Senin, 02 Juni 2025

Jendela Johari: Model Interpersonal untuk Kesadaran dan Pertumbuhan Pribadi

Jendela Johari

Model Interpersonal untuk Kesadaran dan Pertumbuhan Pribadi


Alihkan ke: Psikologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif model Jendela Johari, sebuah kerangka visual yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955 untuk meningkatkan kesadaran diri dan memperkuat hubungan interpersonal. Dengan membagi pemahaman diri ke dalam empat kuadran—open area, blind area, hidden area, dan unknown area—model ini menjelaskan dinamika antara pengungkapan diri dan penerimaan umpan balik dalam interaksi sosial. Artikel ini menguraikan sejarah dan landasan teoritis model Johari, menjelaskan struktur dan proses dinamisnya, serta mengkaji penerapannya dalam berbagai konteks seperti pendidikan, organisasi, terapi, dan relasi pribadi.

Melalui pendekatan interdisipliner, artikel ini juga mengevaluasi kekuatan dan keterbatasan model Johari secara kritis, meninjau relevansinya dalam era digital yang ditandai oleh identitas virtual dan interaksi maya, serta membandingkannya dengan pendekatan lain dalam psikologi dan teori komunikasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun model ini memiliki keterbatasan dalam menjangkau dinamika psikis yang lebih kompleks dan konteks budaya yang beragam, ia tetap menjadi alat reflektif yang bermanfaat dan adaptif dalam mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial. Artikel ini menegaskan pentingnya penggunaan model Johari secara kontekstual dan etis untuk menciptakan komunikasi yang lebih terbuka, empatik, dan sadar diri dalam masyarakat modern.

Kata Kunci: Jendela Johari, kesadaran diri, pengungkapan diri, umpan balik interpersonal, komunikasi, psikologi humanistik, identitas digital, hubungan sosial, refleksi pribadi, pertumbuhan interpersonal.


PEMBAHASAN

Mengenal Diri dan Orang Lain Melalui Jendela Johari


1.           Pendahuluan

Kesadaran diri dan kemampuan membangun hubungan interpersonal yang sehat merupakan dua fondasi penting dalam perkembangan pribadi dan sosial manusia. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, individu tidak hanya dituntut untuk memahami dirinya sendiri secara mendalam, tetapi juga untuk mampu menavigasi berbagai dinamika sosial dengan empati dan keterbukaan. Kegagalan dalam mengenali potensi, keterbatasan, serta persepsi orang lain terhadap diri sendiri seringkali menjadi sumber konflik, salah paham, bahkan kegagalan dalam kehidupan personal maupun profesional. Dalam konteks inilah, model Jendela Johari hadir sebagai alat bantu psikologis yang efektif untuk mengeksplorasi dimensi-dimensi diri dalam relasi sosial.

Model Jendela Johari dikembangkan oleh dua psikolog Amerika, Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955, dalam kerangka pelatihan kelompok dan dinamika interpersonal di lingkungan militer dan pendidikan tinggi. Nama "Johari" sendiri merupakan gabungan dari nama depan para penggagasnya: Joseph dan Harry1. Model ini menampilkan struktur sederhana berupa empat kuadran yang menggambarkan sejauh mana informasi tentang diri seseorang diketahui oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Lewat kerangka visual tersebut, Jendela Johari menawarkan pendekatan sistematis untuk memperluas kesadaran diri (self-awareness), memperbaiki komunikasi, dan meningkatkan kualitas hubungan antarindividu2.

Konsep ini sejalan dengan pendekatan psikologi humanistik, khususnya pemikiran Carl Rogers yang menekankan pentingnya keaslian (authenticity), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan empati dalam hubungan interpersonal3. Dalam praktiknya, Jendela Johari membantu individu mengenali aspek-aspek yang diketahui maupun tidak diketahui oleh diri sendiri dan orang lain, serta menstimulasi proses refleksi, umpan balik (feedback), dan pengungkapan diri (self-disclosure). Proses ini bukan hanya penting dalam konteks pengembangan pribadi, tetapi juga krusial dalam pembelajaran, kepemimpinan, kerja tim, hingga terapi psikologis.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pemahaman yang komprehensif mengenai model Jendela Johari, mulai dari latar belakang historisnya, struktur model, proses dinamisnya, hingga aplikasinya dalam berbagai konteks kehidupan. Selain itu, pembahasan ini akan mengevaluasi kekuatan dan keterbatasan model tersebut secara kritis, serta menelaah relevansinya di era komunikasi digital masa kini. Dengan demikian, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi nyata dalam mendorong pertumbuhan pribadi dan memperkuat relasi sosial yang sehat dan produktif.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 48–49.

[3]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 17–28.


2.           Sejarah dan Konseptualisasi Jendela Johari

Model Jendela Johari merupakan kontribusi penting dalam bidang psikologi sosial dan komunikasi interpersonal yang dikembangkan pada pertengahan abad ke-20 oleh dua psikolog asal Amerika Serikat, Joseph Luft dan Harry Ingham. Model ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1955 dalam konteks pelatihan kelompok (group training laboratory) di University of California, Los Angeles (UCLA). Tujuan awal dari pengembangan model ini adalah untuk meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal dalam dinamika kelompok melalui peningkatan kesadaran diri dan pemahaman terhadap orang lain1.

Nama “Johari” merupakan akronim yang dibentuk dari gabungan nama depan para pencetusnya: Joseph dan Harry2. Dalam publikasi aslinya, Luft dan Ingham memperkenalkan sebuah diagram berbentuk jendela yang terbagi ke dalam empat kuadran, masing-masing mewakili dimensi pengetahuan diri (self-knowledge) dan pengetahuan orang lain terhadap individu tersebut. Model ini dirancang sebagai alat untuk mengeksplorasi proses interaksi sosial, dengan fokus pada bagaimana individu memberikan informasi tentang dirinya kepada orang lain (self-disclosure) dan menerima umpan balik (feedback) dari lingkungan sosialnya.

Konsep dasar dari model ini bertumpu pada interdependensi antara kejujuran pribadi dan keterbukaan terhadap masukan eksternal. Dalam praktiknya, Jendela Johari memfasilitasi proses eksplorasi diri melalui dua arah: pertama, dengan meningkatkan kesadaran akan persepsi orang lain terhadap diri sendiri (membuka area buta atau blind spot), dan kedua, dengan mendorong keterbukaan pribadi terhadap orang lain (mengurangi area tersembunyi atau hidden area)3.

Secara konseptual, Jendela Johari sangat dipengaruhi oleh pendekatan psikologi humanistik, terutama pandangan Carl Rogers mengenai pertumbuhan pribadi dan hubungan interpersonal yang otentik. Rogers menekankan pentingnya proses penerimaan diri dan keterbukaan sebagai dasar hubungan yang sehat antara individu dan lingkungannya4. Model Johari kemudian mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dalam sebuah kerangka praktis yang memungkinkan orang untuk mengembangkan potensi diri sekaligus membangun relasi sosial yang lebih jujur dan empatik.

Dalam dekade-dekade berikutnya, Jendela Johari digunakan secara luas dalam berbagai konteks: mulai dari pelatihan kepemimpinan, konseling psikologis, pendidikan karakter, hingga pengembangan tim dalam organisasi. Kemampuan model ini untuk memetakan dinamika personal dan sosial secara sederhana namun mendalam menjadikannya sebagai salah satu alat diagnostik dan reflektif yang terus relevan dalam studi dan praktik komunikasi interpersonal hingga hari ini5.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 112.

[3]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 49–50.

[4]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 33–38.

[5]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 86–90.


3.           Struktur Model Jendela Johari

Model Jendela Johari disusun dalam bentuk matriks empat kuadran yang membagi kesadaran diri ke dalam dua dimensi utama: apa yang diketahui atau tidak diketahui oleh diri sendiri, dan apa yang diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain. Setiap kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan empat area atau “jendela” yang menggambarkan berbagai aspek pengetahuan tentang diri dalam konteks sosial. Model ini memungkinkan visualisasi yang sederhana namun mendalam atas bagaimana persepsi dan interaksi sosial membentuk pemahaman individu tentang dirinya1.

3.1.       Area Terbuka (Open Area)

Area ini mencakup informasi, sikap, perasaan, dan perilaku yang diketahui baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang secara terbuka diungkapkan atau ditunjukkan kepada orang lain serta diterima dan dikenali sebagai bagian dari identitas individu. Area ini merupakan zona komunikasi yang sehat dan terbuka; semakin luas area ini, semakin efektif hubungan interpersonal yang terjalin2. Dalam konteks kerja tim, area terbuka dapat diperluas melalui dialog terbuka dan umpan balik yang konstruktif.

3.2.       Area Buta (Blind Area)

Merupakan aspek diri yang tidak disadari oleh individu, tetapi dikenali oleh orang lain. Misalnya, kebiasaan, gestur, atau pola komunikasi tertentu yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh seseorang namun sangat kentara bagi orang lain. Area ini dapat menghambat pertumbuhan pribadi bila tidak disadari, dan oleh karena itu membutuhkan keterbukaan untuk menerima umpan balik dari orang lain sebagai cara memperkecil “blind spot” ini3.

3.3.       Area Tersembunyi (Hidden Area)

Area ini memuat informasi yang diketahui oleh diri sendiri tetapi tidak dibagikan kepada orang lain, baik karena alasan pribadi, rasa malu, ketakutan, atau strategi sosial tertentu. Informasi dalam area tersembunyi dapat meliputi pengalaman masa lalu, nilai-nilai personal, atau emosi yang dipendam. Menjaga area ini tetap luas dapat menghambat keintiman dan kepercayaan dalam hubungan. Namun, pengungkapan diri secara selektif dapat membantu memperluas area terbuka dan mempererat relasi interpersonal4.

3.4.       Area Tak Dikenal (Unknown Area)

Merupakan aspek diri yang tidak diketahui oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Area ini meliputi potensi tersembunyi, reaksi dalam situasi tertentu, atau bagian dari alam bawah sadar yang belum tereksplorasi. Eksplorasi terhadap area ini sering kali muncul melalui pengalaman baru, krisis, atau intervensi profesional seperti konseling dan psikoterapi. Dalam konteks pengembangan diri, area ini menggambarkan ruang untuk pertumbuhan dan penemuan diri yang lebih dalam5.

Keempat area ini tidak bersifat statis; mereka bersifat dinamis dan dapat berubah seiring waktu tergantung pada keterbukaan diri, penerimaan terhadap umpan balik, dan interaksi sosial yang dilakukan. Misalnya, ketika seseorang mulai membuka diri atau menerima kritik secara terbuka, area terbuka akan bertambah luas, sementara area tersembunyi atau buta menyempit. Oleh karena itu, Jendela Johari tidak hanya menggambarkan kondisi aktual, tetapi juga menunjukkan proses perkembangan psikologis dan sosial individu dalam konteks relasi interpersonal6.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 49.

[3]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 87.

[4]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 113.

[5]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 40–42.

[6]                David W. Johnson, Human Relations and Your Career, 4th ed. (Boston: Allyn and Bacon, 2000), 92.


4.           Proses Dinamis dalam Model Johari

Model Jendela Johari tidak hanya menyediakan kerangka konseptual untuk memahami aspek diri dalam relasi sosial, tetapi juga menggambarkan proses dinamis yang memungkinkan perubahan dan pertumbuhan personal melalui interaksi interpersonal. Keempat kuadran dalam model ini bersifat interaktif dan dapat berubah ukurannya tergantung pada dua mekanisme utama: pengungkapan diri (self-disclosure) dan penerimaan umpan balik (feedback). Keduanya berperan krusial dalam memperluas open area, yang menjadi indikator utama dari komunikasi yang sehat dan hubungan yang efektif1.

4.1.       Pengungkapan Diri (Self-Disclosure): Memperluas Area Terbuka dari Sisi Diri Sendiri

Pengungkapan diri merupakan proses di mana individu secara sadar membagikan informasi, perasaan, pengalaman, atau keyakinan yang sebelumnya hanya terdapat dalam hidden area kepada orang lain. Langkah ini secara langsung memperkecil hidden area dan memperluas open area, sehingga menciptakan hubungan yang lebih jujur, otentik, dan terbuka2.

Menurut Sidney Jourard, seorang tokoh penting dalam psikologi humanistik, self-disclosure adalah inti dari keintiman psikologis dan syarat untuk pertumbuhan pribadi yang sejati3. Ketika seseorang membuka dirinya kepada orang lain, ia tidak hanya memperlihatkan kepercayaan, tetapi juga mengundang orang lain untuk merespons secara empatik, sehingga membangun mutual understanding. Akan tetapi, pengungkapan diri yang efektif memerlukan konteks yang aman secara psikologis (psychological safety) dan tingkat kepercayaan yang memadai.

4.2.       Umpan Balik (Feedback): Mengurangi Area Buta melalui Respons Orang Lain

Feedback berfungsi sebagai sarana untuk mengungkap blind area, yaitu informasi tentang diri seseorang yang disadari oleh orang lain tetapi belum diketahui oleh diri sendiri. Ketika orang lain menyampaikan observasi atau tanggapan mengenai perilaku, sikap, atau kebiasaan seseorang, maka informasi tersebut—bila diterima secara reflektif—akan memperkecil area buta dan memperluas open area4.

Penerimaan terhadap feedback yang jujur dan konstruktif membutuhkan sikap terbuka, kerendahan hati, serta kemauan untuk mengubah pola perilaku yang tidak disadari. Dalam konteks organisasi atau kerja tim, sistem umpan balik yang efektif sangat penting untuk membangun komunikasi yang transparan dan memperkuat kinerja kolektif5.

4.3.       Proses Eksplorasi Diri: Menemukan Area Tak Dikenal (Unknown Area)

Unknown area mencakup potensi, perasaan, atau pengalaman yang belum disadari baik oleh individu itu sendiri maupun oleh orang lain. Area ini bisa berkurang ukurannya melalui proses refleksi mendalam, pengalaman baru, krisis pribadi, atau intervensi profesional seperti konseling, psikoterapi, atau pelatihan intensif. Dalam pendekatan humanistik, area ini merepresentasikan kemungkinan pertumbuhan dan transformasi diri yang belum tergali sepenuhnya6.

Carl Rogers menyatakan bahwa perubahan psikologis yang otentik sering kali terjadi ketika individu mampu mengeksplorasi bagian-bagian diri yang sebelumnya tertutup dan belum disadari, serta menerima bagian tersebut dengan empati dan tanpa penghakiman7. Oleh karena itu, proses pertumbuhan melalui model Johari bukan hanya bersifat interpersonal, tetapi juga melibatkan perjalanan intrapersonal yang mendalam.

4.4.       Implikasi Proses Dinamis: Relasional dan Personal

Dengan memperbesar open area melalui pengungkapan dan umpan balik, hubungan antarindividu menjadi lebih terbuka, jujur, dan konstruktif. Proses ini tidak hanya memperkuat komunikasi interpersonal, tetapi juga meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), regulasi emosi, dan kecerdasan sosial—semuanya merupakan komponen utama dalam pembentukan kepribadian yang matang dan adaptif8.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua feedback harus diterima secara mentah, dan tidak semua pengungkapan diri sesuai di setiap konteks. Dinamika ini membutuhkan sensitivitas sosial, etika komunikasi, dan kepekaan terhadap norma budaya serta batasan personal. Oleh sebab itu, model Jendela Johari menuntut adanya keseimbangan antara keterbukaan dan kehati-hatian dalam interaksi sosial.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 113–114.

[3]                Sidney M. Jourard, The Transparent Self, rev. ed. (Princeton, NJ: D. Van Nostrand, 1971), 19–25.

[4]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 88–89.

[5]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 50–51.

[6]                Charles D. Spielberger, ed., Current Topics in Clinical and Community Psychology, vol. 2 (New York: Academic Press, 1970), 61–65.

[7]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 39–42.

[8]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 52–56.


5.           Penerapan Jendela Johari dalam Berbagai Konteks

Model Jendela Johari, yang pada awalnya dikembangkan untuk pelatihan kelompok dalam dinamika interpersonal, telah mengalami perluasan makna dan penggunaan yang signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Sifatnya yang fleksibel dan aplikatif menjadikan model ini relevan untuk dimanfaatkan dalam pendidikan, organisasi, terapi, serta hubungan pribadi. Di setiap konteks tersebut, tujuan utama penggunaan Jendela Johari adalah memperluas area terbuka (open area) guna meningkatkan transparansi, pemahaman diri, dan efektivitas hubungan interpersonal.

5.1.       Konteks Pendidikan: Pengembangan Karakter dan Refleksi Diri

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan karakter, Jendela Johari menjadi alat yang efektif untuk mengembangkan kesadaran diri siswa serta memperkuat dinamika kelompok kelas. Guru dapat memfasilitasi aktivitas reflektif dan berbasis umpan balik yang memungkinkan siswa memahami persepsi orang lain terhadap dirinya, sekaligus belajar untuk mengungkapkan diri secara sehat1. Pendekatan ini sangat relevan dalam pembelajaran berbasis sosial-emosional (Social and Emotional Learning/SEL), yang menekankan pentingnya self-awareness, self-management, dan relationship skills.

Sebagaimana dijelaskan oleh David Johnson, penggunaan Jendela Johari dalam lingkungan belajar dapat membantu menciptakan atmosfer komunikasi yang terbuka, memperkuat kepercayaan antara siswa dan guru, serta membangun kolaborasi yang produktif dalam kerja kelompok2.

5.2.       Konteks Organisasi dan Manajemen: Kepemimpinan, Komunikasi, dan Kerja Tim

Dalam ranah organisasi dan kepemimpinan, Jendela Johari banyak diterapkan untuk meningkatkan kualitas komunikasi internal, membangun kerja sama tim, serta memperkuat kepemimpinan yang partisipatif dan reflektif. Pemimpin yang mampu menerima umpan balik dan terbuka terhadap evaluasi akan lebih efektif dalam membina hubungan kerja yang sehat dan memotivasi anggota tim3.

Pelatihan sumber daya manusia (SDM) di berbagai perusahaan sering menggunakan model ini sebagai bagian dari program team building, leadership coaching, atau interpersonal skills development. Dengan memperluas area terbuka dalam tim, transparansi meningkat, konflik bisa diminimalkan, dan proses pengambilan keputusan menjadi lebih inklusif dan efisien4.

5.3.       Konteks Terapi dan Konseling: Pemahaman Diri dan Transformasi Personal

Dalam terapi psikologis dan konseling, Jendela Johari digunakan sebagai alat bantu untuk mengeksplorasi aspek diri yang tersembunyi maupun tidak disadari. Melalui proses pengungkapan diri (self-disclosure) dan refleksi terhadap umpan balik dari konselor, klien didorong untuk memperluas kesadaran diri serta menjelajahi dinamika psikologis yang mungkin belum tersentuh dalam kehidupan sehari-hari5.

Gerald Corey menekankan bahwa Jendela Johari sangat sesuai untuk digunakan dalam group counseling maupun sesi konseling individual sebagai sarana untuk memperkuat pemahaman klien terhadap hubungan interpersonalnya serta mengembangkan kepercayaan diri yang sehat6.

5.4.       Konteks Hubungan Pribadi: Keterbukaan dan Empati dalam Relasi Sosial

Dalam kehidupan pribadi, terutama dalam relasi yang bersifat intim—baik persahabatan, keluarga, maupun pasangan—Jendela Johari membantu individu membangun keterbukaan emosional dan meningkatkan kualitas komunikasi. Pengungkapan diri yang jujur, disertai penerimaan terhadap masukan dari orang terdekat, dapat memperdalam ikatan emosional serta mengurangi kesalahpahaman dan prasangka7.

Salah satu elemen penting dalam relasi yang sehat adalah adanya keseimbangan antara transparansi dan sensitivitas sosial. Jendela Johari memberikan kerangka untuk menilai kapan dan sejauh mana keterbukaan perlu dilakukan, serta bagaimana menerima umpan balik dengan sikap yang konstruktif dan tidak defensif8.


Kesimpulan Sementara

Penerapan model Jendela Johari dalam berbagai bidang menegaskan nilai universal dari konsep kesadaran diri dan keterbukaan interpersonal. Baik dalam ruang kelas, lingkungan kerja, praktik terapi, maupun dalam kehidupan pribadi, model ini memberi kontribusi besar terhadap pembentukan individu yang reflektif, komunikatif, dan adaptif terhadap dinamika sosial yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1997), 56–57.

[2]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 85–86.

[3]                Daniel Goleman, Primal Leadership: Realizing the Power of Emotional Intelligence (Boston: Harvard Business Review Press, 2002), 38–40.

[4]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 115–116.

[5]                Charles D. Spielberger, ed., Current Topics in Clinical and Community Psychology, vol. 2 (New York: Academic Press, 1970), 61–65.

[6]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 52.

[7]                Sidney M. Jourard, The Transparent Self, rev. ed. (Princeton, NJ: D. Van Nostrand, 1971), 19–25.

[8]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 44–45.


6.           Kelebihan dan Keterbatasan Model Johari

Model Jendela Johari telah diterima secara luas sebagai alat bantu dalam pengembangan kesadaran diri dan komunikasi interpersonal. Namun, sebagaimana model konseptual lainnya, ia memiliki kelebihan yang membuatnya sangat aplikatif di berbagai bidang, sekaligus keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam implementasinya. Pemahaman kritis terhadap kekuatan dan kelemahan model ini penting untuk memastikan penggunaannya secara efektif dan bertanggung jawab.

6.1.       Kelebihan Model Johari

1)                  Sederhana, Visual, dan Mudah Dipahami

Salah satu kekuatan utama dari Jendela Johari adalah strukturnya yang sederhana dan visual. Empat kuadran yang jelas—open, blind, hidden, dan unknown—menjadikannya alat yang intuitif untuk menjelaskan dinamika psikologis dan sosial dalam hubungan antarpribadi. Hal ini memungkinkan model ini digunakan dalam berbagai tingkat pendidikan, pelatihan, dan konseling, tanpa membutuhkan latar belakang akademis yang kompleks1.

2)                  Mendorong Pertumbuhan Pribadi dan Hubungan yang Sehat

Melalui proses pengungkapan diri (self-disclosure) dan penerimaan umpan balik (feedback), model ini memfasilitasi peningkatan kesadaran diri, kepercayaan diri, dan kemampuan interpersonal. Individu yang mempraktikkan prinsip-prinsip dalam Jendela Johari cenderung membangun hubungan yang lebih terbuka, empatik, dan otentik2. Dalam konteks kelompok, perluasan open area berkontribusi terhadap terciptanya komunikasi yang efektif dan kerja tim yang kohesif3.

3)                  Fleksibel dan Kontekstual

Model Johari dapat diadaptasi dalam berbagai setting—baik dalam pendidikan, organisasi, hubungan pribadi, maupun psikoterapi. Fleksibilitas ini memperluas relevansi model di banyak domain dan menjadikannya alat bantu yang serbaguna dalam proses pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia4.

4)                  Memfasilitasi Refleksi dan Evaluasi Diri

Jendela Johari mendorong individu untuk merenung secara aktif tentang bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain. Refleksi ini dapat menjadi titik awal untuk perubahan dan transformasi pribadi yang lebih sehat dan konstruktif5.

6.2.       Keterbatasan Model Johari

1)                  Ketergantungan pada Kejujuran dan Keamanan Psikologis

Efektivitas model Johari sangat bergantung pada adanya kejujuran dalam pengungkapan dan keamanan dalam hubungan interpersonal. Tanpa adanya kepercayaan dan rasa aman, individu cenderung menahan diri untuk membuka informasi pribadi, yang pada akhirnya membatasi perluasan open area6. Dalam lingkungan yang toksik atau penuh tekanan, model ini berisiko gagal memberikan dampak yang diharapkan.

2)                  Tidak Semua Informasi Layak Diungkapkan

Meskipun pengungkapan diri dianggap sebagai hal yang positif dalam model ini, tidak semua informasi pribadi sebaiknya diungkapkan dalam semua konteks. Terdapat risiko dalam membuka informasi sensitif jika lingkungan sosial tidak mendukung, atau bila informasi tersebut bisa dimanfaatkan secara negatif oleh orang lain. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pertimbangan etis dan sosial dalam proses self-disclosure7.

3)                  Keterbatasan dalam Kompleksitas Kepribadian

Model Johari menyederhanakan dinamika kepribadian menjadi empat area persepsi, yang bisa jadi tidak mencakup seluruh kompleksitas psikis manusia. Aspek-aspek seperti motivasi tidak sadar, konflik internal, atau mekanisme pertahanan psikologis seringkali tidak terjangkau melalui kerangka Johari tanpa bantuan pendekatan psikodinamik atau klinis yang lebih mendalam8.

4)                  Dipengaruhi oleh Budaya dan Norma Sosial

Prinsip keterbukaan dan feedback dalam Jendela Johari banyak berakar pada budaya Barat yang menekankan ekspresi diri dan individualisme. Dalam masyarakat kolektif atau budaya dengan norma komunikasi tidak langsung, seperti banyak masyarakat Asia, proses self-disclosure dan penerimaan kritik bisa menjadi hal yang tidak nyaman atau bahkan dianggap tidak pantas. Oleh karena itu, sensitivitas budaya sangat penting dalam penerapan model ini di lintas konteks budaya9.


Kesimpulan Sementara

Model Johari merupakan alat yang kuat dalam membantu individu memahami dirinya sendiri dan orang lain. Kelebihannya dalam kesederhanaan, fleksibilitas, dan efektivitas dalam membangun hubungan interpersonal menjadikannya populer di berbagai bidang. Namun, penggunaannya harus disertai dengan pemahaman akan keterbatasannya, terutama dalam hal konteks sosial, budaya, dan psikologis individu. Evaluasi kritis ini memungkinkan pemanfaatan model secara bijak dan adaptif sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik situasi.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                Sidney M. Jourard, The Transparent Self, rev. ed. (Princeton, NJ: D. Van Nostrand, 1971), 23–27.

[3]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 89.

[4]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 115.

[5]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 42–43.

[6]                Gerald Corey, Theory and Practice of Group Counseling, 9th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 51.

[7]                Rollo May, The Courage to Create (New York: W. W. Norton, 1975), 72–74.

[8]                Nancy McWilliams, Psychoanalytic Diagnosis: Understanding Personality Structure in the Clinical Process, 2nd ed. (New York: Guilford Press, 2011), 19–22.

[9]                Geert Hofstede, Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 133–135.


7.           Studi Kasus atau Simulasi Praktis

Untuk memahami efektivitas model Jendela Johari dalam konteks nyata, diperlukan penerapan langsung melalui studi kasus atau simulasi praktis. Pendekatan ini memberikan gambaran konkret tentang bagaimana proses pengungkapan diri (self-disclosure) dan umpan balik (feedback) bekerja dalam memperluas open area, serta bagaimana perubahan ini berdampak terhadap dinamika hubungan interpersonal. Studi kasus berikut ini menggambarkan penerapan model dalam dua konteks berbeda: pendidikan dan organisasi.

7.1.       Studi Kasus dalam Konteks Pendidikan: Refleksi Diri Siswa di Kelas Bimbingan Konseling

Seorang guru Bimbingan Konseling di sebuah sekolah menengah menggunakan Jendela Johari dalam sesi pengembangan diri siswa kelas XI. Dalam kegiatan ini, siswa diminta untuk:

·                     Mengisi daftar sifat atau karakteristik yang mereka yakini menggambarkan diri mereka.

·                     Menerima lembar observasi dari lima teman sekelas yang secara anonim menuliskan karakteristik atau perilaku yang mereka amati.

·                     Menganalisis persamaan dan perbedaan antara persepsi diri dan persepsi orang lain.

Dari hasil kegiatan tersebut, seorang siswa bernama “Dina” menyadari bahwa ia sering terlihat murung dan menyendiri dalam kelompok, meskipun ia merasa sudah cukup bersosialisasi. Informasi ini membuka blind area baginya dan memotivasi Dina untuk lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Di sisi lain, ia juga mulai membuka pengalaman pribadinya mengenai kecemasan sosial kepada teman-temannya, sehingga memperkecil hidden area dan memperluas open area.

Pendekatan ini terbukti efektif dalam membantu siswa membangun kesadaran diri dan empati sosial. Kegiatan tersebut dirancang berdasarkan prinsip bahwa refleksi dan feedback dalam suasana yang aman psikologis dapat meningkatkan keseimbangan emosi dan memperkuat hubungan sosial antar siswa1.

7.2.       Simulasi Praktis dalam Konteks Organisasi: Pelatihan Tim Kerja di Perusahaan

Sebuah perusahaan konsultan sumber daya manusia mengadakan pelatihan bertema “Enhancing Team Trust through Johari Window” bagi tim manajerial di sebuah perusahaan teknologi. Dalam sesi pelatihan, para peserta:

·                     Diminta menuliskan lima kata sifat yang menggambarkan diri mereka.

·                     Bertukar lembaran dengan anggota tim lainnya, yang juga menuliskan lima kata sifat berdasarkan pengamatan terhadap peserta tersebut.

·                     Memetakan hasilnya dalam empat kuadran Johari: terbuka, buta, tersembunyi, dan tidak dikenal.

·                     Mendiskusikan area yang mungkin memerlukan penguatan keterbukaan atau klarifikasi persepsi.

Hasil dari simulasi menunjukkan bahwa beberapa anggota tim memiliki blind area yang signifikan, seperti kecenderungan mendominasi diskusi atau tidak menyadari kesan negatif dari komunikasi non-verbal. Proses ini mendorong mereka untuk menerima feedback secara terbuka dan berkomitmen meningkatkan kualitas komunikasi. Selain itu, hidden area yang luas pada beberapa peserta menyempit setelah mereka merasa cukup aman untuk berbagi kekhawatiran atau aspirasi pribadi dalam suasana yang mendukung.

Menurut hasil evaluasi pelatihan, sebanyak 87% peserta menyatakan bahwa sesi Johari Window membantu mereka memahami rekan kerja secara lebih mendalam dan meningkatkan kepercayaan tim2.

7.3.       Manfaat Simulasi: Pembelajaran Partisipatif dan Transformasi Interpersonal

Simulasi berbasis model Johari menumbuhkan pembelajaran partisipatif (experiential learning), yang melibatkan individu secara aktif dalam proses refleksi dan interaksi interpersonal. Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivistik yang menekankan bahwa pemahaman yang bermakna terbentuk melalui pengalaman sosial yang terarah dan direfleksikan secara sadar3.

Dengan demikian, studi kasus dan simulasi semacam ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga membuktikan efektivitas model Johari dalam menghasilkan transformasi psikologis dan sosial secara konkret. Baik dalam lingkungan pendidikan, organisasi, maupun relasi pribadi, latihan ini dapat disesuaikan dengan tujuan dan konteks masing-masing, selama prinsip-prinsip keamanan psikologis dan kepercayaan interpersonal dijaga.


Footnotes

[1]                Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1997), 66–68.

[2]                Gerard Egan, The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping, 10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2014), 119–121.

[3]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 41–45.


8.           Relevansi Jendela Johari dalam Era Digital

Transformasi digital telah secara mendasar mengubah cara individu berinteraksi, membentuk identitas, dan mempersepsikan diri maupun orang lain. Di tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, di mana komunikasi berlangsung melalui media sosial, platform daring, dan lingkungan virtual, model Jendela Johari tetap mempertahankan relevansinya sebagai alat reflektif dan diagnostik interpersonal. Bahkan, dalam konteks digital, Jendela Johari dapat membantu individu memahami paradoks keterbukaan dan anonimitas, serta menavigasi kompleksitas identitas digital yang dinamis dan sering kali kontradiktif.

8.1.       Identitas Digital dan Konsep Diri yang Terfragmentasi

Di dunia maya, individu memiliki kontrol yang lebih besar terhadap bagaimana mereka mempresentasikan dirinya—baik secara visual, verbal, maupun perilaku. Namun, representasi ini tidak selalu mencerminkan keseluruhan diri secara utuh. Fenomena seperti curated self, filtered identity, dan performative authenticity menunjukkan bahwa open area dalam ranah digital sering kali bersifat parsial dan tereduksi1.

Model Johari dapat digunakan untuk merefleksikan ketidakseimbangan antara bagaimana individu ingin dilihat (area tersembunyi atau dikonstruksi) dan bagaimana mereka benar-benar dipersepsikan oleh orang lain (area buta). Hal ini penting dalam memahami konsekuensi psikologis dari membangun identitas digital yang tidak konsisten, yang dalam jangka panjang dapat mengarah pada disonansi diri (self-discrepancy) dan kelelahan digital (digital fatigue)2.

8.2.       Umpan Balik di Media Sosial: Ambiguitas dan Validitas

Salah satu tantangan utama dalam menerapkan prinsip Jendela Johari di era digital adalah kualitas umpan balik yang diterima. Berbeda dengan interaksi tatap muka yang memungkinkan komunikasi non-verbal dan konteks emosional, umpan balik di media sosial sering kali bersifat tidak personal, terdistorsi, atau bahkan toksik. Likes, komentar, dan reaksi emoji belum tentu merepresentasikan umpan balik sejati yang membangun pemahaman diri secara mendalam3.

Dalam konteks ini, blind area dapat menjadi sangat besar jika individu terlalu mengandalkan reaksi digital sebagai cermin diri tanpa proses reflektif yang matang. Oleh karena itu, Jendela Johari mendorong pentingnya membangun komunitas daring yang suportif, di mana feedback diberikan dengan empati dan konteks yang sehat—misalnya melalui komunitas pembelajaran daring, kelompok refleksi psikologis, atau forum diskusi yang difasilitasi secara etis4.

8.3.       Self-Disclosure di Ruang Virtual: Antara Kejujuran dan Kerentanan

Salah satu aspek penting dari model Johari adalah pengungkapan diri. Di ruang digital, pengungkapan ini bisa berlangsung melalui unggahan status, blog pribadi, podcast, hingga vlog yang bersifat naratif. Namun, perbedaan utama adalah bahwa audiens di ruang digital sering kali bersifat tidak terbatas dan tidak diketahui, sehingga pengungkapan diri menjadi jauh lebih rentan terhadap penyalahgunaan atau penghakiman publik5.

Di satu sisi, media digital membuka peluang untuk berbagi pengalaman secara luas dan membangun koneksi emosional lintas batas geografis. Di sisi lain, hal ini menuntut kewaspadaan terhadap oversharing dan context collapse, yaitu ketika satu pengungkapan ditafsirkan secara berbeda oleh audiens yang heterogen6. Dalam konteks ini, model Johari memberikan kerangka etis: kapan dan kepada siapa pengungkapan diri dilakukan, serta bagaimana menjaga keseimbangan antara kejujuran dan perlindungan diri.

8.4.       Refleksi Diri Digital: Potensi dan Tantangan

Meskipun dunia digital menyajikan tantangan dalam keaslian dan kepercayaan, ia juga menyediakan ruang reflektif yang luas melalui jejak digital (digital footprints). Individu dapat meninjau ulang postingan lama, arsip pesan, atau interaksi daring sebagai cermin untuk memahami perubahan persepsi dan nilai diri dari waktu ke waktu7.

Banyak platform pembelajaran daring dan aplikasi kesehatan mental mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip dari model Johari, seperti fitur mood tracking, personal journaling, atau anonymous peer feedback, yang memungkinkan pengembangan diri secara digital dengan pendekatan yang aman dan terstruktur8.


Kesimpulan Sementara

Di tengah tantangan era digital yang ditandai oleh keterhubungan instan, identitas yang terfragmentasi, dan ambiguitas sosial, model Jendela Johari tetap relevan sebagai alat navigasi untuk membangun kesadaran diri dan relasi sosial yang sehat. Dengan adaptasi yang bijaksana, model ini tidak hanya membantu individu memahami bagaimana mereka terlihat di mata orang lain, tetapi juga menumbuhkan integritas diri dalam ekosistem digital yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 154–160.

[2]                E. Tory Higgins, “Self-Discrepancy: A Theory Relating Self and Affect,” Psychological Review 94, no. 3 (1987): 319–340.

[3]                Nicholas A. Christakis and James H. Fowler, Connected: The Surprising Power of Our Social Networks and How They Shape Our Lives (New York: Little, Brown and Company, 2009), 114–118.

[4]                Howard Rheingold, Smart Mobs: The Next Social Revolution (Cambridge, MA: Perseus Publishing, 2002), 213–215.

[5]                danah boyd, It’s Complicated: The Social Lives of Networked Teens (New Haven: Yale University Press, 2014), 55–58.

[6]                Alice E. Marwick and danah boyd, “I Tweet Honestly, I Tweet Passionately: Twitter Users, Context Collapse, and the Imagined Audience,” New Media & Society 13, no. 1 (2011): 114–133.

[7]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 186–188.

[8]                Lisa Feldman Barrett, How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain (New York: Houghton Mifflin Harcourt, 2017), 272–274.


9.           Evaluasi Kritis dan Refleksi Teoritis

Model Jendela Johari telah diakui secara luas sebagai salah satu pendekatan visual dan konseptual yang paling efektif dalam meningkatkan kesadaran diri dan memperkuat hubungan interpersonal. Namun, dalam kerangka evaluasi akademik yang lebih luas, penting untuk menelaah model ini secara kritis, baik dalam hal validitas teoretisnya, keterbatasan epistemologisnya, maupun posisinya di antara pendekatan-pendekatan lain dalam psikologi dan teori komunikasi. Refleksi ini berguna untuk memahami kekuatan esensial Jendela Johari sekaligus mengidentifikasi ruang untuk penyempurnaan atau integrasi lebih lanjut dengan teori lain yang lebih kompleks.

9.1.       Kontribusi terhadap Psikologi Humanistik dan Teori Komunikasi

Secara filosofis, model Johari berakar kuat dalam psikologi humanistik, terutama pemikiran Carl Rogers yang menekankan pentingnya keaslian (authenticity), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), dan aktualisasi diri sebagai fondasi hubungan interpersonal yang sehat1. Dalam konteks ini, Jendela Johari menjadi alat yang kongruen dengan gagasan bahwa pertumbuhan pribadi bergantung pada keterbukaan dan kesadaran reflektif.

Selain itu, model ini juga bersentuhan erat dengan teori komunikasi antarpribadi yang menekankan dua arah pertukaran makna, yaitu ekspresi diri (self-expression) dan penerimaan pesan (reception). Konsep feedback dalam model Johari selaras dengan gagasan transactional model of communication, di mana makna dibentuk bersama melalui interaksi berkelanjutan antara partisipan2.

9.2.       Analisis Epistemologis: Konstruksi Diri sebagai Proyek Sosial

Secara epistemologis, Jendela Johari menunjukkan bahwa identitas bukanlah entitas tetap, melainkan sebuah proyek sosial yang dibentuk melalui interaksi. Pandangan ini sejalan dengan teori symbolic interactionism dari George Herbert Mead, yang menyatakan bahwa kesadaran diri berkembang dari persepsi kita terhadap pandangan orang lain terhadap diri kita3. Dalam hal ini, model Johari mengasumsikan bahwa pemahaman diri selalu bersifat intersubjektif, bergantung pada narasi eksternal dan internal yang terus berubah.

Namun demikian, kritik epistemologis dapat diarahkan pada sifat simplifikasi dalam pembagian empat kuadran, yang berisiko mengabaikan kompleksitas kepribadian manusia. Sebagai contoh, dinamika ketidaksadaran (unconscious dynamics) yang dijelaskan dalam pendekatan psikoanalitik—seperti pertahanan diri (defense mechanisms), konflik intrapsikis, atau trauma yang terpendam—tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dalam kerangka Johari yang eksplisit dan terbuka4.

9.3.       Perbandingan dengan Model Kepribadian dan Kesadaran Diri Lainnya

Model Johari juga dapat dibandingkan secara konstruktif dengan kerangka kerja lain dalam studi kepribadian. Misalnya, Model Lima Besar (Big Five Personality Traits) yang menekankan dimensi stabil dalam kepribadian individu (seperti ekstroversi, neurotisisme, keterbukaan terhadap pengalaman, dst.) lebih bersifat diagnostik dan kuantitatif, sedangkan Johari lebih bersifat naratif dan reflektif5.

Begitu pula, pendekatan Transactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne, meskipun memiliki tujuan serupa dalam memahami dinamika komunikasi dan hubungan, menawarkan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi melalui pembagian ego states (Parent, Adult, Child). Berbeda dengan Johari yang bersifat statis dalam visualisasi kuadrannya, TA menekankan dinamika internal yang bergeser sesuai dengan situasi sosial6.

Dengan demikian, Jendela Johari lebih cocok digunakan sebagai alat pendamping dalam proses eksplorasi diri yang difasilitasi secara dialogis, bukan sebagai model yang sepenuhnya mandiri dalam menjelaskan keseluruhan struktur dan dinamika psikologis seseorang.

9.4.       Implikasi Etis dan Budaya: Refleksi Kritis atas Keterbukaan Diri

Keterbukaan diri (self-disclosure) yang menjadi fondasi dari Jendela Johari sering dianggap sebagai praktik universal yang diidealkan. Namun, pendekatan ini tidak selalu cocok dalam konteks budaya yang lebih kolektif atau berorientasi pada harmoni sosial. Dalam banyak budaya Asia dan Afrika, ekspresi diri secara terbuka dan penerimaan umpan balik langsung dapat dianggap mengganggu kesantunan sosial atau membahayakan kehormatan pribadi7.

Dalam kerangka ini, model Johari menuntut adaptasi lintas budaya dan kesadaran kontekstual. Sejumlah pakar komunikasi lintas budaya, seperti Edward T. Hall dan Geert Hofstede, menekankan bahwa pendekatan terhadap keterbukaan dan interpretasi feedback sangat dipengaruhi oleh norma-norma budaya terkait privasi, hierarki, dan ekspresi emosional8.


Kesimpulan Evaluatif

Model Jendela Johari tetap memiliki nilai teoretis dan aplikatif yang tinggi dalam pengembangan kesadaran diri dan hubungan interpersonal. Kekuatan utamanya terletak pada kesederhanaannya dalam memvisualisasikan dinamika diri dalam hubungan sosial. Namun, evaluasi kritis menunjukkan bahwa model ini memiliki keterbatasan dalam menjangkau lapisan bawah sadar, kompleksitas intrapsikis, dan sensitivitas budaya. Untuk pemahaman dan transformasi diri yang lebih utuh, Jendela Johari sebaiknya dipadukan dengan pendekatan lain dalam psikologi dan komunikasi interpersonal yang lebih kaya secara konseptual dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 33–38.

[2]                Julia T. Wood, Interpersonal Communication: Everyday Encounters, 8th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 25–29.

[3]                George Herbert Mead, Mind, Self, and Society: From the Standpoint of a Social Behaviorist, ed. Charles W. Morris (Chicago: University of Chicago Press, 1934), 135–141.

[4]                Nancy McWilliams, Psychoanalytic Diagnosis: Understanding Personality Structure in the Clinical Process, 2nd ed. (New York: Guilford Press, 2011), 20–24.

[5]                Oliver P. John, Richard W. Robins, and Lawrence A. Pervin, eds., Handbook of Personality: Theory and Research, 3rd ed. (New York: Guilford Press, 2008), 114–116.

[6]                Eric Berne, Games People Play: The Basic Handbook of Transactional Analysis (New York: Ballantine Books, 1964), 27–31.

[7]                Stella Ting-Toomey, Communicating Across Cultures (New York: Guilford Press, 1999), 85–87.

[8]                Geert Hofstede, Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 145–147.


10.       Penutup

Model Jendela Johari, yang dikembangkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955, telah membuktikan dirinya sebagai salah satu perangkat konseptual yang paling efektif untuk menggambarkan dan memfasilitasi proses kesadaran diri serta dinamika hubungan interpersonal. Melalui struktur empat kuadran—open, blind, hidden, dan unknown—model ini secara sederhana namun tajam memperlihatkan bagaimana informasi tentang diri tersebar antara domain pribadi dan sosial, serta bagaimana proses self-disclosure dan feedback dapat memengaruhi perkembangan individu dan relasi antar manusia1.

Dalam tinjauan yang telah dilakukan, tampak bahwa model ini memiliki kelebihan signifikan: mulai dari kemudahan pemahaman, fleksibilitas aplikatif, hingga kemampuannya dalam mendukung refleksi psikologis dan pertumbuhan relasi yang otentik2. Dalam konteks pendidikan, organisasi, terapi, dan kehidupan pribadi, Jendela Johari terbukti mampu menjembatani kesenjangan antara persepsi diri dan persepsi sosial, serta mendorong terbentuknya komunikasi yang terbuka dan konstruktif.

Namun demikian, evaluasi kritis menunjukkan adanya keterbatasan, baik dalam kerangka teoretis maupun praktik aplikatif. Sifatnya yang simplistik belum mampu menjelaskan kompleksitas psikis yang bersifat tak sadar, dan model ini menuntut keberadaan lingkungan yang aman secara psikologis agar dapat berfungsi secara optimal. Di samping itu, sensitivitas budaya terhadap nilai keterbukaan dan penerimaan umpan balik merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapannya3.

Di era digital yang ditandai dengan kehadiran identitas virtual dan keterbukaan semu, Jendela Johari tetap relevan sebagai instrumen reflektif yang dapat membantu individu memahami batas antara citra diri yang dikonstruksi dan identitas yang autentik. Adaptasi prinsip-prinsip model ini ke dalam ruang daring, seperti melalui forum pembelajaran digital, aplikasi konseling, atau komunitas reflektif, memungkinkan penggunaannya terus berkembang dalam bentuk-bentuk baru yang lebih inklusif dan kontekstual4.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa model Jendela Johari bukanlah alat diagnosis kepribadian yang lengkap, tetapi sebuah kerangka kerja yang sangat berguna untuk memulai dan memelihara dialog tentang diri dan relasi. Keberhasilannya bukan hanya ditentukan oleh isi model itu sendiri, tetapi oleh kesediaan individu dan kelompok untuk menjadikannya sebagai bagian dari proses pertumbuhan bersama. Dalam dunia yang semakin kompleks dan beragam, membangun jendela keterbukaan yang lebih luas—baik secara pribadi maupun sosial—adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih reflektif, inklusif, dan empatik.


Footnotes

[1]                Joseph Luft dan Harry Ingham, The Johari Window: A Graphic Model for Interpersonal Relations, Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (Los Angeles: UCLA, 1955), 1–10.

[2]                David W. Johnson, Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self-Actualization, 11th ed. (Boston: Pearson, 2017), 84–89.

[3]                Stella Ting-Toomey, Communicating Across Cultures (New York: Guilford Press, 1999), 86–88.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 154–160.


Daftar Pustaka

Berne, E. (1964). Games people play: The basic handbook of transactional analysis. Ballantine Books.

boyd, d. (2014). It’s complicated: The social lives of networked teens. Yale University Press.

Christakis, N. A., & Fowler, J. H. (2009). Connected: The surprising power of our social networks and how they shape our lives. Little, Brown and Company.

Corey, G. (2015). Theory and practice of group counseling (9th ed.). Cengage Learning.

Egan, G. (2014). The skilled helper: A problem-management and opportunity-development approach to helping (10th ed.). Cengage Learning.

Elias, M. J., Zins, J. E., Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R., Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and emotional learning: Guidelines for educators. Association for Supervision and Curriculum Development.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford University Press.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.

Goleman, D., Boyatzis, R., & McKee, A. (2002). Primal leadership: Realizing the power of emotional intelligence. Harvard Business Review Press.

Hall, E. T. (1976). Beyond culture. Anchor Books.

Higgins, E. T. (1987). Self-discrepancy: A theory relating self and affect. Psychological Review, 94(3), 319–340. https://doi.org/10.1037/0033-295X.94.3.319

Hofstede, G. (2001). Culture's consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations (2nd ed.). Sage.

John, O. P., Robins, R. W., & Pervin, L. A. (Eds.). (2008). Handbook of personality: Theory and research (3rd ed.). Guilford Press.

Johnson, D. W. (2017). Reaching out: Interpersonal effectiveness and self-actualization (11th ed.). Pearson.

Jourard, S. M. (1971). The transparent self (Rev. ed.). D. Van Nostrand.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Prentice Hall.

Luft, J., & Ingham, H. (1955). The Johari window: A graphic model for interpersonal relations. In Proceedings of the Western Training Laboratory in Group Development (pp. 1–10). UCLA.

Marwick, A. E., & boyd, d. (2011). I tweet honestly, I tweet passionately: Twitter users, context collapse, and the imagined audience. New Media & Society, 13(1), 114–133. https://doi.org/10.1177/1461444810365313

May, R. (1975). The courage to create. W. W. Norton.

McWilliams, N. (2011). Psychoanalytic diagnosis: Understanding personality structure in the clinical process (2nd ed.). Guilford Press.

Mead, G. H. (1934). Mind, self, and society: From the standpoint of a social behaviorist (C. W. Morris, Ed.). University of Chicago Press.

Rheingold, H. (2002). Smart mobs: The next social revolution. Perseus Publishing.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Spielberger, C. D. (Ed.). (1970). Current topics in clinical and community psychology (Vol. 2). Academic Press.

Ting-Toomey, S. (1999). Communicating across cultures. Guilford Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Wood, J. T. (2013). Interpersonal communication: Everyday encounters (8th ed.). Cengage Learning.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar