Nepotisme dan Kronisme
Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi yang Menggerus
Integritas Publik
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Nepotisme dan kronisme merupakan bentuk korupsi
relasional yang kerap luput dari perhatian publik karena terselubung dalam
praktik legal-formal dan relasi personal. Artikel ini menyajikan kajian kritis
terhadap dampak dan mekanisme nepotisme serta kronisme dalam sistem
pemerintahan, dengan fokus pada bagaimana praktik tersebut menggerus integritas
publik, merusak meritokrasi birokrasi, dan melemahkan kepercayaan masyarakat
terhadap negara. Melalui analisis multidisipliner yang mengacu pada studi
akademik dan laporan lembaga internasional, dibahas pula bentuk, pola
operasional, serta mekanisme pengaruh jaringan kekuasaan informal dalam
mendistribusikan jabatan dan proyek negara kepada pihak-pihak yang memiliki
hubungan kekerabatan atau loyalitas politik. Studi perbandingan dari berbagai
negara seperti Singapura, Kanada, Malaysia, India, dan Afrika Selatan
menunjukkan variasi kebijakan dalam mencegah praktik favoritisme dan pentingnya
penguatan sistem merit, transparansi rekrutmen, pengawasan independen, serta
internalisasi nilai-nilai etika publik. Artikel ini merekomendasikan reformasi
struktural yang berpadu dengan transformasi budaya birokrasi dan partisipasi
aktif masyarakat sipil sebagai strategi integral dalam pemberantasan nepotisme
dan kronisme.
Kata Kunci: Nepotisme, kronisme, korupsi, meritokrasi,
birokrasi, integritas publik, tata kelola pemerintahan, patronase politik,
sistem rekrutmen, reformasi kelembagaan.
PEMBAHASAN
Nepotisme dan Kronisme dalam Sistem Pemerintahan
1.
Pendahuluan
Nepotisme dan
kronisme merupakan dua bentuk penyimpangan kekuasaan yang secara sistematis
menggerus prinsip-prinsip etika pemerintahan dan tata kelola yang baik (good
governance). Kedua praktik ini berakar dari relasi sosial yang seharusnya
bersifat privat, namun dieksploitasi untuk kepentingan publik secara tidak sah,
seperti dalam proses perekrutan pegawai, pengangkatan jabatan struktural, serta
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Nepotisme mengacu pada
pemberian jabatan atau keuntungan kepada anggota keluarga, sementara kronisme
berkaitan dengan pemberian perlakuan istimewa kepada teman dekat atau kolega,
tanpa melalui mekanisme yang adil dan kompetitif¹.
Fenomena ini tidak
hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga ditemukan dalam berbagai sistem
politik di dunia, termasuk negara-negara demokratis. Menurut laporan World
Bank, nepotisme dan kronisme termasuk dalam kategori state
capture corruption, yaitu bentuk korupsi di mana kepentingan
pribadi mengendalikan kebijakan dan sumber daya publik². Transparency
International pun menyoroti bagaimana praktik ini menjadi bentuk korupsi
non-finansial yang berdampak jangka panjang terhadap lemahnya institusi publik
dan hilangnya kepercayaan masyarakat³.
Di Indonesia,
praktik nepotisme dan kronisme telah menjadi perhatian serius sejak era
reformasi, terutama karena dianggap sebagai warisan dari sistem otoriter Orde
Baru. Penerapan asas meritokrasi dalam pengisian jabatan publik kerap terhambat
oleh pengaruh hubungan kekerabatan dan loyalitas pribadi⁴. Hal ini terlihat
dalam banyak kasus, baik di level nasional maupun daerah, di mana jabatan
strategis diberikan kepada kerabat atau rekan politik tanpa mempertimbangkan
kompetensi dan integritas. Praktik semacam ini bertentangan dengan semangat
reformasi birokrasi dan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara yang mengedepankan prinsip objektivitas, transparansi, dan
profesionalitas⁵.
Dampak dari
nepotisme dan kronisme tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap
posisi kekuasaan, tetapi juga melemahkan sistem akuntabilitas publik. Ketika
relasi personal menjadi dasar pengambilan keputusan, maka ruang untuk kontrol
sosial dan hukum menjadi sempit. Hasilnya, sistem pemerintahan menjadi rentan
terhadap kolusi, penyelewengan wewenang, dan rendahnya kualitas pelayanan
publik⁶.
Berangkat dari
urgensi persoalan tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis
praktik nepotisme dan kronisme dalam sistem pemerintahan dari perspektif hukum,
etika, dan kebijakan publik. Kajian ini juga akan mengulas bentuk-bentuk aktual
dari kedua praktik tersebut, dampaknya terhadap institusi negara dan masyarakat,
serta strategi pencegahan dan penanggulangan berdasarkan studi kasus dan
praktik-praktik baik di tingkat internasional.
Footnotes
[1]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 56.
[2]
World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the
Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 21.
[3]
Transparency International, “Global Corruption Report 2004: Political
Corruption,” https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004.
[4]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 102.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
6.
[6]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2016), 223.
2.
Tinjauan Teoritis dan Konseptual
2.1.
Definisi Nepotisme dan Kronisme
Nepotisme berasal
dari bahasa Latin nepos yang berarti "keponakan"
dan secara historis merujuk pada praktik para pemimpin gereja Katolik pada Abad
Pertengahan yang memberikan posisi strategis kepada kerabat mereka¹. Dalam
konteks modern, nepotisme didefinisikan sebagai praktik memberikan jabatan, proyek, atau
keuntungan lainnya kepada anggota keluarga atau kerabat dekat tanpa
mempertimbangkan meritokrasi². Sedangkan kronisme (cronyism)
adalah pemberian perlakuan istimewa kepada teman dekat, sahabat, atau kolega
tertentu yang biasanya memiliki hubungan politis atau pribadi dengan penguasa
atau pemegang wewenang³.
Menurut Transparency
International, kedua praktik tersebut termasuk dalam bentuk korupsi
relasional (relational corruption), yaitu bentuk penyalahgunaan
kekuasaan yang melibatkan hubungan pribadi demi keuntungan politik atau
ekonomi⁴. Meski tidak selalu melibatkan pertukaran uang secara langsung,
nepotisme dan kronisme mengandung unsur ketidakadilan, ketidakterbukaan, dan
pelanggaran terhadap prinsip kepantasan serta profesionalisme dalam birokrasi.
2.2.
Nepotisme dan Kronisme sebagai Bentuk Korupsi
World Bank secara
eksplisit memasukkan nepotisme dan kronisme ke dalam klasifikasi “state
capture corruption”, yakni bentuk korupsi struktural di mana
keputusan dan kebijakan publik dikendalikan oleh kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu⁵. Dalam model ini, korupsi tidak hanya terjadi pada level
implementasi kebijakan, melainkan juga pada proses perumusan dan distribusi
kekuasaan.
Susan Rose-Ackerman
menekankan bahwa korupsi non-materiil seperti nepotisme dan kronisme sama
berbahayanya dengan suap atau gratifikasi karena dapat merusak
tata kelola publik dan menurunkan kualitas institusi demokrasi⁶.
Ia menyebutkan bahwa ketika proses pengangkatan jabatan dilakukan bukan karena
kompetensi, tetapi karena hubungan personal, maka hal itu akan berdampak jangka
panjang terhadap hilangnya efisiensi, profesionalisme, dan akuntabilitas dalam
pelayanan publik.
2.3.
Relasi antara Nepotisme, Kronisme, dan Bentuk
Korupsi Lainnya
Nepotisme dan
kronisme seringkali menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi lainnya, seperti kolusi,
suap, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam praktiknya,
pengangkatan kerabat atau teman dekat ke posisi strategis dapat menciptakan
jaringan kekuasaan informal yang menyingkirkan sistem pengawasan dan memperkuat
patronase politik⁷.
Teori patron-klien dalam ilmu
politik menjelaskan bahwa hubungan antar elit politik dan bawahannya seringkali
dibangun atas dasar loyalitas pribadi, bukan kompetensi. Dalam konteks ini,
nepotisme dan kronisme memperkuat struktur patronase dan melemahkan institusi
negara⁸. Ini sejalan dengan kritik Anthony Giddens yang menilai bahwa institusi
politik modern rentan terhadap dominasi jaringan sosial tertutup yang
menghambat demokratisasi dan akuntabilitas publik⁹.
2.4.
Nepotisme dan Kronisme dalam Perspektif Etika
Administrasi Publik
Dari sisi etika administrasi
publik, nepotisme dan kronisme bertentangan langsung dengan prinsip meritokrasi,
keadilan, dan pelayanan publik yang netral. Menurut
Fredrickson, prinsip keadilan sosial dalam birokrasi mengharuskan bahwa setiap
individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses
jabatan publik berdasarkan kemampuan dan kelayakan, bukan relasi personal¹⁰.
Oleh karena itu, praktik nepotistik atau kronistik merupakan pelanggaran
terhadap integritas moral dalam pelayanan publik.
Footnotes
[1]
David Runciman, Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes
to Orwell and Beyond (Princeton: Princeton University Press, 2008), 23.
[2]
Stephen D. Morris, Corruption and Politics in Latin America:
National and Regional Dynamics (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2010),
38.
[3]
Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and
Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 68.
[4]
Transparency International, “Corruption Glossary,” https://www.transparency.org/en/corruptionary.
[5]
World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the
Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 22.
[6]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 224.
[7]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 78.
[8]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 143.
[9]
Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory
of Structuration (Berkeley: University of California Press, 1984), 327.
[10]
H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration
(San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 89.
3.
Dimensi Hukum dan Etika
3.1.
Kerangka Hukum terhadap Nepotisme dan Kronisme
Secara hukum, praktik
nepotisme dan kronisme bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan
yang baik, terutama dalam konteks negara demokratis yang menjunjung tinggi asas
keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Di Indonesia, larangan terhadap
praktik nepotisme secara eksplisit dimuat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme⁽¹⁾. Pasal 1 ayat (5)
dalam undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa nepotisme adalah
setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara.
Selain itu, Undang-Undang
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga menekankan
pentingnya sistem merit dalam pengangkatan, promosi, dan penempatan ASN
(Aparatur Sipil Negara). Sistem merit dimaknai sebagai kebijakan dan manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar tanpa diskriminasi⁽²⁾. Dengan demikian, praktik nepotisme dan kronisme
dalam birokrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum positif
dan menjadi objek pengawasan oleh lembaga seperti Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN).
Dalam lingkup internasional, United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006,
menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya manusia sektor publik secara
objektif, terbuka, dan berdasarkan pada prinsip kemampuan serta integritas⁽³⁾.
UNCAC juga menggarisbawahi bahwa negara-negara pihak harus mengambil
langkah-langkah untuk mencegah konflik kepentingan dan praktik favoritisme dalam
pelayanan publik.
Namun, kendati kerangka hukum
telah tersedia, implementasi regulasi tersebut masih menemui berbagai hambatan,
antara lain lemahnya penegakan hukum, budaya patronase, serta resistensi dari
elit politik dan birokrasi yang telah terbiasa memanfaatkan relasi personal
sebagai instrumen kekuasaan⁽⁴⁾.
3.2.
Pelanggaran terhadap Prinsip Etika Publik
Nepotisme dan kronisme tidak
hanya melanggar aturan hukum formal, tetapi juga mencederai prinsip dasar etika
dalam administrasi publik. Etika publik menuntut agar penyelenggara negara
mengedepankan prinsip integritas, keadilan, obyektivitas, dan
kepentingan umum⁽⁵⁾. Ketika seseorang memperoleh jabatan karena
hubungan kekerabatan atau pertemanan, bukan karena kompetensi, maka keadilan
prosedural dan substantif dalam pelayanan publik telah dikorbankan.
Menurut Fredrickson,
birokrasi yang etis adalah birokrasi yang memperlakukan setiap individu secara
setara dalam proses rekrutmen, promosi, dan pelayanan⁽⁶⁾. Dalam konteks ini,
nepotisme dan kronisme adalah bentuk ketidakadilan struktural yang menciptakan
ketimpangan dan diskriminasi terhadap individu yang lebih layak namun
tersingkir karena tidak memiliki akses terhadap jejaring kekuasaan.
Lebih lanjut, praktik ini
juga menciptakan konflik kepentingan (conflict
of interest) yang merusak pengambilan keputusan. Ketika seorang pejabat
harus memilih antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi atau
kelompoknya, maka peluang untuk menyalahgunakan wewenang menjadi sangat besar.
Rose-Ackerman mencatat bahwa dalam banyak kasus, nepotisme merupakan awal dari
lingkaran korupsi yang lebih kompleks karena mengikis efektivitas sistem
kontrol internal pemerintahan⁽⁷⁾.
3.3.
Dilema Moral dan Budaya dalam Konteks Lokal
Dalam banyak masyarakat,
termasuk di Indonesia, praktik memberikan "tempat" bagi keluarga atau
kerabat sering kali dibingkai sebagai wujud dari loyalitas, balas jasa, atau
bahkan kewajiban moral. Inilah yang kemudian menciptakan dilema etis antara
nilai-nilai tradisional seperti kekeluargaan dan solidaritas sosial, dengan
nilai-nilai modern seperti meritokrasi dan profesionalitas. Namun, sebagaimana
dikemukakan oleh Bo Rothstein, demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh apabila tata
kelola pemerintahan dibangun atas dasar kepercayaan publik dan prinsip keadilan
institusional, bukan atas dasar relasi personal⁽⁸⁾.
Dengan demikian, penting
untuk menempatkan hukum dan etika bukan hanya sebagai perangkat normatif,
tetapi juga sebagai kerangka perubahan budaya birokrasi menuju sistem yang
lebih adil, transparan, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat secara
objektif.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 6.
[3]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations
Convention Against Corruption, 2004, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/uncac.html.
[4]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 154.
[5]
Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to
Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass,
2012), 35.
[6]
H. George Frederickson, Ethics and Public Administration (New
York: M.E. Sharpe, 1993), 49.
[7]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 232.
[8]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 114.
4.
Bentuk, Pola, dan Mekanisme Nepotisme dan
Kronisme
4.1.
Bentuk-bentuk Nepotisme dan Kronisme dalam
Pemerintahan
Nepotisme dan kronisme dapat
muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada konteks institusional dan budaya
politik yang melingkupinya. Bentuk yang paling umum adalah pengangkatan
jabatan struktural kepada kerabat atau teman dekat, meskipun
individu tersebut tidak memenuhi syarat kompetensi. Ini sering terjadi dalam
proses seleksi terbuka jabatan publik yang secara prosedural tampak sah, tetapi
secara substansi telah diarahkan atau diatur sebelumnya oleh pihak
berwenang⁽¹⁾.
Bentuk lain yang lazim
ditemukan adalah pemberian kontrak pemerintah atau proyek
pembangunan kepada perusahaan milik keluarga, teman, atau jaringan politik,
tanpa proses tender yang transparan. Dalam beberapa kasus, bentuk ini
dikamuflasekan melalui perusahaan cangkang atau aliansi bisnis bayangan yang
sulit dilacak oleh publik maupun auditor negara⁽²⁾.
Selain itu, praktik pembuatan
regulasi atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu
juga bisa masuk dalam kategori kronisme politik. Misalnya, pemberlakuan
kebijakan fiskal atau perizinan usaha yang dirancang untuk melindungi monopoli
bisnis milik kroni kekuasaan atau kolega politik⁽³⁾.
4.2.
Pola Nepotisme dan Kronisme: Dari Relasi
Personal ke Struktur Kekuasaan
Nepotisme dan kronisme tidak
bekerja secara sporadis, melainkan mengikuti pola sistematis yang
dibentuk oleh jaringan kekuasaan informal. Dalam banyak sistem
politik, aktor-aktor kunci seperti kepala daerah, pimpinan partai politik, atau
tokoh militer membangun “lingkaran dalam” yang terdiri dari orang-orang yang
memiliki kedekatan emosional, ikatan darah, atau loyalitas politik⁽⁴⁾.
Lingkaran ini kemudian menjadi kanal utama distribusi sumber daya, jabatan, dan
proyek negara.
Dalam konteks Indonesia,
Edward Aspinall dan Ward Berenschot mencatat bahwa politik
patronase menjadi pola dominan dalam pembentukan jaringan
kekuasaan lokal. Kandidat politik yang berhasil memenangkan pemilu cenderung
“membayar utang politik” kepada para pendukungnya melalui pembagian jabatan dan
proyek, terlepas dari kelayakan profesional pendukung tersebut⁽⁵⁾. Akibatnya, institusi-institusi
negara menjadi subordinat dari relasi sosial yang bersifat pribadi dan tidak
berbasis pada prinsip meritokrasi.
4.3.
Mekanisme Operasional Nepotisme dan Kronisme
Mekanisme praktik nepotisme
dan kronisme bekerja melalui berbagai instrumen, baik yang bersifat formal
maupun informal:
1)
Manipulasi prosedur
administratif.
Dalam seleksi jabatan, komite penilai atau
panitia seleksi bisa direkayasa agar memberi skor tinggi kepada kandidat
tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, jabatan tertentu sudah “dipesan” jauh
sebelum seleksi diumumkan secara publik⁽⁶⁾.
2)
Politik balas budi
(clientelism).
Pemilik kekuasaan memberikan posisi kepada
kerabat, kawan dekat, atau donatur politik sebagai bentuk balas jasa atas
dukungan yang diberikan selama masa kampanye atau perjuangan politik. Hal ini
jamak terjadi dalam demokrasi elektoral yang transaksional⁽⁷⁾.
3)
Penguasaan institusi
pengawasan.
Dalam banyak kasus, aktor nepotistik mengontrol
atau mempengaruhi lembaga pengawas seperti inspektorat, auditor internal,
bahkan lembaga legislatif, sehingga laporan pelanggaran dapat dikaburkan atau
tidak ditindaklanjuti⁽⁸⁾.
4)
Ketiadaan transparansi
digital.
Ketika sistem perekrutan, pengadaan barang/jasa,
atau penilaian kinerja masih dilakukan secara manual dan tertutup, ruang untuk
intervensi pribadi menjadi sangat luas. Sebaliknya, penerapan sistem berbasis
teknologi (e-government) dapat menekan potensi intervensi semacam ini⁽⁹⁾.
4.4.
Studi Kasus dan Indikasi Empiris
Studi dari Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah kasus nepotisme dalam penempatan
jabatan strategis di daerah, terutama setelah pilkada. Salah satu contohnya
adalah pengangkatan anak, istri, atau kerabat kepala daerah menjadi pejabat
daerah, staf ahli, atau komisaris BUMD, yang dalam banyak kasus tidak melalui
mekanisme seleksi yang objektif⁽¹⁰⁾.
Dalam konteks internasional,
kasus di Malaysia pada masa pemerintahan Najib Razak juga menjadi contoh nyata
praktik kronisme yang melibatkan skandal 1MDB, di mana sejumlah proyek
strategis nasional dikendalikan oleh kolega politik dan keluarga dekat sang
perdana menteri⁽¹¹⁾.
Footnotes
[1]
Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and
Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 111.
[2]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 242.
[3]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 145.
[4]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 89.
[5]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 152.
[6]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Catatan Akhir Tahun 2022: Korupsi
Sektor Sumber Daya Publik,” https://antikorupsi.org/id.
[7]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1972), 45.
[8]
Transparency International, “Global Corruption Report 2004: Political
Corruption,” https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004.
[9]
UNODC, E-Governance and Anti-Corruption Strategies (Vienna:
United Nations Office on Drugs and Crime, 2019), https://www.unodc.org.
[10]
ICW, “Praktik Nepotisme di Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada,” 2021, https://antikorupsi.org.
[11]
Tom Wright and Bradley Hope, Billion Dollar Whale: The Man Who
Fooled Wall Street, Hollywood, and the World (New York: Hachette Books,
2018).
5.
Dampak Nepotisme dan Kronisme
Nepotisme dan kronisme
memberikan dampak sistemik yang luas dan mendalam terhadap tata kelola
pemerintahan serta kehidupan sosial-politik suatu negara. Dampak ini tidak
hanya bersifat administratif atau ekonomi, tetapi juga menggerus sendi-sendi
kepercayaan publik, melemahkan institusi, dan memperdalam ketimpangan sosial.
5.1.
Menurunnya Efisiensi dan Profesionalisme dalam
Birokrasi
Salah satu dampak paling
nyata dari nepotisme dan kronisme adalah terkikisnya efisiensi
dan profesionalisme dalam pelayanan publik. Ketika posisi
strategis diisi oleh individu yang tidak memiliki kompetensi yang memadai, maka
kualitas pengambilan keputusan, pengelolaan sumber daya, dan pelayanan terhadap
masyarakat menjadi rendah⁽¹⁾. Hal ini menciptakan birokrasi yang tidak
responsif, lamban, dan rentan terhadap kesalahan administratif.
Fredrickson menegaskan bahwa
birokrasi yang dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang dipilih bukan karena
keahlian, tetapi karena kedekatan personal, akan gagal dalam menjalankan tugas
pelayanan publik secara optimal. Institusi semacam itu tidak hanya tidak
efisien, tetapi juga cenderung menciptakan kesenjangan antara tujuan negara dan
realisasi di lapangan⁽²⁾.
5.2.
Erosi terhadap Kepercayaan Publik dan
Legitimasi Pemerintah
Nepotisme dan kronisme secara
langsung menggerus kepercayaan publik terhadap
institusi negara. Ketika masyarakat melihat bahwa akses
terhadap jabatan publik hanya terbuka bagi mereka yang “berjaringan”
dengan kekuasaan, maka persepsi ketidakadilan akan tumbuh subur. Keadaan ini
memperlemah legitimasi pemerintahan karena warga merasa bahwa negara tidak lagi
dikelola atas dasar keadilan dan meritokrasi, tetapi berdasarkan relasi
personal⁽³⁾.
Bo Rothstein menyebut bahwa
tingkat kepercayaan sosial (social trust) sangat tergantung pada persepsi
publik terhadap fairness dalam sistem birokrasi dan keadilan prosedural dalam
distribusi layanan negara. Negara yang dipersepsikan menjalankan praktik
favoritisme akan mengalami defisit kepercayaan warga yang pada akhirnya
mengancam stabilitas demokrasi⁽⁴⁾.
5.3.
Meningkatkan Korupsi Struktural dan Kolusi
Politik
Nepotisme dan kronisme sering
menjadi pintu masuk bagi praktik kolusi dan
korupsi struktural. Dalam sistem yang diisi oleh kerabat dan
kroni, mekanisme check and balance melemah karena seluruh aktor kunci saling
terikat oleh relasi kepentingan pribadi. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan
tidak lagi berdasarkan rasionalitas publik, melainkan kepentingan kelompok
internal kekuasaan⁽⁵⁾.
Menurut Susan Rose-Ackerman,
sistem pemerintahan yang didominasi oleh jaringan personal akan sangat sulit
menerapkan pengawasan internal yang independen. Pejabat yang merasa berutang
loyalitas terhadap atasan karena pengangkatan nepotistik akan menghindari
pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh “kelompok sendiri”, menciptakan
ekosistem impunitas yang kronis⁽⁶⁾.
5.4.
Penghambat Inovasi dan Regenerasi Kepemimpinan
Praktik nepotisme dan
kronisme juga menghambat regenerasi dan inovasi dalam
sektor publik. Ketika proses seleksi tidak berbasis kompetensi
dan potensi, individu-individu muda yang cakap dan berintegritas tidak memiliki
ruang untuk berkembang. Hal ini tidak hanya merugikan mereka secara personal,
tetapi juga merugikan negara karena kehilangan sumber daya manusia potensial
yang mampu membawa pembaruan⁽⁷⁾.
James C. Scott menyatakan
bahwa salah satu ciri khas dari rezim yang mengalami korupsi relasional adalah
stagnasi dalam kebijakan publik, karena posisi strategis diisi oleh individu
yang hanya mempertahankan status quo kekuasaan, bukan memperjuangkan inovasi
kebijakan⁽⁸⁾.
5.5.
Memperbesar Ketimpangan Sosial dan
Ketidakadilan Ekonomi
Dampak lainnya yang bersifat
sosial-ekonomi adalah meluasnya ketimpangan akses terhadap
sumber daya dan peluang ekonomi. Ketika peluang kerja, kontrak
pemerintah, atau subsidi negara hanya diberikan kepada kalangan yang
“terhubung”, maka masyarakat luas yang tidak memiliki afiliasi personal dengan
penguasa akan tersisih dari kompetisi. Ini menciptakan sistem sosial yang
eksklusif dan memperkuat oligarki kekuasaan dan ekonomi⁽⁹⁾.
Laporan Bank Dunia menyebut
bahwa praktik favoritisme dan kronisme dalam kebijakan fiskal dan investasi
publik akan mengakibatkan distribusi anggaran yang tidak merata, serta
mengurangi efektivitas belanja negara dalam mengentaskan kemiskinan⁽¹⁰⁾.
Footnotes
[1]
Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and
Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 94.
[2]
H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration
(San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 123.
[3]
Transparency International, “Nepotism,” in Corruption Glossary,
https://www.transparency.org/en/corruptionary/nepotism.
[4]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 115.
[5]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 190.
[6]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 246.
[7]
Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to
Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass,
2012), 77.
[8]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1972), 41.
[9]
Bo Rothstein and Aiysha Varraich, Making Sense of Corruption
(Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 85.
[10]
World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the
Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 29.
6.
Strategi Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahan dan penanggulangan
nepotisme dan kronisme membutuhkan pendekatan yang multidimensi: dari reformasi
kelembagaan, penguatan sistem merit, transparansi publik, hingga pendidikan
etika. Strategi ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga harus menyentuh
aspek budaya birokrasi dan politik.
6.1.
Penguatan Sistem Merit dan Reformasi Birokrasi
Langkah paling mendasar dalam
mencegah nepotisme dan kronisme adalah menerapkan sistem merit
secara konsisten dalam proses rekrutmen, promosi, dan pengisian
jabatan publik. Sistem merit menekankan bahwa jabatan hanya dapat diisi oleh
individu yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan integritas yang terukur,
bukan berdasarkan hubungan personal⁽¹⁾.
Di Indonesia, penerapan
sistem merit diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, serta diperkuat oleh peran Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN). Meski regulasi sudah tersedia,
tantangannya adalah mengefektifkan pengawasan dan menjamin independensi panitia
seleksi serta proses evaluasi jabatan secara objektif⁽²⁾.
6.2.
Digitalisasi dan Transparansi dalam Tata Kelola
Nepotisme dan kronisme tumbuh
subur dalam sistem yang tertutup dan tidak transparan. Oleh karena itu, pemanfaatan
teknologi digital (e-government) menjadi strategi penting dalam
menciptakan birokrasi yang terbuka dan akuntabel. Sistem informasi kepegawaian
digital, seperti SIASN (Sistem Informasi Aparatur Sipil
Negara) dan SPCP (Seleksi Pengadaan CPNS/P3K)
di Indonesia, telah menjadi langkah awal untuk membatasi intervensi personal
dalam proses seleksi⁽³⁾.
Menurut UNODC, digitalisasi
dalam pelayanan publik dapat menurunkan potensi korupsi secara signifikan
karena mengurangi kontak langsung antara
pengambil keputusan dan pihak yang berkepentingan, serta
memungkinkan audit data secara real-time⁽⁴⁾.
6.3.
Peran Lembaga Pengawas dan Masyarakat Sipil
Penanggulangan nepotisme dan
kronisme juga sangat bergantung pada efektivitas lembaga
pengawas eksternal seperti ombudsman, BPK, KASN,
serta peran aktif organisasi masyarakat sipil. Ketika lembaga pengawas bekerja
secara independen dan diberi kewenangan yang memadai, maka praktik-praktik favoritisme
dapat dideteksi lebih awal dan dicegah⁽⁵⁾.
Selain itu, peran
jurnalisme investigatif dan media massa tidak kalah penting.
Laporan-laporan investigatif yang mengungkap praktik nepotistik di daerah
maupun pusat mampu memberikan tekanan publik dan menjadi dasar bagi proses
hukum atau pembinaan administrasi⁽⁶⁾.
6.4.
Pendidikan Etika dan Internalisasi Nilai
Integritas
Langkah strategis jangka
panjang adalah pembangunan budaya etis dalam birokrasi
dan politik, yang hanya dapat dilakukan melalui pendidikan etika
secara berkelanjutan. Menurut Cooper, etika publik bukan
sekadar aturan normatif, melainkan hasil dari proses
pembentukan karakter dan budaya organisasi yang mengutamakan keadilan,
akuntabilitas, dan kepentingan umum⁽⁷⁾.
Pendidikan antikorupsi dan
pelatihan integritas harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran ASN sejak
awal, serta dijadikan bagian dari standar kompetensi kepemimpinan publik.
Program ini perlu didukung oleh sistem reward and punishment yang adil dan
konsisten⁽⁸⁾.
6.5.
Praktik Baik dari Negara Lain
Beberapa negara telah
menunjukkan praktik baik dalam mencegah nepotisme dan kronisme. Singapura,
misalnya, menerapkan sistem perekrutan publik berbasis merit yang sangat ketat
melalui Public Service Commission (PSC),
yang bersifat independen dari kekuasaan politik. Selain itu, kompensasi tinggi
dan sistem insentif berbasis kinerja mengurangi motivasi untuk melakukan
praktik favoritisme⁽⁹⁾.
Di Kanada,
proses rekrutmen pegawai negeri federal diatur oleh Public
Service Commission of Canada (PSC) yang memastikan bahwa
seluruh proses dilakukan secara fair, terbuka, dan berbasis kompetensi, serta
dilengkapi dengan mekanisme pengaduan publik⁽¹⁰⁾.
Adaptasi praktik-praktik baik
semacam ini dapat membantu negara-negara berkembang untuk membangun sistem
birokrasi yang lebih bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan
publik.
Footnotes
[1]
OECD, Merit-Based Recruitment in the Public Sector (Paris:
OECD Publishing, 2017), 11.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 6.
[3]
Kementerian PANRB, “Digitalisasi ASN Melalui SIASN,” https://www.menpan.go.id.
[4]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), E-Governance and
Anti-Corruption Strategies (Vienna: UNODC, 2019), https://www.unodc.org.
[5]
Transparency International, “Fighting Nepotism in Public
Administration,” https://www.transparency.org.
[6]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 193.
[7]
Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to
Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass,
2012), 23.
[8]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 98.
[9]
Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 62.
[10]
Public
Service Commission of Canada, “Merit System Principles,” https://www.canada.ca/en/public-service-commission.
7.
Studi Perbandingan Internasional
Upaya memahami dan menangani
nepotisme serta kronisme dalam sistem pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari
pembelajaran lintas negara. Banyak negara, baik berkembang maupun maju,
menghadapi tantangan serupa dalam mengelola relasi antara kekuasaan dan
kedekatan personal. Namun, respons kebijakan, efektivitas lembaga, serta budaya
politik yang berkembang menunjukkan variasi yang signifikan.
7.1.
Singapura: Model Meritokrasi dan Integritas
Lembaga
Singapura secara konsisten
menempati peringkat teratas dalam indeks persepsi korupsi global, dan menjadi
contoh sukses dalam menegakkan meritokrasi dan mencegah
favoritisme dalam birokrasi. Sistem perekrutan pegawai publik
diatur secara ketat oleh Public Service Commission (PSC),
sebuah lembaga independen yang memegang kewenangan penuh atas seleksi dan
promosi aparatur sipil negara⁽¹⁾.
Faktor kunci kesuksesan
Singapura adalah penggabungan antara pengawasan ketat,
sistem seleksi berbasis kompetensi, dan pemberian insentif tinggi bagi pejabat
publik. Kompensasi yang layak secara ekonomi dinilai mengurangi
godaan untuk menyalahgunakan jabatan, termasuk untuk kepentingan keluarga atau
kolega⁽²⁾. Selain itu, keterlibatan langsung dari pemimpin nasional seperti Lee
Kuan Yew dalam menanamkan nilai integritas turut memperkuat budaya anti-nepotisme
di kalangan elit pemerintahan⁽³⁾.
7.2.
Kanada: Mekanisme Pengaduan Publik dan
Keterbukaan Rekrutmen
Kanada juga menjadi negara
yang dikenal memiliki tata kelola perekrutan publik yang inklusif
dan transparan. Proses rekrutmen dan promosi dalam pelayanan
sipil diatur oleh Public Service Commission of Canada (PSC),
dengan prinsip dasar "appointments based on merit". Komisi ini juga
menyediakan saluran pengaduan bagi publik
jika terjadi indikasi perlakuan istimewa dalam proses seleksi jabatan⁽⁴⁾.
Setiap posisi yang dibuka
untuk umum wajib diumumkan secara terbuka dan disertai kriteria seleksi yang
jelas. Sistem berbasis teknologi informasi memungkinkan proses seleksi
dilakukan secara adil dan dapat ditinjau ulang oleh otoritas independen.
Transparansi ini membuat praktik nepotisme dan kronisme sulit berkembang dalam
birokrasi Kanada⁽⁵⁾.
7.3.
Malaysia: Kronisme dan Skandal Politik
Sebaliknya, Malaysia
menunjukkan contoh bagaimana kronisme dapat menciptakan krisis kepercayaan
nasional, terutama ketika melekat pada kekuasaan politik dan
bisnis. Kasus skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) menjadi simbol
kegagalan tata kelola yang disusupi kepentingan kroni elit penguasa. Dalam
kasus ini, sejumlah pejabat tinggi dan kolega Perdana Menteri Najib Razak
diduga menerima dana dari dana negara untuk kepentingan pribadi dan politik⁽⁶⁾.
Transparency International
Malaysia mencatat bahwa lemahnya sistem pengawasan internal, keterlibatan
keluarga dalam pengelolaan BUMN, serta dominasi partai penguasa selama puluhan
tahun menjadi penyebab kronisme melembaga⁽⁷⁾. Reformasi pasca-skandal terus
diupayakan, tetapi masih menghadapi tantangan dari struktur politik yang belum
sepenuhnya terbuka dan independen.
7.4.
India: Praktik Nepotisme dalam Politik dan
Birokrasi
India merupakan contoh lain
di mana nepotisme berkembang dalam struktur
sosial-politik yang demokratis, terutama dalam konteks partai
politik dan jabatan birokrasi tingkat daerah. Sistem “dynastic
politics” atau politik dinasti telah menjangkiti banyak partai
besar, bahkan pada level nasional. Keluarga Gandhi, misalnya, telah mendominasi
Partai Kongres selama beberapa dekade⁽⁸⁾.
Di tingkat pemerintahan lokal
dan negara bagian, nepotisme terjadi dalam bentuk pengangkatan kerabat politisi
sebagai kepala instansi pemerintah, penasihat khusus, atau pejabat BUMN, tanpa
proses seleksi terbuka. Upaya reformasi dilakukan melalui Administrative
Reforms Commission dan Mahkamah Agung India yang beberapa kali
menyatakan bahwa praktek favoritisme bertentangan dengan Konstitusi⁽⁹⁾.
7.5.
Afrika Selatan: Nepotisme dan Politik Patronase
Di Afrika Selatan, nepotisme
dan kronisme menjadi bagian dari sistem patronase yang
terbentuk pasca-apartheid, di mana partai berkuasa (ANC)
memanfaatkan pengangkatan politik untuk mempertahankan pengaruh.
Skandal-skandal selama era Presiden Jacob Zuma mengungkap pola sistematis
penempatan kroni dalam lembaga negara, perusahaan milik negara, dan posisi
pengambilan kebijakan strategis⁽¹⁰⁾.
Istilah “state
capture” digunakan oleh Komisi Zondo untuk menggambarkan sejauh
mana struktur negara telah dikendalikan oleh kepentingan kelompok tertentu,
termasuk keluarga Zuma dan pengusaha-pengusaha seperti keluarga Gupta. Laporan
akhir Komisi menyarankan reformasi menyeluruh terhadap prosedur pengangkatan
pejabat dan penguatan sistem pengawasan independen⁽¹¹⁾.
Footnotes
[1]
Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 58.
[2]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 101.
[3]
Lee Kuan Yew, From Third World to First: The Singapore Story
(New York: HarperCollins, 2000), 135–137.
[4]
Public Service Commission of Canada, “About the Commission,” https://www.canada.ca/en/public-service-commission.
[5]
OECD, Preventing Corruption in Public Procurement (Paris: OECD
Publishing, 2016), 88.
[6]
Tom Wright and Bradley Hope, Billion Dollar Whale: The Man Who
Fooled Wall Street, Hollywood, and the World (New York: Hachette Books,
2018), 95–98.
[7]
Transparency International Malaysia, “Malaysia’s Anti-Corruption
Challenges,” https://www.transparency.org.my.
[8]
Kanchan Chandra, Democratic Dynasties: State, Party, and Family in
Contemporary Indian Politics (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 21.
[9]
The Hindu, “SC: Appointments Based on Nepotism Violate Equality,”
February 10, 2015, https://www.thehindu.com.
[10]
Richard Calland, The Zuma Years: South Africa’s Changing Face of
Power (Cape Town: Zebra Press, 2013), 165–169.
[11]
Judicial Commission of Inquiry into State Capture (Zondo Commission), Final
Report, 2022, https://www.statecapture.org.za.
8.
Penutup
Nepotisme dan kronisme
merupakan bentuk korupsi non-material yang secara sistematis menggerogoti
integritas pemerintahan, keadilan sosial, dan kualitas pelayanan publik. Tidak
seperti korupsi uang tunai yang bersifat langsung dan dapat diukur, praktik ini
bekerja secara halus melalui relasi personal dan jaringan patronase yang
seringkali tersembunyi di balik legitimasi formal. Oleh karena itu,
keberadaannya kerap luput dari pengawasan, tetapi dampaknya sangat destruktif
bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat⁽¹⁾.
Studi ini menunjukkan bahwa
nepotisme dan kronisme merusak sendi meritokrasi dalam birokrasi, menurunkan
efisiensi lembaga publik, memperkuat ketimpangan sosial, dan mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara⁽²⁾. Dalam jangka panjang,
praktik semacam ini menciptakan struktur kekuasaan yang eksklusif dan menutup
peluang regenerasi kepemimpinan berbasis kapasitas. Seperti diingatkan oleh Bo
Rothstein, negara yang gagal menjamin keadilan prosedural dalam rekrutmen dan
kebijakan publik akan menghadapi krisis kepercayaan yang mendalam dan
sistemik⁽³⁾.
Secara hukum, Indonesia
sebenarnya telah memiliki regulasi yang cukup progresif, mulai dari UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas
dari KKN hingga UU ASN No. 5 Tahun 2014
yang menegaskan sistem merit sebagai basis pengelolaan sumber daya manusia
aparatur. Namun demikian, lemahnya penegakan hukum dan resistensi budaya
menjadi tantangan utama dalam implementasinya⁽⁴⁾.
Pengalaman berbagai negara
seperti Singapura, Kanada, dan bahkan Afrika Selatan menunjukkan bahwa
penguatan integritas kelembagaan tidak cukup hanya dengan peraturan, tetapi
harus ditopang oleh mekanisme pengawasan independen, keterbukaan informasi,
pendidikan etika publik, dan keteladanan dari pemimpin tertinggi negara⁽⁵⁾. Di
sisi lain, media dan masyarakat sipil juga memegang peran penting dalam
mengawasi dan menekan praktik favoritisme yang merugikan kepentingan publik⁽⁶⁾.
Sebagai penutup, dapat
ditegaskan bahwa pemberantasan nepotisme dan kronisme adalah prasyarat utama
bagi terwujudnya sistem pemerintahan yang bersih, profesional, dan berkeadilan.
Strategi pencegahan tidak boleh semata-mata bersifat administratif, melainkan
juga harus menyasar pada perubahan budaya politik dan birokrasi. Dalam kerangka
itu, dibutuhkan kemauan politik yang kuat, reformasi kelembagaan yang
konsisten, dan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun tata kelola
pemerintahan yang berbasis pada prinsip integritas dan meritokrasi.
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 232.
[2]
Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and
Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–102.
[3]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 119.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 6.
[5]
Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 59–63.
[6]
Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 189.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., &
Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the
state in Indonesia. Cornell University Press.
Calland, R. (2013). The
Zuma years: South Africa’s changing face of power. Zebra Press.
Chandra, K. (2016). Democratic
dynasties: State, party, and family in contemporary Indian politics. Cambridge
University Press.
Cooper, T. L. (2012). The
responsible administrator: An approach to ethics for the administrative role
(6th ed.). Jossey-Bass.
Frederickson, H. G. (1997).
The spirit of public administration. Jossey-Bass.
Johnston, M. (2005). Syndromes
of corruption: Wealth, power, and democracy. Cambridge University Press.
Klitgaard, R. (1988). Controlling
corruption. University of California Press.
Lee, K. Y. (2000). From
third world to first: The Singapore story. HarperCollins.
OECD. (2016). Preventing
corruption in public procurement. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264262932-en
OECD. (2017). Merit-based
recruitment in the public sector. OECD Publishing. https://www.oecd.org
Public Service Commission
of Canada. (n.d.). About the commission. https://www.canada.ca/en/public-service-commission
Quah, J. S. T. (2010). Public
administration Singapore-style. Emerald Group Publishing.
Republik Indonesia. (2014).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.
Rose-Ackerman, S., &
Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and
reform (2nd ed.). Cambridge University Press.
Rothstein, B. (2011). The
quality of government: Corruption, social trust, and inequality in
international perspective. University of Chicago Press.
Rothstein, B., &
Varraich, A. (2017). Making sense of corruption. Cambridge University
Press.
Scott, J. C. (1972). Comparative
political corruption. Prentice-Hall.
The Hindu. (2015, February
10). SC: Appointments based on nepotism violate equality. https://www.thehindu.com
Transparency International.
(2004). Global corruption report 2004: Political corruption. https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004
Transparency International.
(n.d.). Nepotism – Corruptionary. https://www.transparency.org/en/corruptionary/nepotism
Transparency International
Malaysia. (n.d.). Malaysia’s anti-corruption challenges. https://www.transparency.org.my
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2019). E-governance and anti-corruption strategies. UNODC.
https://www.unodc.org
Wright, T., & Hope, B.
(2018). Billion dollar whale: The man who fooled Wall Street, Hollywood,
and the world. Hachette Books.
World Bank. (2000). Anticorruption
in transition: A contribution to the policy debate. World Bank
Publications.
Zondo Commission. (2022). Judicial
Commission of Inquiry into State Capture: Final report. https://www.statecapture.org.za
Tidak ada komentar:
Posting Komentar