Gratifikasi yang Tidak Sah
Kajian Kritis terhadap Penerimaan Hadiah yang
Mempengaruhi Kebijakan Publik
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Gratifikasi yang tidak sah merupakan salah satu
bentuk korupsi terselubung yang memiliki dampak sistemik terhadap objektivitas
pengambilan kebijakan publik dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Artikel
ini mengkaji secara kritis praktik gratifikasi yang diberikan kepada pejabat
publik dalam bentuk hadiah, fasilitas, atau pelayanan khusus yang berkaitan
langsung dengan jabatan. Dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, dan
teoritis, tulisan ini menguraikan definisi, landasan hukum, modus operandi,
dampak terhadap tata kelola pemerintahan, serta faktor-faktor penyebab yang melanggengkan
praktik ini. Hasil kajian menunjukkan bahwa gratifikasi yang tidak sah
berdampak pada distorsi kebijakan, melemahkan profesionalisme aparatur, dan
menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Upaya
penanggulangannya memerlukan sinergi antara regulasi yang tegas, pengawasan
internal yang kuat, reformasi budaya birokrasi, pendidikan antikorupsi, serta
keteladanan pimpinan. Kajian ini merekomendasikan pendekatan multidimensi dalam
memberantas gratifikasi, termasuk pelibatan aktif masyarakat dan penguatan
sistem integritas publik yang berkelanjutan.
Kata kunci: Gratifikasi,
kebijakan publik, korupsi, integritas, birokrasi, pelaporan, etika jabatan.
PEMBAHASAN
Gratifikasi yang Tidak Sah
1.
Pendahuluan
Korupsi merupakan
salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahan
yang baik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu bentuk korupsi
yang kerap luput dari perhatian publik, namun memiliki implikasi serius
terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan publik, adalah gratifikasi yang
tidak sah. Gratifikasi, dalam konteks hukum Indonesia, merujuk pada pemberian
dalam arti luas, baik berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, penginapan, fasilitas lainnya, dan pemberian sejenis
yang diterima oleh pejabat penyelenggara negara dan aparatur sipil negara dalam
kaitannya dengan jabatan mereka.¹
Berbeda dengan suap
yang terjadi atas dasar kesepakatan antara pemberi dan penerima untuk tujuan
tertentu, gratifikasi seringkali disamarkan sebagai bentuk pemberian sukarela
yang tidak secara langsung dikaitkan dengan permintaan balasan. Namun demikian,
dalam praktiknya, gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan integritas
seorang pejabat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini menjadikan gratifikasi
sebagai bentuk korupsi laten yang sangat berbahaya karena menyusup secara halus
ke dalam sistem birokrasi.²
Bank Dunia (World
Bank) secara tegas mengkategorikan gratifikasi sebagai salah satu bentuk petty
corruption yang sangat merusak, karena memengaruhi pelayanan publik
dan menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap hak-hak dasar warga negara.³
Dalam laporan mereka, gratifikasi—baik yang bersifat administratif maupun
politis—dipandang sebagai faktor utama yang menyebabkan keputusan-keputusan
publik tidak lagi didasarkan pada prinsip meritokrasi dan keadilan, melainkan
pada balas jasa, koneksi, atau hubungan pribadi.⁴
Di Indonesia,
persoalan gratifikasi menjadi perhatian utama Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), yang dalam berbagai laporan tahunannya menunjukkan bahwa praktik gratifikasi
masih berlangsung secara sistematis, terutama dalam birokrasi pelayanan publik,
lembaga perizinan, dan pengadaan barang dan jasa.⁵ Banyak kasus yang terungkap
membuktikan bahwa gratifikasi bukan hanya bentuk pelanggaran etika, melainkan
juga pintu masuk bagi korupsi struktural yang lebih besar.
Kajian terhadap
gratifikasi yang tidak sah menjadi penting untuk dilakukan, tidak hanya dari
aspek hukum, tetapi juga dari perspektif sosial, etika, dan tata kelola
pemerintahan. Pemahaman yang mendalam mengenai bentuk, modus, serta dampak
gratifikasi terhadap kebijakan publik dapat menjadi dasar dalam menyusun
strategi pencegahan yang lebih efektif. Oleh karena itu, artikel ini akan
mengulas secara kritis fenomena gratifikasi yang tidak sah, dengan mengacu pada
kerangka hukum nasional, kajian akademik, serta studi-studi internasional yang
relevan.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi
Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 5.
[2]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 28–30.
[3]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8.
[4]
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters
VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank
Policy Research Working Paper No. 4978 (2009): 15.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 41–43.
2.
Konseptualisasi Gratifikasi yang Tidak Sah
Gratifikasi
merupakan istilah yang memiliki makna luas dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia dan praktik hukum internasional terkait korupsi. Menurut Pasal
12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi
uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya,
yang diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan
cara apa pun.¹
Secara yuridis,
tidak semua gratifikasi dianggap sebagai tindak pidana. Gratifikasi dianggap
sah apabila tidak berkaitan dengan jabatan penerima atau tidak melanggar
ketentuan hukum dan etika jabatan. Gratifikasi menjadi tidak
sah apabila terdapat indikasi konflik kepentingan,
adanya harapan timbal balik dari pihak pemberi, atau ketika penerimaan
gratifikasi itu berpotensi mempengaruhi kebijakan atau
keputusan pejabat publik. Dalam konteks ini, gratifikasi tidak
sah dipandang sebagai bentuk korupsi yang bersifat terselubung.²
Dalam literatur
akademik dan perspektif internasional, istilah gratifikasi sering diasosiasikan
dengan “undue advantage” atau “improper benefit” dalam konteks
hubungan antara pejabat publik dan pihak swasta. Transparency International
menekankan bahwa pemberian semacam ini, meskipun tidak disertai permintaan
eksplisit, tetap mengancam integritas institusi publik karena menciptakan ketergantungan
psikologis atau sosial yang memengaruhi objektivitas
pengambilan keputusan.³
The World Bank dalam
laporan klasiknya mengklasifikasikan gratifikasi sebagai bentuk administrative
corruption, yaitu praktik pemberian hadiah atau fasilitas kepada
pejabat administrasi negara yang bertujuan untuk memperoleh perlakuan istimewa
dalam proses layanan publik.⁴ Dengan demikian, gratifikasi yang tidak sah
merupakan suatu penyimpangan dari prinsip meritokrasi,
keadilan, dan akuntabilitas dalam pelayanan publik.
Lebih lanjut, KPK
menjelaskan bahwa gratifikasi harus dilaporkan paling lambat 30 hari kerja
sejak diterima kepada KPK agar dapat dinilai apakah termasuk pemberian yang
patut diduga sebagai suap atau tidak. Jika tidak dilaporkan, dan jika
penerimaan gratifikasi itu terjadi pada pejabat penyelenggara negara serta
berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka
gratifikasi tersebut dianggap suap dan dapat dikenai sanksi pidana.⁵ Mekanisme
pelaporan inilah yang menjadi salah satu upaya untuk membedakan secara objektif
antara gratifikasi yang sah dan yang tidak sah.
Konseptualisasi
gratifikasi yang tidak sah tidak dapat dilepaskan dari perspektif etika
jabatan dan moralitas publik. Dalam
kerangka ini, gratifikasi bukan hanya dipahami sebagai pelanggaran hukum,
tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari nilai-nilai integritas,
transparansi, dan tanggung jawab sebagai pejabat publik. Oleh karena itu,
kajian terhadap gratifikasi harus mencakup pendekatan multidisipliner,
meliputi aspek hukum, sosiologis, etis, dan kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi
Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 10–12.
[3]
Transparency International, Global Corruption Report 2009:
Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 49.
[4]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8–9.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi
untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 36.
3.
Gratifikasi dalam Perspektif Internasional
Fenomena gratifikasi
tidak hanya menjadi perhatian dalam sistem hukum nasional, tetapi juga dalam
kajian global tentang korupsi dan tata kelola pemerintahan. Berbagai organisasi
internasional, seperti World Bank, Transparency
International, dan United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC), mengidentifikasi gratifikasi sebagai salah satu bentuk
korupsi administratif yang paling tersebar luas dan sulit dideteksi, karena
sering disamarkan sebagai bentuk hubungan sosial, hadiah budaya, atau ekspresi
rasa terima kasih.¹
Dalam dokumen Helping
Countries Combat Corruption, World Bank menjelaskan bahwa
gratifikasi (dalam istilah mereka disebut “undue gifts or advantages”)
merupakan bentuk abuse of entrusted power for private gain
yang umum terjadi di sektor pelayanan publik.² Hadiah-hadiah tersebut, meskipun
tampak sepele atau simbolik, memiliki potensi besar untuk memengaruhi proses
pengambilan keputusan yang seharusnya obyektif dan bebas dari kepentingan
pribadi. World Bank juga menekankan bahwa gratifikasi, jika dibiarkan, akan
menciptakan budaya birokrasi yang permisif terhadap konflik kepentingan.³
Sementara itu,
Transparency International mengategorikan gratifikasi sebagai bentuk korupsi
yang menyusup ke dalam praktik “everyday corruption”, yaitu korupsi yang
terjadi dalam relasi harian antara warga negara dan aparat negara. Pemberian
hadiah atau fasilitas yang dianggap sebagai “pelicin” dalam transaksi
administratif menjadi bentuk kompromi etika yang sistemik, dan dalam jangka
panjang akan menurunkan standar integritas publik.⁴ Transparency International
juga mengingatkan bahwa dalam konteks negara-negara berkembang, praktik semacam
ini menjadi akar dari clientelism dan state
capture, yakni ketika kebijakan publik disandera oleh hubungan
informal antara elite dan sektor bisnis.⁵
Konvensi PBB melawan
Korupsi (United
Nations Convention against Corruption/UNCAC) yang telah
diratifikasi oleh lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, turut menegaskan
perlunya penanganan terhadap gratifikasi. Dalam Pasal 8 dan Pasal 12, UNCAC
mengatur bahwa negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk
mencegah korupsi melalui penerapan standar etik dan regulasi tentang pemberian
hadiah kepada pejabat publik dan pengelola sektor privat.⁶ Poin penting dari
konvensi ini adalah mendorong transparansi, pelaporan, dan mekanisme kontrol
internal terhadap pemberian apa pun yang memiliki potensi untuk memengaruhi
profesionalisme dan integritas pejabat publik.
Sebagai
perbandingan, beberapa negara memiliki sistem yang ketat dalam mengatur
gratifikasi. Di Korea Selatan, misalnya,
pemerintah menerapkan Kim Young-ran Act
(Undang-Undang Integritas Pejabat Publik) yang secara ketat membatasi jumlah
dan jenis hadiah yang boleh diterima pejabat negara, guru, jurnalis, dan bahkan
staf universitas. Undang-undang ini memberikan batas nilai maksimal dan
mewajibkan pelaporan terhadap semua bentuk pemberian yang terkait jabatan.⁷ Di Singapura,
pendekatan “zero tolerance” terhadap korupsi mengharuskan setiap hadiah
yang diterima oleh pejabat publik untuk dilaporkan kepada atasan langsung dan
disetujui secara administratif.⁸ Negara ini dikenal dengan sistem pengawasan
internal dan eksternal yang sangat ketat, serta hukuman berat terhadap
pelanggaran integritas.
Dari perspektif
internasional tersebut, terlihat bahwa gratifikasi yang tidak sah merupakan tantangan
lintas batas negara, yang membutuhkan kerangka hukum yang
tegas, kesadaran etis yang tinggi, serta sistem pelaporan dan pengawasan yang
kuat. Penanganan terhadap gratifikasi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga
refleksi dari kualitas tata kelola pemerintahan, budaya birokrasi, dan
partisipasi publik dalam menuntut transparansi.
Footnotes
[1]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global
Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC,
2004), 33–34.
[2]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8.
[3]
Ibid., 9–10.
[4]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 –
Executive Summary (Berlin: Transparency International, 2023), 4.
[5]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 87–88.
[6]
United Nations Convention against Corruption (UNCAC), Articles 8
and 12, accessed June 2024, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention.html.
[7]
Kim, Sunhyuk, and Jongseok Woo. “Fighting Corruption in South Korea:
The Rise and Fall of the Kim Young-ran Act,” Asian Survey 59, no. 4
(2019): 677–700.
[8]
Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 103–105.
4.
Modus Operandi dan Bentuk-Bentuk Gratifikasi
yang Tidak Sah
Gratifikasi yang
tidak sah kerap kali terjadi melalui pola-pola yang sistematis dan terstruktur,
terutama dalam lingkungan birokrasi, politik, dan sektor swasta yang
berinteraksi langsung dengan kebijakan publik. Tidak seperti suap yang biasanya
melibatkan kesepakatan timbal balik yang eksplisit, modus gratifikasi yang
tidak sah sering disamarkan sebagai bentuk pemberian sukarela, hadiah simbolik,
atau praktik budaya, sehingga sulit dideteksi tanpa mekanisme pengawasan yang
efektif.¹
Salah satu modus
yang paling umum adalah pemberian hadiah atau fasilitas menjelang
atau sesudah pengambilan keputusan strategis. Misalnya,
pemberian cendera mata mewah, akomodasi eksklusif, atau voucher perjalanan
kepada pejabat yang terlibat dalam proses perizinan, tender proyek, atau
pengangkatan jabatan. Praktik semacam ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak
yang memiliki kepentingan langsung terhadap hasil kebijakan atau keputusan
tersebut.² Dalam laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dijelaskan
bahwa jenis pemberian yang paling sering dilaporkan sebagai gratifikasi adalah
uang tunai, barang elektronik, jam tangan mahal, hingga pembiayaan paket umrah.³
Modus lain adalah
dalam bentuk fasilitas yang disediakan secara tidak langsung,
seperti peminjaman kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi, penggunaan
fasilitas hotel berbintang yang dibayarkan oleh pihak ketiga, atau pemberian
diskon besar atas pembelian barang/jasa dari mitra kerja.⁴ Fasilitas semacam
ini biasanya tidak dicatat secara formal, dan sering kali diberikan dengan
dalih hubungan baik atau sebagai bentuk penghargaan personal. Namun, ketika
diberikan kepada pejabat publik yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan,
fasilitas tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi yang tidak
sah karena berpotensi menciptakan konflik kepentingan.
Dalam konteks
birokrasi lokal, praktik pemberian parsel atau hadiah tahunan
menjelang hari raya keagamaan juga menjadi bentuk gratifikasi yang tersebar
luas. Meski dibungkus dalam norma sosial atau budaya, praktik ini bertentangan
dengan prinsip objektivitas dan integritas aparatur negara.⁵ Transparency
International mencatat bahwa pemahaman yang kabur antara “pemberian wajar”
dan “pemberian yang mencurigakan” menjadi celah yang dimanfaatkan untuk
melakukan korupsi terselubung.⁶ Oleh sebab itu, pemetaan yang jelas terhadap
bentuk-bentuk gratifikasi sangat penting untuk mendukung pencegahan secara sistematis.
Secara umum,
bentuk-bentuk gratifikasi yang tidak sah dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
·
Uang tunai:
Diberikan dalam bentuk angpau, “uang transportasi”, atau sumbangan
personal yang tidak dilaporkan.
·
Barang berharga:
Elektronik (smartphone, laptop), perhiasan, lukisan, dan produk mewah lainnya.
·
Fasilitas jasa:
Tiket pesawat, layanan hotel dan spa, perawatan medis khusus, dan sebagainya.
·
Kredit atau
pinjaman lunak: Pemberian akses pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga
sangat rendah dari pihak berkepentingan.
·
Paket wisata atau
umrah: Pemberian yang dikemas sebagai “hadiah penghargaan”
padahal dilakukan atas dasar hubungan jabatan.⁷
Dalam beberapa
kasus, modus
operandi gratifikasi juga dilakukan melalui pihak ketiga atau
orang kepercayaan, seperti keluarga, asisten pribadi, atau staf khusus.
Tujuannya adalah untuk menghindari jejak langsung antara pemberi dan penerima.⁸
Modus ini memperumit proses pembuktian, sebab penerima dapat mengklaim tidak
mengetahui atau tidak menginisiasi pemberian tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan forensik digital dan pengawasan berbasis data menjadi sangat penting
dalam mendeteksi pola-pola semacam ini.
Modus dan bentuk
gratifikasi yang tidak sah semakin kompleks dalam ekosistem digital saat ini.
Pemberian kini bisa dilakukan melalui uang elektronik, transfer kripto, atau token
digital, yang secara teknis lebih sulit dilacak dibandingkan
dengan pemberian konvensional. Dalam konteks ini, pendekatan regulatif dan
sistem pengawasan pun perlu ikut berkembang mengikuti tren teknologi.⁹
Footnotes
[1]
Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. (Berkeley:
University of California Press, 1988), 35.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi
Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 15–17.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 53–55.
[4]
Transparency International, Global Corruption Report 2009:
Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 61.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi
untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 39.
[6]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 –
Executive Summary (Berlin: Transparency International, 2023), 6.
[7]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global
Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC,
2004), 36–38.
[8]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 102.
[9]
Nurul Ghufron, “KPK dan Tantangan Korupsi di Era Digital,” Jurnal
Integritas 8, no. 2 (2022): 121–125.
5.
Dampak Gratifikasi terhadap Kebijakan dan
Pelayanan Publik
Gratifikasi yang
tidak sah memiliki dampak yang sangat luas dan merusak terhadap tata kelola
pemerintahan, khususnya dalam proses pengambilan kebijakan publik dan
pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Dampak ini bersifat sistemik, karena
gratifikasi memengaruhi nilai-nilai dasar pemerintahan yang baik seperti
integritas, objektivitas, keadilan, dan akuntabilitas.¹
5.1.
Distorsi dalam Pengambilan Kebijakan Publik
Gratifikasi yang
diterima oleh pejabat publik atau pengambil keputusan berpotensi besar
menciptakan distorsi kebijakan, yaitu
penyimpangan arah kebijakan dari kepentingan publik menuju kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu.² Keputusan yang seharusnya didasarkan pada prinsip
kepentingan umum, efektivitas, dan efisiensi, justru menjadi bias karena
pengaruh pemberian hadiah atau fasilitas yang bersifat tidak sah.
Sebagai contoh,
pemilihan rekanan proyek, penetapan zona perizinan, atau penyaluran bantuan
sosial dapat diputuskan bukan berdasarkan kriteria obyektif, melainkan karena
pejabat yang bersangkutan telah menerima gratifikasi dari pihak tertentu.
Praktik semacam ini melemahkan kredibilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi
pelayanan publik dan menurunkan kualitas demokrasi.³
Dalam studi yang
dilakukan oleh Susan Rose-Ackerman, disebutkan bahwa gratifikasi, meskipun sering
dianggap sebagai “pelumas sosial”, dalam jangka panjang akan mengikis
kepercayaan terhadap sistem dan mendorong berkembangnya ekonomi
rente, di mana keuntungan ekonomi diperoleh bukan karena
produktivitas, melainkan karena kedekatan dengan penguasa.⁴
5.2.
Melemahkan Profesionalisme dan Akuntabilitas
Aparatur Negara
Penerimaan
gratifikasi menciptakan konflik kepentingan yang
langsung melemahkan profesionalisme aparatur negara. Seorang pejabat yang
menerima hadiah dari pihak yang berkepentingan akan kehilangan independensinya
dalam mengambil keputusan. Ini menimbulkan pertanyaan publik tentang integritas
dan komitmen pejabat terhadap sumpah jabatan dan kode etik yang berlaku.⁵
Gratifikasi juga
menyulitkan penerapan prinsip akuntabilitas vertikal dan horizontal.
Pejabat yang menerima gratifikasi cenderung menutup-nutupi proses pengambilan
kebijakan, menghindari transparansi, dan bahkan memanipulasi data atau dokumen
agar tidak terendus oleh sistem pengawasan.⁶ Hal ini menghambat sistem check
and balance dalam birokrasi dan memperburuk budaya organisasi.
5.3.
Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap
Pemerintah
Dampak paling nyata
dari meluasnya gratifikasi adalah menurunnya kepercayaan publik
terhadap institusi pemerintah. Kepercayaan publik merupakan fondasi utama dalam
mewujudkan partisipasi warga negara, kepatuhan terhadap hukum, dan efektivitas
kebijakan publik.⁷ Ketika publik melihat bahwa kebijakan lebih banyak berpihak
pada kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, maka timbul apatisme,
sinisme, dan resistensi terhadap program-program pemerintah.
Survei Edelman
Trust Barometer menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap
pemerintah secara global menurun tajam di negara-negara yang mengalami tingkat
korupsi tinggi, termasuk dalam bentuk gratifikasi.⁸ Dalam konteks Indonesia,
KPK menyebutkan bahwa praktik gratifikasi yang tidak dilaporkan merupakan salah
satu penyebab utama mengapa banyak kebijakan publik dianggap tidak berpihak
pada rakyat kecil.⁹
5.4.
Merusak Sistem Meritokrasi dan Mendorong
Nepotisme
Dalam jangka
panjang, gratifikasi yang tidak sah menggerogoti sistem meritokrasi, yaitu
sistem yang didasarkan pada kinerja dan kompetensi. Penerimaan hadiah atau
fasilitas oleh pejabat pengambil keputusan dapat mengakibatkan individu atau
kelompok tertentu memperoleh keuntungan, posisi, atau akses yang tidak
seharusnya mereka dapatkan. Ini membuka ruang bagi nepotisme,
kolusi, dan pengabaian terhadap prinsip keadilan sosial.¹⁰
Akibatnya, pegawai
atau pemohon layanan yang jujur dan tidak menawarkan “imbalan” cenderung
terpinggirkan. Ini menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pelayanan publik
dan mendorong perilaku membenarkan korupsi sebagai “jalan normal” untuk
mendapatkan hak atau kemudahan.
Footnotes
[1]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 69.
[2]
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters
VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank
Policy Research Working Paper No. 4978 (2009): 16–17.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 59.
[4]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 113–114.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi
Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 19.
[6]
Transparency International, Global Corruption Report 2009:
Corruption and the Private Sector (Cambridge: Cambridge University Press,
2009), 62–63.
[7]
OECD, Trust in Government: Ethics Measures in OECD Countries
(Paris: OECD Publishing, 2000), 7.
[8]
Edelman, 2023 Edelman Trust Barometer – Global Report,
accessed June 2024, https://www.edelman.com/trust-barometer.
[9]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi
untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 47.
[10]
Rose-Ackerman, Corruption and Government, 120.
6.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Gratifikasi yang
tidak sah merupakan bentuk korupsi terselubung yang hanya dapat diatasi melalui
pendekatan yang menyeluruh dan berlapis. Strategi pencegahan dan penanggulangan
tidak cukup hanya melalui penindakan hukum, tetapi juga memerlukan transformasi
budaya birokrasi, penguatan sistem integritas, dan partisipasi publik yang
aktif.¹ Negara-negara yang berhasil menekan gratifikasi umumnya menggabungkan
tiga pendekatan utama: regulatif, kelembagaan, dan kultural.
6.1.
Regulasi dan Kebijakan Nasional
Pencegahan
gratifikasi di Indonesia telah mendapatkan dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, khususnya Pasal 12B dan 12C yang mengatur pelaporan gratifikasi.²
Regulasi ini diperkuat dengan Peraturan KPK No. 2 Tahun 2019
tentang Pelaporan Gratifikasi, yang mewajibkan setiap penyelenggara negara
untuk melaporkan gratifikasi paling lambat 30 hari kerja setelah diterima. Jika
tidak dilaporkan, gratifikasi tersebut dianggap suap dan dapat dikenakan
pidana.
Selain itu,
pemerintah telah mendorong implementasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP)
berbasis ISO 37001:2016 di berbagai lembaga negara dan BUMN. SMAP bertujuan
untuk membangun sistem pengendalian internal yang mampu mendeteksi dan mencegah
praktik gratifikasi sejak dini.³ Penerapan standar ini menjadi indikator
penting dalam pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi
(WBK) dan wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM).
6.2.
Penguatan Lembaga Pengawasan dan Sistem
Pelaporan
KPK sebagai lembaga
independen memegang peran strategis dalam pengendalian gratifikasi. KPK
menyediakan Unit Pengendali Gratifikasi (UPG)
di tiap instansi, serta membuka kanal pelaporan yang mudah diakses, termasuk
melalui aplikasi GOL (Gratifikasi Online)
yang terintegrasi dengan sistem pengawasan internal.⁴ Pada tahun 2023, KPK
menerima lebih dari 3.000 laporan gratifikasi, sebagian besar berasal dari ASN
dan pejabat penyelenggara negara.⁵
Selain pelaporan,
penting pula adanya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower)
agar pelaku gratifikasi tidak dapat melakukan intimidasi atau retaliasi
terhadap pelapor. Transparansi dan kerahasiaan pelaporan menjadi elemen krusial
dalam menciptakan budaya jujur dan adil di lingkungan kerja.
6.3.
Pendidikan Antikorupsi dan Reformasi Etika
Publik
Pencegahan
gratifikasi juga memerlukan upaya jangka panjang melalui pendidikan
antikorupsi sejak dini. KPK telah meluncurkan Modul
Pendidikan Antikorupsi untuk jenjang SD hingga perguruan
tinggi, yang memasukkan topik gratifikasi sebagai bagian dari pelajaran etika
dan kewarganegaraan.⁶
Di lingkungan
instansi pemerintahan dan sektor privat, pelatihan rutin tentang kode etik,
deklarasi benturan kepentingan, dan simulasi kasus gratifikasi menjadi strategi
penting dalam menumbuhkan kesadaran pegawai. Negara-negara seperti Singapura
dan Korea
Selatan juga mengadopsi pendekatan serupa dengan menerapkan
kurikulum integritas dan pelatihan etik yang ketat bagi pejabat publik.⁷
6.4.
Reformasi Budaya Organisasi dan Keteladanan
Pemimpin
Aspek paling
fundamental dari pencegahan gratifikasi terletak pada pembentukan
budaya organisasi yang berintegritas. Lingkungan birokrasi yang
permisif terhadap pemberian hadiah akan memicu praktik pembiaran dan pembenaran
moral. Oleh karena itu, reformasi budaya kerja berbasis nilai-nilai
integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab publik harus
menjadi prioritas utama.
Keteladanan pimpinan
menjadi kunci keberhasilan reformasi ini. Seorang pemimpin yang konsisten
menolak hadiah, melaporkan gratifikasi, dan menegakkan disiplin terhadap
pelanggaran etika akan menciptakan iklim kerja yang bersih.⁸ Sebaliknya,
kepemimpinan yang kompromistis terhadap gratifikasi akan menghancurkan semangat
antikorupsi dari dalam.
6.5.
Keterlibatan Masyarakat dan Media
Gratifikasi yang
tidak sah juga dapat dicegah melalui peran aktif masyarakat dan media massa.
Pelibatan LSM, jurnalis investigasi, dan platform pelaporan publik dapat
memperluas jangkauan pengawasan sosial terhadap praktik-praktik pemberian yang
mencurigakan. Di era digital, media sosial menjadi alat yang efektif untuk
memperkuat transparansi dan membangun tekanan publik terhadap pelanggaran etika
pejabat.⁹
Keterlibatan publik
bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai agen edukasi dan advokasi.
Semakin tinggi kesadaran warga terhadap bahaya gratifikasi, semakin kuat
resistensi terhadap budaya koruptif di berbagai sektor.
Footnotes
[1]
Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. (Berkeley:
University of California Press, 1988), 96.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B dan 12C.
[3]
Kementerian PANRB, Pedoman Implementasi Sistem Manajemen Anti
Penyuapan ISO 37001 di Instansi Pemerintah (Jakarta: KemenPANRB, 2021),
7–8.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Gratifikasi bagi
Penyelenggara Negara (Jakarta: KPK, 2017), 22–23.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 51.
[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi
untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 12–13.
[7]
Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 108–109.
[8]
Transparency International, The Role of Leadership in Preventing
Corruption, Policy Brief No. 3 (Berlin: TI, 2016), 2.
[9]
OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Implementation
(Paris: OECD Publishing, 2020), 36.
7.
Analisis Kritis: Mengapa Gratifikasi Masih
Terjadi?
Meskipun regulasi
hukum telah tersedia, berbagai mekanisme pelaporan telah dikembangkan, dan
kampanye antikorupsi terus digencarkan, praktik gratifikasi yang tidak sah
tetap berlangsung di berbagai tingkatan birokrasi dan sektor publik. Fenomena
ini menunjukkan bahwa persoalan gratifikasi tidak semata-mata bersifat
legal-formal, tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan struktural, kultural,
dan psikologis yang lebih kompleks.¹
7.1.
Faktor Budaya: Warisan Feodalisme dan Patronase
Salah satu akar dari
maraknya gratifikasi adalah budaya patron-klien yang masih
mengakar kuat dalam birokrasi Indonesia. Pemberian hadiah kepada atasan, rekan
kerja, atau pejabat publik dianggap sebagai bentuk “tata krama” atau “tanda
hormat” dalam relasi sosial.² Dalam perspektif budaya, tindakan tersebut
kerap dipandang bukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai norma yang dapat
mempererat hubungan sosial. Namun, dalam konteks tata kelola pemerintahan
modern, praktik ini berisiko mengaburkan batas antara hubungan personal dan
kepentingan publik.
Menurut analisis
Klitgaard, korupsi tumbuh subur di lingkungan yang memiliki toleransi sosial
terhadap praktik pemberian tidak sah, terutama ketika masyarakat memandang
gratifikasi sebagai sesuatu yang “lumrah” dan bukan kejahatan.³ Ini menjadi
tantangan utama dalam menginternalisasi etika integritas di lingkungan
birokrasi.
7.2.
Faktor Struktural: Lemahnya Sistem Pengawasan
dan Akuntabilitas
Secara struktural,
keberlangsungan gratifikasi yang tidak sah juga ditopang oleh lemahnya
sistem pengawasan internal dan eksternal, khususnya di
lembaga-lembaga pemerintah daerah dan instansi layanan publik. Pengawasan
sering kali bersifat administratif dan formalitas belaka, tanpa mekanisme
evaluasi yang substantif terhadap praktik konflik kepentingan.⁴
Ketiadaan mekanisme
pengawasan yang independen dan kuat menyebabkan pejabat publik tidak merasa
diawasi secara efektif, bahkan dalam hal pelaporan gratifikasi. Sebuah studi
dari Transparency
International Indonesia menemukan bahwa banyak aparatur negara
masih enggan melaporkan gratifikasi karena menganggapnya “tidak penting”
atau takut mendapat stigma dari lingkungan kerja.⁵ Ini menunjukkan masih adanya
kekosongan antara regulasi dan implementasi di lapangan.
7.3.
Faktor Psikologis: Rasionalisasi Moral dan
Pembenaran Diri
Secara psikologis,
para penerima gratifikasi sering kali melakukan rasionalisasi moral terhadap
tindakannya. Gratifikasi dipersepsikan bukan sebagai korupsi, melainkan sebagai
penghargaan atas kinerja, balas jasa, atau pengakuan terhadap jabatan. Proses
justifikasi ini diperkuat oleh norma sosial yang ambigu dan tidak adanya sanksi
sosial yang tegas terhadap pelanggaran etika.⁶
Menurut Theory
of Planned Behavior yang dikembangkan oleh Ajzen, perilaku
seseorang sangat dipengaruhi oleh norma subjektif dan persepsi kontrol atas
risiko.⁷ Dalam konteks ini, jika seseorang meyakini bahwa gratifikasi merupakan
hal yang “diterima secara sosial” dan memiliki kemungkinan rendah untuk
dikenakan sanksi, maka kecenderungan untuk menerima gratifikasi meningkat.
Pemahaman ini menjelaskan mengapa meskipun seseorang sadar bahwa tindakan
tersebut melanggar hukum, ia tetap melakukannya karena faktor pembenaran
psikologis dan lingkungan yang permisif.
7.4.
Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Akses Ekonomi
Dalam sejumlah
kasus, gratifikasi muncul sebagai mekanisme survival dalam sistem
yang tidak adil. Pihak swasta atau masyarakat yang merasa tidak memiliki
kekuasaan atau akses yang setara dalam sistem layanan publik cenderung merasa
perlu “menyenangkan” aparat dengan pemberian agar mendapatkan perlakuan
yang adil.⁸ Ini menandakan adanya ketimpangan relasi kuasa dalam birokrasi yang
harus dikoreksi secara sistemik.
Lebih jauh, pelaku
usaha juga memandang gratifikasi sebagai “biaya operasional” untuk memperlancar
urusan administrasi.⁹ Pemahaman ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan dengan
birokrasi yang lamban dan kompleks, gratifikasi menjadi “solusi informal”
atas ketidakefisienan sistem.
7.5.
Kurangnya Keteladanan dan Keadilan
Institusional
Faktor lain yang
tidak kalah penting adalah minimnya keteladanan dari pemimpin dan aktor
kunci dalam lembaga publik. Ketika pejabat tinggi lembaga
menerima gratifikasi tanpa dikenai sanksi atau justru diam-diam dibiarkan, maka
bawahan akan meniru perilaku tersebut.⁽¹⁰⁾ Hal ini menciptakan siklus impunitas
yang berulang.
Selain itu, ketika
hukum hanya ditegakkan terhadap kasus kecil dan tidak menyentuh pelaku dari
kalangan elite, maka kepercayaan terhadap keadilan hukum akan melemah.
Ketidakadilan institusional ini menjadi pemicu pembangkangan moral dan memperkuat
budaya permisif terhadap pelanggaran etika.
Footnotes
[1]
Klitgaard, Robert. Controlling Corruption (Berkeley:
University of California Press, 1988), 37.
[2]
Sjahruddin, H. "Korupsi dan Budaya Patronase dalam Birokrasi
Indonesia." Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 19, no. 1 (2015):
85–98.
[3]
Klitgaard, Controlling Corruption, 42.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023
(Jakarta: KPK, 2024), 64–66.
[5]
Transparency International Indonesia, Survei Persepsi Gratifikasi
dan Pelaporan di Lingkungan ASN, 2022.
[6]
Ari Kuncoro, “Moral Reasoning of Corruption among Civil Servants in
Indonesia,” Jurnal Etika dan Integritas 4, no. 2 (2021): 41–52.
[7]
Icek Ajzen, “The Theory of Planned Behavior,” Organizational
Behavior and Human Decision Processes 50, no. 2 (1991): 179–211.
[8]
Kaufmann, Daniel et al., “State Capture, Corruption and Influence in
Transition,” World Bank Policy Research Paper No. 2312 (2000): 6–7.
[9]
Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 122.
[10]
Transparency International, The Role of Leadership in Preventing
Corruption, Policy Brief No. 3 (Berlin: TI, 2016), 3.
8.
Penutup
Gratifikasi yang
tidak sah merupakan bentuk korupsi terselubung yang memiliki dampak merusak
tidak kalah signifikan dibandingkan suap atau penyalahgunaan kekuasaan secara
terang-terangan. Sebagai tindakan yang berpotensi memengaruhi objektivitas dan
integritas pengambilan kebijakan publik, gratifikasi telah menciptakan ruang
abu-abu dalam sistem pemerintahan yang idealnya menjunjung transparansi,
akuntabilitas, dan kepentingan umum.¹
Kajian ini
menunjukkan bahwa gratifikasi bukan sekadar masalah hukum formal, tetapi
merupakan gejala sistemik dari persoalan budaya birokrasi, lemahnya pengawasan,
serta ketidakseimbangan relasi kuasa antara pejabat publik dan pemangku
kepentingan.² Gratifikasi yang dikemas dalam bentuk hadiah simbolik, fasilitas,
atau pelayanan istimewa tidak hanya mengganggu netralitas keputusan pejabat,
tetapi juga mendegradasi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.³
Secara normatif,
Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai untuk mencegah dan
menindak gratifikasi yang tidak sah, termasuk kewajiban pelaporan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan peraturan pelaksananya.⁴
Namun, masih lemahnya budaya pelaporan, rendahnya kesadaran etika jabatan,
serta kuatnya pengaruh nilai-nilai patronase dalam birokrasi menjadi tantangan
utama dalam implementasi regulasi tersebut.⁵
Dari sisi
internasional, berbagai negara telah mengembangkan pendekatan holistik dalam
menanggulangi gratifikasi, mulai dari sistem pelaporan digital, pembatasan
nilai hadiah, hingga pendidikan integritas di seluruh jenjang. Pembelajaran
dari negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan negara-negara
Skandinavia menunjukkan bahwa keberhasilan pemberantasan gratifikasi sangat
ditentukan oleh keteladanan pimpinan, kejelasan
norma, dan konsistensi penegakan hukum.⁶
Oleh karena itu,
upaya pencegahan dan penanggulangan gratifikasi harus difokuskan pada
transformasi budaya birokrasi melalui pendidikan etika, penguatan pengawasan
internal, perlindungan terhadap pelapor, dan keterlibatan publik yang aktif.⁷
Dibutuhkan kepemimpinan yang berani, sistem hukum yang adil, serta masyarakat
yang berintegritas untuk memutus rantai normalisasi gratifikasi.
Penegasan batas
antara pemberian yang sah dan yang tidak sah harus terus dikampanyekan secara
masif, baik melalui media pendidikan formal maupun kanal komunikasi publik.
Hanya dengan memperkuat nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan pengabdian
pada kepentingan bersama, praktik gratifikasi yang tidak sah dapat ditekan
secara signifikan, dan kepercayaan publik terhadap negara dapat dibangun
kembali secara berkelanjutan.⁸
Footnotes
[1]
Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 83–84.
[2]
Klitgaard, Robert. Controlling Corruption (Berkeley:
University of California Press, 1988), 61.
[3]
OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Implementation
(Paris: OECD Publishing, 2020), 14.
[4]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 12B–12C.
[5]
Transparency International Indonesia, Survei Persepsi Gratifikasi
dan Pelaporan di Lingkungan ASN, 2022.
[6]
Quah, Jon S.T., Public Administration Singapore-Style
(Bingley: Emerald Group Publishing, 2010), 107–109.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Modul Pendidikan Antikorupsi
untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: KPK, 2018), 53.
[8]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), The Global
Programme against Corruption: UN Anti-Corruption Toolkit (Vienna: UNODC,
2004), 41–42.
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (1991). The theory
of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes,
50(2), 179–211. https://doi.org/10.1016/0749-5978(91)90020-T
Kaufmann, D., Kraay, A.,
& Mastruzzi, M. (2009). Governance matters VIII: Aggregate and
individual governance indicators, 1996–2008 (Policy Research Working Paper
No. 4978). World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/4170
Kaufmann, D., Hellman, J.
S., & Jones, G. (2000). State capture, corruption and influence in
transition economies (Policy Research Working Paper No. 2312). World Bank.
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/19235
Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. (2021). Pedoman
implementasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan ISO 37001 di instansi pemerintah.
https://peraturan.bpk.go.id
Klitgaard, R. (1988). Controlling
corruption. University of California Press.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2017). Panduan gratifikasi bagi penyelenggara negara.
Jakarta: KPK.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2018). Modul pendidikan antikorupsi untuk perguruan tinggi.
Jakarta: KPK.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2024). Laporan tahunan 2023. Jakarta: KPK.
OECD. (2000). Trust in
government: Ethics measures in OECD countries. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2020). Public
sector integrity: A framework for implementation. Paris: OECD Publishing.
Quah, J. S. T. (2010). Public
administration Singapore-style. Bingley: Emerald Group Publishing.
Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption
and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge
University Press.
Sjahruddin, H. (2015).
Korupsi dan budaya patronase dalam birokrasi Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, 19(1), 85–98.
Transparency International.
(2009). Global corruption report 2009: Corruption and the private sector.
Cambridge University Press.
Transparency International.
(2016). The role of leadership in preventing corruption (Policy Brief
No. 3). Berlin: Transparency International.
Transparency International.
(2023). Corruption perceptions index 2023 – Executive summary. Berlin:
Transparency International.
Transparency International
Indonesia. (2022). Survei persepsi gratifikasi dan pelaporan di lingkungan
ASN. https://ti.or.id
UNODC. (2004). The
global programme against corruption: UN anti-corruption toolkit. Vienna:
United Nations Office on Drugs and Crime. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/toolkit.html
United Nations. (2004). United
Nations Convention against Corruption. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/convention.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar