliknya,
tindakan komunikatif berfokus pada pencapaian konsensus yang rasional melalui
bahasa, di mana partisipan diskursus saling mengakui klaim kebenaran, ketepatan
normatif, dan ketulusan sebagai syarat komunikasi yang sah.⁴ Dengan demikian,
komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, melainkan sarana membangun
legitimasi sosial melalui rasionalitas intersubjektif.
Teori tindakan
komunikatif berangkat dari analisis Habermas tentang dunia
kehidupan (lifeworld) dan sistem.
Dunia kehidupan adalah ruang interaksi sosial sehari-hari yang diwarnai oleh tradisi,
norma, dan komunikasi.⁵ Sementara itu, sistem merujuk pada struktur sosial yang
diatur oleh uang dan kekuasaan, seperti pasar dan birokrasi. Habermas menilai
bahwa modernitas membawa risiko “kolonisasi dunia kehidupan” oleh sistem,
ketika logika uang dan kekuasaan menggantikan komunikasi rasional.⁶ Maka, teori
tindakan komunikatif dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan otonomi dunia
kehidupan melalui penguatan rasionalitas komunikatif.
Aspek penting lain
dari teori ini adalah konsep klaim validitas universal
(universal
validity claims). Menurut Habermas, setiap tindakan komunikatif
secara implisit mengandung klaim validitas: (1) klaim kebenaran (truth) terkait
dunia objektif, (2) klaim ketepatan normatif (rightness) terkait dunia sosial,
dan (3) klaim ketulusan (sincerity) terkait dunia subjektif.⁷ Komunikasi yang
berhasil adalah komunikasi yang memungkinkan klaim-klaim ini diuji secara
terbuka dalam diskursus, tanpa paksaan, dan dengan peluang yang sama bagi semua
partisipan.⁸
Teori tindakan komunikatif
juga memiliki dimensi praktis dan politis. Habermas
menegaskan bahwa demokrasi hanya dapat berfungsi secara sehat bila praktik
deliberatif yang berbasis pada rasionalitas komunikatif dijaga dan diperluas.⁹
Artinya, partisipasi warga dalam ruang publik tidak boleh direduksi menjadi
sekadar voting atau representasi formal, tetapi harus melibatkan diskursus
rasional di mana argumen diuji berdasarkan kekuatan rasio, bukan kekuasaan.¹⁰
Dengan cara ini, teori tindakan komunikatif bukan hanya sebuah teori filsafat,
tetapi juga kerangka normatif untuk menata masyarakat modern yang lebih
demokratis, inklusif, dan bebas dominasi.
Footnotes
[1]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984).
[2]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas
(Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 273–276.
[3]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the
Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 52–55.
[4]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume Two:
Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, terj. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 120–124.
[5]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 29–32.
[6]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 356–360.
[7]               
Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 45–48.
[8]               
James Gordon Finlayson, Habermas: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 53–55.
[9]               
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the
Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 102–106.
[10]            
Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy
(Stanford: Stanford University Press, 2011), 66–70.
5.          
Konsep
Ruang Publik (Public Sphere)
Konsep ruang
publik (Öffentlichkeit atau public sphere)
merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dari Jürgen Habermas yang
pertama kali ia rumuskan dalam karya klasiknya Strukturwandel der Öffentlichkeit (The
Structural Transformation of the Public Sphere, 1962).¹ Ruang
publik dipahami sebagai arena sosial di mana warga negara dapat berpartisipasi
dalam diskursus rasional-kritis untuk membahas isu-isu bersama, mengawasi
kekuasaan, serta membentuk opini publik yang memiliki legitimasi politik.²
Habermas menelusuri
asal-usul historis ruang publik ke Eropa abad ke-18, khususnya melalui
perkembangan kafe, salon, dan pers borjuis, di mana diskusi tentang sastra,
seni, dan politik menjadi medium pembentukan opini kolektif.³ Bagi Habermas,
ruang publik pada masa itu memungkinkan munculnya bentuk baru partisipasi warga
negara yang relatif independen dari negara maupun pasar.⁴ Namun, dalam
perkembangannya, ruang publik mengalami transformasi mendasar akibat
komersialisasi media massa, birokratisasi negara, serta dominasi kepentingan
kapitalis. Hal ini, menurut Habermas, mengarah pada “kemunduran ruang publik
borjuis” karena diskursus rasional-kritis digantikan oleh opini yang dibentuk
melalui propaganda dan konsumsi pasif.⁵
Inti teoritis dari
gagasan ruang publik adalah bahwa legitimasi politik tidak dapat hanya bertumpu
pada prosedur formal negara, tetapi juga pada proses
deliberatif yang berlangsung di antara warga negara. Ruang publik yang sehat
memungkinkan pertukaran argumen tanpa dominasi, sehingga keputusan politik
memiliki dasar rasionalitas komunikatif.⁶ Dengan demikian, ruang publik menjadi
penghubung antara masyarakat sipil (civil society) dan negara, serta
menjadi sarana artikulasi kepentingan publik dalam sistem demokrasi.
Habermas menekankan
bahwa ruang publik bukanlah entitas institusional yang tetap, melainkan arena
diskursif yang dinamis. Ia terbuka bagi partisipasi luas,
tetapi juga rentan terhadap distorsi akibat ketimpangan ekonomi, politik, dan
kultural.⁷ Dalam kerangka teori tindakan komunikatif, ruang publik berfungsi
sebagai medium di mana klaim validitas diuji, argumen diuji kebenarannya, dan
legitimasi normatif dipertaruhkan.⁸
Dalam konteks
kontemporer, relevansi teori ruang publik semakin menonjol. Era digital
menghadirkan bentuk baru ruang publik melalui media sosial dan jaringan online.
Di satu sisi, perkembangan ini memperluas akses partisipasi politik dan
mempercepat arus informasi. Namun di sisi lain, fragmentasi ruang publik,
penyebaran disinformasi, dan polarisasi opini menimbulkan tantangan serius bagi
rasionalitas komunikatif yang menjadi ideal Habermas.⁹ Hal ini memunculkan
diskusi lanjutan mengenai apakah ruang publik digital mampu mempertahankan
prinsip inklusivitas, keterbukaan, dan rasionalitas deliberatif yang diidealkan
Habermas.¹⁰
Dengan demikian,
konsep ruang publik bukan hanya analisis historis, tetapi juga kerangka
normatif yang terus relevan dalam menilai kualitas demokrasi.
Habermas melalui gagasan ini menegaskan bahwa keberlangsungan demokrasi
deliberatif hanya mungkin jika ruang publik dijaga sebagai arena komunikasi
bebas dominasi, di mana warga negara dapat bertindak sebagai subjek politik
yang aktif dan kritis.
Footnotes
[1]               
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas Burger
(Cambridge, MA: MIT Press, 1989).
[2]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 1–5.
[3]               
Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere,
29–43.
[4]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas (Cambridge,
MA: MIT Press, 1978), 124–127.
[5]               
Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere,
181–195.
[6]               
Seyla Benhabib, Democracy and Difference: Contesting the Boundaries
of the Political (Princeton: Princeton University Press, 1996), 70–72.
[7]               
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the
Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public
Sphere, ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.
[8]               
Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume Two: Lifeworld
and System, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 320–325.
[9]               
Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political
Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 148–150.
[10]            
Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age
(Cambridge: Polity Press, 2010), 23–26.
6.          
Habermas
dan Demokrasi Deliberatif
Kontribusi besar
Jürgen Habermas terhadap teori politik modern terletak pada gagasannya tentang demokrasi
deliberatif, yang berakar pada teori tindakan komunikatif dan
konsep ruang publik. Demokrasi deliberatif, menurut Habermas, bukan sekadar
prosedur formal pemungutan suara atau representasi politik, melainkan sebuah
proses diskursus
rasional di mana warga negara terlibat secara aktif dalam
perdebatan publik untuk mencapai konsensus yang berlandaskan argumen, bukan
kekuasaan.¹
Dalam karyanya Between
Facts and Norms (1992), Habermas menjelaskan bahwa legitimasi
politik dalam masyarakat modern hanya dapat dicapai apabila keputusan politik
didasarkan pada proses deliberasi publik yang inklusif, terbuka, dan bebas
dominasi.² Hukum, bagi Habermas, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen
kekuasaan, tetapi juga sebagai media integrasi sosial yang
menghubungkan fakta sosial dengan norma moral.³ Oleh karena itu, hukum
memperoleh legitimasi bukan dari otoritas semata, melainkan dari proses
diskursus demokratis yang melibatkan seluruh warga negara.
Model demokrasi
deliberatif Habermas mengandaikan adanya ruang publik yang sehat, di mana
warga negara dapat menguji klaim-klaim normatif dan rasionalitas keputusan
politik.⁴ Hal ini berbeda dengan model demokrasi liberal yang menekankan
agregasi preferensi individu melalui mekanisme pemilihan umum, maupun dengan
model demokrasi republikan yang menekankan pada kehendak kolektif.⁵ Habermas
berupaya memadukan keduanya dengan menempatkan deliberasi sebagai inti proses
demokrasi.
Habermas juga
menggarisbawahi prinsip inklusivitas dan kesetaraan partisipasi.
Semua warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau
budaya, harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
diskursus publik.⁶ Demokrasi deliberatif dengan demikian berfungsi sebagai
mekanisme korektif terhadap distorsi komunikasi yang muncul akibat ketimpangan
kekuasaan dan pengaruh pasar dalam ruang publik modern.
Lebih jauh, teori
demokrasi deliberatif Habermas memiliki implikasi praktis yang luas. Dalam
konteks Eropa, ia menekankan perlunya membangun masyarakat kosmopolitan di mana
deliberasi transnasional dapat memperkuat legitimasi demokrasi di tingkat
supranasional, seperti Uni Eropa.⁷ Dalam konteks global, ia juga melihat
demokrasi deliberatif sebagai jawaban atas krisis kepercayaan terhadap
institusi politik, meningkatnya populisme, serta tantangan pluralisme budaya di
masyarakat modern.⁸
Dengan demikian,
demokrasi deliberatif dalam perspektif Habermas bukan hanya teori normatif,
tetapi juga sebuah kerangka praktis untuk mengatasi krisis legitimasi demokrasi
kontemporer. Intinya, demokrasi hanya akan bertahan apabila warga negara dapat
bertindak sebagai aktor komunikatif yang mampu berdialog secara rasional dan
kritis dalam ruang publik yang terbuka.
Footnotes
[1]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas
(Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 287–290.
[2]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 110–115.
[3]               
Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy
(Stanford: Stanford University Press, 2011), 45–47.
[4]               
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 73–75.
[5]               
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The
Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip
Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 23–25.
[6]               
Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy?
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 9–12.
[7]               
Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays,
terj. Max Pensky (Cambridge: MIT Press, 2001), 76–80.
[8]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 34–36.
7.          
Kritik
terhadap Habermas
Meskipun Jürgen
Habermas dianggap sebagai salah satu filsuf dan sosiolog paling berpengaruh
pada abad ke-20, pemikirannya tidak luput dari berbagai kritik. Kritik tersebut
datang dari beragam aliran, mulai dari postmodernisme, feminisme, teori
poskolonial, hingga perdebatan internal dalam teori kritis. Kritik ini
memperkaya diskusi filosofis sekaligus menyoroti keterbatasan konseptual dari
teori Habermas.
Salah satu kritik
paling menonjol datang dari Jean-François Lyotard, tokoh
postmodernis yang menilai bahwa proyek Habermas terlalu menekankan pada narasi
besar tentang rasionalitas dan konsensus universal.¹ Lyotard
berpendapat bahwa modernitas justru ditandai oleh pluralitas “permainan bahasa”
(language
games) yang tidak dapat direduksi ke dalam satu bentuk rasionalitas
komunikatif.² Dengan demikian, klaim Habermas mengenai universalitas diskursus
dianggap mengabaikan keragaman bentuk kehidupan sosial dan politik.
Selain itu, Michel
Foucault juga memberikan kritik penting terhadap Habermas. Bagi
Foucault, relasi kekuasaan tidak pernah sepenuhnya dapat dinegasikan dalam
komunikasi.³ Diskursus selalu berkelindan dengan praktik kekuasaan, sehingga
gagasan Habermas tentang komunikasi bebas dominasi dinilai utopis.⁴ Kritik
Foucault ini menyoroti blind spot dalam teori tindakan komunikatif, yakni
asumsi bahwa komunikasi rasional dapat berlangsung tanpa distorsi struktural.
Dari perspektif
feminis, tokoh seperti Nancy Fraser menilai bahwa
konsep ruang publik Habermas bersifat eksklusif karena berakar pada pengalaman
borjuis Eropa abad ke-18.⁵ Fraser menunjukkan bahwa kelompok-kelompok marjinal,
seperti perempuan dan kelas pekerja, sering kali dikecualikan dari ruang publik
tersebut. Oleh karena itu, ia mengusulkan konsep counterpublics,
yaitu ruang publik alternatif tempat kelompok tertindas dapat mengekspresikan
kepentingan dan identitas mereka.⁶ Kritik feminis ini menyoroti kurangnya
sensitivitas Habermas terhadap isu gender dan ketidaksetaraan sosial dalam
ruang publik.
Dalam konteks teori
poskolonial, Habermas dikritik karena mengusung model
universalitas rasional yang dianggap berakar pada tradisi Eropa Barat. Pemikir
seperti Gayatri Chakravorty Spivak berpendapat bahwa universalisme Habermas
berpotensi mengabaikan pengalaman dunia non-Barat yang memiliki sejarah
kolonialisme, dominasi budaya, dan perlawanan yang berbeda.⁷ Dengan demikian,
teori komunikasi Habermas dituduh masih bersifat euro-sentris.
Bahkan dalam
lingkaran teori kritis sendiri, Habermas dikritik oleh murid-murid dan
koleganya. Axel Honneth, misalnya, menilai bahwa fokus Habermas pada
rasionalitas komunikatif kurang memberi perhatian pada dimensi afektif dan
pengakuan sosial.⁸ Menurut Honneth, pengalaman ketidakadilan sering kali tidak
hanya terletak pada distorsi komunikasi, melainkan juga pada kurangnya
pengakuan (recognition)
terhadap identitas individu dan kelompok.
Terlepas dari
berbagai kritik tersebut, gagasan Habermas tetap memiliki pengaruh luas.
Kritik-kritik tersebut lebih sering dipahami sebagai bentuk dialog intelektual
yang memperluas horizon teori kritis, daripada sebagai penolakan total. Kritik
dari postmodernisme, feminisme, dan teori poskolonial justru memperkaya teori
Habermas dengan menekankan dimensi pluralitas, inklusivitas, dan sensitivitas
terhadap perbedaan.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[2]               
Ibid., 60–65.
[3]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 78–82.
[4]               
Nancy Fraser, “What’s Critical about Critical Theory? The Case of
Habermas and Gender,” New German Critique 35 (Spring–Summer 1985):
97–131.
[5]               
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the
Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public
Sphere, ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.
[6]               
Ibid., 123–124.
[7]               
Gayatri Chakravorty Spivak, A Critique of Postcolonial Reason:
Toward a History of the Vanishing Present (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 357–360.
[8]               
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of
Social Conflicts, terj. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995),
92–95.
8.          
Relevansi
dan Pengaruh Pemikiran Habermas
Pemikiran Jürgen
Habermas memiliki pengaruh yang sangat luas, baik dalam bidang filsafat,
sosiologi, ilmu politik, hukum, maupun studi komunikasi. Ia tidak hanya
dipandang sebagai penerus Mazhab Frankfurt, tetapi juga sebagai pemikir yang
berhasil memberikan fondasi teoritis baru bagi demokrasi, hukum, dan masyarakat
modern. Relevansi pemikirannya semakin menonjol dalam konteks krisis demokrasi
kontemporer, disinformasi digital, serta tantangan pluralisme global.
Pertama, dalam ranah
filsafat
sosial, Habermas memberikan sumbangan penting melalui teori
tindakan komunikatif yang menjadi alternatif terhadap dominasi rasionalitas
instrumental.¹ Dengan menekankan pada rasionalitas komunikatif, Habermas
menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana konsensus sosial dapat dibangun
melalui argumentasi, bukan melalui kekuasaan atau dominasi. Teori ini
berpengaruh luas pada diskursus filsafat kontemporer, terutama dalam perdebatan
mengenai modernitas, postmodernitas, dan legitimasi sosial.²
Kedua, dalam bidang politik
dan demokrasi, gagasan Habermas tentang ruang publik dan demokrasi
deliberatif menjadi salah satu rujukan utama dalam teori politik modern.³
Konsep ini memengaruhi perkembangan teori demokrasi deliberatif di kalangan
pemikir seperti Joshua Cohen, Amy Gutmann, dan Dennis Thompson, yang menekankan
pentingnya diskursus publik dalam proses pengambilan keputusan politik.⁴ Lebih
jauh, teori Habermas digunakan dalam studi tata kelola global, misalnya dalam
diskusi tentang legitimasi Uni Eropa dan mekanisme deliberasi transnasional.⁵
Ketiga, dalam bidang
hukum
dan etika, karya Habermas Between Facts and Norms menawarkan
kerangka normatif untuk memahami hubungan antara hukum dan demokrasi.⁶ Ia
menekankan bahwa hukum memperoleh legitimasi hanya jika dibentuk melalui
prosedur deliberatif yang partisipatif. Pemikiran ini berpengaruh pada teori
hukum kontemporer, terutama dalam diskusi mengenai konstitusionalisme, hak
asasi manusia, dan keadilan prosedural.⁷
Selain itu, Habermas
juga memiliki pengaruh signifikan dalam studi komunikasi. Teorinya
mengenai klaim validitas dan tindak tutur menjadi pijakan penting bagi kajian
komunikasi publik, media, dan demokrasi digital.⁸ Para peneliti komunikasi
politik menggunakan konsep ruang publik Habermas untuk menganalisis peran media
massa dan media sosial dalam membentuk opini publik. Hal ini menunjukkan bahwa
pemikiran Habermas tetap relevan dalam era informasi dan globalisasi.
Namun, pengaruh
Habermas tidak hanya terbatas pada ranah akademis. Ia juga terlibat aktif dalam
perdebatan publik di Jerman dan Eropa, memberikan pandangan kritis terhadap
isu-isu kontemporer seperti reunifikasi Jerman, memori Holocaust, hingga
tantangan integrasi Uni Eropa.⁹ Dengan demikian, Habermas tidak hanya seorang
filsuf teoretis, tetapi juga intelektual publik yang berusaha menghubungkan
teori dengan praktik sosial-politik.
Secara keseluruhan,
relevansi pemikiran Habermas terletak pada kemampuannya menawarkan kerangka
konseptual yang kuat untuk memahami dan memperbaiki struktur masyarakat modern.
Pengaruhnya terus meluas, baik melalui penerapan teorinya di berbagai disiplin
ilmu maupun melalui perdebatan kritis yang ia timbulkan. Kritik dari
postmodernisme, feminisme, dan teori poskolonial justru menunjukkan bahwa
pemikiran Habermas menjadi titik rujukan penting dalam dialog intelektual
global.
Footnotes
[1]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984).
[2]               
Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory: Habermas and the
Frankfurt School (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 73–75.
[3]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 1–3.
[4]               
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The
Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip
Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 17–34; Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why
Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004),
7–10.
[5]               
Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays,
terj. Max Pensky (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 76–82.
[6]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996).
[7]               
Hugh Baxter, Habermas: The Discourse Theory of Law and Democracy
(Stanford: Stanford University Press, 2011), 54–58.
[8]               
Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 102–104.
[9]               
Jürgen Habermas, The Past as Future, terj. Max Pensky
(Cambridge: Polity Press, 1994), 22–25.
9.          
Relevansi
Pemikiran Habermas pada Konteks Kontemporer
Pemikiran Jürgen
Habermas tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menganalisis persoalan
sosial, politik, hukum, dan komunikasi pada era kontemporer. Teorinya mengenai rasionalitas
komunikatif, ruang publik, dan demokrasi deliberatif memberikan
kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan global saat
ini, termasuk krisis demokrasi, disinformasi digital, pluralisme budaya, serta
perubahan struktur masyarakat global akibat globalisasi.
Pertama, dalam
konteks krisis demokrasi modern,
pemikiran Habermas menawarkan jawaban atas melemahnya kepercayaan publik
terhadap institusi politik, meningkatnya populisme, serta polarisasi opini
publik.¹ Konsep demokrasi deliberatif yang menekankan pada diskursus rasional
memberi dasar normatif untuk menghidupkan kembali ruang publik sebagai arena
komunikasi yang bebas dominasi. Hal ini sangat penting ketika praktik politik
kontemporer sering kali tereduksi menjadi sekadar strategi elektoral dan
manipulasi media.²
Kedua, dalam era digital
dan media sosial, gagasan Habermas mengenai ruang publik
menemukan aktualisasinya sekaligus tantangan baru. Di satu sisi, teknologi
digital memperluas akses partisipasi politik dan memungkinkan demokratisasi
informasi. Namun, di sisi lain, muncul fenomena disinformasi, ujaran kebencian,
serta fragmentasi ruang publik yang berlawanan dengan ideal komunikasi
rasional.³ Dengan kerangka Habermas, para peneliti dapat menganalisis apakah
ruang publik digital mampu mempertahankan prinsip inklusivitas, keterbukaan,
dan rasionalitas deliberatif.⁴
Ketiga, dalam
konteks pluralisme budaya dan masyarakat multikultural,
teori diskursus Habermas memberikan basis etis untuk membangun konsensus di
tengah perbedaan.⁵ Melalui gagasan mengenai klaim validitas universal, Habermas
menunjukkan bahwa perbedaan pandangan budaya tidak harus berujung pada
relativisme, tetapi dapat dipertemukan melalui proses komunikasi yang rasional
dan inklusif. Pemikiran ini relevan dalam menghadapi persoalan
multikulturalisme, konflik identitas, dan isu migrasi di Eropa maupun global.⁶
Keempat, pada level globalisasi
dan tata kelola internasional, Habermas menekankan pentingnya
membangun struktur deliberatif transnasional yang mampu menyeimbangkan
kepentingan negara-bangsa dengan tuntutan solidaritas global.⁷ Ia mengusulkan
pembentukan ruang publik kosmopolitan di mana isu-isu global seperti perubahan
iklim, ketidakadilan ekonomi, dan hak asasi manusia dapat dibicarakan secara
rasional lintas batas negara.⁸
Akhirnya, relevansi
Habermas juga tampak dalam kajian etika dan bioetika kontemporer.
Dalam diskusi mengenai teknologi genetika, biomedis, dan isu-isu lingkungan,
prinsip komunikasi bebas dominasi yang ia ajukan menjadi pijakan normatif untuk
membangun konsensus publik mengenai batasan moral atas perkembangan ilmu
pengetahuan.⁹
Dengan demikian,
pemikiran Habermas tetap penting bukan hanya sebagai refleksi filosofis,
melainkan juga sebagai instrumen kritis untuk memahami tantangan masyarakat
kontemporer. Ia menawarkan visi bahwa demokrasi, hukum, dan ruang publik hanya
dapat bertahan jika berlandaskan komunikasi yang rasional, inklusif, dan
deliberatif—sebuah ideal yang semakin mendesak di tengah kompleksitas dunia
modern.
Footnotes
[1]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 356–360.
[2]               
Craig Calhoun, Habermas and the Public Sphere (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 34–36.
[3]               
Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political
Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 148–152.
[4]               
Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age
(Cambridge: Polity Press, 2010), 23–26.
[5]               
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 117–119.
[6]               
James Bohman, Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and
Democracy (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 82–85.
[7]               
Jürgen Habermas, The Postnational Constellation: Political Essays,
terj. Max Pensky (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 76–82.
[8]               
David Held, Democracy and the Global Order: From the Modern State
to Cosmopolitan Governance (Stanford: Stanford University Press, 1995), 272–276.
[9]               
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, terj. Hella
Beister dan William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 40–43.
10.       Kesimpulan
Pemikiran Jürgen
Habermas menempati posisi penting dalam lanskap filsafat dan ilmu sosial
kontemporer, terutama melalui kontribusinya dalam mengembangkan teori
tindakan komunikatif, konsep ruang publik, serta model
demokrasi deliberatif. Habermas berhasil merekonstruksi tradisi
Teori Kritis dengan menekankan pentingnya komunikasi intersubjektif sebagai
fondasi kehidupan sosial, sekaligus menghadirkan alternatif terhadap
reduksionisme rasionalitas instrumental yang mendominasi modernitas.¹ Dengan
menekankan rasionalitas komunikatif, Habermas menegaskan bahwa legitimasi
sosial dan politik hanya dapat dicapai melalui diskursus yang bebas dominasi,
rasional, dan inklusif.²
Kesimpulan utama
dari pemikirannya adalah bahwa demokrasi, hukum, dan masyarakat modern tidak
bisa hanya bertumpu pada mekanisme formal atau logika sistem, melainkan harus
dikaitkan dengan praktik komunikasi yang terbuka dan deliberatif.³ Dalam
perspektif Habermas, ruang publik yang sehat menjadi syarat penting bagi
keberlangsungan demokrasi, karena di situlah warga negara dapat berpartisipasi
secara kritis dalam membentuk opini dan kehendak kolektif.⁴ Hal ini memberikan
dasar normatif yang kuat bagi konsep demokrasi deliberatif sebagai koreksi
terhadap model demokrasi liberal yang terlalu menekankan agregasi preferensi,
maupun demokrasi republikan yang menekankan kehendak kolektif.⁵
Meskipun
pemikirannya mendapat kritik dari berbagai arah—postmodernisme, feminisme, dan
teori poskolonial—Habermas tetap berhasil menghadirkan kerangka teoritis yang
menjadi titik rujukan penting dalam diskursus global. Kritik-kritik tersebut
tidak serta merta meniadakan nilai teorinya, tetapi justru memperluas horizon
penerapannya dalam konteks pluralisme, keadilan sosial, dan globalisasi.⁶
Relevansi pemikiran
Habermas semakin nyata di era kontemporer, ketika masyarakat menghadapi
tantangan besar berupa krisis legitimasi demokrasi, disinformasi digital,
polarisasi politik, serta kompleksitas globalisasi.⁷ Dalam situasi tersebut,
visi Habermas tentang komunikasi rasional, ruang publik inklusif, dan demokrasi
deliberatif menawarkan kerangka kritis sekaligus normatif untuk menjaga dan
memperkuat fondasi demokrasi.
Dengan demikian,
warisan intelektual Habermas tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga
praktis. Ia mengajarkan bahwa rasionalitas manusia tidak semata-mata teknis
atau strategis, melainkan komunikatif; dan bahwa masa depan demokrasi
bergantung pada kemampuan warga negara untuk terlibat dalam diskursus rasional
yang melampaui kepentingan sempit menuju kepentingan bersama.⁸ Pemikiran
Habermas, karenanya, tetap relevan sebagai kompas intelektual bagi pencarian
masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.
Footnotes
[1]               
Thomas McCarthy, The Critical Theory of Jürgen Habermas
(Cambridge, MA: MIT Press, 1978), 273–276.
[2]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, terj. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 285–289.
[3]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, terj. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 110–115.
[4]               
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, terj. Thomas
Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 181–195.
[5]               
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The Good
Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip Pettit
(Oxford: Blackwell, 1989), 23–25.
[6]               
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the
Critique of Actually Existing Democracy,” dalam Habermas and the Public Sphere,
ed. Craig Calhoun (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 109–110.
[7]               
Peter Dahlgren, The Internet, Public Spheres, and Political
Communication: Dispersion and Deliberation (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 148–150.
[8]               
Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the
Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 102–106.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Original work published 1947)
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words (J. O. Urmson, Ed.). Oxford University Press.
Baxter, H. (2011). Habermas: The discourse
theory of law and democracy. Stanford University Press.
Benhabib, S. (1986). Critique, norm, and utopia:
A study of the foundations of critical theory. Columbia University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community, and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.
Benhabib, S. (1996). Democracy and difference:
Contesting the boundaries of the political. Princeton University Press.
Bohman, J. (1996). Public deliberation:
Pluralism, complexity, and democracy. MIT Press.
Calhoun, C. (Ed.). (1992). Habermas and the
public sphere. MIT Press.
Cohen, J. (1989). Deliberation and democratic
legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The good polity: Normative
analysis of the state (pp. 17–34). Blackwell.
Cooke, M. (1994). Language and reason: A study
of Habermas’s pragmatics. MIT Press.
Dahlgren, P. (2005). The internet, public
spheres, and political communication: Dispersion and deliberation.
Cambridge University Press.
Dewey, J. (1954). The public and its problems.
Swallow Press. (Original work published 1927)
Finlayson, J. G. (2005). Habermas: A very short
introduction. Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.
Fraser, N. (1985). What’s critical about critical
theory? The case of Habermas and gender. New German Critique, 35(Spring–Summer),
97–131.
Fraser, N. (1992). Rethinking the public sphere: A
contribution to the critique of actually existing democracy. In C. Calhoun
(Ed.), Habermas and the public sphere (pp. 109–142). MIT Press.
Geuss, R. (1981). The idea of a critical theory:
Habermas and the Frankfurt School. Cambridge University Press.
Gutmann, A., & Thompson, D. (2004). Why
deliberative democracy? Princeton University Press.
Habermas, J. (1954). Das Absolute und die
Geschichte: Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken. D. Lempertz.
Habermas, J. (1970). Toward a rational society:
Student protest, science, and politics (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, volume one: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The theory of communicative
action, volume two: Lifeworld and system: A critique of functionalist reason
(T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1988). On the logic of the social
sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1989). The structural
transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois
society (T. Burger, Trans.). MIT Press. (Original work published 1962)
Habermas, J. (1994). The past as future (M.
Pensky, Trans.). Polity Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Habermas, J. (2001). The postnational
constellation: Political essays (M. Pensky, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (2003). The future of human nature
(H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.
Held, D. (1995). Democracy and the global order:
From the modern state to cosmopolitan governance. Stanford University
Press.
Honneth, A. (1995). The struggle for recognition:
The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). Polity Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
McCarthy, T. (1978). The critical theory of
Jürgen Habermas. MIT Press.
Mead, G. H. (1934). Mind, self, and society.
University of Chicago Press.
Outhwaite, W. (1994). Habermas: A critical
introduction. Polity Press.
Papacharissi, Z. (2010). A private sphere:
Democracy in a digital age. Polity Press.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge University Press.
Specter, M. G. (2010). Habermas: An intellectual
biography. Cambridge University Press.
Spivak, G. C. (1999). A critique of postcolonial
reason: Toward a history of the vanishing present. Harvard University
Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.).
University of California Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar