Ad Verecundiam
(Appeal to Authority)
Analisis Kritis atas
Kekeliruan Logika Otoritas dalam Argumen
Alihkan ke: Fallacy Informal.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang salah
satu jenis fallacy informal, yakni argumentum ad verecundiam atau
appeal to authority. Fallacy ini terjadi ketika suatu klaim dianggap
benar semata-mata karena bersumber dari otoritas tertentu yang tidak relevan.
Kajian ini diawali dengan pemaparan konsep dasar fallacy informal, kemudian
dilanjutkan dengan eksplorasi etimologi, definisi, dan karakteristik ad
verecundiam. Sejarah pemahamannya ditelusuri sejak era Aristoteles, tradisi
skolastik, masa Renaisans, Pencerahan, hingga analisis logika kontemporer.
Artikel ini juga menguraikan tipologi ad verecundiam, analisis kasus
nyata dalam politik, media, sains, dan agama, serta kritik logis, filosofis,
dan sosial terhadap fallacy ini. Selanjutnya, dibahas relevansinya dalam
konteks modern, khususnya di era digital yang ditandai dengan fenomena fake
experts dan otoritas berbasis popularitas. Kajian ini menegaskan bahwa
meskipun otoritas dapat berperan sebagai instrumen epistemik, ia tidak dapat
dijadikan bukti final kebenaran tanpa evaluasi rasional. Oleh karena itu,
diperlukan literasi kritis untuk membedakan antara otoritas sahih dan otoritas
keliru, sehingga budaya berpikir rasional-kritis dapat tumbuh dalam masyarakat.
Kata Kunci: Fallacy informal; ad verecundiam; appeal to authority; otoritas; logika;
epistemologi; literasi kritis; filsafat modern; fake experts; retorika.
PEMBAHASAN
Kajian Ad Verecundiam (Appeal
to Authority)
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Dalam ranah logika
dan filsafat, kekeliruan berpikir (fallacy) merupakan salah satu isu sentral
yang mendapat perhatian luas sejak zaman klasik hingga kontemporer. Kekeliruan
ini tidak hanya ditemukan dalam diskursus akademik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam komunikasi politik, wacana sosial, perdebatan ilmiah, maupun interaksi
populer di media massa. Salah satu bentuk fallacy yang menonjol adalah argumentum
ad verecundiam atau appeal to authority, yaitu sebuah
kekeliruan yang terjadi ketika seseorang menjadikan otoritas tertentu sebagai
dasar kebenaran, meskipun otoritas tersebut tidak relevan dengan bidang
permasalahan yang dibicarakan.¹
Fenomena ini menjadi
sangat penting untuk dikaji karena otoritas sering kali dianggap memiliki
posisi yang hampir tidak dapat digugat. Dalam masyarakat modern, misalnya,
figur publik, pakar, atau institusi ilmiah memiliki pengaruh besar dalam
membentuk opini publik. Akan tetapi, tidak semua klaim yang bersumber dari
otoritas dapat dianggap benar secara otomatis, terutama jika otoritas tersebut berbicara di luar
bidang keahliannya atau jika otoritas itu sendiri tidak memiliki legitimasi
yang sah.² Akibatnya, masyarakat rentan menerima klaim yang keliru hanya karena
dibungkus oleh aura kewibawaan otoritas.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, beberapa
pertanyaan pokok yang muncul antara lain:
1)
Apa definisi dan karakteristik utama
fallacy ad verecundiam?
2)
Bagaimana sejarah perkembangan
konsep ini dalam tradisi filsafat dan logika?
3)
Apa saja bentuk-bentuk konkret
fallacy ad verecundiam dalam berbagai wacana?
4)
Bagaimana dampak penggunaan
fallacy ini dalam konteks modern, khususnya di era digital dan media sosial?
5)
Bagaimana cara membedakan antara
otoritas yang sahih dengan otoritas yang keliru?
1.3.
Tujuan Penelitian
Artikel ini
bertujuan untuk:
·
Menjelaskan konsep dasar
dan karakteristik ad verecundiam.
·
Menguraikan perkembangan
historis dan teoritisnya.
·
Menyajikan analisis kasus
nyata dalam berbagai konteks sosial.
·
Memberikan refleksi
filosofis mengenai posisi otoritas dalam wacana pengetahuan.
·
Merumuskan batas kritis
dalam menggunakan otoritas sebagai sumber kebenaran.
1.4.
Manfaat Penelitian
Kajian ini memiliki
manfaat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, ia memperkaya literatur
filsafat logika mengenai klasifikasi dan analisis fallacy. Secara praktis, ia memberikan kontribusi bagi
pengembangan literasi kritis di masyarakat, terutama dalam menghadapi arus
informasi yang kerap kali mencampuradukkan klaim valid dengan klaim keliru yang
didukung oleh otoritas palsu (fake authority).³
1.5.
Metodologi Kajian
Penelitian ini
bersifat kualitatif dengan pendekatan kajian literatur (library research).
Analisis dilakukan terhadap literatur klasik maupun kontemporer mengenai
fallacy, filsafat logika, serta studi kasus empiris. Sumber-sumber primer
mencakup karya-karya klasik filsafat logika, sementara sumber sekunder meliputi artikel akademik, analisis
kritis, dan literatur populer terkait penggunaan otoritas dalam wacana publik.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 150–151.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 135.
[3]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 23–24.
2.
Konsep Dasar Fallacy
Informal
2.1.
Definisi Fallacy
Dalam filsafat
logika, fallacy
dipahami sebagai bentuk penalaran yang keliru, baik secara struktur maupun isi,
yang meskipun tampak meyakinkan, pada dasarnya tidak valid atau tidak relevan.¹
Secara umum, fallacy merupakan kekeliruan penalaran yang dapat mengaburkan kebenaran,
menyesatkan argumen, atau
menghasilkan kesimpulan yang salah.² Para logikawan membedakan fallacy menjadi
dua kategori besar: formal dan informal.
Fallacy formal
terjadi ketika kesalahan terletak pada bentuk atau struktur logis dari argumen,
sehingga ketidakabsahan dapat diuji melalui aturan inferensi yang ketat.
Sebaliknya, fallacy informal berkaitan dengan isi,
konteks, atau penggunaan bahasa dalam argumen, yang meskipun secara bentuk
mungkin tampak benar, pada substansinya menyimpan kekeliruan.³
2.2.
Karakteristik Umum
Fallacy Informal
Fallacy informal
memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari fallacy formal, di antaranya:
1)
Kontekstualitas:
kekeliruan muncul bukan karena pelanggaran aturan logika formal, tetapi karena
adanya penggunaan premis yang tidak relevan atau menyesatkan.⁴
2)
Kekuatan retoris:
fallacy informal sering kali bersifat persuasif, memanfaatkan emosi, otoritas,
popularitas, atau bias kognitif untuk meyakinkan audiens.
3)
Sulit diidentifikasi:
tidak seperti fallacy formal yang jelas-jelas menyalahi bentuk silogisme,
fallacy informal sering terselubung dalam cara penyampaian, pilihan kata,
maupun konteks wacana.
4)
Berkaitan
dengan pragmatik bahasa: fallacy informal tidak hanya
menyangkut kebenaran proposisional, tetapi juga strategi komunikasi yang dapat menyesatkan penalaran pendengar.⁵
2.3.
Klasifikasi Fallacy
Informal
Dalam literatur
logika, terdapat
berbagai sistem klasifikasi untuk fallacy informal. Salah satu klasifikasi yang
banyak digunakan adalah pembagian berdasarkan sumber kesalahannya, yaitu:
1)
Fallacy Relevansi:
kekeliruan yang muncul karena argumen menggunakan premis yang tidak relevan
terhadap kesimpulan, seperti ad hominem, ad populum, atau ad
verecundiam.⁶
2)
Fallacy Ambiguitas:
kesalahan yang timbul akibat penggunaan bahasa yang kabur atau bermakna ganda,
misalnya equivocation atau amphiboly.
3)
Fallacy Presumsi:
kesalahan karena adanya asumsi tersembunyi atau pertanyaan yang menyesatkan (complex
question, begging the question).
Klasifikasi ini
membantu untuk menempatkan ad verecundiam ke dalam kelompok fallacy
relevansi, sebab ia melibatkan penggunaan otoritas yang tidak
relevan dengan substansi persoalan.
2.4.
Pentingnya
Mempelajari Fallacy Informal
Studi mengenai
fallacy informal memiliki urgensi besar, baik secara teoretis maupun praktis.
Secara teoretis, ia memperkuat pemahaman mengenai batas-batas rasionalitas
dalam argumen. Secara praktis, kemampuan mengenali fallacy informal dapat
meningkatkan literasi kritis masyarakat, sehingga tidak mudah terjebak dalam manipulasi
retorika atau propaganda.⁷ Dalam era media sosial, di mana informasi tersebar begitu cepat, kesadaran
terhadap fallacy informal sangat diperlukan agar masyarakat dapat membedakan
antara klaim yang sahih dengan klaim yang keliru tetapi tampak meyakinkan.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 138.
[2]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to
Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2012), 18.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 120.
[4]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 41.
[5]
Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65.
[6]
Alec Fisher, The Logic of Real Arguments, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), 102–103.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 45.
3.
Definisi dan
Karakteristik Ad Verecundiam
3.1.
Etimologi Istilah Ad
Verecundiam
Istilah ad
verecundiam berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti “kepada
rasa hormat” atau “kepada kewibawaan.”¹ Dalam tradisi logika klasik,
istilah ini merujuk pada jenis argumen yang berusaha memperoleh legitimasi
bukan dari kekuatan bukti atau logika, melainkan dari rasa hormat yang diberikan kepada suatu
otoritas. Pemilihan istilah ini menggambarkan sifat utama kekeliruannya:
argumen seolah-olah benar hanya karena bersandar pada figur atau institusi yang
dianggap berwibawa.
3.2.
Definisi Klasik dan
Modern
Secara klasik, argumentum
ad verecundiam didefinisikan sebagai kekeliruan ketika seseorang
menerima suatu klaim semata-mata karena klaim tersebut dikemukakan oleh seorang
otoritas, tanpa memeriksa relevansi dan keabsahan argumen tersebut.² Definisi
ini dikuatkan dalam tradisi logika skolastik yang menekankan bahwa otoritas tidak dapat menjadi
bukti mutlak, melainkan harus diverifikasi melalui alasan yang sahih.
Dalam konteks
modern, Douglas Walton mendefinisikan ad verecundiam sebagai argumen yang
secara tidak sah menjadikan pernyataan seorang pakar atau otoritas sebagai
bukti konklusif, terutama ketika otoritas tersebut berbicara di luar bidang
keahliannya.³ Dengan demikian, perbedaan penting antara otoritas yang sahih dan
yang keliru terletak pada relevansi keahlian, legitimasi akademik, serta
validitas metodologis yang digunakan otoritas tersebut.
3.3.
Unsur-Unsur Penyusun
Fallacy Ad Verecundiam
Sebuah argumen dapat
dikategorikan sebagai ad verecundiam apabila memenuhi
beberapa unsur berikut:
1)
Adanya klaim dari
otoritas: argumen diajukan dengan mengutip atau merujuk kepada
individu/institusi yang dianggap berwibawa.
2)
Ketiadaan relevansi:
otoritas yang dikutip tidak memiliki keahlian atau legitimasi di bidang yang
sedang diperdebatkan.
3)
Penerimaan klaim tanpa
kritik: audiens atau lawan bicara menerima klaim semata-mata
karena rasa hormat atau wibawa, bukan karena bukti rasional.⁴
4)
Pengalihan fokus:
kebenaran klaim dialihkan dari argumen substantif kepada status otoritas yang
dikutip.
3.4.
Karakteristik Ad
Verecundiam
Fallacy ad
verecundiam memiliki sejumlah karakteristik yang membuatnya berbeda
dari bentuk
fallacy relevansi lainnya:
·
Bersifat
persuasif: daya ikat argumen terletak pada kewibawaan simbolik
otoritas, bukan pada rasionalitas bukti.
·
Mengandalkan
legitimasi sosial: argumen sering diperkuat oleh posisi sosial,
popularitas, atau jabatan formal seseorang, walaupun tidak relevan dengan pokok
masalah.
·
Rentan
dalam masyarakat modern: di era informasi, muncul banyak figur
publik atau “pakar instan” yang memberikan opini tanpa dasar keilmuan
yang kuat, namun tetap diterima luas oleh publik.⁵
·
Menciptakan
ilusi kebenaran: klaim tampak sahih karena diasosiasikan dengan
otoritas, sehingga sulit dibantah tanpa membongkar otoritas itu sendiri.
Karakteristik ini
menunjukkan bahwa ad verecundiam bukan hanya sebuah
kekeliruan logis, melainkan
juga fenomena sosial yang berkaitan dengan relasi kuasa, psikologi kolektif,
dan struktur otoritas dalam masyarakat.
Footnotes
[1]
Richard Whately, Elements of Logic, 9th ed. (London: Longman,
Green, Longman, and Roberts, 1875), 179.
[2]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 150.
[3]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 23.
[4]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 135.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 87.
4.
Landasan Filosofis dan
Logis
4.1.
Otoritas dan
Pengetahuan
Dalam filsafat,
konsep otoritas sering kali dikaitkan dengan epistemologi, yakni teori tentang
pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah otoritas dapat
dijadikan dasar bagi pengetahuan yang sahih? Secara historis, filsafat Yunani
sudah menyinggung isu ini. Aristoteles, misalnya, mengakui pentingnya guru atau
pakar, tetapi menekankan bahwa pengetahuan harus dibangun melalui epistēmē
(ilmu yang dapat dibuktikan) dan logos (argumentasi rasional), bukan
semata-mata kepercayaan pada otoritas.¹
Tradisi filsafat
skolastik di Abad Pertengahan, terutama dalam karya Thomas Aquinas, juga
menegaskan bahwa otoritas manusia tidak bersifat absolut. Ia dapat dihormati sebagai rujukan,
tetapi kebenaran sejati hanya dapat ditemukan melalui akal dan wahyu.² Dengan
demikian, otoritas dipandang sebagai sarana bantu epistemik, bukan fondasi
final kebenaran.
4.2.
Distingsi antara
Otoritas Sahih dan Otoritas Keliru
Secara logis, perlu
dibedakan antara penggunaan otoritas yang sahih (legitimate authority) dan otoritas
yang keliru (fallacious authority). Walton
menyebut bahwa argumen
dari otoritas dapat sah jika memenuhi kriteria: (1) otoritas memiliki keahlian
relevan, (2) terdapat konsensus di antara pakar, (3) klaim dapat diverifikasi,
dan (4) argumen tidak menutup kritik lebih lanjut.³
Sebaliknya, otoritas
menjadi keliru apabila: (a) berbicara di luar bidang kompetensi, (b) klaim
tidak didukung konsensus atau bukti empiris, atau (c) audiens dipaksa menerima
tanpa ruang untuk meninjau ulang.⁴ Inilah titik di mana ad
verecundiam berubah menjadi fallacy—yaitu ketika otoritas digunakan
bukan sebagai instrumen rasional, tetapi sebagai alat retoris untuk menghentikan dialog kritis.
4.3.
Otoritas dan
Rasionalitas dalam Diskursus Publik
Dalam kerangka
filsafat modern, para pemikir kritis seperti Immanuel Kant menolak ketundukan
buta pada otoritas. Moto sapere aude (“beranilah
berpikir sendiri”) yang dikemukakannya menegaskan bahwa otoritas eksternal
tidak boleh menggantikan kebebasan akal individu dalam menilai kebenaran.⁵
Pandangan ini sejalan dengan cita-cita Pencerahan (Enlightenment) yang
menempatkan rasionalitas sebagai landasan utama pengetahuan.
Namun demikian,
realitas sosial menunjukkan bahwa otoritas tetap memiliki peran penting dalam
kehidupan masyarakat. Dalam konteks ilmiah, misalnya, publik sering kali harus
mempercayai konsensus pakar karena keterbatasan waktu dan sumber daya untuk
memverifikasi semua informasi.⁶ Di sinilah muncul dilema: bagaimana membedakan
otoritas yang wajar untuk dipercaya
dengan otoritas yang menyesatkan? Pertanyaan ini menjadi pusat perdebatan dalam
filsafat logika kontemporer.
4.4.
Implikasi Logis
Secara logis,
fallacy ad verecundiam
dapat dijelaskan sebagai bentuk kekeliruan relevansi. Premis yang mengutip
otoritas dianggap tidak relevan jika otoritas tersebut tidak memenuhi syarat
epistemik. Akibatnya, argumen gagal memenuhi prinsip dasar inferensi, yaitu
keterhubungan logis antara premis dan kesimpulan.⁷ Dengan kata lain, ad
verecundiam tidak serta-merta mengarah pada kesimpulan yang salah,
tetapi argumennya tidak sah (invalid) karena tidak didukung alasan yang
relevan.
Implikasi ini
menunjukkan bahwa meskipun otoritas dapat menjadi sumber epistemik sekunder, ia
tidak dapat menggantikan rasionalitas kritis. Menghormati otoritas berbeda
dengan menganggapnya sebagai bukti final. Oleh karena itu, membangun budaya
berpikir kritis menuntut kemampuan membedakan antara “otoritas epistemik”
yang dapat dijadikan panduan dan “otoritas retoris” yang menjerumuskan.
Footnotes
[1]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes
(Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–72a.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.8 (New York:
Benziger Bros., 1947), 10–11.
[3]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 76–80.
[4]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 151–152.
[5]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?”
dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 17–22.
[6]
Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 23–24.
[7]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 136.
5.
Sejarah dan
Perkembangan Pemahaman
5.1.
Masa Klasik:
Aristoteles dan Tradisi Yunani
Konsep mengenai
kekeliruan dalam penalaran telah mendapat perhatian sejak filsafat Yunani Kuno.
Aristoteles dalam Sophistical Refutations
mengidentifikasi berbagai bentuk argumen keliru, meskipun istilah ad
verecundiam secara spesifik belum muncul.¹ Ia menekankan pentingnya
membedakan antara epistēmē (pengetahuan demonstratif)
dan doxa
(opini), serta memperingatkan bahwa otoritas tidak dapat dijadikan dasar tunggal bagi
kebenaran.² Dengan demikian, meskipun Aristoteles tidak secara eksplisit
menamai appeal
to authority sebagai fallacy tersendiri, kerangka logika yang ia
bangun membuka jalan bagi klasifikasi kekeliruan relevansi di kemudian hari.
5.2.
Abad Pertengahan:
Skolastisisme dan Otoritas Gerejawi
Pada Abad
Pertengahan, khususnya dalam tradisi skolastik, otoritas—baik dari Kitab Suci
maupun tulisan para Bapa Gereja—mendapat tempat istimewa dalam penalaran.
Thomas Aquinas, misalnya, menegaskan bahwa otoritas ilahi tidak dapat
diperdebatkan, tetapi otoritas manusia tetap memerlukan verifikasi rasional.³
Namun, dalam praktiknya, sering kali argumen otoritatif dari tokoh gerejawi digunakan sebagai
argumentum
ad verecundiam untuk menutup ruang diskusi. Periode ini menunjukkan
ambivalensi: di satu sisi otoritas dihormati, di sisi lain muncul kesadaran
bahwa otoritas manusia tidak boleh menggantikan argumentasi logis.
5.3.
Renaisans dan Awal
Modern: Kritik terhadap Otoritas Tradisional
Memasuki era
Renaisans, otoritas gerejawi dan skolastik mulai dikritisi. Francis Bacon
menegaskan bahwa kebergantungan pada otoritas lama, termasuk Aristoteles, dapat
menjadi “idola” yang menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan.⁴
Sementara itu, Descartes dengan metode keraguannya menolak menerima sesuatu
sebagai benar hanya karena bersumber dari otoritas, melainkan menuntut dasar
rasional yang jelas dan distinktif.⁵ Periode ini menandai pergeseran besar dari
tradisi otoritatif menuju paradigma kritis dan rasional.
5.4.
Pencerahan:
Rasionalitas versus Otoritas
Pada abad ke-18,
masa Pencerahan memperkuat kritik terhadap otoritas yang tidak relevan. Kant
dengan semboyannya sapere aude (“beranilah
berpikir sendiri”) menolak sikap ketundukan buta pada otoritas eksternal.⁶
Di sini, ad
verecundiam semakin dipahami sebagai hambatan terhadap kebebasan
berpikir dan otonomi
akal. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi berkembangnya tradisi modern dalam
filsafat logika, di mana otoritas tidak lagi dipandang sebagai bukti final,
tetapi sekadar salah satu sumber epistemik yang harus dikaji secara kritis.
5.5.
Era Kontemporer:
Analisis Logika dan Kritik Sosial
Dalam logika
kontemporer, para filsuf dan ahli logika seperti Copi, Walton, dan Govier
mengkaji ad
verecundiam secara lebih sistematis. Mereka menempatkan fallacy ini
dalam kategori fallacy relevansi dan menekankan pentingnya membedakan antara
argumen otoritas yang sahih dan yang keliru.⁷ Selain itu, perkembangan teknologi
komunikasi modern memperlihatkan bentuk baru dari ad verecundiam, seperti fenomena “pakar
instan” di media sosial atau penggunaan figur selebritas untuk memvalidasi
klaim non-ilmiah.⁸
Dengan demikian,
perjalanan sejarah menunjukkan transformasi pemahaman mengenai ad
verecundiam: dari implisit dalam kerangka Aristoteles, dominan
dalam tradisi skolastik, dikritisi di era Renaisans dan Pencerahan, hingga
dianalisis secara formal dalam logika kontemporer. Pola ini menggambarkan dinamika antara otoritas,
rasionalitas, dan kebebasan berpikir dalam lintasan sejarah intelektual
manusia.
Footnotes
[1]
Aristotle, Sophistical Refutations, trans. W. A.
Pickard-Cambridge (Oxford: Clarendon Press, 1928), 165a–170b.
[2]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes
(Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–72a.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.8 (New York:
Benziger Bros., 1947), 10–11.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 47.
[5]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.
[6]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?”
dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 17–22.
[7]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 150–151; Douglas Walton, Appeal to Expert
Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State
University Press, 1997), 25–26.
[8]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 89–90.
6.
Kategori dan
Bentuk-Bentuk Ad Verecundiam
6.1.
Pengantar
Kategorisasi
Fallacy ad
verecundiam tidak selalu tampil dalam bentuk yang seragam. Ia dapat
muncul dalam berbagai variasi tergantung pada konteks wacana, posisi otoritas,
dan cara argumen dibangun. Douglas Walton membedakan antara penggunaan otoritas
yang wajar dan penggunaan yang keliru, dengan menekankan bahwa bentuk-bentuk ad
verecundiam yang sesat umumnya terjadi ketika otoritas digunakan di
luar lingkup kompetensinya atau ketika tidak ada dasar empiris yang mendukung
klaim tersebut.¹ Kategorisasi berikut ini berfungsi untuk mempermudah
identifikasi dalam berbagai praktik diskursif.
6.2.
Otoritas yang Tidak
Relevan
Bentuk pertama
adalah ketika otoritas yang dirujuk tidak memiliki keahlian di bidang yang
sedang diperdebatkan. Misalnya, seorang tokoh seni mengomentari persoalan
kedokteran tanpa latar belakang medis, lalu pendapatnya dijadikan dasar untuk menolak konsensus
ilmiah.² Kekeliruan muncul karena relevansi otoritas tidak sesuai dengan domain
klaim.
6.3.
Otoritas di Luar
Bidang Keahlian
Terkadang seorang
ahli diakui dalam bidang tertentu, tetapi kemudian digunakan sebagai rujukan di
luar bidang kompetensinya. Contoh klasik adalah seorang fisikawan ternama yang
mengemukakan pandangan filsafat atau teologi, lalu pandangannya dianggap sahih
hanya karena reputasinya sebagai ilmuwan.³ Dalam hal ini, terdapat perbedaan
tipis tetapi signifikan antara otoritas yang sahih pada bidang spesifik dan
otoritas keliru di luar batasannya.
6.4.
Konsensus Otoritas
yang Salah
Tidak jarang,
sekelompok otoritas digunakan untuk mendukung suatu klaim, padahal konsensus
tersebut tidak memiliki dasar empiris yang kuat atau justru bertentangan dengan
bukti. Dalam sejarah ilmu
pengetahuan, banyak pandangan yang dahulu didukung konsensus otoritas, tetapi
kemudian terbukti keliru, seperti pandangan geosentrisme yang didukung oleh
otoritas gerejawi sebelum munculnya bukti astronomis modern.⁴ Hal ini
menunjukkan bahwa konsensus otoritas pun tidak kebal terhadap kekeliruan.
6.5.
Otoritas Populer dan
Figur Publik
Bentuk lain dari ad
verecundiam adalah penggunaan figur populer atau tokoh publik
sebagai dasar klaim, meskipun
mereka tidak memiliki relevansi epistemik. Misalnya, selebritas yang menjadi
endorser produk kesehatan sering dianggap sebagai jaminan kualitas, padahal
otoritas mereka hanya bersifat simbolik, bukan ilmiah.⁵ Fenomena ini semakin
marak di era media sosial, di mana popularitas sering kali disalahartikan
sebagai validitas argumen.
6.6.
Otoritas yang Tidak
Dapat Diverifikasi
Kategori ini merujuk
pada penggunaan sumber
otoritas yang kabur, misalnya pernyataan “para ahli mengatakan” tanpa
menyebutkan siapa yang dimaksud atau dari bidang apa.⁶ Dengan cara ini,
otoritas dikonstruksi secara samar untuk menciptakan kesan legitimasi, padahal
klaim tersebut tidak memiliki basis konkret.
6.7.
Ringkasan Tipologi
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa ad verecundiam memiliki berbagai
bentuk yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori utama: (1) otoritas
tidak relevan, (2) otoritas di luar bidang, (3) konsensus salah, (4) figur
populer, dan (5) otoritas tak terverifikasi. Kelima bentuk ini memiliki
kesamaan, yakni pemindahan legitimasi kebenaran dari argumen substantif ke otoritas simbolik.
Identifikasi tipologi ini penting agar kesalahan berpikir dapat dihindari
secara lebih sistematis.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 45–47.
[2]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 152.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 137.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76–77.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 90–91.
[6]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 55.
7.
Analisis Kasus Nyata
Untuk memahami
kompleksitas ad verecundiam, diperlukan telaah
atas kasus-kasus nyata yang menunjukkan bagaimana fallacy ini bekerja dalam
kehidupan sosial. Analisis kasus konkret tidak hanya membantu mengilustrasikan tipologi yang telah
dibahas, tetapi juga memperlihatkan dampak praktis dari kekeliruan ini dalam
membentuk opini publik, kebijakan, dan perilaku masyarakat.¹
7.1.
Kasus dalam Wacana
Politik
Dalam ranah politik,
ad verecundiam
kerap muncul ketika seorang politisi mengutip tokoh berpengaruh atau institusi
terhormat untuk mendukung kebijakan, meskipun otoritas tersebut tidak relevan
dengan substansi isu. Contoh dapat ditemukan dalam kampanye politik yang
mengutip dukungan selebritas untuk meyakinkan pemilih terhadap kualitas
kandidat.² Padahal, dukungan tersebut tidak berkaitan langsung dengan kompetensi politik atau
kapasitas kepemimpinan.
Selain itu, politisi
sering memanfaatkan figur historis, seperti mengutip pernyataan tokoh bangsa di
luar konteks, guna memberi legitimasi moral pada kebijakan kontemporer.³ Hal
ini menimbulkan kesan bahwa suatu kebijakan memiliki “restu otoritas” padahal
argumen yang mendasarinya lemah secara substansial.
7.2.
Kasus dalam Iklan
dan Media
Dunia iklan
merupakan salah satu lahan subur bagi praktik ad verecundiam. Produk kesehatan,
misalnya, kerap dipromosikan dengan menghadirkan figur dokter berpakaian jas
putih atau selebritas terkenal, meskipun otoritas yang ditampilkan tidak
memiliki dasar ilmiah terhadap klaim yang dibuat.⁴ Otoritas simbolik tersebut
bekerja untuk membangun kepercayaan konsumen, walaupun kebenaran klaim produk tidak dapat
diverifikasi secara ilmiah.
Di era media
digital, bentuk baru ad verecundiam muncul dalam
fenomena influencer.
Banyak opini populer tentang isu kesehatan, ekonomi, bahkan politik, dibentuk
oleh tokoh media sosial yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi di bidang
terkait.⁵ Akibatnya, publik sering terjebak dalam bias otoritas yang tidak
sahih.
7.3.
Kasus dalam Diskusi
Ilmiah dan Agama
Dalam ranah akademik
dan keagamaan, ad verecundiam juga sering terjadi.
Seorang penulis dapat saja mengutip pakar yang dihormati untuk memperkuat
argumen, padahal pakar tersebut berbicara di luar lingkup kompetensinya.⁶
Contoh dalam sejarah adalah penolakan ilmuwan terhadap teori heliosentris pada abad ke-16 karena
bertentangan dengan otoritas Aristoteles dan Ptolemaeus yang telah lama
dihormati.⁷
Dalam konteks
keagamaan, kesalahan ini terjadi ketika argumen teologis dibangun semata-mata
atas otoritas tokoh tertentu tanpa merujuk pada nash primer (al-Qur’an atau
Sunnah) dan argumentasi rasional. Hal ini dapat menghambat diskursus kritis dan
mempersempit ruang ijtihad.⁸
7.4.
Dampak Sosial dan
Epistemik
Kasus-kasus di atas
memperlihatkan bahwa ad verecundiam dapat menimbulkan
dampak serius. Di bidang politik, ia dapat melahirkan keputusan yang tidak
berbasis rasionalitas
kebijakan. Dalam media, ia dapat menjerumuskan konsumen pada pilihan yang tidak
sehat. Dalam ilmu pengetahuan, ia dapat memperlambat perkembangan teori baru.
Dan dalam agama, ia dapat membekukan dinamika intelektual umat. Secara
epistemik, semua ini menunjukkan bahwa otoritas yang tidak relevan berpotensi
merusak proses pencarian kebenaran.⁹
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 112.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 139.
[3]
Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 1 (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 57–58.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 91.
[5]
Alice Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in
the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 121–122.
[6]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 153.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76.
[8]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence,
3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 61–62.
[9]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 77.
8.
Kritik terhadap
Fallacy Ad Verecundiam
8.1.
Pengantar Kritik
Ad
verecundiam dikritik karena kecenderungannya mengaburkan batas
antara otoritas epistemik yang sah dan otoritas retoris yang keliru. Dalam
diskursus filsafat logika, kritik ini diarahkan bukan semata-mata pada
keberadaan otoritas, melainkan
pada cara otoritas digunakan secara tidak relevan atau berlebihan.¹ Dengan
demikian, esensi kritik terhadap fallacy ini terletak pada pemisahan antara “menghormati”
otoritas dan “menggantungkan kebenaran” semata-mata pada otoritas.
8.2.
Kelemahan Logis
Secara logis, ad
verecundiam tergolong fallacy relevansi karena premis yang
ditawarkan tidak relevan dengan kesimpulan.² Misalnya, jika seorang musisi
terkenal mengklaim bahwa suatu obat efektif, klaim tersebut tidak otomatis
benar karena kompetensinya tidak terkait dengan bidang medis. Kesalahan logis terjadi ketika
kesimpulan dipaksakan seolah-olah valid hanya karena bersumber dari figur yang
dihormati.³
Kritik logis ini
penting karena menunjukkan bahwa otoritas, tanpa dukungan data empiris atau
inferensi rasional, tidak memiliki daya pembuktian. Dengan kata lain, kebenaran
tidak bersifat “transferable” hanya melalui status sosial atau akademik
seorang individu.
8.3.
Kritik Filosofis
Secara filosofis, ad
verecundiam berlawanan dengan prinsip otonomi akal. Kant menolak
ketundukan buta pada otoritas dan mendorong kebebasan berpikir kritis.⁴
Penerimaan tanpa kritik terhadap klaim otoritas dianggap melemahkan prinsip sapere
aude yang menjadi fondasi
rasionalitas modern.
Selain itu, dari
perspektif epistemologi sosial, reliance yang berlebihan pada otoritas dapat
menimbulkan “epistemic injustice,” yaitu ketidakadilan dalam distribusi
pengetahuan ketika klaim otoritatif menutup peluang bagi argumen yang lebih
sahih.⁵ Dengan demikian, kritik filosofis menekankan bahwa otoritas tidak boleh
menggantikan evaluasi kritis, melainkan hanya berfungsi sebagai panduan awal.
8.4.
Perbedaan antara
Argumen Sahih dan Fallacy
Tidak semua argumen
dari otoritas
(argument
from authority) merupakan fallacy. Douglas Walton mengingatkan bahwa
argumen dari otoritas dapat sahih apabila: (1) otoritas memang kompeten dalam
bidang yang relevan, (2) terdapat konsensus pakar, dan (3) klaim dapat diuji
atau diverifikasi.⁶ Kritik terhadap ad verecundiam muncul justru ketika
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi.
Dengan demikian,
penting untuk membedakan antara argumen yang sahih dan yang keliru. Jika syarat
validitas terpenuhi, penggunaan otoritas dapat menjadi instrumen epistemik yang wajar.
Sebaliknya, jika otoritas digunakan untuk menggantikan bukti, ia berubah
menjadi fallacy.⁷
8.5.
Kritik Sosial dan
Praktis
Dalam praktik
sosial, ad
verecundiam dikritik karena berpotensi memperkuat manipulasi
politik, komersialisasi dalam iklan, dan dogmatisme dalam agama atau sains.⁸
Hal ini membuat publik rentan terhadap otoritas palsu (fake
authority) atau pakar instan yang memperoleh legitimasi melalui popularitas, bukan keahlian.
Kritik sosial ini menyoroti bahwa fallacy tersebut bukan sekadar masalah logis,
tetapi juga fenomena struktural yang dapat merusak rasionalitas publik.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 42.
[2]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 152.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 138.
[4]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?”
dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 18.
[5]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 20–22.
[6]
Walton, Appeal to Expert Opinion, 76–77.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 92–93.
[8]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 83.
9.
Relevansi dalam
Konteks Modern
9.1.
Otoritas di Era
Informasi Digital
Di era digital,
otoritas tidak lagi hanya dimiliki oleh akademisi, ilmuwan, atau lembaga resmi,
melainkan juga oleh figur publik yang memperoleh pengaruh melalui media sosial.
Popularitas di platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok kerap dijadikan
legitimasi dalam menyampaikan klaim yang belum tentu benar.¹ Fenomena ini
memperlihatkan transformasi otoritas:
dari berbasis keahlian menjadi berbasis eksposur. Akibatnya, ad
verecundiam semakin mudah menyebar karena publik lebih cenderung
percaya pada figur populer ketimbang memeriksa bukti empiris.
9.2.
Fenomena Fake
Experts dan Disinformasi
Perkembangan
teknologi komunikasi juga memunculkan fenomena fake experts—individu yang
mengklaim dirinya sebagai pakar tanpa dasar keilmuan yang sahih.² Mereka sering
tampil meyakinkan dengan gelar atau simbol otoritas, meskipun tidak memiliki kredibilitas akademik. Dalam
konteks pandemi COVID-19, misalnya, banyak klaim medis yang beredar luas di
masyarakat didukung oleh figur yang tidak relevan secara keilmuan.³ Hal ini
menunjukkan bagaimana fallacy ad verecundiam dapat memperparah
disinformasi dan menyesatkan kebijakan publik.
9.3.
Media, Politik, dan
Legitimasi Otoritas
Dalam politik
kontemporer, legitimasi sering dibangun melalui otoritas simbolik. Politisi
kerap mengutip dukungan tokoh agama, militer, atau selebritas untuk memperkuat
citra, meskipun otoritas tersebut tidak relevan dengan substansi kebijakan.⁴
Praktik ini tidak hanya menurunkan kualitas perdebatan publik, tetapi juga melemahkan prinsip
demokrasi deliberatif yang menuntut argumen berbasis bukti. Dalam konteks demikian,
ad
verecundiam berfungsi sebagai instrumen retorika, bukan sebagai
sarana rasionalitas.
9.4.
Tantangan bagi
Literasi Kritis
Meningkatnya arus
informasi menuntut masyarakat untuk memiliki literasi kritis yang lebih tinggi.
Tanpa kemampuan membedakan otoritas sahih dan otoritas palsu, publik akan terus
terjebak dalam klaim yang menyesatkan.⁵ Institusi pendidikan memiliki peran
penting dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis, termasuk kemampuan mengenali dan membongkar
fallacy ad verecundiam.
9.5.
Relevansi Filosofis
dan Etis
Secara filosofis,
relevansi ad
verecundiam di era modern menunjukkan ketegangan antara kebutuhan
praktis untuk mempercayai otoritas (misalnya dokter, ilmuwan, atau teknolog)
dengan risiko menerima klaim secara membabi buta.⁶ Dari perspektif etis,
penting untuk menegaskan bahwa kepercayaan pada otoritas sahih adalah hal yang
wajar, tetapi ia harus selalu dibarengi dengan sikap kritis. Dengan demikian, ad
verecundiam menjadi peringatan bahwa penghormatan terhadap otoritas
tidak boleh mengorbankan akal sehat dan evaluasi rasional.
Footnotes
[1]
Alice Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in
the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 121.
[2]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 110–111.
[3]
Heidi J. Larson, Stuck: How Vaccine Rumors Start—and Why They Don’t
Go Away (Oxford: Oxford University Press, 2020), 58–59.
[4]
Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 1 (Cambridge:
Cambridge University Press, 2002), 60.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 95–96.
[6]
Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 25–27.
10.
Sintesis dan Refleksi
Filosofis
10.1.
Menyatukan Dimensi
Logis dan Sosial
Kajian mengenai ad
verecundiam memperlihatkan bahwa ia tidak hanya merupakan problem
logika formal, tetapi juga problem epistemologis dan sosial. Sebagai fallacy relevansi, ia menunjukkan
kelemahan argumen karena bergantung pada otoritas yang tidak sahih. Namun, dari
perspektif sosial, kekeliruan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat sering
kali lebih terpengaruh oleh simbol otoritas daripada bukti empiris.¹ Oleh
karena itu, ad verecundiam harus dipahami dalam
dua dimensi sekaligus: dimensi logis (validitas argumen) dan dimensi sosial
(struktur kekuasaan dan kepercayaan publik).
10.2.
Batas antara
Otoritas dan Kebenaran
Refleksi filosofis
menunjukkan bahwa otoritas tidak sepenuhnya dapat ditolak. Dalam praktik
kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan otoritas epistemik sebagai sarana
untuk mengakses pengetahuan yang kompleks, misalnya dalam ilmu kedokteran atau
teknologi.² Akan tetapi, otoritas tidak boleh diperlakukan sebagai bukti absolut. Kebenaran
harus selalu diverifikasi melalui nalar kritis dan bukti rasional.³ Dengan demikian, batas antara
menghormati otoritas dan menganggapnya sebagai sumber final kebenaran menjadi
penting untuk dijaga.
10.3.
Otonomi Akal dan
Tanggung Jawab Intelektual
Prinsip filsafat
modern, khususnya dalam tradisi Kantian, menekankan otonomi akal. Sapere
aude—“beranilah menggunakan akalmu sendiri”—menjadi
semboyan yang relevan dalam menghadapi ad verecundiam.⁴ Setiap individu
dituntut untuk tidak sekadar menerima klaim berdasarkan status otoritas, tetapi
juga menanggung tanggung jawab intelektual untuk memeriksa validitas klaim
tersebut.
10.4.
Relevansi Etis
Dari sisi etis, ad
verecundiam berbahaya karena dapat menutup ruang dialog dan
menghambat pertumbuhan pengetahuan.⁵ Ketika masyarakat tunduk pada otoritas
tanpa kritik, muncul risiko dogmatisme yang mengekang kebebasan berpikir. Oleh karena itu,
etika intelektual menuntut sikap hormat terhadap otoritas sahih sekaligus keterbukaan
terhadap kritik.
10.5.
Menuju Budaya
Rasional-Kritis
Refleksi akhir dari
pembahasan ini adalah pentingnya membangun budaya rasional-kritis di
masyarakat. Pendidikan, media, dan institusi publik harus mendorong
keterampilan berpikir kritis agar publik dapat membedakan antara otoritas sahih
dan otoritas keliru.⁶ Dengan begitu, otoritas tetap dihargai, tetapi tidak lagi menjadi instrumen manipulasi.
Sintesis ini menunjukkan bahwa ad verecundiam bukan hanya
kekeliruan teknis dalam logika, melainkan juga tantangan filosofis dan etis
yang relevan dengan zaman modern.
Footnotes
[1]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 84.
[2]
Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 25–26.
[3]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 152–153.
[4]
Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?”
dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 18.
[5]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 29–30.
[6]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 98.
11.
Penutup
11.1.
Ringkasan Temuan
Kajian ini
menunjukkan bahwa argumentum ad verecundiam merupakan
salah satu bentuk
fallacy relevansi yang muncul ketika otoritas dijadikan dasar legitimasi klaim
tanpa relevansi atau validitas yang memadai. Sejak masa Aristoteles, persoalan
otoritas dan kebenaran telah menjadi perhatian filsafat, dan perdebatan ini
terus berkembang hingga era modern dan kontemporer.¹ Dalam sejarahnya, ad
verecundiam sering menimbulkan dampak signifikan, baik dalam
politik, agama, ilmu pengetahuan, maupun kehidupan sosial.
11.2.
Kesimpulan Akhir
Dapat disimpulkan
bahwa ad
verecundiam adalah kekeliruan yang bersifat ganda: secara logis, ia
melemahkan validitas argumen karena premis tidak relevan dengan kesimpulan; secara sosial, ia memperlihatkan
kerentanan manusia terhadap simbol kewibawaan.² Kritik filosofis dan logis
terhadap fallacy ini menekankan pentingnya membedakan antara otoritas sahih
yang memang relevan dan otoritas keliru yang hanya berfungsi sebagai retorika
persuasif.³
Selain itu, ad
verecundiam menyingkap dilema epistemologis: manusia memang
membutuhkan otoritas epistemik dalam menghadapi kompleksitas dunia, namun
kebergantungan tanpa kritik justru menimbulkan risiko dogmatisme dan disinformasi.⁴ Oleh karena itu,
keberanian berpikir kritis sebagaimana ditekankan dalam tradisi Pencerahan
tetap relevan untuk melawan kecenderungan menerima klaim otoritatif tanpa
verifikasi rasional.
11.3.
Implikasi Praktis
dan Akademis
Secara praktis,
kajian ini menekankan urgensi literasi kritis di tengah arus informasi digital.
Publik perlu dilatih untuk mengenali fallacy ad verecundiam agar tidak mudah
terjebak dalam klaim yang menyesatkan, baik di media, politik, maupun diskursus keagamaan.⁵
Secara akademis, studi ini memperkaya literatur filsafat logika dengan
menempatkan ad verecundiam bukan hanya sebagai
kesalahan teknis, tetapi juga sebagai fenomena epistemologis dan etis yang
memerlukan refleksi filosofis lebih lanjut.
11.4.
Rekomendasi Kajian
Lanjutan
Kajian ke depan
dapat diarahkan pada penelitian interdisipliner yang menggabungkan filsafat logika, psikologi kognitif,
dan kajian media untuk memahami mengapa publik mudah menerima otoritas yang
tidak relevan.⁶ Selain itu, riset lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji
strategi pedagogis dalam mengajarkan deteksi fallacy kepada siswa dan
mahasiswa, sehingga kesadaran kritis dapat ditanamkan sejak dini.
Footnotes
[1]
Aristotle, Sophistical Refutations, trans. W. A.
Pickard-Cambridge (Oxford: Clarendon Press, 1928), 165a–170b.
[2]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2014), 152.
[3]
Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority
(University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 76–77.
[4]
Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 25.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 98.
[6]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: Routledge, 2013), 91.
Daftar
Pustaka
Aristotle. (1928). Sophistical refutations (W.
A. Pickard-Cambridge, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1994). Posterior analytics (J.
Barnes, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Bacon, F. (1960). Novum organum (F. H.
Anderson, Ed.). Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill.
Copi, I. M., & Cohen, C. (2014). Introduction
to logic (14th ed.). New York, NY: Routledge.
Damer, T. E. (2012). Attacking faulty reasoning: A
practical guide to fallacy-free arguments (7th ed.). Boston, MA: Cengage
Learning.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Fisher, A. (2004). The logic of real arguments
(2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and
the ethics of knowing. Oxford: Oxford University Press.
Goldman, A. I. (1999). Knowledge in a social world.
Oxford: Oxford University Press.
Govier, T. (2010). A practical study of argument
(7th ed.). Boston, MA: Wadsworth.
Hurley, P. J. (2015). A concise introduction to
logic (12th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.
Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic
jurisprudence (3rd ed.). Cambridge: Islamic Texts Society.
Kant, I. (1996). An answer to the question: What is
Enlightenment? In M. J. Gregor (Ed.), Practical philosophy (pp. 17–22).
Cambridge: Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). Chicago, IL: University of Chicago Press.
Larson, H. J. (2020). Stuck: How vaccine rumors
start—and why they don’t go away. Oxford: Oxford University Press.
Marwick, A. (2013). Status update: Celebrity,
publicity, and branding in the social media age. New Haven, CT: Yale
University Press.
Skinner, Q. (2002). Visions of politics (Vol.
1). Cambridge: Cambridge University Press.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae (Vol.
I). New York, NY: Benziger Bros.
Walton, D. (1997). Appeal to expert opinion:
Arguments from authority. University Park, PA: Pennsylvania State
University Press.
Woods, J. (2013). Errors of reasoning: Naturalizing
the logic of inference. London: Routledge.
Whately, R. (1875). Elements of logic (9th
ed.). London: Longman, Green, Longman, and Roberts.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar