Penggelapan dan Pencucian Uang
Kajian Kritis terhadap Modus Korupsi dan Dampaknya
terhadap Tata Kelola Pemerintahan dan Sektor Privat
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fenomena
penggelapan dan pencucian uang sebagai bentuk korupsi sistemik yang berdampak
luas terhadap tata kelola pemerintahan dan sektor privat. Penggelapan terjadi
ketika pelaku menyalahgunakan wewenang untuk mengalihkan dana publik secara
ilegal, sementara pencucian uang dilakukan untuk menyamarkan asal-usul dana
tersebut agar tampak sah. Melalui pendekatan multidisipliner, artikel ini
menguraikan jenis dan modus operandi, faktor penyebab struktural dan
psikologis, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi, legitimasi politik,
dan integritas lembaga. Artikel ini juga mengkaji regulasi nasional dan
internasional yang telah diberlakukan, serta menyoroti tantangan aktual seperti
resistensi politik, keterbatasan teknologi forensik keuangan, dan ketimpangan
kerja sama lintas negara. Kajian kritis menunjukkan bahwa penanganan terhadap
kejahatan ini tidak cukup dengan pendekatan hukum formalistik, tetapi
membutuhkan pembenahan kelembagaan, reformasi politik, serta partisipasi aktif
masyarakat. Melalui analisis berbasis data dan sumber akademik kredibel,
artikel ini menawarkan landasan argumentatif untuk menyusun strategi
pemberantasan korupsi yang lebih sistemik dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Korupsi; Penggelapan; Pencucian Uang; Tata Kelola;
Antikorupsi; Hukum Keuangan; Transparansi; FATF; PPATK; Asset Recovery.
PEMBAHASAN
Penggelapan dan Pencucian Uang (Embezzlement and Money Laundering)
1.
Pendahuluan
Korupsi merupakan
salah satu persoalan sistemik yang mengancam stabilitas dan kemajuan
sosial-ekonomi di berbagai negara, baik berkembang maupun maju. Di antara
berbagai bentuk korupsi yang dikategorikan oleh lembaga internasional seperti
World Bank dan Transparency International, penggelapan (embezzlement) dan pencucian
uang (money laundering) menjadi dua modus yang sangat kompleks
dan berdampak luas karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, penyamaran aset
ilegal, serta pelanggaran terhadap sistem keuangan domestik maupun global.
Penggelapan
secara umum dipahami sebagai bentuk korupsi di mana seseorang yang diberi
kepercayaan atas aset publik atau perusahaan secara ilegal mengalihkan aset
tersebut untuk keuntungan pribadi. Sedangkan pencucian uang merujuk pada
proses menyamarkan asal usul uang yang diperoleh dari kejahatan agar tampak sah
di mata hukum dan sistem keuangan formal. Kedua praktik ini saling berkaitan
dan sering kali berlangsung secara simultan—dana hasil penggelapan kerap
dikaburkan melalui mekanisme pencucian uang agar dapat digunakan tanpa
terdeteksi aparat penegak hukum1.
Fenomena ini telah
menimbulkan konsekuensi serius bagi integritas tata kelola pemerintahan dan
sektor privat. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC), praktik pencucian uang mengakibatkan hilangnya
kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan negara, serta dapat merusak
stabilitas politik dan ekonomi nasional2. Sementara itu, World
Bank menyatakan bahwa penggelapan dana publik, khususnya di
negara berkembang, berdampak langsung pada terhambatnya penyediaan layanan
dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur3.
Di Indonesia,
korupsi melalui mekanisme penggelapan dan pencucian uang terus menjadi
tantangan besar. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW)
menyebut bahwa banyak kasus yang melibatkan pejabat publik berujung pada
penelusuran aliran dana ke rekening pribadi maupun offshore accounts yang sulit
dilacak4. Meskipun telah diterbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU),
serta didukung oleh kerja KPK dan PPATK, efektivitas pengawasan dan penegakan
hukum masih menghadapi banyak kendala struktural dan teknis.
Pentingnya membahas
isu ini secara mendalam bukan hanya sebagai kajian normatif, tetapi juga
sebagai upaya untuk menganalisis akar persoalan, modus operandi, serta dampak
jangka panjang yang ditimbulkan. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan muncul
kesadaran kolektif untuk memperkuat integritas publik, akuntabilitas
kelembagaan, serta resistensi terhadap infiltrasi keuangan ilegal dalam sistem
negara.
Footnotes
[1]
United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.
[2]
UNODC, Effects of Money
Laundering on Economic Development,
2011, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/globalization.html.
[3]
World Bank, Helping Countries
Combat Corruption: The Role of the World Bank, 1997, https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/211381468765285964/helping-countries-combat-corruption-the-role-of-the-world-bank.
[4]
Indonesia
Corruption Watch (ICW), Tren Penindakan Kasus
Korupsi Tahun 2022, diakses 5 Juli
2025, https://antikorupsi.org/id/article/ringkasan-laporan-penindakan-kasus-korupsi-2022.
2.
Definisi dan Karakteristik Umum
Dalam kerangka
kajian antikorupsi global, penggelapan (embezzlement) dan pencucian
uang (money laundering) dipandang sebagai bentuk kejahatan
kerah putih (white collar crime) yang merusak sistem keuangan dan tata kelola
pemerintahan dari dalam. Kedua tindak pidana ini sering berlangsung beriringan
dan menjadi bagian dari siklus korupsi yang sulit dilacak tanpa dukungan sistem
pengawasan keuangan yang kuat dan lintas negara.
2.1.
Definisi Penggelapan
(Embezzlement)
Menurut World
Bank, penggelapan adalah penyalahgunaan sumber daya publik atau
perusahaan oleh individu yang diberi kepercayaan untuk mengelolanya, untuk
keuntungan pribadi yang bersifat ilegal1. Berbeda dengan pencurian
(theft), penggelapan dilakukan oleh orang yang secara legal memiliki akses
terhadap aset tersebut, namun menyalahgunakannya di luar batas wewenang yang
diberikan.
Secara yuridis, United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mendefinisikan
penggelapan sebagai “the misappropriation or embezzlement of property or
funds entrusted to someone’s care but owned by someone else, particularly in
the public sector”2. Dalam konteks Indonesia, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 372 dan Pasal 374
mengatur tindak pidana penggelapan, sementara dalam konteks korupsi, UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa setiap
penyelenggara negara yang dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara,
termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi3.
2.2.
Definisi Pencucian
Uang (Money Laundering)
Pencucian uang
adalah proses yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan
asal-usul dana yang diperoleh secara ilegal agar terlihat sah secara hukum dan
administratif. Menurut definisi Financial Action Task Force (FATF),
pencucian uang adalah tindakan yang meliputi konversi, pengalihan, penyembunyian,
dan penggunaan hasil kejahatan untuk menyamarkan asal usul dana tersebut4.
UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
mengartikan TPPU sebagai “tindak pidana yang dilakukan dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil tindak pidana”5. Proses pencucian uang umumnya dibagi
menjadi tiga tahap: (1) placement – memasukkan dana
ilegal ke dalam sistem keuangan, (2) layering – memisahkan dana dari
sumber ilegal melalui transaksi kompleks, dan (3) integration
– menggabungkan dana kembali ke dalam ekonomi riil dalam bentuk yang tampak sah6.
2.3.
Karakteristik Umum
Baik penggelapan
maupun pencucian uang memiliki karakteristik yang khas, yaitu:
·
Dilakukan secara
sistematis dan terencana, sering kali melibatkan lebih dari satu aktor
(individual maupun institusi).
·
Mengandalkan celah
regulasi dan lemahnya sistem pengawasan, terutama di negara-negara
dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi7.
·
Memanfaatkan
teknologi dan infrastruktur keuangan modern, seperti transaksi lintas
negara, penggunaan perusahaan cangkang (shell companies), atau aset kripto
untuk menyamarkan aliran dana8.
·
Bersifat lintas
sektor dan lintas yurisdiksi, sehingga penanganannya membutuhkan kerja
sama internasional.
Dengan demikian,
memahami secara jelas definisi dan karakteristik dari kedua bentuk kejahatan
ini menjadi dasar penting dalam merumuskan strategi penanggulangan yang
komprehensif dan terintegrasi.
Footnotes
[1]
World Bank, Helping Countries
Combat Corruption: The Role of the World Bank, 1997, https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/211381468765285964/helping-countries-combat-corruption-the-role-of-the-world-bank.
[2]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Corruption and Economic Crime, 2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/index.html.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
[4]
Financial Action Task Force (FATF), International
Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism &
Proliferation, 2012 (updated 2023), https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Fatfrecommendations.html.
[5]
Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
[6]
UNODC, An Introduction to
Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.
[7]
Transparency International, Corruption
Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[8]
Basel Institute on Governance, Basel
AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.
3.
Modus Operandi dan Skema Kejahatan
Penggelapan dan
pencucian uang bukanlah tindak kejahatan yang bersifat kasuistik atau sporadis,
melainkan berlangsung secara sistemik, terstruktur, dan sering kali melibatkan
berbagai aktor dari sektor publik maupun privat. Kedua bentuk korupsi ini
umumnya dilakukan secara tersembunyi melalui berbagai modus dan skema yang
sulit dilacak, terlebih dalam sistem keuangan yang longgar pengawasannya.
Bagian ini membahas bagaimana penggelapan dan pencucian uang berlangsung,
dimulai dari pola dasar, tahapan, hingga contoh nyata kasus-kasus yang pernah
terjadi.
3.1.
Skema Penggelapan
Dana
Penggelapan
(embezzlement) biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki akses
legal terhadap aset organisasi atau negara, namun dengan
sengaja mengalihkan atau menyalahgunakan aset tersebut untuk kepentingan
pribadi. Modus yang sering digunakan antara lain:
1)
Manipulasi Pembukuan
Mengubah data keuangan agar selisih dana tidak
terdeteksi auditor. Hal ini sering terjadi dalam institusi pemerintahan daerah
dan BUMN.
2)
Rekayasa Proyek Fiktif
Menciptakan proyek atau pengadaan barang yang
tidak pernah direalisasikan, namun dananya tetap dicairkan.
3)
Pencairan Dana Ganda
Menggandakan pengajuan dana operasional atau
kegiatan dengan dokumen palsu.
4)
Transfer Dana ke Rekening
Pribadi atau Proxy
Dana yang semestinya masuk ke kas negara atau
perusahaan dialihkan ke rekening milik pelaku atau kerabat dekat.
Menurut Transparency
International, penggelapan ini menjadi bentuk korupsi yang paling sulit
dideteksi secara langsung karena tersamar dalam sistem administratif yang legal
secara bentuk, namun ilegal secara substansi1.
3.2.
Skema Pencucian Uang
(Money Laundering)
Setelah dana hasil
penggelapan diperoleh, pelaku korupsi umumnya akan melakukan pencucian uang
untuk menyamarkan asal usul dana tersebut agar tampak legal. Proses pencucian
uang berlangsung dalam tiga tahapan utama:
1)
Placement (Penempatan)
Dana ilegal dimasukkan ke dalam sistem keuangan
formal, misalnya melalui setoran tunai dalam jumlah kecil ke berbagai rekening
bank, pembelian barang mewah, atau investasi awal dalam bisnis kecil2.
2)
Layering (Pelapisan)
Dana tersebut kemudian diputar melalui
serangkaian transaksi finansial yang kompleks—seperti transfer antar rekening,
konversi mata uang, pembelian aset kripto, atau penggunaan perusahaan cangkang
(shell companies)—untuk mengaburkan jejak asal-usul dana3.
3)
Integration (Integrasi)
Pada tahap akhir, dana yang sudah “bersih” akan
dimasukkan kembali ke dalam ekonomi formal, contohnya melalui pembelian
properti, saham, kendaraan mewah, atau kegiatan bisnis yang sah di atas kertas4.
Modus seperti ini
sangat efektif menghindari deteksi, terutama jika dilakukan lintas yurisdiksi
dengan melibatkan negara-negara suaka pajak (tax havens), bank lepas pantai
(offshore banking), dan sistem keuangan berbasis anonim.
3.3.
Studi Kasus:
Indonesia dan Dunia
3.3.1.
Kasus Korupsi BLBI –
Indonesia
Kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi contoh klasik penggelapan dan
pencucian uang berskala besar di Indonesia. Beberapa obligor yang menerima dana
BLBI senilai ratusan triliun rupiah, terbukti mengalihkan dana tersebut untuk
kepentingan pribadi dan perusahaan lain yang tidak terkait, serta menyimpannya
di luar negeri. Meski ada upaya penegakan hukum, pelacakan dana menghadapi
kesulitan karena kompleksitas skema pencucian uang yang digunakan5.
3.3.2.
Kasus 1MDB –
Malaysia
Skandal 1Malaysia
Development Berhad (1MDB) mengilustrasikan bagaimana dana negara digelapkan
melalui proyek-proyek fiktif dan dialihkan ke rekening pribadi para pejabat
tinggi. Dana tersebut kemudian dicuci dengan membeli properti mewah di Amerika
Serikat dan karya seni bernilai tinggi. Laporan investigatif menyebut
keterlibatan bank internasional besar dan perusahaan cangkang dalam skema ini6.
Footnotes
[1]
Transparency International, Global
Corruption Report 2004: Political Corruption, (London: Pluto Press, 2004), 122–127.
[2]
United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.
[3]
Basel Institute on Governance, Basel
AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.
[4]
Financial Action Task Force (FATF), Best
Practices on Beneficial Ownership for Legal Persons, 2022, https://www.fatf-gafi.org.
[5]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan
Investigasi Skandal BLBI, 2020, https://antikorupsi.org.
[6]
The
Wall Street Journal, “How Malaysia’s 1MDB Scandal Shook the Financial World,” WSJ, July 2016, https://www.wsj.com/articles/how-malaysias-1mdb-scandal-shook-the-financial-world-1468856121.
4.
Faktor Penyebab dan Pemicu
Penggelapan dan
pencucian uang bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi merupakan gejala dari
kompleksitas krisis tata kelola, lemahnya sistem pengawasan, dan distorsi nilai
dalam struktur sosial dan kelembagaan. Tindak pidana ini sering kali tumbuh
subur di lingkungan yang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan,
ketimpangan ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum. Secara umum, faktor-faktor
penyebab dan pemicu kejahatan penggelapan dan pencucian uang dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: struktural, kelembagaan,
individu, dan global.
4.1.
Faktor Struktural
dan Sistemik
Salah satu penyebab
utama maraknya penggelapan dan pencucian uang adalah struktur
kelembagaan yang lemah, terutama di negara-negara berkembang.
Ketiadaan sistem pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan
keuangan negara mendorong peluang terjadinya korupsi. Menurut laporan World
Bank, sistem administrasi publik yang tidak efisien, tumpang
tindih regulasi, dan rendahnya transparansi anggaran menciptakan celah besar
bagi praktik korupsi, termasuk penggelapan dana publik1.
Indeks
Persepsi Korupsi (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency
International juga menunjukkan korelasi langsung antara
tingginya tingkat korupsi dan lemahnya rule of law dalam suatu negara2.
Negara-negara dengan sistem pengadilan yang tidak independen, rendahnya
akuntabilitas pejabat publik, serta dominasi kekuasaan eksekutif terhadap
lembaga kontrol sangat rentan terhadap praktik penggelapan dan pencucian uang.
4.2.
Faktor Kelembagaan
dan Regulasi
Lemahnya perangkat
hukum dan regulasi dalam mengawasi transaksi keuangan serta mendeteksi aliran
dana ilegal merupakan penyebab dominan dari berkembangnya skema pencucian uang.
Menurut Financial Action Task Force (FATF),
banyak negara masih menghadapi tantangan dalam:
·
Mengidentifikasi beneficial
ownership (pemilik manfaat sesungguhnya) dari perusahaan.
·
Melacak transaksi lintas
batas.
·
Mengatur penggunaan
teknologi finansial baru (termasuk aset kripto)3.
Selain itu,
keterbatasan koordinasi antar lembaga penegak hukum dan badan keuangan juga memperbesar
risiko kegagalan deteksi dini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dalam laporan tahunannya menyoroti bahwa masih terdapat
kesenjangan informasi antara bank, perusahaan, dan aparat penegak hukum dalam
mengungkap aliran dana mencurigakan di Indonesia4.
4.3.
Faktor Individu dan
Psikologis
Dari sisi pelaku,
penggelapan dan pencucian uang sering kali dipicu oleh motivasi
pribadi seperti keserakahan, gaya hidup konsumtif, atau tekanan
sosial. Teori Fraud Triangle yang dikemukakan
oleh Donald R. Cressey menyatakan bahwa kejahatan kerah putih muncul dari tiga
elemen utama: (1) tekanan (pressure), (2) kesempatan
(opportunity), dan (3) rasionalisasi (rationalization)5.
Pelaku merasa memiliki kesempatan karena posisi atau jabatannya memberi akses
pada aset publik; tekanan muncul dari kebutuhan finansial atau ambisi pribadi;
dan mereka merasionalisasi tindakan tersebut sebagai sesuatu yang “lumrah”
dalam sistem yang korup.
4.4.
Faktor Eksternal dan
Global
Dalam era
globalisasi, transaksi keuangan menjadi lintas batas dan bersifat anonim
melalui berbagai instrumen keuangan modern. Hal ini dimanfaatkan pelaku
kejahatan untuk memindahkan, menyamarkan, dan menyimpan dana hasil korupsi ke
luar negeri—terutama ke negara-negara suaka pajak atau melalui sistem perbankan
offshore. Laporan Basel Institute on Governance menunjukkan
bahwa sistem keuangan global yang tidak transparan, termasuk keberadaan perusahaan
cangkang (shell companies) dan yurisdiksi non-kooperatif, menjadi
penghambat utama dalam pemberantasan pencucian uang secara internasional6.
Kasus Panama Papers
dan Pandora Papers membuktikan bahwa jutaan dolar hasil penggelapan dapat
dengan mudah disamarkan melalui konsultan keuangan, bank internasional, dan
sistem perizinan bisnis di negara-negara berisiko tinggi7.
Kesimpulan Sementara
Penggelapan dan
pencucian uang tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia bertumbuh dalam sistem yang
cacat—baik pada level institusi, individu, maupun lingkungan global. Untuk
memahami dan mengatasinya secara efektif, perlu pendekatan multidisipliner yang
tidak hanya menekankan aspek hukum, tetapi juga mencakup tata kelola,
teknologi, dan budaya organisasi.
Footnotes
[1]
World Bank, Combating Corruption:
Improving Governance and Accountability,
2020, https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption.
[2]
Transparency International, Corruption
Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[3]
Financial Action Task Force (FATF), Virtual
Assets and Virtual Asset Service Providers, 2023, https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Fatfrecommendations.
[4]
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Laporan Tahunan 2022,
https://www.ppatk.go.id.
[5]
Donald R. Cressey, Other People’s Money: A
Study in the Social Psychology of Embezzlement (New York: Free Press, 1953).
[6]
Basel Institute on Governance, Basel
AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.
[7]
International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), Pandora Papers Investigation, 2021, https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/.
5.
Dampak terhadap Negara dan Masyarakat
Tindak pidana
penggelapan dan pencucian uang membawa konsekuensi multidimensional yang
bersifat destruktif terhadap struktur negara, sistem pemerintahan, stabilitas
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dampaknya tidak hanya terlihat pada
hilangnya aset keuangan, tetapi juga terhadap melemahnya kepercayaan publik,
kerusakan institusional, dan terkikisnya supremasi hukum. Kejahatan ini bekerja
secara senyap, namun dampaknya bersifat sistemik dan berjangka panjang.
5.1.
Dampak Ekonomi:
Kebocoran Anggaran dan Distorsi Pasar
Salah satu dampak
paling nyata dari penggelapan dan pencucian uang adalah kebocoran
anggaran negara yang menghambat realisasi pembangunan dan
pelayanan publik. Menurut estimasi United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC), negara-negara berkembang kehilangan sekitar US$1
triliun per tahun akibat korupsi dan pengalihan dana publik ke
luar negeri melalui praktik pencucian uang1. Dana tersebut
seharusnya dapat dialokasikan untuk membiayai sektor-sektor strategis seperti
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Selain itu, pencucian
uang merusak integritas sistem pasar, menciptakan distorsi
dalam kompetisi bisnis, dan memicu inflasi sektor riil akibat masuknya dana
“kotor” dalam bentuk investasi palsu atau spekulatif2. Financial
Action Task Force (FATF) mencatat bahwa masuknya dana hasil
kejahatan ke dalam pasar dapat mengganggu mekanisme harga, menyingkirkan pelaku
usaha yang legal, serta menciptakan ketidakadilan dalam persaingan ekonomi3.
5.2.
Dampak Sosial:
Ketimpangan dan Erosi Kepercayaan Publik
Penggelapan dana
publik berdampak langsung pada meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi,
karena anggaran yang semestinya digunakan untuk memperkuat layanan dasar justru
dialihkan untuk memperkaya segelintir elite. Kondisi ini memperdalam jurang
antara warga negara dan penyelenggara negara. Menurut Transparency
International, korupsi yang dilakukan melalui mekanisme
penggelapan menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi
pemerintahan, khususnya lembaga keuangan dan penegak hukum4.
Erosi kepercayaan
publik ini memiliki efek domino terhadap demokrasi dan stabilitas sosial.
Ketika masyarakat melihat bahwa aparat hukum tidak mampu menindak pelaku
kejahatan keuangan, atau ketika pelaku pencucian uang hidup mewah tanpa
tersentuh hukum, maka legitimasi negara akan melemah dan potensi radikalisasi
sosial meningkat5.
5.3.
Dampak terhadap Tata
Kelola Pemerintahan
Dampak lain yang
sangat serius adalah pada dimensi governance atau tata kelola
pemerintahan. Penggelapan dan pencucian uang merusak prinsip-prinsip dasar
pemerintahan yang baik: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan
supremasi hukum. Menurut laporan World
Bank, negara dengan tingkat penggelapan dan pencucian uang yang
tinggi cenderung memiliki sistem birokrasi yang korup, ketidakpastian hukum,
serta penyalahgunaan kewenangan pejabat publik6.
Kejahatan ini juga
melemahkan kapasitas fiskal negara, mengingat sebagian besar pendapatan negara
“bocor” melalui saluran ilegal dan tidak dapat digunakan untuk pembiayaan
program nasional. Akibatnya, negara menjadi lebih tergantung pada utang luar
negeri, yang berpotensi memperparah ketergantungan struktural dan melemahkan
kedaulatan fiskal.
5.4.
Dampak terhadap
Sektor Privat dan Investasi
Dalam sektor swasta,
pencucian uang menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Pelaku bisnis yang
menggunakan dana hasil kejahatan dapat menciptakan monopoli
atau oligopoli palsu, mengakuisisi perusahaan legal, atau
melakukan praktik merger yang merugikan pesaing sehat. OECD
menekankan bahwa pencucian uang berdampak langsung pada reputasi
sektor keuangan, sehingga investor sah menjadi ragu untuk berinvestasi
di negara yang dianggap lemah dalam pengawasan transaksi keuangan7.
Lebih jauh,
lembaga-lembaga keuangan dapat dikenai sanksi internasional apabila terbukti
membiarkan dana hasil penggelapan masuk ke dalam sistem mereka, sebagaimana
terjadi pada beberapa bank besar dunia yang harus membayar denda miliaran dolar
karena terlibat dalam kasus pencucian uang lintas negara8.
Kesimpulan Sementara
Dampak penggelapan
dan pencucian uang jauh melampaui angka nominal kerugian keuangan. Ia mengancam
tatanan ekonomi nasional, memperdalam ketidakadilan sosial, merusak institusi
negara, dan menciptakan ketidakstabilan yang kronis. Oleh karena itu,
penanganan terhadap kejahatan ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi
menyangkut pembenahan total atas sistem pemerintahan dan keuangan negara.
Footnotes
[1]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Cost of Corruption,
2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html.
[2]
Peter Reuter and Edwin M. Truman, Chasing
Dirty Money: The Fight Against Money Laundering (Washington, D.C.: Peterson Institute for
International Economics, 2004), 35–42.
[3]
Financial Action Task Force (FATF), Money
Laundering Risks Arising from Trafficking in Human Beings and Smuggling of
Migrants, 2018, https://www.fatf-gafi.org.
[4]
Transparency International, Corruption
Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[5]
Bo Rothstein, The Quality of
Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International
Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 101–112.
[6]
World Bank, Worldwide Governance
Indicators, 2022, https://info.worldbank.org/governance/wgi/.
[7]
OECD, Illicit Financial Flows
from Developing Countries: Measuring OECD Responses, 2014, https://www.oecd.org/corruption/Illicit-Financial-Flows-from-Developing-Countries.pdf.
[8]
U.S.
Department of Justice, HSBC Holdings Plc.
Deferred Prosecution Agreement,
2012, https://www.justice.gov/opa/pr/hsbc-holdings-plc-and-hsbc-bank-usa-na-admit-anti-money-laundering-and-sanctions.
6.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Penggelapan dan
pencucian uang merupakan tindak pidana yang bersifat kompleks, lintas sektor,
dan lintas batas negara. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan
penanggulangannya memerlukan pendekatan multilevel dan multisektor,
mencakup reformasi hukum, penguatan institusi, partisipasi masyarakat, serta
kerja sama internasional. Strategi yang efektif tidak hanya menindak pelaku,
tetapi juga mencegah kondisi yang memungkinkan kejahatan tersebut terjadi dan
berkembang.
6.1.
Kerangka Hukum
Nasional dan Internasional
6.1.1.
Regulasi di
Indonesia
Indonesia telah
memiliki beberapa regulasi utama untuk mencegah dan memberantas penggelapan
serta pencucian uang, di antaranya:
·
Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang mengatur sanksi terhadap penyelenggara negara yang
menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi.
·
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU), yang memperluas kewenangan penegak hukum dalam
pelacakan aset, pemblokiran rekening, dan penyitaan harta hasil kejahatan1.
Selain itu, lembaga
seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
PPATK
(Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dan Kejaksaan
Agung memiliki mandat strategis dalam penanganan kasus korupsi
yang melibatkan penggelapan dan TPPU.
6.1.2.
Kerangka Internasional
Pada tingkat global,
Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi penting, termasuk:
·
United Nations
Convention against Corruption (UNCAC), yang menekankan kerja sama
antarnegara dalam penegakan hukum, pengembalian aset, dan harmonisasi regulasi.
·
Financial Action
Task Force (FATF) Recommendations, yang memberikan standar
internasional untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk
prinsip pengungkapan beneficial ownership,
pelaporan transaksi mencurigakan, dan due diligence terhadap nasabah bank2.
Indonesia juga
tergabung dalam Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG)
sebagai forum regional yang mendukung evaluasi dan peningkatan kebijakan anti
pencucian uang.
6.2.
Penguatan Sistem
Transparansi dan Akuntabilitas
Langkah krusial
dalam mencegah penggelapan adalah memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan publik. Beberapa instrumen yang
direkomendasikan oleh World Bank dan Transparency International antara lain:
·
e-Procurement
untuk menghindari rekayasa proyek pengadaan.
·
Pelaporan kekayaan
pejabat publik (LHKPN) secara daring dan terbuka.
·
Audit berbasis
risiko oleh BPK atau lembaga independen3.
Penguatan sistem
pelaporan dan audit ini sangat penting untuk menutup celah praktik penggelapan,
terutama di sektor birokrasi daerah dan perusahaan milik negara.
6.3.
Peran Teknologi dan
Forensik Keuangan
Kemajuan teknologi
digital dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan deteksi dini terhadap transaksi
mencurigakan. Teknologi Big Data, Artificial
Intelligence, dan forensik keuangan digital
memungkinkan identifikasi pola transaksi ilegal, pemetaan jaringan keuangan
terlarang, serta pelacakan aset lintas yurisdiksi4. Bank dan lembaga
keuangan juga diwajibkan menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) dan Customer
Due Diligence (CDD) dalam pembukaan rekening dan aktivitas
transaksi.
Sementara itu, PPATK
secara rutin mengeluarkan analisis dan hasil pemeriksaan transaksi
keuangan sebagai bahan untuk penyidikan aparat penegak hukum.
Sinergi antar lembaga ini menjadi fondasi dalam memberantas pencucian uang
secara sistematis.
6.4.
Kerja Sama
Internasional dan Aset Recovery
Karena pencucian
uang kerap dilakukan melalui skema lintas negara, maka kerja sama internasional
menjadi kunci utama dalam penanggulangannya. Indonesia telah menjalin MoU dan
nota kesepahaman dengan berbagai negara dan organisasi seperti Interpol,
UNODC,
Egmont
Group, serta bank sentral dan otoritas keuangan negara lain.
Salah satu mekanisme
penting adalah aset recovery (pengembalian aset hasil
kejahatan). Namun, proses ini sangat kompleks karena memerlukan
pembuktian lintas yurisdiksi, negosiasi diplomatik, dan persyaratan hukum dari
negara tempat aset disembunyikan5. Oleh karena itu, FATF mendorong
negara-negara anggotanya untuk membentuk unit khusus Asset
Recovery Task Force.
6.5.
Pendidikan
Antikorupsi dan Partisipasi Publik
Upaya pencegahan
jangka panjang tidak akan efektif tanpa dukungan dari masyarakat luas. Oleh
karena itu, diperlukan penguatan pendidikan antikorupsi di
sekolah, universitas, dan pelatihan pegawai negeri. KPK telah meluncurkan
berbagai program edukatif dan kampanye publik seperti Saya
Perempuan Anti Korupsi (SPAK), JAGA (pengawasan pelayanan publik
berbasis digital), dan integrasi nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan
dasar dan menengah6.
Media
dan LSM juga memegang peran penting dalam pengawasan,
pelaporan, dan advokasi kebijakan. Whistleblower Protection menjadi aspek yang
perlu ditingkatkan untuk mendorong pelaporan kasus dari dalam institusi.
Kesimpulan Sementara
Pemberantasan
penggelapan dan pencucian uang memerlukan kombinasi antara regulasi yang kuat,
penegakan hukum yang adil, teknologi yang mumpuni, serta partisipasi publik
yang aktif. Tanpa upaya komprehensif dan berkelanjutan, tindak pidana ini akan
terus menggerogoti integritas pemerintahan dan kepercayaan masyarakat terhadap
negara.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
[2]
Financial Action Task Force (FATF), International
Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism &
Proliferation – FATF Recommendations,
2023, https://www.fatf-gafi.org.
[3]
Transparency International, National
Integrity System Assessment: Indonesia,
2022, https://www.transparency.org/en/publications.
[4]
Basel Institute on Governance, The
Use of Data Analytics in Anti-Money Laundering, 2021, https://www.baselgovernance.org/publications.
[5]
UNODC, Manual on International
Cooperation for the Recovery of Assets,
2012, https://www.unodc.org/documents.
[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan
Tahunan KPK 2023, https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan.
7.
Tinjauan Kritis dan Tantangan Aktual
Penggelapan dan
pencucian uang tidak hanya menjadi isu kriminalitas keuangan, tetapi juga
menyangkut krisis tata kelola yang mencerminkan problem struktural,
kelembagaan, dan moral dalam sistem pemerintahan maupun dunia usaha. Upaya
pemberantasannya sering kali berhadapan dengan kompleksitas hukum, resistensi
politik, keterbatasan teknologi, serta tantangan geopolitik global. Oleh karena
itu, penting untuk mengkaji secara kritis berbagai aspek yang menghambat
efektivitas pencegahan dan penanggulangan dua jenis kejahatan kerah putih ini.
7.1.
Kritik terhadap
Pendekatan Legalistik dan Formalistik
Pendekatan hukum
yang bersifat legalistik—yakni hanya berfokus pada regulasi dan sanksi
pidana—terbukti belum cukup efektif dalam mencegah praktik penggelapan dan
pencucian uang. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah memiliki kerangka
hukum yang relatif komprehensif, namun implementasinya sering kali lemah.
Menurut laporan World Bank, kendala terbesar bukan terletak pada kekurangan
aturan, melainkan pada inkonsistensi penerapan hukum,
lemahnya kapasitas lembaga pengawas, dan praktik impunitas terhadap elite
politik dan bisnis1.
Kritik juga
diarahkan pada pendekatan formalistik yang cenderung menekankan indikator
administratif—seperti pelaporan LHKPN atau mekanisme SPIP—namun abai terhadap
substansi integritas institusi dan budaya birokrasi yang permisif terhadap
korupsi2. Pendekatan ini gagal mengatasi akar persoalan seperti
konflik kepentingan, patronase politik, serta budaya permisif dalam penggunaan
dana publik.
7.2.
Resistensi Politik
dan Konflik Kepentingan
Salah satu tantangan
utama dalam pemberantasan kejahatan finansial adalah resistensi
dari aktor politik dan ekonomi yang diuntungkan oleh sistem koruptif.
Banyak kasus penggelapan dan pencucian uang melibatkan elite penguasa, baik
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga proses penegakan hukum kerap
dibatasi oleh tarik-menarik kekuasaan.
Transparency
International mencatat bahwa “political capture” atau penguasaan
sistem oleh kepentingan politik menjadi faktor utama kegagalan reformasi
antikorupsi di berbagai negara berkembang3. Di Indonesia, kendala
tersebut tercermin dari lemahnya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower),
rendahnya tindak lanjut laporan PPATK, serta intervensi terhadap aparat penegak
hukum dalam kasus-kasus besar seperti BLBI, Jiwasraya, atau ASABRI4.
7.3.
Keterbatasan
Kapasitas Teknologi dan Forensik Keuangan
Meskipun teknologi
telah berkembang pesat, banyak lembaga penegak hukum dan pengawas keuangan
masih tertinggal
dalam pemanfaatan teknologi forensik keuangan dan big data
analysis. Di sisi lain, pelaku kejahatan menggunakan sistem perbankan global,
kripto, dan jaringan perusahaan cangkang untuk menyamarkan asetnya.
Menurut Basel
Institute on Governance, negara-negara berkembang menghadapi kesenjangan serius
dalam kemampuan tracking, tracing,
dan asset
recovery lintas negara, terutama karena keterbatasan SDM, perangkat
lunak, serta kerja sama internasional yang belum optimal5.
7.4.
Tantangan Lintas
Batas dan Kedaulatan Hukum
Pencucian uang
bersifat lintas negara, sehingga penanganannya sangat bergantung pada kerjasama
internasional. Namun, tantangan serius muncul karena masih
adanya negara-negara suaka pajak (tax havens) yang menolak membuka informasi
rekening nasabah atau menolak ekstradisi atas nama kedaulatan hukum.
Dalam banyak kasus
seperti Panama Papers dan Pandora Papers, negara asal kejahatan kesulitan
mengakses informasi dan mengklaim aset karena perbedaan sistem hukum dan standar kerahasiaan
bank6. FATF dan UNCAC telah mendorong keterbukaan
melalui prinsip beneficial ownership, namun
penerapannya masih inkonsisten di banyak yurisdiksi.
7.5.
Krisis Kepercayaan
dan Apatisme Publik
Di sisi masyarakat,
terjadinya kasus-kasus besar yang tidak ditangani secara transparan telah
menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi negara.
Ketika pelaku kejahatan keuangan tidak dihukum setimpal, masyarakat cenderung
mengembangkan sikap permisif dan skeptis terhadap program antikorupsi.
Bo Rothstein
menekankan bahwa korupsi bersifat self-reinforcing dalam masyarakat:
ketika orang melihat korupsi dianggap wajar dan tidak mendapat sanksi sosial,
maka mereka pun terdorong untuk ikut dalam lingkaran yang sama7.
Maka dari itu, perubahan sistemik harus dibarengi dengan transformasi
budaya—membangun social norms yang mendukung
integritas, kejujuran, dan akuntabilitas.
Kesimpulan Sementara
Tinjauan kritis ini
menunjukkan bahwa perlawanan terhadap penggelapan dan pencucian uang tidak dapat
disederhanakan pada penambahan aturan hukum semata. Ia memerlukan
restrukturisasi kelembagaan, reformasi politik, peningkatan kapasitas
teknologi, serta penanaman nilai-nilai integritas yang berkelanjutan. Tanpa itu
semua, regulasi antikorupsi hanya akan menjadi simbol tanpa kekuatan
substansial.
Footnotes
[1]
World Bank, Combating Corruption:
Improving Governance and Accountability,
2020, https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption.
[2]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Evaluasi
SPIP dan Sistem Integritas di Birokrasi,
2021, https://antikorupsi.org/id.
[3]
Transparency International, Global
Corruption Report 2021: Political Integrity, https://www.transparency.org/en/publications.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan
Tahunan KPK 2023, https://www.kpk.go.id.
[5]
Basel Institute on Governance, Challenges
in Financial Crime Investigation and Asset Recovery, 2023, https://www.baselgovernance.org.
[6]
International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), Pandora Papers, 2021,
https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/.
[7]
Bo Rothstein, The Quality of
Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International
Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 98–100.
8.
Kesimpulan
Penggelapan dan
pencucian uang merupakan dua bentuk kejahatan kerah putih yang saling terkait
dan saling memperkuat, membentuk siklus korupsi yang sistemik dalam sektor
publik maupun privat. Sebagaimana telah dibahas, kejahatan ini umumnya
dilakukan oleh pelaku yang memiliki otoritas atau akses strategis terhadap
sumber daya keuangan, yang kemudian memanfaatkan celah kelembagaan, kelemahan
regulasi, dan kurangnya transparansi dalam sistem tata kelola pemerintahan
untuk meraup keuntungan pribadi.
Dari segi modus
operandi, penggelapan terjadi melalui manipulasi administratif,
rekayasa anggaran, proyek fiktif, atau penyalahgunaan wewenang fiskal. Dana
hasil penggelapan tersebut kemudian dicuci melalui proses pelapisan dan
integrasi dalam sistem keuangan global, menggunakan sarana-sarana modern
seperti perusahaan cangkang, aset kripto, hingga jaringan bank internasional1.
Proses ini tidak hanya menghilangkan jejak kejahatan, tetapi juga memperkuat
dominasi ekonomi pelaku atas pasar yang sah.
Dampak yang
ditimbulkan sangat luas dan multidimensi. Dari aspek ekonomi,
kejahatan ini menyebabkan kebocoran anggaran, menurunkan efisiensi fiskal
negara, dan merusak kompetisi usaha yang sehat2. Dari sisi sosial
dan politik, ia memicu ketimpangan, mendelegitimasi institusi
negara, dan merusak moral publik, sementara dalam dimensi
tata kelola, ia melumpuhkan prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan supremasi hukum3.
Upaya penanggulangan
yang telah dilakukan melalui regulasi nasional dan partisipasi dalam kerangka
internasional, seperti FATF dan UNCAC, menunjukkan komitmen global terhadap
pemberantasan kejahatan keuangan4. Namun, berbagai tinjauan kritis
menunjukkan bahwa pendekatan yang hanya mengandalkan perangkat hukum belum
cukup. Diperlukan reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan: dari
revisi tata kelola keuangan publik, digitalisasi sistem pengawasan, peningkatan
integritas aparat penegak hukum, hingga perubahan budaya birokrasi yang selama
ini permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Kendala utama dalam
pemberantasan penggelapan dan pencucian uang terletak pada resistensi politik,
lemahnya kapasitas penegakan hukum, serta keterbatasan koordinasi antarnegara
dalam proses asset recovery dan ekstradisi5. Selain itu, penggunaan
teknologi oleh pelaku kejahatan semakin canggih, menuntut adaptasi kebijakan
yang responsif dan antisipatif dari negara.
Dalam jangka
panjang, solusi terhadap persoalan ini bukan hanya berada di tangan aparat
negara, tetapi juga di tengah masyarakat. Pendidikan antikorupsi, perlindungan
terhadap pelapor, dan pelibatan masyarakat sipil harus menjadi fondasi dari
budaya integritas yang berkelanjutan. Seperti diingatkan oleh Bo Rothstein,
korupsi tidak akan hilang dengan sanksi semata, tetapi dengan menciptakan
sistem yang menjadikan kejujuran sebagai norma dominan dalam kehidupan publik6.
Dengan demikian,
penggelapan dan pencucian uang adalah cermin dari kegagalan kolektif dalam
menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan. Memberantasnya membutuhkan
lebih dari sekadar regulasi—yaitu keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan
konsensus moral yang kokoh di seluruh elemen bangsa.
Footnotes
[1]
Peter Reuter and Edwin M. Truman, Chasing
Dirty Money: The Fight Against Money Laundering (Washington, D.C.: Peterson Institute for
International Economics, 2004), 45–50.
[2]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Cost of Corruption,
2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html.
[3]
Transparency International, Global
Corruption Barometer: Asia 2020, https://www.transparency.org/en/publications.
[4]
Financial Action Task Force (FATF), International
Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism &
Proliferation – FATF Recommendations,
2023, https://www.fatf-gafi.org.
[5]
Basel Institute on Governance, Asset
Recovery and Mutual Legal Assistance in Practice, 2023, https://www.baselgovernance.org/publications.
[6]
Bo Rothstein, The Quality of
Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International
Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 112.
Daftar Pustaka
Basel Institute on
Governance. (2021). The use of data analytics in anti-money
laundering. https://www.baselgovernance.org/publications
Basel Institute on
Governance. (2023). Basel AML Index 2023 Report. https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index
Basel Institute on
Governance. (2023). Challenges in financial crime
investigation and asset recovery. https://www.baselgovernance.org
Basel Institute on
Governance. (2023). Asset recovery and mutual legal
assistance in practice. https://www.baselgovernance.org/publications
Cressey, D. R. (1953). Other
people's money: A study in the social psychology of embezzlement.
Free Press.
Financial Action Task
Force. (2018). Money laundering risks arising from
trafficking in human beings and smuggling of migrants. https://www.fatf-gafi.org
Financial Action Task
Force. (2022). Best practices on beneficial ownership
for legal persons. https://www.fatf-gafi.org
Financial Action Task
Force. (2023). International standards on combating
money laundering and the financing of terrorism & proliferation – FATF
recommendations. https://www.fatf-gafi.org
Financial Action Task
Force. (2023). Virtual assets and virtual asset service
providers. https://www.fatf-gafi.org/en/publications/fatfrecommendations
Indonesia Corruption Watch.
(2020). Laporan investigasi skandal BLBI. https://antikorupsi.org
Indonesia Corruption Watch.
(2021). Evaluasi SPIP dan sistem integritas di birokrasi. https://antikorupsi.org/id
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2023). Laporan tahunan KPK 2023. https://www.kpk.go.id
Organisation for Economic
Co-operation and Development. (2014). Illicit financial flows
from developing countries: Measuring OECD responses. https://www.oecd.org/corruption/illicit-financial-flows-from-developing-countries.pdf
Peter, R., & Truman, E.
M. (2004). Chasing dirty money: The fight against
money laundering. Peterson Institute for International Economics.
Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan. (2022). Laporan tahunan 2022.
https://www.ppatk.go.id
Rothstein, B. (2011). The
quality of government: Corruption, social trust, and inequality in
international perspective. University of Chicago Press.
Transparency International.
(2004). Global corruption report 2004: Political corruption.
Pluto Press.
Transparency International.
(2020). Global corruption barometer: Asia 2020. https://www.transparency.org/en/publications
Transparency International.
(2021). Global corruption report 2021: Political integrity. https://www.transparency.org/en/publications
Transparency International.
(2022). National integrity system assessment: Indonesia. https://www.transparency.org/en/publications
Transparency International.
(2023). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2012). Manual on international cooperation for
the recovery of assets. https://www.unodc.org/documents
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2017). An introduction to money laundering.
https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2020). The cost of corruption. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html
U.S. Department of Justice.
(2012). HSBC Holdings Plc. deferred prosecution agreement. https://www.justice.gov/opa/pr/hsbc-holdings-plc-and-hsbc-bank-usa-na-admit-anti-money-laundering-and-sanctions
World Bank. (2020). Combating
corruption: Improving governance and accountability. https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption
World Bank. (2022). Worldwide
governance indicators. https://info.worldbank.org/governance/wgi/
The Wall Street Journal.
(2016, July). How Malaysia’s 1MDB scandal shook the
financial world. https://www.wsj.com/articles/how-malaysias-1mdb-scandal-shook-the-financial-world-1468856121
International Consortium of
Investigative Journalists. (2021). Pandora papers
investigation. https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar