Penyalahgunaan Wewenang
Kajian Kritis terhadap Penyimpangan Kekuasaan untuk
Kepentingan Pribadi dan Kelompok
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis fenomena
penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu bentuk korupsi yang paling merusak
dan sulit diberantas. Penyalahgunaan wewenang didefinisikan sebagai praktik
pemanfaatan kekuasaan publik secara menyimpang untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu, yang sering kali dibungkus dalam legalitas formal namun
menyimpang secara moral dan struktural. Kajian ini memaparkan dimensi historis,
teoretis, dan empiris dari penyalahgunaan kekuasaan, serta menyajikan studi
kasus nasional dan internasional untuk memperjelas karakteristik, pola, dan
dampaknya. Melalui analisis kritis berbasis teori kekuasaan, kelembagaan, dan
budaya politik, artikel ini mengidentifikasi bahwa penyalahgunaan wewenang
tidak berdiri sendiri, melainkan berkait erat dengan kelemahan sistem
pengawasan, ketimpangan struktur kekuasaan, budaya birokrasi feodal, dan
lemahnya etika jabatan. Dalam upaya penanggulangan, artikel ini menekankan
pentingnya reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, penguatan lembaga
pengawas, digitalisasi tata kelola publik, pendidikan antikorupsi, serta partisipasi
aktif masyarakat sipil. Artikel ini berkontribusi pada wacana akademik dan
kebijakan publik tentang pentingnya integritas kekuasaan sebagai fondasi tata
kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan demokratis.
Kata Kunci: Korupsi; Penyalahgunaan Wewenang; Kekuasaan; Good
Governance; Reformasi Birokrasi; Integritas; Partisipasi Publik.
PEMBAHASAN
Penyalahgunaan Wewenang dalam Praktik Korupsi (Abuse of
Power)
1.
Pendahuluan
Korupsi merupakan
salah satu fenomena sosial dan politik yang paling merusak dalam sistem
pemerintahan modern. Dampaknya tidak hanya mencederai kepercayaan publik
terhadap institusi negara, tetapi juga menghambat pembangunan, memperlebar
kesenjangan sosial, dan melanggengkan praktik ketidakadilan struktural. Salah
satu bentuk korupsi yang paling sistemik dan berbahaya adalah penyalahgunaan
wewenang (abuse of power), yaitu penggunaan kekuasaan publik
secara tidak sah atau menyimpang untuk keuntungan pribadi atau kelompok
tertentu¹.
Menurut World
Bank, korupsi dapat didefinisikan sebagai “the abuse of
public office for private gain,” yang secara eksplisit menempatkan
penyalahgunaan kekuasaan sebagai inti dari praktik korupsi itu sendiri². Dalam
konteks ini, kekuasaan yang seharusnya dijalankan secara akuntabel dan dalam
kerangka hukum justru dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri,
mempertahankan status politik, atau memperkuat jaringan kroni. Fenomena ini
banyak dijumpai dalam negara-negara yang memiliki sistem kelembagaan lemah,
kontrol internal yang minim, serta budaya politik yang permisif terhadap
pelanggaran etika dan hukum.
Teori kekuasaan
klasik menyatakan bahwa kekuasaan yang absolut cenderung disalahgunakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”³. Hal ini menunjukkan
bahwa potensi penyalahgunaan kekuasaan adalah sesuatu yang inheren dalam
struktur kekuasaan itu sendiri, terutama jika tidak diimbangi dengan sistem
pengawasan dan checks and balances yang efektif. Dalam praktik birokrasi
modern, penyalahgunaan wewenang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti
intervensi atas proses pengadaan barang dan jasa, pemberian lisensi secara
diskriminatif, nepotisme dalam pengangkatan jabatan, serta perlindungan
terhadap pelaku pelanggaran hukum.
Pentingnya kajian
ini semakin relevan mengingat tingginya angka korupsi yang melibatkan penyalahgunaan
jabatan publik di Indonesia. Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mencatat bahwa sebagian besar kasus yang ditangani berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dan
birokrat⁴. Hal ini menjadi indikasi bahwa praktik abuse of power bukanlah
fenomena kasuistik, melainkan bagian dari pola sistemik dalam struktur
kekuasaan pemerintahan.
Selain itu,
penyalahgunaan wewenang juga memiliki korelasi kuat dengan lemahnya
akuntabilitas politik dan institusional. Studi-studi mutakhir menunjukkan bahwa
sistem pemerintahan yang otoriter atau memiliki defisit demokrasi cenderung
memperbesar kemungkinan terjadinya abuse of power⁵. Oleh karena itu, kajian
terhadap penyalahgunaan kekuasaan sebagai bentuk korupsi harus ditempatkan
dalam kerangka analisis struktural yang melibatkan aspek hukum, politik,
ekonomi, dan budaya birokrasi.
Melalui artikel ini,
penulis bertujuan untuk melakukan kajian kritis terhadap bentuk, pola, dan
dampak penyalahgunaan wewenang dalam praktik korupsi. Dengan menggunakan
pendekatan multidisipliner dan referensi akademik yang kredibel, pembahasan
akan diarahkan pada upaya untuk mengurai akar masalah dan mengusulkan strategi
pencegahan yang lebih sistemik dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters
VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank
Policy Research Working Paper, no. 4978 (Washington, DC: World Bank,
2009), 4.
[2]
World Bank, “Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World
Bank,” World Bank Report, 1997, https://documents.worldbank.org.
[3]
John Emerich Edward Dalberg-Acton, Letters of Lord Acton to Mary
Gladstone, ed. Herbert Paul (London: George Allen, 1904), 1.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023
(Jakarta: KPK RI, 2024), 18–21.
[5]
Alina Mungiu-Pippidi, The Quest for Good Governance: How Societies
Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press,
2015), 112–115.
2.
Konseptualisasi Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan
wewenang merupakan salah satu bentuk korupsi yang paling sulit dideteksi dan
dikendalikan karena sering kali dilakukan dalam kerangka legalitas formal yang
tampak sah. Dalam konteks administrasi publik, penyalahgunaan wewenang
didefinisikan sebagai tindakan pejabat publik yang menggunakan otoritasnya
secara menyimpang dari tujuan hukum atau prinsip-prinsip etika pemerintahan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu¹. Tindakan ini
umumnya dilakukan oleh pihak yang memiliki posisi strategis dalam struktur
kekuasaan, yang memungkinkan mereka untuk memanipulasi kebijakan, keputusan,
atau proses administratif dengan dalih diskresi jabatan.
Menurut Transparency
International, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) adalah komponen inti
dari berbagai bentuk korupsi karena menandai penyimpangan dari prinsip tanggung
jawab publik dan integritas institusional². Hal ini juga ditegaskan dalam
kerangka konseptual United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang
mengklasifikasikan penyalahgunaan fungsi dan wewenang sebagai salah satu
kategori utama tindak pidana korupsi³.
Dalam ilmu
administrasi dan teori kekuasaan klasik, kekuasaan dipahami sebagai kapasitas
seseorang atau institusi untuk memengaruhi tindakan orang lain atau
mengendalikan sumber daya. Max Weber membedakan antara tiga jenis otoritas:
otoritas legal-rasional, tradisional, dan kharismatik⁴. Dalam konteks birokrasi
modern, otoritas legal-rasional menjadi landasan utama, di mana wewenang
diberikan berdasarkan aturan hukum dan struktur organisasi formal. Namun, ketika
pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan melalui otoritas legal
ini untuk tujuan yang menyimpang dari kepentingan publik, maka terjadilah
penyalahgunaan wewenang.
Batasan antara
penggunaan diskresi dan penyalahgunaan wewenang kerap menjadi wilayah yang
abu-abu dalam praktik pemerintahan. Diskresi pejabat publik adalah ruang
kebebasan untuk mengambil keputusan dalam situasi yang tidak secara eksplisit
diatur oleh hukum. Namun, apabila diskresi digunakan tidak untuk kebaikan
publik, melainkan untuk keuntungan pribadi atau untuk menguntungkan jaringan
politik tertentu, maka diskresi tersebut berubah menjadi abuse of power⁵. Dalam
studi kebijakan publik, kondisi ini disebut sebagai policy capture, yaitu ketika
kebijakan publik dibentuk tidak berdasarkan analisis kepentingan masyarakat
luas, melainkan oleh segelintir elite dengan pengaruh tertentu⁶.
Penyalahgunaan
wewenang juga erat kaitannya dengan konsep clientelism dan patronage,
di mana pejabat atau politisi memberikan layanan, kontrak, atau jabatan kepada
individu tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik. Dalam konteks ini,
relasi kekuasaan menjadi bersifat transaksional dan pragmatis, yang mengikis
nilai-nilai profesionalisme dan meritokrasi⁷.
Dari segi indikator,
penyalahgunaan wewenang dapat dikenali melalui pola pengambilan keputusan yang
tidak transparan, absennya mekanisme akuntabilitas, dominasi kepentingan
pribadi dalam pembuatan kebijakan, serta lemahnya partisipasi publik dalam
proses pemerintahan⁸. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai konsep
dan bentuk penyalahgunaan wewenang menjadi sangat penting dalam upaya
pemberantasan korupsi yang bersifat sistemik dan terstruktur.
Footnotes
[1]
Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform. 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 153.
[2]
Transparency International, “What is Corruption?” accessed July 8,
2025, https://www.transparency.org/en/what-is-corruption.
[3]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations
Convention Against Corruption (Vienna: UNODC, 2004), Articles 19–21.
[4]
Weber, Max. Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 215–217.
[5]
Svara, James H. The Ethics Primer for Public Administrators in
Government and Nonprofit Organizations (Sudbury: Jones & Bartlett
Learning, 2007), 97–99.
[6]
Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State,
Seize the Day: State Capture and Influence in Transition Economies.” Journal
of Comparative Economics 31, no. 4 (2003): 751–773.
[7]
Kitschelt, Herbert, and Steven I. Wilkinson, eds. Patrons, Clients,
and Policies: Patterns of Democratic Accountability and Political Competition
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 19–25.
[8]
OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment
(Paris: OECD Publishing, 2005), 34–36.
3.
Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan
wewenang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk tindakan, baik yang tampak
terang-terangan maupun terselubung, yang semuanya memiliki kesamaan
karakteristik: pelampauan batas kekuasaan resmi demi keuntungan pribadi atau
kelompok. Bentuk-bentuk ini dapat muncul di berbagai tingkatan pemerintahan,
mulai dari pejabat eksekutif pusat, legislatif, aparat penegak hukum, hingga
pejabat daerah. Kajian terhadap bentuk-bentuk tersebut penting sebagai langkah
awal dalam mengenali, mengklasifikasikan, dan mengintervensi praktik-praktik
penyimpangan kekuasaan secara tepat.
3.1.
Intervensi dalam Proses Pengadaan Barang dan
Jasa
Salah satu bentuk
yang paling umum dari penyalahgunaan kekuasaan adalah intervensi dalam proses
pengadaan barang dan jasa negara. Dalam kasus ini, pejabat publik menggunakan
pengaruh atau wewenangnya untuk memenangkan penyedia tertentu, baik karena
imbalan ekonomi maupun kepentingan politik. Praktik ini sering dilakukan
melalui pengaturan spesifikasi teknis, penunjukan langsung, atau penyusunan
jadwal tender yang berpihak¹. Dalam banyak kasus, intervensi ini dilakukan
dengan melibatkan jaringan kroni atau perusahaan milik keluarga untuk
mendapatkan proyek negara dengan cara tidak sah².
Menurut laporan Transparency
International, sektor pengadaan merupakan salah satu sektor paling
rentan terhadap korupsi karena kompleksitas prosesnya dan adanya celah diskresi
dalam berbagai tahapannya³. Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks ini tidak
hanya mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi juga merusak prinsip
kompetisi sehat dan kualitas layanan publik.
3.2.
Pemberian Izin atau Konsesi secara
Diskriminatif
Penyalahgunaan
kekuasaan juga sering terjadi dalam bentuk pemberian izin usaha, hak guna
lahan, atau konsesi sumber daya alam yang tidak sesuai prosedur. Dalam banyak
kasus, pejabat publik menggunakan jabatannya untuk mempercepat, mempermudah,
atau bahkan menciptakan jalur khusus bagi pihak tertentu agar memperoleh akses
terhadap sumber daya strategis negara⁴. Proses yang semestinya transparan dan
berbasis kajian teknis berubah menjadi transaksi politik atau ekonomi.
Fenomena ini banyak
dijumpai dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan agraria, di mana kekuasaan
administratif digunakan untuk memberikan legalitas kepada perusahaan-perusahaan
yang tidak memenuhi kriteria, bahkan terkadang melanggar hak masyarakat adat
atau lingkungan hidup⁵. Studi oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa
penyalahgunaan kekuasaan dalam pemberian izin tambang berkontribusi langsung
terhadap konflik sosial dan kerusakan ekosistem yang parah⁶.
3.3.
Nepotisme dan Pengangkatan Jabatan Berdasarkan
Kedekatan Pribadi
Nepotisme merupakan
bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan melalui pengangkatan atau promosi
individu ke dalam jabatan publik bukan berdasarkan kompetensi, melainkan karena
hubungan kekerabatan atau kedekatan personal dengan pemegang kekuasaan. Praktik
ini melanggar prinsip meritokrasi dan profesionalisme birokrasi, yang pada
akhirnya menurunkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat patronase dalam
institusi negara⁷.
Menurut OECD,
nepotisme merusak sistem seleksi yang berbasis kompetensi dan membuka peluang
bagi korupsi administratif dalam level organisasi⁸. Fenomena ini sering kali
sulit diungkap karena dibalut oleh justifikasi formal seperti penilaian kinerja
atau rekomendasi internal yang dimanipulasi.
3.4.
Perlindungan terhadap Pelanggar Hukum dan
Konflik Kepentingan
Penyalahgunaan
wewenang juga dapat berbentuk perlindungan terhadap pelaku pelanggaran hukum
melalui intervensi dalam proses penyelidikan, pengadilan, atau eksekusi hukum.
Dalam hal ini, pejabat publik menggunakan posisinya untuk menghentikan proses
hukum terhadap pihak-pihak tertentu, baik melalui tekanan politik, manipulasi
bukti, atau pengaruh terhadap lembaga penegak hukum⁹. Ini merupakan bentuk
korupsi yang sangat berbahaya karena merusak integritas sistem hukum dan
menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum.
Selain itu, konflik
kepentingan yang tidak dideklarasikan oleh pejabat publik juga termasuk
penyalahgunaan wewenang. Pejabat yang terlibat dalam pengambilan keputusan
terkait sektor atau institusi yang memiliki keterkaitan bisnis atau afiliasi
pribadi jelas berada dalam posisi yang tidak netral dan cenderung
memprioritaskan keuntungan pribadi dibandingkan kepentingan publik¹⁰.
Footnotes
[1]
Søreide, Tina. Corruption in Public Procurement: Causes,
Consequences and Cures. (Bergen: Chr. Michelsen Institute, 2002), 6–7.
[2]
Transparency International, Global Corruption Report 2005:
Corruption in Construction and Post-Conflict Reconstruction (London: Pluto
Press, 2005), 22–24.
[3]
Ibid., 12.
[4]
McCarthy, John F. “The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatra’s
Rainforest Frontier.” Studies in Environment and History (Stanford:
Stanford University Press, 2006), 91–93.
[5]
Colchester, Marcus, et al. Promised Land: Palm Oil and Land
Acquisition in Indonesia (Jakarta: Forest Peoples Programme, 2006), 45–48.
[6]
Human Rights Watch, The Dark Side of Green Growth: Human Rights
Impacts of Weak Governance in Indonesia’s Forestry Sector (New York: HRW,
2019), 14–16.
[7]
Eisenstadt, S.N., and René Lemarchand. Political Clientelism,
Patronage, and Development (Beverly Hills: Sage Publications, 1981), 87.
[8]
OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Sector: A Toolkit
(Paris: OECD Publishing, 2005), 44.
[9]
Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform. 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 244–247.
[10]
Transparency International, “Conflict of Interest in the Public
Sector,” TI Policy Brief, 2019, https://www.transparency.org.
4.
Dampak Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan
wewenang dalam praktik kekuasaan publik bukan hanya persoalan legalitas semata,
melainkan berdampak sistemik terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ketika kekuasaan dijalankan secara menyimpang untuk kepentingan
pribadi atau kelompok, maka prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik
seperti integritas, akuntabilitas, dan keadilan menjadi terdegradasi. Dampak
dari penyalahgunaan wewenang ini dapat dilihat dalam beberapa dimensi utama
berikut:
4.1.
Kerusakan terhadap Institusi dan Tata Kelola
Pemerintahan
Penyalahgunaan
wewenang secara langsung melemahkan kapasitas institusi negara. Ketika
kekuasaan digunakan secara tidak sah, maka norma-norma hukum dan administrasi
menjadi subordinat dari kepentingan personal atau kelompok. Dalam jangka
panjang, hal ini menciptakan budaya institusional yang permisif terhadap
korupsi dan mengaburkan batas antara tindakan legal dan ilegal¹.
World Bank menyebut
bahwa penyalahgunaan kekuasaan berdampak pada "institutional erosion",
yaitu penurunan kualitas lembaga negara dalam menjalankan fungsinya secara
profesional dan independen². Akibatnya, proses pengambilan kebijakan menjadi
tidak rasional, tidak partisipatif, dan mudah diintervensi oleh elite yang
memiliki akses kekuasaan.
4.2.
Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap
Pemerintah
Kepercayaan publik
adalah modal sosial yang sangat penting dalam menjamin legitimasi pemerintahan.
Ketika masyarakat menyaksikan bahwa pejabat publik menggunakan kekuasaannya
untuk memperkaya diri atau melindungi kroni, maka kepercayaan tersebut akan
menurun secara signifikan. Transparency International menunjukkan bahwa salah
satu penyebab utama rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik adalah
maraknya penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara³.
Survei Edelman Trust
Barometer 2023 menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia, lembaga publik seperti partai politik, parlemen, dan birokrasi
memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, dan salah satu alasan utamanya adalah
persepsi bahwa mereka tidak melayani kepentingan rakyat⁴. Ini berdampak pada
meningkatnya apatisme, protes sosial, dan delegitimasi terhadap sistem
demokrasi itu sendiri.
4.3.
Distorsi terhadap Alokasi Sumber Daya Publik
Penyalahgunaan
kekuasaan sering kali mengakibatkan distorsi dalam alokasi anggaran dan sumber
daya negara. Keputusan-keputusan penting dalam bidang anggaran, perizinan, dan
kebijakan publik dapat diarahkan untuk menguntungkan kelompok tertentu, bukan
berdasarkan pertimbangan kebutuhan masyarakat luas. Hal ini memperbesar risiko state
capture, yakni ketika kebijakan publik dikendalikan oleh elite
yang berjejaring dengan kekuasaan⁵.
Penelitian oleh
Hellman et al. menunjukkan bahwa dalam sistem yang mengalami state capture,
kebijakan ekonomi dan sosial tidak lagi menjadi alat distribusi keadilan
sosial, melainkan alat pelanggengan kekuasaan dan keuntungan oligarki⁶.
Akibatnya, ketimpangan sosial semakin melebar dan kelompok-kelompok rentan menjadi
korban dari kebijakan yang diskriminatif.
4.4.
Kerugian Ekonomi dan Pelambatan Pembangunan
Korupsi yang
berbasis penyalahgunaan wewenang memiliki konsekuensi langsung terhadap
efisiensi dan produktivitas ekonomi. Ketika keputusan ekonomi dipengaruhi oleh
relasi kuasa yang menyimpang, maka investasi yang masuk menjadi tidak efisien,
proyek-proyek infrastruktur terhambat oleh biaya korupsi, dan kualitas
pelayanan publik menurun drastis. Bank Dunia memperkirakan bahwa negara-negara
dengan tingkat korupsi tinggi cenderung mengalami penurunan PDB hingga 2-5%
setiap tahunnya⁷.
Selain itu, biaya
transaksi ekonomi meningkat karena pelaku usaha harus mengalokasikan dana
ekstra untuk suap dan perlindungan politik. Akibatnya, iklim usaha menjadi
tidak kompetitif dan menghambat inovasi. Efek jangka panjangnya adalah stagnasi
pembangunan dan terhambatnya pencapaian target-target pembangunan berkelanjutan
(SDGs).
4.5.
Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia dan Keadilan
Sosial
Penyalahgunaan
kekuasaan juga menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara.
Ketika pejabat publik memprioritaskan kepentingan kelompoknya sendiri, maka
kelompok-kelompok marjinal, seperti masyarakat adat, buruh, petani kecil, dan
perempuan, sering kali menjadi pihak yang dirugikan⁸. Dalam konteks ini,
penyalahgunaan wewenang menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak
terlihat, tetapi dampaknya sangat nyata.
Human Rights Watch
mencatat bahwa di berbagai negara, penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian
konsesi atau penggusuran lahan sering kali dilakukan tanpa konsultasi atau
kompensasi yang adil, dan sering kali dibarengi dengan intimidasi terhadap
masyarakat yang menolak⁹. Hal ini membuktikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan
bukan hanya ancaman terhadap tata kelola pemerintahan, tetapi juga terhadap
keadilan dan martabat manusia.
Footnotes
[1]
Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge
University Press, 2016), 222–225.
[2]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 11.
[3]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023
(Berlin: Transparency International, 2024), 4.
[4]
Edelman, Edelman Trust Barometer 2023 Global Report (Edelman
Data & Intelligence, 2023), https://www.edelman.com.
[5]
OECD, Preventing Policy Capture: Integrity in Public Decision
Making (Paris: OECD Publishing, 2017), 15–17.
[6]
Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State,
Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World
Bank Policy Research Working Paper No. 2444 (Washington, DC: World Bank,
2000), 3–5.
[7]
World Bank, World Development Report 2017: Governance and the Law
(Washington, DC: World Bank, 2017), 84.
[8]
UNDP, Human Development Report 2021/2022: Uncertain Times,
Unsettled Lives (New York: United Nations Development Programme, 2022), 102–105.
[9]
Human Rights Watch, Indonesia: Weak Protections Leave Communities
at Risk (New York: HRW, 2021), https://www.hrw.org.
5.
Studi Kasus (Opsional)
Untuk memahami
secara lebih konkret bagaimana penyalahgunaan wewenang terjadi dalam praktik
kekuasaan publik, berikut disajikan dua studi kasus yang mencerminkan
bentuk-bentuk nyata dari korupsi berbasis kekuasaan, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Kasus-kasus ini menggambarkan bagaimana kekuasaan
digunakan secara menyimpang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, serta memperlihatkan
dampak destruktif terhadap institusi dan masyarakat.
5.1.
Kasus Nasional: Skandal Korupsi Proyek e-KTP
Salah satu contoh
paling menonjol dari penyalahgunaan wewenang di Indonesia adalah kasus
mega-korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).
Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk mantan Ketua DPR
RI, Setya Novanto, yang divonis bersalah karena menyalahgunakan jabatannya
untuk mengatur proyek pengadaan senilai Rp5,9 triliun, dan mengalihkan sebagian
besar anggaran kepada dirinya dan rekan-rekan politiknya¹.
Dalam penyelidikan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa proyek tersebut
dikendalikan secara sistematis oleh jaringan pejabat kementerian, legislatif, dan
swasta, yang menggunakan kekuasaan mereka untuk mengatur lelang, menentukan
pemenang proyek, dan menyisihkan dana “fee” kepada para pihak terkait².
Penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini terjadi pada berbagai level: mulai dari
perencanaan anggaran, proses tender, hingga pelaksanaan kontrak. Hal ini
membuktikan bahwa korupsi yang berbasis kekuasaan tidak hanya bersifat
individual, melainkan terorganisir dan terstruktur.
Menurut majelis
hakim Pengadilan Tipikor, Setya Novanto terbukti memperkaya diri sendiri dan
menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp2,3 triliun, menjadikannya salah satu
kasus kerugian keuangan negara terbesar dalam sejarah hukum Indonesia³. Skandal
ini mencoreng kredibilitas lembaga legislatif dan menunjukkan bahwa
penyalahgunaan kekuasaan politik dapat merusak proyek-proyek strategis nasional
yang semestinya memberikan manfaat publik luas.
5.2.
Kasus Internasional: Viktor Yanukovych dan
"State Capture" di Ukraina
Di tingkat global,
kasus mantan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych menjadi studi
klasik mengenai bagaimana seorang pemimpin politik menggunakan kekuasaannya
secara sewenang-wenang untuk memperkaya diri dan kroninya, sebuah bentuk
ekstrem dari penyalahgunaan wewenang yang dikenal sebagai state capture.
Selama masa jabatannya (2010–2014), Yanukovych dan lingkaran oligarkisnya
menguasai institusi-institusi negara dan menggunakan kekuasaan eksekutif untuk
memonopoli bisnis strategis, memanipulasi sistem hukum, dan menindas oposisi
politik⁴.
Investigasi oleh Anti-Corruption
Action Center (ANTAC) dan sejumlah NGO menunjukkan bahwa Yanukovych
menggunakan jabatan presiden untuk mengatur tender proyek infrastruktur dan
energi, memberikan konsesi eksklusif kepada perusahaan-perusahaan milik kerabat
dan rekan bisnisnya, serta menyimpan hasil korupsinya melalui skema pencucian
uang lintas negara⁵. Salah satu simbol paling terkenal dari kekayaannya yang
tidak sah adalah istana pribadi "Mezhyhirya", yang kemudian
dijadikan museum korupsi oleh rakyat Ukraina setelah Yanukovych digulingkan
pada 2014.
Kasus ini menyoroti
bagaimana penyalahgunaan wewenang dapat berkembang menjadi state
capture — sebuah kondisi ketika kebijakan dan institusi negara
dikendalikan oleh aktor-aktor non-negara atau elite tertentu yang memiliki
hubungan patronase dengan pemegang kekuasaan⁶. Dalam konteks Ukraina,
penyalahgunaan wewenang ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi besar,
tetapi juga memicu krisis politik yang berujung pada revolusi dan
ketidakstabilan nasional.
Refleksi Kritis
Kedua studi kasus di
atas mengindikasikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan bukanlah peristiwa yang
bersifat individual atau insidental. Ia berakar dari struktur politik dan
kelembagaan yang tidak transparan, lemah dalam akuntabilitas, dan sarat dengan
konflik kepentingan. Skandal e-KTP dan rezim Yanukovych memperlihatkan bahwa
ketika kekuasaan tidak dikontrol dengan baik, maka institusi negara akan
digunakan sebagai instrumen eksploitasi, bukan pelayanan publik. Dalam konteks
inilah, pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak cukup hanya dengan
pendekatan hukum, melainkan membutuhkan reformasi sistemik dalam budaya
politik, sistem birokrasi, dan partisipasi masyarakat sipil.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Putusan Pengadilan Tipikor atas
Nama Terdakwa Setya Novanto, Nomor 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst
(Jakarta: KPK, 2018), 12–18.
[2]
Tempo, “Rekonstruksi Kasus e-KTP: Rantai Korupsi dari DPR hingga
Swasta,” Majalah Tempo, 27 Maret 2017.
[3]
CNN Indonesia, “Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara dalam Kasus
e-KTP,” CNNIndonesia.com, April 24, 2018, https://www.cnnindonesia.com.
[4]
Freedom House, Nations in Transit 2015: Ukraine Country Report
(Washington, DC: Freedom House, 2015), 2–4.
[5]
Anti-Corruption Action Center (ANTAC), “Corruption in Yanukovych’s
Government: The Role of Offshore Networks,” ANTAC Report, 2014, https://antac.org.ua.
[6]
Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State,
Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World
Bank Policy Research Working Paper, no. 2444 (Washington, DC: World Bank,
2000), 3–5.
6.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan
wewenang merupakan bentuk korupsi yang paling sulit diberantas karena sering
kali dibungkus dengan legalitas formal, dilindungi oleh jejaring kekuasaan, dan
tersembunyi di balik proses birokrasi yang kompleks. Oleh karena itu, upaya
pencegahan dan penanggulangannya memerlukan pendekatan yang holistik,
struktural, dan berkelanjutan. Pendekatan ini harus mencakup
reformasi kelembagaan, penguatan regulasi, serta transformasi budaya politik
dan birokrasi. Beberapa strategi utama berikut ini dapat digunakan untuk
merespons tantangan penyalahgunaan wewenang secara sistemik.
6.1.
Reformasi Birokrasi dan Penguatan Sistem
Meritokrasi
Salah satu akar
penyalahgunaan kekuasaan adalah lemahnya sistem manajemen sumber daya manusia
di sektor publik. Ketika pengangkatan dan promosi pejabat tidak berbasis
kompetensi, melainkan relasi politis atau nepotisme, maka ruang penyimpangan
kekuasaan menjadi terbuka lebar. Oleh karena itu, penerapan sistem
meritokrasi yang berbasis kualifikasi, integritas, dan prestasi
harus dijadikan prioritas utama dalam reformasi birokrasi¹.
Indonesia telah
mengadopsi kebijakan meritokrasi melalui UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, namun implementasinya masih menghadapi tantangan serius seperti
intervensi politik dan lemahnya pengawasan². OECD menekankan bahwa meritokrasi
yang dikombinasikan dengan transparansi dalam rekrutmen dan promosi akan
membatasi ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat profesionalisme
institusi publik³.
6.2.
Penguatan Lembaga Pengawasan dan Penegakan
Hukum
Upaya pencegahan
penyalahgunaan wewenang membutuhkan lembaga pengawasan yang independen,
berintegritas,
dan memiliki kewenangan kuat untuk menindak
pelanggaran. Di Indonesia, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Ombudsman RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi ASN memainkan peran
penting dalam mendeteksi dan mengoreksi penyimpangan kekuasaan.
Namun, penguatan
lembaga-lembaga ini memerlukan jaminan terhadap independensi politik,
ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran, serta perlindungan hukum bagi
para pelapor atau whistleblower⁴. United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) menekankan pentingnya adanya otoritas antikorupsi yang bebas dari
tekanan politik dan memiliki akses terhadap informasi keuangan dan
administratif untuk memastikan efektivitas pencegahan dan penindakan⁵.
6.3.
Penggunaan Teknologi dan Digitalisasi
Pemerintahan (e-Government)
Digitalisasi layanan
publik melalui e-government terbukti dapat
mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, yang selama ini
menjadi celah utama penyalahgunaan kekuasaan. Sistem berbasis elektronik
seperti e-procurement, e-budgeting, dan e-audit memungkinkan proses
administrasi berlangsung secara transparan, terekam, dan dapat diawasi oleh
publik⁶.
World Bank
menyatakan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam tata kelola publik telah
berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi, pengurangan biaya transaksi, dan
penguatan akuntabilitas pejabat publik⁷. Di Indonesia, beberapa daerah seperti
Surabaya dan Banyuwangi telah berhasil mengintegrasikan sistem digital dalam
pelayanan publik sebagai bagian dari upaya reformasi struktural birokrasi.
6.4.
Pendidikan Antikorupsi dan Penguatan Etika
Jabatan
Pencegahan jangka
panjang terhadap penyalahgunaan kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari
pembangunan karakter dan kesadaran etis para pejabat publik. Oleh karena itu, pendidikan
antikorupsi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal,
pendidikan ASN, serta pelatihan kepemimpinan di lingkungan pemerintah dan
partai politik⁸.
Etika jabatan juga
perlu ditegaskan dalam bentuk kode etik dan pedoman perilaku
yang mengikat secara hukum, dan disertai dengan mekanisme penegakan internal
yang efektif. Di banyak negara, lembaga semacam integrity office dibentuk untuk
mengawasi kepatuhan etika pejabat publik dan mengelola konflik kepentingan⁹.
6.5.
Peran Masyarakat Sipil dan Jurnalisme
Investigatif
Kontrol kekuasaan
tidak akan efektif tanpa keterlibatan masyarakat sipil yang kritis dan
jurnalisme investigatif yang independen. Partisipasi publik dalam
pengawasan anggaran, pelaporan pelanggaran, serta keterlibatan dalam
forum-forum pengambilan keputusan dapat mempersempit ruang penyalahgunaan
kekuasaan.
Transparency
International menegaskan bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bebas memiliki
daya tekan terhadap pemerintah dan dapat menjadi mitra strategis dalam
pengawasan kekuasaan¹⁰. Di era digital, platform pelaporan daring dan media
sosial juga menjadi alat efektif dalam menyuarakan pelanggaran dan mendorong
transparansi.
Footnotes
[1]
OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment
(Paris: OECD Publishing, 2005), 52–55.
[2]
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Laporan Tahunan KASN 2022
(Jakarta: KASN RI, 2023), 11–12.
[3]
OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Sector: A Toolkit
(Paris: OECD Publishing, 2005), 36.
[4]
Transparency International, Anti-Corruption Helpdesk: The Role of
Oversight Institutions in Curbing Corruption, 2021, https://www.transparency.org.
[5]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Resource Guide on
Good Practices in the Protection of Reporting Persons (Vienna: UNODC,
2015), 9–12.
[6]
United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), E-Government
Survey 2022 (New York: UN, 2022), 33.
[7]
World Bank, Digital Dividends: World Development Report 2016
(Washington, DC: World Bank, 2016), 97–99.
[8]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Strategi Nasional Pendidikan
Antikorupsi 2021–2025 (Jakarta: KPK RI, 2021), 6–7.
[9]
Transparency International, Codes of Conduct in Public Life,
2018, https://www.transparency.org.
[10]
Transparency International, Empowering Civil Society to Fight
Corruption, 2020, https://www.transparency.org.
7.
Analisis Kritis
Penyalahgunaan
wewenang sebagai bentuk korupsi struktural tidak hanya merupakan manifestasi
dari kegagalan moral individu, tetapi juga refleksi dari lemahnya sistem
kelembagaan, budaya birokrasi yang permisif, dan ketimpangan kekuasaan yang
berlangsung secara sistemik. Analisis kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan
memerlukan pendekatan multidimensi yang memadukan teori kekuasaan, kelembagaan,
dan kontrol sosial.
7.1.
Relasi Kuasa dan Ketimpangan Struktur
Teori kritis
memandang kekuasaan sebagai relasi yang bersifat asimetris. Dalam pandangan
Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh aktor tertentu, tetapi
beroperasi melalui jaringan institusi, diskursus, dan praktik sosial yang
membentuk serta mengatur perilaku individu maupun kelompok¹. Dalam konteks ini,
penyalahgunaan wewenang bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan akibat
dari struktur kekuasaan yang tidak terkendali dan minim pengawasan.
Pola-pola
penyimpangan kekuasaan yang berulang di berbagai institusi negara menunjukkan
bahwa praktik korupsi berbasis abuse of power merupakan bagian dari “state
embedded corruption” — yaitu korupsi yang mengakar dalam relasi kekuasaan
negara dan pelaksanaannya². Hal ini diperparah oleh sistem patronase politik
yang memperkuat loyalitas pada elite, bukan pada hukum dan etika publik. Dengan
demikian, pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak cukup dengan pendekatan
hukum formal semata, tetapi harus dibarengi dengan reformasi terhadap struktur
kekuasaan dan pola distribusinya.
7.2.
Diskresi vs Arbitrase Kekuasaan
Salah satu problem
konseptual utama dalam pencegahan penyalahgunaan kekuasaan adalah batas tipis
antara diskresi administratif dan arbitrase kekuasaan. Dalam prinsip good
governance, diskresi merupakan ruang kebebasan yang dibutuhkan oleh pejabat
publik untuk mengambil keputusan dalam situasi yang belum diatur secara
eksplisit oleh hukum³. Namun dalam praktiknya, ruang ini sering dieksploitasi
menjadi alat arbitrer untuk memperkuat kekuasaan atau memberi keuntungan kepada
pihak tertentu.
Analisis terhadap
praktik birokrasi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia,
menunjukkan bahwa diskresi yang tidak dilengkapi dengan akuntabilitas vertikal
(hukum) maupun horizontal (publik) sangat rentan mengarah pada penyalahgunaan wewenang⁴.
Dalam hal ini, transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme evaluasi
internal menjadi kunci untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fleksibilitas
dalam pengambilan keputusan dan tuntutan integritas kekuasaan.
7.3.
Kegagalan Sistem Penegakan Hukum
Penegakan hukum yang
selektif atau berwatak simbolik merupakan faktor utama yang membuat
penyalahgunaan wewenang terus berlangsung tanpa efek jera. Dalam banyak kasus,
pelaku penyalahgunaan kekuasaan justru dilindungi oleh jaringan kekuasaan itu
sendiri, atau hanya dikenai sanksi administratif yang ringan. Hal ini
menunjukkan adanya “rule by law” alih-alih “rule of law” — di
mana hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan sebagai batas kekuasaan itu
sendiri⁵.
Kritik terhadap
efektivitas penegakan hukum juga disampaikan oleh Alina Mungiu-Pippidi yang
menyatakan bahwa negara-negara dengan “informal governance regimes”
cenderung memiliki sistem hukum yang dikooptasi oleh elite politik dan ekonomi,
sehingga tidak mampu bertindak sebagai pengontrol kekuasaan yang independen⁶.
Dalam konteks ini, integritas lembaga hukum dan keberanian untuk melawan
intervensi politik menjadi prasyarat mutlak bagi keberhasilan reformasi tata
kelola kekuasaan.
7.4.
Dimensi Sosio-Kultural dan Budaya Kekuasaan
Penyalahgunaan
wewenang juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosio-kultural masyarakat.
Budaya paternalistik, feodalisme politik, serta loyalitas pribadi terhadap
pemimpin sering kali lebih dominan dibandingkan komitmen terhadap hukum dan
kepentingan publik. Dalam masyarakat yang memiliki budaya kekuasaan hierarkis
dan tidak kritis terhadap otoritas, penyalahgunaan wewenang cenderung
dimaklumi, bahkan dianggap wajar atau bagian dari hak jabatan⁷.
Sosiolog Robert K.
Merton menyebut kondisi ini sebagai “normative inversion” — ketika norma
penyimpangan justru menjadi norma sosial dominan dalam lingkungan tertentu⁸.
Oleh karena itu, perubahan budaya menjadi salah satu strategi jangka panjang
yang sangat penting. Upaya membangun budaya integritas, kesadaran kritis, dan
kewargaan aktif harus dimulai sejak pendidikan dasar dan diperkuat melalui
media, institusi keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil.
7.5.
Ketimpangan Akses dan Oligarki Kekuasaan
Dalam analisis struktural,
penyalahgunaan kekuasaan sangat erat kaitannya dengan dominasi oligarki dalam
sistem politik dan ekonomi. Oligarki menciptakan struktur kekuasaan tertutup
yang tidak responsif terhadap kontrol publik dan cenderung mengamankan
kepentingannya sendiri melalui penyalahgunaan instrumen negara⁹. Indonesia,
menurut beberapa kajian, masih berada dalam jebakan oligarki politik-ekonomi
pasca-Orde Baru, di mana aktor-aktor dominan mengendalikan media, partai, dan
pasar secara simultan¹⁰.
Kondisi ini
menimbulkan kesenjangan dalam akses terhadap kekuasaan, hukum, dan sumber daya.
Penyalahgunaan wewenang menjadi alat untuk mempertahankan dominasi tersebut,
sementara kelompok-kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke dalam
sistem kekuasaan terus mengalami eksklusi. Dalam konteks ini, demokratisasi
yang sejati hanya bisa tercapai apabila struktur kekuasaan dibuka melalui
transparansi, desentralisasi, dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.
[2]
Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 248.
[3]
Svara, James H. The Ethics Primer for Public Administrators in
Government and Nonprofit Organizations (Sudbury, MA: Jones & Bartlett
Learning, 2007), 103–104.
[4]
World Bank, World Development Report 2017: Governance and the Law
(Washington, DC: World Bank, 2017), 81–82.
[5]
Baxi, Upendra. “Rule of Law in India: Theory and Practice,” Asia-Pacific
Journal on Human Rights and the Law 3, no. 1 (2002): 31–50.
[6]
Mungiu-Pippidi, Alina. The Quest for Good Governance: How Societies
Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press,
2015), 120–124.
[7]
Hofstede, Geert. Culture's Consequences: Comparing Values,
Behaviors, Institutions and Organizations across Nations, 2nd ed.
(Thousand Oaks: Sage Publications, 2001), 118–121.
[8]
Merton, Robert K. Social Theory and Social Structure (New
York: Free Press, 1968), 211.
[9]
Winters, Jeffrey A. Oligarchy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011), 7–9.
[10]
Robison, Richard, and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London:
RoutledgeCurzon, 2004), 12–16.
8.
Penutup
Penyalahgunaan
wewenang merupakan bentuk korupsi yang paling kompleks dan membahayakan karena
menyangkut pelaksanaan kekuasaan yang menyimpang dari mandat hukum dan moral.
Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak struktur
sosial, melemahkan institusi demokrasi, dan menghancurkan kepercayaan publik
terhadap pemerintahan. Seperti yang ditegaskan Rose-Ackerman, ketika kekuasaan
digunakan secara tidak sah untuk kepentingan pribadi, maka fungsi pemerintahan
sebagai pelayan publik berubah menjadi alat eksploitasi dan dominasi¹.
Studi-studi empiris
menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi dalam ruang hampa,
melainkan tumbuh subur dalam ekosistem politik dan birokrasi yang permisif,
lemah dalam pengawasan, serta cenderung melanggengkan relasi kuasa yang
timpang². Ketika kontrol terhadap pejabat publik tidak efektif dan partisipasi
warga negara dibatasi, maka penyimpangan kekuasaan akan menjadi kebiasaan
struktural yang mengakar dalam kultur politik suatu bangsa. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Mungiu-Pippidi sebagai "informal governance regime",
di mana jaringan kekuasaan informal lebih menentukan keputusan publik
dibandingkan norma dan hukum yang berlaku³.
Oleh karena itu,
upaya pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak dapat diserahkan semata
kepada aparat hukum, tetapi harus menjadi agenda kolektif seluruh elemen
bangsa. Reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, penguatan lembaga pengawas
yang independen, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, serta pendidikan
antikorupsi sejak dini merupakan langkah-langkah strategis yang harus
dijalankan secara konsisten dan simultan⁴. Tanpa itu, penyalahgunaan kekuasaan
akan terus menjadi “penyakit kronis” dalam tubuh negara.
Penegakan etika
jabatan dan integritas pribadi para pemegang kekuasaan juga harus menjadi
perhatian utama. Kekuasaan bukanlah hak istimewa yang dapat digunakan sesuka
hati, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab moral
dan sosial. Dalam hal ini, peran kepemimpinan yang visioner, berintegritas, dan
antikorupsi menjadi krusial dalam membangun kultur birokrasi yang melayani,
bukan mendominasi.
Sebagai penutup,
penting untuk ditegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang bukan hanya masalah
legal, tetapi juga masalah etis dan struktural. Ia mencerminkan kegagalan
sistem dalam mendistribusikan kekuasaan secara adil dan transparan. Oleh karena
itu, diperlukan perubahan mendasar dalam struktur, budaya, dan orientasi
kekuasaan agar pemerintahan dapat berfungsi sebagai pelayan rakyat, bukan
sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Sebagaimana
dinyatakan oleh World Bank, tata kelola yang baik tidak mungkin terwujud tanpa
integritas kekuasaan⁵.
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and
Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016), 228.
[2]
Joel S. Hellman, Geraint Jones, and Daniel Kaufmann, “Seize the State,
Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World
Bank Policy Research Working Paper No. 2444 (Washington, DC: World Bank,
2000), 4.
[3]
Alina Mungiu-Pippidi, The Quest for Good Governance: How Societies
Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press,
2015), 27–30.
[4]
OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment
(Paris: OECD Publishing, 2005), 19–20.
[5]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 9.
Daftar Pustaka
Anti-Corruption Action
Center. (2014). Corruption in Yanukovych’s government: The role of offshore
networks. https://antac.org.ua
Baxi, U. (2002). Rule of
law in India: Theory and practice. Asia-Pacific Journal on Human Rights and
the Law, 3(1), 31–50.
CNN Indonesia. (2018, April
24). Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus e-KTP. https://www.cnnindonesia.com
Edelman. (2023). Edelman
trust barometer 2023 global report. https://www.edelman.com
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Freedom House. (2015). Nations
in transit 2015: Ukraine country report. https://freedomhouse.org
Hellman, J. S., Jones, G.,
& Kaufmann, D. (2000). Seize the state, seize the day: State capture,
corruption, and influence in transition (Policy Research Working Paper No.
2444). World Bank.
Hofstede, G. (2001). Culture's
consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations
across nations (2nd ed.). Sage Publications.
Human Rights Watch. (2021).
Indonesia: Weak protections leave communities at risk. https://www.hrw.org
Komisi Aparatur Sipil
Negara. (2023). Laporan tahunan KASN 2022. KASN RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2018). Putusan Pengadilan Tipikor atas nama terdakwa Setya
Novanto (No. 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst).
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2021). Strategi nasional pendidikan antikorupsi 2021–2025. https://aclc.kpk.go.id
Merton, R. K. (1968). Social
theory and social structure. Free Press.
Mungiu-Pippidi, A. (2015). The
quest for good governance: How societies develop control of corruption.
Cambridge University Press.
OECD. (2005a). Managing
conflict of interest in the public sector: A toolkit. OECD Publishing.
OECD. (2005b). Public
sector integrity: A framework for assessment. OECD Publishing.
OECD. (2017). Preventing
policy capture: Integrity in public decision making. OECD Publishing.
Robison, R., & Hadiz,
V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in
an age of markets. RoutledgeCurzon.
Rose-Ackerman, S., &
Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and
reform (2nd ed.). Cambridge University Press.
Svara, J. H. (2007). The
ethics primer for public administrators in government and nonprofit
organizations. Jones & Bartlett Learning.
Tempo. (2017, March 27). Rekonstruksi
kasus e-KTP: Rantai korupsi dari DPR hingga swasta. Majalah Tempo.
Transparency International.
(2018). Codes of conduct in public life. https://www.transparency.org
Transparency International.
(2020). Empowering civil society to fight corruption. https://www.transparency.org
Transparency International.
(2021). Anti-corruption helpdesk: The role of oversight institutions in
curbing corruption. https://www.transparency.org
Transparency International.
(2024). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org
United Nations Development
Programme. (2022). Human development report 2021/2022: Uncertain times,
unsettled lives. UNDP.
United Nations Department
of Economic and Social Affairs. (2022). E-government survey 2022.
United Nations.
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2015). Resource guide on good practices in the protection
of reporting persons. UNODC.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy.
Cambridge University Press.
World Bank. (1997). Helping
countries combat corruption: The role of the World Bank. World Bank.
World Bank. (2016). World
development report 2016: Digital dividends. World Bank.
World Bank. (2017). World
development report 2017: Governance and the law. World Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar