Selasa, 08 Juli 2025

Penggelapan dan Pencucian Uang: Kajian Kritis terhadap Modus Korupsi dan Dampaknya terhadap Tata Kelola Pemerintahan dan Sektor Privat

Penggelapan dan Pencucian Uang

Kajian Kritis terhadap Modus Korupsi dan Dampaknya terhadap Tata Kelola Pemerintahan dan Sektor Privat


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fenomena penggelapan dan pencucian uang sebagai bentuk korupsi sistemik yang berdampak luas terhadap tata kelola pemerintahan dan sektor privat. Penggelapan terjadi ketika pelaku menyalahgunakan wewenang untuk mengalihkan dana publik secara ilegal, sementara pencucian uang dilakukan untuk menyamarkan asal-usul dana tersebut agar tampak sah. Melalui pendekatan multidisipliner, artikel ini menguraikan jenis dan modus operandi, faktor penyebab struktural dan psikologis, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi, legitimasi politik, dan integritas lembaga. Artikel ini juga mengkaji regulasi nasional dan internasional yang telah diberlakukan, serta menyoroti tantangan aktual seperti resistensi politik, keterbatasan teknologi forensik keuangan, dan ketimpangan kerja sama lintas negara. Kajian kritis menunjukkan bahwa penanganan terhadap kejahatan ini tidak cukup dengan pendekatan hukum formalistik, tetapi membutuhkan pembenahan kelembagaan, reformasi politik, serta partisipasi aktif masyarakat. Melalui analisis berbasis data dan sumber akademik kredibel, artikel ini menawarkan landasan argumentatif untuk menyusun strategi pemberantasan korupsi yang lebih sistemik dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Korupsi; Penggelapan; Pencucian Uang; Tata Kelola; Antikorupsi; Hukum Keuangan; Transparansi; FATF; PPATK; Asset Recovery.


PEMBAHASAN

Penggelapan dan Pencucian Uang (Embezzlement and Money Laundering)


1.           Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu persoalan sistemik yang mengancam stabilitas dan kemajuan sosial-ekonomi di berbagai negara, baik berkembang maupun maju. Di antara berbagai bentuk korupsi yang dikategorikan oleh lembaga internasional seperti World Bank dan Transparency International, penggelapan (embezzlement) dan pencucian uang (money laundering) menjadi dua modus yang sangat kompleks dan berdampak luas karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, penyamaran aset ilegal, serta pelanggaran terhadap sistem keuangan domestik maupun global.

Penggelapan secara umum dipahami sebagai bentuk korupsi di mana seseorang yang diberi kepercayaan atas aset publik atau perusahaan secara ilegal mengalihkan aset tersebut untuk keuntungan pribadi. Sedangkan pencucian uang merujuk pada proses menyamarkan asal usul uang yang diperoleh dari kejahatan agar tampak sah di mata hukum dan sistem keuangan formal. Kedua praktik ini saling berkaitan dan sering kali berlangsung secara simultan—dana hasil penggelapan kerap dikaburkan melalui mekanisme pencucian uang agar dapat digunakan tanpa terdeteksi aparat penegak hukum1.

Fenomena ini telah menimbulkan konsekuensi serius bagi integritas tata kelola pemerintahan dan sektor privat. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), praktik pencucian uang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan negara, serta dapat merusak stabilitas politik dan ekonomi nasional2. Sementara itu, World Bank menyatakan bahwa penggelapan dana publik, khususnya di negara berkembang, berdampak langsung pada terhambatnya penyediaan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur3.

Di Indonesia, korupsi melalui mekanisme penggelapan dan pencucian uang terus menjadi tantangan besar. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa banyak kasus yang melibatkan pejabat publik berujung pada penelusuran aliran dana ke rekening pribadi maupun offshore accounts yang sulit dilacak4. Meskipun telah diterbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), serta didukung oleh kerja KPK dan PPATK, efektivitas pengawasan dan penegakan hukum masih menghadapi banyak kendala struktural dan teknis.

Pentingnya membahas isu ini secara mendalam bukan hanya sebagai kajian normatif, tetapi juga sebagai upaya untuk menganalisis akar persoalan, modus operandi, serta dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan muncul kesadaran kolektif untuk memperkuat integritas publik, akuntabilitas kelembagaan, serta resistensi terhadap infiltrasi keuangan ilegal dalam sistem negara.


Footnotes

[1]                United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.

[2]                UNODC, Effects of Money Laundering on Economic Development, 2011, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/globalization.html.

[3]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, 1997, https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/211381468765285964/helping-countries-combat-corruption-the-role-of-the-world-bank.

[4]              Indonesia Corruption Watch (ICW), Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2022, diakses 5 Juli 2025, https://antikorupsi.org/id/article/ringkasan-laporan-penindakan-kasus-korupsi-2022.


2.           Definisi dan Karakteristik Umum

Dalam kerangka kajian antikorupsi global, penggelapan (embezzlement) dan pencucian uang (money laundering) dipandang sebagai bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) yang merusak sistem keuangan dan tata kelola pemerintahan dari dalam. Kedua tindak pidana ini sering berlangsung beriringan dan menjadi bagian dari siklus korupsi yang sulit dilacak tanpa dukungan sistem pengawasan keuangan yang kuat dan lintas negara.

2.1.       Definisi Penggelapan (Embezzlement)

Menurut World Bank, penggelapan adalah penyalahgunaan sumber daya publik atau perusahaan oleh individu yang diberi kepercayaan untuk mengelolanya, untuk keuntungan pribadi yang bersifat ilegal1. Berbeda dengan pencurian (theft), penggelapan dilakukan oleh orang yang secara legal memiliki akses terhadap aset tersebut, namun menyalahgunakannya di luar batas wewenang yang diberikan.

Secara yuridis, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mendefinisikan penggelapan sebagai “the misappropriation or embezzlement of property or funds entrusted to someone’s care but owned by someone else, particularly in the public sector2. Dalam konteks Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 372 dan Pasal 374 mengatur tindak pidana penggelapan, sementara dalam konteks korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara yang dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara, termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi3.

2.2.       Definisi Pencucian Uang (Money Laundering)

Pencucian uang adalah proses yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan asal-usul dana yang diperoleh secara ilegal agar terlihat sah secara hukum dan administratif. Menurut definisi Financial Action Task Force (FATF), pencucian uang adalah tindakan yang meliputi konversi, pengalihan, penyembunyian, dan penggunaan hasil kejahatan untuk menyamarkan asal usul dana tersebut4.

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia mengartikan TPPU sebagai “tindak pidana yang dilakukan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana5. Proses pencucian uang umumnya dibagi menjadi tiga tahap: (1) placement – memasukkan dana ilegal ke dalam sistem keuangan, (2) layering – memisahkan dana dari sumber ilegal melalui transaksi kompleks, dan (3) integration – menggabungkan dana kembali ke dalam ekonomi riil dalam bentuk yang tampak sah6.

2.3.       Karakteristik Umum

Baik penggelapan maupun pencucian uang memiliki karakteristik yang khas, yaitu:

·                     Dilakukan secara sistematis dan terencana, sering kali melibatkan lebih dari satu aktor (individual maupun institusi).

·                     Mengandalkan celah regulasi dan lemahnya sistem pengawasan, terutama di negara-negara dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi7.

·                     Memanfaatkan teknologi dan infrastruktur keuangan modern, seperti transaksi lintas negara, penggunaan perusahaan cangkang (shell companies), atau aset kripto untuk menyamarkan aliran dana8.

·                     Bersifat lintas sektor dan lintas yurisdiksi, sehingga penanganannya membutuhkan kerja sama internasional.

Dengan demikian, memahami secara jelas definisi dan karakteristik dari kedua bentuk kejahatan ini menjadi dasar penting dalam merumuskan strategi penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi.


Footnotes

[1]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, 1997, https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/211381468765285964/helping-countries-combat-corruption-the-role-of-the-world-bank.

[2]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Corruption and Economic Crime, 2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/index.html.

[3]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[4]                Financial Action Task Force (FATF), International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism & Proliferation, 2012 (updated 2023), https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Fatfrecommendations.html.

[5]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

[6]                UNODC, An Introduction to Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.

[7]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.

[8]                Basel Institute on Governance, Basel AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.


3.           Modus Operandi dan Skema Kejahatan

Penggelapan dan pencucian uang bukanlah tindak kejahatan yang bersifat kasuistik atau sporadis, melainkan berlangsung secara sistemik, terstruktur, dan sering kali melibatkan berbagai aktor dari sektor publik maupun privat. Kedua bentuk korupsi ini umumnya dilakukan secara tersembunyi melalui berbagai modus dan skema yang sulit dilacak, terlebih dalam sistem keuangan yang longgar pengawasannya. Bagian ini membahas bagaimana penggelapan dan pencucian uang berlangsung, dimulai dari pola dasar, tahapan, hingga contoh nyata kasus-kasus yang pernah terjadi.

3.1.       Skema Penggelapan Dana

Penggelapan (embezzlement) biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki akses legal terhadap aset organisasi atau negara, namun dengan sengaja mengalihkan atau menyalahgunakan aset tersebut untuk kepentingan pribadi. Modus yang sering digunakan antara lain:

1)                  Manipulasi Pembukuan

Mengubah data keuangan agar selisih dana tidak terdeteksi auditor. Hal ini sering terjadi dalam institusi pemerintahan daerah dan BUMN.

2)                  Rekayasa Proyek Fiktif

Menciptakan proyek atau pengadaan barang yang tidak pernah direalisasikan, namun dananya tetap dicairkan.

3)                  Pencairan Dana Ganda

Menggandakan pengajuan dana operasional atau kegiatan dengan dokumen palsu.

4)                  Transfer Dana ke Rekening Pribadi atau Proxy

Dana yang semestinya masuk ke kas negara atau perusahaan dialihkan ke rekening milik pelaku atau kerabat dekat.

Menurut Transparency International, penggelapan ini menjadi bentuk korupsi yang paling sulit dideteksi secara langsung karena tersamar dalam sistem administratif yang legal secara bentuk, namun ilegal secara substansi1.

3.2.       Skema Pencucian Uang (Money Laundering)

Setelah dana hasil penggelapan diperoleh, pelaku korupsi umumnya akan melakukan pencucian uang untuk menyamarkan asal usul dana tersebut agar tampak legal. Proses pencucian uang berlangsung dalam tiga tahapan utama:

1)                  Placement (Penempatan)

Dana ilegal dimasukkan ke dalam sistem keuangan formal, misalnya melalui setoran tunai dalam jumlah kecil ke berbagai rekening bank, pembelian barang mewah, atau investasi awal dalam bisnis kecil2.

2)                  Layering (Pelapisan)

Dana tersebut kemudian diputar melalui serangkaian transaksi finansial yang kompleks—seperti transfer antar rekening, konversi mata uang, pembelian aset kripto, atau penggunaan perusahaan cangkang (shell companies)—untuk mengaburkan jejak asal-usul dana3.

3)                  Integration (Integrasi)

Pada tahap akhir, dana yang sudah “bersih” akan dimasukkan kembali ke dalam ekonomi formal, contohnya melalui pembelian properti, saham, kendaraan mewah, atau kegiatan bisnis yang sah di atas kertas4.

Modus seperti ini sangat efektif menghindari deteksi, terutama jika dilakukan lintas yurisdiksi dengan melibatkan negara-negara suaka pajak (tax havens), bank lepas pantai (offshore banking), dan sistem keuangan berbasis anonim.

3.3.       Studi Kasus: Indonesia dan Dunia

3.3.1.    Kasus Korupsi BLBI – Indonesia

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi contoh klasik penggelapan dan pencucian uang berskala besar di Indonesia. Beberapa obligor yang menerima dana BLBI senilai ratusan triliun rupiah, terbukti mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi dan perusahaan lain yang tidak terkait, serta menyimpannya di luar negeri. Meski ada upaya penegakan hukum, pelacakan dana menghadapi kesulitan karena kompleksitas skema pencucian uang yang digunakan5.

3.3.2.    Kasus 1MDB – Malaysia

Skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) mengilustrasikan bagaimana dana negara digelapkan melalui proyek-proyek fiktif dan dialihkan ke rekening pribadi para pejabat tinggi. Dana tersebut kemudian dicuci dengan membeli properti mewah di Amerika Serikat dan karya seni bernilai tinggi. Laporan investigatif menyebut keterlibatan bank internasional besar dan perusahaan cangkang dalam skema ini6.


Footnotes

[1]                Transparency International, Global Corruption Report 2004: Political Corruption, (London: Pluto Press, 2004), 122–127.

[2]                United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Money Laundering, 2017, https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html.

[3]                Basel Institute on Governance, Basel AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.

[4]                Financial Action Task Force (FATF), Best Practices on Beneficial Ownership for Legal Persons, 2022, https://www.fatf-gafi.org.

[5]                Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Investigasi Skandal BLBI, 2020, https://antikorupsi.org.

[6]              The Wall Street Journal, “How Malaysia’s 1MDB Scandal Shook the Financial World,” WSJ, July 2016, https://www.wsj.com/articles/how-malaysias-1mdb-scandal-shook-the-financial-world-1468856121.


4.           Faktor Penyebab dan Pemicu

Penggelapan dan pencucian uang bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi merupakan gejala dari kompleksitas krisis tata kelola, lemahnya sistem pengawasan, dan distorsi nilai dalam struktur sosial dan kelembagaan. Tindak pidana ini sering kali tumbuh subur di lingkungan yang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan, ketimpangan ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum. Secara umum, faktor-faktor penyebab dan pemicu kejahatan penggelapan dan pencucian uang dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: struktural, kelembagaan, individu, dan global.

4.1.       Faktor Struktural dan Sistemik

Salah satu penyebab utama maraknya penggelapan dan pencucian uang adalah struktur kelembagaan yang lemah, terutama di negara-negara berkembang. Ketiadaan sistem pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara mendorong peluang terjadinya korupsi. Menurut laporan World Bank, sistem administrasi publik yang tidak efisien, tumpang tindih regulasi, dan rendahnya transparansi anggaran menciptakan celah besar bagi praktik korupsi, termasuk penggelapan dana publik1.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency International juga menunjukkan korelasi langsung antara tingginya tingkat korupsi dan lemahnya rule of law dalam suatu negara2. Negara-negara dengan sistem pengadilan yang tidak independen, rendahnya akuntabilitas pejabat publik, serta dominasi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kontrol sangat rentan terhadap praktik penggelapan dan pencucian uang.

4.2.       Faktor Kelembagaan dan Regulasi

Lemahnya perangkat hukum dan regulasi dalam mengawasi transaksi keuangan serta mendeteksi aliran dana ilegal merupakan penyebab dominan dari berkembangnya skema pencucian uang. Menurut Financial Action Task Force (FATF), banyak negara masih menghadapi tantangan dalam:

·                     Mengidentifikasi beneficial ownership (pemilik manfaat sesungguhnya) dari perusahaan.

·                     Melacak transaksi lintas batas.

·                     Mengatur penggunaan teknologi finansial baru (termasuk aset kripto)3.

Selain itu, keterbatasan koordinasi antar lembaga penegak hukum dan badan keuangan juga memperbesar risiko kegagalan deteksi dini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam laporan tahunannya menyoroti bahwa masih terdapat kesenjangan informasi antara bank, perusahaan, dan aparat penegak hukum dalam mengungkap aliran dana mencurigakan di Indonesia4.

4.3.       Faktor Individu dan Psikologis

Dari sisi pelaku, penggelapan dan pencucian uang sering kali dipicu oleh motivasi pribadi seperti keserakahan, gaya hidup konsumtif, atau tekanan sosial. Teori Fraud Triangle yang dikemukakan oleh Donald R. Cressey menyatakan bahwa kejahatan kerah putih muncul dari tiga elemen utama: (1) tekanan (pressure), (2) kesempatan (opportunity), dan (3) rasionalisasi (rationalization)5. Pelaku merasa memiliki kesempatan karena posisi atau jabatannya memberi akses pada aset publik; tekanan muncul dari kebutuhan finansial atau ambisi pribadi; dan mereka merasionalisasi tindakan tersebut sebagai sesuatu yang “lumrah” dalam sistem yang korup.

4.4.       Faktor Eksternal dan Global

Dalam era globalisasi, transaksi keuangan menjadi lintas batas dan bersifat anonim melalui berbagai instrumen keuangan modern. Hal ini dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk memindahkan, menyamarkan, dan menyimpan dana hasil korupsi ke luar negeri—terutama ke negara-negara suaka pajak atau melalui sistem perbankan offshore. Laporan Basel Institute on Governance menunjukkan bahwa sistem keuangan global yang tidak transparan, termasuk keberadaan perusahaan cangkang (shell companies) dan yurisdiksi non-kooperatif, menjadi penghambat utama dalam pemberantasan pencucian uang secara internasional6.

Kasus Panama Papers dan Pandora Papers membuktikan bahwa jutaan dolar hasil penggelapan dapat dengan mudah disamarkan melalui konsultan keuangan, bank internasional, dan sistem perizinan bisnis di negara-negara berisiko tinggi7.


Kesimpulan Sementara

Penggelapan dan pencucian uang tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia bertumbuh dalam sistem yang cacat—baik pada level institusi, individu, maupun lingkungan global. Untuk memahami dan mengatasinya secara efektif, perlu pendekatan multidisipliner yang tidak hanya menekankan aspek hukum, tetapi juga mencakup tata kelola, teknologi, dan budaya organisasi.


Footnotes

[1]                World Bank, Combating Corruption: Improving Governance and Accountability, 2020, https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption.

[2]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.

[3]                Financial Action Task Force (FATF), Virtual Assets and Virtual Asset Service Providers, 2023, https://www.fatf-gafi.org/en/publications/Fatfrecommendations.

[4]                PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Laporan Tahunan 2022, https://www.ppatk.go.id.

[5]                Donald R. Cressey, Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement (New York: Free Press, 1953).

[6]                Basel Institute on Governance, Basel AML Index 2023 Report, https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index.

[7]                International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), Pandora Papers Investigation, 2021, https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/.


5.           Dampak terhadap Negara dan Masyarakat

Tindak pidana penggelapan dan pencucian uang membawa konsekuensi multidimensional yang bersifat destruktif terhadap struktur negara, sistem pemerintahan, stabilitas ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dampaknya tidak hanya terlihat pada hilangnya aset keuangan, tetapi juga terhadap melemahnya kepercayaan publik, kerusakan institusional, dan terkikisnya supremasi hukum. Kejahatan ini bekerja secara senyap, namun dampaknya bersifat sistemik dan berjangka panjang.

5.1.       Dampak Ekonomi: Kebocoran Anggaran dan Distorsi Pasar

Salah satu dampak paling nyata dari penggelapan dan pencucian uang adalah kebocoran anggaran negara yang menghambat realisasi pembangunan dan pelayanan publik. Menurut estimasi United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), negara-negara berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per tahun akibat korupsi dan pengalihan dana publik ke luar negeri melalui praktik pencucian uang1. Dana tersebut seharusnya dapat dialokasikan untuk membiayai sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Selain itu, pencucian uang merusak integritas sistem pasar, menciptakan distorsi dalam kompetisi bisnis, dan memicu inflasi sektor riil akibat masuknya dana “kotor” dalam bentuk investasi palsu atau spekulatif2. Financial Action Task Force (FATF) mencatat bahwa masuknya dana hasil kejahatan ke dalam pasar dapat mengganggu mekanisme harga, menyingkirkan pelaku usaha yang legal, serta menciptakan ketidakadilan dalam persaingan ekonomi3.

5.2.       Dampak Sosial: Ketimpangan dan Erosi Kepercayaan Publik

Penggelapan dana publik berdampak langsung pada meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi, karena anggaran yang semestinya digunakan untuk memperkuat layanan dasar justru dialihkan untuk memperkaya segelintir elite. Kondisi ini memperdalam jurang antara warga negara dan penyelenggara negara. Menurut Transparency International, korupsi yang dilakukan melalui mekanisme penggelapan menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan, khususnya lembaga keuangan dan penegak hukum4.

Erosi kepercayaan publik ini memiliki efek domino terhadap demokrasi dan stabilitas sosial. Ketika masyarakat melihat bahwa aparat hukum tidak mampu menindak pelaku kejahatan keuangan, atau ketika pelaku pencucian uang hidup mewah tanpa tersentuh hukum, maka legitimasi negara akan melemah dan potensi radikalisasi sosial meningkat5.

5.3.       Dampak terhadap Tata Kelola Pemerintahan

Dampak lain yang sangat serius adalah pada dimensi governance atau tata kelola pemerintahan. Penggelapan dan pencucian uang merusak prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum. Menurut laporan World Bank, negara dengan tingkat penggelapan dan pencucian uang yang tinggi cenderung memiliki sistem birokrasi yang korup, ketidakpastian hukum, serta penyalahgunaan kewenangan pejabat publik6.

Kejahatan ini juga melemahkan kapasitas fiskal negara, mengingat sebagian besar pendapatan negara “bocor” melalui saluran ilegal dan tidak dapat digunakan untuk pembiayaan program nasional. Akibatnya, negara menjadi lebih tergantung pada utang luar negeri, yang berpotensi memperparah ketergantungan struktural dan melemahkan kedaulatan fiskal.

5.4.       Dampak terhadap Sektor Privat dan Investasi

Dalam sektor swasta, pencucian uang menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Pelaku bisnis yang menggunakan dana hasil kejahatan dapat menciptakan monopoli atau oligopoli palsu, mengakuisisi perusahaan legal, atau melakukan praktik merger yang merugikan pesaing sehat. OECD menekankan bahwa pencucian uang berdampak langsung pada reputasi sektor keuangan, sehingga investor sah menjadi ragu untuk berinvestasi di negara yang dianggap lemah dalam pengawasan transaksi keuangan7.

Lebih jauh, lembaga-lembaga keuangan dapat dikenai sanksi internasional apabila terbukti membiarkan dana hasil penggelapan masuk ke dalam sistem mereka, sebagaimana terjadi pada beberapa bank besar dunia yang harus membayar denda miliaran dolar karena terlibat dalam kasus pencucian uang lintas negara8.


Kesimpulan Sementara

Dampak penggelapan dan pencucian uang jauh melampaui angka nominal kerugian keuangan. Ia mengancam tatanan ekonomi nasional, memperdalam ketidakadilan sosial, merusak institusi negara, dan menciptakan ketidakstabilan yang kronis. Oleh karena itu, penanganan terhadap kejahatan ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi menyangkut pembenahan total atas sistem pemerintahan dan keuangan negara.


Footnotes

[1]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Cost of Corruption, 2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html.

[2]                Peter Reuter and Edwin M. Truman, Chasing Dirty Money: The Fight Against Money Laundering (Washington, D.C.: Peterson Institute for International Economics, 2004), 35–42.

[3]                Financial Action Task Force (FATF), Money Laundering Risks Arising from Trafficking in Human Beings and Smuggling of Migrants, 2018, https://www.fatf-gafi.org.

[4]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, https://www.transparency.org/en/cpi/2023.

[5]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 101–112.

[6]                World Bank, Worldwide Governance Indicators, 2022, https://info.worldbank.org/governance/wgi/.

[7]                OECD, Illicit Financial Flows from Developing Countries: Measuring OECD Responses, 2014, https://www.oecd.org/corruption/Illicit-Financial-Flows-from-Developing-Countries.pdf.

[8]              U.S. Department of Justice, HSBC Holdings Plc. Deferred Prosecution Agreement, 2012, https://www.justice.gov/opa/pr/hsbc-holdings-plc-and-hsbc-bank-usa-na-admit-anti-money-laundering-and-sanctions.


6.           Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Penggelapan dan pencucian uang merupakan tindak pidana yang bersifat kompleks, lintas sektor, dan lintas batas negara. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangannya memerlukan pendekatan multilevel dan multisektor, mencakup reformasi hukum, penguatan institusi, partisipasi masyarakat, serta kerja sama internasional. Strategi yang efektif tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga mencegah kondisi yang memungkinkan kejahatan tersebut terjadi dan berkembang.

6.1.       Kerangka Hukum Nasional dan Internasional

6.1.1.    Regulasi di Indonesia

Indonesia telah memiliki beberapa regulasi utama untuk mencegah dan memberantas penggelapan serta pencucian uang, di antaranya:

·                     Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur sanksi terhadap penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi.

·                     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yang memperluas kewenangan penegak hukum dalam pelacakan aset, pemblokiran rekening, dan penyitaan harta hasil kejahatan1.

Selain itu, lembaga seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dan Kejaksaan Agung memiliki mandat strategis dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan penggelapan dan TPPU.

6.1.2.    Kerangka Internasional

Pada tingkat global, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi penting, termasuk:

·                     United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang menekankan kerja sama antarnegara dalam penegakan hukum, pengembalian aset, dan harmonisasi regulasi.

·                     Financial Action Task Force (FATF) Recommendations, yang memberikan standar internasional untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk prinsip pengungkapan beneficial ownership, pelaporan transaksi mencurigakan, dan due diligence terhadap nasabah bank2.

Indonesia juga tergabung dalam Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai forum regional yang mendukung evaluasi dan peningkatan kebijakan anti pencucian uang.

6.2.       Penguatan Sistem Transparansi dan Akuntabilitas

Langkah krusial dalam mencegah penggelapan adalah memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik. Beberapa instrumen yang direkomendasikan oleh World Bank dan Transparency International antara lain:

·                     e-Procurement untuk menghindari rekayasa proyek pengadaan.

·                     Pelaporan kekayaan pejabat publik (LHKPN) secara daring dan terbuka.

·                     Audit berbasis risiko oleh BPK atau lembaga independen3.

Penguatan sistem pelaporan dan audit ini sangat penting untuk menutup celah praktik penggelapan, terutama di sektor birokrasi daerah dan perusahaan milik negara.

6.3.       Peran Teknologi dan Forensik Keuangan

Kemajuan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan deteksi dini terhadap transaksi mencurigakan. Teknologi Big Data, Artificial Intelligence, dan forensik keuangan digital memungkinkan identifikasi pola transaksi ilegal, pemetaan jaringan keuangan terlarang, serta pelacakan aset lintas yurisdiksi4. Bank dan lembaga keuangan juga diwajibkan menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) dan Customer Due Diligence (CDD) dalam pembukaan rekening dan aktivitas transaksi.

Sementara itu, PPATK secara rutin mengeluarkan analisis dan hasil pemeriksaan transaksi keuangan sebagai bahan untuk penyidikan aparat penegak hukum. Sinergi antar lembaga ini menjadi fondasi dalam memberantas pencucian uang secara sistematis.

6.4.       Kerja Sama Internasional dan Aset Recovery

Karena pencucian uang kerap dilakukan melalui skema lintas negara, maka kerja sama internasional menjadi kunci utama dalam penanggulangannya. Indonesia telah menjalin MoU dan nota kesepahaman dengan berbagai negara dan organisasi seperti Interpol, UNODC, Egmont Group, serta bank sentral dan otoritas keuangan negara lain.

Salah satu mekanisme penting adalah aset recovery (pengembalian aset hasil kejahatan). Namun, proses ini sangat kompleks karena memerlukan pembuktian lintas yurisdiksi, negosiasi diplomatik, dan persyaratan hukum dari negara tempat aset disembunyikan5. Oleh karena itu, FATF mendorong negara-negara anggotanya untuk membentuk unit khusus Asset Recovery Task Force.

6.5.       Pendidikan Antikorupsi dan Partisipasi Publik

Upaya pencegahan jangka panjang tidak akan efektif tanpa dukungan dari masyarakat luas. Oleh karena itu, diperlukan penguatan pendidikan antikorupsi di sekolah, universitas, dan pelatihan pegawai negeri. KPK telah meluncurkan berbagai program edukatif dan kampanye publik seperti Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), JAGA (pengawasan pelayanan publik berbasis digital), dan integrasi nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah6.

Media dan LSM juga memegang peran penting dalam pengawasan, pelaporan, dan advokasi kebijakan. Whistleblower Protection menjadi aspek yang perlu ditingkatkan untuk mendorong pelaporan kasus dari dalam institusi.


Kesimpulan Sementara

Pemberantasan penggelapan dan pencucian uang memerlukan kombinasi antara regulasi yang kuat, penegakan hukum yang adil, teknologi yang mumpuni, serta partisipasi publik yang aktif. Tanpa upaya komprehensif dan berkelanjutan, tindak pidana ini akan terus menggerogoti integritas pemerintahan dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

[2]                Financial Action Task Force (FATF), International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism & Proliferation – FATF Recommendations, 2023, https://www.fatf-gafi.org.

[3]                Transparency International, National Integrity System Assessment: Indonesia, 2022, https://www.transparency.org/en/publications.

[4]                Basel Institute on Governance, The Use of Data Analytics in Anti-Money Laundering, 2021, https://www.baselgovernance.org/publications.

[5]                UNODC, Manual on International Cooperation for the Recovery of Assets, 2012, https://www.unodc.org/documents.

[6]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023, https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan.


7.           Tinjauan Kritis dan Tantangan Aktual

Penggelapan dan pencucian uang tidak hanya menjadi isu kriminalitas keuangan, tetapi juga menyangkut krisis tata kelola yang mencerminkan problem struktural, kelembagaan, dan moral dalam sistem pemerintahan maupun dunia usaha. Upaya pemberantasannya sering kali berhadapan dengan kompleksitas hukum, resistensi politik, keterbatasan teknologi, serta tantangan geopolitik global. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji secara kritis berbagai aspek yang menghambat efektivitas pencegahan dan penanggulangan dua jenis kejahatan kerah putih ini.

7.1.       Kritik terhadap Pendekatan Legalistik dan Formalistik

Pendekatan hukum yang bersifat legalistik—yakni hanya berfokus pada regulasi dan sanksi pidana—terbukti belum cukup efektif dalam mencegah praktik penggelapan dan pencucian uang. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah memiliki kerangka hukum yang relatif komprehensif, namun implementasinya sering kali lemah. Menurut laporan World Bank, kendala terbesar bukan terletak pada kekurangan aturan, melainkan pada inkonsistensi penerapan hukum, lemahnya kapasitas lembaga pengawas, dan praktik impunitas terhadap elite politik dan bisnis1.

Kritik juga diarahkan pada pendekatan formalistik yang cenderung menekankan indikator administratif—seperti pelaporan LHKPN atau mekanisme SPIP—namun abai terhadap substansi integritas institusi dan budaya birokrasi yang permisif terhadap korupsi2. Pendekatan ini gagal mengatasi akar persoalan seperti konflik kepentingan, patronase politik, serta budaya permisif dalam penggunaan dana publik.

7.2.       Resistensi Politik dan Konflik Kepentingan

Salah satu tantangan utama dalam pemberantasan kejahatan finansial adalah resistensi dari aktor politik dan ekonomi yang diuntungkan oleh sistem koruptif. Banyak kasus penggelapan dan pencucian uang melibatkan elite penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga proses penegakan hukum kerap dibatasi oleh tarik-menarik kekuasaan.

Transparency International mencatat bahwa “political capture” atau penguasaan sistem oleh kepentingan politik menjadi faktor utama kegagalan reformasi antikorupsi di berbagai negara berkembang3. Di Indonesia, kendala tersebut tercermin dari lemahnya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower), rendahnya tindak lanjut laporan PPATK, serta intervensi terhadap aparat penegak hukum dalam kasus-kasus besar seperti BLBI, Jiwasraya, atau ASABRI4.

7.3.       Keterbatasan Kapasitas Teknologi dan Forensik Keuangan

Meskipun teknologi telah berkembang pesat, banyak lembaga penegak hukum dan pengawas keuangan masih tertinggal dalam pemanfaatan teknologi forensik keuangan dan big data analysis. Di sisi lain, pelaku kejahatan menggunakan sistem perbankan global, kripto, dan jaringan perusahaan cangkang untuk menyamarkan asetnya.

Menurut Basel Institute on Governance, negara-negara berkembang menghadapi kesenjangan serius dalam kemampuan tracking, tracing, dan asset recovery lintas negara, terutama karena keterbatasan SDM, perangkat lunak, serta kerja sama internasional yang belum optimal5.

7.4.       Tantangan Lintas Batas dan Kedaulatan Hukum

Pencucian uang bersifat lintas negara, sehingga penanganannya sangat bergantung pada kerjasama internasional. Namun, tantangan serius muncul karena masih adanya negara-negara suaka pajak (tax havens) yang menolak membuka informasi rekening nasabah atau menolak ekstradisi atas nama kedaulatan hukum.

Dalam banyak kasus seperti Panama Papers dan Pandora Papers, negara asal kejahatan kesulitan mengakses informasi dan mengklaim aset karena perbedaan sistem hukum dan standar kerahasiaan bank6. FATF dan UNCAC telah mendorong keterbukaan melalui prinsip beneficial ownership, namun penerapannya masih inkonsisten di banyak yurisdiksi.

7.5.       Krisis Kepercayaan dan Apatisme Publik

Di sisi masyarakat, terjadinya kasus-kasus besar yang tidak ditangani secara transparan telah menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Ketika pelaku kejahatan keuangan tidak dihukum setimpal, masyarakat cenderung mengembangkan sikap permisif dan skeptis terhadap program antikorupsi.

Bo Rothstein menekankan bahwa korupsi bersifat self-reinforcing dalam masyarakat: ketika orang melihat korupsi dianggap wajar dan tidak mendapat sanksi sosial, maka mereka pun terdorong untuk ikut dalam lingkaran yang sama7. Maka dari itu, perubahan sistemik harus dibarengi dengan transformasi budaya—membangun social norms yang mendukung integritas, kejujuran, dan akuntabilitas.


Kesimpulan Sementara

Tinjauan kritis ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap penggelapan dan pencucian uang tidak dapat disederhanakan pada penambahan aturan hukum semata. Ia memerlukan restrukturisasi kelembagaan, reformasi politik, peningkatan kapasitas teknologi, serta penanaman nilai-nilai integritas yang berkelanjutan. Tanpa itu semua, regulasi antikorupsi hanya akan menjadi simbol tanpa kekuatan substansial.


Footnotes

[1]                World Bank, Combating Corruption: Improving Governance and Accountability, 2020, https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption.

[2]                Indonesia Corruption Watch (ICW), Evaluasi SPIP dan Sistem Integritas di Birokrasi, 2021, https://antikorupsi.org/id.

[3]                Transparency International, Global Corruption Report 2021: Political Integrity, https://www.transparency.org/en/publications.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023, https://www.kpk.go.id.

[5]                Basel Institute on Governance, Challenges in Financial Crime Investigation and Asset Recovery, 2023, https://www.baselgovernance.org.

[6]                International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), Pandora Papers, 2021, https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/.

[7]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 98–100.


8.           Kesimpulan

Penggelapan dan pencucian uang merupakan dua bentuk kejahatan kerah putih yang saling terkait dan saling memperkuat, membentuk siklus korupsi yang sistemik dalam sektor publik maupun privat. Sebagaimana telah dibahas, kejahatan ini umumnya dilakukan oleh pelaku yang memiliki otoritas atau akses strategis terhadap sumber daya keuangan, yang kemudian memanfaatkan celah kelembagaan, kelemahan regulasi, dan kurangnya transparansi dalam sistem tata kelola pemerintahan untuk meraup keuntungan pribadi.

Dari segi modus operandi, penggelapan terjadi melalui manipulasi administratif, rekayasa anggaran, proyek fiktif, atau penyalahgunaan wewenang fiskal. Dana hasil penggelapan tersebut kemudian dicuci melalui proses pelapisan dan integrasi dalam sistem keuangan global, menggunakan sarana-sarana modern seperti perusahaan cangkang, aset kripto, hingga jaringan bank internasional1. Proses ini tidak hanya menghilangkan jejak kejahatan, tetapi juga memperkuat dominasi ekonomi pelaku atas pasar yang sah.

Dampak yang ditimbulkan sangat luas dan multidimensi. Dari aspek ekonomi, kejahatan ini menyebabkan kebocoran anggaran, menurunkan efisiensi fiskal negara, dan merusak kompetisi usaha yang sehat2. Dari sisi sosial dan politik, ia memicu ketimpangan, mendelegitimasi institusi negara, dan merusak moral publik, sementara dalam dimensi tata kelola, ia melumpuhkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum3.

Upaya penanggulangan yang telah dilakukan melalui regulasi nasional dan partisipasi dalam kerangka internasional, seperti FATF dan UNCAC, menunjukkan komitmen global terhadap pemberantasan kejahatan keuangan4. Namun, berbagai tinjauan kritis menunjukkan bahwa pendekatan yang hanya mengandalkan perangkat hukum belum cukup. Diperlukan reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan: dari revisi tata kelola keuangan publik, digitalisasi sistem pengawasan, peningkatan integritas aparat penegak hukum, hingga perubahan budaya birokrasi yang selama ini permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Kendala utama dalam pemberantasan penggelapan dan pencucian uang terletak pada resistensi politik, lemahnya kapasitas penegakan hukum, serta keterbatasan koordinasi antarnegara dalam proses asset recovery dan ekstradisi5. Selain itu, penggunaan teknologi oleh pelaku kejahatan semakin canggih, menuntut adaptasi kebijakan yang responsif dan antisipatif dari negara.

Dalam jangka panjang, solusi terhadap persoalan ini bukan hanya berada di tangan aparat negara, tetapi juga di tengah masyarakat. Pendidikan antikorupsi, perlindungan terhadap pelapor, dan pelibatan masyarakat sipil harus menjadi fondasi dari budaya integritas yang berkelanjutan. Seperti diingatkan oleh Bo Rothstein, korupsi tidak akan hilang dengan sanksi semata, tetapi dengan menciptakan sistem yang menjadikan kejujuran sebagai norma dominan dalam kehidupan publik6.

Dengan demikian, penggelapan dan pencucian uang adalah cermin dari kegagalan kolektif dalam menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan. Memberantasnya membutuhkan lebih dari sekadar regulasi—yaitu keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan konsensus moral yang kokoh di seluruh elemen bangsa.


Footnotes

[1]                Peter Reuter and Edwin M. Truman, Chasing Dirty Money: The Fight Against Money Laundering (Washington, D.C.: Peterson Institute for International Economics, 2004), 45–50.

[2]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Cost of Corruption, 2020, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html.

[3]                Transparency International, Global Corruption Barometer: Asia 2020, https://www.transparency.org/en/publications.

[4]                Financial Action Task Force (FATF), International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism & Proliferation – FATF Recommendations, 2023, https://www.fatf-gafi.org.

[5]                Basel Institute on Governance, Asset Recovery and Mutual Legal Assistance in Practice, 2023, https://www.baselgovernance.org/publications.

[6]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 112.


Daftar Pustaka

Basel Institute on Governance. (2021). The use of data analytics in anti-money laundering. https://www.baselgovernance.org/publications

Basel Institute on Governance. (2023). Basel AML Index 2023 Report. https://www.baselgovernance.org/basel-aml-index

Basel Institute on Governance. (2023). Challenges in financial crime investigation and asset recovery. https://www.baselgovernance.org

Basel Institute on Governance. (2023). Asset recovery and mutual legal assistance in practice. https://www.baselgovernance.org/publications

Cressey, D. R. (1953). Other people's money: A study in the social psychology of embezzlement. Free Press.

Financial Action Task Force. (2018). Money laundering risks arising from trafficking in human beings and smuggling of migrants. https://www.fatf-gafi.org

Financial Action Task Force. (2022). Best practices on beneficial ownership for legal persons. https://www.fatf-gafi.org

Financial Action Task Force. (2023). International standards on combating money laundering and the financing of terrorism & proliferation – FATF recommendations. https://www.fatf-gafi.org

Financial Action Task Force. (2023). Virtual assets and virtual asset service providers. https://www.fatf-gafi.org/en/publications/fatfrecommendations

Indonesia Corruption Watch. (2020). Laporan investigasi skandal BLBI. https://antikorupsi.org

Indonesia Corruption Watch. (2021). Evaluasi SPIP dan sistem integritas di birokrasi. https://antikorupsi.org/id

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan tahunan KPK 2023. https://www.kpk.go.id

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2014). Illicit financial flows from developing countries: Measuring OECD responses. https://www.oecd.org/corruption/illicit-financial-flows-from-developing-countries.pdf

Peter, R., & Truman, E. M. (2004). Chasing dirty money: The fight against money laundering. Peterson Institute for International Economics.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. (2022). Laporan tahunan 2022. https://www.ppatk.go.id

Rothstein, B. (2011). The quality of government: Corruption, social trust, and inequality in international perspective. University of Chicago Press.

Transparency International. (2004). Global corruption report 2004: Political corruption. Pluto Press.

Transparency International. (2020). Global corruption barometer: Asia 2020. https://www.transparency.org/en/publications

Transparency International. (2021). Global corruption report 2021: Political integrity. https://www.transparency.org/en/publications

Transparency International. (2022). National integrity system assessment: Indonesia. https://www.transparency.org/en/publications

Transparency International. (2023). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023

United Nations Office on Drugs and Crime. (2012). Manual on international cooperation for the recovery of assets. https://www.unodc.org/documents

United Nations Office on Drugs and Crime. (2017). An introduction to money laundering. https://www.unodc.org/unodc/en/money-laundering/introduction.html

United Nations Office on Drugs and Crime. (2020). The cost of corruption. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/the-cost-of-corruption.html

U.S. Department of Justice. (2012). HSBC Holdings Plc. deferred prosecution agreement. https://www.justice.gov/opa/pr/hsbc-holdings-plc-and-hsbc-bank-usa-na-admit-anti-money-laundering-and-sanctions

World Bank. (2020). Combating corruption: Improving governance and accountability. https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption

World Bank. (2022). Worldwide governance indicators. https://info.worldbank.org/governance/wgi/

The Wall Street Journal. (2016, July). How Malaysia’s 1MDB scandal shook the financial world. https://www.wsj.com/articles/how-malaysias-1mdb-scandal-shook-the-financial-world-1468856121

International Consortium of Investigative Journalists. (2021). Pandora papers investigation. https://www.icij.org/investigations/pandora-papers/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar