Selasa, 08 Juli 2025

Nepotisme dan Kronisme: Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi yang Menggerus Integritas Publik

Nepotisme dan Kronisme

Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi yang Menggerus Integritas Publik


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Nepotisme dan kronisme merupakan bentuk korupsi relasional yang kerap luput dari perhatian publik karena terselubung dalam praktik legal-formal dan relasi personal. Artikel ini menyajikan kajian kritis terhadap dampak dan mekanisme nepotisme serta kronisme dalam sistem pemerintahan, dengan fokus pada bagaimana praktik tersebut menggerus integritas publik, merusak meritokrasi birokrasi, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Melalui analisis multidisipliner yang mengacu pada studi akademik dan laporan lembaga internasional, dibahas pula bentuk, pola operasional, serta mekanisme pengaruh jaringan kekuasaan informal dalam mendistribusikan jabatan dan proyek negara kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan atau loyalitas politik. Studi perbandingan dari berbagai negara seperti Singapura, Kanada, Malaysia, India, dan Afrika Selatan menunjukkan variasi kebijakan dalam mencegah praktik favoritisme dan pentingnya penguatan sistem merit, transparansi rekrutmen, pengawasan independen, serta internalisasi nilai-nilai etika publik. Artikel ini merekomendasikan reformasi struktural yang berpadu dengan transformasi budaya birokrasi dan partisipasi aktif masyarakat sipil sebagai strategi integral dalam pemberantasan nepotisme dan kronisme.

Kata Kunci: Nepotisme, kronisme, korupsi, meritokrasi, birokrasi, integritas publik, tata kelola pemerintahan, patronase politik, sistem rekrutmen, reformasi kelembagaan.


PEMBAHASAN

Nepotisme dan Kronisme dalam Sistem Pemerintahan


1.           Pendahuluan

Nepotisme dan kronisme merupakan dua bentuk penyimpangan kekuasaan yang secara sistematis menggerus prinsip-prinsip etika pemerintahan dan tata kelola yang baik (good governance). Kedua praktik ini berakar dari relasi sosial yang seharusnya bersifat privat, namun dieksploitasi untuk kepentingan publik secara tidak sah, seperti dalam proses perekrutan pegawai, pengangkatan jabatan struktural, serta pengadaan barang dan jasa pemerintah. Nepotisme mengacu pada pemberian jabatan atau keuntungan kepada anggota keluarga, sementara kronisme berkaitan dengan pemberian perlakuan istimewa kepada teman dekat atau kolega, tanpa melalui mekanisme yang adil dan kompetitif¹.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga ditemukan dalam berbagai sistem politik di dunia, termasuk negara-negara demokratis. Menurut laporan World Bank, nepotisme dan kronisme termasuk dalam kategori state capture corruption, yaitu bentuk korupsi di mana kepentingan pribadi mengendalikan kebijakan dan sumber daya publik². Transparency International pun menyoroti bagaimana praktik ini menjadi bentuk korupsi non-finansial yang berdampak jangka panjang terhadap lemahnya institusi publik dan hilangnya kepercayaan masyarakat³.

Di Indonesia, praktik nepotisme dan kronisme telah menjadi perhatian serius sejak era reformasi, terutama karena dianggap sebagai warisan dari sistem otoriter Orde Baru. Penerapan asas meritokrasi dalam pengisian jabatan publik kerap terhambat oleh pengaruh hubungan kekerabatan dan loyalitas pribadi⁴. Hal ini terlihat dalam banyak kasus, baik di level nasional maupun daerah, di mana jabatan strategis diberikan kepada kerabat atau rekan politik tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritas. Praktik semacam ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengedepankan prinsip objektivitas, transparansi, dan profesionalitas⁵.

Dampak dari nepotisme dan kronisme tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap posisi kekuasaan, tetapi juga melemahkan sistem akuntabilitas publik. Ketika relasi personal menjadi dasar pengambilan keputusan, maka ruang untuk kontrol sosial dan hukum menjadi sempit. Hasilnya, sistem pemerintahan menjadi rentan terhadap kolusi, penyelewengan wewenang, dan rendahnya kualitas pelayanan publik⁶.

Berangkat dari urgensi persoalan tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis praktik nepotisme dan kronisme dalam sistem pemerintahan dari perspektif hukum, etika, dan kebijakan publik. Kajian ini juga akan mengulas bentuk-bentuk aktual dari kedua praktik tersebut, dampaknya terhadap institusi negara dan masyarakat, serta strategi pencegahan dan penanggulangan berdasarkan studi kasus dan praktik-praktik baik di tingkat internasional.


Footnotes

[1]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 56.

[2]                World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 21.

[3]                Transparency International, “Global Corruption Report 2004: Political Corruption,” https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004.

[4]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 102.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.

[6]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 223.


2.           Tinjauan Teoritis dan Konseptual

2.1.       Definisi Nepotisme dan Kronisme

Nepotisme berasal dari bahasa Latin nepos yang berarti "keponakan" dan secara historis merujuk pada praktik para pemimpin gereja Katolik pada Abad Pertengahan yang memberikan posisi strategis kepada kerabat mereka¹. Dalam konteks modern, nepotisme didefinisikan sebagai praktik memberikan jabatan, proyek, atau keuntungan lainnya kepada anggota keluarga atau kerabat dekat tanpa mempertimbangkan meritokrasi². Sedangkan kronisme (cronyism) adalah pemberian perlakuan istimewa kepada teman dekat, sahabat, atau kolega tertentu yang biasanya memiliki hubungan politis atau pribadi dengan penguasa atau pemegang wewenang³.

Menurut Transparency International, kedua praktik tersebut termasuk dalam bentuk korupsi relasional (relational corruption), yaitu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan hubungan pribadi demi keuntungan politik atau ekonomi⁴. Meski tidak selalu melibatkan pertukaran uang secara langsung, nepotisme dan kronisme mengandung unsur ketidakadilan, ketidakterbukaan, dan pelanggaran terhadap prinsip kepantasan serta profesionalisme dalam birokrasi.

2.2.       Nepotisme dan Kronisme sebagai Bentuk Korupsi

World Bank secara eksplisit memasukkan nepotisme dan kronisme ke dalam klasifikasi “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi struktural di mana keputusan dan kebijakan publik dikendalikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu⁵. Dalam model ini, korupsi tidak hanya terjadi pada level implementasi kebijakan, melainkan juga pada proses perumusan dan distribusi kekuasaan.

Susan Rose-Ackerman menekankan bahwa korupsi non-materiil seperti nepotisme dan kronisme sama berbahayanya dengan suap atau gratifikasi karena dapat merusak tata kelola publik dan menurunkan kualitas institusi demokrasi⁶. Ia menyebutkan bahwa ketika proses pengangkatan jabatan dilakukan bukan karena kompetensi, tetapi karena hubungan personal, maka hal itu akan berdampak jangka panjang terhadap hilangnya efisiensi, profesionalisme, dan akuntabilitas dalam pelayanan publik.

2.3.       Relasi antara Nepotisme, Kronisme, dan Bentuk Korupsi Lainnya

Nepotisme dan kronisme seringkali menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi lainnya, seperti kolusi, suap, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam praktiknya, pengangkatan kerabat atau teman dekat ke posisi strategis dapat menciptakan jaringan kekuasaan informal yang menyingkirkan sistem pengawasan dan memperkuat patronase politik⁷.

Teori patron-klien dalam ilmu politik menjelaskan bahwa hubungan antar elit politik dan bawahannya seringkali dibangun atas dasar loyalitas pribadi, bukan kompetensi. Dalam konteks ini, nepotisme dan kronisme memperkuat struktur patronase dan melemahkan institusi negara⁸. Ini sejalan dengan kritik Anthony Giddens yang menilai bahwa institusi politik modern rentan terhadap dominasi jaringan sosial tertutup yang menghambat demokratisasi dan akuntabilitas publik⁹.

2.4.       Nepotisme dan Kronisme dalam Perspektif Etika Administrasi Publik

Dari sisi etika administrasi publik, nepotisme dan kronisme bertentangan langsung dengan prinsip meritokrasi, keadilan, dan pelayanan publik yang netral. Menurut Fredrickson, prinsip keadilan sosial dalam birokrasi mengharuskan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses jabatan publik berdasarkan kemampuan dan kelayakan, bukan relasi personal¹⁰. Oleh karena itu, praktik nepotistik atau kronistik merupakan pelanggaran terhadap integritas moral dalam pelayanan publik.


Footnotes

[1]                David Runciman, Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (Princeton: Princeton University Press, 2008), 23.

[2]                Stephen D. Morris, Corruption and Politics in Latin America: National and Regional Dynamics (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2010), 38.

[3]                Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 68.

[4]                Transparency International, “Corruption Glossary,” https://www.transparency.org/en/corruptionary.

[5]                World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 22.

[6]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 224.

[7]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 78.

[8]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 143.

[9]                Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Berkeley: University of California Press, 1984), 327.

[10]             H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 89.


3.           Dimensi Hukum dan Etika

3.1.       Kerangka Hukum terhadap Nepotisme dan Kronisme

Secara hukum, praktik nepotisme dan kronisme bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik, terutama dalam konteks negara demokratis yang menjunjung tinggi asas keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Di Indonesia, larangan terhadap praktik nepotisme secara eksplisit dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme⁽¹⁾. Pasal 1 ayat (5) dalam undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Selain itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga menekankan pentingnya sistem merit dalam pengangkatan, promosi, dan penempatan ASN (Aparatur Sipil Negara). Sistem merit dimaknai sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa diskriminasi⁽²⁾. Dengan demikian, praktik nepotisme dan kronisme dalam birokrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum positif dan menjadi objek pengawasan oleh lembaga seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Dalam lingkup internasional, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006, menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya manusia sektor publik secara objektif, terbuka, dan berdasarkan pada prinsip kemampuan serta integritas⁽³⁾. UNCAC juga menggarisbawahi bahwa negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah konflik kepentingan dan praktik favoritisme dalam pelayanan publik.

Namun, kendati kerangka hukum telah tersedia, implementasi regulasi tersebut masih menemui berbagai hambatan, antara lain lemahnya penegakan hukum, budaya patronase, serta resistensi dari elit politik dan birokrasi yang telah terbiasa memanfaatkan relasi personal sebagai instrumen kekuasaan⁽⁴⁾.

3.2.       Pelanggaran terhadap Prinsip Etika Publik

Nepotisme dan kronisme tidak hanya melanggar aturan hukum formal, tetapi juga mencederai prinsip dasar etika dalam administrasi publik. Etika publik menuntut agar penyelenggara negara mengedepankan prinsip integritas, keadilan, obyektivitas, dan kepentingan umum⁽⁵⁾. Ketika seseorang memperoleh jabatan karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, bukan karena kompetensi, maka keadilan prosedural dan substantif dalam pelayanan publik telah dikorbankan.

Menurut Fredrickson, birokrasi yang etis adalah birokrasi yang memperlakukan setiap individu secara setara dalam proses rekrutmen, promosi, dan pelayanan⁽⁶⁾. Dalam konteks ini, nepotisme dan kronisme adalah bentuk ketidakadilan struktural yang menciptakan ketimpangan dan diskriminasi terhadap individu yang lebih layak namun tersingkir karena tidak memiliki akses terhadap jejaring kekuasaan.

Lebih lanjut, praktik ini juga menciptakan konflik kepentingan (conflict of interest) yang merusak pengambilan keputusan. Ketika seorang pejabat harus memilih antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka peluang untuk menyalahgunakan wewenang menjadi sangat besar. Rose-Ackerman mencatat bahwa dalam banyak kasus, nepotisme merupakan awal dari lingkaran korupsi yang lebih kompleks karena mengikis efektivitas sistem kontrol internal pemerintahan⁽⁷⁾.

3.3.       Dilema Moral dan Budaya dalam Konteks Lokal

Dalam banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, praktik memberikan "tempat" bagi keluarga atau kerabat sering kali dibingkai sebagai wujud dari loyalitas, balas jasa, atau bahkan kewajiban moral. Inilah yang kemudian menciptakan dilema etis antara nilai-nilai tradisional seperti kekeluargaan dan solidaritas sosial, dengan nilai-nilai modern seperti meritokrasi dan profesionalitas. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Bo Rothstein, demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh apabila tata kelola pemerintahan dibangun atas dasar kepercayaan publik dan prinsip keadilan institusional, bukan atas dasar relasi personal⁽⁸⁾.

Dengan demikian, penting untuk menempatkan hukum dan etika bukan hanya sebagai perangkat normatif, tetapi juga sebagai kerangka perubahan budaya birokrasi menuju sistem yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat secara objektif.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.

[3]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations Convention Against Corruption, 2004, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/uncac.html.

[4]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 154.

[5]                Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2012), 35.

[6]                H. George Frederickson, Ethics and Public Administration (New York: M.E. Sharpe, 1993), 49.

[7]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 232.

[8]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 114.


4.           Bentuk, Pola, dan Mekanisme Nepotisme dan Kronisme

4.1.       Bentuk-bentuk Nepotisme dan Kronisme dalam Pemerintahan

Nepotisme dan kronisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada konteks institusional dan budaya politik yang melingkupinya. Bentuk yang paling umum adalah pengangkatan jabatan struktural kepada kerabat atau teman dekat, meskipun individu tersebut tidak memenuhi syarat kompetensi. Ini sering terjadi dalam proses seleksi terbuka jabatan publik yang secara prosedural tampak sah, tetapi secara substansi telah diarahkan atau diatur sebelumnya oleh pihak berwenang⁽¹⁾.

Bentuk lain yang lazim ditemukan adalah pemberian kontrak pemerintah atau proyek pembangunan kepada perusahaan milik keluarga, teman, atau jaringan politik, tanpa proses tender yang transparan. Dalam beberapa kasus, bentuk ini dikamuflasekan melalui perusahaan cangkang atau aliansi bisnis bayangan yang sulit dilacak oleh publik maupun auditor negara⁽²⁾.

Selain itu, praktik pembuatan regulasi atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu juga bisa masuk dalam kategori kronisme politik. Misalnya, pemberlakuan kebijakan fiskal atau perizinan usaha yang dirancang untuk melindungi monopoli bisnis milik kroni kekuasaan atau kolega politik⁽³⁾.

4.2.       Pola Nepotisme dan Kronisme: Dari Relasi Personal ke Struktur Kekuasaan

Nepotisme dan kronisme tidak bekerja secara sporadis, melainkan mengikuti pola sistematis yang dibentuk oleh jaringan kekuasaan informal. Dalam banyak sistem politik, aktor-aktor kunci seperti kepala daerah, pimpinan partai politik, atau tokoh militer membangun “lingkaran dalam” yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kedekatan emosional, ikatan darah, atau loyalitas politik⁽⁴⁾. Lingkaran ini kemudian menjadi kanal utama distribusi sumber daya, jabatan, dan proyek negara.

Dalam konteks Indonesia, Edward Aspinall dan Ward Berenschot mencatat bahwa politik patronase menjadi pola dominan dalam pembentukan jaringan kekuasaan lokal. Kandidat politik yang berhasil memenangkan pemilu cenderung “membayar utang politik” kepada para pendukungnya melalui pembagian jabatan dan proyek, terlepas dari kelayakan profesional pendukung tersebut⁽⁵⁾. Akibatnya, institusi-institusi negara menjadi subordinat dari relasi sosial yang bersifat pribadi dan tidak berbasis pada prinsip meritokrasi.

4.3.       Mekanisme Operasional Nepotisme dan Kronisme

Mekanisme praktik nepotisme dan kronisme bekerja melalui berbagai instrumen, baik yang bersifat formal maupun informal:

1)                  Manipulasi prosedur administratif.

Dalam seleksi jabatan, komite penilai atau panitia seleksi bisa direkayasa agar memberi skor tinggi kepada kandidat tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, jabatan tertentu sudah “dipesan” jauh sebelum seleksi diumumkan secara publik⁽⁶⁾.

2)                  Politik balas budi (clientelism).

Pemilik kekuasaan memberikan posisi kepada kerabat, kawan dekat, atau donatur politik sebagai bentuk balas jasa atas dukungan yang diberikan selama masa kampanye atau perjuangan politik. Hal ini jamak terjadi dalam demokrasi elektoral yang transaksional⁽⁷⁾.

3)                  Penguasaan institusi pengawasan.

Dalam banyak kasus, aktor nepotistik mengontrol atau mempengaruhi lembaga pengawas seperti inspektorat, auditor internal, bahkan lembaga legislatif, sehingga laporan pelanggaran dapat dikaburkan atau tidak ditindaklanjuti⁽⁸⁾.

4)                  Ketiadaan transparansi digital.

Ketika sistem perekrutan, pengadaan barang/jasa, atau penilaian kinerja masih dilakukan secara manual dan tertutup, ruang untuk intervensi pribadi menjadi sangat luas. Sebaliknya, penerapan sistem berbasis teknologi (e-government) dapat menekan potensi intervensi semacam ini⁽⁹⁾.

4.4.       Studi Kasus dan Indikasi Empiris

Studi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah kasus nepotisme dalam penempatan jabatan strategis di daerah, terutama setelah pilkada. Salah satu contohnya adalah pengangkatan anak, istri, atau kerabat kepala daerah menjadi pejabat daerah, staf ahli, atau komisaris BUMD, yang dalam banyak kasus tidak melalui mekanisme seleksi yang objektif⁽¹⁰⁾.

Dalam konteks internasional, kasus di Malaysia pada masa pemerintahan Najib Razak juga menjadi contoh nyata praktik kronisme yang melibatkan skandal 1MDB, di mana sejumlah proyek strategis nasional dikendalikan oleh kolega politik dan keluarga dekat sang perdana menteri⁽¹¹⁾.


Footnotes

[1]                Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 111.

[2]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 242.

[3]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 145.

[4]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 89.

[5]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 152.

[6]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Catatan Akhir Tahun 2022: Korupsi Sektor Sumber Daya Publik,” https://antikorupsi.org/id.

[7]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1972), 45.

[8]                Transparency International, “Global Corruption Report 2004: Political Corruption,” https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004.

[9]                UNODC, E-Governance and Anti-Corruption Strategies (Vienna: United Nations Office on Drugs and Crime, 2019), https://www.unodc.org.

[10]             ICW, “Praktik Nepotisme di Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada,” 2021, https://antikorupsi.org.

[11]             Tom Wright and Bradley Hope, Billion Dollar Whale: The Man Who Fooled Wall Street, Hollywood, and the World (New York: Hachette Books, 2018).


5.           Dampak Nepotisme dan Kronisme

Nepotisme dan kronisme memberikan dampak sistemik yang luas dan mendalam terhadap tata kelola pemerintahan serta kehidupan sosial-politik suatu negara. Dampak ini tidak hanya bersifat administratif atau ekonomi, tetapi juga menggerus sendi-sendi kepercayaan publik, melemahkan institusi, dan memperdalam ketimpangan sosial.

5.1.       Menurunnya Efisiensi dan Profesionalisme dalam Birokrasi

Salah satu dampak paling nyata dari nepotisme dan kronisme adalah terkikisnya efisiensi dan profesionalisme dalam pelayanan publik. Ketika posisi strategis diisi oleh individu yang tidak memiliki kompetensi yang memadai, maka kualitas pengambilan keputusan, pengelolaan sumber daya, dan pelayanan terhadap masyarakat menjadi rendah⁽¹⁾. Hal ini menciptakan birokrasi yang tidak responsif, lamban, dan rentan terhadap kesalahan administratif.

Fredrickson menegaskan bahwa birokrasi yang dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang dipilih bukan karena keahlian, tetapi karena kedekatan personal, akan gagal dalam menjalankan tugas pelayanan publik secara optimal. Institusi semacam itu tidak hanya tidak efisien, tetapi juga cenderung menciptakan kesenjangan antara tujuan negara dan realisasi di lapangan⁽²⁾.

5.2.       Erosi terhadap Kepercayaan Publik dan Legitimasi Pemerintah

Nepotisme dan kronisme secara langsung menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika masyarakat melihat bahwa akses terhadap jabatan publik hanya terbuka bagi mereka yang “berjaringan” dengan kekuasaan, maka persepsi ketidakadilan akan tumbuh subur. Keadaan ini memperlemah legitimasi pemerintahan karena warga merasa bahwa negara tidak lagi dikelola atas dasar keadilan dan meritokrasi, tetapi berdasarkan relasi personal⁽³⁾.

Bo Rothstein menyebut bahwa tingkat kepercayaan sosial (social trust) sangat tergantung pada persepsi publik terhadap fairness dalam sistem birokrasi dan keadilan prosedural dalam distribusi layanan negara. Negara yang dipersepsikan menjalankan praktik favoritisme akan mengalami defisit kepercayaan warga yang pada akhirnya mengancam stabilitas demokrasi⁽⁴⁾.

5.3.       Meningkatkan Korupsi Struktural dan Kolusi Politik

Nepotisme dan kronisme sering menjadi pintu masuk bagi praktik kolusi dan korupsi struktural. Dalam sistem yang diisi oleh kerabat dan kroni, mekanisme check and balance melemah karena seluruh aktor kunci saling terikat oleh relasi kepentingan pribadi. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan tidak lagi berdasarkan rasionalitas publik, melainkan kepentingan kelompok internal kekuasaan⁽⁵⁾.

Menurut Susan Rose-Ackerman, sistem pemerintahan yang didominasi oleh jaringan personal akan sangat sulit menerapkan pengawasan internal yang independen. Pejabat yang merasa berutang loyalitas terhadap atasan karena pengangkatan nepotistik akan menghindari pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh “kelompok sendiri”, menciptakan ekosistem impunitas yang kronis⁽⁶⁾.

5.4.       Penghambat Inovasi dan Regenerasi Kepemimpinan

Praktik nepotisme dan kronisme juga menghambat regenerasi dan inovasi dalam sektor publik. Ketika proses seleksi tidak berbasis kompetensi dan potensi, individu-individu muda yang cakap dan berintegritas tidak memiliki ruang untuk berkembang. Hal ini tidak hanya merugikan mereka secara personal, tetapi juga merugikan negara karena kehilangan sumber daya manusia potensial yang mampu membawa pembaruan⁽⁷⁾.

James C. Scott menyatakan bahwa salah satu ciri khas dari rezim yang mengalami korupsi relasional adalah stagnasi dalam kebijakan publik, karena posisi strategis diisi oleh individu yang hanya mempertahankan status quo kekuasaan, bukan memperjuangkan inovasi kebijakan⁽⁸⁾.

5.5.       Memperbesar Ketimpangan Sosial dan Ketidakadilan Ekonomi

Dampak lainnya yang bersifat sosial-ekonomi adalah meluasnya ketimpangan akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi. Ketika peluang kerja, kontrak pemerintah, atau subsidi negara hanya diberikan kepada kalangan yang “terhubung”, maka masyarakat luas yang tidak memiliki afiliasi personal dengan penguasa akan tersisih dari kompetisi. Ini menciptakan sistem sosial yang eksklusif dan memperkuat oligarki kekuasaan dan ekonomi⁽⁹⁾.

Laporan Bank Dunia menyebut bahwa praktik favoritisme dan kronisme dalam kebijakan fiskal dan investasi publik akan mengakibatkan distribusi anggaran yang tidak merata, serta mengurangi efektivitas belanja negara dalam mengentaskan kemiskinan⁽¹⁰⁾.


Footnotes

[1]                Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 94.

[2]                H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 123.

[3]                Transparency International, “Nepotism,” in Corruption Glossary, https://www.transparency.org/en/corruptionary/nepotism.

[4]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 115.

[5]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 190.

[6]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 246.

[7]                Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2012), 77.

[8]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1972), 41.

[9]                Bo Rothstein and Aiysha Varraich, Making Sense of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 85.

[10]             World Bank, Anticorruption in Transition: A Contribution to the Policy Debate (Washington, DC: World Bank, 2000), 29.


6.           Strategi Pencegahan dan Penanggulangan

Pencegahan dan penanggulangan nepotisme dan kronisme membutuhkan pendekatan yang multidimensi: dari reformasi kelembagaan, penguatan sistem merit, transparansi publik, hingga pendidikan etika. Strategi ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga harus menyentuh aspek budaya birokrasi dan politik.

6.1.       Penguatan Sistem Merit dan Reformasi Birokrasi

Langkah paling mendasar dalam mencegah nepotisme dan kronisme adalah menerapkan sistem merit secara konsisten dalam proses rekrutmen, promosi, dan pengisian jabatan publik. Sistem merit menekankan bahwa jabatan hanya dapat diisi oleh individu yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan integritas yang terukur, bukan berdasarkan hubungan personal⁽¹⁾.

Di Indonesia, penerapan sistem merit diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta diperkuat oleh peran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Meski regulasi sudah tersedia, tantangannya adalah mengefektifkan pengawasan dan menjamin independensi panitia seleksi serta proses evaluasi jabatan secara objektif⁽²⁾.

6.2.       Digitalisasi dan Transparansi dalam Tata Kelola

Nepotisme dan kronisme tumbuh subur dalam sistem yang tertutup dan tidak transparan. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi digital (e-government) menjadi strategi penting dalam menciptakan birokrasi yang terbuka dan akuntabel. Sistem informasi kepegawaian digital, seperti SIASN (Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara) dan SPCP (Seleksi Pengadaan CPNS/P3K) di Indonesia, telah menjadi langkah awal untuk membatasi intervensi personal dalam proses seleksi⁽³⁾.

Menurut UNODC, digitalisasi dalam pelayanan publik dapat menurunkan potensi korupsi secara signifikan karena mengurangi kontak langsung antara pengambil keputusan dan pihak yang berkepentingan, serta memungkinkan audit data secara real-time⁽⁴⁾.

6.3.       Peran Lembaga Pengawas dan Masyarakat Sipil

Penanggulangan nepotisme dan kronisme juga sangat bergantung pada efektivitas lembaga pengawas eksternal seperti ombudsman, BPK, KASN, serta peran aktif organisasi masyarakat sipil. Ketika lembaga pengawas bekerja secara independen dan diberi kewenangan yang memadai, maka praktik-praktik favoritisme dapat dideteksi lebih awal dan dicegah⁽⁵⁾.

Selain itu, peran jurnalisme investigatif dan media massa tidak kalah penting. Laporan-laporan investigatif yang mengungkap praktik nepotistik di daerah maupun pusat mampu memberikan tekanan publik dan menjadi dasar bagi proses hukum atau pembinaan administrasi⁽⁶⁾.

6.4.       Pendidikan Etika dan Internalisasi Nilai Integritas

Langkah strategis jangka panjang adalah pembangunan budaya etis dalam birokrasi dan politik, yang hanya dapat dilakukan melalui pendidikan etika secara berkelanjutan. Menurut Cooper, etika publik bukan sekadar aturan normatif, melainkan hasil dari proses pembentukan karakter dan budaya organisasi yang mengutamakan keadilan, akuntabilitas, dan kepentingan umum⁽⁷⁾.

Pendidikan antikorupsi dan pelatihan integritas harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran ASN sejak awal, serta dijadikan bagian dari standar kompetensi kepemimpinan publik. Program ini perlu didukung oleh sistem reward and punishment yang adil dan konsisten⁽⁸⁾.

6.5.       Praktik Baik dari Negara Lain

Beberapa negara telah menunjukkan praktik baik dalam mencegah nepotisme dan kronisme. Singapura, misalnya, menerapkan sistem perekrutan publik berbasis merit yang sangat ketat melalui Public Service Commission (PSC), yang bersifat independen dari kekuasaan politik. Selain itu, kompensasi tinggi dan sistem insentif berbasis kinerja mengurangi motivasi untuk melakukan praktik favoritisme⁽⁹⁾.

Di Kanada, proses rekrutmen pegawai negeri federal diatur oleh Public Service Commission of Canada (PSC) yang memastikan bahwa seluruh proses dilakukan secara fair, terbuka, dan berbasis kompetensi, serta dilengkapi dengan mekanisme pengaduan publik⁽¹⁰⁾.

Adaptasi praktik-praktik baik semacam ini dapat membantu negara-negara berkembang untuk membangun sistem birokrasi yang lebih bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan publik.


Footnotes

[1]                OECD, Merit-Based Recruitment in the Public Sector (Paris: OECD Publishing, 2017), 11.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.

[3]                Kementerian PANRB, “Digitalisasi ASN Melalui SIASN,” https://www.menpan.go.id.

[4]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), E-Governance and Anti-Corruption Strategies (Vienna: UNODC, 2019), https://www.unodc.org.

[5]                Transparency International, “Fighting Nepotism in Public Administration,” https://www.transparency.org.

[6]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 193.

[7]                Terry L. Cooper, The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role, 6th ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2012), 23.

[8]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 98.

[9]                Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 62.

[10]          Public Service Commission of Canada, “Merit System Principles,” https://www.canada.ca/en/public-service-commission.


7.           Studi Perbandingan Internasional

Upaya memahami dan menangani nepotisme serta kronisme dalam sistem pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran lintas negara. Banyak negara, baik berkembang maupun maju, menghadapi tantangan serupa dalam mengelola relasi antara kekuasaan dan kedekatan personal. Namun, respons kebijakan, efektivitas lembaga, serta budaya politik yang berkembang menunjukkan variasi yang signifikan.

7.1.       Singapura: Model Meritokrasi dan Integritas Lembaga

Singapura secara konsisten menempati peringkat teratas dalam indeks persepsi korupsi global, dan menjadi contoh sukses dalam menegakkan meritokrasi dan mencegah favoritisme dalam birokrasi. Sistem perekrutan pegawai publik diatur secara ketat oleh Public Service Commission (PSC), sebuah lembaga independen yang memegang kewenangan penuh atas seleksi dan promosi aparatur sipil negara⁽¹⁾.

Faktor kunci kesuksesan Singapura adalah penggabungan antara pengawasan ketat, sistem seleksi berbasis kompetensi, dan pemberian insentif tinggi bagi pejabat publik. Kompensasi yang layak secara ekonomi dinilai mengurangi godaan untuk menyalahgunakan jabatan, termasuk untuk kepentingan keluarga atau kolega⁽²⁾. Selain itu, keterlibatan langsung dari pemimpin nasional seperti Lee Kuan Yew dalam menanamkan nilai integritas turut memperkuat budaya anti-nepotisme di kalangan elit pemerintahan⁽³⁾.

7.2.       Kanada: Mekanisme Pengaduan Publik dan Keterbukaan Rekrutmen

Kanada juga menjadi negara yang dikenal memiliki tata kelola perekrutan publik yang inklusif dan transparan. Proses rekrutmen dan promosi dalam pelayanan sipil diatur oleh Public Service Commission of Canada (PSC), dengan prinsip dasar "appointments based on merit". Komisi ini juga menyediakan saluran pengaduan bagi publik jika terjadi indikasi perlakuan istimewa dalam proses seleksi jabatan⁽⁴⁾.

Setiap posisi yang dibuka untuk umum wajib diumumkan secara terbuka dan disertai kriteria seleksi yang jelas. Sistem berbasis teknologi informasi memungkinkan proses seleksi dilakukan secara adil dan dapat ditinjau ulang oleh otoritas independen. Transparansi ini membuat praktik nepotisme dan kronisme sulit berkembang dalam birokrasi Kanada⁽⁵⁾.

7.3.       Malaysia: Kronisme dan Skandal Politik

Sebaliknya, Malaysia menunjukkan contoh bagaimana kronisme dapat menciptakan krisis kepercayaan nasional, terutama ketika melekat pada kekuasaan politik dan bisnis. Kasus skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) menjadi simbol kegagalan tata kelola yang disusupi kepentingan kroni elit penguasa. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat tinggi dan kolega Perdana Menteri Najib Razak diduga menerima dana dari dana negara untuk kepentingan pribadi dan politik⁽⁶⁾.

Transparency International Malaysia mencatat bahwa lemahnya sistem pengawasan internal, keterlibatan keluarga dalam pengelolaan BUMN, serta dominasi partai penguasa selama puluhan tahun menjadi penyebab kronisme melembaga⁽⁷⁾. Reformasi pasca-skandal terus diupayakan, tetapi masih menghadapi tantangan dari struktur politik yang belum sepenuhnya terbuka dan independen.

7.4.       India: Praktik Nepotisme dalam Politik dan Birokrasi

India merupakan contoh lain di mana nepotisme berkembang dalam struktur sosial-politik yang demokratis, terutama dalam konteks partai politik dan jabatan birokrasi tingkat daerah. Sistem “dynastic politics” atau politik dinasti telah menjangkiti banyak partai besar, bahkan pada level nasional. Keluarga Gandhi, misalnya, telah mendominasi Partai Kongres selama beberapa dekade⁽⁸⁾.

Di tingkat pemerintahan lokal dan negara bagian, nepotisme terjadi dalam bentuk pengangkatan kerabat politisi sebagai kepala instansi pemerintah, penasihat khusus, atau pejabat BUMN, tanpa proses seleksi terbuka. Upaya reformasi dilakukan melalui Administrative Reforms Commission dan Mahkamah Agung India yang beberapa kali menyatakan bahwa praktek favoritisme bertentangan dengan Konstitusi⁽⁹⁾.

7.5.       Afrika Selatan: Nepotisme dan Politik Patronase

Di Afrika Selatan, nepotisme dan kronisme menjadi bagian dari sistem patronase yang terbentuk pasca-apartheid, di mana partai berkuasa (ANC) memanfaatkan pengangkatan politik untuk mempertahankan pengaruh. Skandal-skandal selama era Presiden Jacob Zuma mengungkap pola sistematis penempatan kroni dalam lembaga negara, perusahaan milik negara, dan posisi pengambilan kebijakan strategis⁽¹⁰⁾.

Istilah “state capture” digunakan oleh Komisi Zondo untuk menggambarkan sejauh mana struktur negara telah dikendalikan oleh kepentingan kelompok tertentu, termasuk keluarga Zuma dan pengusaha-pengusaha seperti keluarga Gupta. Laporan akhir Komisi menyarankan reformasi menyeluruh terhadap prosedur pengangkatan pejabat dan penguatan sistem pengawasan independen⁽¹¹⁾.


Footnotes

[1]                Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 58.

[2]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 101.

[3]                Lee Kuan Yew, From Third World to First: The Singapore Story (New York: HarperCollins, 2000), 135–137.

[4]                Public Service Commission of Canada, “About the Commission,” https://www.canada.ca/en/public-service-commission.

[5]                OECD, Preventing Corruption in Public Procurement (Paris: OECD Publishing, 2016), 88.

[6]                Tom Wright and Bradley Hope, Billion Dollar Whale: The Man Who Fooled Wall Street, Hollywood, and the World (New York: Hachette Books, 2018), 95–98.

[7]                Transparency International Malaysia, “Malaysia’s Anti-Corruption Challenges,” https://www.transparency.org.my.

[8]                Kanchan Chandra, Democratic Dynasties: State, Party, and Family in Contemporary Indian Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 21.

[9]                The Hindu, “SC: Appointments Based on Nepotism Violate Equality,” February 10, 2015, https://www.thehindu.com.

[10]             Richard Calland, The Zuma Years: South Africa’s Changing Face of Power (Cape Town: Zebra Press, 2013), 165–169.

[11]             Judicial Commission of Inquiry into State Capture (Zondo Commission), Final Report, 2022, https://www.statecapture.org.za.


8.           Penutup

Nepotisme dan kronisme merupakan bentuk korupsi non-material yang secara sistematis menggerogoti integritas pemerintahan, keadilan sosial, dan kualitas pelayanan publik. Tidak seperti korupsi uang tunai yang bersifat langsung dan dapat diukur, praktik ini bekerja secara halus melalui relasi personal dan jaringan patronase yang seringkali tersembunyi di balik legitimasi formal. Oleh karena itu, keberadaannya kerap luput dari pengawasan, tetapi dampaknya sangat destruktif bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat⁽¹⁾.

Studi ini menunjukkan bahwa nepotisme dan kronisme merusak sendi meritokrasi dalam birokrasi, menurunkan efisiensi lembaga publik, memperkuat ketimpangan sosial, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara⁽²⁾. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini menciptakan struktur kekuasaan yang eksklusif dan menutup peluang regenerasi kepemimpinan berbasis kapasitas. Seperti diingatkan oleh Bo Rothstein, negara yang gagal menjamin keadilan prosedural dalam rekrutmen dan kebijakan publik akan menghadapi krisis kepercayaan yang mendalam dan sistemik⁽³⁾.

Secara hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi yang cukup progresif, mulai dari UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN hingga UU ASN No. 5 Tahun 2014 yang menegaskan sistem merit sebagai basis pengelolaan sumber daya manusia aparatur. Namun demikian, lemahnya penegakan hukum dan resistensi budaya menjadi tantangan utama dalam implementasinya⁽⁴⁾.

Pengalaman berbagai negara seperti Singapura, Kanada, dan bahkan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penguatan integritas kelembagaan tidak cukup hanya dengan peraturan, tetapi harus ditopang oleh mekanisme pengawasan independen, keterbukaan informasi, pendidikan etika publik, dan keteladanan dari pemimpin tertinggi negara⁽⁵⁾. Di sisi lain, media dan masyarakat sipil juga memegang peran penting dalam mengawasi dan menekan praktik favoritisme yang merugikan kepentingan publik⁽⁶⁾.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa pemberantasan nepotisme dan kronisme adalah prasyarat utama bagi terwujudnya sistem pemerintahan yang bersih, profesional, dan berkeadilan. Strategi pencegahan tidak boleh semata-mata bersifat administratif, melainkan juga harus menyasar pada perubahan budaya politik dan birokrasi. Dalam kerangka itu, dibutuhkan kemauan politik yang kuat, reformasi kelembagaan yang konsisten, dan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun tata kelola pemerintahan yang berbasis pada prinsip integritas dan meritokrasi.


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 232.

[2]                Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101–102.

[3]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 119.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.

[5]                Jon S. T. Quah, Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 59–63.

[6]                Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 2019), 189.


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.

Calland, R. (2013). The Zuma years: South Africa’s changing face of power. Zebra Press.

Chandra, K. (2016). Democratic dynasties: State, party, and family in contemporary Indian politics. Cambridge University Press.

Cooper, T. L. (2012). The responsible administrator: An approach to ethics for the administrative role (6th ed.). Jossey-Bass.

Frederickson, H. G. (1997). The spirit of public administration. Jossey-Bass.

Johnston, M. (2005). Syndromes of corruption: Wealth, power, and democracy. Cambridge University Press.

Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. University of California Press.

Lee, K. Y. (2000). From third world to first: The Singapore story. HarperCollins.

OECD. (2016). Preventing corruption in public procurement. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264262932-en

OECD. (2017). Merit-based recruitment in the public sector. OECD Publishing. https://www.oecd.org

Public Service Commission of Canada. (n.d.). About the commission. https://www.canada.ca/en/public-service-commission

Quah, J. S. T. (2010). Public administration Singapore-style. Emerald Group Publishing.

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.

Rose-Ackerman, S., & Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge University Press.

Rothstein, B. (2011). The quality of government: Corruption, social trust, and inequality in international perspective. University of Chicago Press.

Rothstein, B., & Varraich, A. (2017). Making sense of corruption. Cambridge University Press.

Scott, J. C. (1972). Comparative political corruption. Prentice-Hall.

The Hindu. (2015, February 10). SC: Appointments based on nepotism violate equality. https://www.thehindu.com

Transparency International. (2004). Global corruption report 2004: Political corruption. https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2004

Transparency International. (n.d.). Nepotism – Corruptionary. https://www.transparency.org/en/corruptionary/nepotism

Transparency International Malaysia. (n.d.). Malaysia’s anti-corruption challenges. https://www.transparency.org.my

United Nations Office on Drugs and Crime. (2019). E-governance and anti-corruption strategies. UNODC. https://www.unodc.org

Wright, T., & Hope, B. (2018). Billion dollar whale: The man who fooled Wall Street, Hollywood, and the world. Hachette Books.

World Bank. (2000). Anticorruption in transition: A contribution to the policy debate. World Bank Publications.

Zondo Commission. (2022). Judicial Commission of Inquiry into State Capture: Final report. https://www.statecapture.org.za


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar