Senin, 01 September 2025

Bahasa Indonesia Filsafat: Telaah Linguistik, Epistemologis, dan Konseptual

Bahasa Indonesia Filsafat

Telaah Linguistik, Epistemologis, dan Konseptual


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.

Diksi Filosofis Asing, Akhiran -is dan -isme, Kajian Etimologis dan Terminologis, Esoteris dan Eksoteris dalam Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas kekhasan bahasa Indonesia sebagai medium filsafat dengan menelaah aspek linguistik, epistemologis, dan konseptual. Bahasa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bahasa filsafat karena struktur morfologisnya yang aglutinatif, sintaksisnya yang fleksibel, serta semantiknya yang kaya akan polisemi. Karakteristik ini memungkinkan penciptaan istilah abstrak seperti keberadaan atau kesadaran-diri, sekaligus mengakomodasi konsep-konsep filosofis dari luar. Sejarah perkembangan terminologi filsafat menunjukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan hasil sintesis dari berbagai pengaruh, termasuk istilah Arab (hikmah, akal, ilmu), Belanda (substansi, rasionalisme), dan Inggris (eksistensi, idealisme). Namun, problematika tetap muncul berupa keterbatasan kosakata, ambiguitas terjemahan, dominasi bahasa asing, serta inkonsistensi terminologis dalam wacana akademis.

Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan strategi pengembangan melalui penerjemahan kreatif, kreasi istilah baru, keterlibatan akademisi dan institusi bahasa, serta upaya internasionalisasi. Studi kasus atas istilah “ada/keberadaan,” “akal,” “budi,” serta “ilmu/pengetahuan” menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak sekadar penerima pasif, melainkan mampu melahirkan horizon konseptual khas. Refleksi filosofis menegaskan bahwa bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai medium dekolonisasi pengetahuan dan sarana membangun identitas intelektual bangsa. Dengan demikian, bahasa Indonesia memiliki relevansi kontemporer yang signifikan, baik dalam memperkuat literasi filsafat di tingkat nasional maupun dalam menawarkan perspektif baru pada percakapan filosofis global.

Kata kunci: bahasa Indonesia, filsafat, linguistik, epistemologi, terminologi, dekolonisasi pengetahuan.


PEMBAHASAN

Diksi Bahasa Indonesia untuk Filsafat


1.            Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan medium utama bagi manusia untuk berpikir, menalar, dan mengkomunikasikan gagasan. Dalam konteks filsafat, bahasa tidak hanya dipahami sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai wadah konseptual yang membentuk struktur pemikiran itu sendiri. Ludwig Wittgenstein, misalnya, menekankan bahwa batas-batas bahasa adalah batas-batas dunia kita, sehingga apa yang dapat kita pikirkan sekaligus ditentukan oleh apa yang dapat kita ungkapkan melalui bahasa.¹ Dengan demikian, bahasa bukan hanya sarana eksternal, melainkan juga instrumen internal yang menentukan horizon pemikiran manusia.

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa ilmu, memiliki posisi yang unik dalam mengartikulasikan filsafat. Di satu sisi, bahasa Indonesia bersifat aglutinatif dan relatif sederhana dalam sistem gramatikanya, sehingga fleksibel untuk menyerap berbagai istilah asing. Namun, di sisi lain, bahasa ini menghadapi tantangan dalam menjangkau kompleksitas konseptual filsafat Barat maupun Timur yang kaya akan terminologi khusus.² Misalnya, istilah being dalam bahasa Inggris atau Sein dalam bahasa Jerman, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seringkali hanya disamakan dengan “ada” atau “keberadaan”, padahal secara filosofis kedua istilah tersebut memiliki nuansa makna yang lebih kompleks.³

Kekhasan bahasa Indonesia dalam filsafat menjadi semakin penting untuk dikaji di tengah perkembangan pemikiran global. Dengan semakin luasnya akses terhadap karya-karya filsafat dunia, baik dari tradisi Barat, Islam, maupun Asia Timur, kebutuhan untuk menemukan padanan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia menjadi mendesak. Kegagalan dalam menemukan padanan yang akurat berpotensi menimbulkan ambiguitas, bahkan kesalahpahaman dalam memahami filsafat. Oleh karena itu, telaah yang mendalam tentang kekhasan bahasa Indonesia untuk filsafat diperlukan guna memperkuat kapasitas bahasa ini sebagai bahasa ilmu dan refleksi filosofis.

1.2.        Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan pokok:

1)             Apa yang menjadi kekhasan linguistik bahasa Indonesia sehingga dapat digunakan sebagai medium filsafat?

2)             Bagaimana bahasa Indonesia mengadaptasi dan mengembangkan istilah-istilah filsafat yang berasal dari tradisi asing?

3)             Sejauh mana bahasa Indonesia dapat menciptakan horizon konseptual baru yang khas dalam diskursus filsafat?

Rumusan masalah ini sekaligus menjadi pijakan untuk mengidentifikasi potensi dan keterbatasan bahasa Indonesia dalam ranah filsafat, baik secara linguistik maupun epistemologis.

1.3.        Tujuan dan Manfaat Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

1)             Menganalisis struktur linguistik bahasa Indonesia yang memungkinkan (atau justru membatasi) ekspresi filosofis.

2)             Menelusuri sejarah perkembangan istilah filsafat dalam bahasa Indonesia, baik yang berasal dari serapan Arab, Belanda, Inggris, maupun dari penciptaan istilah asli.

3)             Mengevaluasi problematika penerjemahan istilah-istilah kunci filsafat yang kompleks.

4)             Menawarkan refleksi tentang potensi bahasa Indonesia sebagai medium filsafat yang mandiri dan relevan secara global.

Manfaat penelitian ini diharapkan tidak hanya bersifat akademis, melainkan juga praktis. Secara akademis, artikel ini dapat memperkaya kajian filsafat bahasa dalam konteks Indonesia. Secara praktis, ia dapat membantu pengajar, mahasiswa, penerjemah, dan penulis filsafat dalam mengembangkan istilah serta memperluas kosakata filsafat yang lebih tepat dan kontekstual.

1.4.        Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan multidisipliner dengan empat kerangka utama. Pertama, pendekatan linguistik untuk menelaah struktur morfologi, sintaksis, dan semantik bahasa Indonesia. Kedua, pendekatan historis untuk menelusuri masuknya istilah-istilah filsafat dari luar ke dalam bahasa Indonesia, baik melalui jalur penerjemahan Arab maupun kolonial Eropa. Ketiga, pendekatan epistemologis untuk menilai sejauh mana bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai medium berpikir filosofis. Keempat, pendekatan hermeneutika bahasa untuk memahami dinamika penafsiran istilah filsafat dalam konteks Indonesia.

Dengan kerangka ini, diharapkan pembahasan tidak hanya deskriptif, melainkan juga analitis dan reflektif. Kajian akan menimbang tidak saja sisi linguistik bahasa Indonesia, tetapi juga implikasinya bagi pengembangan filsafat di Indonesia.

1.5.        Signifikansi Kajian

Penelitian ini signifikan karena menyentuh persoalan mendasar tentang hubungan antara bahasa, budaya, dan filsafat. Bahasa Indonesia tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga refleksi dari worldview bangsa. Dengan memahami kekhasan bahasa Indonesia untuk filsafat, kita dapat menyingkap bagaimana filsafat berkembang, diterjemahkan, bahkan dimodifikasi sesuai dengan konteks budaya lokal. Kajian ini pada akhirnya diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap penguatan epistemologi khas Indonesia, sekaligus membuka ruang bagi bahasa Indonesia untuk tampil sebagai bahasa filsafat yang diperhitungkan di ranah internasional.


Footnotes

[1]            ¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (London: Routledge, 1922), 68.

[2]            ² Anton Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 15.

[3]            ³ K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2001), 34.


2.            Landasan Teoretis

2.1.        Teori Bahasa dan Filsafat

Hubungan antara bahasa dan filsafat telah lama menjadi pokok perhatian para pemikir. Filsafat bahasa, sebagai salah satu cabang filsafat, menelaah peran bahasa dalam membentuk realitas, berpikir, dan komunikasi manusia. Ferdinand de Saussure menekankan struktur bahasa melalui distingsi langue (sistem bahasa) dan parole (pemakaian bahasa), yang menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sistem tanda yang membentuk makna.¹ Wittgenstein, pada gilirannya, dalam Philosophical Investigations menekankan konsep “permainan bahasa” (language games) yang memperlihatkan bahwa makna suatu istilah filosofis tidak dapat dilepaskan dari konteks penggunaannya.²

Heidegger melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa bahasa adalah “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins), sehingga filsafat tidak mungkin dilepaskan dari bahasa yang menjadi wadah artikulasinya.³ Hal ini menegaskan bahwa bahasa tidak hanya sekadar sarana eksternal, melainkan fondasi ontologis bagi pemahaman realitas. Dengan demikian, kajian tentang kekhasan bahasa Indonesia dalam filsafat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman filsafat bahasa secara umum, karena istilah-istilah yang dipakai dalam filsafat akan menentukan cara manusia Indonesia memahami dan menafsirkan realitas.

2.2.        Teori Linguistik dan Semantik

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia memiliki ciri khas sebagai bahasa aglutinatif dengan sistem morfologi yang relatif sederhana. Imbuhan-imbuhan seperti ke-...-an, per-...-an, dan ber- memungkinkan pembentukan istilah abstrak yang relevan dengan filsafat, misalnya keberadaan, pengetahuan, dan pemikiran.⁴ Struktur morfologis ini memberi fleksibilitas dalam menciptakan kosakata baru untuk mengakomodasi konsep-konsep asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam semantik, bahasa Indonesia cenderung mengandalkan makna kontekstual yang terbuka, sehingga istilah filosofis sering memiliki ruang interpretasi yang lebih luas. Hal ini dapat dipandang sebagai keunggulan sekaligus keterbatasan. Misalnya, kata “akal” dapat merujuk pada reason, intellect, atau mind, tergantung konteks penggunaannya.⁵ Sifat polisemi ini memungkinkan kreativitas konseptual, tetapi juga menimbulkan risiko ambiguitas.

Kajian semantik konseptual menyoroti bahwa bahasa membentuk kategori pemikiran tertentu. George Lakoff dan Mark Johnson, misalnya, menjelaskan melalui teori metafora konseptual bahwa cara kita berbahasa membentuk cara kita memahami dunia.⁶ Dalam konteks bahasa Indonesia, metafora seperti “cahaya ilmu” atau “jalan kebenaran” tidak hanya berfungsi sebagai gaya bahasa, tetapi juga membentuk horizon epistemologis khas yang berbeda dengan istilah serupa dalam bahasa Barat.

2.3.        Bahasa Indonesia dalam Perspektif Filsafat Bahasa

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa modern yang relatif muda, berkembang di tengah pertemuan budaya Nusantara, Islam, dan Barat. Pengaruh Arab, Belanda, dan Inggris sangat kentara dalam perkembangan terminologi filsafat. Kata-kata seperti “hakikat,” “akal,” dan “hikmah” berasal dari tradisi Arab-Islam, sementara istilah seperti “substansi,” “realitas,” dan “eksistensi” banyak dipinjam dari bahasa Belanda atau Inggris.⁷ Perpaduan ini menjadikan bahasa Indonesia sebuah bahasa yang bersifat hibrid, yang menyerap unsur-unsur luar sekaligus menyesuaikannya dengan struktur linguistik lokal.

Dalam filsafat bahasa, ciri khas ini menimbulkan konsekuensi epistemologis. Bahasa Indonesia berfungsi bukan hanya sebagai penerjemah gagasan asing, tetapi juga sebagai wahana pembentukan horizon konseptual baru. Paul Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika bahasa dalam memahami teks, di mana penerjemahan bukan hanya sekadar alih kata, melainkan juga proses penciptaan makna baru.⁸ Dengan demikian, ketika istilah seperti being diterjemahkan menjadi “ada” atau “keberadaan,” hal itu bukan sekadar transformasi linguistik, melainkan juga pembentukan horizon makna khas Indonesia.

Kekhasan bahasa Indonesia untuk filsafat terletak pada kemampuan adaptasinya yang tinggi, sifat fleksibel dalam pembentukan istilah, serta kekayaan kosakata serapan yang dipadukan dengan keaslian struktur bahasa. Akan tetapi, potensi ini harus dipahami secara kritis, karena keunggulan fleksibilitas juga bisa menjadi kelemahan apabila tidak diiringi dengan ketelitian konseptual. Oleh karena itu, landasan teoretis yang kuat dalam linguistik, semantik, dan filsafat bahasa sangat diperlukan untuk menganalisis dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat yang mampu berdialog dengan tradisi global tanpa kehilangan kekhasan lokalnya.


Footnotes

[1]            ¹ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, ed. Charles Bally and Albert Sechehaye (Chicago: Open Court, 1986), 9–14.

[2]            ² Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[3]            ³ Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 239.

[4]            ⁴ Anton M. Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 42.

[5]            ⁵ Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 21.

[6]            ⁶ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.

[7]            ⁷ K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2001), 12.

[8]            ⁸ Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen Brennan (London: Routledge, 2006), 5–6.


3.            Sejarah Perkembangan Terminologi Filsafat dalam Bahasa Indonesia

3.1.        Jejak Awal Penerjemahan Teks Filsafat di Indonesia

Sejarah perkembangan terminologi filsafat dalam bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari proses panjang perjumpaan budaya, agama, dan kolonialisme. Sebelum hadirnya istilah “filsafat” dalam wacana akademik modern, tradisi intelektual Nusantara telah mengenal konsep-konsep filosofis melalui interaksi dengan kebudayaan Hindu-Buddha, yang membawa istilah seperti dharma, karma, dan moksha.¹ Dalam perkembangan berikutnya, masuknya Islam melalui jaringan ulama dari Timur Tengah memperkenalkan istilah-istilah baru yang berasal dari bahasa Arab, seperti hikmah, akal, ilmu, dan hakikat.² Istilah-istilah ini bukan sekadar serapan, melainkan juga mengalami penyesuaian makna sesuai dengan konteks budaya lokal.

Pada masa kolonial Belanda, muncul lapisan baru dalam kosakata filsafat. Melalui jalur pendidikan kolonial, masyarakat Indonesia mengenal istilah filsafat Barat seperti substansi, realitas, rasionalisme, dan empirisme.³ Istilah-istilah tersebut sebagian besar masuk melalui bahasa Belanda, yang pada gilirannya dipadukan dengan istilah Arab yang sudah mapan. Dengan demikian, sejak awal perkembangan filsafat di Indonesia bersifat hibrid, yakni hasil akulturasi antara tradisi Timur dan Barat.

3.2.        Peran Tokoh dan Institusi

Perkembangan terminologi filsafat di Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh intelektual dan institusi pendidikan. Pada awal abad ke-20, sejumlah sarjana dan cendekiawan mulai memperkenalkan filsafat dalam bahasa Indonesia melalui karya terjemahan maupun tulisan asli. Harun Nasution, misalnya, dalam karya Falsafat Agama berusaha menjelaskan filsafat agama dengan memadukan istilah Arab-Islam dengan istilah Barat.⁴ Sementara itu, Nicolaus Driyarkara menekankan pentingnya penciptaan istilah yang sesuai dengan konteks lokal dalam mengajar filsafat di perguruan tinggi.⁵

Institusi pendidikan tinggi juga memiliki andil besar dalam membakukan terminologi filsafat. Program studi filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menjadi laboratorium akademis untuk mengembangkan kosakata filsafat yang sistematis. Selain itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) turut memberikan legitimasi bagi istilah-istilah filosofis tertentu dengan memasukkannya ke dalam kamus standar.⁶

3.3.        Evolusi Istilah Filsafat

Istilah “filsafat” sendiri merupakan adaptasi dari kata Arab falsafah, yang berakar dari bahasa Yunani philosophia.⁷ Proses ini menunjukkan adanya transformasi lintas bahasa dan budaya yang panjang sebelum akhirnya diterima dalam bahasa Indonesia. Serapan dari Arab, seperti akal, hikmah, dan hakikat, menjadi istilah kunci dalam pemikiran filsafat Islam di Indonesia, sementara pengaruh Belanda dan Inggris menghadirkan istilah seperti eksistensi, substansi, dan idealisme.⁸

Seiring perkembangan akademik, muncul pula upaya untuk menciptakan neologisme dalam bahasa Indonesia, seperti kesadaran-diri untuk menerjemahkan self-consciousness, atau keberadaan untuk existence. Namun, upaya ini tidak selalu konsisten dan sering kali menimbulkan perdebatan tentang keakuratan makna. Misalnya, istilah reason bisa diterjemahkan sebagai “rasio” atau “akal budi,” tergantung pada konteks dan preferensi penerjemah.⁹

Dengan demikian, sejarah terminologi filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan proses yang dinamis dan terbuka. Ia melibatkan penerjemahan, penyerapan, adaptasi, dan penciptaan istilah baru. Keunikan ini justru menjadi kekuatan sekaligus tantangan bagi pengembangan filsafat dalam konteks Indonesia. Di satu sisi, kekayaan serapan menciptakan fleksibilitas bahasa; di sisi lain, ia menimbulkan persoalan konsistensi terminologi yang berimplikasi pada kejelasan konseptual.


Footnotes

[1]            ¹ Zoetmulder, P. J., Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1983), 45.

[2]            ² Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 12.

[3]            ³ K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1981), 7.

[4]            ⁴ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 20.

[5]            ⁵ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 55.

[6]            ⁶ Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

[7]            ⁷ Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 9.

[8]            ⁸ Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 14.

[9]            ⁹ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 23.


4.            Kekhasan Linguistik Bahasa Indonesia untuk Filsafat

4.1.        Struktur Morfologi

Bahasa Indonesia memiliki ciri khas morfologis yang bersifat aglutinatif, di mana imbuhan dapat ditambahkan pada kata dasar untuk menghasilkan istilah baru dengan makna yang lebih abstrak. Dalam filsafat, kemampuan ini sangat penting karena memungkinkan pembentukan istilah yang kompleks dari kata dasar sederhana. Misalnya, kata “ada” dapat berkembang menjadi “keberadaan” melalui penambahan afiks ke-...-an, yang merepresentasikan konsep abstrak tentang eksistensi.¹ Demikian pula, kata “tahu” melalui proses morfologis dapat menjadi “pengetahuan,” sebuah istilah yang fundamental dalam epistemologi.²

Kemampuan morfologis ini membuat bahasa Indonesia relatif fleksibel dalam mengakomodasi konsep filsafat yang abstrak tanpa harus selalu bergantung pada serapan asing. Namun, fleksibilitas ini juga menuntut konsistensi akademik dalam pemakaiannya, agar istilah yang dibentuk tidak kehilangan ketepatan makna filosofisnya.³

4.2.        Sintaksis dan Pola Kalimat

Sintaksis bahasa Indonesia ditandai dengan struktur kalimat yang relatif sederhana dan fleksibel, terutama dalam pola Subjek-Predikat-Objek (SPO).⁴ Fleksibilitas ini memberikan ruang bagi pengungkapan gagasan filosofis dalam berbagai bentuk kalimat, baik deklaratif, interrogatif, maupun reflektif. Dalam filsafat, kemampuan untuk mengatur ulang struktur kalimat memungkinkan penyajian argumen secara berlapis, misalnya dalam membedakan antara proposisi analitik dan sintetik atau antara penjelasan ontologis dan epistemologis.

Namun, kesederhanaan ini juga membawa tantangan. Tidak semua konsep filsafat yang kompleks dapat diartikulasikan dengan baik melalui struktur kalimat yang relatif linear. Sebagai contoh, konsep Kantian tentang das Ding an sich sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tanpa kehilangan kedalaman makna, karena struktur bahasa Indonesia cenderung menuntut kejelasan relasi subjek dan predikat yang lugas.⁵

4.3.        Semantik dan Polisemi

Bahasa Indonesia juga memiliki karakteristik semantik yang kaya akan polisemi. Banyak kata yang memiliki makna berlapis dan berbeda tergantung konteks penggunaannya. Hal ini dapat menjadi keuntungan sekaligus tantangan dalam filsafat. Misalnya, kata “akal” dapat bermakna reason, intellect, atau bahkan mind, tergantung pada konteks wacana yang digunakan.⁶ Kekayaan makna ini memberi fleksibilitas dalam menciptakan horizon filosofis yang khas, namun juga berpotensi menimbulkan ambiguitas konseptual apabila tidak diiringi dengan penjelasan terminologis yang jelas.

Contoh lain dapat ditemukan pada kata “budi.” Dalam tradisi Jawa maupun pemikiran klasik Indonesia, “budi” merujuk pada kemampuan manusia yang mencakup aspek intelektual, moral, dan spiritual sekaligus.⁷ Konsep ini sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Barat yang cenderung memisahkan mind, reason, dan spirit. Dengan demikian, istilah “budi” tidak hanya menjadi ciri khas linguistik, tetapi juga memperlihatkan horizon epistemologis dan filosofis khas Indonesia.

4.4.        Kosakata Serapan dan Adaptasi

Bahasa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menyerap kosakata dari berbagai bahasa, khususnya Arab, Belanda, dan Inggris. Dari bahasa Arab, masuk istilah seperti hakikat, hikmah, dan ilmu, yang berakar dari tradisi filsafat Islam.⁸ Dari Belanda dan Inggris, hadir istilah seperti substansi, eksistensi, dan idealisme.⁹ Adaptasi ini sering kali dilakukan dengan cara mempertahankan bentuk asli dengan sedikit penyesuaian fonetik, sehingga istilah tetap dapat dikenali sekaligus dipahami oleh penutur bahasa Indonesia.

Namun, tidak jarang proses serapan ini menimbulkan persoalan konseptual. Misalnya, istilah existence diterjemahkan sebagai “eksistensi,” sementara istilah asli bahasa Indonesia “keberadaan” memiliki nuansa makna yang berbeda.¹⁰ “Eksistensi” lebih sering digunakan dalam konteks filsafat Barat modern, sementara “keberadaan” lebih dekat dengan tradisi lokal yang menekankan aspek keseharian. Perbedaan ini menciptakan ruang interpretasi yang kaya, tetapi juga berpotensi menimbulkan perdebatan terminologis.

4.5.        Sintesis Kekhasan Linguistik

Dari aspek morfologi, sintaksis, semantik, dan kosakata serapan, terlihat bahwa bahasa Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dalam mengartikulasikan filsafat. Fleksibilitas morfologisnya memungkinkan penciptaan istilah baru; kesederhanaan sintaksisnya mendukung kejelasan argumen; kekayaan semantiknya membuka ruang interpretasi; dan keragaman kosakata serapannya memperkaya khazanah istilah. Akan tetapi, semua kekhasan ini harus dipahami dengan kritis agar tidak menimbulkan distorsi konseptual.

Dengan demikian, bahasa Indonesia bukan hanya medium pasif bagi filsafat, melainkan juga medan aktif yang membentuk dan membatasi horizon pemikiran filosofis. Kekhasan linguistik inilah yang sekaligus menjadi kekuatan dan tantangan dalam mengembangkan filsafat dalam bahasa Indonesia.


Footnotes

[1]            ¹ Anton M. Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 42.

[2]            ² Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 15.

[3]            ³ K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2001), 10.

[4]            ⁴ James Neil Sneddon, Indonesian: A Comprehensive Grammar (London: Routledge, 1996), 55.

[5]            ⁵ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 137.

[6]            ⁶ Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 23.

[7]            ⁷ Sutan Takdir Alisjahbana, Budi dan Bahasa (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 7.

[8]            ⁸ Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 15.

[9]            ⁹ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 61.

[10]          ¹⁰ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 31.


5.            Problematika dan Tantangan

5.1.        Keterbatasan Kosakata Filsafat

Salah satu persoalan utama dalam pengembangan filsafat berbahasa Indonesia adalah keterbatasan kosakata yang mampu menampung kompleksitas gagasan filosofis. Banyak istilah kunci dalam tradisi filsafat Barat yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata noumenon dalam filsafat Kant atau Dasein dalam Heidegger, yang ketika diterjemahkan sering kali hanya dimaknai sebagai “hakikat” atau “keberadaan” tanpa menangkap kedalaman konseptual aslinya.¹ Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan leksikal yang memengaruhi pemahaman pembaca dan mahasiswa filsafat di Indonesia.

Selain itu, kosakata filosofis yang sudah tersedia pun sering kali masih terfragmentasi antara warisan Arab-Islam, kolonial Belanda, dan pengaruh Inggris-Amerika.² Hal ini menyebabkan percampuran istilah yang tidak selalu konsisten, misalnya penggunaan istilah “rasio,” “akal budi,” dan “nalar” yang sering dipakai secara bergantian padahal memiliki perbedaan nuansa makna.³

5.2.        Ambiguitas dan Bias Terjemahan

Bahasa Indonesia sebagai bahasa penerima sering menghadapi problem ambiguitas dalam penerjemahan teks-teks filsafat asing. Ketidakakuratan terjemahan dapat menyebabkan penyempitan atau pelebaran makna yang tidak diinginkan. Misalnya, istilah reason dapat diterjemahkan menjadi “akal,” “nalar,” atau “rasio,” yang masing-masing memiliki beban historis dan kultural yang berbeda.⁴ Ambiguitas ini menimbulkan kerancuan dalam diskursus akademik, karena pembaca sering kali memahami istilah tersebut berdasarkan latar belakang linguistik yang berbeda.

Selain ambiguitas, bias terjemahan juga menjadi tantangan. Banyak teks filsafat diterjemahkan dengan mengutamakan keterbacaan tetapi mengorbankan akurasi terminologis.⁵ Sebaliknya, penerjemahan yang terlalu literal sering kali terasa kaku dan menghilangkan keindahan bahasa Indonesia. Hal ini memperlihatkan dilema antara kesetiaan pada teks sumber dan keberterimaan dalam bahasa sasaran.

5.3.        Kesenjangan Akademik dan Literasi Filsafat

Tantangan berikutnya terletak pada kesenjangan akademik. Literatur filsafat yang berbahasa Indonesia masih terbatas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Banyak mahasiswa dan peneliti filsafat di Indonesia lebih bergantung pada teks berbahasa Inggris, Jerman, atau Arab, sehingga perkembangan terminologi filsafat dalam bahasa Indonesia menjadi lambat.⁶ Hal ini menghambat proses pembakuan istilah, karena kosakata filsafat sering hanya digunakan dalam lingkaran akademis terbatas tanpa menyebar ke masyarakat luas.

Selain itu, literasi filsafat di kalangan masyarakat umum masih rendah. Keterbatasan bacaan populer berbahasa Indonesia yang berkualitas membuat istilah filsafat jarang dipahami secara luas. Akibatnya, bahasa Indonesia belum sepenuhnya berfungsi sebagai wahana publik untuk diskursus filosofis, melainkan masih didominasi oleh terjemahan akademis yang sulit diakses oleh masyarakat awam.⁷

5.4.        Globalisasi dan Dominasi Bahasa Asing

Di era globalisasi, dominasi bahasa asing, terutama bahasa Inggris, semakin memperkuat ketergantungan akademisi Indonesia terhadap terminologi non-Indonesia. Hal ini menciptakan dilema: di satu sisi, penggunaan istilah asing dianggap lebih “prestisius” dan “ilmiah,” tetapi di sisi lain melemahkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu.⁸ Misalnya, istilah “existentialism” lebih sering dibiarkan dalam bentuk aslinya ketimbang diterjemahkan menjadi “eksistensialisme,” meskipun bentuk terakhir lebih sesuai dengan pola morfologi bahasa Indonesia.

Fenomena ini menimbulkan tantangan epistemologis: bagaimana bahasa Indonesia dapat bersaing dengan bahasa global tanpa kehilangan identitasnya sendiri? Tanpa strategi yang tepat, bahasa Indonesia berisiko hanya menjadi “bahasa penerima” yang pasif, bukan “bahasa pencipta” yang aktif membangun horizon filsafat.

5.5.        Tantangan Konsistensi Terminologis

Masalah lain adalah rendahnya konsistensi dalam penggunaan istilah filsafat. Beberapa penerjemah atau akademisi menggunakan istilah berbeda untuk konsep yang sama, sehingga menimbulkan kebingungan. Misalnya, istilah substance dalam filsafat Aristoteles dapat diterjemahkan sebagai “substansi,” “zat,” atau “hakikat.”⁹ Perbedaan ini bukan hanya masalah linguistik, tetapi juga konseptual, karena setiap padanan mengarahkan pada interpretasi yang berbeda terhadap gagasan filsafat tersebut.

Ketiadaan lembaga khusus yang mengoordinasikan pembakuan istilah filsafat di Indonesia memperparah persoalan ini. Meskipun KBBI dan Badan Bahasa telah berperan, cakupan istilah filosofis yang mereka akomodasi masih sangat terbatas.¹⁰


Ringkasan Problematika

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problematika utama dalam pengembangan bahasa Indonesia untuk filsafat mencakup: keterbatasan kosakata, ambiguitas dan bias terjemahan, kesenjangan akademik, dominasi bahasa asing, serta inkonsistensi terminologi. Keseluruhan tantangan ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia masih berada dalam tahap transisi: dari sekadar alat komunikasi sehari-hari menuju bahasa ilmu yang mapan dan mandiri dalam diskursus filsafat.


Footnotes

[1]            ¹ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 137.

[2]            ² Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 14.

[3]            ³ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 22.

[4]            ⁴ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 31.

[5]            ⁵ Lawrence Venuti, The Translator’s Invisibility: A History of Translation (London: Routledge, 1995), 21.

[6]            ⁶ K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1981), 5.

[7]            ⁷ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 72.

[8]            ⁸ Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 19.

[9]            ⁹ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028.

[10]          ¹⁰ Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).


6.            Upaya Pengembangan Bahasa Indonesia untuk Filsafat

6.1.        Strategi Penerjemahan dan Kreasi Istilah

Salah satu upaya penting dalam mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat adalah melalui penerjemahan teks-teks filosofis dunia. Penerjemahan bukan hanya sekadar alih bahasa, melainkan juga proses hermeneutis yang menciptakan makna baru dalam konteks lokal.¹ Oleh karena itu, strategi penerjemahan yang tepat harus diperhatikan. Lawrence Venuti, misalnya, menekankan dilema antara domestikasi (menyesuaikan istilah dengan bahasa sasaran) dan foreignisasi (mempertahankan keasingan istilah agar nuansa aslinya tetap terjaga).² Dalam konteks bahasa Indonesia, kedua strategi ini bisa saling melengkapi: istilah yang dapat diterjemahkan secara kreatif perlu disesuaikan dengan morfologi bahasa Indonesia, sementara istilah yang terlalu khas dapat dipertahankan dengan penjelasan tambahan.

Kreasi istilah baru juga menjadi langkah penting. Proses morfologis bahasa Indonesia yang aglutinatif memungkinkan pembentukan istilah abstrak, seperti keberadaan untuk existence atau kesadaran-diri untuk self-consciousness.³ Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi penerima istilah asing, tetapi juga produsen istilah filosofis yang memiliki nuansa khas.

6.2.        Peran Akademisi dan Institusi Bahasa

Perkembangan terminologi filsafat sangat bergantung pada kontribusi akademisi dan institusi. Para dosen, peneliti, dan penerjemah filsafat berperan besar dalam mengajukan istilah baru yang lebih sesuai dengan struktur linguistik bahasa Indonesia. Harun Nasution, misalnya, berusaha memperkenalkan istilah-istilah filsafat Islam dalam bahasa Indonesia agar dapat dipahami dalam kerangka akademik modern.⁴ Demikian pula, Driyarkara menekankan perlunya kontekstualisasi istilah filsafat Barat ke dalam horizon bahasa dan budaya Indonesia.⁵

Institusi bahasa, khususnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, juga berperan penting dalam membakukan istilah melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).⁶ Namun, sejauh ini cakupan istilah filosofis dalam KBBI masih terbatas. Oleh karena itu, kolaborasi antara institusi bahasa dan komunitas akademik filsafat perlu diperkuat, misalnya melalui penyusunan kamus filsafat tematik berbahasa Indonesia yang komprehensif.

6.3.        Filsafat sebagai Penggerak Inovasi Bahasa

Filsafat dapat berfungsi sebagai motor penggerak inovasi bahasa. Dalam tradisi filsafat Barat maupun Islam, perkembangan pemikiran sering kali melahirkan istilah baru yang memperluas cakrawala bahasa.⁷ Fenomena serupa juga dapat terjadi dalam bahasa Indonesia. Misalnya, istilah “budi” yang khas dalam budaya Indonesia dapat dipertajam secara konseptual sehingga menjadi sumbangan filosofis yang unik bagi diskursus global.

Pengembangan filsafat dalam bahasa Indonesia juga dapat memperkaya literasi ilmiah masyarakat. Buku-buku pengantar filsafat yang menggunakan bahasa Indonesia dengan istilah yang konsisten akan membantu generasi baru memahami gagasan filosofis tanpa selalu bergantung pada teks asing. Dengan cara ini, bahasa Indonesia dapat menjadi wahana refleksi filosofis yang mandiri sekaligus inklusif.

6.4.        Internasionalisasi Bahasa Indonesia untuk Filsafat

Upaya pengembangan bahasa Indonesia untuk filsafat tidak hanya berhenti pada tingkat nasional, tetapi juga harus diarahkan pada ranah internasional. Internasionalisasi ini dapat dilakukan dengan menerbitkan karya-karya filsafat asli Indonesia dalam bahasa Indonesia dan menyediakan terjemahan ke bahasa asing. Dengan demikian, kosakata filosofis khas Indonesia dapat dikenal secara global.⁸

Selain itu, forum akademik internasional perlu memberikan ruang bagi pemikiran filosofis yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Langkah ini tidak hanya memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu, tetapi juga memberikan kontribusi pada keragaman epistemologis dunia.


Ringkasan Upaya Pengembangan

Upaya pengembangan bahasa Indonesia untuk filsafat mencakup: (1) penerjemahan dan kreasi istilah, (2) keterlibatan akademisi dan institusi bahasa, (3) filsafat sebagai penggerak inovasi bahasa, serta (4) internasionalisasi bahasa Indonesia. Keseluruhan upaya ini harus dijalankan secara simultan agar bahasa Indonesia mampu tampil sebagai bahasa filsafat yang produktif, adaptif, dan berdaya saing di kancah global.


Footnotes

[1]            ¹ Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen Brennan (London: Routledge, 2006), 5.

[2]            ² Lawrence Venuti, The Translator’s Invisibility: A History of Translation (London: Routledge, 1995), 20.

[3]            ³ Anton M. Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 42.

[4]            ⁴ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 18.

[5]            ⁵ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 55.

[6]            ⁶ Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

[7]            ⁷ Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 11.

[8]            ⁸ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 33.


7.            Studi Kasus Kekhasan Istilah Filsafat dalam Bahasa Indonesia

7.1.        Analisis Kata “Ada” dan “Keberadaan”

Istilah “ada” dan “keberadaan” menempati posisi fundamental dalam filsafat berbahasa Indonesia. “Ada” sering digunakan untuk menerjemahkan being (Inggris) atau Sein (Jerman), sementara “keberadaan” kerap dipakai untuk existence.¹ Namun, perbedaan nuansa keduanya dalam bahasa sumber sering kali tidak sepenuhnya tertangkap dalam bahasa Indonesia. “Ada” dalam penggunaan sehari-hari cenderung menunjuk pada keberlangsungan sesuatu secara faktual, sedangkan dalam filsafat, ia merujuk pada prinsip ontologis yang lebih mendalam.² Heidegger, misalnya, membedakan antara Sein (Ada) dan Seiendes (yang-ada), namun dalam bahasa Indonesia perbedaan ini kerap dilebur menjadi “ada” semata.³

Istilah “keberadaan,” yang dibentuk melalui proses morfologis ke-...-an, memungkinkan bahasa Indonesia mengungkapkan sesuatu yang lebih abstrak. Kata ini memberi ruang bagi pengungkapan dimensi eksistensial, misalnya dalam filsafat eksistensialisme Sartre.⁴ Dengan demikian, kekhasan bahasa Indonesia tampak pada kemampuannya membentuk istilah abstrak dari kata dasar sederhana, meskipun tantangan tetap ada dalam menjaga kedalaman makna filosofisnya.

7.2.        Konsep “Akal” dan “Budi”

Istilah “akal” dan “budi” menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia memiliki horizon makna yang berbeda dengan tradisi Barat. “Akal” dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab ‘aql, yang berarti kemampuan intelektual untuk memahami dan membedakan.⁵ Namun, dalam filsafat Indonesia, “akal” tidak hanya sebatas rasionalitas, tetapi juga mencakup kemampuan moral untuk membedakan baik dan buruk.

Berbeda dengan itu, istilah “budi” merupakan konsep asli Nusantara yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Barat. Sutan Takdir Alisjahbana mendefinisikan “budi” sebagai daya manusia yang meliputi pikiran, perasaan, dan kemauan, sehingga ia lebih komprehensif daripada istilah mind atau reason dalam tradisi Barat.⁶ Dalam filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara, “budi pekerti” dipahami sebagai kesatuan harmonis antara intelektual, moral, dan spiritual.⁷ Kekhasan ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia mampu menawarkan konsep filosofis yang tidak sekadar hasil serapan, tetapi juga orisinal.

7.3.        Terminologi “Ilmu” dan “Pengetahuan”

Bahasa Indonesia mengenal istilah “ilmu” dan “pengetahuan,” yang dalam banyak konteks sering digunakan bergantian, tetapi sejatinya memiliki perbedaan nuansa. “Ilmu” berasal dari bahasa Arab ‘ilm, yang bermakna pengetahuan yang sistematis dan teratur, serta sering kali diasosiasikan dengan dimensi normatif dan religius.⁸ Sementara itu, “pengetahuan” merupakan istilah bentukan bahasa Indonesia yang lebih umum, yang dapat merujuk pada segala bentuk pemahaman manusia, baik yang bersifat ilmiah maupun non-ilmiah.

Dalam epistemologi Barat, pembedaan antara science dan knowledge relatif jelas. Namun, dalam bahasa Indonesia, perbedaan ini sering kabur, sehingga menimbulkan kerancuan dalam diskusi filsafat ilmu.⁹ Meski demikian, kehadiran dua istilah ini justru memperlihatkan keragaman epistemologis dalam bahasa Indonesia: “ilmu” menekankan aspek sistematis dan transenden, sementara “pengetahuan” menyoroti dimensi empiris dan sehari-hari.

7.4.        Perbandingan dengan Istilah Asing

Studi kasus di atas menunjukkan bahwa banyak istilah filsafat dalam bahasa Indonesia tidak dapat begitu saja disamakan dengan padanan asingnya. “Ada” tidak sepenuhnya identik dengan being, “akal” tidak sepenuhnya setara dengan reason, dan “budi” bahkan tidak memiliki padanan yang memadai dalam bahasa Barat.¹⁰ Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bukan hanya penerima pasif dari istilah asing, tetapi juga pencipta horizon makna baru.

Kekhasan ini sekaligus memperlihatkan tantangan besar. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi pengembangan filsafat yang khas Indonesia; di sisi lain, ia memerlukan upaya sistematis untuk membakukan makna agar tidak terjadi kerancuan konseptual. Studi kasus ini menegaskan bahwa kekuatan bahasa Indonesia terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan serapan asing dengan warisan lokal, menciptakan perpaduan yang unik dan kaya dalam diskursus filsafat.


Footnotes

[1]            ¹ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 25.

[2]            ² K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2001), 14.

[3]            ³ Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 35.

[4]            ⁴ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[5]            ⁵ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 18.

[6]            ⁶ Sutan Takdir Alisjahbana, Budi dan Bahasa (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 7.

[7]            ⁷ Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962), 54.

[8]            ⁸ Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 11.

[9]            ⁹ Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 23.

[10]          ¹⁰ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 29.


8.            Relevansi dan Implikasi Kontemporer

8.1.        Bahasa Indonesia sebagai Medium Pemikiran Filosofis Modern

Bahasa Indonesia, dengan kekhasan morfologi, sintaksis, dan semantiknya, memiliki potensi besar untuk menjadi medium pemikiran filosofis modern. Struktur aglutinatif memungkinkan penciptaan istilah baru, seperti “keberadaan” atau “kesadaran-diri,” yang dapat menampung konsep abstrak dalam filsafat kontemporer.¹ Dengan demikian, bahasa Indonesia mampu menjadi sarana pengembangan gagasan filosofis tanpa harus sepenuhnya bergantung pada istilah asing. Dalam praktiknya, hal ini terlihat pada karya-karya filsuf Indonesia yang mulai menulis dan berpikir dalam bahasa sendiri, misalnya F. Budi Hardiman yang memperkenalkan istilah “ruang publik” sebagai padanan dari public sphere Habermas.²

Relevansi bahasa Indonesia dalam filsafat modern juga tercermin dalam diskursus filosofis yang mengaitkan filsafat dengan isu-isu kebangsaan, seperti filsafat Pancasila, filsafat pendidikan, dan filsafat kebudayaan.³ Dalam konteks ini, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat komunikasi akademis, tetapi juga instrumen untuk membangun identitas filosofis nasional.

8.2.        Globalisasi, Multibahasa, dan Tantangan Internasionalisasi

Di era globalisasi, penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, mendominasi publikasi akademik, termasuk filsafat. Dominasi ini sering menimbulkan dilema bagi akademisi Indonesia: apakah harus menggunakan bahasa asing untuk mendapatkan pengakuan internasional, ataukah tetap menulis dalam bahasa Indonesia dengan risiko terbatasnya jangkauan global.⁴

Namun, globalisasi juga membuka peluang bagi bahasa Indonesia untuk memperkaya percakapan filosofis dunia. Kehadiran istilah-istilah khas seperti “budi,” “gotong royong,” atau “kebatinan” dapat memperluas horizon epistemologis global dengan perspektif yang unik.⁵ Hal ini sejalan dengan gagasan Ngũgĩ wa Thiong’o yang menekankan pentingnya menulis dalam bahasa ibu sebagai bentuk dekolonisasi pengetahuan.⁶ Dengan demikian, internasionalisasi bahasa Indonesia tidak harus berarti subordinasi pada bahasa asing, melainkan dapat berupa tawaran alternatif epistemologis.

8.3.        Bahasa Indonesia dalam Diskursus Publik dan Pendidikan

Relevansi bahasa Indonesia untuk filsafat tidak hanya terbatas pada ranah akademik, tetapi juga pada diskursus publik dan pendidikan. Dalam masyarakat yang semakin plural, filsafat yang disampaikan dalam bahasa Indonesia dapat menjadi jembatan bagi refleksi kritis terhadap isu-isu kontemporer, seperti demokrasi, pluralisme, dan etika teknologi.⁷

Dalam pendidikan, penggunaan istilah filsafat dalam bahasa Indonesia berkontribusi terhadap pembentukan literasi kritis di kalangan generasi muda. Misalnya, pengajaran filsafat di sekolah menengah dan perguruan tinggi dengan istilah-istilah khas bahasa Indonesia membantu siswa memahami konsep filosofis dalam kerangka yang lebih dekat dengan realitas budaya mereka.⁸ Hal ini sekaligus memperkuat posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu, bukan hanya bahasa komunikasi sehari-hari.

8.4.        Potensi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Filsafat Global

Bahasa Indonesia memiliki potensi untuk tampil sebagai bahasa filsafat global apabila terus dikembangkan secara konsisten. Jumlah penuturnya yang besar—lebih dari 200 juta orang—memberikan basis yang luas bagi pengembangan literatur filsafat berbahasa Indonesia.⁹ Jika upaya penerjemahan, pembakuan istilah, dan penulisan karya orisinal terus dilakukan, bahasa Indonesia dapat berperan sebagai salah satu bahasa filsafat yang diakui dalam kancah internasional.

Implikasi kontemporer dari hal ini adalah perlunya strategi kebudayaan yang mengintegrasikan filsafat dan bahasa. Dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai medium refleksi filosofis, bangsa Indonesia tidak hanya memperkuat identitas kebudayaannya sendiri, tetapi juga menyumbangkan perspektif baru dalam dialog filsafat global.


Footnotes

[1]            ¹ Anton M. Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 42.

[2]            ² F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 15.

[3]            ³ Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 3.

[4]            ⁴ Kwok-kan Tam, English and Globalization: Perspectives from Hong Kong and Mainland China (Hong Kong: Chinese University Press, 2004), 22.

[5]            ⁵ Sutan Takdir Alisjahbana, Budi dan Bahasa (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 9.

[6]            ⁶ Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 4.

[7]            ⁷ F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 25.

[8]            ⁸ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 72.

[9]            ⁹ UNESCO, Atlas of the World’s Languages in Danger (Paris: UNESCO Publishing, 2010), 5.


9.            Sintesis dan Refleksi Filosofis

9.1.        Bahasa sebagai Medium dan Horizon Filsafat

Sintesis dari kajian sebelumnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga horizon tempat pemikiran filosofis dibangun. Seperti yang ditegaskan Wittgenstein, batas-batas bahasa adalah batas-batas dunia kita.¹ Dengan demikian, ketika kita berpikir menggunakan bahasa Indonesia, cara pandang filosofis yang terbentuk tidak bisa dilepaskan dari struktur linguistik dan semantik bahasa tersebut. Keunikan bahasa Indonesia—dengan morfologi aglutinatif, fleksibilitas sintaksis, dan kekayaan polisemi—menjadi faktor yang memengaruhi kerangka konseptual dalam memahami realitas.

Hal ini tampak jelas dalam penggunaan istilah seperti “budi,” yang tidak memiliki padanan penuh dalam bahasa Barat.² Keberadaan konsep ini memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia tidak sekadar menyerap istilah asing, tetapi juga membangun horizon makna yang orisinal. Filsafat dalam bahasa Indonesia, dengan demikian, dapat berfungsi sebagai wadah untuk melahirkan perspektif baru yang berakar pada budaya lokal, tetapi tetap terbuka pada dialog global.

9.2.        Dialektika antara Serapan Asing dan Keaslian Lokal

Refleksi filosofis juga menunjukkan adanya dialektika yang dinamis antara istilah serapan asing dan kosakata asli Indonesia. Sejak masuknya istilah Arab seperti hikmah dan akal, hingga pengaruh Belanda dan Inggris dengan istilah “substansi” atau “eksistensi,” bahasa Indonesia terus mengalami proses negosiasi makna.³ Dialektika ini memperlihatkan bahwa filsafat berbahasa Indonesia adalah hasil hibridisasi: sebuah sintesis dari unsur-unsur asing yang diadaptasi ke dalam kerangka lokal.

Namun, dialektika ini tidak hanya menimbulkan keterbatasan, melainkan juga peluang. Keterbatasan terlihat pada ketidakmampuan bahasa Indonesia untuk sepenuhnya menerjemahkan istilah filosofis asing, seperti noumenon atau Dasein.⁴ Akan tetapi, peluang muncul ketika bahasa Indonesia berhasil menciptakan istilah baru yang kontekstual, misalnya “keberadaan” atau “kesadaran-diri,” yang menegaskan kemampuan bahasa ini untuk membangun horizon filosofisnya sendiri.

9.3.        Refleksi Epistemologis: Identitas dan Dekolonisasi Pengetahuan

Dari perspektif epistemologis, pengembangan filsafat dalam bahasa Indonesia juga merupakan upaya dekolonisasi pengetahuan. Selama berabad-abad, filsafat didominasi oleh bahasa-bahasa Eropa seperti Yunani, Latin, Jerman, dan Inggris. Dengan memanfaatkan kekhasan bahasa Indonesia, para pemikir Indonesia memiliki peluang untuk menegaskan identitas intelektual yang berbeda.⁵ Hal ini sejalan dengan gagasan Ngũgĩ wa Thiong’o tentang pentingnya menulis dalam bahasa ibu untuk membebaskan diri dari dominasi epistemologis kolonial.⁶

Refleksi ini menuntut kesadaran bahwa bahasa Indonesia bukan sekadar sarana untuk “menerjemahkan” gagasan asing, tetapi juga medium untuk menciptakan konsep-konsep baru. Dengan kata lain, bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa filsafat yang mandiri, bukan hanya periferal dalam diskursus global.

9.4.        Arah Filosofis Masa Depan

Sintesis akhir dari pembahasan ini adalah bahwa kekhasan bahasa Indonesia dapat menjadi landasan bagi pengembangan filsafat yang lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan bangsa. Dengan memperkuat terminologi, mengurangi ambiguitas terjemahan, serta menciptakan kosakata filosofis baru, bahasa Indonesia dapat berperan aktif dalam percakapan global mengenai filsafat.

Refleksi filosofis ini menegaskan bahwa kekhasan linguistik bahasa Indonesia tidak boleh dipandang sebagai kelemahan, melainkan sebagai kekuatan epistemologis.⁷ Melalui filsafat, bahasa Indonesia dapat menjadi sarana penggalian identitas budaya, penyemaian nilai-nilai universal, dan penyusunan horizon baru yang memperkaya khazanah pemikiran manusia.


Footnotes

[1]            ¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (London: Routledge, 1922), 68.

[2]            ² Sutan Takdir Alisjahbana, Budi dan Bahasa (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 9.

[3]            ³ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 18.

[4]            ⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 25.

[5]            ⁵ F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 17.

[6]            ⁶ Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 4.

[7]            ⁷ Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 29.


10.        Penutup

10.1.     Kesimpulan

Pembahasan mengenai kekhasan bahasa Indonesia untuk filsafat menunjukkan bahwa bahasa ini memiliki karakteristik linguistik, epistemologis, dan konseptual yang unik. Secara morfologis, bahasa Indonesia mampu membentuk istilah abstrak melalui pola afiksasi, seperti “keberadaan” dari “ada” atau “pengetahuan” dari “tahu,” yang memungkinkan ekspresi filosofis tanpa selalu bergantung pada serapan asing.¹ Secara semantik, kekayaan polisemi kata-kata seperti “akal,” “budi,” dan “ilmu” memperlihatkan kedalaman makna yang tidak selalu ditemukan dalam padanan Barat, bahkan kadang membuka horizon konseptual baru.²

Namun, tantangan tetap ada. Keterbatasan kosakata, ambiguitas terjemahan, dominasi bahasa asing, serta rendahnya konsistensi terminologis menunjukkan bahwa bahasa Indonesia masih dalam tahap transisi menuju bahasa filsafat yang mapan.³ Meski demikian, sejarah perkembangan terminologi memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia memiliki daya adaptasi yang tinggi, mampu mengintegrasikan warisan Arab, Belanda, dan Inggris dengan kosakata lokal, sehingga membentuk corak hibrid yang khas.⁴

10.2.     Rekomendasi

Berdasarkan sintesis pembahasan, terdapat beberapa rekomendasi penting:

1)             Penguatan Penerjemahan dan Penciptaan Istilah

Perlu strategi penerjemahan yang lebih konsisten serta kreasi istilah baru yang sesuai dengan struktur linguistik bahasa Indonesia.⁵

2)             Keterlibatan Akademisi dan Institusi

Akademisi filsafat dan lembaga bahasa, seperti Badan Bahasa, harus bekerja sama untuk membakukan istilah-istilah filosofis yang sering digunakan.⁶

3)             Pendidikan dan Literasi Filsafat

Pengajaran filsafat di sekolah dan perguruan tinggi hendaknya menggunakan istilah-istilah bahasa Indonesia secara konsisten agar tercipta literasi filsafat yang kuat dalam masyarakat.⁷

4)             Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Perlu ada usaha untuk memperkenalkan istilah khas filsafat Indonesia, seperti “budi” atau “gotong royong,” ke dalam wacana filsafat global melalui publikasi internasional.⁸

10.3.     Penutup Reflektif

Pada akhirnya, bahasa Indonesia bukan hanya instrumen pasif yang menerima istilah asing, tetapi juga potensi aktif yang dapat membentuk horizon filosofis baru. Seperti ditegaskan Heidegger bahwa bahasa adalah rumah bagi Ada,⁹ maka bahasa Indonesia dapat menjadi rumah bagi filsafat yang berakar pada budaya Nusantara, sekaligus terbuka bagi dialog dengan tradisi global. Dengan demikian, pengembangan bahasa Indonesia untuk filsafat tidak hanya berfungsi memperkaya wacana akademis, tetapi juga memperkokoh identitas intelektual bangsa dan memberi kontribusi pada keragaman epistemologi dunia.


Footnotes

[1]            ¹ Anton M. Moeliono, Ciri Bahasa Ilmiah (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), 42.

[2]            ² Sutan Takdir Alisjahbana, Budi dan Bahasa (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), 9.

[3]            ³ F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), 29.

[4]            ⁴ Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 18.

[5]            ⁵ Lawrence Venuti, The Translator’s Invisibility: A History of Translation (London: Routledge, 1995), 20.

[6]            ⁶ Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

[7]            ⁷ Nicolaus Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran (Jakarta: Gramedia, 2006), 72.

[8]            ⁸ Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 4.

[9]            ⁹ Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 239.


Daftar Pustaka

Alisjahbana, S. T. (1977). Budi dan bahasa. Jakarta: Dian Rakyat.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Bakker, A., & Zubair, A. C. (1990). Metodologi penelitian filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, K. (1981). Sejarah filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, K. (2001). Filsafat Barat kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.

Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

Driyarkara, N. (2006). Karya lengkap Driyarkara: Esai-esai filsafat pemikiran. Jakarta: Gramedia.

Hardiman, F. B. (2007). Filsafat modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.

Hardiman, F. B. (2009). Demokrasi deliberatif: Menimbang negara hukum dan ruang publik dalam teori diskursus Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. B. (2010). Ruang publik: Melacak “partisipasi demokratis” dari polis sampai cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.

Hadiwijono, H. (1980). Sari sejarah filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). Letter on humanism (F. A. Capuzzi, Trans.). New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Kantanegara, M. (2005). Gerbang kearifan: Sebuah pengantar filsafat Islam. Bandung: Mizan.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. Chicago: University of Chicago Press.

Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.

Moeliono, A. M. (2003). Ciri bahasa ilmiah. Jakarta: Pusat Bahasa.

Nasution, H. (1973). Falsafat agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Ngũgĩ wa Thiong’o. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. London: James Currey.

Ricoeur, P. (2006). On translation (E. Brennan, Trans.). London: Routledge.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Saussure, F. de. (1986). Course in general linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.). Chicago: Open Court.

Sneddon, J. N. (1996). Indonesian: A comprehensive grammar. London: Routledge.

Tim Penyusun KBBI. (2016). Kamus besar bahasa Indonesia (Edisi V). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

UNESCO. (2010). Atlas of the world’s languages in danger. Paris: UNESCO Publishing.

Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. London: Routledge.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus. London: Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno selayang pandang. Jakarta: Djambatan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar