Minggu, 24 November 2024

Pembenaran (Justifikasi): Pilar Epistemologi dalam Membedakan Keyakinan yang Valid

Pembenaran (Justifikasi)

Pilar Epistemologi dalam Membedakan Keyakinan yang Valid


Alihkan ke: Epistemologi.

Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep justifikasi (pembenaran) sebagai elemen fundamental dalam epistemologi, khususnya dalam upaya membedakan antara keyakinan yang sah dan yang keliru. Dengan menelusuri akar historis gagasan justifikasi dari masa Plato hingga pendekatan kontemporer seperti reliabilisme, koherensialisme, dan epistemologi kebajikan, artikel ini mengkaji bagaimana berbagai teori membangun kriteria untuk menilai validitas suatu keyakinan. Selain itu, dipaparkan pula tantangan-tantangan besar dalam epistemologi seperti Gettier problem, infinite regress, dan epistemic circularity yang menunjukkan kompleksitas pembenaran pengetahuan. Artikel ini juga mengeksplorasi model-model justifikasi modern dalam konteks sosial, etis, dan teknologi informasi, serta menyoroti implikasi praktisnya dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, dan era digital. Dengan pendekatan multidimensional dan dukungan referensi akademik yang kredibel, tulisan ini menegaskan bahwa justifikasi bukan sekadar mekanisme kognitif, melainkan landasan normatif bagi rasionalitas dan tanggung jawab epistemik di tengah krisis informasi global.

Kata Kunci: Epistemologi, justifikasi, keyakinan, Gettier problem, reliabilisme, epistemologi kebajikan, literasi epistemik, tanggung jawab intelektual, era digital, pengetahuan yang sahih.


PEMBAHASAN

Justifikasi sebagai Pilar Epistemologi dalam Membedakan Keyakinan yang Valid


1.           Pendahuluan

Dalam ranah filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang disiplin yang mengkaji secara kritis tentang asal-usul, struktur, dan validitas pengetahuan manusia. Salah satu konsep sentral yang menjadi fondasi dalam bidang ini adalah justifikasi—yaitu mekanisme atau alasan yang digunakan untuk menyatakan bahwa suatu keyakinan benar secara rasional. Konsep ini tidak hanya penting dalam membedakan antara kepercayaan yang sahih dan yang keliru, tetapi juga berperan sebagai penghubung antara keyakinan dan kebenaran dalam kerangka justified true belief yang telah lama menjadi titik tolak pembahasan epistemologi sejak masa Plato1.

Dalam kerangka tersebut, pengetahuan bukan sekadar keyakinan yang kebetulan benar, melainkan keyakinan yang dibenarkan untuk dianggap benar. Dengan kata lain, keyakinan yang valid menuntut adanya dasar rasional atau bukti yang memadai sebagai justifikasinya. Robert Audi, seorang filsuf kontemporer dalam epistemologi, menyatakan bahwa justifikasi bukan hanya berfungsi sebagai syarat bagi pengetahuan, tetapi juga sebagai indikator normatif dari kewajaran keyakinan2. Pemahaman akan justifikasi menjadi semakin relevan dalam konteks modern, di mana banjir informasi, berita palsu, dan bias kognitif dapat dengan mudah mengaburkan batas antara yang benar dan yang tampak benar.

Artikel ini hadir untuk mengupas secara sistematis dan kritis berbagai pendekatan terhadap justifikasi dalam tradisi filsafat Barat. Dari fundasionalisme klasik hingga teori reliabilisme modern, dari model internalisme yang menekankan kesadaran subjek akan alasan keyakinan, hingga eksternalisme yang menilai validitas berdasarkan keandalan proses kognitif, seluruh spektrum pemikiran mengenai justifikasi akan ditinjau secara mendalam. Di samping itu, persoalan-persoalan krusial seperti Gettier problem, infinite regress, dan epistemic circularity juga akan dianalisis sebagai tantangan terhadap struktur justifikasi yang mapan3.

Tujuan utama penulisan ini adalah untuk memperkenalkan kerangka konseptual dan perdebatan kontemporer mengenai justifikasi, serta memberikan pemahaman yang lebih reflektif terhadap cara manusia membangun dan mempertahankan keyakinan yang rasional dan dapat dipercaya. Harapannya, pembaca tidak hanya memahami kompleksitas konsep justifikasi, tetapi juga mampu menerapkannya secara kritis dalam menilai klaim-klaim kebenaran dalam kehidupan akademik, sosial, dan spiritual.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.

[2]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–201.

[3]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123; Peter Klein, Certainty: A Refutation of Skepticism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1981), 45–58.


2.           Definisi: Apa Itu Justifikasi?

Dalam epistemologi, justifikasi (justification) merupakan salah satu unsur utama yang menentukan apakah suatu keyakinan dapat dianggap sebagai pengetahuan yang sah. Secara umum, justifikasi merujuk pada alasan, dasar, atau bukti yang mendukung kebenaran suatu kepercayaan. Artinya, tidak semua keyakinan yang benar dapat disebut pengetahuan kecuali jika terdapat justifikasi yang memadai untuk meyakininya. Dalam kerangka tradisional, yang dikenal sebagai tripartite theory of knowledge, pengetahuan dipahami sebagai “keyakinan benar yang dibenarkan” (justified true belief)1.

Plato dalam Theaetetus secara awal merumuskan ide ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan bukan hanya sekadar memiliki opini yang benar, tetapi juga harus dilandasi dengan logos atau alasan rasional2. Meskipun teori ini telah menjadi fondasi klasik epistemologi, berbagai kritik dan perkembangan modern menunjukkan bahwa definisi tersebut masih menyisakan ruang problematis, seperti yang terlihat dalam Gettier problem, yang mengguncang asumsi bahwa kombinasi dari kepercayaan yang benar dan pembenaran sudah cukup untuk menyatakan sesuatu sebagai pengetahuan3.

Justifikasi memainkan peran sentral dalam menjawab pertanyaan mendasar: Mengapa kita percaya bahwa suatu proposisi adalah benar? Dalam konteks ini, justifikasi menjadi alat penimbang antara keyakinan yang bersifat subyektif dan klaim kebenaran yang obyektif. Robert Audi menjelaskan bahwa justifikasi adalah bentuk keabsahan epistemik (epistemic legitimacy) dari keyakinan, yakni bahwa keyakinan tersebut diperoleh atau dipertahankan melalui cara yang rasional, andal, atau bertanggung jawab secara kognitif4.

Justifikasi juga berperan penting dalam membedakan antara pengetahuan dan dugaan semata. Misalnya, seseorang yang secara kebetulan menebak jawaban yang benar dalam ujian matematika tidak dapat dikatakan mengetahui jawabannya, karena tidak memiliki justifikasi yang mendukung keyakinannya. Dalam pengertian ini, justifikasi bukan hanya soal memiliki bukti, tetapi juga berkaitan dengan cara keyakinan itu dibentuk dan sejauh mana bukti itu relevan dan sahih.

Lebih jauh, diskursus tentang justifikasi membawa kita pada dua jalur epistemologis yang berbeda: internalisme dan eksternalisme. Internalisme menekankan bahwa alasan atau pembenaran suatu keyakinan harus dapat diakses secara sadar oleh subjek yang meyakini5. Sebaliknya, eksternalisme menilai validitas justifikasi berdasarkan proses kognitif eksternal yang andal, tanpa menuntut kesadaran penuh dari agen epistemik atas dasar-dasar keyakinannya6. Perdebatan ini terus berlanjut dalam filsafat pengetahuan kontemporer, menandakan kompleksitas epistemik dalam menentukan kriteria keyakinan yang sah.

Dengan memahami apa itu justifikasi dan bagaimana ia bekerja dalam konteks epistemologi, kita dapat membangun pemahaman yang lebih kokoh terhadap bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang layak dipercaya, terutama di tengah tantangan postmodernisme, relativisme kognitif, dan banjir informasi di era digital.


Footnotes

[1]                Matthias Steup, “Epistemology,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020), https://plato.stanford.edu/archives/spr2020/entries/epistemology/.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.

[3]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–201.

[5]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–12.

[6]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–76.


3.           Sejarah Perkembangan Gagasan Justifikasi

Konsep justifikasi (pembenaran) dalam epistemologi memiliki akar panjang yang dapat ditelusuri sejak masa filsafat Yunani Kuno, dan terus berkembang secara dinamis dalam lintasan pemikiran Barat. Perkembangan ini mencerminkan evolusi cara pandang manusia terhadap pengetahuan dan validitas keyakinan, serta bagaimana upaya-upaya rasional digunakan untuk membedakan antara doxa (opini) dan epistēmē (pengetahuan sejati).

3.1.       Justifikasi dalam Filsafat Klasik: Plato dan Aristoteles

Plato adalah tokoh awal yang membahas secara eksplisit struktur pengetahuan. Dalam Theaetetus, ia mengusulkan bahwa pengetahuan adalah justified true belief (keyakinan benar yang dibenarkan). Bagi Plato, suatu keyakinan hanya bisa menjadi pengetahuan apabila ia tidak hanya benar, tetapi juga disertai dengan alasan atau penjelasan yang memadai—apa yang ia sebut sebagai logos1. Konsep ini menandai pentingnya dasar epistemik dalam menilai validitas sebuah klaim.

Aristoteles mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis melalui metode deduktif dan silogistik, di mana justifikasi diperoleh melalui demonstrasi yang sah secara logis dari premis-premis yang diketahui kebenarannya. Dalam karyanya Posterior Analytics, Aristoteles membedakan antara epistēmē dan doxa, dan menekankan bahwa pengetahuan sejati harus berasal dari prinsip-prinsip pertama yang bersifat self-evident2.

3.2.       Justifikasi dalam Filsafat Modern: Dari Rasionalisme ke Empirisme

Era modern memperlihatkan pemisahan tajam antara pendekatan rasionalis dan empiris terhadap justifikasi. René Descartes, sebagai pelopor rasionalisme, meyakini bahwa pengetahuan harus didasarkan pada kepastian mutlak. Dalam Meditations on First Philosophy, ia mengembangkan metode skeptisisme metodologis untuk menyingkirkan semua keyakinan yang diragukan dan sampai pada kebenaran yang tak terbantahkan, yaitu cogito, ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”)3. Justifikasi, dalam pandangan Descartes, menuntut fondasi yang tidak dapat diragukan sama sekali.

Sebaliknya, John Locke sebagai tokoh empirisme menolak rasionalisme Descartes dan menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke menjelaskan bahwa justifikasi didasarkan pada persepsi indrawi dan refleksi terhadap pengalaman, sehingga membangun struktur pengetahuan secara bertahap dari hal-hal konkret4. David Hume melangkah lebih jauh dengan mempertanyakan landasan inferensial antara sebab dan akibat, menunjukkan bahwa kebiasaan dan kebiasaan mental (custom) lebih mendasari kepercayaan daripada pembenaran rasional murni5.

Immanuel Kant mencoba mensintesiskan perbedaan antara rasionalisme dan empirisme. Dalam Critique of Pure Reason, ia membedakan antara a priori dan a posteriori, serta memperkenalkan gagasan bahwa pikiran manusia secara aktif membentuk pengalaman melalui kategori-kategori bawaan. Menurut Kant, justifikasi terhadap pengetahuan tidak hanya bergantung pada dunia empiris, tetapi juga pada struktur apriori dari akal manusia itu sendiri6.

3.3.       Pergeseran Epistemologis Kontemporer: Dari Fideisme ke Reliabilisme

Abad ke-20 menyaksikan tantangan besar terhadap tripartite theory melalui munculnya Gettier problem yang mengguncang fondasi gagasan “justified true belief7. Kritik ini mendorong lahirnya beragam pendekatan baru terhadap justifikasi, seperti coherentism, contextualism, dan reliabilism. Alvin Goldman, sebagai tokoh utama reliabilisme, mengusulkan bahwa justifikasi dapat ditentukan oleh keandalan (reliability) dari proses kognitif yang menghasilkan keyakinan, terlepas dari apakah agen epistemik sadar akan alasan keyakinannya8.

Secara historis, pergeseran gagasan justifikasi mencerminkan dinamika epistemologi itu sendiri—dari pencarian fondasi tak tergoyahkan menuju pengakuan terhadap kompleksitas praktik kepercayaan manusia dalam konteks sosial, psikologis, dan bahkan teknologi. Oleh karena itu, memahami lintasan sejarah gagasan justifikasi adalah langkah penting untuk mengevaluasi relevansinya dalam membangun pengetahuan yang sahih di dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.

[2]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), I.2–I.3.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section IV.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A130/B169.

[7]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[8]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50–72.


4.           Teori-Teori Justifikasi

Konsep justifikasi dalam epistemologi tidak bersifat tunggal, melainkan terbagi dalam berbagai pendekatan teoretis yang menawarkan kriteria dan mekanisme berbeda dalam menilai validitas suatu keyakinan. Setiap teori justifikasi mencoba menjawab pertanyaan sentral: Apa yang membuat suatu keyakinan benar secara epistemik? Dalam bagian ini, akan dibahas teori-teori utama justifikasi, meliputi fideisme, fungsionalisme, internalisme, eksternalisme, fideisme epistemik, serta dua pendekatan dominan yakni fungsionalisme reliabilistik dan koherensialisme.

4.1.       Fideisme: Iman Sebagai Justifikasi

Fideisme menyatakan bahwa keyakinan religius atau metafisik dapat dibenarkan tanpa harus tunduk pada rasionalitas atau bukti empiris. Dalam tradisi ini, iman dianggap sebagai dasar yang sah bagi pengetahuan, terutama dalam hal-hal yang melampaui rasio. Tokoh-tokoh seperti Blaise Pascal dan Søren Kierkegaard sering dikaitkan dengan pendekatan ini. Kierkegaard bahkan menekankan bahwa iman yang sejati dimulai ketika akal mencapai batasnya1.

Namun, dari sudut pandang epistemologi klasik, fideisme problematik karena menempatkan justifikasi pada wilayah non-rasional. Meski demikian, dalam konteks justifikasi normatif, fideisme menjadi relevan ketika akal dipandang tidak mencukupi untuk membenarkan semua bentuk keyakinan, terutama yang menyangkut eksistensi dan transendensi.

4.2.       Fungsionalisme Epistemik dan Reliabilisme

Fungsionalisme epistemik menilai keyakinan sebagai dibenarkan bila dihasilkan oleh proses kognitif yang berfungsi secara baik. Dalam versi reliabilistiknya, justifikasi tidak bergantung pada apakah subjek memiliki akses terhadap alasan-alasannya, melainkan pada keandalan metode atau proses yang menghasilkan keyakinan tersebut. Alvin Goldman, penggagas utama reliabilisme, menjelaskan bahwa suatu keyakinan epistemik sah bila ia dihasilkan melalui proses yang, dalam kondisi normal, menghasilkan kebenaran dalam proporsi tinggi2.

Sebagai contoh, persepsi visual di bawah cahaya yang baik merupakan proses kognitif yang reliabel, sehingga keyakinan yang dihasilkannya bisa dibenarkan secara eksternal, bahkan jika subjek tidak sadar bagaimana ia membentuk keyakinan tersebut.

4.3.       Internalisme: Akses terhadap Alasan

Internalisme menekankan bahwa agar suatu keyakinan dapat dibenarkan, subjek harus memiliki akses reflektif terhadap alasan-alasannya. Dalam kerangka ini, justifikasi bersifat introspektif dan tersedia bagi kesadaran. Laurence BonJour menyatakan bahwa pembenaran harus didasarkan pada fondasi yang dapat diinspeksi secara mental oleh agen epistemik3.

Pendekatan ini menuntut agar subjek dapat "memberi alasan" atas keyakinannya, sehingga sesuai dengan intuisi epistemik kita mengenai tanggung jawab intelektual. Namun, internalisme menghadapi tantangan serius dalam menjelaskan bagaimana manusia biasa dapat memiliki akses atau kontrol penuh terhadap semua alasan keyakinannya.

4.4.       Eksternalisme: Validitas Terlepas dari Akses Subjektif

Sebaliknya, eksternalisme menganggap bahwa justifikasi tidak harus berada dalam jangkauan refleksi subjek. Yang penting adalah bahwa keyakinan itu dibentuk oleh kondisi eksternal yang andal dan tidak bersifat kebetulan. Ini menggeser perhatian dari apa yang diketahui subjek ke bagaimana keyakinan itu terbentuk4.

Goldman, dalam karya-karyanya, menyatakan bahwa epistemologi eksternalis lebih realistis secara psikologis dan lebih sejalan dengan praktik keilmuan dan penalaran sehari-hari5. Akan tetapi, pendekatan ini dikritik karena tidak cukup menghargai dimensi normatif dari tanggung jawab epistemik.

4.5.       Koherensialisme: Kesesuaian dalam Jaringan Keyakinan

Koherensialisme memandang bahwa keyakinan dibenarkan bila ia konsisten dan harmonis dalam sistem keyakinan yang saling mendukung. Justifikasi bukan berasal dari fondasi yang tidak dapat diragukan, melainkan dari keseluruhan sistem keyakinan yang koheren secara logis6.

Teori ini menjadi alternatif bagi fundasionalisme klasik yang mengandaikan adanya keyakinan dasar (basic beliefs). Menurut Keith Lehrer dan Donald Davidson, sistem keyakinan yang saling memperkuat satu sama lain lebih realistis secara psikologis dan epistemik daripada pendekatan yang mendasarkan justifikasi pada keyakinan otonom7.

Namun, kelemahan utama koherensialisme terletak pada kemungkinan sistem keyakinan yang sangat koheren tetapi sepenuhnya terpisah dari realitas atau kebenaran eksternal.

4.6.       Kontekstualisme dan Virtue Epistemology

Kontekstualisme menyatakan bahwa standar justifikasi bergantung pada konteks diskursif tertentu. Misalnya, apa yang dibenarkan dalam percakapan sehari-hari mungkin tidak cukup dalam konteks ilmiah atau hukum. Sementara itu, virtue epistemology—seperti dikembangkan oleh Linda Zagzebski—berpendapat bahwa justifikasi berkaitan dengan kebajikan intelektual (seperti kehati-hatian, kejujuran, dan ketekunan) dari subjek yang meyakini8.

Pendekatan ini memberikan dimensi etis pada justifikasi, yang sebelumnya lebih bersifat prosedural atau struktural.


Dengan beragamnya teori justifikasi, tampak jelas bahwa tidak ada satu pendekatan pun yang sepenuhnya memuaskan dalam menjawab seluruh persoalan epistemologis. Masing-masing teori menyumbang elemen penting dalam memahami bagaimana dan mengapa keyakinan kita dapat dianggap sahih. Oleh karena itu, kajian terhadap teori-teori justifikasi merupakan langkah mendasar dalam mengembangkan epistemologi yang matang dan reflektif.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 89–91.

[2]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 51–76.

[3]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–12.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 213–215.

[5]                Goldman, Epistemology and Cognition, 87–91.

[6]                Paul K. Moser, Knowledge and Evidence (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 115–118.

[7]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge (Boulder, CO: Westview Press, 1990), 76–80; Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 137–139.

[8]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 173–177.


5.           Paradoks dan Tantangan dalam Justifikasi

Meskipun konsep justifikasi telah menjadi pilar epistemologi selama berabad-abad, berbagai persoalan filosofis menunjukkan bahwa membenarkan keyakinan secara memadai bukanlah tugas yang sederhana. Para filsuf telah mengidentifikasi sejumlah paradoks dan tantangan yang mengguncang fondasi teori justifikasi tradisional, baik dalam kerangka justified true belief maupun pendekatan-pendekatan kontemporer seperti reliabilisme dan koherensialisme. Tiga tantangan utama yang akan dibahas dalam bagian ini adalah Gettier Problem, Infinite Regress Problem, dan Epistemic Circularity.

5.1.       Gettier Problem: Kebenaran yang Kebetulan

Gettier Problem, yang diangkat oleh Edmund L. Gettier dalam artikel terkenalnya tahun 1963, secara langsung menantang definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief. Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, namun tetap tidak dianggap mengetahui sesuatu karena kebenaran keyakinannya terjadi secara kebetulan1.

Contohnya, jika seseorang percaya bahwa “orang yang akan mendapat pekerjaan memiliki sepuluh koin di sakunya,” berdasarkan bukti kuat bahwa si A akan diterima dan memang memiliki sepuluh koin, namun ternyata yang diterima adalah si B (yang juga memiliki sepuluh koin tanpa diketahui), maka keyakinan itu tetap benar dan dibenarkan—tetapi tidak dapat disebut pengetahuan.

Kasus semacam ini memperlihatkan bahwa justifikasi, meskipun memadai, tidak menjamin pengetahuan jika unsur kebenaran bersifat insidental atau tidak berkaitan kausal dengan justifikasi yang mendasarinya. Hal ini mendorong filsuf untuk menambahkan syarat keempat dalam definisi pengetahuan atau bahkan mereformulasi ulang seluruh kerangka epistemik2.

5.2.       Infinite Regress Problem: Rantai Tanpa Akhir

Tantangan klasik lainnya adalah masalah regresi tak hingga (infinite regress). Jika suatu keyakinan dikatakan sahih karena dibenarkan oleh alasan tertentu, maka alasan itu sendiri juga harus dibenarkan oleh alasan lain, dan seterusnya. Jika tidak ada titik akhir, maka justifikasi akan berakhir dalam rantai yang tak kunjung selesai, mengancam kemungkinan adanya keyakinan yang benar-benar dibenarkan3.

Ada tiga tanggapan utama terhadap masalah ini:

1)                  Fideisme atau Dogmatisme: Menghentikan regresi dengan menerima keyakinan dasar tanpa pembenaran lebih lanjut.

2)                  Koherensialisme: Menutup regresi dengan kesalingterkaitan antar keyakinan.

3)                  Infinitisme: Menerima regresi tak hingga sebagai hal yang sah, seperti dipertahankan oleh Peter Klein, meskipun ini masih sangat kontroversial4.

Masalah regresi tak hingga menunjukkan keterbatasan sistem justifikasi yang linier dan menyoroti pentingnya struktur keyakinan epistemik, apakah berbentuk hierarkis, sirkular, atau jaringan.

5.3.       Epistemic Circularity: Lingkaran Pembenaran

Epistemic circularity merujuk pada situasi di mana justifikasi terhadap suatu keyakinan atau metode didasarkan pada penggunaan metode itu sendiri. Misalnya, menggunakan persepsi untuk membenarkan keandalan persepsi, atau logika untuk membenarkan validitas logika. Secara intuitif, hal ini tampak sirkular dan tidak sah, namun dalam praktik epistemik, sering kali tak terhindarkan5.

Alvin Plantinga membahas fenomena ini dalam konteks warranted beliefs, dengan menyatakan bahwa epistemic circularity dapat diterima bila seseorang berada dalam proper epistemic environment dan sistem kognitifnya berfungsi sesuai desainnya6. Meski demikian, banyak filsuf menganggap bahwa pembenaran yang bersifat sirkular tetap lemah karena tidak menawarkan dasar objektif eksternal.

Paradoks ini menimbulkan dilema epistemologis: jika semua metode pembenaran harus dibenarkan oleh metode lain, maka sirkularitas mungkin tidak terhindarkan. Namun, jika sirkularitas tidak dapat diterima, maka kita mungkin tidak memiliki landasan epistemik yang sah untuk mempercayai metode kita sendiri.


Refleksi Epistemologis

Ketiga tantangan di atas menunjukkan bahwa justifikasi bukan hanya soal menemukan alasan bagi keyakinan, tetapi juga soal menghindari kebenaran kebetulan, rantai argumentasi yang tak berujung, dan pembenaran yang memutar. Paradoks-paradoks ini menjadi indikator bahwa epistemologi harus terus berevolusi dengan memperhatikan konteks psikologis, sosial, dan praktis dari aktivitas mengetahui.

Sebagaimana diungkapkan oleh Susan Haack, epistemologi yang baik adalah “bukan hanya teori pembenaran, tetapi teori praktik rasionalitas.7 Oleh karena itu, tantangan terhadap justifikasi harus dilihat bukan sebagai hambatan akhir, melainkan sebagai pemacu untuk memperhalus kerangka berpikir epistemik kita.


Footnotes

[1]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[2]                Robert K. Shope, The Analysis of Knowing: A Decade of Research (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1983), 15–20.

[3]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 15–19.

[4]                Peter D. Klein, “Human Knowledge and the Infinite Regress of Reasons,” Philosophical Perspectives 13 (1999): 297–325.

[5]                William Alston, “Epistemic Circularity,” Philosophy and Phenomenological Research 47, no. 1 (1986): 1–30.

[6]                Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford University Press, 1993), 191–198.

[7]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: Toward Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 5.


6.           Model-Model Modern Justifikasi

Perkembangan filsafat epistemologi pada abad ke-20 hingga abad ke-21 memperlihatkan adanya diversifikasi model-model justifikasi yang melampaui kerangka klasik seperti fideisme, foundsionalisme, atau koherensialisme tradisional. Model-model ini tidak hanya merefleksikan kemajuan konseptual, tetapi juga respons terhadap tantangan praktis dalam ranah sosial, kognitif, dan teknologi. Dalam bagian ini, akan dibahas beberapa model modern justifikasi, meliputi epistemologi kebajikan, epistemologi sosial, serta epistemologi dalam konteks digital dan era post-truth.

6.1.       Epistemologi Kebajikan (Virtue Epistemology)

Epistemologi kebajikan (virtue epistemology) merupakan pendekatan yang mengaitkan justifikasi dengan kualitas karakter intelektual dari agen epistemik. Dalam pandangan ini, keyakinan dianggap dibenarkan jika terbentuk melalui penggunaan kebajikan intelektual seperti ketekunan, keterbukaan, integritas, dan kehati-hatian. Linda Zagzebski adalah salah satu tokoh sentral dalam pendekatan ini, yang menyatakan bahwa kebajikan intelektual serupa dengan kebajikan moral, dalam arti bahwa keduanya mencerminkan kecakapan agen dalam mencapai tujuan epistemiknya, yaitu kebenaran1.

Model ini memberikan dimensi normatif pada justifikasi: seseorang tidak hanya perlu memiliki proses kognitif yang andal, tetapi juga harus menjadi subjek yang bertanggung jawab secara epistemik. Dengan demikian, epistemologi kebajikan menjembatani antara reliabilisme eksternal dan tuntutan internal atas kontrol atau kesadaran agen terhadap proses berpikirnya2.

6.2.       Epistemologi Sosial: Justifikasi Melalui Testimoni dan Struktur Sosial

Epistemologi sosial (social epistemology) menyoroti dimensi kolektif dalam pembentukan keyakinan. Menurut model ini, justifikasi tidak selalu bersifat individual dan soliter, tetapi sangat dipengaruhi oleh praktik sosial, otoritas pengetahuan, dan institusi epistemik seperti media, pendidikan, atau komunitas ilmiah. Miranda Fricker, dalam karyanya tentang epistemic injustice, menunjukkan bahwa relasi kuasa dan ketidaksetaraan sosial dapat mengganggu proses justifikasi, terutama dalam bentuk testimonial injustice dan hermeneutical injustice3.

Pendekatan ini menekankan pentingnya keadilan epistemik: siapa yang diakui sebagai sumber pengetahuan yang sah, dan bagaimana struktur sosial dapat mendukung atau menghambat akses seseorang terhadap justifikasi yang valid. Justifikasi, dalam model ini, menjadi fungsi dari interaksi sosial dan konteks budaya, bukan sekadar rasionalitas individual4.

6.3.       Kontekstualisme: Relativitas Standar Justifikasi

Kontekstualisme epistemik berpendapat bahwa standar justifikasi bersifat relatif terhadap konteks percakapan atau situasi praktis. Sebuah keyakinan bisa dibenarkan dalam konteks informal sehari-hari, namun mungkin tidak cukup dibenarkan dalam konteks ilmiah atau hukum. David Lewis dan Stewart Cohen mengembangkan pendekatan ini untuk menjelaskan perbedaan standar bukti dan tuntutan pembenaran dalam situasi yang berbeda5.

Model ini memiliki implikasi penting bagi kehidupan praktis: dalam dunia nyata, justifikasi bukanlah entitas absolut, tetapi bergantung pada kepentingan praktis, risiko kesalahan, dan relevansi informasi dalam konteks tertentu. Kontekstualisme juga menjadi respons terhadap skeptisisme epistemik, dengan cara menurunkan tuntutan pembenaran dalam situasi biasa tanpa mengorbankan keabsahan pengetahuan.

6.4.       Justifikasi dalam Era Digital dan Post-Truth

Perkembangan teknologi informasi dan media digital telah mengubah lanskap epistemologi kontemporer. Banjir informasi, algoritma personalisasi, dan penyebaran disinformasi memunculkan tantangan baru terhadap justifikasi. Dalam konteks ini, keandalan sumber dan otoritas epistemik menjadi kabur, sementara kecepatan dan viralitas sering kali menggantikan ketepatan sebagai kriteria kebenaran.

Model-model justifikasi dalam era digital menuntut kemampuan epistemic vigilance (kewaspadaan epistemik), yaitu keterampilan untuk menyaring, mengevaluasi, dan mengonfirmasi informasi sebelum diterima sebagai keyakinan yang sahih6. Selain itu, muncul pula kebutuhan untuk memperkuat collective epistemic responsibility dalam ruang publik digital.

Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga menghadirkan dilema epistemik baru: bagaimana kita dapat membenarkan keyakinan yang dihasilkan oleh sistem otomatis yang tidak sepenuhnya transparan? Masalah explainability dalam AI memunculkan diskusi baru seputar keabsahan pembenaran epistemik yang bersifat non-human7.


Refleksi Konseptual

Model-model modern ini memperluas horizon epistemologi dengan menekankan bahwa justifikasi bukanlah semata-mata proses individual berbasis logika atau kognisi, melainkan juga bersifat etis, sosial, dan teknologis. Ini menunjukkan bahwa epistemologi kontemporer bergerak dari paradigma “pengetahuan sebagai properti individu rasional” menuju “pengetahuan sebagai hasil interaksi multi-dimensi dalam konteks dunia nyata”.

Dengan demikian, memahami model-model justifikasi modern membantu kita bukan hanya dalam menjawab pertanyaan tentang “bagaimana kita mengetahui sesuatu?”, tetapi juga “bagaimana kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita klaim sebagai pengetahuan”.


Footnotes

[1]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 14–17.

[2]                Jason Baehr, The Inquiring Mind: On Intellectual Virtues and Virtue Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2011), 56–61.

[3]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[4]                Alvin Goldman, “Social Epistemology,” in Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/.

[5]                David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian Journal of Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567; Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–107.

[6]                Dan Sperber et al., “Epistemic Vigilance,” Mind & Language 25, no. 4 (2010): 359–393.

[7]                Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.


7.           Implikasi Filosofis dan Praktis Konsep Justifikasi

Konsep justifikasi dalam epistemologi tidak hanya memiliki nilai teoretis dalam ranah filsafat, tetapi juga membawa dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Dari pengembangan ilmu pengetahuan hingga diskursus politik dan hukum, dari pendidikan hingga dinamika media digital, pemahaman yang tepat tentang justifikasi menentukan sejauh mana kita mampu membedakan antara informasi yang sah dan keyakinan yang menyesatkan. Oleh karena itu, mengkaji implikasi filosofis dan praktis dari justifikasi berarti mengkaji fondasi bagi penalaran rasional, tanggung jawab intelektual, dan etika komunikasi dalam masyarakat.

7.1.       Implikasi Filosofis: Epistemologi sebagai Landasan Rasionalitas

Secara filosofis, justifikasi adalah titik temu antara kepercayaan dan kebenaran. Ini menjadikan justifikasi sebagai konsep sentral dalam setiap teori rasionalitas, baik dalam konteks metafisika, etika, maupun filsafat ilmu. Dengan menekankan pentingnya dasar-dasar keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan, epistemologi menolak relativisme mutlak dan skeptisisme ekstrem yang membahayakan kemungkinan pengetahuan objektif1.

Misalnya, dalam debat antara rasionalisme dan empirisme, justifikasi berperan sebagai kriteria penilaian terhadap validitas pengalaman atau intuisi intelektual sebagai sumber pengetahuan. Begitu pula dalam diskursus metaetika, kemampuan membenarkan klaim moral menjadi penting untuk mempertahankan status objektivitas nilai. Justifikasi juga menjadi dasar evaluasi terhadap teori-teori kebenaran seperti korespondensi, koherensi, atau pragmatisme epistemik, yang semuanya bergantung pada kerangka pembenaran tertentu2.

Di sisi lain, gagasan bahwa justifikasi berkaitan erat dengan tanggung jawab epistemik (epistemic responsibility) menunjukkan adanya etika dalam berpikir: seseorang tidak seharusnya percaya pada sesuatu tanpa bukti yang memadai atau alasan yang tepat. Seperti ditegaskan oleh Clifford, “It is wrong always, everywhere, and for anyone, to believe anything upon insufficient evidence.”3

7.2.       Implikasi dalam Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan

Dalam bidang ilmu pengetahuan, justifikasi berfungsi sebagai standar utama bagi metodologi ilmiah. Suatu hipotesis dianggap sahih jika dapat dibenarkan melalui observasi, eksperimen, dan argumen logis. Konsep ini memperkuat prinsip falsifiabilitas dalam sains modern seperti yang diusulkan oleh Karl Popper, yang menyatakan bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan dibantah secara rasional4.

Lebih lanjut, dalam dunia pendidikan, pemahaman tentang justifikasi menjadi kunci dalam membentuk literasi kritis peserta didik. Pendekatan pedagogis berbasis critical thinking dan inquiry-based learning mengajarkan bahwa setiap klaim harus didukung dengan bukti dan alasan yang dapat diverifikasi. Hal ini penting dalam menanggulangi penyebaran misinformasi dan hoaks, serta mendorong pembentukan budaya akademik yang sehat dan terbuka terhadap dialog berbasis alasan5.

7.3.       Implikasi Sosial dan Politik: Justifikasi sebagai Etika Diskursus

Dalam kehidupan sosial dan politik, justifikasi memainkan peran penting dalam membangun komunikasi yang rasional dan demokratis. Dalam ruang publik deliberatif, argumen yang dapat dibenarkan menjadi landasan bagi legitimasi kebijakan, debat publik, dan proses hukum. John Rawls, dalam teori keadilan politiknya, mengembangkan gagasan public reason yang mengharuskan setiap klaim politik dapat dibenarkan di hadapan warga negara yang rasional dan setara6.

Sebaliknya, jika suatu sistem sosial mengabaikan pentingnya justifikasi, maka ruang publik akan rentan terhadap manipulasi, demagogi, dan propaganda. Hal ini terlihat jelas dalam fenomena post-truth politics, di mana fakta digantikan oleh emosi atau opini populer tanpa dasar rasional yang memadai. Justifikasi, dalam konteks ini, menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan integritas informasi dan rasionalitas kebijakan publik7.

7.4.       Implikasi dalam Era Digital: Literasi Epistemik dan Kepercayaan Publik

Di era digital, konsep justifikasi menjadi semakin vital karena informasi tersebar luas dan cepat, namun tidak selalu diverifikasi. Platform media sosial dan algoritma mesin pencari cenderung memperkuat confirmation bias, yaitu kecenderungan menerima informasi yang selaras dengan keyakinan awal tanpa proses justifikasi yang kritis. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi informasi dan meningkatnya polarisasi sosial8.

Untuk itu, penting dikembangkan bentuk literasi epistemik yang mengajarkan bagaimana cara mengevaluasi klaim pengetahuan berdasarkan kualitas sumber, kekuatan bukti, dan koherensi logis. Selain itu, justifikasi juga harus diterapkan dalam desain sistem informasi—misalnya, dengan menerapkan prinsip algorithmic transparency dan explainability dalam kecerdasan buatan, agar keputusan digital dapat ditelusuri dan dibenarkan secara etis9.


Refleksi Akhir

Dengan memperhatikan seluruh implikasinya, konsep justifikasi tidak hanya relevan dalam debat filsafat murni, tetapi juga menyentuh sendi-sendi kehidupan praktis masyarakat modern. Ia menjadi ukuran bagi tanggung jawab intelektual, kualitas diskursus publik, integritas ilmiah, serta keberdayaan warga negara dalam menavigasi kompleksitas informasi. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip justifikasi berarti membela nalar di tengah dunia yang kerap diguncang oleh kebisingan, emosi, dan relativisme.


Footnotes

[1]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 12–15.

[2]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1989), 80–84.

[3]                W.K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in The Ethics of Belief and Other Essays, ed. Timothy Madigan (Amherst, NY: Prometheus Books, 1999), 70.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from German (New York: Routledge, 2002), 18–23.

[5]                Matthew Lipman, Thinking in Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 45–49.

[6]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 212–254.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 41–59.

[8]                Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 88–93.

[9]                Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.


8.           Kesimpulan

Pembahasan mengenai justifikasi sebagai elemen kunci dalam epistemologi telah memperlihatkan bahwa pengetahuan bukan hanya soal memiliki keyakinan yang benar, melainkan soal memiliki alasan yang sah untuk mempercayai kebenaran tersebut. Justifikasi menghubungkan antara kognisi dan realitas, antara subjektivitas agen epistemik dan objektivitas dunia luar. Oleh karena itu, konsep ini tidak hanya menjadi kerangka normatif dalam filsafat pengetahuan, tetapi juga menjadi instrumen kritis dalam menilai kualitas keyakinan di berbagai ranah kehidupan.

Sejak Plato pertama kali merumuskan pengetahuan sebagai justified true belief, gagasan justifikasi telah mengalami perkembangan yang luas, mencakup berbagai pendekatan seperti fundasionalisme, koherensialisme, internalisme, eksternalisme, hingga model-model modern seperti epistemologi kebajikan, sosial, dan kontekstual1. Masing-masing model ini menawarkan cara berbeda dalam memahami syarat-syarat pembenaran keyakinan, sekaligus merespons tantangan yang dihadirkan oleh paradoks seperti Gettier problem, infinite regress, dan epistemic circularity2.

Justifikasi juga tidak bisa dipisahkan dari aspek moral dan sosial pengetahuan. Tanggung jawab epistemik menjadi kunci dalam membangun budaya berpikir yang sehat dan etis, baik dalam dunia akademik, hukum, maupun kehidupan publik. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks secara informasi, kemampuan untuk menjustifikasi suatu keyakinan dengan alasan yang valid menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Sebagaimana ditekankan oleh Robert Audi, justifikasi bukan hanya komponen pengetahuan, melainkan syarat normatif untuk percaya secara rasional3.

Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan fenomena post-truth telah memunculkan kebutuhan baru akan bentuk-bentuk literasi epistemik yang lebih tangguh. Di sinilah relevansi konsep justifikasi semakin tampak: sebagai alat untuk menilai keabsahan sumber, mengevaluasi bukti, dan membangun epistemic trust dalam masyarakat yang plural dan terbuka.

Dengan demikian, justifikasi bukan sekadar tema abstrak dalam filsafat, melainkan fondasi praktis bagi pertanggungjawaban kognitif manusia. Ia adalah benteng terhadap dogmatisme, pelindung terhadap manipulasi, dan dasar bagi rasionalitas kolektif. Menakar kebenaran melalui justifikasi berarti berkomitmen pada pencarian pengetahuan yang tidak hanya benar, tetapi juga adil, etis, dan dapat dipertanggungjawabkan.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 75–110.

[2]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123; Peter D. Klein, “Human Knowledge and the Infinite Regress of Reasons,” Philosophical Perspectives 13 (1999): 297–325.

[3]                Robert Audi, Epistemology, 78–79.


Daftar Pustaka

Alston, W. P. (1989). Epistemic justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University Press.

Audi, R. (2011). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Baehr, J. (2011). The inquiring mind: On intellectual virtues and virtue epistemology. Oxford University Press.

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

Clifford, W. K. (1999). The ethics of belief. In T. Madigan (Ed.), The ethics of belief and other essays (pp. 70–96). Prometheus Books. (Original work published 1877)

Cohen, S. (2000). Contextualism and skepticism. Philosophical Issues, 10, 94–107. https://doi.org/10.2307/1522824

Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Clarendon Press.

Feldman, R. (2003). Epistemology. Prentice Hall.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Goldman, A. I. (2020). Social epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/

Haack, S. (1993). Evidence and inquiry: Toward reconstruction in epistemology. Blackwell.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1843)

Klein, P. D. (1999). Human knowledge and the infinite regress of reasons. Philosophical Perspectives, 13, 297–325.

Lehrer, K. (1990). Theory of knowledge (2nd ed.). Westview Press.

Lewis, D. (1996). Elusive knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347521

Lipman, M. (2003). Thinking in education (2nd ed.). Cambridge University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1689)

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679

Moser, P. K. (1989). Knowledge and evidence. Cambridge University Press.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing. (Original work ca. 369 BCE)

Plantinga, A. (1993). Warrant and proper function. Oxford University Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery (Rev. ed.). Routledge. (Original work published 1935)

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Shope, R. K. (1983). The analysis of knowing: A decade of research. Princeton University Press.

Sperber, D., Clément, F., Heintz, C., Mascaro, O., Mercier, H., Origgi, G., & Wilson, D. (2010). Epistemic vigilance. Mind & Language, 25(4), 359–393. https://doi.org/10.1111/j.1468-0017.2010.01394.x

Steup, M. (2020). Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Spring 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/spr2020/entries/epistemology/

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar