Selasa, 08 Juli 2025

Gratifikasi yang Tidak Sah: Kajian Kritis terhadap Penerimaan Hadiah yang Mempengaruhi Kebijakan Publik

Gratifikasi yang Tidak Sah

Kajian Kritis terhadap Penerimaan Hadiah yang Mempengaruhi Kebijakan Publik


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Gratifikasi yang tidak sah merupakan salah satu bentuk korupsi terselubung yang memiliki dampak sistemik terhadap objektivitas pengambilan kebijakan publik dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Artikel ini mengkaji secara kritis praktik gratifikasi yang diberikan kepada pejabat publik dalam bentuk hadiah, fasilitas, atau pelayanan khusus yang berkaitan langsung dengan jabatan. Dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, dan teoritis, tulisan ini menguraikan definisi, landasan hukum, modus operandi, dampak terhadap tata kelola pemerintahan, serta faktor-faktor penyebab yang melanggengkan praktik ini. Hasil kajian menunjukkan bahwa gratifikasi yang tidak sah berdampak pada distorsi kebijakan, melemahkan profesionalisme aparatur, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Upaya penanggulangannya memerlukan sinergi antara regulasi yang tegas, pengawasan internal yang kuat, reformasi budaya birokrasi, pendidikan antikorupsi, serta keteladanan pimpinan. Kajian ini merekomendasikan pendekatan multidimensi dalam memberantas gratifikasi, termasuk pelibatan aktif masyarakat dan penguatan sistem integritas publik yang berkelanjutan.

Kata kunci: Gratifikasi, kebijakan publik, korupsi, integritas, birokrasi, pelaporan, etika jabatan.


PEMBAHASAN

Gratifikasi yang Tidak Sah


1.           Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu bentuk korupsi yang kerap luput dari perhatian publik, namun memiliki implikasi serius terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan publik, adalah gratifikasi yang tidak sah. Gratifikasi, dalam konteks hukum Indonesia, merujuk pada pemberian dalam arti luas, baik berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, fasilitas lainnya, dan pemberian sejenis yang diterima oleh pejabat penyelenggara negara dan aparatur sipil negara dalam kaitannya dengan jabatan mereka.¹

Berbeda dengan suap yang terjadi atas dasar kesepakatan antara pemberi dan penerima untuk tujuan tertentu, gratifikasi seringkali disamarkan sebagai bentuk pemberian sukarela yang tidak secara langsung dikaitkan dengan permintaan balasan. Namun demikian, dalam praktiknya, gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan integritas seorang pejabat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini menjadikan gratifikasi sebagai bentuk korupsi laten yang sangat berbahaya karena menyusup secara halus ke dalam sistem birokrasi.²

Bank Dunia (World Bank) secara tegas mengkategorikan gratifikasi sebagai salah satu bentuk petty corruption yang sangat merusak, karena memengaruhi pelayanan publik dan menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap hak-hak dasar warga negara.³ Dalam laporan mereka, gratifikasi—baik yang bersifat administratif maupun politis—dipandang sebagai faktor utama yang menyebabkan keputusan-keputusan publik tidak lagi didasarkan pada prinsip meritokrasi dan keadilan, melainkan pada balas jasa, koneksi, atau hubungan pribadi.⁴

Di Indonesia, persoalan gratifikasi menjadi perhatian utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dalam berbagai laporan tahunannya menunjukkan bahwa praktik gratifikasi masih berlangsung secara sistematis, terutama dalam birokrasi pelayanan publik, lembaga perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.⁵ Banyak kasus yang terungkap membuktikan bahwa gratifikasi bukan hanya bentuk pelanggaran etika, melainkan juga pintu masuk bagi korupsi struktural yang lebih besar.

Kajian terhadap gratifikasi yang tidak sah menjadi penting untuk dilakukan, tidak hanya dari aspek hukum, tetapi juga dari perspektif sosial, etika, dan tata kelola pemerintahan. Pemahaman yang mendalam mengenai bentuk, modus, serta dampak gratifikasi terhadap kebijakan publik dapat menjadi dasar dalam menyusun strategi pencegahan yang lebih efektif. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas secara kritis fenomena gratifikasi yang tidak sah, dengan mengacu pada kerangka hukum nasional, kajian akademik, serta studi-studi internasional yang relevan.


Footnotes

[1]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 5.

[2]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 28–30.

[3]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8.

[4]                Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank Policy Research Working Paper No. 4978 (2009): 15.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 41–43.


2.           Konseptualisasi Gratifikasi yang Tidak Sah

Gratifikasi merupakan istilah yang memiliki makna luas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan praktik hukum internasional terkait korupsi. Menurut Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan cara apa pun.¹

Secara yuridis, tidak semua gratifikasi dianggap sebagai tindak pidana. Gratifikasi dianggap sah apabila tidak berkaitan dengan jabatan penerima atau tidak melanggar ketentuan hukum dan etika jabatan. Gratifikasi menjadi tidak sah apabila terdapat indikasi konflik kepentingan, adanya harapan timbal balik dari pihak pemberi, atau ketika penerimaan gratifikasi itu berpotensi mempengaruhi kebijakan atau keputusan pejabat publik. Dalam konteks ini, gratifikasi tidak sah dipandang sebagai bentuk korupsi yang bersifat terselubung.²

Dalam literatur akademik dan perspektif internasional, istilah gratifikasi sering diasosiasikan dengan “undue advantage” atau “improper benefit” dalam konteks hubungan antara pejabat publik dan pihak swasta. Transparency International menekankan bahwa pemberian semacam ini, meskipun tidak disertai permintaan eksplisit, tetap mengancam integritas institusi publik karena menciptakan ketergantungan psikologis atau sosial yang memengaruhi objektivitas pengambilan keputusan.³

The World Bank dalam laporan klasiknya mengklasifikasikan gratifikasi sebagai bentuk administrative corruption, yaitu praktik pemberian hadiah atau fasilitas kepada pejabat administrasi negara yang bertujuan untuk memperoleh perlakuan istimewa dalam proses layanan publik.⁴ Dengan demikian, gratifikasi yang tidak sah merupakan suatu penyimpangan dari prinsip meritokrasi, keadilan, dan akuntabilitas dalam pelayanan publik.

Lebih lanjut, KPK menjelaskan bahwa gratifikasi harus dilaporkan paling lambat 30 hari kerja sejak diterima kepada KPK agar dapat dinilai apakah termasuk pemberian yang patut diduga sebagai suap atau tidak. Jika tidak dilaporkan, dan jika penerimaan gratifikasi itu terjadi pada pejabat penyelenggara negara serta berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka gratifikasi tersebut dianggap suap dan dapat dikenai sanksi pidana.⁵ Mekanisme pelaporan inilah yang menjadi salah satu upaya untuk membedakan secara objektif antara gratifikasi yang sah dan yang tidak sah.

Konseptualisasi gratifikasi yang tidak sah tidak dapat dilepaskan dari perspektif etika jabatan dan moralitas publik. Dalam kerangka ini, gratifikasi bukan hanya dipahami sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari nilai-nilai integritas, transparansi, dan tanggung jawab sebagai pejabat publik. Oleh karena itu, kajian terhadap gratifikasi harus mencakup pendekatan multidisipliner, meliputi aspek hukum, sosiologis, etis, dan kebijakan publik.


Footnotes

[1]                Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B.

[2]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 10–12.

[3]                Transparency International, Global Corruption Report 2009: Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 49.

[4]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8–9.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 36.


3.           Gratifikasi dalam Perspektif Internasional

Fenomena gratifikasi tidak hanya menjadi perhatian dalam sistem hukum nasional, tetapi juga dalam kajian global tentang korupsi dan tata kelola pemerintahan. Berbagai organisasi internasional, seperti World Bank, Transparency International, dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), mengidentifikasi gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi administratif yang paling tersebar luas dan sulit dideteksi, karena sering disamarkan sebagai bentuk hubungan sosial, hadiah budaya, atau ekspresi rasa terima kasih.¹

Dalam dokumen Helping Countries Combat Corruption, World Bank menjelaskan bahwa gratifikasi (dalam istilah mereka disebut “undue gifts or advantages”) merupakan bentuk abuse of entrusted power for private gain yang umum terjadi di sektor pelayanan publik.² Hadiah-hadiah tersebut, meskipun tampak sepele atau simbolik, memiliki potensi besar untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan yang seharusnya obyektif dan bebas dari kepentingan pribadi. World Bank juga menekankan bahwa gratifikasi, jika dibiarkan, akan menciptakan budaya birokrasi yang permisif terhadap konflik kepentingan.³

Sementara itu, Transparency International mengategorikan gratifikasi sebagai bentuk korupsi yang menyusup ke dalam praktik “everyday corruption”, yaitu korupsi yang terjadi dalam relasi harian antara warga negara dan aparat negara. Pemberian hadiah atau fasilitas yang dianggap sebagai “pelicin” dalam transaksi administratif menjadi bentuk kompromi etika yang sistemik, dan dalam jangka panjang akan menurunkan standar integritas publik.⁴ Transparency International juga mengingatkan bahwa dalam konteks negara-negara berkembang, praktik semacam ini menjadi akar dari clientelism dan state capture, yakni ketika kebijakan publik disandera oleh hubungan informal antara elite dan sektor bisnis.⁵

Konvensi PBB melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi oleh lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, turut menegaskan perlunya penanganan terhadap gratifikasi. Dalam Pasal 8 dan Pasal 12, UNCAC mengatur bahwa negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah korupsi melalui penerapan standar etik dan regulasi tentang pemberian hadiah kepada pejabat publik dan pengelola sektor privat.⁶ Poin penting dari konvensi ini adalah mendorong transparansi, pelaporan, dan mekanisme kontrol internal terhadap pemberian apa pun yang memiliki potensi untuk memengaruhi profesionalisme dan integritas pejabat publik.

Sebagai perbandingan, beberapa negara memiliki sistem yang ketat dalam mengatur gratifikasi. Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah menerapkan Kim Young-ran Act (Undang-Undang Integritas Pejabat Publik) yang secara ketat membatasi jumlah dan jenis hadiah yang boleh diterima pejabat negara, guru, jurnalis, dan bahkan staf universitas. Undang-undang ini memberikan batas nilai maksimal dan mewajibkan pelaporan terhadap semua bentuk pemberian yang terkait jabatan.⁷ Di Singapura, pendekatan “zero tolerance” terhadap korupsi mengharuskan setiap hadiah yang diterima oleh pejabat publik untuk dilaporkan kepada atasan langsung dan disetujui secara administratif.⁸ Negara ini dikenal dengan sistem pengawasan internal dan eksternal yang sangat ketat, serta hukuman berat terhadap pelanggaran integritas.

Dari perspektif internasional tersebut, terlihat bahwa gratifikasi yang tidak sah merupakan tantangan lintas batas negara, yang membutuhkan kerangka hukum yang tegas, kesadaran etis yang tinggi, serta sistem pelaporan dan pengawasan yang kuat. Penanganan terhadap gratifikasi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga refleksi dari kualitas tata kelola pemerintahan, budaya birokrasi, dan partisipasi publik dalam menuntut transparansi.


Footnotes

[1]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC, 2004), 33–34.

[2]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8.

[3]                Ibid., 9–10.

[4]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 – Executive Summary (Berlin: Transparency International, 2023), 4.

[5]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 87–88.

[6]                United Nations Convention against Corruption (UNCAC), Articles 8 and 12, accessed June 2024, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention.html.

[7]                Kim, Sunhyuk, and Jongseok Woo. “Fighting Corruption in South Korea: The Rise and Fall of the Kim Young-ran Act,” Asian Survey 59, no. 4 (2019): 677–700.

[8]                Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 103–105.


4.           Modus Operandi dan Bentuk-Bentuk Gratifikasi yang Tidak Sah

Gratifikasi yang tidak sah kerap kali terjadi melalui pola-pola yang sistematis dan terstruktur, terutama dalam lingkungan birokrasi, politik, dan sektor swasta yang berinteraksi langsung dengan kebijakan publik. Tidak seperti suap yang biasanya melibatkan kesepakatan timbal balik yang eksplisit, modus gratifikasi yang tidak sah sering disamarkan sebagai bentuk pemberian sukarela, hadiah simbolik, atau praktik budaya, sehingga sulit dideteksi tanpa mekanisme pengawasan yang efektif.¹

Salah satu modus yang paling umum adalah pemberian hadiah atau fasilitas menjelang atau sesudah pengambilan keputusan strategis. Misalnya, pemberian cendera mata mewah, akomodasi eksklusif, atau voucher perjalanan kepada pejabat yang terlibat dalam proses perizinan, tender proyek, atau pengangkatan jabatan. Praktik semacam ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap hasil kebijakan atau keputusan tersebut.² Dalam laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dijelaskan bahwa jenis pemberian yang paling sering dilaporkan sebagai gratifikasi adalah uang tunai, barang elektronik, jam tangan mahal, hingga pembiayaan paket umrah.³

Modus lain adalah dalam bentuk fasilitas yang disediakan secara tidak langsung, seperti peminjaman kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi, penggunaan fasilitas hotel berbintang yang dibayarkan oleh pihak ketiga, atau pemberian diskon besar atas pembelian barang/jasa dari mitra kerja.⁴ Fasilitas semacam ini biasanya tidak dicatat secara formal, dan sering kali diberikan dengan dalih hubungan baik atau sebagai bentuk penghargaan personal. Namun, ketika diberikan kepada pejabat publik yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan, fasilitas tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi yang tidak sah karena berpotensi menciptakan konflik kepentingan.

Dalam konteks birokrasi lokal, praktik pemberian parsel atau hadiah tahunan menjelang hari raya keagamaan juga menjadi bentuk gratifikasi yang tersebar luas. Meski dibungkus dalam norma sosial atau budaya, praktik ini bertentangan dengan prinsip objektivitas dan integritas aparatur negara.⁵ Transparency International mencatat bahwa pemahaman yang kabur antara “pemberian wajar” dan “pemberian yang mencurigakan” menjadi celah yang dimanfaatkan untuk melakukan korupsi terselubung.⁶ Oleh sebab itu, pemetaan yang jelas terhadap bentuk-bentuk gratifikasi sangat penting untuk mendukung pencegahan secara sistematis.

Secara umum, bentuk-bentuk gratifikasi yang tidak sah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

·                     Uang tunai: Diberikan dalam bentuk angpau, “uang transportasi”, atau sumbangan personal yang tidak dilaporkan.

·                     Barang berharga: Elektronik (smartphone, laptop), perhiasan, lukisan, dan produk mewah lainnya.

·                     Fasilitas jasa: Tiket pesawat, layanan hotel dan spa, perawatan medis khusus, dan sebagainya.

·                     Kredit atau pinjaman lunak: Pemberian akses pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga sangat rendah dari pihak berkepentingan.

·                     Paket wisata atau umrah: Pemberian yang dikemas sebagai “hadiah penghargaan” padahal dilakukan atas dasar hubungan jabatan.⁷

Dalam beberapa kasus, modus operandi gratifikasi juga dilakukan melalui pihak ketiga atau orang kepercayaan, seperti keluarga, asisten pribadi, atau staf khusus. Tujuannya adalah untuk menghindari jejak langsung antara pemberi dan penerima.⁸ Modus ini memperumit proses pembuktian, sebab penerima dapat mengklaim tidak mengetahui atau tidak menginisiasi pemberian tersebut. Oleh karena itu, pendekatan forensik digital dan pengawasan berbasis data menjadi sangat penting dalam mendeteksi pola-pola semacam ini.

Modus dan bentuk gratifikasi yang tidak sah semakin kompleks dalam ekosistem digital saat ini. Pemberian kini bisa dilakukan melalui uang elektronik, transfer kripto, atau token digital, yang secara teknis lebih sulit dilacak dibandingkan dengan pemberian konvensional. Dalam konteks ini, pendekatan regulatif dan sistem pengawasan pun perlu ikut berkembang mengikuti tren teknologi.⁹


Footnotes

[1]                Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. (Berkeley: University of California Press, 1988), 35.

[2]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 15–17.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 53–55.

[4]                Transparency International, Global Corruption Report 2009: Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 61.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 39.

[6]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 – Executive Summary (Berlin: Transparency International, 2023), 6.

[7]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC, 2004), 36–38.

[8]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 102.

[9]                Nurul Ghufron, “KPK dan Tantangan Korupsi di Era Digital,” Jurnal Integritas 8, no. 2 (2022): 121–125.


5.           Dampak Gratifikasi terhadap Kebijakan dan Pelayanan Publik

Gratifikasi yang tidak sah memiliki dampak yang sangat luas dan merusak terhadap tata kelola pemerintahan, khususnya dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Dampak ini bersifat sistemik, karena gratifikasi memengaruhi nilai-nilai dasar pemerintahan yang baik seperti integritas, objektivitas, keadilan, dan akuntabilitas.¹

5.1.       Distorsi dalam Pengambilan Kebijakan Publik

Gratifikasi yang diterima oleh pejabat publik atau pengambil keputusan berpotensi besar menciptakan distorsi kebijakan, yaitu penyimpangan arah kebijakan dari kepentingan publik menuju kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.² Keputusan yang seharusnya didasarkan pada prinsip kepentingan umum, efektivitas, dan efisiensi, justru menjadi bias karena pengaruh pemberian hadiah atau fasilitas yang bersifat tidak sah.

Sebagai contoh, pemilihan rekanan proyek, penetapan zona perizinan, atau penyaluran bantuan sosial dapat diputuskan bukan berdasarkan kriteria obyektif, melainkan karena pejabat yang bersangkutan telah menerima gratifikasi dari pihak tertentu. Praktik semacam ini melemahkan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik dan menurunkan kualitas demokrasi.³

Dalam studi yang dilakukan oleh Susan Rose-Ackerman, disebutkan bahwa gratifikasi, meskipun sering dianggap sebagai “pelumas sosial”, dalam jangka panjang akan mengikis kepercayaan terhadap sistem dan mendorong berkembangnya ekonomi rente, di mana keuntungan ekonomi diperoleh bukan karena produktivitas, melainkan karena kedekatan dengan penguasa.⁴

5.2.       Melemahkan Profesionalisme dan Akuntabilitas Aparatur Negara

Penerimaan gratifikasi menciptakan konflik kepentingan yang langsung melemahkan profesionalisme aparatur negara. Seorang pejabat yang menerima hadiah dari pihak yang berkepentingan akan kehilangan independensinya dalam mengambil keputusan. Ini menimbulkan pertanyaan publik tentang integritas dan komitmen pejabat terhadap sumpah jabatan dan kode etik yang berlaku.⁵

Gratifikasi juga menyulitkan penerapan prinsip akuntabilitas vertikal dan horizontal. Pejabat yang menerima gratifikasi cenderung menutup-nutupi proses pengambilan kebijakan, menghindari transparansi, dan bahkan memanipulasi data atau dokumen agar tidak terendus oleh sistem pengawasan.⁶ Hal ini menghambat sistem check and balance dalam birokrasi dan memperburuk budaya organisasi.

5.3.       Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah

Dampak paling nyata dari meluasnya gratifikasi adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Kepercayaan publik merupakan fondasi utama dalam mewujudkan partisipasi warga negara, kepatuhan terhadap hukum, dan efektivitas kebijakan publik.⁷ Ketika publik melihat bahwa kebijakan lebih banyak berpihak pada kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, maka timbul apatisme, sinisme, dan resistensi terhadap program-program pemerintah.

Survei Edelman Trust Barometer menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah secara global menurun tajam di negara-negara yang mengalami tingkat korupsi tinggi, termasuk dalam bentuk gratifikasi.⁸ Dalam konteks Indonesia, KPK menyebutkan bahwa praktik gratifikasi yang tidak dilaporkan merupakan salah satu penyebab utama mengapa banyak kebijakan publik dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.⁹

5.4.       Merusak Sistem Meritokrasi dan Mendorong Nepotisme

Dalam jangka panjang, gratifikasi yang tidak sah menggerogoti sistem meritokrasi, yaitu sistem yang didasarkan pada kinerja dan kompetensi. Penerimaan hadiah atau fasilitas oleh pejabat pengambil keputusan dapat mengakibatkan individu atau kelompok tertentu memperoleh keuntungan, posisi, atau akses yang tidak seharusnya mereka dapatkan. Ini membuka ruang bagi nepotisme, kolusi, dan pengabaian terhadap prinsip keadilan sosial.¹⁰

Akibatnya, pegawai atau pemohon layanan yang jujur dan tidak menawarkan “imbalan” cenderung terpinggirkan. Ini menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pelayanan publik dan mendorong perilaku membenarkan korupsi sebagai “jalan normal” untuk mendapatkan hak atau kemudahan.


Footnotes

[1]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 69.

[2]                Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank Policy Research Working Paper No. 4978 (2009): 16–17.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 59.

[4]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 113–114.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 19.

[6]                Transparency International, Global Corruption Report 2009: Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 62–63.

[7]                OECD, Trust in Government: Ethics Measures in OECD Countries (Paris: OECD Publishing, 2000), 7.

[8]                Edelman, 2023 Edelman Trust Barometer – Global Report, accessed June 2024, https://www.edelman.com/trust-barometer.

[9]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 47.

[10]             Rose-Ackerman, Corruption and Government, 120.


6.           Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Gratifikasi yang tidak sah merupakan bentuk korupsi terselubung yang hanya dapat diatasi melalui pendekatan yang menyeluruh dan berlapis. Strategi pencegahan dan penanggulangan tidak cukup hanya melalui penindakan hukum, tetapi juga memerlukan transformasi budaya birokrasi, penguatan sistem integritas, dan partisipasi publik yang aktif.¹ Negara-negara yang berhasil menekan gratifikasi umumnya menggabungkan tiga pendekatan utama: regulatif, kelembagaan, dan kultural.

6.1.       Regulasi dan Kebijakan Nasional

Pencegahan gratifikasi di Indonesia telah mendapatkan dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12B dan 12C yang mengatur pelaporan gratifikasi.² Regulasi ini diperkuat dengan Peraturan KPK No. 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi, yang mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk melaporkan gratifikasi paling lambat 30 hari kerja setelah diterima. Jika tidak dilaporkan, gratifikasi tersebut dianggap suap dan dapat dikenakan pidana.

Selain itu, pemerintah telah mendorong implementasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) berbasis ISO 37001:2016 di berbagai lembaga negara dan BUMN. SMAP bertujuan untuk membangun sistem pengendalian internal yang mampu mendeteksi dan mencegah praktik gratifikasi sejak dini.³ Penerapan standar ini menjadi indikator penting dalam pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM).

6.2.       Penguatan Lembaga Pengawasan dan Sistem Pelaporan

KPK sebagai lembaga independen memegang peran strategis dalam pengendalian gratifikasi. KPK menyediakan Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) di tiap instansi, serta membuka kanal pelaporan yang mudah diakses, termasuk melalui aplikasi GOL (Gratifikasi Online) yang terintegrasi dengan sistem pengawasan internal.⁴ Pada tahun 2023, KPK menerima lebih dari 3.000 laporan gratifikasi, sebagian besar berasal dari ASN dan pejabat penyelenggara negara.⁵

Selain pelaporan, penting pula adanya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower) agar pelaku gratifikasi tidak dapat melakukan intimidasi atau retaliasi terhadap pelapor. Transparansi dan kerahasiaan pelaporan menjadi elemen krusial dalam menciptakan budaya jujur dan adil di lingkungan kerja.

6.3.       Pendidikan Antikorupsi dan Reformasi Etika Publik

Pencegahan gratifikasi juga memerlukan upaya jangka panjang melalui pendidikan antikorupsi sejak dini. KPK telah meluncurkan Modul Pendidikan Antikorupsi untuk jenjang SD hingga perguruan tinggi, yang memasukkan topik gratifikasi sebagai bagian dari pelajaran etika dan kewarganegaraan.⁶

Di lingkungan instansi pemerintahan dan sektor privat, pelatihan rutin tentang kode etik, deklarasi benturan kepentingan, dan simulasi kasus gratifikasi menjadi strategi penting dalam menumbuhkan kesadaran pegawai. Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan juga mengadopsi pendekatan serupa dengan menerapkan kurikulum integritas dan pelatihan etik yang ketat bagi pejabat publik.⁷

6.4.       Reformasi Budaya Organisasi dan Keteladanan Pemimpin

Aspek paling fundamental dari pencegahan gratifikasi terletak pada pembentukan budaya organisasi yang berintegritas. Lingkungan birokrasi yang permisif terhadap pemberian hadiah akan memicu praktik pembiaran dan pembenaran moral. Oleh karena itu, reformasi budaya kerja berbasis nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab publik harus menjadi prioritas utama.

Keteladanan pimpinan menjadi kunci keberhasilan reformasi ini. Seorang pemimpin yang konsisten menolak hadiah, melaporkan gratifikasi, dan menegakkan disiplin terhadap pelanggaran etika akan menciptakan iklim kerja yang bersih.⁸ Sebaliknya, kepemimpinan yang kompromistis terhadap gratifikasi akan menghancurkan semangat antikorupsi dari dalam.

6.5.       Keterlibatan Masyarakat dan Media

Gratifikasi yang tidak sah juga dapat dicegah melalui peran aktif masyarakat dan media massa. Pelibatan LSM, jurnalis investigasi, dan platform pelaporan publik dapat memperluas jangkauan pengawasan sosial terhadap praktik-praktik pemberian yang mencurigakan. Di era digital, media sosial menjadi alat yang efektif untuk memperkuat transparansi dan membangun tekanan publik terhadap pelanggaran etika pejabat.⁹

Keterlibatan publik bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai agen edukasi dan advokasi. Semakin tinggi kesadaran warga terhadap bahaya gratifikasi, semakin kuat resistensi terhadap budaya koruptif di berbagai sektor.


Footnotes

[1]                Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. (Berkeley: University of California Press, 1988), 96.

[2]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B dan 12C.

[3]                Kementerian PANRB, Pedoman Implementasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan ISO 37001 di Instansi Pemerintah (Jakarta: KemenPANRB, 2021), 7–8.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 22–23.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 51.

[6]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 12–13.

[7]                Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 108–109.

[8]                Transparency International, The Role of Leadership in Preventing Corruption, Policy Brief No. 3 (Berlin: TI, 2016), 2.

[9]                OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Implementation (Paris: OECD Publishing, 2020), 36.


7.           Analisis Kritis: Mengapa Gratifikasi Masih Terjadi?

Meskipun regulasi hukum telah tersedia, berbagai mekanisme pelaporan telah dikembangkan, dan kampanye antikorupsi terus digencarkan, praktik gratifikasi yang tidak sah tetap berlangsung di berbagai tingkatan birokrasi dan sektor publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan gratifikasi tidak semata-mata bersifat legal-formal, tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan struktural, kultural, dan psikologis yang lebih kompleks.¹

7.1.       Faktor Budaya: Warisan Feodalisme dan Patronase

Salah satu akar dari maraknya gratifikasi adalah budaya patron-klien yang masih mengakar kuat dalam birokrasi Indonesia. Pemberian hadiah kepada atasan, rekan kerja, atau pejabat publik dianggap sebagai bentuk “tata krama” atau “tanda hormat” dalam relasi sosial.² Dalam perspektif budaya, tindakan tersebut kerap dipandang bukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai norma yang dapat mempererat hubungan sosial. Namun, dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, praktik ini berisiko mengaburkan batas antara hubungan personal dan kepentingan publik.

Menurut analisis Klitgaard, korupsi tumbuh subur di lingkungan yang memiliki toleransi sosial terhadap praktik pemberian tidak sah, terutama ketika masyarakat memandang gratifikasi sebagai sesuatu yang “lumrah” dan bukan kejahatan.³ Ini menjadi tantangan utama dalam menginternalisasi etika integritas di lingkungan birokrasi.

7.2.       Faktor Struktural: Lemahnya Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas

Secara struktural, keberlangsungan gratifikasi yang tidak sah juga ditopang oleh lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal, khususnya di lembaga-lembaga pemerintah daerah dan instansi layanan publik. Pengawasan sering kali bersifat administratif dan formalitas belaka, tanpa mekanisme evaluasi yang substantif terhadap praktik konflik kepentingan.⁴

Ketiadaan mekanisme pengawasan yang independen dan kuat menyebabkan pejabat publik tidak merasa diawasi secara efektif, bahkan dalam hal pelaporan gratifikasi. Sebuah studi dari Transparency International Indonesia menemukan bahwa banyak aparatur negara masih enggan melaporkan gratifikasi karena menganggapnya “tidak penting” atau takut mendapat stigma dari lingkungan kerja.⁵ Ini menunjukkan masih adanya kekosongan antara regulasi dan implementasi di lapangan.

7.3.       Faktor Psikologis: Rasionalisasi Moral dan Pembenaran Diri

Secara psikologis, para penerima gratifikasi sering kali melakukan rasionalisasi moral terhadap tindakannya. Gratifikasi dipersepsikan bukan sebagai korupsi, melainkan sebagai penghargaan atas kinerja, balas jasa, atau pengakuan terhadap jabatan. Proses justifikasi ini diperkuat oleh norma sosial yang ambigu dan tidak adanya sanksi sosial yang tegas terhadap pelanggaran etika.⁶

Menurut Theory of Planned Behavior yang dikembangkan oleh Ajzen, perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh norma subjektif dan persepsi kontrol atas risiko.⁷ Dalam konteks ini, jika seseorang meyakini bahwa gratifikasi merupakan hal yang “diterima secara sosial” dan memiliki kemungkinan rendah untuk dikenakan sanksi, maka kecenderungan untuk menerima gratifikasi meningkat. Pemahaman ini menjelaskan mengapa meskipun seseorang sadar bahwa tindakan tersebut melanggar hukum, ia tetap melakukannya karena faktor pembenaran psikologis dan lingkungan yang permisif.

7.4.       Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Akses Ekonomi

Dalam sejumlah kasus, gratifikasi muncul sebagai mekanisme survival dalam sistem yang tidak adil. Pihak swasta atau masyarakat yang merasa tidak memiliki kekuasaan atau akses yang setara dalam sistem layanan publik cenderung merasa perlu “menyenangkan” aparat dengan pemberian agar mendapatkan perlakuan yang adil.⁸ Ini menandakan adanya ketimpangan relasi kuasa dalam birokrasi yang harus dikoreksi secara sistemik.

Lebih jauh, pelaku usaha juga memandang gratifikasi sebagai “biaya operasional” untuk memperlancar urusan administrasi.⁹ Pemahaman ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan dengan birokrasi yang lamban dan kompleks, gratifikasi menjadi “solusi informal” atas ketidakefisienan sistem.

7.5.       Kurangnya Keteladanan dan Keadilan Institusional

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah minimnya keteladanan dari pemimpin dan aktor kunci dalam lembaga publik. Ketika pejabat tinggi lembaga menerima gratifikasi tanpa dikenai sanksi atau justru diam-diam dibiarkan, maka bawahan akan meniru perilaku tersebut.⁽¹⁰⁾ Hal ini menciptakan siklus impunitas yang berulang.

Selain itu, ketika hukum hanya ditegakkan terhadap kasus kecil dan tidak menyentuh pelaku dari kalangan elite, maka kepercayaan terhadap keadilan hukum akan melemah. Ketidakadilan institusional ini menjadi pemicu pembangkangan moral dan memperkuat budaya permisif terhadap pelanggaran etika.


Footnotes

[1]                Klitgaard, Robert. Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 37.

[2]                Sjahruddin, H. "Korupsi dan Budaya Patronase dalam Birokrasi Indonesia." Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 19, no. 1 (2015): 85–98.

[3]                Klitgaard, Controlling Corruption, 42.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023 (Jakarta: KPK, 2024), 64–66.

[5]                Transparency International Indonesia, Survei Persepsi Gratifikasi dan Pelaporan di Lingkungan ASN, 2022.

[6]                Ari Kuncoro, “Moral Reasoning of Corruption among Civil Servants in Indonesia,” Jurnal Etika dan Integritas 4, no. 2 (2021): 41–52.

[7]                Icek Ajzen, “The Theory of Planned Behavior,” Organizational Behavior and Human Decision Processes 50, no. 2 (1991): 179–211.

[8]                Kaufmann, Daniel et al., “State Capture, Corruption and Influence in Transition,” World Bank Policy Research Paper No. 2312 (2000): 6–7.

[9]                Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 122.

[10]             Transparency International, The Role of Leadership in Preventing Corruption, Policy Brief No. 3 (Berlin: TI, 2016), 3.


8.           Penutup

Gratifikasi yang tidak sah merupakan bentuk korupsi terselubung yang memiliki dampak merusak tidak kalah signifikan dibandingkan suap atau penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan. Sebagai tindakan yang berpotensi memengaruhi objektivitas dan integritas pengambilan kebijakan publik, gratifikasi telah menciptakan ruang abu-abu dalam sistem pemerintahan yang idealnya menjunjung transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum.¹

Kajian ini menunjukkan bahwa gratifikasi bukan sekadar masalah hukum formal, tetapi merupakan gejala sistemik dari persoalan budaya birokrasi, lemahnya pengawasan, serta ketidakseimbangan relasi kuasa antara pejabat publik dan pemangku kepentingan.² Gratifikasi yang dikemas dalam bentuk hadiah simbolik, fasilitas, atau pelayanan istimewa tidak hanya mengganggu netralitas keputusan pejabat, tetapi juga mendegradasi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.³

Secara normatif, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai untuk mencegah dan menindak gratifikasi yang tidak sah, termasuk kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan peraturan pelaksananya.⁴ Namun, masih lemahnya budaya pelaporan, rendahnya kesadaran etika jabatan, serta kuatnya pengaruh nilai-nilai patronase dalam birokrasi menjadi tantangan utama dalam implementasi regulasi tersebut.⁵

Dari sisi internasional, berbagai negara telah mengembangkan pendekatan holistik dalam menanggulangi gratifikasi, mulai dari sistem pelaporan digital, pembatasan nilai hadiah, hingga pendidikan integritas di seluruh jenjang. Pembelajaran dari negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan negara-negara Skandinavia menunjukkan bahwa keberhasilan pemberantasan gratifikasi sangat ditentukan oleh keteladanan pimpinan, kejelasan norma, dan konsistensi penegakan hukum.⁶

Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangan gratifikasi harus difokuskan pada transformasi budaya birokrasi melalui pendidikan etika, penguatan pengawasan internal, perlindungan terhadap pelapor, dan keterlibatan publik yang aktif.⁷ Dibutuhkan kepemimpinan yang berani, sistem hukum yang adil, serta masyarakat yang berintegritas untuk memutus rantai normalisasi gratifikasi.

Penegasan batas antara pemberian yang sah dan yang tidak sah harus terus dikampanyekan secara masif, baik melalui media pendidikan formal maupun kanal komunikasi publik. Hanya dengan memperkuat nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian pada kepentingan bersama, praktik gratifikasi yang tidak sah dapat ditekan secara signifikan, dan kepercayaan publik terhadap negara dapat dibangun kembali secara berkelanjutan.⁸


Footnotes

[1]                Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 83–84.

[2]                Klitgaard, Robert. Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 61.

[3]                OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Implementation (Paris: OECD Publishing, 2020), 14.

[4]                Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B–12C.

[5]                Transparency International Indonesia, Survei Persepsi Gratifikasi dan Pelaporan di Lingkungan ASN, 2022.

[6]                Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style (Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 107–109.

[7]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 53.

[8]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC, 2004), 41–42.


Daftar Pustaka

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179–211. https://doi.org/10.1016/0749-5978(91)90020-T

Kaufmann, D., Kraay, A., & Mastruzzi, M. (2009). Governance matters VIII: Aggregate and individual governance indicators, 1996–2008 (Policy Research Working Paper No. 4978). World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/4170

Kaufmann, D., Hellman, J. S., & Jones, G. (2000). State capture, corruption and influence in transition economies (Policy Research Working Paper No. 2312). World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/19235

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. (2021). Pedoman implementasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan ISO 37001 di instansi pemerintah. https://peraturan.bpk.go.id

Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. University of California Press.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2017). Panduan gratifikasi bagi penyelenggara negara. Jakarta: KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2018). Modul pendidikan antikorupsi untuk perguruan tinggi. Jakarta: KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2024). Laporan tahunan 2023. Jakarta: KPK.

OECD. (2000). Trust in government: Ethics measures in OECD countries. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2020). Public sector integrity: A framework for implementation. Paris: OECD Publishing.

Quah, J. S. T. (2010). Public administration Singapore-style. Bingley: Emerald Group Publishing.

Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge University Press.

Sjahruddin, H. (2015). Korupsi dan budaya patronase dalam birokrasi Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(1), 85–98.

Transparency International. (2009). Global corruption report 2009: Corruption and the private sector. Cambridge University Press.

Transparency International. (2016). The role of leadership in preventing corruption (Policy Brief No. 3). Berlin: Transparency International.

Transparency International. (2023). Corruption perceptions index 2023 – Executive summary. Berlin: Transparency International.

Transparency International Indonesia. (2022). Survei persepsi gratifikasi dan pelaporan di lingkungan ASN. https://ti.or.id

UNODC. (2004). The global programme against corruption: UN anti-corruption toolkit. Vienna: United Nations Office on Drugs and Crime. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/toolkit.html

United Nations. (2004). United Nations Convention against Corruption. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention.html


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar