Selasa, 08 Juli 2025

Penyalahgunaan Wewenang: Kajian Kritis terhadap Penyimpangan Kekuasaan untuk Kepentingan Pribadi dan Kelompok

Penyalahgunaan Wewenang

Kajian Kritis terhadap Penyimpangan Kekuasaan untuk Kepentingan Pribadi dan Kelompok


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis fenomena penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu bentuk korupsi yang paling merusak dan sulit diberantas. Penyalahgunaan wewenang didefinisikan sebagai praktik pemanfaatan kekuasaan publik secara menyimpang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang sering kali dibungkus dalam legalitas formal namun menyimpang secara moral dan struktural. Kajian ini memaparkan dimensi historis, teoretis, dan empiris dari penyalahgunaan kekuasaan, serta menyajikan studi kasus nasional dan internasional untuk memperjelas karakteristik, pola, dan dampaknya. Melalui analisis kritis berbasis teori kekuasaan, kelembagaan, dan budaya politik, artikel ini mengidentifikasi bahwa penyalahgunaan wewenang tidak berdiri sendiri, melainkan berkait erat dengan kelemahan sistem pengawasan, ketimpangan struktur kekuasaan, budaya birokrasi feodal, dan lemahnya etika jabatan. Dalam upaya penanggulangan, artikel ini menekankan pentingnya reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, penguatan lembaga pengawas, digitalisasi tata kelola publik, pendidikan antikorupsi, serta partisipasi aktif masyarakat sipil. Artikel ini berkontribusi pada wacana akademik dan kebijakan publik tentang pentingnya integritas kekuasaan sebagai fondasi tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan demokratis.

Kata Kunci: Korupsi; Penyalahgunaan Wewenang; Kekuasaan; Good Governance; Reformasi Birokrasi; Integritas; Partisipasi Publik.


PEMBAHASAN

Penyalahgunaan Wewenang dalam Praktik Korupsi (Abuse of Power)


1.           Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu fenomena sosial dan politik yang paling merusak dalam sistem pemerintahan modern. Dampaknya tidak hanya mencederai kepercayaan publik terhadap institusi negara, tetapi juga menghambat pembangunan, memperlebar kesenjangan sosial, dan melanggengkan praktik ketidakadilan struktural. Salah satu bentuk korupsi yang paling sistemik dan berbahaya adalah penyalahgunaan wewenang (abuse of power), yaitu penggunaan kekuasaan publik secara tidak sah atau menyimpang untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu¹.

Menurut World Bank, korupsi dapat didefinisikan sebagai “the abuse of public office for private gain,” yang secara eksplisit menempatkan penyalahgunaan kekuasaan sebagai inti dari praktik korupsi itu sendiri². Dalam konteks ini, kekuasaan yang seharusnya dijalankan secara akuntabel dan dalam kerangka hukum justru dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri, mempertahankan status politik, atau memperkuat jaringan kroni. Fenomena ini banyak dijumpai dalam negara-negara yang memiliki sistem kelembagaan lemah, kontrol internal yang minim, serta budaya politik yang permisif terhadap pelanggaran etika dan hukum.

Teori kekuasaan klasik menyatakan bahwa kekuasaan yang absolut cenderung disalahgunakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”³. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penyalahgunaan kekuasaan adalah sesuatu yang inheren dalam struktur kekuasaan itu sendiri, terutama jika tidak diimbangi dengan sistem pengawasan dan checks and balances yang efektif. Dalam praktik birokrasi modern, penyalahgunaan wewenang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti intervensi atas proses pengadaan barang dan jasa, pemberian lisensi secara diskriminatif, nepotisme dalam pengangkatan jabatan, serta perlindungan terhadap pelaku pelanggaran hukum.

Pentingnya kajian ini semakin relevan mengingat tingginya angka korupsi yang melibatkan penyalahgunaan jabatan publik di Indonesia. Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sebagian besar kasus yang ditangani berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dan birokrat⁴. Hal ini menjadi indikasi bahwa praktik abuse of power bukanlah fenomena kasuistik, melainkan bagian dari pola sistemik dalam struktur kekuasaan pemerintahan.

Selain itu, penyalahgunaan wewenang juga memiliki korelasi kuat dengan lemahnya akuntabilitas politik dan institusional. Studi-studi mutakhir menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang otoriter atau memiliki defisit demokrasi cenderung memperbesar kemungkinan terjadinya abuse of power⁵. Oleh karena itu, kajian terhadap penyalahgunaan kekuasaan sebagai bentuk korupsi harus ditempatkan dalam kerangka analisis struktural yang melibatkan aspek hukum, politik, ekonomi, dan budaya birokrasi.

Melalui artikel ini, penulis bertujuan untuk melakukan kajian kritis terhadap bentuk, pola, dan dampak penyalahgunaan wewenang dalam praktik korupsi. Dengan menggunakan pendekatan multidisipliner dan referensi akademik yang kredibel, pembahasan akan diarahkan pada upaya untuk mengurai akar masalah dan mengusulkan strategi pencegahan yang lebih sistemik dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Daniel Kaufmann, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi, “Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank Policy Research Working Paper, no. 4978 (Washington, DC: World Bank, 2009), 4.

[2]                World Bank, “Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank,” World Bank Report, 1997, https://documents.worldbank.org.

[3]                John Emerich Edward Dalberg-Acton, Letters of Lord Acton to Mary Gladstone, ed. Herbert Paul (London: George Allen, 1904), 1.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2023 (Jakarta: KPK RI, 2024), 18–21.

[5]                Alina Mungiu-Pippidi, The Quest for Good Governance: How Societies Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 112–115.


2.           Konseptualisasi Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu bentuk korupsi yang paling sulit dideteksi dan dikendalikan karena sering kali dilakukan dalam kerangka legalitas formal yang tampak sah. Dalam konteks administrasi publik, penyalahgunaan wewenang didefinisikan sebagai tindakan pejabat publik yang menggunakan otoritasnya secara menyimpang dari tujuan hukum atau prinsip-prinsip etika pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu¹. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh pihak yang memiliki posisi strategis dalam struktur kekuasaan, yang memungkinkan mereka untuk memanipulasi kebijakan, keputusan, atau proses administratif dengan dalih diskresi jabatan.

Menurut Transparency International, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) adalah komponen inti dari berbagai bentuk korupsi karena menandai penyimpangan dari prinsip tanggung jawab publik dan integritas institusional². Hal ini juga ditegaskan dalam kerangka konseptual United Nations Convention against Corruption (UNCAC), yang mengklasifikasikan penyalahgunaan fungsi dan wewenang sebagai salah satu kategori utama tindak pidana korupsi³.

Dalam ilmu administrasi dan teori kekuasaan klasik, kekuasaan dipahami sebagai kapasitas seseorang atau institusi untuk memengaruhi tindakan orang lain atau mengendalikan sumber daya. Max Weber membedakan antara tiga jenis otoritas: otoritas legal-rasional, tradisional, dan kharismatik⁴. Dalam konteks birokrasi modern, otoritas legal-rasional menjadi landasan utama, di mana wewenang diberikan berdasarkan aturan hukum dan struktur organisasi formal. Namun, ketika pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan melalui otoritas legal ini untuk tujuan yang menyimpang dari kepentingan publik, maka terjadilah penyalahgunaan wewenang.

Batasan antara penggunaan diskresi dan penyalahgunaan wewenang kerap menjadi wilayah yang abu-abu dalam praktik pemerintahan. Diskresi pejabat publik adalah ruang kebebasan untuk mengambil keputusan dalam situasi yang tidak secara eksplisit diatur oleh hukum. Namun, apabila diskresi digunakan tidak untuk kebaikan publik, melainkan untuk keuntungan pribadi atau untuk menguntungkan jaringan politik tertentu, maka diskresi tersebut berubah menjadi abuse of power⁵. Dalam studi kebijakan publik, kondisi ini disebut sebagai policy capture, yaitu ketika kebijakan publik dibentuk tidak berdasarkan analisis kepentingan masyarakat luas, melainkan oleh segelintir elite dengan pengaruh tertentu⁶.

Penyalahgunaan wewenang juga erat kaitannya dengan konsep clientelism dan patronage, di mana pejabat atau politisi memberikan layanan, kontrak, atau jabatan kepada individu tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik. Dalam konteks ini, relasi kekuasaan menjadi bersifat transaksional dan pragmatis, yang mengikis nilai-nilai profesionalisme dan meritokrasi⁷.

Dari segi indikator, penyalahgunaan wewenang dapat dikenali melalui pola pengambilan keputusan yang tidak transparan, absennya mekanisme akuntabilitas, dominasi kepentingan pribadi dalam pembuatan kebijakan, serta lemahnya partisipasi publik dalam proses pemerintahan⁸. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai konsep dan bentuk penyalahgunaan wewenang menjadi sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi yang bersifat sistemik dan terstruktur.


Footnotes

[1]                Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 153.

[2]                Transparency International, “What is Corruption?” accessed July 8, 2025, https://www.transparency.org/en/what-is-corruption.

[3]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations Convention Against Corruption (Vienna: UNODC, 2004), Articles 19–21.

[4]                Weber, Max. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–217.

[5]                Svara, James H. The Ethics Primer for Public Administrators in Government and Nonprofit Organizations (Sudbury: Jones & Bartlett Learning, 2007), 97–99.

[6]                Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State, Seize the Day: State Capture and Influence in Transition Economies.” Journal of Comparative Economics 31, no. 4 (2003): 751–773.

[7]                Kitschelt, Herbert, and Steven I. Wilkinson, eds. Patrons, Clients, and Policies: Patterns of Democratic Accountability and Political Competition (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 19–25.

[8]                OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment (Paris: OECD Publishing, 2005), 34–36.


3.           Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk tindakan, baik yang tampak terang-terangan maupun terselubung, yang semuanya memiliki kesamaan karakteristik: pelampauan batas kekuasaan resmi demi keuntungan pribadi atau kelompok. Bentuk-bentuk ini dapat muncul di berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari pejabat eksekutif pusat, legislatif, aparat penegak hukum, hingga pejabat daerah. Kajian terhadap bentuk-bentuk tersebut penting sebagai langkah awal dalam mengenali, mengklasifikasikan, dan mengintervensi praktik-praktik penyimpangan kekuasaan secara tepat.

3.1.       Intervensi dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa

Salah satu bentuk yang paling umum dari penyalahgunaan kekuasaan adalah intervensi dalam proses pengadaan barang dan jasa negara. Dalam kasus ini, pejabat publik menggunakan pengaruh atau wewenangnya untuk memenangkan penyedia tertentu, baik karena imbalan ekonomi maupun kepentingan politik. Praktik ini sering dilakukan melalui pengaturan spesifikasi teknis, penunjukan langsung, atau penyusunan jadwal tender yang berpihak¹. Dalam banyak kasus, intervensi ini dilakukan dengan melibatkan jaringan kroni atau perusahaan milik keluarga untuk mendapatkan proyek negara dengan cara tidak sah².

Menurut laporan Transparency International, sektor pengadaan merupakan salah satu sektor paling rentan terhadap korupsi karena kompleksitas prosesnya dan adanya celah diskresi dalam berbagai tahapannya³. Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks ini tidak hanya mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi juga merusak prinsip kompetisi sehat dan kualitas layanan publik.

3.2.       Pemberian Izin atau Konsesi secara Diskriminatif

Penyalahgunaan kekuasaan juga sering terjadi dalam bentuk pemberian izin usaha, hak guna lahan, atau konsesi sumber daya alam yang tidak sesuai prosedur. Dalam banyak kasus, pejabat publik menggunakan jabatannya untuk mempercepat, mempermudah, atau bahkan menciptakan jalur khusus bagi pihak tertentu agar memperoleh akses terhadap sumber daya strategis negara⁴. Proses yang semestinya transparan dan berbasis kajian teknis berubah menjadi transaksi politik atau ekonomi.

Fenomena ini banyak dijumpai dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan agraria, di mana kekuasaan administratif digunakan untuk memberikan legalitas kepada perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kriteria, bahkan terkadang melanggar hak masyarakat adat atau lingkungan hidup⁵. Studi oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan dalam pemberian izin tambang berkontribusi langsung terhadap konflik sosial dan kerusakan ekosistem yang parah⁶.

3.3.       Nepotisme dan Pengangkatan Jabatan Berdasarkan Kedekatan Pribadi

Nepotisme merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan melalui pengangkatan atau promosi individu ke dalam jabatan publik bukan berdasarkan kompetensi, melainkan karena hubungan kekerabatan atau kedekatan personal dengan pemegang kekuasaan. Praktik ini melanggar prinsip meritokrasi dan profesionalisme birokrasi, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat patronase dalam institusi negara⁷.

Menurut OECD, nepotisme merusak sistem seleksi yang berbasis kompetensi dan membuka peluang bagi korupsi administratif dalam level organisasi⁸. Fenomena ini sering kali sulit diungkap karena dibalut oleh justifikasi formal seperti penilaian kinerja atau rekomendasi internal yang dimanipulasi.

3.4.       Perlindungan terhadap Pelanggar Hukum dan Konflik Kepentingan

Penyalahgunaan wewenang juga dapat berbentuk perlindungan terhadap pelaku pelanggaran hukum melalui intervensi dalam proses penyelidikan, pengadilan, atau eksekusi hukum. Dalam hal ini, pejabat publik menggunakan posisinya untuk menghentikan proses hukum terhadap pihak-pihak tertentu, baik melalui tekanan politik, manipulasi bukti, atau pengaruh terhadap lembaga penegak hukum⁹. Ini merupakan bentuk korupsi yang sangat berbahaya karena merusak integritas sistem hukum dan menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum.

Selain itu, konflik kepentingan yang tidak dideklarasikan oleh pejabat publik juga termasuk penyalahgunaan wewenang. Pejabat yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait sektor atau institusi yang memiliki keterkaitan bisnis atau afiliasi pribadi jelas berada dalam posisi yang tidak netral dan cenderung memprioritaskan keuntungan pribadi dibandingkan kepentingan publik¹⁰.


Footnotes

[1]                Søreide, Tina. Corruption in Public Procurement: Causes, Consequences and Cures. (Bergen: Chr. Michelsen Institute, 2002), 6–7.

[2]                Transparency International, Global Corruption Report 2005: Corruption in Construction and Post-Conflict Reconstruction (London: Pluto Press, 2005), 22–24.

[3]                Ibid., 12.

[4]                McCarthy, John F. “The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatra’s Rainforest Frontier.” Studies in Environment and History (Stanford: Stanford University Press, 2006), 91–93.

[5]                Colchester, Marcus, et al. Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia (Jakarta: Forest Peoples Programme, 2006), 45–48.

[6]                Human Rights Watch, The Dark Side of Green Growth: Human Rights Impacts of Weak Governance in Indonesia’s Forestry Sector (New York: HRW, 2019), 14–16.

[7]                Eisenstadt, S.N., and René Lemarchand. Political Clientelism, Patronage, and Development (Beverly Hills: Sage Publications, 1981), 87.

[8]                OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Sector: A Toolkit (Paris: OECD Publishing, 2005), 44.

[9]                Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 244–247.

[10]             Transparency International, “Conflict of Interest in the Public Sector,” TI Policy Brief, 2019, https://www.transparency.org.


4.           Dampak Penyalahgunaan Wewenang

Penyalahgunaan wewenang dalam praktik kekuasaan publik bukan hanya persoalan legalitas semata, melainkan berdampak sistemik terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika kekuasaan dijalankan secara menyimpang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, maka prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik seperti integritas, akuntabilitas, dan keadilan menjadi terdegradasi. Dampak dari penyalahgunaan wewenang ini dapat dilihat dalam beberapa dimensi utama berikut:

4.1.       Kerusakan terhadap Institusi dan Tata Kelola Pemerintahan

Penyalahgunaan wewenang secara langsung melemahkan kapasitas institusi negara. Ketika kekuasaan digunakan secara tidak sah, maka norma-norma hukum dan administrasi menjadi subordinat dari kepentingan personal atau kelompok. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan budaya institusional yang permisif terhadap korupsi dan mengaburkan batas antara tindakan legal dan ilegal¹.

World Bank menyebut bahwa penyalahgunaan kekuasaan berdampak pada "institutional erosion", yaitu penurunan kualitas lembaga negara dalam menjalankan fungsinya secara profesional dan independen². Akibatnya, proses pengambilan kebijakan menjadi tidak rasional, tidak partisipatif, dan mudah diintervensi oleh elite yang memiliki akses kekuasaan.

4.2.       Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah

Kepercayaan publik adalah modal sosial yang sangat penting dalam menjamin legitimasi pemerintahan. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa pejabat publik menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri atau melindungi kroni, maka kepercayaan tersebut akan menurun secara signifikan. Transparency International menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik adalah maraknya penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara³.

Survei Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, lembaga publik seperti partai politik, parlemen, dan birokrasi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, dan salah satu alasan utamanya adalah persepsi bahwa mereka tidak melayani kepentingan rakyat⁴. Ini berdampak pada meningkatnya apatisme, protes sosial, dan delegitimasi terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

4.3.       Distorsi terhadap Alokasi Sumber Daya Publik

Penyalahgunaan kekuasaan sering kali mengakibatkan distorsi dalam alokasi anggaran dan sumber daya negara. Keputusan-keputusan penting dalam bidang anggaran, perizinan, dan kebijakan publik dapat diarahkan untuk menguntungkan kelompok tertentu, bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan masyarakat luas. Hal ini memperbesar risiko state capture, yakni ketika kebijakan publik dikendalikan oleh elite yang berjejaring dengan kekuasaan⁵.

Penelitian oleh Hellman et al. menunjukkan bahwa dalam sistem yang mengalami state capture, kebijakan ekonomi dan sosial tidak lagi menjadi alat distribusi keadilan sosial, melainkan alat pelanggengan kekuasaan dan keuntungan oligarki⁶. Akibatnya, ketimpangan sosial semakin melebar dan kelompok-kelompok rentan menjadi korban dari kebijakan yang diskriminatif.

4.4.       Kerugian Ekonomi dan Pelambatan Pembangunan

Korupsi yang berbasis penyalahgunaan wewenang memiliki konsekuensi langsung terhadap efisiensi dan produktivitas ekonomi. Ketika keputusan ekonomi dipengaruhi oleh relasi kuasa yang menyimpang, maka investasi yang masuk menjadi tidak efisien, proyek-proyek infrastruktur terhambat oleh biaya korupsi, dan kualitas pelayanan publik menurun drastis. Bank Dunia memperkirakan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung mengalami penurunan PDB hingga 2-5% setiap tahunnya⁷.

Selain itu, biaya transaksi ekonomi meningkat karena pelaku usaha harus mengalokasikan dana ekstra untuk suap dan perlindungan politik. Akibatnya, iklim usaha menjadi tidak kompetitif dan menghambat inovasi. Efek jangka panjangnya adalah stagnasi pembangunan dan terhambatnya pencapaian target-target pembangunan berkelanjutan (SDGs).

4.5.       Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial

Penyalahgunaan kekuasaan juga menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara. Ketika pejabat publik memprioritaskan kepentingan kelompoknya sendiri, maka kelompok-kelompok marjinal, seperti masyarakat adat, buruh, petani kecil, dan perempuan, sering kali menjadi pihak yang dirugikan⁸. Dalam konteks ini, penyalahgunaan wewenang menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak terlihat, tetapi dampaknya sangat nyata.

Human Rights Watch mencatat bahwa di berbagai negara, penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian konsesi atau penggusuran lahan sering kali dilakukan tanpa konsultasi atau kompensasi yang adil, dan sering kali dibarengi dengan intimidasi terhadap masyarakat yang menolak⁹. Hal ini membuktikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya ancaman terhadap tata kelola pemerintahan, tetapi juga terhadap keadilan dan martabat manusia.


Footnotes

[1]                Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 222–225.

[2]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 11.

[3]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 (Berlin: Transparency International, 2024), 4.

[4]                Edelman, Edelman Trust Barometer 2023 Global Report (Edelman Data & Intelligence, 2023), https://www.edelman.com.

[5]                OECD, Preventing Policy Capture: Integrity in Public Decision Making (Paris: OECD Publishing, 2017), 15–17.

[6]                Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World Bank Policy Research Working Paper No. 2444 (Washington, DC: World Bank, 2000), 3–5.

[7]                World Bank, World Development Report 2017: Governance and the Law (Washington, DC: World Bank, 2017), 84.

[8]                UNDP, Human Development Report 2021/2022: Uncertain Times, Unsettled Lives (New York: United Nations Development Programme, 2022), 102–105.

[9]                Human Rights Watch, Indonesia: Weak Protections Leave Communities at Risk (New York: HRW, 2021), https://www.hrw.org.


5.           Studi Kasus (Opsional)

Untuk memahami secara lebih konkret bagaimana penyalahgunaan wewenang terjadi dalam praktik kekuasaan publik, berikut disajikan dua studi kasus yang mencerminkan bentuk-bentuk nyata dari korupsi berbasis kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kasus-kasus ini menggambarkan bagaimana kekuasaan digunakan secara menyimpang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, serta memperlihatkan dampak destruktif terhadap institusi dan masyarakat.

5.1.       Kasus Nasional: Skandal Korupsi Proyek e-KTP

Salah satu contoh paling menonjol dari penyalahgunaan wewenang di Indonesia adalah kasus mega-korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, yang divonis bersalah karena menyalahgunakan jabatannya untuk mengatur proyek pengadaan senilai Rp5,9 triliun, dan mengalihkan sebagian besar anggaran kepada dirinya dan rekan-rekan politiknya¹.

Dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa proyek tersebut dikendalikan secara sistematis oleh jaringan pejabat kementerian, legislatif, dan swasta, yang menggunakan kekuasaan mereka untuk mengatur lelang, menentukan pemenang proyek, dan menyisihkan dana “fee” kepada para pihak terkait². Penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini terjadi pada berbagai level: mulai dari perencanaan anggaran, proses tender, hingga pelaksanaan kontrak. Hal ini membuktikan bahwa korupsi yang berbasis kekuasaan tidak hanya bersifat individual, melainkan terorganisir dan terstruktur.

Menurut majelis hakim Pengadilan Tipikor, Setya Novanto terbukti memperkaya diri sendiri dan menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp2,3 triliun, menjadikannya salah satu kasus kerugian keuangan negara terbesar dalam sejarah hukum Indonesia³. Skandal ini mencoreng kredibilitas lembaga legislatif dan menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan politik dapat merusak proyek-proyek strategis nasional yang semestinya memberikan manfaat publik luas.

5.2.       Kasus Internasional: Viktor Yanukovych dan "State Capture" di Ukraina

Di tingkat global, kasus mantan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych menjadi studi klasik mengenai bagaimana seorang pemimpin politik menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang untuk memperkaya diri dan kroninya, sebuah bentuk ekstrem dari penyalahgunaan wewenang yang dikenal sebagai state capture. Selama masa jabatannya (2010–2014), Yanukovych dan lingkaran oligarkisnya menguasai institusi-institusi negara dan menggunakan kekuasaan eksekutif untuk memonopoli bisnis strategis, memanipulasi sistem hukum, dan menindas oposisi politik⁴.

Investigasi oleh Anti-Corruption Action Center (ANTAC) dan sejumlah NGO menunjukkan bahwa Yanukovych menggunakan jabatan presiden untuk mengatur tender proyek infrastruktur dan energi, memberikan konsesi eksklusif kepada perusahaan-perusahaan milik kerabat dan rekan bisnisnya, serta menyimpan hasil korupsinya melalui skema pencucian uang lintas negara⁵. Salah satu simbol paling terkenal dari kekayaannya yang tidak sah adalah istana pribadi "Mezhyhirya", yang kemudian dijadikan museum korupsi oleh rakyat Ukraina setelah Yanukovych digulingkan pada 2014.

Kasus ini menyoroti bagaimana penyalahgunaan wewenang dapat berkembang menjadi state capture — sebuah kondisi ketika kebijakan dan institusi negara dikendalikan oleh aktor-aktor non-negara atau elite tertentu yang memiliki hubungan patronase dengan pemegang kekuasaan⁶. Dalam konteks Ukraina, penyalahgunaan wewenang ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi besar, tetapi juga memicu krisis politik yang berujung pada revolusi dan ketidakstabilan nasional.


Refleksi Kritis

Kedua studi kasus di atas mengindikasikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan bukanlah peristiwa yang bersifat individual atau insidental. Ia berakar dari struktur politik dan kelembagaan yang tidak transparan, lemah dalam akuntabilitas, dan sarat dengan konflik kepentingan. Skandal e-KTP dan rezim Yanukovych memperlihatkan bahwa ketika kekuasaan tidak dikontrol dengan baik, maka institusi negara akan digunakan sebagai instrumen eksploitasi, bukan pelayanan publik. Dalam konteks inilah, pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum, melainkan membutuhkan reformasi sistemik dalam budaya politik, sistem birokrasi, dan partisipasi masyarakat sipil.


Footnotes

[1]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Putusan Pengadilan Tipikor atas Nama Terdakwa Setya Novanto, Nomor 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst (Jakarta: KPK, 2018), 12–18.

[2]                Tempo, “Rekonstruksi Kasus e-KTP: Rantai Korupsi dari DPR hingga Swasta,” Majalah Tempo, 27 Maret 2017.

[3]                CNN Indonesia, “Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara dalam Kasus e-KTP,” CNNIndonesia.com, April 24, 2018, https://www.cnnindonesia.com.

[4]                Freedom House, Nations in Transit 2015: Ukraine Country Report (Washington, DC: Freedom House, 2015), 2–4.

[5]                Anti-Corruption Action Center (ANTAC), “Corruption in Yanukovych’s Government: The Role of Offshore Networks,” ANTAC Report, 2014, https://antac.org.ua.

[6]                Hellman, Joel S., Geraint Jones, and Daniel Kaufmann. “Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World Bank Policy Research Working Paper, no. 2444 (Washington, DC: World Bank, 2000), 3–5.


6.           Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Penyalahgunaan wewenang merupakan bentuk korupsi yang paling sulit diberantas karena sering kali dibungkus dengan legalitas formal, dilindungi oleh jejaring kekuasaan, dan tersembunyi di balik proses birokrasi yang kompleks. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangannya memerlukan pendekatan yang holistik, struktural, dan berkelanjutan. Pendekatan ini harus mencakup reformasi kelembagaan, penguatan regulasi, serta transformasi budaya politik dan birokrasi. Beberapa strategi utama berikut ini dapat digunakan untuk merespons tantangan penyalahgunaan wewenang secara sistemik.

6.1.       Reformasi Birokrasi dan Penguatan Sistem Meritokrasi

Salah satu akar penyalahgunaan kekuasaan adalah lemahnya sistem manajemen sumber daya manusia di sektor publik. Ketika pengangkatan dan promosi pejabat tidak berbasis kompetensi, melainkan relasi politis atau nepotisme, maka ruang penyimpangan kekuasaan menjadi terbuka lebar. Oleh karena itu, penerapan sistem meritokrasi yang berbasis kualifikasi, integritas, dan prestasi harus dijadikan prioritas utama dalam reformasi birokrasi¹.

Indonesia telah mengadopsi kebijakan meritokrasi melalui UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, namun implementasinya masih menghadapi tantangan serius seperti intervensi politik dan lemahnya pengawasan². OECD menekankan bahwa meritokrasi yang dikombinasikan dengan transparansi dalam rekrutmen dan promosi akan membatasi ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat profesionalisme institusi publik³.

6.2.       Penguatan Lembaga Pengawasan dan Penegakan Hukum

Upaya pencegahan penyalahgunaan wewenang membutuhkan lembaga pengawasan yang independen, berintegritas, dan memiliki kewenangan kuat untuk menindak pelanggaran. Di Indonesia, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi ASN memainkan peran penting dalam mendeteksi dan mengoreksi penyimpangan kekuasaan.

Namun, penguatan lembaga-lembaga ini memerlukan jaminan terhadap independensi politik, ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran, serta perlindungan hukum bagi para pelapor atau whistleblower⁴. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menekankan pentingnya adanya otoritas antikorupsi yang bebas dari tekanan politik dan memiliki akses terhadap informasi keuangan dan administratif untuk memastikan efektivitas pencegahan dan penindakan⁵.

6.3.       Penggunaan Teknologi dan Digitalisasi Pemerintahan (e-Government)

Digitalisasi layanan publik melalui e-government terbukti dapat mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, yang selama ini menjadi celah utama penyalahgunaan kekuasaan. Sistem berbasis elektronik seperti e-procurement, e-budgeting, dan e-audit memungkinkan proses administrasi berlangsung secara transparan, terekam, dan dapat diawasi oleh publik⁶.

World Bank menyatakan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam tata kelola publik telah berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi, pengurangan biaya transaksi, dan penguatan akuntabilitas pejabat publik⁷. Di Indonesia, beberapa daerah seperti Surabaya dan Banyuwangi telah berhasil mengintegrasikan sistem digital dalam pelayanan publik sebagai bagian dari upaya reformasi struktural birokrasi.

6.4.       Pendidikan Antikorupsi dan Penguatan Etika Jabatan

Pencegahan jangka panjang terhadap penyalahgunaan kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan karakter dan kesadaran etis para pejabat publik. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, pendidikan ASN, serta pelatihan kepemimpinan di lingkungan pemerintah dan partai politik⁸.

Etika jabatan juga perlu ditegaskan dalam bentuk kode etik dan pedoman perilaku yang mengikat secara hukum, dan disertai dengan mekanisme penegakan internal yang efektif. Di banyak negara, lembaga semacam integrity office dibentuk untuk mengawasi kepatuhan etika pejabat publik dan mengelola konflik kepentingan⁹.

6.5.       Peran Masyarakat Sipil dan Jurnalisme Investigatif

Kontrol kekuasaan tidak akan efektif tanpa keterlibatan masyarakat sipil yang kritis dan jurnalisme investigatif yang independen. Partisipasi publik dalam pengawasan anggaran, pelaporan pelanggaran, serta keterlibatan dalam forum-forum pengambilan keputusan dapat mempersempit ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Transparency International menegaskan bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bebas memiliki daya tekan terhadap pemerintah dan dapat menjadi mitra strategis dalam pengawasan kekuasaan¹⁰. Di era digital, platform pelaporan daring dan media sosial juga menjadi alat efektif dalam menyuarakan pelanggaran dan mendorong transparansi.


Footnotes

[1]                OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment (Paris: OECD Publishing, 2005), 52–55.

[2]                Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Laporan Tahunan KASN 2022 (Jakarta: KASN RI, 2023), 11–12.

[3]                OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Sector: A Toolkit (Paris: OECD Publishing, 2005), 36.

[4]                Transparency International, Anti-Corruption Helpdesk: The Role of Oversight Institutions in Curbing Corruption, 2021, https://www.transparency.org.

[5]                United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Resource Guide on Good Practices in the Protection of Reporting Persons (Vienna: UNODC, 2015), 9–12.

[6]                United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), E-Government Survey 2022 (New York: UN, 2022), 33.

[7]                World Bank, Digital Dividends: World Development Report 2016 (Washington, DC: World Bank, 2016), 97–99.

[8]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Strategi Nasional Pendidikan Antikorupsi 2021–2025 (Jakarta: KPK RI, 2021), 6–7.

[9]                Transparency International, Codes of Conduct in Public Life, 2018, https://www.transparency.org.

[10]             Transparency International, Empowering Civil Society to Fight Corruption, 2020, https://www.transparency.org.


7.           Analisis Kritis

Penyalahgunaan wewenang sebagai bentuk korupsi struktural tidak hanya merupakan manifestasi dari kegagalan moral individu, tetapi juga refleksi dari lemahnya sistem kelembagaan, budaya birokrasi yang permisif, dan ketimpangan kekuasaan yang berlangsung secara sistemik. Analisis kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan memerlukan pendekatan multidimensi yang memadukan teori kekuasaan, kelembagaan, dan kontrol sosial.

7.1.       Relasi Kuasa dan Ketimpangan Struktur

Teori kritis memandang kekuasaan sebagai relasi yang bersifat asimetris. Dalam pandangan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh aktor tertentu, tetapi beroperasi melalui jaringan institusi, diskursus, dan praktik sosial yang membentuk serta mengatur perilaku individu maupun kelompok¹. Dalam konteks ini, penyalahgunaan wewenang bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan akibat dari struktur kekuasaan yang tidak terkendali dan minim pengawasan.

Pola-pola penyimpangan kekuasaan yang berulang di berbagai institusi negara menunjukkan bahwa praktik korupsi berbasis abuse of power merupakan bagian dari “state embedded corruption” — yaitu korupsi yang mengakar dalam relasi kekuasaan negara dan pelaksanaannya². Hal ini diperparah oleh sistem patronase politik yang memperkuat loyalitas pada elite, bukan pada hukum dan etika publik. Dengan demikian, pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak cukup dengan pendekatan hukum formal semata, tetapi harus dibarengi dengan reformasi terhadap struktur kekuasaan dan pola distribusinya.

7.2.       Diskresi vs Arbitrase Kekuasaan

Salah satu problem konseptual utama dalam pencegahan penyalahgunaan kekuasaan adalah batas tipis antara diskresi administratif dan arbitrase kekuasaan. Dalam prinsip good governance, diskresi merupakan ruang kebebasan yang dibutuhkan oleh pejabat publik untuk mengambil keputusan dalam situasi yang belum diatur secara eksplisit oleh hukum³. Namun dalam praktiknya, ruang ini sering dieksploitasi menjadi alat arbitrer untuk memperkuat kekuasaan atau memberi keuntungan kepada pihak tertentu.

Analisis terhadap praktik birokrasi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa diskresi yang tidak dilengkapi dengan akuntabilitas vertikal (hukum) maupun horizontal (publik) sangat rentan mengarah pada penyalahgunaan wewenang⁴. Dalam hal ini, transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme evaluasi internal menjadi kunci untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dan tuntutan integritas kekuasaan.

7.3.       Kegagalan Sistem Penegakan Hukum

Penegakan hukum yang selektif atau berwatak simbolik merupakan faktor utama yang membuat penyalahgunaan wewenang terus berlangsung tanpa efek jera. Dalam banyak kasus, pelaku penyalahgunaan kekuasaan justru dilindungi oleh jaringan kekuasaan itu sendiri, atau hanya dikenai sanksi administratif yang ringan. Hal ini menunjukkan adanya “rule by law” alih-alih “rule of law” — di mana hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan sebagai batas kekuasaan itu sendiri⁵.

Kritik terhadap efektivitas penegakan hukum juga disampaikan oleh Alina Mungiu-Pippidi yang menyatakan bahwa negara-negara dengan “informal governance regimes” cenderung memiliki sistem hukum yang dikooptasi oleh elite politik dan ekonomi, sehingga tidak mampu bertindak sebagai pengontrol kekuasaan yang independen⁶. Dalam konteks ini, integritas lembaga hukum dan keberanian untuk melawan intervensi politik menjadi prasyarat mutlak bagi keberhasilan reformasi tata kelola kekuasaan.

7.4.       Dimensi Sosio-Kultural dan Budaya Kekuasaan

Penyalahgunaan wewenang juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosio-kultural masyarakat. Budaya paternalistik, feodalisme politik, serta loyalitas pribadi terhadap pemimpin sering kali lebih dominan dibandingkan komitmen terhadap hukum dan kepentingan publik. Dalam masyarakat yang memiliki budaya kekuasaan hierarkis dan tidak kritis terhadap otoritas, penyalahgunaan wewenang cenderung dimaklumi, bahkan dianggap wajar atau bagian dari hak jabatan⁷.

Sosiolog Robert K. Merton menyebut kondisi ini sebagai “normative inversion” — ketika norma penyimpangan justru menjadi norma sosial dominan dalam lingkungan tertentu⁸. Oleh karena itu, perubahan budaya menjadi salah satu strategi jangka panjang yang sangat penting. Upaya membangun budaya integritas, kesadaran kritis, dan kewargaan aktif harus dimulai sejak pendidikan dasar dan diperkuat melalui media, institusi keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil.

7.5.       Ketimpangan Akses dan Oligarki Kekuasaan

Dalam analisis struktural, penyalahgunaan kekuasaan sangat erat kaitannya dengan dominasi oligarki dalam sistem politik dan ekonomi. Oligarki menciptakan struktur kekuasaan tertutup yang tidak responsif terhadap kontrol publik dan cenderung mengamankan kepentingannya sendiri melalui penyalahgunaan instrumen negara⁹. Indonesia, menurut beberapa kajian, masih berada dalam jebakan oligarki politik-ekonomi pasca-Orde Baru, di mana aktor-aktor dominan mengendalikan media, partai, dan pasar secara simultan¹⁰.

Kondisi ini menimbulkan kesenjangan dalam akses terhadap kekuasaan, hukum, dan sumber daya. Penyalahgunaan wewenang menjadi alat untuk mempertahankan dominasi tersebut, sementara kelompok-kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke dalam sistem kekuasaan terus mengalami eksklusi. Dalam konteks ini, demokratisasi yang sejati hanya bisa tercapai apabila struktur kekuasaan dibuka melalui transparansi, desentralisasi, dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.

[2]                Rose-Ackerman, Susan, and Bonnie J. Palifka. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 248.

[3]                Svara, James H. The Ethics Primer for Public Administrators in Government and Nonprofit Organizations (Sudbury, MA: Jones & Bartlett Learning, 2007), 103–104.

[4]                World Bank, World Development Report 2017: Governance and the Law (Washington, DC: World Bank, 2017), 81–82.

[5]                Baxi, Upendra. “Rule of Law in India: Theory and Practice,” Asia-Pacific Journal on Human Rights and the Law 3, no. 1 (2002): 31–50.

[6]                Mungiu-Pippidi, Alina. The Quest for Good Governance: How Societies Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 120–124.

[7]                Hofstede, Geert. Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks: Sage Publications, 2001), 118–121.

[8]                Merton, Robert K. Social Theory and Social Structure (New York: Free Press, 1968), 211.

[9]                Winters, Jeffrey A. Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 7–9.

[10]             Robison, Richard, and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon, 2004), 12–16.


8.           Penutup

Penyalahgunaan wewenang merupakan bentuk korupsi yang paling kompleks dan membahayakan karena menyangkut pelaksanaan kekuasaan yang menyimpang dari mandat hukum dan moral. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak struktur sosial, melemahkan institusi demokrasi, dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Seperti yang ditegaskan Rose-Ackerman, ketika kekuasaan digunakan secara tidak sah untuk kepentingan pribadi, maka fungsi pemerintahan sebagai pelayan publik berubah menjadi alat eksploitasi dan dominasi¹.

Studi-studi empiris menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan tumbuh subur dalam ekosistem politik dan birokrasi yang permisif, lemah dalam pengawasan, serta cenderung melanggengkan relasi kuasa yang timpang². Ketika kontrol terhadap pejabat publik tidak efektif dan partisipasi warga negara dibatasi, maka penyimpangan kekuasaan akan menjadi kebiasaan struktural yang mengakar dalam kultur politik suatu bangsa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mungiu-Pippidi sebagai "informal governance regime", di mana jaringan kekuasaan informal lebih menentukan keputusan publik dibandingkan norma dan hukum yang berlaku³.

Oleh karena itu, upaya pemberantasan penyalahgunaan wewenang tidak dapat diserahkan semata kepada aparat hukum, tetapi harus menjadi agenda kolektif seluruh elemen bangsa. Reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, penguatan lembaga pengawas yang independen, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, serta pendidikan antikorupsi sejak dini merupakan langkah-langkah strategis yang harus dijalankan secara konsisten dan simultan⁴. Tanpa itu, penyalahgunaan kekuasaan akan terus menjadi “penyakit kronis” dalam tubuh negara.

Penegakan etika jabatan dan integritas pribadi para pemegang kekuasaan juga harus menjadi perhatian utama. Kekuasaan bukanlah hak istimewa yang dapat digunakan sesuka hati, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab moral dan sosial. Dalam hal ini, peran kepemimpinan yang visioner, berintegritas, dan antikorupsi menjadi krusial dalam membangun kultur birokrasi yang melayani, bukan mendominasi.

Sebagai penutup, penting untuk ditegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang bukan hanya masalah legal, tetapi juga masalah etis dan struktural. Ia mencerminkan kegagalan sistem dalam mendistribusikan kekuasaan secara adil dan transparan. Oleh karena itu, diperlukan perubahan mendasar dalam struktur, budaya, dan orientasi kekuasaan agar pemerintahan dapat berfungsi sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Sebagaimana dinyatakan oleh World Bank, tata kelola yang baik tidak mungkin terwujud tanpa integritas kekuasaan⁵.


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman and Bonnie J. Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 228.

[2]                Joel S. Hellman, Geraint Jones, and Daniel Kaufmann, “Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition,” World Bank Policy Research Working Paper No. 2444 (Washington, DC: World Bank, 2000), 4.

[3]                Alina Mungiu-Pippidi, The Quest for Good Governance: How Societies Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 27–30.

[4]                OECD, Public Sector Integrity: A Framework for Assessment (Paris: OECD Publishing, 2005), 19–20.

[5]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 9.


Daftar Pustaka

Anti-Corruption Action Center. (2014). Corruption in Yanukovych’s government: The role of offshore networks. https://antac.org.ua

Baxi, U. (2002). Rule of law in India: Theory and practice. Asia-Pacific Journal on Human Rights and the Law, 3(1), 31–50.

CNN Indonesia. (2018, April 24). Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus e-KTP. https://www.cnnindonesia.com

Edelman. (2023). Edelman trust barometer 2023 global report. https://www.edelman.com

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Freedom House. (2015). Nations in transit 2015: Ukraine country report. https://freedomhouse.org

Hellman, J. S., Jones, G., & Kaufmann, D. (2000). Seize the state, seize the day: State capture, corruption, and influence in transition (Policy Research Working Paper No. 2444). World Bank.

Hofstede, G. (2001). Culture's consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations (2nd ed.). Sage Publications.

Human Rights Watch. (2021). Indonesia: Weak protections leave communities at risk. https://www.hrw.org

Komisi Aparatur Sipil Negara. (2023). Laporan tahunan KASN 2022. KASN RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2018). Putusan Pengadilan Tipikor atas nama terdakwa Setya Novanto (No. 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst).

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Strategi nasional pendidikan antikorupsi 2021–2025. https://aclc.kpk.go.id

Merton, R. K. (1968). Social theory and social structure. Free Press.

Mungiu-Pippidi, A. (2015). The quest for good governance: How societies develop control of corruption. Cambridge University Press.

OECD. (2005a). Managing conflict of interest in the public sector: A toolkit. OECD Publishing.

OECD. (2005b). Public sector integrity: A framework for assessment. OECD Publishing.

OECD. (2017). Preventing policy capture: Integrity in public decision making. OECD Publishing.

Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. RoutledgeCurzon.

Rose-Ackerman, S., & Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge University Press.

Svara, J. H. (2007). The ethics primer for public administrators in government and nonprofit organizations. Jones & Bartlett Learning.

Tempo. (2017, March 27). Rekonstruksi kasus e-KTP: Rantai korupsi dari DPR hingga swasta. Majalah Tempo.

Transparency International. (2018). Codes of conduct in public life. https://www.transparency.org

Transparency International. (2020). Empowering civil society to fight corruption. https://www.transparency.org

Transparency International. (2021). Anti-corruption helpdesk: The role of oversight institutions in curbing corruption. https://www.transparency.org

Transparency International. (2024). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org

United Nations Development Programme. (2022). Human development report 2021/2022: Uncertain times, unsettled lives. UNDP.

United Nations Department of Economic and Social Affairs. (2022). E-government survey 2022. United Nations.

United Nations Office on Drugs and Crime. (2015). Resource guide on good practices in the protection of reporting persons. UNODC.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

World Bank. (1997). Helping countries combat corruption: The role of the World Bank. World Bank.

World Bank. (2016). World development report 2016: Digital dividends. World Bank.

World Bank. (2017). World development report 2017: Governance and the law. World Bank.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar