Kamis, 02 Oktober 2025

Ad Verecundiam (Appeal to Authority): Analisis Kritis atas Kekeliruan Logika Otoritas dalam Argumen

Ad Verecundiam (Appeal to Authority)

Analisis Kritis atas Kekeliruan Logika Otoritas dalam Argumen


Alihkan ke: Fallacy Informal.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang salah satu jenis fallacy informal, yakni argumentum ad verecundiam atau appeal to authority. Fallacy ini terjadi ketika suatu klaim dianggap benar semata-mata karena bersumber dari otoritas tertentu yang tidak relevan. Kajian ini diawali dengan pemaparan konsep dasar fallacy informal, kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi etimologi, definisi, dan karakteristik ad verecundiam. Sejarah pemahamannya ditelusuri sejak era Aristoteles, tradisi skolastik, masa Renaisans, Pencerahan, hingga analisis logika kontemporer. Artikel ini juga menguraikan tipologi ad verecundiam, analisis kasus nyata dalam politik, media, sains, dan agama, serta kritik logis, filosofis, dan sosial terhadap fallacy ini. Selanjutnya, dibahas relevansinya dalam konteks modern, khususnya di era digital yang ditandai dengan fenomena fake experts dan otoritas berbasis popularitas. Kajian ini menegaskan bahwa meskipun otoritas dapat berperan sebagai instrumen epistemik, ia tidak dapat dijadikan bukti final kebenaran tanpa evaluasi rasional. Oleh karena itu, diperlukan literasi kritis untuk membedakan antara otoritas sahih dan otoritas keliru, sehingga budaya berpikir rasional-kritis dapat tumbuh dalam masyarakat.

Kata Kunci: Fallacy informal; ad verecundiam; appeal to authority; otoritas; logika; epistemologi; literasi kritis; filsafat modern; fake experts; retorika.


PEMBAHASAN

Kajian Ad Verecundiam (Appeal to Authority)


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Dalam ranah logika dan filsafat, kekeliruan berpikir (fallacy) merupakan salah satu isu sentral yang mendapat perhatian luas sejak zaman klasik hingga kontemporer. Kekeliruan ini tidak hanya ditemukan dalam diskursus akademik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam komunikasi politik, wacana sosial, perdebatan ilmiah, maupun interaksi populer di media massa. Salah satu bentuk fallacy yang menonjol adalah argumentum ad verecundiam atau appeal to authority, yaitu sebuah kekeliruan yang terjadi ketika seseorang menjadikan otoritas tertentu sebagai dasar kebenaran, meskipun otoritas tersebut tidak relevan dengan bidang permasalahan yang dibicarakan.¹

Fenomena ini menjadi sangat penting untuk dikaji karena otoritas sering kali dianggap memiliki posisi yang hampir tidak dapat digugat. Dalam masyarakat modern, misalnya, figur publik, pakar, atau institusi ilmiah memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Akan tetapi, tidak semua klaim yang bersumber dari otoritas dapat dianggap benar secara otomatis, terutama jika otoritas tersebut berbicara di luar bidang keahliannya atau jika otoritas itu sendiri tidak memiliki legitimasi yang sah.² Akibatnya, masyarakat rentan menerima klaim yang keliru hanya karena dibungkus oleh aura kewibawaan otoritas.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa pertanyaan pokok yang muncul antara lain:

1)                  Apa definisi dan karakteristik utama fallacy ad verecundiam?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan konsep ini dalam tradisi filsafat dan logika?

3)                  Apa saja bentuk-bentuk konkret fallacy ad verecundiam dalam berbagai wacana?

4)                  Bagaimana dampak penggunaan fallacy ini dalam konteks modern, khususnya di era digital dan media sosial?

5)                  Bagaimana cara membedakan antara otoritas yang sahih dengan otoritas yang keliru?

1.3.       Tujuan Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

·                     Menjelaskan konsep dasar dan karakteristik ad verecundiam.

·                     Menguraikan perkembangan historis dan teoritisnya.

·                     Menyajikan analisis kasus nyata dalam berbagai konteks sosial.

·                     Memberikan refleksi filosofis mengenai posisi otoritas dalam wacana pengetahuan.

·                     Merumuskan batas kritis dalam menggunakan otoritas sebagai sumber kebenaran.

1.4.       Manfaat Penelitian

Kajian ini memiliki manfaat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, ia memperkaya literatur filsafat logika mengenai klasifikasi dan analisis fallacy. Secara praktis, ia memberikan kontribusi bagi pengembangan literasi kritis di masyarakat, terutama dalam menghadapi arus informasi yang kerap kali mencampuradukkan klaim valid dengan klaim keliru yang didukung oleh otoritas palsu (fake authority).³

1.5.       Metodologi Kajian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan kajian literatur (library research). Analisis dilakukan terhadap literatur klasik maupun kontemporer mengenai fallacy, filsafat logika, serta studi kasus empiris. Sumber-sumber primer mencakup karya-karya klasik filsafat logika, sementara sumber sekunder meliputi artikel akademik, analisis kritis, dan literatur populer terkait penggunaan otoritas dalam wacana publik.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 150–151.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 135.

[3]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 23–24.


2.           Konsep Dasar Fallacy Informal

2.1.       Definisi Fallacy

Dalam filsafat logika, fallacy dipahami sebagai bentuk penalaran yang keliru, baik secara struktur maupun isi, yang meskipun tampak meyakinkan, pada dasarnya tidak valid atau tidak relevan.¹ Secara umum, fallacy merupakan kekeliruan penalaran yang dapat mengaburkan kebenaran, menyesatkan argumen, atau menghasilkan kesimpulan yang salah.² Para logikawan membedakan fallacy menjadi dua kategori besar: formal dan informal.

Fallacy formal terjadi ketika kesalahan terletak pada bentuk atau struktur logis dari argumen, sehingga ketidakabsahan dapat diuji melalui aturan inferensi yang ketat. Sebaliknya, fallacy informal berkaitan dengan isi, konteks, atau penggunaan bahasa dalam argumen, yang meskipun secara bentuk mungkin tampak benar, pada substansinya menyimpan kekeliruan.³

2.2.       Karakteristik Umum Fallacy Informal

Fallacy informal memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari fallacy formal, di antaranya:

1)                  Kontekstualitas: kekeliruan muncul bukan karena pelanggaran aturan logika formal, tetapi karena adanya penggunaan premis yang tidak relevan atau menyesatkan.⁴

2)                  Kekuatan retoris: fallacy informal sering kali bersifat persuasif, memanfaatkan emosi, otoritas, popularitas, atau bias kognitif untuk meyakinkan audiens.

3)                  Sulit diidentifikasi: tidak seperti fallacy formal yang jelas-jelas menyalahi bentuk silogisme, fallacy informal sering terselubung dalam cara penyampaian, pilihan kata, maupun konteks wacana.

4)                   Berkaitan dengan pragmatik bahasa: fallacy informal tidak hanya menyangkut kebenaran proposisional, tetapi juga strategi komunikasi yang dapat menyesatkan penalaran pendengar.⁵

2.3.       Klasifikasi Fallacy Informal

Dalam literatur logika, terdapat berbagai sistem klasifikasi untuk fallacy informal. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah pembagian berdasarkan sumber kesalahannya, yaitu:

1)                  Fallacy Relevansi: kekeliruan yang muncul karena argumen menggunakan premis yang tidak relevan terhadap kesimpulan, seperti ad hominem, ad populum, atau ad verecundiam.⁶

2)                  Fallacy Ambiguitas: kesalahan yang timbul akibat penggunaan bahasa yang kabur atau bermakna ganda, misalnya equivocation atau amphiboly.

3)                  Fallacy Presumsi: kesalahan karena adanya asumsi tersembunyi atau pertanyaan yang menyesatkan (complex question, begging the question).

Klasifikasi ini membantu untuk menempatkan ad verecundiam ke dalam kelompok fallacy relevansi, sebab ia melibatkan penggunaan otoritas yang tidak relevan dengan substansi persoalan.

2.4.       Pentingnya Mempelajari Fallacy Informal

Studi mengenai fallacy informal memiliki urgensi besar, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, ia memperkuat pemahaman mengenai batas-batas rasionalitas dalam argumen. Secara praktis, kemampuan mengenali fallacy informal dapat meningkatkan literasi kritis masyarakat, sehingga tidak mudah terjebak dalam manipulasi retorika atau propaganda.⁷ Dalam era media sosial, di mana informasi tersebar begitu cepat, kesadaran terhadap fallacy informal sangat diperlukan agar masyarakat dapat membedakan antara klaim yang sahih dengan klaim yang keliru tetapi tampak meyakinkan.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 138.

[2]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2012), 18.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 120.

[4]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 41.

[5]                Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 65.

[6]                Alec Fisher, The Logic of Real Arguments, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 102–103.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 45.


3.           Definisi dan Karakteristik Ad Verecundiam

3.1.       Etimologi Istilah Ad Verecundiam

Istilah ad verecundiam berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti “kepada rasa hormat” atau “kepada kewibawaan.”¹ Dalam tradisi logika klasik, istilah ini merujuk pada jenis argumen yang berusaha memperoleh legitimasi bukan dari kekuatan bukti atau logika, melainkan dari rasa hormat yang diberikan kepada suatu otoritas. Pemilihan istilah ini menggambarkan sifat utama kekeliruannya: argumen seolah-olah benar hanya karena bersandar pada figur atau institusi yang dianggap berwibawa.

3.2.       Definisi Klasik dan Modern

Secara klasik, argumentum ad verecundiam didefinisikan sebagai kekeliruan ketika seseorang menerima suatu klaim semata-mata karena klaim tersebut dikemukakan oleh seorang otoritas, tanpa memeriksa relevansi dan keabsahan argumen tersebut.² Definisi ini dikuatkan dalam tradisi logika skolastik yang menekankan bahwa otoritas tidak dapat menjadi bukti mutlak, melainkan harus diverifikasi melalui alasan yang sahih.

Dalam konteks modern, Douglas Walton mendefinisikan ad verecundiam sebagai argumen yang secara tidak sah menjadikan pernyataan seorang pakar atau otoritas sebagai bukti konklusif, terutama ketika otoritas tersebut berbicara di luar bidang keahliannya.³ Dengan demikian, perbedaan penting antara otoritas yang sahih dan yang keliru terletak pada relevansi keahlian, legitimasi akademik, serta validitas metodologis yang digunakan otoritas tersebut.

3.3.       Unsur-Unsur Penyusun Fallacy Ad Verecundiam

Sebuah argumen dapat dikategorikan sebagai ad verecundiam apabila memenuhi beberapa unsur berikut:

1)                  Adanya klaim dari otoritas: argumen diajukan dengan mengutip atau merujuk kepada individu/institusi yang dianggap berwibawa.

2)                  Ketiadaan relevansi: otoritas yang dikutip tidak memiliki keahlian atau legitimasi di bidang yang sedang diperdebatkan.

3)                  Penerimaan klaim tanpa kritik: audiens atau lawan bicara menerima klaim semata-mata karena rasa hormat atau wibawa, bukan karena bukti rasional.⁴

4)                  Pengalihan fokus: kebenaran klaim dialihkan dari argumen substantif kepada status otoritas yang dikutip.

3.4.       Karakteristik Ad Verecundiam

Fallacy ad verecundiam memiliki sejumlah karakteristik yang membuatnya berbeda dari bentuk fallacy relevansi lainnya:

·                     Bersifat persuasif: daya ikat argumen terletak pada kewibawaan simbolik otoritas, bukan pada rasionalitas bukti.

·                     Mengandalkan legitimasi sosial: argumen sering diperkuat oleh posisi sosial, popularitas, atau jabatan formal seseorang, walaupun tidak relevan dengan pokok masalah.

·                     Rentan dalam masyarakat modern: di era informasi, muncul banyak figur publik atau “pakar instan” yang memberikan opini tanpa dasar keilmuan yang kuat, namun tetap diterima luas oleh publik.⁵

·                     Menciptakan ilusi kebenaran: klaim tampak sahih karena diasosiasikan dengan otoritas, sehingga sulit dibantah tanpa membongkar otoritas itu sendiri.

Karakteristik ini menunjukkan bahwa ad verecundiam bukan hanya sebuah kekeliruan logis, melainkan juga fenomena sosial yang berkaitan dengan relasi kuasa, psikologi kolektif, dan struktur otoritas dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                Richard Whately, Elements of Logic, 9th ed. (London: Longman, Green, Longman, and Roberts, 1875), 179.

[2]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 150.

[3]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 23.

[4]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 135.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 87.


4.           Landasan Filosofis dan Logis

4.1.       Otoritas dan Pengetahuan

Dalam filsafat, konsep otoritas sering kali dikaitkan dengan epistemologi, yakni teori tentang pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah otoritas dapat dijadikan dasar bagi pengetahuan yang sahih? Secara historis, filsafat Yunani sudah menyinggung isu ini. Aristoteles, misalnya, mengakui pentingnya guru atau pakar, tetapi menekankan bahwa pengetahuan harus dibangun melalui epistēmē (ilmu yang dapat dibuktikan) dan logos (argumentasi rasional), bukan semata-mata kepercayaan pada otoritas.¹

Tradisi filsafat skolastik di Abad Pertengahan, terutama dalam karya Thomas Aquinas, juga menegaskan bahwa otoritas manusia tidak bersifat absolut. Ia dapat dihormati sebagai rujukan, tetapi kebenaran sejati hanya dapat ditemukan melalui akal dan wahyu.² Dengan demikian, otoritas dipandang sebagai sarana bantu epistemik, bukan fondasi final kebenaran.

4.2.       Distingsi antara Otoritas Sahih dan Otoritas Keliru

Secara logis, perlu dibedakan antara penggunaan otoritas yang sahih (legitimate authority) dan otoritas yang keliru (fallacious authority). Walton menyebut bahwa argumen dari otoritas dapat sah jika memenuhi kriteria: (1) otoritas memiliki keahlian relevan, (2) terdapat konsensus di antara pakar, (3) klaim dapat diverifikasi, dan (4) argumen tidak menutup kritik lebih lanjut.³

Sebaliknya, otoritas menjadi keliru apabila: (a) berbicara di luar bidang kompetensi, (b) klaim tidak didukung konsensus atau bukti empiris, atau (c) audiens dipaksa menerima tanpa ruang untuk meninjau ulang.⁴ Inilah titik di mana ad verecundiam berubah menjadi fallacy—yaitu ketika otoritas digunakan bukan sebagai instrumen rasional, tetapi sebagai alat retoris untuk menghentikan dialog kritis.

4.3.       Otoritas dan Rasionalitas dalam Diskursus Publik

Dalam kerangka filsafat modern, para pemikir kritis seperti Immanuel Kant menolak ketundukan buta pada otoritas. Moto sapere aude (“beranilah berpikir sendiri”) yang dikemukakannya menegaskan bahwa otoritas eksternal tidak boleh menggantikan kebebasan akal individu dalam menilai kebenaran.⁵ Pandangan ini sejalan dengan cita-cita Pencerahan (Enlightenment) yang menempatkan rasionalitas sebagai landasan utama pengetahuan.

Namun demikian, realitas sosial menunjukkan bahwa otoritas tetap memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ilmiah, misalnya, publik sering kali harus mempercayai konsensus pakar karena keterbatasan waktu dan sumber daya untuk memverifikasi semua informasi.⁶ Di sinilah muncul dilema: bagaimana membedakan otoritas yang wajar untuk dipercaya dengan otoritas yang menyesatkan? Pertanyaan ini menjadi pusat perdebatan dalam filsafat logika kontemporer.

4.4.       Implikasi Logis

Secara logis, fallacy ad verecundiam dapat dijelaskan sebagai bentuk kekeliruan relevansi. Premis yang mengutip otoritas dianggap tidak relevan jika otoritas tersebut tidak memenuhi syarat epistemik. Akibatnya, argumen gagal memenuhi prinsip dasar inferensi, yaitu keterhubungan logis antara premis dan kesimpulan.⁷ Dengan kata lain, ad verecundiam tidak serta-merta mengarah pada kesimpulan yang salah, tetapi argumennya tidak sah (invalid) karena tidak didukung alasan yang relevan.

Implikasi ini menunjukkan bahwa meskipun otoritas dapat menjadi sumber epistemik sekunder, ia tidak dapat menggantikan rasionalitas kritis. Menghormati otoritas berbeda dengan menganggapnya sebagai bukti final. Oleh karena itu, membangun budaya berpikir kritis menuntut kemampuan membedakan antara “otoritas epistemik” yang dapat dijadikan panduan dan “otoritas retoris” yang menjerumuskan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–72a.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.8 (New York: Benziger Bros., 1947), 10–11.

[3]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 76–80.

[4]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 151–152.

[5]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–22.

[6]                Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford University Press, 1999), 23–24.

[7]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 136.


5.           Sejarah dan Perkembangan Pemahaman

5.1.       Masa Klasik: Aristoteles dan Tradisi Yunani

Konsep mengenai kekeliruan dalam penalaran telah mendapat perhatian sejak filsafat Yunani Kuno. Aristoteles dalam Sophistical Refutations mengidentifikasi berbagai bentuk argumen keliru, meskipun istilah ad verecundiam secara spesifik belum muncul.¹ Ia menekankan pentingnya membedakan antara epistēmē (pengetahuan demonstratif) dan doxa (opini), serta memperingatkan bahwa otoritas tidak dapat dijadikan dasar tunggal bagi kebenaran.² Dengan demikian, meskipun Aristoteles tidak secara eksplisit menamai appeal to authority sebagai fallacy tersendiri, kerangka logika yang ia bangun membuka jalan bagi klasifikasi kekeliruan relevansi di kemudian hari.

5.2.       Abad Pertengahan: Skolastisisme dan Otoritas Gerejawi

Pada Abad Pertengahan, khususnya dalam tradisi skolastik, otoritas—baik dari Kitab Suci maupun tulisan para Bapa Gereja—mendapat tempat istimewa dalam penalaran. Thomas Aquinas, misalnya, menegaskan bahwa otoritas ilahi tidak dapat diperdebatkan, tetapi otoritas manusia tetap memerlukan verifikasi rasional.³ Namun, dalam praktiknya, sering kali argumen otoritatif dari tokoh gerejawi digunakan sebagai argumentum ad verecundiam untuk menutup ruang diskusi. Periode ini menunjukkan ambivalensi: di satu sisi otoritas dihormati, di sisi lain muncul kesadaran bahwa otoritas manusia tidak boleh menggantikan argumentasi logis.

5.3.       Renaisans dan Awal Modern: Kritik terhadap Otoritas Tradisional

Memasuki era Renaisans, otoritas gerejawi dan skolastik mulai dikritisi. Francis Bacon menegaskan bahwa kebergantungan pada otoritas lama, termasuk Aristoteles, dapat menjadi “idola” yang menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan.⁴ Sementara itu, Descartes dengan metode keraguannya menolak menerima sesuatu sebagai benar hanya karena bersumber dari otoritas, melainkan menuntut dasar rasional yang jelas dan distinktif.⁵ Periode ini menandai pergeseran besar dari tradisi otoritatif menuju paradigma kritis dan rasional.

5.4.       Pencerahan: Rasionalitas versus Otoritas

Pada abad ke-18, masa Pencerahan memperkuat kritik terhadap otoritas yang tidak relevan. Kant dengan semboyannya sapere aude (“beranilah berpikir sendiri”) menolak sikap ketundukan buta pada otoritas eksternal.⁶ Di sini, ad verecundiam semakin dipahami sebagai hambatan terhadap kebebasan berpikir dan otonomi akal. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi berkembangnya tradisi modern dalam filsafat logika, di mana otoritas tidak lagi dipandang sebagai bukti final, tetapi sekadar salah satu sumber epistemik yang harus dikaji secara kritis.

5.5.       Era Kontemporer: Analisis Logika dan Kritik Sosial

Dalam logika kontemporer, para filsuf dan ahli logika seperti Copi, Walton, dan Govier mengkaji ad verecundiam secara lebih sistematis. Mereka menempatkan fallacy ini dalam kategori fallacy relevansi dan menekankan pentingnya membedakan antara argumen otoritas yang sahih dan yang keliru.⁷ Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi modern memperlihatkan bentuk baru dari ad verecundiam, seperti fenomena “pakar instan” di media sosial atau penggunaan figur selebritas untuk memvalidasi klaim non-ilmiah.⁸

Dengan demikian, perjalanan sejarah menunjukkan transformasi pemahaman mengenai ad verecundiam: dari implisit dalam kerangka Aristoteles, dominan dalam tradisi skolastik, dikritisi di era Renaisans dan Pencerahan, hingga dianalisis secara formal dalam logika kontemporer. Pola ini menggambarkan dinamika antara otoritas, rasionalitas, dan kebebasan berpikir dalam lintasan sejarah intelektual manusia.


Footnotes

[1]                Aristotle, Sophistical Refutations, trans. W. A. Pickard-Cambridge (Oxford: Clarendon Press, 1928), 165a–170b.

[2]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71b–72a.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.1, a.8 (New York: Benziger Bros., 1947), 10–11.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 47.

[5]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.

[6]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–22.

[7]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 150–151; Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 25–26.

[8]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 89–90.


6.           Kategori dan Bentuk-Bentuk Ad Verecundiam

6.1.       Pengantar Kategorisasi

Fallacy ad verecundiam tidak selalu tampil dalam bentuk yang seragam. Ia dapat muncul dalam berbagai variasi tergantung pada konteks wacana, posisi otoritas, dan cara argumen dibangun. Douglas Walton membedakan antara penggunaan otoritas yang wajar dan penggunaan yang keliru, dengan menekankan bahwa bentuk-bentuk ad verecundiam yang sesat umumnya terjadi ketika otoritas digunakan di luar lingkup kompetensinya atau ketika tidak ada dasar empiris yang mendukung klaim tersebut.¹ Kategorisasi berikut ini berfungsi untuk mempermudah identifikasi dalam berbagai praktik diskursif.

6.2.       Otoritas yang Tidak Relevan

Bentuk pertama adalah ketika otoritas yang dirujuk tidak memiliki keahlian di bidang yang sedang diperdebatkan. Misalnya, seorang tokoh seni mengomentari persoalan kedokteran tanpa latar belakang medis, lalu pendapatnya dijadikan dasar untuk menolak konsensus ilmiah.² Kekeliruan muncul karena relevansi otoritas tidak sesuai dengan domain klaim.

6.3.       Otoritas di Luar Bidang Keahlian

Terkadang seorang ahli diakui dalam bidang tertentu, tetapi kemudian digunakan sebagai rujukan di luar bidang kompetensinya. Contoh klasik adalah seorang fisikawan ternama yang mengemukakan pandangan filsafat atau teologi, lalu pandangannya dianggap sahih hanya karena reputasinya sebagai ilmuwan.³ Dalam hal ini, terdapat perbedaan tipis tetapi signifikan antara otoritas yang sahih pada bidang spesifik dan otoritas keliru di luar batasannya.

6.4.       Konsensus Otoritas yang Salah

Tidak jarang, sekelompok otoritas digunakan untuk mendukung suatu klaim, padahal konsensus tersebut tidak memiliki dasar empiris yang kuat atau justru bertentangan dengan bukti. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, banyak pandangan yang dahulu didukung konsensus otoritas, tetapi kemudian terbukti keliru, seperti pandangan geosentrisme yang didukung oleh otoritas gerejawi sebelum munculnya bukti astronomis modern.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa konsensus otoritas pun tidak kebal terhadap kekeliruan.

6.5.       Otoritas Populer dan Figur Publik

Bentuk lain dari ad verecundiam adalah penggunaan figur populer atau tokoh publik sebagai dasar klaim, meskipun mereka tidak memiliki relevansi epistemik. Misalnya, selebritas yang menjadi endorser produk kesehatan sering dianggap sebagai jaminan kualitas, padahal otoritas mereka hanya bersifat simbolik, bukan ilmiah.⁵ Fenomena ini semakin marak di era media sosial, di mana popularitas sering kali disalahartikan sebagai validitas argumen.

6.6.       Otoritas yang Tidak Dapat Diverifikasi

Kategori ini merujuk pada penggunaan sumber otoritas yang kabur, misalnya pernyataan “para ahli mengatakan” tanpa menyebutkan siapa yang dimaksud atau dari bidang apa.⁶ Dengan cara ini, otoritas dikonstruksi secara samar untuk menciptakan kesan legitimasi, padahal klaim tersebut tidak memiliki basis konkret.

6.7.       Ringkasan Tipologi

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ad verecundiam memiliki berbagai bentuk yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori utama: (1) otoritas tidak relevan, (2) otoritas di luar bidang, (3) konsensus salah, (4) figur populer, dan (5) otoritas tak terverifikasi. Kelima bentuk ini memiliki kesamaan, yakni pemindahan legitimasi kebenaran dari argumen substantif ke otoritas simbolik. Identifikasi tipologi ini penting agar kesalahan berpikir dapat dihindari secara lebih sistematis.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 45–47.

[2]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 152.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 137.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76–77.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 90–91.

[6]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 55.


7.           Analisis Kasus Nyata

Untuk memahami kompleksitas ad verecundiam, diperlukan telaah atas kasus-kasus nyata yang menunjukkan bagaimana fallacy ini bekerja dalam kehidupan sosial. Analisis kasus konkret tidak hanya membantu mengilustrasikan tipologi yang telah dibahas, tetapi juga memperlihatkan dampak praktis dari kekeliruan ini dalam membentuk opini publik, kebijakan, dan perilaku masyarakat.¹

7.1.       Kasus dalam Wacana Politik

Dalam ranah politik, ad verecundiam kerap muncul ketika seorang politisi mengutip tokoh berpengaruh atau institusi terhormat untuk mendukung kebijakan, meskipun otoritas tersebut tidak relevan dengan substansi isu. Contoh dapat ditemukan dalam kampanye politik yang mengutip dukungan selebritas untuk meyakinkan pemilih terhadap kualitas kandidat.² Padahal, dukungan tersebut tidak berkaitan langsung dengan kompetensi politik atau kapasitas kepemimpinan.

Selain itu, politisi sering memanfaatkan figur historis, seperti mengutip pernyataan tokoh bangsa di luar konteks, guna memberi legitimasi moral pada kebijakan kontemporer.³ Hal ini menimbulkan kesan bahwa suatu kebijakan memiliki “restu otoritas” padahal argumen yang mendasarinya lemah secara substansial.

7.2.       Kasus dalam Iklan dan Media

Dunia iklan merupakan salah satu lahan subur bagi praktik ad verecundiam. Produk kesehatan, misalnya, kerap dipromosikan dengan menghadirkan figur dokter berpakaian jas putih atau selebritas terkenal, meskipun otoritas yang ditampilkan tidak memiliki dasar ilmiah terhadap klaim yang dibuat.⁴ Otoritas simbolik tersebut bekerja untuk membangun kepercayaan konsumen, walaupun kebenaran klaim produk tidak dapat diverifikasi secara ilmiah.

Di era media digital, bentuk baru ad verecundiam muncul dalam fenomena influencer. Banyak opini populer tentang isu kesehatan, ekonomi, bahkan politik, dibentuk oleh tokoh media sosial yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi di bidang terkait.⁵ Akibatnya, publik sering terjebak dalam bias otoritas yang tidak sahih.

7.3.       Kasus dalam Diskusi Ilmiah dan Agama

Dalam ranah akademik dan keagamaan, ad verecundiam juga sering terjadi. Seorang penulis dapat saja mengutip pakar yang dihormati untuk memperkuat argumen, padahal pakar tersebut berbicara di luar lingkup kompetensinya.⁶ Contoh dalam sejarah adalah penolakan ilmuwan terhadap teori heliosentris pada abad ke-16 karena bertentangan dengan otoritas Aristoteles dan Ptolemaeus yang telah lama dihormati.⁷

Dalam konteks keagamaan, kesalahan ini terjadi ketika argumen teologis dibangun semata-mata atas otoritas tokoh tertentu tanpa merujuk pada nash primer (al-Qur’an atau Sunnah) dan argumentasi rasional. Hal ini dapat menghambat diskursus kritis dan mempersempit ruang ijtihad.⁸

7.4.       Dampak Sosial dan Epistemik

Kasus-kasus di atas memperlihatkan bahwa ad verecundiam dapat menimbulkan dampak serius. Di bidang politik, ia dapat melahirkan keputusan yang tidak berbasis rasionalitas kebijakan. Dalam media, ia dapat menjerumuskan konsumen pada pilihan yang tidak sehat. Dalam ilmu pengetahuan, ia dapat memperlambat perkembangan teori baru. Dan dalam agama, ia dapat membekukan dinamika intelektual umat. Secara epistemik, semua ini menunjukkan bahwa otoritas yang tidak relevan berpotensi merusak proses pencarian kebenaran.⁹


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 112.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 139.

[3]                Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 57–58.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 91.

[5]                Alice Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 121–122.

[6]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 153.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76.

[8]                Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, 3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 61–62.

[9]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 77.


8.           Kritik terhadap Fallacy Ad Verecundiam

8.1.       Pengantar Kritik

Ad verecundiam dikritik karena kecenderungannya mengaburkan batas antara otoritas epistemik yang sah dan otoritas retoris yang keliru. Dalam diskursus filsafat logika, kritik ini diarahkan bukan semata-mata pada keberadaan otoritas, melainkan pada cara otoritas digunakan secara tidak relevan atau berlebihan.¹ Dengan demikian, esensi kritik terhadap fallacy ini terletak pada pemisahan antara “menghormati” otoritas dan “menggantungkan kebenaran” semata-mata pada otoritas.

8.2.       Kelemahan Logis

Secara logis, ad verecundiam tergolong fallacy relevansi karena premis yang ditawarkan tidak relevan dengan kesimpulan.² Misalnya, jika seorang musisi terkenal mengklaim bahwa suatu obat efektif, klaim tersebut tidak otomatis benar karena kompetensinya tidak terkait dengan bidang medis. Kesalahan logis terjadi ketika kesimpulan dipaksakan seolah-olah valid hanya karena bersumber dari figur yang dihormati.³

Kritik logis ini penting karena menunjukkan bahwa otoritas, tanpa dukungan data empiris atau inferensi rasional, tidak memiliki daya pembuktian. Dengan kata lain, kebenaran tidak bersifat “transferable” hanya melalui status sosial atau akademik seorang individu.

8.3.       Kritik Filosofis

Secara filosofis, ad verecundiam berlawanan dengan prinsip otonomi akal. Kant menolak ketundukan buta pada otoritas dan mendorong kebebasan berpikir kritis.⁴ Penerimaan tanpa kritik terhadap klaim otoritas dianggap melemahkan prinsip sapere aude yang menjadi fondasi rasionalitas modern.

Selain itu, dari perspektif epistemologi sosial, reliance yang berlebihan pada otoritas dapat menimbulkan “epistemic injustice,” yaitu ketidakadilan dalam distribusi pengetahuan ketika klaim otoritatif menutup peluang bagi argumen yang lebih sahih.⁵ Dengan demikian, kritik filosofis menekankan bahwa otoritas tidak boleh menggantikan evaluasi kritis, melainkan hanya berfungsi sebagai panduan awal.

8.4.       Perbedaan antara Argumen Sahih dan Fallacy

Tidak semua argumen dari otoritas (argument from authority) merupakan fallacy. Douglas Walton mengingatkan bahwa argumen dari otoritas dapat sahih apabila: (1) otoritas memang kompeten dalam bidang yang relevan, (2) terdapat konsensus pakar, dan (3) klaim dapat diuji atau diverifikasi.⁶ Kritik terhadap ad verecundiam muncul justru ketika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi.

Dengan demikian, penting untuk membedakan antara argumen yang sahih dan yang keliru. Jika syarat validitas terpenuhi, penggunaan otoritas dapat menjadi instrumen epistemik yang wajar. Sebaliknya, jika otoritas digunakan untuk menggantikan bukti, ia berubah menjadi fallacy.⁷

8.5.       Kritik Sosial dan Praktis

Dalam praktik sosial, ad verecundiam dikritik karena berpotensi memperkuat manipulasi politik, komersialisasi dalam iklan, dan dogmatisme dalam agama atau sains.⁸ Hal ini membuat publik rentan terhadap otoritas palsu (fake authority) atau pakar instan yang memperoleh legitimasi melalui popularitas, bukan keahlian. Kritik sosial ini menyoroti bahwa fallacy tersebut bukan sekadar masalah logis, tetapi juga fenomena struktural yang dapat merusak rasionalitas publik.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 42.

[2]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 152.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 138.

[4]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.

[5]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 20–22.

[6]                Walton, Appeal to Expert Opinion, 76–77.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 92–93.

[8]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 83.


9.           Relevansi dalam Konteks Modern

9.1.       Otoritas di Era Informasi Digital

Di era digital, otoritas tidak lagi hanya dimiliki oleh akademisi, ilmuwan, atau lembaga resmi, melainkan juga oleh figur publik yang memperoleh pengaruh melalui media sosial. Popularitas di platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok kerap dijadikan legitimasi dalam menyampaikan klaim yang belum tentu benar.¹ Fenomena ini memperlihatkan transformasi otoritas: dari berbasis keahlian menjadi berbasis eksposur. Akibatnya, ad verecundiam semakin mudah menyebar karena publik lebih cenderung percaya pada figur populer ketimbang memeriksa bukti empiris.

9.2.       Fenomena Fake Experts dan Disinformasi

Perkembangan teknologi komunikasi juga memunculkan fenomena fake experts—individu yang mengklaim dirinya sebagai pakar tanpa dasar keilmuan yang sahih.² Mereka sering tampil meyakinkan dengan gelar atau simbol otoritas, meskipun tidak memiliki kredibilitas akademik. Dalam konteks pandemi COVID-19, misalnya, banyak klaim medis yang beredar luas di masyarakat didukung oleh figur yang tidak relevan secara keilmuan.³ Hal ini menunjukkan bagaimana fallacy ad verecundiam dapat memperparah disinformasi dan menyesatkan kebijakan publik.

9.3.       Media, Politik, dan Legitimasi Otoritas

Dalam politik kontemporer, legitimasi sering dibangun melalui otoritas simbolik. Politisi kerap mengutip dukungan tokoh agama, militer, atau selebritas untuk memperkuat citra, meskipun otoritas tersebut tidak relevan dengan substansi kebijakan.⁴ Praktik ini tidak hanya menurunkan kualitas perdebatan publik, tetapi juga melemahkan prinsip demokrasi deliberatif yang menuntut argumen berbasis bukti. Dalam konteks demikian, ad verecundiam berfungsi sebagai instrumen retorika, bukan sebagai sarana rasionalitas.

9.4.       Tantangan bagi Literasi Kritis

Meningkatnya arus informasi menuntut masyarakat untuk memiliki literasi kritis yang lebih tinggi. Tanpa kemampuan membedakan otoritas sahih dan otoritas palsu, publik akan terus terjebak dalam klaim yang menyesatkan.⁵ Institusi pendidikan memiliki peran penting dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis, termasuk kemampuan mengenali dan membongkar fallacy ad verecundiam.

9.5.       Relevansi Filosofis dan Etis

Secara filosofis, relevansi ad verecundiam di era modern menunjukkan ketegangan antara kebutuhan praktis untuk mempercayai otoritas (misalnya dokter, ilmuwan, atau teknolog) dengan risiko menerima klaim secara membabi buta.⁶ Dari perspektif etis, penting untuk menegaskan bahwa kepercayaan pada otoritas sahih adalah hal yang wajar, tetapi ia harus selalu dibarengi dengan sikap kritis. Dengan demikian, ad verecundiam menjadi peringatan bahwa penghormatan terhadap otoritas tidak boleh mengorbankan akal sehat dan evaluasi rasional.


Footnotes

[1]                Alice Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 121.

[2]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 110–111.

[3]                Heidi J. Larson, Stuck: How Vaccine Rumors Start—and Why They Don’t Go Away (Oxford: Oxford University Press, 2020), 58–59.

[4]                Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 60.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 95–96.

[6]                Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–27.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.    Menyatukan Dimensi Logis dan Sosial

Kajian mengenai ad verecundiam memperlihatkan bahwa ia tidak hanya merupakan problem logika formal, tetapi juga problem epistemologis dan sosial. Sebagai fallacy relevansi, ia menunjukkan kelemahan argumen karena bergantung pada otoritas yang tidak sahih. Namun, dari perspektif sosial, kekeliruan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat sering kali lebih terpengaruh oleh simbol otoritas daripada bukti empiris.¹ Oleh karena itu, ad verecundiam harus dipahami dalam dua dimensi sekaligus: dimensi logis (validitas argumen) dan dimensi sosial (struktur kekuasaan dan kepercayaan publik).

10.2.    Batas antara Otoritas dan Kebenaran

Refleksi filosofis menunjukkan bahwa otoritas tidak sepenuhnya dapat ditolak. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan otoritas epistemik sebagai sarana untuk mengakses pengetahuan yang kompleks, misalnya dalam ilmu kedokteran atau teknologi.² Akan tetapi, otoritas tidak boleh diperlakukan sebagai bukti absolut. Kebenaran harus selalu diverifikasi melalui nalar kritis dan bukti rasional.³ Dengan demikian, batas antara menghormati otoritas dan menganggapnya sebagai sumber final kebenaran menjadi penting untuk dijaga.

10.3.    Otonomi Akal dan Tanggung Jawab Intelektual

Prinsip filsafat modern, khususnya dalam tradisi Kantian, menekankan otonomi akal. Sapere aude—“beranilah menggunakan akalmu sendiri”—menjadi semboyan yang relevan dalam menghadapi ad verecundiam.⁴ Setiap individu dituntut untuk tidak sekadar menerima klaim berdasarkan status otoritas, tetapi juga menanggung tanggung jawab intelektual untuk memeriksa validitas klaim tersebut.

10.4.    Relevansi Etis

Dari sisi etis, ad verecundiam berbahaya karena dapat menutup ruang dialog dan menghambat pertumbuhan pengetahuan.⁵ Ketika masyarakat tunduk pada otoritas tanpa kritik, muncul risiko dogmatisme yang mengekang kebebasan berpikir. Oleh karena itu, etika intelektual menuntut sikap hormat terhadap otoritas sahih sekaligus keterbukaan terhadap kritik.

10.5.    Menuju Budaya Rasional-Kritis

Refleksi akhir dari pembahasan ini adalah pentingnya membangun budaya rasional-kritis di masyarakat. Pendidikan, media, dan institusi publik harus mendorong keterampilan berpikir kritis agar publik dapat membedakan antara otoritas sahih dan otoritas keliru.⁶ Dengan begitu, otoritas tetap dihargai, tetapi tidak lagi menjadi instrumen manipulasi. Sintesis ini menunjukkan bahwa ad verecundiam bukan hanya kekeliruan teknis dalam logika, melainkan juga tantangan filosofis dan etis yang relevan dengan zaman modern.


Footnotes

[1]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 84.

[2]                Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–26.

[3]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 152–153.

[4]                Immanuel Kant, “An Answer to the Question: What is Enlightenment?” dalam Practical Philosophy, ed. Mary J. Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18.

[5]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 29–30.

[6]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 98.


11.       Penutup

11.1.    Ringkasan Temuan

Kajian ini menunjukkan bahwa argumentum ad verecundiam merupakan salah satu bentuk fallacy relevansi yang muncul ketika otoritas dijadikan dasar legitimasi klaim tanpa relevansi atau validitas yang memadai. Sejak masa Aristoteles, persoalan otoritas dan kebenaran telah menjadi perhatian filsafat, dan perdebatan ini terus berkembang hingga era modern dan kontemporer.¹ Dalam sejarahnya, ad verecundiam sering menimbulkan dampak signifikan, baik dalam politik, agama, ilmu pengetahuan, maupun kehidupan sosial.

11.2.    Kesimpulan Akhir

Dapat disimpulkan bahwa ad verecundiam adalah kekeliruan yang bersifat ganda: secara logis, ia melemahkan validitas argumen karena premis tidak relevan dengan kesimpulan; secara sosial, ia memperlihatkan kerentanan manusia terhadap simbol kewibawaan.² Kritik filosofis dan logis terhadap fallacy ini menekankan pentingnya membedakan antara otoritas sahih yang memang relevan dan otoritas keliru yang hanya berfungsi sebagai retorika persuasif.³

Selain itu, ad verecundiam menyingkap dilema epistemologis: manusia memang membutuhkan otoritas epistemik dalam menghadapi kompleksitas dunia, namun kebergantungan tanpa kritik justru menimbulkan risiko dogmatisme dan disinformasi.⁴ Oleh karena itu, keberanian berpikir kritis sebagaimana ditekankan dalam tradisi Pencerahan tetap relevan untuk melawan kecenderungan menerima klaim otoritatif tanpa verifikasi rasional.

11.3.    Implikasi Praktis dan Akademis

Secara praktis, kajian ini menekankan urgensi literasi kritis di tengah arus informasi digital. Publik perlu dilatih untuk mengenali fallacy ad verecundiam agar tidak mudah terjebak dalam klaim yang menyesatkan, baik di media, politik, maupun diskursus keagamaan.⁵ Secara akademis, studi ini memperkaya literatur filsafat logika dengan menempatkan ad verecundiam bukan hanya sebagai kesalahan teknis, tetapi juga sebagai fenomena epistemologis dan etis yang memerlukan refleksi filosofis lebih lanjut.

11.4.    Rekomendasi Kajian Lanjutan

Kajian ke depan dapat diarahkan pada penelitian interdisipliner yang menggabungkan filsafat logika, psikologi kognitif, dan kajian media untuk memahami mengapa publik mudah menerima otoritas yang tidak relevan.⁶ Selain itu, riset lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji strategi pedagogis dalam mengajarkan deteksi fallacy kepada siswa dan mahasiswa, sehingga kesadaran kritis dapat ditanamkan sejak dini.


Footnotes

[1]                Aristotle, Sophistical Refutations, trans. W. A. Pickard-Cambridge (Oxford: Clarendon Press, 1928), 165a–170b.

[2]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 152.

[3]                Douglas Walton, Appeal to Expert Opinion: Arguments from Authority (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 1997), 76–77.

[4]                Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 98.

[6]                John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of Inference (London: Routledge, 2013), 91.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1928). Sophistical refutations (W. A. Pickard-Cambridge, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1994). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Bacon, F. (1960). Novum organum (F. H. Anderson, Ed.). Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill.

Copi, I. M., & Cohen, C. (2014). Introduction to logic (14th ed.). New York, NY: Routledge.

Damer, T. E. (2012). Attacking faulty reasoning: A practical guide to fallacy-free arguments (7th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Fisher, A. (2004). The logic of real arguments (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford: Oxford University Press.

Goldman, A. I. (1999). Knowledge in a social world. Oxford: Oxford University Press.

Govier, T. (2010). A practical study of argument (7th ed.). Boston, MA: Wadsworth.

Hurley, P. J. (2015). A concise introduction to logic (12th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.

Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic jurisprudence (3rd ed.). Cambridge: Islamic Texts Society.

Kant, I. (1996). An answer to the question: What is Enlightenment? In M. J. Gregor (Ed.), Practical philosophy (pp. 17–22). Cambridge: Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Larson, H. J. (2020). Stuck: How vaccine rumors start—and why they don’t go away. Oxford: Oxford University Press.

Marwick, A. (2013). Status update: Celebrity, publicity, and branding in the social media age. New Haven, CT: Yale University Press.

Skinner, Q. (2002). Visions of politics (Vol. 1). Cambridge: Cambridge University Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae (Vol. I). New York, NY: Benziger Bros.

Walton, D. (1997). Appeal to expert opinion: Arguments from authority. University Park, PA: Pennsylvania State University Press.

Woods, J. (2013). Errors of reasoning: Naturalizing the logic of inference. London: Routledge.

Whately, R. (1875). Elements of logic (9th ed.). London: Longman, Green, Longman, and Roberts.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar