Selasa, 08 Juli 2025

Kolusi (Collusion): Kajian Kritis terhadap Praktik Kesepakatan Rahasia antara Pejabat dan Swasta

Kolusi (Collusion)

Kajian Kritis terhadap Praktik Kesepakatan Rahasia antara Pejabat dan Swasta


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Kolusi dalam pengadaan publik merupakan salah satu bentuk korupsi yang paling merusak sistem tata kelola pemerintahan dan integritas pelayanan publik. Artikel ini membahas secara kritis dinamika dan praktik kolusi yang terjadi antara pejabat publik dan pihak swasta dalam proses tender pengadaan barang dan jasa. Dengan mengacu pada regulasi nasional, konvensi internasional, serta studi kasus konkret, artikel ini menjelaskan mekanisme kolusi yang meliputi rekayasa dokumen tender, manipulasi evaluasi, persekongkolan antar peserta, hingga pemberian kompensasi terselubung. Dampaknya tidak hanya menyebabkan kerugian keuangan negara, tetapi juga melemahkan persaingan usaha, menciptakan ketimpangan pembangunan, dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Artikel ini juga mengkaji upaya penanggulangan kolusi melalui reformasi sistem pengadaan, penguatan penegakan hukum, sanksi administratif, serta keterlibatan masyarakat sipil. Temuan utama menekankan perlunya pendekatan sistemik yang menyentuh aspek hukum, kelembagaan, etika birokrasi, dan pengawasan partisipatif untuk mencegah dan memberantas kolusi secara efektif.

Kata Kunci: Kolusi; Pengadaan Publik; Tender; Korupsi; Persaingan Usaha Tidak Sehat; Reformasi Birokrasi; Integritas Publik.


PEMBAHASAN

Kolusi dalam Pengadaan Publik


1.           Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap praktik korupsi sistemik. Salah satu bentuk korupsi yang paling tersembunyi namun merusak dalam sektor ini adalah kolusi, yaitu kesepakatan rahasia dan terencana antara pejabat publik dan pelaku usaha swasta untuk memperoleh keuntungan secara ilegal dengan cara menyimpangkan proses lelang atau tender. Kolusi dalam pengadaan publik tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi negara, tetapi juga menggerus prinsip keadilan, akuntabilitas, dan efisiensi dalam tata kelola pemerintahan.

World Bank mendefinisikan kolusi dalam konteks korupsi sebagai “a secret agreement or cooperation between parties for fraudulent or deceitful purposes, especially to gain an unfair advantage in procurement processes.”1 Kolusi seringkali melibatkan penetapan pemenang tender secara tidak sah, pengaturan harga yang melampaui nilai wajar, atau pembagian proyek berdasarkan hubungan politis dan ekonomi, bukan berdasarkan kompetensi dan transparansi. Sifat kolusi yang rahasia dan saling menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat menjadikannya sulit untuk dideteksi, apalagi ditindak secara hukum.

Fenomena kolusi dalam pengadaan publik bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara maju, meskipun dengan pola dan skema yang berbeda. Transparency International mengidentifikasi bahwa dalam lingkungan birokrasi yang lemah dan minim pengawasan, praktik kolusi cenderung berkembang subur karena lemahnya integritas dan adanya insentif untuk melakukan korupsi kolektif demi mempertahankan kekuasaan atau memperkaya diri sendiri2. Di Indonesia, sejumlah kasus besar seperti korupsi proyek e-KTP, pengadaan alat kesehatan, dan infrastruktur menunjukkan bahwa kolusi telah menjadi pola sistemik yang melibatkan pejabat tinggi, swasta, bahkan anggota legislatif3.

Studi akademik menekankan bahwa kolusi berbeda dari suap karena lebih bersifat kolektif, terselubung, dan berlangsung dalam jangka panjang. Dalam konteks pengadaan, kolusi seringkali menyertakan persekongkolan antara panitia lelang dan penyedia barang/jasa untuk merekayasa proses tender, baik melalui penetapan spesifikasi teknis yang menguntungkan pihak tertentu, pengaturan jadwal, atau penggiringan hasil evaluasi4. Hal ini merusak prinsip dasar pengadaan yang seharusnya adil, kompetitif, dan terbuka bagi semua pihak.

Oleh karena itu, kajian kritis terhadap praktik kolusi dalam pengadaan publik menjadi sangat relevan, terutama untuk memahami akar permasalahan, pola-pola umum yang digunakan, serta dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan dan kepercayaan publik. Kajian ini juga penting dalam merumuskan strategi preventif dan represif yang lebih efektif guna memperkuat sistem pengadaan yang bebas dari kolusi dan bentuk-bentuk korupsi lainnya.


Footnotes

[1]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, (Washington, D.C.: World Bank Group, 1997), 9.

[2]                Transparency International, Global Corruption Report 2005: Corruption in Construction and Post-Conflict Reconstruction, (London: Pluto Press, 2005), 16–18.

[3]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Tren Penindakan Kasus Korupsi Sektor Pengadaan Barang dan Jasa,” Laporan Tahunan ICW 2021, diakses 8 Juli 2025, https://antikorupsi.org.

[4]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley: University of California Press, 1988), 75–77.


2.           Pengertian dan Karakteristik Kolusi

Secara etimologis, istilah kolusi berasal dari bahasa Latin colludere, yang berarti “bermain bersama dalam sesuatu yang licik.” Dalam konteks hukum dan tata kelola publik, kolusi didefinisikan sebagai suatu bentuk kesepakatan tersembunyi antara dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah, dengan cara merusak prinsip kompetisi yang adil, terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa1. World Bank menjelaskan kolusi sebagai “a covert agreement between parties to limit open competition by deceiving or misleading others to gain an unfair market advantage”2.

Kolusi dalam pengadaan publik umumnya terjadi ketika pejabat pemerintah atau panitia pengadaan menjalin kerja sama rahasia dengan pelaku usaha swasta untuk memenangkan tender secara tidak sah. Dalam skenario ini, pejabat publik menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur atau memanipulasi proses lelang, sedangkan pelaku usaha memberikan kompensasi tertentu, baik berupa uang, saham, atau keuntungan lainnya. Bentuk kerja sama ini bersifat simbiosis, tetapi melanggar hukum dan etika publik.

2.1.       Karakteristik Kolusi dalam Konteks Pengadaan

Terdapat sejumlah karakteristik utama yang membedakan kolusi dari bentuk korupsi lainnya seperti suap atau gratifikasi:

1)                  Kesepakatan Bersifat Rahasia dan Terencana:

Kolusi bersifat sistematis dan melibatkan perencanaan jangka menengah atau panjang. Tidak seperti suap yang seringkali bersifat transaksional dan satu arah, kolusi cenderung berlangsung dalam kerangka hubungan jangka panjang antara aktor publik dan swasta3.

2)                  Tujuan Mengamankan Keuntungan Ekonomis Ilegal:

Kolusi biasanya bertujuan untuk mengamankan proyek, menaikkan harga kontrak, atau memenangkan tender dengan cara curang. Hal ini dapat meliputi praktik seperti bid rigging, price fixing, dan market allocation4.

3)                  Melibatkan Persekongkolan Lintas Sektor:

Dalam banyak kasus, kolusi tidak hanya melibatkan satu-dua individu, tetapi jaringan yang lebih luas, termasuk konsultan, pengusaha fiktif, hingga auditor yang bertindak sebagai fasilitator atau pelindung5.

4)                  Menghindari Deteksi Melalui Mekanisme Formal:

Kolusi sering disamarkan melalui penggunaan dokumen-dokumen formal yang sah secara administratif, seperti dokumen pengadaan, nota dinas, atau berita acara. Namun, di balik dokumen tersebut terdapat skenario yang telah diatur sebelumnya6.

5)                  Merusak Persaingan Usaha yang Sehat:

Kolusi menciptakan kondisi pasar yang tidak adil karena menutup peluang bagi penyedia jasa atau barang yang kompeten dan jujur. Akibatnya, efisiensi dan efektivitas anggaran publik menurun drastis7.

2.2.       Jenis-Jenis Kolusi dalam Pengadaan

Studi tentang antitrust dan ekonomi kelembagaan mengidentifikasi dua tipe utama kolusi dalam pengadaan:

·                     Kolusi Horizontal:

Terjadi antara pelaku usaha (penyedia) yang saling bekerja sama secara diam-diam untuk mengatur hasil tender, biasanya melalui bid rotation (giliran menang), cover bidding (penawaran palsu), atau subcontracting pasca-pemenang diumumkan8.

·                     Kolusi Vertikal:

Melibatkan hubungan antara pelaku usaha dengan pejabat publik atau panitia pengadaan. Dalam hal ini, informasi rahasia atau spesifikasi teknis tender disesuaikan untuk menguntungkan peserta tertentu. Jenis ini paling sering ditemukan dalam praktik korupsi pengadaan di sektor pemerintahan9.

Pemahaman atas pengertian dan karakteristik kolusi sangat penting sebagai landasan dalam mengembangkan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang tepat. Hanya dengan mengenali pola dan sifat dasarnya, praktik kolusi dapat dideteksi sejak dini dan ditangani secara sistemik.


Footnotes

[1]                Bryan Clark dan Tony Gray, Corruption and Collusion in the Public Sector: A Legal Perspective, (London: Routledge, 2016), 23–25.

[2]                World Bank, Fraud and Corruption Awareness Handbook for Civil Servants Involved in Public Procurement, (Washington, D.C.: World Bank, 2013), 11.

[3]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, (New York: Cambridge University Press, 1999), 53.

[4]                OECD, Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement, (Paris: OECD Publishing, 2009), 9–12.

[5]                Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 17–18.

[6]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Modus dan Pola Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” Laporan Investigasi ICW, 2021, https://antikorupsi.org.

[7]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley: University of California Press, 1988), 65.

[8]                OECD, Hard Core Cartels: Third Report on the Implementation of the 1998 Recommendation, (Paris: OECD Publishing, 2005), 21–23.

[9]                KPK RI, Kajian Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Rekomendasi Perbaikannya, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017), 14–15.


3.           Faktor-Faktor Penyebab Kolusi

Kolusi dalam pengadaan publik tidak muncul secara spontan, melainkan tumbuh dalam ekosistem yang memfasilitasi penyimpangan kekuasaan, lemahnya regulasi, dan rendahnya integritas institusi. Praktik kolusi merupakan manifestasi dari kegagalan sistemik yang melibatkan dimensi kelembagaan, struktural, dan individual. Berbagai studi menunjukkan bahwa kolusi lebih mungkin terjadi ketika kontrol internal lemah, pengawasan eksternal tidak efektif, dan insentif terhadap perilaku etis tidak tersedia atau diabaikan1.

3.1.       Lemahnya Sistem Pengawasan dan Transparansi

Salah satu penyebab utama maraknya kolusi adalah lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ketika unit pengadaan tidak memiliki sistem audit yang memadai, proses pengambilan keputusan cenderung bersifat tertutup dan manipulatif. OECD menyatakan bahwa rendahnya transparansi dalam fase perencanaan dan evaluasi tender membuka peluang besar terjadinya kolusi antara panitia dan peserta lelang2.

Di Indonesia, Laporan KPK menyebut bahwa ketertutupan informasi tender, seperti spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), memicu praktik pengaturan pemenang sejak awal. Ketika informasi tersebut hanya dikuasai segelintir orang dalam, maka peluang untuk memanipulasi hasil pengadaan meningkat drastis3.

3.2.       Adanya Konflik Kepentingan dan Moral Hazard

Konflik kepentingan menjadi penyubur utama praktik kolusi, terutama ketika pejabat publik memiliki hubungan pribadi, politik, atau ekonomi dengan pelaku usaha. Dalam banyak kasus, panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen (PPK) diketahui terlibat langsung dalam penunjukan pemenang tender karena adanya afiliasi kepemilikan saham atau relasi keluarga4. Ini melahirkan situasi moral hazard, yaitu keberanian untuk mengambil risiko penyimpangan karena yakin tidak akan terdeteksi atau dihukum.

Studi Rose-Ackerman menegaskan bahwa kolusi kerap terjadi dalam situasi di mana struktur organisasi tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk memisahkan antara pengambil keputusan dan pihak yang memiliki kepentingan dalam hasil keputusan tersebut5.

3.3.       Intervensi Politik dan Praktik Oligarki Kekuasaan

Dalam sistem pemerintahan yang belum sepenuhnya demokratis dan akuntabel, intervensi politik menjadi salah satu faktor pendorong kolusi. Banyak kasus menunjukkan bahwa tender-tender besar sering kali "dijatahkan" kepada pengusaha yang dekat dengan elite politik atau tim pemenangan pemilu. Praktik ini menjadi bagian dari sistem patronase politik yang menganggap proyek pemerintah sebagai “balas jasa politik6.

Dalam konteks ini, pelaku usaha tidak lagi bersaing berdasarkan kualitas atau harga, tetapi berdasarkan kedekatan dengan aktor politik. Hal ini memperlemah semangat meritokrasi dan menciptakan pasar yang eksklusif dan tidak sehat.

3.4.       Kurangnya Sanksi dan Penegakan Hukum yang Tegas

Rendahnya efek jera terhadap pelaku kolusi juga menjadi penyebab menguatnya praktik ini. Ketika penegakan hukum terhadap kasus-kasus kolusi berjalan lamban, tidak tuntas, atau hanya menyentuh “aktor kecil,” maka pelaku utama akan merasa aman untuk terus mengulang praktiknya7. Sering kali, kasus korupsi dalam pengadaan hanya dikenai sanksi administratif, sementara aspek pidananya tidak dilanjutkan.

World Bank menggarisbawahi bahwa lemahnya koordinasi antar-lembaga penegak hukum, seperti antara inspektorat, aparat penegak hukum, dan lembaga antikorupsi, menjadi kendala serius dalam pemberantasan kolusi di sektor publik8.

3.5.       Budaya Birokrasi yang Koruptif dan Tertutup

Budaya birokrasi yang feodal, hierarkis, dan tertutup terhadap pengawasan publik juga menjadi tanah subur bagi kolusi. Dalam struktur semacam ini, bawahan cenderung mengikuti instruksi atasan meskipun bertentangan dengan hukum. Kolusi menjadi “rahasia umum” yang dianggap bagian dari praktik normal, apalagi jika hasilnya dibagi rata dalam bentuk gratifikasi internal atau pembagian fee proyek9.

Ketika etika dan profesionalisme dikalahkan oleh kepentingan kelompok, maka birokrasi kehilangan fungsi kontrol internalnya. Hal ini diperburuk oleh absennya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower) yang berani membongkar praktik kolusi.


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman dan Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 91–93.

[2]                OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z, (Paris: OECD Publishing, 2007), 45.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2017), 22–24.

[4]                Transparency International Indonesia, Konflik Kepentingan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: TII, 2019), 11–13.

[5]                Rose-Ackerman, Corruption and Government, 96.

[6]                Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov UGM dan Marjin Kiri, 2019), 122–126.

[7]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Evaluasi Penindakan Kasus Korupsi di Sektor Pengadaan,” Laporan Akhir Tahun ICW 2022, https://antikorupsi.org.

[8]                World Bank, Enhancing Government Effectiveness and Transparency: The Fight Against Corruption, (Washington, D.C.: World Bank Group, 2020), 30–32.

[9]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley: University of California Press, 1988), 79–81.


4.           Mekanisme dan Pola Kolusi dalam Proses Tender

Praktik kolusi dalam pengadaan publik umumnya berlangsung secara sistematis dan terorganisir, melibatkan aktor dari dua atau lebih pihak dengan peran yang saling melengkapi. Mekanismenya meliputi serangkaian rekayasa administratif, manipulasi informasi, serta pengaturan proses lelang yang bertujuan untuk memenangkan penyedia tertentu tanpa kompetisi yang adil. Kolusi dalam pengadaan bukanlah praktik yang acak atau insidental, melainkan seringkali merupakan bagian dari jaringan kekuasaan dan ekonomi yang terstruktur.

4.1.       Pengaturan Spesifikasi dan Persyaratan Teknis Tender

Tahap awal kolusi biasanya dimulai dari penyusunan dokumen pengadaan. Dalam banyak kasus, pejabat pengadaan dengan sengaja merancang spesifikasi teknis atau persyaratan administrasi yang hanya dapat dipenuhi oleh satu peserta lelang tertentu. Praktik ini dikenal sebagai tailored specifications atau “pengkondisian tender,” yang secara formal tampak sah, namun secara substansi telah mengunci partisipasi dari pesaing lain1.

OECD menyebut bahwa pengaturan spesifikasi ini merupakan teknik kolusi vertikal yang paling umum, karena sulit dideteksi dan kerap tersembunyi di balik bahasa teknis yang kompleks2.

4.2.       Rekayasa Proses Evaluasi Penawaran

Setelah dokumen masuk, tahapan berikutnya yang kerap dijadikan ruang kolusi adalah proses evaluasi teknis dan harga. Panitia pengadaan yang telah bersepakat dengan peserta tertentu akan memberi nilai rendah secara subjektif pada penawaran kompetitor, atau bahkan menggugurkan mereka karena alasan administratif yang tidak relevan. Proses ini kerap dimanipulasi melalui berita acara evaluasi yang dibuat sepihak3.

Laporan KPK mencatat bahwa salah satu modus kolusi yang sering dijumpai adalah pengguguran kompetitor dengan alasan "tidak memenuhi kualifikasi teknis," padahal kualifikasi tersebut dimanipulasi sebelumnya untuk menguntungkan pihak tertentu4.

4.3.       Persekongkolan Antar Peserta Lelang (Bid Rigging)

Kolusi horizontal terjadi ketika sejumlah peserta lelang bekerja sama untuk menyiasati kompetisi. Bentuknya bisa berupa bid rotation (pembagian giliran menang), cover bidding (penawaran pura-pura), atau market allocation (pembagian proyek berdasarkan wilayah atau jenis pekerjaan). Dalam skema ini, hanya satu peserta yang benar-benar berniat menang, sementara lainnya hanya berpura-pura bersaing untuk memenuhi syarat formal kompetisi5.

OECD mengklasifikasikan bid rigging sebagai kejahatan kartel yang paling merusak dalam sektor publik, karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan prinsip pasar bebas dan kompetisi sehat6.

4.4.       Penyuapan dan Kompensasi kepada Pejabat

Sebagai imbalan atas jasa rekayasa tender, pihak swasta seringkali memberikan kompensasi berupa suap tunai, barang mewah, atau janji proyek lanjutan kepada pejabat yang terlibat. Suap ini dapat diberikan langsung kepada panitia pengadaan, atau melalui perantara seperti konsultan proyek atau pihak ketiga yang bertindak sebagai penghubung. Dalam beberapa kasus, kompensasi diberikan dalam bentuk saham perusahaan atau pengalihan kepemilikan aset7.

Klitgaard menyatakan bahwa korupsi dalam bentuk kolusi cenderung sulit dilacak karena manfaatnya dibagi secara kolektif dan tersembunyi melalui jalur-jalur yang tidak langsung, seperti rekening fiktif atau transaksi bisnis bayangan8.

4.5.       Penyusunan Kontrak Bermasalah dan Manipulasi Pelaksanaan

Setelah peserta yang dikondisikan menang, manipulasi tidak berhenti di tahap lelang. Kontrak seringkali disusun dengan klausul yang menguntungkan penyedia, termasuk peluang addendum harga, perpanjangan waktu, atau pengurangan spesifikasi tanpa pemotongan nilai kontrak. Tahapan ini dimanfaatkan untuk melakukan mark-up nilai proyek atau penghematan fiktif yang tetap dibayarkan oleh negara9.

Sebagaimana disoroti oleh Transparency International, kolusi yang dibiarkan terus berlanjut setelah proses lelang akan menjelma menjadi korupsi sistemik yang menyentuh seluruh siklus proyek—dari perencanaan hingga evaluasi akhir10.

4.6.       Studi Kasus: Skema Kolusi dalam Proyek e-KTP

Salah satu contoh paling mencolok dari kolusi dalam pengadaan adalah kasus proyek e-KTP di Indonesia, yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp2,3 triliun. Dalam kasus ini, penyedia, pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan anggota DPR RI bekerja sama dalam menyusun spesifikasi, mengatur pemenang tender, serta membagi-bagi fee proyek secara sistematis. Kasus ini menjadi bukti bahwa kolusi bukanlah praktik pinggiran, melainkan terjadi di jantung kekuasaan dan melibatkan elite politik11.


Footnotes

[1]                OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris: OECD Publishing, 2016), 22–24.

[2]                OECD, Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement, (Paris: OECD Publishing, 2009), 15.

[3]                Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 14–16.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2017), 27.

[5]                Joseph E. Harrington, Collusion in Auctions, in Handbook of Procurement, eds. Nicola Dimitri et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 222–225.

[6]                OECD, Hard Core Cartels: Third Report on the Implementation of the 1998 Recommendation, (Paris: OECD Publishing, 2005), 17.

[7]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Modus Kolusi Tender dan Peran Konsultan,” Laporan Investigasi ICW, 2021, https://antikorupsi.org.

[8]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley: University of California Press, 1988), 92.

[9]                KPK RI, Laporan Tahunan 2020: Evaluasi Kontrak dan Kerugian Negara, (Jakarta: KPK), 41–43.

[10]             Transparency International, Global Corruption Report 2005: Corruption in Construction, (London: Pluto Press, 2005), 19.

[11]             Putusan Pengadilan Tipikor No. 130/Pid.Sus/TPK/2017/PN.JKT.PST (Kasus Setya Novanto), diakses via Mahkamah Agung RI, https://putusan3.mahkamahagung.go.id.


5.           Dampak Kolusi terhadap Integritas Publik dan Pembangunan

Kolusi dalam pengadaan publik menimbulkan dampak destruktif yang multidimensi. Tidak hanya merugikan keuangan negara, kolusi juga merusak integritas institusi pemerintahan, memperlemah tata kelola publik, dan menciptakan ketimpangan dalam pembangunan. Kolusi yang bersifat sistemik bahkan dapat menciptakan siklus korupsi yang melibatkan berbagai level kekuasaan, dari birokrasi lokal hingga elite nasional.

5.1.       Kerugian Keuangan Negara dan Inefisiensi Anggaran

Salah satu dampak paling nyata dari kolusi adalah kerugian keuangan negara yang signifikan. Ketika proses pengadaan dikendalikan oleh kesepakatan tersembunyi, maka harga barang atau jasa cenderung dimark-up melebihi harga pasar, kualitasnya diturunkan, dan proyek yang seharusnya kompetitif menjadi tidak efisien. Transparency International mencatat bahwa korupsi dalam pengadaan publik dapat meningkatkan biaya proyek hingga 20–30 persen dari nilai sebenarnya1.

Di Indonesia, Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa sebagian besar kerugian negara akibat korupsi pada tahun-tahun terakhir berasal dari sektor pengadaan, yang umumnya melibatkan praktik kolusi antara panitia dan kontraktor2. Hal ini berdampak pada terhambatnya realisasi anggaran pembangunan yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan publik.

5.2.       Melemahnya Integritas dan Akuntabilitas Institusi Publik

Kolusi menyebabkan institusi publik kehilangan kredibilitas karena proses pengambilan keputusannya tidak lagi berdasarkan kepentingan publik, tetapi dikendalikan oleh kepentingan kelompok atau individu tertentu. Ketika praktik kolusi menjadi norma tersembunyi dalam birokrasi, maka nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab akan terkikis secara bertahap3.

OECD menekankan bahwa lemahnya integritas dalam lembaga pengadaan merupakan ancaman serius terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ketika pejabat publik cenderung terlibat dalam pengaturan proyek, maka pengawasan internal akan melemah, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah4.

5.3.       Distorsi Persaingan Usaha dan Hilangnya Kepercayaan Dunia Usaha

Kolusi mengakibatkan terjadinya distorsi pasar, karena pelaku usaha yang sebenarnya kompeten dan jujur menjadi tersingkir dari persaingan tender. Hal ini menciptakan barrier to entry yang tinggi, memperkuat dominasi kelompok usaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan, dan melemahkan inovasi serta efisiensi dalam sektor swasta5.

World Bank menegaskan bahwa kolusi menghambat iklim investasi karena menciptakan ketidakpastian hukum dan praktik bisnis yang tidak sehat. Pelaku usaha asing maupun lokal akan enggan mengikuti tender publik jika mengetahui bahwa hasilnya sudah “dikondisikan” melalui kolusi6.

5.4.       Ketimpangan dan Kesenjangan dalam Pembangunan

Dampak kolusi tidak hanya bersifat administratif dan ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap ketimpangan pembangunan. Proyek-proyek infrastruktur atau layanan sosial yang seharusnya ditujukan bagi daerah tertinggal atau kelompok rentan sering kali dikorupsi atau dialihkan untuk kepentingan politis dan bisnis kelompok tertentu. Akibatnya, pemerataan pembangunan menjadi terganggu dan kualitas hidup masyarakat tetap stagnan7.

Dalam kasus proyek-proyek strategis nasional di Indonesia, ditemukan bahwa dana proyek yang dikorupsi melalui kolusi menyebabkan pembangunan infrastruktur mangkrak, kualitas jalan dan jembatan menurun, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berfungsi sebagaimana mestinya8.

5.5.       Erosi Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah

Kolusi yang terungkap secara publik, terlebih jika tidak ditindak tegas, akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Masyarakat menjadi apatis, tidak percaya terhadap mekanisme hukum dan pengawasan, bahkan bersikap permisif terhadap korupsi dalam skala kecil. Dalam jangka panjang, fenomena ini menciptakan budaya “pembenaran terhadap penyimpangan” karena dianggap sebagai sesuatu yang lazim terjadi di pemerintahan9.

Fenomena ini menjadi tantangan besar dalam membangun integritas nasional dan membentuk etika publik yang kokoh. Jika kolusi dibiarkan menjadi praktik rutin tanpa penindakan yang transparan dan konsisten, maka proses demokratisasi dan reformasi birokrasi akan kehilangan pijakan moralnya.


Footnotes

[1]                Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 7.

[2]                Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023, (Jakarta: BPK RI, 2023), 14–17.

[3]                Rose-Ackerman, Susan, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 151–152.

[4]                OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z, (Paris: OECD Publishing, 2007), 45.

[5]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley: University of California Press, 1988), 82.

[6]                World Bank, Enhancing Government Effectiveness and Transparency: The Fight Against Corruption, (Washington, D.C.: World Bank Group, 2020), 37–38.

[7]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Pengadaan Infrastruktur di Daerah Tertinggal dan Terluar, (Jakarta: KPK RI, 2018), 9–10.

[8]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Mangkraknya Proyek Infrastruktur karena Korupsi,” Laporan Investigasi ICW 2021, https://antikorupsi.org.

[9]                Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov UGM dan Marjin Kiri, 2019), 133–135.


6.           Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kolusi

Kolusi dalam pengadaan publik merupakan bentuk korupsi sistemik yang tidak dapat diberantas hanya dengan pendekatan represif. Diperlukan strategi komprehensif yang mencakup pencegahan, penindakan, reformasi sistemik, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil. Pencegahan kolusi tidak hanya bertumpu pada penguatan regulasi, tetapi juga pada pembentukan budaya integritas dan pengawasan partisipatif dalam proses pengadaan.

6.1.       Reformasi Sistem Pengadaan: Transparansi dan Digitalisasi

Langkah awal dan paling mendasar dalam mencegah kolusi adalah dengan mereformasi sistem pengadaan agar lebih transparan dan berbasis teknologi. Penerapan e-procurement (pengadaan elektronik) telah terbukti mengurangi peluang intervensi manusia dan mempersempit ruang kolusi dalam proses pengadaan1. Dengan sistem seperti SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) yang dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), informasi tender dapat diakses secara terbuka oleh publik, termasuk dokumen pengumuman, evaluasi, dan pemenang tender2.

OECD menegaskan bahwa transparansi dalam setiap tahap pengadaan—dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak—merupakan prasyarat utama untuk mencegah kolusi dan bentuk korupsi lainnya3.

6.2.       Penguatan Lembaga Pengawas dan Aparat Penegak Hukum

Efektivitas pencegahan kolusi juga bergantung pada kemampuan lembaga pengawas dan aparat hukum untuk mendeteksi, menyelidiki, dan menindak pelaku secara tegas. Di Indonesia, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPKP, dan inspektorat internal harus diperkuat melalui pelatihan khusus di bidang audit pengadaan, deteksi dini kolusi, serta koordinasi antar lembaga4.

Penting pula untuk memperluas ruang lingkup pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), termasuk audit forensik terhadap proyek-proyek strategis yang rawan manipulasi. Tanpa dukungan lembaga pengawasan yang kuat dan independen, upaya memberantas kolusi akan sulit mencapai akar masalahnya.

6.3.       Pengaturan dan Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten

Penindakan hukum terhadap pelaku kolusi harus bersifat tegas, konsisten, dan menyentuh aktor-aktor kunci dalam jaringan kolusi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur bahwa kolusi dalam pengadaan merupakan tindak pidana yang dapat dikenai hukuman penjara dan denda berat5.

Namun demikian, keberhasilan penegakan hukum juga sangat tergantung pada independensi aparat penegak hukum dan integritas sistem peradilan. Jika penegakan hukum hanya menyasar “pelaku teknis” tanpa menelusuri “aktor intelektual” atau pemilik kekuasaan, maka efek jera tidak akan tercapai6.

6.4.       Penerapan Sanksi Non-Hukum: Daftar Hitam dan Pemutusan Kontrak

Selain sanksi pidana, pemerintah juga dapat menggunakan instrumen administratif untuk mencegah pelaku kolusi berpartisipasi kembali dalam proses pengadaan. Salah satunya adalah melalui sistem blacklist atau daftar hitam terhadap penyedia jasa yang terbukti melakukan persekongkolan. LKPP memiliki kewenangan untuk memasukkan perusahaan ke dalam daftar hitam nasional, yang berlaku lintas kementerian dan lembaga7.

Sanksi administratif lainnya termasuk pemutusan kontrak sepihak, pencabutan jaminan pelaksanaan, serta pemblokiran akses sistem pengadaan elektronik. Langkah-langkah ini efektif untuk mengurangi ruang gerak pelaku kolusi, terutama di sektor swasta.

6.5.       Pendidikan Integritas dan Budaya Antikorupsi di Birokrasi

Reformasi birokrasi yang hanya berbasis aturan formal tanpa transformasi budaya akan selalu menyisakan celah untuk praktik kolusi. Oleh karena itu, pembinaan integritas melalui pendidikan etika, pelatihan kode etik pengadaan, dan penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini perlu dilakukan secara berkelanjutan8.

KPK RI telah mengembangkan program Pendidikan Antikorupsi yang menyasar ASN dan pejabat publik untuk memperkuat kesadaran akan integritas dan tanggung jawab dalam pelayanan publik. Program semacam ini penting untuk menciptakan ekosistem birokrasi yang menolak kolusi secara internal.

6.6.       Partisipasi Masyarakat Sipil dan Media dalam Pengawasan

Peran masyarakat sipil, media, dan organisasi pemantau independen sangat strategis dalam mencegah kolusi. Akses publik terhadap data pengadaan, hasil audit, dan evaluasi proyek dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) atau LSM daerah untuk mengawasi dan melaporkan dugaan kolusi9.

Kebijakan Open Contracting yang dikembangkan secara global mendorong keterbukaan data pengadaan sebagai sarana untuk partisipasi publik yang bermakna. Semakin banyak mata yang mengawasi, semakin kecil kemungkinan kolusi dapat berlangsung tanpa terdeteksi10.


Footnotes

[1]                OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris: OECD Publishing, 2016), 18–21.

[2]                Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), “Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE),” https://lpse.lkpp.go.id, diakses 8 Juli 2025.

[3]                OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z, (Paris: OECD Publishing, 2007), 36.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Penguatan Pengawasan Internal Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta: KPK RI, 2019), 11–13.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 12i.

[6]                Rose-Ackerman, Susan, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 174–176.

[7]                LKPP, Peraturan Kepala LKPP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sanksi Daftar Hitam dalam Pengadaan Barang/Jasa, (Jakarta: LKPP), Pasal 3.

[8]                Transparency International, Fighting Corruption in Public Procurement, (Berlin: TI, 2018), 23–24.

[9]                Indonesia Corruption Watch (ICW), “Panduan Pemantauan Pengadaan oleh Masyarakat,” Modul Pemantauan ICW, 2020, https://antikorupsi.org.

[10]             Open Contracting Partnership, Global Principles for Open Contracting, (Washington, D.C.: OCP, 2015), 3.


7.           Tinjauan Hukum dan Regulasi Terkait Kolusi

Kolusi dalam pengadaan publik merupakan bentuk korupsi yang secara eksplisit dilarang dalam berbagai regulasi nasional maupun konvensi internasional. Di Indonesia, praktik kolusi telah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena mencederai integritas pelayanan publik, merugikan keuangan negara, serta mengganggu prinsip persaingan usaha yang sehat. Selain itu, pengaturan tentang kolusi juga tercantum dalam berbagai peraturan pengadaan barang/ jasa dan ketentuan antimonopoli yang berlaku.

7.1.       Pengaturan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Landasan hukum utama terkait kolusi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12i, disebutkan secara tegas:

“Setiap orang yang melakukan persekongkolan jahat untuk memenangkan peserta tertentu dalam proses pengadaan barang dan jasa, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.”1

Ketentuan ini menegaskan bahwa kolusi dalam proses pengadaan bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi termasuk tindak pidana berat yang memiliki ancaman pidana yang tinggi.

7.2.       Aturan dalam Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa

Kolusi juga dilarang secara tegas dalam peraturan teknis pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama dalam:

·                     Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya (Perpres No. 12 Tahun 2021).

·                     Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan.

Dalam Pasal 7 ayat (1) Perpres No. 16/2018, disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa harus dilakukan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Praktik kolusi jelas melanggar prinsip-prinsip ini, terutama prinsip keterbukaan dan persaingan.

Sementara itu, Peraturan LKPP juga memuat larangan bagi penyedia untuk melakukan persekongkolan, baik antar-penyedia (horizontal collusion) maupun antara penyedia dan panitia pengadaan (vertical collusion). Pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar hitam nasional (blacklist)2.

7.3.       Pengaturan dalam Hukum Persaingan Usaha (Antimonopoli)

Selain merupakan tindak pidana korupsi, kolusi juga merupakan pelanggaran hukum persaingan usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 22, disebutkan:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”3

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kewenangan untuk menyelidiki, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terlibat dalam praktik kolusi tender. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa denda administratif hingga pembatalan hasil tender.

7.4.       Tinjauan dalam Konvensi dan Standar Internasional

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam konvensi tersebut, kolusi dikategorikan sebagai bagian dari tindakan corruption and fraud in public procurement yang wajib dicegah dan ditindak tegas oleh negara peserta.

UNCAC menggarisbawahi pentingnya:

·                     Transparansi proses pengadaan;

·                     Sistem pengawasan dan audit yang efektif;

·                     Mekanisme pelaporan publik;

·                     Perlindungan terhadap pelapor (whistleblowers)4.

Lebih lanjut, standar internasional seperti yang dikeluarkan oleh OECD dan World Bank juga mendorong reformasi pengadaan berbasis risiko dan pengawasan teknologi untuk meminimalisasi kolusi dalam proyek-proyek publik5.

7.5.       Mekanisme Penegakan dan Sanksi

Mekanisme penegakan terhadap praktik kolusi dapat dilakukan melalui jalur:

·                     Pidana, oleh KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian;

·                     Administratif, oleh LKPP dan kementerian/lembaga terkait (melalui blacklist dan pembatalan kontrak);

·                     Persaingan usaha, oleh KPPU.

Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap kolusi seringkali terkendala oleh minimnya bukti langsung, sifat praktiknya yang rahasia dan kolektif, serta adanya benturan kepentingan di antara pelaku dan aparat penegak6.

Untuk itu, perlu integrasi lintas sektor antara lembaga hukum, auditor negara, serta partisipasi publik untuk memperkuat efektivitas penegakan hukum terhadap kolusi.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 12i.

[2]                Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: LKPP, 2021), Pasal 56–58.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22.

[4]                United Nations, United Nations Convention against Corruption, General Assembly Resolution 58/4, 31 Oktober 2003, Articles 9 and 13.

[5]                World Bank, Fraud and Corruption Awareness Handbook for Civil Servants Involved in Public Procurement, (Washington, D.C.: World Bank Group, 2013), 17–21.

[6]                OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z, (Paris: OECD Publishing, 2007), 65–67.


8.           Penutup

Kolusi dalam pengadaan publik merupakan bentuk korupsi yang sangat merusak, karena bukan hanya menyelewengkan keuangan negara, tetapi juga melemahkan pilar-pilar tata kelola pemerintahan yang baik, kepercayaan publik, dan prinsip keadilan dalam persaingan usaha. Kajian ini menunjukkan bahwa kolusi tidak hanya terjadi karena niat individu yang menyimpang, melainkan merupakan hasil dari interaksi sistemik antara kelemahan kelembagaan, ketidakjelasan regulasi, rendahnya integritas birokrasi, dan minimnya pengawasan partisipatif.

Praktik kesepakatan rahasia antara pejabat publik dan pihak swasta dalam proses pengadaan menunjukkan adanya pergeseran fungsi pengadaan dari yang seharusnya melayani kepentingan publik menjadi alat untuk mengejar keuntungan kelompok atau individu tertentu. Proses ini berjalan melalui rekayasa dokumen tender, manipulasi evaluasi, penyuapan terselubung, hingga pengaturan hasil proyek yang tidak berpihak pada kualitas maupun efisiensi1.

Penanggulangan terhadap kolusi tidak dapat dilakukan secara parsial. Sebaliknya, ia membutuhkan pendekatan komprehensif yang menyentuh aspek hukum, kelembagaan, budaya birokrasi, serta kesadaran publik. Upaya pencegahan melalui digitalisasi sistem pengadaan, penguatan lembaga pengawas, penerapan sanksi yang tegas, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil dan media harus menjadi bagian dari strategi nasional pemberantasan korupsi2.

Khususnya dalam konteks Indonesia, reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah harus terus diarahkan pada penguatan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi sehat. Lembaga seperti LKPP, KPK, dan BPK memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa seluruh proses pengadaan terbebas dari pengaruh intervensi politik dan persekongkolan bisnis birokrasi. Di samping itu, penegakan hukum atas pelaku kolusi harus menyentuh aktor utama, bukan hanya operator teknis, agar efek jera benar-benar tercipta3.

Sebagaimana ditekankan oleh Rose-Ackerman, keberhasilan melawan korupsi dan kolusi tidak hanya bergantung pada sanksi hukum, tetapi juga pada kemauan politik, tekanan masyarakat sipil, dan reformasi sistem yang mendorong perilaku jujur sebagai norma yang dihargai dan dilindungi4. Dalam jangka panjang, penguatan integritas dalam sistem pengadaan bukan hanya soal memperbaiki mekanisme lelang, melainkan tentang membangun public trust yang kokoh dan negara yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

Oleh karena itu, tantangan terbesar dalam pemberantasan kolusi bukan hanya menemukan pelakunya, tetapi membongkar struktur yang menopang praktik tersebut dan menggantinya dengan sistem yang mendorong transparansi, etika, dan keadilan.


Footnotes

[1]                Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 12–15.

[2]                OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris: OECD Publishing, 2016), 6–9.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2019), 27–31.

[4]                Susan Rose-Ackerman dan Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 344–345.


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Pemilu, klientelisme, dan negara di Indonesia. Yogyakarta: PolGov UGM & Marjin Kiri.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun 2023. Jakarta: BPK RI.

Indonesia Corruption Watch. (2020). Panduan pemantauan pengadaan oleh masyarakat. Retrieved from https://antikorupsi.org

Indonesia Corruption Watch. (2021). Mangkraknya proyek infrastruktur karena korupsi: Laporan investigasi ICW 2021. Retrieved from https://antikorupsi.org

Indonesia Corruption Watch. (2021). Modus kolusi tender dan peran konsultan. Retrieved from https://antikorupsi.org

Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. Berkeley, CA: University of California Press.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2017). Kajian sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Jakarta: KPK RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2018). Kajian pengadaan infrastruktur di daerah tertinggal dan terluar. Jakarta: KPK RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2019). Kajian penguatan pengawasan internal pengadaan barang dan jasa. Jakarta: KPK RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2020). Laporan tahunan 2020: Evaluasi kontrak dan kerugian negara. Jakarta: KPK RI.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (2018). Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: LKPP.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (2021). Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: LKPP.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (2021). Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Retrieved from https://lpse.lkpp.go.id

OECD. (2005). Hard core cartels: Third report on the implementation of the 1998 recommendation. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2007). Integrity in public procurement: Good practice from A to Z. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2009). Guidelines for fighting bid rigging in public procurement. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2016). Preventing corruption in public procurement. Paris: OECD Publishing.

Open Contracting Partnership. (2015). Global principles for open contracting. Washington, D.C.: OCP.

Republic of Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Republic of Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). New York, NY: Cambridge University Press.

Transparency International. (2005). Global corruption report 2005: Corruption in construction. London: Pluto Press.

Transparency International. (2006). Corruption in public procurement: Risks and reform policies. Berlin: Transparency International.

Transparency International. (2018). Fighting corruption in public procurement. Berlin: Transparency International.

United Nations. (2003). United Nations Convention against Corruption (UNCAC). New York, NY: United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

World Bank. (2013). Fraud and corruption awareness handbook for civil servants involved in public procurement. Washington, D.C.: World Bank Group.

World Bank. (2020). Enhancing government effectiveness and transparency: The fight against corruption. Washington, D.C.: World Bank Group.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar