KKN (Korupsi, Kolusi dan Kepotisme)
Akar Masalah dan Strategi Pemberantasan dalam Konteks Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Alihkan ke: Korupsi.
Suap (Bribery), Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power), Nepotisme dan Kronisme, Penggelapan dan Pencucian Uang (Embezzlement and Money Laundering), Kolusi
(Collusion), Gratifikasi yang Tidak Sah.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam fenomena
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam konteks sejarah, politik, dan
kelembagaan di Indonesia, serta merumuskan strategi pemberantasan yang relevan
dengan prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). KKN dipahami sebagai gejala multidimensi yang tumbuh dalam sistem
politik transaksional, birokrasi yang lemah, serta budaya permisif terhadap
penyalahgunaan kekuasaan. Melalui pendekatan deskriptif-analitis dan studi
komparatif, artikel ini mengeksplorasi akar historis KKN sejak era Orde Baru,
mengevaluasi efektivitas kebijakan antikorupsi pascareformasi, dan
membandingkannya dengan praktik terbaik di negara-negara seperti Singapura,
Hong Kong, dan Filipina. Hasil kajian menunjukkan bahwa strategi pemberantasan
KKN di Indonesia masih bersifat reaktif dan belum menyentuh akar struktural
secara konsisten. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multidimensional yang
melibatkan reformasi sistem politik, penguatan lembaga antikorupsi yang
independen, sistem meritokrasi dalam birokrasi, digitalisasi layanan publik,
pendidikan antikorupsi, serta partisipasi aktif masyarakat sipil. Artikel ini
menegaskan bahwa pemberantasan KKN bukan sekadar proyek hukum, tetapi sebuah
agenda kebangsaan yang menuntut kolaborasi antar-elemen negara dan masyarakat.
Kata Kunci: Korupsi; Kolusi; Nepotisme; Tata Kelola
Pemerintahan; Reformasi Politik; Lembaga Antikorupsi; Pendidikan Antikorupsi;
Good Governance; Indonesia; Demokrasi.
PEMBAHASAN
KKN (Korupsi, Kolusi dan Kepotisme)
1.
Pendahuluan
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) merupakan tiga wajah dari patologi kekuasaan yang saling
berkaitan dan telah lama menjadi ancaman serius terhadap pembangunan,
demokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Di
Indonesia, ketiga bentuk penyimpangan tersebut tidak hanya bersifat individual
atau kasuistik, tetapi sudah mengakar secara sistemik dan struktural. Hal ini
terbukti dari indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih menunjukkan tren stagnan.
Pada tahun 2023, Indonesia hanya mencatat skor 34 dari 100 dalam Indeks
Persepsi Korupsi (IPK), menempati peringkat ke-115 dari 180 negara yang
disurvei oleh Transparency International, angka yang mencerminkan rendahnya
kepercayaan publik terhadap integritas lembaga negara dan penegakan hukum yang
efektif.¹
KKN bukan hanya masalah moral
atau etika, tetapi merupakan masalah kelembagaan yang kompleks. Korupsi sebagai
salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi telah
menjadi hambatan utama dalam pencapaian keadilan sosial dan efisiensi ekonomi.
Kolusi, yang melibatkan kerja sama rahasia antara pejabat publik dan pihak
swasta untuk mengakali sistem, serta nepotisme, yang mengutamakan hubungan
keluarga atau kedekatan pribadi dalam pengambilan keputusan publik, telah
mempersempit ruang meritokrasi dan memperbesar ketimpangan sosial.² Dalam
konteks demokrasi yang seharusnya menjamin akuntabilitas dan partisipasi,
praktik KKN justru merusak fondasi tersebut dan melahirkan oligarki politik
yang mengerdilkan peran rakyat.³
Lahirnya gerakan reformasi
pada tahun 1998 menjadi titik balik penting dalam kesadaran nasional untuk
memerangi KKN. Tuntutan untuk menegakkan supremasi hukum, menciptakan
pemerintahan yang bersih, dan membangun sistem birokrasi yang transparan
menjadi bagian tak terpisahkan dari agenda reformasi.⁴ Namun, meskipun telah
terbentuk berbagai lembaga dan regulasi antikorupsi, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, realitas
pemberantasan KKN di lapangan masih menghadapi tantangan besar, termasuk
intervensi politik, pelemahan kelembagaan, dan budaya permisif terhadap
penyimpangan kekuasaan.⁵
Oleh karena itu, kajian ini
menjadi relevan untuk mengurai akar masalah KKN secara multidimensional dan
menawarkan pendekatan strategis dalam kerangka demokrasi dan tata kelola
pemerintahan yang baik. Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan mendasar:
Mengapa KKN tetap mengakar kuat meskipun upaya pemberantasannya telah dilakukan
selama lebih dari dua dekade? Apa saja tantangan dan peluang yang dihadapi
dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih dan berintegritas? Dan strategi
apa yang paling efektif dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini?
Footnotes
[1]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023,
https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[2]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 75–95.
[3]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 12–25.
[4]
Tim Lindsey dan Helen Pausacker, Religion, Law and Intolerance in
Indonesia (London: Routledge, 2016), 145.
[5]
Hukum
Online, "Revisi UU KPK dan Implikasinya terhadap Pemberantasan
Korupsi", https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-kpk-dan-implikasinya-terhadap-pemberantasan-korupsi-lt5d8ab037f0c8f.
2.
Definisi
dan Konseptualisasi KKN
Konsep KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) merupakan tiga bentuk penyalahgunaan kekuasaan
yang saling berkaitan dan sering kali muncul bersamaan dalam praktik
pemerintahan yang tidak transparan. Ketiganya secara langsung merusak
prinsip-prinsip dasar good governance, seperti akuntabilitas, transparansi, dan
keadilan. Untuk memahami dampak dan kompleksitasnya, penting untuk membedakan
dan mendefinisikan masing-masing unsur secara konseptual.
2.1.
Korupsi
Secara umum, korupsi
didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Transparency International menjelaskan korupsi sebagai “the abuse of
entrusted power for private gain”, yang dapat berbentuk suap, penggelapan
dana publik, konflik kepentingan, maupun pemerasan.¹ Sementara itu, menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi mencakup berbagai tindakan
yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, baik secara langsung
maupun tidak langsung.²
Secara teoritik, Robert
Klitgaard mengemukakan bahwa korupsi terjadi ketika terdapat hubungan antara
kekuasaan yang besar (monopoli), keleluasaan dalam pengambilan keputusan
(diskresi), dan lemahnya akuntabilitas. Formulanya yang terkenal menyebutkan
bahwa:
Korupsi = Monopoli + Diskresi –
Akuntabilitas.³
Formulasi ini menekankan
bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu yang tidak bermoral, tetapi juga
persoalan sistem yang membuka ruang bagi penyimpangan kekuasaan.
2.2.
Kolusi
Kolusi
mengacu pada praktik kerja sama rahasia atau tidak sah antara pihak-pihak
tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang tidak layak, biasanya dengan
merugikan pihak ketiga atau melanggar aturan yang berlaku. Dalam konteks
birokrasi dan politik, kolusi sering terjadi antara pejabat publik dan aktor
ekonomi (seperti pengusaha) dalam proses pengadaan barang dan jasa, perizinan,
atau penyusunan kebijakan.⁴
Kolusi bersifat strategis dan
seringkali terjadi secara tersembunyi, sehingga lebih sulit dideteksi
dibandingkan korupsi biasa. Dalam kerangka ini, kolusi menjadi bentuk hubungan
timbal balik yang bersifat simbiosis, di mana kekuasaan dijadikan alat untuk
melanggengkan kepentingan kelompok tertentu secara tertutup dan tidak sah.⁵
2.3.
Nepotisme
Nepotisme
adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk menguntungkan
keluarga, kerabat, atau pihak yang memiliki hubungan pribadi dekat. Nepotisme
sering kali terjadi dalam pengangkatan jabatan publik, rekrutmen pegawai, atau
pemberian akses istimewa atas sumber daya negara.⁶
Praktik nepotisme mencederai
prinsip meritokrasi karena mengabaikan kompetensi dan profesionalisme. Dalam
sistem demokrasi yang sehat, jabatan publik seharusnya diisi berdasarkan
kualifikasi, bukan hubungan darah atau kedekatan pribadi. Namun, di negara
dengan budaya patronase yang kuat, nepotisme sering dilegitimasi secara sosial
dan dijalankan sebagai bagian dari politik balas jasa.⁷
Keterkaitan Tiga Unsur KKN
Meskipun memiliki definisi
yang berbeda, korupsi, kolusi, dan nepotisme sering kali terjadi dalam satu
rangkaian praktik kekuasaan yang menyimpang. Seorang pejabat yang terlibat
korupsi bisa saja melibatkan jaringan kolusif untuk menyembunyikan praktiknya,
dan sekaligus menggunakan kekuasaan untuk mengangkat kerabat atau kroni dalam
posisi strategis untuk melindungi kepentingannya.⁸
Dengan demikian, KKN bukan
hanya merupakan tindak pidana atau pelanggaran etika, tetapi juga sebuah gejala
struktural yang mengakar pada sistem pemerintahan yang lemah, budaya politik
transaksional, serta absennya kontrol publik yang efektif. Memahami keterkaitan
ketiganya menjadi penting dalam menyusun strategi pemberantasan yang menyeluruh
dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Transparency International, What Is Corruption?, https://www.transparency.org/en/what-is-corruption
(diakses 7 Juli 2025).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001.
[3]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 75.
[4]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
91–105.
[5]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 57–60.
[6]
James S. Bowman dan Jonathan P. West, Public Service Ethics:
Individual and Institutional Responsibilities (New York: Routledge, 2015),
87.
[7]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore:
ISEAS Publishing, 2010), 104.
[8]
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political
Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990 (Jakarta: PT Gramedia, 1993),
214.
3.
Sejarah
dan Perkembangan KKN di Indonesia
Praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejarah panjang bangsa ini
memperlihatkan bagaimana KKN telah mengakar kuat sejak era awal kemerdekaan
hingga masa reformasi dan kontemporer. Dalam konteks ini, KKN tidak sekadar
dipahami sebagai pelanggaran hukum, melainkan telah membentuk pola relasi
kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat patronistik, elitis, dan
transaksional.
3.1.
Era Orde Lama: Awal Kultur Patronase
Pada masa pemerintahan
Soekarno (1945–1966), praktik korupsi mulai terlihat dalam proses pengelolaan
ekonomi negara yang bercorak etatisme. Penempatan pejabat dalam jabatan strategis
lebih banyak berdasarkan loyalitas politik daripada kompetensi. Banyak
perusahaan negara dikelola secara tidak profesional, dan pengawasan fiskal yang
lemah menyebabkan praktik penggelapan dana negara terjadi di berbagai sektor.¹
Meskipun belum dikenal istilah “KKN” secara formal, kultur patrimonial dan
sistem relasi kekuasaan berbasis kedekatan personal sudah mewarnai birokrasi
dan politik nasional.²
3.2.
Era Orde Baru: Institusionalisasi KKN
Masa pemerintahan Soeharto
(1966–1998) dianggap sebagai puncak berkembangnya KKN dalam bentuk yang lebih
sistematis dan terstruktur. Rezim Orde Baru memadukan kekuasaan militer,
birokrasi sipil, dan pengusaha dalam jejaring kekuasaan yang saling menopang.
Dalam praktiknya, nepotisme tampak jelas ketika keluarga dan kroni Soeharto
menguasai berbagai sektor ekonomi strategis, mulai dari pertambangan hingga
perbankan.³
Korupsi menjadi alat untuk
mempertahankan kekuasaan, sedangkan kolusi terjadi antara pejabat dan pengusaha
dalam sistem rente ekonomi. Transparency International mencatat bahwa di
penghujung kekuasaan Soeharto, Indonesia termasuk salah satu negara paling
korup di dunia.⁴ Fenomena ini diperparah oleh kontrol media yang ketat dan
minimnya lembaga pengawasan independen. Laporan World Bank tahun 1997 menyebut
Indonesia sebagai negara dengan “state capture” yang tinggi, di mana institusi
negara dikuasai untuk kepentingan segelintir elite.⁵
3.3.
Reformasi 1998: Perlawanan Terhadap KKN
Tumbangnya rezim Orde Baru
pada Mei 1998 ditandai oleh gelombang tuntutan publik yang secara eksplisit
menyuarakan agenda “pemberantasan KKN” sebagai syarat utama reformasi.
Presiden B.J. Habibie sebagai pemimpin transisi mulai membuka ruang
demokratisasi dan membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) sebagai embrio lembaga pengawas.⁶
Perubahan besar terjadi pada
era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, terutama dengan
pengesahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang secara resmi mendirikan KPK sebagai lembaga
independen pada tahun 2003. Lembaga ini diberi kewenangan khusus untuk
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi besar.⁷
3.4.
Era Kontemporer: Kemajuan dan Kemunduran
Dalam satu dekade pertama
keberadaannya, KPK menjadi simbol harapan baru dalam pemberantasan korupsi.
Keberhasilan membongkar kasus besar seperti kasus korupsi Bank Century,
kasus suap di Mahkamah Konstitusi, dan kasus e-KTP
menunjukkan efektivitas pendekatan hukum dan keberanian penegakan.⁸
Namun, sejak revisi
Undang-Undang KPK pada tahun 2019, terjadi pelemahan terhadap independensi
lembaga ini. Revisi tersebut mencabut banyak kewenangan strategis KPK dan
menjadikannya lembaga di bawah eksekutif.⁹ Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran
luas di masyarakat sipil, termasuk akademisi dan aktivis antikorupsi, yang
menganggap bahwa semangat reformasi tengah mengalami kemunduran.
Hingga kini, Indonesia masih
menghadapi tantangan serius dalam menanggulangi KKN. Budaya politik
transaksional dalam pemilu, praktik jual beli jabatan di birokrasi, serta
lemahnya perlindungan terhadap whistleblower menjadi penghambat utama.¹⁰ KKN
telah bertransformasi mengikuti zaman: dari pola patronase tradisional menuju
bentuk-bentuk yang lebih modern dan canggih, termasuk dalam sektor digital dan
proyek infrastruktur berskala besar.
Footnotes
[1]
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1978), 282.
[2]
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia since c.1200
(Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2008), 345–346.
[3]
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia:
The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon,
2004), 84–97.
[4]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 1998,
https://www.transparency.org/en/cpi/1998
(diakses 8 Juli 2025).
[5]
The World Bank, Corruption in Indonesia: A Historical and
Contextual View (Washington D.C.: World Bank Publications, 2003), 11–12.
[6]
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political
Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990 (Jakarta: PT Gramedia, 1993),
228.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2004, https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan/laporan-tahunan.
[8]
Tempo, Buku Putih e-KTP: Fakta, Skandal, dan Kerugian Negara,
Edisi Khusus, Maret 2017.
[9]
Hukumonline, “Revisi UU KPK dan Implikasinya”, https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-kpk-lt5d8ab037f0c8f.
[10]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Catatan Akhir Tahun 2023: Tren
Korupsi di Indonesia, https://antikorupsi.org.
4.
Faktor
Penyebab KKN
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) bukan semata-mata gejala individu yang tidak bermoral,
melainkan merupakan hasil interaksi kompleks antara struktur kelembagaan,
budaya politik, sistem ekonomi, serta nilai-nilai sosial yang tumbuh dalam
suatu masyarakat. Di Indonesia, KKN telah menjadi bagian dari pola relasi
kekuasaan yang tidak sehat, dan untuk mengatasinya secara efektif, pemahaman
tentang faktor penyebabnya menjadi sangat penting. Secara umum, faktor penyebab
KKN dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: struktural, kultural,
politis, dan ekonomis.
4.1.
Faktor Struktural: Lemahnya Sistem dan
Pengawasan
Salah satu faktor utama yang
menyebabkan suburnya KKN di Indonesia adalah lemahnya sistem pengawasan dan
kontrol institusional. Banyak lembaga pengawas, seperti Inspektorat Jenderal,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), tidak memiliki independensi penuh atau bahkan ikut terjebak dalam
praktik kolutif.¹
Robert Klitgaard menyatakan
bahwa korupsi tumbuh subur ketika terdapat kekuasaan monopolis yang disertai
dengan diskresi tinggi namun minim akuntabilitas.² Hal ini sangat relevan dalam
konteks birokrasi Indonesia yang masih memberikan kewenangan besar kepada pejabat
tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Sistem perizinan yang kompleks, berlapis,
dan tidak transparan juga menciptakan celah besar untuk penyalahgunaan
kekuasaan.
4.2.
Faktor Kultural: Budaya Patronase dan Loyalitas
Pribadi
Secara historis, budaya
patron-klien dan praktik feodalisme lokal turut memperkuat mentalitas nepotisme
dan kolusi. Dalam banyak kasus, loyalitas kepada keluarga, kerabat, atau tokoh
tertentu lebih diutamakan daripada integritas dan profesionalisme.³ Konsep “asal
bapak senang” (ABS) yang berkembang dalam budaya birokrasi menggambarkan
bagaimana bawahan cenderung menyesuaikan diri demi menjaga hubungan baik dengan
atasan, meski dengan mengorbankan prinsip-prinsip etika dan kinerja.⁴
Penelitian Hofstede
menyebutkan bahwa Indonesia termasuk masyarakat dengan indeks power distance
(jarak kekuasaan) yang tinggi, yang berarti masyarakat cenderung menerima dan
membenarkan kesenjangan kekuasaan.⁵ Hal ini mempersulit budaya pengawasan dari
bawah dan membangun resistensi terhadap penguasa yang menyalahgunakan wewenang.
4.3.
Faktor Politis: Transaksionalisme dan Oligarki
Partai
Dalam sistem demokrasi
elektoral, politik uang dan transaksi kekuasaan telah menjadi norma dalam kontestasi
politik. Biaya politik yang sangat mahal untuk mencalonkan diri sebagai pejabat
publik, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif, mendorong banyak kandidat
untuk mencari dukungan finansial dari pengusaha atau kelompok kepentingan
tertentu dengan imbalan akses terhadap kebijakan dan proyek-proyek negara.⁶
Edward Aspinall dan Ward
Berenschot menjelaskan bahwa demokrasi elektoral Indonesia sangat dipengaruhi
oleh praktik klientelisme, di mana politikus “membeli loyalitas” pemilih
dan elite lokal dengan imbalan sumber daya negara.⁷ Setelah terpilih, relasi
ini berubah menjadi kolusi antara elite politik dan ekonomi. Dalam kerangka
seperti ini, institusi demokrasi menjadi sekadar alat bagi kepentingan pribadi
dan kelompok.
4.4.
Faktor Ekonomi: Insentif Negatif dan
Ketimpangan
Struktur ekonomi yang timpang
serta insentif negatif dalam birokrasi juga menjadi faktor penting penyebab
KKN. Gaji rendah, ketidakjelasan jalur promosi, dan tingginya biaya hidup
membuat banyak aparatur negara tergoda untuk mencari penghasilan tambahan
melalui cara yang tidak sah.⁸
Di sisi lain, praktik rente
ekonomi yang mengandalkan koneksi dengan kekuasaan untuk memperoleh izin,
tender, dan perlindungan hukum menciptakan lingkaran korupsi yang melibatkan
pelaku usaha dan pejabat publik.⁹ Dalam banyak kasus, kekayaan luar biasa yang
dimiliki pejabat tidak dapat dijelaskan oleh pendapatan sah, tetapi sulit
diusut karena sistem pelaporan kekayaan dan penegakan hukum yang lemah.
Kesimpulan Sementara
Keempat faktor ini
menunjukkan bahwa KKN adalah fenomena yang kompleks dan tidak dapat
diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum. Solusi yang efektif membutuhkan
perbaikan menyeluruh dalam sistem pemerintahan, budaya politik, tata kelola
ekonomi, serta kesadaran kolektif masyarakat. Dengan memahami akar penyebab
ini, strategi pemberantasan KKN dapat dirancang secara lebih komprehensif dan
kontekstual.
Footnotes
[1]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Korupsi di Sektor Pengawasan:
Studi Kasus Lembaga Internal Pemerintah, 2022, https://antikorupsi.org.
[2]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 75–95.
[3]
Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in
Indonesia: Selected Essays (The Hague: Kluwer Law International, 2000),
114.
[4]
Syahrul Hidayat, “Feodalisme Politik dan Tantangan Demokratisasi di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2011):
179–192.
[5]
Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values,
Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations (Thousand Oaks:
Sage Publications, 2001), 87–89.
[6]
Jeffrey Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University
Press, 2011), 222–225.
[7]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 45–62.
[8]
World Bank, Civil Service Reform in Indonesia: A Strategy for
Implementation (Washington D.C.: World Bank, 2014), 31–33.
[9]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
105–110.
5.
Dampak
KKN terhadap Kehidupan Bangsa
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) merupakan ancaman multidimensional yang memengaruhi hampir
seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampaknya tidak hanya bersifat
ekonomis, tetapi juga menyentuh ranah sosial, politik, budaya, dan moralitas
publik. KKN merusak sendi-sendi utama negara hukum dan demokrasi, melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, serta memperparah ketimpangan
sosial dan ketidakadilan.
5.1.
Dampak terhadap Perekonomian
Salah satu dampak paling
nyata dari KKN adalah kerugian ekonomi negara dan inefisiensi sistem anggaran
publik. Korupsi mengakibatkan pemborosan sumber daya, penyelewengan anggaran,
serta penurunan kualitas proyek dan pelayanan publik. Menurut laporan Bank
Dunia, negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi mengalami “efek biaya
tersembunyi” berupa tingginya biaya transaksi, distorsi alokasi sumber
daya, dan berkurangnya daya saing investasi.¹
Indonesia kehilangan
triliunan rupiah setiap tahun akibat praktik korupsi, terutama dalam sektor
infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta pajak. Misalnya, dalam kasus
korupsi e-KTP, negara dirugikan sekitar Rp2,3 triliun dari total anggaran
proyek Rp5,9 triliun.² Korupsi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dengan
menciptakan ketidakpastian hukum dan birokrasi yang tidak efisien, sehingga
mengurangi minat investor.³
5.2.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik dan Kualitas
Demokrasi
KKN merusak kepercayaan
publik terhadap lembaga pemerintahan dan demokrasi. Ketika masyarakat
menyaksikan bahwa pejabat publik dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan
tanpa hukuman yang sepadan, maka legitimasi pemerintah pun tergerus.⁴ Fenomena “political
distrust” ini berdampak pada meningkatnya apatisme politik, rendahnya
partisipasi dalam pemilu, dan meluasnya sinisme terhadap proses demokrasi.
Dalam konteks pemilu, praktik
politik uang dan nepotisme menciptakan lingkaran setan yang menempatkan
individu bukan karena kapabilitas, melainkan karena kedekatan dan transaksi.⁵
Hal ini mengakibatkan hadirnya para pemimpin yang tidak kompeten, memperlemah
fungsi parlemen, dan menghambat pengawasan terhadap eksekutif. Demokrasi
akhirnya kehilangan maknanya sebagai sarana untuk menghasilkan kebijakan yang
berpihak pada rakyat.
5.3.
Dampak terhadap Kehidupan Sosial dan
Ketimpangan
KKN juga memperparah
ketimpangan sosial dan akses terhadap layanan dasar. Ketika pejabat memperkaya
diri sendiri atau kroninya, dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan,
kesehatan, atau jaminan sosial justru hilang atau tidak sampai ke penerima
manfaat. Studi Transparency International menunjukkan bahwa korupsi paling
merugikan kelompok miskin karena mereka bergantung pada pelayanan publik yang
bersih dan adil.⁶
Kolusi dan nepotisme dalam
rekrutmen aparatur sipil negara maupun pengangkatan pejabat juga menutup ruang
bagi masyarakat umum untuk mendapatkan posisi strategis berdasarkan merit. Hal
ini melahirkan frustrasi sosial dan memperkuat ketidakpercayaan terhadap
sistem. Kesenjangan ekonomi dan sosial pun semakin melebar akibat ketimpangan
akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.
5.4.
Dampak terhadap Moralitas Publik dan Budaya
Hukum
KKN turut merusak nilai-nilai
etika dan integritas dalam kehidupan masyarakat. Ketika praktik penyimpangan
dianggap sebagai sesuatu yang “biasa” dan tidak ada sanksi sosial yang kuat,
maka terjadi normalisasi perilaku koruptif.⁷ Hal ini membentuk budaya permisif
yang membenarkan segala cara demi keuntungan pribadi, bahkan di lingkungan
pendidikan dan keluarga.
Lebih lanjut, KKN melemahkan
budaya hukum (legal culture) masyarakat. Ketika hukum hanya ditegakkan
terhadap rakyat kecil namun tidak menyentuh elite yang berkuasa, maka hukum
kehilangan wibawanya. Dalam jangka panjang, ini melahirkan anarki nilai dan
rasa ketidakadilan yang dalam.⁸ Negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan
yang membiarkan pelanggaran hukum terjadi secara sistematis.
5.5.
Dampak terhadap Stabilitas Nasional dan
Pembangunan Jangka Panjang
Dalam skala makro, KKN dapat
memicu instabilitas politik, konflik horizontal, serta disintegrasi sosial.
Ketika rakyat merasa tertindas oleh ketidakadilan struktural dan tidak memiliki
akses terhadap keadilan, maka potensi perlawanan sosial meningkat. Pembangunan
jangka panjang pun terhambat karena program-program strategis negara tidak
berjalan efektif akibat bocornya anggaran dan rendahnya akuntabilitas
pelaksanaan.⁹
KKN juga mengganggu upaya
pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), karena menyebabkan lemahnya
kelembagaan, buruknya pengelolaan sumber daya alam, dan tingginya angka
kemiskinan.¹⁰ Tanpa reformasi mendalam terhadap sistem yang memungkinkan KKN
bertahan, Indonesia akan kesulitan mewujudkan pemerintahan yang bersih, berdaya
saing, dan berkeadilan sosial.
Footnotes
[1]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, D.C.: World Bank, 1997), 8–11.
[2]
Tempo, Buku Putih e-KTP: Fakta, Skandal, dan Kerugian Negara,
Edisi Khusus, Maret 2017.
[3]
Pierre Landell-Mills, “Corruption and the Challenge for Development:
The Role of the World Bank,” Finance & Development 35, no. 3
(1998): 2–5.
[4]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago
Press, 2011), 85–92.
[5]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 102–104.
[6]
Transparency International, The Poor Pay the Price: The Impact of
Corruption on Access to Basic Services for the Poor (Berlin: Transparency
International, 2013), 5–8.
[7]
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi, “Governance Matters
VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2008,” World Bank
Policy Research Working Paper, no. 4978 (2009): 21–23.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), 143–145.
[9]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
124.
[10]
United Nations Development Programme (UNDP), Corruption and the
Sustainable Development Goals (New York: UNDP, 2017), https://www.undp.org.
6.
Upaya
dan Instrumen Pemberantasan KKN
Upaya pemberantasan KKN di
Indonesia merupakan proses panjang yang penuh dinamika. Sejak era Reformasi
1998, berbagai instrumen hukum dan kelembagaan telah dibentuk untuk
menanggulangi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, efektivitas dari
berbagai upaya tersebut sangat bergantung pada komitmen politik, kekuatan
institusi penegak hukum, partisipasi publik, serta konsistensi dalam
implementasi kebijakan.
6.1.
Reformasi Hukum dan Perundang-undangan
Langkah awal dalam
pemberantasan KKN dilakukan melalui pembentukan landasan hukum yang kuat.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang kemudian diperbarui melalui UU No. 20 Tahun 2001, menjadi payung hukum
utama dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.¹ Undang-undang ini
memperluas definisi tindak pidana korupsi serta memberikan kewenangan
penyidikan dan penuntutan kepada lembaga yang kompeten.
Selain itu, Indonesia juga
meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
melalui UU No. 7 Tahun 2006.² Komitmen ini menunjukkan bahwa Indonesia
menempatkan pemberantasan korupsi sebagai bagian dari upaya internasional untuk
membangun pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Namun, revisi UU KPK melalui
UU No. 19 Tahun 2019 menimbulkan kontroversi dan dianggap oleh sebagian
kalangan sebagai bentuk pelemahan lembaga antirasuah.³ Perubahan ini termasuk
menjadikan KPK sebagai lembaga di bawah eksekutif, mengharuskan penyadapan
mendapat izin, dan pembentukan Dewan Pengawas yang dinilai menghambat kinerja
operasional KPK.
6.2.
Lembaga Penegak Hukum dan Pengawasan
Indonesia memiliki beberapa
lembaga utama dalam upaya pemberantasan KKN:
·
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Didirikan tahun 2003, KPK berperan dalam penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi besar. KPK juga memiliki fungsi
pencegahan dan monitoring kekayaan penyelenggara negara.⁴ Selama satu dekade
pertama, KPK berhasil membongkar berbagai kasus besar seperti e-KTP, suap
Mahkamah Konstitusi, dan kasus-kasus di kementerian dan lembaga negara.
·
Kejaksaan
dan Kepolisian
Kejaksaan Agung dan Polri juga memiliki
kewenangan dalam menangani kasus korupsi. Namun, efektivitas kedua institusi
ini kerap diragukan karena adanya konflik kepentingan dan keterlibatan oknum
dalam jaringan kekuasaan.⁵
·
BPK, BPKP,
dan Ombudsman
Lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai pengawas
keuangan negara dan pelayanan publik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara
rutin mengaudit anggaran pemerintah dan mengungkap potensi kerugian negara yang
dapat ditindaklanjuti secara hukum.⁶
6.3.
Strategi Pencegahan: Pendidikan dan Integritas
Sistem
Selain penindakan, upaya
pencegahan menjadi fokus penting dalam pemberantasan KKN. Strategi ini meliputi
penguatan sistem, transparansi proses pemerintahan, serta pendidikan
antikorupsi:
·
Pendidikan
Antikorupsi
KPK sejak 2011 telah mendorong integrasi
pendidikan antikorupsi dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Tujuannya
adalah menanamkan nilai-nilai integritas dan etika publik sejak dini.⁷ Program
ini juga melibatkan pelatihan bagi aparatur sipil negara dan pembentukan
agen-agen perubahan di lingkungan birokrasi.
·
Sistem Pelaporan
Kekayaan dan Gratifikasi
Lewat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) dan pelaporan gratifikasi, publik dapat mengawasi potensi penyimpangan
kekayaan pejabat. Meski pelaksanaannya masih menghadapi kendala, sistem ini
meningkatkan akuntabilitas pejabat publik.⁸
·
Digitalisasi dan
E-Government
Pemerintah memperkenalkan berbagai platform
digital seperti e-procurement, e-budgeting, dan e-audit untuk mengurangi
interaksi langsung antara aparatur dan masyarakat. Hal ini diyakini mampu
menekan peluang korupsi dalam pelayanan publik dan pengadaan barang/jasa.⁹
6.4.
Peran Masyarakat Sipil dan Media
Masyarakat sipil memainkan
peran penting dalam mengawasi dan menekan penyimpangan kekuasaan. Lembaga
swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency
International Indonesia (TII), dan media massa menjadi aktor penting dalam
mengungkap skandal korupsi. Melalui investigasi, kampanye publik, dan advokasi
kebijakan, masyarakat sipil memperkuat fungsi pengawasan nonformal terhadap
negara.¹⁰
Media juga memiliki fungsi strategis
dalam membentuk opini publik dan menekan lembaga negara agar transparan dan
bertanggung jawab. Namun, independensi media sering kali terancam oleh
kepentingan politik dan ekonomi pemiliknya, sehingga peran ini juga menghadapi
tantangan serius.
Kesimpulan Sementara
Meskipun telah tersedia
berbagai instrumen hukum, kelembagaan, dan sosial dalam pemberantasan KKN,
keberhasilannya sangat bergantung pada konsistensi, transparansi, dan
independensi institusi. Rezim hukum yang baik harus dibarengi dengan komitmen
politik yang kuat dan partisipasi aktif masyarakat. Tanpa itu, upaya
pemberantasan KKN akan bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar persoalan.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[2]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations
Convention against Corruption, 2004, https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/uncac.html.
[3]
Hukumonline, “Kontroversi Revisi UU KPK: Pelemahan atau Penguatan?” https://www.hukumonline.com/berita/a/kontroversi-revisi-uu-kpk.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2019, https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan/laporan-tahunan.
[5]
Human Rights Watch, Indonesia: Weaknesses in Prosecutorial and
Judicial Systems, 2013, https://www.hrw.org.
[6]
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
(IHPS), 2023, https://www.bpk.go.id.
[7]
KPK, Panduan Pendidikan Antikorupsi untuk Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2011.
[8]
KPK, Portal LHKPN, https://elhkpn.kpk.go.id.
[9]
TII, Digitalisasi dan Pencegahan Korupsi dalam Pelayanan Publik,
2020, https://ti.or.id.
[10]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Peran Masyarakat Sipil dalam
Pemberantasan Korupsi, 2022, https://antikorupsi.org.
7.
Evaluasi
dan Kritik terhadap Kebijakan Antikorupsi
Sejak era reformasi,
Indonesia telah mengambil berbagai langkah progresif dalam upaya pemberantasan
korupsi, termasuk pembentukan lembaga independen seperti KPK, pembaruan
legislasi antikorupsi, dan penguatan sistem audit keuangan negara. Namun
demikian, efektivitas kebijakan antikorupsi di Indonesia masih menghadapi
tantangan serius. Berbagai evaluasi menunjukkan adanya ketimpangan antara
kemajuan normatif dengan praktik implementasi yang masih lemah. Kritik terhadap
kebijakan antikorupsi menyasar pada beberapa aspek, mulai dari regulasi yang
problematik, pelemahan kelembagaan, hingga minimnya reformasi struktural yang
mendalam.
7.1.
Ketidakkonsistenan dan Pelemahan Regulasi
Salah satu kritik utama
terhadap kebijakan antikorupsi di Indonesia adalah munculnya kebijakan yang
justru melemahkan upaya pemberantasan KKN. Revisi Undang-Undang KPK melalui UU
No. 19 Tahun 2019, misalnya, menuai kritik luas karena dianggap
mereduksi independensi lembaga antirasuah. Revisi tersebut mengubah status KPK
menjadi bagian dari eksekutif, membentuk Dewan Pengawas dengan wewenang besar,
dan mensyaratkan izin tertulis untuk penyadapan.¹
Menurut Transparency
International Indonesia, perubahan ini berpotensi mempolitisasi kerja KPK
dan membatasi ruang geraknya dalam menindak pelaku korupsi kelas kakap.²
Bahkan, pascarevisi tersebut, tren penindakan kasus korupsi oleh KPK mengalami
penurunan signifikan, baik dari segi jumlah kasus maupun aktor level tinggi
yang ditangani.³ Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hukum formal tidak cukup
jika tidak disertai dengan komitmen politik dan perlindungan terhadap lembaga
penegak hukum.
7.2.
Penurunan Kinerja Lembaga Penegak Hukum
Evaluasi terhadap kinerja
lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, menunjukkan bahwa
banyak kasus korupsi yang ditangani secara tidak tuntas atau mangkrak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2023, terdapat lebih
dari 300 kasus korupsi yang belum ditindaklanjuti meskipun pelakunya sudah
diketahui.⁴ Kejaksaan dan Kepolisian juga kerap kali terlibat dalam konflik
kepentingan atau intervensi politik dalam penanganan perkara.
Hal ini memperkuat pandangan
bahwa keberhasilan pemberantasan KKN bukan hanya soal kelembagaan, tetapi juga
menyangkut budaya integritas dan independensi. Ketika aparat hukum tidak bebas
dari pengaruh politik atau jaringan kekuasaan, maka supremasi hukum menjadi
lemah, dan proses hukum kehilangan kepercayaan publik.⁵
7.3.
Minimnya Pendekatan Struktural dan Sistemik
Kebijakan antikorupsi di
Indonesia masih cenderung bersifat reaktif dan berorientasi pada
penindakan kasus individual. Padahal, banyak riset menyarankan pentingnya
pendekatan yang lebih sistemik, dengan menyoroti faktor-faktor struktural
seperti sistem politik yang mahal, budaya patronase, dan mekanisme birokrasi
yang tidak efisien.⁶
Dalam praktiknya, reformasi
sistem birokrasi berjalan lambat. Misalnya, sistem meritokrasi dalam
pengangkatan ASN masih kerap dilanggar melalui praktik jual beli jabatan atau
intervensi politik lokal.⁷ Begitu pula dalam sistem pengadaan barang dan jasa,
meskipun sudah berbasis elektronik (e-procurement), celah manipulasi
tetap terbuka melalui kolusi vendor dan panitia pengadaan.
7.4.
Kurangnya Peran Strategis Pendidikan dan
Masyarakat Sipil
Meskipun KPK telah
menginisiasi program pendidikan antikorupsi dan kampanye integritas, evaluasi
menunjukkan bahwa dampaknya belum merata dan bersifat sporadis. Kurikulum
pendidikan antikorupsi belum menjadi bagian wajib yang sistematis dalam sistem
pendidikan nasional, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.⁸
Selain itu, ruang gerak
masyarakat sipil untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan semakin menyempit.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kriminalisasi terhadap
aktivis antikorupsi dan jurnalis investigatif yang mengungkap skandal besar.⁹
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa negara mulai bersikap represif terhadap
kebebasan berekspresi dan pengawasan publik.
7.5.
Penilaian Global terhadap Posisi Indonesia
Secara global, posisi
Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) menunjukkan stagnasi. Pada tahun
2023, Indonesia memperoleh skor 34 dari 100 dan menempati peringkat ke-110 dari
180 negara.¹⁰ Skor ini menunjukkan bahwa meskipun sudah memiliki berbagai perangkat
hukum dan kelembagaan, persepsi terhadap efektivitas pemberantasan korupsi
masih rendah.
Laporan The Economist
Intelligence Unit juga menyoroti bahwa korupsi tetap menjadi hambatan
utama dalam reformasi struktural dan iklim investasi di Indonesia.¹¹ Oleh
karena itu, dibutuhkan pembenahan menyeluruh yang tidak hanya fokus pada hukum,
tetapi juga pada reformasi politik dan budaya birokrasi.
Kesimpulan Sementara
Evaluasi atas kebijakan
antikorupsi di Indonesia menunjukkan adanya kemajuan normatif yang signifikan,
namun masih terkendala pada aspek implementasi dan konsistensi politik. Kritik
yang disampaikan oleh masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga internasional
menegaskan bahwa pemberantasan KKN membutuhkan pendekatan sistemik,
perlindungan terhadap institusi independen, serta pemberdayaan masyarakat
sebagai pengawas kekuasaan. Tanpa itu, kebijakan antikorupsi akan terjebak
dalam simbolisme hukum yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas UU KPK.
[2]
Transparency International Indonesia, Laporan Indeks Persepsi
Korupsi 2020–2023, https://ti.or.id.
[3]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Tren Penindakan KPK Setelah
Revisi UU, 2023, https://antikorupsi.org.
[4]
ICW, Laporan Kinerja Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi 2023,
https://antikorupsi.org.
[5]
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political
Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990 (Jakarta: PT Gramedia, 1993),
210–212.
[6]
Bo Rothstein dan Aiysha Varraich, Making Sense of Corruption
(Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 55–59.
[7]
Syahrul Hidayat, “Feodalisme Politik dan Tantangan Demokratisasi di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2011): 180.
[8]
KPK, Panduan Pendidikan Antikorupsi, 2020, https://aclc.kpk.go.id.
[9]
Human Rights Watch, Indonesia: Crackdown on Dissent, 2022, https://www.hrw.org.
[10]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023,
https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[11]
The Economist Intelligence Unit, Country Report: Indonesia,
2023.
8.
Studi
Perbandingan (Opsional)
Pelajaran
dari Negara-Negara dengan Keberhasilan dan Kegagalan dalam Memberantas Korupsi
Studi perbandingan merupakan
instrumen penting dalam memahami efektivitas kebijakan pemberantasan KKN di
berbagai negara. Dengan menelaah praktik terbaik (best practices)
maupun kegagalan dari negara lain, Indonesia dapat menyusun strategi yang lebih
adaptif dan kontekstual. Dalam bagian ini, pembahasan difokuskan pada
perbandingan dengan tiga negara: Singapura dan Hong
Kong sebagai contoh keberhasilan, serta Filipina
sebagai contoh negara dengan tantangan serupa namun capaian yang masih
terbatas.
8.1.
Singapura: Integritas Institusi dan Zero
Tolerance
Singapura sering dipandang
sebagai model ideal dalam pemberantasan korupsi. Keberhasilannya terletak pada
kombinasi tiga faktor: penguatan institusi, gaji yang kompetitif bagi pegawai
negeri, dan sistem hukum yang efektif serta cepat. Sejak awal 1960-an, pemerintah
Singapura membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang
langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri dan diberi independensi penuh
dalam investigasi kasus.¹
Selain itu, Singapura
memberlakukan sistem meritokrasi yang ketat dalam birokrasi dan memberikan gaji
tinggi bagi pejabat publik untuk mengurangi insentif korupsi.² Hukum ditegakkan
tanpa pandang bulu; bahkan pejabat tinggi dan menteri pernah dijatuhi hukuman
karena praktik korupsi.³ Kombinasi antara pencegahan dan penindakan yang tegas
menjadikan Singapura salah satu negara dengan skor tertinggi dalam Indeks
Persepsi Korupsi (CPI), yakni 83 dari 100 pada tahun 2023.⁴
8.2.
Hong Kong: Transformasi Kelembagaan dan
Dukungan Masyarakat
Hong Kong memiliki sejarah
panjang sebagai wilayah dengan tingkat korupsi tinggi pada era 1960-an, namun
berhasil mengalami transformasi drastis sejak dibentuknya Independent
Commission Against Corruption (ICAC) pada tahun 1974.⁵ ICAC mengadopsi
strategi tiga pilar: (1) penegakan hukum tegas, (2) pencegahan administratif,
dan (3) edukasi masyarakat secara masif.⁶
Keberhasilan Hong Kong
terletak pada keberanian menindak korupsi tanpa diskriminasi serta membangun
kesadaran kolektif melalui kampanye publik yang sistematis. Lebih dari sekadar
aparat hukum, ICAC berfungsi sebagai institusi pembentuk budaya antikorupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan KKN tidak hanya bergantung pada lembaga
penegak hukum, tetapi juga pada partisipasi aktif masyarakat dan kesadaran bersama.
8.3.
Filipina: Demokrasi Elektoral dan Kebijakan
Setengah Hati
Sebagai sesama negara Asia
Tenggara yang menjalankan demokrasi elektoral, Filipina menunjukkan bahwa
demokrasi tidak otomatis berarti pemerintahan yang bersih. Meski memiliki
lembaga antikorupsi seperti Office of the Ombudsman dan Sandiganbayan
(pengadilan khusus korupsi), Filipina masih menghadapi masalah serius dalam
integritas lembaga dan lemahnya penegakan hukum.⁷
Skandal besar seperti Priority
Development Assistance Fund (PDAF) yang menyeret banyak anggota parlemen
menunjukkan bahwa korupsi bersifat sistemik dan terhubung dengan elite
politik.⁸ Filipina juga menghadapi tantangan dalam politik dinasti dan
vote-buying yang mengakar kuat, mirip dengan fenomena di Indonesia.
Transparency International memberi skor CPI Filipina sebesar 34 pada tahun
2023—identik dengan Indonesia—menandakan bahwa keduanya menghadapi tantangan
serupa dalam pemberantasan korupsi.⁹
8.4.
Pelajaran untuk Indonesia
Dari studi perbandingan ini,
terdapat beberapa pelajaran penting yang dapat diambil untuk konteks Indonesia:
·
Kebutuhan
terhadap lembaga yang independen dan kuat
Seperti CPIB dan ICAC, efektivitas pemberantasan
korupsi memerlukan lembaga yang tidak tunduk pada tekanan politik serta
memiliki dukungan hukum dan anggaran yang memadai.
·
Pentingnya
penegakan hukum yang setara dan transparan
Supremasi hukum hanya bermakna jika berlaku bagi
semua, termasuk pejabat tinggi. Hukuman yang konsisten memperkuat efek jera dan
memperbaiki persepsi publik.
·
Integrasi
pendidikan dan kampanye public
Sebagaimana di Hong Kong, strategi edukatif yang
konsisten mampu mengubah budaya permisif terhadap korupsi menjadi budaya
integritas.
·
Bahaya
demokrasi prosedural tanpa kontrol etis
Filipina dan Indonesia sama-sama menunjukkan
bahwa pemilu tanpa kontrol etika dan sistem pendanaan politik yang bersih
justru menciptakan state capture oleh oligarki.
Kesimpulan Sementara
Studi perbandingan
internasional memperlihatkan bahwa pemberantasan KKN membutuhkan pendekatan
multidimensi: kombinasi antara hukum yang tegas, institusi yang berdaya,
birokrasi yang profesional, dan masyarakat yang sadar. Indonesia memiliki modal
hukum dan kelembagaan, tetapi belum optimal dalam mengintegrasikan semua elemen
tersebut secara berkesinambungan. Tanpa reformasi struktural dan budaya,
pemberantasan KKN akan berjalan di tempat.
Footnotes
[1]
Jon S.T. Quah, Public Administration Singapore-Style (London:
Emerald Group Publishing, 2010), 99–110.
[2]
Ibid., 73–74.
[3]
Transparency International, Global Corruption Report 2004,
(London: Pluto Press, 2004), 152.
[4]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023,
https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
[5]
Ian Scott, The Hong Kong Civil Service and Its Future (Oxford:
Oxford University Press, 1988), 132–135.
[6]
ICAC Hong Kong, Annual Report 2022, https://www.icac.org.hk.
[7]
Asian Development Bank, Anticorruption Policies in Asia and the
Pacific: The Legal and Institutional Frameworks, 2000, 110–112.
[8]
Sheila Coronel, “The Pork Barrel Scam in the Philippines,” Philippine
Center for Investigative Journalism, 2014.
[9]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023,
https://www.transparency.org/en/cpi/2023.
9.
Rekomendasi
dan Strategi Pemberantasan KKN ke Depan
Meskipun Indonesia telah
memiliki berbagai instrumen hukum dan kelembagaan dalam memberantas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN), tantangan struktural dan budaya masih menghambat
efektivitasnya. Strategi ke depan harus didesain secara holistik, melampaui
pendekatan represif dan berorientasi pada transformasi sistem serta nilai.
Rekomendasi berikut dirumuskan berdasarkan praktik-praktik baik internasional,
analisis kelemahan yang masih ada di Indonesia, serta temuan-temuan lembaga
riset dan antikorupsi.
9.1.
Memperkuat Independensi dan Kapasitas Lembaga
Antikorupsi
Lembaga seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
harus dijamin independensinya secara konstitusional. Reformasi UU KPK tahun
2019 yang melemahkan kewenangan operasional dan penyadapan perlu dikaji ulang
demi mengembalikan efektivitas lembaga tersebut dalam menangani kasus kelas
kakap.¹
Menurut Transparency
International, pelemahan institusi antikorupsi akan menyebabkan chilling
effect terhadap penindakan dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem hukum.² Oleh karena itu, penguatan kapasitas kelembagaan, perlindungan
terhadap pegawai antikorupsi, dan jaminan kebebasan dari intervensi politik
adalah keharusan.
9.2.
Mendorong Reformasi Sistem Politik dan
Pembiayaan Pemilu
Salah satu akar dari kolusi
dan nepotisme adalah sistem politik yang transaksional dan pembiayaan pemilu
yang mahal. Untuk itu, perlu regulasi yang transparan dan akuntabel terkait
dana kampanye serta pembatasan pengaruh oligarki dalam politik.³
Laporan International
IDEA menekankan bahwa negara-negara demokrasi harus menjamin transparansi
dana kampanye melalui audit terbuka, batasan sumbangan, dan pelaporan wajib
secara digital.⁴ Indonesia dapat mengembangkan sistem pelaporan dana kampanye
yang dapat diakses publik secara real-time guna meningkatkan akuntabilitas.
9.3.
Membangun Sistem Meritokrasi dalam Birokrasi
dan Politik
Nepotisme dan kolusi tumbuh
subur dalam birokrasi yang tidak berdasarkan merit. Sistem seleksi dan promosi
ASN harus menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetensi.
Program Sistem Merit ASN yang digagas oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
perlu diperluas cakupannya hingga ke tingkat daerah.⁵
Selain itu, partai politik
juga perlu menerapkan rekrutmen berbasis kualitas dan rekam jejak, bukan semata
loyalitas atau kemampuan finansial. Negara harus memberi insentif kepada parpol
yang menjalankan demokratisasi internal dan seleksi kandidat secara terbuka.
9.4.
Mengembangkan Strategi Pencegahan yang Sistemik
dan Inovatif
Pemberantasan KKN tidak bisa
hanya mengandalkan penindakan. Strategi pencegahan berbasis sistem harus
diperluas melalui integrasi teknologi digital, pelibatan masyarakat, serta
transparansi prosedural.
Program e-governance
yang mencakup digitalisasi layanan publik, pengadaan barang dan jasa, serta
pelaporan gratifikasi dan LHKPN perlu ditingkatkan dan diperluas hingga ke
tingkat lokal.⁶ Estonia dan Korea Selatan adalah contoh negara yang berhasil
mengurangi korupsi melalui digitalisasi birokrasi.⁷
9.5.
Meningkatkan Pendidikan Antikorupsi dan
Penguatan Budaya Integritas
Perubahan budaya merupakan
kunci jangka panjang dalam pemberantasan KKN. Oleh karena itu, pendidikan
antikorupsi harus dijadikan bagian integral dalam kurikulum nasional dari
jenjang dasar hingga perguruan tinggi. KPK telah merintis hal ini, namun
implementasinya masih parsial dan kurang konsisten.⁸
Selain itu, penting untuk
membangun ekosistem integritas melalui pelibatan sektor swasta, media, tokoh agama,
dan organisasi masyarakat sipil. Kampanye publik yang mengangkat narasi “jujur
itu keren” harus diprogramkan secara terus-menerus untuk melawan budaya
permisif terhadap korupsi.⁹
9.6.
Perlindungan terhadap Whistleblower dan Media
Investigatif
Dalam banyak kasus besar,
informasi awal datang dari pelapor pelanggaran (whistleblower) atau investigasi
media. Namun, perlindungan hukum dan keamanan bagi mereka masih lemah.¹⁰
Indonesia perlu mengesahkan UU Perlindungan Pelapor Pelanggaran yang independen
dari lembaga penegak hukum untuk menjamin keselamatan mereka dari ancaman.
Selain itu, kebebasan pers
harus dijaga sebagai bagian dari ekosistem antikorupsi. Negara harus mencegah
praktik intimidasi atau kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis
antikorupsi.
9.7.
Meningkatkan Kerja Sama Internasional dan
Penelusuran Aset
Korupsi berskala besar sering
melibatkan aliran dana lintas negara. Oleh karena itu, kerja sama internasional
melalui kerangka United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
perlu diperkuat, terutama dalam hal penelusuran aset (asset recovery)
dan ekstradisi pelaku korupsi.¹¹
Indonesia dapat belajar dari
pengalaman Swiss dan Inggris dalam membekukan aset koruptor dan
mengembalikannya ke negara asal melalui kerja sama lintas yurisdiksi. Ini akan
menutup celah safe haven bagi pelaku KKN.
Kesimpulan Rekomendatif
Pemberantasan KKN ke depan
harus menjadi proyek kebangsaan yang melibatkan semua unsur masyarakat.
Strategi yang dibutuhkan bukan hanya represif, tetapi bersifat struktural,
sistemik, dan kultural. Tanpa reformasi menyeluruh pada sistem politik,
birokrasi, hukum, dan budaya sosial, KKN akan terus bertransformasi mengikuti
celah kekuasaan. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang visioner, masyarakat
yang kritis, serta sistem yang transparan dan adil sebagai fondasi negara bebas
KKN.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
[2]
Transparency International Indonesia, Tren Pelemahan Lembaga
Antikorupsi di Indonesia, 2021, https://ti.or.id.
[3]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 130–132.
[4]
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Political
Finance Database: Global Overview, 2023, https://www.idea.int.
[5]
Komisi ASN, Laporan Tahunan KASN 2023: Peta Jalan Sistem Merit,
https://kasn.go.id.
[6]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Pencegahan Korupsi Melalui Sistem
Digital Pemerintahan, 2022, https://antikorupsi.org.
[7]
Alina Mungiu-Pippidi, The Quest for Good Governance: How Societies
Develop Control of Corruption (Cambridge: Cambridge University Press,
2015), 76–80.
[8]
KPK, Panduan Pendidikan Antikorupsi untuk Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2021, https://aclc.kpk.go.id.
[9]
Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,
Clientelism, and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
2019), 210–212.
[10]
Human Rights Watch, Whistleblower Protection in Indonesia: Still
Inadequate, 2022, https://www.hrw.org.
[11]
UNODC, United Nations Convention against Corruption (UNCAC), https://www.unodc.org/unodc/en/corruption.
10. Kesimpulan
Korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) merupakan ancaman serius terhadap demokrasi, tata kelola
pemerintahan, dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Praktik-praktik KKN
bukan hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga menghancurkan tatanan
moral publik, melemahkan kepercayaan terhadap institusi, dan memperparah
ketimpangan sosial.¹ KKN tumbuh subur dalam sistem politik yang mahal,
birokrasi yang tidak profesional, serta budaya permisif yang mentoleransi
penyalahgunaan kekuasaan.
Secara historis, akar masalah
KKN di Indonesia dapat ditelusuri hingga era Orde Baru, ketika kekuasaan
dipusatkan dan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu melalui praktik
patronase politik dan ekonomi.² Reformasi 1998 telah melahirkan berbagai
instrumen hukum dan kelembagaan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan pembentukan sistem audit negara. Namun
demikian, perubahan tersebut belum sepenuhnya menyentuh aspek struktural dan
kultural yang memungkinkan KKN terus bertahan.
Evaluasi terhadap kebijakan
antikorupsi selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa keberhasilan
pemberantasan KKN sangat bergantung pada independensi institusi, keberanian
politik, serta partisipasi publik.³ Revisi regulasi yang melemahkan KPK,
lemahnya penegakan hukum terhadap aktor politik besar, serta masih maraknya
praktik jual beli jabatan dan politik uang menunjukkan adanya inkonsistensi
antara semangat reformasi dengan realitas birokrasi dan politik saat ini.⁴
Studi perbandingan
internasional, seperti pada kasus Singapura dan Hong Kong, menegaskan bahwa
pemberantasan korupsi yang efektif membutuhkan kombinasi antara penindakan
hukum yang tegas, sistem birokrasi berbasis merit, gaji yang layak bagi pejabat
publik, serta pendidikan dan kampanye publik yang berkelanjutan.⁵ Sebaliknya,
negara-negara seperti Filipina memperlihatkan bagaimana demokrasi prosedural
tanpa kontrol integritas justru membuka ruang lebar bagi korupsi politik yang
terinstitusionalisasi.⁶
Oleh karena itu, strategi
pemberantasan KKN di Indonesia ke depan harus bersifat multidimensional: tidak
hanya menindak pelaku, tetapi juga mencegah kondisi yang memungkinkan korupsi
terjadi. Diperlukan reformasi sistem pembiayaan politik, penguatan sistem
meritokrasi birokrasi, digitalisasi pelayanan publik, perlindungan terhadap
pelapor pelanggaran, serta integrasi pendidikan antikorupsi di semua jenjang
pendidikan.⁷
Kesimpulannya, pemberantasan
KKN bukan sekadar proyek hukum, melainkan agenda kebangsaan yang memerlukan
kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan media. Hanya
dengan keberanian, konsistensi, dan visi kolektif, bangsa Indonesia dapat
keluar dari belenggu korupsi menuju tatanan pemerintahan yang bersih,
demokratis, dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 92–95.
[2]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
56–60.
[3]
Indonesia Corruption Watch (ICW), Laporan Tren Pemberantasan
Korupsi 2023, https://antikorupsi.org.
[4]
Transparency International Indonesia, Menguji Komitmen Antikorupsi
Pemerintah Pasca Revisi UU KPK, 2021, https://ti.or.id.
[5]
Jon S.T. Quah, Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible
Dream? (Bingley: Emerald Publishing, 2011), 150–155.
[6]
Sheila S. Coronel, “Corruption and the Watchdog Role of the News
Media,” in Public Sentinel: News Media and Governance Reform, ed.
Pippa Norris (Washington, D.C.: World Bank, 2010), 111–114.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panduan Nasional Pendidikan
Antikorupsi (Jakarta: KPK, 2022), https://aclc.kpk.go.id.
Daftar Pustaka
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy
for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell
University Press.
Asian Development Bank. (2000). Anticorruption
policies in Asia and the Pacific: The legal and institutional frameworks. https://www.adb.org
Coronel, S. S. (2010). Corruption and the watchdog
role of the news media. In P. Norris (Ed.), Public sentinel: News media and
governance reform (pp. 111–136). World Bank.
Coronel, S. S. (2014). The pork barrel scam in
the Philippines. Philippine Center for Investigative Journalism.
Hadiz, V. R. (2010). Localising power in
post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford
University Press.
Human Rights Watch. (2022). Whistleblower
protection in Indonesia: Still inadequate. https://www.hrw.org
Indonesia Corruption Watch. (2022). Peran
masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi. https://antikorupsi.org
Indonesia Corruption Watch. (2023). Tren
penindakan KPK setelah revisi UU. https://antikorupsi.org
Indonesia Corruption Watch. (2023). Laporan
kinerja penegakan hukum tindak pidana korupsi. https://antikorupsi.org
International IDEA. (2023). Political finance
database: Global overview. https://www.idea.int
Jon, Q. S. T. (2010). Public administration
Singapore-style. Emerald Group Publishing.
Jon, Q. S. T. (2011). Curbing corruption in
Asian countries: An impossible dream? Emerald Publishing.
KPK. (2011). Panduan pendidikan antikorupsi
untuk pendidikan dasar dan menengah. Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK. (2019). Laporan tahunan KPK 2019. https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan/laporan-tahunan
KPK. (2020). Panduan pendidikan antikorupsi.
https://aclc.kpk.go.id
KPK. (2021). Portal LHKPN. https://elhkpn.kpk.go.id
KPK. (2022). Panduan nasional pendidikan
antikorupsi. https://aclc.kpk.go.id
Komisi ASN. (2023). Laporan tahunan KASN 2023:
Peta jalan sistem merit. https://kasn.go.id
Mungiu-Pippidi, A. (2015). The quest for good
governance: How societies develop control of corruption. Cambridge
University Press.
Rothstein, B. (2011). The quality of government:
Corruption, social trust, and inequality in international perspective.
University of Chicago Press.
Rothstein, B., & Varraich, A. (2017). Making
sense of corruption. Cambridge University Press.
Scott, I. (1988). The Hong Kong civil service
and its future. Oxford University Press.
Syahrul, H. (2011). Feodalisme politik dan
tantangan demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
15(2), 175–190.
The Economist Intelligence Unit. (2023). Country
report: Indonesia. https://www.eiu.com
Transparency International. (2004). Global
corruption report 2004. Pluto Press.
Transparency International. (2023). Corruption
perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023
Transparency International Indonesia. (2021). Menguji
komitmen antikorupsi pemerintah pasca revisi UU KPK. https://ti.or.id
Transparency International Indonesia. (2023). Tren
pelemahan lembaga antikorupsi di Indonesia. https://ti.or.id
UNODC. (2004). United Nations convention against
corruption. https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/uncac.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar