Kolusi (Collusion)
Kajian Kritis terhadap Praktik Kesepakatan Rahasia
antara Pejabat dan Swasta
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Kolusi dalam pengadaan publik merupakan salah satu
bentuk korupsi yang paling merusak sistem tata kelola pemerintahan dan
integritas pelayanan publik. Artikel ini membahas secara kritis dinamika dan
praktik kolusi yang terjadi antara pejabat publik dan pihak swasta dalam proses
tender pengadaan barang dan jasa. Dengan mengacu pada regulasi nasional,
konvensi internasional, serta studi kasus konkret, artikel ini menjelaskan
mekanisme kolusi yang meliputi rekayasa dokumen tender, manipulasi evaluasi,
persekongkolan antar peserta, hingga pemberian kompensasi terselubung.
Dampaknya tidak hanya menyebabkan kerugian keuangan negara, tetapi juga
melemahkan persaingan usaha, menciptakan ketimpangan pembangunan, dan
meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Artikel ini juga
mengkaji upaya penanggulangan kolusi melalui reformasi sistem pengadaan,
penguatan penegakan hukum, sanksi administratif, serta keterlibatan masyarakat
sipil. Temuan utama menekankan perlunya pendekatan sistemik yang menyentuh
aspek hukum, kelembagaan, etika birokrasi, dan pengawasan partisipatif untuk
mencegah dan memberantas kolusi secara efektif.
Kata Kunci: Kolusi; Pengadaan Publik; Tender; Korupsi;
Persaingan Usaha Tidak Sehat; Reformasi Birokrasi; Integritas Publik.
PEMBAHASAN
Kolusi dalam Pengadaan Publik
1.
Pendahuluan
Pengadaan barang dan
jasa pemerintah merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap praktik
korupsi sistemik. Salah satu bentuk korupsi yang paling tersembunyi namun
merusak dalam sektor ini adalah kolusi, yaitu kesepakatan
rahasia dan terencana antara pejabat publik dan pelaku usaha swasta untuk memperoleh
keuntungan secara ilegal dengan cara menyimpangkan proses lelang atau tender.
Kolusi dalam pengadaan publik tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi
negara, tetapi juga menggerus prinsip keadilan, akuntabilitas, dan efisiensi
dalam tata kelola pemerintahan.
World Bank
mendefinisikan kolusi dalam konteks korupsi sebagai “a secret agreement or cooperation between
parties for fraudulent or deceitful purposes, especially to gain an unfair
advantage in procurement processes.”1 Kolusi seringkali
melibatkan penetapan pemenang tender secara tidak sah, pengaturan harga yang
melampaui nilai wajar, atau pembagian proyek berdasarkan hubungan politis dan
ekonomi, bukan berdasarkan kompetensi dan transparansi. Sifat kolusi yang
rahasia dan saling menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat menjadikannya
sulit untuk dideteksi, apalagi ditindak secara hukum.
Fenomena kolusi
dalam pengadaan publik bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi
juga di negara maju, meskipun dengan pola dan skema yang berbeda. Transparency
International mengidentifikasi bahwa dalam lingkungan birokrasi yang lemah dan
minim pengawasan, praktik kolusi cenderung berkembang subur karena lemahnya
integritas dan adanya insentif untuk melakukan korupsi kolektif demi mempertahankan
kekuasaan atau memperkaya diri sendiri2. Di Indonesia, sejumlah
kasus besar seperti korupsi proyek e-KTP, pengadaan alat kesehatan, dan
infrastruktur menunjukkan bahwa kolusi telah menjadi pola sistemik yang
melibatkan pejabat tinggi, swasta, bahkan anggota legislatif3.
Studi akademik
menekankan bahwa kolusi berbeda dari suap karena lebih bersifat kolektif,
terselubung, dan berlangsung dalam jangka panjang. Dalam konteks pengadaan,
kolusi seringkali menyertakan persekongkolan antara panitia lelang dan penyedia
barang/jasa untuk merekayasa proses tender, baik melalui penetapan spesifikasi
teknis yang menguntungkan pihak tertentu, pengaturan jadwal, atau penggiringan
hasil evaluasi4. Hal ini merusak prinsip dasar pengadaan yang
seharusnya adil, kompetitif, dan terbuka bagi semua pihak.
Oleh karena itu,
kajian kritis terhadap praktik kolusi dalam pengadaan publik menjadi sangat
relevan, terutama untuk memahami akar permasalahan, pola-pola umum yang
digunakan, serta dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan dan kepercayaan
publik. Kajian ini juga penting dalam merumuskan strategi preventif dan
represif yang lebih efektif guna memperkuat sistem pengadaan yang bebas dari
kolusi dan bentuk-bentuk korupsi lainnya.
Footnotes
[1]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank, (Washington, D.C.: World Bank Group, 1997), 9.
[2]
Transparency International, Global Corruption Report 2005: Corruption
in Construction and Post-Conflict Reconstruction, (London: Pluto Press,
2005), 16–18.
[3]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Tren Penindakan Kasus Korupsi Sektor
Pengadaan Barang dan Jasa,” Laporan Tahunan ICW 2021, diakses 8 Juli
2025, https://antikorupsi.org.
[4]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley:
University of California Press, 1988), 75–77.
2.
Pengertian dan Karakteristik Kolusi
Secara etimologis,
istilah kolusi
berasal dari bahasa Latin colludere, yang berarti “bermain
bersama dalam sesuatu yang licik.” Dalam konteks hukum dan tata kelola publik,
kolusi didefinisikan sebagai suatu bentuk kesepakatan tersembunyi antara dua
pihak atau lebih yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah,
dengan cara merusak prinsip kompetisi yang adil, terutama dalam proses
pengadaan barang dan jasa1. World Bank menjelaskan kolusi sebagai “a
covert agreement between parties to limit open competition by deceiving or
misleading others to gain an unfair market advantage”2.
Kolusi dalam
pengadaan publik umumnya terjadi ketika pejabat pemerintah atau panitia
pengadaan menjalin kerja sama rahasia dengan pelaku usaha swasta untuk
memenangkan tender secara tidak sah. Dalam skenario ini, pejabat publik
menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur atau memanipulasi proses lelang,
sedangkan pelaku usaha memberikan kompensasi tertentu, baik berupa uang, saham,
atau keuntungan lainnya. Bentuk kerja sama ini bersifat simbiosis, tetapi
melanggar hukum dan etika publik.
2.1.
Karakteristik Kolusi
dalam Konteks Pengadaan
Terdapat sejumlah
karakteristik utama yang membedakan kolusi dari bentuk korupsi lainnya seperti
suap atau gratifikasi:
1)
Kesepakatan Bersifat
Rahasia dan Terencana:
Kolusi bersifat sistematis dan melibatkan
perencanaan jangka menengah atau panjang. Tidak seperti suap yang seringkali
bersifat transaksional dan satu arah, kolusi cenderung berlangsung dalam
kerangka hubungan jangka panjang antara aktor publik dan swasta3.
2)
Tujuan Mengamankan
Keuntungan Ekonomis Ilegal:
Kolusi biasanya bertujuan untuk mengamankan
proyek, menaikkan harga kontrak, atau memenangkan tender dengan cara curang.
Hal ini dapat meliputi praktik seperti bid rigging, price fixing,
dan market allocation4.
3)
Melibatkan
Persekongkolan Lintas Sektor:
Dalam banyak kasus, kolusi tidak hanya melibatkan
satu-dua individu, tetapi jaringan yang lebih luas, termasuk konsultan,
pengusaha fiktif, hingga auditor yang bertindak sebagai fasilitator atau pelindung5.
4)
Menghindari Deteksi
Melalui Mekanisme Formal:
Kolusi sering disamarkan melalui penggunaan
dokumen-dokumen formal yang sah secara administratif, seperti dokumen
pengadaan, nota dinas, atau berita acara. Namun, di balik dokumen tersebut
terdapat skenario yang telah diatur sebelumnya6.
5)
Merusak Persaingan
Usaha yang Sehat:
Kolusi menciptakan kondisi pasar yang tidak adil
karena menutup peluang bagi penyedia jasa atau barang yang kompeten dan jujur.
Akibatnya, efisiensi dan efektivitas anggaran publik menurun drastis7.
2.2.
Jenis-Jenis Kolusi
dalam Pengadaan
Studi tentang
antitrust dan ekonomi kelembagaan mengidentifikasi dua tipe utama kolusi dalam
pengadaan:
·
Kolusi
Horizontal:
Terjadi antara pelaku usaha (penyedia) yang
saling bekerja sama secara diam-diam untuk mengatur hasil tender, biasanya
melalui bid rotation (giliran menang), cover bidding
(penawaran palsu), atau subcontracting pasca-pemenang diumumkan8.
·
Kolusi
Vertikal:
Melibatkan hubungan antara pelaku usaha dengan
pejabat publik atau panitia pengadaan. Dalam hal ini, informasi rahasia atau
spesifikasi teknis tender disesuaikan untuk menguntungkan peserta tertentu.
Jenis ini paling sering ditemukan dalam praktik korupsi pengadaan di sektor
pemerintahan9.
Pemahaman atas
pengertian dan karakteristik kolusi sangat penting sebagai landasan dalam
mengembangkan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang tepat. Hanya dengan
mengenali pola dan sifat dasarnya, praktik kolusi dapat dideteksi sejak dini
dan ditangani secara sistemik.
Footnotes
[1]
Bryan Clark dan Tony Gray, Corruption and Collusion in the Public
Sector: A Legal Perspective, (London: Routledge, 2016), 23–25.
[2]
World Bank, Fraud and Corruption Awareness Handbook for Civil
Servants Involved in Public Procurement, (Washington, D.C.: World Bank,
2013), 11.
[3]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, (New York: Cambridge University Press, 1999),
53.
[4]
OECD, Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement,
(Paris: OECD Publishing, 2009), 9–12.
[5]
Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks
and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 17–18.
[6]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Modus dan Pola Korupsi Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah,” Laporan Investigasi ICW, 2021, https://antikorupsi.org.
[7]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley:
University of California Press, 1988), 65.
[8]
OECD, Hard Core Cartels: Third Report on the Implementation of the
1998 Recommendation, (Paris: OECD Publishing, 2005), 21–23.
[9]
KPK RI, Kajian Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
Rekomendasi Perbaikannya, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017),
14–15.
3.
Faktor-Faktor Penyebab Kolusi
Kolusi dalam
pengadaan publik tidak muncul secara spontan, melainkan tumbuh dalam ekosistem
yang memfasilitasi penyimpangan kekuasaan, lemahnya regulasi, dan rendahnya
integritas institusi. Praktik kolusi merupakan manifestasi dari kegagalan
sistemik yang melibatkan dimensi kelembagaan, struktural, dan individual.
Berbagai studi menunjukkan bahwa kolusi lebih mungkin terjadi ketika kontrol internal
lemah, pengawasan eksternal tidak efektif, dan insentif terhadap perilaku etis
tidak tersedia atau diabaikan1.
3.1.
Lemahnya Sistem
Pengawasan dan Transparansi
Salah satu penyebab
utama maraknya kolusi adalah lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal
dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ketika unit pengadaan tidak memiliki
sistem audit yang memadai, proses pengambilan keputusan cenderung bersifat
tertutup dan manipulatif. OECD menyatakan bahwa rendahnya transparansi dalam
fase perencanaan dan evaluasi tender membuka peluang besar terjadinya kolusi
antara panitia dan peserta lelang2.
Di Indonesia,
Laporan KPK menyebut bahwa ketertutupan informasi tender, seperti spesifikasi
teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), memicu praktik pengaturan pemenang
sejak awal. Ketika informasi tersebut hanya dikuasai segelintir orang dalam,
maka peluang untuk memanipulasi hasil pengadaan meningkat drastis3.
3.2.
Adanya Konflik
Kepentingan dan Moral Hazard
Konflik kepentingan
menjadi penyubur utama praktik kolusi, terutama ketika pejabat publik memiliki
hubungan pribadi, politik, atau ekonomi dengan pelaku usaha. Dalam banyak
kasus, panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen (PPK) diketahui terlibat
langsung dalam penunjukan pemenang tender karena adanya afiliasi kepemilikan
saham atau relasi keluarga4. Ini melahirkan situasi moral
hazard, yaitu keberanian untuk mengambil risiko penyimpangan karena
yakin tidak akan terdeteksi atau dihukum.
Studi Rose-Ackerman
menegaskan bahwa kolusi kerap terjadi dalam situasi di mana struktur organisasi
tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk memisahkan antara pengambil keputusan
dan pihak yang memiliki kepentingan dalam hasil keputusan tersebut5.
3.3.
Intervensi Politik
dan Praktik Oligarki Kekuasaan
Dalam sistem
pemerintahan yang belum sepenuhnya demokratis dan akuntabel, intervensi politik
menjadi salah satu faktor pendorong kolusi. Banyak kasus menunjukkan bahwa
tender-tender besar sering kali "dijatahkan" kepada pengusaha
yang dekat dengan elite politik atau tim pemenangan pemilu. Praktik ini menjadi
bagian dari sistem patronase politik yang menganggap proyek pemerintah sebagai
“balas jasa politik”6.
Dalam konteks ini,
pelaku usaha tidak lagi bersaing berdasarkan kualitas atau harga, tetapi
berdasarkan kedekatan dengan aktor politik. Hal ini memperlemah semangat
meritokrasi dan menciptakan pasar yang eksklusif dan tidak sehat.
3.4.
Kurangnya Sanksi dan
Penegakan Hukum yang Tegas
Rendahnya efek jera
terhadap pelaku kolusi juga menjadi penyebab menguatnya praktik ini. Ketika penegakan
hukum terhadap kasus-kasus kolusi berjalan lamban, tidak tuntas, atau hanya
menyentuh “aktor kecil,” maka pelaku utama akan merasa aman untuk terus
mengulang praktiknya7. Sering kali, kasus korupsi dalam pengadaan
hanya dikenai sanksi administratif, sementara aspek pidananya tidak
dilanjutkan.
World Bank
menggarisbawahi bahwa lemahnya koordinasi antar-lembaga penegak hukum, seperti
antara inspektorat, aparat penegak hukum, dan lembaga antikorupsi, menjadi
kendala serius dalam pemberantasan kolusi di sektor publik8.
3.5.
Budaya Birokrasi
yang Koruptif dan Tertutup
Budaya birokrasi
yang feodal, hierarkis, dan tertutup terhadap pengawasan publik juga menjadi
tanah subur bagi kolusi. Dalam struktur semacam ini, bawahan cenderung
mengikuti instruksi atasan meskipun bertentangan dengan hukum. Kolusi menjadi “rahasia
umum” yang dianggap bagian dari praktik normal, apalagi jika hasilnya
dibagi rata dalam bentuk gratifikasi internal atau pembagian fee proyek9.
Ketika etika dan
profesionalisme dikalahkan oleh kepentingan kelompok, maka birokrasi kehilangan
fungsi kontrol internalnya. Hal ini diperburuk oleh absennya perlindungan
terhadap pelapor (whistleblower) yang berani membongkar praktik kolusi.
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman dan Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge
University Press, 2016), 91–93.
[2]
OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z,
(Paris: OECD Publishing, 2007), 45.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2017), 22–24.
[4]
Transparency International Indonesia, Konflik Kepentingan dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: TII, 2019), 11–13.
[5]
Rose-Ackerman, Corruption and Government, 96.
[6]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Pemilu,
Klientelisme, dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov UGM dan Marjin
Kiri, 2019), 122–126.
[7]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Evaluasi Penindakan Kasus Korupsi di
Sektor Pengadaan,” Laporan Akhir Tahun ICW 2022, https://antikorupsi.org.
[8]
World Bank, Enhancing Government Effectiveness and Transparency:
The Fight Against Corruption, (Washington, D.C.: World Bank Group, 2020),
30–32.
[9]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley:
University of California Press, 1988), 79–81.
4.
Mekanisme dan Pola Kolusi dalam Proses Tender
Praktik kolusi dalam
pengadaan publik umumnya berlangsung secara sistematis dan terorganisir,
melibatkan aktor dari dua atau lebih pihak dengan peran yang saling melengkapi.
Mekanismenya meliputi serangkaian rekayasa administratif, manipulasi informasi,
serta pengaturan proses lelang yang bertujuan untuk memenangkan penyedia
tertentu tanpa kompetisi yang adil. Kolusi dalam pengadaan bukanlah praktik
yang acak atau insidental, melainkan seringkali merupakan bagian dari jaringan
kekuasaan dan ekonomi yang terstruktur.
4.1.
Pengaturan
Spesifikasi dan Persyaratan Teknis Tender
Tahap awal kolusi
biasanya dimulai dari penyusunan dokumen pengadaan. Dalam banyak kasus, pejabat
pengadaan dengan sengaja merancang spesifikasi teknis atau persyaratan
administrasi yang hanya dapat dipenuhi oleh satu peserta lelang
tertentu. Praktik ini dikenal sebagai tailored specifications atau “pengkondisian
tender,” yang secara formal tampak sah, namun secara substansi telah
mengunci partisipasi dari pesaing lain1.
OECD menyebut bahwa
pengaturan spesifikasi ini merupakan teknik kolusi vertikal yang paling umum,
karena sulit dideteksi dan kerap tersembunyi di balik bahasa teknis yang
kompleks2.
4.2.
Rekayasa Proses
Evaluasi Penawaran
Setelah dokumen
masuk, tahapan berikutnya yang kerap dijadikan ruang kolusi adalah proses
evaluasi teknis dan harga. Panitia pengadaan yang telah bersepakat dengan
peserta tertentu akan memberi nilai rendah secara subjektif pada penawaran
kompetitor, atau bahkan menggugurkan mereka karena alasan administratif yang
tidak relevan. Proses ini kerap dimanipulasi melalui berita
acara evaluasi yang dibuat sepihak3.
Laporan KPK mencatat
bahwa salah satu modus kolusi yang sering dijumpai adalah pengguguran
kompetitor dengan alasan "tidak memenuhi kualifikasi teknis,"
padahal kualifikasi tersebut dimanipulasi sebelumnya untuk menguntungkan pihak
tertentu4.
4.3.
Persekongkolan Antar
Peserta Lelang (Bid Rigging)
Kolusi horizontal
terjadi ketika sejumlah peserta lelang bekerja sama untuk menyiasati kompetisi.
Bentuknya bisa berupa bid rotation (pembagian giliran
menang), cover
bidding (penawaran pura-pura), atau market allocation (pembagian proyek
berdasarkan wilayah atau jenis pekerjaan). Dalam skema ini, hanya satu peserta
yang benar-benar berniat menang, sementara lainnya hanya berpura-pura bersaing
untuk memenuhi syarat formal kompetisi5.
OECD
mengklasifikasikan bid rigging sebagai kejahatan
kartel yang paling merusak dalam sektor publik, karena tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga menghancurkan prinsip pasar bebas dan kompetisi
sehat6.
4.4.
Penyuapan dan
Kompensasi kepada Pejabat
Sebagai imbalan atas
jasa rekayasa tender, pihak swasta seringkali memberikan kompensasi berupa suap
tunai, barang mewah, atau janji proyek lanjutan kepada pejabat yang terlibat.
Suap ini dapat diberikan langsung kepada panitia pengadaan, atau melalui
perantara seperti konsultan proyek atau pihak ketiga yang bertindak sebagai
penghubung. Dalam beberapa kasus, kompensasi diberikan dalam bentuk saham
perusahaan atau pengalihan kepemilikan aset7.
Klitgaard menyatakan
bahwa korupsi dalam bentuk kolusi cenderung sulit dilacak karena manfaatnya
dibagi secara kolektif dan tersembunyi melalui jalur-jalur yang tidak langsung,
seperti rekening fiktif atau transaksi bisnis bayangan8.
4.5.
Penyusunan Kontrak
Bermasalah dan Manipulasi Pelaksanaan
Setelah peserta yang
dikondisikan menang, manipulasi tidak berhenti di tahap lelang. Kontrak
seringkali disusun dengan klausul yang menguntungkan penyedia, termasuk peluang
addendum
harga, perpanjangan waktu, atau pengurangan
spesifikasi tanpa pemotongan nilai kontrak. Tahapan ini
dimanfaatkan untuk melakukan mark-up nilai proyek atau penghematan
fiktif yang tetap dibayarkan oleh negara9.
Sebagaimana disoroti
oleh Transparency International, kolusi yang dibiarkan terus berlanjut setelah
proses lelang akan menjelma menjadi korupsi sistemik yang menyentuh seluruh
siklus proyek—dari perencanaan hingga evaluasi akhir10.
4.6.
Studi Kasus: Skema
Kolusi dalam Proyek e-KTP
Salah satu contoh
paling mencolok dari kolusi dalam pengadaan adalah kasus proyek e-KTP di
Indonesia, yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp2,3 triliun. Dalam kasus
ini, penyedia, pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan anggota DPR RI bekerja
sama dalam menyusun spesifikasi, mengatur pemenang tender, serta membagi-bagi
fee proyek secara sistematis. Kasus ini menjadi bukti bahwa kolusi bukanlah
praktik pinggiran, melainkan terjadi di jantung kekuasaan dan melibatkan elite
politik11.
Footnotes
[1]
OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris:
OECD Publishing, 2016), 22–24.
[2]
OECD, Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement,
(Paris: OECD Publishing, 2009), 15.
[3]
Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks
and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 14–16.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2017), 27.
[5]
Joseph E. Harrington, Collusion in Auctions, in Handbook
of Procurement, eds. Nicola Dimitri et al. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 222–225.
[6]
OECD, Hard Core Cartels: Third Report on the Implementation of the
1998 Recommendation, (Paris: OECD Publishing, 2005), 17.
[7]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Modus Kolusi Tender dan Peran
Konsultan,” Laporan Investigasi ICW, 2021, https://antikorupsi.org.
[8]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley:
University of California Press, 1988), 92.
[9]
KPK RI, Laporan Tahunan 2020: Evaluasi Kontrak dan Kerugian Negara,
(Jakarta: KPK), 41–43.
[10]
Transparency International, Global Corruption Report 2005:
Corruption in Construction, (London: Pluto Press, 2005), 19.
[11]
Putusan Pengadilan Tipikor No. 130/Pid.Sus/TPK/2017/PN.JKT.PST (Kasus
Setya Novanto), diakses via Mahkamah Agung RI, https://putusan3.mahkamahagung.go.id.
5.
Dampak Kolusi terhadap Integritas Publik dan Pembangunan
Kolusi dalam
pengadaan publik menimbulkan dampak destruktif yang multidimensi. Tidak hanya
merugikan keuangan negara, kolusi juga merusak integritas institusi
pemerintahan, memperlemah tata kelola publik, dan menciptakan ketimpangan dalam
pembangunan. Kolusi yang bersifat sistemik bahkan dapat menciptakan siklus
korupsi yang melibatkan berbagai level kekuasaan, dari birokrasi lokal hingga
elite nasional.
5.1.
Kerugian Keuangan
Negara dan Inefisiensi Anggaran
Salah satu dampak
paling nyata dari kolusi adalah kerugian keuangan negara yang signifikan.
Ketika proses pengadaan dikendalikan oleh kesepakatan tersembunyi, maka harga
barang atau jasa cenderung dimark-up melebihi harga pasar, kualitasnya
diturunkan, dan proyek yang seharusnya kompetitif menjadi tidak efisien.
Transparency International mencatat bahwa korupsi dalam pengadaan publik dapat
meningkatkan biaya proyek hingga 20–30 persen dari nilai sebenarnya1.
Di Indonesia,
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa sebagian besar
kerugian negara akibat korupsi pada tahun-tahun terakhir berasal dari sektor
pengadaan, yang umumnya melibatkan praktik kolusi antara panitia dan kontraktor2.
Hal ini berdampak pada terhambatnya realisasi anggaran pembangunan yang
seharusnya dialokasikan untuk pelayanan publik.
5.2.
Melemahnya
Integritas dan Akuntabilitas Institusi Publik
Kolusi menyebabkan
institusi publik kehilangan kredibilitas karena proses pengambilan keputusannya
tidak lagi berdasarkan kepentingan publik, tetapi dikendalikan oleh kepentingan
kelompok atau individu tertentu. Ketika praktik kolusi menjadi norma
tersembunyi dalam birokrasi, maka nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan
tanggung jawab akan terkikis secara bertahap3.
OECD menekankan
bahwa lemahnya integritas dalam lembaga pengadaan merupakan ancaman serius
terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ketika pejabat
publik cenderung terlibat dalam pengaturan proyek, maka pengawasan internal
akan melemah, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah4.
5.3.
Distorsi Persaingan
Usaha dan Hilangnya Kepercayaan Dunia Usaha
Kolusi mengakibatkan
terjadinya distorsi pasar, karena pelaku
usaha yang sebenarnya kompeten dan jujur menjadi tersingkir dari persaingan
tender. Hal ini menciptakan barrier to entry yang tinggi,
memperkuat dominasi kelompok usaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan, dan
melemahkan inovasi serta efisiensi dalam sektor swasta5.
World Bank
menegaskan bahwa kolusi menghambat iklim investasi karena menciptakan
ketidakpastian hukum dan praktik bisnis yang tidak sehat. Pelaku usaha asing maupun lokal akan enggan
mengikuti tender publik jika mengetahui bahwa hasilnya sudah “dikondisikan”
melalui kolusi6.
5.4.
Ketimpangan dan
Kesenjangan dalam Pembangunan
Dampak kolusi tidak
hanya bersifat administratif dan ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap
ketimpangan pembangunan. Proyek-proyek infrastruktur atau layanan sosial yang
seharusnya ditujukan bagi daerah tertinggal atau kelompok rentan sering kali
dikorupsi atau dialihkan untuk kepentingan politis dan bisnis kelompok
tertentu. Akibatnya, pemerataan pembangunan menjadi terganggu dan kualitas
hidup masyarakat tetap stagnan7.
Dalam kasus
proyek-proyek strategis nasional di Indonesia, ditemukan bahwa dana proyek yang
dikorupsi melalui kolusi menyebabkan pembangunan infrastruktur mangkrak,
kualitas jalan dan jembatan menurun, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan
tidak berfungsi sebagaimana mestinya8.
5.5.
Erosi Kepercayaan
Publik terhadap Pemerintah
Kolusi yang
terungkap secara publik, terlebih jika tidak ditindak tegas, akan menimbulkan krisis
kepercayaan terhadap institusi negara. Masyarakat menjadi
apatis, tidak percaya terhadap mekanisme hukum dan pengawasan, bahkan bersikap
permisif terhadap korupsi dalam skala kecil. Dalam jangka panjang, fenomena ini
menciptakan budaya “pembenaran terhadap penyimpangan” karena dianggap
sebagai sesuatu yang lazim terjadi di pemerintahan9.
Fenomena ini menjadi
tantangan besar dalam membangun integritas nasional dan
membentuk etika publik yang kokoh. Jika kolusi
dibiarkan menjadi praktik rutin tanpa penindakan yang transparan dan konsisten,
maka proses demokratisasi dan reformasi birokrasi akan kehilangan pijakan
moralnya.
Footnotes
[1]
Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks
and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 7.
[2]
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Ikhtisar
Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023, (Jakarta: BPK RI, 2023), 14–17.
[3]
Rose-Ackerman, Susan, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 151–152.
[4]
OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z,
(Paris: OECD Publishing, 2007), 45.
[5]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley:
University of California Press, 1988), 82.
[6]
World Bank, Enhancing Government Effectiveness and Transparency:
The Fight Against Corruption, (Washington, D.C.: World Bank Group, 2020),
37–38.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Pengadaan Infrastruktur
di Daerah Tertinggal dan Terluar, (Jakarta: KPK RI, 2018), 9–10.
[8]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Mangkraknya Proyek Infrastruktur
karena Korupsi,” Laporan Investigasi ICW 2021, https://antikorupsi.org.
[9]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Pemilu,
Klientelisme, dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov UGM dan Marjin
Kiri, 2019), 133–135.
6.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kolusi
Kolusi dalam
pengadaan publik merupakan bentuk korupsi sistemik yang tidak dapat diberantas
hanya dengan pendekatan represif. Diperlukan strategi komprehensif yang
mencakup pencegahan, penindakan, reformasi sistemik, serta keterlibatan aktif
masyarakat sipil. Pencegahan kolusi tidak hanya bertumpu pada penguatan
regulasi, tetapi juga pada pembentukan budaya integritas dan pengawasan
partisipatif dalam proses pengadaan.
6.1.
Reformasi Sistem
Pengadaan: Transparansi dan Digitalisasi
Langkah awal dan
paling mendasar dalam mencegah kolusi adalah dengan mereformasi sistem
pengadaan agar lebih transparan dan berbasis teknologi. Penerapan e-procurement
(pengadaan elektronik) telah terbukti mengurangi peluang intervensi manusia dan
mempersempit ruang kolusi dalam proses pengadaan1. Dengan sistem
seperti SPSE
(Sistem Pengadaan Secara Elektronik) yang dikelola oleh Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), informasi tender dapat diakses secara
terbuka oleh publik, termasuk dokumen pengumuman, evaluasi, dan pemenang tender2.
OECD menegaskan
bahwa transparansi dalam setiap tahap pengadaan—dari perencanaan hingga
pelaksanaan kontrak—merupakan prasyarat utama untuk mencegah kolusi dan bentuk
korupsi lainnya3.
6.2.
Penguatan Lembaga
Pengawas dan Aparat Penegak Hukum
Efektivitas
pencegahan kolusi juga bergantung pada kemampuan lembaga pengawas dan aparat hukum
untuk mendeteksi, menyelidiki, dan menindak pelaku secara tegas. Di Indonesia,
peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPKP, dan inspektorat internal harus
diperkuat melalui pelatihan khusus di bidang audit pengadaan, deteksi dini
kolusi, serta koordinasi antar lembaga4.
Penting pula untuk
memperluas ruang lingkup pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
termasuk audit forensik terhadap proyek-proyek strategis yang rawan manipulasi.
Tanpa dukungan lembaga pengawasan yang kuat dan independen, upaya memberantas
kolusi akan sulit mencapai akar masalahnya.
6.3.
Pengaturan dan
Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten
Penindakan hukum
terhadap pelaku kolusi harus bersifat tegas, konsisten, dan menyentuh
aktor-aktor kunci dalam jaringan kolusi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur
bahwa kolusi dalam pengadaan merupakan tindak pidana yang dapat dikenai hukuman
penjara dan denda berat5.
Namun demikian,
keberhasilan penegakan hukum juga sangat tergantung pada independensi aparat
penegak hukum dan integritas sistem peradilan. Jika penegakan hukum hanya
menyasar “pelaku teknis” tanpa menelusuri “aktor intelektual”
atau pemilik kekuasaan, maka efek jera tidak akan tercapai6.
6.4.
Penerapan Sanksi
Non-Hukum: Daftar Hitam dan Pemutusan Kontrak
Selain sanksi
pidana, pemerintah juga dapat menggunakan instrumen administratif untuk
mencegah pelaku kolusi berpartisipasi kembali dalam proses pengadaan. Salah
satunya adalah melalui sistem blacklist atau daftar hitam
terhadap penyedia jasa yang terbukti melakukan persekongkolan. LKPP memiliki
kewenangan untuk memasukkan perusahaan ke dalam daftar hitam nasional, yang
berlaku lintas kementerian dan lembaga7.
Sanksi administratif
lainnya termasuk pemutusan kontrak sepihak, pencabutan jaminan pelaksanaan,
serta pemblokiran akses sistem pengadaan elektronik. Langkah-langkah ini
efektif untuk mengurangi ruang gerak pelaku kolusi, terutama di sektor swasta.
6.5.
Pendidikan
Integritas dan Budaya Antikorupsi di Birokrasi
Reformasi birokrasi
yang hanya berbasis aturan formal tanpa transformasi budaya akan selalu
menyisakan celah untuk praktik kolusi. Oleh karena itu, pembinaan integritas
melalui pendidikan etika, pelatihan kode etik pengadaan, dan penanaman nilai-nilai
antikorupsi sejak dini perlu dilakukan secara berkelanjutan8.
KPK RI telah
mengembangkan program Pendidikan Antikorupsi yang
menyasar ASN dan pejabat publik untuk memperkuat kesadaran akan integritas dan
tanggung jawab dalam pelayanan publik. Program semacam ini penting untuk
menciptakan ekosistem birokrasi yang menolak kolusi secara internal.
6.6.
Partisipasi
Masyarakat Sipil dan Media dalam Pengawasan
Peran masyarakat
sipil, media, dan organisasi pemantau independen sangat strategis dalam
mencegah kolusi. Akses publik terhadap data pengadaan, hasil audit, dan
evaluasi proyek dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga seperti Indonesia
Corruption Watch (ICW) atau LSM daerah untuk mengawasi dan melaporkan dugaan
kolusi9.
Kebijakan Open
Contracting yang dikembangkan secara global mendorong keterbukaan
data pengadaan sebagai sarana untuk partisipasi publik yang bermakna. Semakin
banyak mata yang mengawasi, semakin kecil kemungkinan kolusi dapat berlangsung
tanpa terdeteksi10.
Footnotes
[1]
OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris:
OECD Publishing, 2016), 18–21.
[2]
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), “Sistem
Pengadaan Secara Elektronik (SPSE),” https://lpse.lkpp.go.id,
diakses 8 Juli 2025.
[3]
OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z,
(Paris: OECD Publishing, 2007), 36.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Penguatan Pengawasan
Internal Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta: KPK RI, 2019), 11–13.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 12i.
[6]
Rose-Ackerman, Susan, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 174–176.
[7]
LKPP, Peraturan Kepala LKPP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sanksi
Daftar Hitam dalam Pengadaan Barang/Jasa, (Jakarta: LKPP), Pasal 3.
[8]
Transparency International, Fighting Corruption in Public
Procurement, (Berlin: TI, 2018), 23–24.
[9]
Indonesia Corruption Watch (ICW), “Panduan Pemantauan Pengadaan oleh
Masyarakat,” Modul Pemantauan ICW, 2020, https://antikorupsi.org.
[10]
Open Contracting Partnership, Global Principles for Open Contracting,
(Washington, D.C.: OCP, 2015), 3.
7.
Tinjauan Hukum dan Regulasi Terkait Kolusi
Kolusi dalam
pengadaan publik merupakan bentuk korupsi yang secara eksplisit dilarang dalam
berbagai regulasi nasional maupun konvensi internasional. Di Indonesia, praktik
kolusi telah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena
mencederai integritas pelayanan publik, merugikan keuangan negara, serta mengganggu
prinsip persaingan usaha yang sehat. Selain itu, pengaturan tentang kolusi juga
tercantum dalam berbagai peraturan pengadaan barang/ jasa dan ketentuan
antimonopoli yang berlaku.
7.1.
Pengaturan dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Landasan hukum utama
terkait kolusi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam Pasal 12i, disebutkan secara
tegas:
“Setiap orang yang melakukan persekongkolan
jahat untuk memenangkan peserta tertentu dalam proses pengadaan barang dan
jasa, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
serta denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00.”1
Ketentuan ini
menegaskan bahwa kolusi dalam proses pengadaan bukan hanya pelanggaran
administratif, tetapi termasuk tindak pidana berat yang memiliki ancaman pidana
yang tinggi.
7.2.
Aturan dalam
Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa
Kolusi juga dilarang
secara tegas dalam peraturan teknis pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama
dalam:
·
Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya (Perpres No. 12 Tahun 2021).
·
Peraturan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor
12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan.
Dalam Pasal 7
ayat (1) Perpres No. 16/2018, disebutkan bahwa pengadaan
barang/jasa harus dilakukan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka,
bersaing, adil, dan akuntabel. Praktik kolusi jelas melanggar
prinsip-prinsip ini, terutama prinsip keterbukaan dan persaingan.
Sementara itu,
Peraturan LKPP juga memuat larangan bagi penyedia untuk melakukan
persekongkolan, baik antar-penyedia (horizontal collusion) maupun antara
penyedia dan panitia pengadaan (vertical collusion). Pelanggaran ini dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar hitam nasional (blacklist)2.
7.3.
Pengaturan dalam
Hukum Persaingan Usaha (Antimonopoli)
Selain merupakan
tindak pidana korupsi, kolusi juga merupakan pelanggaran hukum persaingan usaha
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 22,
disebutkan:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pelaku usaha lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”3
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kewenangan untuk menyelidiki, memeriksa, dan
menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terlibat dalam praktik kolusi
tender. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa denda administratif hingga
pembatalan hasil tender.
7.4.
Tinjauan dalam
Konvensi dan Standar Internasional
Indonesia telah
meratifikasi United Nations Convention against Corruption
(UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Dalam konvensi tersebut, kolusi dikategorikan sebagai bagian dari tindakan corruption
and fraud in public procurement yang wajib dicegah dan ditindak
tegas oleh negara peserta.
UNCAC
menggarisbawahi pentingnya:
·
Transparansi proses
pengadaan;
·
Sistem pengawasan dan audit
yang efektif;
·
Mekanisme pelaporan publik;
·
Perlindungan terhadap pelapor
(whistleblowers)4.
Lebih lanjut,
standar internasional seperti yang dikeluarkan oleh OECD
dan World
Bank juga mendorong reformasi pengadaan berbasis risiko dan
pengawasan teknologi untuk meminimalisasi kolusi dalam proyek-proyek publik5.
7.5.
Mekanisme Penegakan
dan Sanksi
Mekanisme penegakan
terhadap praktik kolusi dapat dilakukan melalui jalur:
·
Pidana,
oleh KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian;
·
Administratif,
oleh LKPP dan kementerian/lembaga terkait (melalui blacklist dan pembatalan
kontrak);
·
Persaingan
usaha, oleh KPPU.
Namun demikian,
berbagai studi menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap kolusi seringkali
terkendala oleh minimnya bukti langsung, sifat
praktiknya yang rahasia dan kolektif, serta
adanya benturan
kepentingan di antara pelaku dan aparat penegak6.
Untuk itu, perlu
integrasi lintas sektor antara lembaga hukum, auditor negara, serta partisipasi
publik untuk memperkuat efektivitas penegakan hukum terhadap kolusi.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 12i.
[2]
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Peraturan
LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
(Jakarta: LKPP, 2021), Pasal 56–58.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22.
[4]
United Nations, United Nations Convention against Corruption,
General Assembly Resolution 58/4, 31 Oktober 2003, Articles 9 and 13.
[5]
World Bank, Fraud and Corruption Awareness Handbook for Civil
Servants Involved in Public Procurement, (Washington, D.C.: World Bank
Group, 2013), 17–21.
[6]
OECD, Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z,
(Paris: OECD Publishing, 2007), 65–67.
8.
Penutup
Kolusi dalam
pengadaan publik merupakan bentuk korupsi yang sangat merusak, karena bukan
hanya menyelewengkan keuangan negara, tetapi juga melemahkan pilar-pilar tata
kelola pemerintahan yang baik, kepercayaan publik, dan prinsip keadilan dalam
persaingan usaha. Kajian ini menunjukkan bahwa kolusi tidak hanya terjadi
karena niat individu yang menyimpang, melainkan merupakan hasil dari interaksi
sistemik antara kelemahan kelembagaan, ketidakjelasan regulasi, rendahnya
integritas birokrasi, dan minimnya pengawasan partisipatif.
Praktik kesepakatan
rahasia antara pejabat publik dan pihak swasta dalam proses pengadaan
menunjukkan adanya pergeseran fungsi pengadaan dari yang seharusnya melayani
kepentingan publik menjadi alat untuk mengejar keuntungan kelompok atau
individu tertentu. Proses ini berjalan melalui rekayasa dokumen tender,
manipulasi evaluasi, penyuapan terselubung, hingga pengaturan hasil proyek yang
tidak berpihak pada kualitas maupun efisiensi1.
Penanggulangan
terhadap kolusi tidak dapat dilakukan secara parsial. Sebaliknya, ia
membutuhkan pendekatan komprehensif yang menyentuh aspek hukum, kelembagaan,
budaya birokrasi, serta kesadaran publik. Upaya pencegahan melalui digitalisasi
sistem pengadaan, penguatan lembaga pengawas, penerapan sanksi yang tegas,
serta keterlibatan aktif masyarakat sipil dan media harus menjadi bagian dari
strategi nasional pemberantasan korupsi2.
Khususnya dalam
konteks Indonesia, reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah harus terus
diarahkan pada penguatan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi
sehat. Lembaga seperti LKPP, KPK, dan BPK memiliki peran kunci dalam memastikan
bahwa seluruh proses pengadaan terbebas dari pengaruh intervensi politik dan persekongkolan
bisnis birokrasi. Di samping itu, penegakan hukum atas pelaku kolusi harus
menyentuh aktor utama, bukan hanya operator teknis, agar efek jera benar-benar
tercipta3.
Sebagaimana
ditekankan oleh Rose-Ackerman, keberhasilan melawan korupsi dan kolusi tidak
hanya bergantung pada sanksi hukum, tetapi juga pada kemauan politik, tekanan
masyarakat sipil, dan reformasi sistem yang mendorong perilaku jujur sebagai
norma yang dihargai dan dilindungi4. Dalam jangka panjang, penguatan
integritas dalam sistem pengadaan bukan hanya soal memperbaiki mekanisme
lelang, melainkan tentang membangun public trust yang kokoh dan negara
yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Oleh karena itu,
tantangan terbesar dalam pemberantasan kolusi bukan hanya menemukan pelakunya,
tetapi membongkar struktur yang menopang praktik tersebut dan menggantinya
dengan sistem yang mendorong transparansi, etika, dan keadilan.
Footnotes
[1]
Transparency International, Corruption in Public Procurement: Risks
and Reform Policies, (Berlin: TI, 2006), 12–15.
[2]
OECD, Preventing Corruption in Public Procurement, (Paris:
OECD Publishing, 2016), 6–9.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kajian Sistem Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah, (Jakarta: KPK RI, 2019), 27–31.
[4]
Susan Rose-Ackerman dan Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge
University Press, 2016), 344–345.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., &
Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Pemilu, klientelisme, dan negara
di Indonesia. Yogyakarta: PolGov UGM & Marjin Kiri.
Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. (2023). Ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun
2023. Jakarta: BPK RI.
Indonesia Corruption Watch.
(2020). Panduan pemantauan pengadaan oleh masyarakat. Retrieved from https://antikorupsi.org
Indonesia Corruption Watch.
(2021). Mangkraknya proyek infrastruktur karena korupsi: Laporan
investigasi ICW 2021. Retrieved from https://antikorupsi.org
Indonesia Corruption Watch.
(2021). Modus kolusi tender dan peran konsultan. Retrieved from https://antikorupsi.org
Klitgaard, R. (1988). Controlling
corruption. Berkeley, CA: University of California Press.
Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia. (2017). Kajian sistem pengadaan barang/jasa
pemerintah. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia. (2018). Kajian pengadaan infrastruktur di
daerah tertinggal dan terluar. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia. (2019). Kajian penguatan pengawasan internal
pengadaan barang dan jasa. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia. (2020). Laporan tahunan 2020: Evaluasi kontrak
dan kerugian negara. Jakarta: KPK RI.
Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. (2018). Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: LKPP.
Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. (2021). Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang
Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: LKPP.
Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. (2021). Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
Retrieved from https://lpse.lkpp.go.id
OECD. (2005). Hard core
cartels: Third report on the implementation of the 1998 recommendation.
Paris: OECD Publishing.
OECD. (2007). Integrity
in public procurement: Good practice from A to Z. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2009). Guidelines
for fighting bid rigging in public procurement. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2016). Preventing
corruption in public procurement. Paris: OECD Publishing.
Open Contracting
Partnership. (2015). Global principles for open contracting.
Washington, D.C.: OCP.
Republic of Indonesia.
(1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Republic of Indonesia.
(1999). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption
and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). New York, NY:
Cambridge University Press.
Transparency International.
(2005). Global corruption report 2005: Corruption in construction.
London: Pluto Press.
Transparency International.
(2006). Corruption in public procurement: Risks and reform policies.
Berlin: Transparency International.
Transparency International.
(2018). Fighting corruption in public procurement. Berlin:
Transparency International.
United Nations. (2003). United
Nations Convention against Corruption (UNCAC). New York, NY: United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).
World Bank. (2013). Fraud
and corruption awareness handbook for civil servants involved in public
procurement. Washington, D.C.: World Bank Group.
World Bank. (2020). Enhancing
government effectiveness and transparency: The fight against corruption.
Washington, D.C.: World Bank Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar