Pembenaran (Justifikasi)
Pilar Epistemologi dalam Membedakan Keyakinan yang
Valid
Alihkan ke: Epistemologi.
Hubungan
antara Justification, Truth, dan Belief.
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif konsep justifikasi (pembenaran) sebagai elemen fundamental dalam
epistemologi, khususnya dalam upaya membedakan antara keyakinan yang sah dan
yang keliru. Dengan menelusuri akar historis gagasan justifikasi dari masa
Plato hingga pendekatan kontemporer seperti reliabilisme, koherensialisme, dan
epistemologi kebajikan, artikel ini mengkaji bagaimana berbagai teori membangun
kriteria untuk menilai validitas suatu keyakinan. Selain itu, dipaparkan pula
tantangan-tantangan besar dalam epistemologi seperti Gettier problem, infinite
regress, dan epistemic circularity yang menunjukkan kompleksitas
pembenaran pengetahuan. Artikel ini juga mengeksplorasi model-model justifikasi
modern dalam konteks sosial, etis, dan teknologi informasi, serta menyoroti
implikasi praktisnya dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, dan era
digital. Dengan pendekatan multidimensional dan dukungan referensi akademik
yang kredibel, tulisan ini menegaskan bahwa justifikasi bukan sekadar mekanisme
kognitif, melainkan landasan normatif bagi rasionalitas dan tanggung jawab
epistemik di tengah krisis informasi global.
Kata Kunci: Epistemologi,
justifikasi, keyakinan, Gettier problem, reliabilisme, epistemologi kebajikan,
literasi epistemik, tanggung jawab intelektual, era digital, pengetahuan yang
sahih.
PEMBAHASAN
Justifikasi sebagai Pilar Epistemologi dalam Membedakan
Keyakinan yang Valid
1.
Pendahuluan
Dalam ranah filsafat,
epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang disiplin yang mengkaji
secara kritis tentang asal-usul, struktur, dan validitas pengetahuan manusia.
Salah satu konsep sentral yang menjadi fondasi dalam bidang ini adalah justifikasi—yaitu
mekanisme atau alasan yang digunakan untuk menyatakan bahwa suatu keyakinan
benar secara rasional. Konsep ini tidak hanya penting dalam membedakan antara
kepercayaan yang sahih dan yang keliru, tetapi juga berperan sebagai penghubung
antara keyakinan dan kebenaran dalam kerangka justified true belief
yang telah lama menjadi titik tolak pembahasan epistemologi sejak masa Plato1.
Dalam kerangka tersebut,
pengetahuan bukan sekadar keyakinan yang kebetulan benar, melainkan keyakinan
yang dibenarkan untuk dianggap benar. Dengan kata lain, keyakinan yang
valid menuntut adanya dasar rasional atau bukti yang memadai sebagai
justifikasinya. Robert Audi, seorang filsuf kontemporer dalam epistemologi,
menyatakan bahwa justifikasi bukan hanya berfungsi sebagai syarat bagi
pengetahuan, tetapi juga sebagai indikator normatif dari kewajaran keyakinan2.
Pemahaman akan justifikasi menjadi semakin relevan dalam konteks modern, di
mana banjir informasi, berita palsu, dan bias kognitif dapat dengan mudah
mengaburkan batas antara yang benar dan yang tampak benar.
Artikel ini hadir untuk
mengupas secara sistematis dan kritis berbagai pendekatan terhadap justifikasi
dalam tradisi filsafat Barat. Dari fundasionalisme klasik hingga teori
reliabilisme modern, dari model internalisme yang menekankan kesadaran subjek
akan alasan keyakinan, hingga eksternalisme yang menilai validitas berdasarkan
keandalan proses kognitif, seluruh spektrum pemikiran mengenai justifikasi akan
ditinjau secara mendalam. Di samping itu, persoalan-persoalan krusial seperti Gettier
problem, infinite regress, dan epistemic circularity
juga akan dianalisis sebagai tantangan terhadap struktur justifikasi yang mapan3.
Tujuan utama penulisan ini
adalah untuk memperkenalkan kerangka konseptual dan perdebatan kontemporer
mengenai justifikasi, serta memberikan pemahaman yang lebih reflektif terhadap
cara manusia membangun dan mempertahankan keyakinan yang rasional dan dapat
dipercaya. Harapannya, pembaca tidak hanya memahami kompleksitas konsep
justifikasi, tetapi juga mampu menerapkannya secara kritis dalam menilai
klaim-klaim kebenaran dalam kehidupan akademik, sosial, dan spiritual.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–201.
[3]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123; Peter Klein, Certainty: A Refutation of
Skepticism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1981), 45–58.
2.
Definisi: Apa Itu Justifikasi?
Dalam epistemologi, justifikasi
(justification) merupakan salah satu unsur utama yang menentukan apakah suatu
keyakinan dapat dianggap sebagai pengetahuan yang sah. Secara umum, justifikasi
merujuk pada alasan, dasar, atau bukti yang mendukung kebenaran suatu kepercayaan.
Artinya, tidak semua keyakinan yang benar dapat disebut pengetahuan kecuali
jika terdapat justifikasi yang memadai untuk meyakininya. Dalam kerangka
tradisional, yang dikenal sebagai tripartite theory of knowledge,
pengetahuan dipahami sebagai “keyakinan benar yang dibenarkan” (justified true belief)1.
Plato dalam Theaetetus
secara awal merumuskan ide ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan bukan hanya
sekadar memiliki opini yang benar, tetapi juga harus dilandasi dengan logos
atau alasan rasional2. Meskipun teori ini telah menjadi fondasi
klasik epistemologi, berbagai kritik dan perkembangan modern menunjukkan bahwa
definisi tersebut masih menyisakan ruang problematis, seperti yang terlihat
dalam Gettier problem, yang mengguncang asumsi bahwa kombinasi dari
kepercayaan yang benar dan pembenaran sudah cukup untuk menyatakan sesuatu
sebagai pengetahuan3.
Justifikasi memainkan peran
sentral dalam menjawab pertanyaan mendasar: Mengapa kita percaya bahwa
suatu proposisi adalah benar? Dalam konteks ini, justifikasi menjadi alat
penimbang antara keyakinan yang bersifat subyektif dan klaim kebenaran yang
obyektif. Robert Audi menjelaskan bahwa justifikasi adalah bentuk keabsahan
epistemik (epistemic legitimacy) dari keyakinan, yakni bahwa keyakinan
tersebut diperoleh atau dipertahankan melalui cara yang rasional, andal, atau
bertanggung jawab secara kognitif4.
Justifikasi juga berperan
penting dalam membedakan antara pengetahuan dan dugaan semata. Misalnya,
seseorang yang secara kebetulan menebak jawaban yang benar dalam ujian
matematika tidak dapat dikatakan mengetahui jawabannya, karena tidak
memiliki justifikasi yang mendukung keyakinannya. Dalam pengertian ini,
justifikasi bukan hanya soal memiliki bukti, tetapi juga berkaitan dengan cara
keyakinan itu dibentuk dan sejauh mana bukti itu relevan dan sahih.
Lebih jauh, diskursus tentang
justifikasi membawa kita pada dua jalur epistemologis yang berbeda: internalisme
dan eksternalisme. Internalisme menekankan bahwa alasan atau
pembenaran suatu keyakinan harus dapat diakses secara sadar oleh subjek yang
meyakini5. Sebaliknya, eksternalisme menilai validitas justifikasi
berdasarkan proses kognitif eksternal yang andal, tanpa menuntut kesadaran
penuh dari agen epistemik atas dasar-dasar keyakinannya6. Perdebatan
ini terus berlanjut dalam filsafat pengetahuan kontemporer, menandakan
kompleksitas epistemik dalam menentukan kriteria keyakinan yang sah.
Dengan memahami apa itu
justifikasi dan bagaimana ia bekerja dalam konteks epistemologi, kita dapat
membangun pemahaman yang lebih kokoh terhadap bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan yang layak dipercaya, terutama di tengah tantangan postmodernisme,
relativisme kognitif, dan banjir informasi di era digital.
Footnotes
[1]
Matthias Steup, “Epistemology,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2020), https://plato.stanford.edu/archives/spr2020/entries/epistemology/.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.
[3]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–201.
[5]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–12.
[6]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 51–76.
3.
Sejarah Perkembangan Gagasan Justifikasi
Konsep justifikasi (pembenaran) dalam
epistemologi memiliki akar panjang yang dapat ditelusuri sejak masa filsafat
Yunani Kuno, dan terus berkembang secara dinamis dalam lintasan pemikiran
Barat. Perkembangan ini mencerminkan evolusi cara pandang manusia terhadap pengetahuan
dan validitas keyakinan, serta bagaimana upaya-upaya rasional digunakan untuk
membedakan antara doxa (opini) dan epistēmē (pengetahuan
sejati).
3.1.
Justifikasi dalam
Filsafat Klasik: Plato dan Aristoteles
Plato adalah tokoh awal yang
membahas secara eksplisit struktur pengetahuan. Dalam Theaetetus, ia
mengusulkan bahwa pengetahuan adalah justified true belief (keyakinan benar yang dibenarkan). Bagi Plato, suatu keyakinan hanya bisa menjadi
pengetahuan apabila ia tidak hanya benar, tetapi juga disertai dengan alasan
atau penjelasan yang memadai—apa yang ia sebut sebagai logos1.
Konsep ini menandai pentingnya dasar epistemik dalam menilai validitas sebuah
klaim.
Aristoteles mengembangkan
pendekatan yang lebih sistematis melalui metode deduktif dan silogistik, di
mana justifikasi diperoleh melalui demonstrasi yang sah secara logis
dari premis-premis yang diketahui kebenarannya. Dalam karyanya Posterior
Analytics, Aristoteles membedakan antara epistēmē dan doxa,
dan menekankan bahwa pengetahuan sejati harus berasal dari prinsip-prinsip
pertama yang bersifat self-evident2.
3.2.
Justifikasi dalam
Filsafat Modern: Dari Rasionalisme ke Empirisme
Era modern memperlihatkan
pemisahan tajam antara pendekatan rasionalis dan empiris
terhadap justifikasi. René Descartes, sebagai pelopor rasionalisme, meyakini
bahwa pengetahuan harus didasarkan pada kepastian mutlak. Dalam Meditations
on First Philosophy, ia mengembangkan metode skeptisisme metodologis untuk
menyingkirkan semua keyakinan yang diragukan dan sampai pada kebenaran yang tak
terbantahkan, yaitu cogito, ergo sum
(“aku berpikir maka aku ada”)3. Justifikasi, dalam pandangan
Descartes, menuntut fondasi yang tidak dapat diragukan sama sekali.
Sebaliknya, John Locke
sebagai tokoh empirisme menolak rasionalisme Descartes dan menyatakan bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Dalam An Essay Concerning Human
Understanding, Locke menjelaskan bahwa justifikasi didasarkan pada
persepsi indrawi dan refleksi terhadap pengalaman, sehingga membangun struktur
pengetahuan secara bertahap dari hal-hal konkret4. David Hume
melangkah lebih jauh dengan mempertanyakan landasan inferensial antara sebab
dan akibat, menunjukkan bahwa kebiasaan dan kebiasaan mental (custom) lebih
mendasari kepercayaan daripada pembenaran rasional murni5.
Immanuel Kant mencoba
mensintesiskan perbedaan antara rasionalisme dan empirisme. Dalam Critique
of Pure Reason, ia membedakan antara a priori dan a
posteriori, serta memperkenalkan gagasan bahwa pikiran manusia secara
aktif membentuk pengalaman melalui kategori-kategori bawaan. Menurut Kant,
justifikasi terhadap pengetahuan tidak hanya bergantung pada dunia empiris,
tetapi juga pada struktur apriori dari akal manusia itu sendiri6.
3.3.
Pergeseran
Epistemologis Kontemporer: Dari Fideisme ke Reliabilisme
Abad ke-20 menyaksikan
tantangan besar terhadap tripartite theory melalui munculnya Gettier
problem yang mengguncang fondasi gagasan “justified true belief”7.
Kritik ini mendorong lahirnya beragam pendekatan baru terhadap justifikasi,
seperti coherentism, contextualism, dan reliabilism.
Alvin Goldman, sebagai tokoh utama reliabilisme, mengusulkan bahwa justifikasi
dapat ditentukan oleh keandalan (reliability) dari proses kognitif
yang menghasilkan keyakinan, terlepas dari apakah agen epistemik sadar akan alasan
keyakinannya8.
Secara historis, pergeseran
gagasan justifikasi mencerminkan dinamika epistemologi itu sendiri—dari
pencarian fondasi tak tergoyahkan menuju pengakuan terhadap kompleksitas
praktik kepercayaan manusia dalam konteks sosial, psikologis, dan bahkan
teknologi. Oleh karena itu, memahami lintasan sejarah gagasan justifikasi
adalah langkah penting untuk mengevaluasi relevansinya dalam membangun
pengetahuan yang sahih di dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201d–210d.
[2]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton
University Press, 1984), I.2–I.3.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), Section IV.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A130/B169.
[7]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[8]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 50–72.
4.
Teori-Teori Justifikasi
Konsep justifikasi dalam
epistemologi tidak bersifat tunggal, melainkan terbagi dalam berbagai
pendekatan teoretis yang menawarkan kriteria dan mekanisme berbeda dalam
menilai validitas suatu keyakinan. Setiap teori justifikasi mencoba menjawab
pertanyaan sentral: Apa yang membuat suatu keyakinan benar secara
epistemik? Dalam bagian ini, akan dibahas teori-teori utama justifikasi,
meliputi fideisme, fungsionalisme, internalisme,
eksternalisme, fideisme epistemik, serta dua
pendekatan dominan yakni fungsionalisme reliabilistik dan koherensialisme.
4.1.
Fideisme: Iman
Sebagai Justifikasi
Fideisme menyatakan bahwa
keyakinan religius atau metafisik dapat dibenarkan tanpa harus tunduk pada
rasionalitas atau bukti empiris. Dalam tradisi ini, iman dianggap sebagai dasar
yang sah bagi pengetahuan, terutama dalam hal-hal yang melampaui rasio.
Tokoh-tokoh seperti Blaise Pascal dan Søren Kierkegaard sering dikaitkan dengan
pendekatan ini. Kierkegaard bahkan menekankan bahwa iman yang sejati dimulai
ketika akal mencapai batasnya1.
Namun, dari sudut pandang
epistemologi klasik, fideisme problematik karena menempatkan justifikasi pada
wilayah non-rasional. Meski demikian, dalam konteks justifikasi normatif,
fideisme menjadi relevan ketika akal dipandang tidak mencukupi untuk
membenarkan semua bentuk keyakinan, terutama yang menyangkut eksistensi dan
transendensi.
4.2.
Fungsionalisme
Epistemik dan Reliabilisme
Fungsionalisme epistemik
menilai keyakinan sebagai dibenarkan bila dihasilkan oleh proses kognitif yang
berfungsi secara baik. Dalam versi reliabilistiknya, justifikasi tidak
bergantung pada apakah subjek memiliki akses terhadap alasan-alasannya,
melainkan pada keandalan metode atau proses yang menghasilkan
keyakinan tersebut. Alvin Goldman, penggagas utama reliabilisme, menjelaskan
bahwa suatu keyakinan epistemik sah bila ia dihasilkan melalui proses yang,
dalam kondisi normal, menghasilkan kebenaran dalam proporsi tinggi2.
Sebagai contoh, persepsi
visual di bawah cahaya yang baik merupakan proses kognitif yang reliabel,
sehingga keyakinan yang dihasilkannya bisa dibenarkan secara eksternal, bahkan
jika subjek tidak sadar bagaimana ia membentuk keyakinan tersebut.
4.3.
Internalisme: Akses
terhadap Alasan
Internalisme menekankan bahwa
agar suatu keyakinan dapat dibenarkan, subjek harus memiliki akses reflektif
terhadap alasan-alasannya. Dalam kerangka ini, justifikasi bersifat
introspektif dan tersedia bagi kesadaran. Laurence BonJour menyatakan bahwa
pembenaran harus didasarkan pada fondasi yang dapat diinspeksi secara mental
oleh agen epistemik3.
Pendekatan ini menuntut agar
subjek dapat "memberi alasan" atas keyakinannya, sehingga sesuai
dengan intuisi epistemik kita mengenai tanggung jawab intelektual. Namun,
internalisme menghadapi tantangan serius dalam menjelaskan bagaimana manusia
biasa dapat memiliki akses atau kontrol penuh terhadap semua alasan
keyakinannya.
4.4.
Eksternalisme:
Validitas Terlepas dari Akses Subjektif
Sebaliknya, eksternalisme
menganggap bahwa justifikasi tidak harus berada dalam jangkauan refleksi
subjek. Yang penting adalah bahwa keyakinan itu dibentuk oleh kondisi eksternal
yang andal dan tidak bersifat kebetulan. Ini menggeser perhatian dari apa
yang diketahui subjek ke bagaimana keyakinan itu terbentuk4.
Goldman, dalam
karya-karyanya, menyatakan bahwa epistemologi eksternalis lebih realistis
secara psikologis dan lebih sejalan dengan praktik keilmuan dan penalaran
sehari-hari5. Akan tetapi, pendekatan ini dikritik karena tidak
cukup menghargai dimensi normatif dari tanggung jawab epistemik.
4.5.
Koherensialisme:
Kesesuaian dalam Jaringan Keyakinan
Koherensialisme memandang
bahwa keyakinan dibenarkan bila ia konsisten dan harmonis dalam sistem
keyakinan yang saling mendukung. Justifikasi bukan berasal dari fondasi yang
tidak dapat diragukan, melainkan dari keseluruhan sistem keyakinan yang koheren
secara logis6.
Teori ini menjadi alternatif
bagi fundasionalisme klasik yang mengandaikan adanya keyakinan dasar (basic
beliefs). Menurut Keith Lehrer dan Donald Davidson, sistem keyakinan yang
saling memperkuat satu sama lain lebih realistis secara psikologis dan
epistemik daripada pendekatan yang mendasarkan justifikasi pada keyakinan
otonom7.
Namun, kelemahan utama
koherensialisme terletak pada kemungkinan sistem keyakinan yang sangat koheren
tetapi sepenuhnya terpisah dari realitas atau kebenaran eksternal.
4.6.
Kontekstualisme dan
Virtue Epistemology
Kontekstualisme menyatakan
bahwa standar justifikasi bergantung pada konteks diskursif tertentu. Misalnya,
apa yang dibenarkan dalam percakapan sehari-hari mungkin tidak cukup dalam
konteks ilmiah atau hukum. Sementara itu, virtue epistemology—seperti
dikembangkan oleh Linda Zagzebski—berpendapat bahwa justifikasi berkaitan
dengan kebajikan intelektual (seperti kehati-hatian, kejujuran, dan ketekunan)
dari subjek yang meyakini8.
Pendekatan ini memberikan
dimensi etis pada justifikasi, yang sebelumnya lebih bersifat prosedural atau
struktural.
Dengan beragamnya teori justifikasi,
tampak jelas bahwa tidak ada satu pendekatan pun yang sepenuhnya memuaskan
dalam menjawab seluruh persoalan epistemologis. Masing-masing teori menyumbang
elemen penting dalam memahami bagaimana dan mengapa keyakinan kita dapat
dianggap sahih. Oleh karena itu, kajian terhadap teori-teori justifikasi
merupakan langkah mendasar dalam mengembangkan epistemologi yang matang dan
reflektif.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 89–91.
[2]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 51–76.
[3]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 8–12.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 213–215.
[5]
Goldman, Epistemology and Cognition, 87–91.
[6]
Paul K. Moser, Knowledge and Evidence (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 115–118.
[7]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge (Boulder, CO: Westview
Press, 1990), 76–80; Donald Davidson, Inquiries into Truth and
Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 137–139.
[8]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 173–177.
5.
Paradoks dan Tantangan dalam Justifikasi
Meskipun konsep justifikasi
telah menjadi pilar epistemologi selama berabad-abad, berbagai persoalan
filosofis menunjukkan bahwa membenarkan keyakinan secara memadai bukanlah tugas
yang sederhana. Para filsuf telah mengidentifikasi sejumlah paradoks dan tantangan
yang mengguncang fondasi teori justifikasi tradisional, baik dalam kerangka justified true belief maupun pendekatan-pendekatan kontemporer seperti reliabilisme
dan koherensialisme. Tiga tantangan utama yang akan dibahas dalam bagian ini
adalah Gettier Problem, Infinite Regress Problem,
dan Epistemic Circularity.
5.1.
Gettier Problem:
Kebenaran yang Kebetulan
Gettier Problem, yang
diangkat oleh Edmund L. Gettier dalam artikel terkenalnya tahun 1963, secara
langsung menantang definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief. Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan yang
benar dan dibenarkan, namun tetap tidak dianggap mengetahui sesuatu
karena kebenaran keyakinannya terjadi secara kebetulan1.
Contohnya, jika seseorang
percaya bahwa “orang yang akan mendapat pekerjaan memiliki sepuluh koin di
sakunya,” berdasarkan bukti kuat bahwa si A akan diterima dan memang memiliki
sepuluh koin, namun ternyata yang diterima adalah si B (yang juga memiliki
sepuluh koin tanpa diketahui), maka keyakinan itu tetap benar dan
dibenarkan—tetapi tidak dapat disebut pengetahuan.
Kasus semacam ini
memperlihatkan bahwa justifikasi, meskipun memadai, tidak menjamin pengetahuan
jika unsur kebenaran bersifat insidental atau tidak berkaitan kausal dengan
justifikasi yang mendasarinya. Hal ini mendorong filsuf untuk menambahkan
syarat keempat dalam definisi pengetahuan atau bahkan mereformulasi ulang
seluruh kerangka epistemik2.
5.2.
Infinite Regress
Problem: Rantai Tanpa Akhir
Tantangan klasik lainnya
adalah masalah regresi tak hingga (infinite regress). Jika
suatu keyakinan dikatakan sahih karena dibenarkan oleh alasan tertentu, maka
alasan itu sendiri juga harus dibenarkan oleh alasan lain, dan seterusnya. Jika
tidak ada titik akhir, maka justifikasi akan berakhir dalam rantai yang tak
kunjung selesai, mengancam kemungkinan adanya keyakinan yang benar-benar
dibenarkan3.
Ada tiga tanggapan utama
terhadap masalah ini:
1)
Fideisme atau Dogmatisme:
Menghentikan regresi dengan menerima keyakinan dasar tanpa pembenaran lebih
lanjut.
2)
Koherensialisme:
Menutup regresi dengan kesalingterkaitan antar keyakinan.
3)
Infinitisme:
Menerima regresi tak hingga sebagai hal yang sah, seperti dipertahankan oleh
Peter Klein, meskipun ini masih sangat kontroversial4.
Masalah regresi tak hingga
menunjukkan keterbatasan sistem justifikasi yang linier dan menyoroti
pentingnya struktur keyakinan epistemik, apakah berbentuk hierarkis, sirkular,
atau jaringan.
5.3.
Epistemic
Circularity: Lingkaran Pembenaran
Epistemic circularity
merujuk pada situasi di mana justifikasi terhadap suatu keyakinan atau metode
didasarkan pada penggunaan metode itu sendiri. Misalnya, menggunakan persepsi
untuk membenarkan keandalan persepsi, atau logika untuk membenarkan validitas
logika. Secara intuitif, hal ini tampak sirkular dan tidak sah, namun dalam
praktik epistemik, sering kali tak terhindarkan5.
Alvin Plantinga membahas
fenomena ini dalam konteks warranted beliefs, dengan menyatakan bahwa
epistemic circularity dapat diterima bila seseorang berada dalam proper
epistemic environment dan sistem kognitifnya berfungsi sesuai desainnya6.
Meski demikian, banyak filsuf menganggap bahwa pembenaran yang bersifat
sirkular tetap lemah karena tidak menawarkan dasar objektif eksternal.
Paradoks ini menimbulkan
dilema epistemologis: jika semua metode pembenaran harus dibenarkan oleh metode
lain, maka sirkularitas mungkin tidak terhindarkan. Namun, jika sirkularitas
tidak dapat diterima, maka kita mungkin tidak memiliki landasan epistemik yang
sah untuk mempercayai metode kita sendiri.
Refleksi Epistemologis
Ketiga tantangan di atas
menunjukkan bahwa justifikasi bukan hanya soal menemukan alasan bagi keyakinan,
tetapi juga soal menghindari kebenaran kebetulan, rantai argumentasi yang tak
berujung, dan pembenaran yang memutar. Paradoks-paradoks ini menjadi indikator
bahwa epistemologi harus terus berevolusi dengan memperhatikan konteks
psikologis, sosial, dan praktis dari aktivitas mengetahui.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Susan Haack, epistemologi yang baik adalah “bukan hanya teori pembenaran,
tetapi teori praktik rasionalitas.”7 Oleh karena itu, tantangan
terhadap justifikasi harus dilihat bukan sebagai hambatan akhir, melainkan
sebagai pemacu untuk memperhalus kerangka berpikir epistemik kita.
Footnotes
[1]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[2]
Robert K. Shope, The Analysis of Knowing: A Decade of Research
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1983), 15–20.
[3]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 15–19.
[4]
Peter D. Klein, “Human Knowledge and the Infinite Regress of Reasons,” Philosophical
Perspectives 13 (1999): 297–325.
[5]
William Alston, “Epistemic Circularity,” Philosophy and
Phenomenological Research 47, no. 1 (1986): 1–30.
[6]
Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 191–198.
[7]
Susan Haack, Evidence and Inquiry: Toward Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 5.
6.
Model-Model Modern Justifikasi
Perkembangan filsafat
epistemologi pada abad ke-20 hingga abad ke-21 memperlihatkan adanya
diversifikasi model-model justifikasi yang melampaui kerangka klasik seperti fideisme,
foundsionalisme, atau koherensialisme tradisional.
Model-model ini tidak hanya merefleksikan kemajuan konseptual, tetapi juga
respons terhadap tantangan praktis dalam ranah sosial, kognitif, dan teknologi.
Dalam bagian ini, akan dibahas beberapa model modern justifikasi, meliputi epistemologi
kebajikan, epistemologi sosial, serta epistemologi
dalam konteks digital dan era post-truth.
6.1.
Epistemologi
Kebajikan (Virtue Epistemology)
Epistemologi kebajikan
(virtue epistemology) merupakan pendekatan yang mengaitkan justifikasi dengan
kualitas karakter intelektual dari agen epistemik. Dalam pandangan ini,
keyakinan dianggap dibenarkan jika terbentuk melalui penggunaan kebajikan
intelektual seperti ketekunan, keterbukaan, integritas, dan kehati-hatian.
Linda Zagzebski adalah salah satu tokoh sentral dalam pendekatan ini, yang
menyatakan bahwa kebajikan intelektual serupa dengan kebajikan moral, dalam
arti bahwa keduanya mencerminkan kecakapan agen dalam mencapai tujuan
epistemiknya, yaitu kebenaran1.
Model ini memberikan dimensi
normatif pada justifikasi: seseorang tidak hanya perlu memiliki proses kognitif
yang andal, tetapi juga harus menjadi subjek yang bertanggung jawab secara
epistemik. Dengan demikian, epistemologi kebajikan menjembatani antara reliabilisme
eksternal dan tuntutan internal atas kontrol atau kesadaran agen terhadap
proses berpikirnya2.
6.2.
Epistemologi Sosial:
Justifikasi Melalui Testimoni dan Struktur Sosial
Epistemologi sosial (social
epistemology) menyoroti dimensi kolektif dalam pembentukan keyakinan. Menurut
model ini, justifikasi tidak selalu bersifat individual dan soliter, tetapi
sangat dipengaruhi oleh praktik sosial, otoritas pengetahuan, dan institusi
epistemik seperti media, pendidikan, atau komunitas ilmiah. Miranda Fricker,
dalam karyanya tentang epistemic injustice, menunjukkan bahwa relasi
kuasa dan ketidaksetaraan sosial dapat mengganggu proses justifikasi, terutama
dalam bentuk testimonial injustice dan hermeneutical injustice3.
Pendekatan ini menekankan
pentingnya keadilan epistemik: siapa yang diakui sebagai sumber pengetahuan
yang sah, dan bagaimana struktur sosial dapat mendukung atau menghambat akses
seseorang terhadap justifikasi yang valid. Justifikasi, dalam model ini,
menjadi fungsi dari interaksi sosial dan konteks budaya, bukan sekadar
rasionalitas individual4.
6.3.
Kontekstualisme:
Relativitas Standar Justifikasi
Kontekstualisme epistemik
berpendapat bahwa standar justifikasi bersifat relatif terhadap konteks
percakapan atau situasi praktis. Sebuah keyakinan bisa dibenarkan dalam konteks
informal sehari-hari, namun mungkin tidak cukup dibenarkan dalam konteks ilmiah
atau hukum. David Lewis dan Stewart Cohen mengembangkan pendekatan ini untuk
menjelaskan perbedaan standar bukti dan tuntutan pembenaran dalam situasi yang
berbeda5.
Model ini memiliki implikasi
penting bagi kehidupan praktis: dalam dunia nyata, justifikasi bukanlah entitas
absolut, tetapi bergantung pada kepentingan praktis, risiko kesalahan, dan
relevansi informasi dalam konteks tertentu. Kontekstualisme juga menjadi
respons terhadap skeptisisme epistemik, dengan cara menurunkan tuntutan
pembenaran dalam situasi biasa tanpa mengorbankan keabsahan pengetahuan.
6.4.
Justifikasi dalam
Era Digital dan Post-Truth
Perkembangan teknologi
informasi dan media digital telah mengubah lanskap epistemologi kontemporer.
Banjir informasi, algoritma personalisasi, dan penyebaran disinformasi
memunculkan tantangan baru terhadap justifikasi. Dalam konteks ini, keandalan
sumber dan otoritas epistemik menjadi kabur, sementara kecepatan dan viralitas
sering kali menggantikan ketepatan sebagai kriteria kebenaran.
Model-model justifikasi dalam
era digital menuntut kemampuan epistemic vigilance (kewaspadaan
epistemik), yaitu keterampilan untuk menyaring, mengevaluasi, dan mengonfirmasi
informasi sebelum diterima sebagai keyakinan yang sahih6. Selain
itu, muncul pula kebutuhan untuk memperkuat collective epistemic
responsibility dalam ruang publik digital.
Teknologi kecerdasan buatan
(AI) juga menghadirkan dilema epistemik baru: bagaimana kita dapat membenarkan
keyakinan yang dihasilkan oleh sistem otomatis yang tidak sepenuhnya transparan?
Masalah explainability dalam AI memunculkan diskusi baru seputar
keabsahan pembenaran epistemik yang bersifat non-human7.
Refleksi Konseptual
Model-model modern ini
memperluas horizon epistemologi dengan menekankan bahwa justifikasi bukanlah
semata-mata proses individual berbasis logika atau kognisi, melainkan juga
bersifat etis, sosial, dan teknologis. Ini menunjukkan bahwa epistemologi
kontemporer bergerak dari paradigma “pengetahuan sebagai properti individu
rasional” menuju “pengetahuan sebagai hasil interaksi multi-dimensi
dalam konteks dunia nyata”.
Dengan demikian, memahami
model-model justifikasi modern membantu kita bukan hanya dalam menjawab
pertanyaan tentang “bagaimana kita mengetahui sesuatu?”, tetapi juga “bagaimana
kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita klaim sebagai pengetahuan”.
Footnotes
[1]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 14–17.
[2]
Jason Baehr, The Inquiring Mind: On Intellectual Virtues and Virtue
Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 2011), 56–61.
[3]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[4]
Alvin Goldman, “Social Epistemology,” in Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/.
[5]
David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian Journal of
Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567; Stewart Cohen, “Contextualism and
Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–107.
[6]
Dan Sperber et al., “Epistemic Vigilance,” Mind & Language
25, no. 4 (2010): 359–393.
[7]
Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the
Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.
7.
Implikasi Filosofis dan Praktis Konsep
Justifikasi
Konsep justifikasi dalam
epistemologi tidak hanya memiliki nilai teoretis dalam ranah filsafat, tetapi
juga membawa dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Dari
pengembangan ilmu pengetahuan hingga diskursus politik dan hukum, dari
pendidikan hingga dinamika media digital, pemahaman yang tepat tentang
justifikasi menentukan sejauh mana kita mampu membedakan antara informasi yang
sah dan keyakinan yang menyesatkan. Oleh karena itu, mengkaji implikasi
filosofis dan praktis dari justifikasi berarti mengkaji fondasi bagi penalaran
rasional, tanggung jawab intelektual, dan etika komunikasi dalam masyarakat.
7.1.
Implikasi Filosofis:
Epistemologi sebagai Landasan Rasionalitas
Secara filosofis, justifikasi
adalah titik temu antara kepercayaan dan kebenaran. Ini menjadikan justifikasi
sebagai konsep sentral dalam setiap teori rasionalitas, baik dalam konteks
metafisika, etika, maupun filsafat ilmu. Dengan menekankan pentingnya
dasar-dasar keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan, epistemologi menolak
relativisme mutlak dan skeptisisme ekstrem yang membahayakan kemungkinan
pengetahuan objektif1.
Misalnya, dalam debat antara
rasionalisme dan empirisme, justifikasi berperan sebagai kriteria penilaian
terhadap validitas pengalaman atau intuisi intelektual sebagai sumber
pengetahuan. Begitu pula dalam diskursus metaetika, kemampuan membenarkan klaim
moral menjadi penting untuk mempertahankan status objektivitas nilai.
Justifikasi juga menjadi dasar evaluasi terhadap teori-teori kebenaran seperti
korespondensi, koherensi, atau pragmatisme epistemik, yang semuanya bergantung
pada kerangka pembenaran tertentu2.
Di sisi lain, gagasan bahwa
justifikasi berkaitan erat dengan tanggung jawab epistemik (epistemic
responsibility) menunjukkan adanya etika dalam berpikir: seseorang tidak
seharusnya percaya pada sesuatu tanpa bukti yang memadai atau alasan yang
tepat. Seperti ditegaskan oleh Clifford, “It is wrong always, everywhere,
and for anyone, to believe anything upon insufficient evidence.”3
7.2.
Implikasi dalam Ilmu
Pengetahuan dan Pendidikan
Dalam bidang ilmu
pengetahuan, justifikasi berfungsi sebagai standar utama bagi metodologi
ilmiah. Suatu hipotesis dianggap sahih jika dapat dibenarkan melalui observasi,
eksperimen, dan argumen logis. Konsep ini memperkuat prinsip falsifiabilitas
dalam sains modern seperti yang diusulkan oleh Karl Popper, yang menyatakan
bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan dibantah secara rasional4.
Lebih lanjut, dalam dunia
pendidikan, pemahaman tentang justifikasi menjadi kunci dalam membentuk
literasi kritis peserta didik. Pendekatan pedagogis berbasis critical
thinking dan inquiry-based learning mengajarkan bahwa setiap
klaim harus didukung dengan bukti dan alasan yang dapat diverifikasi. Hal ini
penting dalam menanggulangi penyebaran misinformasi dan hoaks, serta mendorong
pembentukan budaya akademik yang sehat dan terbuka terhadap dialog berbasis
alasan5.
7.3.
Implikasi Sosial dan
Politik: Justifikasi sebagai Etika Diskursus
Dalam kehidupan sosial dan
politik, justifikasi memainkan peran penting dalam membangun komunikasi yang
rasional dan demokratis. Dalam ruang publik deliberatif, argumen yang dapat
dibenarkan menjadi landasan bagi legitimasi kebijakan, debat publik, dan proses
hukum. John Rawls, dalam teori keadilan politiknya, mengembangkan gagasan public
reason yang mengharuskan setiap klaim politik dapat dibenarkan di hadapan
warga negara yang rasional dan setara6.
Sebaliknya, jika suatu sistem
sosial mengabaikan pentingnya justifikasi, maka ruang publik akan rentan
terhadap manipulasi, demagogi, dan propaganda. Hal ini terlihat jelas dalam
fenomena post-truth politics, di mana fakta digantikan oleh emosi atau
opini populer tanpa dasar rasional yang memadai. Justifikasi, dalam konteks
ini, menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan integritas informasi dan
rasionalitas kebijakan publik7.
7.4.
Implikasi dalam Era
Digital: Literasi Epistemik dan Kepercayaan Publik
Di era digital, konsep
justifikasi menjadi semakin vital karena informasi tersebar luas dan cepat,
namun tidak selalu diverifikasi. Platform media sosial dan algoritma mesin
pencari cenderung memperkuat confirmation bias, yaitu kecenderungan
menerima informasi yang selaras dengan keyakinan awal tanpa proses justifikasi
yang kritis. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi
informasi dan meningkatnya polarisasi sosial8.
Untuk itu, penting
dikembangkan bentuk literasi epistemik yang mengajarkan bagaimana cara
mengevaluasi klaim pengetahuan berdasarkan kualitas sumber, kekuatan bukti, dan
koherensi logis. Selain itu, justifikasi juga harus diterapkan dalam desain
sistem informasi—misalnya, dengan menerapkan prinsip algorithmic
transparency dan explainability dalam kecerdasan buatan, agar
keputusan digital dapat ditelusuri dan dibenarkan secara etis9.
Refleksi Akhir
Dengan memperhatikan seluruh
implikasinya, konsep justifikasi tidak hanya relevan dalam debat filsafat
murni, tetapi juga menyentuh sendi-sendi kehidupan praktis masyarakat modern.
Ia menjadi ukuran bagi tanggung jawab intelektual, kualitas diskursus publik,
integritas ilmiah, serta keberdayaan warga negara dalam menavigasi kompleksitas
informasi. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip justifikasi berarti membela
nalar di tengah dunia yang kerap diguncang oleh kebisingan, emosi, dan
relativisme.
Footnotes
[1]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 12–15.
[2]
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of
Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1989), 80–84.
[3]
W.K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in The Ethics of Belief and
Other Essays, ed. Timothy Madigan (Amherst, NY: Prometheus Books, 1999),
70.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from
German (New York: Routledge, 2002), 18–23.
[5]
Matthew Lipman, Thinking in Education (Cambridge: Cambridge
University Press, 2003), 45–49.
[6]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 212–254.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 41–59.
[8]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 88–93.
[9]
Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the
Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.
8.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai
justifikasi sebagai elemen kunci dalam epistemologi telah memperlihatkan bahwa
pengetahuan bukan hanya soal memiliki keyakinan yang benar, melainkan soal
memiliki alasan yang sah untuk mempercayai kebenaran tersebut. Justifikasi
menghubungkan antara kognisi dan realitas, antara subjektivitas agen epistemik
dan objektivitas dunia luar. Oleh karena itu, konsep ini tidak hanya menjadi
kerangka normatif dalam filsafat pengetahuan, tetapi juga menjadi instrumen
kritis dalam menilai kualitas keyakinan di berbagai ranah kehidupan.
Sejak Plato pertama kali
merumuskan pengetahuan sebagai justified true belief, gagasan
justifikasi telah mengalami perkembangan yang luas, mencakup berbagai
pendekatan seperti fundasionalisme, koherensialisme, internalisme,
eksternalisme, hingga model-model modern seperti epistemologi kebajikan,
sosial, dan kontekstual1. Masing-masing model ini menawarkan cara
berbeda dalam memahami syarat-syarat pembenaran keyakinan, sekaligus merespons
tantangan yang dihadirkan oleh paradoks seperti Gettier problem, infinite
regress, dan epistemic circularity2.
Justifikasi juga tidak bisa
dipisahkan dari aspek moral dan sosial pengetahuan. Tanggung jawab epistemik
menjadi kunci dalam membangun budaya berpikir yang sehat dan etis, baik dalam
dunia akademik, hukum, maupun kehidupan publik. Dalam dunia yang semakin
terhubung dan kompleks secara informasi, kemampuan untuk menjustifikasi suatu
keyakinan dengan alasan yang valid menjadi lebih penting daripada sebelumnya.
Sebagaimana ditekankan oleh Robert Audi, justifikasi bukan hanya komponen
pengetahuan, melainkan syarat normatif untuk percaya secara rasional3.
Selain itu, perkembangan
teknologi informasi dan fenomena post-truth telah memunculkan
kebutuhan baru akan bentuk-bentuk literasi epistemik yang lebih tangguh. Di
sinilah relevansi konsep justifikasi semakin tampak: sebagai alat untuk menilai
keabsahan sumber, mengevaluasi bukti, dan membangun epistemic trust
dalam masyarakat yang plural dan terbuka.
Dengan demikian, justifikasi
bukan sekadar tema abstrak dalam filsafat, melainkan fondasi praktis bagi
pertanggungjawaban kognitif manusia. Ia adalah benteng terhadap dogmatisme,
pelindung terhadap manipulasi, dan dasar bagi rasionalitas kolektif. Menakar
kebenaran melalui justifikasi berarti berkomitmen pada pencarian pengetahuan
yang tidak hanya benar, tetapi juga adil, etis, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 75–110.
[2]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123; Peter D. Klein, “Human Knowledge and the Infinite
Regress of Reasons,” Philosophical Perspectives 13 (1999): 297–325.
[3]
Robert Audi, Epistemology, 78–79.
Daftar Pustaka
Alston, W. P. (1989). Epistemic
justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University
Press.
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Baehr, J. (2011). The
inquiring mind: On intellectual virtues and virtue epistemology. Oxford
University Press.
BonJour, L. (1985). The
structure of empirical knowledge. Harvard University Press.
Clifford, W. K. (1999). The
ethics of belief. In T. Madigan (Ed.), The ethics of belief and other
essays (pp. 70–96). Prometheus Books. (Original work published 1877)
Cohen, S. (2000).
Contextualism and skepticism. Philosophical Issues, 10, 94–107. https://doi.org/10.2307/1522824
Davidson, D. (1984). Inquiries
into truth and interpretation. Clarendon Press.
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Fricker, M. (2007). Epistemic
injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Gettier, E. L. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Harvard University Press.
Goldman, A. I. (2020).
Social epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Fall 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/entries/epistemology-social/
Haack, S. (1993). Evidence
and inquiry: Toward reconstruction in epistemology. Blackwell.
Hume, D. (2000). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press. (Original work published 1748)
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1781/1787)
Kierkegaard, S. (1985). Fear
and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Original work published
1843)
Klein, P. D. (1999). Human
knowledge and the infinite regress of reasons. Philosophical Perspectives,
13, 297–325.
Lehrer, K. (1990). Theory
of knowledge (2nd ed.). Westview Press.
Lewis, D. (1996). Elusive
knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347521
Lipman, M. (2003). Thinking
in education (2nd ed.). Cambridge University Press.
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon
Press. (Original work published 1689)
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Mittelstadt, B. D., Allo,
P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of
algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679
Moser, P. K. (1989). Knowledge
and evidence. Cambridge University Press.
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing. (Original work
ca. 369 BCE)
Plantinga, A. (1993). Warrant
and proper function. Oxford University Press.
Popper, K. (2002). The
logic of scientific discovery (Rev. ed.). Routledge. (Original work
published 1935)
Rawls, J. (1993). Political
liberalism. Columbia University Press.
Shope, R. K. (1983). The
analysis of knowing: A decade of research. Princeton University Press.
Sperber, D., Clément, F.,
Heintz, C., Mascaro, O., Mercier, H., Origgi, G., & Wilson, D. (2010).
Epistemic vigilance. Mind & Language, 25(4), 359–393. https://doi.org/10.1111/j.1468-0017.2010.01394.x
Steup, M. (2020).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Spring 2020 ed.). https://plato.stanford.edu/archives/spr2020/entries/epistemology/
Sunstein, C. R. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Zagzebski, L. (1996). Virtues
of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations
of knowledge. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar